INDEKS KELANGKAAN AIR IRIGASI Waluyo Hatmoko Peneliti Utama di Puslitbang Sumber Daya Air email:
[email protected]
ABSTRAK Akhir-akhir ini permasalahan kelangkaan air semakin banyak diberitakan. Untuk menyatakan kelangkaan air biasa digunakan indeks kelangkaan air, berupa indeks Falkenmark yang menyatakan jumlah air yang tersedia per orang per tahun; dan indeks kekritisan air (critically index) atau dikenal juga dengan nama Indeks Penggunaan Air (IPA) yang menyatakan rasio antara kebutuhan air dengan ketersediaan air. Kedua indeks ini biasa menyatakan kelangkaan air pada suatu wilayah yang umumnya berupa negara, provinsi, wilayah sungai, atau daerah aliran sungai. Sampai saat ini belum ada indeks kelangkaan air yang sesuai untuk diterapkan pada suatu daerah irigasi, terutama dengan fluktuasi jumlah air yang tersedia. Makalah ini mengusulkan penggunaan faktor-K untuk menyatakan kelangkaan air di daerah irigasi. Konsep ini diterapkan pada beberapa daerah irigasi di Wilayah Sungai Pemali-Comal, Jawa Tengah. Disimpulkan bahwa penggunaan indeks kelangkaan air berkorelasi erat dengan data historis luas sawah terkena kekeringan. Disarankan untuk mengembangkan indeks kelangkaan air irigasi ini dalam mengukur kinerja infrastruktur irigasi. Kata kunci: Kelangkaan Air, Irigasi, Indeks Kelangkaan Air, Kekeringan
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Kelangkaan air merupakan kondisi kekurangan air yang disebabkan oleh manusia, untuk membedakan dengan kekeringan yang merupakan kondisi kekurangan air sementara yang berlangsung secara alami. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan air, sementara jumlah air yang tersedia relatif tetap, bahkan kualitasnya cenderung menurun. Hal ini menyebabkan semakin hari permasalahan kelangkaan air semakin banyak diberitakan. Untuk menyatakan kelangkaan air biasa digunakan indeks kelangkaan air, berupa indeks Falkenmark yang menyatakan jumlah air yang tersedia per orang per tahun; dan indeks kekritisan air (critically index) atau dikenal juga dengan nama Indeks Penggunaan Air (IPA) yang menyatakan rasio antara kebutuhan air dengan ketersediaan air. Kedua indeks ini biasa menyatakan kelangkaan air pada suatu wilayah yang umumnya berupa negara, provinsi, wilayah sungai, atau daerah aliran sungai. Sampai saat ini belum ada indeks kelangkaan air yang sesuai untuk diterapkan pada suatu daerah irigasi. 1.2 Maksud dan tujuan Makalah ini melaporkan pengembangan suatu indeks kelangkaan air untuk irigasi, yang diadopsi dari konsep pemenuhan kebutuhan air Faktor-K yang telah lama digunakan di Indonesia.
2
KELANGKAAN AIR
2.1 Pengertian kelangkaan air Kelangkaan air adalah situasi dimana sumber daya air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rata-rata jangka panjang. Kelangkaan air merupakan ketidakseimbangan jangka panjang, dimana jumlah air yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan air, dan berarti bahwa kebutuhan air melebihi sumber daya air yang dapat didayagunakan secara berkelanjutan (sustainable). (EU, 2007; UNEP, 2011). Definisi serupa dinyatakan oleh UN-WATER (2006) dan FAO (2007) yang mendefinisikan kelangkaan air sebagai suatu kondisi dimana pasokan atau kualitas air tidak dapat memenuhi kebutuhan semua sektor, termasuk lingkungan. Sementara Van Loon (2012), menyatakan bahwa kelangkaan air disebabkan oleh eksploitasi sumber daya air secara berlebihan, ketika kebutuhan air lebih besar dari ketersediaan air, jadi berfokus pada akibat aktivitas manusia terhadap sistem hidrologi. Perbedaan antara kekeringan dan kelangkaan air disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi kekurangan air (Pereira et al., 2002) Penyebab Jangka panjang Jangka pendek Alami Daerah yang kering Kekeringan (drought) (aridity) Manusia Penggurunan Kelangkaan air (water (anthropogenic) (desertification) scarcity) Beberapa literatur memisahkan secara tegas pengertian kekeringan dan kelangkaan air. Komisi Eropa (2012) merumuskan perbedaan antara kekeringan dan kelangkaan air pada tabel berikut. Tabel 2 Skala waktu dan penyebab kekeringan, kelangkaan air dan konsep terkait Penyebab
Jangka pendek (harian, mingguan)
Alami
Musim kering (dry spell)
Manusia
Kekurangan air (water shortage)
Jangka Menengah Jangka panjang (bulanan, musiman, (puluhan tahun) tahunan) Kekeringan (drought) Daerah yang kering (aridity) Kelangkaan air Penggurunan (water scarcity) (desertification)
Perbedaan mendasar antara kekeringan dengan kelangkaan air adalah bahwa pengelolaan sumber daya air dapat menanggulangi kelangkaan air, akan tetapi hanya dapat melakukan adaptasi terhadap kekeringan dengan mengurangi kerentanan (vulnerability) dan meningkatkan ketahanan (resilience) dengan upaya pro-aktif. Palmer et al. (2008) dan Schiermeier (2008) menyarankan pergeseran fokus pengelolaan kelangkaan air dari mengurangi kerentanan terhadap kekeringan menjadi mengurangi eksploitasi berlebihan dari sumber daya air, atau dari menghadapi variabilitas alam menjadi mengurangi akibat yang disebabkan oleh manusia (anthropogenic).
2.2 Indeks Kelangkaan Air Falkenmark Salah satu indikator kelangkaan air (water scarcity) adalah Falkenmark Index (FI), yang menyatakan jumlah air yang tersedia per-tahun per-orang. Indeks ini juga dikenal dengan nama Water Stress Index (WSI). FI = jumlah air per-tahun / jumlah penduduk Kondisi cekaman atau kelangkaan air menurut FI ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi cekaman air Falkenmark Index (FI) Falkenmark Index FI Kondisi cekaman air Ketersediaan air per-tahun per-orang (m3) Besar dari 1.700 Tanpa cekaman air 1.000 – 1.700 Cekaman air 500 – 1000 Kelangkaan air kronis Kecil dari 500 Kelangkaan air parah Indeks Falkenmark untuk setiap wilayah sungai di Indonesia telah dihitung oleh Puslitbang Sumber Daya Air (Hatmoko et al., 2012) dan hasilnya disajikan pada Gambar 1. Terlihat bahwa cekaman air mulai ada pada beberapa wilayah sungai di Jawa, Bali, dan Lombok, yang menunjukkan bahwa jumlah air yang tersedia per-tahun per-kapita sudah berada dibawah 1.700 m3
Jumlah air per tahun per penduduk meter-kubik/tahun/kapita besar dari 1.700 (114) 1,000 - 1,700 (11) 500 - 1,000 (5) kecil dari 500 (1)
Gambar 1 Indeks Falkenmark pada wilayah sungai di Indonesia Indeks Falkenmark ini menggunakan data yang mudah diperoleh, dan dapat diterapkan untuk berbagai jenis wilayah. Kelemahan indeks ini adalah 1) Tidak memberi informasi mengenai kondisi yang lebih detil, jadi jika diterapkan pada wilayah sungai tidak dapat memberikan informasi mengenai daerah aliran sungai; 2) tidak memberikan informasi mengenai akses untuk memperoleh air; 3) tidak memasukkan peran infrastruktur sumber daya air seperti bendungan; 4) menganggap bahwa kebutuhan air tiap orang pada berbagai wilayah adalah sama; dan 5) sulit untuk digunakan secara operasional dalam alokasi air.
2.3 Indeks Kekritisan Air Indeks kekritisan air atau Criticality Ratio (CR) menyatakan tingkat kerawanan akan krisis air, dan didefinisikan sebagai nilai perbandingan antara jumlah kebutuhan air dan jumlah air yang tersedia pada suatu wilayah. CR = Jumlah air tersedia / Kebutuhan air Tingkat kekritisan air dinyatakan sebagai cekaman air, disajikan pada tabel berikut. Tabel 4 Kondisi Cekaman Air Indikator CR Criticality Ratio CR = Prosentase kebutuhan air terhadap ketersediaan air < 10% 10% - 20% 20%-40% > 40%
Cekaman air Cekaman air rendah Cekaman air sedang-rendah Cekaman air sedang-tinggi Cekaman air tinggi
Berdasarkan data ketersediaan air dan kebutuhan air di wilayah sungai Puslitbang Sumber Daya Air (Hatmoko et al., 2012) telah menghitung indeks kerawanan air Critically Ratio (CR), yang di Indonesia dikenal dengan nama Indeks Pemakaian Air (IPA). Hasil perhitungan disajikan pada gambar berikut. Terlihat jelas bahwa hampir seluruh wilayah sungai di Indonesia dalam kondisi cekaman tinggi, demikian pula dengan lumbung padi nasional di Lampung, Sulawesi Selatan, Bali dan Lombok.
Indeks Pemakaian Air Kebutuhan air / Ketersediaan air besar dari 40% 20% - 40% 10% - 20% kecil dari 40%
(19) (12) (17) (83)
Gambar 2 Indeks Pemakaian Air pada wilayah sungai Indonesia Kelemahan metode ini adalah: 1) tidak memperhitungkan adanya infrastruktur sumber daya air, misalnya waduk yang menambah ketersediaan air; 2) tidak memperhitungkan adanya penggunaan air yang digunakan kembali, misalnya air buangan irigasi; 3) tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya yang mampu beradaptasi dengan kondisi kekurangan air; dan sulit diterapkan untuk menjamin keadilan dalam alokasi air.
3
INDEKS KELANGKAAN AIR UNTUK IRIGASI
Kedua Indeks Kelangkaan Air FI dan CI berlaku untuk suatu wilayah yang luas, biasa berupa wilayah sungai, provinsi atau kabupaten, dengan menggunakan data yang dari Badan Pusat Statistik dan data kebutuhan air dan ketersediaan air yang sulit dimutakhirkan (update). Di lain pihak, perencanaan alokasi air selain dari perencanaan strategis untuk kurun waktu 20 tahun, juga ada perencanaan tahunan, dan bulanan atau tengah bulanan, yang memerlukan data yang mudah dimutakhirkan, dan terkait erat dengan irigasi sebagai pengguna air terbesar di Indonesia. 3.1 Faktor-K dalam irigasi di Indonesia Faktor-k merupakan perbandingan antara penyediaan air dengan kebutuhan air, yang telah diterapkan di Jawa sejak jaman Belanda untuk mencapai keadilan alokasi air Dinar et al. (1997) dan Kelley et al. (1989). Faktor-K telah menjadi dasar pembagian air irigasi pada masa-masa kekurangan air, yaitu dengan teknik giliran, yang telah menjadi kearifan lokal di Indonesia (Supadi, 2009). Sampai dengan saat ini faktor-K masih digunakan di bendung irigasi dan bangunan bagi lainnya, dan ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 / PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Faktor-K didefinisikan sebagai: Faktor-K = air tersedia / kebutuhan air
(1)
Jika Faktor-K lebih besar dari 1, maka faktor-K =1
(2)
Persamaan (2) menyatakan bahwa jika air yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan, maka air yang dipasok akan sama dengan kebutuhan air. Pada bendung irigasi biasa diterapkan faktor-K dengan klasifikasi seperti pada tabel berikut. Tabel 5 Klasifikasi Faktor-K Faktor-K Diatas 70% 50% s/d 70% 30% s/d 50% Dibawah 30% Sumber: Dinas PSDA Jawa Tengah
Klasifikasi Aman Potensi rawan kekeringan Rawan kekeringan Sangat rawan kekeringan
3.2 Faktor-K sebagai Indeks Kelangkaan Air untuk Alokasi Air Dalam alokasi air irigasi, seperti halnya dengan kekeringan, dalam kelangkaan air perlu ada suatu indeks yang dapat digunakan untuk menentukan awal, akhir, dan lama (durasi) suatu kelangkaan air, serta tingkat keparahannya. Untuk dapat memberikan informasi mengenai durasi terjadinya kelangkaan air, perlu didefinisikan awal dan akhir kejadian kelangkaan air, yang untuk kekeringan biasa digunakan metode “theory of run” yang dikembangkan oleh Yevjevich (1967). Indikator kelangkaan air seperti misalnya data runtut waktu hujan atau debit Xt dipotong pada suatu ambang batas X0, yang dapat berupa nilai rata-rata, median, atau persentil tertentu, atau angka lainnya yang dapat berupa angka tetap maupun bervariasi menurut musim. Kelangkaan air didefinisikan sebagai kondisi bilamana nilai indikator setelah dipotong berada di bawah garis ambang batas, atau dengan lain perkataan jika nilainya negatif setelah dilakukan pemotongan.
Gambar 3 Mendefinisikan kejadian kekeringan atau kelangkaan air Selanjutnya Theory of Run diterapkan pada data runtut waktu (time-series) indikator kekeringan atau kelangkaan air yang telah dipotong, sebagaimana disajikan pada Gambar 3 (Mishra and Singh, 2010). Durasi kekeringan D (Duration) adalah panjang waktu antara garis memotong X0 menjadi negatif sampai dengan memotong X0 menjadi positif. Tingkat kekeringan M (magnitude) dari suatu kejadian kekeringan adalah jumlah kumulatif defisit di bawah ambang batas X0. Sedangkan intensitas kekeringan I (Intensity) adalah rata-rata penyimpangan dari X0, atau hasil bagi antara keparahan dengan durasi. I=M/D Error! Reference source not found. menunjukkan tiga buah kejadian kekeringan. Kejadian pertama merupakan kejadian kekeringan yang paling parah; kejadian kedua adalah kejadian kekeringan yang paling lama durasinya, dan kejadian ketiga merupakan kekeringan dengan intensitas tertinggi.
4
STUDI KASUS DI BENDUNG NOTOG
Bendung Notog terletak di Sungai Pemali, Jawa Tengah, dengan luas daerah tangkapan air 1.276 km2, dan mengairi 26.952 hektar sawah di Kabupaten Brebes. 4.1 Faktor-K di Bendung Notog Gambar 4 menyajikan ilustrasi faktor-K di Bendung Notog untuk periode tahun 1994 sampai dengan tahun 1997. Terlihat kondisi kelangkaan air dimana faktor-K kecil dari 0,3 pada tahun 1994, 1996 dan 1997. Juga terlihat jelas durasi kekeringan yang sangat panjang pada tahun 1994 dan 1997.
1.00
0.90
Faktor-K = penyediaan / kebutuhan
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
1994
1995
1996
1997
Gambar 4 Faktor-K Bendung Notog tahun 1994 - 1997
4.2 Kaitan Indeks Kelangkaan Air dengan Data Luas Sawah Terkena Kekeringan Dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan diperoleh data historis luas sawah terkena kekeringan untuk seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Karena daerah layanan irigasi Bendung Notog sepenuhnya terletak di Kabupaten Brebes, maka koefisien korelasi antara indeks kelangkaan air di Bendung Notog dengan data historis luas sawah terkena kekeringan dapat dipandang sebagai indikator kinerja seberapa baik suatu indeks kelangkaan air menjelaskan kelangkaan air yang terjadi. Gambar 5 menunjukkan tingkat keparahan kelangkaan air dari Faktor-K dalam setahun, untuk tahun 199 sampai dengan 2009, dan data historis luas sawah terkena kekeringan, yang memberikan nilai koefisien korelasi sebesar 59%. Terlihat bahwa kejadian kekeringan tahun 1991, 1994 dan 2003 dan 2006 telah dinyatakan dengan baik oleh indeks keparahan kekeringan. Satu-satunya hasil indeks yang tidak selaras dengan data historis adalah kejadian kekeringan tahun 1997 yang digambarkan sebagai kekeringan yang dahsyat oleh indeks kelangkaan air, namun kenyataannya data luas sawah terkena kekeringan tidak mencatat kekeringan yang amat parah. Sedangkan Gambar 6 memberikan gambaran yang serupa, akan tetapi untuk durasi kelangkaan air, yaitu jumlah bulan terjadi kelangkaan air dalam setahun. Nilai koefisien korelasi yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu mencapai 70%. Terlihat bahwa nilai indeks kelangkaan air sebanding dengan data historis luas sawah terkena kekeringan.
6.00
10,000
9,000 5.00
7,000 4.00 6,000
3.00
5,000
4,000 2.00 3,000
Luas sawah terkena kekeringan (ha)
Tingkat keparahan kelangkaan air
8,000
2,000 1.00 1,000
0.00
-
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tingkat Keparahan Faktor-K
Luas Terkena Kekeringan
Gambar 5 Tingkat keparahan kelangkaan air dan luas sawah terkena kekeringan (r = 59%) 12.00
10,000
9,000 10.00
Durasi kelangkaaan air (bulan)
7,000 8.00 6,000
6.00
5,000
4,000 4.00 3,000
2,000 2.00 1,000
0.00
-
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Durasi kelangkaan air
Luas Terkena Kekeringan
Gambar 6 Durasi kelangkaan air dan data luas sawah terkena kekeringan (r = 70%)
Luas sawah terkena kekeringan (ha)
8,000
4.3 Keunggulan Indeks Kelangkaan Air Faktor-K Sepintas lalu Indeks Kelangkaan Air Faktor-K yang merupakan rasio antara pasok air dengan kebutuhan air adalah identik dengan Indeks Pemakaian Air yang dibalik. Akan tetapi FaktorK ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain adalah: a) Telah lama digunakan di Indonesia sejak jaman Belanda; b) Secara formal sampai saat ini juga masih menjadi bagian dari operasi irigasi, sebagai kriteria keadilan dalam alokasi air. c) Menunjukkan tingkat pemenuhan kebutuhan air, yang secara rata-rata menunjukkan tingkat pemenuhan kebutuhan air rata-rata, dan pada suatu saat tertentu menyatakan tingkat pemenuhan kebutuhan air pada saat tersebut. d) Mengindikasikan kondisi infrastruktur bendung yang ada. Faktor-K rata-rata yang kecil mungkin disebabkan oleh menurunnya fungsi bangunan air tersebut, misalnya karena sedimentasi, dan kerusakan fungsi pintu air. Perbaikan dan rehabilitasi infrastruktur akan meningkatkan Faktor-K atau dengan lain perkataan akan menurunkan kelangkaan air. e) Mengindikasikan kondisi daerah tangkapan air. Faktor-K yang kecil juga dimungkinkan terjadi disebabkan oleh karena kondisi daerah tangkapan air di hulu bendung yang telah rusak sehingga pada musim kemarau aliran rendah menjadi lebih rendah.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Disimpulkan bahwa 1) indeks kelangkaan air yang populer pada saat ini yaitu Indeks Air per Kapita, dan Indeks Pemakaian Air tidak dapat diterapkan pada jaringan irigasi; 2) Dengan Indeks Kelangkaan Air Faktor-K, kita dapat mendeteksi awal, akhir, dan durasi kelangkaan air, serta tingkat keparahan kelangkaan air irigasi; 3) Implementasi Indeks Kelangkaan Air Faktor-K di Bendung Notog pada Wilayah Sungai Pemali-Comal menunjukkan bahwa tingkat keparahan kelangkaan air serta durasi kelangkaan air berkorelasi erat dengan data historis luas sawah yang terkena kekeringan. 5.2 Saran Disarankan untuk menguji-coba konsep Indeks Kelangkaan Air dengan Faktor-K untuk berbagai Daerah Irigasi di Indonesia, sebelum indeks ini diusulkan sebagai indeks kelangkaan air yang juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja jaringan irigasi, maupun kondisi daerah tangkapan di hulu bendung irigasi.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Dinar, Ariel, Mark W Rosegrant, and Ruth Meinzen-Dick. 1997. Water Allocation Mechanisms- Principles and Examples. The World Bank Publication.
2.
Kelley, Tim, and Sam H. Johnson. 1989. “Use of Factor-K Water Allocation System in Irrigation Management : Theory and Application in Indonesia.” Water Resources Management 3: 49-71.
3.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh. 2010. “A review of drought concepts” Journal of Hydrology 391 (1-2): 202-216. doi:10.1016/j.jhydrol.2010.07.012. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.07.012.
4.
Yevjevich, Vujica. 1967. “An Objective Approach to Definitions and Investigations of Continental Hydrologic Droughts” Hydrology Papers Colorado State University Fort Collins, Colorado (August).
5.
Van Loon, A. F., and H. A. J. Van Lanen. 2012. "A process-based typology of hydrological drought." Hydrology and Earth System Sciences 16 (7) (July 6): 19151946. doi:10.5194/hess-16-1915-2012. http://www.hydrol-earth-systsci.net/16/1915/2012/.
6.
Brown, A., Matlock, M. D., & Ph, D. (2011). A Review of Water Scarcity Indices and Methodologies. University of Arkansas.
7.
Supadi. 2009. Model Pengelolaan Irigasi Memperhatikan Kearifan Lokal. Disertasi Doktor Universitas Diponegoro.
8.
Hatmoko, W., Radhika, Amirwandi, R. Firmansyah, 2012. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air pada Wilayah Sungai di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum.
9.
Menteri Pekerjaan Umum, 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 32 / PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
10.
Smakhtin, V. U., & Schipper, E. L. F. (2008). Droughts : The impact of semantics and perceptions, 10, 131–143. doi:10.2166/wp.2008.036
11.
Schiermeier, Q. (2008). Water: a long dry summer. Nature, 452(7185), 270–3. doi:10.1038/452270a
12.
Pereira, L. S., Cordery, I., & Lacovides, L. (2002). Coping with water scarcity. Paris: UNESCO.