IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR Mei Fita Asri Untari
[email protected] Dosen PGSD IKIP PGRI Semarang ABSTRAK Pendekatan saintifik/ilmiah merupakan proses pembelajaran yang menggunakan proses berpikir ilmiah. Pendekatan ilmiah dapat dijadikan sebagai jembatan untuk perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi bahwa pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dapat dilakukan sesuai dengan kreatifitas guru, walaupun telah ada buku guru. Guru dapat mengembangkan sendiri sesuai dengan keadaan peserta didik dan sekolah masing-masing.
PENDAHULUAN Permendikbud nomor 65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu
dengan
kaidah-kaidah
pendekatan
saintifik/ilmiah.
Pendekatan
saintifik/ilmiah merupakan proses pembelajaran yang menggunakan proses berpikir ilmiah. Pendekatan ilmiah dapat dijadikan sebagai jembatan untuk perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik. Sesuai materi Kemendikbud, dinyatakan bahwa dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pendekatan induktif (inductive reasoning) daripada pendekatan deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk menarik simpulan secara keseluruhan. Penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Pendekatan ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi terhadap suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Pendekatan ini juga
memanfaatkan metode pencarian (inquiry methods) yang berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Oleh karena itu, metode ilmiah memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperiman, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Banyak
para
ahli
yang
meyakini
bahwa
melalui
pendekatan
saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan peserta didik lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong peserta didik untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian (Sudrajat, 2013). Peserta didik dilatih untuk mampu berpikir logis, runut, dan sistematis. Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik simpulan awal bahwa pembelajaran berbasis pendekatan saintifik/ilmiah lebih efektif hasilnya dibandingan dengan pembelajaran tradisional. Pada pembelajaran berbasis pendekatan saintifik/ilmiah, retensi informasi dari guru lebih besar.
PEMBAHASAN Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk pembejaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran tradisional. Metode yang dipandang sejalan dengan prinsip pendekatan saintifik/ilmiah adalah problem based learning, project based learning, inkuiri, dan group investigation. Metode-metode tersebut mengajarkan kepada peserta didik untuk mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi, menguji jawaban sementara dengan melakukan penyelidikan (menemukan faktafakta melalui penginderaaan), dan pada akhirnya menarik simpulan dan menyajikan secara lisan maupun tertulis. Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi bahwa pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Komponen-komponen tersebut dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi bukan siklus pembelajaran. Sebuah proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria berikut (Kemdikbud, 2013). Pertama: Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Kriteria pertama ini memiliki kaidah-kaidah (1) penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan subtansi atau materi pembelajaran. (3) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansin atau materi pembelajaran. (4) Mendorong dan mengispirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran. (5) berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. (6) tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya. Kedua: proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Akan tetapi, jika guru dan peserta didik
hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (common sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat diikuti kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal yang khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara coba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tudak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan cobacoba ini akan dilakukan, harus disertai dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Kemampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang berpendidikan tinggi. Tentu saja hasil eksperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
Pembelajaran Saintifik di Sekolah Dasar Dalam kurikulum 2013, pembelajaran dituntut untuk menerapkan pendekatan saintifik/ilmiah yang dipadu dengan model pembelajaran tematik terpadu. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Karakteristik pembelajaran tematik yaitu berpusat pada peserta didik, pemisahan antar mata pelajaran tidak tampak,
menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran, fleksibel, hasil pembelajaran berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Peserta didik sekolah dasar termasuk dalam usia emas. Pada usia ini berbagai kecerdasannya, seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat pesat, dan tingkat perkembangannya masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), serta memahami hubungan antar konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung kepada objek konkret dan pengalaman langsung. Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Peserta didik usia sekolah dasar berada pada tahapan operasional konkret dan perilaku belajarnya (1) mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek ke aspek lain secara reflektif dan serentak, (2) mulai berpikir secara operasional, (3) berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinip ilmiah sedrhana dan mempergunakan hubungan sebab akibat, (5) memahami konsep subtansi, volume, panjang, luas, lebar, dan berat. Ciri belajar peserta didik usia sekolah dasar adalah (1) konkret (dapat dilihat, didengar, dibau, dikecap, diraba, dan diotak-atik), (2) integratif (segala sesuatu dipandang sebagi satu keutuhan), (3) hierarkis (urut, logis, keterkaitan antar materi, cakupan keluasan dan kedalaman materi). Penerapan pendekatan saintifik/ ilmiah dalam pembelajaran tema kegiatanku, sub tema kegiatan pagi hari. Kegiatan pembelajaran ini dapat diawali dengan guru meminta peserta didik untuk mengamati keadaan sekeliling ketika pagi hari. Guru juga dapat menambahkan dengan memberikan gambar suasana pagi kepada peserta didik untuk diamati persamaan dan perbedaannya. Guru menanyakan apa saja yang terjadi atau dilakukan ketika pagi hari. Peserta didik dituntun untuk dapat menceritakan suasana pagi hari, kegiatan yang dilakukannya ketika pagi hari, kegiatan yang dilakukan ayah, ibu atau adik atau akkak atau anggota keluarga lain pada pagi hari. Kemudian peserta didik dapat menjelaskan urutan peristiwa/kegiatan yang dilakukannya secara lusan dan tertulis.
Dalam contoh penerapan tersebut, pembelajaran telah memuat pendekatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mengolah informasi atau data, menyajikan dalam bentuk lisan dan tertulis, kemudian bersama-sama guru menyimpulkan kegiatan yang sebagian besar dilakukan pada pagi hari. Setelah itu dapat dikaitkan dengan materi lain yang masuk dalam cakupan tematik. Misalnya pengenalan konsep bilangan, pengenalan konsep waktupagi, siang, sore, malam, bercerita, mengekspresikan diri melalui lagu dan gambar atau gerak, serta memuji Tuhan (religius). Nilai karakter atau sikap yang dapat dimunculkan dalam pembelajaran tersebut adalah tanggung jawab, jujur, kreatif, disiplin, menghormati orang tua. Guru dapat menekankan adanya karakter disiplin dalam setian kegiatan yang peserta didik lakukan supaya semua dapat diselesaikan dengan baik. Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dapat dilakukan sesuai dengan kreatifitas guru, walaupun telah ada buku guru. Guru dapat mengembangkan sendiri sesuai dengan keadaan peserta didik dan sekolah masing-masing.
KESIMPULAN Upaya penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran bukan hal yang aneh tetapi untuk menumbuhkembangkan proses berpikir logis dan ilmiah. Pendekatan saintifik/ilmiah dapat membiasakan peserta didik untuk berpikir kritis dan logis, tidak berpikir sembrono atau menyimpulkan suatu masalah secara sembarangan.
DAFTAR PUSTAKA Kemendikbud. 2013. Konsep Pendekatan Saintifik (ppt). Disajikan dalam Pelatihan Kurikulum 2013. IKIP PGRI Semarang, 30 Juli 2013. __________. 2013. Permendikbud No 65 Tahun 2013.Jakarta: Kemendikbud. Sudrajat, Akhmad. 2013. Pendekatan Saintifik dalam Proses Pembelajaran. www.akhmadsudrajat.wordpress.com. Diunduh pada 1 Agustus 2013.