BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2012), Mayoritas suku Minangkabau tinggal di daerah Provinsi Sumatera Barat yang memiliki luas 42.297.30 km2. Hasil sensus penduduk tahun 2010 total penduduknya sebanyak 4.846.909 jiwa. Budaya Minangkabau dikenal sebagai sebuah budaya yang memiliki nilai-nilai yang khas. Adat Minangkabau sudah sempurna pada abad ke-5 atau ke-6 Masehi, dan memiliki ketentuan-ketentuan sendiri yang tercermin dalam falsafah atau filosofi adat. Salah satu filosofi yang paling terkenal di masyarakat Minangkabau adalah alam takambang jadi guru (alam terbentang jadi guru). Filosofi ini sering dianggap sebagai pijakan dasar bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri baik dalam kekinian maupun di masa yang akan datang (Arifin, 2010). Alam dalam konteks masyarakat Minangkabau ini tidak hanya dipandang sebagai lingkungan fisik saja, tetapi juga dipandang sebagai lingkungan sosial budaya dan lingkungan pemikiran. Jadi, alam lebih dipandang sebagai ranah (dunia) tempat dimana pergulatan kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan disarikan (Arifin, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pentingnya kedudukan alam bagi masyarakat Minangkabau menjadikan masyarakat Minangkabau dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi misalnya ketika ajaran Islam masuk ke Minangkabau. Masyarakat Minangkabau tidak menutup diri atau menolak ajaran Islam, tetapi malah menyesuaikannya dengan adat yang sebelumnya telah dianut, meskipun mengalami proses yang cukup panjang. Jika sebelum Islam masuk, filosofi masyarakat Minangkabau berdasarkan ketentuan alam, maka setelah masuknya Islam, filosofi tersebut disempurnakan lagi, bahwa hukum yang ada di dalam itu merupakan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT. Hal ini tertuang dalam filosofi adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Maksud dari filosofi ini adalah bahwa adat bersendikan kepada syarak atau ajaran Islam, dan ajaran Islam bersendi kepada kitabullah atau Al-Qur’an. Jadi ajaran Islam sesuai dengan adat Minangkabau sehingga saling melengkap satu sama lain. Pencampuran antara ajaran Islam dengan aturan adat disebut sebagai Islamisasi kultural (Amir, 1997). Bukti lain mengenai penyesuaian adat Minangkabau dengan ajaran Islam tercermin dalam filosofi adat anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing). Filosofi ini mengandung maksud bahwa seorang laki-laki harus bersikap adil dengan anak dan kemenakannya. Sebagai penganut budaya matrilinialisme, masyarakat Minangkabau hidup di dalam extended family yang kekerabatannya menurut suku ibu. Laki-laki tertua di dalam keluarga itu disebut sebagai mamak rumah yang bertanggung jawab terhadap anak-anak dari saudara perempuannya yang disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
kemenakan. Sedangkan terhadap anak-anaknya sendiri dia tidak mempunyai tanggung jawab, melainkan saudara laki-laki istrinya atau mamak rumah istrinyalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Setelah Islam masuk, maka disempurnakan melalui filosofi anak dipangku kamanakan dibimbiang, yang berarti bahwa seorang laki-laki di Minangkabau bertanggung jawab kepada anak dan kemenakannya, dimana dia bertanggung jawab terhadap anaknya dalam hal mata pencaharian dan membimbing kemenakannya dengan harta pusaka, jadi berlaku adil baik kepada anak maupun kepada kemenakan. Karakteristik masyarakat Minangkabau juga terbuka terhadap perubahan yang membuat mereka dinamis dalam kehidupan. Dinamisme ini kemudian menjadikan masyarakat Minangkabau adaptif terhadap berbagai perubahan yang dialaminya. Kemampuan adaptif masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari dari nilai-nilai budaya yang dibangun para nenek moyang pendahulu dulu untuk kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang (Arifin, 2010). Ada fenomena lain yang unik dari masyarakat Minangkabau. Berbagai ahli menemukan bahwa adanya ‘dualisme’, khususnya dalam sistem sosialpolitik. Beberapa ahli menyebutkan istilah seperti “gelisah” oleh Marzali (2004) (dalam Arifin, 2006) “ambigu” (Sairin, 2002 dalam Arifin , 2010), “dual organization” (Josselin de Jong, 1960 dalam Arifin, 2007) dan sebagainya. Fenomena yang berkembang pada masyarakat Minangkabau
Universitas Sumatera Utara
bukan fenomenanya yang bersifat dualisme, namun dualisme itulah yang sebenarnya yang merupakan budaya Minangkabau. Bentuk dualisme budaya Minangkabau dalam bidang sosial politik yaitu adanya dua sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sistem kelarasan Bodi Chaniago yang didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang dan sistem kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuak Katumanggungan. Masyarakat Minangkabau dari dulu hingga sekarang mempercayai bahwa kedua tokoh ini merupakan pendiri dari dua kekuasaan yang sampai sekarang masih diterapkan di Minangkabau, baik untuk masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat maupun yang ada diperantauan (Mairozasya, 2011). Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan bisa dibilang bertolak belakang. Bodi Chaniago bercirikan demokratis, dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sementara itu Koto Piliang bercirikan aristokratis, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal (Arifin, 2008). Perbedaan nilai yang dianut oleh kedua kelarasan ini tercermin pada struktur rumah gadangnya. Rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago lantainya datar atau tidak memiliki bandua (lantai yang ditinggikan lebih kurang 60 cm). Posisi lantai rumah yang datar ini adalah cerminan pola pengambilan keputusan yang diharapkan muncul dari bawah (mambasuik dari bumi) sehingga sebuah keputusan diharapkan betul-betul berdasarkan aspirasi masyarakat. Sementara itu, rumah gadang Koto Piliang biasanya memiliki
Universitas Sumatera Utara
bandua. Hal ini memperlihatkan bahwa Koto Piliang pada prinsipnya memang tegas menunjukkan adanya perjenjangan posisi antara pemimpin dengan masyarakatnya (anak dan kemenakan) sehingga semua aturan dan keputusan memang titiak dari ateh (berasal dari penghulu). Bahkan perjenjangan pada Koto Piliang terkadang juga tercermin pada bagian samping rumah gadang yang ditinggikan dari lantai rumah yang lain sehingga terlihat seperti perahu. Perbedaan-perbedaan ini sering memicu terjadinya perselisihan antara kedua datuk ini. Terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini dikarenakan kedua tokoh penting Minangkabau ini memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak Katumanggungan digambarkan sebagai putra mahkota yang akan mewarisi kerajaan ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang raja. Berbeda dengan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang terlahir dari rakyat biasa, suka merantau, berwatak kerakyataan, dan memiliki pola pikir yang egaliter (Arifin, 2008) Perbedaan yang dimiliki oleh kedua sistem politik ini tidak menimbulkan kondisi yang disharmoni pada masyarakat Minangkabau. Hal ini dikarenakan karakteristik masyarakat Minangkabau yang dinamis dan mampu
beradaptasi
sehingga mampu
menjadikan
dualisme
tersebut
terintegrasi. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme tersebut justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama lain (Arifin, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Penerapan salah satu sistem kelarasan pada suatu nagari disebut adat salingka nagari. Ternyata dalam aplikasinya banyak bukti yang menunjukkan bahwa jarang (bahkan tidak ada) sebuah nagari yang menerapkan adat salingka nagari nya Koto Piliang, tetapi semua sukunya bergeneologis Koto Piliang, dan begitu pula sebaliknya dengan kelarasan Bodi Chaniago. Artinya selalu ada keseimbangan suku-suku penyusun didalam sebuah nagari, walaupun secara tegas mereka menyatakan adat salingka nagari nya dengan salah satu sistem kelarasan tersebut (Arifin, 2006). Bentuk keseimbangan lainnya adalah ketika sebuah kesepakatan yang disebut kesepakatan Marapalam yang menghasilkan aturan dimana setiap permasalahan yang terjadi di Minangkabau harus dimusyawarahkan yang dilakukan oleh suku Bodi Chaniago, kemudian untuk mengumumkannya kepada masyarakat dilakukan oleh suku Koto Piliang. “Selesai Perang Paderi, itu terjadilah kesepakatan Bukit Marapalam, tahun 1858. Hasil kesepakatan Marapalam adalah diberlakukannya kembali sistem Koto Piliang di Minangkabau, tetapi dengan metoda lain. Metodanya, segala yang sudah diputuskan dan dimusyawarahkan di Bodi Chaniago diserahkan kepada Koto Piliang. jadi setelah Bodi Chaniago bermusyawarah tentang suatu hal, tidak mencapai kesepakatan, maka diantar ke Koto Piliang. Suku Piliang menurunkan perintahnya. Jadi terpakai keduanya di Marapalam. Mufakat terjadi, yang diperintahkan hasil mufakat yang tadi. Hasil mufakat Bodi Chaniago diserahkan ke Koto Piliang. Bagi Koto Piliang namanya perintah, walaupun perintah itu yang dimufakati. Bukit Marapalam itu suatu tempat bermusyawarah datuak-datuak dengan orang syarak.” (Wawancara personal, 16 Juni 2014)
Adanya
keseimbangan
antara
penerapan
kedua
kelarasan
ini
menandakan bahwa di dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat situasi yang membuat kepemimpinan itu bersifat dinamis. Artinya kepemimpinan di
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau tidak bersifat kaku dan dapat berubah mengikuti situasi yang ada. Seperti yang diungkapkan Fiedler (1967) bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Bodi Chaniago bersifat demokratis (Kato, 2005; Hasan, 2013; Effendi, 2004; Mauludin, 2010), ada juga yang menyebutkan Bodi Chaniago lebih egalitarian. Sedangkan Koto Piliang dikatakan lebih otokratis (Kato, 2005; Effendi, 2004; Mauludin, 2010), namun Hasan (2013) memakai istilah aristokratis. Ada ahli yang mengatakan bahwa Koto Piliang juga bersifat demokrasi, karena demokrasi merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau. Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa kepemimpinan di Minangkabau itu tidak bersifat kaku dan memiliki keseimbangan di dalamnya, sehingga dapat berubah menyesuaikan kondisi yang ada. Oleh karena itu hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat kedinamisan kepemimpinan di Minangkabau. Penelitian ini berfokus kepada kepemimpinan penghulu karena penghulu merupakan pemimpin di dalam sistem kekerabatan matrilinealisme pada
masyarakat Minangkabau. Pendekatan kualitatif
merupakan pendekatan yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini, karena peneliti bertujuan untuk melihat sesuatu yang bersifat dinamis dan dapat berubah pada saat tertentu, sehingga tidak dapat diukur dengan pemakaian alat ukur. Seperti yang dinyatakan oleh Purwandari (2007) bahwa banyak sekali perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang mustahil untuk dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik.
Universitas Sumatera Utara
B. PERTANYAAN PENELITIAN Pertanyaan
dalam
penelitian
ini
adalah
bagaimana
gambaran
kedinamisan gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gaya kepemimpinan penghulu Minangkabu.
D. MANFAAT PENELITIAN Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah kajian Psikologi untuk bidang kepemimpinan terutama mengenai gaya kepemimpinan. 2. Manfaat Praktis Melalui penelitian ini diharapkan menambah wawasan serta informasi bagi penghulu Minangkabau mengenai gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau sehingga dapat membantu dalam menjalankan kepemimpinan. Penelitian
ini
diharapkan
diharapkan
penelitian
ini dapat
memberikan kontribusi kepada Pemerintah Sumatera Barat dalam rangka menjalankan kembali pemerintahan nagari di Sumatera Barat.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan bagi pengamat sosial khususnya mengenai gaya kepemimpinan di Minangkabau.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah: BAB I: Pendahuluan Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II: Landasan Teori Bab ini memaparkan teori-teori yang digunakan untuk pedoman penelitian ini terdiri dari teori kepemimpinan dan teori adat Minangkabau khususnya mengenai kepemimpinan. BAB III: Metode Penelitian Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan, responden penelitian, merode pengambilan data, alat pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian. Bab IV : Hasil dan Pembahasan Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II. Bab V : Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara
Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan memberikan saran berupa saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara