INFEKSI CACING GASTROINTESTINAL PADA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN
ANANG FACHRI ARRAYYANSYAH B04090158
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014
Anang Fachri Arrayyansyah NIM B04090158
ABSTRAK ANANG FACHRI ARRAYYANSYAH. Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan. Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan SYAFRI EDWAR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, nilai prevalensi, dan derajat infeksi cacing gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan. Sampel feses dikumpulkan dari 26 ekor harimau yang terbagi menjadi 4 area kandang. Analisis sampel feses dilakukan menggunakan metode modifikasi McMaster, pengapungan sederhana, dan saringan bertingkat. Jenis cacing, nilai prevalensi, dan derajat infeksi dianalisis secara deskriptif berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Hasil penelitian menunjukkan jenis telur cacing yang ditemukan adalah Toxocara cati dan Toxascaris leonina (Ascarid) serta Ancylostoma tubaeforme (Strongylid). Sejumlah total 25 ekor (96%) yang mengalami kecacingan, terinfeksi Ascarid (96%) dan Strongylid (68%). Seluruh harimau jantan (100%) terinfeksi Ascarid dan sebanyak 64% terinfeksi Strongylid. Adapun harimau betina terinfeksi Ascarid sebanyak 83% dan terinfeksi Strongylid sebanyak 67%. Harimau kelompok umur <5 tahun, 5-10 tahun, dan >10 tahun, berturut-turut terinfeksi Ascarid sebanyak 100%, 91%, dan 83%, serta terinfeksi Strongylid sebanyak 67%, 64%, dan 67%. Derajat infeksi Ascarid tertinggi sebesar 10625 TTGT dan Strongylid sebesar 3650 TTGT berturut-turut terdapat pada harimau betina dan jantan. Nilai derajat infeksi kedua jenis cacing tersebut terdapat pada kelompok umur <5 tahun. Kata kunci : Ragunan
cacing gastrointestinal, harimau Sumatera, Taman Margasatwa
ABSTRACT ANANG FACHRI ARRAYYANSYAH. Gastrointestinal Helminths Infection of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) in Ragunan Zoo. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and SYAFRI EDWAR. The aim of this research was conducted to investigate the prevalence values and the intensity of infection of gastrointestinal helminths from Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae) in Ragunan Zoo. A total of 26 individual stool samples were collected from 26 tigers at 4 areas. These samples were examined using modified McMaster, simple floatation, and modified sedimentation techniques based on sex and age group. The result showed that the identified helminth eggs were Toxocara cati and Toxascaris leonina (Ascarid) and also Ancylostoma tubaeforme (Strongylid). There were 25 (96%) of the examined animals infected by Ascarid (96%) and Strongylid (68%). All male tigers (100%) were infected by Ascarid and 64% were infected by Strongylid. There were 83% female tigers infected by Ascarid and 67% infected by Strongylid. The prevalence of the age group of <5, 5-10, and >10 years old, consecutively indicated that 100%, 91%,
and 83% were infected by Ascarid and 67%, 64%, and 67% were infected by Strongylid. The highest intensity of Ascarid infection (10625 EPG) was found in females while the highest intensity of Strongylid infection (3650 EPG) was found in males. Those intensity of infection were found in the age group of <5 years old. Keywords : gastrointestinal helminths, Ragunan zoo, Sumatran tiger
INFEKSI CACING GASTROINTESTINAL PADA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN
ANANG FACHRI ARRAYYANSYAH B04090158 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi Nama NIM
: Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan : Anang Fachri Arrayyansyah : B04090158
Disetujui oleh
Dr Drh Elok Budi Retnani, MS Pembimbing 1
Drh Syafri Edwar Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April 2014 ini bertemakan Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Drh Syafri Edwar selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta Ayahanda Eduarny Tarmidji, Ibunda Uum Sumarni, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman semua yang terus memberikan semangat dan dukungan sampai dapat terselesaikannya skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Anang Fachri Arrayyansyah
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
Manfaat
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Taman Margasatwa Ragunan
2
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
3
Cacing parasitik
4
METODE PENELITIAN
6
Waktu dan Tempat
6
Alat dan Bahan
6
Rancangan Penelitian
6
Teknik Parasitologi
6
Pengambilan Sampel Feses
6
Pemeriksaan Kuantitatif
6
Pemeriksaan Kualitatif
7
Identifikasi Telur Cacing
8
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pembahasan
8 8 10
SIMPULAN
13
SARAN
14
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
16
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1
Jenis cacing yang telah dilaporkan menginfeksi karnivora liar di penangkaran 2 Nilai prevalensi telur ascarid dan strongylid berdasarkan jenis kelamin 3 Kisaran nilai TTGT Ascarid dan Strongylid pada harimau jantan dan betina 4 Nilai prevalensi dan derajat infeksi kecacingan berdasarkan kelompok umur
5 8 9 9
DAFTAR GAMBAR 1
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan 2 Telur T. cati hasil penelitian dan T. cati menurut literatur 3 Telur Toxascaris leonina hasil penelitian dan menurut literatur 4 Telur Ancylostoma spp. hasil penelitian dan menurut literatur
3 10 10 10
DAFTAR LAMPIRAN 1
Nilai rata-rata jumlah telur dalam tiap gram feses (TTGT) Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Harimau (Panthera tigris) adalah mamalia darat yang termasuk dalam kelompok kucing besar dunia. Harimau terdiri dari 9 subspesies, 6 subspesies di antaranya masih hidup dan 3 subspesies telah punah. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) adalah satu-satunya subspesies harimau yang ada di Indonesia. Habitat alami Harimau Sumatera adalah hutan hujan yang terdapat di Pulau Sumatera. Harimau Sumatera kini memiliki status critically endangered atau terancam punah oleh pihak IUCN (International Union for Conservation of Nature) sejak tahun 1996, dan digolongkan ke dalam kategori Appendiks 1 oleh pihak CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Harimau Sumatera termasuk satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999. Populasi harimau yang terus menurun ini disebabkan oleh perburuan liar dan berkurangnya habitat alami akibat perluasan areal pembangunan dan pemukiman masyarakat. Oleh sebab itu beberapa lembaga konservasi dan suaka margasatwa seperti Taman Margasatwa Ragunan, melakukan upaya perawatan, pengembangbiakan, dan pelestarian harimau melalui beberapa program konservasi eks-situ. Manajemen kesehatan hewan merupakan bagian penting dari program konservasi, diantaranya adalah penanganan penyakit seperti kecacingan. Hewan yang terinfeksi cacing gastrointestinal dapat menunjukkan gejalagejala seperti diare, anemia, anoreksia, kurus, bahkan kematian. Harimau yang mengalami kecacingan dapat mengalami kelemahan, depresi, anoreksia, dehidrasi, pendarahan pada saluran pencernaan, dan pembengkakan organ hati (Bhattacharya et al. 2012). Hewan yang terinfeksi cacing parasit merupakan sumber infeksi bagi hewan lain yang sehat. Hal ini tentu sangat merugikan dan mengganggu program konservasi satwa liar yang terancam punah, termasuk Harimau Sumatera. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jenis, derajat infeksi, dan nilai prevalensi cacing gastrointestinal pada Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan. Manfaat Pengetahuan tentang jenis, nilai prevalensi, dan derajat infeksi cacing dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk merencanakan program pengendalian dan pengobatan kecacingan yang tepat dan efektif.
2
TINJAUAN PUSTAKA Taman Margasatwa Ragunan Taman Margasatwa Ragunan (TMR) adalah taman margasatwa yang berada di daerah Jakarta. Secara geografis, TMR terletak di 6.3oLS dan 106.8oBT dengan ketinggian 50 m di atas permukaan air laut dengan curah hujan 2300 mm/tahun, suhu 27o C, dan kelembapan 60%. TMR memliki lahan seluas 147 ha, dengan koleksi satwa sebanyak lebih dari 2000 satwa yang terdiri dari 295 spesies dan lebih dari 50000 jenis pohon. TMR memiliki fungsi sebagai lembaga konservasi eksitu dan taman rekreasi bagi keluarga. Terdapat juga Pusat Primata Schmutzer, kandang karantina, dan gedung kesehatan hewan, sehingga TMR juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan penelitian dan pendidikan. TMR didirikan pada tanggal 19 September 1864 dengan nama “Planten en Dierentuin” oleh Perhimpunan Penyayang Flora dan Fauna Batavia yang terletak di Jl.Cikini Raya No.73. Pada tahun 1949, namanya diganti menjadi Kebun Binatang Cikini. Kemudian pada tahun 1964, Gubernur Jakarta Dr.Soemarno mendirikan Badan Persiapan Pelaksanaan Pembangunan Kebun Binatang ke Pasar Minggu yang dipimpin oleh Drh THEW Umboh. Tanah seluas 30 ha telah disiapkan di daerah Ragunan, dengan jumlah satwa sebanyak 450 ekor untuk dipindahkan dari Kebun Binatang Cikini. Pada tanggal 22 Juni 1966, Gubernur DKI Jakarta Mayjen Ali Sadikin meresmikan kebun binatang dengan nama Taman Margasatwa Ragunan. Pada tahun 1974 TMR dipimpin dan dikelola oleh Benjamin Galstaun. Pada tahun 1983 dibentuk Badan Pengelola Kebun Binatang Ragunan. Pada tahun 2009 namanya dirubah menjadi Unit Pelayanan Teknis Taman Margasatwa Ragunan. Hingga 2010 namanya dirubah kembali menjadi Badan Layanan Umum Daerah Taman Margsatwa Ragunan. Satwa yang terdapat di TMR, sebanyak 90% merupakan satwa asli Indonesia, seperti Harimau Sumatera, Macan Tutul Jawa, Komodo, Binturong, Gajah Sumatera, Orang Utan, Kijang, Tapir, Anoa, dan lain-lain. Jumlah Harimau Sumatera di TMR sebanyak 32 ekor. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Taksonomi dan Morfologi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929) merupakan satwa asli Indonesia yang termasuk dalam keluarga Panthera. Klasifikasi dan taksonomi dari Harimau Sumatera menurut Baker (2006) adalah :
3
Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies Subspesies
: : : : : : : : :
Animalia Chordata Vertebrata Mammalia Carnivora Felidae Panthera Panthera tigris P.tigris sumatrae
Gambar 1 Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di TMR
Harimau Sumatera merupakan subspesies harimau terkecil di dunia dan hanya terdapat di Indonesia. Sebelumnya terdapat Harimau Bali (Panthera tigris balica) yang dinyatakan punah pada tahun 1937 dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang dinyatakan punah pada tahun 1972. Harimau jantan dewasa dapat mencapai panjang tubuh antara 2.2-2.55 m dan berat badan antara 100-160 kg, sedangkan harimau betina dewasa dapat mencapai panjang tubuh antara 2.152.30 m dan berat badan antara 75-110 kg. Harimau dikenal memiliki ciri khas pada rambutnya yaitu corak loreng hitam. Harimau Sumatera memiliki jarak antar loreng paling pendek dibandingkan dengan loreng yang dimiliki subspesies harimau lainnya. Selain itu, Harimau Sumatera memiliki warna rambut paling gelap di antara semua subspesies harimau lainnya, yaitu berwarna kuning kemerahan hingga jingga tua dengan sedikit surai pada lehernya. Harimau Sumatera hidup secara liar di hutan tropis pulau Sumatera, mulai dari hutan di daerah rendah hingga hutan pegunungan. Kondisi mutlak yang diperlukan oleh harimau sebagai habitat alaminya adalah kualitas vegetasi cover sebagai tempat beristirahat, berteduh dari hujan dan panas, dan membesarkan anak. Perilaku Harimau Sumatera yang hidup secara liar hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera, tepatnya di hutan hujan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hewan ini jarang memanjat pohon, namun mereka menyukai air dan merupakan perenang yang handal. Harimau membutuhkan wilayah jelajah yang luas hingga 100 km2, namun luas wilayah ini dapat bervariasi tergantung ketersediaan makanan di suatu wilayah (Hamaide et al. 2007). Mereka merupakan hewan yang aktif di malam hari (nocturnal), sehingga pada malam hari harimau dapat berkelana lebih dari 20 mil (32 km). Hewan ini menandai wilayahnya dengan menyemprotkan urine di wilayah mereka, kemudian membuat tanda cakaran pada pohon atau tanah. Mangsa harimau adalah rusa, kijang, kancil, babi hutan, dan satwa liar lainnya. Hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, domba, dan ayam dapat menjadi mangsa bila habitat harimau terganggu atau rusak karena ulah manusia sehingga memaksa harimau masuk ke pemukiman. Seekor harimau biasanya membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan (MacDonald & Loveridge 1986).
4
Harimau merupakan hewan yang hidup soliter, namun hewan ini dapat hidup berpasangan hanya selama musim kawin dan selama betina memelihara anaknya. Harimau mengalami pubertas pada umur 3-4 tahun, pada betina biasanya pada umur 3-4 tahun sedangkan pada jantan pada umur 4-5 tahun (Seidensticker 1996), memiliki masa bunting selama 102-103 hari dengan jumlah kelahiran anak rata-rata 2-3 ekor (Attenborough 2002). Masa hidup harimau di alam sekitar 1015 tahun, namun harimau yang hidup di penangkaran umumnya dapat mencapai 16-25 tahun (MacDonald & Loveridge 1986). Cacing Parasitik Helminth (cacing parasitik) termasuk dalam kingdom Animalia yang terbagi dalam tiga filum, yaitu Platyhelminthes, Nemathelminthes, dan Acanthocephala (Soulsby 1982). Jenis cacing yang sering menginfeksi hewan domestik maupun liar adalah cacing dari Kelas Cestoda dan Trematoda (Platyhelminthes) serta Nematoda (Nemathelminthes). Cestoda berbentuk panjang dan pipih seperti pita, sedangkan Trematoda berbentuk pipih seperti daun sehingga disebut juga dengan cacing daun atau cacing isap. Nematoda atau cacing gilig, umumnya berbentuk silinder dan memanjang, dengan kedua ujung meruncing dengan rongga tubuh yang dilapisi dengan selaput seluler sehingga disebut pseudoseloma. Secara umum, siklus hidup cacing parasitik dibagi dua, yaitu secara langsung (tidak memerlukan inang antara dalam siklus hidupnya) dan secara tidak langsung (memerlukan inang antara dalam siklus hidupnya) (Levine 1978). Cacing Cestoda dan Trematoda memiliki siklus hidup tidak langsung, sedangkan Nematoda memiliki siklus hidup langsung dan tidak langsung. Stadium infektif cacing parasitik yang memiliki siklus hidup langsung adalah telur infektif (Ascarid) dan larva infektif (Strongylid). Telur infektif yang tertelan inang definitif akan menetas di usus dan biasanya mengalami fase migrasi jaringan tergantung jenis cacingnya. Fase migrasi ini memerlukan rentang waktu tertentu sebelum berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus. Adapun stadium larva infektif dapat menginfeksi inang definitif secara oral atau penetrasi melalui kulit. Perjalanan infeksi larva infektif tersebut melalui sirkulasi darah dan beberapa organ yang selanjutnya menjadi larva dorman dan/atau berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus (Soulsby 1982). Inang defintif terinfeksi cacing parasitik yang memiliki siklus hidup tidak langsung karena tidak sengaja menelan larva infektif yang terkandung di dalam inang antara, terinfeksi langsung oleh larva infektif yang aktif seperti Schistosoma sp., atau larva infektif yang berada di lingkungan sekitar inang definitif (tanah, rumput, atau aliran air). Larva infektif ini selanjutnya akan berkembang menjadi cacing dewasa pada organ tertentu tergantung jenis cacingnya (Soulsby 1982). Habitat cacing parasitik saluran pencernaan yaitu usus besar, usus halus, atau sekum. Infeksi berat cacing parasitik pada harimau dapat menyebabkan pendarahan yang diakibatkan oleh migrasi larva atau aktivitas makan cacing dewasa (Strongylid). Pendarahan inilah yang menyebabkan hewan mengalami anemia hingga menyebabkan kematian jika hewan tidak segera diobati. Infeksi pada hewan dewasa biasanya bersifat kronis, namun pada hewan yang masih
5
muda infeksi ini dapat bersifat akut dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, nafsu makan menurun, serta diare (Soulsby 1986). Tabel 1 Jenis cacing yang telah dilaporkan menginfeksi karnivora liar di penangkaran Jenis cacing
Cestoda
Trematoda
Nematoda
Nama cacing Dipylidium caninum Diphyllobothrium erinaceae Diphyllobothrium felis Diphyllobothrium latum Hymenolepis diminuta Multiceps multiceps Spirometra erinaceae Taenia hydagetina Taenia pisiformis Taenia taeniaeformis Echinochasmus corvus Euparadistomum sundarami Euparyphium malayanum Paragonimus westermanii Pharyngostomum cordatum Schistosoma sp. Ancylostoma sp. Bronchostrongylus subcrenatus Herpestrongylus herpesti Oxyuris sp. Parascaris felis Strongyloides akbari Strongyloides tumefaciens Toxocara canis Toxocara cati Toxascaris leonina Trichinella spiralis Trichuris sp.
Organ yang terinfeksi
Inang antara / vektor
Usus halus, sekum, usus besar
Katak, ikan, rodensia, pinjal
Saluran pencernaan, saluran pernafasan
Siput, katak, rodensia, dan ular
Usus halus, sekum, usus besar, bronchus, trakea
Sumber
1, 3, 4, 6
1, 4, 6, 7
Tidak ada (menginfeksi inang definitf secara langsung)
1, 2, 3, 4, 5, 6
Sumber : 1 Acharjyo 2004; 2 Bendryman et al. 2011; 3 Bhattacharya et al. 2012; 4 Gonzalez et al. 2007; 5 Pratiwi 2010; 6 Shirbhate 2008; 7 Singh et al. 1978
Infeksi kecacingan yang pernah terjadi pada harimau di beberapa lembaga konservasi, sebagian besar cacing parasitnya adalah Toxocara dan Toxascaris (Fowler & Miller 2003). Sebagai contoh, infeksi cacing parasitik dari genus Toxocara, Toxascaris, dan Strongylus ditemukan pada Harimau Benggala di Taman Nasional Van Vihar, India (Singh et al. 2010) dan Harimau Siberia di kebun binatang di Rusia (Gonzalez et al. 2007). Pratiwi (2010) dalam penelitiannya pada tiga lembaga konservasi yang ada di Indonesia, melaporkan bahwa terdapat 35 ekor Harimau Benggala dan Harimau Sumatera terinfeksi oleh cacing parasitik saluran pencernaan yang terdiri dari genus Toxocara, Toxascaris, Strongylides, Ancylostoma, Trichostrongylus, Cooperia, dan Oxyuridae.
6
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013 hingga April 2014. Pengambilan sampel feses dilakukan di Taman Margsatwa Ragunan. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Helminthologi, bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan selama penelitian yaitu kantong plastik ziploc, sendok plastik, cooler box, ice packs, label, saringan teh, gelas ukur, kamar hitung modifikasi McMaster, sprayer, alat penghitung, tabung reaksi, gelas Baermann, gelas obyek, gelas obyek modifikasi, gelas penutup, gelas plastik, sendok, mikroskop, lemari pendingin, timbangan, pipet, lembar pencatatan, dan kamera digital. Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian yaitu feses Harimau Sumatera, air, dan larutan pengapung (larutan gula-garam jenuh). Rancangan Penelitian Sampel feses individu dari 26 ekor harimau dikumpulkan sekali seminggu selama 4 minggu. Seluruh harimau tersebut terletak di dalam 4 area kandang berbeda, yaitu area 1 terdapat 7 ekor, area 2 terdapat 8 ekor, area 3 terdapat 5 ekor, dan area 4 terdapat 6 ekor. Tiap area memiliki 2 jenis kandang, yaitu kandang tidur untuk masing-masing individu harimau dan kandang display. Selanjutnya sampel feses diperiksa secara kuantitatif (metode modifikasi McMaster) dan kualitatif (metode pengapungan sederhana dan saringan bertingkat) untuk mengetahui tipe, jenis, dan jumlah telur, sehingga dapat diketahui nilai prevalensi dan derajat infeksi kecacingan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Teknik Parasitologi Pengambilan Sampel Feses Sampel feses diperoleh dengan mengambil langsung feses segar atau yang berumur tidak lebih dari tiga jam sejak hewan defekasi. Sampel feses kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik ziploc dan diberi identitas berupa nama hewan, jenis kelamin, umur, waktu, tempat, dan tanggal pengambilan. Kantongkantong plastik tersebut disimpan sementara di dalam cooler box yang berisi ice packs untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam lemari pendingin. Sampel feses terus disimpan hingga seluruh proses penelitian selesai dilakukan. Pemeriksaan Kuantitatif Pemeriksaan ini bertujuan untuk menghitung jumlah telur cacing Nematoda dan Cestoda dengan menggunakan kamar hitung modifikasi McMaster. Feses
7
ditimbang sebanyak 4 g kemudian dimasukkan ke dalam gelas dan ditambahkan 56 ml larutan pengapung. Campuran feses dan larutan pengapung diaduk, disaring, dan dihomogenkan. Setelah homogen, campuran ini dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet dan didiamkan selama 3-5 menit. Jumlah telur yang ada di dalam 2 kamar hitung McMaster dihitung di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Rumus penghitungan jumlah telur dalam tiap gram feses (TTGT) adalah sebagai berikut (Whitlock 1948) :
Keterangan : n : jumlah telur yang ditemukan dalam kamar hitung tiap tipe telur bt : berat feses (g) Vtotal : total volume larutan pengapung ditambah volume feses (ml) 1 g feses = 1 ml volume feses Vhitung : volume campuran yang dimasukkan dalam kamar hitung (ml) Nilai faktor pengali yang didapatkan dari rumus penghitungan di atas adalah 50. Dengan demikian, jika tidak ditemukan telur cacing dalam sampel, berarti dugaan jumlah telur dalam feses tersebut kurang dari 50 TTGT. Pemeriksaan Kualitatif Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya telur cacing apabila pemeriksaan kuantitatif menunjukkan hasil negatif. Sampel feses diperiksa secara kualitatif dibagi dalam 2 metode, yaitu metode pengapungan sederhana dan metode saringan bertingkat. 1. Metode Pengapungan Sederhana Metode ini bertujuan untuk menemukan keberadaan telur cacing Nematoda dan Cestoda. Feses ditimbang sebanyak 4 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik dan ditambahkan 56 ml larutan pengapung. Campuran feses dan larutan pengapung diaduk dan disaring menggunakan saringan teh, kemudian dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga terbentuk meniskus di permukaan tabung. Gelas penutup diletakkan di atas tabung reaksi tersebut dan ditunggu selama 10-15 menit, kemudian gelas penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas objek, lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x (Shaikenov et al. 2004). 2. Metode Saringan Bertingkat Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing Trematoda. Feses ditimbang sebanyak 4 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas dan ditambahkan 56 ml air. Campuran tersebut diaduk dan disaring, kemudian disaring dengan saringan bertingkat dengan lubang saringan / mesh berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm secara berurutan. Endapan pada saringan 100 µm dan 40 µm dibilas dengan sprayer berisi aquades dan ditampung di gelas Baermann, kemudian diambil dengan pipet lalu dimasukkan ke dalam gelas objektif modifikasi untuk selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Willingham et al. 1998).
8
Identifikasi Telur Cacing Pengelompokan jenis telur cacing berdasarkan kelas cacing Cestoda, Trematoda, atau Nematoda. Adapun identifikasi setiap tipe telur berdasarkan morfologi dan ukuran tipe telur Ascarid, Strongylid, Oxyurid, atau Trichurid menurut Noble & Noble (1989), Subronto (2006), dan Taylor et al. (2007). Analisis Data Hasil temuan jenis telur, derajat infeksi, dan prevalensi kecacingan (berdasarkan jenis kelamin dan umur) ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif menggunakan program Microsoft Excel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 25 dari 26 ekor positif terinfeksi dengan prevalensi sebesar 96%, dengan rincian sebanyak 24 ekor harimau terinfeksi Ascarid (96%) dan 17 ekor harimau terinfeksi Strongylid (68%). Tabel 2 Nilai prevalensi kecacingan berdasarkan jenis kelamin Area 1 2 3 4
Jumlah hewan Jantan Betina 3 4 4 4 3 2 4 2
Harimau jantan (%) Ascarid Strongylid 100 0 100 50 100 100 100 100
Harimau betina (%) Ascarid Strongylid 75 50 100 50 100 100 50 100
Nilai prevalensi kecacingan pada harimau jantan dan betina di tiap area dengan jumlah total harimau jantan sebanyak 14 ekor dan harimau betina sebanyak 12 ekor dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum, semua harimau jantan terinfeksi Ascarid (100%) dan 9 ekor terinfeksi Strongylid (64%). Tidak ada harimau jantan yang terinfeksi Strongylid pada area 1, sedangkan pada area 2 terdapat 2 ekor yang terinfeksi Strongylid (50%). Untuk area 3 dan 4 semua harimau jantan terinfeksi Strongylid (100%). Harimau betina yang positif terinfeksi Ascarid sebanyak 10 ekor (83%) dan terinfeksi Strongylid sebanyak 8 ekor (67%). Untuk infeksi Ascarid, pada area 1 terdapat 3 ekor yang terinfeksi (75%), area 2 dan 3 semua harimau terinfeksi Ascarid (100%), dan area 4 terdapat 1 ekor yang terinfeksi (50%). Untuk infeksi Strongylid, terdapat 2 ekor harimau yang terinfeksi pada masing-masing area 1 (50%) dan 2 (50%), sedangkan pada area 3 dan 4 semua harimau terinfeksi (100%).
9
Tabel 3 Kisaran nilai TTGT Ascarid dan Strongylid pada harimau jantan dan betina Area 1 2 3 4
Jumlah hewan Jantan Betina 3 4 4 4 3 2 4 2
Harimau jantan (TTGT) Ascarid Strongylid 150-1425 0 500-8000 0-3650 1153-5283 125-450 275-9538 50-950
Harimau betina (TTGT) Ascarid Strongylid 0-1350 0-250 150-2525 0-600 1425-10625 100-150 0-700 75-100
Kisaran nilai derajat infeksi diperoleh dari rata-rata TTGT hewan jantan maupun betina yang positif terinfeksi pada setiap area (Tabel 3). Sebanyak 14 ekor harimau jantan dengan nilai derajat infeksi Ascarid tertinggi terdapat pada area 4 sebesar 9538 TTGT, sedangkan derajat infeksi terkecil terdapat pada area 1 yaitu sebesar 1425 TTGT. Kelompok harimau pada area 1 sama sekali tidak terinfeksi Strongylid, namun terdapat derajat infeksi strongylid tertinggi sebesar 3650 TTGTterdapat pada area 2. Total jumlah harimau betina yang diperiksa sebanyak 12 ekor. Nilai derajat infeksi ascarid tertinggi terdapat pada area 3 sebesar 10625 TTGT, sedangkan yang terkecil pada area 4 sebesar 700 TTGT. Adapun infeksi strongylid tertinggi terdapat area 2 sebesar 600 TTGT, derajat infeksi terendah pada area 4 sebesar 100 TTGT. Dengan demikian, infeksi tertinggi strongylid terjadi pada harimau jantan, sedangkan ascarid pada hewan betina. Tabel 4 Nilai prevalensi dan derajat infeksi kecacingan berdasarkan kelompok umur Umur <5 tahun 5-10 tahun >10 tahun
Jumlah hewan 9 11 6
Nilai prevalensi (%) Ascarid Strongylid 100 67 91 64 83 67
Derajat infeksi (TTGT) Ascarid Strongylid 150-10625 0-3650 0-8000 0-600 0-9538 0-950
Prevalensi dan kisaran derajat infeksi kecacingan berdasarkan kelompok umur harimau disajikan pada Tabel 4. Seluruh harimau dalam kelompok umur <5 tahun terinfeksi ascarid (100%), sedangkan yang berumur 5-10 tahun terinfeksi sebanyak 91% (10 ekor) dan yang berumur > 10 tahun terinfeksi sebesar 83% (5 ekor). Penderita strongylodosis terbanyak pada harimau kelompok umur <5 tahun dan >10 tahun yaitu sebesar 67% masing-masing 6 ekor dan 4 ekor, sedangkan pada kelompok umur antara 5-10 tahun relatif lebih sedikit yaitu sebanyak 64% (7 ekor). Derajat kecacingan menurut kelompok umur di atas, menunjukkan bahwa derajat infeksi tertinggi baik ascaridosis maupun strongylodosis terdapat pada kelompok umur <5 tahun. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai absolut, yaitu nilai yang menunjukkan rataan TTGT sesuai jumlah telur yang didapat dari masing-masing individu, namun menurut keadaan yang sebenarnya di lapangan nilai-nilai ini tidak dapat dijadikan nilai mutlak untuk membandingkan derajat infeksi antar area.
10
Gambar 2 Telur Toxocara cati hasil penelitian (kiri) dan Toxocara cati menurut literatur (kanan) (Taylor et al. 2007).
Gambar 3 Telur Toxascaris leonina hasil penelitian (kiri) dan Toxascaris leonina menurut literatur (kanan) (Taylor et al. 2007).
Gambar 4 Telur Ancylostoma tubaeforme hasil penelitian (kiri) dan Ancylostoma tubaeforme menurut literatur (kanan) (Taylor et al. 2007).
Pembahasan Hasil identifikasi telur cacing pada penelitian ini adalah Toxocara sp., Toxascaris leonina, dan Ancylostoma sp. Hasil ini sama dengan penelitiam yang dilakukan oleh Bendryman et al. (2011) pada Harimau Sumatera dan Harimau Benggala di tiga wilayah konservasi yang berbeda di Indonesia. Jumlah total Harimau Sumatera yang ada di TMR yaitu 32 ekor, namun sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 26 ekor, karena ada 2 kandang yang masing-masing berisi 3 ekor harimau dan feses yang diperoleh tidak dapat diketahui siapa pemiliknya sehingga data ketiga harimau tersebut tidak valid. Hingga saat ini belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai hubungan antara jenis kelamin ataupun kelompok umur terhadap nilai prevalensi dan derajat
11
infeksi kecacingan pada harimau. Banyak literatur ataupun buku teks yang menyebutkan bahwa kasus kecacingan pada anak harimau lebih tinggi dibandingkan pada harimau dewasa, namun tidak disebutkan secara rinci pada usia berapa harimau dikategorikan sebagai anak maupun dewasa. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk mengelompokkan harimau ke dalam tiga kelompok umur seperti yang tertulis pada Tabel 4 berdasarkan masa pubertas harimau menurut literatur dan rentang umur harimau yang terdapat di TMR. Nilai prevalensi dari 25 ekor harimau yang positif terinfeksi cacing parasitik adalah 96%, dengan nilai prevalensi Ascarid pada harimau jantan dan betina sama-sama memiliki nilai prevalensi yang tinggi, yaitu 100% dan 83%. Nilai prevalensi Strongylid pada harimau jantan dan betina yaitu 64% dan 67%, lebih kecil dibandingkan prevalensi Ascarid. Nilai derajat infeksi pada kedua jenis cacing pun cukup beragam, namun secara umum nilai derajat infeksi Ascarid lebih tinggi daripada Strongylid. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai TTGT adalah masa prepaten cacing, jumlah telur yang dihasilkan oleh cacing betina, jumlah cacing betina yang terdapat dalam inang definitif, dan sebaran telur cacing pada feses inang (Whitlock 1948). Toxocariasis, yang disebabkan oleh Toxocara sp, sangat umum ditemukan pada hewan karnivora khususnya felidae (Acharjyo 2004). Ciri khusus dari telur Toxocara yaitu bentuk telur subglobular, berwarna kecoklatan, isi telur tampak globular, dan memiliki kulit telur berupa lapisan albuminous yang tebal dan berlubang-lubang (Taylor et al. 2007). Cacing ini terdapat hampir di seluruh dunia dan sangat sulit dihapuskan dari daerah yang tertular. Seekor cacing betina dapat melepaskan sekitar 200.000 telur per hari, dan telur-telur ini dapat bertahan bertahun-tahun dalam feses hewan yang terinfeksi (Subronto 2006). Acharjyo (2004) mengatakan jenis Toxocara yang menyerang karnivora liar yang terdapat di daerah Asia adalah T. cati dan T. canis, namun hampir semua kasus kecacingan pada harimau disebabkan oleh T. cati. Bhattacharya et al. (2012) melaporkan infeksi cacing T. cati dalam jumlah besar ditemukan pada kasus kematian Harimau Benggala di Penangkaran Harimau Sundarban India. Pratiwi (2010) juga menemukan telur Toxocara pada Harimau Benggala dan Harimau Sumatera yang berada di beberapa kebun binatang Indonesia. Telur cacing Toxascaris leonina memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan telur Toxocara, namun telur Toxascaris memiliki bentuk yang lebih ovoid, berwarna transparan, dan kulit telurnya sedikit lebih tipis daripada telur Toxocara (Taylor et al. 2007). Cacing Toxascaris juga terdapat hampir di seluruh dunia dan umum ditemukan pada hewan karnivora. Infeksi cacing Toxascaris sering berhubungan dengan adanya infeksi cacing Toxocara sp, namun larva Toxascaris tidak mengalami migrasi seperti yang dilakukan oleh Toxocara (Taylor et al. 2007). Acharjyo (2004), Gonzalez et al. (2007), dan Pratiwi (2010) menyebutkan bahwa cacing T. leonina juga ditemukan pada Harimau Siberia di Rusia, pada Harimau Benggala dan Singa Afrika di India, serta pada Harimau Benggala dan Harimau Sumatera di Indonesia. Hookworm atau cacing tambang merupakan cacing parasitik yang umum ditemukan di manusia maupun hewan. Pada harimau, telur Ancylostoma sp. berukuran 60 - 70 x 34 - 40 µm, berbentuk oval, memiliki selubung telur tebal dan transparan, serta terdiri dari 8-16 blastomer (Gonzalez et al. 2007). Ukuran telur Ancylostoma yang didapat pada penelitian ini adalah 60–72 x 36 - 44 µm. Ukuran
12
telur A. caninum dan A. tubaeforme memiliki ukuran panjang 56-75 µm dan lebar 34-47 µm, namun A.caninum lebih umum ditemukan pada Canidae (Taylor et al. 2007). Melihat ciri-ciri morfometrik tersebut berdasarkan literatur, diduga telur Ancylostoma sp. pada penilitan ini adalah A. tubaeforme. Melihat nilai prevalensi dan derajat infeksi dari hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa kasus kecacingan pada Harimau Sumatera di TMR sangat tinggi dan patut diperhatikan. Semua harimau tidak menunjukkan gejala klinis kecacingan seperti lemas, tidak nafsu makan, atau depresi. Hal ini cukup membahayakan karena tanpa adanya gejala klinis ataupun perubahan sikap pada harimau, sulit bagi perawat satwa ataupun dokter hewan untuk mengetahui adanya infeksi cacing pada harimau-harimau tersebut. Hasil penelitian menunjukkan derajat infeksi Ascarid tertinggi terdapat pada harimau betina dan kelompok umur <5 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena rute migrasi dan penularan Toxocara dapat melalui plasenta (transplacenta) dan air susu (transmamamry) (Estuningsih 2005). Selain itu, kebiasaan induk harimau yang menjilati dan membersihkan tubuh anaknya dari urine atau feses juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi berulang. Infeksi Strongylid tertinggi ditemukan pada harimau jantan dan kelompok umur <5 tahun. Rute utama penularan dari Ancylostoma adalah melalui penetrasi ke kulit secara langsung oleh larva ke-3 (Soeharsono 2007), sehingga ada kemungkinan harimau jantan yang aktif berkeliling kandang display untuk menandai wilayahnya dan harimau muda yang memiliki aktivitas tinggi di dalam kandang dapat terinfeksi cacing tersebut. Harimau yang hidup di dalam penangkaran tidak dapat menunjukkan perilaku seperti menjelajahi wilayah dan berburu mangsa. Biasanya harimau ditempatkan di dalam kandang besi atau ditempatkan dalam suatu area terbuka yang dibuat menyerupai habitat alaminya. Telur atau larva cacing yang ikut keluar bersama feses harimau di dalam kandang dapat menginfeksi harimau kembali jika tidak sengaja tertelan saat harimau menjilat-jilat tubuhnya sendiri (grooming) atau meminum air yang tercemar oleh telur cacing. Pada kawasan TMR, area 1, 2, dan 4 adalah area utama, sedangkan area 3 adalah area perawatan/nursery. Secara umum, area utama terdiri dari kandang tidur dan kandang display. Kandang tidur pada tiap area rata-rata berukuran sama, beralaskan lantai semen, terdapat meja kayu sebagai alas tidur bagi harimau, bak kecil untuk air minum, dan berdinding tiang besi. Kandang display didesain menyerupai habitat alaminya, namun ukuran di setiap area berbeda. Terdapat pohon, rumput, sungai buatan, dan meja kayu besar atau pipa besar untuk tempat berteduh harimau. Setiap hari para perawat satwa membersihkan kandang, membuang feses atau urine yang mungkin ada dalam kandang, membersihkan lantai kandang dengan desinfektan, dan mengganti air minum dengan yang baru. Untuk kandang di area nursery, semua kandang didesain seperti kandang tidur. Area ini ditempati oleh banyak hewan selain harimau, seperti berangberang, singa, kapibara, kucing hutan, macan tutul, burung elang, dan burung kakatua. Tiap hewan ditempatkan di kandang yang berbeda namun berdekatan. Hal ini dapat meningkatkan risiko adanya penularan cacing antar hewan, baik spesies yang sama maupun berbeda. Semua jenis cacing yang ditemukan dalam penelitian ini berpotensi sebagai agen zoonosis. Cacing Ascarid menurut Taylor et al. (2007), serta cacing Ancylostoma menurut Subronto (2006) merupakan cacing parasitik yang dapat
13
menginfeksi manusia. Pada manusia, Toxocara sp. menyebabkan visceral larva migrans dengan gejala muntah-muntah, selain itu cacing ini juga dapat menyebabkan ocular larva migrans yang dapat berakibat kerusakan mata permanen (Estuningsih 2005). Hookworm berpotensi sebagai agen zoonosis yang merupakan penyebab utama kejadian cutaneus larva migran (CLM) pada manusia (Soeharsono 2007). Selain itu, pada manusia cutaneous larva migran dapat menyebabkan pruritis dan erythtrema pada kulit (Taylor et al. 2007). Kejadian cutaneus larva migran pada manusia lebih banyak menyerang anak-anak karena kebiasaannya bermain di tanah atau pasir. Transmisi utama cacing tambang pada manusia umumnya melalui kulit oleh larva ke-3. Oleh karena itu pencegahan penularan dapat dilakukan dengan cara memakai sepatu atau alat pelindung lainnya untuk mencegah kontak langsung antara kulit dengan alas kandang. Cacing parasitik dari kelas Cestoda dan Trematoda tidak ditemukan dalam penelitian ini. Cestoda membutuhkan inang antara seperti ikan, pinjal, tikus, reptil, dan burung dalam siklus hidupnya. Infeksi Cestoda pada kucing umumnya karena memakan inang antara yang mengandung larva infektif. Begitu juga dengan Trematoda yang membutuhkan siput sebagai inang antara, dan kucing terinfeksi karena memakan siput yang mengandung larva infektif (Levine 1978). Pemilihan anthelmintik yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis cacing yang menginfeksi agar proses pengobatan efektif. Pengobatan dan pengendalian dilakukan dengan pemberian anthelmintik selama tiga hari berturutturut, sedangkan untuk pencegahan dilakukan dengan pemberian anthelmintik setiap tiga bulan sekali. Cacing Toxocara, Toxascaris, dan Ancylostoma merupakan cacing Nematoda, sehingga jenis anthelmintik yang dapat diberikan adalah piperazine, fenbendazole, mebendazole, nitroscanate, pyrantel, avermectine, dan selamectine (Taylor et al. 2007). Dosis anthelmintik yang diberikan harus disesuaikan dengan perhitungan allometric scaling untuk dosis obat. Rovindran et al. (2006) menyebutkan pengobatan pada singa atau harimau yang terinfeksi Toxocara sp. dapat dilakukan dengan pemberian fenbendazole sebanyak 10 mg/kg berat badan per oral selama tiga hari berturut-turut.
SIMPULAN Jenis cacing yang ditemukan pada penelitian ini adalah Toxocara cati, Toxascaris leonina, dan Ancylostoma tubaeforme dengan nilai total prevalensi 96%, prevalensi Ascarid sebesar 96%, dan prevalensi Strongylid sebesar 68%. Derajat infeksi Ascarid tertinggi (10625 TTGT) terdapat pada harimau betina, sedangkan derajat infeksi Strongylid tertinggi (3650 TTGT) terdapat pada harimau jantan. Adapun kelompok umur yang memiliki derajat infeksi Ascarid (10625 TTGT) dan Strongylid (3650 TTGT) tertinggi terdapat pada kelompok umur <5 tahun.
14
SARAN Perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian kecacingan pada Harimau Sumatera di TMR agar kasus kecacingan dan derajat infeksi kecacingan pada Harimau Sumatera dapat berkurang. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis obat yang efektif sehingga dapat dipilih jenis anthelmintik yang tepat. Kesehatan, kebersihan, dan keamanan para perawat satwa serta dokter hewan juga patut diperhatikan agar tidak terjadi penularan cacing berpotensi zoonotik dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA Acharjyo LN. 2004. Helminthiasis in Captive Wild Carnivores and Its Control in India [ulasan]. Zoo’s Print Journal, 19(7): 1540 – 1543. Attenborough D. 2002. The Life of Mammals. London : BBC Books. Baker R. 2006. Husbandry Guidelines for The Tiger Panthera tigris (Mammalia: Felidae). Sydney: Western Instutute of Sydney. Bendryman SS, Tiffani FJ, Anwar C. 2011. Prevalensi Helmintiasis Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Harimau Benggala (Panthera tigris tigris) di Tiga Wilayah Konservasi yang Berbeda. Veterinaria Medika, Vol. 4, No. 3, November 2011. Bhattacharya S, Dutta B, Mondal U, Mukherjee J, Malay M. 2012. Helminthiasis in a Bengal Tiger (Panthera tigris tigris) – A Case Report [komunikasi singkat]. Anim. Med. Res., 2(2): 184 – 188. [BLUD TMR] Badan Layanan Umum Daerah Taman Margasatwa Ragunan (ID). 2011. Profil Perusahaan Taman Margasatwa Ragunan. Jakarta: BLUD Taman Margasatwa Ragunan. Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa. 15(3). Fowler ME, Miller RE. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine. Edisi ke-5. USA: Saunders. Gonzalez P, Carbonell E, Urlos V, Rozhnov VV. 2007. Coprology of Panthera tigris altaica and Felis bengalensis euptilurus From the Russian Far East. J. Parasitol, 93(4): 229-231. Hamaide B, Sheerin J, Tingsabadh C. 2007. Natural Reserve Selection for Endangered Species Considering Habitat Needs: The Case of Thailand. dalam CC Pertsova. Ecol Econom Research Trends: 207-229. New York: Nova Science Publishers, Inc. Koesdarto S, Mahfudz, Mumpuni S, Kusnoto. 2000. Perbedaan Struktur dan Morfologi Diantara Telur Cacing Toxocara. Jurnal FKH Unair Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Kusumawati D, I Komang WD. 2011. Bahan Ajar Satwa Liar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
15
Levine ND. 1978. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Textbook of Veterinary Parasitology. MacDonald D, Loveridge A. 1986. The Biology and Conservation of Wild Felids. New York: Oxford University Press. MacKinnon K. 1992. Nature’s Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardianto, penerjemah; Noerhajati Soeripto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites Fifth Edition. Pratiwi U. 2010. Infestasi Cacing Parasitik Pada Harimau (Panthera tigris) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas, Kebun Binatang Bandung, dan Taman Safari Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ravindran R, Lakshmanan B, Anoop S, Rajeev TS, Dinesh CN. 2006. Parasitic Infection in Captive Lions (Panthera leo) at Wayanad. Zoo’s Print Journal 21(4): 2230. Seidensticker J. 1996. Tigers. Stillwater: Voyageur Press, Inc. Shaikenov BS, Rysmukhhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, dan Torgerson PR. 2004. Shot report : The use of a polymerase chain reaction to detect Echinococcus granulosus (GI Strain) egg in soil sample. American Journal of Tropical Medicine Hygiene. 71(4): 441-443. Shirbate MV. 2008. Quantification of Predation and Incidence of Parasitic Infestation in Melghat Tiger Reserve With Special Reference to Tigers (Panthera tigris). The Ecoscan, 2(2) : 229-235. Singh NP, Somvanshi R. 1978. Paragonimus westermanii in Tigers (Panthera tigris) in India. Journal of Wildlife Disease, Vol. 14. Singh S, Shrivastav AB, Sharma RK. 2010. Prevalence of gastrointestinal parasites in big cats in Van Vihar National Park, Bhopal. Indian Journal of Veterinarian Parasitology. http://www.indianjournals.com [29 Juli 2013]. Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotic pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta (ID): Kanisius. Soulsby EJL. 1986. Helminth, Artropods, and Protozoa of Domestic Animals. Bailliere Tindall and Cassell: London. Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarja (ID): Gadjah Mada University Press. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Edisi ke-3. UK: Blackwell Publishing. Whitlock HV. 1948. Some modification of McMaster helminth egg counting techniques and apparatus. Journal of The Council for Scientific and Industrial Research. 21(1):128-130. Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH. 1998. A new technic for counting Schistosoma japonicum egg in pig feces. Southeast Asian Journal Tropical Medicine Public Health. 29(1): 128-130.
16
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 11 April 1992 sebagai anak ke-4 dari 4 bersaudara pasangan Eduarny Tarmidji dan Uum Sumarni. Penulis menempuh pendidikan di SD Pelita pada tahun 1997-2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 85 pada tahun 2003-2006 dan di SMAN 28 pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Profesi Satwaliar (2011-2012). Penulis juga aktif penjadi panitia kegiatan dalam maupun luar kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan” di bawah bimbingan Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Drh Syafri Edwar.