II. PROFIL INFRASTRUKTUR JALAN
2.1. Umum Infrastruktur adalah satu set struktur yang bergabung satu dengan yang lain dan membentuk satu rangka yang menyokong keseluruhan struktur tertentu. Misalnya, infrastruktur pengangkutan terangkum di dalamnya berupa rel kereta api, jalan raya, lapangan terbang, pelabuhan serta elemen-elemen yang masih bersangkutan dengan pengangkutan atau transportasi. Definisi infrastruktur dalam arti ekonomi adalah utilitas publik yang meliputi pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, suplai air terpipa, sanitasi dan pembuangan limbah, pengumpulan buangan padat, sampah serta gas terpipa. Pekerjaan umum meliputi: jalan, DAM, pekerjaan kanal untuk irigasi dan drainase. Sektor transportasi meliputi rel antarkota, pelabuhan dan bandar udara (World Bank, 1994). Analisis tentang pengaruh pembangunan infrastuktur publik terhadap pertumbuhan ekonomi makro nasional dan regional ataupun indikator ekonomi makro lainnya mempunyai kaitan erat dengan kebijakan pembangunan infrastruktur publik. Dengan demikian analisis tentang dampak pembangunan infrastruktur publik di Indonesia mempunyai kaitan yang erat
dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur publik. Dalam kaitannya dengan jenis-jenis infrastruktur, diatur dengan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2005, Tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur yaitu: infrastruktur transportasi, jalan, pengairan, air minum dan sanitasi, telematika, ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi.
14
Pembangunan infrastruktur mendapat perhatian yang cukup besar mengingat masih terbatasnya infrastruktur publik untuk menunjang roda kegiatan ekonomi, sementara program pembangunan nasional mengarah pada upaya untuk memperkuat kembali pertumbuhan ekonomi setelah terjadi krisis ekonomi yang cukup parah pada tahun 1998. 2.2. Karakteristik Ekonomi Infrastruktur Jalan World Bank (1994), menggambarkan karakteristik ekonomi dari infrastruktur seperti pada Gambar 4. Dari bagian infrastruktur dapat dilihat bahwa telekomunikasi merupakan anggota infrastruktur yang paling komersial dan dikategorikan sebagai private goods yang sangat individual. Bukan Kepemilikan Sendiri
Kepemilikan Sendiri
Barang Pribadi
Telekomunikasi
Kepemilikan Bersama Bus Antarkota
Tenaga Pembangkit Generator
Saingan
Air Tanah Jalan Antarkota
Saluran Irigasi Distribusi Tenaga Lokal
Rel, Bandara, dan Pelayan
Pipa Suplai Air
Transmisi Tegangan Tinggi
Saluran Irigasi Sanitasi Urban Seawerage
Jalan Tol
Jalan dalam Kota Penjaga Jalan Rambu-Rambu Bukan Saingan
Barang Kelompok
Barang Umum
Rendah
Lebih Tinggi Eksternalitas
Sumber: World Bank (1994)
Gambar 4. Karakteristik Ekonomi Infrastruktur
15
Spektrum yang lain adalah jalan desa atau kabupaten, tanda lampu lalu lintas dan pembersihan jalan yang merupakan public goods, sulit diidentifikasi secara individu dan bersifat non rival. Jalan tol, terutama interurban walaupun mempunyai karakteristik non rival akan tetapi masih berstatus club goods yang mempunyai karakteristik luar yang rendah. Berdasarkan gambar yang dibuat oleh World Bank (1994) tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan karakteristik ekonomi antara telekomunikasi dengan jalan, dapat dikatakan perbedaan karakteristik antara yang sangat komersial dengan yang tidak komersial atau kurang komersial. Jalan secara umum tidak dapat dikategorikan komersial, selain pernyataan para pakar juga merupakan bukti empirik di lapangan. Jalan tol adalah satusatunya jalan yang dapat dikategorikan komersial dengan mempergunakan road user charges hanya maksimal 5% dari total panjang jalan suatu negara, bahkan di Indonesia hanya sekitar 0.5% dari total panjang jalan yang keseluruhannya adalah 320.000 km. 2.3. Infrastruktur Jalan di Indonesia Jalan menurut Undang-undang nomor 38 tahun 2004 sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan faktor yang penting dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Selain undang-undang tersebut juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2005 tentang jalan
16
tol serta Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan. Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum dikelompokkan menurut sistem (primer dan sekunder), fungsi (arteri, kolektor dan lokal), status (nasional, provinsi dan kabupaten atau kota) dan kelas (diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan). Adapun kontribusi transportasi jalan terhadap sub sektor transportasi mencapai 50% (Gambar 5). Selain itu, berdasarkan hasil survei asal tujuan transportasi nasional 1996
memperlihatkan
bahwa
moda
jalan
hampir
mendominasi di seluruh provinsi yaitu antara 60%-90%, kecuali Maluku yang moda jalannya hanya sebesar 20% (Bappenas, 2003). Sedangkan di pulau Jawa dan Sumatera moda jalan mendominasi sekitar 80%-90% dari seluruh perjalanan. Moda jalan merupakan pilihan utama untuk perjalanan jarak pendek dan menengah dalam satu pulau atau kawasan.
60 50
(%)
40 30 20 10 0 Transportasi Transportasi Transportasi Laut Udara Jalan
ASDP
Rel
Jasa Angkutan
Sumber: Bappenas, 2003 Gambar 5. Kontribusi pada PDB Nasional Sub Sektor Transportasi di Indonesia Tahun 2003
17
Dari Gambar 6 di bawah ini, dapat dilihat porsi pengangkutan penumpang dan barang dari moda yang digunakan. Moda pada pengangkutan penumpang dan barang dibagi menjadi 7 moda, yaitu: jalan, kereta api, sungai, penyeberangan, laut dan udara. Moda angkutan penumpang yang banyak dipilih atau digunakan adalah jalan, yaitu 84.13 persen sangat tinggi dibandingkan moda yang lain. Kereta api menduduki peringkat kedua yaitu 7.32 persen, sedangkan moda-moda yang lain hanya digunakan kurang dari 5 persen. Hal ini juga terjadi pada moda pengangkutan barang, jalan merupakan moda yang sangat mendominasi yaitu 90.34 persen, sedangkan moda yang lain hanya mempunyai porsi kurang dari 5 persen. Apabila dilihat dari rata-rata moda untuk angkutan barang dan penumpang, maka dapat dilihat bahwa yang menggunakan moda jalan adalah kurang lebih 87 persen.
100 90
90,34 84,13
80
persen
70
Angkutan penumpang
60 50
Angkutan Barang
40 30 20 10 0
7,32 0,62
0,43
1,01 4,83 0,98
1,76
7
1,52 0,05
Sumber: Kuncoro (2010) Gambar 6. Pilihan Moda untuk Angkutan Penumpang dan Barang di Indonesia Tahun 2010
18
2.3.1. Jalan Nasional dan Daerah Jalan
nasional
adalah
jalan
dengan
status
jalan
nasional
dan
diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sedangkan jalan daerah yaitu meliputi jalan dengan status jalan provinsi, kabupaten atau kota yang diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota (Undangundang nomor 38 tahun 2004). Perkembangan jaringan jalan menurut status jalan dapat dilihat pada Gambar 7. Panjang jalan total seluruh Indonesia terus meningkat terutama terjadi pada jalan kabupaten. Penambahan panjang jalan kabupaten terus meningkat cukup tajam dari tahun 1981 – 1994, dan setelah itu relatif stabil. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan pembangunan dan rehabilitasi jalan mengalami penurunan, hal ini disebabkan pendanaan difokuskan untuk membantu masyarakat yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. 300000
250000
(Km)
200000
150000
100000
50000
0 PRAPELITA
PELITA I
PELITA II
Nasional
PELITA III
PELITA IV
Provinsi
PELITA V
Kabupaten
PELITA VI PROPENAS
Kotamadya
TAHUN 2005
TAHUN 2006
Tol
Sumber: Ditjen Praswil 2002, 2005, 2006
Gambar 7. Perkembangan Jaringan Jalan Menurut Status Jalan di Indonesia Tahun 2002-2006
19
Beberapa sebab utama adalah kualitas konstruksi jalan yang belum optimal, pembebanan berlebih (excessive over loading), bencana alam seperti: longsor, banjir dan gempa bumi, serta menurunnya kemampuan pembiayaan setelah masa krisis ekonomi yang menyebabkan berkurangnya anggaran alokasi dana untuk biaya pemeliharaan jalan oleh pemerintah secara drastis. Panjang jalan nasional sesuai dengan klasifikasi berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dapat dilihat dalam Gambar 8. Pulau Jawa dan Bali merupakan pulau yang paling mudah diakses di Indonesia, karena nilai aksesibilitasnya paling tinggi mencapai 0.102 km per km2. Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku memiliki kesamaan dalam kemudahan mengakses wilayah tersebut.
40000 35000 30000 (Km)
25000 20000 15000 10000 5000 0 2006 Jalan Tol
Jalan Raya
2007 Jalan Sedang
Jalan Kecil
2008 Jalan Sub Standard
Total
Sumber: Ditjen Bina Marga 2009
Gambar 8. Panjang Jalan Nasional Sesuai Klasifikasi Bedasarkan Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan di Indonesia Tahun 2009 Pulau Papua merupakan pulau yang paling sulit diakses (terisolir) di Indonesia karena nilai aksesibilitasnya yang rendah, hanya 0.07 km per km2. Walaupun pulau Kalimantan memiliki tingkat aksesibilitas tergolong rendah,
20
tetapi bukan berarti wilayahnya sulit diakses oleh penduduknya, hal ini dikarenakan adanya moda transportasi air sebagai alternatif yang digunakan di Kalimantan (Gambar 9).
70,0 60,0
(%)
50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Sumatra
Jaw a
Bali&NT
Luas Wilayah
Penduduk
Kalimantan Panjang Jalan
Sulaw esi
Maluku&Papua
Kendaraan
Sumber: Ditjen Bina Marga 2009 Gambar 9. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, Panjang Jalan dan Jumlah Kendaraan di Indonesia Tahun 2009 Sungai-sungai di Kalimantan pada umumnya tergolong sungai yang besar dan dapat dilayari. Namun, kedepan bila lingkungan hutan tidak terjaga dengan baik sungai-sungai tersebut mungkin tidak dapat dilayari lagi sepanjang tahun karena semakin dangkal sehingga peran transportasi jalan menjadi sangat penting, gambaran panjang jalan, luas wilayah dan penduduk dapat dilihat pada Tabel 1. Kondisi jaringan jalan dicerminkan dari kualitas jaringan jalan. Kualitas jaringan jalan erat kaitannya dengan kenyamanan dan keamanan perjalanan melewati jaringan jalan, selain itu juga merupakan bentuk kinerja jalan dalam fungsinya sebagai prasarana transportasi darat. Penilaian kualitas jalan didasarkan dengan perhitungan berdasarkan indeks yang digunakan di dunia, yaitu International Roughness Index (IRI).
21
Tabel 1. Panjang Jalan, Luas Wilayah dan Penduduk Menurut Pulau di Indonesia Tahun 2009 Panjang Jalan
Luas Wilayah
Penduduk
Aksesibilitas
Mobilitas
(Km/Km2)
(Km/1000 penduduk)
Pulau (Km) Sumatera
%
(Km2)
%
(Jiwa)
%
126.769
33.97
446.732
24.12
48,468 345
21.46
0.28
2.62
Jawa
86.647
23.22
129,306.48
6.98
130 401 500
57.74
0.67
0.66
Bali
6.960
1.87
5,449.37
0.29
3 466 800
1.53
1.28
2.01
Nusa Tenggara
24.609
6.59
65,847
3.56
8 736 700
3.87
0.37
2.82
Kalimantan
42.627
11.42
507,412
27.40
13 107 100
5.80
0.08
3.25
Sulawesi
55.941
14.99
193,847
10.47
16 662 032
7.38
0.29
3.36
Maluku Papua
29.620
7.94
503,371
27.18
5 012 079
2.22
0.06
5.91
KBI
213.416
57.19
576,038
31.10
178 869 845
79.20
0.37
1.19
KTI
159.757
42.81
1,275,926
68.90
46 984 711
20.80
0.13
3.40
TOTAL
373 173
100.00
1,851,965
100.00
225 854 556
100.00
0.20
1.65
Sumber : BPS, 2007; Bina Marga, 2009 Nilai IRI menggambarkan tingkat kekasaran permukaan jalan dan panjang jalan kasar per kilometer, semakin besar nilai IRI maka semakin kasar jalan tersebut. Kriteria jalan dengan kondisi baik berada pada nilai IRI ≤ 4 m per km, jalan dengan kondisi sedang memiliki nilai IRI antara 4 – 8 m per km, jalan dengan kondisi rusak ringan nilai IRI-nya adalah 8 – 12 m per km, dan jalan rusak berat memiliki nilai IRI >12 m per km. Sedangkan jalan dikatakan mantap jika berkondisi baik dan sedang dan jalan dikatakan tidak mantap jika jalan tersebut berkondisi rusak ringan dan rusak berat. 2.3.2. Kondisi Jaringan Jalan Nasional Secara umum, kondisi rata-rata jaringan jalan Nasional di seluruh Indonesia antara tahun 2005 sampai tahun 2009 semakin membaik. Capaian dan Target Kondisi Jalan Nasional dalam Gambar 10.
22
60,00 50,00
(%)
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 2005 Baik (Km)
2006 Sedang (Km)
2007 Rusak Ringan (Km)
2008
2009
Rusak Berat (Km)
Sumber: Ditjen Bina Marga, 2008 Gambar 10. Pencapaian dan Target Kondisi Jalan Nasional di Indonesia Tahun 2008 Karena keterbatasan pendanaan, sejak tahun 2004-2007 pemerintah hanya melakukan operasi pemeliharaan jalan nasional agar tetap berfungsi dengan baik, hal ini disebabkan keterbatasan anggaran pembangunan. Peningkatan kapasitas jalan baru direncanakan pada tahun 2008 dan 2009, pemerintah akan menambah lajur dari 59.107 lajur km tahun 2004 menjadi 82.190 lajur km tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 angka ini akan bertambah menjadi 84.985 lajur km. Terlepas dari kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah yang diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan yakni lebar minimal 7 meter, akan tetapi karena keterbatasan pemerintah masih sekitar 45% dari total panjang jalan nasional yang masih sub standar. Beberapa ruas jalan nasional masih banyak dalam kategori sub standard atau di bawah 5 meter satu lajur. Terkait dengan kapasitas jalan, pemerintah juga menaruh perhatian pada daya dukung jalan nasional. Daya dukung jalan nasional saat ini rata-rata masih
23
sekitar 8 ton. Kondisi jalan nasional yang mencapai 34.628 km, tercatat kondisi jalan mantap mencapai 83.23%, rusak ringan 13.34% dan rusak berat 3.43% (2008) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Perkiraan Pencapaian Kondisi Jalan di Indonesia Tahun 2004-2009 N o
Kondisi
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
Jalan
km
%
km
%
km
%
km
%
km
%
1 Baik
17037.4
37.0
10956.6
31.6
11905.4
34.4
17200.9
49.7
18092.8
52.2
2 Sedang
10873.4
43.9
17314.3
50.0
16565.7
47.8
11620.1
33.6
12055.9
34.8
3 Rusak
2874.2
8.3
3210.1
9.3
3232.7
9.3
4617.9
13.3
4480.1
12.9
ringan 4 Rusak berat
3843.8
11.1
3147.8
9.1
2925
8.4
1189.9
3.4
0
0
Total
34628.8
34628.8
34628.8
34628.8
34628.8
Sumber: Ditjen Bina Marga, 2009 Dalam hal jalan tol, sampai akhir 2009 jalan tol yang ada di Indonesia baru mencapai 693.27 km. Jika melihat pembangunan jalan tol pertama kali tahun 1978 (jalan tol Jagorawi sepanjang 59 km) maka panjang jalan tol yang ada tidak mengalami pertumbuhan yang pesat. Pada tahun 1987 terjadi perubahan dalam perkembangan jalan tol, yaitu masuknya pihak swasta dalam investasi jalan tol. Sejumlah kendala investasi jalan tol memang masih ada yaitu masalah pembebasan tanah, peraturan, belum intensnya dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan jaringan jalan tol, serta belum adanya ketentuan yang jelas mengenai land capping. Pencapaian-pencapaian dalam pengembangan jalan dapat dilihat dari jalan nasional dan kabupaten atau kota. 1. Perkiraan Pencapaian Jalur Kilometer Tahun 2005 – 2009 Perkiraan pencapaian jalur kilometer dari tahun 2005 sampai tahun 2009 telah meningkat setiap tahun. Jalur kilometer akhir tahun 2005 mencapai 74.930
24
km yang telah meningkat jalur kilometer pada tahun 2009 sampai akhir 84,985 km. Informasi lebih rinci tentang pencapaian yang diharapkan jalur kilometer tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkiraan Pencapaian Panjang Jalan di Indonesia Tahun 2005 – 2009 Tahun Pembangunan
Panjang Jalan (Km)
2005
74 930
2006
76 590
2007
78 780
2008
82 189
2009
84 985
Total Panjang
397 474
Sumber: Ditjen Bina Marga, 2009
2. Pencapaian Perkiraan Kondisi Jalan Kabupaten dan Kota Total panjang Jalan Kabupaten dan Kota pada tahun 2008 adalah 288.185.39 km, dengan 22.46% dari total panjang jalan dalam kondisi baik. Sementara 24.53% dari total panjang jalan nasional berada dalam kondisi baik, 31.14% berada dalam keadaan rusak ringan dan 21.87% mempunyai keadaan rusak. Untuk informasi lebih rinci mengenai perkiraan pencapaian Kabupaten dan Urban kondisi jalan 2006 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkiraan Pencapaian Kondisi Jalan Kabupaten dan Perkotaan di Indonesia Tahun 2006 – 2008
No
Kondisi Jalan
Tahun 2006 km
Tahun 2007 %
km
%
Tahun 2008 km
%
1
Baik
69 050.81
24.35
68 727.67
24.26
69 948.76
22.46
2
Sedang
69 921.13
24.65
71 106.71
25.10
72 330.51
24.53
3
Rusak ringan
96 019.32
33.86
90 799.69
32.05
88 462.15
31.14
4
Rusak berat
48 620.38
17.14
52 687.89
18.60
57 443.96
21.87
Total
283 611.64
Sumber: Ditjen Bina Marga, 2009
283 321.96
288 185.39
25
Kualitas jalan nasional yang baik relatif cukup tinggi, tetapi terlalu banyak jalan daerah yang tidak terpelihara dengan baik (Tabel 5). Bila dibandingkan dengan negara-negara lain dalam kawasan, proporsi jalan dengan perkerasan di Indonesia relatif cukup tinggi sekitar 60%. Proporsi jalan nasional terpelihara dengan kondisi baik sampai sedang sekitar 80% menurun sejak tahun 2000. Kondisi ini kontras dengan kualitas rata-rata dari jalan daerah yang tetap sama pada tahun 2002. Beberapa wilayah terburuk berada di KTI, dimana kepadatan penduduk dan kebutuhan lalu lintas rendah, jalannya masih tidak dapat di akses sepanjang tahun. Tabel 5. Kualitas Jalan di Indonesia Tahun 2000-2006 Jenis Jalan Jalan Tol
Panjang
Kondisi 2000 2006
Standar Permukaan
649
-
-
100
Jalan Nasional
34 628
87
81
90
Jalan Provinsi
37 164
81
63
89
Jalan Kabupaten
240 946
49
49
52
Total Jalan (Km)
339 005
-
-
60.5
Sumber : World Bank, 2007
Dampak penurunan kualitas jalan terhadap kegiatan ekonomi memang lebih terasa pada pulau Jawa dan Sumatera (KBI) karena kedua wilayah tersebut kepadatan dan lalu lintas jalan lebih padat dibandingkan dengan pulau lainnya. Konsentrasi ketersediaan jalan raya berada di pulau Jawa yang luasnya hanya 6.7% dari luas wilayah Indonesia, tetapi memiliki 27% panjang jalan di wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di pulau Jawa yaitu sebesar 62%. Konsentrasi terkecil di Papua dengan luas 23.4% dari luas dataran di Indonesia hanya memiliki 6% panjang jalan dari seluruh wilayah Indonesia.
26
2.3.3.
Perkembangan Jalan Tol
2.3.3.1. Komparasi Antarnegara Pembangunan jalan tol di Indonesia sejak awal kehadirannya pada tahun 1978 sampai mencapai jangka waktu seperempat abad berjalan dengan sangat lambat, khususnya jika dibandingkan dengan pembangunan jalan tol di beberapa negara tetangga dan negara lain di Asia. Pada tahun 2002 perbandingan panjang jalan tol di Indonesia dengan panjang jalan tol di Jepang, Malaysia, Korea dan China dapat dilihat pada Tabel 6 (Santoso, 2004). Tabel 6. Perbandingan Panjang Jalan Tol di Beberapa Negara Asia dan Asean Negara Jepang
Jumlah Penduduk
Panjang Jalan (Km) Arteri
Tol
Km/Jalan/ 1 Juta Penduduk 9 422
125.000.000
1 166 340
11 520
Malaysia
22.000.000
64 949
1 230
3 008
Korea
46.000.000
88 775
2 600
1 986
1 300 .000.000
1 700 000
100 000
1 384
210 .000.000
26 000
520
126
Cina Indonesia
Sumber : Asosiasi Jalan Tol Indonesia (Santoso, 2004) Panjang jalan tol yang telah dioperasikan di Indonesia pada tahun 2002 hanya mencapai 520 km, dari panjang ini hanya sekitar 25% yang dikerjakan oleh sektor swasta. Sementara itu pada tahun yang sama di Malaysia panjang jalan tol yang dioperasikan sudah mencapai 1.230 km atau 2.4 kali panjang jalan tol di Indonesia, sedangkan di Korea mencapai 2.600 km (5 kali di Indonesia). Negara Jepang mempunyai panjang tol mencapai 11.520 km (22.2 kali di Indonesia) dan di Cina 100.000 km (192.3 kali di Indonesia). Cina memiliki panjang jalan tol terbesar yaitu sepanjang 100.000 km, akan tetapi dari rasio panjang jalan tol (km) per 1 juta penduduk.
27
800 700
sumber dana: pinjaman luar negeri dan obligasi jasa marga
Panjang Jalan Tol
600 500 400 300 200
sektor swasta dengan sistem BOT
100
penerbitan obligasi+sistem modified turnkey kepada kontraktor
swasta dengan BOT+BTO+ penerbitan obligasi
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
0 Tahun
Sumber: Ditjen Bina Marga, 2009
Gambar 11. Pertumbuhan Panjang Jalan Tol di Indonesia Tahun 2009 Negara Jepang menempati peringkat teratas yaitu 9.422 km per 1 juta penduduk dan Malaysia diurutan kedua dengan 3.008 km per 1 juta penduduk, sementara Indonesia tetap berada pada urutan terbawah dengan 126 km per 1 juta penduduk. Dari segi panjang jalan tol maupun dari rasio panjang jalan tol dengan jumlah penduduk, Indonesia jauh tertinggal dengan negara tetangga dan negara Asia lainnya menunjukkan betapa lambatnya laju pembangunan jalan tol di Indonesia selama ini. Gambaran spesifik pertumbuhan jalan tol antara tahun 1978 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 11. 2.3.3.2 Progres Pembangunan Jalan Tol Seperti dapat dilihat pada Gambar 11 serta Tabel 7 laju pasokan atau pembangunan jalan tol di Indonesia dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kondisi, yaitu kondisi sebelum krisis (1978–1998), selama krisis (1998–1999) dan pasca krisis (1999–sekarang). Sebelum krisis, rata-rata laju pasokan jalan tol adalah sebesar
28
25.75 km per tahun, selama masa krisis pasokan jalan tol relatif tidak mengalami pertumbuhan sehingga laju pertumbuhan adalah sama dengan nol, sedangkan pasca krisis, laju pasokan rata-rata jalan tol di Indonesia adalah 9.25 km per tahun. Tabel 7. Ruas Jalan Tol yang Sudah Beroperasi Sampai dengan Tahun 2008
Jalan Tol
No
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16
Jakarta-Bogor-Ciawi Jakarta-Tangerang Surabaya-Gempol Jakarta-Cikampek Padalarang-Cileunyi Prof. DR. Soedijatmo Lingkar Dalam Kota Jakarta Balmera Semarang seksi A,B,C Ulujami-Pondok Aren Cirebon-Palimanan JORR W2 Selatan (Pond.Pinang-Veteran) JORR E1 Selatan (Taman Mini-Hankam Raya) JORR E2 (Cikulir-Cakung) Cikampek-Padalarang I Cikampek-Padalarang II JORR E1-3,W2-S2-E3,E1-4 JORR Selatan (Pond.PinangTaman Mini)
Panjang (km) Jalan Akses Utama JASA MARGA 50.00 9.00 27.00 6.00 43.00 6.00 72.00 11.00 35.63 28.77 14.30 23.55 33.70 9.00 24.75 5.55 26.30
1978 1988-1998 1984 1986 1986 1986 1988 1989, 1996 1987,1983, 1998 2001 1998 1996
16.77
1998
17.50 41.00 14.35
2000-2003 2004 2006 2006
14.25
1995-1996
TOTAL
459.65
SUB TOTAL A B 1 Tangerang-Merak 2 Ir.Wiyoto Wiyono, Msc. 3 Surabaya-Gersik 4 Harbour Road 5 Ujung Pandang Tahap 1 6 Serpong-Pondok Aren 7 SS Waru-Bandara Juanda 8 Makassar seksi IV SUB TOTAL B SUB TOTAL A SUB TOTAL A + B
529.42
Sumber: Bina Marga, 2008
Mulai Operasi
SWASTA 73.00 15.50 20.70 11.55 6.05 7.25 12.80 11.60 158.45 529.42 687.87
69.77
1987-1996 1990 1989-1996 1995-1996 1998 1999 2008 2008
29
Pada kondisi sebelum krisis laju pasokan jalan tol terkecil (11.80 km per tahun) adalah pada periode awal 1978–1983 selain karena baru mulai juga sumber dana terbesar adalah dari anggaran pemerintah, sedangkan laju pasokan terbesar (36.25 km per tahun) adalah pada periode kedua 1983–1987 dimana sumber dana berasal dari pinjaman luar negeri dan penerbitan obligasi Jasa Marga. 2.4. Daya Saing Jalan di Indonesia Beberapa badan internasional telah melakukan survei secara global lebih dari 100 negara, untuk melihat tingkat daya saing negara dalam kaitannya dengan parameter produksi yang menjadi tujuan utama pembagunan infrastruktur jalan. World Economic Forum, merupakan salah satu badan internasional yang melakukan review serta survei pada 130 negara, dalam kaitannya dengan peranan sektor jalan terhadap daya saing negara, serta Logistic Performance Index (LPI), yaitu studi yang dilakukan bersama antara World Bank, pelaku ekonomi transportasi, penyedia jasa logistik dan akademisi. Asian Development Bank (ADB), juga melakukan survei tentang peran sektor jalan sebagai bagian dari infrastruktur dalam kaitannya dengan pertumbuhan maupun perkembangan ekonomi suatu wilayah. Studi ini mempergunakan patokan Indonesia tahun 2025 menjadi negara independent dan high economies, untuk itu diperlukan usahausaha konkrit dalam kaitannya dengan strategi penyelenggaraan infrastruktur. World Economic Forum analisis daya saing telah berdasarkan pada Global Competitiveness Index (GCI) sejak tahun 2005, indeks yang sangat komprehensif yang mencakup dasar-dasar mikroekonomi dan makroekonomi daya saing nasional. GCI menunjukkan sejauhmana daya saing nasional merupakan fenomena yang kompleks, yang dapat ditingkatkan hanya melalui serangkaian
30
reformasi dalam bidang yang berbeda yang mempengaruhi produktivitas jangka panjang suatu negara, mulai dari tata pemerintahan yang baik dan stabilitas makroekonomi dengan efisiensi pasar faktor produksi, adopsi teknologi dan inovasi potensi, dikelompokkan menjadi 12 pillars of competitiveness (Tabel 8.). Tabel 8. Faktor Kunci dan Persentase Dua Belas Pilar Daya Saing Faktor Kunci
Faktor-faktor
Persen
Persyaratan Dasar (Basic Requirement) Kunci Faktor Penggerak Ekonomi
Institusi
25
Infrastruktur
25
Stabilitas makroekonomi
25
Kesehatan dan pendidikan dasar
25
Meningkatkan Efisiensi (Efficiency enhancers) Kunci Efisiensi Penggerak Ekonomi
Meningkatkan pendidikan dan pelatihan
15
Efisiensi komoditas pasar
15
Efisiensi pasar tenaga kerja
15
Pasar finansial
15
Teknologi
15
Ukuran pasar
15
Inovasi dan Faktor Sophistikasi Kunci Inovasi
Bisnis
50
Inovasi
50
Penggerak Ekonomi
Sumber : Global Competitiveness Index Global Competitiveness Index telah digunakan oleh negara-negara dan lembaga-lembaga
untuk
benchmark
nasional
yang
jelas
dan
intuitif
competitiveness. Struktur kerangka GCI berguna bagi reformasi kebijakan prioritas karena memungkinkan negara untuk menentukan kekuatan dan kelemahan dari lingkungan dan daya saing nasional untuk mengidentifikasi
31
faktor-faktor yang paling menghambat pembangunan ekonomi mereka. Lebih spesifik lagi, GCI menyediakan wadah untuk dialog antara pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil yang dapat berfungsi sebagai katalis untuk meningkatkan produktivitas reformasi, dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga negara di dunia.
73
93
93
113
113
134
134
Pilar Infrastruktur Tahun 2008 Tahun 2009 Kualitas Jalan Tahun 2008 Tahun 2009
Brunei Darrusalam
73
Kamboja
53
Vietnam
53
Filiphina
33
Indonesia
33
Thailand
13
Malaysia
13
Peringkat Kualitas Jalan
1
Singapore
Peringkat Infrastruktur
1
Sumber : World Bank, 2010 Gambar 12. Perbandingan Peringkat Negara ASEAN Terhadap Dunia dalam Pilar Infrastruktur dan Kualitas Jalan Tahun 20082009 World Competitiveness Yearbook 2008 menempatkan Indonesia pada ranking 55 dari 134 negara, dimana ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai (16.4%) merupakan penyumbang kedua sebagai faktor problematik dalam melakukan usaha setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisen (19.3%). Dalam hal ketersediaan infrastruktur Indonesia berada pada rangking 86, sedangkan untuk jalan berada pada ranking 105.
32
Tabel 9. Tingkat Kompetitif Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Tetangga Tahun 2008 Faktor penilaian Global competitiveness Index Kualitas infrastruktur keseluruhan Kualitas jalan Kualitas jalan KA Kualitas pelabuhan Kualitas infrastruktur moda udara
Indonesia 55
Malaysia
Filipina
Singapura
30
21
71
5
58
96
19
94
2
51 28 54
105 58 104
17 17 16
94 85 100
3 10 1
74
75
20
89
1
China
Sumber: World Economics Forum, 2008 (diolah khusus untuk 5 negara) Pada tahun 2009, terjadi peningkatan peringkat dimana Indonesia berada pada posisi 54 dari 131 negara. Untuk ketersediaan infrastruktur Indonesia berada pada rangking 84, sedangkan untuk jalan berada pada ranking 94. Ketersediaan infrastruktur (14.8%) tetap berada peringkat kedua sebagai faktor problematik dalam melakukan usaha setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisen (20.2%). Tabel 10. Tingkat Kompetitif Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Tetangga Tahun 2009 Faktor penilai Global competitiveness Index Kualitas infrastruktur keseluruhan Kualitas jalan Kualitas jalan KA Kualitas pelabuhan Kualitas infrastruktur moda udara
29
Indonesia 54
66
China
Malaysia Filipina
Singapura
24
87
3
96
17
98
2
50 27 61
94 60 95
24 19 19
104 92 112
1 9 1
80
68
27
100
1
Sumber: World Economics Forum, 2009 (diolah khusus untuk 5 negara) Melihat peringkat competitiveness index dari tahun 2008 sampai dengan 2009 berturut-turut dari Tabel 9, Tabel 10 dan Tabel 11, apabila berkonsentrasi pada Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia, dari tahun 2008 yang semula peringkat 55, meningkat satu peringkat pada tahun 2009 menjadi 54, pada tahun 2010 meningkat cukup tajam menjadi peringkat 44. Sedangkan empat negara
33
lainnya, Singapura dari peringkat 5 menjadi peringkat 3 besar dan rata-rata kualitas infrastruktur secara umum dalam mendorong poin GCI Tabel 11. Tingkat Kompetitif Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Tetangga Tahun 2010 Faktor penilai Global competitiveness Index Kualitas infrastruktur keseluruhan Kualitas jalan Kualitas jalan KA Kualitas pelabuhan Kualitas infrastruktur moda udara
Malaysia
Filipina
Singapura
27
Indonesia 44
26
85
3
72
90
27
113
3
53 27 61
84 56 95
21 20 19
114 97 112
1 6 1
80
68
27
100
1
China
Sumber: World Economics Forum, 2010 (diolah khusus untuk 5 negara) Negara Indonesia, walaupun secara umum kualitas infrastruktur jalannya meningkat dari ranking 105, menjadi 94 (2009) dan meningkat lagi menjadi 84 (2010), akan tetapi angka yang diperoleh masih jauh dibandingkan angka dari GCI, ini berarti kualitas jalan bukanlah faktor pendorong dari competitiveness akan tetapi faktor penghambat.
Logistik Modern
Peringkat LPI
Tinggi
Transformal Logistik
Distribusi Tradisional Rendah Pergeseran Sumber: World Economics Forum, 2010 Gambar 13. Perubahan Sistem Distribusi Berdasarkan Peringkat Logistic Performance Index Tahun 2010
34
Dibandingkan dengan Filipina, apabila dilihat dari daftar 2008, 2009 dan 2010 seluruh aspek kualitas infrastruktur masih dibawah dari GCI dan posisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Filipina. Melihat dan membandingkan hasil competitiveness index dengan Logistic Performance Index (LPI), bukanlah membandingkan apple to apple, tetap relevan dalam kaitannya dengan peranan sektor jalan dalam pembangunan ekonomi. LPI tingkatan rendah berarti sistem distribusi masih digolongkan tradisional, sedangkan pada LPI dengan angka yang tinggi, mempergunakan logistik modern yang secara diagram dapat digambarkan seperti terlihat pada diagram di atas (Gambar 13). Tabel 12. Peringkat Indonesia Berdasarkan Logistic Performance Index Dibandingkan dengan Negara Tetangga Tahun 2010 Negara
LPI
Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia
3.44 3.29 3.14 2.96 2.76
Customs (bea cukai) 3.11 3.02 2.67 2.68 2.43
Infrastruktur 3.50 3.16 2.57 2.56 2.54
Intl ship 3.50 3.27 3.40 3.04 2.82
Logistic competititive 3.34 3.16 2.95 2.89 2.47
Tracking Tracing 3.32 3.41 3.29 3.10 2.77
Time liness 3.86 3.73 3.83 3.44 3.46
Sumber: World Bank, 2010 Melihat data pada Tabel 12, tahun 2010 terlihat bahwa secara overall, Indonesia masih tergolong pada transformal logistik, berada pada ranking terbawah dari beberapa negara yakni angka LPI 2.76, yang artinya lebih buruk dari Filipina lebih buruk dari Vietnam. Sedangkan apabila kita melihat dari salah satu aspek penilaian yakni infrastruktur, terlihat bahwa Indonesia tetap terburuk dibandingkan dengan 4 negara lainnya. Pada Tabel 13 dapat dilihat data kualitatif kondisi infrastruktur indonesia dengan negara-negara tetangga per sektor dari LPI.
35
Tabel 13. Kondisi Infrastruktur Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Tetangga Tahun 2010 Negara Pelabuhan Bandar udara Indonesia Jelek Sedang Malaysia Baik Baik Filipina Sedang Sedang Vietnam Sedang Sedang Thailand Baik Baik Sumber: World Economics Forum, 2010
Jalan KA Baik Baik Sedang Sedang Baik
Jalan Sedang Baik Sedang Sedang Baik
Kondisi penyelenggaraan per sektor dapat dilihat bahwa yang terbaik adalah jalan kereta di Indonesia, sedangkan sektor jalan karena adanya kemacetan pada jalan-jalan kota terutama kota Jakarta dan Surabaya, serta akses ke pelabuhan tanjung priok menyebabkan rating Indonesia menjadi sedang, berada dibawah Malaysia dan Thailand, sedangkan Filipina dan Vietnam sama dengan Indonesia pada peringkat sedang. Kinerja sektor logistik Indonesia masih belum optimal, karena masih tingginya biaya logistik
dan perlunya peningkatan kualitas pelayanan.
Berdasarkan survei LPI dari Bank Dunia pada tahun 2007, Indonesia berada pada peringkat ke-43 dari 150 negara yang disurvei, di bawah Singapura (urutan ke-1), Malaysia (urutan ke-27) dan Thailand (urutan ke-31). Sedangkan dalam survei Bank Dunia pada tahun 2009, posisi Indonesia turun drastis menjadi peringkat ke75, dan masih tetap berada di bawah kinerja beberapa negara ASEAN lainnya (Menko Perekonomian, 2009). Survei tersebut juga mengungkapkan indeks biaya logistik domestik Indonesia berada di urutan ke-93, hal ini berarti bahwa biaya logistik domestik di Indonesia masih tinggi. Rendahnya kinerja sistem logistik nasional ditandai dengan: 1.
masih terjadinya kelangkaan stok dan fluktuasi harga kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada hari-hari besar nasional dan keagamaan.
36
2.
masih tingginya disparitas harga pada daerah perbatasan, terpencil dan terluar
3.
masih rendahnya tingkat penyediaan infrastruktur baik kuantitas maupun kualitas.
4.
masih adanya pungutan tidak resmi dan biaya transaksi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
5.
masih tingginya waktu pelayanan ekspor dan impor dan adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan.
6.
masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional. Ranking regional akses Jasa Infrastruktur di Indonesia dibandingkan dengan
kisaran regional dalam laporan Bank Dunia tahun 2007 (Tabel 14) terlihat bahwa untuk Jalan Raya Indonesia 1.7 sedangkan kisaran regional 8-32, masih tertinggal. Tabel 14. Ranking Regional Akses Jasa Infrastruktur di Indonesia Tahun 2007 Infrastruktur
Indonesia
Kisaran Regional
Rasio Penggunaan Listrik
53
11-12
Akses Sanitasi
55
7-11
Akses Air Bersih
14
7-11
Jalan Raya
1.7
8-32
Sumber: World Bank, 2007 Indonesia Public Expenditure Review 2007 yang disusun oleh Bank Dunia (Tabel 15), bahwa efisiensi kota-kota di Indonesia menurun disebabkan kemacetan. Saat ini, kemacetan terjadi di 43% jaringan jalan di Jawa dengan persentase kemacetan yang paling tinggi terjadi di Jakarta yang mengakibatkan waktu tempuh dan biaya semakin lama dan tinggi, kemacetan diperkirakan akan meningkat menjadi 55% pada jaringan jalan tersebut pada tahun 2010.
37
Tabel 15. Kenaikan Kemacetan Jalan di Indonesia dari Tahun 1998-2005 (%) Indikator
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Perubahan 1998-2005
47.3
57.1
57.1
58.9
57.6
58.3
-
60.5
28
87.9
89.5
92
100.1
108.5
118.7
133.2
158.2
80
Jalan Perkerasan (Total) Sepeda Motor/ 1000 Populasi
Sumber: World Bank, 2007 Keseluruhan jaringan jalan meningkat 12% antara tahun 2000-2004, sedangkan proporsi jalan dengan perkerasan (paved roads) naik 28% sejak 1998. Dalam periode yang sama, jumlah kendaraan bermotor per 1000 penduduk naik menjadi 80%. Paved roads Antarnegara Tahun 2007 (Gambar 14.) dalam laporan Bank Dunia 2007 posisi Indonesia diantara negara-negara ASEAN masih lebih baik dari Filipina namun masih tertinggal dari Thailand. Hambatan-hambatan ataupun potensi Indonesia apabila ingin menjadi negara dengan penghasilan tinggi, dan hambatan-hambatan yang menjadi titik pemikiran untuk dapat diperbaiki ataupun dieliminasi dalam kaitannya dengan infrastruktur adalah sebagai berikut: 1. infrastruktur yang tidak memadai dan berkualitas rendah terutama pada jaringan transportasi dan penyediaan listrik, serta penyediaan irigasi di beberapa provinsi. 2. kelemahan pada tata kelola pemerintahan dan institusi, terutama pada kontrol terhadap korupsi, peningkatan efektivitas pemeintahan dan pencegahan terhadap aksi terorisme dan kekerasan. 3. akses pendidikan yang tidak merata dan kualitas pendidikan yang rendah (ADB, 2010).
38
120 97
91
82 69
4
Laos
Phillipines
Indonesia
China
Thailand
0
East Europa &
8
East Asia & Pasific
14
Cambodia
22
20
Mongolia
40
48 16
15
Latin American
57
60
Sub Saharan
58
Middle East &
80
South Asia
100
Sumber : World Bank, 2007 Gambar 14. Proporsi Jalan dengan Perkerasan Antarnegara Tahun 2007 Sektor jalan terlihat bahwa tingkat ketertarikan terhadap investasi merupakan hal-hal penting yang sangat menjadi bahan pertimbangan investasi (LPEM-UI, 2007) dalam survei tersebut didapatkan bahwa jaringan transportasi merupakan hambatan dalam berinvestasi di Indonesia. Karena moda transportasi darat yang buruk mengakibatkan penambahan waktu pengiriman.
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
Indonesia Thailand Malaysia Vietnam Filipina Semua Jalan/Km2 Jalan Aspal/Km2 Semua Jalan/100 Jalan Aspal/100 orang orang
Sumber: BPS 2008b dan World Bank, 2008 Gambar 15. Rasio Jalan di Indonesia Dibandingkan dengan Negaranegara Tetangga Tahun 2008
39
ADB (2010) mengatakan bahwa transportasi darat merupakan hambatan utama, terutama apabila dikaitkan dengan waktu kerusakan jalan. Rasio jalan per orang di Indonesia masih tergolong dalam rasio terendah, sedangkan rasio jalan di aspal per 100 orang Indonesia merupakan terendah kedua setelah Filipina (Gambar 15) 2.5.
Harga Satuan Penanganan Jalan Dalam studi ini, harga satuan penanganan jalan merujuk pada studi Bina
Marga dengan penyesuaian atau updating harga terbaru. Harga satuan untuk Program Preservasi (Pemeliharaan, Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Jalan dan Program Pembangunan (Pelebaran dan Pembangunan Baru) Jalan, memiliki karakteristik yang berbeda untuk setiap wilayah atau daerah, baik di tingkat Provinsi maupun Tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini diakibatkan karena komponen pembentuk harga satuan berbeda untuk masing-masing daerah, mulai dari harga dasar bahan, peralatan, sampai dengan biaya tenaga kerja. Selain itu, setiap tahun harga satuan mengalami kenaikan harga yang disebabkan antara lain adanya inflasi yang diakibatkan oleh adanya kenaikan harga bahan bakar minyak dan atau faktor lainnya. Direktorat Jenderal Bina Marga telah menyusun Panduan Harga Satuan Program Pemeliharaan dan Pembangunan Jalan Tahunan.
Panduan tersebut
menjadi pedoman untuk menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan untuk penanganan jalan yang dipakai, baik dalam menyiapkan program tahunan dan dokumen anggaran serta ketatalaksanaan Pinjaman Luar Negeri. Konsep dasar panduan harga satuan program preservasi jalan dan pembangunan jalan berdasarkan analisis pekerjaan dan karakteristik wilayah yang ada di Indonesia disusun dengan metode sebagai berikut (Gambar 16)
40
2.6. Rangkuman Infrastruktur jalan di Indonesia mempunyai peran yang vital dalam transportasi nasional dengan melayani lebih dari 85% baik angkutan penumpang maupun angkutan barang (Kuncoro, 2010). Adapun kontribusi transportasi jalan terhadap sub sektor transportasi mencapai 50% (Gambar 16). Wilayah: 33 Provinsi
Harga Dasar, Masing-masing: • Bahan • Upah
• Peralatan
Data Indeks Harga Konsumen (IHK) dalam hal harga dasar tidak tersedia
Program excel Analisis harga satuan Harga Satuan Standar Provinsi
Program penanganan jalan: • Rutin • Berkala • Peningkatan Kapasitas • Peningkatan Struktur • Pembangunan Baru
Volume penanganan jalan
Data inflasi per provinsi (data time series) untuk updating harga dasar
Harga Satuan Standar setiap provinsi pada tahun prediksi
Biaya Lain-lain Biaya program penanganan dalam format Standar Biaya Khusus (SBK) (Rp./Km)
Sumber : Bina Marga, 2007 Gambar 16. Metode Perhitungan Biaya Penanganan Jalan di Indonesia Tahun 2007
41
Selain itu, berdasarkan hasil survei asal tujuan transportasi nasional memperlihatkan bahwa moda jalan hampir mendominasi di seluruh provinsi yaitu antara 60% - 90%, kecuali Maluku yang moda jalannya hanya sebesar 20% (Bappenas, 2003). Penyelenggaraan jalan di Indonesia dalam kenyataannya tidak dapat terlepas dari realita timpangnya sebaran penduduk, perbedaan luas wilayah dan keberagaman kondisi topografi yang ada. Dari data luas wilayah, sebaran jumlah penduduk, panjang jalan, dan jumlah kendaraan yang ada, memperlihatkan tidak merata.
Pulau Jawa yang mencakup 7.2% dari luas wilayah Indonesia
dihuni 58.6 persen penduduk, sementara Kalimantan, Sulawesi dan Maluku/Papua yang luasnya 32.3, 10.8 dan 25.0% dari luas wilayah Indonesia masing-masing hanya memiliki jumlah penduduk 5.6, 7.3 dan 2.0% saja atau luas ketiga wilayah tersebut 68.1 % hanya dihuni 14.9 % penduduk (BPS dan Bina Marga, 2004). Lebih dari 70% jaringan jalan yang ada pada saat ini terdapat di Pulau Sumatera, Jawa dan Bali yang luas wilayahnya hanya mencakup sekitar 31% dari seluruh wilayah Indonesia. Sisanya 30 % jaringan jalan berada di Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua yang memiliki 69% dari luas wilayah Nasional. Selain itu, keseimbangan pembangunan antarwilayah terutama pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI), daerah tertinggal dan daerah perbatasan, yang akhirnya dapat mengurangi kesenjangan dalam pulau maupun antara kota dan desa masih belum tercapai. World Competitiveness Yearbook pada tahun 2009 menempatkan peringkat dimana Indonesia berada pada posisi 54 dari 131 negara. Untuk ketersediaan infrastruktur, Indonesia berada pada rangking 84, sedangkan untuk jalan berada pada ranking 94. Ketersediaan infrastruktur (14.8%) tetap berada
42
peringkat kedua sebagai faktor problematik dalam melakukan usaha, setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisen (20.2%). Lingkup negara-negara ASEAN, untuk pilar infrastruktur, Indonesia berada pada peringkat kelima dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam. Akan tetapi untuk kondisi jalan Indonesia berada pada peringkat keenam dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam dan Laos. Kinerja sektor logistik Indonesia masih belum optimal, karena masih tingginya biaya logistik
dan perlunya peningkatan kualitas pelayanan.
Berdasarkan survei Logistics Performance Index (LPI) dari Bank Dunia pada tahun 2007, Indonesia berada pada peringkat ke-43 dari 150 negara yang disurvei, di bawah Singapura (urutan ke-1), Malaysia (urutan ke-27) dan Thailand (urutan ke-31). Dalam survei Bank Dunia pada tahun 2009, posisi Indonesia turun drastis menjadi peringkat ke-75, dan masih tetap berada di bawah kinerja beberapa negara ASEAN lainnya (Menko Perekonomian, 2009). Survei tersebut juga mengungkapkan indeks biaya logistik domestik Indonesia berada di urutan ke-93, yang menunjukkan bahwa biaya logistik domestik di Indonesia masih tinggi. Seiring dengan perkembangan dan kompetibiltas global, pertumbuhan kendaraan meningkat lebih tinggi dibandingkan pertambahan jaringan jalan, perbandingannya mencapai 11:0.4. Pertumbuhan ekonomi berkesinambungan tidak semata-mata mengandalkan konsumsi saja, akan tetapi dari investasi juga. Pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6.6% sebagaimana yang diharapkan, akan sulit dicapai tanpa disertai dengan peningkatan ekspor dan investasi. Untuk mendukung pencapaian tersebut investasi yang dilakukan harusnya dimulai dengan investasi di bidang infrastruktur, tetapi dilihat dari keadaan yang ada,
43
maka dapat dikatakan bahwa kondisi infrastuktur Indonesia pada saat ini sudah tidak mendukung pertumbuhan ekonomi yang memadai dan bahkan sudah menjadi penghambat utama perbaikan iklim investasi (Susantono, 2005). Dilihat dari sisi kebutuhan akan infrastruktur jalan, terlihat sangatlah besar antara lain dari pemenuhan terhadap jaringan jalan, kondisi jalan, meningkatkan daya saing dalam upaya perbaikan iklim investasi. Namun, dari sisi penyediaan terlihat belum dapat terpenuhi secara memadai. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, yang menonjol keterbatasan pendanaan meskipun dari tahunketahun trennya meningkat, keterbatasan pendanaan memberikan konsekuensi: 1.
adanya jalan dengan kemampuan struktur yang marginal meskipun sudah dapat fungsional.
2.
penyelenggaraan jalan tidak dapat memenuhi Indikator Kinerja Utama dan dapat menganggu aksesibilitas, mobilitas dan tingkat keselamatan.
3.
dukungan prasaran jalan terhadap transportasi terpadu (intermoda) belum maksimal terutama dalam mendukung pelabuhan-pelabuhan utama/outlet.
4.
minimnya pembangunan jalan pada kawasan strategis
5.
usulan kebutuhan pembangunan jalan dan jembatan belum dapat dipenuhi.
6.
usulan penambahan status jalan belum terakomodasi untuk penanganan pemeliharaannya.
7.
dukungan Pemerintah terhadap jalan tol sangat minim sehingga komitmen pembangunan tidak dapat dipenuhi. Tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan akan infrastruktur jalan ditengah
masalah
keterbatasan
dana,
upaya
pemenuhannya
juga
mempertimbangkan keseimbangan pembangunan antarwilayah.
harus
juga