HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 3-5 TAHUN DI PUSKESMAS MIRI – SRAGEN
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh : Endah Heni Madiyantiningtias NIM. ST 13028
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 i
LEMBAR PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS PADA ANAK USIA 3-5 TAHUN DI PUSKESMAS MIRI – SRAGEN
Oleh : Endah Heni Madiyantiningtias NIM. ST 13028
Telah dipertahankan di depan penguji pada tanggal 05 Agustus 2015 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan
Pembimbing Utama,
Pembimbing Pendamping,
bc. Yeti Nurhayati, M.Kes. NIK. 201378115
Rufaida Nur Fitriana, S.Kep., Ns. NIK. 201187098 Penguji,
S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep. NIK. 200984041 Surakarta, 20 Agustus 2015 Ketua Program Studi S-1 Keperawatan,
Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep. NIK. 201279102
ii 2
3
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Endah Heni Madiyantiningtias
NIM
: ST. 13028
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun di perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta, Juli 2015 Yang membuat pernyataan
Endah Heni Madiyantiningtias NIM : ST. 13028
iii
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen” untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 Keperawatan pada STIKes Kusuma Husada Surakarta. Pada kesempatan kali ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini terutama disampaikan kepada : 1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta 3. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes selaku pembimbing I yang banyak memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini. 4. Rufaida Nur Fitriana, S.Kep., Ns. sebagai pembimbing II yang banyak memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan skripsi ini. 5. S. Dwi Sulisetyawati, S.Kep.,Ns.,M.Kep. selaku Penguji 6. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu yang telah mengajarkan kepada penulis akan arti sebuah perjuangan dalam hidup. 7. Suamiku tercinta, Nugroho Sulistyo, SH., ST. Terima kasih atas dukungan kedewasaan, kesabaran serta kesederhanaan.
iv
5
8. Anak-anakku yang tersayang, Naqila dan Shafia. Terima kasih atas tawa riang dan tangis yang telah kalian berikan dalam lembar kehidupan ini. 9. Kepada Responden terima kasih atas partisipasi dan kerjasamanya dalam penelitian ini. 10. Sahabat seperjuanganku, kelompok V. Semoga kesabaran, ketekukan serta keyakinan kita tidak sia-sia. 11. Seluruh Dosen dan Staf STIKes Kusuma Husada Surakarta 12. Seluruh rekan se-angkatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan riset keperawatan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada semua yang telah membantu peneliti dalam mewujudkan skripsi ini. Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala pendapat saran dan kritikan yang sifatnya membangun sangat peneliti harapkan. Mudah-mudahan penelitian dapat bermanfaat untuk peneliti sendiri dan pembaca pada umunya.
Surakarta, Agustus 2015 Peneliti
v
6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi ABSTRAK ...................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori ...................................................................................... 7 2.2 Keaslian Penelitian ............................................................................... 42 2.3 Kerangka Teori ..................................................................................... 44 2.4 Kerangka Konsep ................................................................................. 45 2.5 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 45
vi
7
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................... 46 3.2 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling ............................................... 46 3.3 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 48 3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ........................ 48 3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ....................................... 50 3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data .................................................. 52 3.7 Etika Penelitian ................................................................................... 54 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Analisis Univariat ................................................................................. 56 4.2 Analisis Bivariat ................................................................................... 58 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Univariat ................................................................................. 59 5.2 Analisis Bivariat ................................................................................... 66 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 69 6.2 Saran .................................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 71 LAMPIRAN
vii
8
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar
Halaman
2.1
Rumus Z Score ..............................................................
16
2.2
Kerangka Teori..............................................................
44
2.3
Kerangka Konsep ..........................................................
45
viii
9
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Tabel
Halaman
2.1.
Kategori Ambang Batas Status Gizi ......................................
17
2.2.
Keaslian Penelitian ................................................................
42
3.1.
Definisi Operasional...............................................................
48
4.1.
Tabel Nilai Tengah, Pemusatan Dan Penyebaran Data Usia Anak di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ........................
4.2.
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ......................
4.3.
56
56
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ........................................................................................
4.4.
Distribusi
Frekuensi
Responden
57
Berdasarkan
Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ...................................... 4.5.
57
Hubungan Antara Status Gizi Anak Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 ........................................................
ix
58
10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Keterangan
1.
Lampiran 1
Surat Perijinan
2.
Lampiran 2
Lembar Permohonan Menjadi Responden
3.
Lampiran 3
Lembar Persetujuan Responden
4.
Lampiran 4
Formulir DDST
5.
Lampiran 5
Formulir Z Score
6.
Lampiran 6
Kuesioner
7.
Lampiran 7
Data Penelitian
8.
Lampiran 8
Hasil Penelitian
9.
Lampiran 9
Lembar Konsultasi
10.
Lampiran 10
Jadwal Penelitian
x
11
DAFTAR SINGKATAN
Nomor Daftar
Singkatan
1
MDGs
Millenium Development Goals
2
KVA
Kurang Vitamin A
3
DINKES
Dinas Kesehatan
4
Balita
Bawa Lima Tahun
5
Batita
Bawah Tiga Tahun
6
WHO
World Health Organization
7
TB
Tinggi Badan
8
BB
Berat Badan
9
LiLA
Lingkar Lengan Atas
10
BB/U
Berat Badan/Umur
11
SD
Standar Deviasi
12
ASI
Air Susu Ibu
13
Riskesdas
Riset Kesehatan Dasar
14
UNICEF
United Nations International Children's Emergency Fund
15
Dep Kes RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
16
DDST
Denver Developmental Screening Test
17
IQ
Intelligent Question
18
H0
Hipotesis nol
19
Ha
Hipotesis alternatif
20
ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
21
STIKes
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
22
KEP
Kurang Energi dan Protein
23
SMA
Sekolah Menengah Atas
24
SLTP
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
xi
12
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Endah Heni Madiyantiningtias Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen Abstrak Perkembangan motorik halus adalah gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil tetapi diperlukan koordinasi yang cermat. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri – Sragen. Metode penelitian ini adalah analitik korelasi dengan rancangan cross sectional study. Populasi penelitian anak usia 3-5 tahun yang yang berdomisili di Puskesmas Miri-Sragen sebanyak 163 anak. Sampel diambil dengan tehnik cluster random sampling sebanyak 62 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar observasi Denver II. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman Rank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%). Sebagian besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak (90,3%). Terdapat hubungan status gizi anak usia 3-5 tahun dengan perkembangan motorik halus di Puskesmas Miri – Sragen (r: 0,601; p: 0,0001). Kata kunci: status gizi, motorik halus, anak usia 3-5 tahun Kepustakaan : 24 (2001- 2010)
xii
13
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015 Endah Heni Madiyantiningtias Correlation between Nutritional Status and Development of Soft Motor Muscle of Children Aged 3 – 5 Years Old at Community Health Center of Miri, Sragen ABSTRACT The development of soft motor muscle is a motion, which involves only certain parts of body and performed by small muscles, but it requires a good coordination. The objective of this research is to investigate the correlation between the nutritional status and the development of soft motor muscle of the children aged 3 – 5 years old at Community Health Center of Miri, Sragen. This research used the analytical correlational method with the cross sectional approach. The population of research was 163 children aged 3 – 5 years old domiciled at the working region of Community Health Center of Miri, Sragen. Its samples consisted of 62 respondents. The data of research were collected through observation with the screening test of Denver II. They were analyzed by using the Spearman’s Rank correlation test. The result of the research shows that 58 children aged 3 – 5 years old (93.5%) had a normal nutritional, and 56 (90.3%) had a normal development of soft motor muscle. Thus, there was a correlation between the nutritional status and the development of soft motor muscle of the children aged 3 – 5 years old at Community Health Center of Miri, Sragen as indicated by the r-value = 0.601 and the p-value =0.0001. Keywords: Nutritional status, soft motor muscle, children aged 3-5 years References: 24 (2001- 2010)
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masa balita merupakan masa perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Abiba, Grace, & Kubreziga, 2012). Salah satu aspek penting pada proses perkembangan ialah perkembangan motorik karena merupakan awal dari kecerdasan dan emosi sosialnya (Laksana, 2011). Perkembangan motorik halus adalah gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil tetapi diperlukan koordinasi yang cermat (Soetjiningsih, 2004). Sedangkan Hurlock (2009) menyatakan bahwa penilaian kemampuan motorik halus merupakan penilaian terhadap kemampuan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu dan hanya melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Gerakan halus ini tidak memerlukan banyak tenaga tetapi memerlukan kerjasama antara mata dan anggota badan, contoh menggapai, memasukkan benda ke mulut, memegang sendok dan lain-lain. Perkembangan anak didukung oleh status gizi yang baik dan seimbang, sebab gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya (Sutrisno, 2003). Kekurangan gizi pada masa
1
2
balita dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut. Hasil penelitian Kartikaningsih (2009) menemukan bahwa kondisi kurang gizi akan mempengaruhi banyak organ dan sistem. Kekurangan protein yang terjadi pada balita kurang gizi, menyebabkan otot-otot menjadi atrofi sehingga dapat mengganggu kekuatan motorik otot dalam melaksanakan aktivitas sesuai usia perkembangan. Aktivitas motorik otot yang merupakan motorik halus adalah anak dapat dilihat berdasarkan kemampuan menggambar, membuat garis, menggunting kertas. Hasil penelitian Anggraeni (2014) menemukan bahwa perkembangan anak ini didukung oleh status gizi yang baik dan seimbang, sebab gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Kekurangan gizi pada masa balita dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental seseorang. Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. Prevalensi gizi kurang pada anak balita di Provinsi Jawa Tengah sebesar 17,9 persen. Untuk mencapai target sasaran MDGs pada 2015 harus diturunkan menjadi 15,5 persen. Permasalahan kekurangan gizi mikro seperti kurang vitamin A (KVA), anemia gizi pada balita, serta kekurangan yodium sudah dapat dikendalikan, sehingga tidak lagi menjadi masalah
3
kesehatan di masyarakat (DINKES Prov Jateng, 2013). Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Namun demikian, perlu diketahui bahwa keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada saat itu saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau, bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (DINKES Prov Jateng, 2013). Di Wilayah Puskesmas Miri Kecamatan Miri - Sragen menurut data pada bulan Agustus 2014 jumlah seluruh balita usia 3-5 tahun ada 1.048 anak (Pelaporan Gizi, 2014). Sedangkan dari 5 anak usia 3-5 tahun yang telah dilakukan observasi
terhadap
kemampuan motorik halusnya
didapatkan anak dengan status gizi kurang dengan perkembangan menyimpang sebanyak 1 anak usia 3,5 tahun fail/gagal pada kemampuan menyusun balok, anak dengan status gizi normal dengan perkembangan menyimpang sebanyak 1 anak usia 3 tahun 2 bulan fail/gagal pada kemampuan menyusun puzzel dan anak dengan status gizi normal dengan perkembangan sesuai dengan perkembangannya sebanyak 3 anak usia 4 tahun, 4 tahun 6 bulan dan 3 tahun 9 bulan. Keterlambatan motorik halus pada balita merupakan aspek yang diperhatikan karena kemampuan motorik halus dapat menyebabkan balita tumbuh menjadi pribadi yang memiliki karakteristik keras dan buru-buru menyelesaikan masalah (Trihadi, 2009). Keadaan ini merupakan suatu hal yang sangat mengkhawatirkan sehingga
4
perlu adanya penanganan segera dan pentingnya deteksi dini terhadap keterlambatan perkembangan sehingga nantinya bisa terdeteksi sejak dini. Hasil wawancara dengan petugas gizi di wilayah Puskemas Miri – Sragen belum ada pemeriksaan (skrining) untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan perkembangan motorik halus pada balita, serta belum ada penelitian tentang Status Gizi pada anak balita, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut. Berdasarkan data di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun.
1.2
Rumusan Masalah Perkembangan anak didukung oleh status gizi yang baik dan seimbang, sebab gizi tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya (Sutrisno, 2003). Kekurangan protein yang terjadi pada balita kurang gizi, menyebabkan otot-otot menjadi atrofi sehingga dapat mengganggu kekuatan motorik otot dalam melaksanakan aktivitas sesuai usia perkembangan. Aktivitas motorik otot yang merupakan motorik halus adalah anak dapat dilihat berdasarkan kemampuan menggambar, membuat garis, menggunting kertas. Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Apakah ada Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun Di Puskesmas Miri – Sragen?”
5
1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mendeskripsikan status gizi pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.
2.
Mendeskripsikan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.
3.
Mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen.
1.4
Manfaat 1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Dapat digunakan sebagai tambahan kepustakaan serta untuk meningkatkan pengetahuan pembaca tentang status gizi dan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun. 1.4.2 Bagi Puskesmas Dapat menambah informasi mengenai hubungan status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menentukan dan mengambil suatu kebijakan.
6
1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiraan serta sebagai bahan evaluasi bagi peningkatan deteksi dini tumbuh kembang pada anak usia 3-5 tahun. 1.4.4 Bagi Peneliti Dapat mengetahui hubungan status gizi dengan perkembangan pada anak usia 3-5 tahun sehingga menambah pengetahuan dan mengetahui lebih detail tentang motorik halus. 1.4.5 Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status gizi dan perkembangan motorik halus. 1.4.6 Bagi Perawat Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi perawat tentang perlunya penilaian status gizi dan perkembangan motorik halus pada balita
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Balita 1.
Pengertian Balita Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
2.
Karakteristik Balita Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya
7
8
anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya
atau
bersekolah
playgroup
sehingga
anak
mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (Anggraeni, 2010). 3.
Anak Usia 3-5 Tahun Tahap perkembangan anak pra sekolah usia 3- 5 tahun memiliki tugas perkembangan initiative VS guilt. Pada usia ini, anak akan belajar berinteraksi dengan orang lain terutama teman sebaya usianya. Anak juga belajar berfantasi dan berinisiatif. Ciri tahap perkembangan pada usia ini: anak suka mengkhayal dan kreatif,
9
anak punya inisiatif bermain dengan alat-alat dirumah, rasa inisiatif timbul dengan tugas untuk kepentingan aktifitas, baik motorik maupun intelektual, perasaan bersalah dapat timbul terhadap perenungan tujuan. Keinginan untuk meniru dunia orang dewasa, ditunjukkan melalui identifikasi peran sosial, jika pada anak mengalami sibling rivalry/persaingan dengan saudara kandung maka orang tua hendaknya dapat menjadi pihak penengah yang bijaksana sehingga tidak memunculkan perasaan bersalah berlebihan. Anak suka bermain dengan teman sebaya, anak mudah berpisah dengan orangtua, anak mengerti mana yang benar dan mana yang salah, anak belajar mengenal berbagai warna, dan merangkai kata, anak mampu melakukan pekerjaan sederhana, anak mengenal jenis kelaminnya sendiri. Apabila semua tahap perkembangan tersebut dapat dicapai oleh anak maka anak akan mampu mengembangkan inisiatif dan ambisinya, mampu bertanggungjawab dan memiliki disiplin diri. Perkembangan anak usia prasekolah dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa kemampuan (Depkes RI, 2006) antara lain: a.
Kemampuan sosialisasi dan mandiri Orang tua meminta anak makan pakai sendok dan garpu dengan baik, orang tua mengajarkan kepada anak cara memakai sabun dan membasuh dengan air ketika mencuci kaki dan tangannya, orang tua meminta anak dalam membuat
10
keputusan dengan cara anda menentukan batasannya dan menawarkan pilihan. Orang tua menunjukkan pada anak untuk menggambar orang pada selembar kertas, orang tua mengajak anak bermain sekaligus belajar mengikuti aturan/petunjuk permainan, orang tua menunjukkan cara membuat boneka dari kertas, orang tua memberi kesempatan kepada anak untuk mengunjungi tetangga dekat lalu minta anak untuk bercerita tentang kunjungan itu. b.
Kemampuan bicara dan bahasa Orang tua meminta anak untuk bercerita mengenai dirinya dan hobinya. Orang tua menempelkan foto anak dibuku anak dan minta anak untuk menceritakan apa yang terjadi di dalam foto itu. Orang tua dapat menggunting huruf besar menurut alphabet dari majalah, kemudian menempel pada karton, tunjukkan satu persatu dan minta anak untuk menyebutkannya. Orang tua
membuat
agar
anak
mengajukan berbagai
pertanyaan dan jawablah pertanyaan tersebut dengan kata-kata sederhana. Orang tua membantu anak untuk mengenal musim hujan dan kemarau, orang tua membantu anak untuk mengenali angka dan berhitung, orang tua mengajak anak untuk
membuat
buku
kegiatan
keluarga
dengan
mengumpulkan foto/gambar anggota keluarga, orang tua dapat meminjam buku yang menarik perhatian dan membacakan untuk anak.
11
c.
Kemampuan gerak kasar Orang tua mengajak anak menangkap bola, menggunakan bola sebesar bola tenis, sekali-kali minta anak untuk melemparnya, orang tua menunjukkan pada anak cara berjalan di atas papan/garis lurus dengan merentangkan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan tubuh, orang tua menunjukkan pada anak cara binatang berjalan, orang tua mengajak anak ke kebun binatang dan tirukan gerak-gerik binatang. Orang tua menunjukkan kepada anak cara memakai karung dan melompat-lompat, orang tua mengajari anak dan temantemannya bermain engklek, orang tua menunjukkan kepada anak cara melompati tali, dorong anak main bola, lompat dengan 1 kaki.
d.
Kemampuan gerak halus Orang tua mengajak anak menggambar dengan cat menggunakan jari-jarinya diselembar kertas besar, orang tua membantu anak untuk menemukan gambar yang menarik kemudian mengguntingnya dan minta anak untuk menempel gambar tersebut, orang tua mengajari anak menghitung dengan meletakkan kacang di mangkuk, ajari anak menggambar garis, lurus, bulatan, segi empat serta menulis huruf angka. Orang tua menunjukkan kepada anak bagaimana menyatukan satu atau dua bagian agar menjadi satu kembali, orang tua mengajak anak menanam biji kacang-kacangan di kaleng bekas dan
12
bantu anak untuk menyirami tanaman tersebut setiap hari, orang tua mengajak anak bermain puzzle, menggambar, menghitung, memilih dan mengelompokkan. 2.1.2 Status Gizi Balita 1.
Pengertian Status Gizi Status Gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutrisi seorang individu dalam suatu variabel (Hadi, 2005). Sedangkan menurut Alexa (2011) status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2012). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Sulistyoningsish, 2012). Menurut Soekatri (2011), penilaian status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperolah melalui penelitian antropometri, konsumsi makanan, biokimia dan klinik. Menurut WHO dalam Soekatri (2011), sistem penilaian status gizi dapat dilakukan dalam bentuk survei, surveilen atau skrining.
2.
Metode Penilaian Status Gizi Pada Balita (Rusilanti dan Istiany, 2013) a.
Penilaian Antropometri 1) Pengertian Antropometri
13
Menurut Rusilanti dan Istiany (2013) Antropometri adalah berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain tinggi badan (TB), berat badan (BB), Lingkar Lengan Atas (LILA) dan tabel lemak di bawah kulit. Secara umum antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan atau konsumsi protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terletak pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. 2) Keunggulan dalam penilaian antropometri antara lain: a) Prosedur sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. b) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli. c) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dibuat didaerah setempat. d) Tepat dan akurat karena dapat dibakukan. e) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f)
Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas.
14
3) Kelemahan dalam penilaian antropometri antara lain: a) Tidak sensitif, tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat serta tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe. b) Faktor diluar gizi (penyakit genetik dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri. Kesalahan yang akan terjadi saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri. Kesalahan karena latihan petugas yang tidak cukup, kesalahan alat atau kesalahan pengukuran. 4) Pengukuran Antropometri dengan Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan
mendadak,
misalnya
karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan
dan
dikonsumsi.
menurunnya Pada
keadaan
jumlah normal
makanan yaitu
yang adanya
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari
15
keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa, 2012). a) Kelebihan Indeks BB/U Menurut
Supariasa
(2012),
indeks
BB/U
mempunyai beberapa kelebihan antara lain: (1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. (2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis. (3) Berat badan dapat berfluktuasi. (4) Sangat senfitif terhadap perubahan-perubahan kecil. (5) Dapat mendeteksi kegemukan (over weight). b) Kelemahan Indeks BB/U Menurut Supariasa (2012), indeks BB/U juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain: (1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites. (2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisionl, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.
16
(3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun. (4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan. (5) Secara aplikasi sering mengalami kendala yaitu orang tua tidak mau menimbang anaknya, karena dianggap seperti tidak memberikan manfaat yang banyak. Untuk
perhitungan
menggunakan
Z-score,
rumusnya adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Rumus Z Score Z − score =
Nilai Subjek - Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan
Penggunaan Z Score sebagai acuan penilaian status gizi adalah langkah mudah yang dapat dilakukan karena menggunakan alat yang sudah tersedia di masing-masing tempat penimbangan bayi dan anak. 5) Langkah-Langkah Penimbangan Berat Badan Dengan Timbangan Injak Menurut Rikesdas (2007) a) Lepas pakaian yang tebal pada bayi dan anak saat pengukuran. Apabila perlu, cukup pakaian dalam saja. b) Timbangan injak dengan berdiri, ajak anak untuk berdiri diatas timbangan injak tanpa dipegangi.
17
c) Ketika menimbang berat badan bayi, tempatkan tangan petugas diatas tubuh bayi (tidak menempel) untuk mencegah bayi jatuh saat ditimbang. d) Apabila anak tidak mau ditimbang, ibu disarankan untuk menimbang berat
badannya lebih dulu,
kemudian anak digendong oleh ibu dan ditimbang e) Selisih antara berat badan ibu bersama anak dan berat badan ibu sendiri menjadi berat badan anak. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat rumus berikut: f)
BB anak = (Berat badan ibu dan anak) – BB ibu
g) Tentukan hasil timbangan sesuai dengan jarum penunjuk pada timbangan. Selanjutnya, tentukan posisi berat badan anak sesuai dengan standar yang berlaku, yaitu status gizi anak normal, kurang atau buruk. Untuk menentukan berat badan ini juga dapat dilakukan dengan melihat pada kurva KMS dan dilihat berada berat badan anak berada pada kurva berwarna hijau, kuning atau merah. 6) Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan/Umur Tabel: 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi Kategori
Ambang Batas
Status Gizi
(Z-score)
Batas badan menurut
Gizi Buruk
< -3 SD
umur (BB/U) anak
Gizi Kurang
-3 SD sampai < -2SD
Gizi Baik
-2 SD sampai 2 SD
Gizi Lebih
>2 SD
Indeks
umur 0-60 bulan
Sumber: Kemenkes (2010)
18
3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi a.
Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan Menurut Marimbi (2010), dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang memiliki penghasilan cukup, tetapi makanan yang dihidangkan belum memenuhi standar gizi yang cukup, sehingga, kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup) juga ditemukan. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makan bagi kesehatan tubuh mempunyai sebab buruknya mutu gizi makan keluarga, khususnya makanan anak balita. Menurut Marimbi (2010), masalah gizi karena kurang pengetahuan dan ketrampilan dibidang memasak menurunkan konsumsi anak, kurang beragamnya bahan dan jenis masakan akan mempengaruhi kejiwaan misalnya kebosanan. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi terutama terhadap asupan makanan yang akan diberikan kepada balita. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang, maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi pada keluarga untuk status gizi yang lebih baik, terutama dalam menjaga status gizi balita
19
yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat (Atikah, 2009). b.
Prasangka buruk terhadap makanan tertentu Menurut Marimbi (2010), banyak bahan makan yang sesungguhnya bernilai gizi tinggi, tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas akibat adanya prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat keluarga. Jenis sayuran seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu yang bahkan banyak mengandung zat besi, vitamin A dan protein dibeberapa daerah masih dianggap sebagai makanan yang dapat menurunkan harkat keluarga. Dalam pemenuhan kebutuhan balita terutama pada zat makro dan zat mikro haruslah seimbang, bila salah satu kurang terpenuhi atau mungkin terjadinya masalah status gizi seperti kekurangan energi protein, anemia pada balita, kwasiorkor dan marasmus. Sehingga, untuk mencegah masalah status gizi yang akan terjadi, orang tua harus lebih mengetahui akan kandungan gizi dalam asupan makanan yang diberikan pada keluarga terutama untuk balita untuk mencapai status gizi yang lebih baik (Atikah, 2009).
c.
Adanya kebiasaan makanan yang merugikan Menurut Marimbi (2010), berbagai kebiasaan yang berhubungan dengan pantang makan-makanan tertentu masih
20
sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan ataupun daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis turun temurun, padahal anak itu sendiri sangat memerlukan bahan makanan seperti keperluan pertumbuhan tubuhnya. Kadang-kadang kepercayaan orang akan sesuatu makanan anak kecil membuat anak sulit mendapatkan cukup protein. Beberapa orang tua beranggapan ikan, telur, ayam dan jenis makanan protein lainnya memberi pengaruh buruk untuk anak kecil. Anak yang terkena diare malah dipuasakan (tidak diberikan makanan). Cara pengobatan seperti ini akan memperburuk gizi pada anak (Marimbi, 2010). Kandungan dalam telur, ikan, ayam dan jenis makanan protein lainnya sangat diperlukan untuk balita, karena manfaat yang terkandung dalam protein, diantaranya yaitu: bahan baku dalam pembentukan antibodi dalam tubuh dan penting bagi pertumbuhan, pemulihan dan pemeliharaan struktur tubuh. Sehingga, sebagai orang tua harus memperhatikan asupan makanan yang dibutuhkan balita pada waktu sakit (Atikah, 2009). d.
Kesukaan yang berlebihan terhadap jenis makan tertentu Menurut Marimbi (2010) kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai
21
faddisme
makanan
akan
mengakibatkan
tubuh
tidak
memperoleh semua zat gizi yang diperlukan. Asupan makanan yang berlebihan pada balita, sebagian akan disimpan dalam tubuh balita karena sudah melebihi kebutuhan gizi yang sudah diperlukan oleh balita sesuai dengan umur atau masa pertumbuhannya. Jika, terjadi terusmenerus akan menjadi masalah dalam status gizi balita, yaitu status gizi lebih (obesitas) (Arisman, 2007). e.
Jarak kelahiran yang terlalu rapat Menurut Marimbi (2010), banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa banyak anak yang menderita gangguan gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi atau adiknya yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak bisa merawatnya secara baik. Anak yang dibawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan perawatan ibunya, baik perawatan makanan maupun perawatan kesehatan dan kasih sayang, jika dalam masa 2 tahun itu ibu sudah hamil lagi, maka bukan saja perhatian ibu terhadap anak akan menjadi berkurang akan tetapi air susu ibu (ASI) yang masih sangat dibutuhkan anak akan berhenti keluar. Anak yang belum dipersiapkan secara baik untuk menerima makanan pengganti ASI, yang kadang-kadang mutu gizi makanan tersebut juga sangat rendah, dengan penghentian pemberian ASI karena produk ASI berhenti, akan lebih
22
beresiko menderita gizi buruk, bila tidak segera diperbaiki maka akan menyebabkan kematian. Karena alasan inilah dalam usaha
meningkatkan
kesejahteraan
keluarga,
disamping
diperbaiki gizi juga perlu dilakukan usaha untuk mengatur jarak kelahiran (Arisman, 2007). f.
Kekurangan energi dan protein Beberapa penyebab kurangnya energi dan protein menurut Marimbi (2010), yaitu: 1) Makanan yang tersedia kurang mengandung energi 2) Nafsu makan anak terganggu, sehingga tidak mau makan 3) Gangguan
dalam
saluran
pencernaan,
sehingga
penyerapan sari makanan dalam usus terganggu 4) Kebutuhan yang meningkat, misalnya karena penyakit infeksi yang tidak diimbangi dengan asupan yang memadai. Kekurangan
energi
dan
protein
mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan balita terganggu. Gangguan asupan gizi yang bersifat akut menyebabkan anak kurus kering yang disebut dengan wasting yaitu berat badan anak tidak sebanding dengan tinggi badan anak. Jika kekurangan ini bersifat menahun (kronik) artinya sedikit demi sedikit tetapi dalam jangka yang lama maka akan menjadi keadaan yang stunting (anak menjadi pendek dan tinggi badan tidak sesuai
23
dengan usia walaupun secara sekilas anak tidak kurus) (Marimbi, 2010). g.
Faktor Ekonomi Menurut Sulistyoningsih (2012), variabel ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya dengan penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun dengan kuantitas. Menurut Sulistyoningsih (2012), meningkatnya taraf hidup sejahtera (masyarakat), pengaruh promosi dari iklan serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup akan menyebabkan seseorang menjadi komsumtif dalam pola makanannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan
24
lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan
yang
menguntungkan.
Pengaruh
peningkatan
penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal (Sulistyoningsih, 2012). h.
Faktor Sosial Budaya Menurut Sulistyoningsih (2012), pantangan yang didasari oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan menjadi kebiasaan atau adat. Kebudayaan satu masyarakat mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan dikonsumsi. Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan kebutuhan dasar biologinya, termasuk kebutuhan terhadap pangan. Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahannya, persiapan dan penyajiannya. Kebudayaan juga menentukan seseorang boleh
dan
tidak
boleh
mengonsumsi
suatu
makanan
(Sulistyoningsih, 2012). Kebutuhan terhadap pangan yang masih sering dipercaya oleh masyarakat yaitu adanya pantangan untuk mengkonsumsi makanan yang diwariskan dari nenek moyang, padahal nilai
25
gizi yang terkandung didalamnya sangat baik untuk tubuh. Sebagai orang tua, harus lebih aktif untuk memilih makanan yang banyak mengandung gizi yang baik untuk balita yang sangat
diperlukan
pada
masa
pertumbuhan
dan
perkembangannya (Atikah, 2009). i.
Agama Menurut Sulistyonngsih (2012), pantangan didasari agama, adanya pantangan terhadap makanan dan minuman tertentu dari sisi agama dikarenakan makan atau minuman tersebut membahayakan
jasmani
mengonsumsinya. mempengaruhi
Konsep
pemilihan
dan
rohani
halal bahan
dan
bagi
yang
haram
sangat
makanan
yang
akan
dikonsumsi. Perayaan hari besar agama juga mempengaruhi bahan makanan yang akan disajikan. Dalam hal ini, baik diperhatikan untuk asupan makanan yang akan diberikan pada balita, karena pada dasarnya makanan yang sudah diharamkan akan menjadi suatu masalah jika masih diberikan pada balita dan mencegah akan timbulnya efek alergi pada tubuh balita. Kandungan gizi yang belum tentu baik untuk masa balita yang masih dalam pertumbuhan dan perkembangannya (Arisman, 2007). j.
Pendidikan Menurut Sulistyoningsih (2012), pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan akan berpengaruh
26
terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu contoh, prinsip yang dimiliki seseorang dalam pendidikan rendah biasanya adalah yang penting menyenangkan, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya, kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain. Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, higiene pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Sulistyoningsih, 2012).
27
k.
Lingkungan Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya dengan pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi dari media elektronik maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang (Sulistyoningsih, 2012). Lingkungan memberikan pengaruh yang nyata dalam pemilihan asupan makanan yang akan pilih. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus lebih mengarahkan anak-anaknya, khususnya balita karena pada masa ini balita lebih suka memilih-milih makanan yang dia anggap lebih enak dan lezat, yang belum tentu terpenuhinya status gizinya (Sulistyoningsih, 2012).
l.
Infeksi Penyakit infeksi merupakan penyakit
yang banyak
berhubungan dengan terjadinya kekurangan gizi di negara berkembang. Infeksi yang sering terjadi pada anak adalah penyakit saluran pernafasan atas, bawah, diare dan kulit. Menurut Riskesdas (2013) penyakit pernafasan prevalensi 32,1% kedua tertinggi terbanyak morbiditas di Indonesia, sedangkan diare umumnya 9,6%. Adanya penyakit infeksi tersebut merupakan faktor penyebab tingginya angka kematian bayi dan balita di Indonesia. Anak-anak yang sering menderita
28
penyakit infeksi menyebabkan pertumbuhannya terhambat dan tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal. Dalam pemenuhan asupan makanan pada balita yang sedang sakit harus diperhatikan dengan seksama, karena asupan yang seimbang sangat diperlukan dalam masa penyembuhan
agar
tidak
terjadi
permasalahan
yang
berkelanjutan seperti masalah status gizi pada balita (Istiany, 2013). m. Pola Pengasuhan Pengasuhan didefinisikan sebagai cara memberi makan, merawat anak, membimbing dan mengajari anak yang dilakukan oleh individu dan keluarga (UNICEF, 1998). Pada dasarnya pengasuhan merupakan interaksi antara subyek dan obyek untuk membimbing, mengarahkan dan mengajarkan obyek sehari-hari secara rutin, sehingga dapat merupakan sebuah pola. Menurut Istiany dan Rusilanti (2013), pengasuhan diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan kemauan si pengasuh. Menurut
Istiany
dan
Rusilanti
(2013)
usia
balita
merupakan masa yang sangat menentukan hari depan anak. Kekurangan gizi pada saat ini akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, sehingga perlu perhatian khusus. Menurut Istiany dan Rusilanti (2013), faktor yang cukup dominan yang menyababkan meluasnya keadaan
29
gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama kepada anak-anak. Peran ibu selaku pengasuh dan pendidik di dalam keluarga dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak positif maupun negatif, karena dalam berinteraksi dengan anak sehari-hari, seorang ibu dapat memainkan berbagai peran yang secara langsung akan berpengaruh pada anak. 2.1.3 Perkembangan 1.
Pengertian Perkembangan
(development)
adalah
bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masingmasing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2004). 2.
Macam Perkembangan Anak Menurut Hurlock (2009) macam perkembangan anak adalah: a.
Perkembangan motorik kasar
b.
Perkembangan motorik halus
c.
Perkembangan intelegensi
30
3.
d.
Perkembangan sosial dan emosi
e.
Perkembangan bahasa
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan menurut Supartini (2004), antara lain: a.
Faktor genetik Faktor pertumbuhan yang dapat diturunkan (herediter) adalah jenis kelamin, ras dan kebangsaan. Ras atau suku bangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
b.
Faktor lingkungan eksternal 1) Lingkungan pranatal Beberapa kondisi lingkungan dalam uterus yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin adalah gangguan nutrisi karena ibu kurang mendapat gizi adekuat baik secara kuantitas maupun kualitas, gangguan endokrin, ibu yang menderita terapi sitostatika atau yang mengalami infeksi. Intinya apa yang dialami oleh ibu akan berdampak pada kondisi pertumbuhan dan perkembangan fetus. 2) Pengaruh budaya lingkungan Budaya keluarga atau masyarakat akan mempengaruhi bagaimana mereka mempersepsikan dan memahami kesehatan serta berperilaku hidup sehat. Pola perilaku ibu
31
yang sedang hamil dipengaruhi oleh budaya yang dianutnya, misalnya adanya beberapa larangan untuk makanan tertentu padahal zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan janin. 3) Status sosial dan ekonomi keluarga Anak yang berada dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sosial ekonominya rendah, bahkan punya banyak keterbatasan untuk memberi makanan yang bergizi, membayar biaya pendidikan, dan memenuhi kebutuhan primer lainnya, tentunya keluarga akan mendapat kesulitan untuk membantu anak mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal sesuai dengan tahapan usiannya. 4) Gizi Tumbuh dan kembang anak membutuhkan zat gizi yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air yang harus dikonsumsi secara seimbang, dengan jumlah yang sesuai pada tahapan usianya. Khusus selama periode pertumbahan dan perkembangan yang cepat seperti masa pranatal, usia bayi, atau remaja akan membutuhkan lebih banyak kalori dan protein. Anak dapat mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangannya hanya karena kurang adekuatnya asupan zat gizi tersebut.
32
Asupan gizi yang berlebih juga menimbulkan dampak yang buruk pula bagi kesehatan anak, misalya terjadi penumpukan
kadar
lemak
yang
berlebihan
dalam
sel/jaringan, bahkan pada pembuluh darah sehingga bila anak sakit, pertumbuhan dan perkembangannya juga akan terganggu 5) Iklim atau cuaca Iklim tertentu dapat mempengaruhi status kesehatan anak, seperti pada musim penghujan
yang dapat
menimbulkan bahaya banjir pada daerah tertentu, akan menyebakan
sulitnya
transportasi
sehingga
sulit
mendapatkan bahan makanan, bahkan timbul berbagai macam penyakit menular, yang dapat mengancam semua orang termasuk bayi dan anak-anak. Status kesehatan anak tentunya akan berdampak pada proses petumbuhan dan perkembangannya. 6) Posisi anak dalam keluarga Posisi anak sebagai anak tunggal, anak sulung, anak tengah, atau anak bungsu akan mempengaruhi bagaimana pola anak tersebut diasuh dan dididik dalam keluarga. Anak tungal tidak mempunyai teman bicara dan beraktivitas kecuali dengan orang tuanya, oleh karena itu, perkembangan motorik anak tunggal lebih lambat karena
33
tidak ada stimulasi untuk melakukan aktivitas fisik yang biasanya dilakukan oleh saudara kandungnya. c.
Faktor internal 1) Kecerdasan Kecerdasan dimiliki anak sejak ia dilahirkan. Anak yang dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang rendah tidak akan mencapai prestasi yang cemerlang walaupun stimulus yang diberikan lingkungan sedemikian tinggi. Sementara
anak
yang
dilahirkan
dengan
tingkat
kecerdasan yang tinggi dapat didorong oleh stimulus lingkungan untuk berprestasi secara cemerlang. 2) Pengaruh hormonal Ada
tiga
hormon
utama
yang
mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu hormon somatotropik (growth hormone) hormon tiroid, dan hormon gonadotropin. d.
Periode tumbuh kembang balita Pada masa balita, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (gerak kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi
dan
menentukan
perkembangan
anak
selanjutnya. Setelah lahir terutama pada 3 tahun pertama
34
kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel otak masih berlangsung, dan terjadi pertumbuhan serabut-serabut syaraf dan cabang-cabangnya sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks. Jumlah dan pengaturan hubunganhubungan antar sel syaraf ini akan sangat mempengaruhi segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar, berjalan, mengenal huruf, hingga bersosialisasi (Dep Kes RI, 2005). e.
Penilaian Perkembangan. Menurut
Soetjiningsih
(2004),
DDST
(Denver
Deelopmental Screening Test) adalah salah satu metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. DDST memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. Tes ini mudah dan cepat (15-20 menit), dapat diandalkan dan menunjukkan validitas yang tinggi. Penelitian Kartikaningsih (2009) menunjukkan bahwa DDST tidak dapat mengidentifikasi lebih separoh anak dengan kelainan
bicara.
Frankenburg
melakukan
revisi
dan
restandarisasi kembali DDST dan juga tugas perkembangan pada sektor bahasa ditambah, dan kemudian hasil revisi dari DDST tersebut dinamakan Denver II. f.
Aspek perkembangan yang dinilai Terdiri dari 105 tugas perkembangan pada DDST dan DDST-R yang kemudian pada Denver II dilakukan revisi dan
35
restandarisasi dari DDST sehingga terdapat 125 tugas perkembangan. Semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi: 1) Personal social (perilaku sosial). 2) Fine motor adaptive (gerakan motorik halus). 3) Language (bahasa). 4) Gross motor (motorik kasar). g.
Petunjuk pelaksanaan DDST II Pada format tes terdapat skala usia yang melintas dari atas kebawah, menggambarkan usia dalam bulan dan tahun sejak lahir sampai umur 6 tahun. Masing-masing ruang diantara tanda umur pada skala ini interval 1 bulan dan 3 bulan. Tiap gugus tugas/uji coba (sebanyak 125 buah) didapatkan dalam 1 gambar kotak segi empat panjang yang terdapat batas usia dimana 25%, 50%, 75% dan 90% dari sampel standar/baku. 1) Batangan a) Menunjukkan standar anak normal bisa melakukan tugas/tes item ini sesuai dengan usia. b) Ada beberapa item bertanda L, menunjukkan bahwa kita bisa memperoleh skor dari orang tua. c) Nomor kecil disebelah kiri, bisa melihat petunjuk pelaksanaan pada halaman dibaliknya.
36
2) Hal-hal yang perlu diperhatikan a) Lakukan tes dari sektor yang kurang aktif terlebih dahulu: personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar b) Mulailah dari yang mudah dilakukan, jika anak kurang tepat melakukan beri stimulus dan lakukan tes ulang. c) Tes yang menggunakan alat yang sama dilakukan secara berurutan d) Tes dilakukan untuk setiap sektor, dan mulailah dari sebelah kiri garis umur terus ke kanan 3) Bila ada resiko perkembangan a) Lakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat disebelah garis umur serta tiap test yang ditembus garis umur pada setiap sektor. b) Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu pertama (gagal, menolak, No Opportunity), lakukan test tambahan kesebelah kiri pada sektor yang sama sampai anak dapat melewati 3 test 4) Bila anak lebih relatif kemampuan a) Pada setiap sektor dilakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat kesebelah kiri garis umur dan test yang ditembus garis umur
37
b) Lanjutkan test kekanan dari setiap test yang dalam satu sektor hingga tercapai 3 gagal c) Tiap test dilakukan 3 kali sebelum ditemukan gagal. 5) Skor yang di pakai pada DDST II a) P: Pass/lewat (1) Anak malakukan test dengan baik (2) Ibu atau pengasuh memberi laporan L, tepat atau dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukan. b) F: Fail/gagal (1) Anak tidak dapat melakukan test dengan baik (2) Ibu atau pengasuh memberi laporan tepat, bahwa anak tidak dapat melakukan dengan baik. c) NO: No Opportunity/tidak ada kesempatan, dimana anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan test karena ada hambatan. d) R: Refusal/menolak, dimana anak menolak untuk melakukan test. 6) Interpretasi dari nilai DDST II a) Penilaian lebih (advance), bila seorang anak “lewat” pada uji coba yang terletak dikanan garis umur. Dinyatakan perkembangan anak lebih pada uji coba tes, karena anak “lewat” pada uji coba dimana kebanyakan anak lainnya belum “lewat”.
38
b) Penilaian normal, bila seorang anak “gagal” atau “menolak” melakukan uji coba disebelah kanan garis umur, perkembangan anak dinyatakan normal pada uji coba yang dilakukan. Anak tidak diharapkan “lewat” sampai umurnya lebih tua. c) Penilaian peringatan (caution), bila seorang anak “gagal” atau “menolak” uji coba dimana garis umur terletak pada atau antara persentil 75 dan 90. d) Penilaian
keterlambatan/tertunda
(delayed),
bila
seorang anak “gagal” atau “menolak” melakukan uji coba yang terletak lengkap disebelah kiri garis umur, karena anak ‘gagal” atau “menolak” uji coba dimana 90% anak-anak umur lebih dini. e) Penilaian tidak ada kesempatan (No Opportunity), uji coba yang dilaporkan orang tua, bahwa anak tidak ada kesempatan untuk melakukan atau mencoba. 7) Interpretasi hasil test DDST II a) Normal: (1) Bila tidak ada keterlambatan/delays dan ada paling banyak satu peringatan/caution (2) Lakukan berikutnya
ulangan
pada
kontrol
kesehatan
39
b) Suspect (1) Bila
didapatkan
satu
atau
lebih
delays
(keterlambatan) dan/atau dua atau lebih caution (peringatan) (≥ 1 “F” dan/atau ≥ 2 “C”). (2) Lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan faktor sesaat seperti: rasa takut, keadaan sakit atau kelelahan. c) Untestable/tidak dapat diuji (1) Bila ada penolakan pada satu uji coba atau lebih disebelah kiri garis umur (≥ 1 “R”) atau penolakan pada lebih dari satu uji coba yang ditembus garis umur pada daerah 75-90% (> 1 “R”) (2) Uji ulang dalam 1-2 minggu untuk menghilangkan faktor sesaat seperti: rasa takut, keadaan sakit atau kelelahan. h.
Perkembangan motorik Perkembangan motorik yaitu perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Menurut Hurlock (2009), perkembangan motorik meliputi: 1) Motorik kasar, yaitu kemampuan melakukan suatu kegiatan dengan
menggunakan
sebagian
tengkurap, duduk dan berdiri
otot
seperti
leher,
40
2) Motorik halus, yaitu kemampuan yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh tertentu dan hanya melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Gerakan halus ini tidak memerlukan banyak tenaga tetapi memerlukan kerjasama antara mata dan anggota badan, contoh menggapai, memasukkan benda ke mulut, memegang sendok dan lainlain. i.
Perkembangan motorik halus anak pada anak usia 3-5 tahun. Kemampuan motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-tangan. Saraf motorik halus ini dapat dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang kontinu secara rutin. Seperti, bermain puzzle, menyusun balok, memasukan benda ke dalam lubang sesuai bentuknya, membuat garis, melipat kertas dan sebagainya. Kecerdasan motorik halus anak berbeda-beda. Dalam hal kekuatan maupun ketepatannya. Biasanya anak dengan motorik kasar yang sangat baik mempunyai kelemahan dan ketidakoptimalan dalam motorik halus (Wong, 2009). Keterampilan motorik halus adalah gerakan-gerakan yang melibatkan jari, tangan dan pergelangan tangan,
dan
membantu
bayi
belajar
untuk
mengasah
keterampilan dapat menjadi sederhana dan menyenangkan untuk bayi dan orang tua.
41
Genetik atau bakat alamiah merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan motorik seorang anak. Sedangkan faktor lingkungan (orang tua) merupakan faktor penujang dalam kecerdasan
motorik
halus
anak.
Lingkungan
dapat
meningkatkan ataupun menurunkan taraf kecerdasan anak, terutama pada masa-masa pertama kehidupannya (Soetjiningsih, 2005). Setiap anak mampu mencapai tahap perkembangan motorik halus yang optimal asal mendapatkan stimulasi tepat. Di setiap fase, anak membutuhkan rangsangan untuk mengembangkan kemampuan mental dan motorik halusnya. Semakin banyak yang dilihat dan didengar anak, semakin banyak yang ingin diketahuinya. Jika kurang mendapatkan rangsangan anak akan bosan. Tetapi bukan berarti anda boleh memaksa si kecil. Tekanan, persaingan, penghargaan, hukuman, atau rasa takut dapat mengganggu usaha dilakukan si kecil. Perkembangan kemampuan motorik halus anak usia 3-5 tahun: 1) Menggambar mengikuti bentuk 2) Menarik garis vertikal, menjiplak bentuk lingkaran 3) Menggunting zig zag, melengkung, membentuk dengan lilin 4) Menyelesaikan pasel (puzzle) 4 keping 5) Melipat 6) Menggunting sesuai pola
42
7) Menyusun mainan konstruksi bangunan 8) Mewarnai lebih rapi tidak keluar garis 9) Meniru tulisan Bila mengalami keterlambatan atau kemampuannya tidak sesuai tahapan usianya maka orangtua tidak perlu cemas. Selama bukan yang terlalu ekstrim ketertinggalannya intervensi dan stimulasi gerakan motorik sejak dini sangat penting dan membantu mengoptimalkan kemampuan motorik halus bayi. Bila keterlambatan tersbut dirasakan cukup berat atau tidak ringan tidak ada salahnya melakukan konsultasi dengan dokter anak, untuk memastikan apakah keterlambatan tersebut perlu dilakukan terapi atau intervensi.
2.2 Keaslian Penelitian Tabel 2.2 Keaslian Penelitian No
Nama peneliti
1.
Mahrifatul
Perkembangan
analitik
Terdapat hubungan
Nurfita
motorik halus
korelasi
antara status gizi anak
Anggraeni
pada anak usia 3-5
dengan
dengan perkembangan
(2014)
tahun berdasarkan
rancangan
motorik halus pada
status gizi di Desa
cross sectional
anak usia 3-5 tahun di
Sindurjan
study
Desa Sindurjan
2.
Lampita Dyah
Judul
Metode
Hasil
Kecamatan
Kecamatan Purworejo
Purworejo
Kabupaten Purworejo
Kabupaten
Tahun 2013 (p: 0,000 <
Purworejo
a: 0,05).
Gangguan
Kartikaningsih perkembangan
Peneliti
Ada hubungan antara
menggunakan
status gizi dengan
43
No
Nama peneliti
Judul
Metode
Hasil
motorik halus
metode
perkembangan motorik
pada balita kurang
proportional
halus pada anak balita
gizi di Kecamatan
stratified
di Kecamatan
Sumberjambe
random
Sumberjambe
Kabupaten
sampling. Data
Kabupaten Jember.
Jember
yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis Contingency Coefficient
44
2.3 Kerangka Teori
Gizi balita • Protein • Lemak • Karbohidrat • Mineral
Kasar Status Gizi Balita
Perkembangan motorik
• Vitamin • Air
Faktor-faktor : • Faktor genetik • Faktor lingkungan • Faktor budaya • Jarak kelahiran • Faktor ekonomi • Tingkat pendidikan • Pola asuh
Keterangan : = yang tidak diteliti = diteliti
Gambar: 2.2 Kerangka Teori Modifikasi Marimbi (2010), Sulistyoningsih (2012), Istiany dan Rusilanti (2013)
Halus
45
2.4 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen
Status gizi
Variabel dependen
Perkembangan motorik halus
Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian
2.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori (Sugiyono, 2009). Hipotesis pada penelitian ini adalah: Ho
: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.
H1/Ha : Ada hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen.
46
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik korelasi, yaitu metode penelitian yang menggambarkan suatu keadaan secara objektif untuk melihat hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau kelompok tertentu (Notoatmodjo, 2010). Sedangkan desain penelitian menggunakan studi potong lintang (cross sectional study) yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya sekali, pada saat pengukuran (Nursalam, 2003). Metode penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus.
3.2 Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling 1.
Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun yang yang berdomisili di Puskesmas Miri - Sragen sebanyak 55 posyandu terdiri dari 163 anak.
2.
Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri - Sragen sebanyak 62 anak.
46
47
3.
Tehnik Sampling Tehnik sampling adalah suatu tehnik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian (Arikunto, 2006). Tehnik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling, artinya pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan pertimbangan kelompok, bukan individu. Pertimbangan kelompok dilakukan dengan memilih secara acak 5 posyandu dari 55 posyandu yang ada di wilayah Puskesmas Miri-Sragen. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus Slovin dalam Notoatmojo (2010) yaitu:
n:
N 1 + N (d 2 )
n: besar sampel N: besar populasi d: tingkat kesalahan (0,1) Sehingga besar sampel adalah:
n:
163 1 + 163 (0,12 )
n: 61,97 dibulatkan menjadi 62 responden Penentuan sampel pada penelitian ini didasarkan pada kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk meminimalkan bias pemilihan sampel (DepKes RI, 2006). Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: 1.
Anak yang tidak memiliki sakit fisik maupun cacat bawaan
2.
Anak yang waktu lahir tidak BBLR
48
Kriteria eksklusi merupakan ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat dijadikan sebagai sampel (DepKes RI, 2006). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah anak yang tidak diijinkan mengikuti penelitian ini. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1. Anak yang dalam keadaan sakit saat dilakukan penelitian (demam, Flu, cacar, ISPA, diare) 2. Meninggal atau pindah tempat tinggal.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Miri – Sragen. Waktu penelitian bulan September 2014 sampai dengan Mei 2015.
3.4 Variabel, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional
Alat ukur
Hasil Ukur
Independen
Keadaan tubuh
Timbangan
Di kategorikan:
Status Gizi
balita yang
injak
Gizi buruk (< -3 SD),
dinilai
(digital)
Gizi kurang (-3SD sampai < -2SD),
menggunakan
Gizi baik (-2SD sampai 2 SD),
indeks
Gizi lebih (> 2SD) (Kemenkes,
antropometri
2010).
Skala Ordinal
berat badan menurut umur Dependen
Kemampuan
Mengguna-
Perkembangan motorik halus
Perkemban
yang
kan formulir
dinilai sebagai berikut:
gan
berhubungan
DDST
1. Penilaian lebih (advance), bila
Ordinal
49
Variabel
Definisi Operasional
Alat ukur
Hasil Ukur
Skala
motorik
dengan
Denver II
seorang anak “lewat” pada uji
halus
ketrampilan
untuk
coba yang terletak dikanan garis
fisik yang
menilai
umur.
melibatkan
perkembang
otot-otot kecil,
an motorik
anak “gagal” atau “menolak”
koordinasi
halus
melakukan uji coba disebelah
mata dan tangan seperti
2. Penilaian normal, bila seorang
kanan garis umur. 3. Penilaian peringatan (caution),
menggambar
bila seorang anak “gagal” atau
mengikuti
“menolak” uji coba dimana
bentuk,
garis umur terletak pada atau
menjiplak
antara persentil 75 dan 90.
bentuk, dan
4. Penilaian
mewarnai lebih
keterlambatan/tertunda
rapi tidak
(delayed), bila seorang anak
keluar garis.
“gagal” melakukan
atau uji
“menolak” coba
yang
terletak lengkap disebelah kiri garis umur, karena anak ‘gagal” atau “menolak” uji coba dimana 90% anak-anak umur lebih dini. 5. Penilaian tidak ada kesempatan (No Opportunity), uji coba yang dilaporkan orang tua, bahwa anak tidak ada
kesempatan
untuk melakukan atau mencoba.
50
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data 3.5.1 Alat Penelitian Pada penelitian ini data yang dikumpulkan menggunakan kuesioner dan observasi. Kuesioner yang berisi Bagian A tentang karakteristik responden yaitu usia, jenis kelamin. Bagian B berisi data tentang status gizi anak dan bagian C adalah penilaian Denver II . Pengambilan data status gizi dengan pengukuran berat badan, alat yang digunakan dengan timbangan injak (digital) yang dibandingkan dengan umur. Pengisian lembar Denver II diisi oleh peneliti sendiri, untuk memudahkan dalam pengkategorian status gizi anak usia 3-5 tahun di wilayah Puskesmas Miri Kabupaten Sragen. 3.5.2 Cara Pengumpulan Data 1. Data Primer Data primer adalah data atau materi yang dikumpulkan sendiri peneliti pada saat berlangsungnya penelitian (Arikunto, 2006). Data primer dengan melakukan pengukuran terhadap berat badan anak dan memberikan kuesioner tentang usia anak, serta mengukur perkembangan motorik halus dengan menggunakan tes skrining perkembangan menurut Denver II. Dengan menggunakan penilaian sebagai berikut : a.
Penilaian lebih (advance), bila seorang anak “lewat” pada uji coba yang terletak dikanan garis umur.
b.
Penilaian normal, bila seorang anak “gagal” atau “menolak” melakukan uji coba disebelah kanan garis umur.
51
c.
Penilaian peringatan (caution), bila seorang anak “gagal” atau “menolak” uji coba dimana garis umur terletak pada atau antara persentil 75 dan 90.
d.
Penilaian keterlambatan/tertunda (delayed), bila seorang anak “gagal” atau “menolak” melakukan uji coba yang terletak lengkap disebelah kiri garis umur, karena anak ‘gagal” atau “menolak” uji coba dimana 90% anak-anak umur lebih dini.
e.
Penilaian tidak ada kesempatan (No Opportunity), uji coba yang dilaporkan orang tua, bahwa anak tidak ada kesempatan untuk melakukan atau mencoba.
2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang didapatkan dari suatu lembaga atau instrumen (Arikunto, 2006). Data sekunder dalam penelitian adalah data literatur yang terkait dengan penelitian ini. 3. Langkah-langkah Pengumpulan Data a. Peneliti mengajukan surat pengantar penelitian kepada Ketua Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. b. Setelah mendapatkan ijin penelitian dari Kepala Puskesmas Miri – Sragen, peneliti melakukan kegiatan penelitian dengan mengumpulkan responden di posyandu, responden yang tidak dapat hadir dalam waktu penelitian akan dikunjungi ke rumahnya. c. Responden dipilih secara acak pada 5 posyandu dari 55 posyandu yang ada di Wilayah Puskesmas Miri-Sragen.
52
d. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Posyandu balita dengan bantuan dari kader kesehatan untuk mengumpulkan responden. e. Memberikan penjelasan kepada orang tua responden tentang tujuan penelitian dan dimohonkan bantuannya untuk mengizinkan anaknya menjadi responden, bila bersedia orang tua responden dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan. f. Peneliti mulai mencari data dengan melihat status gizi responden dengan melakukan penimbangan berat badan, mencatat usia dan jenis kelamin responden, kemudian melakukan tes perkembangan motorik kasarnya dengan menggunakan formulir DDST dan hasilnya dicatat pada lembar observasi. g. Jika terdapat anak yang rewel saat dilakukan pengumpulan data maka peneliti bersama denga orang tua berusaha membujuk dengan beberapa mainan dan jajan yang disukai oleh anak-anak.
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data 3.6.1 Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan data dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Editing Koreksi atau editing yaitu mengkoreksi data yang telah dikumpulkan dari responden sebagai langkah persiapan sebelum data diolah (Arikunto, 2006). Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data hasil observasi untuk melihat kebenaran pengisian dan
53
kelengkapan pengisian lembar. Pemeriksaan ini dilakukan di tempat observasi sehingga bila ada kekurangan segera dapat dilengkapi. 2. Coding Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi angka atau bilangan. Masing-masing variabel penelitian diberi kode selanjutnya
dimasukkan
dalam
lembar
tabel
kerja
untuk
mempermudah entri data komputer. Untuk status gizi dengan kriteria lebih diberi kode 4, status gizi baik diberikan kode 3, gizi kurang diberikan kode 2, dan status gizi buruk diberikan kode 1. Untuk perkembangan motorik halus dengan kriteria advance diberi kode 5, normal diberikan kode 4, peringatan diberikan kode 3, keterlambatan diberikan kode 2 dan kategori tidak ada kesempatan diberikan kode 1. 3. Tabulating Kegiatan memasukan data hasil penelitian dalam klasifikasi tabel sesuai dengan kriteria agar lebih mudah dalam entry data. 4. Entry data Peneliti memasukkan data ke dalam komputer untuk selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan program bantuan komputer. 3.6.2 Analisa Data 1.
Analisa Univariat Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap jenis variabel dari hasil penelitian. Pada penelitian ini, analisis data akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari variabel
54
bebas yaitu jenis kelamin, status gizi pada anak balita dan variabel terikat adalah perkembangan motorik halus pada anak balita usia 35 tahun dan variabel usia responden akan disajikan dalam tabel rerata. 2.
Analisa Bivariat Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan perkembangan motorik halus. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji statistik bivariat dengan menggunakan korelasi Spearman. Interpretasi hasil: Untuk uji korelasi Spearman digunakan derajat kepercayaan (Confident Interval 95%), dan batas kemaknaan alfa 5% (0,05): 1. Bila diperoleh p ≤ 0,05, berarti secara statistik ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. 2. Bila p > 0,05 berarti secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel.
3.7 Etika Penelitian 3.7.1 Informed consent (lembar persetujuan) Lembar persetujuan diberikan kepada orang tua responden yang akan diteliti dengan kriteria memenuhi sampel disertai judul dan manfaat penelitian, bila orang tua responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden. Infomed consent berisi tentang identitas peneliti, tujuan penelitian, alasan
55
pemilihan sampel, tata cara penelitian, resiko dan ketidaknyamanan penelitian, manfaat penelitian, kerahasiaan penelitian, kerahasiaan data, jumlah sampel yang diperlukan kesukarelaan, kemungkinan timbul biaya dan kontak penelitian. 3.7.2 Anonimity (tanpa nama) Untuk menjaga identitas responden, peneliti tidak mencantumkan namanya pada lembar obserasi, cukup memberi nomor kode pada masing-masing lembar observasi. 3.7.2 Confidential (rahasia) Kerahasiaan informasi dan hasil penelitian dari setiap responden dijamin oleh peneliti. Data yang sudah selesai digunakan akan disimpan.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Puskesmas Miri Sragen pada bulan Februari 2015 pada anak usia 3-5 tahun. Berdasarkan kriteria sampel dan persyaratan dalam pemilihan sampel ditentukan sebanyak 62 responden. 4.1 Analisis Univariat 4.1.1 Gambaran Usia Anak 3-5 Tahun Tabel 4.1. Tabel Nilai Tengah, Pemusatan Dan Penyebaran Data Usia Anak di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015. Variable Usia anak
N 62
Median 47,00
Min-maks 36-59
Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa nilai tengah usia anak usia 3-5 di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 didapatkan rata-rata usianya adalah 47 bulan dengan usia termuda adalah 36 bulan dan usia tertua adalah 59 bulan. 4.1.2 Gambaran Pendidikan Ibu Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Anak Usia 35 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 Tingkat pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah
Frekuensi
Persentase
10 11 21 20 62
16,1 17,7 33,9 32,3 100,0
56
57
Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar pendidikan ibu responden adalah SMA sebanyak 21 anak (33,9%), dan didapatkan juga pendidikan ibu yang masih Sekolah Dasar sebanyak 10 responden (16,1%). 4.1.3 Gambaran Status Gizi Anak Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 Status gizi anak Gizi buruk Gizi kurang Gizi normal Gizi lebih Jumlah
Frekuensi 0 3 58 1 62
Persentase 0 4,8 93,5 1,6 100,0
Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan status gizi kurang sebanyak 3 responden (4,8%). 4.1.4 Gambaran Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 Perkembangan motorik halus pada anak Keterlambatan Peringatan Normal Advance Jumlah
Frekuensi
Persentase
3 2 56 1 62
4,8 3,2 90,3 1,6 100,0
Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak
58
(90,3%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan perkembangan motorik halus pada kategori keterlambatan sebanyak 3 responden (4,8%).
4.2 Analisi Bivariat Tabel 4.5. Hubungan Antara Status Gizi Anak Dengan Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 Variable Status gizi anak dengan perkembangan motorik halus
Nilai r 0,601
Nilai p 0,0001
Uji Spearman Rank didapatkan nilai koefisien korelasi (nilai r) sebesar 0,601 dan nilai signifikansi (nilai p) sebesar 0,0001 diartikan bahwa terdapat hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 (p vaue < 0,05). Dan nilai koefisien korelasi dapat diartikan bahwa antara kedua variable memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kekuatan hubungan pada tingkat kuat (nilai r berada pada rentang 0,51-0,75) (Hastono, 2007).
59
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis akan membahas beberapa temuan yang didapatkan selama penelitian. Penelitian dilakukan terhadap 62 responden di Puskesmas Miri Kabupaten Sragen. 5.1 Analisis Univariat 5.1.1 Status Gizi Hasil penelitian terhadap 62 anak usia 3-5 tahun diketahui bahwa sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan status gizi kurang sebanyak 3 responden (4,8%). Menurut kerangka yang di susun oleh WHO (2010), terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini gizi kurang dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian status gizi. Pengetahuan dan pendidikan orang tua juga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap status gizi anak (Herwin, 2004). Hasil penelitian data yang diperoleh di Puskesmas Miri Sragen sebagian besar balita mengalami gizi normal yaitu sebanyak 58 anak (93,5%). Di dalam penelitian ini yang paling besar adalah balita yang berstatus gizi normal. Hal ini didukung pendapat Supariasa (2006) bahwa gizi baik pada anak ditentukan oleh perhatian yang diberikan
59
60
oleh orang tua kepada anaknya. Bentuk perhatian tersebut didapatkan ibu melalui beberapa hal, misalnya pengalaman merawat anak, informasi tentang pertumbuhan anak sehingga dapat meningkatkan mutu kualitas status gizi anak. Selain perhatian orang tua, faktor pendidikan orang tua pun berpengaruh terhadap status gizi anak dan pendidikan (Supariasa, 2006). Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian dimana pendidikan ibu responden terbanyak adalah SMA sebanyak 33,9%, bahkan ibu yang memiliki pendidikan perguruan tinggi sebanyak 32,3%. Hal ini sesuai dengan pendapat Devi (2010) bahwa peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting, sehingga membuat pendidikan bagi perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya. Manfaat kesehatan dan gizi bagi anak dalam jangkapanjang akan memberikan manfaat yang lebih baik serta menurunkan tingkat fertilitas bagi anak dimasa dewasa yang diakibatkan oleh investasi status gizi pada usia dini merupakan investasi dalam sektor pembangunan dimasa depan. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting di dalam status gizi balita. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi bisaanya lebih paham dan mengerti tentang status gizi yang baik bagi anaknya, pendidikan bagi anaknya dan tingkat kesehatan bagi anaknya pula,dan untuk mencapai satus gizi yang baik maka di perlukan zat makanan
61
yang adekuat makanan yang kurang baik juga mempengaruhi di dalam di dalam status gizi anak (Anwar, 2009). Pengetahuan ibu merupakan salah satu faktor penting di dalam status gizi anak. Ibu yang memiliki pengetahuan baik akan lebih mengetahui tentang status gizi yang baik bagi anaknya serta tingkat kesehatan yang baik bagi anaknya. Dan untuk mencapai satus gizi yang baik maka diperlukan zat makanan yang adekuat makanan yang kurang baik juga mempengaruhi di dalam status gizi anak (Anwar, 2009). Menurut Supariasa (2006) keadaan gizi seorang dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Dimana konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan makanan dan tersedianya bahan makanan. Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua, perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Responden yang memiliki status gizi kurang didapatkan sebanyak 3 responden (4,8%). Meskipun angkanya cukup kecil, tetapi adanya balita yang mengalami gizi kurang merupakan masalah yang besar. Gizi kurang yang terjadi pada balita dapat disebabkan salah satunya karena faktor kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak, kemiskinan berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang
62
jelek dan ketidaktahuan. Kemiskinan akan menyebabkan keterbatasan keluarga di dalam menyediakan makanan. Pekerjaan ibu menyebabkan permasalahan yang dilematis di satu sisi ibu di tuntut untuk menunjang perekonomian keluarga, sementara di sisi lain status gizi anak juga memerlukan perhatian yang khusus. Oleh karena itu seorang ibu bersikap bijak dalam menentukan prioritas yang akan dipilih, tanpa mengabaikan hak anak untuk mendapatkan gizi yang baik (Depkes, 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Devi (2010) yang menemukan bahwa status ekonomi keluarga memiliki pengaruh terhadap status gizi balita. Ekonomi kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. 5.1.2 Perkembangan Motorik Halus Pada Anak Usia 3-5 Tahun Hasil penelitian pada 62 anak menunjukkan bahwa sebagian besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak (90,3%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan perkembangan motorik halus pada kategori keterlambatan sebanyak 3 responden (4,8%). Hasil penelitian yang paling besar adalah balita yang memiliki perkembangan motorik halus dalam kategori normal. Perkembangan motorik halus pada anak usia sekolah berbeda pada setiap individu, terdapat anak usia 3-5 tahun yang
63
perkembangan motorik halusnya mengalami keterlambatan sebanyak (4,8%). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus adalah jenis kelamin. Dalam hal ini jenis kelamin memiliki pengaruh yang sangat besar. Anak perempuan lebih cepat mengalami perkembangan motorik halus dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini di dukung oleh Supariasa (2006) bahwa jenis kelamin di tentukan sejak awal dalam kandungan (fase konsepsi) dan setelah lahir, anak laki-laki pada usia 3-5 tahun cenderung lebih suka terhadap kreatifitas yang menggunakan kemampuan secara fisik dibandingkan dengan anak perempuan. Selain jenis kelamin perkembangan juga di pengaruhi oleh pendidikan orang tua. Dengan pendidikan orang tua yang cukup, maka orang tua lebih memperhatikan akan perkembangan anaknya di dalam melakukan perkembangan motorik halusnya. Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor pendidikan yang penting dalam tumbuh kembang anak ibu yang berpendidikan tinggi lebih terbuka menerima informasi dari luar cara mengasuh anak yang baik, pendidikan anak yang baik dan sebagainya. Pendidikan ibu akan mempengaruhi perkembangan jika ibu memiliki pengetahuan yang baik tentang pengasuhan anaknya serta adanya interaksi yang harmonis antara anak dan ibunya tanpa serta merta itu pendidikan ibu yang tinggi tidak serta merta mempengaruhi (Soetjiningsih, 2004).
64
Menurut Georgieef (2007), otak manusia mengalami perubahan struktural dan fungsional yang luar bisaa, sel-sel otak mulai terbentuk pada trimester pertama kehamilan dan berkembang pesat dalam kehamilan. Perkembangan ini berlangsung saat setelah lahir hingga usia 2-3 tahun. Dan untuk mencapai agar tumbuh kembang yang baik maka di perlukan zat gizi yang baik pula, makanan yang tidak baik akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas yang akan menyebabkan gizi kurang, keadaan gizi yang kurang akan mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak sehingga akan mengganggu di dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil penelitian perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun dengan menggunakan Denver II, kemampuan motorik halus yang dapat dicapai oleh anak usia 3-5 tahun yang perkembangan motorik halusnya baik dengan melatih koordinasi antara otak dengan ketrampilan anggota tubuh seperti meniru garis vertical (95% bisa melakukan, 5% gagal), membentuk menara dari kubus (87% bisa melakukan, 13% gagal), menggoyang ibu jari (61% bisa melakukan, 39% gagal), mencontoh lingkaran (55% bisa melakukan, 45% gagal), menggambar orang 3 bagian (47% bisa melakukan, 53% gagal), mencontoh garis menyilang (52% bisa melakukan, 48% gagal), memilih garis yang lebih panjang (60% bisa melakukan, 40% gagal), mencontoh persegi yang ditunjukkan (100% gagal), menggambar orang dan bagian (100% gagal), mencontoh persegi (100% gagal).
65
Hasil penelitian perkembangan motorik halus terhadap anak usia 3-5 tahun dapat dilihat bahwa terdapat aktifitas yang dapat dilakukan dan beberapa aktifitas yang belum dapat dilakukan. Aktifitas yang bisa dilakukan merupakan aktifitas yang memang seharusnya sudah dapat dilakukan pada usia balita tersebut, sedangkan aktifitas yang gagal dilakukan merupakan aktifitas berikutnya yang memang anak masih butuh untuk belajar. Kegagalan dalam melakukan aktifitas yang didapatkan selama penelitian bukan merupakan kegagalan karena keterlambatan, melainkan karena anak memang belum melewati usia untuk dapat diukur dengan aktifitas tersebut. Setiap ketrampilan yang dilakukan memerlukan koordinasi antara otak dengan kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan ketrampilan tertentu. Memasuki usia tahun ketiga, ketrampilan anak mulai ditingkatkan (Moehyi, 2008). Ada beberapa faktor di antaranya adalah jenis kelamin yang kebanyakan mayoritas adalah laki-laki, status gizi yang kebanyakan adalah status gizi baik, pekerjaan orang tua yang mayoritas adalah karyawan/ swasta dan pendidikan orang tua yang kebanyakan adalah SLTP sehingga dapat mempengaruhi di dalam status gizi terhadap perkembangan motorik halus balita. Masyarakat masih banyak yang belum mengetahui perbedaan motorik halus dan motorik kasar pada anak, terkadang mereka hanya memperhatikan
perkembangan
motorik
kasarnya
saja
yang
mengakibatkan motorik halusnya tidak diperhatikan, sehingga sering
66
di temukan anak dengan perkembagan motorik kasar yang bagus namun motrik halusnya kurang baik (Trihadi, 2010). Hasil penelitian didapatkan terdapat 3 responden (4,8%) yang mengalami keterlambatan motorik halus. Keterlambatan motorik halus dapat dipengaruhi karena kurangnya stimulus yang diberikan pada anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Trihadi (2010) bahwa stimulus orang tua yang dilakukan terhadap anak secara rutin akan mampu meningkatkan kemampuan anak untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri seperti memilih baju sendiri dan memakai baju sendiri. Peneliti memiliki pandangan yang sejalan dengan hasil penelitian Trihadi (2010) bahwa rangsangan stimulus yang dilakukan terus menerus akan mampu meningkatkan ketrampilan motorik halus pada balita.
5.2 Analisis Bivariat 5.2.1 Hubungan Status Gizi Dengan Perkembangan Motorik Halus Balita Usia 3-5 Tahun Hasil penelitian terhadap 62 anak didapatkan nilai koefisien korelasi (nilai r) sebesar 0,601 dan nilai signifikansi (nilai p) sebesar 0,0001. Nilai p dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen (α: 0,05) dan nilai koefisien korelasi dapat diartikan bahwa antara kedua variabel memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kekuatan hubungan pada tingkat kuat. Di dalam
67
penelitian ini status gizi sangat berhubungan dengan perkembangan motorik halus balita karena untuk mencapai perkembangan anak dibutuhkan koordinasi otak yang berkaitan dengan zat gizi otak yang didapatkan dari status gizi anak tersebut. Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak. Otak mengatur setiap gerakan yang dilakukan anak. Semakin matangnya perkembangan system saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak (Endah, 2008). Untuk mengatur otak dan yang juga penting untuk fungsi motorik normal, kedua struktur tersebut adalah sereblum dan ganglia basalis. Sereblum berperan penting dalam menentukan saat aktivitas motorik halus dari penglihatan kemudian diterjemahkan dengan menirukan apa yang anak liat. Kekurangan gizi secara umum baik kuantitas maupun kualitas menyebabkan gangguan pada prosesproses dalam struktur dan fungsi otak. Otak mencapai bentuk maksimal salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi makanan. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara permanen (Almatsier, 2005). Selain itu status gizi kurang dapat menyebabkan seseorang kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan aktivitas, orang menjadi malas dan lemah karena kekurangan gizi (Almatsier, 2005). Levitsky dan Strup (2009) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa kurang gizi menyebabkan isolasi diri (fungsional isolation) yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak
68
(conserve energy) dengan mengurangi kegiatan interaksi sosial, aktivitas, perilaku, perhatian dan motivasi, anak menjadi tidak aktif. Aplikasi teori ini adalah bahwa pada keadaan Kurang Energi dan Protein (KEP) anak menjadi tidak aktif, apatis dan tidak mampu berkonsentrasi akibatnya anak dalam melakukan kegiatan eksprolasi lingkungan fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja, dibandingkan dengan anak yang gizinya baik yang mampu melakukan dengan waktu yang lama. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Supartini (2004) bahwa asupan gizi juga penting bagi anak usia 1-3 tahun, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Apabila balita mengalami kekurangan gizi akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya, dan apabila pertumbuhnya terganggu maka masa perkembanganya juga akan terganggu.
69
BAB VI PENUTUP
6.1. Simpulan 6.1.1. Usia anak usia 3-5 di Puskesmas Miri Sragen Tahun 2015 didapatkan rata-rata usianya adalah 47 bulan dengan usia termuda adalah 36 bulan dan usia tertua adalah 59 bulan. 6.1.2. Sebagian besar pendidikan ibu responden adalah SMA sebanyak 21 anak (33,9%), dan didapatkan juga pendidikan ibu yang masih Sekolah Dasar sebanyak 10 responden (16,1%). 6.1.3. Sebagian besar status gizi anak usia 3-5 tahun adalah gizi normal sebanyak 58 anak (93,5%), dan didapatkan juga anak dengan status gizi kurang sebanyak 3 responden (4,8%). 6.1.4. Sebagian besar perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun adalah normal sebanyak 56 anak (90,3%), namun demikian masih didapatkan juga anak dengan perkembangan motorik halus pada kategori keterlambatan sebanyak 3 responden (4,8%). 6.1.5. Terdapat hubungan antara status gizi anak dengan perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun di Puskesmas Miri Sragen (nilai r: 0,601; nilai p: 0,0001).
69
70
6.2. Saran 6.2.1. Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan memberikan latihan ketrampilan penilaian perkembangan motorik halus kepada mahasiswa sebagai salah satu kompetensi mahasiswa perawat dengan memasukkan ketrampilan pada kompetensi keperawatan anak dan dievaluasi kemampuan mahasiswanya melalui uji ketrampilan klinis. 6.2.2. Bagi Puskesmas Perlunya kunjungan terhadap pemantauan tumbuh kembang anak berdasarkan data yang ada pada buku kartu menuju sehat pada saat
kegiatan
posyandu
atau
lomba
balita
sehat
meliputi
perkembangan motorik halus dan status gizinya, sehingga akan dapat mencegah
kemungkinan
komplikasi
dan
keterlambatan
perkembangan motorik halus yang dialami oleh anak. 6.2.3. Bagi Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan perlu melakukan observasi dan monitoring terhadap status gizi dengan perkembangan pada anak secara intensive pada anak usia 3-5 tahun yang dilakukan secara periodik setiap bulannya melalui kegiatan Posyandu dan dapat juga dengan menyediakan klinik balita sehat di fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas). 6.2.4. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini dapat dijadikan data dasar bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan status gizi dan perkembangan
71
motorik halus pada anak usia 3-5 tahun dengan memperhatikan rekomendasi dari penelitian ini. 6.2.5. Bagi ibu balita Ibu balita dapat secara aktif berkunjung ke posyandu atau tenaga kesehatan untuk memeriksakan perkembangan motorik halus serta dapat secara mandiri memberikan stimulasi perkembangan motorik halus kepada anaknya.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abiba, A., Grace, A.N.K., & Kubreziga, K.C. (2012). Effects of dietary patterns on the nutritional status of upper primary school children in tamale metropolis. Pakistan Journal of Nutrition, 11(7), 591-609. Diunduh tanggal 18 Oktober 2014. doi: http://search.proquest.com/docview/1371296743?accountid=38628 Almatsier, S., (2003), Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anggraeni, M.N. (2014). Perkembangan motorik halus pada anak usia 3-5 tahun berdasarkan status gizi di desa sindurjan kecamatan purworejo kabupaten purworejo. Gizi dan Kesehatan, Vol 6 No 2. Diunduh tanggal 20 Oktober 2014. Ngudi Waluyo, Ungaran. Anwar, S., (2000), Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Ariawan, I., (1998), Besar Sampel Penelitian, FKM UI, Jakarta Arisman, MB. (2007). Gizi dalam Kehidupan. Jakarta : EGC. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, R.I. (2008). Riskesda Laporan Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. BKKBN, (2006), Konsep tumbuh kembang anak dan remaja. Jakarta: Sagung Seto; 2002. Choirunisa, (2009), Usaha pelayanan kesehatan anak dalam membina keluarga sejahtera. 2008. http://library.usu.ac.id/download/fk/anakchairuddin22.pdf.diperoleh Diunduh 11 Juli 2013. Depkes RI, (2005), Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Anak Balita. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Depkes RI, (2006), Stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta Dinkes Jateng, (2012), Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. DINKES Prov Jateng. (2013). Data informasi kesehatan jawa tengah 2013.
71
73
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, (2004), Pedoman pelaksanaan stimulasi deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta. Drossard, C., et al. (2011). Anthocyanins in the diet of infants and toddlers: Intake, sources and trends. ProQuest Nursing & Allied Health Source. (14366207). Retrieved Dec 2011, from Springer Science & Business Media, http://search.proquest.com/docview/903840165?accountid=38628, diunduh tanggal 18 oktober 2014 Hurlock, E. (2009). Perkembangan anak (Edisi 6. Jilid I ed.). Jakarta: PT Erlangga. Istiany, Ari, & Ruslianti. (2013). Penilaian Status Gizi dalam Gizi terapan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kartikaningsih, L.D. (2009). Gangguan perkembangan motorik halus pada balita kurang gizi di kecamatan sumberjambe kabupaten jember. (Skripsi), Universitas Jember, Jember. Kartini, (2007), Ilmu gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Kayyisa, (2009), Penilaian pertumbuhan dan perkembangan anak. Jakarta: Sagung Seto; 2002. Kemenkes (2010), Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Direktirat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan ibu dan anak. Jakarta Laksana, (2011), Efektifitas pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu dalam pemantauan balita di kelurahan Sukaramai banda Aceh. Jakarta: FKM-UI; 2009. Marimbi. (2010). Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta : Nuha Medika Moehyi, S., (2008), Bayi sehat dan cerdas melalui gizi dan makanan pilihan. Jakarta: Pustaka Mina Muaris. H. (2006). Sarapan Sehat Untuk Anak Balita. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Notoatmojo, S., (2010), Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam, (2003), Manajemen Keperawatan: Aplikasi Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.
dalam
Praktek
Nursalam, & Pariani, S., (2005), Metode Riset Penelitian. Cetakan I. Jakarta: Sagung Seto.
74
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang anak (I. G. Ranuh Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suharsimi, A., (2005), Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi 5. Jakarta Jakarta: Rineka Cipta. Sulistyaningsih. (2012). Metotologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu Supariasa, I.N.D., (2002), Penilaian status gizi pada anak. Jakarta: EGC. Supartini, Y., (2004), Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC Sutomo, B & Anggraini, D. Y., (2010), Makanan Sehat Pendamping ASI. Demedia.Jakarta. Sutrisno. (2003). Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Uripi, Vera. (2004). Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta : Puspa Suara. WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2011). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat. Pertama. Jakarta : WHO dan IDAI Wiryo, (2002), Dampak penggunaan modul terhadap pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam menstimulasi tumbuh kembang anak. Jawa Tengah: Unsoed. 2006;1(2): 83-90. Wong, D.L., (2009), Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa: Monica Ester. Edisi 4. Jakarta: EGC.