II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Fauna Tanah Fauna tanah sebagai bagian dari organisme tanah merupakan salah satu
kelompok heterotrof utama dalam tanah (Rahmawaty, 2004). Kelompok ini mendapatkan energi dari substrat organik dalam tanah. Adapula organisme autotrof yang tidak membutuhkan energi dari substrat organik. Sistem perakaran, ganggang hijau biru dan ganggang hijau termasuk dalam kelompok organisme tanah autrotof. Kelompok ini merupakan penghasil utama bahan organik. Sedangkan organisme heterotrof
akan menggunakan bahan organik tersebut
sebagai sumber energi dan melepaskan unsur hara untuk digunakan oleh organisme autotrof, sehingga terbentuklah suatu hubungan yang saling membutuhkan antara kedua kelompok tersebut (Singer dan Munns, 2006). Klasifikasi fauna tanah dapat didasarkan pada beberapa hal, yaitu derajat kehadiran di dalam tanah (Coleman et al. 2004), ukuran tubuh (Van der Drift, 1951), kebiasaan makan (Wallwork, 1970) dan berdasarkan habitat hidupnya dalam tanah (Suin, 2006). Coyne dan Thompson (2006) berpendapat bahwa cara termudah
dan
sederhana
untuk
mengklasifikasikan
fauna
tanah
adalah
berdasarkan ukuran tubuh.
2.1.1 Klasifikasi Fauna Tanah Coleman et al. (2004) mengelompokkan fauna tanah berdasarkan derajat kehadiran dalam tanah, yaitu transient, temporary residents, periodic residents dan permanent residents. Transient merupakan kelompok fauna tanah yang hidup di tanah hanya pada saat fase hibernasi, ketika fase hibernasi selesai kelompok ini umumnya hidup pada lapisan tanaman hidup. Contoh dari kelompok ini adalah “Ladybird beetle”. Temporary residents adalah fauna tanah yang berada di dalam tanah mulai dari fase telur hingga berbentuk larva, dimana larva ini mendapatkan makanan dengan cara mendekomposisikan sisa-sisa serasah dalam tanah. Tipula spp. (Diptera) merupakan salah satu anggota kelompok ini. Forticula sp. (Dermaptera) adalah contoh dari kelompok periodic residents, dimana kelompok ini menghabiskan hidup mereka di dalam tanah. Pada fase
dewasa fauna ini terkadang hidup di permukaan tanah. Permanent residents didefinisikan sebagai fauna yang secara permanen hidup di dalam tanah pada berbagai kedalaman, contohnya Batrisodes spp. (Coleoptera). Sistem klasifikasi fauna tanah menurut ukuran tubuh terbagi menjadi mikrofauna (< 0.2 mm), mesofauna (0.2-2.0 mm), makrofauna (2.0-20.0 mm) dan megafauna (> 20 mm) (Van der Drift, 1951). Menurut Wallwork (1970) fauna tanah dapat dibedakan menjadi mikrofauna (< 0.1 mm), mesofauna (0.1-10.0 mm). Sistem klasifikasi menurut ukuran tubuh merupakan sistem yang paling umum digunakan dalam proses identifikasi fauna tanah (Coleman, 2004) karena lebih sederhana dan mudah digunakan (Coyne dan Thompson, 2006). Protozoa merupakan salah satu contoh mikrofauna. Tanah sangat kaya akan Protozoa yang berperan sebagai predator mikrob tanah. Protozoa cenderung ditemukan pada pori-pori tanah (Killham, 1994). Fauna tanah yang dominan pada kelompok mesofauna adalah Rotifera, Tartigrada, dan mikroarthropoda terutama Acari dan Collembola. Sebagian besar dari anggota mesofauna termasuk ke golongan permanent residents (Coyne dan Thompson, 2006). Makrofauna tanah mencakup makroarthropoda,
Oligochaeta
(cacing
tanah).
Cacing
tanah
merupakan
makrofauna yang paling dikenal dan dapat dikatakan merupakan yang terpenting dari fauna tanah, terutama peranannya sebagai “ecosystem engineer” (Coleman, 2004). Makrofauna tanah lebih resisten terhadap kondisi fisik dan kimia tanah dibandingkan fauna tanah lain yang lebih kecil. Sistem klasifikasi fauna tanah berdasarkan habitatnya terbagi menjadi epigeon, hemiedafon, dan eudafon. Epigeon merupakan fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan bahan organik tanah sedangkan eudafon hidup pada lapisan tanah mineral (Suin, 2006). Berdasarkan pola makannya, fauna terbagi menjadi lima kelompok yaitu carnivore, phytophagus, saprophagus, microphytic-feeders, dan miscellanousfeeders. Carnivore merupakan predator dan bersifat parasit, contohnya Centipede, Diptera parasit, dan beberapa jenis Coleoptera dan Nematoda. Phytophagus adalah fauna tanah pemakan tumbuhan dan akar tanaman. Saprophagus merupakan fauna tanah yang hanya memakan bahan organik yang berasal dari tanaman yang telah mati. Microphytic-feeders adalah fauna tanah pemakan jamur
dan spora serta mikrob tanah lainnya. Miscellanous-feeders adalah fauna tanah pemakan tumbuhan dan hewan segar maupun busuk (Wallwork 1970).
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Fauna Tanah Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna lainnya (Suin 2006). Faktor lingkungan abiotik yang berpengaruh terhadap keberadaan fauna tanah, terutama adalah pH tanah, suhu tanah, aerasi, dan kadar air tersedia. Tanah asam ataupun tanah alkalin umumnya kurang disukai fauna tanah, terutama disebabkan karena tanaman yang dapat hidup pada tanah-tanah tersebut hanya sedikit, hal ini menyebabkan fauna tanah akan kekurangan sumber makanan. Kebanyakan fauna tanah termasuk ke dalam kelompok fauna mesophiles, yaitu organisme tanah yang hidup pada suhu tanah 10 oC sampai dengan 40 oC. Mikroarthropoda pada suhu yang tinggi akan bergerak lebih dalam pada lapisan tanah untuk menghindari sumber panas tersebut. Fauna tanah umumnya lebih menyukai tanah- tanah yang lembab. Bila kandungan air tanah terlalu tinggi dan tanah menjadi jenuh air, fauna tanah seperti Collembola akan terdesak keluar dari pori tanah yang telah jenuh air. Bila tanah menjadi terlalu kering, maka fauna tanah terutama yang hidup pada pori tanah akan terisolasi. Aerasi yang cukup juga dibutuhkan terutama untuk proses dekomposisi bahan organik (Coyne dan Thompson, 2006). Menurut Sugiyarto et al. (2007) keragaman fauna tanah dipengaruhi oleh variasi makanan yang tersedia di lingkungan. Lingkungan dengan vegetasi penutup lahan yang lambat melapuk umumnya memiliki kepadatan populasi makrofauna yang besar, terutama cacing tanah, karena adanya ketersediaan makanan dalam waktu yang lama. Lavelle (1996) menyatakan keanekaragaman dan kepadatan populasi fauna tanah dipengaruhi oleh organisme tanah lainnya. Hal ini disebabkan semua organisme di dalam tanah saling berinteraksi, baik interaksi mutualisme ataupun saling memangsa sehingga membentuk food webs.
2.1.3 Karakteristik Beberapa Fauna Tanah Berikut merupakan beberapa karakteristik fauna tanah yang dominan pada penelitian ini : •
Collembola Collembola merupakan salah satu kelompok mikroarthropoda yang
memiliki distribusi menyebar pada berbagai jenis tanah di dunia. Collembola juga dikenal dengan nama springtails atau ekor pegas karen adanya alat pelenting tubuh pada bagian bagian ekor yang disebut furkula. Ukuran tubuh Collembola berkisar antara 0.25 mm sampai 8.0 mm dengan warna tubuh bervariasi dari pucat hingga mencolok, yaitu putih, abu-abu, biru tua, hitam sampai merah merona (Coleman et al., 2004). Collembola toleran terhadap tanah masam sehingga sering dijumpai pada tanah gambut (Suwondo, 2002). Collembola umumnya ditemukan pada lapisan teratas serasah daun, terutama dari jenis Entomobrydae. Sedangkan jenis lain yang berukuran lebih kecil lebih banyak ditemukan pada bagian tanah yang lebih dalam. Jenis Collembola yang hidup pada atau dekat dengan permukaan tanah umumnya memiliki tubuh dengan warna yang lebih mencolok, mata yang berkembang dengan baik, antena dan fukula. Sedangkan jenis yang hidup di kedalaman tanah memiliki karakteristik sebaliknya, yaitu warna yang pucat, indra yang kurang berkembang dengan baik, dan tanpa fukula. Collembola dapat digolongkan sebagai hewan saprophagus. Bahan organik yang biasa dicerna mencakup hifa dan spora fungi, sisa-sisa tanaman dan ganggang hijau uniseluler (Wallwork, 1976). Peranan Collembola dalam tanah yaitu menghancurkan bahan organik ke dalam ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya. Collembola juga berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya memakan hifa dan spora fungi. (Gobat et al., 2004). •
Acari Selain Collembola, anggota mikroarthropoda lain yang memiliki distribusi
yang melimpah di seluruh dunia adalah Acari, bahkan dapat dikatakan distribusi Acari melebihi Collembola (Wallwork, 1976). Kelompok Acari yang sering
dijumpai di tanah yaitu Oribatida, Prostigmata, Mesostigmata, dan Astigmata. Oribatida
merupakan
kelompok
saprophagus.
Sedangkan
Mesostigmata
merupakan kelompok Acari yang hampir seluruh anggotanya merupakan predator bagi fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil (Coleman et al., 2004) Acari memiliki panjang tubuh antara 0.1 mm sampai 2 mm. Bentuk tubuh bervariasi dengan warna tubuh dari coklat muda hingga hitam. Ukuran tubuh Acari akan semakin mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya (Gobat et al., 2004). Sama seperti Collembola, Acari juga dapat dijumpai pada tanah-tanah gambut karena sifatnya yang toleran terhadap tanah masam (Suwondo, 2002). Peranan Acari dalam tanah mirip dengan Collembola yaitu menghancurkan bahan organik ke ukuran yang lebih kecil, mengaduk bahan organik dan berpengaruh pada dinamika populasi fungi (Gobat et al., 2004). •
Hymenoptera Hymenoptera merupakan salah satu order serangga yang terbesar dan
memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama dengan cacing tanah dan rayap. Kelompok fauna tanah ini termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya membentuk koloni. Hymenoptera, terutama yang berasal dari kelompok Formicidae, memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur tanah, terutama di lingkungan gurun dimana cacing tanah memiliki kepadatan yang rendah (Coleman et al, 2004). Hymenoptera umumnya merupakan phytophagous dan dalam habitatnya kelompok ini akan berperan sebagai predator utama fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil, contohnya Acari Oribatid. Selain itu, Hymenoptera merupakan merupakan utama bagi kelompok Isoptera (rayap) (Gobat et al, 2004). Tingginya kepadatan populasi Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al, 2004).
2.2
Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam kelas Monokotiledon,
ordo Glumaceae, famili Graminae dan genus Saccharum. Terdapat lima spesies
tebu yaitu S. officinarum, S. sinense, S. barberi, S. spontaneum L.,dan S. robusta (Sudiatso,1982). Dari lima spesies tanaman tebu yang ada, S. officinarum L. merupakan spesies yang paling banyak diusahakan. Hal ini disebabkan oleh karakteristiknya yang memiliki batang yang tebal, kandungan sukrosa yang tinggi, kadar serat yang rendah dan berdaun lebar yang baik untuk fotosintesis (Purseglove, 1972) Tebu merupakan tanaman yang efisien dalam memanen energi matahari, dikarenakan tebu termasuk tanaman C4. Produktivitas tebu pada dasarnya merupakan suatu sistem yang mengeksploitasi energi matahari melalui proses fotosintesis (Naik, 2001).Pada tanah dengan aerasi yang baik, akar tebu dapat tumbuh memanjang mencapai 1 sampai 2 m. Susunan akar tebu pada dasarnya sama dengan tanaman monokotil lainnya, hanya pada akar muda terdapat rambut akar (Sudiatso, 1982).
2.2.1 Syarat Tumbuh Tebu Agar dapat tumbuh dengan baik tebu membutuhkan suhu yang tinggi dan sinar matahari yang melimpah (Purseglove, 1972). Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim panas seperti daerah tropis dan subtropis di sekitar khatulistiwa sampai garis isoterm 20 oC, yang berada di sekitar 39 oLU sampai 35 oLS (Sudiatso, 1982). Suhu udara optimum untuk perkecambahan stek batang tebu berkisar antara 32 oC hingga 38 oC (Purseglove, 1972), sedangkan suhu tanah optimum berkisar antara 23 oC hingga 29 oC, dan dibutuhkan juga kondisi udara yang lembab seperti di dataran rendah daerah tropis. Tebu banyak diusahakan di daerah dataran rendah, namun tebu dapat juga ditanam di daerah pegunungan dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (dpl) (Sudiatso, 1982). Menurut BIP Kayu Ambon Lembang (1984), budidaya tebu cocok untuk daerah beriklim panas dan lembab dengan ketinggian 0-1300 m dpl. Penanaman tebu dianjurkan untuk dilakukan di daerah yang memiliki ketinggian 0-500 m dpl guna mendapatkan kadar gula yang lebih tinggi. Sudiatso (1982) menuturkan bahwa penanaman tebu pada daerah pegunungan yang memiliki suhu rendah dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan tebu dan rendemen yang rendah. Sudiatso (1982) menambahkan bahwa pertumbuhan tebu
akan terhambat pada suhu < 21 oC, bahkan bila suhu tanah menurun hingga mencapai 16 oC maka pertumbuhan tebu akan terhenti. Selama masa tumbuhnya, tebu membutuhkan air dalam jumlah yang besar sehingga dibutuhkan curah hujan minimal 1525 mm/tahun, atau bila curah hujan tidak mencapai syarat minimal maka perlu diadakan sistem irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tebu (Purseglove, 1972). Menurut Tim Penulis PS (2000), daerah yang sesuai untuk pengembangan tanaman tebu adalah daerah dataran rendah dengan curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Pada masa pertumbuhan vegetatif, tebu membutuhkan asupan air yang tinggi, sedangkan saat menjelang panen tebu membutuhkan kondisi lingkungan yang kering. Sudiatso (1982) lebih lanjut menjelaskan bahwa curah hujan yang terus menerus pada saat menjelang panen akan mengakibatkan rendemen tebu menjadi rendah. Oleh sebab itu, pertanaman tebu membutuhkan lingkungan yang memiliki perbedaan yang nyata antara musim hujan dan musim kemarau. Daerah pertanaman tebu di Jawa umumnya memiliki musim kemarau mulai bulan Mei hingga Oktober dan musim kemarau mulai bulan November hingga April. Waktu tanam terbaik adalah pada bulan Mei, Juni dan Juli. Tebu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah mulai dari tanah yang mengandung liat tinggi hingga berpasir. Tetapi jenis tanah yang terbaik untuk pertanaman tebu adalah tanah lempung liat dengan solum yang dalam, lempung berpasir dan lempung berdebu. Di Jawa, tebu banyak ditanam pada tanah-tanah alluvial hingga grumusol (Sudiatso, 1982). Kondisi tanah yang dapat menunjang pertumbuhana tebu dengan baik yaitu memiliki aerasi yang baik, kedalaman solum tanah efektif minimal 50 cm, gembur, dan memiliki pH antara 5.5-8.0 (Fauconnier, 1993).
2.2.2 Tebu Transgenik dan Permasalahannya Tanaman transgenik merupakan suatu produk rekayasa genetika melalui transformasi gen dari makhluk hidup lain ke dalam tanaman dengan tujuan untuk menghasilkan tanaman baru dengan sifat yang lebih unggul dari tanaman sebelumnya. Pembuatan tanaman transgenik diharapkan mampu membantu memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Tanaman transgenik ini dibuat dengan
cara menyisipkan gen, yang disebut transgene, yang telah diidentifikasi ke dalam sel tanaman target (Susiyanti, 2003). Salah satu contoh dari tanaman tersebut adalah tebu yang telah disisipi gen fitasi. Gen fitase yang telah disisipkan diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan fosfor (P) di dalam jaringan tanaman dengan cara mengubah asam fitat (bentuk P-organik yang sukar digunakan tanaman) dalam jaringan tanaman menjadi P dalam bentuk dapat digunakan oleh tanaman (Susiyanti et al., 2007). Unsur P merupakan salah satu unsur hara makro esensial yang diperlukan tanaman. Kekurangan unsur ini akan menyebabkan tanaman tidak mampu untuk menyerap unsur hara lainnya. Peranan P dalam pada tanaman yaitu : (1) berpengaruh pada proses pembelahan sel dan pembentukan lemak dan albumin; (2) berperan dalam pembentukan bunga, buah dan biji; (3) berperan dalam kematangan tanaman, melawan pengaruh nitrogen; (4) berpengaruh pada perkembangan akar halus dan rambut akar; (5) membuat tanaman tidak mudah rebah; (6) menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap penyakit. Sayangnya, ketersediaan P baik di dalam tanah maupun dalam jaringan tanaman rendah (Soepardi, 1983). Menurut Nurhasanah (2007), pada dasarnya tebu telah memiliki enzim fitase alami, tetapi dalam jumlah yang kecil. Susiyanti et al. (2007) mengatakan bahwa penyisipan gen fitase pada tebu akan meningkatkan aktifitas enzim fitase. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan kadar P dalam jaringan tanaman. Meningkatnya kadar P dalam tanaman akan berpengaruh terhadap perkembangan akar seperti peningkatan produksi rambut akar, eksudat akar, pengambilan hara oleh akar, serta meningkatnya interaksi akar dengan fungi Mikoriza (Lambers et al., 2006). Secara umum, tanaman transgenik di satu sisi membawa manfaat tetapi di sisi yang lain juga memiliki dampak negatif. Beberapa dampak negatif tanaman transgenik yaitu terjadinya silang luar, munculnya hama target yang tahan terhadap
insekstisida,
munculnya
resiko
terhadap
organisme
non-target,
munculnya resiko penyebaran gen dari tanaman transgenik kepada tanaman lain yang non-transgenik, dan juga kemungkinan memunculkan dampak negatif terhadap ekologi tanah (Santosa, 2000). Menurut Yayasan IDEP (2009), tanaman
transgenik dapat turut mempengaruhi keberadaan mikrob berguna bagi tanah yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi ekologi tanah. Sebagai contoh adalah tanaman transgenik Bt, dimana gen Bt dari tanaman tersebut berpindah ke mikrob tanah yang berguna sehingga mempengaruhi ekologi dan kesuburan tanah.