HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN INTERNET ADDICTION PADA REMAJA
OLEH DINA YOHANNA KOLLOH 80 2008 044 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara subjective well-being dan internet addiction pada remaja. Subjek penelitian berjumlah 60 orang yang diperoleh dengan menggunakan teknik simple random sampling (sampel acak), yaitu teknik penentuan sampel dari anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. (Sugiyono, 2011). Variabel subjective well-being
diukur dengan menggunakan skala kepuasan hidup remaja (MSLSS) dari Huebner (2001) yang terdiri dari 31 aitem terpakai dan skala afek positif dan negative (PANAS) dari Watson (1988) yang terdiri dari 8 aitem terpakai. Internet Addiction diukur dengan menggunakan internet addiction test dari Young (1996) yang terdiri dari 18 aitem terpakai. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis korelasi pearson product moment dan diperoleh hasil korelasi sebesar -0,016 Dengan signifikansi 0,453 (p>0,01), menunjukkan tidak ada ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dan internet addiction yang berarti tinggi rendahnya tingkat subjective well-being tidak berpengaruh pada tinggi ataupun rendahnya tingkat internet addiction.
Kata kunci: Subjective Well-Being, Internet Addiction, Remaja
ABSTRACT This research is a quantitative one
that aims to determine the relationship between
subjective well-being and Internet addiction in adolescents. The subject of the study of 60 people
has
used simple random sampling technique (random sampling), that is
the
sampling technique of random members of the population regardless of the strata (levels) in members of the population. (Sugiyono, 2011). The Variable of subjective well-being was measured using marriageable standard of life satisfaction scale (MSLSS) from Huebner (2001) consisting of 31 used items and the positive and negative affective scale (PANAS) of Watson (1988) consisting of 8 used items. The Internet Addiction was measured using the internet addiction test of Young (1996) consisting of used 18 items. Data were analyzed using pearson product moment correlation analysis technique and the results of correlation obtained was -0.016 With the significance of 0.453 (p> 0.01), shows that there is no negative correlation between subjective well-being and internet addiction, which means no matter what the levels of subjective well-being is will not necessarily be followed by a high or low level of internet addiction. Keyword: Subjective Well-Being, Internet addiction, Adolescents
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perkembangan teknologi dari waktu ke waktu semakin terasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai sarana yang bertujuan untuk membantu aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu wujud konkret perkembangan teknologi tersebut adalah hadirnya internet. Dengan internet, aktivitas manusia menjadi lebih efisien. Kegiatan yang pada awalnya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang besar kini dapat dilakukan dengan mudah. Internet dikenal secara luas sebagai sarana untuk pertukaran informasi, penelitian akademik, hiburan, komunikasi dan promosi. Dengan internet, orang dapat dengan mudah mengakses informasi kapan saja dan di mana saja. Internet juga dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk berbisinis, ditandai dengan maraknya perdagangan online yang mempermudah transaksi jual beli tanpa harus bertemu langsung. Selain itu, internet juga menawarkan kemudahan akses komunikasi dan hiburan bagi penggunanya, diantaranya layanan email, mailing list atau group diskusi, serta berbagai jenis jejaring sosial yang saat ini banyak digunakan seperti facebook, twitter, yahoo, youtube, online game serta berbagai layanan lainnya. Sekalipun internet menyediakan berbagai kemudahan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, penyalahgunaan dalam mengakses internet juga memiliki dampak negatif bagi para penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut adalah kecanduan terhadap internet atau internet addiction. Menurut Young (1996) kecanduan internet atau internet addiction adalah situasi di mana seorang pengguna
2
internet melupakan realitas yang ada karena merasa lebih senang berada dan berinteraksi melalui dunia maya. Internet addiction digolongkan oleh Young (1996;1998) sebagai penggunaan internet secara berlebihan yang mengganggu pola tidur, produktivitas kerja, aktivitas sehari-hari dan kehidupan sosial seseorang. Kriteria kecanduan internet sendiri antara lain secara berlebihan memikirkan aktivitas yang dilakukan di internet; merasa perlu untuk menggunakan internet
dengan durasi yang terus meningkat; gagal dalam
usahanya untuk mengontrol, mengurangi atau menghentikan pemakaian internetnya; merasa gelisah, depresi, dan sensitif ketika pemakaian internetnya dikurangi atau dihentikan sama sekali; menghabiskan lebih banyak waktu dari yang direncanakan di internet; beresiko kehilangan kesempatan atau pendidikan atau karir; berbohong kepada orang lain (keluarga, teman-teman, terapis, dan sebagainya) tentang durasi pemakaian internet, menggunakan internet untuk melarikan diri dari masalah atau perasaan negatif (seperti putus asa, rasa bersalah, kelelahan, khawatir). Dengan demikian, perilaku kecanduan internet merupakan perilaku penggunaan internet lebih dari kebutuhan sehingga mengganggu produktivitas kehidupan seseorang. Gejala kecanduan terhadap internet sekarang ini mulai berkembang tanpa disadari oleh para penggunanya. Survey yang dilakukan oleh salah satu internet provider di Jerman menemukan dari 1900 responden, 12% diantaranya menghabiskan waktu 10 jam sehari untuk online sementara 13% responden mengatakan menghabiskan 6 sampai 10 jam untuk online dalam satu hari. Di China, 6,4% mahasiswa mengalami kecanduan internet dengan rata-rata pemakaian 38,5 jam dalam seminggu. Pada kenyataannya, menurut Greenfield, 6% dari pengguna internet mengalami kecanduan.
3
Ada
banyak
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
seseorang
sehingga
mengembangkan perilaku kecaduan terhadap internet. Salah satu faktor tersebut adalah tinggi atau rendahnya level subjective well-being orang tersebut. Subjective well-being adalah sebuah evaluasi kognitif dan afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003). Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Sedangkan individu dengan subjective well-being yang rendah, memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995). Komponen subjective well-being sendiri terdiri dari komponen kepuasan hidup, di mana individu menilai kualitas hidupnya secara global; kepuasan domain, di mana individu menilai aspek khusus dalam hidupnya; dan komponen afektif, yang terdiri dari perasaan positif dan negatif seseorang. Dengan demikian subjective well-being adalah sebuah konsep yang luas mencakup tingginya tingkat kepuasan hidup serta pengalaman emosi menyenangkan, dan level perasaan negatif yang rendah (Diener et al, 1999). Untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan negatif ini, individu biasanya akan mencari tindakan pelarian, salah satunya penggunaan internet. Young (2006), menyatakan individu menggunakan internet untuk melarikan diri dari masalah atau perasaan negatif (seperti putus asa, rasa bersalah, kelelahan, khawatir). Hal ini didukung oleh pernyataan La Rose et al bahwa individu menggunakan internet untuk mengurangi intensitas dari emosi negatif dan stres yang sedang dirasakan. Kraut et al menyatakan, individu yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggunakan internet
4
merupakan individu yang seringkali merasakan depresi dan kesepian (Dalam putri, 2013). Sejalan dengan itu, penelitian Ayas dan Horzu yang berjudul “Relation Between Depression, Loneliness, Self-esteem and Internet addiction” juga menemukan adanya hubungan positif antara depresi dan kesepian dengan internet addiction. Studi tentang internet addiction menunjukkan bahwa karakteristik seperti rasa malu, tanda-tanda depresi dan self-estem yang rendah (Aydin and Sari, 2011 dalam Cardak, 2013) dihubungkan dengan kecenderungan internet addiction (Yang & Tung, 2007 dalam Cardak, 2013). Penelitian lain yang serupa yaitu “From the Perspective of Loneliness and Kognitive Absorption Internet addiction as Predictor and Predicted” menyatakan kesepian, secara positif dan berarti mempengaruhi internet addiction. Saat level kesepian individu meningkat, individu tersebut dapat teradiksi internet, dan sebaliknya seorang yang teradiksi internet secara bertahap dapat merasa kesepian (Celik, Korkmaz & Usta, 2014). Dalam penelitian “Evaluation of The Relationship Between Internet addiction and Depression in University Students”, disebutkan bahwa ada hubungan positif antara internet addiction dengan depresi. Hasil penelitian menunjukkan level internet addiction lebih tinggi pada subjek yang mengalami depresi (Sahin, et al, n,d). Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan, dapat dilihat bahwa depresi, kesepian, kecemasan, perasaan rendah diri serta rasa malu termasuk afek negatif yang merupakan salah satu komponen subjective well-being. Individu yang sering mengalami perasaan-perasaan negatif tersebut dapat dikatakan memiliki level subjective well-being yang rendah. Hal inilah yang mengacu pada perilaku internet addiction sebagai cara untuk menghindar atau mengurangi perasaan-perasaan negatif tersebut. Namun, hasil
5
penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Namzi et al (dalam Seifi dkk, 2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah penggunaan internet dengan level depresi pada penggunanya. Pada penelitian lainnya mengenai subjective well-being pada mahasiswa yang menggunakan internet secara berlebihan ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara subjective well being dengan problematic internet use atau internet addiction (Putri, 2013). Fenomena kecanduan internet saat ini dialami oleh berbagai kelompok usia, termasuk remaja sebagai pengguna internet terbanyak.
Laporan aktual pemerintah
Jerman menyangkut kasus kecanduan menyebutkan, lebih setengah juta warga pada kisaran umur 14 hingga 64 tahun mengidap kecanduan internet. Sekitar 250.000 pecandu internet adalah remaja berusia antara 14 hingga 24 tahun. Remaja lelaki lebih berisiko kecanduan games internet, tapi yang juga menarik, kaum perempuan lebih banyak yang mengidap kecanduan surfing di jejaring sosial dibanding laki-laki (Lichtenberg, 2012). Kasus kecanduan internet yang dialami oleh remaja juga terjadi di Tiongkok di mana seorang remaja berusia 19 tahun dilaporkan nekat memotong tangannya sendiri demi menghilangkan ketergantungannya terhadap internet (Paragian, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa remaja, didapatkan informasi bahwa mereka akan merasa marah, stres dan kesepian jika penggunaan internetnya dibatasi atau dikurangi. Para remaja tersebut menyatakan, bahwa mereka lebih senang mengakses internet ketika menghadapi masalah atau ketika merasakan emosi-emosi negatif. Selain itu mereka juga mengaku bahwa dalam sehari mereka bisa menghabiskan waktu untuk mengakses internet lebih dari empat jam. Data
dari
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
(Kemkominfo)
menyatakan, pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta
6
orang. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Remaja memang tercatat sebagai pengguna internet terbesar. Di Indonesia sendiri remaja pengguna internet mencapai 80% dari total 83,7 juta pengguna internet tanah air (Paragian, 2014). Hal ini disebabkan pada usia tersebut, remaja pada umumnya masih duduk di bangku pendidikan sehingga untuk memudahkan proses belajar mengajar, remaja dituntut untuk menguasai teknologi, salah satunya layanan
internet. Selain itu, tuntutan pergaulan juga mempengaruhi remaja untuk
semakin banyak mengakses internet. Gunuc & Dongan (dalam Evren, Dalbudak, & Demirci, 2014) menyatakan remaja cenderung lebih tertarik dengan teknologi sehingga itu membuat mereka menggunakan internet lebih sering dibanding kelompok usia lainnya. Penggunaan internet yang lebih sering di kalangan remaja yang belum matang secara psikologis serta masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat menempatkan mereka pada resiko internet addiction (Tsai & Lin, 2003 dalam Evren, Dalbudak, & Demirci, 2014). Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa terdapat kecenderungan rendahnya tingkat kepuasan hidup pada orang-orang muda (Erlich & Isaacowitz, 2002). Remaja juga memiliki level depresi yang tinggi dibanding orang dewasa. Pada masa remaja, umumnya akan terjadi berbagai perubahan, baik itu fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada kesejahteraan emosional remaja dan dapat menyebabkan stres yang luar biasa (Goldbeck, dkk, 2007). Arnet (1999) mengemukakan bahwa remaja merasakan self-concious dan kebingungan dua atau tiga kali lebih sering daripada orang tua mereka dan juga cenderung merasa canggung, kesepian, cemas dan diabaikan.
7
Perasaan-perasaan negatif yang dialami oleh remaja tersebut jika terus menerus dialami oleh remaja akan mempengaruhi rendahnya level subjective well-being pada remaja. Hal inilah yang dapat mengacu pada perilaku internet addiction, sebagai salah satu bentuk pelarian dari perasaan-perasaan negatif yang dialami remaja tersebut. Oleh sebab itu penelitian yang hendak dilakukan adalah hubungan antara subjective wellbeing dengan internet addiction pada remaja.
Hubungan Subjective well-being dengan Internet addiction pada Remaja Dampak dari kemajuan teknologi tidak selalu dirasakan dan ditanggapi secara positif oleh manusia. Salah satu wujud kemajuan teknologi yaitu hadirnya internet justru memiliki dampak negatif bagi penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut adalah perilaku kecanduan internet. David Greenfield (dalam Ningtyas, 2012) menyatakan 6% dari pengguna internet mengalami kecanduan. Salah satu hal yang mempengaruhi internet addiction atau perilaku kecanduan internet adalah tingkat subjective well-being seseorang. Subjective well-being diketahui sebagai evaluasi kognitif dan afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003) yang ditandai dengan tingginya kepuasan hidup serta perasaan positif serta rendahnya perasaan negatif. Munculnya internet addiction, dikatakan oleh Young (1996) merupakan salah satu upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindar atau melupakan perasaan negatif yang sering dialaminya. Data menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok usia pengguna internet terbanyak. Selain pendidikan, hiburan juga menjadi alasan remaja mengakses internet. Dreier, dkk (2012) menyatakan, remaja lebih tertarik menggunakan internet karena karakteristik mereka dan keinginan mereka untuk mendapatkan feedback positif dari
8
pertemuan secara online (disukai, semakin ahli dalam bermain games, merasa sama dan mengisi waktu kosong). Namun di sisi lain, remaja sebagai pengguna internet terbesar juga memiliki resiko yang besar untuk mengembangkan perilaku kecanduan internet. Tsai & Lin (2003) menyatakan, penggunaan internet yang lebih sering di kalangan remaja yang belum matang secara psikologis serta masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat menempatkan mereka pada resiko internet addiction.
Hipotesis Ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction. Semakin tinggi tingkat subjective well-being maka semakin rendah tingkat internet addiction. Sebaliknya semakin rendah tingkat subjective well-being maka semakin tinggi tingkat internet addiction.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional. Variabel bebas pada penelitian ini adalah subjective well-being. Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah internet addiction Populasi dan Sampel Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15-18 tahun. Pengambilan data penelitian ini dilakukan di SMU Kristen 1 Salatiga dengan jumlah populasi 519 orang. Sugiarto dan Siagian Sunaryo (dalam Saptanto, 2010) menyatakan, jumlah
9
sampel untuk peneliti pemula dapat berjumlah 10% dari total populasi, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang. Pengukuran Alat ukur yang digunakan untuk mengukur
variabel Subjective well-being
adalah Multidimensional Students Life Satisfaction Scale oleh Huebner (2001) serta Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) dari Watson, Clark, dan Tellegen (1988). Skala MSLSS dirancang untuk mengukur kepuasan hidup remaja dan kepuasan domain tertentu mencakup sekolah, lingkungan tempa tinggal, teman, keluarga dan diri sendiri. Skala ini terdiri dari 40 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 31 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,304 – 0,706 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,892 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel. Pada skala PANAS yang digunakan untuk mengukur afek positif dan negatif yang dirasakan oleh remaja, terdapat 20 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 8 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,49 – 0,733 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,850 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel. Untuk menentukan skor subjective well-being (SWB), maka data pada aspek kepuasan hidup yang diukur dengan menggunakan MSLSS serta afek yang diukur dengan PANAS diubah menjadi z skor dan t skor terlebih dahulu, baru kemudian keduanya dijumlahkan sehingga menghasilkan skor SWB (Suwito,2013). Sementara itu untuk mengukur variabel internet addiction, alat ukur yang digunakan adalah Internet addiction Test dari Young (1996). Alat ukur ini terdiri dari 20 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 18 aitem terpakai
10
dengan nilai r (corrected item total correlation) bergerak dari 0,378 – 0,765 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,906 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel. HASIL PENELITIAN Uji Asumsi a. Uji Normalitas Penelitian ini menggunakan uji normalitas yang dilihat melalui KolmogrovSmirnov. Data berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0.05 (Santoso, 2000). Tabel 1 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test internet_addictio n N
kepuasan_hidup
panas
60
60
60
36.4667
149.0833
21.4167
10.97372
15.64792
6.13214
Absolute
.114
.077
.110
Positive
.114
.061
.110
Negative
-.063
-.077
-.073
Kolmogorov-Smirnov Z
.883
.595
.855
Asymp. Sig. (2-tailed)
.417
.870
.457
Normal Parameters
a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan hasil pengujian normalitas, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,870 (p>0,05) untuk komponen kepuasan hidup dari variabel subjective well-being, serta 0,457 (p>0,05) untuk komponen afek dari variabel subjective well-being dan 0,417 (p>0,05) untuk variabel internet addiction. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga data berdistribusi normal.
11
b. Uji Linearitas Uji Linearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang linear signifikan antara variabel. Hubungan variabel dapat dikatakan linear jika nilai signifikansinya > 0,05. Tabel 2 Uji Linearitas ANOVA Table Sum of Squares Internet_Addiction * SWB
Between Groups
(Combined) Linearity Deviation from Linearity
Within Groups Total
7104.433 1.724 7102.710
Mean df
Square
F
58 122.490 244.980 1
.051
3.448
.315
57 124.609 249.218
.050
.500
1
7104.933
59
1.724
Sig.
.500
Berdasarkan uji linearitas antara subjective well-being dan internet addiction, terdapat signifikansi sebesar 0,315 (p>0,05). Hal ini menunjukkan hubungan keduanya bersifat linear. Analisis Deskriptif a. Variabel Internet addiction Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal dan standar deviasi sebagai standar pengukuran skala:
12
Tabel 3 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Internet addiction Descriptive Statistics N
Minimum
Internet_addiction
60
Valid N (listwise)
60
18
Maximum
Mean
69
Std. Deviation
36.47
10.974
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui skor internet addiction paling tinggi adalah 69 dan paling rendah 18. Skor rata-ratanya adalah 36,47 dengan standar deviasi 10,974. Skala internet addiction memiliki 18 aitem dengan lima kategori jawaban yaitu jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering, dan selalu. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 5. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 5 x 18 = 90 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 18 =18. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:
Tabel 4 Kategorisasi Pengukuran Internet addiction Skor
Kategorisasi
N
%
75,6 ≤ x <90
Sangat Tinggi
0
0%
61,2 ≤ x < 75,6
Tinggi
3
5%
46,8 ≤ x < 61,2
Sedang
6
10%
32,4 ≤ x < 46,8
Rendah
26
43,3%
13
18 ≤ x < 32,4
Sangat Rendah
25
Mean=36,4
SD=10,974
N=60
41,6%
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu 0% partisipan berada dalam kategori sangat tinggi, 5% tinggi, 10% sedang, 43,3% rendah dan 41,6% sangat rendah. Maka secara umum dapat dikatakan tingkat internet addiction pada subyek tergolong rendah. b. Variabel SWB (Kepuasan Hidup) Tabel 5 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Kepuasan Hidup Descriptive Statistics N
Minimum
Kepuasan_hidup
60
Valid N (listwise)
60
112
Maximum 181
Mean 149.08
Std. Deviation 15.648
Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui skor kepuasan hidup paling tinggi adalah 181 dan paling rendah 112. Skor rata-ratanya adalah 149,08 dengan standar deviasi 15,648. Skala kepuasan hidup memiliki 31 aitem dengan enam kategori jawaban yaitu sangat setuju, setuju, agak/sedikit setuju, agak/sedikit tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 6. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 6 x 31 = 186 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 31 =31. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:
14
Tabel 6 Kategorisasi Pengukuran Kepuasan Hidup Remaja Skor
Karakteristik
N
%
155 ≤ x < 186
Sangat Tinggi
24
40%
124 ≤ x < 155
Tinggi
31
51,67%
93 ≤ x < 124
Sedang
5
8,33%
62 ≤ x < 93
Rendah
0
0%
31 ≤ x < 62
Sangat Rendah
0
0%
Mean=149,08
SD=15,648
N=60
Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu 40% partisipan berada dalam kategori sangat tinggi, 51,67% tinggi, 8,33% sedang, 0% rendah dan 0% sangat rendah. Maka secara umum dapat dikatakan tingkat kepuasan hidup pada subyek tergolong tinggi. c.
Variabel SWB (Afek) Tabel 7 Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Afek Descriptive Statistics N PANAS Valid N (listwise)
Minimum 60
10
Maximum 35
Mean 21.42
Std. Deviation 6.132
60
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui skor afek paling tinggi adalah 35 dan paling rendah 10. Skor rata-ratanya adalah 21,42 dengan standar deviasi 6,132. Skala PANAS
15
memiliki 8 aitem dengan lime kategori jawaban yaitu sangat sedikit/tidak sama sekali, sedikit, rata-rata, agak banyak, dan sangat banyak. Adapun kategori jawaban yang digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 5. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 5 x 8 = 40 dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 8 =8. Untuk mengetahui level internet addiction digunakan interval dengan ukuran:
Tabel 8 Kategorisasi Pengukuran Afek Skor
Karakteristik
N
%
33,6 ≤ x < 40
Sangat Tinggi
0
0%
27,2 ≤ x < 33,6
Tinggi
9
15%
20,8 ≤ x < 27,2
Sedang
20
33,3%
14,4 ≤ x < 20,8
Rendah
26
43,3%
8 ≤ x < 14,4
Sangat Rendah
5
8,3%
Mean=21,42
SD=6,132
N=60
Berdasarkan tabel 6, dapat dilihat bahwa presentase di setiap kategori yaitu 0% partisipan berada dalam kategori sangat tinggi, 15% tinggi, 33,3% sedang, 43,3% rendah dan 8,3% sangat rendah. Maka secara umum dapat dikatakan level afek yang dirasakan subyek penelitian tergolong rendah, khususnya afek negatif, dimana setelah dilakukan uji validitas aitem, 8 aitem terpakai merupakan aitem yang mewakili afek negatif.
16
Analisis Korelasi Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas dan linearitas, hubungan antara kedua variabel didapati berdistribusi normal dan bersifat linear. Dengan demikian uji korelasi yang digunakan adalah pearson product moment dengan menggunakan SPSS 16.0 Berdasarkan hasil uji korelasi, didapatkan hubungan sebesar -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05). Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction pada remaja.
Tabel 7 Uji Korelasi Subjective Well- Being dan Internet addiction Correlations internet_addictio SWB SWB
Pearson Correlation
n 1
-.016
Sig. (1-tailed)
.453
N internet_addiction
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
60
60
-.016
1
.453
N
60
60
Tabel 8 Uji Korelasi Kepuasan Hidup dan Internet addiction Correlations internet_addictio n internet_addiction
Pearson Correlation
kepuasan_hidup 1
Sig. (1-tailed) N kepuasan_hidup
Pearson Correlation
-.119 .183
60
60
-.119
1
17
Sig. (1-tailed)
.183
N
60
60
Tabel 9 Hasil Uji Korelasi Afek dan Internet addiction Correlations internet_addictio n internet_addiction
Pearson Correlation
afek 1
Sig. (1-tailed) N afek
.100 .224
60
60
Pearson Correlation
.100
1
Sig. (1-tailed)
.224
N
60
60
Hasil uji korelasi antara kepuasan hidup yang merupakan salah komponen kognitif dari subjective well-being dengan internet addiction menunjukkan korelasi sebesar -0,119 dengan signifikansi sebesar 0,183 (p>0,05) sehingga tidak ada korelasi negatif yang signifikan antara kepuasan hidup dan internet addiction. Sedangkan uji korelasi antara afek dengan internet addiction menunjukkan korelasi sebesar 0,100 dengan signifikansi sebesar 0,224 (p>0,05), sehingga tidak terdapat korelasi positif yang signifikan antara afek dengan internet addiction. Sementara korelasi antara subjective well-being dengan internet addiction adalah sebesar -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05) sehingga tidak terdapat korelasi negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction.
18
PEMBAHASAN Hasil perhitungan korelasi product moment antara variabel subjective well-being dengan internet addiction didapatkan hasil r = -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05) Data tersebut menunjukkan bahwa variabel subjective well-being dengan internet addiction tidak memiliki hubungan negatif yang signifikan. Artinya, tinggi ataupun rendahnya tingkat subjective well-being belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Berdasarkan hasil perhitungan, didapati kepuasan hidup sebagai salah satu komponen subjective well-being, memiliki korelasi negatif yang tidak signifikan dengan internet addiction dengan nilai r = -0,119 dan signifikansi sebesar 0,183 (p>0,05). Tinggi ataupun rendahnya kepuasan hidup belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction. Dari data yang ada, diketahui bahwa subjek penelitian memiliki tingkat kepuasan hidup tinggi (51,67%) dan tingkat internet addiction rendah (43,3%). Secara umum kepuasan hidup remaja dalam penelitian kini dilaporkan positif (Funk et al., 2006; Huebner et al ., 2000; Huebner et al, 2005; Park and Huebner, 2005 dalam Saric, dkk, 2009). Pernyataan ini didukung oleh Oladipo et al, (nd) yang menyatakan bahwa kebanyakan remaja diketahui memiliki level kepuasan hidup yang positif. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Ryff (1989) yang menyatakan bahwa subjective well-being meningkat seiring bertambahnya usia. Hasil penelitian Goldbeck, dkk (2007) menemukan adanya penurunan kepuasan hidup pada siswa usia 11-16 tahun di Jerman (Fajarwati, 2014). Remaja dengan tingkat kepuasan
19
hidup yang tinggi pada umumnya memiliki relasi interpersonal yang baik serta sehat secara fisik dan mental. Selain itu beberapa ilmuwan menyatakan bahwa kepuasan hidup yang tinggi dapat mencegah gangguan psikis yang dapat muncul karena pengalaman-pengalaman hidup yang menekan (Saric, Brajsa & Sakic, 2008).
Sementara itu hasil perhitungan juga menunjukkan adanya nilai korelasi afek dengan internet addiction sebesar 0,100 dengan signifikansi 0,224 (p>0,05) yang berarti ada tidak korelasi positif yang signifikan antara afek dalam hal ini afek negatif dengan internet addiction. Dengan demikian tinggi atau rendahnya afek yang dirasakan belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa, variabel psikologis seperti kesepian, depresi, kecemasan dan stres diketahui memiliki korelasi dengan penggunaan internet bermasalah. Bagi remaja, internet digunakan untuk mengatasi stres dengan cara menghindar dari tugas kognitif dengan melakukan aktivitas pengalihan (Panicker & Sachdev, 2014). Pendapat lain yang sejalan dengan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh Seifi, Ayati & Fadaei (2014) dimana dikatakan untuk menentukan hubungan antara kecemasan dan stres dengan internet addiction, kita dapat menetapkan bahwa kecemasan yang tinggi dan stres bisa ada sebelum penggunakan internet, di mana individu yang merasa cemas, menggunakan internet sebagai pelarian. Namun Dreier et al (2012) mengatakan bahwa remaja merasa tertarik dengan internet karena karakteristik perkembangan mereka dan keinginan mereka yang besar untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang luas, dengan cepat mengetahui informasi terbaru, menjaga komunikasi dan hubungan dengan teman-teman yang sudah
20
ada maupun teman baru serta untuk bersenang-senang (Flora, nd). Dengan demikian, alasan remaja menggunakan internet tidak selalu karena ingin melarikan diri dari emosi negatif. Dari penelitian, didapati tingkat internet addiction yang tergolong rendah pada subyek, yaitu 43,3%. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Sazmas, Tayar dkk (2013) yang menyatakan bahwa resiko internet addiction terbilang tinggi di kalangan siswa SMA. Remaja pada umumnya mengalami perubahan-perubahan serius dalam masa perkembangan sehingga mereka lebih mudah terbawa oleh lingkungan internet yang menarik.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara subjective well-being dengan intenet addiction pada remaja, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction yang ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar -0,016 dengan signifikansi 0,453 (p>0,05) yang berarti tinggi atau rendah tingkat subjective well being belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction.
2.
Tingkat internet addiction sebagian besar subyek tergolong rendah yaitu 43,3%, tingkat kepuasan hidup tergolong tinggi yaitu 51,67% dan tingkat afek dalam hal ini afek negatif tergolong rendah yaitu 43,3%.
SARAN
21
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, beberapa hal yang disarankan sebagai berikut: 1. Bagi Remaja Remaja dapat mempertahankan tingkat kepuasan hidup yang dimiliki. Dengan cara menambah aktivitas yang membangun remaja ke arah positif. Remaja juga diharapkan dapat mengontrol penggunakan internetnya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya Dari hasil penelitian ini diketahui masih banyak kekurangan. Peneliti selanjutnya dapat memperluas populasi dan jumlah sampel penelitian. Selain itu peneliti selanjutnya juga dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi internet addiction seperti gender, kondisi sosial ekonomi dan alasan penggunaan internet. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti secara lebih spesifik faktor psikologis seperti kesepian, kontrol diri, self-esteem serta faktor psikologis lain yang mempengaruhi internet addiction.
DAFTAR PUSTAKA Arnet, J.J (1999) Adolescent Storm and Stres, Reconsidered. American Psychologist. 54(5). 317-326
Ayas, T& Horzu, M. Relation Between Depression, Loneliness,Self-Esteem And Internet addiction. Education. 133(3)
Ben-Zur, H (2003). Happy Adolescents: The Link Between Subjective well-being, Internal Resources, and Parental Faktors. Journal of Youth and Adolescence. 32(2), 67-79
22
Bhakti, T.(2013). Pengertian Internet Manfaat dan Kegunaan Internet Secara Umum. Diunduh pada 04 Mei 2015, dari http://karangtarunabhaktibulang.blogspot.com/2013/05/pengertian-internetmanfaat-dan-kegunaan-internet-secara-umum.html
Cardak, M. (2013). Psychological Well-Being And Internet addiction Among University Students. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational Technology. 12(3)
Celik, V., Yesilyurt, E., Korkmaz, O & Usta, E (2014). From the Prespective of Loneliness and Cognitive Absorption Internet addiction as Predictor and Predicted. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 10(6): 581-594
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bullentin. 95 (3), 542-575
Ehrlich, B. S & Isaacowitz, D. M (2002). Does Subjective well-being Increase with Age? Perspective in Psychology. 21-26
Evren, C., Dalbudak, E., Evren, B & Demirci, A.C. (2014). High Risk of Internet addiction and Its Relationship With Lifetime Substance Use, Psychological and Behavioral Problems Among 10th Grade Adolescents. Psychiatria Danubina. 26 (4), 330-339
Fajarwati, D. I. (2014). Hubungan Dukungan Sosial dan Subjective well-being pada Remaja SMP N 7 Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Program Studi Psikologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Flora, K. Internet addiction Disorder Among Adolescents And Young Adults: The Picture In Europe And Prevention Strategies. Perspective on Youth. 119-132
Hoorn, A. V. 2007. A Short Introduction to Subjective well-being: Its Measurement Correlates and Policy uses. Nijmegen Center For Economics: Radbound University Nijimegen
23
Huebner, S.E. (2001). Manual for the multidimensional student’s life satisfaction scale. Diunduh pada 10 September 2015 dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source
Isiklar, A & Sar, A. H. (2011). Internet addiction Among Adolescents and Its Relation to Subjective well-being. International Journal of Academic Research. 3(6) II Part
Karim, Rezaul A.K.M (2014). The Impact of Internet addiction on Life Satisfaction and Life Engagement in Young Adults. Universal Journal of Psychology. 2(9), 273284
Lichtenberg, A (2012). Kasus Kecanduan Internet Meningkat. Diunduh pada 21 Mei 2015 dari http://www.dw.de/kasus-kecanduan-internet-meningkat/a-15995770
Moghaddam, H., & Malmir T (2015). Investigating the Relationship between Subjective Well- being and Students’ Addiction to Internet among Female Students (case study: Guidance Schools and High Schools of Districts 4 and 8 of Tehran). Magnt Research Report. 3 (1). 723-731
Ningtyas, S. D (2012). Hubungan Antara Self-Control dengan Internet addiction pada Mahasiswa. Educational Psychology Journal.
Oladipo, S. E., Olapegba, P. O., Adenaike, F. A. Evidence of Low Life Satisfaction Among Undergraduates in Southwest Nigeria. International Journal of Asian Social Science. 2 (10), 1718-1723
S, Sahin., K, Ozdemir & A, Unsal. Evaluation of The Relationship Between Internet addiction and Depression in University Students. Medicinski Glasnik. Str. 1427
Saptanto, H. N. (2010). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga dengan Kesepian pada Remaja. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana
Saric, Z. R., Zganec, A. B., Sakic, M. (2008). Life Satisfaction in Adolescents: The Effect of Perceived Family Economic Status, Self Estem & Quality of Family & Peer Relationship. Drus.Istraz. Zagreb God. 18. Str. 547-564
24
Sazmas, T., Oner, Seva., Kurt, O. A.,& Yapici, Gulcin. (2013). Prevalence and risk factors of Internet addiction in high school students. The European Journal of Public Health. 24 (1), 15-20
Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS Statistic Parametric. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Setyawan, F. A. (2014). Hubungan Antara Religiusitas Dan Subjective Well Being Pada Remaja Islam Salatiga. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana
Seifi, A., Ayati, M & Fadaei, M (2014). The Study of the Relationship between Internet addiction and Depression, Anxiety and Stres among Student of Islamic Azad University of Birjand. International Journal of Economy, Management and Social Sciences. Vol.3(12).28-32
Smahel, D., Brown, Bradford B., & Blinka, L (2012). Associations Between Online Friendship and Internet addiction Among Adolescents and Emerging Adults. Developmental Psychology. 48.(2), 381-388
Sugiyono (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta . Suwito, L. D. (2013). Hubungan Komitmen Dalam Berpacaran Dengan Subjective wellbeing Pada Mahasiswa UKSW Salatiga yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak Jauh. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Satya Wacana.
Sasmaz, T., Oner, S., Kurt, A. O., Yapici, G., Bugdayci, R., & Sis, M. (2013). Prevalence And Risk Factors Of Internet addiction In High School Students. Eur J Public Health. 24 (1), 15-20
Panicker, J & Sachdev, R. (2014). Relation Among Lonelines, Depression, Axiety, Stres And Problematic Internet Use.Impact. International Journal of Research in Applied, 2(9), 1-10
Paragian, Y. (2014). Dalam 5 Tahun Terakhir, Jumlah Pengguna Internet Indonesia Naik 430 Persen (GRAFIK). Diunduh pada 21 Mei 2015 dari
25
http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internetindonesia-naik-430-persen-grafik/
Putri, N. (2013). Subjective well-being Mahasiswa yang Menggunakan Internet Secara Berlebihan. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2(1)
Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief Measures of Positive and Negative Affect: The PANAS Scales. Journal of Personality and Social Psychology. 54(6), 1063-1070.
Yilmaz, H & Arslan, C. (2013). Subjective well-being, Positive and Negative Affect in Turkish University Students. TOJCE, 2(2), 1-8
Young, K. (2004). Internet addiction: A New Clinical Phenomenon and Its Consequences. American Behavioral Scientist. 48(2), 402-415
Yusuf, O. (2014). Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia. Diunduh pada 21 Mei 2015 dari http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/pengguna.internet.indonesia . nomor.enam.dunia
Yusuf, O. (2015). Kecanduan Internet, Remaja Potong Tangan Hingga Putus. Diunduh pada 21 mei 2015 dari http://tekno.kompas.com/read/2015/02/08/2045006/kecanduan.internet.remaja. potong.tangan.hingga.putus