ISBN: 978-602-9096-13-2
Nara Sumber: Sutedjo, Wahyuni Hartati, Marjenah, Wawan Kustiawan, Sumaryono, Djumali Mardji, Rujehan
Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
2014
Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan
Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw : Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan ©2014 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Jl. AW. Syahrani No.68, Sempaja, Samarinda, Kalimantan Timur, Telp. 0541-206364, Fax. 0541-742298 Dicetak di Samarinda ISBN: 978-602-9096-13-2
Pengarah: Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Penanggung Jawab: Kepala Bidang Data, Informasi dan Kerjasama Penulis: Agus Wahyudi, Nilam Sari, Amiril Saridan, Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan, Massofian Noor, Andrian Fernandes, Abdurachman, Hartati Apriani, Rini Handayani, Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty, Karmilasanti, Ngatiman, M. Fajri, Catur Budi Wiati, Tien Wahyuni. Photo Cover: Asef KH Cover Design & Layout: M. Sahri Chair
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memphotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis Penerbit: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Jl. AW. Syahrani No.68, Sempaja, Samarinda, Kalimantan Timur, Telp. 0541-206364, Fax. 0541-742298 Percetakan: CV. Mandiri Hutan Lestari
KATA PENGANTAR Buku Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw: Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan adalah hasil - hasil penelitian dari Balai Besar Penelitian Dipterokarpa dan merupakan salah satu outcome dari Rencana Penelitian Integratif (RPI) Dipterokarpa tahun 2012 - 2014 Badan Litbang Kehutanan. Buku ini terdiri dari 10 (sepuluh) bab yang mana setiap bab membahas masing - masing aspek mulai dari Ekologi dan Morfologi, perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Mikoriza, Teknik Aplikasi Media Tanam, Teknik Pengepakan dan Pengangkutan, Pengayaan, Pertumbuhan, Hama Penyakit dan Gulma, Penggunaan Tenaga Kerja dan Analisis Finansial. Hal ini dilakukan agar Buku Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw: Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan dapat memberikan informasi secara menyeluruh. Terima kasih kami sampaikan kepada para pembahas buku tersebut yaitu Bapak Dr. Budi Leksono (Peneliti di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta), Prof. Dr. Ir. Ariffien Bratawinata, M.Agr (Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman), dan Prof. Dr. Ir. Soeyitno Soedirman, M.Agr (Praktisi Kehutanan) yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan buku tersebut. Diharapkan buku Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw: Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan ini dapat bermanfaat bagi para peneliti, akademisi dan mahasiswa, IUPHHK, Pemerhati Kehutanan dan pihak - pihak yang memerlukannya. Kami menyadari bahwa buku ini belumlah sempurna, namun diharapkan dapat menjadi bahan representasi kedepan. Samarinda, November 2014 Kepala Balai Besar,
Ir. Ahmad Saerozi Nip. 19591016 198802 1 001
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................ Daftar Isi .....................................................................
i ii
Bab 1 Pendahuluan ................................................................
1
Bab 2 Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Ekologi ...................................................................... 3. Ciri Morfologi ............................................................. 4. Upaya Konservasi ....................................................... 5. Penutup ....................................................................
3 3 6 9 13
Bab 3 Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Perbanyakan Tanaman Secara Generatif ....................... 3. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif ........................ 4. Pemeliharaan Bibit di Persemaian ................................. 5. Peningkatan Produktivitas Dengan Pemupukan .............. 6. Seleksi Bibit Siap Tanam ............................................. 7. Mikoriza .................................................................... 8. Penutup ....................................................................
15 15 27 33 33 34 35 41
Bab 4 Teknik Aplikasi Media Semai dari Limbah Biomassa Hutan dan Industri Hasil Hutan 1. Pendahuluan .............................................................. 45 2. Media Semai Yang Baik Untuk Pertumbuhan .................. 45 3. Limbah Industri Hasil Hutan Sebagai Media Semai .......... 46 4. Limbah Biomassa Hutan Sebagai Media Semai ............... 48 5. Kompos Sebagai Media Semai ...................................... 49 6. Penutup .................................................................... 50 Bab 5 Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit .......................... 3. Pengepakan (Packing) Bibit ......................................... 4. Penutup ....................................................................
ii
53 53 57 61
Bab 6 Pengayaan di Hutan Alam 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Faktor Pendukung Keberhasilan Pengayaan ................... 3. Penutup ....................................................................
63 64 67
Bab 7 Pertumbuhan Tegakan Hutan 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Tinjauan Umum Pertumbuhan Tegakan Hutan ............... 3. Tinjauan Umum Petak Ukur Permanen (PUP) ................. 4. Pertumbuhan Tanaman ............................................... 5. Model Pendugaan Pertumbuhan Tanaman ..................... 6. Riap Hutan Alam ........................................................ 7. Penutup ....................................................................
69 70 72 73 78 80 84
Bab 8 Hama, Penyakit dan Gulma 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Hama ....................................................................... 3. Penyakit .................................................................... 4. Gulma ...................................................................... 5. Teknik Pengendalian Gulma ......................................... 6. Penutup ....................................................................
89 89 102 106 110 113
Bab 9 Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi 1. Pendahuluan .............................................................. 117 2. Tenaga Kerja di Sektor Kehutanan ............................... 117 3. Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) ................................................................ 119 4. Penggunaan Tenaga Kerja ........................................... 121 5. Permasalahan Tenaga Kerja ........................................ 127 6. Penutup .................................................................... 129 Bab 10 Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ 1. Pendahuluan .............................................................. 2. Pengelompokkan Biaya ............................................... 3. Perbedaan Biaya Berdasarkan Sistem Silvikultur ............ 4. Metode Analisis Finansial ............................................. 5. Analisis Penghasilan Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterocarpaceae dengan sistem silvikultur TPTI iii
133 134 136 142
dan TPTJ .................................................................... 144 6. Analisis Finansial dan Sensitivitas Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterocarpaceae dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ ............................................. 145 7. Penutup .................................................................... 148 Ucapan Terima Kasih ................................................... 151
iv
Bab
Pendahuluan
1
PENDAHULUAN Shorea leprosula Miq (meranti merah atau tembaga) dan Shorea johorensis Foxw (meranti majau) merupakan jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yang tersebar mulai dari pulau Borneo (Kalimantan, Serawak, Brunei dan Sabah), Semenanjung Thailand dan Semenanjung Malaysia, dan Sumatra (LIPI, 1979 dalam Kusumawati, 1996) kemudian menyebar ke tempat lainnya. Kedua jenis kayu komersial ini mempunyai nilai ekonomi dan nilai jual yang tinggi karena kayunya disukai oleh industri pengolahan kayu. Dalam dunia perdagangan kedua jenis kayu ini dikelompokkan ke dalam meranti merah dan mempunyai nilai perdagangan yang cukup tinggi dan telah menjadi komoditi penting hasil hutan, sehingga banyak dieksploitasi sejak era tahun 1970-an sampai 1980-an dan menjadi penyokong utama produksi kayu dari hutan alam yang menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara dari sektor kehutanan. Eksploitasi terhadap jenis-jenis ini dimasa ekspor kayu bulat maupun dimasa kini begitu besar sejalan dengan kebutuhan kayu konstruksi dan pertukangan yang meningkat. Hingga kini sumber kayu komersil kedua jenis tersebut masih mengandalkan dari hutan alam, yang saat ini terus mengalami peningkatan intensitas kerusakan. Sementara kondisi hutan di Kalimantan mengalami penurunan yang berakibat pada menurunnya produktivitas hutan alam baik segi kuantitas (deforestation) maupun segi kualitasnya (forest degradation). Beberapa penyebab menurunnya produktivitas hutan adalah operasional penebangan yang kurang terkendali, maraknya penebangan liar (illegal logging), perambahan dan konversi lahan hutan menjadi areal lain, serta kebakaran yang terjadi baik secara alami akibat kekeringan yang panjang maupun non alami. Kondisi tersebut secara langsung juga mempengaruhi keberadaan meranti di hutan alam, sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit, baik dalam hal konservasi maupun pengembangannya. Selain mengandalkan sumbernya dari hutan alam, pemerintah juga menggalakkan dan memfasilitasi kegiatan penanaman jenisjenis meranti dengan menerapkan beberapa sistem silvikultur seperti TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dan TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh IUPHHK (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu). Akibat dari adanya ketimpangan antara pasokan bahan baku dengan kapasitas terpasang industri, maka pembangunan hutan tanaman mulai digalakkan. Tujuannya untuk memenuhi 1
Pendahuluan
permintaan bahan baku kayu. Selain itu juga melakukan kegiatan penanaman untuk tujuan merehabilitasi lahan-lahan yang terdegradasi dengan harapan akan menjadi sumber pemasok kayu di masa depan. Kedua jenis tanaman meranti tersebut sangat potensial untuk dikembangkan karena telah memenuhi tiga kriteria antara lain: kayunya memilki nilai ekonomis tinggi; pertumbuhannya relatif cepat dengan harapan riap diameter sekitar 2 cm/ tahun dan pengetahuan silvikultur tentang pembibitan maupun penanamannya telah dikuasai (Subiakto et al., 2007). Dengan alasan tersebut, kedua jenis tanaman meranti ini termasuk jenis meranti yang diprioritaskan untuk dikembangkan pada hutan tanaman komersial selain S. parvifolia, S. ovalis, S. smithiana dan S. platyclados (Sakai dan Subiakto 2007). Dengan berbagai keunggulannya, kedua jenis tersebut layak untuk dikembangkan. Buku yang berjudul “Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw: Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan” ini merupakan salah satu hasil atau output yang disusun sebagai bagian dari rangkaian kegiatan penelitian integratif Pengelolaan Dipterokarpa yang dilaksanakan dari tahun 2012 – 2014. Tujuan penulisan buku ini adalah memberikan informasi tentang budidaya dan pengembangan kedua jenis tanaman meranti tersebut dengan mengelaborasikan berbagai informasi berdasarkan hasil penelitian, pengamatan di lapangan dan sejumlah sumber pustaka yang mendukung. Pembahasan dalam buku ini mencakup beberapa aspek teknis, lingkungan dan sosial-ekonomi. Aspek teknik mencakup faktor-faktor berikut : (a) teknik perbanyakan secara generatif dan vegetatif untuk tujuan perbenihan dan pembibitan, (b) pemanfaatan proses inokulasi jamur mikoriza dalam perbanyakan, (c) peningkatan produktivitas melalui pengayaan, (d) model-model pertumbuhan dan hasil pada tipologi hutan alam dan hutan tanaman, dan (e) perlindungan hama, penyakit dan gulma. Aspek lingkungan pengembangan yang dibahas meliputi faktor-faktor: (a) tempat tumbuh dan morfologi dan (b) upaya konservasi. Dalam aspek sosial-ekonomi yang dibahas dalam buku ini mencakup: (a) analisis finansial budidaya pengembangan dan (b) penggunaan tenaga kerja dalam usaha pengembangannya.
2
Bab
Ekologi, Morfologi & Upaya Konservasi Agus Wahyudi, Nilam Sari & Amiril Saridan
2
1.
Pendahuluan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw tumbuh menyebar di seluruh Kalimantan, Sumatera, Bangka, Belitung, Semenanjung Malaysia, dan Thailand. Dalam dunia perdagangan kedua jenis tersebut dikelompokkan ke dalam meranti merah. Jenis S. leprosula Miq mudah dikenal dari bentuk kulit luar berwarna coklat keabu-abuan dengan alur yang dangkal, tajuk berwarna coklat kekuningan seperti tembaga dan permukaan daun bagian bawah terdapat domatia yang menyambung di sepanjang tulang daun utama dan tulang daun sekunder. Sedangkan S. johorensis Foxw mudah dikenali dari permukaan kulit batang bagian luar berwarna abu-abu hingga coklat kusam, bersisik tipis dan dangkal, kulit bagian dalam bila ditakik berwarna merah jambu dan mempunyai banir yang tinggi. Pada hutan bekas tebang pilih kehadiran beberapa jenis komersial diantaranya S. leprosula Miq cukup banyak, sedangkan S. johorensis Foxw mulai jarang dan sedikit sekali ditemukan (Panjaitan et al., 2004). Deforestasi dan degradasi hutan yang terus berlangsung saat ini telah menyebabkan habitat S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw terfragmentasi dan sebarannya semakin sempit. Berkaitan dengan hal tersebut, upaya konservasi perlu segera dilakukan untuk mempertahankan keberadaan kedua jenis tersebut. 2. Ekologi 2.1. Tempat Tumbuh S. leprosula Miq umumnya mudah dijumpai dan kadangkadang berlimpah jumlahnya pada ketinggian di bawah 700 m dpl, di lereng-lereng bukit, di lembah perbukitan dan memerlukan cahaya yang banyak untuk pertumbuhannya serta tergolong jenis yang toleran (Newman et al., 1999). Jenis toleran adalah jenis pohon pyang mampu tumbuh dan berkembang di bawah naungan dan mampu berkompetisi dengan tanaman lainnya. Jenis toleran memiliki ciri mempunyai tajuk yang rapat, batang berbentuk kerucut, pemangkasan alami relatif lambat dan pertumbuhan tinggi pada tingkat semai dan pancang lambat (Martin dan Gower, 1996). Jenis ini banyak dijumpai di hutan alam dan kadang berlimpah setelah musim buah jatuh kelantai hutan. Untuk tingkat semai S. leprosula Miq merupakan jenis yang memerlukan cahaya pada awal pertumbuhan 60 – 70% dan tingkat pancang memerlukan cahaya 74 – 100% (Priadjati, 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yassir dan Mitikauji (2007) yang melaporkan bahwa persen tumbuh tanaman S. leprosula Miq lebih besar pada teknik penyiapan lahan dengan cemplongan dibandingkan perlakuan 3
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
sistem jalur, jalur herbisida dan herbisida total. Hal ini diduga karena pembukaan lahan untuk penanaman yang sangat minim dan cahaya yang masuk masih tertahan oleh alang-alang, yang menyebabkan temperatur tanah relatif lebih rendah dari teknik penyiapan lahan lainnya. S. johorensis Foxw banyak terdapat di lereng bukit, pada tanah aluvium yang mempunyai drainase yang baik, tanah lempung berliat yang subur dan lahan yang bergelombang pada ketinggian di bawah 600 meter dpl. Berdasarkan penelitian Sari et al. (2013) di Sangkima Taman Nasional Kutai, dikemukakan bahwa S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw pada area tersebut tumbuh pada ketinggian 23 – 36 m dpl, dengan kondisi iklim mikro antara 230C – 250C, kelembaban udara 70% – 74% dan intensitas cahaya 50% – 70%. Kedua jenis ini dapat tumbuh pada jenis tanah podsolik merah kuning dengan tektur lempung berliat dan pH tanah tergolong masam berkisar 4.1 – 4.3. Sedangkan di PT ITCI Hutani Manunggal, dilaporkan bahwa S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw terdapat pada ketinggian 219 – 233 m dpl dan kondisi iklim mikro berkisar 230C – 240C, kelembaban udara 64% – 69%, serta intensitas udara 50% – 80%. Jenis tanah podsolik merah kuning dengan tektur lempung berpasir dan pH tanah berkisar 3.7 – 4.8 yang tergolong sangat masam. Baik di Sangkima Taman Nasional Kutai maupun PT ITCI Hutani Manunggal, S. leprosula Miq tumbuh pada kelas kelerengan 0 – 8%, sedangkan S. johorensis Foxw banyak ditemukan pada kelas kelerengan > 40%. Hendromono dan Hajib (2001) mengemukakan bahwa S. leprosula Miq dapat tumbuh dengan baik pada tanah latosol coklat kemerahan (Darmaga), tanah podsolik merah kuning (Haurbentes) dan tanah latosol coklat (Pasirhantap). 2.2. Regenerasi Pembungaan dan pembuahan S. leprosula Miq terjadi setiap 2 – 3 tahun sekali. Pada saat musim berbunga, pohon yang telah mencapai usia dewasa akan menghasilkan bunga yang sangat banyak. Bunga mekar menjelang sore hari dan mengeluarkan bau yang sangat harum. Agen penyerbukan umumnya adalah serangga kecil yang aktif di malam hari. Buah yang muncul sesudah penyerbukan akan jatuh setelah 14 minggu sejak pembungaan dimulai (Appanah, 1993). Buah akan masak sekitar bulan Desember hingga Maret. S. leprosula Miq di hutan alam mulai berbuah pada umur 4 sampai 5 tahun atau pada diameter 5 -10 cm, tetapi yang dipandang cukup baik untuk menghasilkan bibit adalah yang berdiameter 20 cm atau berumur 13 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1992). 4
Agus Wahyudi, Nilam Sari dan Amiril Saridan
Dari pengamatan yang dilakukan di beberapa lokasi penanaman di Kalimantan Tengah (PT Sari Bumi Kusuma dan PT Sarpatim), Kalimantan Selatan (PT Inhutani II Mekarpura) dan Kalimantan Timur (PT Inhutani I Unit Tarakan dan PT IDEC AWI), S. leprosula Miq ini mulai stabil berbunga pada usia 13 – 15 tahun. Bunga berbentuk malai, berbulu dan berwarna coklat muda, terdapat pada ujung ranting atau ketiak daun. Buah berbentuk bulat telur, berukuran 12 - 14 x 7 - 9 mm, berbulu, bersayap lima, tiga sayapnya besar berukuran 5 - 6,7 x 1 - 1,4 cm dan dua sayap lainnya kecil berukuran 1,9 - 2,5 cm x 0,15 - 0,25 cm (Rudjiman dan Adriyanti, 2002). Buah masak S. leprosula Miq mulai berkecambah 2 - 3 hari setelah jatuh ke lantai hutan (Appanah, 1993). Persen jadi kecambah buah S. leprosula Miq lebih dari 90%, apabila buah masak dengan sempurna. Bunga jenis S. johorensis Foxw menyerupai malai, bercabang satu atau dua, berbunga agak lebat. Bunga berukuran kecil, berbulu halus dan tebal serta berwarna abu-abu. Buah bulat telur, berbulu, bersayap lima yang terdiri atas tiga sayap panjang mencapai 12 cm, dengan lebar 2,3 cm dan dua sayap pendek mencapai 6,5 cm dengan lebar 0,6 cm. Biji melebar mencapai panjang 2 cm dan diameter 1,5 cm (Kessler dan Sidiyasa, 1994). Sejak terjadi eksploitasi yang cukup intensif terhadap hutan tropis di Kalimantan, maka jumlah dan keberadaan beberapa jenis Dipterocarpaceae mulai menurun. Menurut Panjaitan et al. (2004), pada hutan bekas tebang pilih kehadiran beberapa jenis komersial seperti S. leprosula Miq cukup banyak, tetapi S. johorensis Foxw sudah mulai jarang dan sedikit sekali ditemukan. Beberapa penelitian mengenai kedua jenis tersebut memperlihatkan bahwa pertumbuhan jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw pada tingkat pohon di areal Konservasi Sangkima TNK berjalan baik, terlihat Indeks Nilai Penting (INP) jenis S. leprosula Miq sebesar 22,03 % dan S. johorensis Foxw sebesar 43,60% dan termasuk ke dalam 13 jenis pohon dengan INP tertinggi yang ditemukan di lokasi tersebut. Kemudian pada PT ITCI Hutani Manunggal terlihat INP jenis S. leprosula Miq sebesar 41,53% dan S. johorensis Foxw sebesar 62,35% (Sari et al., 2013). Pada hutan Tana’ Olen jenis S. johorensis Foxw memiliki INP 76,80%, terlihat bahwa tingkat dominasi S. johorensis Foxw karena memiliki ukuran diameter batang yang paling besar (Sidiyasa et al., 2006). Hal ini menggambarkan bahwa potensi jenis-jenis tersebut pada hutan alam masih cukup banyak, walaupun keberadaannya tidak di semua tempat ditemukan, sehingga diperlukan upaya budidaya dan pelestariannya, baik secara generatif maupun vegetatif untuk penyediaan benih dan bibit yang banyak dalam rangka pembangunan hutan tanaman kedepannya dan menjaga jenis-jenis tersebut dari kepunahan. 5
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
3. Ciri Morfologi 3.1. S. leprosula Miq Nama Umum Nama perdagangan : Meranti merah. Nama daerah :M eranti tembaga, kontoi bayor, lempong kumbang, mengkorau (Dayak Benuag), abang punuk (Dayak Kenyah). Klasifikasi Kingdom: Plantae Super devisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Theales Famili : Diperocarpaceae Genus : Shorea Spesies : S. leprosula Miq Ciri-ciri utama: tajuk berwarna coklat kekuningan seperti tembaga, indumentum rapat, coklat kuning atau coklat kelabu pada permukaan bawah daun, saluran-saluran damar radial di dalam kayu gubal dan kayu teras kelihatan jelas dengan mata biasa, terutama di bagian ujung-ujung kayu gelondongan, punggung-punggung pada permukaan kulit batang agak cekung. Daun umumnya mempunyai domatia yang tersusun secara menyambung menyerupai sisik-sisik pucat sampai ujung tulang daun primer dan tulang daun sekunder (Newman et al., 1999).
a
b
Dok. Agus W
Dok. Priyono
Gambar 1. (a) Perawakan pohon S. leprosula Miq, (b) Morfologi daun S. leprosula Miq
6
Agus Wahyudi, Nilam Sari dan Amiril Saridan
3.1.1. Deskripsi Botani
Pohon: Di hutan alam tinggi pohon dapat mencapai 60 m, tinggi bebas cabang mencapai 30 m, diameter batang dapat mencapai 100 cm dengan bentuk batang lurus, banir tingginya mencapai 1,5 m dan biasanya tidak terlalu besar. Bentuk tajuk lebar, berbentuk payung berwarna coklat kekuning-kuningan seperti tembaga. Damar kuning. Permukaan kulit batang bagian luar berwarna coklat keabu-abuan, beralur dangkal dengan penampang V yang teratur dengan punggung-punggung yang cekung. Kulit batang bagian dalam apabila ditakik berwarna trengguli, kayu gubal krem, kayu teras merah tua dengan saluran-saluran damar radial mencolok. Daun penumpu cepat gugur, panjang + 10 mm, lebar + 3,5 mm, melonjong. Tangkai daun panjangnya 1 – 1,5 cm. Daun lonjong sampai bulat telur terbalik, panjang 8 - 14 cm, lebar 3,5 – 5,5 cm, permukaan daun bagian bawah bersisik mempunyai warna krem, pangkal tumpul, ujung daun meruncing, panjang mencapai 8 mm, urat daun sekunder 12-15 pasang, urat daun tertier berbentuk tangga, domatia terdapat di sepanjang tulang daun utama dan sekunder yang menyambung. Bunga kecil, daun mahkota kuning, benang sari 15. Buah atau biji terbungkus oleh kelopak bunga yang besar berbulu halus agak jarang, dilengkapi dengan tiga sayap panjang dan dua sayap pendek. Sayap panjang dapat mencapai 10 cm, lebar 2,5 cm, sayap pendek panjang 5,5 cm dan lebar 0,3 cm. Buah geluk panjang mencapai 2 cm dan lebar 1,3 cm, bulat telur, berbulu kuning pucat. Musim bunga terjadi setiap 2 – 3 tahun dan serempak di berbagai tempat serta mengeluarkan aroma yang menyengat. Semai: Ranting dan tangkai daun berbulu berbentuk bintang sangat kecil, tangkai daun panjang mencapai + 1 cm; daun lanset, lonjong atau bulat telur terbalik, panjang 9,5 – 14 x 4,5 – 6,5 cm, pangkal daun agak meruncing atau membundar, tulang daun utama bagian bagian bawah dan tulang daun sekunder banyak ditutupi oleh domatia yang memanjang dan bersambungan, permukaan bawah daun berbulu agak kasar; tulang daun sekunder 10 – 15 pasang. Sapihan: Daun agak keras, bentuk lonjong sampai bulat telur terbalik, pangkal daun agak membundar sampai meruncing. Pada permukaan daun bagian bawah terutama pada tulang daun utama dan tulang daun sekunder banyak terdapat domatia yang bersambungan. Kisaran penyebaran: seluruh Kalimantan, Sumatera, Bangka, Belitung, Semenanjung Malaya dan Thailand. 7
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
3.2. S. johorensis Foxw Nama Umum Nama perdagangan : Meranti merah. Nama daerah : mahadirang, majau, pelepak (Kalimantan), merkuyang putih (Sumatera), mentewohok (Dayak Benuag), abang kulat (Dayak Kenyah). Klasifikasi Kingdom: Plantae Super devisi : Angiospermae Divisi : Eudicots Kelas : Rosids Ordo : Malvales Famili : Diperocarpaceae Genus : Shorea Spesies : S. johorensis Foxw Ciri-ciri utama: Bentuk batang lurus, berwarna keabu-abuan, bersisik tipis. Takikkan batang bagian dalam berwarna merah jambu sampai merah muda. Tulang daun sekunder berjumlah 9-16 pasang, kadang pada pangkal daun terdapat domatia, daun kering berwarna merah kecoklatan agak pucat.
a
b
Dok. Agus W
Dok. Priyono
Gambar 3. (a) Perawakan pohon S. johorensis Foxw, (b) Morfologi daun dan buah S. johorensis Foxw 3.2.1. Deskripsi Botani
Pohon: Pohon besar, garis tengah dapat mencapai + 1.5 m, batang lurus, berbentuk silinder, tinggi banir dapat mencapai 2 m. Permukaan kulit batang abu-abu hingga coklat kusam, bersisik tipis dan dangkal, permukaan kulit tua hampir putih apabila membusuk. Kulit bagian dalam merah jambu, menyabut, kayu gubal putih dan lembut. Ranting agak pipih. Daun penumpu 8
Agus Wahyudi, Nilam Sari dan Amiril Saridan
panjangnya mencapai 20 - 3.5 mm, lanset, cepat gugur pada awal. Tangkai daun 1.5 – 2 cm dengan indumentum berupa bulubulu yang rapat, coklat kelabu. Bentuk daun bulat telur terbalik, panjang 9 – 16 cm, lebar 4 – 8.5 cm, gundul, permukaan daun licin, pangkal daun membundar atau menjantung, ujung meruncing pendek, permukaan atas bila mengering coklat, permukaan bawah coklat kelabu, tulang daun sekunder 9 – 16 pasang, melengkung di bagian tepi daun, tulang daun tersier kelihatan jelas, pada pangkal daun biasanya terdapat domatia seperti sisik yang menonjol, pada kedua bagian tulang daun utama di bagian pangkal daun. Bunga kecil, daun mahkota berwarna kuning, benang sari berjumlah 15. Bakal buah membulat. Kelopak buah dengan 3 sayap yang panjang 3 x 12 cm dan 2 sayap pendek 0.6 x 6.5 cm, memita, pangkal berbentuk tomang, buah geluk membulat telur , panjang mencapai 2 cm, mengimbal kekuningan. Semai: tangkai daun panjang mencapai + 1.5 cm; bentuk daun lanset, lonjong atau bulat telur terbalik, daun muda mempunyai warna coklat muda, panjang daun 14 – 17 x 6.5 – 9.5 cm, permukaan daun licin, permukaan bagian atas hijau tua mengkilap, bagian bawah hijau pucat. Pertulangan daun sekunder 9 – 16 pasang melengkung di bagian tepi daun, tulang daun tersier berbentuk tangga dan jelas terlihat. Sapihan: Tangkai daun mencapai 1.5 – 2 cm, daun bulat telur terbalik, panjang 9 – 16 x 6.5- 9.5 cm, ujung daun 1.5 cm, tumpul, pangkal berbentuk pasak tumpul, pertulangan daun sekunder + 9 - 16 pasang. Kisaran Penyebaran: Semenanjung Malaysia, Sumatera dan tersebar di seluruh Kalimantan. 4.
Upaya Konservasi Luasan hutan alam di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan akibat adanya deforestasi dan degradasi. Berdasarkan laporan Margono et al., (2014), luas tutupan hutan primer yang hilang antara tahun 2000 – 2012 adalah 6,02 juta ha dengan rata-rata peningkatan sebesar 47.600 ha per tahun. Adanya penurunan luasan hutan primer ini telah berimplikasi negatif pada habitat S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di hutan alam, yang dulu sebarannya luas dan keragamannya tinggi saat ini semakin berkurang. Pelestarian keragaman genetik sangat penting dalam kegiatan konservasi S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw. Konsekuensi dari menurunnya keragaman genetik adalah berkurangnya kemampuan beradaptasi, kemampuan bertahan 9
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
hidup dan kemampuan reproduksi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan sebagai upaya konservasi S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, metode yang pertama adalah dengan konservasi in-situ dan yang kedua melalui konservasi ex-situ. Kedua metode ini tidak dapat berdiri sendiri, materi genetik dari kegiatan konservasi in-situ dapat digunakan sebagai bahan untuk konservasi ex-situ. Demikian pula, konservasi ex-situ merupakan back-up bagi konservasi in-situ terutama pada jenis-jenis yang di habitat alaminya terancam punah. Oleh karena itu, keintegrasian konservasi in-situ dan ex-situ merupakan cara terbaik upaya konservasi S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw dalam jangka panjang. 4.1. Konservasi In-Situ Konservasi in-situ adalah suatu metode konservasi yang dilakukan dengan melindungi populasi dan komunitas di habitat alaminya (Saunier dan Meganck, 1995). Tujuannya adalah untuk melestarikan populasi terpilih dengan susunan genetik yang representatif dan dapat berkembang pada habitat alaminya. Konservasi in-situ secara ideal memerlukan areal dengan ukuran luas, kontinyu dan dikelola agar populasi yang dikonservasi dapat mempertahankan keragaman genetiknya secara alami sesuai dengan keseimbangan Hardy-Weinberg (Frankham et. al., 2002) Konservasi in-situ biasanya dilakukan dengan menetapkan suatu lokasi sebagai areal konservasi sumber daya genetik. Keuntungan dengan metode ini antara lain (Saunier dan Meganck, 1995): a. Sebaran Luas. Dengan ditetapkan sebagai areal konservasi sumber daya genetik, konservasi in-situ tidak hanya melindungi jenis terpilih, tetapi juga melindungi spesies lokal dalam jangka panjang. b. Ketersediaan Materi Genetik. Seleksi alami dan evolusi dalam areal konservasi in-situ terus berlangsung, sehingga keragaman genetiknya selalu terbentuk. c. Manfaat ekonomi. Keragaman genetik akan memberikan keuntungan jangka panjang karena dengan keragaman genetik yang besar dapat digunakan untuk menghasilkan spesies yang semakin unggul. Ada sejumlah resiko yang disebabkan oleh kejadian alam dan perilaku manusia yang dapat mengancam eksistensi dari
10
Agus Wahyudi, Nilam Sari dan Amiril Saridan
areal konservasi in-situ, antara lain (Saunier dan Meganck, 1995): a. Ketidakpastian demografi, yang disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk. b. Ketidakpastian lingkungan, yang disebabkan oleh perubahan iklim, ketersediaan pangan dan kompetisi. c. Bencana alam yang dapat terjadi sewaktu-waktu, seperti banjir, kebakaran hutan, kekeringan dan lain-lain. d. Perubahan genetik acak, yang disebabkan oleh pergeseran genetik atau inbreeding yang merubah kemampuan reproduksi individu. Namun demikian, penyebab utama dari ketidakpastian di alam adalah perilaku manusia. Pembangunan pemukiman, pertanian dan aktivitas lain telah secara massif berkontribusi terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Karena kejadian di alam yang tidak dapat diprediksi tersebut, maka konservasi keanekaragaman hayati perlu dilakukan di luar habitat alaminya (konservasi ex-situ). 4.2. Konservasi Ex-Situ Konservasi ex-situ merupakan suatu cara melindungi komponen-komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya (Glowka et. al., 1994). Konservasi ex-situ mencakup secara luas teknik konservasi terapan, seperti pembangunan kebun klon, bank benih, konservasi in-vitro dan konservasi dengan penanaman. Secara umum, konservasi ex-situ diterapkan sebagai tindakan tambahan untuk melengkapi konservasi in-situ. Berikut ini merupakan contoh dari teknik konservasi ex-situ menurut Hawkes et al. (2001), yaitu: a. Tempat penyimpanan benih (seed storage). Koleksi dari sampel benih dari suatu lokasi yang kemudian dipindahkan ke bank gen utuk disimpan. Sampel biasanya dikeringkan sampai kadar air yang sesuai dan disimpan dalam suhu di bawah nol. b. Area bank gen (Field gene bank) Koleksi benih atau material hidup dari suatu lokasi dipindahkan dan ditanam di lokasi yang lain. Biasanya yang dikonservasi disini hanya sedikit jenis dengan keragaman genetik yang tinggi. c. Kebun Raya/Arboretum Koleksi benih atau material hidup dari suatu lokasi dipindahkan dan dipelihara di lokasi yang lain sebagai koleksi tumbuhan hidup. Biasanya mencakup banyak jenis tumbuhan dengan keragaman yang rendah. 11
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
d. Tempat Penyimpanan In-Vitro (in-vitro storage) Merupakan suatu tempat untuk koleksi dan memelihara eksplan (kultur jaringan) dalam kondisi steril dan bebas pathogen. e. Tempat Penyimpanan DNA/Polen (DNA/Pollen Storage) Koleksi DNA atau polen yang disimpan dalam kondisi yang cocok, biasanya dalam kondisi dingin. Koleksi tanaman ex-situ mempunyai peranan penting dalam konservasi (IUCN, 2001), antara lain: a. Tempat perlindungan terakhir terhadap kepunahan. b. Sumber benih tanaman untuk pembangunan kembali atau mendukung populasi di alam. c. Untuk kepentingan restorasi habitat. d. Sumber plasma nutfah untuk keperluan seleksi atau pemuliaan tanaman jenis unggul. e. Menghasilkan berbagai macam produk tanaman. f. Koleksi yang aksesnya mudah untuk keperluan penelitian . g. Pembelajaran public, misalnya berbagai koleksi yang dapat dilihat di kebun raya. Kelebihan konservasi ex-situ dibandingkan dengan konservasi in-situ yaitu dalam penggunaan ruang yang lebih sempit, jaminan keamanan yang lebih baik dalam konservasi plasma nutfah jangka panjang dan adanya akses yang mudah untuk pengambilan materi genetik yang akan digunakan dalam penelitian dan pengembangan. Sedangkan kekurangan dari konservasi ex-situ adalah bahwa metode ini hanya mengkonservasi keragaman genetik dari suatu spesies atau populasi, tanaman kemungkinan akan mengalami penurunan integritas genetik, akses untuk memperoleh materi genetik bisa menyulitkan untuk beberapa pengguna (tergantung dari manajemen institusi) dan terjadinya peristiwa yang tidak dapat diprediksi (Bermejo, 1995). Sebagai tambahan, konservasi ex-situ tidak berkontribusi dalam konservasi habitat, jasa lingkungan dan terbentuknya asosiasi dengan beragam jenis di alam. 4.3. Konservasi Pseudo Ex-Situ Konservasi in-situ dan ex-situ secara konvensional dianggap tidak lagi mampu mengurangi kehilangan jenis dan sumber daya genetik jenis target akibat perilaku manusia dan ketidakpastian alam. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Danida Forest Seed Centre kemudian mengembangkan pendekatan konservasi pseudo in-situ (Soekotjo dan Subiakto, 2005). Pada dasarnya metode ini meniru konservasi in-situ, namun tidak semua jenis dikonservasi, hanya terbatas pada jenis target saja. Konservasi pseudo in-situ dilakukan dengan cara memindahkan jenis target 12
Agus Wahyudi, Nilam Sari dan Amiril Saridan
dari kelompok hutan yang diduga tidak aman ke tempat lain yang lebih aman di luar habitatnya. Untuk menjaga agar tidak terjadi inbreeding, maka setiap jenis yang dipindah harus diwakili minimal oleh 50 pohon induk dan setiap pohon induk diwakili minimal oleh 4 – 10 individu. Konservasi pseudo in-situ jenis Dipterocarpaceae, termasuk didalamnya jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, pernah dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Perum Perhutani. Jenis-jenis Dipterocarpaceae diambil dari 10 kelompok hutan di Kalimantan dan Sumatera. Penanaman dilakukan di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Carita dengan ulangan lokasi di Bagian Daerah Hutan (BDH) Gunung Kencana, KPH Banten (Soekotjo dan Subiakto, 2005). Dari hasil evaluasi ketahanan tanaman umur 6 – 12 bulan di lokasi tersebut S. leprosula Miq memiliki rerata persen hidup 65,63%, sedangkan S. johorensis Foxw persen hidupnya 61,88% (Hani dan Rachman, 2007). 5.
Penutup Keberadaan jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di hutan alam pada saat ini dalam kondisi terancam sebagai akibat dari semakin meningkatnya deforestasi dan degradasi hutan. Kedua jenis ini dikhawatirkan akan menjadi langka dan bahkan punah dari daerah sebaran alaminya. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan upaya konservasi untuk menyelamatkan kedua jenis tersebut agar dapat dipertahankan kelestariannya. Penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan serta integrasi konservasi insitu dan ex-situ merupakan upaya terbaik konservasi S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw dalam jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA Appanah, S. dan G. Weinland. 1993. Planting Quality Timber Trees in Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Forest Record No. 38. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1992. Vademikum Hasil-Hasil Penelitian HTI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Bermejo, H.E.J. 1995. Habitat and Species Management, in J. Newton (ed.) First European Conference on the Conservation of Wild Plants. Plantlife. Hyeres, France. Frankham, R., Ballou, J.D. and Briscoe, D.A. 2002. Intoduction to Conservation Genetics. Cambridge University Press. Cambridge. Glowka, L., Burhenne-Guilmin, F., Synge, H., McNeely, J.A., and Gündling, L. 1994. A Guide to the Convention on Biological Diversity. Environmental Policy and Law Paper No. 30, IUCN-ELC. Hani, A. dan E. Rachman. 2007. Evaluasi Ketahanan Hidup Tanaman Uji Spesies Dan 13
Ekologi, Morfologi dan Upaya Konservasi
Konservasi Ek-Situ Dipterocarpaceae Di RPH Carita Banten. Info Teknis Vol 5(1) Juli 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hawkes, J.G., Maxted, N. and Ford-Lloyd, B.V. 2001. The Ex-Situ Conservation of Plant Genetic Resources, Kluwer Academic Publishers, London, UK. Hendromono dan Hajib, N. 2001. Prospek Pembangunan Hutan dan Pemanfaatan Kayu Jenis Khaya, Mahoni dan Meranti. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Pengembangan Jenis Tanaman Potensial (Khaya, Mahoni dan Meranti) untuk Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. IUCN. 2001. IUCN Policy on the Management of Ex-Situ Populations for Conservation, IUCN, Gland, Switzerland. Kesler, P. dan K.Sidiyasa. 1999. Pohon-Pohon Hutan Kalimantan Timur. Pedoman mengenal 280 jenis pohon pilihan di daerah Balikpapan – Samarinda. MOFEC. TropenbosKalimantan Series 2. Margono, B. A., Bwangoy, J-R. B., Potapov, P. V. & Hansen, M. C. 2014. Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change. Published Online: 29 June 2014 | DOI: 10.1038/NCLIMATE2277. Martin, J. and T. Gower. 1996. Tolerance of Tree Species. Department of Forest Ecology and Management. School of Natural Resources. University of Wisconsin-Madison. Newman, M.F, P.F. Burgese dan T.C Whitmore. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. PROSEA Indonesia. Bogor Panjaitan, S., R.S. Wahyuningtyas, Supriadi, M. Sulistiani dan Djumani, 2004. Teknik Pengembangan Hutan Tanaman Jenis-jenis Prioritas. Penelitian Teknik Budidaya, Persyaratan Tumbuh dan Sebaran Jenis Shorea johorensis Foxw. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. (tidak dipublikasikan). Priadjati, A. 2003. Dipterocarpaceae. Forest Fire and Forest Recovery. Tropenbos International. The Tropenbos Foundation, Wageningen, The Netherlands. Sari, N.; Karmilasanti dan R.Handayani. 2013. Kondisi tempat Tumbuh Tegakan Alam Jenis Shorea leprosula, S.smithiana dan S.johorensis. Prosiding: Restorasi Ekosistem Dipterokarpa dalam Rangka Peningkatan Produktivitas Hutan. Kemenenterian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda. Sastrapradja, S., Kartawinata, K., Roesmantyo, U., Soetisna, Wiriadinata, H. Dan Riswan, S. 1997. Jenis-jenis Kayu di Indonesia. Proyek Sumberdaya Ekonomi LBN-LIPI. Bogor. Saunier, R.E. and Meganck, R.A. 1995. Conservation of Biodiversity and the New Regional Planning. IUCN. Sidiyasa. K., Zakaria, Iwan. R. 2006. Hutan Desa Setulang Dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur: Potensi Dan Identifikasi Langkah-Langkah Perlindungan Dalam Rangka Pengelolaannya Secara Lestari. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Soekotjo dan A. Subiakto. 2005. Petunjuk Teknis Dipterocarpa. Proyek ITTO PD 41/00 Rev. 3 (F,M) Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Yassir, I. dan Y. Mitikauji. 2007. Pengaruh Penyiapan Lahan Terhadap Pertumbuhan Shorea leprosula Miq dan Shorea balangeran (Korth.) Burck Pada Lahan Alang-Alang Di Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol.1 (1), September 2007. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Samarinda. 14
Bab
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Mikoriza pada Shorea leprosula dan Shorea johorensis Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Massofian Noor
3
1.
Pendahuluan Tingginya animo untuk pengembangan hutan maupun gerakan penghijauan tidak diikuti dengan penyediaan bahan tanaman. Untuk kelancaran program tersebut, dibutuhkan upaya untuk menyediakan bibit secara kontinyu dan dalam jumlah yang besar. Disamping itu, permasalahan kualitas bibit juga perlu mendapatkan perhatian agar sesuai dengan keinginan konsumen. Hal ini karena bibit berkualitas menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanaman. Terdapat beberapa metode dalam memproduksi bibit baik secara generatif maupun vegetatif. Beberapa metode yang akan diuraikan untuk perbanyakan bibit secara generatif yaitu dengan benih dan cabutan, sedangkan secara vegetatif digunakan teknik stump dan stek pucuk. Selain itu, inokulasi jamur mikoriza juga akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini. 2. Perbanyakan Tanaman Secara Generatif 2.1. Benih (Seeds) Pembibitan dan perbanyakan tanaman sangat lazim menggunakan benih. Untuk mendapatkan benih dari jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, perlu mengetahui ciriciri buahnya. Ciri dari buah yang paling mudah diamati yaitu memiliki kelopak buah dengan 3 sayap panjang dan 2 sayap pendek (Gambar 1). S. leprosula Miq memiliki sayap panjang yang berukuran 5 - 6,7 x 1 - 1,4 cm dan sayap pendek 1,9 - 2,5 x 0,15 - 0,25 cm, sedangkan S. johorensis Foxw dengan ukuran lebih besar yaitu sayap panjang 7 - 10 x 1,1 - 2 cm dan sayap pendek 4 - 7 x 0,6 - 0,7 cm (Newman et al., 1999). Diantara jenis-jenis tanaman dalam famili Dipterocarpaceae, periode musim berbunga dan berbuah jenis S. leprosula Miq tergolong pendek yaitu antara 2 - 3 tahun. Jenis ini berbunga pada bulan Juli - September dan waktu berbunganya berlangsung selama 3 - 5 minggu. Jumlah bunga per pohon berkisar antara 63.000 - 4.000.000. Kemudian akan berbuah muda bulan Oktober - Desember dan berbuah masak pada bulan Desember – Maret (Rasyid et al., 1991). Selanjutnya dilaporkan bahwa produksi buah berkisar antara 36.000 - 249.000 per pohon, namun yang berhasil masak hanya sekitar 5.000 - 11.400 buah karena adanya serangan hama. Dalam satu kilogramnya, buah S. leprosula Miq dapat mencapai 1.900 - 2.268 buah, sedangkan S. johorensis Foxw berbuah pada bulan Nopember - Januari dengan jumlah buah per kilogramnya sekitar 372. Informasi tentang periode pembungaan dan musim berbuah sangat beragam. Hampir semua pustaka menyebutkan bahwa 15
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
periode pembungaan dan musim berbuah S. leprosula Miq tidak teratur dan produksi buah sekitar bulan April - Mei dengan frekuensi 3 - 4 tahun sekali (Krishnapillay, 1998). Kemudian sumber lain menyebut S. leprosula Miq berbunga hanya sekali setiap dua sampai lima tahun dan dalam satu lokasi, hampir semuanya berbunga dalam waktu bersamaan. Buah masak tidak menentu, panen raya tahun 1999 yaitu Pebruari - Maret, Juli dan Nopember. Panen raya berikutnya tahun 2001 (Soekotjo, 2009), tahun 2002 pada bulan Januari - Maret (Naiem, 2002), tahun 2005 serta tahun 2007 di sebagian wilayah IUPHHK Intracawood dan sekitarnya (Soekotjo, 2009). Kemudian pada panen raya tahun 2010 terjadi pada bulan Pebruari - Maret (Rayan dan Cahyono, 2012). 2.1.1. Sumber Benih
Benih dikumpulkan dari sumber benih. Beberapa sumber benih bersertifikat di wilayah Kalimantan tidak secara khusus menginformasikan keberadaan jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw. Hal ini karena jenis tersebut tersebar di hutan alam yang berasosiasi dengan jenis Dipterocarpaceae lainnya. Sebagian besar sumber benih bersertifikat tersebut berada di lokasi hutan alam dengan jenis yang didaftarkan termasuk dalam kelompok Shorea spp (BPTH, 2011). Di Indonesia sebaran kedua jenis tersebut mencakup wilayah Sumatera dan Kalimantan (Ashton, 1982; Newman et al., 1999). Namun untuk memastikan sebaran jenis pada skala yang lebih sempit lagi, diperlukan koordinasi dengan pihak terkait sebagai pengelola yang memahami kondisi sebaran jenis tersebut pada suatu lokasi. Hal ini karena pola penyebaran meranti merah secara umum dalam bentuk koloni di dalam suatu tapak atau menyebar secara mengelompok pada setiap areal (Susanti et al., 2000). Karakteristik buah yang memiliki sayap, mendukung penyebaran dengan angin sehingga buah akan jatuh di sekitar pohon induknya pada radius hingga 100 m (Schmidt, 2002). Dengan demikian, untuk memperoleh buah dapat dilakukan eksplorasi pada sebaran kelompok-kelompok tersebut. 2.1.2. Metode Pengumpulan Buah
Untuk mendapatkan buah dapat dikoleksi langsung dari pohon induknya. Pengunduhan dan pengumpulan buah dilakukan pada saat musim panen raya berlangsung. Jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw merupakan pohon besar dengan tinggi mencapai 50 m dan diameter hingga 100 cm bahkan lebih, sehingga pengunduhan langsung akan menjadi tantangan 16
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
dan penuh risiko. Personil yang melakukan pengumpulan buah hendaknya pemanjat yang handal dan menggunakan alat pengaman (Gambar 2).
Dok. Rayan
Dok. Rayan
Gambar 1. Gambar buah S. leprosula Miq
Gambar 2. Pengumpulan buah S. leprosula Miq dengan cara memanjat
Pengunduhan buah secara langsung dilakukan terhadap buah yang telah masak secara fisiologis. Buah masak ditandai dengan warna sayap buah telah berubah menjadi coklat, sayap melengkung keluar dan buahnya keras serta beratnya lebih ringan daripada yang masih muda (Gambar 1). Pengumpulan buah yang dipetik langsung memiliki kadar air yang tinggi diatas 40% dan memiliki daya kecambah di atas 80% (Rasyid et al., 1991). Biji yang berwarna hijau dan sayap coklat merupakan kondisi fisik yang menggambarkan masak buah yang tepat dan memiliki kadar air benih 32 - 33% sedangkan biji berwarna coklat dan sayap coklat hanya memiliki kadar air benih 17 - 18% (Nurhasybi et al., 2003).
Dok. Asef KH
Dok. Asef KH
Gambar 3. Pengumpulan buah yang telah jatuh di lantai hutan
17
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
Pengumpulan buah dapat juga dilakukan dengan memasang jaring penangkap yang diletakkan di lantai hutan. Apabila buah telah jatuh, pengumpulan buah di lantai hutan harus dimonitor setiap hari (Gambar 3). Pada umumnya buah yang jatuh pada hari pertama sampai hari kelima masih bercampur dengan buah muda. Buah yang dikumpulkan setelah hari keenam memiliki daya kecambah yang tinggi dibandingkan hari-hari sebelumnya (Rasyid et al., 1991). Buah yang terkumpul dimasukkan dalam karung tertutup untuk diangkut menuju pondok kerja. 2.1.3. Penanganan Buah
Buah dari jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw termasuk dalam tipe buah rekalsitran (recalcitrant) yaitu buah tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Apabila disimpan pada kondisi udara terbuka akan cepat turun daya kecambahnya. Dengan demikian, proses pengumpulan buah hingga penyemaian harus dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindari kematian yang tinggi. Buah hasil pengumpulan langsung diekstraksi dengan cara pemotongan sayap tanpa dilakukan pengeringan di tempat yang teduh (Gambar 4). Seleksi dilakukan dengan cara memilih buah yang sehat dan tidak terdapat tanda serangan ulat (Nurhasybi et al., 2010). Buah hasil seleksi segera dikecambahkan, namun apabila buah akan diangkut ke lokasi persemaian yang cukup jauh, harus diperhatikan dalam pengepakannya. Pengepakan buah dikondisikan sedemikian rupa sehingga kelembabannya terjaga. Pengepakan dapat menggunakan kotak kardus. Buah disusun berlapis dan antar lapisan buah dipisahkan oleh koran basah, atau menggunakan seresah/serbuk gergaji untuk menjaga kelembaban. Selama pengangkutan harus dihindari paparan sinar matahari langsung (Tolkamp dan Effendi, 2002).
Dok. Asef KH
Dok. Asef KH
Gambar 5. buah S. leprosula Miq yang telah dipotong sayap
Gambar 4. Pemotongan sayap secara manual 18
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Buah sebaiknya langsung dikecambahkan jika telah sampai di persemaian. Apabila masih tetap berada dalam kemasan dan disimpan, persen kecambah akan menurun. Buah segar yang dikecambahkan sebelum 7 hari sejak dikoleksi menunjukkan persen berkecambah > 95% (Soekotjo, 2009). Namun apabila harus disimpan, dapat menggunakan wadah berupa kantong berbahan katun atau kantong blacu. Penyimpanan buah S. leprosula Miq menggunakan kantong katun dengan media arang lembab atau tanpa media, akan memberikan daya kecambah yang tinggi (83 - 88%) dan persen jadi semai yang tinggi (83 - 87%) setelah 7 hari penyimpanan (Syamsuwida, 1996). Hasil penelitian lain menunjukkan buah S. leprosula Miq disimpan dengan menggunakan kemasan kantong blacu tertutup diberi media serbuk arang sedikit lembab dan wadah diletakkan dalam ruangan dengan suhu antara 18 - 21oC dapat mempertahankan viabilitas hingga 4 minggu dengan daya berkecambah rata-rata 45% dan kadar air 29 - 35% (Tompsett, 1987). 2.1.4. Pengecambahan Benih
Seleksi terhadap benih perlu dilakukan untuk memastikan benih yang akan dikecambahkan memiliki kualitas baik. Benih dipilih yang terbebas dari sayap dan cangkang buah, kerusakan akibat penyimpanan maupun pengangkutan, benih hampa serta kotoran maupun tercampur dengan benih jenis lain. Seleksi termudah untuk menghindarkan dari benih hampa dapat dilakukan dengan perendaman dalam air (floating test). Benih yang mengapung tidak layak untuk dikecambahkan karena hampa. Benih dipilih yang memiliki ukuran besar dengan panjang 1,4 - 1,7 cm dan diameter 0,97 - 1,20 cm yang akan menghasilkan daya kecambah dan pertumbuhan bibit lebih baik dibandingkan dengan benih yang berukuran lebih kecil (Rayan dan Cahyono, 2011). Proses perkecambahan dapat dilakukan langsung pada polybag maupun menggunakan bak/bedeng tabur terlebih dahulu baru kemudian disapih ke polybag. Media yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Apabila menggunakan bak/bedeng tabur maka media yang digunakan berupa pasir yang telah disterilkan atau dengan disolarisasi terlebih dahulu (dijemur di bawah sinar matahari). Bedeng tabur ukuran 2 x 1 m dengan posisi lebih tinggi dari sekitarnya. Di sekeliling bedeng diperkuat dengan papan atau batu bata. b. Bila langsung dikecambahkan pada polybag, menggunakan media campuran antara top soil : pupuk kandang : sekam = 4 19
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
: 1 : 1. Polybag yang digunakan dapat berukuran 10 x 15 cm. Penggunaan polybag dengan ukuran yang lebih besar akan memerlukan biaya lebih tinggi.
Dok. Rayan
Dok. Rayan
Gambar 6. Perkecambahan menggunakan bak tabur
Gambar 7. Perkecambahan langsung pada polybag
Benih ditanam dengan posisi bekas tangkai buah berada di bawah dan terendam ¾ bagiannya. Kemudian disiram air dan bedeng ditutup sungkup plastik serta diberi naungan menggunakan paranet 60%. Benih disiram secara rutin untuk menjaga kelembaban. Benih mulai berkecambah pada hari ke 3 dan biasanya berkecambah serentak. Benih dengan mutu baik akan berkecambah >90%. Apabila benih yang telah berkecambah memiliki 2 pasang daun dengan tinggi bibit 15 - 20 cm (umur bibit 4 - 5 minggu), maka sungkup plastik dapat mulai dibuka secara bertahap. Bibit berumur 6 minggu sungkup dapat dibuka secara keseluruhan.
Dok. Rayan
Dok. Rayan
Gambar 8. Benih S. leprosula Miq yang telah berkecambah
Bibit yang tumbuh pada bedeng tabur kemudian disapih ke polybag, sementara benih yang langsung dikecambahkan 20
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
dalam polybag tidak memerlukan penyapihan namun dilakukan penyulaman pada polybag yang tidak tumbuh. Tahapan dalam penyapihan bibit adalah sebagai berikut : a. Menyiapkan polybag ukuran 10 x 15 cm yang telah diisi media dengan perbandingan top soil : pupuk kandang : sekam = 4 : 1 : 1. Polybag disusun dalam bedeng sapih ukuran 2 x 1 m dan diberi naungan paranet 60%. Di tengah-tengah polybag dibuat lubang tanam menggunakan stik kayu (Gambar 9).
Dok. Deddy
Dok. Asef KH
Gambar 9. Polybag yang telah dibuat lubang tanam
Gambar 10. Penyapihan bibit
b. Menyiram bibit pada bedeng tabur untuk memudahkan pencabutan dan meminimalkan kerusakan pada akar. Merapikan akar dan memotong jika akar terlalu panjang dibandingkan dengan ukuran polybag. c. Menyapih pada lubang yang telah dibuat sebelumnya (Gambar 10). Media kemudian dipadatkan ke arah akar sehingga bibit dapat kokoh berdiri. Perlu diperhatikan agar akar tidak tertekuk atau patah. d. Bibit kemudian disiram dan ditutup sungkup plastik. Pemeliharaan selama dalam bedeng sapih meliputi pembersihan dari guguran daun, tanaman pengganggu serta penyiraman secara rutin. 2.2. Cabutan Alam (wildings) Perbanyakan tanaman menggunakan metode cabutan menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan bila musim panen raya telah lewat maupun buah telah jatuh seluruhnya dan telah tumbuh menjadi anakan alam. Metode cabutan adalah dengan mengambil anakan alam yang kemudian dibesarkan di persemaian. Berbeda dengan puteran, dimana cara puteran mengikutsertakan tanah yang melingkupi anakan sedangkan cabutan tidak demikian. 21
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
2.2.1. Pengenalan Anakan Alam Pengenalan terhadap anakan penting untuk menghindarkan dari kesalahan jenis yang akan dikumpulkan. Anakan S. leprosula Miq memiliki ranting dan tangkai daun berbulu balig bentuk bintang sangat kecil dan agak renggang. Daun penumpu 0,5 x 0,1 - 0,2 cm berbentuk lonjong dengan warna hijau kemerahmerahan. Daun lonjong atau lonjong sampai lanset berukuran 9 12,7 x 4 - 5,6 cm meruncing perlahan ke arah ujung yang lancip. Daun dengan domatia menyerupai sisik yang tidak terputus sampai tulang tengah kadang sampai bagian bawah pertulangan utama. S. johorensis Foxw memiliki ranting berusuk dengan sisik sangat kecil jika masih sangat muda, ranting yang lebih tua berbentuk galah. Daun penumpu dengan bentuk lonjong sampai pita 1,5 x 0,2 - 0,3 cm. Daun pada semai setinggi 60 cm berbentuk bundar telur sempit atau bundar telur sungsang berukuran 10 - 20 x 5 - 8,1 cm termasuk 1,3 cm bagian pucuk yang berangsur meruncing. Permukaan atas berwarna hijau tua berkilap sedangkan permukaan bawah hijau pudar pucat (Newman et al., 1999).
Dok. Rayan
Dok. Deddy
Gambar 11. Anakan S. leprosula Miq
Gambar 12. Anakan S. johorensis Foxw
2.2.2. Pengumpulan Anakan
Eksplorasi diperlukan untuk mencari dan menentukan pohon induk yang memiliki fenotipe yang baik dan terdapat anakan alam dibawahnya. Sifat yang diperhatikan diantaranya pohon yang dominan, diameter besar, tinggi bebas cabang tinggi dan batang silindris. Anakan alam dikumpulkan disekitar
22
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
pohon induk yang sebarannya dapat mencapai radius hingga 100 m atau di bawah proyeksi tajuk dan 20 meter di luar proyeksi tajuk. Semakin jauh anakan dari pohon induknya, kemungkinan memiliki ektomikoriza pada akar anakan akan semakin rendah dan akan berbeda dengan pohon induknya (Smits, 1988). Tipe buah rekalsitran (recalcitrant) dari jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, menjadi peluang dan tantangan untuk menyimpan benih dalam bentuk anakan di bawah pohon induknya. Hal ini telah dilakukan oleh Kosasih (2005) di Hutan Penelitian Haurbentes. Pada musim berbuah masal dilakukan pengumpulan dan dibuat bedengan-bedengan di bawah pohon induk sebagai tempat perkecambahan. Setelah satu bulan menjadi anakan akan memudahkan dan meningkatkan jumlah bahan cabutan. Metode ini dapat mengurangi kegiatan pengecambahan di persemaian. Disamping itu permasalahan penularan jamur mikoriza dan penyimpanan benih dapat teratasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa rata-rata stok anakan sebagai bahan cabutan S. leprosula Miq per pohon induk dapat mencapai 16.000 anakan. Anakan alam masih dapat digunakan sebagai bahan cabutan hingga 2 tahun setelah masa panen raya. Anakan yang dapat dijadikan sebagai bahan cabutan adalah yang telah memiliki daun berjumlah 3 - 5 helai dengan tinggi tidak lebih dari 60 cm. Anakan yang lebih besar dapat juga dijadikan sebagai bahan bibit, namun penanganan menjadi lebih sulit dan mahal (Smits, 1988). Pengumpulan anakan alam dilakukan secara manual menggunakan tangan. Pengumpulan anakan alam akan lebih mudah pada kondisi tanah yang basah atau setelah turun hujan. Hal ini disebabkan karena tanah yang basah akan memudahkan dalam mencabut anakan alam dan mengurangi resiko kerusakan/ patah pada batang atau akar. Teknis pencabutan anakan yaitu dengan memegang pangkal batang anakan sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Batang kemudian ditarik vertikal perlahan sehingga anakan tercabut. Apabila mengalami kesulitan, dapat dibantu dengan mendongkel tanah disekitar anakan. Seleksi dilakukan untuk membuang bahan yang bengkok, baik batang maupun akarnya. Anakan yang terkumpul disimpan sementara dalam keranjang atau kantong plastik yang tertutup (Gambar 13).
23
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
Dok. Deddy
Dok. Deddy
Gambar 13. Pengumpulan anakan S. leprosula Miq dan pengemasan di lapangan
2.2.3.
Penanganan Bahan Cabutan
Anakan alam yang telah terkumpul hendaknya dijaga kelembabannya dan tidak boleh terkena paparan sinar matahari secara langsung. Jika diperlukan dapat dilakukan penyemprotan dengan air untuk menjaga kelembaban agar tanaman tidak layu dan kering. Apabila jarak antara pengumpulan bahan dengan pondok kerja tidak jauh dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 1 hari, maka pengepakan dapat menggunakan karung atau kantong plastik tertutup. Apabila jaraknya jauh dan memerlukan pengiriman ke tempat lain serta membutuhkan waktu lebih dari 2 hari, maka pengepakan anakan menjadi penting. Pada intinya pengepakan anakan adalah untuk menjaga kelembaban selama proses pengangkutan. Bahan yang digunakan dapat berupa serbuk gergaji, seresah maupun koran basah. Pada jenis S. leprosula Miq, penggunaan koran basah selain mudah dan murah ternyata memberikan persentase hidup tertinggi dibanding lainnya (Ernayati et al., 1997). Sedangkan wadah dapat menggunakan kotak kardus ataupun cool box. Anakan yang telah dikumpulkan kemudian disusun (berlapis dengan posisi bagian daun pada lapis yang satu menutup akar pada lapis yang lain) kemudian dilapisi koran yang telah dibasahi dan ditutup dengan plastik (Rayan et al., 2002). Bahan kemudian dimasukkan dalam kotak kardus serta diusahakan waktu pengangkutan dan penyimpanan yang singkat (Gambar 14). Persentase hidup akan semakin menurun sejalan dengan makin lamanya penyimpanan. Waktu penyimpanan sampai dengan 5 hari memberikan persen hidup 99%. Sementara itu, jika disimpan hingga 20 hari, persentase hidup S. leprosula Miq masih diatas 95% (Ernayati et al., 1997).
24
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Selama dalam pengangkutan, tanaman dihindarkan dari paparan sinar matahari langsung. Hal ini untuk menghindarkan bahan kehilangan kelembaban dan mengalami kering layu meskipun anakan tertutup rapat dalam kotak. Anakan dengan kondisi kering dan layu tidak dapat lagi memunculkan tunas.
Dok. Deddy
Gambar 14. Pengemasan anakan menggunakan kotak kardus
Dok. Deddy
2.2.4. Penyapihan Cabutan
Prinsip penyapihan cabutan sama dengan penyapihan bibit dari benih (Gambar 15). Dilakukan pemotongan terhadap sebagian daun yang lebih dari 3 helai, perapihan dan pemotongan akar yang panjang dan bengkok, memotong bibit yang tinggi sehingga kurang dari 60 cm serta dilakukan pemotongan daun ½ - ⅓ bagian untuk mengurangi penguapan (Rayan et al., 2002).
Dok. Deddy
Gambar 15. Penyapihan cabutan
Pemeliharaan dilakukan untuk menjaga kelembaban dengan cara penyiraman secara periodik. Jika telah muncul tunas baru pada cabutan (±2 minggu setelah penyapihan), maka sungkup dapat dibuka secara bertahap. Sungkup dapat dibuka secara penuh apabila sebagian besar tanaman telah muncul tunas baru (±4 - 5 minggu setelah penyapihan). 25
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
3.
Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Perbanyakan secara vegetatif yaitu memperbanyak tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman seperti akar, batang, pucuk dan lain-lain. Benih S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw termasuk recalcitrant, pembungaan dan pembuahan tidak berlangsung setiap tahun. Hal ini dapat menyebabkan produksi bibit dengan menggunakan benih tidak terjamin. Sebagai alternatif, produksi bibit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan vegetatif untuk memenuhi jumlah yang telah direncanakan. 3.1. Stump Anakan alam dengan tinggi 1 - 2 m akan merepotkan dalam penanganan bila digunakan untuk cabutan. Namun demikian anakan alam ini masih dapat dimanfaatkan sebagai stump. Stump merupakan bibit yang berasal dari semai yang telah dihilangkan seluruh daun dan bulu-bulu akarnya sehingga yang tersisa hanya sebagian batang dan sebagian akar utama (Pramono et al., 2010). Pada dasarnya, stump adalah perbanyakan tanaman dengan memanfaatkan bagian batang dan akar anakan dan dikembangkan dengan memunculkaan tunas dan akar. Tunas dan akar yang muncul dari stump kemudian dipelihara menjadi calon bibit tanaman. Untuk membuat stump, bagian akar dipotong dan disisakan ±20 cm dan bagian batang juga dipotong dengan panjang 20 - 40 cm. Pada bagian batang tersebut diusahakan masih terdapat tunas (Siran, 2007). 3.1.1. Pengumpulan Bahan Stump
Untuk mengumpulkan bahan stump, dilakukan eksplorasi seperti pada pengumpulan cabutan. Targetnya adalah permudaan alam yang memiliki tinggi 1 - 2 m. Untuk mengumpulkannya tidak dibutuhkan alat khusus, tanaman dicabut secara manual. Teknik eksplorasi, cara mencabut hingga penanganan bahan stump sama seperti metode cabutan alam. Selama di lapangan, bahan stump tetap dijaga kelembabannya dan dihindari paparan sinar matahari langsung. Akan lebih baik jika stump langsung dibuat di lapangan, karena mempermudah dalam pengepakan dan pengangkutan. Tahapan untuk membuat stump sebagai berikut : a. Mencabut permudaan alam dengan meminimalkan kerusakan pada akar dan batang. b. Memotong bagian batang disisakan 20 - 40 cm dan diperhatikan masih terdapat mata tunas.
26
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
c. Memotong bagian akar dan disisakan 20 cm serta merapikan bulu-bulu akar. Teknik pengepakan maupun wadah yang digunakan stump untuk pengiriman jarak jauh sama seperti pada pengemasan bahan cabutan alam. 3.1.2. Penyapihan Stump
Teknik penyapihan stump sama dengan penyapihan benih dan cabutan alam. Persentase hidup stump tergantung pada kandungan butir-butir pati yang terdapat pada bagian dalam dibawah lapisan kulit anakan. Stump S. leprosula Miq yang mengandung pati ±4% menghasilkan persen hidup bibit 70 73% (Rasyid et al., 1991).
Dok. Deddy
Gambar 16. Bahan stump yang telah dirapikan
3.2. Stek Pucuk (Cutting) Stek pucuk merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman dengan menggunakan bahan vegetatif berupa pucuk tanaman. Secara teknis, perbanyakan menggunakan metode ini adalah untuk memunculkan tunas dan akar dari bahan stek yang kemudian akan disapih menjadi calon bibit tanaman. Pertumbuhan stek dipengaruhi oleh faktor bahan tanaman (kandungan cadangan makanan, ketersediaan air, hormon endogen, tingkat juvenilitas, umur tanaman, karakter genetik) dan faktor lingkungan (media, kelembaban, suhu dan cahaya). Perhatian khusus perlu dilakukan terhadap faktor-faktor tersebut untuk keberhasilan stek. 3.2.1. Sumber Bahan Stek
Bahan stek diambil dari anakan alam yang masih muda (juvenile). Semakin muda umur sumber bahan stek cenderung 27
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
mengandung hormon tumbuh IAA dan nisbah C/N (karbon/ nitrogen) yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan persentase keberhasilan perakaran stek yang tinggi pula. Bahan stek dari induk S. leprosula Miq umur 2 tahun dapat menghasilkan persen berakar dan biomassa akar stek yang lebih tinggi dibandingkan induk bahan stek yang sudah tua (≥ 10 tahun). Sumber bahan stek dengan umur 10 tahun dan 25 tahun masih mampu berakar namun persentase jadinya sangat kecil (12% dan 2%) (Danu et al., 2010). Indukan yang berumur tua dapat dilakukan rejuvenasi terlebih dahulu untuk meningkatkan persen berakar yang rendah. Tempat yang dapat dijadikan sumber bahan stek adalah hutan alam. Teknik pengumpulan sama dengan eksplorasi buah dan cabutan dengan seleksi pada tingkat pohon induk dan seleksi anakan. Stek pucuk diambil dari anakan alam dengan cara memotong pucuk anakannya. Anakan alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan stek berumur <2 tahun atau dengan tinggi 1 - 2 m (Effendi, 2002). Kombinasi dengan teknik stump dapat juga dilakukan untuk memaksimalkan jumlah produksi bibit. Selain itu, bahan stek dapat juga diambil dari kebun pangkasan. Kebun pangkasan ditujukan untuk memproduksi tunas sebagai bahan stek pucuk. Kebun pangkasan dapat menyediakan tunas ortotrop dan selalu juvenil sebagai bahan stek berkualitas (Leppe dan Smits, 1988). 3.2.2. Pembuatan Bahan Stek
Stek pucuk dapat dibuat dengan memanfaatkan bagian tunas ortotrop dan menyertakan bagian daunnya. Tahap-tahap pembuatan stek pucuk mengacu pada sistem KOFFCO (Komatsu FORDA Fog Cooling) (Sakai dan Subiakto, 2007) dengan cara sebagai berikut : a. Menyiapkan media tanam, yaitu campuran cocopeat dan sekam padi dengan perbandingan 2 : 1. Media dalam kondisi steril, yang dapat dilakukan dengan menggunakan alat sterilisasi (steam boiler). Apabila peralatan tidak tersedia, maka secara sederhana dapat dilakukan solarisasi yaitu media dijemur dibawah sinar matahari. Cara ini dilakukan untuk meminimalkan adanya jamur dan telur-telur serangga dalam media. b. Campuran media direndam dalam bak/ember berisi air sehingga jenuh. Media ditiriskan hingga tidak menetes dan diisikan dalam potray atau dapat langsung diratakan ke dalam sungkup propagasi. Pada bagian dasar sungkup propagasi diberi satu lapis batu koral. Media dan batu koral dipisahkan
28
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
dengan selembar paranet. Sungkup propagasi ditempatkan dalam ruang dengan sistem pendingin (Gambar 18).
Dok. Deddy
Dok. Deddy
Gambar 17. Pencampuran media tanam
Gambar 18. Media dalam sungkup propagasi disusun di green house
c. Mengambil bahan stek yaitu pucuk/tunas ortotrop yang masih muda. Pengambilan bahan stek sebaiknya dilakukan pada kondisi cuaca yang tidak panas untuk menghindari penguapan yang berlebihan. Penyetekan pada pagi dan sore hari sangat dianjurkan. Bahan yang dipilih sebagai stek adalah dalam kondisi baik dan sehat, dengan batang yang telah berkayu.
Dok. Deddy
Gambar 19. Bahan stek dirapikan
Dok. Deddy
yang
telah
Gambar 20. Pengemasan stek menggunakan boks kardus
d. Pembuatan stek menggunakan minimal 2 daun yang berwarna hijau dan sehat. Daun yang terlihat masih sangat muda dihindari. Bahan stek kemudian dirapikan, daun dipotong menjadi setengahnya serta tunas dan daun muda dipotong (Gambar 19). Pemotongan pangkal batang stek secara melintang (miring) untuk memaksimalkan penyerapan hormon. Pemotongan menggunakan gunting stek yang tajam untuk meminimalkan luka akibat pecah.
29
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
3.2.3. Penanganan Bahan Stek
Bahan stek yang telah dirapikan sesegera mungkin untuk diakarkan. Semakin singkat waktu penyimpanan bahan stek akan memberikan hasil persen berakar yang semakin baik (Omon dan Adman, 2010; Adman, 2011). Jarak antara sumber bahan yang dekat dengan green house akan memudahkan penanganan. Bahan cukup direndam dalam ember berisi air. Hal ini untuk menjaga kelembaban stek tetap terjaga. Apabila lokasi jauh dari sumber bahan stek dan lokasi pengakaran atau memerlukan waktu perjalanan hingga beberapa hari, coolbox, kotak kardus dan styrofoam dapat digunakan sebagai wadah. Dua wadah pertama terbukti tidak memberikan perbedaan terhadap persen berakar stek S. leprosula Miq (Omon dan Adman, 2010) dan ketiganya juga tidak memberikan perbedaan persen berakar jenis S. johorensis Foxw (Adman, 2011). Teknik pengepakan sama seperti penanganan cabutan (Gambar 20). Hal yang perlu diperhatikan dalam pengepakan dan penyimpanan stek adalah menjaga kondisi suhu dan kelembaban agar stabil. Selama pengangkutan, kotak kardus dihindarkan dari paparan sinar matahari. 3.2.4. Pengakaran Stek
Pengakaran yaitu proses menumbuhkan akar dari bahan stek pada media semai. Bahan stek yang berada dalam kemasan perlu diseleksi yang masih segar. Pengakaran secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bagian pangkal stek dioles dengan hormon untuk memacu pertumbuhan akar.
Dok. Deddy
Gambar 21. Pemberian hormon penanaman stek
Dok. Deddy
dan
Gambar 22. Penyiraman stek
30
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
b. Pada media dibuatkan lubang tanam menggunakan stik kayu. Satu sungkup propagasi (p x l x t = 66 x 37 x 33 cm) dapat dibuat maksimal 60 lubang tanam mengingat pucuk S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw termasuk kecil bila dibandingkan dengan jenis tengkawang. Pembuatan lubang yang terlalu rapat dapat mengganggu perkembangan stek. Jika menggunakan potray hanya mampu menampung 45 pot saja dalam 1 sungkup propagasi. Stek kemudian ditancapkan dalam media ±2 cm dan dipadatkan hingga stek mampu berdiri kokoh. c. Dilakukan penyiraman pada stek dan diatur agar air siraman tidak begitu deras. Penyiraman cukup untuk membasahi dan tidak menggenang sehingga hormon yang menempel pada pangkal stek tidak larut karena air siraman. Sungkup propagasi kemudian ditutup rapat. Untuk mengecek apakah sungkup tertutup rapat dapat dilihat keesokan harinya. Apabila tutup sungkup terlihat mengembun, menandakan sungkup tidak bocor. Apabila tidak demikian maka harus dicek apakah kondisi tutup tidak rapat atau sungkup pecah/berlubang. 3.2.5. Pemeliharaan dan Adaptasi
Pemeliharaan dilakukan untuk menjaga temperatur udara tidak melebihi 30oC dan kelembaban udara >95%. Penyiraman dilakukan secara teratur, pada minggu 1 - 2 penyiraman dilakukan 3 kali dalam seminggu danminggu 3 - 4 penyiraman 2 kali seminggu. Minggu ke-5 dan seterusnya penyiraman dapat dilakukan 1 kali seminggu. Pada saat penyiraman stek sekaligus disiram bagian tutup sungkup untuk mengecek hari berikutnya apakah sungkup bocor atau tidak. Pemeliharaan juga dilakukan dengan memperhatikan kondisi stek dan membersihkan daun yang mengering. Pada minggu ke-11 dilakukan pengecekan akar pada stek dengan mengangkat sedikit stek pada bagian batangnya. Apabila ada cengkeraman dan stek terasa berat maka menandakan stek telah berakar. Adaptasi dilakukan sebelum stek disapih dengan cara membuka sungkup pada jam 16.00 dan ditutup kembali keesokan harinya pada pukul 08.00. Langkah berikutnya adalah dengan menambah 1 jam dan seterusnya hingga sungkup dibuka penuh. Pada umur ± 3,5 bulan stek sudah siap untuk disapih. 3.2.6. Penyapihan Stek
Akar akan terbentuk dari stek pucuk berupa akar lateral. Akar ini tumbuh dari jaringan kambium yang berkembang di dasar potongan stek. Sebagian akar tersebut tumbuh secara 31
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
geometris dan berfungsi seperti akar tunggang dan mulai tampak pada umur 4 bulan. Struktur anatomi akar dan batang anakan S. leprosula Miq yang berasal dari stek pucuk mempunyai sifat dan susunan yang relatif sama dengan struktur anatomi anakan yang berasal dari benih (Kosasih et al., 2000).
Dok. Deddy
Gambar 23. Stek S. leprosula Miq yang telah bertunas dan berakar
Dok. Deddy
Stek yang telah berakar siap untuk disapih. Pengambilan stek dilakukan dengan cara mengambil media yang melingkupi stek dalam segenggaman tangan (Gambar 24). Langkah ini untuk menghindari akar putus dan akan lebih aman bagi akar bila dibandingkan dengan cara mencabut batang stek. Akar stek kemudian dibersihkan dari media. Teknik penyapihan stek ke dalam polybag, penyungkupan dan pemeliharaan selama dalam sungkup sama dengan penyapihan pada cabutan maupun stump.
Dok. Deddy
Dok. Deddy
Gambar 24. Pengambilan stek untuk disapih
Gambar 25. Penyapihan polybag
stek
dalam
Beberapa hasil ujicoba terhadap stek pucuk jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di berbagai lokasi menunjukkan persen berakar yang bervariasi antara 23 - 88,33% (Tabel 1).
32
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Tabel 1. Hasil ujicoba stek pucuk jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di beberapa lokasi Persen berakar (%)
Lokasi percobaan
S. leprosula Miq
S. johorensis Foxw
ITCIKU Kaltim
50
23
SBK Kalbar
77
66
P3HKA Bogor
72
77
Samarinda
69,2
78,9
Kuok
27,7
35,7
Banjarbaru
53,6
-
Bogor
70,2
41
Sumber Subiakto et al. (2005)
Sakai dan Subiakto (2007)
Bogor
88,33
-
Danu et al. (2010)
Samarinda
83,06
-
Cahyono et al. (2012)
Sumber: Diolah dari data primer
4.
Pemeliharaan Bibit di Persemaian Pemeliharaan setelah penyapihan untuk bibit dari perbanyakan secara generatif maupun vegetatif adalah sama. Kegiatan tersebut meliputi penyiraman, pembersihan dari tanaman pengganggu, pengendalian hama dan penyakit, memindahkan tanaman yang mati dan penyulaman hingga seleksi bibit. Kekurangan air pada bibit akan mengganggu pertumbuhan. Hampir semua tanaman muda peka terhadap kekurangan air. Oleh sebab itu, diperlukan pemeliharaan dengan melakukan penyiraman secara rutin. Hasil penelitian membuktikan bahwa perlakuan penyiraman berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, laju transpirasi, pertumbuhan diameter dan luas daun. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, maka perlu dilakukan penyiraman bibit S. leprosula Miq hingga kondisi tanah jenuh (Marjenah, 2010). Pembersihan tanaman pengganggu dilakukan secara manual di sekitar bedengan maupun dalam polybag. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk mencegah bibit terserang dalam skala luas. Apabila terdapat tanda-tanda bibit terserang hama/ penyakit, maka tindakan pencegahan harus segera dilakukan agar serangan tidak meluas. Hama dan penyakit pada bibit kedua jenis tersebut akan dibahas pada bab tersendiri. 5.
Peningkatan Produktivitas Dengan Pemupukan Pemupukan bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bibit. Banyak jenis pupuk yang dapat digunakan baik pupuk organik maupun pupuk anorganik dengan aplikasi dapat melalui akar maupun daun. Pada prinsipnya penggunaan pupuk 33
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
adalah untuk menambahkan unsur hara ke media atau bibit tanaman dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara. Penambahan unsur hara perlu memperhatikan kandungan hara yang terdapat pada media dan hara yang dibutuhkan oleh bibit tanaman. Akan lebih baik apabila jenis dan jumlah pupuk berdasarkan hasil analisis tanah, sehingga jumlah hara yang ditambahkan lebih tepat. Beberapa percobaan penggunaan pupuk dilakukan untuk peningkatan kualitas bibit di persemaian. Aplikasi kompos dan pupuk NPK memberikan hasil positif pada pertumbuhan dan kualitas bibit S. leprosula Miq asal cabutan. Kompos dengan dosis ½ atau ⅔ bagian yang dicampur dengan top soil dan dikombinasikan dengan NPK 2 gr/bibit mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit sebesar 47% dan 42% dibandingkan tanpa kompos dan pupuk anorganik. Disamping itu, penambahan pupuk tersebut mampu meningkatkan satu tingkat mutu bibit dari mutu ketiga menjadi mutu kedua (Junaedi, 2012). 6.
Seleksi Bibit Siap Tanam Teknik perbanyakan bibit yang telah dibahas dimuka memiliki keunggulan masing-masing. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase keberhasilan bibit jenis S. leprosula Miq berturut-turut adalah cabutan, stek dan stump (Cahyono et al., 2012). Untuk kegiatan penanaman, bibit siap tanam diseleksi yang berkualitas, baik itu hasil pengembangbiakan secara generatif atau vegetatif. Kualitas mutu bibit S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw mengacu pada SNI standar mutu bibit jenis meranti (Shorea sp) (SNI 01-5006.1-2006). Bibit yang diseleksi hendaknya kokoh tegar, batang tunggal dan utuh, sehat serta pangkal batang berkayu, bagian akarnya bermikoriza dengan jumlah daun minimal 6 helai. Kelas mutu bibit dibedakan menjadi 2 dapat dilihat pada Tabel 2. Penanaman menggunakan bibit dengan kualitas sesuai SNI memberikan hasil yang baik terhadap persentase hidup serta pertumbuhan tanaman. Ujicoba penanaman menggunakan standar mutu SNI di wilayah Kalimantan menunjukkan bahwa kelas mutu bibit pertama memberikan hasil lebih baik dibanding kelas mutu dibawahnya (Omon, 2008; Suyana, 2010; Omon, 2010).
34
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Tabel 2. Kelas mutu bibit meranti (Shorea sp) No.
Kriteria
1
Kekompakan media
2
Tinggi
3
Diameter
4
Warna daun
Mutu Pertama
Mutu Kedua
Utuh
Retak
> 35 cm – 50 cm
20 cm – 35 cm
> 3,5 mm
2,5 mm – 3,5 mm
Hijau
Hijau muda sebagian
Sumber : SNI Standar Mutu Bibit (2006)
7. Mikoriza 7.1. Pemanfaatan Mikoriza Mikoriza berasal dari bahasa Yunani, dari kata myces (cendawan) dan rhizae (akar). Jadi mikoriza adalah cendawan yang hidup pada akar tanaman yang bersifat simbiose mutualitis yang saling menguntungkan satu dengan lainnya. Peran mikoriza antara lain untuk mempercepat pertumbuhan semai, mengurangi serangan patogen akar oleh karena mikoriza memproduksi antibiotik, meningkatkan penyerapan unsur hara dan air (Marks dan Foster, 1973; Malajezuk et al., 1994), memproduksi hormon tumbuh (Gay dan Debaud, 1987), meningkatkan persentase hidup dan pembentukan xylem bibit hasil kultur jaringan (Supriyanto, 1989; Chang, 1993). Selain itu manfaat lain dari mikoriza adalah melindungi tanaman dari pengaruh lingkungan yang kurang konduksif (Brundrett et al., 1996). Mikoriza berasal dari bahasa Yunani, dari kata Myces yaitu cendawan dan Rhizae yaitu akar. Jadi mikoriza adalah cendawan yang hidup pada akar tanaman yang bersifat simbiose mutualitis dalam arti kata saling menguntungkan satu sama lainnya. Peran mikoriza antara lain untuk mempercepat pertumbuhan semai, mengurangi serangan patogen akar oleh karena mikoriza memproduksi antibiotik, meningkatkan penyerapan unsur hara dan air (Marks dan Foster, 1973; Malajezuk et.al., 1994), memproduksi hormon tumbuh (Gay dan Debaud, 1987), meningkatkan persentase hidup dan pembentukan xylem bibit hasil kultur jaringan (Supriyanto, 1989; Chang, 1993), selain itu manfaat lain dari mikoriza adalah melindungi tanaman dari pengaruh lingkungan yang kurang konduksif (Brundrett et.al., 1996). Ada beberapa jenis mikoriza yang kita kenal, Brundrett et.al. (1996) menyatakan ada 7 jenis mikoriza yang dikenal, akan
35
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
tetapi yang biasa dikenal antara lain : Endomikoriza atau biasa disebut Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), Ektomikoriza (ECM), Orchid Mycorrhizae, Ericoid Mycorhizae dan Ektendomikoriza mycorrhizae. Secara umumnya mikoriza dikenal hanya ada 2 jenis, yakni Endomikoriza dan Ektomikoriza. Endomikoriza biasa ditemukan pada tanaman pertanian dan berakar serabut, sedangkan ektomikoriza pada tanaman keras atau berkayu terutama pada tanaman kehutanan dan khususnya pada famili Dipterocarpaceae. Tidak semua mikoriza mempunyai kesesuaian dengan tanaman inang dan dapat melakukan asosiasi simbiotik. Setiap mikoriza memainkan peranan yang berbeda dalam peredaran nutrisi dan stuktur tanah. Dalam penelitian ini mikoriza yang diamati adalah ektomikoriza yang bersimbiose dengan Dipterocarpaceae khususnya pada jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw yang berpotensi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dan sedang ramai dibicarakan serta dikembangkan. Manfaat ektomikoriza potensial oleh pakar mikoriza lainnya, seperti yang diperoleh dari asosiasi ini adalah peningkatan pertumbuhan semai, meningkatkan penyerapan unsur hara terutama fosfor (P) dan unsur lainnya, meningkatkan luas permukaan akar, meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, meningkatkan ketahanan terhadap stress air dan meningkatkan terhadap unsur-unsur yang beracun (Brundrett et.al., 1996). Studi awal telah dilakukan pemberian inokulasi akar bermikoriza pada jenis S. cf polyandra di rumah kaca, yang sebelumnya anakan S. cf polyandra mempunyai pertumbuhan yang lambat dan merana atau daunnya menguning, setelah 3 minggu kemudian pengaruh pemberian inokulasi akar bermikoriza memberikan pengaruh yang positif, pertumbuhan anakan dapat dipicu dan fisik tanaman sangat baik sekali dimana daun menghijau kembali. Penelitian lainnya pada jenis anakan S. leprosula Miq di dalam roots box sistem terdapat 3 anakan S. leprosula Miq dan satu box sistem untuk jenis anakan S. johorensis Foxw, dimana satu box sistem pertama (1) anakan diberikan inokulasi jenis Amanita vulva dicampur dengan Scleroderma verrocosum dan dua anakan S. leprosula Miq tidak berikan inokulum atau sebagai control dan roots box sistem kedua (2) dengan pemberian inokulasi fungi yang sama dan dua anakan S. johorensis Foxw tidak diberikan inokulasi atau sebagai kontrol, dimana 3 minggu berlangsung pemberian inokulasi memberikan reaksi yang positif, pertumbuhan anakan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw dapat dipicu dan lebih cepat dibandingkan dengan 2 anakan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw lainnya 36
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
yang tidak diberikan inokulasi mempunyai pertumbuhan lambat. Studi awal seperti tersebut di atas, dimana pada tanaman jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw terdapat simbiose yang saling menguntungkan satu sama lainnya (obligat). Seperti yang dikemukakan oleh Smits(1994) bahwa tanpa asosiasi ECM tanaman akan terhambat pertumbuhannya. Selanjutnya penelitian Noor (2014), mengemukakan bahwa pada anakan S. johorensis Foxw di persemaian yang berumur 14 bulan dan telah mempunyai ektomikoriza jenis Thelefora terristrisyang kompak sudah baik dan dapat di tanam ke lapangan, sebelum ditanam di lapangan diberikan inokulasi terutama jenis A. Vulva dan S. verrucosum, setelah ditanam 4 minggu kemudian pertumbuhan anakan S. johorensis Foxw di lapangan lebih survive dan mempunyai pertumbuhan yang baik. 7.2. Pemberian Inokulasi Pemberian inokulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan bentuk inokulumnya. Ada dua cara yang paling praktis dan mudah yang biasa dipergunakan, yaitu : a. Inokulasi dengan top soil 1) Cara inokulasi dilakukan bersamaan dengan pencampuran media sapih. 2) Kumpulkan top soil di lantai hutan di bawah tegakan Dipterocarpaceae. 3) Setelah permukaan tanah dibersihkan dari serasah, kumpulkan top soil dengan cangkul dan masukan ke dalam karung. Pengambilan top soil sampai kedalaman tanah 0 20 cm. 4) Pengumpulan top soil sebaiknya dilakukan setelah hujan atau cuaca mendung dan hindari pengambilan top soil di musim kering. 5) Usahakan selama pengangkutan dan penyimpanan, top soil tidak langsung terkena sinar matahari. 6) Simpanlah top soil yang mengandung mikoriza ini di tempat yang teduh dan lembab.Penyimpanan tidak lebih dari 10 hari, setelah itu aktivitas mikoriza segera terhenti atau mati. 7) Campurkan top soil dengan media lain, kemudian masukan ke dalam polybag. 8) Pencampuran dan pengisian serta penempatan polybag di bedeng sapih harus ditempat yang teduh dengan kelembaban tinggi.
37
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
b. Inokulasi dengan spora. 1) Cara inokulasi ini menggunakan spora atau badan buah jamur yang sudah matang. 2) Pilih jamur ektomikoriza yang telah matang, yaitu jika bagian atasnya sudah lunak berarti sporanya sudah matang. 3) Spora jamur ektomikoriza dicampur dengan air, caranya badan buah jamurektomikoriza dihancurkan terlebih dahulu dalam wadah kemudian dimasukkan ke dalam air dan adukaduk agar tercampur sempurna. Atau dapat juga badan buah jamur ektomikoriza diremas-remas kemudian dilarutkan ke dalam air. 4) Kemudian larutan mikoriza ini disiramkan ke bahan media atau daerah perakaran semai dan bibit yang belum tertular mikoriza. 5) Campuran antara air dan spora, diperkirakan setiap 1.000 liter air cukup masukan 100 gram spora dan dapat disiramkan ke bedeng seluas 50-100 meter persegi. 7.3. Inokulasi Lainnya Dikenal beberapa cara, yaitu: a. Inokulasi dengan sistem pohon induk 1) Tanah di bawah pohon induk Dipterocarpaceae digemburkan dan dijadikan tempat penyapihan. 2) Penyapihan dilakukan dengan cara menaman anakan di sekitar pohon. 3) Bibit yang telah disapih ditutup dengan plastik (disungkup) agar kelembaban tetap tinggi. 4) Kekurangan cara ini, tidak praktis dan memerlukan waktu untuk pemeliharaan pohon induknya. b. Inokulasi dengan sisipan. 1) Cara ini dengan mempersiapkan atau menempatkan bibit yang belum bermikoriza diantara bibit yang telah bermikoriza dalam sebuah bedengan. 2) Dengan cara ini anakan mudah tertular mikoriza secara merata. 3) Kelemahan cara ini adalah tidak praktis dan harus tersedia bedeng bibit yang telah bermikoriza. 4) Inokulasi dengan akar bermikoriza 5) Cara inokulasi ini, inokulumnya berasal dari akar Dipterocarpaceae yang mengandung mikoriza. 6) Kumpulkan akar Dipterocarpaceae yang mengandung mikoriza, kemudian dipotong-potong menjadi 0,5 - 1 cm dan masukan ke dalam ember yang berisi air agar mikoriza pada akar tetap hidup. 38
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
7) Saat penyapihan dilakukan, ketika anakan ditanam ke dalam media dalam polybag, masukkan juga akar ini. Usahakan akar bermikoriza ini kontak dengan akar tanaman yang disemai. 8) Cara ini mudah terjadi inokulasi, namun tidak praktis dan harus tersedia akar yang telah bermikoriza dengan jenis yang sama. 7.4. Aplikasi Pemanfaatan Inokulasi Pada Produksi Bibit S. leprosula Miq Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda telah melakukan penelitian aplikasi mikoriza pada dua jenis fungi ektomikoriza yaitu S. verrucosum dan A. vulva pada anakan S. leprosula Miq yang berasal dari stek kebun pangkas. Media yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah media top soil dan sub soil. Sebelum media dipergunakan terlebih dahulu dilakukan sterilisasi dengan jalan dipanaskan di bawah terik matahari dari jam 9.00 - 12.30 pada suhu 100°C. Media tersebut dimasukan ke dalam polybag dengan ukuran 15 cm - 20 cm berwarna hitam. Setelah selesai polybag dimasukan ke dalam bedeng sapih dan setiap unit sebanyak 50 polybag, dilakukan penyapihan anakan stek dari jenis S. leprosula Miq kemudian disiram sampai merata dan diberi sungkup. Selanjutnya dilakukan proses pemeliharaan sampai anakan tersebut terbentuk daun-daun baru secara merata, plastik atau sungkup dapat dibuka secara bertahap sampai selesai. Kemudian anakan S. leprosula Miq tersebut diletakkan di persemaian untuk penyesuaian atau adaptasi dengan lingkungan. Setelah anakan S. leprosula Miq tersebut berumur 8 bulan di persemaian, baru dilakukan pemberian inokulasi, yakni (a) kontrol tanpa pemberian inokulum, (b) pemberian inokulum S. verrocosum, (c) pemberian inokulum A. vulva, (d) pemberian inokulum S. verrocosum dan A. vulva. Dalam jangka waktu 4 minggu pengaruh pemberian inokulum memberikan pengaruh yang sangat positif, terutama inokulasi S. verrocosum dan A. vulva pada media top soil lebih baik bila dibandingkan pada media sub soil. Penelitian ini mendukung penelitian Omon (2003) mengemukakan bahwa inokulasi dengan campuran ketiga jenis jamur ektomikoriza (Amanita sp, Russula sp dan S. columnare) lebih baik dibandingkan dengan satu jenis jamur ektomikoriza terhadap pertumbuhan stek anakan S. leprosula Miq di persemaian. Berikut di bawah ini contoh inokulum ektomikoriza dari jenis S. verrocosum dan A. vulva.
39
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
Dok. Phillips R.
Dok. Phillips R.
Gambar 26. Scleroderma verrocosum
Gambar 27. Amanita vulva
7.5. Aplikasi Inokulasi Scleroderma verrocosum dan Amanita vulva Dalam Bentuk Kapsul Mikoriza Pada Jenis S. leprosula Miq
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda telah melaksanakan aplikasi inokulasi mikoriza dalam bentuk kapsul mikoriza. Kapsul mikoriza ini sangat cocok diberikan kepada kelompok meranti merah terutama pada jenis S. leprosula Miq di persemaian, terutama anakan S. leprosula Miq yang diproduksi berasal dari stek pucuk atau kebun pangkas dan telah berumur 8 bulan di persemaian mutlak harus dilakukan inokulasi. Hal ini sangat berbeda dengan anakan S. leprosula Miq yang diperoleh dengan sistem cabutan.Biasanya bibit tersebut sudah mengandung mikoriza di alam, akan tetapi bila sudah lama di persemaian misal 8 bulan ke atas, maka perkembangan mikoriza pada anakan tersebut akan berubah atau mengalami suksesi awal kembali dan biasanya diduduki oleh jenis mikoriza Inocybe sp atau Thelefora terristris selama di persemaian. Jenis mikoriza terutama Inocybe sp dan T. terristris pada anakan S. leprosula Miq adalah mikoriza untuk sementara waktu selama di persemaian. Bila sudah siap untuk di tanam ke lapangan, maka akan dilakukan pemberian inokulasi kembali dalam bentuk kapsul mikoriza yang mengandung fungi S. verrocosum dan A. vulva perpaduan ini sangat cocok untuk memicu laju pertumbuhan tanaman S. leprosula Miq di lapangan. Pemberian kapsul mikoriza ini adalah 1 kapsul mikoriza untuk satu anakan. Berikut komposisi kapsul mikoriza adalah sebagai berikut: a. Spora fungi S. verrocosum 250 gram + spora A. vulva 50 gram. b. Tanah liat kering yang sudah dihaluskan 500 gram. c. Arang kayu yang sudah dihaluskan 400 gram. dd. Zingiberaceae yang sudah dihaluskan dan dikeringkan 100 gram. d. Kapsul agar (4.500 buah). 40
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Ukuran ini dapat menghasilkan kapsul mikoriza sebanyak 4.500 kapsul, untuk pengemasan dapat dilakukan dan disimpan dalam botol plastik kedap udara dan ditambahkan silika gel. Kemudian disimpan dalam lemari pendingin (freezer) pada suhu -6oC. Lama penyimpanan dengan sistem ini dapat bertahan selama 2-3 tahun dan diatas 3 tahun ketahanan kapsul ini akan menurun. 8.
Penutup
Pembibitan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Benih atau bahan untuk bibit harus diambil dari pohon induk yang secara fenotip berpenampilan baik. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh bibit yang berkualitas. Keberhasilan perbanyakan secara stek pucuk memberikan harapan untuk produksi bibit secara massal. Untuk mendukung hal tersebut perlu dibangun kebun pangkas, sehingga perbanyakan tidak bergantung pada biji atau cabutan alam. Untuk meningkatkan laju pertumbuhan anakan meranti merah terutama jenis S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di persemaian, sangat dianjurkan dengan pemberian inokulasi untuk jenis S. verrocosum dan A. vulva. Untuk mempermudah dalam penggunaan dapat dikemas dalam bentuk kapsul atau tablet mikoriza.
DAFTAR PUSTAKA Adman, B. 2011. Pengaruh Bahan Kemasan dan Waktu Penyimpanan Bahan Stek Terhadap Persentase Berakar Stek Shorea johorensis dan Shorea smithiana. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 8 No. 2 April 2011 : 97-109 Anonim. 2011. Direktori Sumber Benih Region Kalimantan. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Kalimantan. Banjarbaru Ashton, P.S. 1982. Dipterocarpaceae Flora Malesiana. Edisi ke 1. Brundrett , M, Bougher, N., Dell, B., Grope, T. and Malajczuk,N. 1996. Micorrhizae with mycorrhiza in forestry and agriculture, ACIAR. Chang, D.C. 1993. The study of mycorrhizal effect on horticultural crop. Biotrop Special publication. No. 42 : 47 – 50. Cahyono, D.D.N., Rayan, Makkalo Y. dan Supriadi. 2012. Teknik Produksi Bibit Jenis Dipterokarpa (Shorea leprosula). Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda. Tidak dipublikasikan. De la Cruze, R.E. 1982. Mycorrhizae in forestry. In: Traning Course on Biological Aspect of Silviculture. BIOTROP. Bogor. Tidak dipublikasikan. Danu, I.Z. Siregar, C. Wibowo dan A. Subiakto. 2010. Pengaruh Umur Sumber Bahan Stek Terhadap Keberhasilan Stek Pucuk Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 7 (3) Juli 2010 : 131-139 Effendi, R. 2002. Kemungkinan Pengambilan Bahan Stek Pucuk Dipterokarpa Dari 41
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
Permudaan Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPPK Kalimantan. Samarinda 22 Oktober 2002:115-118. Ernayati, Juliaty N., Leppe D, dan Giono. 1997. Pengaruh Cara Dan Lama Penyimpanan Bibit Cabutan Anakan Terhadap Persentase Hidup Cabutan Anakan Alam Beberapa Jenis Dipterocarpaceae. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda Vol. 11 (1) 1997 : 18-33. Gay, J.C dan Debaud J.C., 1987, Genetic study on indole 3-accetic acid production by ectomycorrhizae Hebloma species inter and intra specific variability in homo and dikaryotic mycelia. Appl. Microba Biotech.Vol 26: 141-146. Juanedi, A. 2012. Pengaruh Kompos Dan Pupuk NPK Terhadap Peningkatan Kualitas Bibit Cabutan Shorea leprosula Miq. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Vol. 9 (4) 2012 : 373-383. Kosasih, A.S., Mindawati N, Sumarna Y. dan Masano. 2000. Sistem dan Struktur Perakaran Pada Stek Pucuk Meranti. Info Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor No. 136/2000. Kosasih, A.S. 2005. Cara Alami Penanganan Benih Meranti (Shorea spp) Sebagai Bahan Cabutan. Prosiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam Palembang 15 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor : 108-112 Leppe, D dan Smits W.T.M., 1988. Metode Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun Pangkas Dipterocarpaceae. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Samarinda. Marks G.C dan R.C. Foster. 1973. Structure, morphogenesis and ultrastructure of ectomycorrhizae. In arks, G.C and T.T. Kozklowski (eds). Ectomycorrhizae their ecology and physiology Academic Press. New York. pp.2-41. Malajezuk, N.P., Reddell P. dan Brundrett. 1994. Role of mycorrhizae fungi in mine site reclamation. In : Ptleger and R.G.Linderman (eds). Mycorrhizae and Plant Heath. P.83-100. Marjenah. 2010. Pengaruh Kandungan Air Tanah Terhadap Pertumbuhan Dan Transpirasi Semai Shorea leprosula Miq. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Vol. 4 (1) Juni 2010 : 11-24. Noor, M. 2013. Pengaruh akar bermikoriza pada anakan Shorea balangeran dapat meningkatkan ketahanan bibit di lapangan. Prosiding Restorasi ekosistem Dipterokarpa dalam rangka peningkatan produktivitas Hutan. Samarinda, 22 Oktober 2013. Newman, M.F, P.F. Burgese dan T.C. Whitmore. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. PROSEA Indonesia. Bogor. Nushasybi, H.D.P. Kartiko, M. Zanzibar, D.J. Sudrajat, A.A. Pramono, Buharman, Sudrajat dan Suhariyanto. 2010. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Cetakan ketiga. Vol. 4 No. 3 Desember 2010. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Omon, R.M. 2003. Pengaruh tablet mikoriza terhadap persentase akar bermikoriza stek Shorea leprosula Miq. Di rumah kaca Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan BP2K Kalimantan. P 13-22. Omon, R.M. dan B. Adman. 2010. Pengaruh Pengemasan dan Waktu Penyimpanan Bahan Stek Meranti Merah Terhadap Persentase Berakar Stek di Rumah Kaca. Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol. 4 No. 1 Juni 2010 : 25-34.
42
Deddy Dwi Nurcahyono, Rayan dan Massofian Noor
Phillips, R. 1981. Mushrooms and Other Fungi of Great Great Britain and Europe. Published by A. Pan Original. London. Pramono, A.A., M.A. Fauzi, N. Widyani, I. Heriansyah dan J.M. Roshetko. 2010. Pengelolaan Hutan Jati Rakyat : Panduan Lapangan Untuk Petani. CIFOR. Bogor. Indonesia. Rasyid, H.A., Marfuah, H. Wijayakusumah dan D. Hendarsyah. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Departemen Kehutanan. Rayan, G.W. Tolkamp dan Riskan E. 2002. Dalam Manual Persemaian Dipterocarpaceae (Editor Irsyal Yasman dan Hernawan). Balitbang Dephut-Tropenbos InternationalSFMP (GTZ)-APHI-IFSP (DANIDA). Rayan dan D.D.N. Cahyono. 2011. Pengaruh Ukuran Benih Asal Kalimantan Barat Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea leprosula di Persemaian. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda. Vol. 5 No. 2 Desember 2011 :11-20 Rayan dan D.D.N. Cahyono. 2012. Eksplorasi Pengumpulan Materi Genetik Shorea leprosula Miq. Untuk Populasi Dasar dan Populasi Pemuliaan. Info Teknis Dipterokarpa. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda. Vol. 5 No. 1 September 2012 :35-45. Supriyanto, I. Setiawan, R.M. Omon dan E, Santoso. 1994. Effect of Scleroderma dictyosporum obtained by protoplast culture on the growth of Shorea selanica and Shorea leprosula cuttings. BIOREFOR. Expert Meeting JICA-FRIM Kangar Malaysia 28 November – 1 Desember. Sakai, C. dan A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-Jenis Dipterokarpa Dengan KOFFCO System. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis 2000. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta. Siran, S.A. (ed). 2007. Status Riset Pengelolaan Dipterokarpa di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Smits, W.T.M. 1988. Pedoman Sistim Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Asosiasi Panel Kayu Indonesia. Smits, WTM. 1994. Dipterocarpaceae: mycorrhizae and regeneration. Phd Study. Edisi Khusus. Universitas Waganingen. Leiden. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Subiakto, A., C. Sakai, S. Purnomo dan Taufiqurahman. 2005. Teknik Perbanyakan Stek Beberapa Spesies Dipterokarp di P3HKA, PT. SBK dan PT. ITCIKU. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan “Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur Dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan”. Fakultas Kehutanan UGM dan ITTO : 81-90. Susanti, A.R., C. Kusmana dan A. Kusmayadi. 2000. Pola Sebaran Spasial Shorea leprosula di Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus di Areal Kerja HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Propinsi Kalimantan Tengah). Jurnal Pertanian Indonesia. Vol. 9 (2). Suyana, A. 2010. Uji Coba Pertumbuhan Tiga Kelas Mutu Bibit Meranti Merah Di Tiga Hak Pengusahaan Hutan Model Di Kalimantan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Vol. 7 No. 1 2010 : 1-11.
43
Perbenihan, Pembibitan dan Inokulasi Jamur Mikoriza di Persemaian
Syamsuwida, D. 1996. Teknik Pengemasan Benih Meranti Sarang Punai (Shorea leprosula Miq). Buletin Teknologi Perbenihan. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Vol. 3 No. 3 1996 : 36-48. Tolkamp, G.W. dan R. Effendi. Produksi Bibit Dipterocarpaceae Melalui Biji dan Cabutan. Dalam Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Ed. Yasman, I dan Hernawan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, Tropenbos Internasional, SFMP (GTZ), APHI, IFSP (DANIDA). Jakarta.
44
Bab
Teknik Aplikasi Media Tanam Untuk Jenis Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw dari Limbah Industri Hasil Hutan
Andrian Fernandes
4
1.
Pendahuluan Aplikasi media tanam merupakan bagian awal dalam penanaman, baik pada kegiatan pengayaan hutan alam, penanaman pada hutan tanaman dan penanaman kegiatan reklamasi lahan. Agoes (1994) menyebutkan bahwa persyaratan suatu media tanam yang baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman adalah dapat dijadikan tempat berpijak tanaman, mampu mengikat air dan unsur hara, mempunyai drainase dan aerasi yang baik, dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar tanaman, tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman serta mudah didapat dan harganya relatif murah. Umumnya media tanam yang banyak digunakan di persemaian adalah dengan menggunakan tanah. Penggunaan tanah sebagai media tanam memiliki kelemahan, yaitu bobotnya berat. Untuk mengurangi berat dan meningkatkan kesuburan media tanam, biasanya digunakan campuran top soil dan bahan lainnya, misalnya kompos, gambut, arang sekam dan bahan organik lainnya. Pengelolaan hutan modern mensyaratkan adanya pemanfaatan limbah industri kehutanan (Timilsina et al, 2014). Limbah industri hasil hutan dapat digunakan sebagai bioenergi dan biomassa yang berguna untuk penanaman atau rehabilitasi lahan hutan. Satu dari bentuk limbah industri hasil hutan adalah serbuk gergaji, baik yang dihasilkan saat penebangan pohon atau proses penggergajian kayu. Serbuk gergaji tersebut harus diolah menjadi kompos terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai media tanam. Selain limbah industri hasil hutan, bahan baku media tanam juga dapat diperoleh dari limbah biomassa hutan. Biomassa hutan seperti serasah baik yang telah terdekomposisi maupun yang belum terdekomposisi memiliki kandungan hara yang tinggi dan mudah ditemukan di sekitar hutan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku media tanam (Cong et al, 2014). 2.
Media Semai Yang Baik Untuk Pertumbuhan Jhonson (2009) menyatakan bahwa tanah yang baik untuk tanaman terdiri atas 45% mineral, 5% bahan organik, 25% udara dan 25% air. Keberadaan udara dan air dalam tanah berhubungan erat dengan porositas tanah. Tanah dengan porositas yang baik akan dapat menyuplai kebutuhan oksigen dan air yang cukup pada akar. Hal ini dikarenakan tumbuhan juga membutuhkan air untuk proses fotosintesis dan pertumbuhan. Tumbuhan membutuhkan sekitar 40-60% air dari dalam tanah agar dapat 45
Teknik Aplikasi Media Semai dari Limbah Biomassa Hutan dan Industri Hasil Hutan
tumbuh dengan baik. Tanah berpasir dengan kadar air 1% atau tanah berlempung dengan kadar air 8% akan menyebabkan kematian pada tumbuhan mati karena kekurangan air. Wiedenhoeft (2006) menyatakan bahwa ada beberapa unsur nutrisi makro yang dibutuhkan oleh tumbuhan, diantaranya adalah nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), belerang (S), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Dari keenam unsur nutrisi makro, kesuburan media tanam ditentukan oleh tiga unsur utama, antara lain N, P, dan K (Jhonson, 2009). Secara lebih detil Wiedenhoeft (2006) menjelaskan bahwa N merupakan unsur nutrisi yang sering menjadi pembatas pertumbuhan tanaman. Unsur N merupakan komponen penting dalam pembentukan asam amino dan asam nukleat, serta memiliki peranan penting dalam struktur klorofil. Unsur P berperan penting, khususnya pada daerah iklim tropis. Unsur P merupakan komponen penting pada struktur membran sel, asam nukleat dan mempengaruhi energi metabolisme seluler. Sedangkan unsur K mempengaruhi tekanan turgor sel, menjaga keseimbangan osmosis dan mengatur pembukaan stomata. Top soil merupakan bahan media yang paling mudah ditemukan, dan top soil dari hutan hujan tropis memiliki banyak nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman (Hattori et al, 2013). Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan top soil adalah kepadatan tanah saat digunakan sebagai media tanam. Media tanam yang menggunakan campuran arang sekam dapat meringankan berat media tanam. Marlina dan Rusnandi (2007) menyebutkan bahwa sekam padi merupakan salah satu media tanam yang baik karena selain ringan, juga memiliki drainase dan aerasi yang baik, tidak mempengaruhi pH, mengandung hara atau larutan garam, mempunyai kapasitas menyerap air, serta harganya yang murah. Sekam padi mengandung unsur N 1% dan K 1%. Media tanam lain dapat dibuat dari limbah industri hasil hutan. 3.
Limbah Industri Hasil Hutan Sebagai Media Semai Shmulsky and Jones (2011) menyebutkan bahwa industri hasil hutan dibagi menjadi dua, industri kayu dan non kayu. Contoh industri non kayu adalah industri gondorukem/terpentin dari pohon pinus, industri penyulingan minyak cendana dan industri lainnya. Sedangkan industri hasil hutan yang berbasis kayu misalnya industri kayu lapis, industri pulp dan kertas, serta industri kayu gergajian. Industri hasil hutan berbasis kayu dapat menghasilkan limbah organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku media semai (kompos) yaitu serbuk gergaji. Ada dua jenis serbuk 46
Andrian Fernandes
gergaji limbah industri hasil hutan, yaitu limbah serbuk gergaji hasil penebangan dan limbah serbuk gergaji perindustrian kayu (saw mill). Serbuk gergaji hasil penebangan berasal dari proses penebangan pohon dan pembagian batang pohon menggunakan gergaji mesin (chain saw). Serbuk gergaji ini berukuran lebih besar dan ukurannya beragam, sehingga dalam proses pembuatan kompos memerlukan waktu yang lebih lama. Untuk mempercepat proses, serbuk gergaji limbah gergajian dapat dihancurkan menjadi serbuk dengan yang lebih kecil. Sedangkan serbuk gergaji hasil penggergajian dari industri adalah limbah hasil pembelahan log kayu menggunakan alat gergaji pita (band saw) dan pemotongan kayu menggunakan gergaji putar (circular saw). Serbuk gergaji limbah industri ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan relatif seragam. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media semai, setelah diproses menjadi kompos terlebih dahulu. Kompos sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah (Djuarnani et al, 2000). Kompos sebagai salah satu bahan organik memiliki beberapa kegunaan yaitu memperbaiki produktivitas tanah, mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan kesuburan tanah. Penambahan bahan organik pada tanah akan meningkatkan sifat biologis tanah, meningkatkan kapasitas penyerapan partikel tanah, memperkaya tanah dengan senyawa karbon dan nitrogen, dan serta dapat memperbaiki pembentukan akar tumbuhan (Dvorak dan Novak, 1994). Djaya (2008) mendefinisikan pengomposan sebagai suatu proses biologis yang memanfaatkan mikroorganisme untuk mengubah material organik seperti kotoran ternak, sampah, daun, kertas dan sisa makanan menjadi kompos. Perombakan bahan organik bisa terjadi secara alami namun membutuhkan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses pengomposan dapat dibuat campuran tertentu dengan tambahan bantuan mikroorganisme dekomposer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk gergaji limbah gergaji mesin sebanyak 3 kg dicampur dengan kotoran ayam 1 kg dan ditambahkan dekomposer 10 gram berbentuk serbuk setelah dua bulan dapat menghasilkan kompos. Kompos hasil serbuk gergaji limbah ini mengandung C organik 19%, N 0,77%, P 0,99%, K 0,86% serta rasio C/N 24,80.Selanjutnya pembuatan kompos berbahan campuran serbuk gergaji limbah perindustrian kayu sebanyak 3 kg dengan kotoran ayam 1 kg dan ditambahkan dekomposer 10 gram berbentuk serbuk setelah dua bulan dapat menghasilkan kompos. Kompos hasil serbuk gergaji dari limbah 47
Teknik Aplikasi Media Semai dari Limbah Biomassa Hutan dan Industri Hasil Hutan
ini mengandung C organik 21,89%, N 0,88%, P 1,20%, K 1,88% serta rasio C/N 25,05. Armin (2001) melaporkan bahwa limbah serbuk gergaji yang dikomposkan menggunakan Trichoderma viride memerlukan waktu dua bulan. Kualitas kompos yang dihasilkan mengandung C organik 55,17%, N 0,42%, P 0,42%, K 0,20% dengan rasio C/N 131,36. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan bakteri dekomposer yang digunakan, Armin (2001) menggunakan dekomposer Trichoderma viride sedangkan penelitian lain menggunakan dekomposer yang mengandung bakteri Bacillus sp., Lactobacillus sp., Aspergillus sp., Trichoderma sp. dan yeast. Tan (1994) menjelaskan bahwa proses pengomposan akan berjalan dengan baik bila bahan baku terdiri atas bahan organik dengan kadar N tinggi dicampur dengan bahan organik dengan kadar C tinggi. Agar proses pengomposan berjalan efektif dan sempurna, maka suhu inkubasi diatur pada kisaran 60-65oC. Firmansyah (2010) menyebutkan bahwa bahan organik yang memiliki kandungan C tinggi antara lain dedaunan yang gugur, jerami, serbuk gergaji dan tandan kosong kelapa sawit. Sedangkan bahan organik yang mengandung N tinggi contohnya pupuk kandang, daun legume dan limbah rumah tangga. Selain itu, Armin (2001) tidak menambahkan bahan lain sebagai sumber N, sehingga nilai C/N menjadi tinggi sekali sebesar 131,36. Sedangkan dalam pembuatan kompos saat penelitian menggunakan kotoran ayam sebagai sumber N, sehingga nilai C/N sebesar 24,80 untuk kompos serbuk gergaji limbah gergaji mesin dan 25,05 untuk kompos serbuk limbah gergaji industri. Penggunaan kotoran ayam memiliki keuntungan lingkungan dan sosial, yaitu berkurangnya pencemaran udara serta adanya pendapatan tambahan bagi peternak ayam (Wang and Jiang, 2011). Kotoran ayam sebagai bahan baku kompos memiliki beberapa kelebihan untuk lingkungan bila dibandingkan dengan bahan lainnya, yaitu memiliki konsentrasi nutrisi yang tinggi, kapasitas dalam menahan air yang tinggi, mudah terbiodegradasi dan mengandung sedikit zat polutan (Nadi et al, 1995). 4.
Limbah Biomassa Hutan Sebagai Media Semai Selain serbuk gergaji limbah industri kayu, ada beberapa bahan organik lain di sekitar industri kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku kompos, yaitu seresah, pakis dan rumput. Beberapa bahan baku kompos, diantaranya berupa bahan organik lunak, bahan organik keras, bahan selulosa, limbah protein dan limbah manusia. Rumput, pakis dan seresah tergolong ke dalam bahan organik keras karena kadar airnya cenderung rendah 48
Andrian Fernandes
(Djuarnani et al, 2000). Sedangkan serbuk gergaji limbah gergaji mesin dan serbuk gergaji limbah industri kayu termasuk dalam bahan selulosa karena bahan tersebut struktur selulernya sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin. Bahan organik yang keras dan bahan selulosa cenderung didekomposisi oleh bakteri secara lambat.
1
2
3
4
5
Dok. Andrian F
Gambar 1. Bahan baku pembuatan kompos (1) serbuk gergaji limbah industri kayu, (2) serbuk gergaji limbah gergaji mesin, (3) pakis, (4) seresah dan (5) rumput.
Biomassa ekosistem hutan tropis memiliki banyak komponen, diantaranya tumbuhan bawah, seresah, dan ranting atau cabang pohon yang jatuh ke tanah (Fonseca et al, 2012). Oleh karena itu, dibuat perbandingan kompos dengan bahan baku pakis, seresah dan rumput. Masing-masing bahan sebanyak 3 kg dan dicampur dengan 1 kg kotoran ayam dan 10 gram dekomposer. Setelah dua minggu kompos dari pakis memiliki kadar C organik 39,00%, N 0,98%, P 0,19%, K 0,15% dengan rasio C/N 39,90. Sedangkan kompos dari seresah mengandung C organik 32,91%, N 1,02%, P 0,17%, K 0,22% serta rasio C/N 32,45. Untuk kompos dari rumput menunjukkan kadar C organik 35,63%, N 1,47%, P 0,12%, K 0,30% dengan rasio C/N 24,30. Setelah kompos dihasilkan maka dapat digunakan sebagai media semai. Kompos sebagai media tanam dapat mensubstitusi pupuk kimia, meningkatkan kualitas tanah, bahan pengisi atau pengganti tanah dan mudah diaplikasikan (Andersen et al, 2010). 5.
Kompos Sebagai Media Semai Seresah merupakan salah satu biomassa hutan yang baik untuk digunakan sebagai media tanam (Kanowski and Catterall, 2010). Hasil uji pengaruh kompos terhadap pertumbuhan semai S. leprosula Miq dapat dilihat pada tabel 1, sedangkan hasil uji pada semai S. johorensis Foxw dapat dilihat pada tabel 2. 49
Teknik Aplikasi Media Semai dari Limbah Biomassa Hutan dan Industri Hasil Hutan
Tabel 1. Pertumbuhan bibit S. leprosula Miq pada media semai kompos dan top soil Karakter / Sifat
Kontrol
1:1
1:2
1:3
1:4
Riap tinggi (cm)ns
1,4
2,2
2,3
1,8
1,9
Riap diameter (mm) *
0,2a
0,4b
0,3c
0,3c
0,2a
Daun
5,5
7,3
8,9
6,2
7,1
1,3
2,6
1,8
2,3
2,2
Tinggi/diameter **
3,0a
4,1b
3,3c
4,0b
3,1c
Persen hidup (%) **
75a
81b
71a
79b
81b
Tunas
ns ns
Sumber : diolah dari data primer Keterangan : ns : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% * : berbeda nyata pada taraf uji 5% ** : berbeda nyata pada taraf uji 1% huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda pada uji lanjut LSD
Secara umum diketahui bahwa campuran kompos seresah dan top soil dengan perbandingan 1:1 memberikan hasil terbaik untuk S. leprosula Miq, sedangkan untuk S. johorensis Foxw perbandingan 1:2 memberikan hasil terbaik. Junaedi (2012) melaporkan bahwa aplikasi kompos yang dicampur dengan top soil sebagai media semai dengan dosis 1/2 atau 2/3 menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter S. leprosula Miq yang lebih baik dibandingkan media top soil saja. Tabel 2. Pertumbuhan bibit S. johorensis Foxw pada media semai kompos dan top soil Karakter / Sifat
Kontrol
1:1
1:2
1:3
1:4
Riap tinggi (cm) *
0,6a
2,0b
1,9b
1,2c
0,7a
Riap diameter (mm) **
0,2a
0,3b
0,5c
0,3d
0,3b
Daun **
6,4a
9,8b
7,2c
7,5c
8,1d
Tunas ns
1,7
1,9
2,0
1,8
1,6
Tinggi/diameter *
2,5a
2,8b
2,9c
1,8d
2,6a
Persen hidup (%) *
74a
65b
81c
83c
90d
Sumber : diolah data primer Keterangan : ns : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% * : berbeda nyata pada taraf uji 5% ** : berbeda nyata pada taraf uji 1% huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda pada uji lanjut LSD
6. Penutup Untuk meningkatkan kualitas bibit S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di persemaian dapat digunakan kompos yang dicampur dengan top soil sebagai media semai. Kompos yang dibuat menggunakan bahan baku yang berasal dari limbah 50
Andrian Fernandes
industri hasil hutan adalah berupa serbuk gergaji. Bahan lain seperti pakis, seresah dan rumput yang ditemukan di areal lingkungan pengusahaan hutan juga dapat digunakan sebagai bahan baku kompos.
DAFTAR PUSTAKA Agoes, S.D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. PN Swadaya. Jakarta. Andersen, J. K., T. H. Christensen and C. Scheutz. 2010. Substitution of Peat, Fertiliser and Manure by Compost in Hobby Gardening : User Surveys and Case Studies. Waste Management Journal. Vol. 30 : 2483-2489. Elsevier. Armin, F.D. 2001. Pemanfaatan Limbah Serbuk Gergaji dan Kompos Sampah Pasar Terhadap Pertumbuhan Anakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) pada Tanah Latosol Darmaga. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Tidak Dipublikasikan. Cong, W. F, J. Van Ruijven, W. van der Werf, G. B. D. Deyn, L. Mommer, F. Berendse and E. Hoffland. 2014. Soil Legacy Effect of Plant Species Richness Accelerates Root Litterinduced Organic Matter Decomposition. Soil Biology and Biochemistry Journal. In Press. Elsevier. Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Agromedia Pustaka. Jakarta. Djuarnani, N, Kristian dan B. S. Setiawan. 2000. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka. Jakarta. Dvorak, J and L. Novak. 1994. Soil Conservation and Silviculture. Elsevier. Amsterdam. Firmansyah, M. A. 2010. Teknik Pembuatan Kompos. Disampaikan pada Pelatihan Pembuatan Bokhasi Tandan Kosong Kelapa Sawit, bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sukamama, Kalteng. Fonseca, W., F. E. Alice, and J. M. R. Benayas. 2012. Carbon Accumulation in Aboveground and Belowground Biomass and Soil of Different Age Native Forest Plantations in the Humid Tropical Lowlands of Costa Rica. New Forest Journal. Vol. 43 (2) : 197211. Springer. Hattori, D., T. Kenzo, K.O. Irino, J.J. Kendawang, I. Ninomiya, and K. Sakurai. 2013. Effects of Soil Compaction on the Growth and Mortality of Planted Dipterocarp Seedlings in a Logged-over Tropical Rainforest in Sarawak, Malaysia. Forest Ecology and Management Journal. Vol. 310 : 770-776. Elsevier. Jhonson, C. 2009. Biology of Soil Science. Oxford Book Company. Jaipur. India. Junaedi, A. 2012. Pengaruh Kompos dan Pupuk NPK Terhadap Peningkatan Kualitas Bibit Cabutan Shorea leprosula Miq. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9 (4) : 373-383. Kanowski, J. and C. P. Catterall. 2010. Carbon Stocks in Above-ground Biomass of Monoculture Plantations, Mixed Species Plantations and Environmental Restoration Plantings in North-east Australia. Ecological Management and Restoration Journal. Vol. 11 (2) : 119-126. Wiley Online Library. Marlina, N dan D Rusnandi. 2007. Teknik Aklimatisasi Planlet Anthurium pada Beberapa Media Tanam. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 12 (1) : 38-40. Nadi, A. H. E., R. K. Rabie, H. M. A. Magid, R. E. A. Sabrah and S. A. A. 1995. Chemical, Physic-chemical and Microbiological Examination of Town Refuse Compost and Chicken Manure as Organic Fertilizers. Journal of Arid Environments. Vol 30 : 107113. Elsevier. 51
Teknik Aplikasi Media Semai dari Limbah Biomassa Hutan dan Industri Hasil Hutan
Shmulsky, R.and P. D. Jones. 2011. Forest Products and Wood Science, An Introduction. Sixth Ed.. Wiley-Blackwell Publishing. Oxford. UK. Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker, Inc. New York. Timilsina, N., C. L. Staudhammer, F. J. Escobedo and A. Lawrence. 2014. Tree Biomass, Wood Wate Yield, and Carbon Storage Changes in an Urban Forest. Lanscape and Urban Planning Journal. Vol. 127 : 18-27. Elsevier. Wang, B. and G. Jiang. 2011. Effect of Chicken Litter on Grassland Productivity and Environmental Quality in a Sandland Ecosystem. Acta Ecologica Sinica Journal. Vol 31 : 14-23. Elsevier. Wiedenhoeft, AC. 2006. Plant Nutrition. Infobase Publising. USA.
52
Bab
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Andrian Fernandes
5
1.
Pendahuluan Pengelolaan hutan secara lestari yang menguntungkan perlu dilakukan investasi dalam membuat persemaian, memperoleh bibit yang unggul, transportasi bibit ke lokasi penanaman dan penanaman bibit di lapangan (Keefe et al., 2012). Peraturan Dirjen RLPS No. 01/V-PTH/2008 tentang Tata Cara Penetapan Pengada dan/atau Pengedar Benih dan/atau Bibit Tanaman Hutan Terdaftar menyebutkan bahwa peredaran bibit adalah kegiatan yang meliputi pengepakan, pengangkutan, dan distribusi bibit. Proses pengepakan (packing) dan pengangkutan (transplantation) bibit perlu mendapat perhatian yang besar karena proses tersebut dapat mempengaruhi kualitas bibit yang akan ditanam di lapangan. Proses media tanam dengan proses pengepakan dan pengangkutan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Dok. Andrian F
Gambar 1. Diagram alir proses aplikasi media semai sampai penanaman
2.
Pengangkutan (Trans-plantation) Bibit Jenis bibit mempengaruhi ukuran kantong media (polybag) yang digunakan. Bibit S. leprosula yang memiliki tinggi lebih rendah dibandingkan dengan bibit Tengkawang dapat menggunakan polybag 10 x 15 cm. Sedangkan semai Tengkawang memakai polybag 20 x 30 cm. Untuk bibit yang akan digunakan sebagai sumber pangkasan atau untuk reklamasi lahan pasca tambang menggunakan polybag 40 x 40 cm. Perbedaan ukuran polybag menyebabkan perbedaan berat polybag. Polybag kecil, ukuran 10 x 15 cm yang berisi media, beratnya hanya 300 g per polybag. Sedangkan polybag besar berukuran 40 x 40 cm yang berisi media, beratnya dapat mencapai 21 kg. Oleh karena itu saat memindahkan bibit dapat digunakan beberapa cara, antara lain diangkat satu per satu, beberapa polybag dimasukkan ke dalam satu kantong plastik atau menggunakan gerobak. 53
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Leksono (2010) menggunakan bantuan kantong plastik dalam pengangkutan bibit Nyamplung (Calophyllum inophyllum) untuk plot penelitiannya. Setiap plot terdiri dari 25 bibit yang terbagi dalam 5 ikatan. Setiap ikatan akan dimasukkan dalam satu kantong sehingga terdapat 5 kantong untuk setiap plot. Tiap kantong diangkat secara manual untuk dipindahkan ke dalam alat angkut dan diturunkan dari alat angkut menuju plot yang akan ditanami. Pada topografi datar telah dikembangkan alat transplantation bibit yang dilengkapi alat pembuat lubang tanam oleh Dulsalam dan Sukadaryati (2012) dan telah dicobakan di KHDTK Cikampek. Investasi pembuatan alat sebesar Rp. 35.000.000,00 dan diperlukan operator khusus serta diperlukan bahan bakar dan oli. Endom (2007) menyebutkan bahwa pengangkutan bibit secara konvensional sering mengakibatkan kegagalan terutama karena faktor kesulitan lapangan. Untuk membantu memecahkan masalah dalam program pemulihan hutan dan lahan dikembangkan Teknologi Kabel Layang. Kelemahan dari Teknologi Kabel Layang ialah memerlukan tenaga yang memiliki keterampilan khusus untuk pemasangan jaringan kabel yang sangat terbatas jumahnya. Semai Meranti, seperti S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw yang berukuran sekitar 20 -30 cm, dapat diikat dalam satu wadah tas plastik. Dalam 1 tas kresek berisi 25 bibit, dengan berat total 7,5 kg. Saat dibawa, semakin berat beban tas plastik maka telapak tangan yang membawa juga semakin sakit. Leigh dan Young (2007) menyebutkan bahwa ketidaknyamanan saat membawa dengan tangan akan menjadi pertimbangan untuk membawa beban dengan menggunakan tas punggung. Penggunaan tas punggung (backpack) menjadi umum dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berbeda menggunakan tas punggung yang berbeda. Perbedaan tujuan penggunaan tas punggung memberikan perbedaan berat beban dan periode penggunaannya. Ada korelasi yang signifikan antara berat beban tas punggung dengan terjadinya sakit akibat kelelahan pada punggung saat menggunakan tas punggung (Al-Khabbaz et al., 2008). Desain alat trans-plantation bibit seperti alat gendong bibit dapat dibuat berupa tas punggung. Alat ini diharapkan dapat menampung bibit dengan berbagai ukuran polybag. Tas gendong menggunakan kerangka kayu lapis (plywood) yang ditutup dengan kain tahan air. Bahan baku plywood dapat diganti dengan bahan lain seperti kayu yang banyak ditemukan di sekitar areal 54
Andrian Fernandes
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Selanjutnya kerangka tas dipasang dengan tali yang dilengkapi busa agar saat dipakai sebagai tas punggung di bagian pundak dapat lebih nyaman.
Dok. Andrian F
Gambar 2. Kerangka tas gendong saat dibuka dan ditutup
Dok. Andrian F
Percobaan penggunaan tas gendong dilakukan saat penanaman intensif di IUPHHK - HA PT Gunung Gajah Abadi. Penanaman intensif dilakukan dengan sistem jalur. Jarak antar jalur 10 m, jarak antar tanaman 5 m dan lebar jalur 3 m dan panjang jalur 1 km. Jenis yang digunakan adalah bibit Meranti dan Kapur. Bibit Meranti dan Kapur menggunakan polybag 7 x 12 cm, dengan berat 400 gram tiap polybag. Aktivitas otot pinggang bekerja secara progresif saat peningkatan beban tas punggung (Al-Khabbaz et al., 2008). Beban 20% berdasarkan berat badan merupakan titik maksimum beban tas punggung. Artinya bila pekerja memiliki berat badan 70 kg, dapat mengangkat beban maksimum 14 kg. Beban 14 kg yang diangkat terdiri atas 4 kg berat tas gendong dan 10 kg bibit. Bila membawa bibit dengan polybag 300 g maka pekerja mampu membawa 30 bibit. Namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pekerja dengan berat badan 60 kg dapat membawa bibit sebanyak 50 polybag dalam tas gendong di persemaian dan lokasi penanaman intensif IUPHHK - HA PT Gunung Gajah Abadi. Untuk mempertahankan keberlanjutan produksi kayu komersial perlu dilakukan penanaman secara intensif di lahan hutan (Schulze, 2008). Sebagian besar kondisi penanaman di Kalimantan memiliki topografi yang bergelombang hingga berbukit-bukit. Pada daerah seperti ini, penanaman yang sesuai dilakukan secara manual (McDonald et al., 2008). Sebagai perbandingan penggunaan alat trans-plantation (alat gendong) bibit, juga digunakan “Anjat”. Perbandingan antara alat gendong dengan “Anjat” dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. 55
Hanya digunakan pria
Gender
56 Kapasitas angkut sedang, waktu istirahat agak lama karena anjat kurang nyaman
Sumber: diolah dari data primer
Dapat digunakan untuk membawa bibit dengan member lapisan kain di bagian dalam anjat agar bibit lebih terjaga
Tidak digunakan di PT. GGA karena pekerja pria tidak memakai anjat yang dipakai wanita secara adat
Karena sekali angkut bibit paling sedikit, maka waktu istirahat paling cepat
Waktu istirahat setiap membawa bibit
Anyaman berlubang-lubang besar, sehingga daun atau pucuk dapat rusak
Rekomendasi
Anyaman berlubang-lubang, sehingga daun atau pucuk dapat rusak
Efek tas terhadap bibit
Kurang nyaman
Hanya polybag kecil
Paling nyaman
Kenyamanan
50 bibit
25 bibit
Hanya digunakan wanita
Anyaman rotan
Anjat 2
Ukuran polybag Hanya polybag kecil yang dapat dibawa
30 bibit
Ditumpuk 2 lapis
Disusun 1 lapis
15 bibit
Anyaman rotan
Bahan baku
Kapasitas
Anjat 1
Kriteria
Tabel 1. Perbandingan anjat dengan tas gendong yang dibuat
Kurang nyaman
90 bibit
50 bibit
Tanpa gender
Kayu/plywood dan kain
Tas gendong
Tidak digunakan karena dapat merusak bibit yang dibawa
Hanya polybag kecil
Kapasitas angkut sedang, waktu istirahat sedang karena anjat nyaman saat digunakan
Dok. Andrian F
Digunakan dengan penyempurnaan tali tas agar pengguna lebih nyaman
Dapat digunakan untuk polybag kecil dan besar
Karena sekali angkut bibit paling banyak, maka waktu istirahat paling lama
Saat dibawa bagian atas Tas menggunakan kain, tertutup/mengecil sehingga sehingga tidak merusak bibit terjepit dan mudah rusak bibit (paling aman dalam membawa bibit)
Nyaman
50 bibit
25 bibit
Hanya digunakan pria
Anyaman rotan
Anjat 3
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Andrian Fernandes
Penanaman intensif di IUPHHK - HA PT Gunung Gajah Abadi memiliki panjang jalur 1 km, sehingga terdapat 200 tanaman dalam 1 jalur. Dengan kapasitas 50 bibit untuk sekali angkut, maka pekerja dengan menggunakan tas gendong berjalan pulang pergi sebanyak 4 kali. Kurang nyamannya tas gendong dan kapasitas yang lebih banyak menyebabkan waktu istirahat pekerja menjadi lebih lama. Prestasi kerja pekerja dengan tas gendong sama dengan anjat tipe 1, namun keutuhan bibit yang dibawa selama berjalan lebih terjaga dengan menggunakan tas gendong. Untuk meningkatkan prestasi kerja perlu dilakukan penyempurnaan desain tas gendong agar lebih nyaman saat digunakan. 3.
Pengepakan (Packing) Bibit Pengepakan (packing) bibit merupakan cara menata bibit saat akan diangkut dari persemaian menuju tempat penanaman. Bibit yang telah siap tanam akan diangkut menggunakan truk atau mobil, tergantung dari ukuran dan jumlah bibit, serta jarak tempuh dan lebar jalan yang dilalui dari persemaian ke lokasi penanaman. Untuk kontainer potray atau polytube sudah dilengkapi dengan rak untuk membawa satu set potray atau polytube. Namun di lapangan, masih banyak yang menggunakan polybag. Selain mahal, perawatan bibit di potray atau polytube lebih rumit dibandingkan dengan polybag. Karena polybag memiliki berbagai ukuran maka tidak ada rak atau baki yang dipakai untuk mengangkat satu set polybag sekaligus. Panayiotopoulos (1989) menyebutkan bahwa bibit harus ditata secara teratur, tidak boleh acak. Ada 5 macam penataan bibit sebagaimana dalam sketsa gambar berikut ini.
Dok. Panayiotopoulos (1989)
Gambar 3. Bentuk-bentuk penyusunan polybag dalam satu dan dua tingkat
57
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Untuk penataan cubic dan cubical-tetrahedral merupakan penataan untuk satu tingkat. Untuk penataan yang ditumpuk menjadi dua tingkat diilustrasikan menjadi bentuk tetragonalsphenoidal, pyramidal dan tetrahedral. Untuk bibit meranti yang menggunakan polybag kecil, proses pengepakan bibit dapat dilakukan dengan cara memasukkan beberapa polybag kecil ke dalam kantong plastik, kemudian ditata pada alat angkut. Contoh pengepakan bibit meranti dapat dilihat pada Gambar 4, berikut ini.
Dok. Andrian F
Gambar 4. Pengepakan bibit meranti dalam truk
Setelah pengepakan selesai, bagian atas alat angkut ditutup dengan sarlon. Sarlon berguna untuk mengurangi penguapan bibit saat pengangkutan. Selain itu sarlon juga berguna untuk mengurangi kecepatan angin saat kendaraan berjalan, sehingga keutuhan bibit lebih terjaga. Untuk menjaga kualitas bibit saat proses pengiriman dibuat rak bibit yang berfungsi sebagai alat pengepakan bibit. Prinsip alat pengepakan bibit adalah dengan memanfaatkan rak/baki yang banyak terdapat di persemaian. Agar pengepakan bibit dapat rapi saat pengiriman maka dibuat model rak bertingkat. Pemilihan rak/baki dapat digunakan untuk baki dan bila dibalik dapat digunakan sebagai alat untuk mengangkut bibit dalam polybag. Ada beberapa bahan untuk pembuatan alat pengepakan bibit, seperti kayu, besi, aluminium, fiber/acrylic dan stainless steel. Untuk Perbandingan material dapat dilihat pada tabel berikut ini.
58
Sedang
Estimasi kekuatan alat pengepakan bibit
59 Sedang
Estimasi kemudahan sistem knock-down alat yang dibuat
Sumber: diolah dari data primer
Mudah, karena kayu relatif mudah dibor untuk membuat lubang baut.
Kuat
Sedang
Kuat
Harus awet
dicat
Dapat berkarat
Estimasi kekuatan sistem Paling lemah (tergantung knock-down alat yang jenis kayu, bila meranti dibuat lemah sedang ulin kuat)
Mudah
Harus dicat agar awet
Proses finishing
Proses pembuatan alat pengepakan bibit
Dapat rusak akibat terkena air (tergantung jenis kayu)
Ketahanan terhadap air/ cuaca saat penggunaan
Tidak berkarat
Ringan
Harus beli di toko
Aluminium
Fiber/acrilic
Paling kuat
Sedang
Paling kuat
Tidak perlu dicat
Tidak berkarat
Sedang
Paling susah, lubang pada acrylic/fiber harus direncanakan dari awal
Sedang
Paling rumit
Paling lemah
Tidak perlu dicat
Tidak berkarat
Sedang
Harus beli di toko Harus beli di bangunan toko kota besar tertentu
Stainless steel
Paling mudah, Sedang karena menggunakan aluminium berlubang, sehingga penempatan baut ada banyak pilihan.
Lemah
Mudah
Lemah
agar Tidak perlu dicat
Paling ringan (tergantung jenis kayu, bila meranti ringan sedang ulin berat)
Estimasi berat alat pengepakan bibit
Paling berat
Mudah ditemukan di sekitar Harus beli di toko IUPHHK
Ketersediaan
Besi
Kayu
Parameter
Tabel 2. Perbandingan Material
Andrian Fernandes
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Alat pengepakan bibit dibuat dengan prinsip seperti kerja rak bibit. Rak bibit dibuat dari stainless steel dan tersusun atas 2 lapisan (rak bagian atas dan bagian bawah). Amaliah (2013) menyebutkan bahwa penggunaan rak bertingkat untuk meletakkan bibit dapat menghemat ruang dan meningkatkan kapasitas bibit yang ditampung bila dibandingkan dengan penataan bibit satu lapis.
Rak bibit yang terbuat stainless steel
Dok. Andrian F
Posisi baki bila membawa pottray
Posisi baki bila membawa polybag
Dok. Andrian F
Dok. Andrian F
Gambar 5. Rak bibit bertingkat dari stainless steel
Bagian rak dapat diatur ketinggiannya. Sebagai alas digunakan rak pottray yang dapat digunakan untuk membawa pottray dan juga polybag. Apabila rak bibit tidak digunakan, dapat dibongkar menjadi 4 buah tiang dan 2 buah kotak penyangga rak pottray. Rak pottray dijadikan sebagai salah satu bagian dari rak bibit karena berdasarkan pengamatan di IUPHHK sebagian besar memiliki rak pottray dan tidak digunakan karena perawatan bibit dalam pottray cenderung tidak praktis. 60
Andrian Fernandes
Rak pottray berisi bibit dalam pottray
Kaki penyangga rak yang dapat diatur ketinggiannya Rak pottray yang dibalik dapat digunakan untuk membawa bibit dalam polybag Sketsa: Andrian F.
Gambar 6. Sketsa rak bibit saat menggunakan pottray dan polybag
Penataan bibit yang baik dan teratur akan mengoptimalkan ruangan dengan tetap menjaga kualitas bibitnya (Qu et al., 2009). Penataan bibit yang baik akan memudahkan proses pemindahan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman dan proses pengangkutan (trans-plantation) yang baik akan meningkatkan persentase hidup bibit saat ditanam di lokasi penanaman (Thomas, 2008). 4.
Penutup Untuk menjaga kualitas bibit perlu dilakukan pengepakan (packing) dan pengangkutan (trans-plantation) bibit yang baik agar bibit memiliki persen tumbuh yang tinggi saat ditanam. Alat gendong bibit dapat digunakan untuk membantu proses pengangkutan (trans-plantation) bibit di lokasi persemaian menuju lokasi penanaman., sedangkan rak bibit digunakan untuk proses pengepakan (packing) bibit saat diangkut menuju lokasi penanaman.
DAFTAR PUSTAKA Al-Khabbaz, Y. S. S. M., T. Shimada and M. Hasegawa. 2008. The Effect of Backpack Heaviness on Trunk-lower Extremity Muscle Activities and Trunk Posture. Gait and Posture Journal. Vol. 28 : 297-302. Elsevier. Amaliah, W. 2013. Rancangan Perangkat Rak Persemaian Bibit Padi Dengan Stimulasi Musik Seruling. Skripsi. Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Tidak Dipublikasikan.
61
Teknik Pengepakan (Packing) dan Pengangkutan (Trans-Plantation) Bibit
Dulsalam dan Sukadaryati. 2011. Penggunaan Alat Pembuat Lubang Tanam Secara Semi Mekanik yang Dilengkapi Alat Pengangkut Bibit. Prosiding Mapeki XIV. Yogyakarta. Endom, W. 2007. Standarisasi Alat Transportasi Bibit Menggunakan Teknologi Kabel Layang. Prosiding PPIS 2007. Jakarta. Keefe, K., J. A. A. Alavalpati and C. Pinheiro. 2012. Is Enrichment Planting Worth its Costs? A Financial Cost-benefit Analysis. Forest Policy and Economics Journal. Vol. 23 : 10-16. Elsevier. Leigh, R.J. and D.B. Young. 2007. To Carry or to Pull : A Study to Investigate the Transport of a Junior’s Golf Bag. Clinical Chiropractic Journal. Vol. 10 : 198-204. Elsevier. Leksono, B. 2010. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan Penelitian Program Insentif Ristek Tahun Anggaran 2010. Tidak Dipublikasikan. McDonald, T.P., J.P. Fulton, M.J. Darr and T.V. Gallagher. 2008. Evaluation of a System to Spatially Monitor Hand Planting of Pine Seedlings. Computer and Electronics in Agriculture Journal. Vol. 64 : 173-182. Elsevier. Panayiotopoulos, K. P. 1989. Packing of Sand – A Review. Soil and Tillage Research Journal. Vol. 13 : 101-121. Elsevier. Qu, Y. H., X. M. Wei, Y. F. Hou, B. Chen, G. Q. Chen and C. Lin. 2009. Analysis for an Environmental Friendly Seedling Breeding System. Commun Nonlinear Sci Numer Simulat Journal. Vol. 14 : 1766-1772. Elsevier. Schulze, M. 2008. Technical and Financial Analysis of Enrichment Planting in Logging Gaps as a Potential Component of Forest Management in the Eastern Amazon. Forest Ecology and Management Journal. Vol. 255 : 866-879. Elsevier. Thomas, D. S. 2008. Hydrogel Applied to the Root Plug of Subtropical Eucalypt Seedling Halves Transplant Death Following Planting. Forest Ecology and Management Journal. Vol. 255 : 1305-1314. Elsevier.
62
Bab
Pengayaan di Hutan Alam Abdurachman, Hartati Apriani dan Rini Handayani
6
1.
Pendahuluan Pengelolaan hutan produksi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan memperhatikan aspek ekonomi dan ekologi berdasarkan azas kelestarian hasil (sustained yield principle). Pada sistem TPTI pemanenan didasarkan atas batas limit diameter yang ditetapkan untuk pohon-pohon yang komersial, sementara itu untuk pohon-pohon kecil dan permudaan alam dibiarkan atau dipelihara. Kegiatan pemanenan hutan secara langsung akan berpengaruh terhadap kondisi hutan baik kerusakan berat maupun ringan, hal ini tidak dapat dihindarkan meskipun dalam pelaksanaannya dikerjakan dengan sangat hati-hati sehingga dapat memperkecil akibat yang ditimbulkannya baik dari penebangan, penyaradan kayu dan pengangkutannya. Pada kondisi ini maka diperlukan upaya rehabilitasi pada areal tertentu yang kondisinya sudah masuk kategori untuk direhabilitasi, jika hal ini tidak dilakukan dapat mengurangi potensi dari hutan itu sendiri di masa yang akan datang. Rehabilitasi adalah mengembalikan kepada kedudukan dan keadaan yang dahulu atau semula. Dengan terminologi tersebut dalam prakteknya untuk kegiatan di hutan alam sangat tidak mungkin dilakukan. Pada kegiatan di hutan alam ada beberapa pengertian yang mendasari untuk pemulihan hutan. Dalam pedoman dan petunjuk teknis TPTI (1993) rehabilitasi adalah kegiatan penanaman bidang-bidang kosong di dalam kawasan hutan agar setiap bidang hutan memiliki produktivitas dan nilai maksimum. Sedangkan pengayaan adalah kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan yang kurang cukup mengandung permudaan jenis niagawi, dengan tujuan untuk memperbaiki komposisi jenis, penyebaran pohon dan nilai tegakan. Sasaran kegiatan pengayaan adalah kawasan hutan berhutan yang jumlah permudaannya tidak mencukupi, yang luasnya lebih dari satu hektar atau kumpulan lebih dari 25 petak ukur inventarisasi tegakan tinggal (ITT) yang kurang permudaan. Berdasarkan UU No.41 tahun 1999, rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Salah satu kegiatan rehabilitasi hutan dilakukan berupa pengayaan tanaman. Rehabilitasi dilakukan pada semua kawasan hutan dan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
63
Pengayaan di Hutan Alam
Dalam Permenhut P.3/Menhut-II/2009 tentang petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus bidang kehutanan penanaman pengkayaan reboisasi adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada areal hutan rawang yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon 500 – 700 batang/ha, dengan maksud untuk meningkatkan nilai tegakan hutan baik kualitas maupun kuantitas sesuai fungsinya. Selanjutnya dalam P.9/VI/BPHA/Menhut/2009 pada penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan prinsipnya adalah memulihkan produktivitas areal tidak produktif pada blok RKT dengan menggunakan bibit jenis lokal unggulan setempat. 2.
Faktor Pendukung Keberhasilan Pengayaan Rehabilitasi hutan sebagai tindakan untuk meningkatkan produktivitas hutan dan mendapatkan tingkat keberhasilan yang tinggi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagaimana ditulis oleh Sukotjo (2009) bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam penanaman yaitu: a) bibit unggul, b) manipulasi lingkungan dan c) pengendalian hama dan penyakit. 2.1. Bibit Unggul Siregar (2008) menyatakan bahwa ada dua hal yang penting dipertimbangkan dalam pembangunan hutan tanaman, yaitu aspek ekonomi dan aspek ekologi. Aspek ekonomi didasarkan pada sifat fenotipe yaitu penggunaan bibit unggul sesuai dengan tujuan penanaman, sedangkan aspek ekologi adalah kemampuan adaptibilitas tanaman terhadap kondisi lingkungan yang heterogen baik pada tingkat jenis maupun populasi. Pertumbuhan tanaman yang baik di lapangan tentunya didukung oleh pemilihan bibit dengan kualitas baik pula. Bibit yang bermutu ditentukan oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam diantaranya asal benih, kondisi fisik dan fisiologis benih atau bibit itu sendiri. Faktor luar yang penting antara lain air, cahaya, suhu, kelembaban udara, konsentrasi karbon dioksida, oksigen, pupuk, medium bibit, mikoriza, hama, penyakit dan gulma di persemaian (Hendromono, 2007). Bibit unggul dapat diperoleh setelah melakukan penilaian mutu bibit dan diklasifikasikan berdasarkan standardisasi kelas mutu bibit untuk jenis meranti yang telah ada yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-5005.1-1999. Penilaian dapat didasarkan pada fenotipe bibit karena mudah diukur dan dapat dianggap sebagai gambaran genetik selanjutnya pada penelitian hasil uji jenis di PT. Sari Bumi Kusuma (SBK), Kalimantan Barat, bahwa riap tinggi dan riap diameter S. leprosula Miq pada umur 1 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya, ada
64
Abdurachman, Hartati Apriani dan Rini Handayani
interaksi antara jenis dengan mutu bibit terhadap riap tinggi dan diameter (Adman, 2011). 2.2. Manipulasi Lingkungan Manipulasi atau rekayasa lingkungan merupakan upayaupaya yang dilakukan pada tanaman sebagai usaha meningkatkan produktivitas tanaman. Tindakan manipulasi yang dapat berupa proses pada saat penanaman, selama pemeliharaan maupun tindakan khusus yang diberikan langsung terhadap tanaman. Pada hutan bekas tebangan lebar jalur dan jarak tanam merupakan hal yang perlu diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut, Mori (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan rehabilitasi menggunakan jenis dipterocarp adalah pengaturan cahaya dan pemilihan jenis. Soerianegara (1971) mengusulkan agar lebar jalur sekedar dapat dilalui dan memungkinkan penanaman (± 1 m) dengan jarak antar jalur disesuaikan dengan kebutuhan akan banyaknya tanaman, misalnya 10 - 20 m. Namun demikian lebar jalur dan jarak tanam yang optimal pada masing-masing tanaman berbeda sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian yang dilakukan di hutan dataran rendah bekas tebangan Pasoh (Malaysia) menemukan bahwa jalur tanam terbaik adalah 3 m, dibandingkan dengan 5 dan 10 m (Mokhtaruddin et al., 2001). S. johorensis Foxw dan S. leprosula Miq termasuk jenis meranti merah dan mempunyai karakteristik membutuhkan cahaya (light demanding), sehingga pembukaan tajuk menjadi sangat diperlukan dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman meranti (Panjaitan et al., 2012). Soekotjo (2009) melaporkan bahwa S. johorensis Foxw bahkan memerlukan cahaya cukup banyak sejak dari persemaian. Didasarkan pada hasil uji spesies, semai S. johorensis Foxw yang tumbuh di blok ternaung pertumbuhan diameter lambat dibandingkan dengan di blok relatif terbuka yang tumbuh sangat cepat. Mawazin dan Suhendi (2012) melaporkan bahwa pertumbuhan diameter S. leprosula Miq dipengaruhi oleh lebar jarak tanam. Semakin lebar jarak tanam, pertumbuhan diameter yang ditanam lebih baik, karena jarak tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman. Penelitian yang dilakukan pada S. johorensis Foxw menunjukkan bahwa interaksi jarak tanam dengan pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter, sedangkan perlakuan pemeliharaan berbeda nyata (Omon et al, 2007). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diperoleh bahwa lebar jalur berpengaruh nyata terhadap riap diameter dan riap tinggi S. leprosula Miq (Pamoengkas et al., 2013). Akan tetapi 65
Pengayaan di Hutan Alam
pada sistem silvikultur TPTJ, peningkatan lebar jalur tidak menunjukkan adanya kecendrungan meningkatkan pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman secara konsisten. Pertumbuhan S. leprosula Miq terbaik dihasilkan pada tanaman dengan lebar jalur 5 m mempunyai riap diameter rata-rata 1,63 cm/tahun dan riap tinggi rata-rata 1,91 cm/tahun. Selain pengaturan jarak tanam, untuk pengendalian suhu udara disekitar tanaman dapat menggunakan mulsa. Penggunaan mulsa serasah pada S. leprosula Miq umur 4 tahun memiliki rata-rata riap tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan mulsa plastik (Abdurachman et al., 2013). 2.3. Pengendalian Hama Penyakit Hama penyakit tanaman menjadi perhatian utama dalam penanaman. Kondisi ini akan sering menimbulkan masalah pada pengelolaan hutan tanaman yang hampir seragam atau sejenis (Monokultur). Pada kegiatan rehabilitasi hutan, hal ini bisa terjadi karena ketersediaan bibit pada saat kegiatan berlangsung, tanaman memiliki tingkat keragaman yang rendah dan rentan terhadap serangan hama penyakit. Beberapa hal yang menjadi pemicu terjadinya serangan hama penyakit dikarenakan lingkungan yang mendukung dan tersedianya makanan yang cukup. Serangan hama mengakibatkan terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas kayu, yang natinya akan berdampak pada nilai kayu. Oleh karena itu pengendalian hama penyakit menjadi sangat penting dalam pengelolaan hutan. Abdurachman et al., (2013) dalam kegiatan pengayaan yang telah dilakukan dijalan sarad dengan jenis S. leprosula Miq terdapat variasi pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Berdasarkan perlakuan yang diberikan yaitu lubang tanam, media dan ukuran bibit yang digunakan. Diantara perlakuan tersebut yang paling berpengaruh besarnya bibit, dimana bibit dengan tinggi 60 - 70 cm lebih baik dibandingkan bibit dengan tinggi 30 - 40 cm. Secara umum, tanah lapisan atas pada jalan sarad tidak terkikis karena hanya dilewati saat penarikan, sehingga perlakuan media top soil tidak berpengaruh nyata, sedangkan lubang tanam dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm tidak memberikan pengaruh yang nyata dengan ukuran lubang yang lebih lebih besar. Pertumbuhan tanaman yang dihasilkan meningkat dari tahun ke tahun dengan riap tinggi 75,24 cm/tahun pada umur 16 bulan, 89,32 cm/tahun pada umur 28 bulan dan 130,02 cm/tahun pada umur 40 bulan, untuk pertumbuhan diameter masing-masing berturut 0,85 cm/ tahun, 0,91 cm/tahun dan 1,26 cm/tahun. Selain perlakuan yang diberikan, pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh tapak. 66
Abdurachman, Hartati Apriani dan Rini Handayani
Pada kondisi permukaan yang telah mengalami pengikisan lapisan organik kondisi pertumbuhan tanaman lebih lambat dibandingkan dengan lahan yang kandungan organiknya lebih baik, sehingga diperlukan media yang dapat membantu pertumbuhan tanaman. Pada percobaan di lokasi tempat penumpukan kayu (TPn), dengan menggunakan bibit 30 – 40 cm dan lubang tanam 30 cm x 30 cm x 30 cm, pemberian top soil dan pupuk NPK menunjukkan hasil terbaik, sedangkan tanaman tanpa perlakuan, pertumbuhannya terhambat dan tidak dapat bertahan lama karena kekurangan unsur hara setelah persediaan hara pada polybag habis. Di hutan, kijang dan babi seringkali menjadi hama pada tanaman muda. Sedangkan penyakit yang menyerang belum nampak sampai umur 2 – 4 tahun saat pengamatan dilakukan. Penanaman dilakukan di Semoi Kabupaten Penajam Paser Utara dengan jenis S. johorensis Foxw kombinasi pupuk tablet dan lubang tanaman juga memberikan pengaruh pada pertumbuhan diameter dan tinggi namun demikian perbedaan dosis dan ukuran lubang tanam tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil yang didapat pemberian dosis 2 tablet dan ukuran lubang tanaman 40 cm x 40 cm x 40 cm lebih besar dibandingkan dengan dosis lainnya yaitu masing-masing riap diameter dan tinggi sebesar 0,26 cm/tahun dan 30.88 cm/ tahun pada umur 36 bulan (Apriani et al., 2013). 3.
Penutup
Ukuran bibit merupakan faktor penentu keberhasilan pengayaan di jalan sarad pada kondisi tanah dengan lapisan top soil tidak terkikis. Namun demikian pada daerah tertentu dimana jalan sarad tanahnya terkikis, maka perlakuan media menjadi hal yang penting diperhatikan, sebagaimana pada tempat penumpukan kayu (TPn). Dengan kondisi demikian, kegiatan pengayaan harus memperhatikan kualitas dan besar bibit yang digunakan, perlakuan yang diberikan pada tanaman serta pengendalian hama penyakit yang menyerang tanaman. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Apriani H. , Noor M., 2013. Pengaruh pemulsaan terhadap pertumbuhan meranti tembaga (Shorea leprosula Miq) di Semoi, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipetrokarpa Vol. 7 (2) : 93-99. Abdurachman dan Apriani H., 2013. Laporan Hasil Penelitian : Penelitian pembinaan/ pengayaan intensif hutan alam pasca tebangan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Tidak dipublikasikan. Adman, B. 2011. Pertumbuhan tiga kelas mutu bibit meranti merah pada tiga IUPHHK di Kalimantan. Jurnal penelitian Dipterokarpa Vol.5 (2) : 47-60. 67
Pengayaan di Hutan Alam
Apriani, H. dan Abdurachman. 2013. Laporan Hasil Penelitian : Teknik Manipulasi Lingkungan Dalam Upaya Peningkatan Riap dan Pertumbuhan Jenis Dipterokarpa. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Tidak dipublikasikan. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.3/Menhut-II/2009. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan No. P.9/VI/BPHA/2009. Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989. Kamus Besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Dirjen Pengusahaan Pengusahaan Hutan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) Pada Hutan Alam Daratan. Jakarta. Departemen Kehutanan Dirjen Pengusahaan Hutan. Mawazin dan Suhendi. 2012. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Diameter Shorea leprosula Miq. Umur Lima Tahun. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9 (2) : 189-197. Mokhtaruddin, Maswar A.M., Majid N.M., Yusoff M.K., Hanum I.F., Azani A.M., dan Kobayashi S., 2001. Soil factor effecting growth of seedling in logged-over tropical lowkand forest in Pasoh, Negeri Sembilan, Malaysia. in: Kobayashi, S., J. W. Turnbull, T. Toma, T. Mori, dan N.M.N.A. majid (eds). Rehabilitation of Degraded Tropical forest ecosystem, Workshop proceedings, : 129-139, 2-4 Nov, 1999, Bogor, Indonesia. Center for Internasional Forestry Research, Bogor, Indonesia. Mori, T. 2001. Rehabilitation of degraded forest un Lowland Kutai, East Kalimantan, Indonesia. In: Kobayashi, S., J.W. Turnbull. T. Toma, T. Mori, dan N.M.N.A. Majid (Eds). Rehabilitation of Degraded tropical forest ecosystems Workshop proceedings, : 17-26, 2-4 Nov. 1999, Bogor, Indonesia. Center for International Forestry Reseacrh, Bogor, Indonesia. Omon, R.M dan B. Adman. 2007. Pengaruh jarak tanam dan teknik pemeliharaan terhadap pertumbuhan kenuar (Shorea johorensis Foxw) di hutan semak belukar Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Pamoengkas, P dan Randana F. 2013. Respon pertumbuhan meranti merah terhadap lebar jalur tanam dan intensitas cahaya matahari dalam system silvikultur TPTJ. Jurnal Silvikultur Tropika Vol.3 No.1:51-56. Panjaitan S, Reni S W dan Rabiatul A. 2012. Kondisi Lingkungan Tempat Tumbuh Shorea johorensis Foxw. Di areal HPH PT. Aya yayang Indonesia, Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol.6 (1) :11-21. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University press. Soerinegara, I. 1971. Sistem-sistem silvikultur untuk hutan hujan tropika di Indonesia. Di Dalam: Suhendang, E., C. Kusmana, Istomo, dan L. Syaufina. 1996. Ekologi, ekologisme dan pengelolaan sumberdaya hutan. Jurusan Manajemen Hutan FAHUTAN IPB bekerjasama dengan Himpunan Alumni FAHUTAN IPB: 150-157. Siregar, I.Z, Y.Tedi. dan P.Prijanto. 2008. Implikasi Genetika Metode Pembiakan Tanaman Shorea johorensis Foxw pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Biodiversitas Vol.9 (4) : 250-254 Undang-undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
68
Bab
Pertumbuhan Dan Tegakan Hutan Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
7
1.
Pendahuluan Program pembangunan hutan tanaman diluncurkan untuk menciptakan sumber bahan baku alternatif perkayuan nasional, sebagai antisipasi atas kecenderungan penurunan produksi kayu dari hutan alam akibat berkurangnya areal maupun degradasi potensi. Oleh sebab itu, keberhasilan jangka panjang program pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman ikut menentukan stabilitas dan kelangsungan industri perkayuan, konservasi hutan alam, serta posisi kehutanan dalam perekonomian nasional. Salah satu kewajiban pemerintah dalam mewujudkan keberhasilan program pembangunan hutan ialah menyediakan informasi-informasi dan perangkat-perangkat manajemen yang diperlukan para pengelola. Di antara perangkat mendasar yang harus disediakan segera adalah model-model pertumbuhan dan hasil (growth & yield models) yang bisa di gunakan untuk memproyeksikan struktur dan produksi tegakan hutan, baik hutan alam maupun tanaman pada berbagai kondisi tempat tumbuh dan kondisi tegakan, serta pada berbagai perlakuan silvikultur. Ketersedian perangkat ini akan memungkinkan para pengelola untuk memperoleh informasi-informasi yang diperlukan dalam mengambil keputusan manajemen jangka panjang, misalnya mengenai jarak tanam, kerapatan tegakan, rotasi, ataupun jadwal pemungutan hasil (harvest scheduling) yang optimal bagi jenis-jenis tanaman pada lokasi tertentu. Secara umum, tersedianya perangkat yang bisa memberikan prediksi kondisi dan produksi tegakan di masa datang, memungkinkan para pengelola hutan menyusun rencana manajemen jangka panjang dalam usaha mencapai tujuan pengusahaan yang optimal secara ekonomi maupun ekologi (economically and ecologically sound) dan berkelanjutan. Kondisi hutan pada saat ini maupun pada saat masak tebang dapat diproyeksikan dengan menggunakan informasi pertumbuhan dan hasil dari tegakan hutan tersebut (Harbagung et al., 2008). Dengan demikian kegiatan kuantifikasi pertumbuhan dan hasil (growth and yield study) tegakan hutan sangat perlu dilakukan. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara simultan mencakup semua aspek dan bersifat komprehensif dalam cakupan areal maupun jenis, sehingga dapat menyajikan hasil akhir berupa perangkat-perangkat ataupun model-model yang dapat memprediksi kondisi potensi hutan dan hasil panen dari kegiatan pembangunan maupun pengelolaan hutan. Informasi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tersebut merupakan modal dasar bagi pengelola dalam menyusun rencana pengelolaan
69
Pertumbuhan Tegakan Hutan
hutan, sehingga dapat tersusun secara rinci, runtun, dan tepat sasaran mengarah pada optimasi perolehan hasil secara lestari. Tulisan ini menguraikan kondisi pertumbuhan tanaman meranti dari jenis S. leprosula Miq. dan S. johorensis Foxw., yang ditanam pada berbagai tapak dengan perlakuan yang berbeda, termasuk asal-usul bibitnya. Disamping itu diuraikan pula perubahan fisiologi tanaman pada hutan alam dan hutan tanaman, termasuk kecepatan pertumbuhan dari hutan alam yang tertutup menuju hutan tanaman yang terbuka. 2.
Tinjauan Umum Pertumbuhan Tegakan Hutan Pengetahuan silvikultur dalam pengelolaan hutan tanaman sangat penting diketahui, salah satunya adalah pertumbuhan dan hasil atau riap dari tegakan hutan. Pertumbuhan tegakan adalah perubahan dimensi tegakan, khususnya pada diameter dan tinggi tegakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh kesuburan tanah (bonita) dan kerapatan tegakan (Harbagung, 1997). Dengan diketahuinya karakteristik dari pertumbuhan maupun riap dari tegakan tersebut, akan sangat membantu dalam melakukan dan menentukan tindakan silvikultur terhadap perkembangan dari kondisi tegakan tersebut. Menurut Davis and Jhonson (1987) pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth). Simon (1996) menjelaskan bahwa elemen dasar untuk pertumbuhan tegakan ada tiga macam, yaitu: tambah tumbuh (accretion), mortalitas (mortality) alih tumbuh (ingrowth). Tambah tumbuh adalah pertumbuhan semua pohon yang diukur sejak awal sampai akhir pengamatan. Di sini termasuk pohonpohon yang ditebang dan pohon yang mati sebelum akhir periode pengamatan. Mortalitas hanya melibatkan kayu yang mati selama periode pengamatan. Ingrowth adalah volume pohon-pohon yang tumbuh menjadi kelas diameter yang terendah selama periode pengamatan. Pertumbuhan banyak dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh seperti: kerapatan tegakan, karakteristik umur tegakan, iklim (temperatur, presipitasi, kecepatan angin dan kelembaban udara), serta tanah (sifat fisik, komposisi bahan kimia, dan komponen mikrobiologi tanah). Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai karakter yang menentukan parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi proses 70
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
fotosintesis. Setelah keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi terpenuhi. Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Terdapat tiga faktor lingkungan (external) dan satu faktor genetik (internal) yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis and Jhonson, 1987). Riap secara umum didefinisikan sebagai pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu, tetapi juga dapat digunakan untuk menyatakan pertambahan nilai tegakan atau pertambahan diameter dan tinggi pohon setiap tahun (Simon, 1996). Riap tegakan dibentuk oleh pohon-pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi penjumlahan dari riap pohon ini tidak akan sama dengan riap tegakannya, karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan ada yang mati, busuk atau ditebang (Davis and Jhonson, 1987). Riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI), riap periodik (Periodic Increment, PI), dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu waktu periode tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu (Prodan, 1968). Perhitungan riap tahunan untuk parameter pertumbuhan tegakan secara umum adalah sebagai berikut (Prodan, 1968 dalam Latifah, 2004): MAI = Vt / t, dimana Vt adalah pertumbuhan kumulatif tegakan sampai umur t
Pertumbuhan dan hasil suatu tegakan merupakan indikator keberhasilan dari manajemen pembangunan suatu hutan tanaman. Pertumbuhan dan hasil tegakan sangat tergantung dengan kondisi tapak (site specific), oleh karena itu pemantauan pertumbuhan dan hasil suatu tegakan harus dilakukan di setiap lokasi pembangunan hutan melalui pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP) yang dilakukan pengukuran secara terusmenerus. Pertumbuhan suatu tegakan merupakan hasil dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sifat atau genotype dari jenis yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal mencakup kualitas tempat tumbuh, kondisi persaingan dan perlakuan silvikultur yang diberikan (Hendromono et al., 2003).
71
Pertumbuhan Tegakan Hutan
3.
Tinjauan Umum Petak Ukur Permanen (PUP)
Petak Ukur Permanen (PUP) merupakan suatu areal yang dibentuk persegi panjang ataupun bujur sangkar dengan tanda batas dan ukuran yang jelas, digunakan untuk mengumpulkan data maupun informasi mengenai pertumbuhan dan riap tegakan pohon maupun tanaman secara rutin maupun periodik. PUP dibuat dengan ukuran jarak yang bermacam-macam disesuaikan dengan kondisi tegakan dan status arealnya. PUP di hutan tanaman dibuat dalam bentuk persegi panjang dengan ukuran jarak datar 70 m x 70 m, kemudian ditengah-tengah PUP dibuat petak pengamatan dengan ukuran 50 m x 50 m yang terbagi dalam 25 plot dengan ukuran 10 m x 10 m per plot. Ketentuan umumnya PUP di hutan tanaman dibuat pada tegakan yang berumur mulai 1 atau 2 tahun dan pengukuran diulang setiap 1 atau 2 tahun sekali sampai dengan umur daur. PUP diusahakan pada areal yang ada tanamannya dengan sebaran yang cukup merata. Untuk sebuah seri PUP dapat dibuat sebanyak 3 (tiga) buah dengan bentuk dan ukuran yang sama (70 m x 70 m). Dalam satu seri tersebut dapat dibuat saling berdampingan atau berimpit dan dapat pula dibuat terpisah dengan jarak maksimal 100 meter (Harbagung, 1997). PUP yang dibuat di areal hutan alam pada blok tanaman Silin (Silvikultur Intensif) atau TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur), berbentuk bujur sangkar dengan ukuran jarak datar 100 m x 100 m. Ketentuan pemilihan lokasi PUP adalah dengan memastikan pada blok tersebut ada tanamannya di dalam jalur tanam, dan diusahakan komposisi dan struktur tegakan tanaman dapat mewakili kondisi tegakan di lokasi tersebut. Lokasi PUP sebaiknya mudah dijangkau dalam kurun waktu yang cukup panjang, agar dapat memudahkan dalam proses pengamatan secara kontinyu, pengawasan dan pengecekan (monitoring). Dalam sebuah Seri PUP di blok TPTII terdiri dari 12 PUP yang dibagi menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan kriteria kerapatan tegakan dan kelerengan/konfigurasi lapangan, kemudian dari setiap kelas tersebut dibuat 3 (tiga) PUP (Imanuddin, 2007). Salah satu kegiatan utama dalam PUP adalah melakukan pengukuran tegakan inti di dalam PUP. Yang dimaksud dengan pengukuran tegakan ialah kegiatan pengumpulan data kuantitatif melalui pengukuran pada berbagai karakteristik tegakan di dalam PUP tersebut (Imanuddin, 2007). Dimensi pertumbuhan tegakan yang diukur adalah diameter atau keliling batang pohon, tinggi pohon dan juga diameter tajuk. Diameter atau keliling batang pohon diukur dengan menggunakan pita diameter (phiband) atau 72
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
dapat juga menggunakan caliper dengan ketentuan pengukuran dilakukan setinggi 1,3 m dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir. Tinggi pohon dapat diukur dengan hagameter atau christenmeter. Data yang didapatkan berupa tinggi pangkal tajuk dan tinggi total pohon. Sedangkan untuk mengukur diameter tajuk menggunakan pita ukur dengan mekanisme pengukurannya berdasarkan proyeksi tajuk di permukaan tanah, dan mengukur sisi panjang dan pendeknya melalui titik tengah batang pohon. Pengukuran tegakan yang meliputi diameter dan tinggi pohon bertujuan untuk memonitor perkembangan dari pertumbuhan dan riap tegakan dalam periode waktu tertentu, sehingga pengukuran tegakan perlu dilakukan secara berulang, baik dalam jangka waktu setiap tahun atau dua tahun berikutnya. Sedangkan pengukuran diameter tajuk bertujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan kerapatan tajuk sebagai salah satu dasar dalam melakukan kegiatan penjarangan (Harbagung, 1997). 4.
Pertumbuhan Tanaman Persaingan dan perkembangbiakan di antara berbagai jenis pohon di dalam hutan merupakan sistem yang berlangsung secara alami dan berlaku pada semua jenis tumbuhan yang hidup di hutan. Bila sumberdaya hutan yang berupa kayu ini dikelola dengan mengikuti sistem alami, maka hasil yang diperoleh dari hutan akan rendah dan apa adanya. Dengan demikian, diperlukan cara atau teknik yang tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu yang semakin tinggi dengan tidak meninggalkan aspek ekologi maupun sosial ekonominya. Salah satu caranya adalah diterapkannya sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan. Sistem silvikultur merupakan serangkaian kegiatan terencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, penanaman/ peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu dan hasil hutan lainnya. Kegiatan pengamatan pertumbuhan maupun riap tanaman meranti merupakan bagian dari sistem silvikultur, karena data ataupun hasil dari pengamatan ini dapat menjadi informasi bagi para pengelola hutan tanaman untuk menentukan tindakan silvikultur selanjutnya kepada tanaman tersebut. Pengambilan data pertumbuhan pada tanaman meranti dilakukan pada lokasi yang berbeda tempat tumbuhnya, data pertumbuhan tanaman ini merupakan faktor penting untuk mengetahui kondisi tanaman beserta kesesuaian lingkungannya, sehingga dapat menentukan tindakan-tindakan silvikuktur yang perlu dilakukan selanjutnya. Pertumbuhan tanaman merupakan 73
Pertumbuhan Tegakan Hutan
perubahan ukuran dari dimensi tanaman yang terjadi selama periode tertentu, dimensi tanaman yang dimaksud adalah diameter dari tanaman. Sitompul dan Guritno (1995) mendefinisikan pertumbuhan tanaman adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan yang menentukan hasil tanaman. Hasil pengukuran dan rekapitulasi terhadap pertumbuhan maupun riap diameter dan tinggi tanaman meranti tembaga (S. leprosula Miq) di berbagai tapak disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter maupun riap tanaman S. leprosula Miq dipengaruhi oleh perlakuan jarak tanam. Hal ini terlihat jelas pada kondisi pertumbuhan tanaman di Gunung Dahu dan PT Arara Abadi, dimana semakin lebar jarak tanam semakin besar pula rata-rata pertumbuhan diameter maupun riapnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mawazin dan Suhaendi (2008 dan 2012) dalam laporannya yang menyebutkan bahwa perlakuan jarak tanam berpengaruh terhadap riap diameter jenis S. leprosula Miq, dengan jarak tanam yang lebar memberikan pertumbuhan riap diameter yang paling baik. Tanaman meranti di PT Arara Abadi, menggunakan asal bibit yang berbeda namun pertumbuhan diameter maupun riapnya yang terbesar adalah pada perlakuan jarak tanam yang lebar. Walaupun demikian perbedaan pertumbuhan pada kedua asal bibit yang berbeda ini tidak berbeda nyata. Informasi ini sesuai dengan hasil penelitian Mawazin dan Suhaendi (2008 dan 2012) yang menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam tidak berpengaruh terhadap diameter dari meranti merah, tetapi pertumbuhan diameter cenderung mengikuti tren semakin lebar jarak tanam diameternya cenderung lebih besar dibanding dengan jarak tanam yang lebih rapat. Dimungkinkan juga bahwa dengan adanya perbedaan asal bibit dan perlakuan jarak tanam yang sama akan memberikan hasil pertumbuhan yang tidak jauh berbeda. Perbedaan pertumbuhan tanaman S. leprosula Miq yang tidak berbeda karena faktor asal bibit juga dilaporkan dari hasil pengamatan di Long Nah dengan jarak tanam 5 x 4 m (Tabel 1).
74
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Tabel 1. Pertumbuhan dan riap rata-rata tahunan (MAI) dari diameter dan tinggi tanaman meranti tembaga (S. leprosula Miq) di beberapa lokasi penelitian No.
Lokasi
Asal Bibit
Umur (thn)
Jrk Tnm (m)
Diameter (cm)
Tinggi (m)
MAI-D (cm/thn)
MAI-T (m/thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
PT AA PT AA PT AA PT AA GD GD GD GD PT SBK PT SBK PT ITCIKU Long Nah Long Nah BOS Sbj
Biji Biji Stek Stek Stek Stek Stek Stek Cbt Cbt Biji Cbt Stek Cbt
13 13 13 13 15 15 15 15 6 7 10 15 15 10
3 x 2,5 3x5 3 x 2,5 3x5 2x2 3x3 4x4 5x5 20 x 2,5 20 x 2,5 10 x 3 5x4 5x4 10 x 2,5
18,28 22,68 19,33 19,61 14,99 17,18 19,36 21,88 8,66 9,96 9,32 23,29 26,72 7,89
14,18 15,43 14,67 16,20 12,19 12,32 13,21 12,26 7,77 8,80 9,84 6,56
1,41 1,75 1,49 1,51 1,03 1,18 1,31 1,46 0,72 1,66 0,93 1,55 1,78 0,79
1,09 1,19 1,13 1,25 0,84 0,85 0,89 0,82 0,65 1,47 0,98 0,66
Sumber: diolah dari data primer Keterangan: PT AA = PT Arara Abadi; GD = Gunung Dahu; PT SBK = PT Sari Bumi Kusuma; PT ITCIKU = PT International Timber Corporation Indonesia Kenangan Utama; BOS Sbj = Balikpapan Orangutan Society Samboja; MAI-D = riap rata-rata tahunan diameter; Jrk Tnm = Jarak Tanam; Cbt = Cabutan.
Pertumbuhan dan riap tanaman S. leprosula Miq yang ditanam dengan teknik SILIN di kawasan hutan PT SBK (Tabel 1) dapat dilihat bahwa riap diameter tanaman hingga umur 6 tahun telah mencapai 1,67 cm/tahun. Riap ini berbeda dengan yang telah dihasilkan oleh Pamoengkas dan Prayogi (2011) yang menyebutkan bahwa tanaman S. leprosula Miq yang ditanam dengan sistem TPTJ di PT SBK (6 tahun) dapat mencapai riap (MAI) 2,05 cm/tahun. Hasil yang berbeda juga dilaporkan oleh Wahyudi dan Panjaitan (2011) yang melaporkan bahwa riap (MAI) diameter tanaman S. leprosula Miq yang ditanam dengan sistem TPTJ teknik SILIN di PT Gunung Meranti Kalteng sebesar 1,36 cm/tahun pada umur 16 tahun. Perbedaan riap diameter pada tanaman S. leprosula Miq ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dari masing-masing tapak yang berbeda kondisinya, sehingga masih membutuhkan perlakuan silvikultur intensif, seperti pemeliharaan tanaman (pembebasan vertikal maupun horisontal setiap tahunnya). Harapannya riap tanaman akan terus meningkat sampai 2 - 3 cm/tahun atau dapat mencapai riap maksimal dan stabil pertumbuhannya. Pamoengkas dan Prayogi (2011) melaporkan bahwa tanaman S. leprosula Miq yang ditanam dengan sistem TPTJ pada umur 9 tahun mencapai rata-rata diameter 19,70 cm dengan rata-rata riap (MAI) 2,19 cm/tahun, dan dapat mencapai riap sebesar 3,16 cm/tahun.
75
Pertumbuhan Tegakan Hutan
Tanaman S. leprosula Miq umur 10 tahun di lahan bekas alang-alang memiliki pertumbuhan diameter rata-rata sebesar 7,89 cm dengan riap 0,79 cm/tahun (Tabel 1). Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Suyana dan Abdurrachman (2011) dengan riap (MAI) diameter tanaman S. leprosula Miq di Samboja Kaltim pada umur 13 tahun sebesar 1,26 cm/tahun. Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, sehingga diperlukan tindakan-tindakan silvikultur untuk memacu pertumbuhannya. Berkaitan dengan riap tinggi pada tanaman S. leprosula Miq, sebagian besar memiliki tren pertumbuhan yang hampir sama, kecuali pada tanaman di PT SBK yang dikelola dengan sistem SILIN dengan perlakuan jarak tanam dalam jalur rapat (2,5 m) dan gap antara jalur lebar (20 m) yang dipenuhi oleh tegakantegakan alam, akan memacu riap tinggi lebih besar (Tabel 1). Hasil yang sama untuk riap tinggi pada tanaman S. johorensis Foxw di PT SBK mempunyai riap pertumbuhan yang lebih besar (Tabel 2). Kondisi ini dapat dimungkinkan oleh leluasanya tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya dalam mendapatkan cahaya yang cukup, sehingga tanaman dapat tumbuh hingga mencapai puncak kanopi hutan dalam mendapatkan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Pada tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, dengan perlakuan yang berbeda memberikan hasil yang berbeda baik di hutan tanaman atau kawasan rehabilitasi (Tabel 1 dan 2). Pada tapak tersebut kondisi tanaman mendapatkan sinar matahari setiap waktu (pagi sampai sore hari), persaingan dalam mendapatkan cahaya juga rendah kecil, sehingga hal ini berpengaruh terhadap riap tinggi dari tanaman tersebut. Hasil pengukuran dan rekapitulasi terhadap pertumbuhan maupun riap diameter tanaman kenuar (S. johorensis Foxw) yang masuk dalam kelompok kayu meranti merah famili Dipterocarpaceae diberbagai tapak disajikan pada Tabel 2. Pertumbuhan S. johorensis Foxw menunjukkan perbedaan terhadap diameter tanaman yang ditanam pada areal bekas tebangan yang dikelola perusahaan kayu dengan tanaman S. johorensis Foxw yang ditanam di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) (Tabel 2). Kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh kegiatan pemeliharaan rutin yang dilakukan pihak pengelola hutan dalam mencapai keberhasilan dari penanaman dan pertumbuhan tanaman tersebut. Untuk itu monitoring secara rutin perlu dilakukan dalam rangka pengambilan tindakantindakan silvikultur untuk mencapai pertumbuhan yang cepat dengan kualitas kayu yang baik pula. 76
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Tabel 2. Pertumbuhan dan riap rata-rata tahunan (MAI) dari diameter dan tinggi tanaman kenuar (S. johorensis Foxw) di beberapa lokasi penelitian Asal Umur Jrk Tnm Diameter Tinggi MAI-D MAI-T Bibit (thn) (m) (cm) (m) (cm/thn) (cm/thn) 1 PT. SBK Cbt 4 20 x 2,5 5,19 5,58 1,30 1,40 2 PT. SBK Cbt 11 20 x 2,5 14,16 15,39 1,29 1,40 3 PT. ITCIKU Biji 9 10 x 3 6,65 7,53 0,74 0,84 4 KHDTK Sbj Cbt 9 5x5 4,12 4,91 0,45 0,55 5 KHDTK Sbj Cbt 9 5 x 10 4,28 5,35 0,48 0,60 6 KHDTK Lbn Cbt 3 20 x 2,5 1,53 1,96 0,51 0,66 Sumber: diolah dari data primer Keterangan: PT SBK = PT Sari Bumi Kusuma; PT ITCIKU = PT International Timber Corporation Indonesia Kenangan Utama; KHDTK Sbj = Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja; KHDTK Lbn = Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Labanan; MAI-D = riap rata-rata tahunan diameter; Jrk Tnm = Jarak Tanam; Cbt = Cabutan. No.
Lokasi
Tabel 3. Klasifikasi kecepatan tumbuh (riap) tanaman di beberapa lokasi penelitian No
Lokasi
Jenis Tanaman
Asal Bibit
Kisaran Riap (cm/thn)
Klasifikasi Pertumbuhan (Riap)
1 PT. AA S. leprosula Miq Biji 1,41 - 1,75 Sangat Cepat 2 PT. AA S. leprosula Miq Stek 1,49 - 1,51 Sangat Cepat 3 GD S. leprosula Miq Stek 0,95 - 1,46 Normal - Cepat 4 PT. SBK S. leprosula Miq Cbt 1,56 - 1,65 Sangat Cepat 5 PT. SBK S. johorensis Foxw Cbt 1,29 - 1,30 Cepat 6 PT. ITCIKU S. leprosula Miq Biji 0,93 Normal 7 PT. ITCIKU S. johorensis Foxw Biji 0,74 Agak Lambat 8 Long Nah S. leprosula Miq Cbt 1,55 Sangat Cepat 9 Long Nah S. leprosula Miq Stek 1,78 Sangat Cepat 10 BOS Sbj S. leprosula Miq Cbt 0,79 Normal 11 KHDTK Sbj S. johorensis Foxw Cbt 0,45 – 0,48 Agak Lambat 12 KHDTK Lbn S. johorensis Foxw Cbt 0,51 Agak Lambat Sumber: diolah dari data primer Keterangan: PT AA = PT Arara Abadi; GD = Gunung Dahu; PT SBK = PT Sari Bumi Kusuma; PT ITCIKU = PT International Timber Corporation Indonesia Kenangan Utama; BOS Sbj = Balikpapan Orangutan Society Samboja; MAI-D = riap rata-rata tahunan diameter; Jrk Tnm = Jarak Tanam; Cbt = Cabutan.
Dalam penelitian ini terdapat dua lokasi penelitian yang bukan habitat jenis S. leprosula Miq tumbuh, yaitu: lahan gambut di PT. Arara Abadi, Riau dan dataran tinggi di Gunung Dahu, Bogor (Jawa Barat), meskipun jenis ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah (Joker, 2002). Pada umumnya habitat dari S. leprosula Miq adalah di lereng-lereng bukit yang memiliki drainase baik pada tanah-tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning (Deptan, 1976). Hal ini dapat terjadi karena selain perbedaan kondisi lingkungan, juga karena ada perbedaan perlakuan silvikultur yang diterapkan. Seperti halnya perlakuan silvikultur TPTJ di areal PT SBK, dengan pemeliharaan secara intensif memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw karena adanya 77
Pertumbuhan Tegakan Hutan
penambahan bahan organik dari limbah tanaman secara terus menerus. Hal ini juga dapat meningkatkan akumulasi bahan organik pada areal TPTJ dan membantu proses perbaikan atau pemulihan bahan organik tanah (Pamoengkas, 2006). 5.
Model Pendugaan Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan dan hasil suatu tegakan merupakan indikator keberhasilan dari manajemen pembangunan hutan tanaman. Pertumbuhan dan hasil tegakan tergantung pada kondisi tapak (site specific), oleh karena itu pemantauan pertumbuhan dan hasil suatu tegakan harus dilakukan di setiap lokasi pembangunan hutan melalui pembuatan PUP yang secara terus-menerus dengan pengukuran berulang. Berdasarkan hasil penyusunan model hubungan antara diameter dengan volume pohon, dapat disusun model mengenai pendugaan riap volume rata-rata tahunan (MAI-V) untuk S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw pada beberapa lokasi, dengan indikator peubah bebasnya adalah diameter, seperti tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Model pendugaan riap volume rata-rata tahunan (MAI-V) tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di beberapa lokasi penelitian No
Jenis
Model Persamaan
R
R2
SE
1.
S. leprosula Miq (Stek)
MAI-V = 0.0636d2 - 2.1258d + 19
0.898
0.807
1.150
0.991
0.982
0.223
0.986
0.972
0.139
0.969
0.938
0.146
0.978
0.956
0.208
A. Plot Percobaan Gunung Dahu, Bogor
B. IUPHHK-HT PT. Arara Abadi, Riau S. leprosula Miq 1. MAI-V = 0.0082d2 – 0.0701d + 0.2036 (Biji) S. leprosula Miq MAI-V = 0.0011d2.536 (Stek) C. IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma S. leprosula Miq 1. MAI-V = 0.0147d2 – 0.1184d + 0.3699 (Cabutan) 2.
2.
S. johorensis Foxw (Cabutan)
MAI-V = 0.0024d2.6761
D. KHDTK Samboja S. johorensis Foxw 0.987 0.975 0.019 1. MAI-V = 0.0065d2 – 0.0197d + 0.0191 (Cabutan) Sumber: diolah dari data primer Keterangan: MAI-V = riap rata-rata tahunan volume; d = diameter; R = koefisien korelasi; R2= koefisien determinasi; SE= kesalahan baku; F-hit= F hitung; F-tab= F tabel
Model-model pendugaan riap rata-rata tahunan volume pohon pada Tabel 4 mempunyai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi (sekitar 90% atau lebih), hanya lokasi Gunung 78
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Dahu yang koefisien determinasi hanya mencapai 80%, sehingga model-model tersebut dapat digunakan sebagai perangkat kegiatan inventarisasi potensi kayu pada hutan tanaman. Pada Tabel 4 model-model yang telah diperoleh perlu dilakukan validasi kembali, karena langkah validasi ini sangat penting untuk mengetahui kualitas dari model yang telah disusun. Modelmodel tersebut perlu dianalisa lagi agar dapat memberikan informasi yang akurat untuk digunakan. Selain itu, pengukuran ulang terhadap PUP yang telah dibuat perlu dilakukan agar dapat diperoleh data pertumbuhan yang akurat dan saling terkait dengan hasil pengukuran sebelumnya (aplikatif). Karena data pertumbuhan yang dikumpulkan melalui pengukuran berulang pada PUP merupakan seri pertumbuhan, sedangkan yang kumpulkan dengan mengukur PUP secara temporer merupakan seri pertumbuhan abstrak (Alder, 1980).
Dok. Asef KH
a
b
Dok. Asef KH
Gambar 1. (a). Kondisi tanaman S. leprosula Miq di dataran tinggi Gunung Dahu, Bogor; (b). Kondisi tanaman S. leprosula Miq di areal hutan alam produksi PT SBK, Kalteng
Dok. Asef KH
Gambar 2. Kondisi tanaman S. leprosula Miq di lahan gambut PT Arara Abadi, Riau
79
Pertumbuhan Tegakan Hutan
Dok. Asef KH
Gambar 3. Kondisi tanaman S. leprosula Miq di areal PMUMHM PT ITCIKU, Kaltim
6.
Riap Hutan Alam
Pola pertumbuhan individu pohon sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ruang tumbuh dan akan membentuk pertumbuhan tegakan yang berbeda (Oliver dan Larson, 1990; Adam dan Kolbs, 2005; Gersonde dan O’Hara, 2005). Riap (increment) didefinisikan sebagai pertambahan dimensi atau ukuran dari sifat terpilih individu pohon atau tegakan yang terjadi dalam interval waktu tertentu (Prodan, 1968; Davis and Johnson, 1987; Vanclay, 1994; Simon, 2007). Riap tegakan hutan berhubungan dengan jenis vegetasi penyusun, kualita tempat tumbuh, kesehatan pohon, umur atau jangka waktu serta tindakan silvikultur yang dilakukan (Husch et al., 2003). Penyusunan model estimasi pertumbuhan sudah dilakukan sejak 200 tahun yang lalu dalam mendukung penyusunan perangkat manajemen hutan baik hutan alam (hutan tidak seumur) maupun hutan tanaman (hutan seumur) dan masih terus dilakukan perbaikan hingga saat ini (Vanclay, 2003; Henning dan Burk, 2004; Metcalf et al., 2009). Penentuan riap individu maupun tegakan hutan sangat penting dalam pengaturan hasil yang efisien untuk menyediakan model-model pertumbuhan sebagai perangkat kuantitatif dalam perencanaan hutan (Vanclay, 1989). Penilaian dimensi kuantitatif dalam jangka panjang sangat bermanfaat bagi evaluasi tindakan pengelolaan serta merupakan updating data inventarisasi hutan (Garcia, 2001). Dengan mempertimbangkan karakteristik kelompok jenis penyusun tegakan merupakan hal penting dalam mempelajari 80
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
pertumbuhan jenis pohon berdasarkan ekologi dan pembentukan kualitas pohon (Carvalho et al., 2004). Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan di hutan alam sebagai pengganti dimensi umur tanaman walaupun tidak selalu berkorelasi positif (Richards, 1964; Davis dan Johnson, 1987; Davis et al., 2001). Dimensi diameter menjadi penting dalam pengelolaan tegakan hutan karena memiliki sifat yang berkorelasi dengan dimensi pertumbuhan lainnya (misalnya bidang dasar dan volume) dan dapat mudah dalam melakukan pengukuran dan lebih akurat (Gertner et al., 1996). Perhitungan riap diameter periodik (diameter periodic annual increment/PAI) secara umum menggunakan pendekatan rumus Loetsch et al. (1973) dan Husch et al. (2003) berikut: Dimensi kumulatif diameter (cm) periodik selama n tahun
PAI (cm n th-1) =
n tahun
6.1. S. leprosula Miq Dari total 20 pohon sampling untuk jenis S. leprosula Miq dengan limit diameter 10 cm ke atas menunjukkan bahwa pada kondisi hutan primer, riap diameter periodik individu pohon mempunyai rata-rata 1,07 cm/2th. Pada kondisi hutan bekas tebangan mempunyai riap diameter periodik yang lebih besar yaitu 2,33 cm/2th. S. leprosula Miq mempunyai riap diameter rata-rata setelah penebangan yang lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer. Hasil ini sesuai dengan studi pada lokasi penelitian yang sama (hutan Labanan) yang menunjukkan riap diameter hutan bekas tebangan setelah 2 tahun untuk semua jenis menjadi dua kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi primer (Nguyen-The et al., 1998). Riap diameter rataan periodik (cm/2th)
6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
Diameter pohon (cm) Hutan Primer
Hutan bekas tebangan
Gambar 4.Riap diameter rataan periodik (cm/2 th) berdasarkan diameter pohon setinggi dada jenis S. leprosula Miq 81
Pertumbuhan Tegakan Hutan
Distribusi data pohon sampling pada kondisi hutan bekas tebangan tersebar dari diameter 10 cm hingga 50 cm, dengan kecenderungan hubungan antara dimensi diameter terhadap riap diameter secara periodik S. leprosula Miq pada kondisi hutan primer terbentuk persamaan berikut y = 0,0449x2 – 1,3676x + 10,512 dengan koefisien determinasi 0,80, sedangkan pada kondisi hutan bekas tebangan terbentuk persamaan berikut y = 4E-05x3 – 0,0054x2 + 0,1758x + 1,121 dengan koefisien determinasi 0,14. 6.2. S. johorensis Foxw Dari total 62 pohon sampling untuk limit diameter 10 cm keatas menunjukkan bahwa pada kondisi hutan primer, riap rata-rata diameter periodik individu pohon S. johorensis Foxw sebesar 0,67 cm/2th. Pada kondisi hutan bekas tebangan mempunyai riap diameter periodik yang lebih besar yaitu 2,07 cm/2th. Riap diameter rata-rata setelah penebangan akan lebih besar dibandingkan pada kondisi hutan primer, terutama terjadi karena adanya respon pembukaan ruang tumbuh setelah penebangan. Kelompok jenis Dipterocarpaceae secara umum akan mempunyai respon pertumbuhan yang positif terhadap pembukaan rumpang (gap) ruang tumbuh setelah penebangan (Susanty dan Suhendang, 2013). Respon riap yang lebih besar dalam tegakan yang terbuka karena penebangan terutama untuk kelas pertumbuhan pohon tingkat muda (10 - 20 cm), sedangkan pada kondisi hutan primer relatif lebih rendah pada semua kelas diameter. Riap diameter rataan periodik (cm/2th)
6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
Diameter pohon (cm) Hutan Primer
Hutan bekas tebangan
Gambar 5. Riap diameter rataan periodik (cm/2 th) berdasarkan diameter pohon setinggi dada jenis S. johorensis Foxw 82
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Distribusi data pohon sampling lebih didominansi oleh kelas diameter 10 – 20 cm sehingga kecenderungan hubungan antara dimensi diameter terhadap riap diameter secara periodik di hutan alam berdasarkan analisis regresi belum dapat menunjukkan korelasi yang kuat. Persamaan yang terbentuk untuk kondisi hutan primer adalah y = 1E-04x3 – 0,0109x2 + 0,3471x – 2,5155 dengan koefisien determinasi 0,40, sedangkan pada hutan bekas tebangan mempunyai persamaan y = 0,0034x3 – 0,2248x2 + 4,2349x – 22,009 dengan koefisien determinasi 0,10. Pendekatan riap individu pohon memiliki fleksibilitas untuk proyeksi yang lebih luas pada berbagai batasan kondisi. Untuk hutan tropis, model pertumbuhan disusun lebih kompleks berdasarkan ekosistem, komposisi jenis yang tinggi dan tidak relevannya variabel umur (Vanclay, 1995). Sehingga persamaan riap disusun berdasarkan diameter atau bidang dasar yang bersifat reliable untuk digunakan dalam menduga tegakan secara total berdasarkan kondisi tapak (site) dan tegakan itu sendiri. Hasil penelitian di Brazil, Costa Rica, Guyana dan Papua Nugini dengan pengukuran ulang pada plot permanen (3 – 10 tahun di 11 lokasi penelitian) menghasilkan riap diameter individu pohon 0,15 – 1,36 cm th-1 (Alder et al., 2002). Riap diameter individu pohon ini berada pada kisaran yang sama dengan hasil penelitian ini, terutama untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae. Hal ini menunjukkan variasi kondisi tegakan hutan tropis memiliki kisaran riap diameter pohon yang cukup lebar (Silva et al., 2002; Susanty dan Suhendang, 2013). melihat variasi pengaruh atau respon kelompok jenis terhadap variasi kondisi tegakan hutan setelah penebangan (Harcombe et al., 2002; Seng et al., 2004). Respon yang berbeda dari jenis S. johorensis Foxw dan S.leprosula Miq merupakan salah satu tinjauan karakteristik penilaian kuantitatif dimensi tegakan yang penting untuk pertimbangan respon dan penilaian karakteristik jenis tersebut (Phillips et al., 2002; Valle et al., 2006). Adam and Kolbs (2005) menunjukkan adanya perbedaan pola pertumbuhan dari jenis yang sama dan pada lokasi yang sama, perbedaan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (kekeringan, temperatur, kelerengan dan komposisi jenis). Adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan individu pohon dan ruang tumbuh juga menjelaskan bentuk pertumbuhan pada berbagai status dalam tegakan (Gersonde and O’Hara, 2005). Pada kondisi hutan primer riap individu rata-rata dipandang sebagai satu kesatuan tegakan yang miskin riap sehingga tidak terlihat adanya perbedaan riap antara tegakan dengan diameter kecil (tegakan muda) dengan yang berdiameter besar (tegakan 83
Pertumbuhan Tegakan Hutan
tua). Pada tegakan setelah penebangan, respon riap akan berbeda antara tegakan tua dan muda. Hal ini merujuk pada tingkat pembukaan yang optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal dengan memberikan ruang tumbuh (Gourlet and Fleury et al., 2005). 7.
Penutup Hingga saat ini pohon meranti (Shorea sp.) masih menjadi primadona untuk produksi dan dikhawatirkan keberadaannya terancam punah, karena kegiatan penebangan yang tidak terkendali masih terjadi baik secara legal maupun illegal. Melihat realita yang ada, maka hutan alam Indonesia akan mengalami krisis yang kompleks, sehingga perlunya penerapan sistem silvikultur yang baik dan terpantau sebagai pedoman dalam pengelolaan hutan secara lestari. Berkaitan dengan pertumbuhan dan riap dari jenis S.leprosula Miq dan S. johorensis Foxw, untuk meningkatkan pertumbuhannya perlu dilakukan penerapan sistem silvikultur yang tepat, dimulai dari pemilihan bibit tanaman yang unggul. Dilanjutkan dengan penerapan tindakan-tindakan silvikultur lainnya, seperti pemeliharaan tanaman (pembebasan, penjarangan dan pengendalian pohon pesaing). Selain itu, faktor yang mempengaruhi perbedaan pola pertumbuhan jenis tanaman adalah faktor lingkungan seperti kekeringan, temperatur, kelerengan dan komposisi jenis, sehingga penerapan teknik manipulasi lingkungan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Untuk mendapatkan data dan informasi pertumbuhan dan riap tegakan kedua jenis meranti merah ini secara periodik, perlu tetap menjaga dan mengamati plot-plot penelitian atau PUP yang telah dibangun baik secara tahunan atau priodik, sehingga data dan informasi pertumbuhan tegakan di dalamnya dapat terekam dan teranalisa dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Adams HD, Kolbs TE. 2005. Tree growth response to drought and temperature in a mountain landscape in Northern Arizona, USA. J. Biogeogr. Vol.32:1629-1640. Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. Vol.2 : Yield Prediction. FAO. Rome. Alder D, Oavika F, Sanchez M, Silva JNM, van der Hout P, Wright HL. 2002. A comparison of species growth rates from four moist tropical forest region. International Forestry Review. Vol.4 (3) :196-205. Alrasjid, H. 1991. Faktor Kualitas Lahan Pembatas Untuk Pertumbuhan Gmelina arborea. Buletin Penelitian Hutan 540:1-23. Pusat Litbang Hutan. Bogor. 84
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Avery, Thomas E., Burkhart, Harold, E. 1975. Forest Measurement. McGraw-Hill. Inc., New York. Borders, B.E. 1989. System of equations in forest stand modeling. Forest Sci.26:633-642. Borders, B.E., R. L. Bailey. 1986. A compatible system of growth and yield eguations for slash pine fitted with restricted three-stage least sguares. Forest Sci. 32:185-201. Carvalho JOP, Silva JNM, Lopes JCA. 2004. Growth rate of a terra firme rain forest in Brazilian Amazonia over an eight-year period in response to logging. Acta Amaz. 34(2). Clutter, J. L. 1963. Compatible growth and yield models for loblolly pine. Forest Sci. 9:354371. Daniel TW, Helms JA, Baker F. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Djoko Marsono, penerjemah; Oemi HS, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Principles of Silviculture. Darwo dan Mas’ud 1993. Pendugaan Riap Tahunan Rata-rata dan Potensi Volume Sungkai di Propinsi Riau. Buletin Penelitian Kehutanan. Vol. 9 (4). Desember 1993. Davis LS, Johnson NK. 1987. Forest Management. Third Edition. New York (US): McGraw Hill Company. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic and Social Value. Fourth Edition. New York (US): McGrawHill. Deptan. 1976. Vademikum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Efron, B. and Gong, G. 1983. A leisurely look at the bootstrap, the jackknife and crossvalidation. Amer. Statist. 37:36–48. Garcίa O. 2001. Growth and Yield in British Columbia, Background and Discussion. University of Northern British Columbia. Gertner GZ, Parysow P, Guan B. 1996. Projection variance partitioning of a conceptual forest growth model with orthogonal polynomials. Forest Sci. 42:474-486. Gersonde RF, O’Hara KL. 2005. Comparative tree growth efficiency in Sierra Nevada mixed-conifer forests. Forest Ecol Manag. 219:95–108. Glover G. 2008. Growth and yield: How will my forest grow? School of Forestry & Wildlife Sciences. Auburn University. Gourlet-Fleury S, Cornu G, Jesel S, Dessard H, Jourget JG, Blanc L, Picard N. 2005. Using models to predict recovery and assess tree species vulnerability in logged tropical forests: A case study from French Guiana. Forest Ecol Manag. 209:69-86. doi:10.1016/j.foreco.2005.01.010. Harbagung dan D. Wahyono. 1994. Tatacara Pembuatan dan Pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP). Informasi Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Harbagung dan D. Wahyono. 1997. Tata Cara Pembuatan dan Pengukuran Petak Ukur Permanen (PUP) untuk Pemantauan Pertumbuhan dan Riap Hutan Tanaman Industri. Info Hutan No.80/1997. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Harbagung, S. Bustomi, B. E. Siswanto dan Darwo. 2008. Kuantifikasi Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan 85
Pertumbuhan Tegakan Hutan
Tanaman 2008. Harcombe PA, Bill CJ, Fulton M, Glitzenstein JS, Marks PL, Elsik IS. 2002. Stand dynamics over 18 years in a Southern Mixed Hardwood Forest, Texas, USA. J Ecol. 90:947957. Hendromono, Nina M., dan D. Wahyono. 2003. Review Hasil Litbang. Status IPTEK Yang mendukung Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konversi Alam. Bogor. Henning JG, Burk TE. 2004. Improving growth and yield estimates with a process model derived growth index. Can J Forest Res. 34:1274-1282. Husch B., Miller, C.I. and Beers, T.W. 1972. Forest Mensuration. Second Edition. The Ronald Press Company. New York. Husch B., Beers TW, Kershaw Jr JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc. Imanuddin, R. dan D. Wahyono. 2007. Tata Cara Pembuatan dan Pengumpulan Data PUP Untuk Pemantauan Riap dan Pertumbuhan Pada Areal TPTII/SILIN. Prosiding Ekspose dan Gelar Teknologi Hasil-hasil Penelitian “IPTEK untuk Mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak, 11-13 Desember 2007. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Joker, D. 2002. Informasi Singkat Benih: Shorea leprosula Miq. Direktorat Perbenihan Tanaman Kehutanan. Jakarta: Dephut Republik Indonesia. Latifah, S. 2004. Tinjauan Konseptual Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan. Jurusan Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Loetcsh F, F. Zohrer, KE. Haller. 1973. Forest Inventory. Volume II. Translated into English by Panzer KF. Munchen (DE): BLV Verlagsgesellschaft mbH. Mawazin dan H. Suhaendi. 2008. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Diameter Shorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 5 (4) : 381-388. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Mawazin dan H. Suhaendi. 2012. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Diameter Shorea leprosula Miq. Umur Lima Tahun. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 9 (2) : 189-197, 2012. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Metcalf CJE, JS Clark, DA Clark. 2009. Tree growth inference and prediction when the point of measurement changes: modelling around buttresses in tropical forests. J Trop Ecol. Vol.25 : 1–12. Mindawati N, Tiryana T. 2002. Pertumbuhan Jenis Pohon Khaya anthotheca di Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan. No. 632: 47-58. Nguyen, N, V Favrichon, P Sist, L Houde, JG Bertault, N Fauvet. 1998. Growth and mortality pattern before and after logging. In: Bertault JG, Kadir K, editor. Silvicultural Research in a Lowland Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. The Contribution of STREK Project. Jakarta. CIRAD-Forêt-FORDA-PT Inhutani I. : 181-184. Oliver CD, BC Larson. 1990. Forest Stand Dynamics. New York (US): McGraw Hill Inc. Pamoengkas, P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). (Disertasi). Bogor; Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 86
Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty dan Karmilasanti
Pamoengkas, P dan J Prayogi. 2011. Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq.) Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 2 (1) : 9-13 April 2011. Phillips PD, I Yasman, TE Brash, PR van Gardingen. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). Forest Ecol Manag. 157:205216. Prodan, M. 1968. Forest Biometrcs. Translated in English by S. H. Garner. Pergamon Press, Oxford. Richards PW. 1964. The Tropical Rain Forest. An Ecological Study. New York (US): Cambridge at The University Press Company. Samuelson, P.A. 1976. Economics of forestry in an evolving society. Economic. Inquiry. Vol.14: 466-492. Schumacher, F.X., 1939, A New Growth Curve and its Application to Timber Yield Studies. Journal of Forestry Vol.37:819-820. Seng HW, R Wickneswari, MN Shukor, MC Mahani. 2004. The effects of the timing and method of logging on forest structure in Peninsular Malaysia. Forest Ecol Manag. 203:209-228. Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Yogyakarta. Silva RP, J dos Santos, ES Tribuzy, JQ Chambers, S Nakamura, N Higuchi. 2002. Diameter increment and growth patterns for individual tree growing in Central Amazon, Brazil. Forest Ecol Manag. 166:295-301. Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Penerbit Pustaka Pelajar. Siswanto, B.E. 1988. Tabel isi pohon meranti (Shorea spp.) di KPH Rokan, Riau, Sumatera. Buletin Penelitian Hutan No. 500. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Siswanto, B.E. dan Imanuddin, R. 2008. Model Pendugaan Isi Pohon Agathis loranthifolia Salisb di Kesatuan Pemangkuan Hutan Kedu Selatan, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V (5) : 485-496, 2008. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sitompul MS, dan B Guritno,. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. UGM Press. Spurr, S. H. 1952. Forest Inventory. The Ronald Press Company. New York. Susanty FH, Suhendang E., 2013. Riap Individu Dan Tegakan Periodik Hutan Dipterocarpaceae Setelah Penebangan. Prosiding Kementerian Kehutanan Badan Litbang Kehutanan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda Suyana A, dan Abdurrachman. 2011. Kondisi Tegakan Meranti Tembaga (Shorea leprosula) di Kawasan Bekas Kebakaran Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol. 5 (1), Juni 2011. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Valle D, S Mark, V Edson, G James, S Marcio. 2006. Identifying bias in stand-level growth and yield estimations: A case study in Eastern Brazilian Amazonia. Forest Ecol Manag. 236:127-135. Vanclay JK. 1989. A growth model for North Queensland rainforests. Forest Ecol Manag. 27:245-271.
87
Pertumbuhan Tegakan Hutan
Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. United Kingdom. Vanclay JK. 1995. Growth models for tropical forests: A synthesis of models and methods. Forest Sci. 41:7-42. Vanclay JK. 2003. Growth modelling and yield prediction for sustainable forest management. Malays For. 66(1):58-69. Wahyudi, dan S Panjaitan,. 2011. Model Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Shorea leprosula pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Teknik SILIN. Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol. 5 (2), Desember 2011. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Wiroatmodjo, P. 1984. Model Perhitungan Pertumbuhan dan Hasil Kayu Bulat Tanaman Pinus merkusii di Jawa. Disertasi Doktor Pada Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
88
Bab
Hama, Penyakit Dan Gulma Ngatiman dan M. Fajri
8
1.
Pendahuluan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw merupakan dua diantara delapan jenis tanaman hutan yang diprioritaskan pada pembangunan hutan tanaman jenis Dipterocarpaceae (Subiakto et al., 2007). Dalam pengembangan kedua jenis meranti ini sebagai jenis tanaman potensial, seringkali ditemukan permasalahan hama, penyakit dan gulma, termasuk gangguan satwa liar, baik pada bibit di persemain maupun tanaman di lapangan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang serangan hama (ulat daun, ulat kantong dan rayap) pada bibit S. leprosula Miq di persemaian dan serangan hama tumor buah, penggerek pucuk, pengisap cairan pada batang, rayap, kumbang dan serangan penyakit tanaman di lapangan. Serangan hama pada tanaman S. johorensis Foxw seperti penggerek pucuk dan gangguan satwa liar (tupai, babi dan kijang) pada tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw serta gangguan gulma pada tanaman di lapangan. 2. Hama 2.1. Pengertian Hama adalah semua organisme yang tergolong pada jenis serangga/satwa yang dapat menimbulkan kerusakan pada biji, bibit, tanaman muda dan tua yang secara ekonomis sangat merugikan karena berada di atas ambang ekonomis (Natawiria et al., 1989). Gejala (symptom) ialah perubahan atau penyimpangan dari keadaan normal yang ditunjukkan oleh tumbuhan akibat adanya serangan hama/penyebab penyakit (patogen) (Mardji, 2003). Tanda (sign) ialah semua pengenal dari penyakit yang berbentuk alat vegetatif dan reproduktif dari penyebab penyakit. Bentuk vegetatif seperti: miselium, appresorium, haustorium, dll, sedangkan alat reproduktif seperti tubuh buah (fruit body), spora, dll, serta tanda serangan berupa telur, larva, kepompong, imago (Mardji, 2003). 2.2. Hama Bibit di Persemaian 2.2.1. Ulat daun
Hama daun seperti ulat daun dari famili Lymantriidae, berbentuk larva memakan seluruh daun termasuk tulang daun primer. Ulat daun ini sering ditemukan menyerang daun pada waktu bibit masih di persemaian maupun tanaman muda di lapangan. Larva dan imago dari famili Lymantriidae dapat dilihat pada Gambar 1. 89
Hama, Penyakit dan Gulma
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 1. Ulat pemakan daun; (a) larva, (b) imago (kupu) 2.2.2. Ulat Kantong
Ulat kantong dari famili Psychidae menyerang daun S. leprosula Miq dalam bentuk larva yang terdapat pada kantong, memakan daun pada seluruh bagian daun termasuk tulang daun primer. Larva dan imago dari ulat kantong (Psychidae, Lepidoptera) disajikan pada Gambar 2.
Dok. Ngatiman
a
Dok. Ngatiman
b
c
Dok. Ngatiman
Gambar 2. Ulat kantong pemakan daun; (a) ulat kantong, (b) larva dan (c) imago (ulat kantong)
Larva hidup di dalam kantong (ukuran kantong 4 – 7 cm) yang terbuat dari jalinan sutera yang luarnya terdiri dari potongan-potongan daun yang sudah kering atau potonganpotongan ranting yang kecil. Imago betina tidak bersayap dan tetap tinggal di dalam kantong. Siklus hidupnya berlangsung selama 3½ - 5 bulan (Natawiria, 1989). Berbagai jenis ulat kantong diketahui aktif makan pada pagi hari (07.00 – 09.00) dan sore hari saat matahari tidak terik lagi. Ulat kantong makan dengan cara menjulurkan kepalanya dan kaki yang bertumpu 90
Ngatiman dan M. Fajri
pada daun dengan posisi kantong menggantung ke bawah atau tegak ke arah atas (Suharti et al., 2000). Untuk mengendalikan serangan ulat kantong pada bibit S. leprosula Miq di persemaian dapat digunakan insektisida berbahan aktif deltametrin 25 g/ℓ dengan dosis 1,5 mℓ/ℓ air dan ditambahkan dengan bahan perekat dan perata cittowet 2,5 mℓ. Larutan insektisida disemprotkan merata ke seluruh permukaan daun. Penyemprotan dapat dilakukan 2 – 4 minggu sekali (Ngatiman et al., 2013). Pengendalian ulat kantong pada bibit di persemaian atau tanaman muda (tinggi kurang lebih 2 m) digunakan insektisida nabati seperti larutan rebusan kulit buah mahoni atau perasan biji buah mahoni, perasan umbi gadung dan neemazal (Suharti et al., 2000). 2.2.3. Rayap
Rayap menyerang pada pangkal batang hingga ujung akar sehingga kulitnya hilang menyebabkan transfer makanan terputus dan akhirnya bibit mengalami kematian. Serangan rayap pada bibit S. leprosula Miq di persemaian B2PD (Samarinda) mencapai 8,1%. Jenis rayap yang menyerang bibit belum teridentifikasi, dan bentuk kerusakan bibit akibat serangan rayap dapat dilihat pada Gambar 3 (Ngatiman, 2010). Pengendaliannya memonitor bibit di persemaian untuk mengantisipasi timbulnya hama sedini mungkin.
Dok. Ngatiman
Gambar 3. Ujung perakaran terkelupas akibat serangan rayap
2.3. Hama Tanaman di Lapangan 2.3.1. Tumor Buah
Pada tanaman S. leprosula Miq di KHDTK Samboja dan sekitarnya ditemukan serangan tumor buah (seperti buah melinjo dan rambutan) dan tumor cabang. Serangan tumor buah tidak mengakibatkan kematian tanaman, hanya mengakibatkan 91
Hama, Penyakit dan Gulma
daun meranggas dan ranting kering yang lambat laun akan bertunas kembali, sedangkan serangan tumor cabang dapat mengakibatkan kematian (Gambar 4).
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
c
d
e
f
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 4. Serangan tumor buah pada S. leprosula Miq; (a) Tumor buah melinjo muda dan tua pada pucuk pohon S. leprosula Miq, (b) Telur serangga pada tumor buah melinjo yang masih muda, (c) Kutu jantan tumor buah melinjo, (d) Kutu betina tumor buah melinjo, (e) Tumor buah rambutan dan (f) Tumor cabang
Menurut Arruan (2001), pada tanaman S. leprosula Miq termasuk di KHDTK Samboja ditemukan serangan hama antara 92
Ngatiman dan M. Fajri
lain: (1) hama pemakan daun, (2) tumor buah melinjo, (3) Tumor buah rambutan (4) tumor cabang, (5) rayap dan (6) bajing atau tupai. Selanjutnya khusus hama tumor buah melinjo, penyebabnya adalah lalat pucuk (Agromyzidae, Diptera), yang menyerang pada pucuk tanaman. Awal terjadinya tumor buah pada pucuk tanaman diduga serangga betina masuk pada pucuk tanaman yang masih berupa kuncup dan mengisap jaringan titik tumbuh tanaman dan meletakkan telur di dalam kuncup tersebut. Karena telur kecil, sehingga mudah terbungkus oleh jaringan tanaman dan terjadi pembengkakan (tumor) berbentuk buah melinjo dan buah rambutan (Arruan, 2001). Tanaman S. leprosula Miq di Samboja terserang tumor buah melinjo dan tumor buah rambutan serta tumor cabang, khusus tumor cabang serangannya dapat mengakibatkan kematian (Ngatiman dan Armansah, 2006). Pengendalian untuk menekan serangan tumor buah pada tanaman meranti telah dilakukan dengan cara melakukan pemangkasan semua percabangan pada pohon dengan menyisakan sedikit tajuk bagian atas saja (Gambar 5). Dengan cara memangkas percabangan ini ternyata tidak efektif. Karena setelah cabang yang dipangkas bertunas/bersemi, tunas tersebut terserang tumor buah lagi. Hal ini disebabkan pada tajuk bagian atas yang tidak dipangkas tersebut masih terdapat tumor buah dan berkembang biak (Ngatiman dan Budiono, 2008).
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 5. Pemangkasan tajuk pada tanaman S. leprosula Miq; (a) Sebelum dilakukan pemangkasan, (b) Sesudah dilakukan pemangkasan
Untuk menekan serangan tumor buah pada tanaman S. leprosula Miq adalah dengan cara mengurangi tumor buah pada percabangan tanpa harus memangkas percabangan yang mempunyai resiko tinggi terhadap kematian. Di samping itu mengurangi penyebab tumor buah dengan cara memetik dan membakar tumor buah yang terdapat pada bibit di persemaian merupakan cara yang efektif agar tidak berkembang biak. Tumor 93
Hama, Penyakit dan Gulma
buah dapat dijumpai pada bibit di persemaian baik yang berasal dari cabutan maupun dari stek pucuk (Ngatiman dan Budiono, 2008). 2.3.2. Hama Penggerek Pucuk dan Cabang
Hama penggerek pucuk dan cabang ditemukan pada tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw umur satu tahun di KHDTK Labanan (Kaltim). Akibat serangannya, pucuk tanaman mati kering pada tingkat serangan yang masih ringan. Pada pucuk yang kering tersebut tidak ditemukan larva, terkecuali larva tersebut sedang aktif menggerek (Gambar 6) (Ngatiman et al., 2011). Larva penggerek pucuk umumnya tetap tinggal dalam satu pucuk dan apabila pucuk pohon inang terlalu kecil atau pendek, pucuk cepat mati dan apabila pucuk yang digerek terlalu keras, larva akan berpindah ke pucuk lain (Beeson, 1919).
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 6. Hama pucuk; (a) Larva pada batang dan (b) Pucuk mati dan tunas baru
Serangan hama penggerek pucuk dan cabang pada pohon muda biasanya lebih membahayakan daripada serangan pada pohon dewasa. Serangan hama ini akan mempengaruhi bentuk pohon dan riapnya berkurang sehingga kualitas dan volume pohon kayu pertukangan yang dihasilkan akan menurun. Kerusakan berat sering terjadi bila serangga menggerek ke dalam pucuk terminal, karena pucuk tersebut merupakan tempat pertumbuhan meninggi dari pohon (Husaeni, 2001). Serangan penggerek pucuk pada pohon dalam tingkat pancang dan tiang menimbulkan kerusakan yang cukup berarti dan akibat serangan hama ini akan terjadi kematian pucuk, dan beresiko tumbuhnya tunas-tunas samping (Natawiria, 1989). Pengendaliannya belum ditemukan cara yang efektif karena masih kurangnya pengetahuan tentang bio-ekologi serangga tersebut (Husaeni, 2001).
94
Ngatiman dan M. Fajri
2.3.3. Hama Pengisap Cairan Batang
Serangga pengisap batang tanaman muda S. leprosula Miq umur 2 dan 5 tahun adalah Suracarta sp (Cercopidae, Coleoptera). Dalam bentuk imago mengisap cairan pada batang, pada waktu mengisap cairan pada batang sekaligus bagian ekor mengeluarkan cairan. Tanaman muda yang diisap cairannya pada batang tersebut belum menimbulkan kerugian, karena tanaman tetap hidup. Namun pada tanaman umur 5 tahun akibat pembuangan cairan yang keluar dari tubuh serangga tersebut mengakibatkan batang pohon menjadi hitam (Gambar 7).
a Dok. Ngatiman
b Dok. Ngatiman
c Dok. Ngatiman
Gambar 7. H ama pengisap cairan batang; (a) Suracarta sp mengisap cairan batang, (b) Bekas isapan Suracarta sp pada batang, mengeluarkan resin kental, (c) Batang pohon menjadi hitam, akibat cairan
Serangga Suracarta sp. (Cercopidae, Hemiptera) ditemukan mengisap cairan pada batang jenis S. leprosula Miq umur dua tahun yang berasal dari stek dan biji di PT ITCI Kartika Utama/ ITCIKU. selain itu ditemukan pada tanaman berasal dari stek umur enam tahun dari jenis yang sama. Isapan serangga Suracarta sp. pada batang jenis meranti tersebut tidak menimbulkan kerugian, hanya saja lubang bekas isapan pada batang S. leprosula Miq mengeluarkan resin yang mengeras serta kulit batang menjadi hitam akibat cairan yang dikeluarkan dari tubuhnya (Ngatiman, 2012). Pengendaliannya melakukan monitoring sejauh mana kerusakan yang ditimbulkannya. 2.3.4. Rayap
Rayap Coptotermes sp (Rhinotermitidae, Isoptera) merupakan hama yang potensial menyebabkan kerugian. Ciriciri serangannya adalah adanya kerak tanah yang membungkus kulit batang hingga beberapa meter di atas tanah. Serangan Coptotermes sp tersebut mengakibatkan kematian (daun kering dan rontok serta batang pohon patah) seperti pada Gambar 8.
95
Hama, Penyakit dan Gulma
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
c
d
e
f
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 8. Serangan Coptotermes sp; (a) Gejala serangan awal, (b) Batang pohon patah, (c) dan (d) Bentuk kerusakan pohon, (e) Sarang rayap dan (f) Koloni rayap, telur rayap dan neoten
Serangan rayap (Coptotermes sp.) ditemukan dan menyerang pada tanaman S. leprosula Miq di KHDTK Sebulu dan KHDTK Samboja (Kaltim). Hama ini menyerang tanaman yang masih hidup dan yang sudah mati. Gejala serangan rayap ditandai dengan adanya kerak tanah yang menutup batang mencapai ketinggian hingga 8 m lebih. Serangan rayap dapat mengakibatkan kematian, karena rayap memakan kayu gubal. 96
Ngatiman dan M. Fajri
Serangan rayap ini cenderung meluas pada pohon yang ada di sekitarnya bila tidak dilakukan pengendalian (Ngatiman et al., 2009). Pengendalian serangan rayap pada tanaman S. leprosula Miq menggunakan insektisida berbahan aktif karbofuran dengan cara menaburkan insektisida tersebut di sekitar pangkal pohon yang terserang. Disamping itu juga menggunakan larutan jamur Beauveria bassiana dengan cara menyemprot batang pohon yang terserang rayap. Kedua cara ini juga belum memberikan hasil yang diharapkan. Usaha yang dapat dilakukan untuk menekan serangan rayap pada tanaman meranti adalah melakukan monitoring dan pemeliharaan tanaman secara intensif. Di samping itu membersihkan tunggak-tunggak dan batang yang terdapat pada lantai hutan yang dapat menjadi inang dari rayap serta membakar tunggak-tunggak, batang dan sarang sekunder rayap agar tidak berkembang biak. Karena di dalam sarang sekunder tersebut terdapat telur yang nantinya akan meningkatkan populasi rayap (Ngatiman et al., 2011). 2.3.5. Kumbang Scarabaeidae
Kumbang Scarabaeidae dalam bentuk imago menyerang/ memakan daun pada tanaman muda dan pohon yang tumbuh secara alami di kawasan hutan. Imago menyerang/memakan daun aktif pada malam hari dan pada siang hari kurang aktif, terkecuali pada sore hari matahari sudah mulai terbenam. Imago pada siang hari berdiam di balik dedaunan S. leprosula Miq dan bila pohon digoyang, maka imago tersebut akan berjatuhan ke lantai hutan. Serangan imago dari kumbang Scarabaeidae menyebabkan daun gundul (Gambar 9).
a Dok. Ngatiman
b
c Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 9. Kumbang Scarabaeidaea; (a) Imago, (b) Tajuk tanaman S. leprosula Miq gundul dan (c) Bentuk serangan pada daun S. leprosula Miq
97
Hama, Penyakit dan Gulma
Kerusakan pada daun akan menyebabkan terganggunya proses fotosintesis, pertukaran gas, evaporasi dan fungsi pelindung dari pohon. Penggundulan pohon oleh hama menyebabkan pohon mudah diserang oleh hama lain atau oleh penyakit. Penggundulan yang berulang-ulang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pohon (Natawiria, 1989). Larva dari suku Scarabaeidae dikenal dengan nama gayas, embug, uret atau kuuk, hidup sebagai pemakan akar, sedangkan kumbangnya sering menimbulkan kerusakan pada daun. Contoh Holotrichia helleri, Leucophalia rorida dan Lepidoptera stigma. Mulai stadium telur sampai berakhirnya stadium pupa, hidup di dalam tanah (Natawiria, 1989). Pengendaliannya secara mekanis dan kimia. Penangkapan dan pengumpulan kumbang yang keluar dari tanah terutama pada sore hari, dan penyemprotan dengan insektisida pada bedeng-bedeng persemaian (Intari dan Natawiria, 1973). 2.4. Hama Buah atau Biji Hama yang menyerang buah atau biji S. leprosula Miq yang masih di pohon maupun yang sudah jatuh di lantai hutan adalah Alcidodes sp. Jenis kumbang ini meletakkan telur pada buah muda yang masih berada di pohon dengan cara membuat tusukan pada buah. Larva menetas langsung memakan daging buah dan selanjutnya menjadi imago di dalam buah. Untuk proses larva hingga menjadi imago dari jenis Alcidodes sp semua daging buah habis dimakan (Ngatiman, 2010). Buah yang rusak dan kumbang Alcidodes sp disajikan pada (Gambar 10).
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 10. Hama buah; (a) Kerusakan buah, (b) Alcidodes sp
Kumbang moncong dari marga Alcidodes dan Nanophyes diketahui menyerang buah Dipterocarpaceae. Kumbang menggerek biji hingga mencapai kotiledon dan di ujung liang 98
Ngatiman dan M. Fajri
gerek ini diletakkan telurnya. Peletakkan telur dilakukan pada buah yang masih muda. Tergantung kepada besar kecilnya ukuran tubuhnya, larva memakan sebagian atau seluruh kotiledon. Biasanya buah yang diserang jatuh sebelum larva berubah menjadi pupa (Natawiria, 1989). Serangan hama terhadap lembaga pada biji lebih fatal bila dibandingkan dengan serangan hama pada perikarp. Serangan hama pada biji atau buah yaitu terdapat lubang-lubang pada buah, perubahan warna pada buah, buah berguguran, terdapat butiran-butiran kotoran pada liang gerek, eksudasi resin dari luka pada buah (Natawiria, 1989). Pengendalian secara kimiawi mungkin dapat dilakukan yaitu menggunakan insektisida sistemik (Husaeni, 2001). 2.5. Satwa Liar Hama lain yang sering ditemukan di lapangan pada tanaman S. leprosula Miq adalah satwa liar seperti babi, kijang dan tupai. Semua serangan satwa liar tersebut dapat mengakibatkan kematian. 2.5.1. Babi hutan (Sus barbatus)
Pada tanaman muda jenis S. leprosula Miq sering ditemukan kerusakan akibat serangan babi hutan seperti batang patah, di samping itu bila di sekitar pangkal batang digusur tanahnya oleh babi hutan, maka tanaman akan mati, karena akar tersembul keluar (Gambar 11).
b
a
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 11. Kerusakan akibat babi hutan; (a) Batang tanaman patah dan bersemi kembali dan (b) Tanaman mati, karena tanahnya dibongkar
Permasalahan dalam penanaman di lapangan adalah adanya serangan satwa liar seperti babi hutan. Babi hutan merusak tanaman muda mengakibatkan batang patah, bahkan perakaran tersembul di permukaan tanah, bekas pendangiran tanahnya 99
Hama, Penyakit dan Gulma
digusur, meskipun sudah ditutup dengan mulsa dari rerumputan (Yodha, 2007). Kerusakan yang ditimbulkan babi hutan umumnya terjadi pada pangkal batang, leher akar dan perakaran. Pohon yang masih kecil kadang-kadang sampai tumbang karena tanah di sekitarnya terbongkar. Babi hutan mengorek-ngorek dan menggali tanah dalam usahanya untuk mencari pakan sepeti umbi-umbian, cacing tanah dan serangga yang terdapat di dalam tanah misalnya uret dan pupa dari jenis serangga tertentu (Natawiria, 1989). 2.5.2. Kijang (Cervus sp)
Kijang juga dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman muda S. leprosula Miq seperti batang terkelupas. Bila kulit batang yang terkelupas sedikit saja tanaman akan tetap hidup, tetapi bila kulit batang terkelupas hingga melingkar batang dapat mengakibatkan kematian (Ngatiman et al., 2013). Bentuk serangan kijang dapat dilihat pada Gambar 12.
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 12. Kerusakan akibat kijang; (a) batang terkelupas tanaman tetap hidup, (b) Batang terkelupas melingkar tanaman mati
Rusa/kijang, selain makan daun-daunan, juga makan kulit kayu yang masih muda terutama kulit tingkat pancang dan tiang. Kerusakan pada kulit pohon terjadi selain karena kulit tersebut dimakan tetapi juga karena rusa sering menggesek-gesekan tubuhnya atau menggesekan kepalanya pada pohon. Luka-luka pada pohon tersebut merupakan jalur masuk bagi jasad renik patogen atau hama sekunder (Natawiria, 1989). 2.5.3. Tupai (Callosciurus notatus)
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tupai pada tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw di PT Inhutani II, Pulau 100
Ngatiman dan M. Fajri
Laut, Kalimantan Selatan adalah kulit batang terkelupas. Pada batang pohon yang agak besar biasanya kulit yang terkelupas tidak melingkar batang sehingga tanaman tetap hidup, sedangkan pada tanaman muda yang diameter batangnya masih kecil, bila kulit yang terkelupas hingga melingkar batang maka dapat mengakibatkan tanaman mati. Di samping itu tupai juga sebagai predator dari buah tumor melinjo dari tanaman S. leprosula Miq, di mana tupai tersebut memakan telur yang ada dalam buah tersebut dengan cara menggigit buah tersebut (Gambar 13).
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
c
d
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 13. Kerusakan akibat tupai. (a) Batang pohon S. leprosula Miq yang kulitnya terkelupas, (b) Batang pohon S.leprosula Miq mengalami penyembuhan, (c) Telur dalam tumor buah melinjo dan (d) Bekas gigitan tupai pada tumor buah melinjo setelah memakan telur serangga di dalamnya.
Tupai menyerang tanaman S. leprosula Miq di persemaian UUCD Samboja, di mana tupai tersebut memakan kulit batang muda hingga terkelupas. Selain itu tupai bertindak sebagai predator atau pemangsa telur, larva, pupa dan imago yang terdapat di dalam tumor buah melinjo (Arruan, 2001). Bajing atau tupai, sering ditemukan di daerah pertanian, sangat merusak terhadap pancang dan pohon muda. Bajing terutama menyerang dahan dan pucuk, makan kulit muda 101
Hama, Penyakit dan Gulma
hingga terkelupas dan sering menyebabkan terjadinya mati ujung. Pohon yang sampai saat ini telah dilaporkan diserang oleh bajing adalah Aghatis loranthifolia, Paraserianthes falcataria, Azadirachta excelsa, Cedrella spp, Flidersia brayleana, Khaya spp, Maesopsi emini, Pinus caribaea, P. insularis, P. merkusii dan Swietenia macrophylla (Natawiria, 1989). 3. Penyakit 3.1. Pengertian Penyakit adalah terjadinya gangguan proses fisiologis dari tanaman (meliputi bagian biji, bunga, buah, daun, pucuk, cabang, batang dan akar) sebagai akibat terganggunya fungsi atau bentuk jaringan atau organ tanaman oleh penyebab penyakit (Tarr, 1972). 3.2. Penyakit Bibit di Persemaian 3.2.1. Penyakit yang diakibatkan oleh jamur
Semai S. leprosula Miq umur satu tahun di persemaian B2PD (Samarinda) terserang jamur yang mengakibatkan kematian (jenis jamur belum teridentifikasi) dan serangannya mencapai 69,4%. Gejala serangan awal terlihat jamur tersebut tumbuh di permukaan polibag berwarna kehijauan hingga kehitaman. Jamur terus berkembang dan menempel pada leher akar serta selanjutnya berkembang membentuk badan buah hingga ke bagian atas batang. Badan buah dari jamur ini kenyal dan mengandung air. Serangan berat di mana badan buah sudah membungkus batang semai dapat mengakibatkan kematian (Gambar 14). Selain menyerang bibit S. leprosula Miq, juga ditemukan menyerang bibit lain pada umur yang sama dari jenis S. pinanga, S. stenoptera, S. gisberstiana dan S. macrophylla (Ngatiman, 2012).
a Dok. Ngatiman
b
c Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 14. Serangan jamur pada bibit S. leprosula Miq di persemaian; (a) Gejala serangan awal, (b) dan (c) Serangan yang sudah berlanjut/berat. 102
Ngatiman dan M. Fajri
Penyakit lain yang ditemukan pada bibit S. leprosula Miq umur diatas satu tahun dan siap tanam adalah jamur yang terdapat pada leher akar dan mengakibatkan kulit batang membusuk serta akhirnya bibit
mati dengan diawali daun layu, kering dan rontok. Kematian bibit dapat mencapai 51,6% dan jenis jamurnya belum teridentifikasi (Ngatiman, 2010). Bentuk serangan jamur pada bibit S. leprosula Miq dapat dilihat pada Gambar 15. Pengendaliannya
a
b
Dok. Ngatiman
Gambar 15. Serangan jamur pada bibit S. leprosula Miq di persemaian; (a) Bibit sehat, (b) Bibit yang terserang jamur ditandai warna putih kotor pada leher akar.
Untuk menekan kematian bibit yang terus bertambah, maka dilakukan seleksi bibit yang sehat dan menyusun dalam bedeng agak jarang (tidak berdempetan) agar permukaan polybag tidak terlalu lembab dan basah, sehingga tidak mudah terinfeksi jamur patogen (Ngatiman, 2010). 3.3. Penyakit Tanaman di Lapangan 3.3.1. Penyakit Bercak Daun
Pada tanaman S. johorensis Foxw umur 2 tahun ditemukan serangan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp (Ngatiman et al., 2008). Bercak daun diawali berupa titik kecil berbentuk bulat berwarna coklat kemerahan tersebar di seluruh permukaan daun. Pengendaliannya melakukan sanitasi dan eradikasi dengan membersihkan gulma dan serasah (Anggraeni dan Suharti, 1996). Bercak daun pada S. johorensis Foxw dan bentuk spora dari Fusarium sp disajikan pada Gambar 16.
103
Hama, Penyakit dan Gulma
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman dan Illa
Gambar 16. B entuk spora: (a) Daun S. johorensis Foxw yang terserang bercak daun, (b) Bentuk spora dari Fusarium sp. 3.3.2. Penyakit Batang
Penyebab penyakit pada batang tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw umur 2 tahun belum diketahui, namun serangannya mengakibatkan kematian. Gejala serangan diawali daun layu pada percabangan dan selanjutnya daun kering dan rontok serta tanaman mati. Pengendaliannya dengan cara mencabut dan membakar pada tanaman yang terserang penyakit. Tanda serangan adalah adanya miselium jamur berwarna putih kotor yang terdapat pada kulit pohon bagian pangkal dan mengakibatkan kulit batang menjadi lunak dan busuk seperti pada Gambar 17.
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 17. Serangan jamur pada pangkal batang menyebabkan kematian. (a) Pangkal batang tertutup meselium jamur berwarna putih kotor, (b) Kulit batang menjadi busuk 3.3.3. Penyakit Mati Pucuk
Mati pucuk adalah kematian yang dimulai dari ujung tanaman atau titik tumbuh yang terus menjalar ke bagian yang lebih tua. Mati pucuk adalah mati bertahap artinya kematian bertahap 104
Ngatiman dan M. Fajri
mulai dari pucuk, cabang, daun, batang dan akar. Serangan penyakit mati pucuk di Demplot km 7 mencapai 12,3%. Gejala serangannya daun rontok mulai dari pucuk ke batang bawah dekat permukaan tanah. Bila batang berwarna coklat berarti batang sudah mati, tetapi bila batang berwarna hijau berarti batang masih hidup. Mati pucuk mengakibatkan pertumbuhan merana dan pada bagian yang masih hidup tumbuh tunas-tunas baru (Arruan, 2001). Mati pucuk sering terjadi karena kombinasi antara serangan jamur dan hama (Rahayu, 1999). 3.3.4. Penyakit Kanker Batang
Penyakit kanker batang terjadi pada batang dekat permukaan tanah dan pada bekas cabang kering dan mati. Penyakit ini terjadi karena luka pada batang tidak segera tertutup oleh kallus, sehingga dimanfaatkan organisme parasit untuk masuk ke bagian tanaman yang luka, ukurannya lebih besar dari bagian yang tidak terserang. Tingkat serangan masih ringan dengan intensitas serangan 17,4% di Demplot km 7, Samboja (Arruan, 2001). Penyebab penyakit kanker batang pada S. leprosula Miq dan Dryobalanops becarrii di Bukit Soeharto adalah jamur dari kelas Basidiomycetes. Pada serangan yang sudah parah, walaupun lukanya dapat disembuhkan dengan pembentukan kallus, tetapi karena kayu gubalnya sudah terlanjur luka dan busuk, sehingga dapat menurunkan kualitas kayu dan menjadi jalan yang baik bagi rayap untuk menyerang tanaman yang masih hidup (Mardji, 1992). Pengendaliannya dengan pemusnahan terhadap tanaman yang sudah terserang dengan cara membakarnya. Selain itu melakukan pengamatan setiap saat untuk mengantisipasi timbulnya penyakit sedini mungkin (Suharti et al., 1998). 3.3.5. Penyakit Kerdil
Gejala penyakit kerdil adalah batang kecil dan pendek bila dibandingkan yang tumbuh normal, cabang dan daun sedikit, daun keriting, terdapat banyak ranting (sapu setan). Serangan penyakit kerdil di Demplot km 7 mencapai 3,8%. Akibat serangan penyakit kerdil tersebut mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi sangat terhambat dan tidak dapat tumbuh normal (Arruan, 2001). Penyebab penyakit kerdil tersebut diduga adalah virus seperti dijelaskan oleh Mardji (1992), bahwa gejala serangan virus adalah terjadi perubahan warna, daun keriting, tanaman kerdil, perubahan bentuk batang, percabangan yang berlebihan (sapu setan) dan pertumbuhan daun dan cabang yang menggerombol. 105
Hama, Penyakit dan Gulma
4. Gulma 4.1. Pengertian Gulma adalah jenis-jenis penyusun vegetasi yang tidak diinginkan dan merupakan tumbuhan pengganggu bagi tanaman pokok melalui kompetisi (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Gulma adalah tumbuhan pengganggu yang tidak pada tempatnya dan mengadakan kompetisi dengan tanaman pokok atau tumbuhan yang nilai negatifnya melebihi nilai positifnya (Nazif dan Pratiwi, 1989). Tumbuhan apa saja dapat dipandang sebagai tumbuhan pengganggu bila tumbuhnya tidak sesuai atau tidak dikehendaki, atau semua vegetasi yang tumbuh tetapi tidak disukai kehadirannya dapat dikategorikan sebagai gulma (Wibowo, 2006). Gulma adalah tumbuhan yang mengganggu dan gulma merupakan bagian dari organisme pengganggu tanaman (OPT), di samping hama dan penyakit (Sembodo, 2010). 4.2. Manfaat Gulma Gulma di samping merugikan juga memberikan manfaat bagi manusia (Sukman dan Yakup, 1991) antara lain: a. Menambah kesuburan tanah terutama dalam hal bahan organik seperti Ageratum conyzoides. b. Mencegah atau mengurangi timbulnya erosi seperti Mimosa invisa. c. Sebagai bahan makanan ternak seperti Panicum maximum. d. Bahan penutup tanah dalam bentuk mulsa atau serasah seperti Imperata cylindrica. e. Sebagai bahan industri kertas seperti Eichhornia crassipes. f. Sebagai medium penanaman jamur merang seperti I. cylindrica. g. Sebagai bahan obat tradisional seperti M. invisa (untuk penawar racun ular). h. Sebagai bahan makanan atau sayuran seperti Cyperus rotundus (umbinya). i. Sebagai tanaman pagar atau hias seperti Crotalaria anagyroides. j. Sebagai penghasil gas bio dan bahan kerajinan seperti E. crassipes. 4.3. Kerusakan Akibat Gulma Kemampuan tanaman bersaing dengan gulma ditentukan oleh spesies gulma, kepadatan gulma, saat dan lama persaingan, cara budidaya dan varietas yang ditanam serta tingkat kerusakan tanah (Sukman dan Yakup, 1991). Kerusakan yang 106
Ngatiman dan M. Fajri
dapat ditimbulkan oleh gulma adalah pohon/tanaman tertekan pertumbuhannya, perubahan bentuk (tajuk, batang), pohon/ tanaman mati dan jumlah tegakan menurun (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Selanjutnya gulma selain dapat mengganggu dalam berkompetisi dengan hal air, zat hara, sinar matahari dengan tanaman pokok juga dapat berfungsi sebagai inang hama dan penyakit (Dawson dan Holstun, 1971). 4.4. Gulma pada Hutan Tanaman Industri (HTI) Gulma yang terdapat pada Hutan Tanaman (Tjitrosemito dan Kasno, 1998), meliputi: a. Tumbuhan paku/pakis seperti Nephrolepis falcata. b. Rumput-rumputan seperti I. cylindrica. c. Tumbuhan teki-tekian seperti Scleria puspurascens. d. Tumbuhan merambat seperti Mikania micrantha. e. Tumbuhan perdu/semak seperti Clidemia hirta. f. Putri malu seperti M. pudica. g. Tumbuhan herba seperti A. conyzoides.
Industri
4.5. Klasifikasi Gulma Klasifikasi gulma berdasarkan respon gulma terhadap herbisida (Sembodo, 2010) dibagi dalam 3 (tiga) kategori: a. Gulma rerumputan (grasses) yaitu semua gulma yang termasuk dalam kelompok rumputan/graminal (famili Poaceae). b. Gulma tekian (sedges) yaitu semua gulma yang termasuk dalam famili Cyperaceae adalah gulma golongan tekian. c. Gulma golongan berdaun lebar (broad leaves) yaitu semua gulma yang tidak termasuk dalam Poaceae atau rumputan dan Cyperaceae atau tekian. Selanjutnya klasifikasi gulma bedasarkan panjang hidup (Sembodo, 2010) antara lain: a. Gulma semusim atau gulma setahun adalah gulma yang melengkapi siklus hidupnya dalam satu musim atau dalam waktu kurang dari 12 bulan seperti Ageratum conyzoides dan Echinochloa colonum. b. Gulma dua musiman yaitu gulma yang melengkapi siklus hidupnya selama 2 musim atau tahunan seperti Tarraxacum sp. dan Cyperus difformisi. c. Gulma musiman yaitu gulma yang menghasilkan organ vegetatif secara terus menerus sehingga memungkinkan hidup lebih dari dua musim atau dua tahun seperti Eupatorium odoratum dan C. rotundus.
107
Hama, Penyakit dan Gulma
4.6. Gulma Tanaman S. leprosula Miq S. leprosula Miq sudah banyak ditanam di berbagai kondisi hutan. Kondisi hutan tempat penanaman jenis S. leprosula Miq tersebut akan berpengaruh terhadap kehadiran jenis gulma, karena keterbukaan areal yang akan berpengaruh terhadap jenis gulma yang akan tumbuh/muncul. S. leprosula Miq yang ditanam pada areal bekas perladangan di Semoi 2, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) ditemukan 50 jenis gulma dengan jenis gulma yang dominan adalah N. falcata, S. puspurascens, I. cylindrica, E. odoratum dan Lygodium circinatum sebagaimana disajikan pada Gambar 18 (Ngatiman et al., 2008).
a
b
c Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
d
e
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 18. Jenis gulma dominan pada areal bekas perladangan di Semoi 2, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU); (a) N. falcata, (b) S. puspurascens, (c) I. cylindrica, (d) E. odoratum dan (e) L. circinatum
Pada tanaman S. leprosula Miq di areal bekas kebakaran hutan tahun 1997/1998 PT ITCIKU, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), diperoleh 65 jenis gulma yang didominasi oleh N. falcata, Calathea sp., Pasapalum conjugatum, C. hirta dan M. micrantha dapat dilihat pada Gambar 19 (Ngatiman et al., 2008). 108
Ngatiman dan M. Fajri
a
b
c Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
d
e
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 19. Jenis gulma dominan pada areal bekas kebakaran tahun di PT ITCIKU, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU); (a) N. falcata, (b) Calathea sp., (c) P. conjugatum, (d) C. hirta dan (e) M. micrantha
Pada tanaman S. leprosula Miq di areal bekas tebangan KHDTK Labanan, Kabupaten Berau, ditemukan 93 jenis gulma dengan jenis gulma yang didominasi oleh E. colonum, Pandanus sp., Anomum sp., L. circinatum dan M. malabatricum sebagaimana disajikan pada Gambar 20 (Ngatiman et al., 2011). Di samping jenis gulma yang dominan tersebut, juga dijumpai jenis gulma yang melilit batang dan mengakibatkan batang cacat, bercabang dan patah pucuk, bahkan dapat mengakibatkan kematian seperti jenis, Agelaia borneensis, A. trinervis, Archidendron bornense, Aristolochia tagala, Cissus nodosa, Cleistanthus myrianthus, Cryptocarya crassinervia, Daemonorops sp., Dillenia reticulata, Elaeagnus latifolia, Limacia oblonga, L. ceracifera, Lygodium circinnatum, Manettia inflata, Merremia umbellata, Mikania micrantha, Millettia spendidissima, Premna sp., Rhynchospora aurea, Salacia sp., Tetrastigma dichotomum, Tetracera scandens.
109
Hama, Penyakit dan Gulma
a
b
c Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
d
e
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 20. Jenis gulma dominan pada areal bekas tebangan KHDTK Labanan, Kabupaten Berau; (a) E. colonum, (b) Pandanus sp., (c) Anomum sp., (d) L. circinatum dan (e) M. malabatricum
5. Teknik Pengendalian Gulma 5.1. Pengendalian Gulma Secara Manual Permasalahan yang paling utama dalam penanaman jenis Dipterocarpaceae adalah gangguan gulma (Supangkat et al., 2007; PT. BFI, 2007). Pertumbuhan gulma sangat cepat pada satu areal tanam, mengakibatkan semakin meningkatnya frekuensi pengendalian gulma. Persaingan gulma terhadap tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi awal suatu areal yang akan dijadikan sebagai lokasi penanaman jenis tertentu, sehingga pada areal bekas perladangan dengan bekas tebangan akan berbeda (jenis gulma yang muncu) dan pertumbuhannya. Pada areal bekas perladangan, jalur-jalur tanam mendapatkan banyak sinar matahari sehingga pertumbuhan gulma akan lebih cepat dibandingkan dengan areal bekas tebangan. Pada jalur tanam tersebut mendapatkan sinar matahari yang berbeda, tergantung dari vegetasi di sekitar jalur. Dengan kondisi demikian, maka
110
Ngatiman dan M. Fajri
pertumbuhan gulma pada jalur tanam akan berbeda-beda, seperti pada jalur yang kurang mendapatkan sinar matahari, populasi gulma akan lebih sedikit. Oleh karena itu, wajar bila pengendalian gulma di hutan bekas perladangan lebih sering dilakukan daripada di hutan bekas tebangan. Dalam pengendalian gulma untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dari dua kondisi hutan di atas tidak dapat diperlakukan sama, sebagai contoh perlu dilakukan pengendalian gulma (pemeliharaan) tanaman dengan tebas total tiga bulan setelah penanaman. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemeliharaan tanaman atau pengendalian gulma, sebaiknya perlu dilakukan pengecekan secara langsung di lapangan untuk mengambil langkah teknik pemeliharaan tanaman yang tepat, misalnya pada areal bekas perladangan di lokasi terbuka, pertumbuhan gulma sangat cepat dan perlu dilakukan pemeliharaan tanaman. tetapi sebaliknya pada areal bekas tebangan pertumbuhan gulma sedikit dan tidak perlu dilakukan pemeliharaan tanaman. Pada penanaman di areal bekas tebangan, khususnya untuk pertumbuhan awal meranti, gulma tidak selalu menimbulkan kerugian pada tanaman terkadang justru gulma yang ada di sekitar tanaman membantu kelangsungan hidup dari tanaman tersebut. Oleh karena jenis meranti merupakan jenis semi toleran, maka pada awal penanaman perlu naungan, dengan adanya gulma di sekitar tanaman tersebut tanah menjadi lembap dan lingkungan di sekitar tidak terlalu panas, sehingga tanaman tetap bertahan hidup. Semai Dipterocarpaceae dapat tumbuh dengan baik, apabila semai tersebut tidak menerima sinar matahari secara langsung dengan intensitas tinggi (Hani dan Rachman, 2007). Sebagian besar tanaman Dipterocarpaceae memerlukan naungan pada masa mudanya (semi toleran) sehingga memerlukan pohon pelindung pada saat penanaman (Ginting dan Dharmawan, 2007). Pada tanaman S. johorensis Foxw pengendalian dengan cara piringan+mulsa lebih baik dari perlakuan lainnya diketahui sejak pengamatan tahun ke-2 (21 bulan). Hal ini diduga pengaruh mulsa yang menyebabkan pertumbuhan lebih baik. Metode pengendalian gulma akan berpengaruh terhadap biaya pemeliharaan tanaman. Hasil penelitian di KHDTK Labanan, Berau menunjukkan bahwa pengendalian gulma pada tanaman meranti (S. leprosula Miq) dengan cara piringan (penebasan di sekitar tanaman berbentuk lingkaran 1 m dari tanaman pokok) lebih baik dari pada pengendalian gulma secara total dalam jalur, terhadap pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw (Tabel 1).
111
Hama, Penyakit dan Gulma
Tabel 1. Tinggi tanaman S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw umur 33 bulan di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur (Ngatiman et al., 2012) Perlakuan pengendalian gulma P0 P1 P2 P3 P4
Sumber: diolah dari data primer
Tinggi tanaman umur 33 bulan (cm) S. leprosula Miq S. johorensis Foxw 288,91 293,65 204,13 275,93 234,31 253,03 265,17 258,66 238,41 303,16
Keterangan: P 0. Kontrol (tanpa penebasan), P1. Penebasan dalam jalur lebar 2 m P2. Penebasan dalam jalur lebar 2 m dengan mulsa, P3. Penebasan cara piringan 1 m dari tanaman, P4. Penebasan cara piringan 1 m dengan mulsa.
Dari Tabel 1. menunjukkan bahwa secara umum pengendalian gulma pada S. leprosula Miq dengan cara piringan (P3) lebih baik dari pada pengendalian dengan cara tebas total dan tanpa perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Sedangkan pada S. johorensis Foxw, pengendalian gulma dengan cara piringan + mulsa (P4) adalah yang paling baik. Ruang tumbuh tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman, melainkan pemanfaatan sumberdaya, bahwa di alam sumber utama nutrisi adalah serasah yang cepat terombak oleh tanaman (Soekotjo, 2009). Pemeliharaan tanaman S. leprosula Miq dengan pengendalian gulma cara piringan (P3) dan cara piringan + mulsa (P4) pada tanaman S. johorensis Foxw dapat dilihat pada Gambar 21.
a
b
Dok. Ngatiman
Dok. Ngatiman
Gambar 21. T anaman S. leprosula Miq di KHDTK Labanan, Berau dengan pengendalian gulma cara piringan (P3) dan cara piringan + mulsa (P4) pada tanaman S. johorensis Foxw.
112
Ngatiman dan M. Fajri
5.2. Pengendalian dengan Herbisida Teknik pengendalian dengan cara piringan tidak hanya berlaku untuk pengedalian gulma secara manual, tetapi cara ini juga dapat dilakukan dalam pengendalian gulma menggunakan herbisida. Hasil penelitian yang dilakukan di PT BFI, Sotek, menunjukkan bahwa pengendalian gulma dengan cara piringan (penyemprotan 1 m dari tanaman pokok), lebih baik dari pada pengendalian gulma dengan semprot total pada jalur tanam terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter (Ngatiman et al., 2010) seperti disajikan pada Gambar 22.
Dok. Ngatiman
Gambar 22. Pengendalian gulma sistem piringan menggunakan herbisida pada tanaman S. leprosula Miq
6.
Penutup Permasalahan hama dan penyakit sering ditemukan sejak bibit masih di persemaian hingga menjadi tanaman di lapangan, sedangkan gangguan satwa liar dan gulma ditemukan pada tanaman di lapangan. Serangan ulat kantong dan rayap pada bibit S. leprosula Miq di persemaian cukup potensial, sedangkan serangan hama ulat daun pada tanaman S. leprosula Miq tidak mengkhawatirkan, namun serangan tumor buah pada tanaman S. leprosula Miq cukup potensial, meskipun serangan hama ini hanya pada waktu tertentu saja, begitu pula untuk penggerek pucuk yang masih ringan serangannya. Permasalahan hama yang perlu mendapat perhatian adalah rayap pada tanaman S. leprosula Miq, yang cenderung meningkat bila tidak dilakukan pengendalian dengan segera. Serangan penyakit pada daun dan batang tanaman S. leprosula Miq masih pada tahap ringan. Namun demikian perlu mendapatkan perhatian untuk mengantisipasi serangan yang lebih luas.Pengendalian gulma dapat dilakukan apabila dianggap sudah mengganggu tanaman. Pengendalian gulma dengan cara piringan cukup efektif baik secara manual dengan penebasan maupun secara kimia menggunakan herbisida. 113
Hama, Penyakit dan Gulma
DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, I., dan Suharti M. 1996. Penyakit bercak daun pada Shorea spp. di kebun percobaan Carita dan Haurbentes. Buletin Penelitian Hutan Industri, Bogor. Arruan, D. 2001. Serangan hama dan patogen pada tanaman meranti merah (Shorea leprosula Miq) di Wanariset Samboja. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda. Tidak dipublikasikan Beeson, C.F.C. 1919. The life history of the toon shoot and fruit borer. Hypsipyla robusta Moore lepidoptera, pyralidae, Phycitinae with suggestion of its control India For Record, 7(7):1-71. Dawson, J.H. and J.T. Holstun. 1971. Estimating losses from crops. Croping loss assesment method. F.A.O manual on the evaluation and preventation of losses by pest, diseases and weed. Ginting,, A.N., dan I. Wayan Susi Dharmawan. 2007. Konservasi tanah dan Fungsi Hidrologi Hutan Tanaman Dipterokarpa. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspoase TPTII/Silin, tanggal 4-5 September. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Hani, A., dan E. Rachman. 2007. Evaluasi Ketahanan Hidup tanaman Uji Spesies dan Konservasi Ek-situ Dipterocarpaceae di RPH Carita, Banten. Info Teknis. Vol.5(1), Balai Besar Penelitian Bio Teknologi dan pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Husaeni, E.A. 2001. Hama Hutan Tanaman. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Intari, S.E. dan D. Natawiria. 1973. Hama uret persemaian dan tegakan muda. Laporan No. 167. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Mardji, D. 1992. Ilmu penyakit hutan. Bahan Kuliah. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Mardji, D. 1996. Hama dan penyakit tanaman jenis Dipterocarpaceae di Bukit Soeharto. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda. Tidak dipublikasikan. Mardji, D. 2003. Identifikasi dan penanggulangan penyakit pada tanaman Kehutanan. Pelatihan Bidang Perlindungan Hutan PT ITCI Kartika Utama, Samarinda. Natawiria, D. 1989. Teknik pengenalan hama tanaman industri. Informasi Teknis No.4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Natawiria, D., M. Suharti dan E. Santoso. 1986. Teknik pengenalan penyakit hutan tanaman industri. Informasi Teknis No.3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Nazif, M dan Pratiwi. 1989. Teknik Pengendalian Gulma Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq). Pusat Penelitian dan Pembangunan Hutan. Bogor. Ngatiman dan Armansah. 1995. Pengamatan hama buah Dipterocarpaceae di Wanariset Samboja. Laporan Tahunan. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Tidak dipublikasikan. Ngatiman dan Armansah. 2006. Hama tanaman meranti merah (Shorea leprosula Miq). Prosiding seminar bersama hasil-hasil penelitian 3 UPT Badan Litbang Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Ngatiman, Armansah dan M. Budiono. 2008. Teknologi pencegahan dan pemberantasan hama, penyakit dan gulma hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Tidak dipublikasikan. 114
Ngatiman dan M. Fajri
Ngatiman., dan A. Susilo. 2009. Pemangsa biji Dipterocarpaceae (Seed predator of Dipterocarpaceae). Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol.3(1): 51-62. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Ngatiman, Armansah dan M. Budiono. 2009. Teknologi pencegahan dan pemberantasan hama, penyakit dan gulma hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. (tidak dipublikasikan). Ngatiman dan M. Budiono. 2008. Pemangkasan cabang untuk mengendalikan serangan hama pada tanaman Shorea leprosula Miq. Info Teknis Dipterokarpa 2( 1):39:48. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Ngatiman., A. Susilo., dan M. Budiono. 2010. Uji coba pola pengendalian gulma dengan jenis dan konsentrasi formulasi herbisida pada tanaman dipterokarpa, Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Tidak dipublikasikan. Ngatiman. 2010. Serangan hama dan penyakit pada bibit meranti (Shorea leprosula Miq) di persemaian. Info Teknis Dipterokarpa Vol.4(1):79-84. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Ngatiman, Armansah dan M. Budiono. 2011. Teknologi pengendalian hama hutan tanaman jenis penghasil kayu pertukangan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Tidak Dipublikasikan. Ngatiman. 2012. Rayap tanah Coptotermes sp hama potensial pada tegakan meranti merah (Shorea leprosula Miq). Prosiding Ekspose Hasil Penelitian. Rekontruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi : Tinjauan aspek teknis silvikultur, sosial ekonomi, ekologi dan kelayakan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Ngatiman, Armansah dan M. Budiono. 2013. Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman dipterokarpa. Identifikasi hama dan penyakit pada bibit dan tanaman meranti (Shorea spp) serta uji coba pemberantasan rayap pada tanaman meranti merah (Shorea leprosula Miq). Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Tidak dipublikasikan. PT. BFI (Balikpapan Forest Industries). 2007. Membangun hutan meranti untuk masa depan yang lebih baik. Progress Pelaksanaan TPTI Intensif di PT. BFI, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspoase TPTII/Silin, tanggal 4-5 September. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Rahayu, S. 1999. Penyakit tanaman Hutan di Indonesia; Gejala, Penyebab, dan Teknik Pengendaliannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Soekotjo. 2007. Silvikultur Intensif: Konsep dan Penerapannya. Gelar Teknologi. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Soepangkat, S., E. Saefudin dan P. Tampubolon. 2007. Progress pelaksanaan TPTI I/Silin di PT. Sarmiento Prakantja Timber (Sarpatim). Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspoase TPTII/Silin, tanggal 4-5 September. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Subiakto, A., Riskan E dan Ernayati. 2007. Ketersediaan IPTEK pembibitan, penanaman dan pemeliharaan hutan tanaman Dipterokarpa. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspoase TPTII/Silin, tanggal 4-5 September. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Suharti, M., M. Nazif dan I. Anggraeni. 1998. Telaahan Hasil-hasil bidang hama dan penyakit HTI. Sinopsis hasil-hasil penelitian kehutanan. Badan Litbang Kehutanan dan perkebunan. Jakarta. 115
Hama, Penyakit dan Gulma
Suharti, M., I.R. Sitepu, W. Darwiati, dan I. Anggraeni. 2000. Uji efikasi beberapa agen pengendali biologi nabati dan kimia terhadap ulat kantong. Buletin Hutan No. 624. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan pengelolaannya. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. Sukman, Y. dan Yakup. 1991. Gulma dan teknik pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. Rajawali Pers, Jakarta. 157 hal. Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar perlindungan hutan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 228 hal. Tarr, S.A.J. 1972. Principle of Plant Pathologi. New York. Mc Milan. Tjitrosomito, S. dan Kasno. 1998. Pengendalian gulma pada hutan tanaman industri. Prosiding Workshop Permasalahan dan Strategi Pengelolaan Hama di Areal utan Tanaman. Fakultas Kehutanan IPB dan Departemen Kehutanan RI. Yodha, D.K. 2007. Pengembangan penerapan silvikultur intensif (silin) dalam pembangunan meranti pada HPH PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Prosiding Seminar pengembangan hutan tanaman dipterokarpa dan Exspose RPTII/SILIN. 4–5 September. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda.
116
Bab
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi Catur Budi Wiati
9
1.
Pendahuluan Tenaga kerja mempunyai posisi penting sebagai salah satu sektor yang menyerap sumberdaya manusia, namun informasi tentang jumlah tenaga kerja sektor kehutanan di Indonesia masih sulit ditemukan. Hal tersebut dikarenakan data yang dikeluarkan dari banyak lembaga, umumnya menggabungkan data tenaga kerja dari sektor kehutanan dengan sektor-sektor lain seperti pertanian, hortikultura, perikanan dan perburuan dalam bidang pertanian. ILO (International Labour Organization, 2010) melaporkan bahwa sektor pertanian, hortikultura, kehutanan, perikanan dan perburuan menyumbang sekitar 42% dari semua pekerjaan di Indonesia dan sekitar 0,6% disumbangkan dari sektor kehutanan. Simangunsong (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2000 penyerapan tenaga kerja di sektor kehutanan mulai dari penanaman, pemanfaatan sampai dengan industri tercatat 3.092.470 orang, dengan rata-rata pendapatan pekerja di Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebesar Rp. 7,3 juta/tahun/ orang dan untuk di industri Rp. 3,3 juta/tahun/orang. Tulisan ini merupakan hasil penelitian di tiga perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw sebagai jenis utama yang dikembangkan. Lokasi penelitian tersebut dilaksanakan di PT Intracawood Manufacturing (Intraca) di Kalimantan Utara, PT Sarmiento Parakantja Timber (Sarpatim) di Kalimantan Tengah dan PT Suka Jaya Makmur (SJM) di Kalimantan Barat. Pembahasan pada tulisan ini akan lebih mengutamakan kegiatan penanaman dan pengembangan tanaman meranti dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), dengan pertimbangan bahwa dibanding menjalankan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), perusahaan yang menjalankan sistem silvikultur TPTJ akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar karena mempunyai kewajiban untuk menanam sekitar 200 tanaman per hektar. 2.
Tenaga Kerja di Sektor Kehutanan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan mendefinisikan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja di Indonesia umumnya terbagi atas tenaga kerja tetap/pegawai tetap dan tenaga kerja tidak tetap/pegawai lepas.
117
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi mendefinisikan pegawai tetap sebagai pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur dan terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung. Pegawai tetap juga ditujukan untuk pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut. Sementara pegawai tidak tetap didefinisikan sebagai pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Dengan demikian tenaga kerja tetap umumnya dapat dimaknai sebagai pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk jangka waktu tidak tertentu. Sedangkan pegawai tidak tetap (pegawai kontrak) dimaknai sebagai pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha terbatas untuk jangka waktu tertentu atau berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, yang biasanya dikenal dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tenaga kerja di sektor kehutanan pada umumnya lebih didominasi oleh tenaga kerja yang berstatus tidak tetap. ILO (2010) melaporkan bahwa tenaga kerja di sektor kehutanan mayoritas berstatus tidak tetap, baik dengan atau tanpa kontrak. Hal tersebut sesuai yang dilaporkan oleh LRBLK (2008) bahwa tenaga kerja tetap di PT Sarpatim hanya mencapai 32%, sedangkan tenaga kerja tidak tetap lebih mendominasi dengan jumlah mencapai sekitar 68% dari total tenaga kerja yang terdiri dari kontrak bulanan 8% dan borongan lepas 60% (Tabel 1). Kondisi yang sama juga ditemukan di PT SJM dimana tenaga kerja tetap di perusahaan tersebut hanya 43%, sedangkan tenaga kerja tidak tetap yang terdiri dari harian dan kontrak mencapai 56%. Jumlah ini belum termasuk tenaga kerja borongan yang digunakan oleh perusahaan (Tabel 2). Banyaknya tenaga kerja berstatus tidak tetap yang bekerja di sektor kehutanan dikarenakan perusahaan mempertimbangkan pekerjaannya yang tidak perlu dilakukan dalam jangka panjang. Selain itu tenaga kerja berstatus tidak tetap, khususnya yang berstatus borongan, hanya diperlukan perusahaan untuk melaksanakan pekerjaan saat dibutuhan oleh perusahaan untuk mengejar target atau pada kondisi tertentu. 118
Catur Budi Wiati
Misalnya untuk mengejar target luas penanaman atau pemeliharaan atau untuk melakukan pekerjaan pengadaan bibit dari biji yang hanya dapat dilakukan saat panen raya atau saat meranti berbuah. Perusahaan pemegang ijin IUPHHK juga lebih memilih menggunakan tenaga kerja berstatus tidak tetap karena hanya mengeluarkan biaya sesuai Upah Minimum Regional (UMR) dan tidak perlu mengeluarkan biaya lain seperti upah lembur, tunjangan camp, tunjangan masa kerja, jasa produksi dan lainlain. Tabel 1. Data Perbandingan Tenaga Kerja di PT Sarmiento Parakantja Timber Berdasarkan Status Tenaga Kerja per Januari 2008 No.
Bagian
1 2 3 4 5 6 7 8
Manajemen PH Umum dan Personalia Peralatan Produksi Jalan Perencanaan Pembinaan Hutan Log Pond T o t a l (orang) Persentase (%)
Tenaga Kerja (orang) Kontrak Borongan Tetap1) Bulanan Lepas dll2) 8 1 0 47 19 17 85 16 0 78 3 81 25 8 12 35 9 83 22 20 391 15 1 1 315 77 585 32 8 60
Total (orang) 9 83 101 162 45 127 433 17 977 100
Persentase (%) 1 8 10 17 5 13 44 2 100
Sumber : LRBLK, 2008 1) Yang termasuk tenaga kerja tetap adalah bulanan tetap, harian tetap dan borongan tetap. 2) Yang termasuk tenaga kerja borongan lepas adalah kontrak borongan, kontrak harian, borongan lepas dan honor.
Tabel 2. Data Perbandingan Tenaga Kerja di PT Suka Jaya Makmur Berdasarkan Status Tenaga Kerja per Mei 2014 No 1. 2. 3. 4.
Status Tenaga Kerja Bulanan Harian Kontrak Borongan Jumlah (orang)
Total Tenaga kerja Jumlah (orang) % 317 43 258 35 155 21 -2) 730 100
TPTJ1) Jumlah (orang) 59 46 10 441 556
% 11 8 2 79 100
Sumber : diolah dari data primer 1) Dihitung hanya dari kegiatan Penataan Areal Kerja (PAK), Inventarisasi Hutan, Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), Pembinaan Hutan dan tenaga kerja pendukung (tukang masak, supir, kebersihan dan lain-lain). 2) Data tidak tersedia
3.
Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Pelaksanaan sistem silvikultur TPTJ diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) No. 435/KPTS II/1997 tentang 119
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Sistem Silvikultur dan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (SK Menhutbun) No. 625/Kpts-II/1998 tentang sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTJ kemudian juga diatur melalui SK Menhut No. 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Meski pernah dicabut melalui SK Menhut No. 10172/KptsII/2002 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dalam Pengelolaan Hutan Produksi, namun dengan keluarnya Permenhut No. P11/Menhut II/ 2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Produksi, maka dapat diartikan bahwa pemerintah masih memberlakukan TPTJ sebagai salah satu sistem silvikultur yang akan digunakan (Indrawan, 2012). Sistem silvikultur TPTJ merupakan salah satu sistem silvikultur yang digunakan dalam pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia. TPTJ mengharuskan adanya tanam pengayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 m sebagai jalur antara dan 3 m sebagai jalur tanam. Tujuan dari sistem silvikultur ini adalah untuk menormalkan kembali tegakan hutan dan diharapkan dapat meningkatkan kondisi tegakan pada rotasi berikutnya serta untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk lewat pemuliaan pohon, akselerasi pertumbuhan dan pengendalian terpadu (Soekotjo et al., 2009). Sistem silvikultur TPTJ seringkali diartikan sama dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Hal tersebut terkait dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan (SK Dirjen BPK) No. 77/VI-BPHA/2005 yang menunjuk 6 (enam) perusahaan pemegang IUPHHK pada hutan alam (PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT Sarpatim, Kalimantan Tengah; PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat; PT Balikpapan Forest Industri dan PT ITCI Kayan Hutani, Kalimantan Timur sebagai model sistem silvikultur TPTII. Sistem TPTII sebenarnya bukan regim atau sistem silvikultur, tetapi merupakan teknik silvikultur yang mengharuskan adanya tanaman pengayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal (Soekotjo et al., 2009). Terkait dengan SK Dirjen BPK No. 77/VI-BPHA/2005 maka PT Sarpatim dan PT SJM sudah melaksanakan sistem silvikultur TPTJ sejak tahun 2005, sedangkan PT Intraca baru melaksanakan sejak tahun 2008 melalui SK Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Wilayah yang diperuntukkan untuk sistem silvikultur TPTJ oleh 120
Catur Budi Wiati
masing-masing perusahaan sangat bervariasi, tergantung pada kondisi wilayah dan kebijakan dari perusahaan tersebut. Untuk PT Sarpatim, sampai dengan Oktober 2013 penanaman telah dilakukan seluas 23.000,70 ha dengan jumlah penanaman mencapai 4.282.762 batang. Tiga jenis meranti yang ditanam yaitu S. parvifolia, S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw. Sampai RKT 2009, PT SJM telah melakukan penanaman seluas 4.042 ha dengan jenis S. leprosula Miq, S. parvifolia, S. johorensis Foxw, S. ovalis, S. acuminara, Shorea spp dan Peronema canescens. Sedangkan PT Intraca, sampai RKT 2012 telah melakukan penanaman seluas 3.843 ha dengan 9 (sembilan) jenis bibit yang dikembangkan dan ditanam yaitu S. parvifolia, S. leprosula Miq, S. johorensis Foxw, S. macrophylla, S. dasipylla, S. seminis, S. parvistipulata, Dryobalanops sp dan Shorea spp. Tabel 3. D ata Perbandingan Rencana Wilayah Kelola Perusahaan untuk Sistem Silvikultur TPTJ Selama 1 (satu) Daur No
Perusahaan
Luas Wilayah Kelola (Ha)
Luas Peruntukan TPTJ (Ha)
Realisasi Luas penanaman TPTJ (Ha)
1. 2. 3.
PT Intraca PT Sarpatim PT SJM
195.110 216.580 171.340
25.350 -1) 15.542,27
3.843 23.003,70 4.042 2)
Sumber : PT Intraca (2011), PT Sarpatim (2011b) dan PT SJM (2011) 1) Data tidak tersedia 2) Data yang tersedia hanya sampai RKT 2009
4. Penggunaan Tenaga Kerja 4.1. Penggunaan Tenaga Kerja Berdasarkan Status Pada umumnya perusahaan pemegang IUPHHK sulit memisahkan antara penggunaan tenaga kerja dengan sistem silvukultur TPTJ dan sistem silvikultur TPTI. Hal tersebut karena tenaga kerja perusahaan pemegang IUPHHK seringkali masih melakukan kegiatan untuk dua sistem silvikultur sekaligus, baik untuk TPTI maupun TPTJ. Misalnya dalam kegiatan pengadaan bibit dilakukan sekaligus baik untuk penanaman TPTJ maupun untuk pengayaan TPTI. Namun demikian, tulisan ini berupaya menyajikan data dengan memperhitungkan apabila tenaga kerja melaksanakan pekerjaan secara terpisah. Tenaga kerja pada kegiatan penanaman dan pengembangan tanaman meranti dengan sistem silvikultur TPTJ tidak hanya didominasi oleh tenaga kerja berstatus tidak tetap, tetapi lebih didominasi oleh tenaga kerja yang berstatus borongan. Tabel 1 menunjukkan bahwa tenaga kerja borongan di PT Sarpatim banyak bekerja di bidang pembinaan hutan seperti penyediaan bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Kondisi 121
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
yang sama ditemukan di PT Intraca yang menyebutkan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan hutan dengan TPTJ, tenaga kerja yang berstatus karyawan tetap hanya berjumlah 21%, dan tenaga kerja tidak tetap mencapai 79% yang terdiri dari Tenaga Harian Lepas (THL) 34%, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) 7% dan borongan 38% (Wiati & Karmilasanti, 2013). Tabel 4. menunjukkan bahwa selain pada kegiatan inventarisasi hutan, penyerapan tenaga kerja yang besar juga terjadi pada kegiatan pembinaan hutan, terutama pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur (21%) serta kegiatan penyiapan dan pembuatan jalur tanam (15%). Di PT SJM, jumlah tenaga kerja borongan bahkan sangat besar dengan persentase mencapai 79%, terbesar pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur yang menyerap tenaga kerja dengan persentase 68%. Tabel 4. D ata Perbandingan Tenaga Kerja di PT Intracawood Manufactruring Tbk untuk kegiatan TPTJ Berdasarkan Status Tenaga Kerja Tahun 2011 No.
Kegiatan
1.
Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Hutan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Pengadaan Bibit Tebang Naungan1) Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting2) T o t a l (orang) Persentase (%)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tenaga Kerja (orang) Tetap THL PKWT Borongan
-
Total (orang)
Persentase (%)
12 108
3 27
12
3
1
10
1
9
90
9
1
10
1
-
6 42
10 1
1 3
35
17 81
4 21
6
6
2
45
59
15
6
-
5
72
83
21
12 83 21
6 133 34
5 27 7
152 38
23 395 100
6
-
100
Sumber : Wiati & Karmilasanti (2013) 1) Seluruhnya merupakan tenaga kerja perusahaan mitra dari PT Intracawood Manufacturing Tbk 2) Tenaga kerja pendukung seperti tukang masak, supir, mekanik, personalia, paramedis dan keuangan
Tenaga kerja borongan mempunyai peranan sangat penting dalam kegiatan pembinaan hutan. LRBLK (2008) melaporkan bahwa sebanyak 391 orang (90%) dari 433 orang total tenaga kerja yang ada di PT Sarmiento bekerja pada bagian pembinaan hutan dan berstatus tenaga kerja borongan. PT Sarpatim menggunakan tenaga kerja borongan di bidang pembinaan hutan 122
Catur Budi Wiati
khususnya dalam kegiatan penyediaan media (pencarían hijauan, pembuatan kompos, pencarian top soil dan pengisian kantongan), mutasi bibit (bongkar muat bibit dan pencarían bibit cabutan), penyiapan lahan, penanaman sampai dengan pemeliharaan. Di PT Intraca, tenaga kerja borongan lebih banyak melakukan kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur sebanyak 72 orang (21%) serta kegiatan penyiapan dan pembuatan jalur tanam sebanyak 45 orang (15%). Penggunaan tenaga kerja borongan terbesar di PT SJM terdapat pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur sebanyak 360 orang (68%). Tabel 5. D ata Perbandingan Tenaga Kerja di PT Suka Jaya Makmur untuk kegiatan TPTJ Berdasarkan Status Tenaga Kerja Tahun 2014 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kegiatan
Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Hutan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Pengadaan Bibit Tebang Naungan Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting1) T o t a l (orang) Persentase (%)
Tetap
Tenaga Kerja (orang) THL Kontrak Borongan
Total (orang)
Persentase (%)
4
-
-
7
11
2
4
-
-
24
28
5
7
-
-
7
14
3
7 4
29 -
-
3 4
39 8
7 1
9
-
-
36
45
8
20
-
-
360
380
68
4 59 11
17 46 8
10 10 2
441 79
31 556 100
6 100
Sumber: diolah dari data primer (2014) 1) Tenaga kerja pendukung seperti tukang masak, tenaga kebersihan dan lain-lain
Persentase tenaga kerja yang besar pada kegiatan pembinaan hutan dengan sistem silvikultur TPTJ menunjukkan bahwa sistem ini memang menyerap tenaga kerja lebih besar dibanding TPTI. Hal tersebut terkait keharusan perusahaan melakukan penanaman pada jalur tanam yang membutuhkan minimal 200 bibit/ha. Informan kunci dari PT Intraca menyatakan bahwa penyediaan bibit di perusahaan tersebut (sekitar 80%) ditujukan untuk penanaman TPTJ. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa untuk kebutuhan penanaman TPTJ, perusahaan harus menyediakan tenaga kerja penyediaan bibit dan penanaman empat kali lipat lebih banyak dibandingkan untuk kebutuhan pengayaan TPTI. Hal tersebut sesuai dengan yang terjadi di PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah yang mengalami peningkatan penyerapan 123
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
tenaga kerja setelah adanya TPTII rata-rata sebesar 18 orang tenaga kerja per tahun (Hardiansyah et al., 2008). PT Intraca, PT Sarpatim dan PT SJM juga memilih tenaga kerja borongan untuk kegiatan pembinaan hutan karena lebih mudah melakukan pengawasan, karena pembayaran upah borongan didasarkan pada pekerjaan yang dihasilkan. Pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan borongan pada umumnya dilakukan secara berjenjang yaitu dari mandor, Kepala Seksi, Kepala Bagian hingga ke Kepala Bidang/Koordinator. Pengawasan dalam kegiatan penyediaan media dan mutasi bibit lebih mudah dilaksanakan karena seluruh kegiatan dilaksanakan di persemaian. Sedangkan untuk kegiatan penyiapan lahan, penanaman maupun pemeliharaan, pengawasan lebih sulit dilaksanakan karena lokasi pelaksanaan relatif lebih luas dan berada jauh masuk di dalam hutan. B2PD (2012) melaporkan bahwa PT Sarpatim melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara bertahap mulai dari pengecekan 100% oleh Kepala Seksi, pengecekan 10% secara random oleh Kepala Bagian dan pengecekan 1% secara random oleh Kepala Bidang/Koordinator. Pekerjaan borongan yang telah memenuhi syarat kemudian oleh Tim Pemeriksa akan dibuatkan Berita Acara dan dilaporkan ke kantor PT Sarpatim di Jakarta untuk pencarian uang. 4.2. Penggunaan Tenaga Kerja Berdasarkan Gender Secara umum tenaga kerja di sektor pengusahaan hutan lebih didominasi oleh tenaga kerja laki-laki. Hal tersebut dikarenakan lokasi kerja di sektor pengusahaan hutan yang pada umumnya masih terisolir dengan fasilitas yang terbatas. Data dari B2PD (2013) menyebutkan bahwa tenaga kerja perempuan di PT Intraca hanya sekitar 5% dari total tenaga kerja yang ada. Hal yang sama juga terjadi di PT SJM dengan persentase tenaga kerja perempuan sekitar 3% dari total tenaga kerja yang ada. Pada umumnya tenaga kerja perempuan yang bekerja di PT Intraca, PT Sarpatim maupun PT SJM mempunyai alasan yang sama untuk bekerja di perusahaan tersebut. Untuk tenaga kerja perempuan berstatus belum menikah, umumnya bersedia bekerja di perusahaan tersebut karena sesuai dengan bidang pendidikan yang dimiliki. Selain berlokasi tidak jauh dari camp, tenaga kerja perempuan berpendidikan umumnya memilih pekerjaan yang tidak berkaitan dengan kegiatan lapangan seperti bidang personalia dan keuangan. Ketika mereka sudah menikah dan atau memiliki anak, umumnya tenaga kerja perempuan berpendidikan akan memilih meninggalkan pekerjaan dengan alasan sulit membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. 124
Catur Budi Wiati
Tabel 6. Data Perbandingan Tenaga Kerja di PT Intracawood Manufactruring Tbk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008 - 2011 No 1
Kegiatan Penataan Areal Kerja (PAK)
2008 L P 12 -
Jenis Kelamin (orang) 2009 2010 L P L P 12 12 -
2011 L P 12 -
2
Inventarisasi Hutan
72
-
72
-
84
-
108
-
3
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
12
-
12
-
12
-
12
-
4
Pengadaan Bibit
8
4
9
3
10
4
12
5
5
Tebang Naungan1) Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting2)
68
5
69
5
72
5
76
5
44
-
43
-
48
-
59
-
57
-
56
-
63
-
83
-
14
6
14
6
15
6
17
6
Jumlah (orang)
287
15
287
14
316
15
379
16
Persentase (%)
95
5
95
5
95
5
96
4
6 7 8
Total Tenaga Kerja (orang) 302 301 331 395 Sumber : B2PD (2013) 1) Seluruhnya merupakan tenaga kerja perusahaan mitra PT Intracawood Manufacturing Tbk 2) Tenaga kerja pendukung seperti tukang masak, supir, mekanik, personalia, paramedis dan keuangan
Tabel 7. D ata Perbandingan Tenaga Kerja di PT Suka Jaya Makmur Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2014 No.
Kegiatan
1. 2. 3.
Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Hutan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Pengadaan Bibit Tebang Naungan Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting1) T o t a l (orang) Persentase (%)
4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Kelamin (orang) Laki-Laki Perempuan 11 27 1
Total (orang) 11 28
Persentase (%) 2 5
14
-
14
3
36 8
3 -
39 8
7 1
45
-
45
8
380
-
380
68
20 541 97
11 15 3
31 556 100
6 100
Sumber : diolah dari data primer 1) Tenaga kerja pendukung seperti tukang masak, tenaga kebersihan dan lain-lain
Untuk tenaga kerja yang berpendidikan rendah, alasan yang dikemukakan kaum perempuan bersedia bekerja di tiga perusahaan tersebut adalah untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari tenaga kerja perempuan berpendidikan rendah umumnya berstatus 125
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
menikah. Kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat menyebabkan mereka terpaksa harus ikut bekerja. Karena itu sebelum mengajukan permohonan bekerja di perusahaan kayu, tenaga kerja perempuan berstatus menikah umumnya sudah mendapatkan izin dari suami untuk bekerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan tenaga kerja perempuan berpendidikan rendah misalnya sebagai tukang masak dan tenaga pengisian kantong media di persemaian. Keikutsertaan kaum istri untuk tinggal di camp perusahaan bersama suami seringkali mendorong mereka untuk turut bekerja, karena merasa lebih aman dan nyaman untuk bekerja. Oleh karena itu baik di PT Intraca, PT Sarpatim maupun PT SJM, ditemui beberapa pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang sama. Meski masih sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing perusahaan, namun pekerjaan yang dilakukan pasangan suami istri tidak hanya terbatas sebagai karyawan tetap maupun THL. Wiati & Karmilasanti (2013) melaporkan bahwa pekerjaan borongan juga membuat peluang kerja tersendiri untuk kaum perempuan. Pekerjaan borongan pengisian kantong media di persemaian PT Sarpatim umumnya dilakukan oleh para istri pekerja tenaga borongan sambil mengasuh anak-anak mereka. 4.3. Penggunaan Tenaga Kerja Berdasarkan Daerah Asal Tenaga Kerja Bila dilihat dari daerah asal, secara umum tenaga kerja di PT Intraca, PT Sarpatim dan PT SJM lebih didominasi oleh tenaga kerja lokal yang berasal dari desa-desa sekitar perusahaan. Wiati & Karmilasanti (2013) melaporkan bahwa tenaga kerja lokal di PT Intraca mendominasi jumlah tenaga kerja hingga mencapai 63% yang pada umumnya hanya berstatus THL maupun tenaga borongan. Hal tersebut sesuai yang dilaporkan B2PD (2012) bahwa masyarakat lokal banyak yang bekerja sebagai THL karena tidak memerlukan persyaratan pendidikan tertentu, sedangkan pilihan untuk bekerja sebagai tenaga borongan dapat dijadikan sumber penghasilan tambahan. Di PT SJM, tenaga kerja lokal bahkan mencapai 97% dari total tenaga kerja yang ada. Di perusahaan tersebut, tenaga kerja lokal banyak bekerja pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur.
126
Catur Budi Wiati
Tabel 8. D ata Perbandingan Tenaga Kerja di PT Intracawood Manufactruring Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2008 - 2011 Jumlah Tenaga Kerja (orang) No
1 2 3 4 5 6 7 8
2008
Kegiatan
2009
2010
2011
Lokal1)
Luar2)
Lokal
Luar
Lokal
Luar
Lokal
Luar
10
2
10
2
11
1
10
2
60
12
60
12
71
13
92
16
10
2
10
2
10
2
10
2
Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Hutan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Pengadaan Bibit Tebang Naungan Penyiapan dan pembuatan jalur tanam Penanaman dan pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting Jumlah (orang)
8
4
7
5
8
6
9
8
12
61
13
61
11
66
12
69
33
11
36
7
40
8
50
9
49
8
48
8
56
7
75
8
8
12
8
12
7
14
9
14
190
112
192
109
214
117
267
128
65
35
68
32
Persentase (%) 63 37 64 36 Total Tenaga Kerja 302 301 (orang) Sumber: diolah dari data primer 1) Tenaga kerja yang berasal dari desa - desa sekitar PT Intraca 2) Tenaga kerja yang berasal dari luar desa - desa sekitar PT Intraca
331
395
Tabel 9. D ata Perbandingan Tenaga Kerja di PT Suka Jaya Makmur Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2014 No
Kegiatan
1. 2.
Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Hutan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Pengadaan Bibit Tebang Naungan1) Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur Supporting2) T o t a l (orang) Persentase (%)
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sumber: diolah dari data primer
Daerah Asal (orang) Lokal Luar 7 4 24 4
Total (orang) 11 28
Persentase (%) 2 5
12
2
14
3
38 8
1 -
39 8
7 1
43
2
45
8
379
1
380
68
30 541 97
1 15 3
31 556 100
6
127
100
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
5.
Permasalahan Tenaga Kerja Dari uraian sub bab sebelumnya diketahui bahwa pelaksanaan sistem silvikultur TPTJ di PT Intraca, PT Sarpatim maupun PT SJM berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja untuk masyarakat lokal di desa-desa sekitar perusahaan. Penyerapan tenaga kerja sangat meningkat khususnya untuk penyerapan tenaga kerja yang berstatus borongan. Pemberian peluang pekerjaan borongan bagi masyarakat lokal di sekitar kawasan konsesi perusahaan pemegang IUPHHK sangat sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal tersebut dikarenakan masyarakat lokal di sekitar wilayah konsesi umumnya adalah petani, sehingga pekerjaan borongan (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan) tidak jauh berbeda dengan aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari. PT Sarpatim (2011a) dan Nugraha (2010) melaporkan bahwa aktivitas utama masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar PT Sarpatim pada umumnya adalah melakukan perladangan baik dalam bentuk padi ladang maupun padi sawah. Aktivitas lain yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya diantaranya adalah dengan menyadap karet, mencari rotan, mencari tengkawang, mengambil madu, beternak, berburu binatang dan bertani palawija seperti jagung, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Aktivitas tambahan tersebut umumnya dilakukan untuk memperoleh pendapatan tunai dan dikerjakan masyarakat saat kegiatan berladang tidak terlalu padat khususnya di luar waktu panen. Meski tulisan ini tidak dapat menginformasikan besarnya penghasilan dari pekerjaan borongan, namun pekerjaan ini juga dapat menjadi sumber penghasilan tunai tambahan untuk masyarakat lokal. Yang menjadi permasalahan dalam pekerjaan borongan adalah saat ini pekerjaan borongan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat pendatang dibanding masyarakat lokal. Di PT Intraca, pekerjaan borongan lebih banyak dilakukan masyarakat pendatang etnis Timor yang banyak bermukim di Desa Transmigrasi terdekat. Kondisi yang sama ditemukan di PT Sarpatim, dimana pekerjaan borongan lebih didominasi oleh masyarakat pendatang dari Pulau Jawa khususnya dari daerah Banyumas dan Blitar (B2PD, 2012). Masyarakat lokal di PT Intraca dan PT Sarpatim umumnya kalah bersaing dengan masyarakat pendatang dalam pekerjaan borongan karena kurang dalam hal kemampuan, ketahanan fisik, kemampuan modal serta banyaknya pesta dan ritual adat yang harus dihadiri sehingga memperlambat penyelesaian pekerjaan. Meski rata-rata berprofesi sebagai petani, namun pekerjaan 128
Catur Budi Wiati
borongan khususnya dalam kegiatan penyiapan lahan, penanaman maupun pemeliharaan ternyata masih dipandang lebih berat dibanding pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari. Selain itu kemampuan modal juga menjadi penghambat masyarakat lokal untuk bersaing dengan masyarakat pendatang dalam pekerjaan borongan. Diperlukan biaya besar untuk membiayai seluruh pengeluaran saat pekerjaan borongan dilaksanakan, diantaranya untuk pembelian peralatan kerja, tenda, peralatan masak dan bahan makanan, termasuk uang muka untuk keluarga pekerja yang ditinggalkan di rumah. Meskipun penghasilan dari pekerjaan borongan cukup besar, namun modal ini baru kembali setelah pekerjaan borongan dibayarkan dengan kisaran waktu antara 1 2 bulan setelah pekerjaan selesai dilaksanakan. Kentalnya budaya di desa-desa sekitar PT Intraca dan PT Sarpatim menyebabkan banyak upacara dan ritual adat yang harus diikuti oleh masyarakat. Masyakat desa di sekitar PT Intraca yang berasal dari etnis Dayak Berusu, Dayak Punan dan Dayak Tidung umumnya masih melakukan upacara-upacara kelahiran, kematian, pernikahan dan pengobatan. Upacara dan ritual adat yang membutuhkan waktu berhari-hari tersebut sering menyebabkan penyelesaian pekerjaan borongan menjadi lebih panjang. Untuk luasan yang sama, misalnya satu petak seluas (sekitar 4 ha) penyelesain pekerjaan borongan oleh masyarakat dari etnis lokal membutuhkan waktu sekitar 1 – 1,5 bulan, sedangkan bagi masyarakat pendatang dari Timor hanya sekitar 2 – 3 minggu (Wiati & Karmilasanti, 2012). Masyarakat desa dari etnis Dayak Kanijal, Dayak Ngajo serta Dayak Kaharingan di sekitar PT Sarpatim memerlukan waktu sekitar 1 – 1,5 bulan untuk menyelesaikan satu paket kegiatan pekerjaan borongan, sedangkan pendatang dari Jawa yang hanya memerlukan waktu 0,5 bulan (B2PD, 2012). 6.
Penutup Tenaga kerja pada kegiatan penanaman dan pengembangan tanaman jenis meranti di PT Intraca, PT Sarpatim dan PT SJM didominasi tenaga kerja yang berstatus tidak tetap, khususnya tenaga kerja yang berstatus borongan. Tenaga kerja borongan banyak dipekerjakan oleh ketiga perusahaan tersebut pada kegiatan pembinaan hutan khususnya pada kegiatan penyediaan bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Sebagian besar tenaga kerja tersebut direkrut perusahaan dari masyarakat desa di sekitar perusahaan. Pekerjaan borongan sangat sesuai bagi masyarakat sekitar hutan yang aktivitas utamanya adalah pertanian. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan borongan tidak perlu dilakukan sepanjang 129
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
tahun sehingga membuat mereka masih dapat mengurus kebun dan tanaman pertaniannya. Disisi lain keterlibatan tenaga kerja perempuan meskipun masih kecil (3% – 5%), namun pemberian pekerjaan borongan oleh perusahaan dapat memberikan peluang tersendiri bagi kaum istri untuk ikut bekerja. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya modal serta masalah budaya menyebabkan keterbatasan bagi tenaga kerja dari etnis lokal untuk terlibat dalam pekerjaan borongan. Kondisi tersebut membuat tenaga kerja borongan dari etnis lokal kalah bersaing dibandingkan dengan tenaga kerja dari etnis pendatang.
DAFTAR PUSTAKA B2PD. 2012. Kajian Efektivitas Sistem-Sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR terhadap Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus Kajian Efektifitas Sistem Silvikultur TPTJ). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Tidak dipublikasikan. B2PD. 2013. Kajian Efektivitas Sistem-Sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR terhadap Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus Kajian Efektifitas Sistem Silvikultur TPTJ). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Tidak dipublikasikan. Hardiansyah, G., R. Boer, C. Kusmana, C. dan D. Darusman. 2008. Dinamika Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Hubungannya Dengan Model Pengelolaan Hutan Produksi dan Sistem TPTII Dalam Kerangka REDD. Diakses dari journal.unhas. ac.id/index.php/perennial/article/download/65/50 tanggal 17 Juni 2013. ILO (International Labour Organization). 2010. Kondisi Tenaga Kerja Kehutanan di Indonesia. International Labour Organization (ILO). Jakarta. Indrawan, A. 2012. Pemetaan Masalah Pengelolaan Hutan Alam Produksi dari Aspek Teknis (Silvikultur). Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dengan tema “Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Produksi: Tinjauan Aspek Teknis Silvikultur, Sosial Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan”. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa – Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan. Samarinda, 13 November 2012. LRBLK (Lembaga Riset Bidang Lingkungan dan Kehutanan). 2008. Laporan Evaluasi dan Publikasi Dampak dan Manfaat Program PMDH PT Sarpatim, Propinsi Kalimantan Tengah. Wana Aksara. Jakarta. Nugraha, A. 2010. Pelita di Tengah Belantara; Komitmen Tanggung Jawab Sosial Pengelolaan Hutan. Wana Aksara. Jakarta PT Intraca. 2011. Revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2008 s/d 2017 PT Intracawood Manufacturing. Jakarta. PT Sarpatim. 2011a. Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Areal PT Sarmiento Parakantja Timber. Kerjasama The Nature Conservancy, USAID, Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT) dan PT Sarpatim. PT Sarpatim. 2011b. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2011 – 2020. PT Sarmiento Parakantja Timber. Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan dan Katingan. Kalimantan Tengah. 130
Catur Budi Wiati
PT SJM. 2011. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2005 s/d 2014 PT Suka Jaya Makmur. Jakarta. Simangunsong, B. C. H. 2004. The Economic Performance of Indonesia’s Forest Sector in Period 1980 – 2002. GTZ – SCMP. Third Draft: July 2004. Jakarta. Soekotjo, Subiakto, A. and Warsito, S. 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Wiati, C. B. dan Karmilasanti. 2012. Pelibatan Pelibatan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ): Studi Kasus di PT Intracawood Manufacturing. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dengan tema “Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Produksi: Tinjauan Aspek Teknis Silvikultur, Sosial Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan”. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa – Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan. Samarinda, 13 November 2012. Hal. 75 – 82. Wiati, C. B. dan Karmilasanti. 2013. Penyerapan Tenaga Kerja Lokal dalam Pengelolaan Hutan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur 1 Tahun 2013 dengan tema: Optimasi Peran Silvikultur untuk Menjawab Tantangan Kehutanan Masa Depan. Makassar, 29 – 30 Agustus 2013. Hal. 461 – 467.
131
Penggunaan Tenaga Kerja Pada Kegiatan Budidaya Dalam Pengusahaan Hutan Alam Produksi
132
Bab 10
Analisis Finansial Budidaya Jenis Shorea leprosula Miq dan Shorea johorensis Foxw dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) Dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Tien Wahyuni
1.
Pendahuluan Sumber kayu komersil dari jenis-jenis famili Dipterocarpaceae hingga kini masih mengandalkan dari hutan alam, yang kondisinya saat ini terus mengalami peningkatan intensitas kerusakan. Pemanfaatan, pengelolaan dan pembangunan usaha berupa kegiatan penanaman dan pengembangan jenis S. leprosula Miq (meranti merah atau tembaga) dan S. johorensis Foxw (meranti majau) terutama dilakukan baik oleh perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) dalam bentuk perusahaan pemegang IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, dulu bernama HPH atau Hak Pengusahaan Hutan). Dalam pengelolaan hutan, pemilihan sistem silvikultur yang akan diterapkan sangat penting, sebagaimana telah diatur dalam SK Menhut no.P.11/Menhut-II/2009 tanggal 9 Pebruari 2009 tentang sistem silvikultur dalam areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi dan Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan no.P.9/VI-BPHA/2009 tentang pedoman pelaksanaan sistem silvikultur dalam areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi. Mengacu pada peraturan tersebut, kegiatan pembangunan dan pengembangan usaha kedua jenis meranti umumnya dilakukan pada kawasan hutan negara terutama di Kalimantan, yang umumnya menerapkan sistem silvikultur tunggal dan seragam yaitu sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Sejak tahun 2005, sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Produksi Kehutanan No. SK. 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dilaksanakan penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dengan tekhnik silvikultur intensif (Silin) pada beberapa IUPHHK di Kalimantan. Ada 6 IUPHHK yang menjadi model uji coba penerapan sistem tersebut yaitu PT Sarpatim (Kalteng), PT Sari Bumi Kesuma (Kalteng), PT Suka Jaya Makmur (Kalbar), PT Erna Djuliawati (Kalteng), PT Balikpapan Forest Industry (PT BFI Kaltim) dan PT Ikani (Kaltim). Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem TPTJ dan penanaman pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Dengan penjelasan bahwa sistem TPTII (silin) bukan merupakan regim atau sistem silvikultur, tetapi merupakan teknik silvikultur yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur (Sukotjo, 2009). Prospek pengembangan kedua jenis meranti ini dianggap sebagai peluang usaha yang baik karena selain mempunyai nilai 133
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
ekonomi dan komersial yang tinggi, dari segi ekologi tidaklah berlebihan bila jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae dikatakan lebih ramah lingkungan karena merupakan jenis-jenis kayu pertukangan andalan setempat dan sangat sesuai sebagai jenis yang harus dikembangkan (Effendi dan Kosasih 2008). Kegiatan pengembangan usaha ini merupakan bentuk investasi atas sumberdaya dengan jangka waktu pengusahaan yang panjang dan resiko kegagalan yang akan dihadapi juga cukup tinggi sehingga perlu dilakukan penilaian dari segi finansial. Dalam konteks pengembangan usaha penanaman kedua jenis meranti dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI dan TPTJ mempunyai tahap-tahap kegiatan yang berbeda secara teknis sehingga akan menghasilkan komponen-komponen biaya yang berbeda pula. Di bawah ini akan diulas secara rinci tentang pengelompokkan komponen biaya-biaya tersebut. 2.
Pengelompokkan Biaya Sistem silvikultur TPTI sesuai Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P. 11/VI-BPHA/2009 tanggal 21 Agustus 2009 mengalami penyederhanaan dalam tahapan-tahapan kegiatannya. Penyederhanaan ini tentu akan berpengaruh terhadap besaran biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pelaku bisnis kehutanan. Secara umum, komponen-komponen biaya pengembangan usaha tanaman kedua jenis meranti ini dengan menerapkan kedua sistem silvikultur hampir sama, perbedaan komponen biaya secara mendasar terletak pada komponen biaya operasional langsung yang akan dijelaskan lebih rinci pada pembahasan berikutnya. Pengelompokkan biaya dalam rangka kegiatan tersebut terdiri dari biaya operasional dan biaya investasi. Biaya operasional yaitu biaya yang dikeluarkan secara rutin atau periodik dalam kegiatan operasi sehari-hari yang manfaatnya kurang dari satu tahun. Biaya operasional meliputi biaya operasional langsung dan biaya operasional perencanaan dan pemanenan. Biaya operasional langsung dikelompokkan berdasarkan keterkaitan kegiatannya yaitu meliputi biaya langsung yang berhubungan dengan kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae yaitu pengadaan bibit, penyiapan lahan dan penanaman, pemeliharaan tahun berjalan, pemeliharaan tahap I dan II. Biaya operasional perencanaan dan pemanenan dianggap dikeluarkan secara periodik selama masa pengusahaan seperti biaya RKT (Rencana Kerja Tahunan), biaya umum, administrasi dan personalia, Binsos dan PMDH, pendidikan dan pelatihan, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), pengelolaan dan pemantauan 134
Tien Wahyuni
lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan dan biaya pemanenan. Tabel 1. Komponen-komponen biaya pengembangan Dipterocarpaceae dari dua sistem silvikultur
usaha
tanaman
jenis
Komponen Biaya
No.
TPTI
TPTJ
A
Biaya operasional
Biaya operasional
I
Biaya operasional langsung
Biaya operasional langsung
1
Pengadaan bibit (persemaian)
Pengadaan bibit (persemaian)
2
Penyiapan lubang tanan
Penyiapan lahan dengan sistem mekanis dan semi mekanis
3
Penanaman pengayaan
Penanaman dalam jalur
4
Pemeliharaan tahun berjalan
Pemeliharaan tahun berjalan
5
Pemeliharaan tahun I
Pemeliharaan tahun I
6
Pemeliharaan tahun II
Pemeliharaan tahun II
II
Biaya operasional perencanaan dan penebangan
Biaya operasional perencanaan dan penebangan
1
RKT
RKT
2
Biaya Umum, administrasi, personalia
Biaya Umum, administrasi, personalia
3
Binsos dan PMDH
Binsos dan PMDH
4
Penelitian dan pengembangan
Penelitian dan pengembangan
5
PBB
PBB
6
Biaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan
Biaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan
7
Perlindungan dan pengamanan hutan
Perlindungan dan pengamanan hutan
B
Biaya Investasi
Biaya Investasi
I
Biaya Investasi Perencanaan
Biaya Investasi Perencanaan
1
Penyusunan RKL/RPL
Penyusunan RKL/RPL
2
Penyusunan RKUPHHK
Penyusunan RKUPHHK
3
IHPH/IUPHHK
IHPH/IUPHHK
4
Foto udara/citra landsat
Foto udara/citra landsat
5
Penataan Areal Kerja (PAK)
Penataan Areal Kerja (PAK)
6
Pembuatan SEL
Pembuatan SEL
7
Studi diagnostik
Studi diagnostik
II
Biaya Investasi Alat dan Bangunan
Biaya Investasi Alat dan Bangunan
1
Investasi bangunan (setiap 25 tahun)
Investasi bangunan (setiap 25 tahun)
2
Investasi peralatan (setiap 10 tahun)
Investasi peralatan (setiap 10 tahun)
Sumber: diolah dari data primer
135
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
Biaya investasi terdiri dari biaya investasi perencanaan dan biaya investasi alat dan bangunan. Biaya investasi perencanaan meliputi biaya penyusunan RKL (Rencana Karya Lima Tahunan)/ RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan), biaya penyusunan Rencana Kerja UPHHK (Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), biaya pembuatan SEL (Studi Evaluasi Lingkungan), studi diagnostik, PAK (Penataan Areal Kerja), biaya foto udara/citra landsat, iuran HPH/IUPHHK . Secara umum, komponen-komponen biaya pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae dengan dua sistem silvikultur dapat dilihat pada Tabel 1. 3.
Perbedaan Biaya Berdasarkan Sistem Silvikultur Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh B2PD (2012), perbedaan dan perhitungan biaya dilakukan pada beberapa perusahaan di lokasi yang berbeda-beda baik yang telah menerapkan sistem silvikultur TPTI secara tunggal maupun yang menerapkan dua sistem silvikultur sekaligus (TPTI dan TPTJ). Perbedaan mendasar kegiatan pengembangan usaha tanaman kedua jenis meranti tersebut terletak pada volume dan intensitas kegiatan pada komponen biaya operasional langsung yang berhubungan dengan kegiatan: 3.1. Pengadaan Bibit 3.1.1. Perhitungan Biaya Pengadaan Bibit
Secara umum bahwa biaya pengadaan bibit akan sangat berpengaruh terhadap biaya pembangunan hutan. Pengadaan bibit dalam persemaian pada areal sebuah IUPHHK ditujukan untuk kegiatan penanaman pengayaan dan rehabilitasi areal bekas tebangan yang dihitung berdasarkan hasil pengukuran Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) jika menerapkan sistem silvikultur TPTI, tetapi pada areal hutan yang dicadangkan untuk kegiatan TPTJ penanaman jenis-jenis Dipterocarpaceae dilakukan pada jalur tanam dengan luasan tertentu dan dilakukan pemeliharaan secara intensif. Sehingga jumlah kebutuhan bibit yang akan ditanam berbeda berdasarkan sistem silvikultur yang digunakan. Jumlah pengadaan bibit juga menyesuaikan dengan (1) target penanaman bibit per tahun, (2) untuk luasan tertentu dari realisasi luas bekas tebangan, (3) jarak tanam tertentu (penanaman pengayaan 5 m x 5 m dan rehabilitasi 3 m x 3 m) dengan (4) faktor pengaman dalam TPTI. Sementara untuk areal penanaman dengan sistem silvikultur TPTJ, penanaman dalam jalur intensif 2,5 m x 20 m atau dengan jarak tanam (5 m x 5 m) serta ditambah dengan (4) faktor pengaman.
136
Tien Wahyuni
Tabel 2. Simulasi jumlah kebutuhan bibit dengan persentase dari nilai baku dari realisasi luas blok tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI No. 1.
Deskripsi
Jumlah
Untuk pengayaan/ha Luas tanam
10.000 m2
Jarak tanam 5 m x 5 m
25 m2
Jumlah bibit
400 btg/ha
Faktor pengaman 20% x (400)
80 btg/ha 480 btg/ha
Realisasi luas blok tebangan/th x 3% Jumlah bibit 2.
30 ha/thn 14.400 btg/thn (1)
Untuk rehabilitasi/ha Luas tanam
10.000 m2
Jarak tanam 3 m x 3 m
9 m2
Jumlah bibit
1.111 btg/ha
Faktor pengaman 20% x (1.111)
222 btg/ha 1.333 btg/ha
Realisasi luas blok tebangan/th x 2% Jumlah bibit 3.
20 ha/thn 26.660 btg/thn (2)
Untuk areal tidak produktif/ha Luas tanam
10.000 m2
Jarak tanam 5 m x 5 m
25 m2
Jumlah bibit
400 btg/ha
Faktor pengaman 20% x (400)
80 btg/ha 480 btg/ha
Realisasi luas blok tebangan/th x 2% Jumlah bibit 4.
20 ha/thn 9.600 btg/thn (3)
Untuk kanan kiri jalan/ha Panjang penanaman (mis. 2 km/th)
200 ha
Jarak tanam 5 m x 5 m
25 m2
Jumlah bibit
400 btg/ha 80.000 btg/thn
Faktor pengaman 20% x (400 x 200)
16.000 btg/thn 96.000 btg/ha (4)
Total jumlah bibit per tahun (1+2+3+4) Sumber: Wahyuni dan Indriyanti (2012)
137
146.660 bibit
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
Perhitungan simulasi pada Tabel 3. merupakan contoh perhitungan jumlah pengadaan bibit pada kegiatan penanaman yang menerapkan sistem silvikultur TPTJ. Dalam TPTJ dilakukan pembuatan jalur bersih (penjaluran), dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22 meter. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman dengan jenis-jenis meranti, menggunakan jarak tanam 5 meter, sehingga jarak tanaman menjadi 5 x 25 meter. Jika dilakukan teknik silin/TPTI Intensif, kebutuhan jumlah bibit akan sama, yang berbeda adalah lebar jalur kotor. Pada LOA (log over area) untuk tebangan persiapan yang dilanjutkan dengan membuat jalur bersih dengan lebar 3 meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 meter dilakukan penanaman pengayaan (enrichment planting) dengan jarak antar tanaman 2,5 meter x 20 meter. Tabel 3. Simulasi jumlah kebutuhan bibit dengan menerapkan sistem silvikultur TPTJ dan teknik silin/TPTI Intensif No. 1.
Deskripsi
Jumlah
Untuk penanaman dalam jalur (TPTJ) Luas tanam
10.000 m2
Jarak tanam 5 m x 25 m
50 m2
Jumlah bibit
80 btg/ha
Faktor pengaman 20% x (80)
16 btg/ha 96 btg/ha
2.
Realisasi luas penanaman dalam jalur/th
500 ha/thn
Jumlah bibit
48.000 btg/thn (1)
Untuk penanaman dalam jalur (TPTI Intensif) Luas tanam
10.000 m2
Jarak tanam 2,5 m x 20 m
50 m2
Jumlah bibit
80 btg/ha
Faktor pengaman 20% x (80)
16 btg/ha 96 btg/ha
Realisasi luas penanaman dalam jalur/th
500 ha/thn
Jumlah bibit
48.000 btg/thn (1)
Sumber: diolah dari data primer (B2PD, 2013)
Perhitungan biaya pengadaan bibit dilakukan terhadap input harga bahan, materi, prestasi kerja, upah tenaga kerja dan lamanya waktu dalam tiap-tiap tahapan pada kegiatan pengadaan bibit dan tentunya akan mempengaruhi harga materi bibit siap
138
Tien Wahyuni
tanam. Dalam melakukan perhitungan biaya tersebut, harus diperhatikan posisi dan lokasi dari IUPHHK karena biaya tenaga kerja akan dipengaruhi oleh perbedaan dalam penetapan upah minimum provinsi atau kabupaten (UMP/UMK). Dari penelitian yang dilakukan oleh B2PD (2012 dan 2013), perhitungan biaya dilakukan pada beberapa perusahaan di lokasi yang berbedabeda. Secara umum asumsi yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a. Perhitungan biaya dilakukan untuk skala 1 hektar. b. Besar upah per HOK disesuaikan dengan upah minimum provinsi atau kabupaten (UMP/UMK). c. Rata-rata luas areal blok tebangan. d. Jarak tanam yang berbeda pada masing-masing sistem silvikultur. e. Persentase dari luas areal bekas tebangan yang ditanami. Data besaran biaya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada beberapa perusahaan di dua propinsi yang berbeda dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI yang dilaksanakan pada tahun 2012 dan TPTJ pada tahun 2013. Tabel 4. Harga bibit, biaya pengadaan bibit per hektar, dengan upah minimum propinsi (UMP) dan besar upah per HOK untuk masing-masing perusahaan Sistem Silvikultur/Tahun Penelitian No.
TPTI (2012)
Deskripsi
PT SJM 1.
UMP/UMK
Rp.
2.
Besar upah per HOK
Rp.
3.
Harga bibit/batang
Rp.
4.
Jumlah kebutuhan bibit/ha
5.
Biaya pengadaan bibit/hektar
Rp.
TPTJ (2013) PT AL
900.000,-
PT SJM
PT IKANI
1.177.000,-
1.060.000,-
1.752.073,-
46.300,-
65.000,-
54.300,-
68.000,-
1.361,20,-
2.573,32,-
1.933,-
2.069,-
480
480
240
240
653.376,-
1.235.192,-
464.020,-
496.560,-
Sumber : B2PD (2012 dan 2013) Keterangan: PT. SJM, Kalbar : PT Suka Jaya Makmur di Kalimantan Barat PT. AL, Kaltim : PT Adimitra Lestari di Kalimantan Timur PT. IKANI, Kaltim : PT ITCI Kayan Hutani di Kalimantan Timur
Hasil perhitungan tersebut, tidak untuk diperbandingkan karena adanya perbedaan pada asumsi yang digunakan dalam perhitungan biaya, yaitu pada besar upah tenaga kerja, luas areal bekas tebangan dan persentase dari realisasi luas blok tebangan serta luasan areal yang dicadangkan untuk ditanami pada masing-masing perusahaan. Pendekatan yang digunakan untuk analisa usaha budidaya tanaman kedua jenis meranti ini adalah pendekatan analisa biaya dan manfaat.
139
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
3.2. Penyiapan Lahan Kegiatan penyiapan lahan dalam pengembangan usaha tanaman kedua jenis meranti ini, pada penerapan sistem silvikultur antara TPTI dan TPTJ secara mendasar akan sangat berbeda. 3.2.1. Penyiapan Lubang Tanam Dalam TPTI
Kegiatan penyiapan lahan dan penanaman merupakan kegiatan satu paket yang dilakukan oleh 1 kelompok kerja yang terdiri dari 8 orang pada bekas blok dan petak tebangan. Sehingga perhitungan biaya dianggap satu biaya tidak dibuat terpisah. Luas petak tebangan bervariasi tergantung kondisi lapangan yaitu antara 70 s/d 100 hektar/petak, sehingga diambil rata-rata 70 ha/petak. a. Luas efektif untuk penanaman dalam 1 kelompok kerja orang adalah 2 ha, namun luas ini sudah termasuk penanaman di daerah terbuka, bekas TPn (Tempat Pengumpulan Kayu Bulat) dan bekas camp yang menggunakan jenis lain seperti sungkai dan jambu monyet. Persentase penanaman jenis meranti 70% dan jenis lain 30%. b. Penyiapan lahan terdiri dari kegiatan perintisan, pencarian dan pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam, mengisi lubang tanam. c. Penanaman terdiri dari kegiatan transportasi bibit, distribusi bibit, menanam, mendangir, membuat piringan dan pemulsaan. 3.2.2. Penyiapan Lubang Tanam Dalam TPTJ
Kegiatan penyiapan lahan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTJ dengan teknik silvikultur intensif sangat berbeda dengan kegiatan dengan sistem silvikultur TPTI. Prinsip dari kegiatan penyiapan lahan, pembuatan jalur tanam dan pembuatan lubang tanam merupakan tahapan kegiatan yang tidak dapat terpisahkan. Ada 3 tahapan kerja dalam sistem silvikultur TPTJ yaitu secara manual, semi mekanis dan perapihan/penggolegan. Setiap tahapan kerja ini dikerjakan oleh 1 kelompok kerja yang jumlah pekerja dan komponen kegiatannya berbeda dan bervariasi. Penjelasan secara spesifk tentang tahapan kerja dalam kegiatan penyiapan lahan dijelaskan pada contoh perhitungan di PT Suka Jaya Makmur berikut ini. Tahapan kerja tersebut adalah: a. Secara manual Regu manual terdiri dari 8 orang tenaga harian lepas dan 1 orang mandor. Peralatan yang digunakan adalah parang dan cangkul. Tahapan kerjanya yaitu: • Membuat jalur tanam dengan lebar bersih 3 m 140
Tien Wahyuni
• Membuat dan memasang ajir, jarak antar ajir 2.5 m • Membuat lubang tanam, 30 x 30 cm • Mengidentifikasi tanaman yang sudah ada dalam jalur Target pekerjaan : 200 ajir/hari/regu atau 30 x 200 ajir = 6000 ajir/bulan. Untuk perhitungan skala 1 hektar = 200 tanaman atau 200 ajir = 1 hari kerja/regu, dan perhitungan biaya penyiapan lahan secara manual adalah 8 orang x 54.300 = Rp. 434.400,-/ hektar. b. Secara semi mekanis Regu semi mekanis terdiri dari 2 operator chainsaw, 2 helper, 1 org tukang masak dan 1 orang mandor. Peralatan yang digunakan adalah chainsaw, linggis. Tahapan kerjanya yaitu: • Membersihkan secara vertikal semua tanaman lain di dalam jalur selebar 3 m. • Target pekerjaan : 400 ajir atau 1 km. c. Perapihan atau penggolegkan. Regu perapihan terdiri dari 6 orang dan 1 orang mandor. Peralatan yang digunakan adalah parang, tuas kayu Tahapan kerjanya yaitu: • Membersihkan sisa-sisa kayu hasil pekerjaan regu semi mekanis dalam jalur. • Pengisian lubang tanam dengan top soil • Target pekerjaan: 400 ajir atau 1 km. Kegiatan penyiapan lahan dilaksanakan pada bekas blok dan petak tebangan yang dialokasikan untuk kegiatan TPTJ. Penanaman terdiri dari kegiatan transportasi bibit, distribusi bibit, menanam, mendangir, membuat piringan dan pemulsaan. 3.3. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan tanaman jenis meranti dengan menerapkan dua sistem silvikutur tersebut memiliki perbedaan intensitas. Untuk itu diperlukan asumsi-asumsi yang jelas seperti diuraikan pada satu contoh perusaahaan di bawah ini. Biaya pemeliharaan tahun berjalan per hektar (TPTI) PT Suka Jaya Makmur Asumsi : a. Pada kegiatan pemeliharaan, sistem kerja diborongkan selama 1 bulan pada areal bekas petak tebangan. b. Biaya pengadaan logistik sama dengan biaya pada kegiatan penyiapan lahan dan penanaman, tetapi biaya peralatan dilakukan pengurangan 50% untuk kegiatan pemeliharaan tahun berikutnya. 141
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
c. Persentase penyulaman pada pemeliharaan tahun berjalan sekitar 20-30% dari jumlah tanaman yang ditanam (terutama jenis meranti). d. Dilakukan juga penyulaman tanaman yang mati. Biaya pemeliharaan tahun 1, 2 dan 3 per hektar (TPTJ) PT Suka Jaya Makmur Asumsi : a. Pada kegiatan pemeliharaan, setiap regu kerja selama 1 bulan pada areal bekas petak tebangan b. Penyulaman hanya dilakukan pada pemeliharaan tahun 1 saja. c. Persentase penyulaman pada pemeliharaan tahun berjalan sekitar 20-30% dari jumlah tanaman yang ditanam (terutama jenis meranti). 4.
Metode Analisis Finansial Analisis kelayakan finansial pengembangan usaha tanaman kedua jenis Dipterocarpaceae adalah estimasi pendapatan dan biaya dengan menggunakan pendekatan parameter analisis biaya dan eksternalitas yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae pada pengelolaan hutan alam dalam jangka panjang pada lokasi yang bersangkutan. Metode analisis data dilakukan dengan metode pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dituangkan dalam analisis kelayakan finansial (biaya). Analisis valuasi ekonomi investasi pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut: a. Mengidentifikasi berbagai faktor dan peubah (variables) utama penyusun biaya yang berpengaruh terhadap investasi pengembangan usaha tanaman kedua jenis Dipterocarpaceae. Berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan perkembangan pergerakan (trend) nilai suatu peubah dilakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai serta kisaran nilai yang dapat diterima. b. Melakukan survey harga pasar untuk masing-masing variabel. Misalnya, berbagai harga masukan yang harus dibayar untuk investasi tanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan harga hasil produksi kayu. Nilai finansial yang diperoleh dari hasil perkalian antara satuan input/output fisik dengan harga pasar yang satuannya Rp/ha. c. Menaksir biaya pengusahaan hutan dan pendapatannya yang secara khusus melakukan pengembangan usaha kedua jenis tanaman meranti dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI dan TPTJ dengan sistem silvikultur intensif (Silin/TPTII). Biayabiaya tersebut adalah biaya total kegiatan mulai dari kegiatan 142
Tien Wahyuni
perencanaan sampai dengan tanaman mencapai umur panen. d. Menghubungkan antara biaya dengan pendapatan untuk mengetahui taksiran profitabilitasnya. Agar dapat dihubungkan maka seluruh biaya dan pendapatan dinilai pada tempat dan waktu yang sama. Pada penelitian yang dilakukan, semua biaya dan pendapatan dinilai pada tahun penelitian dilaksanakan sehingga biaya dan pendapatan yang terjadi sampai akhir daur didiskon ke tahun 0. e. Kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis meranti di hutan alam merupakan kegiatan investasi yang berjangka panjang, sehingga diasumsikan kenaikan harga dari input dan output pada bobot yang sama. Untuk itu analisis dilakukan pada harga konstan tahun tertentu saja (misalnya tahun 2013). f. Mengidentifikasi pilihan-pilihan logis usaha dengan menyusun asumsi-asumsi logik. Misalnya asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: • Berapa upah per HOK? (disesuaikan UMR dari masingmasing propinsi) • Menentukan suku bunga yang dipakai untuk menentukan nilai kini dari biaya dan manfaat. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada (1) suku bunga riil selisih antara suku bunga nominal dengan laju inflasi yaitu 6.78% dan (2) pada tingkat suku bunga 14% yang merupakan tingkat biaya investasi jangka panjang yang diberikan oleh bank. • Daur normal yang digunakan adalah 30 tahun (TPTI) dan 25 tahun (TPTJ) • Potensi akhir daur per ha meranti • Pendapatan diperoleh dengan mengalikan taksiran output fisik dengan harga per m3 kayu meranti dalam keadaan berdiri (stumpage value) g. Mengembangkan perhitungan dalam suatu lembaran kerja (spreadsheet dengan menggunakan Excel) sehingga memungkinkan untuk melakukan penyesuaian peubah-peubah secara fleksibel. Semua perhitungan nilai peubah biaya dan manfaat proyek dilakukan dalam satuan per unit (per hektar). Hal ini dimaksudkan untuk dapat melakukan perbandingan antara kategori biaya dan manfaat. h. Melakukan perhitungan NPV, BCR dan IRR. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai peubah indikator pembanding, misalnya Net Present Value (NPV). Menganalisa hasil taksiran profitabilitas finansial dilanjutkan dengan analisis sensitiviitas/kepekaan untuk menguji kekuatan kegiatan terhadap perubahan yang diperkirakan terjadi. Dari hasil analisis perhitungan tersebut kemudian dapat merumuskan rekomendasi usaha. 143
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
5.
nalisis Penghasilan Pengembangan Usaha Tanaman A Jenis Dipterocarpaceae dengan sistem silvikultur TPTI dan TPTJ Perkiraan penghasilan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae ini didasarkan pada harapan hasil kayu berupa proyeksi produksi dari dua jenis Dipterocarpaceae yaitu S. leprosula Miq dan S. johorensis Foxw. Proyeksi produksi kegiatan ini didasarkan atas tujuan peruntukan jenis dan taksiran produksi. Tujuan peruntukan jenis dalam kegiatan pengembangan usaha penanaman kedua jenis meranti adalah menghasilkan kayu pertukangan. Untuk memperkirakan penghasilan dari kedua jenis Dipterocarpaceae tersebut diperlukan informasi harga kayu pada masing-masing lokasi penelitian. Secara umum, tidak ada pembedaan harga kayu berdasarkan jenis-jenis Dipterocarpaceae, umumnya hanya menyebutkan harga kayu meranti. Komponen-komponen biaya pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae dengan menerapkan dua sistem silvikultur TPTI dan TPTJ disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Proyeksi Arus Kas PT Suka Jaya Makmur dan PT Adimitra Lestari untuk pengembangan jenis Dipterocarpaceae dengan sistem silvikultur TPTI tahun 2012 dan PT Suka Jaya Makmur dan PT IKANI untuk pengembangan jenis Dipterocarpaceae dengan sistem silvikultur TPTJ tahun 2013 Pengeluaran (Belanja)
No.
Biaya (Rp/ha) PT Suka Jaya Makmur
Biaya (Rp/ha) PT Adimitra Lestari
Biaya (Rp/ha) PT IKANI
TPTI
TPTJ
A
Biaya operasional
I
Biaya Langsung
1
Pengadaan Bibit (persemaian)
653,375.62
302,462
1,235,192
248,286
2
Penyiapan lahan & penanaman pengayaan
251,893
2,547,640
306,685
2,434,100
3
Pemeliharaan tahun berjalan
232,888
496,573
288,682.50
538,000
4
Pemeliharaan tahun I
175,228
230,435
217,262.50
518,600
5
Pemeliharaan tahun II
119,696.25
234,687
147,842.50
524,312
6
Pemeliharaan tahun III
-
548,389
-
-
Jumlah biaya langsung 1,432,452.37
4,360,189
2,195,664
4,263,298
4,003.73
3.895,39
8,267,43
II
Biaya Tidak Langsung
1
RKT
TPTI
TPTJ
4,003.73
144
Tien Wahyuni
2
Biaya umum, administrasi, personalia
3
52,500
52,500
76,035.95
85,174.59
Binsos dan PMDH
8,395.11
8,395.11
71,689.50
17,630.22
4
Penelitian dan pengembangan
2,042.72
2,042.72
4,030.71
2,289.64
5
PBB
6,381.69
6,381.69
10,000
164,743.56
6
B. pengelolaan & pemantauan lingkungan
2,918.17
2,918.17
28,790.79
28,790.79
7
Perlindungan dan pengamanan hutan
1,556.51
1,556.51
7,163.93
2,457.93
Jumlah biaya tidak langsung
68,880.22
68,880.22
201,608.27
Jumlah biaya operasional 1,501,332.59
4,429,066.22
2,399,272.77
4,572,652.16
309,354.16
B
Biaya Investasi
1
Investasi bangunan (setiap 25 tahun)
17,699
17,699
17,808
29,926.00
2
Investasi peralatan (setiap 10 tahun)
153,204
153,204
645,597
599,199.00
3
Penyusutan bangunan
69.74
69.74
178.08
602.63
4
Penyusutan peralatan
7,507
7,507
45,301.37
42,669.65
5
RKL/RPL
1,500
1,500
5,000
1,000
6
Penyusunan RKUPHHK
2,800
2,800
2,000
5,000
7
IHPH/IUPHHK
50,000
50,000
50,000
30,000
8
Foto udara/citra landsat
750
750
1,000
114.48
9
Penataan Areal Kerja (PAK)
75,000
75,000
58,088
58,088
10
Pembuatan SEL
1,500
1,500
5,000
2,000
11
Studi diagnostik & b. sertifikasi PHAPL
1,300
1,300
30,000
30,000
293,092.63
293,092.63
859,972.45
798,599.76
Jumlah biaya 1,805,557.39 seluruhnya
4,722,158.85
3,261,116.34
5,371,251.92
Jumlah biaya investasi
B
Pendapatan
26,190,000 69,247,500 Kayu bulat meranti Sumber: diolah dari data primer (B2PD, 2012 dan 2013)
6.
64,538,262.38 62,891,768.65
nalisis Finansial dan Sensitivitas Pengembangan A Usaha Tanaman Jenis Dipterocarpaceae dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ Analisis finansial digunakan untuk mengetahui tingkat kelayakan dari kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae yang menerapkan sistem silvikultur TPTI dan 145
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
TPTJ dan dipengaruhi oleh suku bunga riil selisih antara suku bunga nominal dengan laju inflasi yaitu 6.78% dan suku bunga yang berlaku, yaitu 14%. Beberapa hasil analisis finansial dan sensitivitas dilakukan untuk menguji kelayakan dan kepekaaan usaha. Berdasarkan hasil perhitungan pada arus pengeluaran dan penerimaan pada Tabel 4 (untuk masing-masing perusahaan) dan perhitungan hasil analisis finansial tercantum pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6. Hasil Analisis Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterocarpaceae dengan menerapkan sistem silvikultutr TPTI pada PT Suka Jaya Makmur dan PT Adimitra Lestari Suku Bunga No.
Komponen
Kepekaan/Sensitivitas
Suku bunga riil 6,78%
Suku bunga berlaku 14%
Pendapatan turun 30%
Suku bunga moderat 8%
PT Suka Jaya Makmur 1
NPV (Rp)
826.608,03
-1.811.180,32
-271.283,05
-105.807,94
2
BCR
1,29
0,22
0,91
0,96
3
IRR (%)
6,82
14,04
6,84
8,04
NPV (Rp)
2.514.420,67
-3.718.976,16
-191.038,77
289.785,37
2
BCR
1,39
0,25
0,97
1,05
3
IRR (%)
6,88
14,10
6,83
8,10
PT Adimitra Lestari 1
Sumber: diolah dari data primer (B2PD, 2012)
Berdasarkan Tabel 5 bahwa pada tingkat suku bunga riil 6,78% kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae pada PT Suka Jaya Makmur dan PT Adimitra Lestari layak diusahakan (dapat memberikan harapan keuntungan) sebab memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 dan IRR ≥ suku bunga bank yang digunakan. Pada tingkat suku bunga riil 6,78% menunjukkan BCR PT Suka Jaya Makmur sebesar 1,29% dan BCR PT Adimitra Lestari sebesar 1,39 % yang berarti total pendapatan yang akan diterima akan surplus sebesar 12,9% dan 13,9 % dari total biaya/pengeluaran yang dibelanjakan. Nilai IRR pada tingkat suku bunga riil 6,78% menunjukkan selisih tipis di atas suku bunga yang digunakan hal ini tidak cukup atau kurang menarik bagi pengusaha. Sedangkan pada tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 14%, kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae tidak layak diusahakan (tidak dapat memberikan keuntungan) sebab tidak memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 meskipun IRR ≥ dengan suku bunga bank yang berlaku. 146
Tien Wahyuni
Tabel 7. Hasil Analisis Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterocarpaceae dengan menerapkan sistem silvikultur TPTJ pada PT Suka Jaya Makmur dan PT IKANI Suku Bunga No.
Komponen
Kepekaan/Sensitivitas
Suku bunga riil 6,78%
Suku bunga berlaku 14%
Pendapatan turun 30%
Suku bunga moderat 8%
PT Suka Jaya Makmur 1
NPV (Rp)
7.851.955,40
- 2.414.428.66
3.822.211,55
4.656.146,35
2
BCR
2,40
0,52
1,68
1,85
3
IRR (%)
8,98
6,61
6,78
9,71
1
NPV (Rp)
2.634.430,70
- 5.302.312,89
-1.046.259,23
2.462.360,13
2
BCR
1,27
0,31
0,89
1,01
3
IRR (%)
6,78
14,00
6,78
8,03
PT IKANI
Sumber: diolah dari data primer (B2PD, 2013)
Berdasarkan Tabel 6 bahwa pada tingkat suku bunga riil 6,78% kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae pada PT Suka Jaya Makmur dan PT IKANI layak diusahakan (dapat memberikan harapan keuntungan) sebab memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 dan IRR ≥ suku bunga bank yang digunakan. Pada tingkat suku bunga riil 6,78% menunjukkan BCR PT Suka Jaya Makmur sebesar 2,40 dan BCR PT IKANI sebesar 1,27 yang berarti total pendapatan yang akan diterima akan surplus sebesar 24% dan 12,7% dari total biaya/pengeluaran yang dibelanjakan. Nilai IRR pada tingkat suku bunga riil 6,78% menunjukkan terdapat selisih di atas suku bunga yang digunakan hal ini menjadi daya tarik bagi pengusaha. Sedangkan jika terjadi kenaikan tingkat suku bunga yang berlaku hingga 14%, kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae tidak layak diusahakan (tidak dapat memberikan keuntungan) sebab tidak memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 meskipun IRR ≥ dengan suku bunga bank yang berlaku. Menurut Nugroho (2005) analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan faktorfaktor yang berpengaruh. Perubahan harga kayu bulat meranti dan perubahan kenaikan suku bunga bank yang berlaku akan berpengaruh terhadap pendapatan dan tingkat keuntungan. Analisis kepekaan dilakukan terhadap perubahan tersebut berdasarkan analisis finansial sebelumnya. 147
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI, hanya PT Adimitra Lestari cukup kuat menghadapi perubahan yang terjadi dalam hal kenaikan suku bunga sampai 8%. Sedangkan menghadapi perubahan dalam hal penurunan hasil pendapatan sebesar 30% kedua perusahaan tersebut tidak cukup kuat karena tidak memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 meskipun nilai IRR ≥ selisih tipis di atas suku bunga bank yang berlaku. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa analisis sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan pengembangan usaha tanaman jenis Dipterocarpaceae dengan menerapkan sistem silvikultur TPTJ, hanya pada PT Suka Jaya Makmur saja yang masih dapat memberikan keuntungan menghadapi perubahan dalam hal penurunan hasil pendapatan sebesar 30% dan kenaikan suku bunga hingga 8% sebab memenuhi ketiga kriteria yang dipakai, yaitu NPV ≥ 0, BCR ≥ 1 dan IRR ≥ suku bunga bank yang digunakan. Tetapi bagi PT IKANI perubahan tersebut sangat beresiko terhadap kerugian karena nilai NPV, BCR dan IRR ≤ 1, meskipun pada kenaikan suku bunga 8% masih memberi keuntungan yang tipis. 7.
Penutup Kegiatan pengembangan usaha tanaman kedua jenis meranti tersebut merupakan bagian dari kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dari kegiatan pengelolaan hutan secara menyeluruh, baik dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI maupun dengan menerapkan kedua sistem silvikultur sekaligus yaitu TPTI dan TPTJ. Dengan demikian komponen-komponen kegiatan dan biaya yang ada selalu berkaitan dengan kegiatan pengelolaan kawasan budidaya kehutanan secara umum. Meskipun kedua sistem silvikultur tersebut memiliki kegiatan-kegiatan yang memang berbeda terutama dalam hal dengan kegiatan-kegiatan penanaman dan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bersifat sangat intensif dengan pendekatan usaha yang lebih ketat. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh B2PD menunjukkan bahwa pengembangan usaha kedua jenis meranti pada pengelolaan hutan berbasis IUPHHK dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI dan TPTJ, dari aspek finansial dapat memberikan harapan keuntungan jika dikelola dengan baik dan benar. Perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem silvikultur baik TPTI maupun kedua-duanya (TPTI dan TPTJ) harus benar-benar mampu melakukan efisiensi dalam setiap tahapan kegiatan148
Tien Wahyuni
nya sehingga dapat menekan biaya-biaya langsung, biaya tidak langsung dan investasi. Namun tetap diperlukan dukungan dari pihak pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan daya tarik investor dengan memberikan insentif biaya, deregulasi kebijakan dalam hal rasionalisasi pungutan, kebebasan memilih jenis dan daur serta jaminan usaha dalam bentuk kepastian hukum dan keamanan kawasan berusaha.
DAFTAR PUSTAKA AL (PT Adimitra Lestari). 2010. Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2011-2020 Atas Nama PT Adimitra Lestari. Departemen Kehutanan. Jakarta Balitbanghut (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan). 2009. ROADMAP Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan. B2PD (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). 2012. Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterokarpa (Hutan Alam dengan Sistem TPTI). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa – Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan. Samarinda. Tidak Dipublikasikan. B2PD (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). 2013. Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterokarpa (Di Hutan Alam dengan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa – Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan. Samarinda. Tidak Dipublikasikan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih No. 28, Desember 2002. Shorea leprosula Miq. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Effendi, R dan S. Kosasih. 2008. Silvikultur Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. IKH (PT ITCI Kayan Hutani). 2012. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2012 - 2021 PT ITCI Kayan Hutani. Departemen Kehutanan. Jakarta Kemenhut (Kementerian Kehutanan). 2009. Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/Menhut-II/2009 tanggal 14 April 2009. Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Kementerian Kehutanan. 2009. Muhammad, A.K. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nugroho, B. 2005. Ekonomi Keteknikan (Engineering Economic): Analisis Finansial Investasi Kehutanan & Pertanian. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sakai, C dan A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-Jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan JICA dan Komatsu, Ltd. Bogor. SJM (PT Suka Jaya Makmur). 2011. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2005 - 2014 PT Suka Jaya Makmur. Departemen Kehutanan. Jakarta. 149
Analisis Finansial Budidaya dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Wahyuni, T. dan Y. Indriyanti, Y. 2012. Pengelolaan Persemaian dan Perhitungan Biaya Pengadaan Bibit Jenis-jenis Dipterokarpa. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dengan tema “Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Produksi: Tinjauan Aspek Teknis Silvikultur, Sosial Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan”. Samarinda, 13 November 2012.
150
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Teknisi Litkayasa Balai Besar Penelitian Dipterokarpa yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian yaitu: Giono, S.Hut, Supianto, Armansah, Hadi Jumadin, Ahmad Rojikin, Robianto Felani, S.Hut, Sathi Eka Prassetya, Agung Supriyanto, Ronald Rombe, Iwan Setiawan Tumakaka, Ali Rustami, Murtopo Budiono dan Yusuf Makallo. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada IUPHHK yang telah membantu pelaksanaan kegiatan di lapangan antara lain: PT Rizki Kacida Reana (Kabupaten Pasir), PT Gunung Gajah Abadi (Kabupaten Pasir), PT Sari Bumi Kusuma (Kalimantan Barat), PT Arara Abadi (Kabupaten Siak, Provinsi Riau), PT Inhutani I Long Nah (Kabupaten Kutai Timur), PT ITCIKU-Kenangan (Kabupaten Penajam Paser Utara), PT BFI (Kabupaten Penajam Paser Utara), PT Inhutani II (Pulau Laut, Kalimantan Selatan), PT Intraca Wood Manufacturing (Kalimantan Utara), PT Sarmento Prakantja Timber (Kalimantan Tengah), PT Suka Daya Makmur (Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat), PT Adimitra Lestari (Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara), PT ITCI Kayan Hutani (Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara).
151
Penulis: Agus Wahyudi, Nilam Sari, Amiril Saridan, Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan, Massofian Noor, Andrian Fernandes, Abdurachman, Hartati Apriani, Rini Handayani, Asef K. Hardjana, Farida H. Susanty, Karmilasanti, Ngatiman, M. Fajri, Catur Budi Wiati, Tien Wahyuni.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Jl. AW. Syahrani No.68, Sempaja Samarinda - Kalimantan Timur Telp. 0541-206364 Fax. 0541-742298 website: http://b2pd.litbang.dephut.go.id email:
[email protected]