Industri Strategis Gula dan Tembakau di Jawa Timur Prof. Kabul Santoso Pendahuluan Unit Usaha Strategis (UUS) yang utama di Jawa Timur adalah gula dan tembakau, yaitu unit usaha yang mempunyai ciri padat karya dan padat modal. Unit usaha ini menurut Departemen Perindustrian termasuk 10 (sepuluh) besar industri di Indonesia (2005) di antara unit usaha lainnya, antara lain industri primer pertambangan dan pertanian lainnya serta industri jasa rumah sakit/industri jasa kesehatan dan pendidikan (masih perlu dikaji ulang apakah merupakan UUS) belum berkembang secara optimal. Selain dari pada itu beberapa industri sekunder yaitu unit usaha manufaktur (manufacturing) yang belum berkembang namun dirancang pada suatu saat akan memberikan hasil yang menguntungkan, paling tidak komplementer dengan keperluan perusahaan, misalnya: kerjasama (shareholder) usaha lainnya (pupuk kompos, produk kerajinan kayu, dan lain sebagainya). Khusus untuk UUS gula dan UUS tembakau merupakan sistem usaha agribisnis yang menjadi unggulan di wilayah Jawa Timur. Sistem usaha ini perlu dikelola secara efisien, cerdas (smart), berkelanjutan (sustain) dan bernuansa global (global orientation). Bungaran Saragih (2008), menyatakan bahwa “kebijakan agribisnis mempunyai hubungan yang erat dengan politik agribisnis, dimana politik agribisnis itu sendiri terdapat campur tangan pemerintah dalam bidang agribisnis.” Selanjutnya dikatakan “jika berbicara tentang kebijakan agribisnis, maka konteks dari kebijakan tersebut harus memasukkan paradigma dengan modifikasi yang sesuai dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat Indonesia.” Kultur dari kedua unit usaha ini telah terbentuk semenjak jaman kolonial hingga saat ini, kultur baik yang menyangkut budidaya maupun pemasaran telah mengalami perubahan. Pada zaman kolonial kualitas produk mutlak di bawah kontrol perusahaan demikian juga pasar berstruktur monopoli, pemerintah kolonial memberikan dukungan sepenuhnya terhadap keberadaan komoditas gula dan tembakau yang berorientasi ekspor, dunia menerima komoditas tersebut sebagai mata dagang penting. Pada jaman abad 21 telah terjadi perubahan besar, konsep keunggulan komperatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) diberlakukan
R1_Refleksi AGB.indd 137
07/04/2010 19:04:17
138
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
oleh pasar dunia (world market). Perlindungan terhadap konsumen sebagai dampak negatif yang timbul akibat mengkonsumsi komoditas tembakau dilakukan, bahkan ada larangan untuk merokok atau meminum cerutu disegala tempat, permintaan menurun akibat perang terhadap tembakau dicanangkan semenjak akhir abad 20. Selain daripada itu juga, cita rasa (taste) konsumen tembakau berubah dari cerutu besar (cigar) menjadi cerutu kecil (cigarrolos), akibatnya banyak perusahaan pabrik cerutu melakukan penggabungan (merger). Keseluruhannya ini mengakibatkan struktur pasar tembakau berubah menjadi oligopsoni (buyer market), gejala perubahan kultur dan struktur pengelolaan dan pasar tembakau ini dirasakan oleh pelaku bisnis semenjak akhir abad 20. Undang-Undang yang mengatur tentang komoditas tebu dan tembakau juga berubah, peraturan perundangan yang mengatur budidaya tanaman, pengelolaan, dan kelembagaan khusus komoditas tebu dan komoditas tembakau diberlakukan untuk menata dan mengatur komoditi perdagangan termasuk kedua komoditas tersebut (UU No. 12/1989, Inpres No. 9/75 dlsb.). Khusus untuk komoditi gula, kalau jaman kolonial masih berorientasi ekspor maka semenjak akhir abad 20 hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri itupun tidak cukup. Lahan persawahan di Jawa mengalami perubahan, terkonversi menjadi lahan industri (radius 60 km dari pusat kota/pusat industri), rata-rata setiap tahun sekitar 1000 ha terkonversi menjadi perumahan atau pangkalan industri. Kualitas tebu menurun, rendemen menurun, petani bebas menanam komoditi apa saja yang dianggap menguntungkan. Impor gula jenis raw sugar dan atau sejenisnya serta gula rafinasi dari luar negeri dapat menurunkan harga tebu di tingkat petani, sementara itu pabrik gula memerlukan bahan baku tebu dari petani yang memiliki kebebasan memilih komoditi yang dianggap lebih menguntungkan. Tarik menarik antara keinginan untuk mendorong industri gula dengan komponen kemitraan petani penanam tebu menjadi mampu bersaing dengan gula impor memerlukan kecermatan tersendiri dalam antisipasinya, kalau salah antisipasi maka pabrik gula dan tebu rakyat menjadi tidak efisien, akibatnya tidak memiliki keunggulan komparatif dan atau keunggulan kompetitif. Perubahan-perubahan ini perlu dipikirkan dan diantisipasi secara cerdas, efisien, dan strategis agar kedua komoditas ini menjadi komoditi strategik yang menghasilkan keuntungan (profit oriented) yang mampu memperkuat anggaran pendapatan negara. Khusus untuk provinsi Jawa Timur, perlu pembuatan berbagai macam exercise agar dapat menguasai bahan baku tebu
R1_Refleksi AGB.indd 138
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
139
maupun tembakau, menguasai pasar lokal maupun dunia, sehingga dapat memiliki keunggulan. Walaupun peluangnya kecil, dengan berpikir cerdas, strategik, dan efisien diharapkan dapat menghasilkan pengelolaan profesional dan mengembalikan komoditas ini sebagai penghasil pendapatan negara dan devisa.
Unit Usaha Strategis sebagai Konsep Bisnis Unit Usaha Strategis (Strategic Business Unit), merupakan unit usaha yang tujuan utamanya mencari keuntungan (profit orientation). Satu perusahaan yang sudah menyatakan dirinya memiliki unit usaha strategis, berarti unit usaha tersebut harus menghasilkan keuntungan. Keuntungan akan dapat dicapai dengan cara seluruh penerimaan dikurangi dengan seluruh biaya yang dikeluarkan. Artinya, Profit = total revenue (harga menurut kualitas x produk menurut kualitas) - total biaya (biaya tetap + biaya variabel + biaya lain). Pengelolaan usaha tersebut harus menekankan pada efisiensi, antisipasi pada setiap perubahan yang diduga timbul dan berpengaruh terhadap dunia usaha, misalnya perubahan hukum/peraturan perundangan, perubahan lingkungan politik, perubahan lingkungan usaha, perubahan lingkungan sosiol kultural, perubahan sumberdaya alam, aliran modal dan sumberdaya manusia (natural, capital, and human resources), perubahan global (pasar atupun jaringan usaha dan jaringan ilmu pengetahuan). Pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan (termasuk UUS Gula dan Tembakau) menurut Bungaran Saragih (2008) memiliki 4 (empat) hal berikut: 1) berdaya saing, antara lain berorientasi pasar, meningkatkan pangsa pasar khususnya pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah; 2) berkerakyatan, antara lain dengan mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai rakyat banyak, menjadikan organisasi ekonomi dan jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama pembangunan agribisnis sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat banyak; 3) berkelanjutan, antara lain memiliki kemampuan merespon perubahan pesat yang cepat dan efisien, berorientasi kepentingan jangka panjang, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup; 4) desentralisasi, antara lain berbasis pada pendayagunaan keragaman sumberdaya lokal, berkembangnya pelaku ekonomi lokal, memberdayakan pemerintah daerah sebagai pengelola utama pembangunan agribisnis, dan meningkatkan bagian nilai tambah yang dinikmati rakyat lokal.
R1_Refleksi AGB.indd 139
07/04/2010 19:04:17
140
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Efisiensi dapat dicapai apabila analisis biaya (baik biaya tetap maupun biaya variabel serta biaya lainnya) dilakukan secara cermat dan melakukan exercise bagaimana cara menurunkan biaya (reduce cost) tanpa mengurangi hasil (kualitas atau kuantitasnya), misalnya mengurangi/menurunkan atau menghilangkan biaya sosial, biaya tak terduga (biaya siluman), dan biayabiaya yang diketahui akan memperbesar total biaya yang seharusnya tidak terjadi dan dapat dihindari, atau membuat pilihan-pilihan serta tindakan yang tidak membebankan tambahan biaya. Sisi yang lain adalah memperbesar pendapatan, meningkatkan harga, dan memperbaiki kualitas produk, serta membangun sistem pasar yang lebih meningkatkan penerimaan baik dengan cara membuat segmentasi pasar (market segmentation) dengan kualitas dan harga yang berbeda, perbedaan pasar (market differentiation), perluasan pasar (market expandtion), dlsb. Tujuan utamanya adalah memperbesar pendapatan dari komoditi tersebut. Bahkan kalau perlu membuat perubahan mendasar yang strategis dan taktis agar dapat memberikan keuntungan pada perusahaan yang terkait. Upaya meningkatkan keuntungan ini dilakukan dengan cara mampu menyusun strategi untuk memenangkan persaingan (harus memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif) serta memuaskan pelanggan, artinya selalu mencermati dan mengamati setiap perubahan citarasa pelanggan, serta perilaku pelanggan (consumer behaviour). Gula merupakan komoditi pangan untuk supply kebutuhan lokal, jejaring kemitraan dengan petani sebagai penyedia bahan baku perlu dibangun untuk menumbuhkan kesetiaan (loyality), jejaring kemitraan yang dibangun perlu ada prinsip solusi yang saling menguntungkan (win-win solution), kualitas yang terjamin (quality assurance), keberlanjutan (sustain), sehingga ada jaminan keberlangsungan usaha strategis tersebut (continuity). Khusus untuk tembakau cerutu yang pasarnya ditentukan oleh pembeli (buyer market), pelayanan kebutuhan produsen cerutu atas tembakau sebagai bahan baku seharusnya ditanyakan kepada pabrikan yang membutuhkan tersebut dengan memberikan pertanyaan strategis, misalnya: (1) tembakau apa yang menjadi kebutuhan pembeli/pelanggan (what do you want)?; (2) berapa besar kebutuhan anda untuk jenis dan kualitas tembakau yang pembeli/ pelanggan perlukan (how much do you need)?. Dengan pertanyaanpertanyaan tersebut diharapkan akan mampu memuaskan pelanggan. Sementara itu industri rokok yang berbasis tembakau jenis voor oogst memerlukan perbaikan kualitas bahan baku baik berupa pemurnian varitas,
R1_Refleksi AGB.indd 140
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
141
budidaya tanam yang sesuai dengan kesesuaian lahan dan klimat serta berbagai tata cara tanam yang memenuhi persyaratan good tobacco practices. Perbaikan kualitas juga dilakukan dengan perbaikan prosesing (termasuk fermentasi) sehingga menghasilkan bahan baku seperti yang dibutuhkan oleh industri rokok (industri hasil tembakau). Komoditi strategis tersebut memerlukan proses kerja yang selalu memperhatikan prasyarat penempatan orang yang tepat (right sizing), jumlah tenaga kerja yang didasarkan keseimbangan antara kebutuhan dan pembiayaan (bezetting dan begrooting formatie). Prinsip pengawasan merupakan prinsip penting yang harus dilakukan oleh management, agar pengawasan yang dilakukan di setiap pekerjaan tepat dan efisien diperlukan adanya prosedur standar operasi (standard operating procedure) yang mampu memberikan petunjuk alur kerja dari satu titik ke titik lain tanpa terlewatkan, sehingga memudahkan pengawasan dan analisis biaya pada setiap aktivitas kerja. Kontrol internal (Internal control), kontrol keuangan yang menyangkut biaya dan penerimaan (financial control), kontrol prosedur dan proses pekerjaan (job procedure and processing control), dan kontrol managemen (management control) sangat diperlukan untuk mencapai efisiensi dan peningkatan keuntungan usaha di setiap UU Strategis. Walaupun di luar operasional management ini masih ada pengawasan dari luar perusahaan (Akuntan, BPKP, BPK, dan Akuntan Publik), jika internal control sudah berfungsi dengan baik, maka akan memperkecil tingkat kesalahan manajemen usaha. Unit usaha strategis termasuk agribisnis memerlukan disiplin tinggi dari para pelaku bisnis yang ada di dalamnya, berpikir dan bertindak profesional, berharga untuk bisa dipercaya (trustwortheness), jujur (honest), antisipatif terhadap perubahan dengan profesional dan matang serta berfikir positif (positive thinking), memiliki kemampuan kerjasama horizontal maupun vertikal, mempunyai kemampuan analisis, dan berpandangan ke depan.
Unit Usaha Strategis Gula Sistem pergulaan nasional mengindikasikan gejala tarik menarik antara keinginan untuk mendorong industri gula dengan komponen kemitraan petani penanam tebu dan seluruh kelembagaannya yang terkait menjadi mampu bersaing dengan gula impor. Pemerintah dan stakeholder masyarakat pergulaaan memerlukan kecermatan tersendiri dalam antisipasinya, kalau salah antisipasi maka pabrik gula dan tebu rakyat menjadi tidak efisien, akibatnya tidak memiliki keunggulan komparatif dan atau keunggulan kompetitif.
R1_Refleksi AGB.indd 141
07/04/2010 19:04:17
142
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Perubahan-perubahan ini perlu dipikirkan dan diantisipasi secara cerdas, efisien, dan strategis agar komoditi ini menjadi komoditi strategik yang menghasilkan keuntungan (profit oriented) bagi pelaku sistem pergulaan dan mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negeri selain memperkuat anggaran pendapatan negara. Keseluruhan perubahan-perubahan tersebut tidak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang menjadi penentu perubahan struktur pergulaan dalam antisipasi perubahan global. Konsumsi gula di Indonesia tinggi, tahun 2002 kebutuhan gula sekitar 3, 5 juta ton sedang pabrik gula hanya menghasilkan sekitar 2,2 juta ton, impor gula tahun tersebut sekitar 1,3 juta ton. Tahun 2003 produk gula menurun sekitar 15 %, sehingga produk gula hanya sekitar 1,8 atau 1,9 juta ton. Sementara itu penyediaan gula nasional dua tahun trakhir 2007-2008 (AGI 2008) melebihi kebutuhan, terjadi over supply disebabkan oleh impor gula yang melebihi kebutuhan, tidak efektifnya kebijakan separasi gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk bahan baku industri makanan dan minuman berskala besar dan menengah diperjualbelikan secara bebas untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Tebu bukan lagi menjadi tanaman primadona yang dapat mendatangkan keuntungan bagi petani. Perubahan penguasaan lahan juga terjadi, karena petani-petani dengan skala usaha kecil yang tidak mencapai break even point, maka lahan usaha terkonsentrasi menjadi lahan usaha yang luas sampai dengan sangat luas, lahan bukan lagi dikuasai oleh petani melainkan dikuasai oleh pemilik modal atau terkenal dengan sebutan petani berdasi, akibatnya efisiensi usahatani tidak atau kurang efisien (biaya produk dan biaya transport makin tinggi). Petani berdasi lebih banyak mengendalikan usahatani dengan mengelola menjadi bisnis (business farm), karena walaupun keuntungan kecil tetapi lahan usaha yang dikelola luas, kebebasan menjual tebu kepada pabrik gula yang memberikan keuntungan tinggi yang dipilih untuk melepas bahan baku yang dimilikinya (mobilitas tebu antar wilayah tinggi). Hal ini agak berbeda dengan petani tradisional yang masih memiliki loyalitas terhadap pabrik atau pemerintah. Jumlah petani berdasi ini bisa menguasai lahan sekitar 40 s.d. 50 persen, akibatnya pasokan bahan baku terhadap pabrik menjadi berkurang. Sementara itu akibat harga jual tebu rendah petani mengurangi produk tebunya sehingga pabrik kekurangan bahan baku. Bahan baku (raw sugar) didatangkan dari luar negeri (Thailand). Lingkaran setan ini menjadi sulit dipecahkan, apakah usahatani tebu yang tidak efisien? Pabrik gula yang sudah tidak efisien lagi berproduksi? Ataukah impor gula yang menguntungkan pedagang tetapi merugikan petani dan pabrikan? atau keseluruhan sistem kebijakan pergulaan yang harus dibenahi?!
R1_Refleksi AGB.indd 142
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
143
Masalah-masalah yang terungkap di atas adalah merupakan masalah pokok unit usaha strategis gula, bagaimana mengatasinya? Sangat tergantung pada analisis yang tekun dan cermat serta cerdas untuk mencari peluang keluar dari permasalahan. Analisis strategis perlu dilakukan dan bagi siapa yang mampu menemukan peluang mengatasi permasalahan di atas diberikan reward yang memadai. Pemecahan masalah di atas diharapkan dapat memberikan harapan (opportunity) keuntungan terhadap unit usaha strategis. Exercise analisis tidak saja dilakukan internal perusahaan dan global market serta kinerja yang diawasi cermat apakah mengikuti standar operating procedur atau tidak, namun juga analisis lingkungan (external aspect) yang sudah berubah perlu dilakukan secara terpadu. Apakah ada proteksi yang mampu memproses persiapan agar pabrik gula yang ada efisien dan petani mampu secara kelembagaan mencukupi kebutuhan bahan baku pabrik gula yang ada? persaingan antara importir gula dan produsen gula dalam negeri apa perlu dikomitkan agar tidak saling membunuh melainkan saling komplementer, sehingga era global tidak menghentikan perkembangan produk dalam negeri dan berusaha memecahkan permasalahan yang timbul. Kebijakan pergulaan Indonesia memberikan indikasi perdebatan konsep yang tidak ada hentinya antara penganut faham liberalisasi pasar dengan faham proteksi pasar yang memberikan perlindungan kepada petani dan produsen gula, sehingga terjadi perubahan-perubahan kebijakan secara mendasar yang mengikuti “pergulatan” antar konsep. Bungaran Saragih (2008) menekankan bahwa agribisnis kita masih membutuhkan proteksi dan promosi dari pemerintah selama negara-negara produsen produk pertanian masih tetap memberikan proteksi dan subsidi yang berlebihan terhadap petaninya. ”Pergulatan antar konsep” tersebut dapat diikuti dari berbagai kebijakan transformasi pergulaan yang tercermin dari perilaku perdagangan gula dan berbagai kebijakan yang disusun oleh pemerintah. Kebijakan pergulaan sebelum tahun 1975 lebih bersifat monopolistik karena mulai produksi bahan baku, prosesing sampai dengan tataniaga gula, dan harga ditangani oleh pemerintah dan BUMN yang mengelola pabrik gula. Sejak tahun 1975 (awal orde baru) kebijakan berubah dengan mengikutsertakan petani sebagai penyedia bahan baku tebu, artinya kewenangan monopolistik BUMN mulai dikurangi. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (Inpres No. 9/1975) dan kebijakan pendukungnya, antara lain pemberian perlindungan total pasar domistik termasuk kebijakan harga provenue dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten. Perubahan kebijakan ini lebih bersifat perubahan struktur dari monopolistik menjadi lebih terbuka karena keikut
R1_Refleksi AGB.indd 143
07/04/2010 19:04:17
144
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
sertaan petani dalam sistem produksi. Kebijakan dalam transformasi dari monopolistik menuju pasar bebas. Program tersebut semenjak tahun sembilan puluhan (Warta AGI, Agustus 2004) mendapat kritik yang cukup tajam oleh penganut faham liberal yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah sebelum tahun sembilan puluhan merupakan program yang kurang berhasil dalam menyejahterakan petani, memberatkan konsumen dan menjadi sumber utama ketidakefisienan. Sistem produksi pergulaan juga dirubah dari Inpres 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) menjadi sistem yang diatur oleh UU No. 12 tahun 1992, yaitu memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman apa saja terhadap lahan yang dikuasainya. Kritik yang diberikan oleh faham liberal dengan melakukan berbagai regulasi tersebut mengakibatkan pemerintah merubah kebijakan pergulaan dengan memperhatikan rekomendasi International Monetary Funds (IMF). Dalam pelaksanan regulasi tersebut mempunyai efek sampingan yang sangat dirasakan semua komponen pergulaan nasional, yaitu meningkatnya impor dan penyelundupan gula yang merugikan baik kepada petani maupun produsen gula nasional. Selain daripada itu, sistem produksi juga mengalami kemerosotan, karena petani tebu lebih menitik beratkan penerimaan tanpa memperhatikan kualitas, sehingga keprasan yang semula tiga kali kemudian dibongkar menjadi tanaman baru berubah menjadi keprasan berkali kali sampai bisa lima belas bahkan duapuluh kali, artinya sangat kontra produktif (pabrik gula semakin tidak efisien dan rendemen semakin menurun). Krisis ekonomi sejak tahun 1997 telah mengubah sistem pergulaan secara mendasar, antara lain apabila sebelumnya mekanisme pergulaan dikendalikan oleh pemerintah lewat Bulog berubah diserahkan pengendaliannya kepada sistem pasar (1998). Harga gula internasional yang tinggi pada tahun 1998 tidak dapat bertahan lama, bahkan ada kecenderungan menurun terus terutama karena adanya perubahan tarif yang rendah mendekati 0 % s/d 5 %. Harga gula dalam negeri tidak memiliki daya saing akibat produktivitas, rendemen yang rendah dan biaya produksi tinggi, harga gula dalam negeri relatif tinggi dibandingkan harga gula produk negara tetangga (Philipina, Thailand, India dan Australia). Akibat langsung penurunan harga gula internasional ini adalah petani dan produsen gula (PG) ”terpukul” karena ”belum siap” jika diserahkan pasar bebas. Keterpurukan petani tebu dan produsen gula akibat penurunan harga internasional dan penyerahan pada mekanisme pasar bebas ternyata memberikan bukti bahwa sistem pergulaan masih sangat memerlukan
R1_Refleksi AGB.indd 144
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
145
campur tangan pemerintah. Jika campur tangan pemerintah tidak dilakukan, dikhawatirkan pada saat perdagangan bebas berlaku baik untuk ASEAN maupun APEC ”sistem pergulaan Indonesia belum siap”. Kondisi ini memberikan indikasi apabila tidak ada pembenahan, sistem pergulaan Indonesia tidak memiliki daya saing, artinya hanya menjadi negara pengimpor bahan pangan (gula dan beras) dari negara tetangga saja, karena tidak memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kebijakan transformasi pergulaan melalui Inpres No. 5/1997 juncto Inpres No. 5/1998 yang mengutamakan pola kemitraan dan kemudian dijabarkan dalam Program Akselerasi Produktivitas, belum memberikan solusi terbaik untuk menjawab tantangan globalisasi perdagangan, sehingga apabila tidak diantisipasi dengan cermat akan berdampak semakin terpuruknya industri gula Indonesia. Petani menuntut kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan yang mampu meningkatkan daya saing pergulaan di Indonesia, baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Tuntutan petani dan produsen gula ini merupakan indikasi perubahan dasar struktur liberal untuk kembali ada campur tangan pemerintah. Perbaikan sistem pergulaan melalui berbagai peraturan perundangan yang berlaku adalah sebagai wujud campur tangan pemerintah, berupa sistem produksi tebu dan sistem produksi gula nasional serta tataniaga gula yang dituntut petani dan produsen gula baru akan dilaksanakan secara intensif, namun terancam gagal apabila terjadi perubahan sistem yang menekankan pada pasar bebas. Lebih dari itu, kemungkinan ancaman akan diadakan regulasi baru oleh penganut liberalisasi ekonomi muncul lebih cepat, sementara petani dan produsen gula ”belum siap”, kemungkinan baru siap pada tahun 2007-2010, itupun apabila ada konsistensi dan kedisiplinan pelaksanaan program perbaikan sesuai dengan perencanaan pemerintah, pabrik gula, dan petani. Gejala akan diadakan regulasi baru oleh penganut liberalisasi ekonomi semakin menggaung, sehingga menimbulkan kekhawatiran petani dan seluruh komponen pergulaan bahwa regulasi sistem pasar bebas akan dilaksanakan sebelum sistem pergulaan siap. Gejala yang timbul tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pejabat pemerintahan termasuk pemerintahan propinsi Jawa Timur. Para pelaku sistem pergulaan nasional, utamanya petani tebu dan pabrik gula pada dasarnya tidak keberatan dilakukan liberalisasi ekonomi atau
R1_Refleksi AGB.indd 145
07/04/2010 19:04:17
146
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
liberalisasi pasar, asal sistem pergulaan nasional sudah siap dan memiliki daya saing, misalnya produktivitas tebu yang relatif tinggi (lahan tegal 900 kw/ha), rendemen yang tinggi (10% atau lebih), dan pabrik yang efisien, dan kelembagaan yang efektif. Selain itu juga, ada tatanan yang mampu menggambarkan berapa kebutuhan gula dalam negeri yang sebenarnya, jenis dan peruntukan gula yang dibutuhkan pasar dalam negeri. Dugaan sementara para pelaku sistem pergulaan nasional, paling cepat tahun 2007 dan paling lambat tahun 2010 gula produk dalam negeri memiliki daya saing. Estimasi produksi dan konsumsi gula dunia menurut ISO (2004) untuk tahun 2004 menggambarkan surplus, produksi gula dunia diperkirakan 146,99 juta ton sedangkan konsumsi gula dunia 145,616 juta ton, berarti masih ada surplus 1,37 juta ton. Berdasarkan angka-angka di atas maka apabila harga gula internasional relatif rendah (cenderung turun) adalah karena perilaku supplai dan permintaan gula dunia. Informasi di atas memberikan gambaran tentang surplus produk gula dan menurunnya harga gula dunia, oleh karena itu pengimpor gula dunia (termasuk Indonesia) apabila tidak hati-hati dalam sistem pergulaan nasional akan menjadi pengimpor permanen dan sulit untuk tumbuh kembali menjadi negara produsen gula yang memiliki daya saing. Peningkatan gula impor ilegal dan penyelundupan di Indonesia kemungkinan kondisi perdagangan gula dunia di atas yang dimanfaatkan keliru. Negara tetangga (Regional Asean) penghasil gula yang surplus dan mampu diekspor ke negara lain adalah Thailand, Vietnam dan Philipina. Ketiga negara penghasil gula yang surplus tersebut yang paling kuat Thailand, sebab Vietnam mencoba untuk merestrukturisasi tiga pabrik gulanya karena menderita kerugian terus menerus. Sedangkan Philipina pada tahun 1995 mengimpor 816.668 metrik ton gula mentah dan gula rafinasi dengan biaya yang cukup besar. Hal ini menjadi tantangan dalam mencapai swasembada gula yang merupakan tujuan utama Philsurin. Akhirnya Pilipina pada tahun 2004 mampu mencapai produksi 2.16 juta metrik ton, kini Philipina menjual sisa produksinya (ekspor) ke Jepang, China, dan Korea Selatan. Menurut informasi keberhasilan Philipina adalah akibat meningkatnya produktivitas lahan, tahun 2003-2004 peningkatannya lebih dari 5 %, keberhasilan tersebut dicapai karena program akselerasi peningkatan produksi yang dicanangkan sebelumnya dapat diterapkan. Salah satu faktor yang mampu meningkatkan produktivitas adalah diketemukannya bakteri peningkat pertumbuhan tanaman (Plant Growth Promotion Bacteria). Selanjutnya Philipina mampu
R1_Refleksi AGB.indd 146
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
147
merespon tantangan perdagangan bebas untuk menekan biaya produksi untuk mendapatkan harga yang kompetitif dengan negara pengekspor lainnya. Thailand adalah negara tetangga yang memiliki daya saing tinggi di perdagangan gula global, bahkan bisa dikatakan sebagai negara eksportir besar di Asia. Hal ini diindikasikan dengan ekspor Thailand ke Indonesia, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang. Studi banding ke Thailand memberikan informasi antara lain: (1) luas areal tanam 6,35 juta hektar, total produksi tebu 55-74 juta ton, anggota koperasi petani tebu 90.000 orang; (2) produktivitas tebu rata-rata 9,2 ton/ha, rendemen rata-rata 10-11; (3) koperasi petani tebu bertanggung jawab dan memelihara hubungan baik untuk memanfaatkan pabrik gula terutama dalam hal persetujuan perluasan tanaman tebul (3) penyedia dana operasional dan pemeliharaan institusi koperasi yang dibentuk tidak lebih dari 1 % dari harga tebu rata-rata sekitar 24 baht/ton tebu (harga gula berkisar antara 523,97-530,97 baht per ton tebu); (4) tata niaga gula diatur ”sugar cane and sugar act tahun 1984”; (5) petani tebu merupakan mitra pengurus organisasi yang bertanggung jawab dalam memecahkan masalah dan membimbing kedua pihak (petani tebu dan pabrik gula) mulai dari tingkat daerah sampai pusat Dua kasus Philipina dan Thailand memberikan pelajaran berharga dan mendorong Indonesia untuk membuat pilihan-pilihan dan cerdas dalam mengantisipasi perdagangan internasional terutama gula, nampaknya Indonesia masih memiliki peluang untuk mengembangkan komoditi gula yang mempunyai sejarah cukup baik dalam perdagangan internasional. Menteri Pertanian pada tanggal 25-26 Juli 2003 melakukan pertemuan dengan para Duta Besar dan Kuasa Usaha Ad Interim sebagai perwakilan RI di 10 negara produsen/eksportir gula dunia di Bangkok (Warta Agi, Agustus 2003), beberapa hasil penting antara lain (1) tujuh dari sepuluh negara menerapkan pembatasan impor dengan kuota, tarif, bea masuk tambahan, pengaturan pasokan gula domistik atau kombinasi. Brazilia, Australia, dan Jepang tidak menerapkan instrumen pembatasan impor, namun memberikan dukungan besar infrastruktur; (2) beberapa negara seperti Brazil, Mesir, Australia, Jepang, Kuba, dan India telah melakukan program untuk mensiasati harga gula yang cenderung menurun, melalui pengembangan produk turunan gula seperti alkohol dsb;(3) hampir seluruh negara memberikan dukungan penelitian untuk menunjang peningkatan produktivitas; (4) Beberapa negara khususnya China, Jepang, Brazilia, Australia dan India melaksanakan rasionalisasi industri gulanya melalui berbagai program, seperti privatisasi,
R1_Refleksi AGB.indd 147
07/04/2010 19:04:17
148
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
penutupan industri yang tidak efisien, merger dst;(5) Philipina, Fiji, dan beberapa negara lainnya aktif melakukan upaya memasukkan gula dalam kelompok komoditi strategis pada forum WTO atau sensitive list pada forum NAFTA; (6) hampir seluruh negara mempunyai kebijakan pembangunan industri gula nasional yang komprehensif, saling terkait dan konsisten; (7) semua negara mempunyai ”lembaga pergulaan” nasional yang menangani perumusan dan implementasi kebijakan dan program untuk melindungi dan memajukan industri gula domistiknya. Pembangunan industri gula di India antara lain; (1) gula merupakan komoditi strategis yang dilindungi, pemerintah mengatur suplai dan permintaan yang ada di tingkat pasar; (2) dalam pembangunan pabrik gula negara bagian Maharashtra berpartisipasi dalam kepemilikan modal sebesar 30% dan sisanya 10% dari petani dan 60% modal perbankan atau investor; (2) pemerintah negara bagian menanggung pajak bagi pendirian pabrik gula baru selama 5 tahun; (3) Maharashtra memberikan subsisi ekspor gula sebesar Rp.100-250/kuintal gula atau setara Rp.200-Rp.500, per kg gula; (4) pemerintah melalui sebuah committee mengatur harga akhir tebu, harga tebu minimum dan menentukan stok gula, contoh: harga gula di pasar lokal US$ 27-32 setara dengan Rp.2.700-Rp.3.200/kg, sedangkan harga ekspornya US$ 18 setara dengan Rp.1.800/kg , adapun harga pokok produksi US$ 1520 per kuintal atau setara dengan Rp.1.500-Rp.2.000 per kg. Sementara itu pemerintah pusat India mempunyai kewenangan dalam hal perijinan usaha pabrik gula, penetapan harga minimal tebu, distribusi dan penjualan gula, kebijakan impor dan ekspor gula, stok penyangga gula, insentif bagi pabrik gula dan dana pengembangan gula (Sugar Development Fund Act) dana untuk melakukan rehabilitasi terhadap pabrik gula yang tidak efisien lagi. Pelajaran berharga yang didapatkan adalah Jawa Timur menyampaikan usulan perubahan mendasar dalam pengadaan bahan baku tebu (meningkatkan produktivitas dan kualitas) dengan cara ”bongkar ratoon” yang didanai dari APBN dan bekerjasama dengan P3GI, N10 dan N11 serta PT Rajawali dan PTKBA dalam pengadaan bibit. Antisipasi strategis baik dari pemerintah c.q. Departemen Pertanian/Perkebunan, pemerintah Propinsi Jatim terhadap kebijakan perbaikan bahan baku tebu dan kemudian diantisipasi pabrik menuju ke produk yang efisien, yaitu penghargaan perbaikan produksi dan produktivitas tebu dengan memberikan apresiasi pada Nilai Nira Perahan pertama (NPP) diharapkan mampu merubah sistem produksi tebu sebagai bahan baku gula dan industri gula di Jawa Timur. Selain daripada itu Departemen Perdagangan dan Perindustrian telah memperbaiki kebijakan
R1_Refleksi AGB.indd 148
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
149
tentang tataniaga impor gula (Kepmen Perdagangan Perindustrian No. 527/2004). Kebijaksanaan ini muncul karena ada anggapan bahwa petani dirugikan oleh pabrik dalam hal penyediaan bahan baku tebu untuk pabrik gula. Berbagai hasil penelitian pada waktu itu (Suntoro 1978/1981, Sri Hatoyo 1983/1985, Kabul Santoso 1989/1991) menyatakan bahwa petani sering kali dirugikan oleh pabrik, pada skala usaha yang sempit tersebut tanaman padi dan/atau tanaman lain lebih menguntungkan daripada tanaman tebu. Pada tahun 1992 diterbitkan UU No. 12/1992 yang mengatur kebebasan petani untuk menanam tanaman yang diinginkannya, sehingga ada kebebasan petani menentukan pola tanam yang diinginkan. Peran industri gula di Jawa Timur untuk Indonesia cukup besar, sekitar 35 % dari total produk gula dihasilkan oleh Jawa Timur. Sejumlah 31 pabrik dari 52 pabrik di Jawa berada di Jawa Timur, bahkan bahan baku tebu seringkali mengambil dari beberapa daerah Jawa Tengah karena kurangnya bahan baku tebu yang ada. Lima pabrik berkapasitas klas A dikelola oleh N10 (4 pabrik), N11 (2 pabrik), RNI (2 pabrik) dan KBA (1 pabrik) selebihnya klas B dan klas C masing-masing dikelola oleh N10, N11, dan RNI. Sementara ini perbaikan pabrik dilakukan dari dana internal PTPN yang diambil dari anggaran penyusutan, investasi berupa renovasi dan modernisasi pabrik dengan melalui program APBN belum dapat dilakukan karena kondisi keuangan negara. Pada dua tahun terakhir dengan informasi semakin membaiknya keuangan negara, sudah selayaknya untuk membuka iklim investasi terutama untuk peningkatan kapasitas pabrik (modernisasi dan renovasi). Sementara ini pabrik baru dapat menyerahkan deviden kepada pemegang saham (negara) untuk sumber pembiayaan negara. Namun, apabila ingin menjadikan industri gula kembali memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, ada dua langkah yang diperlukan yaitu; (1) tingkatkan efisiensi pabrik dengan renovasi/modernisasi mesin, power, pengolahan gula serta tatanan pabrik, agar supaya menjadikan pabrik sebagai penjual jasa giling yang dapat dipertanggung jawabkan dan menjadi profit centre; (2) tingkatkan kualitas bahan baku tebu (bongkar ratoon, perbaiki bibit, dan tingkatkan produktivitas) diikuti dengan perbaikan baku teknis, kultur teknis, dan kelembagaan (tri partitie, antara petani, pabrik, dan pemerintah). Kelembagaan petani tebu untuk bahan baku pabrik gula ini perlu dibangun kembali agar berbeda dengan pola-pola sebelumnya, karena perubahan-perubahan lingkungan produk maupun perubahan era global.
R1_Refleksi AGB.indd 149
07/04/2010 19:04:17
150
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Pola kemitraan yang terjadi antara pabrik dan petani telah banyak berubah, misalnya ada (1) pabrik mendapatkan bahan baku tebu 70 % dari HGU, selebihnya kemitraan dengan petani APTR; (2) pabrik mendapatkan bahan baku dari tebu sewa (TS) 10-20 %, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) 40-50 % dan selebihnya dari petani tebu mandiri; (3) pabrik mendapatkan bahan baku dari TS (10-20 %), APTR (20-30 %), selebihnya dari tebu Mandiri (30-70 %). Kalau melihat pola kemitraan seperti ini tebu mandiri akan semakin dominan, sementara APTR relatif agak mulai berkurang posisi tawarnya. Tebu HGU kelihatannya hanya dimiliki beberapa pabrik saja (misalnya Jatiroto, N11) dan beberapa pabrik lainnya yang masih menguasai hak guna usaha. Nampaknya ada gejala petani yang tergabung dalam APTR pabrik yang telah menguasai lahan luasan di atas 100 ha, lebih suka untuk membuat transaksi sendiri dengan pabrik yang menguntungkan dan dapat memberikan jaminan pasar. Kelihatannya teori Ricardo tentang akumulasi atau konsentrasi lahan akibat terkaitnya produk pertanian dengan industri pertanian berlaku di agroindustri gula. Jika benar, pola kemitraan petani tebu untuk bahan baku industri gula perlu di rancang dan dikembangkan sesuai dengan keinginan lapangan, nampaknya pemerintah mungkin perlu melakukan penyediaan infrastruktur berupa: (1) penelitian dan wahana produk untuk mendapatkan bibit (seed) tebu di lahan sawah dan lahan kering yang memiliki produktivitas dan kandungan gula tinggi; (2) memberikan lahan percobaan percontohan bagi petani tebu untuk berbagai strata lahan agar petani tebu dapat melihat, mencontoh, dan menyesuaikan dengan lahannya masing-masing; (3) memfasilitasi tumbuh berkembangnya kelembagaan petani yang mampu bermitra dengan pabrik secara profesional;(4) mendorong institusi perbankan untuk pengembangan sektor riil (memberikan tingkat bunga rendah kurang dari 10%), penyedia input produksi, dan infrastruktur lainnya untuk selalu membantu petani dengan suasana yang favourable. Analisis lingkungan yang dilakukan oleh 30 % pabrik di Jawa Timur dengan menggunakan metoda SWOT menunjukkan bahwa posisi lingkungan penyedia input produksi pabrik gula berada pada posisi survival, artinya berada pada posisi di antara kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Kondisi ini dibenarkan dengan adanya kekurangan bahan baku tebu pada semua pabrik di Jawa Timur, kecuali KBA. Kebijakan pemerintah daerah Jawa Timur untuk memperbaiki seed tebu, kultur tanaman, dan memotong keprasan lebih dari tiga kali dengan
R1_Refleksi AGB.indd 150
07/04/2010 19:04:17
Prof. Kabul Santoso
151
memperkenalkan bibit unggul tebu (produk P3GI), bongkar ratoon dilakukan secara bertahap mungkin akan bisa memperbaiki lingkungan input produksi yang diperlukan pabrik (perbaikan produktivitas dan rendemen). Bongkar ratoon dan tanaman dengan seed baru yang telah dilakukan petani dari daerah Malang, Mojokerto, Jombang dan Madiun dengan penjualan tebu pada wilayah pabrik di bawah manajemen N10 membuktikan bahwa makin baik produk tebu yang masuk pabrik makin tinggi rendemen dan produktivitas hasilnya (dilakukan dengan uji Nilai Perahan Pertama (NPP) untuk seleksi setiap truk/lori yang dapat disaksikan oleh petani pemilik bahan baku tebu). Menurut laporan Dinas Perkebunan Jawa Timur (2004), produksi dan produktivitas tebu serta hablur yang berasal dari kebun ex tanaman tebu bongkar ratoon sampai dengan akhir giling 2004 memberikan informasi peningkatan yang signifikan, antara lain: (1) areal bongkar ratoon yang tertebang seluas 9.999,871 ha yaitu 100 persen dari areal yang dibongkar; (2) produksi tebu kebun bongkar ratoon mencapai 962.264,80 ton, berarti meningkat 42,6% dariproduksi tebu tahun giling 2003. Produktivitas tebu mencapai 96,23 ton/ha atau meningkat 50,19% dari produktivitas tebu tahun giling 2003 (64,07 ton/ha); (3) produksi hablur asal bongkar ratoon mencapai 70.144,95 ton atau meningkat 53,79% dari produksi tahun giling 2003 (45.610,26 ton). Produktivitas hablur 7,01 ton/ha atau meningkat 64,94% dari produktivitas hablur tahun giling 2003 (4,25 ton/ha). Kemajuan pekerjaan bongkar ratoon yang sudah tertanam posisi akhir Nopember 2004 mencapai seluas 31.110,13 ha atau 265,89% dari target seluas 11.700 hektar. Lebih jauh informasi tentang Dana Guliran Bongkar Ratoon tahun anggaran 2003 mencapai 100% dari anggaran sebesar Rp. 19.499.964.900,--, penggunaan guliran 2004 (TA 2003). Selain dari pada itu, program ini juga melakukan berbagai perbaikan kebun bibit, yaitu: Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Induk (KBI) dan Kebun Bibit Datar (KBD) melalui kerjasama dengan P3GI, N10, NXI, PT.Rajawali dan PT.Kebon Agung. Lebih jauh juga dilakukan kerjasama perbaikan bibit di Kebun Bibit Nenek (KBN) yang dilakukan bersama P3GI dengan sistem peguliran yang sama. Apabila lingkungan pertanaman bahan baku tebu telah diperbaiki, artinya bongkar ratoon dengan dana dari pemerintah telah dilakukan, pengadaan atau ketersediaan seed dan input produk lainnya telah dilakukan, maka sudah dapat mematahkan informasi tentang meningkatnya lahan luasan giling dan menurunnya produktivitas. Dengan lahan usahatani tebu sekitar 250.000
R1_Refleksi AGB.indd 151
07/04/2010 19:04:18
152
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
ha dan produktivitas 1200 ton lebih tebu per hektar (untuk lahan sawah) dan 800 ton lebih per hektar untuk tanah kering, diharapkan mencukupi kebutuhan giling pabrik di Jawa Timur. Lebih-lebih apabila kontinuitas dan sustainabilitas produk dapat dijamin kelangsungannya. Artinya, posisi survival pada analisis lingkungan yang ada (existing condition) dapat digeser pada posisi pengembangan (kombinasi antara kekuatan dan ancaman) untuk seterusnya digeser pada posisi antara kekuatan dan peluang. Sistem bagi hasil antara Petani : Pabrik cukup bagus, yaitu 66 : 34, apabila rendemen-nya di atas 7, bagi hasilnya bisa 67 : 33, semakin tinggi rendemen, petani mendapat bagian lebih baik. Harapan petani bukan hanya seed yang berkemampuan untuk meningkatkan produktivitas saja, namun juga yang memiliki kandungan nira tinggi, sehingga tingkat rendemen bisa meningkat di atas 10 %, demikian pula halnya harapan pabrik dan pemerintah. Jika hal ini berhasil kemungkinan dalam jangka 4 tahun sampai dengan 7 tahun dapat menekan impor atau bahkan dapat menghentikan impor gula, karena dengan investasi pabrik yang efisien di dalam negeri dapat membangun keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Hampir seluruh kabupaten di propinsi Jawa Timur mempunyai tanaman tebu untuk kepentingan supporting pabrik gula, kecuali kabupaten Pacitan. Di lahan kering kelihatannya tanaman tebu memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan tanaman lain, bahkan tebu dapat ditanamn di selasela tanaman keras atau annual crop. Di lahan sawah hampir seluruh aliran sungai terletak pabrik gula dan diikuti kultur tanaman tebu di sekitarnya, antara lain sepanjang sungai Brantas dan daerah deltanya, sepanjang sungai Madiun dan sepanjang Pekalen Sampean. Petani tebu selalu sistem pola tanam mengikutkan tanaman tebu sebagai tanaman industri atau business crop, karena dengan skala usaha yang cukup hasilnya melebihi tanaman lain. Oleh karena itu, tanaman tebu dan tembakau serta tanaman hortikultura lain sering menjadi sebutan tanaman yang mensupport ekonomi rakyat, sensitivitas dan reaksi petani sangat peka dan cepat apabila ada perubahan kebijaksanaan yang merugikan. Dampak tutupnya salah satu pabrik akan mendapatkan reaksi keras baik dari kalangan petani, pedagang, dan karyawan pabrik. Hal ini mengakibatkan pimpinan wilayah, apakah itu Gubernur, Bupati ataupun Direktur Perusahaan harus turun tangan untuk menanganinya, legal aspek perlu segera dibangun dan seterusnya. Oleh karenaitu apabila ekonomi sudah recovery, investasi membangun pabrik baru untuk renovasi pabrik yang sudah berusia lebih dari
R1_Refleksi AGB.indd 152
07/04/2010 19:04:18
Prof. Kabul Santoso
153
seratus lima puluh tahun harus segera dilakukan daripada impor gula. Sebab industri gula memiliki daya topang untuk menegakkan ekonomi kerakyatan, dapat menyerap tenaga kerja cukup besar (pertanian 40 sampai dengan 60 orang per hektar dapat terserap), memberikan nilai tambah terhadap produk, industri gula mencakup linkage ke belakang dan ke depan, memberikan posisi tawar terhadap petani sehingga petani tumbuh menjadi petani pengusaha yang andal. Lebih daripada itu investasi yang ditanamkan dari modal luar akan segera dapat kembali karena potensi keuntungan yang tinggi. Jika dibandingkan dengan negara lain, nampaknya harga gula di Indonesia cukup rendah sehingga wajar apabila masyarakat/pemerintah dapat menghargai produk gula dengan harga yang lebih layak. Jika dilihat dari sisi pabrik dikatakan bahwa kurang lebih 22 pabrik di Jawa Timur yang menyebar di seluruh aliran sungai (Malang, Kediri, Tulungagung dan Sidoarjo, atau sepanjang sungai Brantas; Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo atau sepanjang Pekalen Sampean; Madiun dan Ponorogo, sepanjang sungai Madiun). Usia pabrik rata-rata di atas 150 tahun, namun masih mampu berproduksi dengan rendemen sekitar 7 sampai dengan. 8. Apabila ada renovasi atau investasi pabrik baru, dapat dipastikan bahwa kebutuhan gula dalam negeri dapat dicukupi. Sudah barang tentu dengan syarat perbaikan kultur tanam bahan baku tebu yang saat ini di bawah pengawasan Dinas Perkebunan. Kekuatan biologi molekuler atau bioteknologi untuk perbaikan seed tebu sangat diperlukan dari jaringan ilmu pengetahuan (knowledge networking), demikian pula perbaikan kultur tanam, baik secara teknologi maupun sosiologis.
Unit Usaha Strategis Tembakau Tembakau di Indonesia merupakan salah satu tanaman komersial (commercial crop) yang juga dikenal sebagai tanaman industri (industrial crop). Tanaman tembakau sering disebut tanaman komersial karena jenis tanaman semusim ini jika diusahakan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan pasar diharapkan memberikan keuntungan tinggi kepada pelaku bisnis (petani, pedagang, pabrikan/industriawan rokok, eksportir dan perusahaan jasa pendukung lainnya) namun tembakau juga merupakan tanaman yang penuh risiko. Selain daripada itu seluruh hasil produksinya dijual ke pasar, dibeli oleh exportir untuk bahan baku cerutu atau oleh industriawan untuk bahan baku rokok baik industriawan besar, menengah, kecil maupun industri rumah tangga rokok serta konsumen yang membeli untuk kebutuhan lainnya (susur, tembakau pipa dll).
R1_Refleksi AGB.indd 153
07/04/2010 19:04:18
154
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Tanaman tembakau yang memiliki nilai komersial, terdiri dari jenis Nicotiana Tabacum L. dan Nicotiana Rustica L. Tanaman ini seringkali juga digolongkan menjadi tanaman tembakau voor-oogst dan tanaman tembakau na-oogst. Tembakau voor-oogst, yaitu tembakau yang ditanam pada musim hujan dan dipanen pada musim kemarau, misalnya: tembakau Virginia, tembakau Kasturi, tembakau Madura, tembakau Kedu, tembakau Temanggung/Srintil dlsb. Pada umumnya jenis tanaman tembakau ini untuk mencukupi bahan baku industri rokok dan kebutuhan pasar dalam negeri lainnya. Tembakau na-oogst, yaitu tembakau yang ditanam pada musim kemarau dan dipanen pada musim hujan, jenis tanaman tembakau ini biasanya untuk bahan baku cerutu dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan Afrika. (Kabul Santoso 2009) Tembakau mulai ditanam di Indonesia diperkirakan tahun 1600, ada yang menduga bahwa tanaman ini dibawa, diperkenalkan dan dikembangkan oleh bangsa Portugis, tanaman ini di datangkan langsung dari Mexico melalui Philipina. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pada waktu Rhumphius mengelilingi Indonesia tahun 1650 tanaman tembakau sudah dilihat dimana tempat yang dikunjungi Portugis, maupun di tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi oleh bangsa Portugis (IPB 1969). Petani tembakau pada umumnya menanam daun tembakau voor-oogst setelah menanam padi, jadi pola tanamnya padi-tembakau voor-oogst-padi/ palawija; sedangkan petani yang menanam tembakau na-oogst, pola tanamnya padi-padi-tembakau na-oogst. Tanaman tembakau adalah tanaman komersial (unggulan) yang diharapkan oleh petani sebagai tanaman yang menghasilkan keuntungan cukup tinggi, sementara sebelumnya adalah tanaman padi yang dipergunakan untuk konsumsi rumah tangganya. Tembakau yang dikembangkan sebagai tanaman perdagangan (tanaman komersial dan/atau tanaman industri), baik untuk bahan baku industri rokok dan keperluan lainnya maupun bahan baku industri cerutu merupakan tanaman yang padat modal (capital intensive) dan padat karya (labour intensive) serta tanaman yang berani risiko (taking risk). Sebagai tanaman yang menghasilkan keuntungan sangat besar apabila kualitas yang dihasilkan oleh petani mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan pasar, juga seringkali memberikan kerugian yang sangat tinggi apabila kualitas produknya tidak dikehendaki oleh pasar. Sebelum ada perang anti rokok yang berkembang sekitar tahun 1985-an, daun tembakau juga dikenal sebagai daun emas (golden leaf) karena nilainya yang tinggi.
R1_Refleksi AGB.indd 154
07/04/2010 19:04:18
Prof. Kabul Santoso
155
Tembakau sebagai bahan baku rokok selain dapat memberikan hasil yang tinggi kepada petani berupa tembakau hijau, juga ada kegiatan selanjunya berupa prosesing (baik jenis virginia, maupun jenis lokal lainnya antara lain tembakau Kasturi, tembakau Madura, tembakau Temanggung, tembakau Rajangan, dan tembakau jenis lainnya) yang mampu meningkatkan kegiatan petani ataupun memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Jenis tembakau voor-oogst banyak diserap untuk kebutuhan pasar dalam negeri (industri/ pabrik rokok) selain untuk diekspor (jenis virginia) untuk campuran (blanding) pasar luar negeri. Tanaman tembakau selain menyerap tenaga kerja yang tinggi di sektor pertanian (on farm), juga mampu menyerap tenaga kerja yang besar di industri pabrik rokok besar, menengah, kecil maupun industri rumah tangga (off farm) dan perdagangan (distributor, agencies dan retail), penyerapan tenaga kerjanya diperkirakan tahun 2005 mencapai kurang lebih 18 s/d 22 juta orang (KUTJ 2008). Selain daripada itu tanaman tembakau juga memberikan sumber penghasilan yang besar bagi pemerintah berupa cukai tembakau yang dibayar konsumen dan dikumpulkan oleh industri rokok yang terdaftar (angka terakhir tahun 2009 bisa mencapai lebih dari 57 triliun rupiah). Pemasaran tembakau bahan baku rokok tidak menentu (uncertain), struktur pasarnya diduga oligopsoni, industriawan rokok besar sebagai pemimpin antara lain Sampoerna, Gudang Garam, Djarum, Narayana, Bentul, Wismilak. Selain industriawan rokok besar (Gappri 2005) pangsa pasar rokok kretek sekitar 93 persen, rokok putih memiliki pangsa pasar hanya 7 persen). Selain dari pada itu ada sekitar 47 pabrik rokok kretek klas menengah yang bersama pabrik-pabrik besar mengumpulkan kurang lebih 80 persen dari total cukai yang wajib diserahkan kepada pemerintah. Industri rokok ini pada umumnya mendirikan gudang-gudang pembelian tembakau di sentra-sentra produk. Dari gudang-gudang tersebut dilakukan pembelian tembakau menurut jenis produk, jumlah dan kualitas yang dibutuhkan masing-masing pabrik. Pada umumnya setiap gudang memiliki agen-agen pembelian yang setiap wilayah memiliki masing-masing istilah, tetapi prinsipnya untuk memudahkan mendapat barang dari petani dengan jumlah, kualitas, dan harga yang diinginkan gudang. Penentu harga struktur pasar ini lebih banyak didominasi oleh gudang dan pedagang, posisi tawar petani produsen relatif lemah. Produk tembakau yang dipasarkan petani langsung atau lewat pedagang bisa pula bermigrasi ke daerah lain (tembakau Madura, Bojonegoro dan Jogya bisa sampai Temanggung, kemudian dicampur tembakau Srintil menjadi tembakau Temanggungan), demikian
R1_Refleksi AGB.indd 155
07/04/2010 19:04:18
156
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
pula sebaliknya, sangat tergantung pada informasi harga dan kebutuhan barang. Impor tembakau jenis Virginia dan atau jenis lainnya untuk blanding yang dibutuhkan pabrik rokok semakin tinggi. Impor tersebut umumnya dari China, Philipina, Thailand, USA, Turki dan beberapa negara lainnya dengan alasan kualitas yang di impor tersebut tidak di produksi di Indonesia. Untuk jenis tembakau ini Indonesia termasuk negara kecil pangsa pasarnya (market share) hanya kurang lebih 4% dari total kebutuhan pasar dunia.
Other Italy 9% Greece 2% 3% Malawi 3% Indonesia 4% Argentina 4%
China 37%
Turkey 4% USA 5% India 14%
Brazil 15%
Pangsa Pasar Tembakau Bahan Baku Rokok Sedangkan pada tingkat nasional, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 81 Tahun 1999 yang direvisi dengan PP No. 38 Tahun 2000 dan dirubah lagi dengan PP. No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan yang implementasinya belum terlaksana secara keseluruhan, namun belum ada undang-undang khusus tentang tembakau. UU No. 39/2007 pasal. 66 memberikan informasi tentang Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau bagi daerah propinsi, kabupaten/kota penghasil cukai dan/atau tembakau sebesar 2% dari nilai total penerimaan cukai secara proportional untuk dimasukkan dalam APBD daerah penghasil cukai/bahan baku rokok. Dalam hal ini, Jawa Timur menerima sekitar 60% dari 2% DBHCT yang dikeluarkan, sebab produk cukai Jatim sebesar 68% dari penerimaan cukai tembakau Indonesia. Tembakau sebagai bahan baku cerutu pernah mengalami jaman keemasan, yaitu tahun-tahun sebelum 1980-an, jenis tembakau cerutu yang
R1_Refleksi AGB.indd 156
07/04/2010 19:04:18
Prof. Kabul Santoso
157
terdiri dari tembakau Sumatra/Deli, tembakau Vorstenlanden Klaten serta tembaku Besuki-NaOogst produk Jember dan sekitarnya mampu menguasai pasar Eropa, bahkan pernah ekspansi ke pasar Amerika dan Afrika. Tembakau Sumatra/Deli pada umumnya memproduksi daun pada segmen dekblad dan omblad, sementara itu tembakan Vorstenlanden dan tembakau Besuki NaOogst kebanyakan memproduksi pada segmen filler dan omblad (walaupun ada pula produk dekblad, tetapi relatif rendah yaitu sekitar 10-20 persen). Namun setelah tahun1980-an mengalami permintaan pasar yang menurun secara drastis. Penurunan permintaan pasar tembakau bahan baku cerutu ini akibat perubahan taste konsumen cerutu Eropa dari cerutu besar (big cigar) menjadi cerutu kecil (cigarrollos). Selain daripada itu juga akibat adanya kampanye anti rokok (termasuk cerutu) oleh negara-negara anggota WHO, kampanye anti rokok ini dilegalisir oleh WHO-PBB dalam rangka untuk mengantisipasi endemi/epidemi penyakit (kanker paru-paru, kanker payudara, dsb) akibat langsung maupun tidak langsung dari asap rokok yang ditimbulkan oleh para perokok. Berikut ini gambaran ekspor tembakau Indonesi dua tahun terakhir. Ekspor Tembakau Indonesia tahun 2006 s/d tahun 2008 VOLUME(Kg) DEVISA(US $) JENIS TEMBAKAU 2006 2007 2008 2005 2007 2008 BAHAN CERUTU BESUKI NO 8,330,469.06 7,911,168.59 7,245,170.21 27,168,319.46 25,050,599.78 26,251,870.81 TBN 727,563.52 768,273.80 822,554.35 6,289,347.04 9,485,015.53 7,681,687.10 VORSTENLANDEN 144,439.50 111,276.10 508,29.90 778,671.36 460,395.35 204,028.13 VORST TBN 0.0 0.0 74,342.80 0.0 0.0 243,753.64 DELI 0.0 0.0 9,007.80 0.0 0.0 18,015.00 BOBBIN 163.95 161,086.29 149.999.65 1,640,223,11 1,700,350.81 1,795,327.39 JUMLAH
9,202,636.03 8,951,804.78 8,301,074.81 35,876,560.97 36,696,361.47 36,194,681.57
Sumber: Lembaga Tembakau Jawa Timur II, 2009
Semenjak tahun 1990, akibat perubahan taste konsumen cerutu dunia dari cigar menjadi cigarollos serta semakin intensifnya kampanye anti rokok, maka terjadi pula perubahan terhadap permintaan kualitas daun tembakau bahan baku cerutu di Indonesia. Terobosan-terobosan teknologi kultur tanam dilakukan dengan memperkenalkan kultur tanam Tembakau Bawah Naungan (TBN), yaitu dari jenis Tembakau Besuki Na-Oogst yang di tanam di bawah naungan untuk mengontrol agronomis tanaman, termasuk cuaca, kelembaban, hama dan penyakit serta faktor alam lainnya untuk memenuhi perubahan permintaan tersebut. Selanjutnya jenis-jenis tembakau yang ditanam di bawah naungan (berupa kelambu (net) dari plastik) adalah
R1_Refleksi AGB.indd 157
07/04/2010 19:04:18
158
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Tembakau Besuki Na-Oogst, Tembakau Vorstenlanden (Klaten). Perlakuan perubahan teknologi kultur tanam ini antara lain agar mampu mengubah kualitas daun yang sebelumnya menghasilkan kualitas omblad (binder) dan filler, dengan perlakuan bawah naungan mampu sebagian besar menghasilkan dekblad (wrapper) dan omblad. Upaya teknologi baru ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perubahan taste yang terjadi di pasar Eropa (pasar cerutu). Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri Pertanian Bungaran Saragih bahwa Indonesia perlu mengarahkan pertaniannya ke sistem usaha agribisnis berbasis teknologi. “Keunggulan bersaing merupakan syarat mutlak agar bisa tetap eksis memenuhi permintaan pasar” (Tempo, 3 Maret 2004). Menurunnya produktivitas hasil tembakau bahan baku cerutu Sumatra/ Deli menjadi sekitar 4,5 kuintal per hektar, sementara permintaan atas jenis tembakau ini masih sangat tinggi, mengakibatkan market share tembakau jenis ini diserap oleh produsen dunia lainnya (terutama Amerika Latin dan USA yaitu Universal dan Diamond), rata-rata tiap tahunnya Indonesia kehilangan market share atas tembakau jenis ini sekiar 1 persen selama tujuh tahun terakhir (1998-2005). Untuk mengantisipasi kehilangan pangsa pasar lebih jauh lagi maka PTPN 10 dan beberapa perusahaan swasta nasional, antara lain Koperasi TTN mencoba untuk menanam tembakau jenis Sumatera/ Deli tersebut di Jember dan sekitarnya. Upaya untuk menanam tembakau jenis Sumatera/Deli tersebut memberikan tanda-tanda berhasil, tembakau bawah naungan untuk jenis Sumatra/Deli tersebut oleh PTPN 10 disebut FIN, sedangkan Koperasi TTN menamakan jenis ini TS. Keberhasilannya ditandai oleh permintaan pasar yang meningkat dari tahun ke tahun dan telah memiliki pelanggan industriawan cerutu besar di Eropa, Selanjutnya teknologi tembakau bawah naungan juga diterapkan untuk tembakau jenis Connecticut, atau dikenal dengan jenis FIK. Jenis tanaman ini banyak ditanam di Klaten dan memiliki trend pasar yang meningkat. Sistem pemasaran tembakau bahan baku cerutu, apabila sebelum tahun 1990-an memiliki sistem yang disebut Central Marketing System yang berpusat di Bremen dengan struktur pasar monopoli, karena keberadaan pasar lelang (kerjasama antara Indonesia dengan Jerman Barat). Sekarang ini (tahun 2005) yang masih ikut dalam penyelenggaraan pasar lelang tembakau cerutu hanya jenis tembakau Sumatera/Deli dan lelang contoh untuk tembakau jenis Vorstenlanden Klaten. Sementara itu jenis tembakau Besuki Na-Ogst baik perusahaan negara PTPN 10 maupun swasta nasional lainnya melakukan sistem pembelian langsung atau melakukan kemitraan dengan importir yang terdiri dari industriawan cerutu dan pedagang tembakau bahan baku cerutu.
R1_Refleksi AGB.indd 158
07/04/2010 19:04:18
Prof. Kabul Santoso
159
Pasar dengan sistem ini sering disebut sebagai buyer market, pada sistem ini bisa dilakkukan dengan kemitraan (win-win solution) yaitu kerjasama saling menguntungkan berdasarkan saling membutuhkan antara produsen bahan baku cerutu dengan produsen cerutu, sehingga terbentuk captive market. Sebagai contoh hampir 70% produk tembakau PTPN10 dibeli oleh Burger Sohn Burg (BSB) industriawan cerutu Swiss-Jerman atas dasar kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan. Selain daripada itu, bisa juga dilakukan dengan cara pembelian langsung, buyer (baik industriawan maupun pedagang) datang langsung ke Jember. Perusahaan PTPN 10, TTN maupun Swasta lainnya sebagai seller telah berproduksi sesuai dengan LOI (Letters of Intens) kemudian diperiksa dan dilakukan pembelian langsung oleh buyer. Pada sistem buyer market ini ada dua pertanyaan kunci yang harus diajukan oleh seller kepada buyer untuk memperkirakan penanaman tembakau bahan baku cerutu, yaitu (1) What do you want? dan (2) How much do you want? Kedua pertanyaan kunci tersebut penting untuk kedua belah pihak agar tidak merugi satu sama lain, terutama bagi seller untuk menentukan jenis, kualitas, dan jumlah produknya supaya tidak terjadi over supply dan berproduksi sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan buyer.
Pangsa Pasar Tembakau Bahan Baku Cerutu Indonesia sebagai eksportir tembakau bahan baku cerutu ke negaranegara Eropa, Amerika, dan Afrika mempunyai dua segmen penting yang didasarkan kualitas. Untuk segmen pasar kualitas dekblad dan omblad (wrapper dan binder) Indonesia memiliki market share lebih dari 64 persen, kualitas dekblad saja kurang lebih 34 persen, artinya produk kualitas ini didominasi
R1_Refleksi AGB.indd 159
07/04/2010 19:04:20
160
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Indonesia (harga kualitas dekblad bisa mencapai 30-40 euro per kg, bahkan tahun 2007/2008 kualitas dekblad FIN pernah mencapai 50-70 euro per kg, sedangkan kualitas omblad bisa mencapai 16-20 euro per kg), kemungkinan karena temuan teknologi baru yang diterima pasar. Dalam hal ekspor tembakau bahan baku cerutu ini, Indonesia adalah Negara besar. Dewasa ini Eropa kekurangan kualitas omblad karena tembakau jenis HTL (homogeneus tobacco leaf) dilarang digunakan untuk bahan baku cerutu. Sedangkan untuk segmen kualitas filler market share-nya hanya antara 2-3 persen, sehingga harganya sangat rendah (berkisar US$ kurang 1-3 per kg daun tembakau). Unit Usaha Strategis Tembakau untuk bahan baku cerutu lebih berorientasi pada pasar internasional daripada pasar lokal. Tekanan usaha lebih diutamakan pada pasar, karena industriawan cerutu yang makin sedikit jumlahnya, sementara itu perang terhadap rokok dan cerutu yang berarti perang terhadap tembakau semakin gencar, maka kebutuhan akan tembakau untuk bahan baku cerutu semakin menurun. Sifat pasar yang buyer market, menyebabkan struktur pasarnya oligopsoni artinya harga lebih banyak ditentukan oleh pembeli daripada penjual. Untuk mengatasi struktur pasar oligopsoni dilakukan dengan cara win-win solution, berarti kemitraan dengan pembeli dan memperluas pasar agar tidak terjadi ketergantungan. Strategi pasar tembakau cerutu N10 telah benar, yaitu: 70 persen untuk melayani/mencukupi kebutuhan mitra utama Burger Sohne Burg (BSB), 10 persen melalui makelar Indonesia, 10 persen melalui penampung (pasar lelang Bremen) dan 10 persen penjualan melalui makelar internasional yang telah menjadi pelanggan N10 sebelumnya. Ragam permintaan kualitas tembakaunya sangat berbeda dan memberikan penilaian dan kualitas yang berbeda pula terhadap jenis tembakau yang dibutuhkan pelanggan. Kondisi ini apabila bisa dipertahankan cukup bagus, terlebih dapat melakukan ekspansi dengan cara perluasan pasar. Produksi tembakau cerutu menurut jenis dan kualitasnya seharusnya didasarkan pada keinginan dan kebutuhan pelanggan (bukan hanya asal produksi), artinya asumsi supply under control harus benar dipenuhi. N10 diharapkan mampu memberikan pelayanan yang dapat memuaskan pelanggan. Permasalahan pasar ini adalah tidak dapat terjual habisnya produk akibat pelanggan tidak komit terhadap jumlah yang telah ditetapkan dalam letter of intens (LOI) yang menjadi kesepakatan bersama. Alasan utamanya adalah tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan, sedangkan kualitas harapan tersebut dapat berubah tergantung pada keinginan pelanggan saat itu dan juga faktor internal produsen yaitu ketergantungannya terhadapa
R1_Refleksi AGB.indd 160
07/04/2010 19:04:20
Prof. Kabul Santoso
161
alam dan lingkungan produknya. Akibatnya, jenis produk yang diduga sebelumnya kualitas tinggi (dek/om) bisa saja berubah menjadi filler yang dapat mengakibatkan kerugian atau mengurangi keuntungan, sehingga lebih baik menjadi stock untuk dijual dengan harga yang lebih baik; Seringkali juga stock disebabkan karena taktik yang dilakukan oleh produsen untuk menjual kualitas yang dibutuhkan (kualitas baik saja) sehingga mendapatkan keuntungan besar, namun di sisi lain dapat menyisakan (stock) yang tidak dibutuhkan pasar. Stock yang besar dapat menghambat likuiditas usaha dan mengurangi keuntungan, sementara itu tembakau adalah komoditi fancy produk, yang sulit diduga perubahan kualitas dan kebutuhan pasar sehingga risiko usahanya sangat tinggi. Stock produksi ini bisa saja terjadi secara akumulatif produk sisa yang tahun itu tidak atau belum terjual sehingga yang semula kualitas dek/om berubah menjadi kualitas filler, akibatnya kalkulasi laba/rugi unit usaha strategis ini tidak menentu (uncertain). Seringkali bagian keuangan perusahaan kurang memahami dan membuat harga rata-rata (kuintal/ton) komoditi ini, padahal antara harga dek (bisa mencapai US$ 35 per kg), omblad bisa mencapai US$ 13/15 per kg dan filler hanya US$1 atau US1,5 per kg. Walaupun komposisi dek 10 s/d 20 persen, omblad 20 s/d 30 persen dan selebihnya filler, namun penerimaan tidak dapat begitu saja dirata-rata. Perluasan pasar untuk mencoba merebut kembali market share tembakau cerutu Indonesia khususnya tembakau Sumatera (saat ini di N10 dikembangkan TBN FIN dan FIK) yang rata-rata satu persen per tahun beralih ke pesaing (Nicaragua, Costarica, Brasil, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya) sangat diperlukan effort yang lebih keras lagi, dengan cara mendekati industriawan cerutu di Eropa dan Amerika (USA), baik melalui market intelegent maupun melalui makelar ataupun badan penampung. Permasalahan lahan usaha dan budidaya tanaman serta pasca panen (curing dan sortasi), lebih ditekankan pada kemampuan sumberdaya manusia yang memiliki skill ahli dan kondisi alam. Dalam hal ini career planning merupakan upaya agar supaya ada kesinambungan dan keberlanjutan usaha strategis tembakau. Standart operating procedure dan pengawasan serta keputusan pimpinan yang ahli dan tepat sangat diperlukan pada tahapan pekerjaan ini. Kualitas produk sesuai dengan kebutuhan serta pesanan pelanggan sangat diperlukan. Komoditi Tembakau adalah termasuk unit usaha strategis inti di N10 dan beberapa eksportir swasta lainnya di Jawa Timur. Oleh karena itu, exercise
R1_Refleksi AGB.indd 161
07/04/2010 19:04:20
162
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
terhadap SOP, analisis biaya, analisis kinerja serta analisis pendapatan sangat diperlukan agar dapat memberikan keuntungan usaha yang optimal. Efisiensi usaha di unit strategis ini sangat diperlukan untuk dianalisis dan dievaluasi terus menerus termasuk kinerja di bidangnya masing-masing.
Penutup Pada akhirnya unit usaha strategis tidak hanya diinginkan saja tetapi harus di upayakan dengan prosedur yang benar, analisis usaha yang benar dari para pelaku mulai dari manajemen sampai subordinate tidak henti-hentinya untuk selalu meningkatkan efisiensi serta kinerja karyawannya termasuk sistem pengelolaan usaha yang bernuansa keuntungan, kebersamaan, kerjasama, serta tanggung jawab dari seluruh komponen sangat diperlukan. Kebijakan pergulaan nasional sejogyanya menekankan pada pemenuhan gula nasional dengan strategi peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku tebu, efisiensi pabrik, pendirian pabrik gula rafinasi dan pendirian pabrik di luar Jawa untuk pemenuhan kebutuhan nasional (substitusi impor). Selain daripada itu kebijakan juga ditekankan pada upaya agar gula produk nasional memiliki daya saing, artinya mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif lebih dahulu sebelum dilepas pada persaingan pasar bebas. Perdagangan internasional gula cenderung surplus produksi, harga cenderung turun, ada kecenderungan politik dumping dilakukan oleh beberapa negara produsen gula yang surplus produksi. Namun, kebanyakan negara menghendaki upaya peningkatan produktivitas gula dan tidak menghendaki liberalisasi atau pasar bebas untuk komoditi gula. Industri gula memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, seharusnya meningkatkan efisiensi pabrik dengan cara investasi untuk renovasi dan modernisasi. Selain daripada itu juga, industri gula wajib memperbaiki lingkungan bahan baku tebu sehingga dapat lebih produktif dan berkualitas dengan kandungan nira tinggi, sehingga rendemennya tinggi. Trade off antara investasi pembangunan pabrik dengan impor gula, kelihatannya pilihan investasi dengan kombinasi perbaikan lingkungan bahan baku dalam jangka menengah dan jangka panjang lebih positif daripada menggantungkan pada impor gula. Pemerintah Daerah Jawa Timur sejogyanya memiliki sikap untuk melindungi petani dan pabrik gula sampai sistem pergulaan memiliki
R1_Refleksi AGB.indd 162
07/04/2010 19:04:20
Prof. Kabul Santoso
163
daya saing (antara tahun 2007-2010). Sementara itu pada saat yang sama mendorong para pelaku sistem pergulaan Jawa Timur membenahi diri untuk memiliki daya saing dengan cara meningkatkan produktivitas tebu sampai 900 kw/ha di lahan tegal, meningkatkan efisiensi pabrik agar mencapai rendemen 10 ke atas, menjaga keberlanjutannya (sustainability product) sistem pergulaan khususnya Jawa Timur, hal yang sama juga menjadi kebijakan sistem pergulaan Indonesia pada umumnya. Jawa Timur sebagai produsen tembakau dan industri hasil tembakau terbesar di Indonesia (60-70%) perlu dipisahkan antara tembakau na-oogst dan tembakau voor-oogst, tembakau na-oogst lebih cenderung untuk bahan baku membuat cerutu atau tembakau hisap dan tembakau kunyah (chewing tobacco) baik areal maupun permintaan dunia trend cenderung menurun akibat dari taste yang berubah dan banyak pabrikan cerutu yang merger, sedangkan tembakau untuk membuat rokok kretek atau rokok putih impornya cenderung meningkat. Perbaikan kualitas dan kuantitas tembakau cerutu sesuai permintaan pasar dunia sangat diperlukan agar supaya existensinya di pasar dunia dapat dipertahankan, misalnya tembakau cerutu Deli sangat memerlukan perbaikan kualitas maupun kuantitas, tembakau Vorstenland memerlukan perbaikan kualitas sesuai kebutuhan pasar, demikian juga tembakau Besno memerlukan perbaikan kualitas, selain mencoba untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas produk yang menguntungkan untuk TBN, VBN, FIK dan FIN. Peningkatan kemampuan lembaga pasar dan kerjasama dengan luar negeri, baik untuk pengembangan bidang strategi maupun taktik pemasaran tembakau Indonesia. Untuk tembakau bahan baku rokok (voor-oogst), diperlukan upaya perbaikan lembaga pemasaran lokal atau kemitraan yang saling menguntungkan (win-win solution) antara petani produsen dan pedagang serta pabrikan rokok kretek maupun rokok putih, agar supaya dapat menekan impor dan menahan laju penurunan produk kebutuhan dalam negeri (supaya tidak menjadi cost centre). Pemerintah mulai menyediakan fasilitas yang dapat mendorong pengusahaan tembakau baik hulu maupun hilir, apakah itu fasilitas permodalan dengan cara menurunkan bunga bank yang rational sehingga sektor riil dapat terdorong berkembang, lembaga penelitian, dan pengembangan yang terfasilitasi dan terdanai relatif cukup, dan lembaga penanganan komoditi secara integrative (sesuai UU No. 39/2007; Permenkeu No. 84/2008 dan Permenkeu No. 20/2009).
R1_Refleksi AGB.indd 163
07/04/2010 19:04:20
164
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Komitmen semua pihak, mulai dari tingkat petani produsen, pedagang, pabrikan, eksportir, lembaga pasar lainnya baik dalam negeri ataupun di luar negeri, maupun lembaga finansial dan lembaga penelitian/pengembangan sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan existensi komoditi tembakau Indonesia dengan harapan tetap menjadi profit centre dan bukan berubah menjadi cost centre. Potensi lahan dan sumberdaya manusia pengusahaan tembakau baik naoogst maupun voor-oogst sudah ada dan pilihannya tinggal menguntungkan atau tidak, apabila menguntungkan petani akan dengan sendirinya menanam apabila tidak maka petani akan meninggalkan tanaman tersebut. Masalahnya ada pada pengusaha/industriawan sebagai penghela dan pemilik modal, wilayah yang potential tembakau secara otomatis akan menyesuaikan karena itu adalah merupakan tanaman yang dapat menghidupkan dan menjadi sumber kehidupan rakyat banyak.
R1_Refleksi AGB.indd 164
07/04/2010 19:04:21