IBUNDA SITI HAJAR SURITELADAN MUSLIMAH PARIPURNA Oleh: Fadjar Sutardi* Ibunda Siti Hajar adalah seorang wanita yang ditakdirkan hidup diperbukitan bebatuan di Bakkah ( Mekah ) ribuan tahun yang lalu, namanya terukir indah dan abadi disepanjang abad, kelembutannya menggema diseluruh gurun-gurun berbatu dimuka bumi, kasih sayangnya seakan terasa melekat disetiap hati dan jiwa anak sholeh yang lahir dibumi ini, cintanya mengalir bak air sungai yang menumbuhkan tetumbuhan digurun dan padang kerontang, keikhlasannya seharum bunga mawar yang menyerbakkan wanginya diseluruh penjuru dunia, keteladannya menjadi motivasi bagi siapapun yang mendambakan keturunan yang sholih dan sholihah, kekuatan dan kesabarannya menjadi contoh suri teladan bagi pencari jalan surga dan jamaah haji yang mengharapkan kemabruran. Ibunda Siti Hajar, adalah seorang muslimah yang dimuliakan Allah dunia dan akherat, yang tak akan habis-habisnya bila para manusia modern meriwayatkan dan menuliskannya, walau dengan kalimat yang ilmiyah atau tulisan imaginer sekalipun. Para pecinta kalam, sastra dan riwayat memberi penghormatan dan takzim kepada wanita pilihan Allah yang dimuliakan bagi seluruh hamba Allah yang datang, hadir dan mengalir ke tanah suci Mekah, hanya untuk menapaktilas perjalanan cinta dan kasih sayang Ibunda Siti Hajar, kepada anaknya nabi Ismail. Telapak kakinya yang suci dan ikhlas, terukir abadi diantara bukit Shofa dan Marwa. Para penguntai kalimat dan para pejalan menuju surga takjub dan terharubiru, atas kesaksian telapak kaki yang diabadikan Allah dan RasulNya, kepada hamba atau umatnya. Kaki yang berjalan antara Shofa dan Marwah itu sangat agung, mengandung hikmah dan menjadi suriteladan sempurna utamanya bagi para wanita yang mendambakan keluarga yang sholih dan sholihah. Juga seluruh jamaah haji baik wanita maupun pria berlarian mensuriteladanani, perjalanan cinta Ibunda Siti Hajar diantara Shofa dan Marwah. Para jamaah haji itu merasakan keterterharu atas pelajaran tentang ketulusan kasih sayang Ibunda Siti Hajar kepada bayi lembut Ismail, putra satu-satunya dari pernikahannya dengan Nabi Ibrahim, dikarenakan pernikahan yang terdahulunya dengan Ibunda Siti Sarah, Allah belum mengijinkan seorang putra darinya. Para jamaah haji juga menikmati keterharuan yang melangit, merasakan kisah perjalanan atas kesetiaan dan ketulusan seorang istri setia nabi Ibrahim, yang mulia Ibunda Siti Hajar. Para jamaah haji sambil berjalan, berlarian antara Shofa dan Marwah akan teringat do’a nabi Ibrahim, yang dahulu merupakan gurun dan bebukitan yang tandus, kering kerontang itu, dengan katakata indah yang menakjubkan hati yang beriman kepada Allah. Do’a diucapkan nabi Ibrahim, saat anak
dan isterinya telah menetap bermukim di Bakkah, hanya karena Nabi Ibrahim, paham akan ketidak mengertian Ibunda Siti Sarah, atas anugerah putra Ibunda Siti Hajar yang bernama Ismail itu. Suara suci ucapan nabi Ibrahim, teruntai indah: "Wahai Rabb kami. Aku tinggalkan anak dan isteriku di padang pasir yang tandus tanpa pohon berkayu dan buah-buahan. Wahai Rabb kami, teguhkanlah hati mereka dengan tetap mendirikan sembahyang, jadikanlah hati manusia tertarik kepada mereka, karuniakanlah rezeki pada mereka daripada buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu." Doa nabi Ibrahim seakan terdengung dirasakan kembali bagi setiap jamaah yang melakukan perjalanan napak tilas ini. Disela-sela perjalanan ini seakan Ibunda Siti Hajar berteriak dzikir dengan kalimat terindah; Allahu Akbar Allahu Akbar. Allah yang Maha Besar, Allah maha mendengar atas do’a dan tangisan hambanya, disaat berkali-kali putaran Ibunda Siti Hajar mencari sumber air, demi cinta dan kasih sayangnya kepada nabi Ismail. Doa nabi Ibrahim terkabul, bayi mulia Ismail kakinya digerakkan oleh Allah ketanah, dan Ismail kecil berteriak : Zam, zam, zam,zam air memancar dari bawah kaki suci Ismail. Dan jadilah negeri Bakkah ( Mekah ) menjadi negeri yang diberkati Allah selamanya. Apa yang menarik dari kisah mulia nan indah ini bagi Muslimah? Kisah indah tentang perjalanan suci penuh cinta Ibunda Siti Hajar, akan menjadi hikmah yang tinggi bagi bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Pertama, perjalanan antara bukit Shofa dan Marwah menjadi bukti bahwa Ibunda Siti Hajar diberi anugerah Allah, yaitu jiwa istiqomah. Jiwa istiqomah, merupakan sari dan inti bagi “mar’atus sholihah”. Kemuliaan seorang wanita atau seorang ibu Muslimah terletak pada karakter jiwa istiqomah yang dicontohkan Ibunda Siti Hajar ini. Kata istiqomah tak hanya ditulis dan diceramahkan, tetapi telah merasuk kedalam hati dan menjiwai segala tindakannya. Wanita yang berjiwa istiqomah akan merasa ada kewajiban dan kebutuhan, bila ia mendengar sentuhan nasehat atau perintah suaminya. Kemudian wanita secara refleks akan mengamalkan ilmu ketaatan, kepada suaminya sekalipun harus menanggung beban berat, yakni megasihi dan menyayangi anak-anak mereka tanpa reserve, tanpa menuntut apa-apa dari suaminya. Sayang, dizaman tua seperti dewasa ini, kisah teladan Ibunda Siti Hajar dilupakan oleh para wanita sholihah modern. Wanita sholihah modern melupakan kisah ini, kecuali yang mendapatkan hidayahNya, dikarenakan mereka merasa gerah dan tidak betah hidup dirumah bersama Ismail-Ismail kecil mereka, hanya gara-gara iming-iming kelezatan dunia ini. Para wanita sholihah modern tidak kerasan dirumah bersama anak-anak mereka, mereka suka keluar rumah, bersolek, menunjukkan perhiasan,memamerkan pakaian-pakaian mereka, mengutamakan professi duniawiyahnya ataupun status kedudukannya. Mereka merasa ada beban yang berat dan memalukan, bila hanya menjadi ibu
rumah tangga yang diserahi anak-anak oleh suami mereka. Mereka kemudian berpikiran lain, dan para suami tak berdaya atas ide isteri professional tersebut, mereka dengan enak lenggangkangkung, menyerahkan anak-anak mereka kepada “orang lain” yang bernama pembantu. Pembantu ini berfungsi sebagai pengganti ibu anak-anak mereka, pembangtu ini mengambil alih tugas para wanita sholihah, untuk mengasuh ( mengajar dan mendidik ) anak-anak mereka dengan selera dan pengalamannya sendiri. Ismail-Ismail kecil kita, tak akan lagi menikmati air zam-zam yang dikucurkan ibunya, karena ibunya senang bekerja dan bekerja, terlena dengan keindahan dunia yang diluar rumah. Mereka keluar berombongan berbondong-bondong bekerja untuk menumpuk harta ( alasannya sok logis; ingin membantu dan menopang keuangan suami ), mereka meninggikan rumah, mengendarai sepeda motor, bercakap-cakap dengan HP mereka disepanjang jalan dan trotoar kota, menyetir kendaraan mereka sendiri dan sendirian dengan ketawa-tawa karena bahagia. Memang, anak-anak juga merasa senang, tetapi satu yang hilang, yaitu kasih sayang dan perhatian yang senikmat air zam-zam. Andai tidak dilupakan oleh para wanita modern, dipastikan rumah mereka tidak kering dan tandus, panas dan dahaga suasananya, tetapi justru mereka mendapatkan kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan. Inilah wanita yang berjiwa istiqomah, yang disuriteladankan ibunda Siti Hajar tercinta. Kedua, jiwa sabar ibunda Siti Hajar. Jiwa sabar yang dianugerahkan Allah kepada Ibunda Siti Hajar bernilai luar biasa. Karena jiwa sabar inilah Ibunda Siti Hajar di sayang Allah, mukanya berseri, langkah gerak budinya tak terbagi dan hatinya indah tak terperi. Sayang juga sih, ilmu sabar, tidak dimiliki wanita zaman sekarang yang global ini. Wanita modern, maunya serba instant hidupnya. Mereka tergesa-gesa memburu dan berburu dunia seisinya. Kekurangsabaran merasuki nafsu jiwa mereka, suka menyetir suaminya, pembantah dengan argument yang kurang Islami, hanya karena wanita modern ini sangat cinta dunia dan kedudukan. Jiwa sabar akan dimiliki oleh wanita yang ibadahnya tekun, sholatnya anggun, taatnya kepada suami menjadikannya tertegun, sayangnya kepada anak tak tanggungtanggung, menjaga anak dan harta suaminya dengan qonaah. Jiwa sabar, telah tercermin pada pancaran perjalanan Ibunda Siti Hajar, ketika diuji Allah. Dan Ibunda Siti Hajar lulus dan lolos ujian sertifikasi Allah, Ibunda Siti Hajar harum namanya sampai ke surga. Ketiga, jiwa tawakal. Jiwa tawakal seperti yang dicontohkan Ibunda Siti Hajar, akan melahirkan citra positif thinking bagi wanita dibelahan dunia manapun. Citra positif, ini akan menjadi ilmu dan hikmah bagi keluarga yang mendambakan kesakinahan jiwa, ketenangan hati dan kebahagiaan abadi. Jiwa tawakal, akan mencerminkan pribadi yang hanya bersandarkan pada kehendak Allah, atas semua
usaha dan ikhtiarnya.Jiwa tawakal yang dimiliki seorang wanita sangat dekat dengan jiwa qona’ah yang akan melahirkan rumah tangga yang bersih, tenang dan kehidupannya hanya mengharap ridho Allah. Siapapun yang berjiwa tawakal, utamanya dizaman modern ini, para wanita tak akan tega bila keluarganya terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak akan masuk dalam lubang suap-menyuap, kongkalikong nutup mata merogoh kantong ataupun menjilat-jilat jidat penguasa politik yang dholim, yang melukai rakyatnya yang miskin. Jiwa tawakal, tak akan mengarahkan sifat iri, dengki, hasad - hasud, fitnah dan perbuatan yang menyuramkan anak-anak mereka. Kenapa anak-anak kita meminum minuman haram, mengkonsumsi sabu-sabu narkotika, melawan dan durhaka orang tua? Mungkin, karena air zam-zam para wanita modern terkalahkan dengan aqua kemas yang membahayakan kejiwaan mereka. Keempat, jiwa ibadah. Bagi Ibunda Siti Hajar, hidup dan kehidupannya harus diniatkan untuk tujuan adalah ibadah secara kaffah ( lahir batin, dunia dan akherat ). Dan hidup yang bermuatkan tujuan ibadah,akan terasa berharga dan bernilai melebihi emas duapuluh empat karat. Jiwa ibadah kaffah, tak akan terbagi antara yang mahdhoh dan yang bersifat amal sosial, keduanya menyatu dalam satu niat yaitu memakmurkan, mengharum agama Allah dimuka bumi ini. Jiwa ibadah tak akan tercampurkan antara yang syirik, kufur dan yang iman, antara yang batil dan yang haq, antara yang halal dan yang haram, antara tuntunan Nabi dengan tuntutan penguasa politik yang merugikan nilai ibadahnya, antara komitmen lisannya dan hatinya. Jiwa ibadah, tidak takut pada kemiskinan, karena kemiskinan baginya adalah mahkota seorang hambaAllah, andai Allah memberikan kekayaan, akan ia gunakan untuk keberlangsungan agama Allah dan bukan untuk memenuhi jalan-jalan dunia, yang akan menjadikan kemacetan nasional bertambah. Jiwa ibadah yang kaffah dizaman modern global ini, ternyata tidak mudah, sangat sulit karena manusia Muslim berjiwa lemah, mereka lemah karena takluk kepada para penakluk dunia dan bukan takut pada penakluk akherat. Muslim yang lemah, gampang dimainkan dengan iming-iming uang dan kekuasaan, mereka bangga bila dekat dengan penguasa. Mereka bangga bila putra-putrinya dititipkan para penguasa. Nah, bila keempat hal diatas, sudah tidak masuk diruang jiwa hati manusia, maka perjalanan suri teladan antara Shofa dan Marwah seperti yang dilakukan Ibunda Siti Hajar, tidak pernah akan menjadi hikmah yang mulia, kecuali hanya sekedar cerita dan riwayat belaka. Wallohu a’lam bis showwab. *Fadjar Sutardi, pengajar seni rupa sekolah menengah, aktif menulis di Indonesia Art News, sering diundang sebagai pemakalah seni rupa Islam dibeberapa perguruan tinggi di Solo dan Yogjakarta, pengelola Ruang Seni Rumah Langit Kebun Bumi tinggal di Clupak RT.25, Mojopuro, Sumberlawang, Sragen