1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kehidupan Bangsa Indonesia tengah mengalami banyak ancaman yang serius berkaitan dengan memanasnya konflik-konflik di masyarakat. Trend konflik ini semakin mengkhawatirkan pasca era reformasi 1998. Pada media 2012, Kemdagri merilis jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus. Kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun kemudian meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus (Antaranews, 2012). Bila ditelusuri lebih lanjut, terjadinya konflik sosial dikala itu cenderung disebabkan oleh lemahnya sharing of understanding and acceptance (berbagai pemahamaan dan penerimaan) meminjam istilah yang dikemukakan (Suharto, 2005) di tengah masyarakat yang menyangkut ruang, kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan. Staf Ahli Menteri Sosial bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintah Sapto Waluyo menyampaikan, “daerah rawan konflik sosial disebabkan kondisi ekonomi yang tertinggal”. Ada enam daerah diprediksi paling rawan pada 2014 ini. Meliputi Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah. "Sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal dibanding daerah lain. Namun, ada juga daerah maju tapi interaksi
2
(hubungan) sosial antarkelompok sangat kaku, sehingga mudah meletup hanya karena masalah kecil," kata Sapto Waluyo. Namun tegasnya, tidak semua daerah tertinggal itu rawan konflik. Ada enam daerah diprediksi sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014. "Indikatornya terlihat sepanjang 2013 daerah tersebut bermunculan aneka konflik," kata Sapto menambahkan, di bawah ini adalah enam daerah yang diprediksi paling rawan pada 2014. Tabel 1. Prediksi Daerah Paling Rawan Konflik, 2014 Nama Daerah
Jumlah Konflik Sosial
Papua
(24) Peristiwa
Jawa Barat
(24) Peristiwa
Jakarta
(18) Peristiwa
Sumatera Utara
(10) Peristiwa
Sulawesi Tengah
(10) Peristiwa
Jawa Tengah
(10) Peristiwa
Sumber: diliris oleh Kementrian Sosial dan JPNN (2014).
Prediksi yang diliris Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network (JPNN) menunjukkan bahwa daerah yang paling banyak konflik adalah Papua dan Jawa Barat. Berkaca dari jumlah terjadinya konflik sosial yang begitu sering, pada 2014 lalu, Kemensos juga melancarkan program keserasian sosial di 50 wilayah rawan konflik sosial dan program penguatan kearifan lokal di 30 daerah.
3
Bila dilihat dari perspektif multikulturalisme (pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik), keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, pada situasi tertentu, kondisi banyaknya penduduk yang sangat heterogen dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan, jika terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan serta kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan dan juga dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik. Adapun konflik yang mungkin terjadi dapat berupa konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara individu atau kelompok yang memiliki status sosial yang sama, sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan status sosial berbeda. Dampak yang dirasakan masyarakat berkenaan dengan konflik sosia cukup kompleks, diantaranya: mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network (JPNN) merilis daerah rawan konflik sosial, berikut adalah nama-nama daerah di Indonesia yang rawan terjadinya konflik sosial.
4
Tabel 2. Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia, 2014 Sumatera
Jawa
NTB
Riau
Banten
Sumbawa Barat
Palembang
Tangerang
Bima
Lampung
Jakarta
Dompu
Aceh
Sliyeg Indramayu
Sulawesi
Kalimantan
Papua
Poso
Banjarmasin
Abepura
Sigi
Pontianak
Jayapura
Palu
Palangkaraya
Manokwari
Makassar PolewaliMandar Sumber: dirilis oleh Kemensos dan JPNN (2014).
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa hampir setiap daerah di Indonesia terdapat konflik sosia. Beberapa kajian menunjukkan bahwa konflik akan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan emosi dan akhirnya pecah memuncak menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Contoh konkrit masalah konflik di Indonesia yang cukup serius baik yang bersifat horizontal maupun vertikal antara lain: 1. Konflik yang bernuansa separatisme (gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia): konflik Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
5
2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Lampung, Kalimantan Tengah, dan Ambon. 3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), faham radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). 4. Konflik yang benuansa politis: isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengerusakan. 5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang. 6. Konflik bernuansa solidaritas: tawuran antar wilayah, antar pendukung sepak bola. 7. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Ahmadiyah, isu aliran sesat. 8. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM (Bahan Bakar Minyak), BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), LPG (Liquified Petroleum Gas). Untuk konteks Provinsi Lampung, pada tiga tahun terakhir, Lampung merupakan salah satu provinsi yang mendapat perhatian khusus terkait dengan ekskalasi (pertambahan) dan intensitas konflik sosial yang relatif cukup
tinggi.
Realitas/kenyataan
menunjukkan
bahwa
dinamika
kemajemukan masyarakat Lampung banyak diwarnai oleh konflik-konflik kekerasan baik dalam konflik sosial vertikal maupun horizontal. Jumlah
6
frekuensi dan persentase konflik sosial yang cukup tinggi, dapat di lihat melalui tabel di bawah ini. Tabel 3. Jumlah Kejadian Konflik dan kekerasan di Provinsi Lampung selama tahun 2008-2010 Kategori
Frekuensi
Persentase (%)
Konflik berbasis agama/etnis
-
-
Konflik politik
6
9,5
Konflik antaraparat Negara
-
-
Konflik sumber daya alam
-
-
Konflik sumber daya ekonomi
1
1,6
Tawuran
10
15,9
Penghakiman massa
39
61,9
Pengeroyokan
4
6,3
Lain-lain
3
4,8
Total
63
100
Sumber: Tohari et al., 2011.
Bila berkaca pada kejadian konflik rentang tahun 2008-2010, tidak ada peristiwa konflik yang berbasis agama/etnis pada rentang waktu tersebut. Namun demikian, peristiwa tahun 2012 lalu (konflik Balinuraga di Lampung Selatan), merupakan puncak kejadian konflik antar etnis terbesar di Provinsi Lampung. Disusul konflik selanjutnya pada tanggal 23 Februari 2014 juga terjadi bentrok antar dua desa antara Buminabung utara dan Buminabung Ilir, Lampung Tengah yang dipicu permasalahan sengketa lahan. Puluhan rumah rusak parah serta dua rumah terbakar,dua unit sepeda motor rusak terbakar menurut beberapa warga banyak rumah yang di jarah. Rentang waktu tersebut juga terjadi peristiwa konflik lain pada beberapa wilayah di Provinsi Lampung, mencakup Mesuji, Lampung Tengah, Tanggamus, dan lainnya.
7
Mengacu data Sensus BPS (Badan Pusat Statistik) Lampung di tahun 2010, berdasarkan kriteria etnik/bangsa diperoleh data statistik, di Provinsi Lampung terdapat mayoritas Etnik Jawa sebanyak 4.113.731 (61,88 %), Etnik Lampung 792.312 (11,92 %), Etnik Sunda (Banten) 749.566 (11,27 %), Etnik Palembang Semendo 36.292 (3,55%), dan etnik lainnya seperti Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, Tionghoa, Bali, Madura, dan lain-lain. Kondisi masyarakat yang begitu beragam dimungkinkan memicu terjadinya gesekan antar kelompok etnik. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah dengan berbagai keragaman, baik agama, karakter budaya, identitas etnik, pola-pola adat, kondisi geografis, rasa, dan ungkapan bahasa, serta berbagai kategori lainnya. Kesalahan dalam menyikapi keragaman identitas etnik, budaya, dan agama dalam kehidupan bermasyarakat tercermin padabeberapa kasus kerusuhan sosial di Provinsi Lampung. Pada tingkatan kabupaten, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanggamus merumuskan peta kerawanan dan ancaman sosial yang dapat memicu terjadinya konflik (Lampost, 2014). Hasil evaluasi (penilaian) dan inventarisasi (pencatatan) diketahui sedikitnya ada 12 indikasi konflik di Bumi Begawi Jejama, Kabupaten Tanggamus. Beberapa titik kerawanan yang dapat memicu konflik tersebut diantaranya lokasi kawasan industri maritim (KIM) di Kecamatan Limau dan Kota Agung Timur terkait permasalahan petani penggarap lahan Pertamina dan LSM Petani Batubalai Bersatu (PBB) dengan Pertamina, PT. Rapindo Jagad Raya dan Pemkab Tanggamus. Kemudian, penganut aliran keagamaan, seperti ahmadiyah di
8
Kecamatan Talang Padang, Syi’ai dan Ikhwanul Muslimin di Kecamatan Gisting, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kecamatan Limau. Selanjutnya, PT. Tanggamus Indah di Kecamatan Kotaagung Timur, lokasi pertambangan emas PT. Natarang Mining di Kecamatan Bandar Negeri Semoung, lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kecamatan Ulubelu, calon lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga Microhidro di Kecamatan Semaka, perambahan hutan TNBBS di Kecamatan Semaka dan Pematangsawa, kawasan hutan lindung dan hutan kemasyarakatan (HKm). Konflik nelayan obor dan nelayan yang menggunakan jaring curshing di Kecamatan Kelumbayan, konflik tapal batas Kecamatan Bandar Negeri Semoung dan Bandar Suoh (Lampung Barat), objek-objek vital di Tanggamus dan konflik kriminalitas disepanjang jalan lintas barat (Jalinbar) yang marak pembegalan. Kasus terakhir adalah kerusuhan di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus. Sejumlah warga Pekon Way Kerap membakar rumah di Pekon Sukaraja, Kecamatan Semaka. Pembakaran rumah tersebut sebagai aksi serangan balasan atas insiden kekerasan yang menimpa seorang pemuda warga Way Kerap. Pemuda tadi disangka pelaku pencurian sehingga dihajar warga Sukaraja. Aksi main hakim sendiri yang ternyata salah sasaran berbuntut pada kekerasan dan keberutalan warga. Secara khusus, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Tanggamus memiliki potensi konflik yang khas bila mengacu pada kondisi ditiap wilayah. Realitas/ kenyataan ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki potensi
9
konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya pencegahan konflik. B. Rumusan Masalah Melihat situasi kekinian akan potensi konflik sosial yang begitu menonjol, maka diperlukan upaya pemetaan dan identifikasi wilayah rawan konflik di Kabupaten Tanggamus. Gambaran mengenai wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) di Kabupaten Tanggamus memiliki ciri pembeda yang kontras. Pada aspek ini ditiap wilayah tersebut juga memiliki potensi konflik sosial yang berbeda pula. Berdasarkan pada realitas (kenyataan) tersebut, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan ialah “Bagaimana peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus merujuk pada kategori wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan)?”
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan). Selain itu, diharapkan mendapatkan gambaran mengenai situasi terkini mengenai potensi konflik sosial dan pola persebarannya berdasarkan wilayah rural dan urban di Kabupaten Tanggamus.
D. Manfaat Hasil Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya yakni:
10
a. Manfaat Teoritis Manfaat penelitian ini bila dilihat dari aspek teoritis, diharapkan nantinya penelitian ini mampu memperkaya literatur atau kajian mengenai pemetaan potensi konflik sosial. Dilihat dari aspek metodologis (ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran), hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi proses penelitian selanjutnya, khususnya untuk lingkup yang lebih spesifik.
b.
Manfaat Praktis
Adapun pada aspek praktisnya yakni diharapkan penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan yang berarti bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), baik pihak kepolisian daerah, pemerintah daerah, dan dinasdinas terkait di lingkungan Pemkab Tanggamus, dalam menciptakan situasi rasa aman di tengah masyarakat.