I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Bendungan besar menurut kriteria International Commission on Large
Dams (ICOLD) adalah bendungan dengan tinggi tanggul ≥15 m dan tampungan minimal 500.000 m3, atau tinggi tanggul hanya <15 m tetapi mampu menampung >1 juta m³ air. Pada abad ke-20, tercatat ada 45.000 bendungan besar yang telah dibangun di seluruh dunia dengan total investasi sekitar US$ 2 triliun. Sampai saat ini di Indonesia tercatat sekitar 236 bendungan besar. Distribusi bendungan besar di beberapa negara disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan data dari seluruh bendungan di dunia (dari catatan sekitar 36.700 bendungan), 19% bendungan berfungsi untuk pembangkit listrik dan pada 63 negara menjadi sumber energi 50% dari total kebutuhan listriknya, 30% - 40% bendungan berfungsi untuk irigasi dan sebanyak 12-16% dari produksi pangan dunia dihasilkan dari irigasi dengan bendungan, 12% bendungan untuk suplai air baku dan terdapat 75 negara yang mempunyai bendungan untuk pengendalian banjir.
Gambar 1. Distribusi bendungan besar di dunia (Icold 2005). Kebutuhan pembangunan bendungan terus meningkat antara lain karena bendungan berperan besar dalam mengatasi masalah-masalah penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan yang meningkat terutama karena pertumbuhan penduduk, kekurangan air minum dan kekurangan sumber daya energi. Disamping itu terdapat kompetisi untuk mendapatkan air yang meningkat, ekosistem perairan yang menurun kualitasnya dan hilangnya tanah rawa yang mengakibatkan terjadinya banjir serta peningkatan kebutuhan pangan yang
2
menuntut peningkatan produksi pangan. Pembangunan bendungan di berbagai kawasan di dunia selalu mengundang kontroversi mengingat banyaknya hal yang harus dikorbankan. Pengorbanan mulai dari pembebasan tanah dan relokasi penduduk, penebangan dan hilangnya kawasan hutan, terganggunya kawasan budaya serta situs-situs purbakala, juga terganggunya habitat hewan-hewan di kawasan genangan, bahkan mungkin terjadi longsoran atau gerakan tanah akibat pembukaan/galian daerah konstruksi serta polusi udara selama pembangunan. Manfaat bendungan tidak dapat dipungkiri dapat meningkatkan produksi pangan dan ketahanan pangan yang merupakan unsur utama ketahanan nasional, meningkatkan pendapatan masyarakat, mengatasi masalah krisis air baku, mengendalikan terjadinya banjir, meningkatkan produksi listrik yang dibangkitkan dari tenaga air yang sekaligus mengurangi konsumsi bahan bakar karbon (minyak bumi). Waduk juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi, antara lain melalui gerakan penghijauan di hulu bendungan yang juga dapat berfungsi sebagai kawasan wisata alam baru yang menyenangkan. Disamping manfaat positifnya, terdapat pula dampak pembangunan bendungan yang berpotensi menimbulkan konflik, mulai dari tahapan sebelum pembangunan, sampai bendungan selesai dan dimanfaatkan. Sketsa potensi masalah dalam pembangunan bendungan disajikan pada Gambar 2. Penelitian terhadap perencanaan pembangunan bendungan menjadi penting karena adanya fakta-fakta berikut yang terjadi dalam perencanaan pembangunan bendungan: (i) perencanaan yang dibuat belum komprehensif dan aplikatif, sehingga timbul konflik dan masalah sosial yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan, (ii) perencanaan yang disusun belum mewujudkan fungsi bendungan yang optimal, dan (iii) pada saat ini dibutuhkan suatu model perencanaan
pembangunan
bendungan
untuk
mencapai
pelaksanaan
pembangunan yang minim konflik sosial dan mencapai fungsi bendungan yang optimal. Penelitian terhadap ketiga hal terkait diharapkan dapat disusun dalam model perencanaan pembangunan yang memenuhi aspek-aspek keberlanjutan. Perencanaan pembangunan bendungan yang ada selama ini belum sepenuhnya komprehensif dan aplikatif. Hal ini diindikasikan dengan berbagai masalah yang muncul saat pembangunan bendungan dilaksanakan. Berbagai kasus terjadi dalam pelaksanaan pembangunan beberapa bendungan di Indonesia seperti Bendungan Kedung Ombo dan Bendungan Nipah.
3
energi alternatif
suplai air baku
sedimentasi
rekreasi emisi GRK (dari vegetasi yang tergenang)
rumah dan situs yang tergenang
Operasi dan pemeliharaan PLTA
Protes OTD
Kebutuhan debit lingkungan Isu perijinan Kehilangan aquifer hilir
Erosi tebing hilir
Kompetisi mendapatkan air
Salinitas dan water logging
Kehilangan nafkah dari perikanan
Pangan dari irigasi
Gambar 2. Sketsa permasalahan pada bendungan besar (Icold 2005). Makna perencanaan sangat tergantung pada paradigma yang dianut. Menurut Davidoff (1965), perspektif paradigma rasional memberikan batasan tentang perencanaan sebagai suatu proses untuk menentukan masa depan melalui suatu urutan pilihan. Sementara itu menurut Dror (1964) perencanaan merupakan suatu proses yang mempersiapkan seperangkat keputusan untuk melakukan tindakan dimasa depan. Friedman (1986) menyimpulkan bahwa perencanaan merupakan suatu strategi untuk pengambilan
keputusan,
atau
sebagai suatu aktivitas tentang keputusan dan implementasi. Berdasarkan definisi tersebut nampak bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai bentuk strategi yang bisa diterapkan untuk organisasi publik maupun privat.
4
Teori-teori perencanaan yang dominan sekarang ini sedang mengalami krisis. Menurut Friedman (1986) salah satu sebab dari kondisi ini adalah tidak adanya keterkaitan antara pengetahuan (knowledge) dan penerapan atau implementasi (action). Artinya, terdapat krisis pemahaman tentang masyarakat dan kondisi sebenarnya. Ketidakberhasilan memahami kebutuhan masyarakat merupakan pertanda krisisnya suatu teori perencanaan. Kondisi demikian lebih nampak di negara-negara berkembang, dimana perencana mengambil begitu saja teori-teori perencanaan dari negara maju. Banyak kebijakan, program dan proyek telah diterapkan. Namun demikian kebutuhan yang esensial dari masyarakat miskin masih belum tersentuh. Hal ini karena kebijakan, program dan proyek tidak mampu menerjemahkan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Teori perencanaan yang ideal adalah yang tidak hanya mampu mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat tetapi juga yang memadukan berbagai nilai dari berbagai kepentingan yang terlibat. Perencanaan pembangunan bendungan membutuhkan kajian berbagai sektor, baik teknis maupun non teknis. Secara umum perencanaan tersebut mengejar sasaran agar pelaksanaan pembangunan dapat berjalan lancar sehingga bendungan dapat diwujudkan, memenuhi aspek keamanan bendungan dengan dampak pembangunan yang minimal. Implementasi kebijakan-kebijakan serta kerjasama kelembagaan institusi yang terlibat dalam pembangunan bendungan
sangat
menentukan
dinamika
pelaksanaan
pembangunan.
Minimalisasi dampak dalam pelaksanaan pembangunan, pembebasan tanah, penggantian tanah kehutanan, relokasi penduduk terkena dampak dan pemindahan situs budaya menjadi faktor yang dominan dalam tahapan perencanaan pelaksanaan pembangunan. Bendungan Jatigede mulai dibangun sejak Tahun Anggaran 2008. Ide pembangunan sudah ada sejak tahun 1963, tetapi baru ditindaklanjuti dengan detail desain pada tahun 1986 dan di-review desain pada tahun 2004 hingga 2006. Pembebasan tanah sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Kondisi Daerah Aliran Sungai yang menjadi daerah tangkapan air Waduk Jatigede termasuk kategori kritis karena perbandingan debit maksimum dan debit minimum
sebesar
251
dan
laju
sedimentasi
lebih
dari
5
mm/tahun.
Pembangunan Bendung Leuwigoong pada tahun 2010 mengakibatkan terjadinya perubahan alokasi inflow ke Waduk Jatigede sehingga berpotensi mengganggu keseimbangan air yang sudah direncanakan terdahulu. Masalah timbul dalam
5
pengadaan tanah, kondisi DAS yang kritis serta potensi gangguan dalam keseimbangan air, menjadi alasan untuk menjadikan Bendungan Jatigede menjadi daerah penelitian. Berbagai kejadian dalam pelaksanaan pembangunan bendungan yang disebabkan oleh perencanaan pembangunan bendungan yang belum baik, tergambarkan dari kasus-kasus bendungan/waduk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kasus yang terjadi pada saat Pra Konstruksi (kasus Waduk Kedung Ombo), pemindahan penduduk dari daerah genangan waduk dan lokasi Bendungan Kedungombo merupakan isu besar dalam pembangunan waduk ini. Kasus berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi Waduk Kedungombo diliput secara luas oleh media massa nasional dan internasional. Pelaksanaan ganti rugi merupakan masalah paling rumit, karena waktu pelaksanaannya sangat lama, sekitar 11 tahun (1981 – 1991), bahkan belum tuntas. Hal-hal yang menyulitkan pemindahan adalah beberapa isu, antara lain adanya pemotongan yang tidak resmi oleh oknum pamong desa, lamanya periode ganti rugi mengakibatkan adanya perhitungan ulang yang menimbulkan perbedaan harga penetapan ganti rugi dan adanya keterikatan terhadap tanah leluhur, mangan ora mangan kumpul, sedumuk bathuk senyari bumi (makan atau tidak asal kumpul/berdekatan, dan mereka pertahankan tanah leluhur sekuat mereka bisa). Dalam kasus yang terjadi pada saat pembangunan (kasus Waduk Nipah), proses pengisian Waduk Nipah terganjal adanya pemukiman penduduk yang masih belum bersedia pindah dari daerah genangan. Kegagalan
dalam
membuat
perencanaan
pembangunan
yang
komprehensif dan aplikatif akan meningkatkan biaya pembangunan (cost) sehingga menurunkan kelayakan ekonomi. Lebih lanjut juga dapat menurunkan kelayakan sosial budaya dan kelayakan ekologi sehingga menyebabkan kebijakan pembangunan menjadi tidak layak dilanjutkan. Hal ini harus dihindari dalam perencanaan pembangunan bendungan. Banyak
perencanaan
pembangunan
bendungan
selain
komprehensif dan aplikatif, juga belum mewujudkan fungsi bendungan
belum yang
optimal. Pembangunan bendungan dilaksanakan untuk dapat melayani fungsifungsi selama umur layanan bendungan yang sudah dicanangkan dalam tahap perencanaan seperti untuk mengairi daerah irigasi, mengendalikan banjir, mensuplai air baku, membangkitkan listrik tenaga air, perikanan, pariwisata dan konservasi. Dalam kenyataannya fungsi-fungsi bendungan tersebut banyak yang
6
mengalami permasalahan sehingga tidak tercapai secara optimal. Masalah keberlanjutan dalam kuantitas sumber air dan pengendalian sedimentasi merupakan
faktor
dominan
yang
menentukan
tercapai
tidaknya
fungsi
bendungan secara optimal. Curah hujan, konservasi DAS hulu, sedimentasi dan polusi air menjadi hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Kasus-kasus yang terjadi di bawah ini menggambarkan bagaimana fungsi bendungan tidak tercapai secara optimal. DAS Citarum yang merupakan DAS Waduk Jatiluhur mengalami kerusakan akibat perubahan tata guna lahan di daerah hulu. Berdasarkan data antara tahun 1984 – 1996, luasan hutan berkurang 21%, lahan pertanian menurun 44%, lahan pemukiman dan industri meningkat 149% dan beban air meningkat 995%. Indikasi kerusakan DAS Citarum ditunjukkan oleh hasil pengamatan debit di Ngajum (Wangsaatmaja 2007), yaitu penurunan debit ekstrem minimum dari 6,36 m³/det (tahun 1951) menjadi 5,7 m³/det (tahun1998), peningkatan debit ekstrem maksimum dari 217 m³/det (tahun 1951) menjadi 265,8 m³/det
(tahun1998).
Tahun 1997 terjadi kemarau panjang sehingga air yang masuk Waduk Jatiluhur hanya 3,6 miliar m³ (aliran tahunan 5,5 miliar m³). Kendala tahun kering ini diatasi dengan pembuatan hujan buatan (harga hujan buatan Rp.1/ m³ pada tahun 1982). Terkait dengan ketersediaan air, di Waduk Bening, Jawa Timur, karena keterbatasan jumlah air yang masuk ke waduk Bening, maka pengoperasian PLTM tidak dapat berjalan sesuai rencana. Di waduk Saguling terjadi alih fungsi lahan dari hutan produksi menjadi hutan industri, lalu berubah menjadi perkebunan, kemudian persawahan dan perladangan yang mengakibatkan kelongsoran terutama di bagian yang berlereng tajam. Terjadi sedimentasi 12 kali lebih besar (laju erosi 3,14 mm/th) dari yang direncanakan dengan laju erosi 0,25 mm/th di Waduk Karang Kates. Peningkatan laju erosi ini disebabkan oleh penggundulan hutan, perubahan pola tanam
yang
kurang
memperhatikan
kaidah-kaidah
konservasi
serta
perkembangan pemukiman dan industri. Sedimentasi yang terjadi di Waduk Selorejo mencapai 10 kali lipat dari yang direncanakan. Laju erosi direncanakan 0,33 mm/th, kenyataan yang terjadi 3,33 mm/th. Penanganan sedimen dilakukan dengan pengerukan waduk secara periodik pada daerah hulu perairan waduk atau muara sungai yang mengalami pendangkalan tinggi. Di Waduk Wonogiri, masalah erosi dan sedimentasi tidak hanya diakibatkan oleh faktor fisik namun juga faktor sosial masyarakat. Kesalahan cara bercocok tanam dan kepadatan
7
penduduk yang memaksa perubahan fungsi lahan di DAS
hulu Wonogiri
merupakan salah satu penyebab tingginya erosi sedimentasi. Semula petani hanya sekedar menanam sayur, kemudian berubah menjadi pertanian yang intensif. Semula orang hanya mencari kayu rencek, kemudian menjadi penebang kayu sehingga terjadi penjarahan hutan. Sedangkan di Waduk Kedung Ombo, hasil pengukuran sedimen pada akhir tahun 2000 di Waduk Kedungombo mencapai 84.407 ton/ha/th, laju sedimentasi ini berarti dua kali lebih besar dari yang direncanakan sebesar 40.000 ton/ha/th. Sedimentasi dari gunung berapi terjadi di Waduk Wlingi, di mana sedimentasi
berasal dari pasir letusan Gunung Kelud dan ini dikeruk secara
rutin dari waduk Wlingi. Permasalahan yang timbul adalah kesulitan penyediaan lahan spoil bank untuk menampung hasil pengerukan. Pernah diupayakan pemanfaatan pasir untuk dijual sebagai bahan bangunan, dengan harapan lahan spoil bank dapat digunakan berkali-kali, tetapi upaya ini kurang berhasil karena kualitas pasir hasil kerukan kurang baik untuk bahan bangunan (banyak campuran tanah). Di Waduk Sengguruh, terjadi sedimentasi yang tinggi berasal dari erosi daerah hulu Kali Brantas dan pasir sisa letusan Gunung Semeru. Penanganan sedimen dilakukan dengan tindakan pengerukan waduk secara rutin setiap tahun, sehingga PLTA tetap beroperasi secara normal. Kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengerukan ini adalah terbatasnya lahan spoil bank yang tersedia di sekitar waduk (sudah penuh). Sampah domestik dari kota Batu, Malang, Kepanjen dan desa-desa sepanjang Kali Brantas dan anak-anak sungainya mengumpul di waduk Sengguruh, terutama sampah plastik yang sangat mengganggu operasional PLTA. Kegagalan dalam membuat perencanaan pencapaian fungsi optimal pembangunan bendungan akan menurunkan tingkat keuntungan (benefit) seperti berkurangnya
umur
bendungan
karena
sedimentasi
atau
menurunnya
ketersediaan air karena kerusakan Daerah Aliran Sungai, yang selanjutnya dapat meningkatkan biaya operasi dan pemeliharaan bendungan. Hal-hal tersebut menyebabkan penurunan keuntungan yang diperoleh dari pembangunan bendungan. Jika pembangunan dengan investasi yang besar telah dilaksanakan namun terjadi peningkatan biaya dan penurunan keuntungan maka kelayakan ekonomi yang telah dinilai layak akan menurun.
8
1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Paradigma perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan terdiri dari: (i) perencanaan pengendalian masalah konflik secara berkelanjutan dan (ii) perencanaan pencapaian fungsi optimal bendungan yang berkelanjutan. Aspek teknis pembangunan bendungan yang terkait dengan ilmu teknik sipil dan geologi tidak akan dikaji dalam penelitian ini. Demikian juga dengan masalah kualitas air serta ekonomi-finansial tidak masuk kajian dalam penelitian ini (lihat Gambar 3). Paradigma Perencanaan Pembangunan Bendungan yang Berkelanjutan Perencanaan pengendalian konflik secara berkelanjutan (kegagalan meningkatkan biaya)
Proses Pengadaan Kawasan Hutan
Pengadaan Pengadaan lahan milik lahan penduduk pengganti/ kompensasi
Perencanaan Pencapaian fungsi optimal bendungan secara berkelanjutan (kegagalan akan menurunkan manfaat)
Relokasi Penduduk
Ketersediaan air
Kebutuhan air
O p tim alis as i P e n ga d a a n Tanah
Pengendalian laju sedimentasi
O p tim a lis a si P e n ge lola a n D a e ra h A lira n Su n g a i
O p t im a li s a s i P e n g e l o l a a n A ir
K e b ij a k a n P e r e n c a n a a n P e n g a d a a n T a n a h
Kebijakan Perencanaan Pengelolaan Keseimbangan AIr
Kebijakan Perencanaan Pengendalian Sedimentasi
D e s a i n M o d e l K e b i j a k a n P e r e n c a n a a n P e m b a n g u n a n B e n d u n g a n y a n g B e r k e la n ju ta n
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Perencanaan
pengendalian
konflik
atau
masalah
sosial
secara
berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor-faktor proses penggunaan kawasan hutan, pengadaan lahan pengganti /kompensasi kawasan hutan, pengadaan tanah milik penduduk yang terpakai dalam pembangunan dan pemindahan orang terkena dampak dari daerah genangan. Perencanaan pencapaian fungsi optimal bendungan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor-faktor ketersediaan air,
9
kebutuhan air, sedimentasi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya disusun sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air (water balance) di DAS Jatigede serta kajian teknis pengadaan tanah milik penduduk dan kawasan hutan. Selanjutnya pada tahap akhir dilakukan penyusunan model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan yang bersifat lebih luas dengan mengintegrasikan hasil sub model sedimentasi, sub model keseimbangan air dan kajian teknis pengadaan tanah.
1.3.
Perumusan Masalah Proses pembangunan bendungan sangat kompleks, mulai dari tahapan
studi kelayakan, amdal, investigasi, desain, pelaksanaan hingga operasi dan pemeliharaan fungsi bendungan, karena melibatkan banyak pihak, multi disiplin ilmu serta berbagai pemangku kepentingan. Masalah sosial, lingkungan dan ekonomi merupakan pilar-pilar keberlanjutan pembangunan yang melekat erat dalam proses pembangunan bendungan. Berdasarkan kompleksitas masalah, maka dapat dirumuskan persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya, yaitu : (i) proses pembebasan tanah serta peraturan pembebasan tanah kawasan hutan dan tanah milik penduduk serta relokasi pemukiman yang menimbulkan konflik dalam implementasinya, dan (ii) pencapaian fungsi optimal bendungan terancam karena kondisi kritis DAS yang menjadi sumber air bendungan mengakibatkan peningkatan sedimentasi dan gangguan keseimbangan air. Lebih lanjut dapat disusun sejumlah pertanyaan penelitian yang dapat dijadikan arahan pelaksanaan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana model perencanaan yang harus ditempuh agar pembangunan bendungan dapat berkelanjutan ? 2. Bagaimana cara mencapai daya dukung dan fungsi optimal bendungan selama umur layanan ? 3. Bagaimana melaksanakan pengadaan tanah sehingga konflik dalam pelaksanaan pembangunan bendungan dapat dikendalikan ? 4. Apa rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan agar perencanaan pembangunan bendungan dapat mencapai syarat berkelanjutan.
1.4. Tujuan Penelitian Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perencanaan pembangunan bendungan
memainkan
peran
penting
dalam
memuluskan
pelaksanaan
10
pembangunan dan mencapai fungsi bendungan dalam umur layanannya. Perencanaan pembangunan akan mempengaruhi pelaksanaan dan pemanfaatan bendungan. Berkenaan dengan pentingnya perencanaan, maka dapat ditarik beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian. Tujuan utama penelitian ini adalah: 1. Menyusun model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Adapun tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut : 2. Mendesain sub model kajian umur layanan dan fungsi bendungan dengan mempertimbangkan sedimentasi dan keseimbangan air DAS Waduk Jatigede. 3. Melakukan
kajian
teknis
pengadaan
tanah
dalam
perencanaan
pembangunan bendungan. 4. Menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Dasar model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan; 2. Landasan dalam pengambilan keputusan pembangunan bendungan yang berkelanjutan di masa datang; 3. Dasar pengambilan kebijakan dalam memperbaiki kinerja pelaksanaan pembangunan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan batasan ruang lingkup fisik lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, khususnya yang menjadi daerah tangkapan air untuk Waduk Jatigede. Daerah penelitian ini merupakan sumber untuk mendapatkan data-data primer. Sedangkan data-data sekunder akan dijaring dari sumber data pembangunan bendungan-bendungan besar lainnya, baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Oleh karena perencanaan pembangunan
bendungan
mencakup
bidang
keilmuan
yang
beragam,
sedangkan tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun model perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan lebih menekankan pada aspek-aspek yang terkait dengan pengendalian konflik selama pelaksanaan konstruksi dan pencapaian fungsi optimal bendungan, maka aspek-aspek
11
teknologi pembangunan bendungan tidak akan dikaji kecuali aspek-aspek teknologi yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan berkelanjutan. Masalah
kualitas
air
walaupun
sangat
terkait
dengan
perencanaan
pembangunan, namun dengan pertimbangan bahwa pada sebagian besar pembangunan bendungan masalah kualitas air lebih banyak terkait dengan peningkatan biaya operasional tetapi tidak menghilangkan potensi penyediaan air baku, maka tidak akan dikaji dalam penelitian ini. Kata ‘tanah’ dipakai dibanding ‘lahan’ dalam istilah pengadaan tanah karena
kebijakan
atau
peraturan-peraturan
menggunakannya, walaupun
yang
ada
telah
terbiasa
kata ‘lahan’ sebenarnya lebih sesuai karena
mengandung pengertian ruang (spasial) sedangkan kata ‘tanah’ mengandung arti fisik atau sifat-sifat tanah. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kata ‘ tanah’ tetap digunakan untuk istilah pengadaan tanah.
1.7. Kebaruan Penelitian (Novelty) Ada dua hal yang menjadi Novelty dari penelitian ini. Pertama, dari segi metode, penelitian ini menggabungkan analisa yang bertumpu pada aspek teknis lingkungan
dalam
rangka
pencapaian
fungsi
bendungan
optimal
yang
berkelanjutan dengan analisa yang bertumpu pada aspek sosial dalam rangka pengendalian
masalah
sosial
yang
berkelanjutan
dalam
pembangunan
bendungan. Kedua, kebaruan dicapai dari segi keluaran (output), yaitu tersusunnya rekomendasi kebijakan yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan bendungan sehingga perencanaan pembangunan bendungan tersebut
memenuhi
aspek-aspek
keberlanjutan
pelaksanaan maupun dalam pemanfaatan bendungan.
pembangunan
dalam