PERSPECTIVE
Wealth Management Newsletter - September 2016
indonesia Growth story Setelah 20 tahun, sekarang saat yang tepat bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi
GREETINGS Nasabah yang terhormat, Pada edisi e-Market Perspective kali ini, Kami mengulas mengenai pergerakan pasar selama bulan Agustus hingga pertengahan September 2016 yang relatif flat merefleksikan ketidakpastian yang terjadi di pasar global. Kembali diangkatnya isu kenaikan suku bunga AS dan kekhawatiran akan dikuranginya stimulus moneter oleh ECB menjadi topik utama di pasar global selama sebulan terakhir. Dari dalam negeri, penerimaan tax amnesty yang meningkat pesat selama bulan September meningkatkan keyakinan pasar program ini akan berhasil. Kesuksesan program tax amnesty dapat memberikan dampak positif dengan meningkatnya tax collection based pemerintah dan meningkatnya konsumsi publik. Kedepannya Kami melihat peluang yang baik untuk memanfaatkan momentum ini dan kesempatan untuk membangun kembali portofolio investasi yang ideal sesuai dengan tujuan dan profil risiko anda. Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai strategi dan rekomendasi produk-produk investasi, Anda dapat menghubungi Relationship Manager Kami di cabang terdekat. Dewi Rustini Director of Retail Banking
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016 | 1
EQUITY Market review
Equity Valuation Premium Compared to Historical
AGUSTUS DAN SeptEMBER 2016 Setelah IHSG mengalami rally sejak akhir Juni pasca disetujuinya program tax amnesty, kenaikan IHSG mengalami stagnasi. Setelah menyentuh titik tertinggi di 5.461 pada 18 agustus, IHSG terkonsolidasi selama beberapa minggu. Menjelang Jackson Hole simposium pada tanggal 29 agustus beberapa pernyataan dari pejabat The Fed yang mengekspektasikan kenaikan suku bunga meningkatkan kekhawatiran pada pasar. Sementara belum adanya katalis positif baru membuat pasar cenderung menurunkan porsi investasi di aset berisiko. Walaupun pernyataan dari Gubernur The Fed, Janet Yellen tidak mengindikasikan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat, dan rilis data nonfarm payroll tidak sebaik ekspektasi namun IHSG seperti kehilangan amunisi untuk melanjutkan kenaikannya. Perlahan-lahan IHSG terkoreksi hingga pertengahan September berada di level 5.215. Pada Jackson Hole simposium akhir Agustus Janet Yellen menyatakan ekonomi AS saat ini telah mendekati level inflasi dan angka pengangguran yang diekspektasikan The Fed, sehingga terdapat ruang untuk menaikkan suku bunga. Ditambah konfirmasi dari Stanley Fisher, FOMC vice chair bahwa pandangan ini konsisten dengan rencana kenaikan suku bunga AS pada bulan September. Akibat pernyataan ini ekspektasi kenaikan suku bunga AS oleh Bloomberg konsensus meningkat menjadi 32%. Namun dengan data nonfarm payroll yang meleset dari ekspektasi perlahan-lahan angka konsensus menurun. Terhitung sejak awal Agustus hingga 15 September Indeks global turun -0,63%, indeks emerging market naik 2,15%, dan IHSG naik 0,98%. Sementara terhitung YTD IHSG naik 14,65%.
Kenaikan suku bunga meningkatkan kekhawatiran pada pasar. Sementara belum adanya katalis positif baru membuat pasar cenderung menurunkan porsi investasi di aset berisiko
Uncertainty From Fed Fund Rate Hike
Sumber: Bloomberg
Sumber: Bloomberg
Walaupun ekspektasi kenaikan suku bunga AS mengecil namun tidak membuat IHSG melanjutkan rally. Dengan kenaikan IHSG secara YTD salah satu yang tertinggi di dunia ketika ekonomi global masih dalam kondisi melambat membuat sulit bagi para investor untuk memberikan justifikasi untuk penguatan lebih lanjut. Indeks Thailand sendiri yang memberikan return lebih tinggi dari IHSG secara YTD terkoreksi terlebih dahulu dari return 20% menjadi tinggal 9% pada awal September. Dengan valuasi indeks yang sudah tergolong premium, sementara terhitung dari awal tahun telah membukukan keuntungan yang cukup baik, maka sudah sewajarnya para investor cenderung untuk memilih merealisasikan keuntungan. Pada 8 September fokus global tertuju ke Eropa yang menyelenggarakan ECB meeting untuk menentukan kebijakan suku bunga dan stimulus lanjutan. Hasil meeting memutuskan suku bunga acuan Eropa tidak berubah 0,0% sementara stimulus tidak masuk dalam pembahasan sama sekali. Belum adanya pembahasan perpanjangan stimulus pembelian aset EUR 80 miliar setiap bulan hingga akhir Maret 2017 membuat pasar menjadi khawatir stimulus tidak akan dilanjutkan, mengingat dalam beberapa forum ekonomi di Eropa mempertanyakan efektifitas dari stimulus tersebut. Dimana dana yang mengalir dari stimulus lebih banyak mengalir ke financial asset daripada ke real asset sehingga tidak memberikan value creation yang meningkatkan aktivitas ekonomi. Dengan inflasi Eropa masih dalam fase downtrend dan saat ini hanya 0,2% YoY menunjukkan pertumbuhan ekonomi Eropa masih jauh dari pemulihan.
BOND Market review AGUSTUS DAN SeptEMBER 2016 Bulan Agustus pasar obligasi domestik mengalami fluktuasi yang cukup besar dengan hanya mencatatkan kinerja positif tipis +0,1 poin MoM (+0,05% MoM) ke level 200,63 mengacu pada Bloomberg Indonesia Local Sovereign Index (BINDO Index) setelah mencatatkan level tertingginya di 202.63 pada pertengahan bulan Agustus. Pasar obligasi berbalik arah pasca pidato Gubernur The Fed, Janet Yellen di Jackson Hole, AS yang bernada hawkish atas kenaikan FFR pada FOMC meeting bulan September. Janet Yellen menyatakan semakin menguatnya potensi kenaikan FFR seiring dengan kondisi data ketenagakerjaan yang berjalan sesuai dengan proyeksi The Fed.
2 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016
Data inflasi Juli yang walaupun mencatatkan inflasi sebesar +0,69% MoM atau turun secara tahunan menjadi 3.21 YoY hanya dapat menopang kenaikan pasar obligasi hingga pertengahan bulan Agustus.
Misery Index – indikator tingkat pengangguran dan inflasi inti AS
Dari dalam negeri, kekhawatiran keberhasilan tax amnesty ikut membayangi pergerakan pasar obligasi di bulan Agustus. Meskipun uang tebusan meningkat menjadi Rp3.12 triliun hingga akhir Agustus (Juli: Rp85.1 miliar) namun progresnya dianggap masih sangat lambat, hanya 1,9% dari total Rp165 triliun target pemerintah. Selain itu, keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang mempertahankan tingkat 7-Days Reverse Repo Rate di level 5,25% (7-Days Reverse Repo Rate efektif sebagai suku bunga acuan menggantikan BI Rate pada 19 Agustus 2016) disambut negatif oleh pelaku pasar yang mengekspektasikan pemotongan lebih lanjut. Selain itu, revisi proyeksi BI terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi 4,9%-5,3% dari 5,0%-5,4% terkait pemotongan APBN-P 2016 oleh pemerintah juga direspon negatif oleh pasar. Namun BI menegaskan ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka mengingat inflasi yang masih berada dalam rentang target BI (4±1%), current account deficit yang terjaga serta rupiah yang stabil dengan tetap mempertimbangkan perkembangan kebijakan yang diambil oleh The Fed terkait kenaikan FFR.
global Market OUTLOOK Uncertainty Ahead FOMC meeting and US Presidential Election
Selain menjelang FOMC meeting, ketidakpastian di pasar keuangan global juga meningkat menjelang pemilihan presiden AS pada November mendatang. Hingga tulisan ini ditulis kemungkinan kenaikan FFR pada September sedikit meningkat ke level 20% pengaruh rilis data inflasi AS Agustus yang naik menjadi 1,1% YoY dari 0,8% YoY sementara inflasi inti naik menjadi 2,3% YoY dari 2,2% YoY. Namun jika dilihat semenjak pidato Janet Yellen di Jackson Hole pada akhir Agustus, probabilitas kenaikan FFR di bulan September terus mengalami tren penurunan dari 42%. Menjelang pemilihan Presiden AS, banyak pihak yang mulai untuk memprediksi siapakah calon presiden yang akan terpilih pada pemilu mendatang. Dari banyak survey yang dilakukan saat ini, kandidat dari partai demokrat, Hillary Clinton masih memimpin dengan selisih tipis. Namun berkaca pada hasil Brexit yang secara mengejutkan berbeda dengan hasil survey, banyak investor mulai tidak mau mengandalkan pada hasil survey untuk mengambil keputusan alhasil pasar cenderung wait & see dengan volatilitas yang meningkat. Diantara banyak survey yang tersedia, ada sebuah indikator ekonomi informal yakni misery index yang menarik untuk diperhatikan. Misery index telah berhasil memprediksi dengan akurat 11 kali dari 13 pemilu presiden AS terakhir setara dengan 85% tingkat akurasi.
Sumber: Bloomberg
Misery Index menjadi alternatif indikator pemilu Presiden AS
Pada dasarnya misery index dihitung berdasarkan penjumlahan tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi inti tahunan. Dengan asumsi bahwa jika pengangguran meningkat dan/ atau harga meningkat maka akan menciptakan kesengsaraan (misery) pada tingkat ekonomi. Pemilih memutuskan untuk memilih kandidat partai incumbent atau tidak berdasarkan kondisi ekonomi saat itu. Secara historis, kenaikan misery index mendekati hari pemilihan merupakan indikator yang buruk bagi kandidat dari partai incumbent, di mana dianggap partainya gagal menurunkan tingkat kesengsaraan masyarakat selama menjabat. Lalu bagaimana implikasinya pada pemilihan Presiden tahun ini? Tingkat pengangguran saat ini dalam kecenderungan menurun, meskipun dengan laju moderat. Sementara, inflasi akan tetap relatif rendah mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kuartal terakhir. Dengan tingkat pengangguran yang belum banyak berubah dari level 4,9% dan inflasi inti berada di level 2,3%, membuat misery index juga tidak banyak berubah dari posisi tahun lalu. Jika kondisi ini bertahan hingga hari pemilihan dan terus menunjukkan tren penurunan, tampaknya akan menjadi berita menggembirakan bagi pihak partai incumbent, yakni partai demokrat. Namun sekali lagi, apa yang terjadi pada Brexit akan selalu membayangi ekspektasi pasar global saat ini.
Misery Index Outcome Predicted
Election Date
Misery Index (U3+Core CPI) Y/Y Chg. 6m Avg.
3-Nov-64 5-Nov-68 7-Nov-72 2-Nov-76 4-Nov-80 6-Nov-84 8-Nov-88 3-Nov-92 5-N0v-96 7-N0v-00 2-Nov-04 4-Nov-08 6-Nov-12 8-Nov-16 Sumber: BLS, Bloomberg
-0.4 1.1 -2.0 -3.0 4.6 -0.3 -0.3 -0.4 -0.6 0.3 -0.2 1.5 -0.7 -0.1* (proj.)
Outcome Johnson defeats Goldwater Nixon defeats Humphrey Nixon defeats McGovern Carter defeats Ford Reagan defeats Carter Reagan defeats Mondale Bush defeats Dukakis Clinton defeats Bush Clinton defeats Dole Bush defeats Gore Bush defeats Kerry Obama defeats McCain Obama defeats Romney Democrats Win?
Outcome Regime Predicted by Change Misery Ondex N Y N Y Y N N Y N Y N Y N N?
Success Success Success FAIL Success Success Success FAIL Success Success Success Success Success ??
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016 | 3
Abnormal Policy Just For temporary
Saat ini beberapa bursa di emerging market berada di level all time high-nya. Rally pada emerging market dimulai beberapa hari setelah referendum Inggris pada akhir Juni yang memenangkan kubu Brexit. Dengan posisinya yang berada dekat pada peak membuat kita bertanya-tanya “Apakah kondisi ekonomi banyak negara saat ini sedang bagus -bagusnya?”. Berbeda dengan rally indeks emerging market pada 20032007 yang ditopang commodity boom, rally yang terjadi pada saat ini dampak karena melimpahnya likuiditas di pasar global. Bila AS pada periode 2009-2012 mengeluarkan stimulus Quantitative Easing/ QE (pembelian obligasi) antara USD4085 miliar setiap bulannya, sekarang ini stimulus yang berada di pasar dari Uni Eropa dan Jepang mencapai USD150 miliar setiap bulannya. Stimulus yang dilakukan oleh negara maju merupakan upaya untuk menaikkan inflasi, karena dengan meningkatnya inflasi menunjukkan sinyal adanya aktivitas ekonomi di Negara tersebut. Namun sayangnya dana QE yang dikeluarkan bank sentral lebih banyak mengalir ke financial asset daripada real asset. Mengalirnya dana ke financial asset tidak memberikan value creation, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kegiatan ekonomi. Yang terjadi justru membuat harga financial asset terus meningkat melampaui fundamental yang ada saat ini. Terefleksi dari naiknya valuasi indeks emerging market yang saat ini berada di level premium dibandingkan data historisnya. In Normal Condition Interest Rate Should be Above inflation
Questioning Effectivity of Quantitative Easing
Pompaan likuiditas dari QE yang tidak kunjung memberikan dampak meningkatnya inflasi di Uni Eropa dan Jepang membuat bank sentral berpikir ulang efektifitas dari QE yang dijalankan. Potensi dikuranginya QE atau dihentikan sama sekali membuat pelaku pasar menjadi khawatir kejadian seperti tahun 2013 ketika AS melakukan tapering (pengurangan QE) kembali terulang. Pada saat itu tapering yang dilakukan membuat dana asing di emerging market ditarik keluar dan kembali ke AS yang mengakibatkan bursa emerging market terkoreksi. Pada pertemuan G-20 beberapa bulan sebelumnya telah dibahas bahwa kebijakan moneter saja memang tidaklah cukup untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi global yang saat ini terus melambat, diperlukan kebijakan fiskal sebagai tools lain untuk membantu menstimulus pertumbuhan ekonomi. Strategi kebijakan fiskal seperti menurunkan pajak pendapatan dapat mendorong masyarakat untuk lebih produktif sebab insentif pendapatan bersih yang lebih besar dan juga memberikan efek meningkatnya konsumsi. Strategi ini pernah dilakukan AS pada tahun 1980-an ketika Ronald Reagan memimpin, ketika itu pajak pendapatan diturunkan dari level 70% menjadi 28% (sekarang 35%). Di Negara Eropa dan Jepang pajak pendapatan saat ini berkisar antara 40-50%. Sayangnya hingga saat ini belum ada langkah nyata yang dilakukan oleh negara maju untuk melakukan kebijakan fiskal. Di Jepang isu penurunan pajak pendapatan sempat menjadi topik hangat dalam beberapa waktu terakhir, namun sampai saat ini rencana tersebut belum terealisasi.
Equity Market OUTLOOK Saatnya Indonesia Berlari Lebih Kencang
Sumber: Bloomberg
ECB Bank Rate vs EU Zone Inflation
Sumber: EPFR Global, CLSA
Pada tahun 1994 seorang sutradara muda menulis naskah film sepanjang 80 halaman mengenai cerita ekspansi manusia di luar angkasa. Sang sutradara meyakini cerita yang dia tulis akan sukses besar merebut perhatian pasar. Namun kala itu sang sutradara memilih untuk menunda memproduksi film itu, dia memandang “belum waktunya”. Saat itu teknologi yang ada tidak meyakinkan sutradara muda ini untuk mampu menghidupkan cerita yang dia tulis. Pada akhirnya sang sutradara menunda pembuatan film ini hingga 15 tahun lamanya. Namun kesabaran ini berbuah manis, naskah 80 halaman itu berhasil dia hidupkan dalam sebuah film blockbuster yang sukses besar menjadi film terlaris sepanjang masa, yaitu Avatar. Sudah sejak masa orde baru Indonesia didengung-dengungkan akan menjadi negara besar di dunia, namun sayangnya harapan tersebut belum mampu terkabul. Krisis ekonomi di Asia pada 1997-1998 membuat Indonesia terjatuh dalam hutang yang sangat besar akibat jatuhnya nilai rupiah. Perlahanlahan Indonesia mampu bangkit kembali, menurunkan rasio
4 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016
hutangnya, bahkan hingga menjadi salah satu yang paling rendah di Asia saat ini. Diawali dengan rencana MP3EI pada masa pemerintahan SBY dan dilanjutkan dengan program percepatan pertumbuhan infrastruktur oleh Jokowi, Indonesia sekali lagi menunjukkan potensinya. Para investor memandang dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia dengan ratarata berada dalam usia produktif 28.6 tahun, maka saat ini merupakan saat yang tepat untuk Indonesia lepas landas tumbuh menjadi negara besar memenuhi potensinya.
Biaya Logistik % dari GDP Singapore US Japan Malaysia South Korea Thailand Vietnam
% of GDP
Indonesia
GDP = C + G + I + NX
0
5
10
15
20
25
30
Sumber: CLSA
Sumber: Investopedia
Dalam rumus ekonomi GDP/ PDB dikontribusi oleh konsumsi publik (C), ditambah belanja negara (G), ditambah investasi (I), ditambah ekspor minus impor (NX). Dalam struktur GDP Indonesia kontribusi terbesar disumbangkan oleh konsumsi publik sebesar 55%. Sudah sejak masa Presiden SBY, pemerintah sangat mengandalkan konsumsi publik untuk meningkatkan pertumbuhan. Pada masa itu bahkan hari terjepit antara antara weekend dengan tanggal merah dijadikan tanggal cuti bersama oleh pemerintah dengan tujuan panjangnya libur dapat meningkatkan konsumsi publik. Namun konsumsi publik saja tidaklah cukup untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan Indonesia. Rendahnya kualitas infrastruktur, birokrasi, dan perizinan merupakan tugas besar yang harus diperbaiki pemerintah untuk meningkatkan kualitas Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lain. Sebagai contoh, waktu dan bensin yang terbuang karena masalah transportasi, tingginya bunga pinjaman untuk korporasi mengakibatkan harga produk Indonesia tidak kompetitif. Berdasarkan riset World Bank, kualitas infrastruktur Indonesia berada diperingkat 63, di bawah Thailand (45) Malaysia (32), dan Singapura (5). Pemerintah menyadari untuk membuat Indonesia tumbuh lebih berkualitas maka diperlukan percepatan pertumbuhan infrastruktur supaya roda ekonomi berputar lebih efektif. Namun investasi untuk percepatan pertumbuhan infrastruktur tidaklah murah, berdasarkan riset McKinsey diperlukan Rp 8.000 triliun untuk biaya pembangunan infrastruktur yang dalam 10 tahun ke depan atau Rp 800 triliun setiap tahunnya. Sementara dalam APBN, pemerintah hanya bisa menyisihkan Rp 313 triliun anggaran infrastruktur, itu pun sudah merupakan yang tertinggi dalam sejarah. Selain menjual kekayaan alam, Indonesia hanya memiliki sedikit produk ekspor yang dapat bersaing di pasar global. Bahkan di Indonesia sendiri masyarakat dibanjiri produk asing yang berkualitas dengan harga yang sangat bersaing. Tentu ini sangat disayangkan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk yang besar serta demografi masyarakat kelas menengahnya yang mencapai 130 juta orang (World Bank) setara dengan 20 kali penduduk Singapura. Besarnya jumlah penduduk ini menunjukkan besarnya kekuatan konsumsinya. Akan lebih baik apabila masyarakat mengkonsumsi produk domestik sehingga dana tidak pergi keluar negeri, dan memberi value creation dengan menciptakan lapangan kerja.
Momentum Meningkatkan Pinjaman Produktif Untuk Belanja Infrastruktur
Untuk memenuhi biaya belanja infrastruktur pemerintah memerlukan pinjaman dan investasi dari luar negeri karena menggunakan APBN saja tidaklah cukup. Dengan rasio hutang terhadap PDB yang sangat rendah dan status investment grade yang dimiliki dari 2 lembaga rating membuat bunga hutang Indonesia menjadi lebih murah. Ditambah lagi dengan kondisi perlambatan ekonomi global yang membuat era suku bunga rendah, maka saat ini merupakan momentum yang tepat untuk Indonesia menambah pinjaman produktif demi belanja infrastruktur. Dengan indeks infrastruktur Indonesia yang masih sangat rendah maka investasi infrastruktur yang dilakukan memberikan efek multiplier yang jauh lebih besar dibanding negara yang telah memiliki infrastruktur yang sudah bagus. Selain dari permasalahan belanja infrastruktur, Indonesia juga memiliki tradisi inflasi yang tinggi sehingga mengakibatkan suku bunga pinjaman menjadi tinggi. Kondisi ini tidaklah kondusif untuk dunia usaha, karena cost of fund perusahaan menjadi lebih tinggi dan membuat hasil produksi memiliki harga yang tidak kompetitif. Pemerintah saat ini berusaha keras untuk menjaga inflasi Indonesia tetap rendah, sejauh ini usaha pemerintah meredam inflasi cukup sukses dengan inflasi tahunan hanya 2,79% jauh di atas rata-rata sekitar 6%-8%. Selain itu pemerintah juga berusaha meyakinkan perbankan untuk menurunkan rasio NIM (selisih bunga pinjaman dan simpanan) dengan tujuan menurunkan bunga pinjaman. Turunnya bunga pinjaman dan didukung oleh besarnya masyarakat kelas menengah dan di usia produktif memberikan Indonesia momentum yang sangat baik. Setelah tertunda selama 20 tahun, sekarang merupakan momentum yang tepat untuk melakukan percepatan pertumbuhan demi meningkatkan kualitas ekonomi sehingga dapat memaksimalkan potensinya.
Perlambatan ekonomi global yang membuat suku bunga rendah, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk Indonesia menambah pinjaman produktif demi belanja infrastruktur
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016 | 5
moneter dapat meningkatkan proyeksi peningkatan laba bersih lebih dari 12%.
or e
Si
ng
ap
d
m
an
na
ail Th
Vie t
ar
es pin
ilip
es
oP
on
La
Ph
Si
ng
Ind
ap
m
an
na
ail
Vie t
Th
Ph
ilip
pin
es
ia
nm
ys
ala
ya
M
M
ia es
oP
on
La
Ind
ia
0 ys
-8
nm
20
ala
-6
ya
40
M
-4
M
60
ia
-2
or e
80
d
0
ar
100
DR
2
DR
Rasio budget defisit dan debt to GDP yang rendah
Sumber : CEIC, Societe Generale
Penerimaan Tax Amnesty Meningkat Eksponensial
Sampai per 16 September 2016 penerimaan negara dari tax amnesty telah mencapai Rp29.1 triliun. Sikap pesimistis BI yang menurunkan target penerimaan tax amnesty dari Rp50 triliun menjadi Rp21 triliun tidak terbukti. Dengan penerimaan tax amnesty hanya dalam setengah bulan September saja mencapai Rp26 triliun, maka hingga ditutupnya tax amnesty periode pertama akhir September ini, potensi penerimaan dapat mencapai Rp50-60 triliun. Penerimaan saat ini telah melampaui penerimaan tax amnesty di India pada tahun 1997, saat itu penerimaan pemerintah India sebesar USD1.5 miliar (Rp20 triliun ). Bila diperiode pertama ini saja pemerintah mampu mendapatkan Rp60 triliun, maka ini merupakan sentimen positif untuk pasar. Memang bila menggunakan ekspektasi pemerintah target penerimaan sebesar Rp165 triliun maka angka ini masih jauh, namun pada umumnya para ekonom ataupun lembaga riset tidak menggunakan target pemerintah sebagai acuan. Ekspektasi penerimaan pada umumnya antara Rp60-100 triliun. Berdasarkan lokasi, deklarasi aset dalam negeri sebesar Rp 494 trilun, sementara deklarasi luar negeri sebesar Rp185 triliun dengan dana repatriasi Rp35.6 triliun. Terdapat isu upaya yang menghambat program tax amnesty dari negara lain sehingga deklarasi dari luar negeri masih sangat rendah.
Prediksi Deutsche Bank pemasukan tax amnesty Rp50 triliun memberikan pemasukan 0,43% terhadap GDP 0.7%
Belum adanya perbaikan dari sisi margin dan growth emiten membuat re-rating IHSG sulit untuk dapat dijustifikasi. Menurut Kami berdasarkan rata-rata historical growth laba bersih 12,5% pertahun maka level IHSG yang wajar saat ini berada di 5.160, namun kami juga memahami dengan melimpahnya likuiditas global dan baiknya sentimen domestik terhadap program tax amnesty membuat capital inflow yang masuk mendorong IHSG dapat mencapai level 5.400. Angka rata-rata pertumbuhan laba bersih 12,5% setiap tahunnya cukup mirip dengan angka rata-rata pertumbuhan nominal PDB Indonesia (PDB riil + inflasi) dalam beberapa tahun terakhir di mana PDB 5%-6% dan inflasi 6%-8%. Dengan semakin mendekati akhir tahun membuat para pelaku pasar melihat proyeksi 2017 sebagai acuan IHSG saat ini. Kembali menggunakan growth 12,5% sebagai asumsi konservatif maka IHSG dapat berada di level 5.800 pada 2017. Didukung dengan potensi meningkatnya laba bersih dan dampak pelonggaran moneter serta besarnya capital inflow dari tax amnesty tidak menutup kemungkinan IHSG menuju ke level 6.000 dalam 12 bulan ke depan.
Ekspektasi konsensus pertumbuhan laba bersih 2017 sebesar 17% Bloomberg Index: Jakarta Stock Exchange Composite Index (J...
Earnings Estimates Overview Measure Earnings Per Share EPS Positive Cash Flow Per Share Dividends Per Share Book Value Per Share Sales Per Share EBITDA Per Share Long Term Growth Net Debt Per Share Enterprise Value Per Share
Periodicity: Annual
EPS Growth 2017
Actual
Y Est
Growth
Y+1 Est
Growth
201.72 278.83 392.18 96.68 2167.04 2669.81 541.35 ** 452.47 6567.96
304.10 311.74 1824.79 97.18 2135.06 2329.06 519.69 12.86% 709.54 6101.86
50.75% 11.80% 365.29% 0.52% -1.48% -12.76% -4.00% ** 56.81% -7.10%
357.63 360.10 867.73 111.78 2358.26 2580.34 588.37 ** 727.71 6115.02
17.60% 15.52% 52.45% 15.02% 10.45% 10.79% 13.22% ** 2.56% 0.22%
Sumber : Bloomberg
0.62%
0.6% 0.5%
0.43%
0.4%
BOND Market OUTLOOK
0.35%
0.3%
0.24%
0.2%
0.21% 0.12%
0.1%
0.04%
0.0% Chile
Indonesia
India
Italy
USA: Lousiana
Spain
Ketidakpastian Global dan Defisit Anggaran Menghadang 0.00%
Australia USA:Los Angeles
Sumber : Deutstche Bank, CEIC
Proyeksi Laba Bersih 2017 Sebagai Acuan IHSG saat ini
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan hingga 1% tahun selama 2016 dan pemerintah telah meluncurkan 13 paket ekonomi untuk menstimulus ekonomi maka kebijakan ini dapat memberi efek meningkatnya laba bersih emiten dalam jangka panjang, terlebih bila rencana pemerintah menurunkan corporate tax dari 25% menjadi 18% jadi dilaksanakan. Jika pada 2016 rata-rata analis mengekspektasikan kenaikan laba bersih 8%-12%, maka di tahun depan dengan pelonggaran
Ketidakpastian global yang meningkat membayangi pergerakan pasar obligasi dalam jangka pendek. Pasca pidato Janet Yellen yang bernada hawkish, pasar obligasi diwarnai spekulasi kenaikan FFR pada bulan September yang berdampak pada aliran dana investor asing yang keluar dari pasar obligasi emerging market untuk kembali ke developed market. Ini tercermin dari melambatnya tingkat kepemilikan investor asing pada SBN di bulan Agustus. Meskipun masih mencatatkan net-buy pada Agustus namun tren kenaikannya mulai mengalami perlambatan. Investor asing masih mengambil posisi wait and see menunggu hasil FOMC meeting pada 21 September mendatang.
6 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016
Monthly Foreign Flow to Bonds Market (IDRtn) 45
45%
Foreign inflows (outflows) 35
Foreign Ownership (RHS)
40%
25
10.43 4.93 35%
15 5
30%
(5) (15)
25%
(25) (20% Jun-16
Sep-16
Mar-16
Dec-15
Jun-15
Sep-15
Mar-15
Dec-14
Jun-14
Sep-14
Mar-14
Dec-13
Jun-13
Sep-13
Mar-13
Dec-12
Jun-12
Sep-12
Mar-12
Dec-11
Sep-11
(35)
Penambahan defisit tersebut otomatis akan menambah kebutuhan penerbitan SBN guna menambal defisit anggaran. Dari sebelumnya target penambahan Rp17 triliun melebar menjadi Rp37 triliun. Kami melihat pemerintah masih dapat mengelola kebutuhan penerbitan SBN hingga akhir tahun. Dengan rata-rata penawaran lelang yang dimenangkan sebesar Rp14.25 triliun untuk SBN dan Rp5.36 triliun untuk Sukuk dan masih besarnya penawaran yang masuk setiap lelang (Rp27.1 triliun untuk SBN dan Rp12.75 triliun untuk Sukuk) serta masih menyisakan 10 kali lelang (masing-masing lima kali), kami melihat kebutuhan tersebut dapat dipenuhi hanya dengan memenangkan masing-masing Rp9.5 triliun dan Rp3.2 triliun pada setiap lelang SBN dan Sukuk yang tersisa.
Sumber : DJPPR, Bank Commonwealth
Pasar keuangan dunia yang saat ini haus akan sentimen pelonggaran kebijakan moneter sangat menunggu momentum pada minggu ketiga September, dimana akan berlangsung tiga pertemuan bank sentral dunia yakni Bank of Japan (BOJ), The Fed dan Bank Indonesia. BOJ yang sejak Februari menerapkan kebijakan suku bunga negatif akan menggelar pertemuan untuk memutuskan kebijakan moneter lanjutan pada tanggal 21 September. Walaupun pelaku pasar masih terus berekspektasi akan adanya pelonggaran kebijakan namun berdasarkan konsensus Bloomberg BOJ diperkirakan tidak akan melakukan pemotongan suku bunga pada pertemuan September ini. Sedangkan dari AS, The Fed yang masih ingin menormalisasi suku bunga acuannya secara bertahap masih bimbang untuk melakukannya hingga saat ini. Rilis data ekonomi yang masih belum solid membuat para anggota FOMC meeting belum satu suara dalam memandang kenaikan di September ini. Dari dalam negeri, BI yang akan menggelar RDG pada 22 September masih memberikan sinyal untuk berkontribusi melakukan pelonggaran moneter demi menopang pertumbuhan ekonomi. BI menyatakan dapat mengambil langkah pelonggaran moneter dalam bentuk pemotongan suku bunga acuan, saat ini di level 5,25%, atau penurunan GWM bagi bank serta kembali meluncurkan kebijakan makroprudensial, seperti menaikkan Loan To Value kredit yang pernah dilakukan sebelumnya. Selain risiko ketidakpastian global, saat ini pasar obligasi menghadapi risiko melebarnya defisit anggaran dari dalam negeri. Di mana hingga Agustus penerimaan negara baru mencapai 46,1% dari target APBN-P 2016. Awal Agustus Menteri Keuangan mengajukan revisi APBN-P dengan menurunkan asumsi pendapatan negara sebanyak Rp 203 triliun dan akan melakukan pemotongan anggaran sebanyak Rp 185 triliun. Dengan pemotongan tersebut defisit APBN akan melebar menjadi 2,5% dari PDB dan akan ada penambahan pasokan SBN sebesar Rp17 triliun. Dengan perkembangan penerimaan uang tebusan tax amnesty yang masih di bawah ekspektasi, Menteri Keuangan kembali menyatakan akan melakukan penambahan defisit anggaran sebesar 0,2% dari PDB dan tidak melebihi 2,7% dari PDB.
Risks To Watch Berikut ini adalah beberapa risiko yang perlu kita waspadai dalam beberapa bulan kedepan : Belum diperpanjangnya stimulus moneter oleh bank sentral Eropa walaupun data inflasi yang masih sangat rendah membuat pasar berspekulasi bahwa stimulus tidak akan dilanjutkan, bahkan terbuka kemungkinan akan dikurangi dalam waktu dekat. Melihat fakta rally yang terjadi pada indeks di berbagai belahan dunia karena melimpahnya likuiditas global dan sebagian masuk ke financial asset, maka spekulasi akan semakin dikuranginya stimulus perlahanlahan dapat mengurangi likuiditas global. Angka inflasi tahunan AS 1,1% dan pengangguran 4,9% kerap dijadikan acuan oleh para pejabat The Fed bahwa sudah waktunya suku bunga dinaikkan. Dengan kondisi sudah hampir full employment maka pejabat The Fed berargumen suku bunga harus dinaikkan untuk mencegah overheating ekonomi. Kemungkinan normalisasi kenaikan suku bunga AS secara berkala dapat mengganggu kestabilan ekonomi global, terefleksi dari koreksi yang terjadi akibat kenaikan suku bunga AS pada Desember tahun lalu. Dengan status AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia maka pemilihan Presiden yang akan diselenggarakan pada bulan November nanti akan menyedot perhatian dunia. Pasar menantikan kebijakan yang akan diterapkan dari para calon Presiden tersebut. Meningkatnya potensi kemenangan kandidat yang cenderung untuk proteksionis, tidak pro pasar bebas, dan rencana menaikkan suku bunga secara agresif dapat meningkatkan ketidakpastian terutama untuk emerging market. Penerimaan pajak sampai bulan Agustus yang baru mencapai 46% dari target pemerintah, membuka potensi shortfall semakin besar. Dengan demikian akan mendorong pemerintah menerbitkan obligasi lebih banyak sehingga supply bertambah. Selain dampak negatif dari bertambahnya supply, kembali melesetnya penerimaan negara dapat menjadi sentimen negatif pada Indonesia baik untuk IHSG maupun obligasi.
Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016 | 7
Rekomendasi Investasi Pada pasar Saham, kembali dibahasnya potensi kenaikan suku bunga AS dan spekulasi tidak akan diperpanjangnya stimulus moneter oleh bank sentral Eropa meningkatkan ketidakpastian pasar global. Namun kami tetap meyakini kenaikan suku bunga AS hanya akan terjadi 1x tahun ini, karena dengan kondisi pasar global yang masih rapuh, sementara angka inflasi AS juga belum stabil maka menaikkan suku bunga secara agresif sangat berisiko pada kestabilan ekonomi. Sementara dengan inflasi Eropa hanya 0,2% dan masih berada dalam fase downtrend, kecil kemungkinan tapering dilakukan dalam waktu dekat. Ditopang cukup baiknya penerimaan tax amnesty yang telah mencapai IDR 29,1 triliun hingga 16 September, kami tetap menilai positif pada IHSG hingga akhir tahun. Namun dengan IHSG yang telah mengalami kenaikan cukup signifikan maka cukup wajar bila terjadi koreksi sehat, merupakan strategi yang bijak bila menyisihkan 10-20% dana kash untuk kembali diinvestasikan bila terjadi koreksi. Secara jangka panjang kami masih tetap bullish pada equity
dan memberikan rekomendasi aset alokasi 50% seimbang dengan obligasi. Pada pasar obligasi, walaupun dari fundamental makroekonomi Indonesia masih cukup mendukung pasar obligasi dalam jangka waktu menengah, namun perlu dicermati volatilitas yang akan terjadi di tengah ketidakpastian kondisi global dalam waktu dekat. Isu kenaikan FFR yang lebih cepat dari ekspektasi, serta penundaan bahkan pengurangan stimulus dari bank sentral negara maju masih membayangi pasar obligasi dalam waktu dekat. Namun perlu diingat bahwa, perbaikan makroekonomi Indonesia yang sedang berjalan seperti inflasi yang berada di area batas bawah target BI, stabilnya nilai tukar rupiah serta terus bertambahnya cadangan devisa masih membuka ruang potensi pemotongan suku bunga lanjutan oleh BI yang akan memberikan dukungan untuk pasar obligasi bergerak positif. Dalam jangka panjang Kami masih mempertahankan pandangan positif Kami terhadap pasar obligasi dengan merekomendasikan alokasi aset pada instrumen obligasi sebesar 50% dari total portoflio.
ANALISA VALAS Federal Reserve AS pada meeting bulan September ini memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga tidak berubah, namun memberikan indikasi yang lebih jelas mengenai kemungkinan waktu kenaikan suku bunga sebelum akhir tahun ini. Dalam statementnya, dewan kebijakan The Fed memberikan indikasi jika potensi untuk menaikkan suku bunga telah semakin menguat meskipun mereka masih ingin melihat bukti lebih lanjut dari perkembangan ekonomi. Bank sentral AS juga mengatakan jika risiko yang dihadapi perekonomian sejauh ini masih terkendali. Pasar menilai pernyataan The Fed tersebut terlihat begitu optimis terhadap prospek ekonomi. The Fed juga menekankan nada hawkish dari pembuat kebijakan, di mana 14 dari 17 pejabat Fed berharap kenaikan suku bunga akan terjadi pada akhir tahun.
USD/IDR Pergerakan USD/IDR hingga akhir Agustus 2016 tergolong cukup positif dengan range antara 13040-13345. Laju inflasi sedikit mengalami perlambatan di kisaran level 2,79% dibanding sebelumnya di 3,21%, BI memutuskan menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 5,25% menjadi 5,00%. Gubernur BI Agus Martowardojo memberikan indikasi akan dilakukannya lagi pelonggaran kebijakan moneter. Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan keputusan BI menurunkan BI 7-Day Repo Rate semata-mata untuk mendorong pertumbuhan kredit. Langkah kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan sentimen positif ke ekonomi
Indonesia untuk jangka waktu menengah, Dana repatriasi Tax Amnesty sudah mencapai Rp79.1 triliun dan Deklarasi dalam dan luar negeri sudah mencapai Rp1.440 triliun. Pemerintah sepakat untuk memperpanjang periode program pengampunan pajak dari yang seharusnya September menjadi Desember. Kemungkinan besar fokus market sementara akan beralih pada kenaikan suku bunga USD dan berpotensi membuat IDR cenderung melemah. Diperkirakan nilai tukar Rupiah akan cenderung melemah di rentang 13.000-13.250 pada kisaran bulan Oktober ini.
AUD/USD Pada bulan September ini AUD bergerak stabil dengan range 0.7442-0.7732, suku bunga RBA kembali dipertahankan di level terendah di 1,50% dengan indikasi ekonomi Australia yang menunjukkan adanya kenaikan momentum. Hal ini memberikan ekspektasi ke market bahwa suku bunga akan bertahan di level sekarang sampai akhir tahun. GDP dirilis naik di 3,3% dari sebelumnya di 3,1% dan tingkat pengganguran dirilis turun di 5,6% dari sebelumnya di 5,7%. Untuk jangka waktu
menengah AUD masih cenderung akan melemah terhadap mata uang lainnya, dikarenakan prospek kenaikan suku bunga US sampai akhir tahun cukup menyita perhatian market. Untuk jangka pendek AUD masih berpotensi menguat terbatas ke level 0.7730. Diperkirakan AUD/USD akan cenderung bergerak dengan rentang 0.7450-0.7730 pada kurun waktu bulan Oktober 2016.
8 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016
EUR/USD Nilai tukar Euro terhadap USD bergerak stabil di range 1.11201.1330 dengan kecenderungan melemah di bulan September, dipicu oleh sentiment risk appetite yang cukup dominan disebabkan oleh potensi naiknya suku bunga US sampai akhir tahun mengakibatkan EUR bergerak melemah terhadap USD.
Ditengah makin jelasnya arah kebijakan dari the FED Investor cenderung memburu aset berisiko. Diperkirakan EUR/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.1120-1.1350 pada kurun waktu bulan Oktober 2016 dengan kecenderungan melemah dulu.
GBP/USD Poundsterling bergerak fluktuatif di bulan September ini dengan range 1.2945-1.3445 dengan kecenderungan melemah disebabkan oleh makin jelasnya prospek kenaikan suku bunga US sampai akhir tahun disertai juga dengan kekhawatiran dan ketidakpastian terhadap dampak dari keluarnya Inggris dari Uni
Eropa kembali menggiring Poundsterling ke level terendah lima pekan untuk menembus di bawah USD1.30. Diperkirakan GBP/USD akan cenderung bergerak dalam rentang 1.2850-1.3150 pada kurun waktu bulan Oktober 2016.
USD/JPY JPY bergerak sangat stabil dengan range 100.12-104.42 di bulan September ini. Bank of Japan meluncurkan perubahan yang besar untuk kerangka kerja kebijakan mereka dengan menetapkan target untuk suku bunga jangka panjang dengan mempertahankan rencana pembelian aset 80 triliun yen, namun mereka juga mengatur kembali kebijakan mereka sebagai
tujuan untuk merubah ekspektasi inflasi. Bank of Japan juga menyepakati suku bunga tetap di level -0,1% Diperkirakan USD/JPY akan cenderung bergerak dengan rentang 100.00-103.50 pada bulan Oktober 2016 dengan kecenderungan JPY melemah terbatas.
Recommendation USD/IDR
EUR/USD
GBP/USD
AUD/USD
USD/JPY
Expected buying level
12.950 - 13.050
1.1100 - 1.1150
1.2850 - 1.2950
0.7450 - 0.7500
100.00 - 100.50
Expected selling level
13.200 - 13.300
1.1300 - 1.1350
1.3100 - 1.3150
0.7650 - 0.7700
103.00 - 103.50
Long profit taking
13.200 and above
1.1300 and above
1.3100 and above
0.7650 and above
103.00 and above
Short profit taking
13.050 and below
1.1150 and below
1.2950 and below
0.7500 and below
100.50 and below
Long cut loss
12.850 - 12.900
1.1050 - 1.1100
1.2750 - 1.2800
0.73500 - 0.7400
99.00 - 99.50
Short cut loss
13.350 - 13.400
1.1400 - 1.1450
1.3200 - 1.3250
0.7750 - 0.7800
104.00 - 104.50
Entry Point Profit Taking Cut Loss
*Data di atas hanya bersifat indikatif dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kondisi pasar.
Disclaimers Kecuali dinyatakan lain, semua data bersumber dari berita media massa, dan tidak diterbitkan oleh PT Bank Commonwealth (PTBC). PTBC harus dijamin untuk dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk tetapi tidak terbatas pada penuntutan hukum oleh pihak ketiga. PTBC beserta direkturnya, karyawannya dan perwakilannya dalam Lampiran ini selanjutnya bersama-sama disebut sebagai “Grup”. Laporan ini diterbitkan semata-mata untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai suatu ajakan atau penawaran untuk membeli efek atau instrumen keuangan. Laporan ini telah disusun tanpa mempertimbangkan tujuan, situasi keuangan dan kapasitas untuk menanggung kerugian, pengetahuan, pengalaman atau kebutuhan orang-orang tertentu yang mungkin menerima laporan ini. Tidak ada anggota dari Grup yang melakukan atau harus melakukan penilaian kelayakan atau penyesuaian laporan untuk penerima laporan ini yang karenanya tidak mendapat manfaat dari perlindungan peraturan dalam hal ini. Laporan ini bukan nasihat atau petunjuk. Semua penerima laporan ini harus, sebelum bertindak atas dasar informasi dalam laporan ini, mempertimbangkan kewajaran/kelayakan dan kesesuaian informasi, dengan memperhatikan tujuan-tujuan mereka sendiri, situasi keuangan dan kebutuhan, dan jika perlu mencari profesional yang tepat, memperhatikan kondisi valuta asing atau nasihat keuangan tentang isi laporan ini sebelum membuat keputusan investasi. Kami percaya bahwa informasi dalam laporan ini adalah benar dan setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang cukup telah diadakan atau dibuat, berdasarkan informasi yang tersedia pada saat kompilasi, tetapi tidak ada pernyataan atau jaminan, baik tersurat atau tersirat, yang dibuat atau disediakan untuk akurasi, kehandalan atau kelengkapan setiap pernyataan yang dibuat dalam laporan ini. Setiap pendapat, kesimpulan atau rekomendasi yang ditetapkan dalam laporan ini dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan, kesimpulan, pendapat atau rekomendasi yang diungkapkan oleh Grup di tempat lain. Kami tidak berkewajiban untuk, dan tidak, memberitahukan perkembangan terkini atau harus terus mengikuti informasi terkini yang terdapat dalam laporan ini. Grup tidak menerima tanggung jawab untuk setiap kerugian atau kerusakan yang timbul akibat dari penggunaan seluruh atau setiap bagian dari laporan ini. Setiap penilaian, proyeksidan prakiraan yang terkandung dalam laporan ini didasarkan pada sejumlah asumsi dan perkiraan dan tunduk pada kontinjensi dan ketidakpastian. Asumsi dan perkiraan yang berbeda dapat mengakibatkan hasil material yang berbeda pula. Grup tidak mewakili atau menjamin bahwa salah satu proyeksi penilaian atau prakiraan, atau salah satu dasar asumsi atau perkiraan, akan dipenuhi. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk kinerja masa depan. Grup tidak menjamin kinerja dari produk investasi atau pembayaran kembali modal dengan produk yang didistribusikan oleh PTBC. Investasi dalam produk ini bukan merupakan simpanan atau kewajiban lainnya dari Grup atau anak perusahaannya dan setiap jenis produk investasi memiliki risiko investasi termasuk hilangnya pendapatan dan modal yang diinvestasikan. Contoh yang digunakan dalam komunikasi ini hanya untuk ilustrasi. Semua materi yang disajikan dalam laporan ini, kecuali bila ditentukan lain, berada di bawah hak cipta Grup. Tak satu pun dari materi, maupun isinya, maupun salinannya, dapat diubah dengan cara apapun, ditransmisikan ke, disalin atau didistribusikan kepada pihak lain, tanpa izin tertulis dari perusahaan terkait yang menjadi bagian dalam Grup. Grup, berikut agennya, asosiasinya dan kliennya memiliki atau telah memiliki posisi panjang atau pendek pada efek atau instrumen keuangan lainnya yang disebut di sini, dan dapat setiap saat melakukan pembelian dan/ atau penjualan terhadap kepentingan atau surat berharga dalam kapasitasnya sebagai prinsipal atau agen, termasuk menjual atau membeli dari klien atas dasar pokok dan dapat terlibat dalam transaksi yang tidak konsisten dengan laporan ini. Silakan melihat website kami di www.commbank. co.id untuk informasi lebih lanjut. Jika Anda ingin berbicara dengan seseorang mengenai instrumen keuangan yang dijelaskan dalam laporan ini, silakan hubungi Call Centre kami di 15000 30 atau email kami di
[email protected].
10 | Market Perspective | Wealth Management Newsletter | September 2016