II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Umum Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.) Shorea lepropsula Miq (meranti tembaga) (sinonim Hopea maranti Miq., Shorea maranti Burck, S. astrostricta Scort. Ex Foxw.) termasuk famili Dipterocarpaceae, tumbuh dominan di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Bawa 1998). Jenis ini tumbuh menyebar di daerah dataran rendah. Di banyak tempat 80 % dari individu-individu pohon ini berada pada lapisan tajuk atas dan 40 % berada pada lapisan bagian bawah (Ashton 1992; Bawa 1998). Di Indonesia pohon ini terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Maluku (Heyne 1987). Sebagian besar jenis ini terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban tinggi di bawah 800 m dpl dengan curah hujan rata-rata di atas 2000 mm/tahun dengan musim kemarau yang pendek (Al Rasyid et al. 1991). Pohon ini memiliki tajuk berwarna tembaga. Tinggi pohon dapat mencapai 60 m dengan tinggi banir 1,5 m, diameter 100 cm dan tinggi batang bebas cabang 30 m (Newman et al. 1999). Batang pohon berwarna abu-abu atau coklat beralur tidak dalam, mengelupas agak besar, kulit hidup berwarna coklat muda sampai merah atau kuning muda. Daun bulat telur terbalik atau lonjong, ujung runcing, pangkal membulat, panjang ± 3-13 cm, lebar 3-6 cm, permukaan helai daun mengkilap, urat daun primer dan sekunder pada permukaan bawah berbulu bintang, urat sekunder berjumlah 12-17 pasang, kadang-kadang terdapat kelenjar domatia pada ketiak urat sekunder, tangkai daun berbulu halus, panjang tangkai 12 cm (Al Rasyid et al. 1991). Benih meranti tembaga termasuk jenis rekalsitran, sehingga benih tanaman ini tidak dapat disimpan lama. Benih meranti umumnya hanya dapat disimpan selama 6 sampai dengan 12 minggu (Soetisna et al. 1998), dan musim buahnya hanya 2 tahun sampai 5 tahun sekali serta tidak menentu (Jǿker 2002). Secara alami tanaman ini memiliki produktivitas 1,1 – 1,4 m3/ha/th, sedangkan pada hutan tanaman di Peninsular Malaysia dapat mencapai 7,7 m3/ha/th pada umur 35 tahun (Appanah & Weinland 1993), bila dilakukan input pemuliaan dan perlakuan silvikultur yang tepat dapat mencapai produktivitas 10 m3/ha/tahun (Mulyana et al. 2005; Soekotjo 2009). Kayunya dapat digunakan
7
untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan bahan bangunan (Heyne 1987; Al Rasyid et al. 1991; Ashton 1992; Bawa 1998).
Gambar 2 Ciri morfologi pohon Shorea leprosula Miq. (1) Bentuk pohon; (2) Daun dan buah ; (3) Buah ( Soerianegara & Lemmens 1993)
2.2 Perbanyakan Vegetatif Perbanyakan vegetatif adalah memperbanyak tanaman dengan cara menumbuhkan bagian-bagian organ, jaringan atau sel vegetatif yang masih dimungkinkan untuk mampu membentuk individu baru yang lengkap (totipotensi sel) (Hartmann et al. 1997; Salisbury & Ross 1995). Ada dua tipe perbanyakan vegetatif yaitu secara alami dan buatan. Perbanyakan vegetatif yang secara alami dapat berupa perbanyakan tunas adventif (terubusan), sementara yang secara buatan dapat terjadi melalui stek, cangkok dan kultur jaringan serta penyatuan bagian vegetatif seperti sambungan, dan penempelan atau okulasi ( Hartmann et al. 1997).
2.2.1 Stek Stek adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif yang dipisahkan dari pohon induknya, yang bila ditanam pada kondisi yang menguntungkan akan beregenerasi dan berkembang menjadi tanaman yang
8
sempurna ( Soerianegara & Djamhuri 1979). Perbanyakan vegetatif secara stek umumnya digunakan untuk memperbanyak tanaman yang tidak mungkin diperbanyak dengan biji, melestarikan klon tanaman unggul dan untuk memudahkan serta mempercepat perbanyakan tanaman (Rochiman & Harjadi 1973). Stek dapat diklasifikasikan berdasarkan bagian tanaman yang digunakan, yaitu : stek batang, stek daun, stek pucuk dan stek akar. Pertumbuhan stek dipengaruhi oleh interaksi faktor bahan tanaman dan faktor lingkungan (Hartmann et al. 1997). Faktor bahan tanaman terutama meliputi genetik, kandungan cadangan makanan dalam jaringan stek, ketersediaan air, umur tanaman (pohon induk), hormon endogen dalam jaringan stek, dan jenis tanaman. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyetekan, antara lain: media perakaran, kelembaban, suhu, intensitas cahaya dan teknik penyetekan. Setiap jenis tanaman mempunyai kemampuan pertumbuhan stek yang berbeda, ada yang mudah berakar dan ada yang sulit berakar. Kemudahan berakar yang dimiliki individu merupakan salah satu faktor penting dalam seleksi pohon untuk diperbanyak secara vegetatif. Dalam pembangunan hutan klon di Aracruz, dilaporkan bahwa dari 5000 pohon induk eukaliptus yang dipilih terdapat 150 klon yang dianggap baik dan hanya 31 klon yang terbaik untuk digunakan sebagai basis perbanyakan dan pengembangan klon sesuai karakteristik yang diharapkan (Ikemori 1984) Media tumbuh yang baik harus dapat menahan air dan kelembaban tanah, mempunyai aerasi yang baik serta bebas dari jamur dan patogen (Rochiman dan Harjadi, 1973). Media tumbuh mempunyai beberapa fungsi antara lain untuk menjaga stek tetap pada tempatnya selama pertumbuhan, menjaga kelembaban agar tetap tinggi dan dapat menyediakan oksigen yang cukup (Hartmann et al. 1997). Media tumbuh untuk stek yang banyak digunakan adalah tanah, pasir, gambut, vermikulit, dan serbuk sabut kelapa (Rochiman & Harjadi 1973; Yasman & Smith 1988; Hartmann et al. 1997; Sakai & Subiakto 2007).
Media serbuk
sabut kelapa merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan stek Dipterokarpa (Sakai & Subiakto 2007). Media sabut kelapa bersifat seperti spon
9
yang banyak menyerap air dan mempertahankannya, dan hal ini sangat baik dalam mempertahankan kelembaban medium. Intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek bervariasi untuk setiap tanaman. Yasman dan Smith (1988) melaporkan bahwa intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan stek dipterocarpa sebaiknya tidak lebih dari 5000 lux. Dilain pihak bila menggunakan KOFFCO System, intensitas cahaya dapat mencapai 10.000 – 20.000 lux (Sakai & Subiakto 2007). Suhu optimum untuk pertumbuhan akar pada stek tidak sama untuk setiap tanaman. Secara umum suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan stek berkisar antara 21oC - 27oC (Hartmann et al. 1997). Yasman dan Smith (1988), melaporkan bahwa kisaran suhu media stek dipterokarpa antara 27oC – 30oC dan suhu udara tidak lebih dari 40oC.
2.2.1.1 Pembentukan Akar pada Stek Pembentukan dan pertumbuhan akar pada stek terjadi karena adanya pergerakan ke arah bawah dari hormon pengatur tumbuh seperti auksin, karbohidrat, serta rooting cofactor baik dari tunas maupun dari daun. Senyawa ini akan terakumulasi di dasar stek yang selanjutnya akan menstimulir pembentukan akar (Hartmann et al. 1997). Proses pembentukan akar terjadi karena sel-sel meristematik yang terletak antara jaringan pembuluh akan membelah, kemudian memanjang dan membentuk kembali sel-sel yang nantinya berkembang menjadi bakal akar. Sebagian besar sel-sel yang membelah akan membentuk ujung akar (root tip) yang tumbuh terus melewati korteks dan epidermis, dan akar yang muncul dibagian batang atau sel tersebut akan menjadi akar adventif, yaitu akar yang muncul bukan dari organ akar (Rochiman dan Harjadi 1973). Menurut Hartmann et al. (1997), proses pembentukan akar pada stek terbagi dalam 4 tahap. Tahap pertama, bergabungnya sel-sel yang mempunyai fungsi khusus yang sama. Kedua, pembentukan bakal akar dari sel-sel tertentu dan jaringan vaskular (pembuluh).
Dalam proses ini diperlukan auksin dengan
konsentrasi tinggi. Ketiga, pembentukan bakal akar pada stek dan tersusunnya akar primordial (inisiasi akhir). Pada proses ini pasokan ethilen makin tinggi,
10
namun dihambat oleh konsentrasi auksin yang tinggi. Keempat, pertumbuhan dan munculnya akar primodial yang keluar melalui jaringan batang ditambah pembentukan sambungan pembuluh antara akar primordial dengan jaringan pembuluh dari stek itu sendiri. Menurut Pandit (1991), susunan anatomi akar stek pucuk meranti terdiri dari epidermis, korteks, endodermis, perisikel, xilem, floem, dan kambium. Hasil penelitian secara mikroskopis terhadap beberapa jenis meranti yang dilakukan oleh Kosasih et al. (1997), menunjukkan bahwa akar yang terbentuk pada stek meranti adalah akar liar (akar adventif), yang tumbuh dan berkembang dari jaringan kambium di dasar stek.
Sebagian dari akar tersebut tumbuh secara
geometris, mirip dan berfungsi sama dengan akar tunggang dan mulai tampak pada umur 6 bulan.
2.2.1.2 Hormon Pertumbuhan Akar Hormon tumbuh auksin sangat penting peranannya dalam proses inisiasi pembentukan akar adventif (Hackett 1988). Auksin alami diketahui sebagai asam indoleasetat (IAA) yang merupakan gugus asam amino yang disintesis dari triptofan yang terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk, daun dan buah yang sedang tumbuh (Salisbury & Ross 1995). Hormon ini diangkut dari daun ke arah bawah (basipetal) secara polar dan lambat melalui sel parenkima yang bersinggungan dengan berkas pembuluh, tidak melalui tabung tapis floem atau xilem. Untuk meningkatkan pertumbuhan akar stek dapat dilakukan penambahan hormon tumbuh auksin buatan dari luar. Hormon pertumbuhan auksin buatan yang sering digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar di antaranya yaitu: IBA (indole butyric acid), IAA (indole acetic acid), NAA (naphthalene acetic acid) dan IPA (indole propionic acid) (Heddy 1987; Hartmann et al. 1997). Menurut Salisbury dan Ross (1995), IBA mempunyai sifat kimia dengan mobilitas yang rendah sampai sedang dibandingkan dengan hormon pengatur tumbuh lainnya, sehingga banyak digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar dan tunas pada stek. Selanjutnya menurut Hartmann et al. (1997), bahwa sifat
11
kimia IBA lebih stabil sehingga penggunaannya lebih efektif karena daya kerjanya lebih lama dan tidak mudah menyebar. IBA mengandung unsur nitrogen (N) yang terdapat sebagai gugus amino yang terikat kuat. IBA yang diberikan pada stek hanya berperan untuk membantu pembelahan sel dan pembentukan kalus yang diikuti oleh pembentukan primordia akar yang berkembang dari sel-sel meristematik, selanjutnya perkembangan akar primordia tersebut akan banyak dipengaruhi oleh karbohidrat cadangan hasil fotosintesis (Weaver 1972). Menurut Yasman dan Smith (1988), konsentrasi dan jenis hormon pengatur pertumbuhan akar stek dipterokarpa tergantung jenis tanaman, unsur bahan stek dan teknik pemberian hormon pengatur pertumbuhan. Teknik pemberian hormon pertumbuhan akar stek dengan konsentrasi rendah umumnya menggunakan metode perendaman selama 60 menit. Diana (1992) melalui penelitian terhadap stek Shorea leprosula dan S. seminis yang diberi kombinasi perlakuan umur bahan stek dan IBA. Umur bahan stek terdiri dari bahan stek yang berumur di bawah 2 tahun dan di atas 2 tahun, sedang IBA dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 200 ppm. Kombinasi IBA 200 ppm dengan umur bahan stek di bawah 2 tahun memberikan persen tumbuh stek tertinggi yaitu 75,5% untuk S. leprosula dan 67,4% untuk S. seminis. Aminah et al.(1995) melakukan penelitian terhadap Shorea leprosula berumur 10 bulan yang diberi IBA 20µg per stek dapat menghasilkan stek berakar sebanyak 70% dengan jumlah akar sebanyak 5,05 setiap stek. Lastini (1995) melaporkan bahwa stek S. platyclados dan S. leprosula yang diberi perlakuan IBA dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 200 ppm yang dikombinasikan dengan media tumbuh gambut, pasir, dan campuran pasir dengan tanah (1:1) pada kelembaban udara di bawah 90% menghasilkan menghasilkan persentase stek tumbuh sebesar 20% untuk S. leprosula dan 7,5% untuk S. platyclados pada media pasir dengan konsentarsi IBA 200 ppm. Hendromono et al. (1996) melakukan penelitian terhadap S. selanica, S. leprosula dan S. pinanga yang diberi hormon pengatur tumbuh Rootone F pada lingkungan yang optimum. Rootone F mengandung lima macam senyawa bahan aktif dengan komposisi sebagai berikut : napthalene acetamide (NAD) sebanyak
12
0,0678 %, methyl –1- napthalene acetic acid (MNAA) sebanyak 0,033 %, methyl –1- napthalene acetamide (MNAD) sebanyak 0,013 %, indole – 3- butyric acid (IBA) 0,057 % dan tetramethlthiuram disulfida (Thiram) sebanyak 4 %. Umur bahan stek terdiri dari stek yang berumur 3-4 tahun dan di atas 10 tahun. Media tumbuh yang digunakan adalah campuran gambut, verlit, vermikulit (1:1:1). Rootone F dapat meningkatkan persen tumbuh pada bahan stek S. selanica, S. leprosula dan S. pinanga yang berumur 3-4 tahun masing-masing sebesar 94,3 %, 87,0 %, dan 33,87% sedangkan bahan stek yang berumur di atas 10 tahun masingmasing sebesar 61,6 %, 14,7 % dan 17,5 %.
2.2.2
Grafting Grafting atau sambungan adalah menggabungkan batang bawah dengan
batang atas dari dua tanaman yang berbeda sedemikian rupa sehingga tercapai persenyawaan. Kombinasi ini akan terus tumbuh membentuk tanaman baru. Dari sekian banyak bentuk teknik penyambungan tanaman dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar (Wudianto 1999; Hartmann et al. 1997), yaitu: 1. Bud-grafting atau budding dikenal juga dengan istilah okulasi, yaitu penyatuan mata tunas (bud) dengan batang bawah sehingga terbentuk tanaman baru yang mampu saling menyesuaikan diri secara komplek (Gambar 3 A). 2. Scion grafting atau top-cleft grafting yang lebih dikenal dengan grafting saja, yaitu penyatuan pucuk (sebagai calon batang atas) dengan batang bawah sehingga terbentuk tanaman baru yang mampu saling menyesuaikan diri secara komplek (Gambar 3 B). 3. Grafting by approach atau inarching, yaitu cara menyambung tanaman sehingga batang atas dan batang bawah masih berhubungan dengan akarnya masing-masing (Gambar 3 C). Teknik penyambungan dapat digunakan untuk membuat bibit tanaman unggul, memperbaiki bagian-bagian pohon yang rusak, dan membantu pertumbuhan tanaman. Teknik sambung pucuk dapat dilakukan dengan cara sambung baji (wedge graft) dan sambung baji terbalik (inverted wedge grafting). Sambung baji
yaitu: potongan batang bawah dibelah sama besar, kemudian
13
potongan batang atas yang telah diiris runcing seperti baji diselipkan pada celah potongan batang bawah kemudian diikat plastik lentur, sedangkan sambung baji terbalik (inverted wedge grafting), cara penyambungan ini kebalikannya yaitu batang atas disisipi potongan batang bawah. a b
A Budding (okulasi) a
a b
b
Sambung baji terbalik
Sambung baji
B Grafting (sambungan) b a
a
b
Inarching kulit
Inarching batang
C Inarching Gambar 3 Beberapa bentuk teknik penyambungan tanaman. a: scion (batang atas), b: stock (batang bawah) (Wudianto 1999; Hartmann et al. 1997). Teknik penyambungan tanaman memiliki beberapa manfaat (Wudianto 1999; Hartmann et al. 1997), yaitu untuk: 1. memperbanyak tanaman yang belum bisa diperbanyak dengan stek, cangkok dan teknik perbanyakan vegetatif lainnya. 2. mendapatkan manfaat tertentu dari tanaman bawah
14
3. mengubah varitas tanaman 4. mempercepat tanaman agar cepat dewasa dan cepat berbuah 5. mendapatkan bentuk tanaman tertentu 6. memperbaiki tanaman yang rusak 7. mempelajari pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta membuat tanaman yang bebas virus. 8. merejuvenasi tanaman yang sudah dewasa.
2.3 Juvenilitas Bahan Stek Tingkat juvenilitas bahan stek tanaman sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan akar stek. Fase juvenil adalah fase pertumbuhan vegetatif sebelum fase pembungaan (generatif). Fase juvenil dengan fase dewasa dapat ditunjukkan dengan perbedaan bentuk morfologi daun, fisiologi dan anatominya (Salisbury & Ross 1995; Hartmann et al. 1997). Karakter daun tanaman fase juvenil dan fase dewasa bervariasi untuk setiap jenis, antara lain bentuk, ukuran, warna, dan permukaan daun, sedangkan secara fisiologi umunya mampu melakukan fotosintesis yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman dewasa (Greenwood & Hutchison 1993). Perbedaan anatomi batang antara fase juvenil dengan fase dewasa telah diamati pada tanaman Malus domestica dan Herdera helix (Hackett 1988). Batang M. domestica juvenil kurang memiliki serat pericycle dan pada floem primer relatif tidak memiliki serat dan sclereid, sedangkan pada H. helix memiliki selundang serat floem yang lebih tipis dibandingkan dengan tanaman dewasa. Bahan stek yang yang memiliki tingkat juvenilitas tinggi umumnya terdapat pada tanaman yang berumur muda, yang dicirikan dengan kemudahan dalam pembentukan tunas adventif. Selain itu bahan tanaman juvenil lainnya dapat diperoleh dari tunas terubusan yang muncul dari akar atau batang, sphaeroblasts (tunas adventif kecil-kecil yang muncul menggerobol pada batang), dan terubusan pada kebun pangkas (Hartmann et al. 1997). Bahan stek pada fase juvenil memiliki kemampuan untuk menumbuhkan akar adventif yang lebih mudah, dan kemampuan ini semakin dewasa semakin menurun (Salisbury & Ross 1995). Semakin tua umur tanaman dan semakin jauh letak pucuk tanaman dari leher akar,
15
akan menghasilkan bahan stek yang semakin sulit berakar (Greenwood & Hutchison 1993; Salisbury & Ross 1995; Browne et al. 1997). Jaringan meristem pada pohon dapat menjadi juvenil atau dewasa, umumnya merupakan respon dari keberadaan hara dan hormon pertumbuhan (Bonga & Aderkas 1993). Bahan stek juvenil tanaman ekaliptus dapat diperoleh dari terubusan yang muncul pada potongan pohon setinggi 12 cm dari permukaan tanah dan berumur 45-55 hari setelah pemangkasan (Ikimori 1984). Tingkat juvenlitas tanaman dapat dipertahankan melalui perbanyakan berseri, pemangkasan, subkultur beberapa kali dan penyimpanan jaringan (Talbert et al. 1993; Bonga & Aderkas 1993; Haapala et al. 2004). Tanaman yang tua dan sulit berakar dapat direjuvensi, antara lain dengan metode: 1) memunculkan tunas adventif dari bagian akar, 2) memotong tunas apikal atau tunas samping kemudian menyemprotnya dengn larutan sitokinin atau gibberellin, 3) mendorong tumbuhnya tunas sphaeroblasts pada pohon tua dengan cara memotong cabang atau melakukan pembengkokan batang pada kebun pangkas, 4) menyambungkan tunas tua dengan tanaman bawah yang berumur muda secara berseri hingga tunas mampu berakar, 5) melakukan subkultur secara berseri dengan teknologi kultur jaringan (Galopin et al. 1996; Hartmann et al. 1997).