BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang paling banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat di dunia. Ratusan hingga ribuan orang dari setiap negara di dunia melakukan kegiatan wisata untuk memuaskan diri dengan berwisata keberbagai daerah tujuan wisata yang ada di dunia. Pariwisata merupakan hal penting dalam kehidupan dan dapat dikatakan sebagai gaya hidup dan merupakan fenomena baru bagi masyarakat khususnya bagi mereka yang berada di negara yang sudah maju. Setiap daerah di Indonesia memiliki sumber pendapatan daerah yang berbeda-beda. Bali sebagai salah satu pulau yang yang menempatkan pariwisata sebagai sektor pendapatan utama saat ini telah menjadi salah satu pendorong perekonomian nasional. Dapat diketahui bahwa hampir sebagian masyarakat di Bali bekerja dan mempertaruhkan nasibnya pada bidang-bidang yang berkaitan dengan pariwisata, sehingga dampak dari pariwisata itu sendiri dapat membantu kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produk domestik regional bruto (PRDB Bali) pada pusat data statistik Bali berikut:
1
2
Tabel 1. Nilai PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Dan Kosntan 2010 Serta Distribusi Ekonomi Bali Triwulan I,II 2015.
Sumber: Badan Pusat Statisti Provinsi Bali1 Tabel 1 menunjukkan bahwa penyediaan akomodasi dan makan minum mendominasi perekonomian Bali pada triwulan II dengan kontribusi sebesar 22,82% yang mengalami sedikit penurunan dari pada triwulan I. Akomodasi serta 1
http://bali.bps.go.id/, Pada 15 Januari 2016.
3
makan minum merupakan salah satu dari beberapa macam akomodasi pariwisata di Bali. Sementara itu kontribusi terbesar kedua diduduki oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 15,11% yang telah mengalami peningkatn dari triwulan I. Hal inilah yang menunjukan bahwa pariwisata yang memegang dominasi utama pendapatan perekonomian Bali. Pariwisata sudah tentu menarik perhatian para wisatawan asing maupun domestik untuk berlibur ke Bali. Dengan adanya wisatawan domestik maupun internasional yang berkunjung ke pulau Bali dan secara langsung dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Namun jika pariwisata tidak ditangani dan dijalankan dengan baik maka akan menimbulkan dampak negatif seperti rusaknya nilai seni dan budaya, kearifan lokal masyarakat dan kebudayaan bali, kehancuran ekosistem dan lingkungan hidup serta pelanggaran terhadap norma agama, adat istiadat, kesusilaan dan hak asasi manusia. Apabila hal tersebut tidak bisa dikendalikan maka tidak bisa dipungkiri kebudayaan yang menjadi objek dari pariwisata dan wisatawan akan terkikis oleh kebudayaan asing yang dibawa wisatawan itu sendiri, sehingga dampaknya akan berpengaruh buruk juga terhadap mata pencaharian masyarakat. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam perkembangan pariwisata adalah aspek yang berkaitan dengan pemberdayaan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya termasuk hak asasi anak, karena dalam industri pariwisata sangat besar potensi yang ditimbulkan untuk terjadinya kekerasan pada anak seperti terjadinya eksploitasi seksual anak. Kekerasan terhadap anak merupakan masalah global di
4
mana anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornografi.2 Objek yang paling rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia adalah anak. Pengertian dari kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlindungan. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia yang memiliki arti khusus, dapat dilihat dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) oleh 193 negara. Dengan demikian sebanyak 193 negara telah menerima kewajibannya untuk mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. Meskipun ratifikasi Konvensi Hak Anak telah menunjukkan universalitas, namun perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan (children’s protection from violence, exploitation, and abuse) masih sangat lemah. Anak sebagai bagian integral dari
2
Irwanto, 2008, Menentang Pornografi dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak, ECPAT, Jakarta, h.6.
5
komunitas, paling lemah kemampuannya untuk melindungi diri mereka sendiri. Perhatian terhadap permasalahan perlindungan anak sebagai objek kejahatan telah dibahas dalam beberapa pertemuan internasional lainnya seperti Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948. Setelah itu pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi
Hak-Hak
Anak).
Kemudian
instrumen
internasional
dalam
perlindungan anak yang juga termasuk dalam instrumen hak asasi manusia yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah UN Rules for The Protection of Juveniles Desprived of Their Liberty, UN Standard Minimum Rules for NonCustodial Measures (Tokyo Rules), UN Guidelines for The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines).3 Banyaknya instrumen dan rekomendasi dari beberapa pertemuan internasional belum dapat menghasilkan serta memperihatkan hasil yang cukup signifikan dalam memberikan perlindungan kepada hak anak, sehingga eksploitasi seksual pada anak belum dapat ditanggulangi secara baik, karena dapat dilihat pada saat ini masih bermunculan kegiatan yang melibatkan anak dalam kaitannya dengan seks komersial tersebut. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari.4
3
Moch. Faisal Salam, 2005, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h.15. 4 Citra Reskia, 2013, Penerapan Instrumen Hak Asasi Manusia terhadap Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata, Universitas Hasanudin, h.3.
6
Perlindungan terhadap keberadaan anak juga ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak sesuai Pasal 52 – Pasal 66 UndangUndang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan salah satu bentuk dari penyakit masyarakat dan merupakan pariwisata seks yang timbul dari hasil suatu pergeseran nilai pariwisata di Bali yang merupakan suatu tindak kejahatan seksual pada anak yang dilakukan oleh wisatawan ataupun seseorang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang dituju dan ditempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Pariwisata seks anak merupakan masalah sosial karena dapat merugikan keselamatan, ketentraman dan kemakmuran jasmani maupun rohani serta sosial dari kehidupan masyarakat. Para pelaku wisatawan seks anak bisa saja berasal dari negara lain yang biasa disebut sebagai wisatawan asing serta berasal dari dalam negeri yang disebut sebagai wisatawan domestik atau orang lokal yang melakukan perjalanan wisata di dalam negara mereka sendiri. Pada saat anak-anak terlibat ataupun dipaksa masuk dalam industri seksual, maka anak-anak ini memiliki banyak resiko yang membahayakan masa depan mereka, yaitu diantaranya sangat rentan terhadap kekerasan seksual yang
7
dilakukan oleh para pelaku dan tertular penyakit seksual.5 Hal tersebut merupakan suatu tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya terhadap anak. Situasi serta kondisi anak Indonesia saat ini, merupakan cerminan dari adanya penyalah gunaan anak (abuse), eksploitasi, diskriminasi dan juga mengalami tindakan kekerasan lainnya yang dapat membahayakan perkembangan anak. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia. Anak merupakan generasi penerus cita-cita dan penentu masa depan bangsa. Pada saat ini mental generasi bangsa sudah semakin memburuk yang dapat berakibat luas khususnya dalam hal terjadinya tindak eksploitasi seksual pada anak secara komersial. Secara umum, dari istilahnya dapat diartikan bahwa eksploitasi seksual komersial anak berkaitan dengan suatu bentuk pengeksploitasian terhadap anak yang dilakukan secara seksual untuk kepentingan komersial.6 Krisis
multidimensional
yang
sedang
dialami
bangsa
Indonesia
mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakat semakin sulit, hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk bebas melalukan segala cara dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang salah satunya adalah dengan jalan melakukan eksploitasi seksual terhadap anak. Tetapi bukan kemiskinan saja yang menjadi salah satu faktor timbulnya eksploitasi seksual anak. Kemiskinan akan menjadi suatu isu yang memprihatinkan apabila akses pendidikan, kesehatan yang tidak dimiliki oleh
5
http://aids-ina.org/, pada 11 Juni 2015. Laddy fransisca et al., 2007, Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual Komersial, Cakrabooks, Surakarta, h. 3. 6
8
kelompok yang membutuhkan. Adapun jumlah penduduk miskin di Provinsi dari tahun 2010-2014 yang mengalami peningkatan, yaitu: Tabel 2. Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Bali Tahun 2010-2014 Tahun Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Bali 2010 174.9 2011 182.1 2012 158.95 2013 182.77 2014 195.95 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali7 Permasalahan yang sedang dihadapi saat ini adalah maraknya wisatawan asing maupun domistik yang berlibur maupun pada akhirnya menetap di Bali membawa pengaruh buruk yaitu menggunakan jasa anak sebagai memuas hasrat seksual yang saat ini lebih dikenal dengan pariwisata seks anak. Pengaruh tersebut mengakibatkan suatu perubahan sosial, dimana bisa mengarah pada perubahan yang tidak dikehendaki seperti contoh pergeseran nilai pariwisata. Pergeseran nilai merupakan masalah sosial pada zaman modern yang dianggapl sebagai penyakit masyarakat.8 Dengan kata lain penyakit tersebut merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari system sosiokultural zaman sekarang , dan berfungsi sebagai gejala sosial tersendiri.9 Anak-anak yang dilibatkan dalam pariwisata seksual anak
umumnya
berada pada keluarga yang kurang bahkan tidak mampu untuk memberikan kehidupan yang layak bagi mereka. Sebagian wisatawan seks anak adalah para kaum pedofilia. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Ni Nyoman Sukerti 7
http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=dynamic_miskin, Pada 01 Novembr 2015. Kartini Kartono, 2005, Patologi Sosial : Jilid 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.6. 9 Ibid. 8
9
mengenai cara mendeteksi pelaku pedofil adalah dapat dilihat terlebih dahulur dari kebiasaan kaum padofil:10 1. Berusaha mendekati anak-anak dengan menyiapkan mainan, makanan kegemaran anak-anak. 2. Menyimpan atau mengoleksi pakaian, foto anak-anak di tempat tinggalnya untuk menarik perhatian . 3. Sering menerima tamu anak-anak di kamar hotel. 4. Sering mengambil foto orang yang sedang berenang atau bermain dengan anak-anak selanjutnya di edit dan dikoleksi. Setelah itu dapat dikenali bagaimana pelaku untuk membujuk korban , antara lain: 1.
Mendekati tokoh masyarakat dan orang tua atau anak-anak,
2.
Menawarkan bantuan, memberi hadiah dan juga uang sesuai kebutuhan korban.
Keterlibatan anak di dalam bisnis seks komerisal hampir terjadi disemua negara dan belum ada penanganan secara serius dalam hal tersebut. Keberadaan eksploitasi seksual pada anak disisi lain sulit terindikasi karena pada umumnya dilakukan dengan cara yang tersembunyi dengan transaksi yang sulit terungkap. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan sebuah penelitian dengan judul ”Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Eksploitasi Seksual Sebagai Dampak Perkembangan Pariwisata Di Bali”.
10
Kanit I Subdit IV Polda Bali, Ni Nyoman Sukerni, Pada tanggal 20 Juni 2015, Pukul 12.00 waktu setempat, bertempat di Polda Bali yang berlokasi di Jalan W.R. Supratman Denpasar.
10
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah : 1. Bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di daerah pariwisata Bali ? 2. Bagaimana upaya meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak dari bahaya eksploitasi seksual sebagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata di Bali ? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah bertujuan untuk memberikan batasan terhadap permsasalahan yang akan dibahas oleh penulis. Adapun ruang lingkup masalah dari penelitian ini adalah : 1.
Ruang lingkup untuk permasalahan pertma akan dibatasi pada bentuk perlindungan anak yang menjadi korban dari salah satu bentuk eksploitasi seksual anak yaitu pariwisata seksual anak di Provinsi Bali. Bentuk perlindungan terhadap anak yaitu berupa aturan dan tindakan.
2.
Ruang lingkup untuk permasalahan kedua akan dibatasi pada upaya untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak dari bahaya eksploitasi seksual sebagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata di Bali, baik upaya yang dilakukan oleh orang tua, masyarakat maupun aparat penegak hukum.
11
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan dari
persoalan yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini, antara lain : 1.4.1 Tujuan Umum Untuk
meneliti
dan
menganalisa
sehingga
mengetahui
keterkaitan antara eksploitasi seksual terhadap anak dengan perkembangan pariwisata di Bali. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengkaji implementasi dari perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban dari eksploitasi seksual di Bali. 2. Untuk mengkaji dan menganalisa upaya peningkatan perlindungan terhadap anak dari eksploitasi seksual di daerah pariwisata di Bali. 1.5 Manfaat Penelitian Di dalam penelitian ini, diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun secara teoritis, yaitu : 1.5.1
Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan manfaat pada
pembaca dan juga masyarakat pada umumnya dalam bentuk sumbang saran sebagai upaya pencegahan terhadap eksploitasi seksual pada anak di daerah pariwisata Bali.
12
1.5.2
Manfaat Teoritis a.
Diharapkan penelitian ini dapat memberi pengetahuan yang lebih mendalam mengenai implementasi perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban dari eksploitasi seksual di Bali
b.
Memperdalam, mengembangkan dan menambah pengetahuan tentang keterkaitan antara perkembangan pariwisata dengan perlindungan hak asasi manusia terhadap anak.
1.6
Orisinalitas Penelitian Berdasarkan
dari
beberapa
informasi
yang
didapatkan
melalui
penelusuran dan pemeriksaan yang dilakukan di kepustakaan Pascasarjana Magister Hukum Universitas Udayana, bahwa penelitian tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Eksploitasi Seksual Sebagai Dampak Perkembangan Pariwisata Di Bali” sejauh ini belum ada peneliti yang mengkaji dan meneliti maka dari itu penelitian ini adalah asli adanya, artinya penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan keasliannya. Penelitian-penelitian lain yang ditemukan peneliti yang hampir mendekati dengan judul penelitian adalah sebagai berikut: Judul Penelitian
Izzah
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Eksploitasi Seksual Amila Sebagai Dampak Perkembangan Pariwisata Di Bali
Faisal Rumusan Masalah 1
Rumusan Masalah 2
Perbedaan Penelitian Fokus penelitian terletak pada perlindungan dan perkembangan pariwisata Bali Perbedaan Penelitian
13
implementasi perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual di daerah pariwisata Bali.
upaya meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak dari bahaya eksploitasi seksual sebagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata di Bali.
Judul Penelitian
Ary Purwatiningsi h11
11
Implementasi kebijakan perlindungan anak atas Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) berdasarkan Pasal 66 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Kota Surakarta) Rumusan Masalah Rumusan 1 Masalah 2 langkah-langkah Kendala apakah Pemerintah Kota yang dihadapi Surakarta dalam dalam mengimplementasik implementasi Pasal an Pasal 66 UU RI 66 UU RI Nomor No. 23 Tahun 2002 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan tentang Anak guna Perlindungan Anak memberikan guna memberikan perlindungan pada perlindungan pada anak dari kegiatan anak dari kegiatan eksploitasi seksual eksploitasi seksual komersial komersial Rumusan Masalah 3 solusinya dalam menghadapi kendalakendala tersebut Judul Penelitian
Pengkajian masalah dari faktor penyebab dan dampak eksploitasi seksual anak serta upaya peningkatan perlindungan anak dari ESKA di bidang pariwisata khususnya perkembangan pariwisata di Bali Perbedaan Penelitian Fokus penelitian terletak pada implementasi peraturan Perbedaan Penelitian Pengkajian masalah dari langkah pemerintah untuk mengimplementas ikan peraturan mengenai perlindungan anak terhafap ESKA dan mengkaji kendala yang dihadapi serta pencarian solusi
Perbedaan Penelitian
Ary Purwatiningaih, 2008, Implementasi kebijakan perlindungan anak atas Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) berdasarkan Pasal 66 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Kota Surakarta), Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
14
Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Fokus penelitian Nanci Yosepin Terhadap Anak Sebagai Korban terletak pada 12 Simbolon Eksploitasi Seks Komersial Anak (Eska) penanggulangan dan perlindungan hukum terhadap anak dari bahaya ESKA Rumusan Masalah Rumusan Perbedaan 1 Masalah 2 Penelitian Faktor penyebab Upaya Pengkajian terjadinya ESKA, penanggulangan masalah dari perlindungan hukum tindak pidana faktor penyebab terhadap anak terhadap anak dan perlindungan sebagai korban korban ESKA hukum terhadap ESKA anak sebagai korban serta upaya penanggulangan tindak pidana ESKA
Pada penelitian yang diteliti oleh Nanci Yosepin Simbolon, hampir memiliki kesamaan dengan peneitian yang akan di teliti pada bahasan yang akan ditulis, namun letak perbedaannya adalah pokok yang menjadi sumber bahasan mencakup eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak yang dampaknya akan mengubah citra kebudayaan pariwisata di Bali, dan juga mengkaji tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari ancaman eksploitasi serta pelecehan seksual.
12
Nanci Yosepin Simbolon, 2011, Penanggulangan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (Eska), Universitas Sumatera Utara, Medan.
15
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir 1.7.1
Landasan Teoritis Pelecehan seksual atau pun tidak kekerasan seksual pada anak merupakan
tindakan yang dilakukan secara berulang dengan kontak fisik serta emosional terhadap anak yang dapat dilakukan melalui hasrat, maupun kekerasan seksual.13 Landasan teoritis digunakan untuk menjawab permasalahan yang sedang dihadapi. Berdasarkan perumusan masalah yang dihadapi maka teori yang dipergunakan adalah prinsip perlindungan hukum berdasarkan konsep deklarasi milan tahun 1985, teori fungsionalis dan faktor efektifitas hukum . a.
Prinsip Perlindungan Hukum Berdasarkan Konsep Deklarasi Milan Tahun 1985 Deklarasi ini menjukkan bahwa perhatian yang serius ditujukan pada
perlindungan terhadap korban yang tidak hanya dari tiap-tiap negara, tetapi juga perhatian dari dunia. Perlindungan terhadap korban yang tertuang dalam Deklarasi PBB ialah dengan memberikan restitusi yaitu
ganti kerugian yang diberikan
kepada korban atas apa yang telah dideritanya. Menurut Pasal 1 ayat 5 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban. Pengertian restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Adapun beberapa hal yang tertuang dalam Deklarasi Milan 1985 adalah: 13
Huraerah, 2007, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Jakarta, h.47.
16
1. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil, 2. Hak unutk mendapatkan restitusi, Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan sepenuhnya atau sebagian oleh pelaku kepada korban, apabila yang bersangkutan mampu memberikannya. Dalam pelaksanaan restitusi tersebut hal yang paling penting untuk mendapatkan perhatian adalah kesederhanaan dalam sistem pemberian ganti rugi dalam waktu yang singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila realisasi dari restitusi dilakukan dalam rentang waktu yang lama pada nantinya konsep dari perlindungan bagi korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.14 3. Hak untuk mendapatkan kompensasi, Pemberian ganti kerugian oleh negara, dikarenakan pelaku tidak mampu memberikan restitusi terhadap korban. Ganti rugi dari negara dilakukan
untuk
mengembangkan
keadilan,
kebenaran
serta
kesejahteraan rakyat. Kompensasi ini merupakan bantuan yang diberikan negara sebagai wujud dari perhatian pemerintah terhadap permasalahan rakyat. 4. Hak untuk mendapatkan pendampingan Pendampingan psikologis, medis maupun sosial yang layak baik melalui pemerintah maupun lembaga
masyarakat merupakan hak
korban. Pendampingan pada dasarnya merupakan hak yang sama 14
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.167.
17
dengan rehabilitasi, yaitu hak korban untuk mengembalikan kondisi fisik maupun medisnya serta mental maupun psikologi seperti semula, serta rehabilitasi yang berkaitan dengan kehidupannya di dalam lingkungan masyarakat. Restitusi juga sudah diatur dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 71D ayat (1) dan ayat (2). Restitusi bagi anak sebagai korban merupakan suatu angin segar dalam upaya dalam perlindungan anak yang terbaru dan juga setelahnya ditunjang dari peran serta daerah dalam upaya antisipasii dan pemulihan anak sebagai korban dari tindakan kejahatan seksual seperti yang telah dituangkan dalam pasal 45B dalam undangundang perlindungan anak. Perlindungan hukum terhadap anak juga tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan yang dijelaskan bahwa Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disebut SPM adalah tolak ukur kinerja pelayanan unit pelayanan terpadu dalam memberikan pelayanan penanganan
laporan/pengaduan,
pelayanan
kesehatan,
rehabilitasi
sosial,
penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Pelayanan yang diberikat oleh pemerintah untuk melayani anak sebagai korban dari kejahatan seksual disebut dengan Unit Pelayanan Terpadu atau disingkat UPT adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban
18
kekerasan. UPT tersebut dapat berada di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis Rumah Sakit, Puskesmas, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), BP4 dan lembaga-lembaga keumatan lainnya, Kejaksaan, Pengadilan, Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Women Crisis Center (WCC), lembaga bantuan hukum (LBH), dan lembaga sejenis lainnya. Layanan ini dapat berbentuk satu atap (one stop crisis center) atau berbentuk jejaring, tergantung kebutuhan di masing-masing daerah. b.
Teori Fungsionalis William F. Ogburn berusaha memberikan suatu pengertian tertentu,
walau tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan sosial. Dia mengemukakan ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material maupun immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsurunsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. William F. Ogburn menekankan pada kondisi teknologis yang mempengaruhi perubahan sosial. Teknologi mempengaruhi dan kemudian mengubah pola interaksi, introduksi teknologi yang tak bebas nilai cenderung menimbulkan konflik-konflik dan karenanya membawa permasalahan dalam masyarakat.15 Pada dasarnya perubahan teknologi lebih cepat dari perubahan budaya nonmaterial seperti norma, kepercayaan, serta nilai yang mengatur kehidupan masyarakat. Dengan demikian 15
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2004, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Prenada Media, Jakarta, h. 359.
19
perubahan teknologi dapat menghasilkan perilaku yang baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional yang ada. Kemajuan teknologi memiliki peranan penting dan menentukan dalam hubungannya dengan pariwisata dengan kata lain pariwisata tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi dan sangat tergantung pada kemajuan teknologi. Di samping itu pariwisata juga melibatkan banyak organisasi dan pelaku di dalamnya yang bersifat global, maka teknologi informasi adalah suatu hal yang sangat fundamental dan memiliki peranan besar dalam dunia pariwisata yang semakin kompetitif. c.
Faktor Efektifitas Hukum Adapun beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi efektifitas dalam
penegakan hukum adalah: 1.
Faktor hukum itu sendiri Maksud dari pada faktor hukum itu sendiri adalah peraturan tertulis dari suatu undang-undang yang berlaku umum dan merupakan produk hukum dari pemerintah pusat maupun daerah yang sah.16 Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia pada dasarnya sudah memiliki peraturan hukum yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Anak, namun permasalahan terhadap hak anak terus meningkat seiring perkembangan globalisasi dan perubahan zaman yang sudah tentu mengubah pola pikir masyarakat, maka ketentuan dalam undang-
16
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum cet.III, UI-Press, Jakarta, h.51.
20
undang yang sudah berjalan cukup lama tersebut diubah dengan lahirnya undang-undang perlindungan anak yang bau yaitu Undang-Undang
No.35
Tahun
2014
tentang
Perlindungan
Terhadap Anak. 2.
Faktor penegak hukum Faktor yang sangat mempengaruhi penegakan hukum adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Peranan aparat penegakan hukum sangat mempengaruhi implementasi serta efektifitas dari upaya penegakan hukum. Peranan aparat hukum dituntut untuk memiliki sikap yang profesional antara kedudukan dan peranan yang dimilikinya masing-masing. Namun terkadang kedudukan dan peranan juga berpotensi menimbulkan kesenjangan yang disebut dengan kesenjangan peranan (role-distance).17 Salah satu upayanya adalah ancaman sanksi dari tindak pidana. Semakin berat ancaman sanksinya maka kemungkinan besar calon pelaku akan berfikir berkali-kali untuk melakukannya.
3.
Faktor fasilitas pendukung penegakan hukum Efektifitasnya suatu peraturan perundangan ditunjang dari sarana atau fasilitas yang memadai. Ruang lingkupnya terdiri dari sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.18 Sarana tersebut meliputi tenaga manuasia yang terampil dan berpendidikan,
17 18
Ibid., h.21. Zainuddin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.36.
21
organisasi yang baik, adanya peralatan dan finansial yang cukup.19 Apabila tidak ada sarana yang menunjang maka tidak dapat dimungkinkan suatu penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan lancar. 4.
Faktor masyarakat Kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan suatu indicator penting dalam berfungsinya hukum dalam masyarakat itu sendiri.20 Dalam masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah, persoalan pemenuhan kebutuhan hidup yang menjadi faktor utama dalam timbulnya kejahatan. Terkadang mereka melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga mempekerjakan anak yang masih di bawah umur untuk menghasilkan uang.
5.
Faktor kebudayaan Kesadaran masyarakat akan hukum sangat berkaitandengan faktor kebudayan. Kebudayaan hukum mencakup nilai-nilai dasar pada hukum yang berlaku dan merupakan konsep abstrak tentang suatu hal yang dianggap baik dan dianggap buruk.21
19
Soerjono Soekanto, Op.Cit., h.37. Zainuddin Ali, Op.Cit., h.64. 21 Soerjono Soekanto, Op.Cit., h.59. 20
22
1.7.2
Kerangka Berfikir Kerangka berfikir adalah konsep tentang korelasi antara teori dengan
berbagai suatu faktor yang dianggap penting maka dari itu kerangka berpikir merupakan sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan.22 Dalam penulisan ini, kerangka berfikir dapat dijabarkan seperti berikut:
22
h.60.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Jakarta,
23
Perlindungan Hak Anak Berkaitan Dengan Eksploitasi Seksual Dalam Perkembangan Pariwisata Di Bali Eksistensi / keberadaan eksploitasi seksual anak di bali
-
Dilihat dari hasil wawancara beberapa narasumber/
faktor-faktor penyebab terjadinya eksploitasi seksual dan pelaksanaan perlindungan hak anak di daerah pariwisata Bali
-
-
Perlindungan Hk Menurut Konsep Deklarasi Milan 1985 Teori Fungsionalis
-
upaya meningkatkan perlindungan terhadap anak dari eksploitasi seksual di bidang pariwisata
-
Faktor Efektifitas Hukum.
UUD 1945, UU No. 35 TH 2014 ttg Perlindungan Anak, UU No. 39 TH 1999 ttg HAM, UU No. 4 TH 1979 ttg Kesejahteraan Anak, UU No.9 TH 2012 ttg Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata, UU No.10 TH 2012 ttg Konvensi Hak Anak, UU No.1 TH 2000 ttg Pengesahan ILO, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang kepariwisataan, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Kode Etik Kepariwisataan Dunia Tahun 1999 Resolusi Sidang Umum ke-XI Organisasi Pariwisata Dunia (Kairo) tentang larangan pariwisata seksual terorganisasi tanggal 22 Oktober 1995, Deklarasi Stockholm melawan Eksploitasi Seksual Anak-anak untuk Tujuan Komersial, tanggal 22 Mei 1997, Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
-
Tumbuh kembang anak Pergeseran nilai budaya bali
24
1. 8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian Untuk jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian
empiris. Menurut pendapat dari Bambang Sunggono, jenis penelitian hukum empiris yaitu penelitian non doktrinal yang bertujuan untuk menemukan teori – teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat.23 Penulis memilih penelitian empiris dikarenakan untuk mengkaji fenomena eksploitasi seksual yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat dengan melibatkan salah satu kelompok rentan yaitu anak. oleh sebab itu penulis mengkaji dan menganalisis dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap beberapa informan dan responden yang pernah secara langsung mengetahui maupun mengalami hal yang sedang diteliti oleh penulis. 1.8.2
Sifat Penelitian Dalam penelitian empiris, sifat penelitian dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu: 1.
Bersifat Eksploratif Umumnya digunakan untuk meneliti pengetahuan
yang masih
baru dan belum adanya teori, norma ataupun ketentuan pendukung. Penelitian ini menglakukan eksplorasi secara pendalam pada suatu hal yang masih belum terungkap dan tidak diperlukan adanya hipotesis.
23
Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 42.
25
2.
Bersifat Deskriptif Umumnya
digunakan
untuk
menggambarkan
secara
tepat
mengenai sifat-sifat, gejala maupun keadaan dari pada individu maupun kelompok yang diperuntukkan dalam menentukan ada atau tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini ada tidaknya hipotesis ditentukan dari kebutuhan peneliti. 3.
Bersifat Eksplanatoris Umumnya penelitian ini bersifat menguji hipotesis yaitu dengan kata lain penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh ataupun dampak suatu variabel terhadap variable lainnya, oleh sebab itu hipotesis mutlak harus ada dalam penelitian ini.
Dari tiga macam sifat penelitian tersebut di atas maka sifat dari penelitian yang sedang penulis teliti adalah penelitian deskriptif karena menggambarkan suatu fenomena beserta dampaknya dalam masyarakat. Fenomena yang akan dibahas yaitu mengenai eksploitasi seksual anak sebagai dampak dari perkembangan pariwisata di Bali. Untuk menganalisis fenomena ini akan menggunakan beberapa acuan yang berupa teori-teori, norma-norma, maupun ketentuan hukum lainnya.
26
1.8.3
Sumber Data Ada dua jenis sumber data dalam penelitian empiris yang digunakan dalam
penulisan tesis ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a.
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak pertama yaitu data yang didapatkan dari hasil lapangan, yaitu dapat diketahui dari hasil wawancara. Hasil wawancara tersebut merupakan hasil wawancara yang mendalam dari narasumber atau ahli dibidang ilmu hukum. Wawancara dilakukan secara terbuka dan terstruktur yang dilakukan dengan beberapa informan yaitu Kanit I Subdit IV Ni Nyoman Sukerni, Kompol Putu Nariasih, Putu Afrioni dan Rizka Auliani serta responden terkait pelaku pekerja seksual anak di bawah umur dengan nama yang di samarkan Moza dan mucikari dengan nama yang di samarkan Jeje serta beberapa responden yang pernah secara langsung memiliki pengalaman terkait dengan eksploitasi seksual anak yaitu Dewa dan Agung dengan identitas yang disamarkan. Adapun eksistensi dari adanya ekploitasi seksual anak ini didapatkan dari beberapa informan yang memiliki pengalaman dan juga mengetahui tempat-tempat yang memang dijadikan sebagai lahan pekerja seksual yang mempekerjakan anak. Wawancara dengan nara sumber di atas dilakukan untuk menguak kegiatan eksploitasi seksual anak yang merupakan salah satu akibat negatif dari perkembangan pariwista di Bali.
27
b.
Sumber data sekunder yaitu data-data yang memberikan penjelasan mengenai data primer yang akan memperkuat penjelasan di dalam suatu penelitian. Data sekunder juga merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.24
Di
mana data sekunder terdiri dari : 1) Bahan Hukum Primer a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, b) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 297), c) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165), d) Undang-Undang
No.
Pemberantasan
Tindak
21
Tahun
Pidana
2007
Perdagangan
Tentang Orang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58) e) Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32),
24
Ibid.
28
f) Undang-Undang No.9 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 148), g) Undang-Undang No.10 Tahun 2012 Tentang Konvensi Hak Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 149), h) Undang-Undang No.1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30), i) Undang-Undang
No.
10
Tahun
2009
Tentang
kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11), j) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, k) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, l) Peraturan Daerah Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 2),
29
m) Peraturan Daerah Provinsi Bali No.6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6), n) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, o) Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924, p) Kode Etik Kepariwisataan Dunia Tahun 1999 q) Resolusi Sidang Umum ke-XI Organisasi Pariwisata Dunia (Kairo) tentang larangan pariwisata seksual terorganisasi tanggal 22 Oktober 1995, r) Deklarasi Stockholm melawan Eksploitasi Seksual Anakanak untuk Tujuan Komersial, tanggal 22 Mei 1997, s) Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) t) Yurisprudensi 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder terdiri dari: a) Buku-buku
literatur
atau
bacaan
yang
menjelaskan
mengenai perkembangan pariwisata dan perlindungan anak beserta hak asasi manusia, b) Hasil-hasil penelitian mengenai eksploitasi seksual pada anak serta kaitannya dengan perkembangan pariwisata, c) Pendapat dan pandangan ahli hukum.
30
3) Bahan Hukum Tersier Merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus, website dan artikel artikel yang berkaitan dengan eksploitasi seksual yang terjadi pada anak serta kaitannya terhadap hak asasi manusia serta perkembangan pariwisata. 1.8.4
Teknik Dalam Pengumpulan Data Adapun beberapa teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data
yang dilakukan, antara lain : a.
Teknik Wawancara Teknik wawancara yang dilakukan ialah dengan cara menyiapkan pedoman wawancara serta bertatap muka secara langsung dan merekam serta mencatat hal-hal yang dirasa penting untuk dijadikan bahan penulisan setelah itu mengajukan beberapa pernyatanyaan mengenai permasalahan pokok bahasan penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan harus terstruktur dan sistematis kepada beberapa narasumber yang mengetahui dan memahami tentang terjadinya tindak kriminal pelecehan ataupun eksploitasi seksual pada anak yang dapat mengubah nilai kebudayaan Bali dan berdampak pada sektor pariwisatanya.
menyesuaikan
dengan
hasil
yang
diinginkan.
Wawancara dilakukan secara mendalam dan terstruktur yang dilakukan dengan informan Kanit I Subdit IV Ni Nyoman Sukerni, Kompol Putu Nariasih, serta responden terkait pelaku pekerja seksual
31
anak di bawah umur dengan nama samaran Moza dan mucikari dengan nama samaran Jeje serta Dewa dan Agung yang pernah secara langsung memiliki pengalaman terkait dengan eksploitasi seksual anak. Wawancara dengan narasumber di atas untuk menguak kegiatan eksploitasi seksual anak yang merupakan salah satu akibat dari perkembangan pariwista di Bali. b. Teknik Studi Dokumen Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen merupakan suatu cara dalam mencari data dalam variabel yang berupa tulisan.25 Data dalam hal ini adalah data yang harus relevan dengan data-data hukum untuk menjawab permasalahan. 1.8.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Untuk menguraikan penelitian dengan jelas dan tegas, dalam teknik
penentuan sampel penelitian ini di gunakan teknik purposive sampling dimana dalam bentuk penelitian ini dilakukan berdasarkan tujuan tertentu berdasarkan pertimbangan dalam pemenuhan kriteria ataupun karakteristik tertentu yang dijadikan ciri utama dari populasi yang diteliti dan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini dipilih dari orang yang mengetahui keadaan sosial yang diteliti yaitu orang yang sudah pernah secara langsung melakukan tindakan yang terkait dengan ekploitasi seksual yang terjadi pada anak maupun informan terkait yang pernah tahu akan eksistensi tindakan tersebut. 25
Suharsimi Arikunto, 2010, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta, h.274.
32
1.8.6
Teknik Analisa Data Analisa data merupakan proses pengurutan data dan mengorganisir ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.26 Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan mengamati serta mengolah data-data yang didapatkan dari hasil suatu penelitian dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan ataupun asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Penggunaan metode kualitatif berawal dari pemikiran tentang fenomena sosial yang unik dan kompleks dan terdapat suatu pola tertentu, namun penuh dengan variasi.27 Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan prilaku yang dapat diamati.28 Analisis dengan menggunakan metode kualitatif juga dilakukan metode interprestasi. Berdasarkan metode interprestasi, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam pembahasan. Setelah memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, yang selanjutnya diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif.
26
Lexy J.Moleong, 2004, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, h.103. Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Apalikasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,h.53. 28 Ibid., h.3. 27