HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN TAHAPAN KOMUNIKASI INTIM PADA DEWASA AWAL
Indri Putriani Rani Agias Fitri, S.Psi., M.Psi Universitas Bina Nusantra Kampus Kijang Jalan Kemanggisan Ilir No. 45 Kemanggisan – Palmerah Jakarta Barat 11480
[email protected]
Abstract
Personality aspect is an aspect that can not be discharged in an individual. Same as communication aspect, which is important in a relationship, including in marriage relationship. The purpose of this study is to determine whether there is a correlation between Extrovert and Introvert personality type with intimate communication phases in early adulthood. This study belongs to the type of correlation research. In this study, the result showed that there is a positive relationship between personality type Extrovert with two phases intimate communication, namely sharing the self and becoming one. Meanwhile, there is a negative relationship between personality type Introvert with two phases intimate communication, namely sharing the self and becoming one. (IP) Keywords: personality, stages of intimate communication, early adulthood Abstrak
Aspek kepribadian merupakan suatu aspek yang tidak dapat dilepaskan dalam diri seorang individu. Sama halnya dengan aspek komunikasi yang tergolong penting dalam sebuah hubungan, termasuk dalam hubungan pernikahan. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert dengan tahapan komunikasi intim pada dewasa awal. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian korelasional. Dalam penelitian ini, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang bersifat positif antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan dua tahapan komunikasi intim, yaitu sharing the self dan becoming one. Sementara itu, terdapat hubungan yang bersifat negatif antara tipe kepribadian Introvert dengan dua tahapan komunikasi intim, yaitu sharing the self dan becoming one. (IP) Kata Kunci: tipe kerpibadian, tahapan komunikasi intim, dewasa awal
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan). Di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata masyarakat Indonesia menikah pada usia yang termasuk dalam kategori dewasa awal (early adulthood) (Indarini, 2011). Seorang individu dapat digolongkan berusia dewasa awal, ketika memasuki usia antara 17 hingga 45 tahun (Erikson dalam Lahey, 2009). Sejalan dengan data yang diperoleh, menurut Noler, dkk (2001), bagi individu yang berada dalam periode usia dewasa awal, terdapat satu tahapan yang perlu mereka dilalui, yaitu menikah. Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh, 80% kasus perceraian di Indonesia terjadi pada suami dan istri yang berusia muda, yakni dibawah usia 25 tahun (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2014). Jika dikaitkan dengan pemaparan di atas, data tersebut menunjukan mayoritas kasus perceraian terjadi di periode usia dewasa awal. Selain itu, menurut Nasaruddin yang menjabat sebagai Wakil Menteri Agama menyatakan bahwa kebanyakan perceraian terjadi di usia rumah tangga muda, yakni di bawah lima tahun (Kami, 2013). Tidak jauh berbeda, Booth, dkk, dalam Lauer & Lauer (2000) menyatakan, bahwa semakin muda usia seseorang ketika menikah maka semakin besar peluang untuk terjadinya perceraian, khususnya di lima tahun pertama usia pernikahan. Pada dasarnya, usia lima tahun pertama pernikahan dapat dikatakan penting. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan, dikatakan bahwa usia lima tahun pertama pernikahan dapat mencerminkan kehidupan pernikahan di 13 tahun mendatang (Huston dalam Ekasari, 2012). Dikatakan pula, suami dan istri yang sulit mengatasi perubahan rasa cinta, kasih sayang, dan juga keyakinan lebih mungkin untuk bercerai dibandingkan suami dan istri yang dikatakan stabil. Jika berfokus pada kasus perceraian yang terjadi di Indonesia, menurut Badan Urusan Peradilan Agama dalam Purwadi (2012), tercatat adanya peningkatan angka perceraian dari tahun 2005 hingga 2010 sebesar 70 %. Data lain yang cukup mengejutkan, menurut Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN dalam Nawawi (2013), tingkat perceraian di Indonesia masuk peringkat tertinggi se-Asia Pasifik. Dari kasus perceraian yang terjadi di Indonesia, terdapat beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab perceraian yaitu, ketidakharmonisan yang mencakup perselingkuhan dan komunikasi, dan masalah ekonomi (Musdalifah, 2012). Sementara itu, menurut Amato dan Previti (2003), masalah kepribadian dan kurangnya komunikasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian, yaitu dengan persentase 7.8% dan 7.4%. Salah satu faktor yang menjadi penyebab perceraian yang telah disebutkan diatas, merupakan suatu aspek yang penting dalam hubungan pernikahan, yaitu komunikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Burleson & Denton (1997) terhadap 60 pasangan, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara keterampilan komunikasi pasangan dengan kepuasan pernikahan. Selain itu, menurut Larson & Holman dalam Lauer & Lauer (2000) dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Filsinger, dkk dalam Schneewind & Gerhard (2002), kemampuan komunikasi merupakan prediktor yang kuat bagi kualitas, kepuasan dan stabilitas hubungan suami dan istri. Sementara itu, menurut Adnamazida (2012), hancurnya suatu rumah tangga dapat disebabkan oleh komunikasi yang buruk di antara suami dan istri. Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa aspek komunikasi dapat dikatakan penting dalam suatu hubungan pernikahan. Namun, dalam proses komunikasi yang terjadi di dalam sebuah hubungan tidaklah selamanya dapat berjalan dengan lancar. Dapat pula terjadi perbedaan komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin maupun tipe kepribadian masing-masing individu. Menurut Hedges (1993), individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dikatakan lebih ekspresif, terbuka, mudah untuk berbicara dan mengutarakan perasaanya serta komunikatif. Sedangkan sebaliknya, individu dengan tipe kepribadian Introvert cenderung tertutup, pemalu, tidak banyak mengungkapkan perasaannya, dan juga dikatakan kurang komunikatif (Hedges, 1993). Dari pemaparan tersebut, dapat tercermin perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang dapat pula membedakan komunikasi di antara individu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Opt dan Loffredo (2000), dikemukakan hasil bahwa terdapat perbedaan komunikasi yang dimiliki oleh individu berdasarkan teori kepribadian Jung. Dalam penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa seseorang Introvert memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam hal communication apprehension dibandingkan dengan seseorang yang Ekstrovert. Communication apprehension adalah keengganan seseorang untuk berbicara dalam konteks group, meeting, dyadic, dan juga public.
Sementara itu, unsur tipe kepribadian maupun komunikasi merupakan unsur yang tidak dapat dilepaskan dalam diri individu, termasuk dalam diri individu yang berusia dewasa awal dan telah terikat dalam hubungan pernikahan. Jika hasil penelitian Opt & Loffredo (2000) mengenai perbedaan tipe kepribadian yang dapat membedakan kemampuan komunikasi seorang individu diterapkan dalam konteks pernikahan, perbedaan tipe kepribadian yang dimiliki oleh suami dan juga istri dapat pula membedakan komunikasi intim yang ditampilkan berdasarkan empat tahapan yang terdapat di dalamnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang berdampak pada perbedaan tahapan komunikasi intim yang ditampilkan melalui tahap sharing the self, affirming the other, becoming one, dan juga transcending one. Karena tidak tertutup kemungkinan dengan karakteristik tipe kepribadian Ekstrovert yang lebih terbuka dan komunikatif (Hedges, 1993), dapat mempengaruhi tahapan komunikasi intim yang dicapai dengan individu yang memiliki tipe kepribadian Introvert, dimana mereka cenderung tertutup dan juga kurang komunikatif (Hedges, 1993).
KAJIAN PUSTAKA Kepribadian (personality) adalah suatu pola watak yang relatif permanen dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualitas bagi perilaku seseorang (Feist & Feist, 2009). Menurut Allport dalam Friedman & Schustack (2006), kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan penyesuaian unik dirinya terhadap lingkungan. Sehingga, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah suatu pola yang bersifat relatif permanen dan juga unik, sehingga dapat menentukan individualitas dan penyesuaian seorang individu dengan lingkungannya. Menurut Jung, terdapat dua kondisi di dalam kepribadian seorang individu, yaitu alam sadar (conscious) dan alam bawah sadar (unconscious) (Sujanto, Lubis, dan Hadi, 1984). Menurut Jung dalam Suryabrata (2002), alam sadar (conscious) terdiri dari fungsi jiwa (function) dan sikap jiwa (attitudes). Fungsi jiwa (function) terdiri dari thinking, feeling, sensing, dan intuiting (Feist & Feist, 2009). Sementara itu, sikap jiwa (attitudes) dapat digolongkan kedalam tipe kepribadian Ekstrovert maupun tipe Introvert (Suryabrata, 2002). Seorang individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert yang lebih dominan, akan menggunakan energi yang dimilikinya ke dunia luar, sehingga individu tersebut memiliki orientasi yang objektif. Sedangkan seseorang yang didominasi tipe kepribadian Introvert, akan menggunakan energi yang dimilikinya kembali ke dalam dirinya sendiri. Sehingga individu tersebut memiliki orientasi yang lebih subjektif. (Feist & Feist, 2009). Terdapat beberapa karakteristik yang umumnya dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert, yaitu individu tersebut dikatakan ekspresif, terbuka, ramah, mudah untuk berbicara dan mengutarakan perasaan, serta komunikatif (Hedges, 1993). Sebaliknya, individu dengan tipe kerpibadian Introvert dikatakan cenderung memiliki karakteristik yang tertutup, pemalu, tidak banyak mengungkapkan perasaannya, dan juga kurang komunikatif (Hedges, 1993). Sementara itu, menurut Hybels & Weaver (2001), komunikasi merupakan suatu proses yang terjadi dimana seorang individu berbagi informasi, ide, dan perasaannya. Proses tersebut juga melibatkan aspek bahasa tubuh, ciri khas pribadi, dan gaya yang dapat menambah arti dari pesan yang disampaikan. Sedangkan menurut Hovland, dkk dalam Miller (2005), komunikasi adalah suatu proses dimana seorang individu mengirimkan suatu stimulus yang umumnya verbal dan akan dimodifikasi oleh individu lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses terjadi dimana seorang individu mengirimkan stimulus atau berbagi informasi, ide, dan perasaannya kepada orang lain yang melibatkan aspek verbal dan juga non-verbal. Jika berfokus pada proses komunikasi yang terjadi di dalam hubungan pernikahan, terdapat suatu jenis komunikasi yang khas, yaitu komunikasi intim. Menurut Pearson dalam Paruntu (1998), komunikasi intim adalah suatu komunikasi interpersonal yang terjadi pada dua orang yang terlibat dalam hubungan yang bersifat intim. Satir dalam Paruntu (1998), mengemukakan terdapat empat tahap yang idealnya dilalui agar komunikasi intim tersebut dapat terjadi. Sementara itu, Pearson (1985) menjelaskan bahwa terdapat empat tahapan yang berkaitan dengan perkembangan hubungan intim yang dapat meningkatkan komunikasi intim pada pasangan. Ke empat tahap yang dimaksud oleh Satir dalam Paruntu (1998) dan Pearson (1985) adalah sharing the self, affirming the other, becoming one, dan transcending one. Sharing the self sama halnya dengan self disclosure. Sharing the self merupakan hal yang penting dalam membangun hubungan personal yang dekat. Self disclosure dalam konteks ini harus bersifat terbuka, pribadi, dan langsung. Umumnya, individu sering menyamakan aspek self disclosure dengan komunikasi intim, hal tersebut di karena keduanya bersifat serupa atau identik (Pearson, 1985). Sehingga, peran self disclosure atau keterbukaan diri sangat penting di dalam sebuah komunikasi yang bersifat intim. Untuk tahapan yang kedua, yaitu affirming
the other, dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan aspek empati (empathy). Individu perlu memahami bahwa individu lain merupakan seorang individu yang unik dan juga penting. Selain itu, dalam tahapan ini juga seseorang mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain (Pearson, 1985). Tahapan selanjutnya adalah becoming one. Ketika dua orang individu menjadi suatu kesatuan dengan orang lain, akan muncul suatu aspek yang disebut dengan bonding atau ikatan. Ikatan tersebut terbentuk berdasarkan dua kepribadian yang berbeda. Seseorang yang telah menikah, ada kalanya terlihat serupa, memiliki perilaku yang sama, dan juga berbicara dengan cara yang sama. Meskipun hal tersebut tidak selalu terjadi, namun, pada dasarnya setiap pasangan mengembangkan cara-cara yang spesial dalam berkomunikasi di dalam hubungan mereka (Pearson, 1985). Tahapan yang terakhir adalah transcending one. Aspek transcending one dalam sebuah hubungan yang bersifat intim, menyerupai aktualisasi diri dalam pekermbangan pribadi seseorang. Ketika seorang individu benarbenar merasa aman dalam hubungannya, individu tersebut mampu mendapatkan dan memberikan hal yang disebut kebebasan dan juga kesamaan. Setiap pasangan yang memiliki perasaan aman dalam hubungannya, dapat memahami hubungan dan juga memiliki kebebasan atau tidak bergantung kepada pasangannya dalam mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri. (Pearson, 1985). Jika dikaitkan dengan subjek dalam penelitian ini, yaitu individu dalam rentang usia dewasa awal (early adulthood), menurut Levinson dalam Mönks (2006), kriteria agar seseorang dapat dikategorikan kedalam dewasa awal adalah ketika seorang individu berusia antara 17 sampai dengan 45 tahun. Padangan Levinson tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Erik Erikson dalam Lahey (2009). Erikson menyatakan bahwa fase dewasa awal (early adulthood) dimulai pada usia 17 tahun dan berakhir pada usia 45 tahun. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menggunakan pandangan yang dikemukakan oleh Levinson dan juga Erikson, yaitu seseorang yang dinyatakan berada dalam kategori usia dewasa awal adalah seorang individu yang berusia antara 17 hingga 45 tahun. Erik Erikson juga menekankan, bahwa pada tahap tersebut, tugas yang perlu dilalui oleh individu dalam fase tersebut, yaitu intimacy skill (Howe, 2012). Menurut Lahey (2009), terdapat tantangan yang perlu dilewati oleh individu dalam fase ini, yaitu membuat komitmen dalam sebuah hubungan percintaan dan melepaskan diri dari orang tua. Disisi lain, menurut Erikson dalam Howe (2012), yang dimaksud dengan intimacy adalah kemampuan seseorang untuk berbagi dirinya dengan orang lain tanpa merasa kehilangan identitas dirinya sendiri. Namun, jika seorang individu tidak memiliki kemampuan dan pengalaman intimacy tersebut, dapat mengakibatkan munculnya persaan terisolasi dan tidak berdaya yang dapat mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan permasalahan yang peneliti kemukakan sebelumnya, penelitian ini berfokus pada : “Apakah terdapat hubungan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert dengan tahapan komunikasi intim pada dewasa awal ?”
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert dengan tahapan komunikasi intim pada dewasa awal.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang tergolong dalam jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah penelitian yang di desain untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel yang ingin diteliti (Bordens & Abbot, 2008). Dalam penelitian ini terdapat hipotesis yang akan di uji, yaitu ingin mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert dengan setiap tahapan dalam komunikasi intim. Untuk dapat melakukan uji hipotesa tersebut, diperlukan data yang diperoleh melalui responden yang memenuhi karakteristik dalam penelitian. Terdapat 53 orang responden yang turut serta dalam penelitian. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini, yaitu pria atau wanita yang berusia dalam periode dewasa awal yakni antara 17-45 tahun. Karakteristik selanjutnya adalah telah menikah selama 1-5 tahun, berdomisili di wilayah Jabodetabek, tinggal bersama dengan suami atau istrinya, serta minimal telah lulus SMA atau sederajat. Teknik sampling yang digunakan adalah Non probability sampling dalam bentuk purposive sampling dan accidental sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat, sehingga relevan dengan struktur peneliian, dimana pengambilan sampel
dengan mengambil orang-orang yang dipilih oleh peneliti menurut ciri-ciri dan karakteristik tertentu (Djarwanto, 1998). Sedangkan accidental sampling adalah pemilihan sampel atau responden atas dasar kesediaan dan keinginan dari responden untuk turut serta dalam penelitian, serta memiliki karakteristik yang dikehendaki oleh peneliti (Shaughnessy, dkk 2006). Sementara itu, instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert adalah alat ukur Personal Style Inventory versi bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan oleh profesional dari sebuah lembaga konsultan Psikologi di Indonesia. Awalnya, Personal Style Inventory merupakan alat ukur yang dikonstruk oleh R. Craig Hogan dan David W. Champagne (1997) berdasarkan teori tipe kepribadian Carl Gustav Jung. Sedangkan untuk mengukur variabel tahapan komunikasi intim, digunakan skala tahapan komunikasi intim yang pada awalnya dikonstruk oleh Hazizah (2012). Alat ukur Personal Style Inventory terdiri dari 8 item Ekstrovert dan 8 item Introvert. Sedangkan untuk alat ukur tahapan komunikasi intim, terdiri dari 45 item yang disebar dalam dimensi 4 tahapan komunikasi intim. Sehingga, peneliti menjadikan kedua alat ukur tersebut dalam sebuah kuesioner penelitian yang disebarkan kepada calon responden yang telah memenuhi karakteristik dalam penelitian dengan cara menemui langsung calon responden dan juga menyebarkannya melaui surel maupun jejaring sosial. Selain itu, peneliti juga meminta kesediaan suami ataupun istri dari responden yang peneliti temui untuk turut serta dalam penelitian ini. Hal tersebut bertujuan untuk memperbanyak jumlah responden dalam penelitian ini semata. Dari data yang diperoleh, dilakukan perhitungan statistik dengan menggunakan aplikasi Statistical Package for the Sosial Sciences (SPSS) versi 22, yang nantinya hasil yang diperoleh tersebut dapat dilakukan analisa lebih lanjut. Teknik uji korelasional yang digunakan adalah Spearman Correlation. Teknik Spearman Correlation dapat digunakan untuk data yang tidak berdistribusi dengan normal (Priyatno, 2013).
HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, diperoleh data yang dapat menggambarkan karakteristik yang dimiliki dai 53 responden dalam penelitian ini. Berikut akan dijabarkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Data Responden Kategori Data Responden Usia Jenis Kelamin Usia Pernikahan Tempat Tinggal Pendidikan Jumlah Anak Tipe Kepribadian Tahapan Komunikasi
Persentase 31 tahun (22,6%) Laki-laki (54,7%) 1 Tahun (28,3%) Jakarta Timur (30,2%) S1 (62,3%) 1 Orang (66,0%) Ekstrovert (63,2%) Affirming the other (58,5%)
Dari data yang dijabarkan dalam tabel di atas, perolehan data menunjukkan mayoritas responden dalam penelitian ini berusia 31 tahun, yakni dengan persentase sebesar 22,6%. Untuk jenis kelamin, dari 53 responden, responden dengan jenis kelamin laki-laki lebih mendominasi dibandingkan dengan responden dengan jenis kelamin perempuan. Sementara itu, mayoritas responden telah menikah dengan usia pernikahan yakni 1 tahun, dengan persentase sebesar 28,3%. Untuk wilayah tempat tinggal, wilayah Jakarta Timur menempati urutan tertinggi di antara 9 wilayah lainnya. Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden, mayoritas memiliki pendidikan terakhir Strata 1 atau S1, dengan persentase sebesar 62,3%. Data lain yang dikontrol dalam penelitian ini adalah jumlah anak yang setiap responden miliki. Berdasarkan data yang diperoleh, mayoritas responden telah memiliki 1 orang anak dari pernikahannya. Terakhir, untuk variabel tipe kepribadian dan tahapan komunikasi intim, mayoritas responden memiliki tipe kepribadian Ekstrovert dan mencapai tahapan komunikasi intim yang kedua, yaitu affirming the other. Sementara itu, dalam penelitian ini terdapat hipotesa yang hendak di uji. Hipotesa tersebut adalah ingin menguji ada atau tidaknya hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan empat
tahapan komunikasi intim dan tipe kepribadian Introvert dengan empat tahapan dalam komunikasi intim. Berdasarkan hasil uji hipotesa yang dilakukan, diperoleh hasil yang dijabarkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Hipotesa Tipe Kepribadian Ekstrovert
Introvert
Tahapan Komunikasi Intim Sharing the self Affirming the other Becoming one Transcending one Sharing the self Affirming the other Becoming one Transcending one
Nilai Signifikansi
Koefisien Korelasi
Hasil
0,040 0,096
0,283 0,231
Ho ditolak Ho diterima
0,020 0, 170 0,030 0,073
0,319 0,191 -0,298 -0,248
Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak Ho diterima
0,014 0,183
-0,334 -0,186
Ho dilotak Ho diterima
Berdasarkan data yang dijabarkan pada tabel di atas, dapat diperoleh hasil bahwa untuk uji hipotesa tipe kepribadian Ekstrovert dengan sharing the self, diperoleh hasil Ho di tolak, yang berarti terdapat hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan sharing the self. Selanjutnya, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan affirming the other, hal tersebut mengindikiasikan bahwa Ho di terima. Sementara itu, diketahui bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan becoming one, dan diperoleh pula hasil bahwa Ho diterima untuk tipe kepribadian Ekstrovert dan transcending one yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan di antara keduanya. Sedangkan untuk tipe kepribadian Introvert, berdasarkan uji hipotesa yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian Introvert dengan sharing the self. Selanjutnya, untuk uji hipotesa tipe kepribadian Introvert dengan affirming the other, diketahui bahwa Ho diterima. Hal tersebut berarti tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian Introvert dengan affirming the other. Sementara itu, berdasarkan uji hipotesa yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian Introvert dengan becoming one. Dan untuk uji hipotesa yang terakhir, diperoleh hasil bahwa Ho diterima, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian Introvert dengan transcending one. Untuk memperkaya hasil penelitian ini, peneliti juga melakukan analisa tambahan berupa tipe kepribadian pada masing-masing pasangan suami istri beserta tahapan komunikasi intim yang dicapai oleh keduanya. Berikut ini adalah hasil analisa tambahan tersebut
Tabel 3. Tipe Kepribadian Per Pasangan Tipe Kepribadian
Jumlah
Persentase
Ekstrovert - Ekstrovert
9 Pasangan
42,9%
Introvert – Introvert
4 Pasangan
19,0%
Ekstrovert – Introvert
8 Pasangan
38,1%
Dari data yang dijabarkan pada tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 9 pasangan dengan tipe kepribadian Ekstrovert – Ekstrovert, 4 pasangan dengan tipe kepribadian Introvert – Introvert, dan 8 pasangan dengan tipe kepribadian Ekstrovert – Introvert. Mayoritas pasangan dalam penelitian ini memiliki tipe kepribadian Ekstrovert – Ekstrovert, yakni dengan persentase 42,9%. Sementara itu, untuk hasil analisa tambahan tahapan komunikasi intim per pasangan, diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4. Tahapan Komunikasi Intim Per Pasangan Tahapan Komunikasi
Jumlah Pasangan
Persentase
Sharing the Self
8 Pasangan
38,1%
Affirming the Other
7 Pasangan
33,3%
Becoming One
5 Pasangan
23,8%
Transcending One
1 Pasangan
4,8%
Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel di atas, dapat disimpulkan terdapat 8 pasangan yang memiliki nilai Z score tertinggi pada tahapan sharing the self, 7 pasangan memiliki nilai Z score tertinggi pada tahap affirming the other, 5 pasangan memiliki nilai Z score tertinggi pada tahapan becoming one, dan 1 pasangan memiliki nilai Z score tertinggi pada tahapan terakhir, yaitu transcending one. Dapat dikatakan mayoritas pasangan dalam penelitian ini berada di tahapan komunikasi intim sharing the self, dengan persentase 38,1%. Untuk hasil analisa tambahan per pasangan yang terakhir, berikut ini adalah hasil analisa per pasangan berdasarkan tipe kepribadian dan tahapan komunikasi intim per pasangan.
Tabel 5. Tipe Kepribadian dan Tahapan Komunikasi Intim Per Pasangan Tipe Kepribadian Ekstrovert-Ekstrovert Introvert-Introvert Ekstrovert-Introvert
Tahap 1 2 (9,5%) 1 (4,8%) 5 (23,8%)
Tahap 2 3 (14,3%) 2 (9,5%) 2 (9,5%)
Tahap 3 3 (14,3%) 1 (4,8%) 1 (4,8%)
Tahap 4 1(4,8%) 0 0
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel di atas, tahapan terbanyak yang dicapai oleh pasangan dengan tipe kepribadian Ekstrovert-Ekstrovert adalah tahap ke 2 dan ke 3, yaitu affirming the other dan becoming one. Sementara itu, untuk pasangan dengan tipe kepribadian IntrovertIntrovert, mencapai tahapan komunikasi dengan total terbanyak pada tahap 2, yaitu affirming the other. Untuk pasangan dengan tipe kepribadian gabungan, yaitu Ekstrovert-Introvert, memiliki total tahapan komunikasi intim terbanyak yaitu pada tahap pertama, sharing the self. Disisi lain, terdapat 1 pasangan yang memiliki nilai Z score tertinggi tahapan ke empat yaitu transcending one. Pasangan tersebut memiliki tipe kepribadian Ekstrovert-Ekstrovert.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisa hasil yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang bersifat positif atau searah antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan dua dari empat tahapan komunikasi intim, yaitu tahapan sharing the self dan becoming one. Disisi lain, berdasarkan hasil uji hipotesa yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian Ekstrovert dengan tahapan affirming the other dan transcending one. Sementara itu, terdapat hubungan yang bersifat negatif atau tidak searah antara tipe kepribadian Introvert dengan dua dari empat tahapan komunikasi intim, yaitu tahapan sharing the self dan becoming one. Hasil uji hipotesa juga menunjukkan bahwa diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara tipe kepribadian Introvert dengan tahapan affirming the other dan transcending one. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisa tambahan yang dilakukan per pasangan, diperoleh hasil bahwa mayoritas pasangan dalam penelitian ini memiliki tipe kepribadian Ekstrovert – Ekstrovert. Sementara itu untuk tahapan komunikasi intim, mayoritas pasangan berada di tahapan sharing the self. Terdapat pula 1 pasangan dengan tipe kepribadian Ekstrovert – Ekstrovert yang mencapai tahapan komunikasi intim yang terakhir, yakni transcending one. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat saran yang dapat peneliti berikan berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Untuk para peneliti lain, yang tertarik mengenai topik mengenai teori tipe kepribadian dan komunikasi, dapat mempergunakan teori tipe kepribadian lain. Dengan begitu, dapat lebih memperkaya hasil penelitian mengenai tipe kepribadian dan komunikasi yang belum terlalu banyak.
Bagi penelitian selanjutnya, yang tertarik untuk meneliti topik yang berkaitan dengan komunikasi intim atau komunikasi dengan pasangan, disarankan dapat mencari teori lain yang lebih komprehensif dan baru. Untuk penelitian selanjutnya, dapat mempertimbangkan golongan usia pernikahan yang berbeda. Dengan begitu, dapat mengetahui apakah terdapat kaitan antara ke empat tahapan dalam komunikasi intim dengan usia pernikahan. Saran praktis bagi para pasangan muda agar dapat mencapai tahapan komunikasi intim yang terakhir, yaitu transcending one adalah dengan meningkatkan keterbukaan dari masing-masing pihak yakni suami maupun istri. Ketika tercipta keterbukaan, maka akan terbentuk rasa percaya. Oleh karena itu perlu diciptakan kenyamanan satu sama lain. Untuk individu yang memiliki tipe kepribadian yang berbeda dengan suami atau istrinya, seperti Ekstrovert dan Introvert, diharapkan perbedaan karakteristik tersebut dapat dijadikan sarana untuk saling melengkapi. Diharapkan pula setiap individu dapat mengambil karakteristik positif yang dimiliki oleh suami atau istri mereka. Jika seorang istri dengan tipe kepribadian Introvert mengalami kesulitan terbuka, maka pihak suami dengan tipe kepribadian Ekstrovert dapat membantu untuk dapat lebih terbuka, begitu pula sebaliknya. Sehingga, rasa saling membantu dan mendukung satu sama lain menjadi hal yang penting kehadirannya.
REFERENSI Adnamazida, R. (2012). 7 faktor penyebab perceraian. Diakses pada 29 April 2013 dari http://www.merdeka.com/gaya/7-faktor-penyebab-perceraian.html Bordens K. S., & Abbott, B. B. (2008). Research Design and Methods, (7th ed). New York: MCGraw Hill. Burleson, B. B. & Denton, W.H. (1997). The Relationship Between Communication Skill and Marital Satisfaction: Some Moderating Effect. Journal of Marriage and The Family, 59(4), 884-902. Diakses pada 27 September 2013 dari database ProQuest Research Library. Djarwanto, P. S. (1998). Statistik Induktif. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Ekasari, E. (2012). 7 Cobaan yang Buat Pernikahan di Tahun Pertama Berat. Diakses pada 15 April 2014 dari http://wolipop.detik.com/read/2012/12/17/183255/2120814/854/1/7-cobaan-yangbuat-pernikahan-di-tahun-pertama-beraaaat Feist, Jess & Feist, G.J. (2009). Theories of Personality, (7th ed). New York: McGraw Hill Education Friedman, H. S. & Schustack, M. W. (2006). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga. Hajizah, Y. N. (2012). Hubungan antara Komunikasi Intim dengan Kepuasan Pernikahan pada Masa Pernikahan 2 Tahun Pertama.Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Jurusan Psikologi Universitas Indonesia Hedges, P. (1993). Understanding Your Personality With Myers-Briggs and More. London: Press Sheldon. Howe, T. R. (2012). Marriages & Families In The 21st Century A Bioecological Approach. India: Wiley-Blackwell Hybels, S. & Weaver, R. L. (2001). Communicating Effectively (6th ed). New York: McGraw Hill. Indarini, N. (2011). Kebanyakan Bermotif Ekonomi, Nikah Muda Tanpda Proses Pacaran. Diakses pada 9 Maret 2014 dari http://news.detik.com/read/2011/05/18/074322/1641339/10/kebanyakan-bermotif-ekonominikah-muda-tanpa-proses-pacaran Kami, I. M. (2013). Wamenag: Dulu Perceraian Aib Besar, Sekrang Jadi Kebanggaan. Diakses Pada 4 Maret 2014 dari http://news.detik.com/read/2013/12/23/115445/2449331/10/wamenag-duluperceraian-aib-besar-sekarang-jadi-kebanggaan Kementrian Agama Republik Indonesia. (2014). Wamenag; Optimalkan Fungsi Pencegahan Perceraian. Diakses pada 14 April 2014 dari http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=175763 Lahey, B. B. (2009). Psychology: An Introduction (10th ed). New York: McGraw Hill. Lauer, R. H. & Lauer, J. C. (2000). Marriage and Family: The Quest For Intimacy (4th ed). United States of America: McGraw-Hill. Miller, K. (2005). Communication Theories Perspective, Procesess, and Context (2nd ed). Singapore: McGraw Hill Mönks, dkk. (2006). Psikologi Perkembangan, pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Musdalifah. (2012). Menyelamatkan Keluarga Indonesia. Diakses pada 8 Maret 2014 dari http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12292
Nawawi, Q. (2013). Duh, Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia Pasifik. Diakses pada 13 Maret 2014 dari http://health.okezone.com/read/2013/12/23/482/916133/duh-angkaperceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-pasifik. Noller, P., Feeney, J. A., Peterson, C. (2001). Personal Relationship Across the Lifespan. New York: Psychology Press. Opt, S.K & Loffredo, D. A. (2000). Rethinking Communication Apprehension: A Myers-Briggs Perspective. The Journal of Psychology134 (5), 566-570. Diakses pada 5 Desember 2013 dari database ProQuest Research Library. Paruntu, A. S. M. (1998). Hubungan Antara Komunikasi Intim dengan Kepuasan Perkawinan. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Pearson, J. C. (1985). Gender and Communication. USA: Wm. C. Brown Company Publishers. Priyatno, D. (2013). Mandiri Belajar Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta: Mediakom Purwadi, D. (2012). Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70 Persen.Diakses pada 29 April 2013 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angkaperceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen. Schneewind, K. A & Gerhard, A. K. (2002). Relationship Personality, Conflict Resolution, and Marital Satisfaction in the First 5 Years of Marriage. Family Relation, 51 (1), 63-71. Diakses pada 3 November 2013 dari database ProQuest Research Library. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2006). Research Methods in Psychology (8th ed). New York: McGraw Hill. Sujanto, A., Lubis, H., Hadi, T. (1984). Psikologi Kepribadian. Surabaya: Aksara Baru. Suryabrata, S. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Republik Indoneia No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan. Diakes pada 11 April 2014 dari http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf
RIWAYAT PENULIS PERSONAL DETAILS Full Name : Indri Putriani Sex
: Female
Place, Date of Birth
: Jakarta, July 15th, 1992
Nationality
: Indonesian
Marital Status
: Single
Religion Address
: Moslem : Jalan Bambu II No. 92 RT/RW 008/006 Srengseng – Kembangan, West Jakarta 11630
Mobile
: 081294263800
Phone
: (021) 5852251
Email
:
[email protected]
EDUCATIONAL BACKGROUND 1998-2004
: SD 13 State Elementary School, West Jakarta, Indonesia
2004-2007
: SMP 134 State Junior High School, West Jakarta, Indonesia
2007-2010
: SMA 85 State Senior High School, West Jakarta, Indonesia
2010-present
: Binus University Major of Faculty of Psychology
ORGANIZATIONAL EXPERIENCE Member of Event Division of Garage Sale Faculty of Psychology, Binus University for Period 2010
Member of Event Division of Inaction Faculty of Psychology, Binus University for Period 2011 Member of Event Division of Malam Keakraban Faculty of Psychology, Binus University for Period 2011
WORKING EXPERIENCE Part time as laboratory assistant at the department of Psychology Bina Nusantara University for Period 2013. My duties are to teach practicum class of Pengantar dan Aplikasi Psikodiagnostik.
Part time in a research at Bina Nusantara University which contribution with TIRI institutions for Period 2013. My duties are to create test items based on some competence refers to integrity and distributed questionnaires in pilot test 1 and 2 to see validity and consistency of test items. Internship as assistant Psychologist at Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta for Period July – September 2013.
SKILLS Computer Ability Microsoft Office (Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft Power Point) Languages Indonesia and English