perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE-KABUPATEN CILACAP
TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa Dan Sastra Jawa
Oleh Ageng Nugraheni S441008001
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya tesis dengan judul Hubungan antara Penguasaan Kosakata dan Minat Belajar dengan Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa Siswa Kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S., selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M. S. selaku direktur Program Pascasarjana. 3. Prof. Dr. H. J. Waluyo, M. Pd selaku Ketua Program studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Univerisitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Univerisitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Prof. Dr. H. Sumarlam, M. S selaku Koordinator Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd selaku Pembimbing I yang telah memberikan banyak bimbingan. 7. Drs. Supardjo, M. Hum selaku Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk dan pengarahan. 8. Ibu, Bapak, mas, mbak, dan adik-adik yang telah memberikan perhatian, kepercayaan, semangat, dan doa. 9. Teman-teman S2 Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan semangat. Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian diharapkan tetap bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Surakarta, Januari 2012
Penyusun
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu BERSYUKUR (Q. S An-Nahl: 78)
Jujurlah dari sekarang jika ingin bisa jujur selamanya. Karena satu kebohongan akan disusul kebohongan lain untuk menutupinya. (penulis)
Jalani saja apa yang harus dijalani sekarang, karena pada saatnya nanti kamu akan tahu semua yang harus kamu jalani itu hanya untuk kemajuanmu di masa depan. (penulis)
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persembahan
Ibu dan Bapakku tercinta, terimakasih tiada henti atas doa, kepercayaan, dan perhatian yang tak terhitung. Mas Nandang, mbak Ani, tante Wiwik, hom Bagus, mas Usup, dan dedek Andra terkasih, terimakasih atas doa, dukungan, dan cinta kalian untukku. Simbokku tersayang, terimakasih atas cita-citamu. Keluarga dan teman-temanku, terimakasih untuk kasih sayang yang telah diberikan.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
AGENG NUGRAHENI, NIM: S. 441008001, 2012. HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE – KABUPATEN CILACAP. Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. Pembimbing II: Drs. Supardjo, M. Hum. Tesis. Program Studi: Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap; (2) Hubungan antara minat belajar dengan dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap; (3) Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei korelasional. Populasi penelitian ialah seluruh siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap. Sampel diambil dengan teknik multi-stage random sampling sejumlah 169 siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes dan angket. Uji validitas instrumen menggunakan rumus product moment Pearson. Uji reliabilitas instrumen menggunakan rumus alpha Cronbach. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik dengan teknik korelasi sederhana dan regresi ganda. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap (r = 0,327 dan p = 0,000; p < 0,05). 2) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap (r = 0,304 dan p = 0,000; p < 0,05). 2) Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap (r = 0,447 dan p = 0,000; p < 0,05). Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, saran yang dapat diberikan adalah: (1) Sekolah hendaknya memberikan dukungan penuh bagi terbentuknya lingkungan belajar yang efektif di sekolah dengan meyediakan sarana bagi guru dan siswa untuk dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa; (2) Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki latar belakang minat belajar yang berbeda, sehingga guru hendaknya memiliki trik untuk dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar.
Kata kunci: Bahasa Jawa, Kemampuan Berbicara, Penguasaan Kosakata, Minat Belajar
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
AGENG NUGRAHENI, S441008001. A CORRELATIONAL STUDY BETWEEN VOCABULARY MASTERY, LEARNING INTEREST, AND SPEAKING JAVANESE ABILITY OF THE TENTH GRADE STUDENTS OF SMA NEGERI IN CILACAP REGENCY. The first commission of supervision: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. The second supervision is Drs. Supardjo, M. Hum. A thesis, Department: Indonesian Education, Prime Interest: Javanese Education and Literature, Graduate School of Sebelas Maret University, 2012. The aims of this thesis are : (1) to know the correlation between vocabulary mastery and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. (2) to know the correlation between learning interest and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. (3) to know the correlation between vocabulary mastery, learning interest, and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. The method used in this research was the correlational survey. The population of this research was the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency. The sample of this research was taken by using multi-stage random sampling at 169 students. The techniques of collecting data were test and questionnaire. The test of validity of the instrument used product moment Pearson and the test of reliability used alpha cronbach. The technique of analyzing data were statistic analysis of simple correlation and double regression. Based on the result of this research, it can be concluded that: 1) There was a significant positive correlation between vocabulary mastery and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r= 0.327 and p = 0.000; p <0.05). 2) There was a significant positive correlation between learning interest and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r = 0.304 and p = 0.000; p <0.05). 3) There was a significant positive correlation between vocabulary mastery, learning interest, and speaking Javanese ability of the tenth grade students of SMA Negeri in Cilacap Regency (r = 0.447 and p = 0.000; p < 0.05). Based on the result and the conclusion, the writer suggests that: (1) The school should fully support the effective learning/ studying atmosphere by providing the teachers and the students with devices improving the students vocabulary mastery; (2) Teachers should understand the students’ different background of learning interest, so that they should provide the students with various teaching strategies to improve the students’ learning interest. Key Words: Javanese, Speaking Ability, Vocabulary Mastery, Learning Interest
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SARIPATHI
AGENG NUGRAHENI, NIM: S. 441008001, 2012. HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN KOSAKATA DAN MINAT BELAJAR DENGAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA SISWA KELAS X SMA NEGERI SE – KABUPATEN CILACAP. Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd. Pembimbing II: Drs. Supardjo, M. Hum. Tesis. Program Studi: Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama: Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ingkang dados tujuwan panalitèn inggih mênika kangge mangêrtosi (1) sêsambêtan antawisipun penguasaan kosakata kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap; (2) sêsambêtan antawisipun minat belajar kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap; (3) sêsambêtan antawisipun penguasaan kosakata, minat belajar, kaliyan kawasisan micara basa Jawi tumrapipun siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap. Panalitèn mênika ngginakakên metode survei korelasional. Ingkang dados populasi panalitèn inggih mênika siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap. Sampel dipunpundhut sarana teknik multi-stage random sampling cacahipun 169 siswa. Cara anggènipun ngempalakên data ngginakakên tès lan angket. Tes validitas instrumen ngginakakên rumus product moment Pearson. Tès reliabilitas instrumen ngginakakên rumus alpha cronbach. Analisis data ing panalitèn mênika kanthi cara analisis statistik sarana teknik korelasi sederhana lan regresi ganda. Adhêdhasar asiling panalitèn sagêd dipundudut: 1) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun penguasaan kosakata kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap (r= 0,327 lan p= 0,000; p < 0,05). 2) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun minat belajar kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri saKabupatèn Cilacap (r= 0,304 lan p= 0,000; p < 0,05). 3) wontên sêsambêtan positif ingkang signifikan antawisipun penguasaan kosakata, minat belajar, kaliyan kawasisan micara basa Jawi siswa kêlas X SMA Negri sa-Kabupatèn Cilacap (r= 0,447 lan p= 0,000; p < 0,05). Pamrayogi ingkang sagêd dipunaturakên adhêdasar asiling panalitèn inggih mênika: (1) prayoginipun pawiyatan nyawisakên saha njangkêpi pirantospirantos ingkang sagêd dipun-ginakakên dwija lan siswa kangge ngindhakakên penguasaan kosakata tumrap siswa satêmah sagêd ngindhakakên kawasisan micara basa Jawi siswa; (2) prayoginipun dwija mangêrtosi bilih siswa gadhah minat belajar ingkang mbotên sami, satêmah dwija kêdah kagungan cara kangge ngindhakakên minat belajar tumrap siswa.
Têmbung wos : basa Jawi, penguasaan kosakata, minat belajar, kawasisan micara
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL
..........................................................................................
i
PERSETUJUAN ..................................................................................
ii
PENGESAHAN...................................................................................
iii
PERNYATAAN ..................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .........................................................................
v
MOTTO
..........................................................................................
vi
PERSEMBAHAN................................................................................
vii
ABSTRAK ..........................................................................................
viii
ABSTRACT ........................................................................................
ix
SARIPATHI ........................................................................................
x
DAFTAR ISI .......................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ...............................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah ..........................................
1
B.
Identifikasi Masalah ................................................
9
C.
Pembatasan Masalah ...............................................
10
D.
Rumusan Masalah ...................................................
11
E.
Tujuan Penelitian ....................................................
11
F.
Manfaat Penelitian ..................................................
12
BAB II LANDASAN TEORETIS........................................................
13
A.
Kajian Teori 1. Hakikat Kemampuan Berbicara .........................
13
2. Hakikat Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa ....
33
3. Hakikat Penguasaan Kosakata ..........................
36
4. Hakikat Minat Belajar .......................................
41
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B.
Penelitian yang Relevan ..........................................
47
C.
Kerangka Berpikir ...................................................
49
D.
Pengajuan Hipotesis ................................................
52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................
53
A.
Tempat dan Waktu Penelitian..................................
53
B.
Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel.....
54
C.
Metode Penelitian ...................................................
55
D.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .........
58
E.
Teknik Pengumpulan Data ......................................
59
F.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen ........................
69
G.
Uji Prasyarat Analisis ..............................................
77
H.
Teknik Analisis Data ...............................................
80
I.
Hipotesis Statistik ...................................................
80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................
82
A.
Deskripsi Data ........................................................
82
B.
Pengujian Prasyarat Analisis ..................................
87
C.
Pengujian Hipotesis ................................................
90
D.
Sumbangan Relatif .................................................
94
E.
Pembahasan Dan Analisis Data ..............................
96
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN .............................. 100 A.
Simpulan ................................................................ 100
B.
Implikasi ................................................................ 100
C.
Saran ...................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 103 LAMPIRAN
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Jadwal Penelitian ........................................................
51
2. Tabel 2. Output Reliabilitas Instrumen Penguasaan Kosakata ...
74
3. Tabel 3. Output Reliabilitas Instrumen Minat Belajar ...............
74
4. Tabel 4. Rekap Hasil Uji Normalitas ........................................
76
5. Tabel 5. Rekap Hasil Uji Linieritas ...........................................
77
6. Tabel 6. Deskripsi Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa ...
81
7. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Berbicara BJ ..
82
8. Tabel 8. Deskripsi Data Penguasaan Kosakata ..........................
83
9. Tabel 9. Distribusi Frekuensi Data Penguasaan Kosakata .........
83
10. Tabel 10. Deskripsi Data Minat Belajar ....................................
84
11. Tabel 11. Distribusi Frekuensi Data Minat Belajar ...................
85
12. Table 12. Hasil Uji Normalitas .................................................
87
13. Table 13. Rangkuman Hasil Uji Normalitas..............................
87
14. Table 14. Hasil Uji Linieritas X1 dan Y ....................................
88
15. Table 15. Hasil Uji Linieritas X2 dan Y ....................................
88
16. Table 16. Rangkuman Hasil Uji Linieritas ................................
89
17. Table 17. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan Y............................
90
18. Table 18. Hasil Uji Korelasi antara X2 dan Y............................
91
19. Table 19. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y ...........
92
20. Table 20. Hasil Uji Korelasi Signifikansi Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y ..................................................................................
92
21. Table 21. Hasil Perhitungan Regresi Ganda antara X1 dan X2 dengan Y ..................................................................................
commit to user xi
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Alur Peristiwa Bahasa .............................................
14
2. Gambar 2. Model alur Pemikiran ..............................................
48
3. Gambar 3. Model Hubungan Antarvariabel ..............................
54
4. Gambar 4. Histogram Data Kemampuan Berbicara BJ..............
82
5. Gambar 5. Histogram Data Penguasaan Kosakata .....................
84
6. Gambar 6. Histogram Data Minat Belajar .................................
85
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Kisi-kisi Instrumen ............................................... 107 2. Lampiran 2. Soal-soal Instrumen .............................................. 111 3. Lampiran 3. Data Hasil Uji Coba Instrumen ............................. 133 4. Lampiran 4. Data Penelitian ..................................................... 152 5. Lampiran 5. Surat-surat Penelitian ............................................ 194
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengajaran bahasa daerah di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan Pemerintah. Pengajaran bahasa Jawa, dari berbagai dokumen yang ada, telah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Pada era sebelum kemerdekaan, bahasa Jawa dijadikan bahasa pengantar pendidikan dan sebagai mata pelajaran. Setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 bahasa pengantar pendidikan adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa dapat dijadikan bahasa pengantar di sekolah dasar pada kelas permulaan. Sebagai mata pelajaran, bahasa Jawa diajarkan di SD dan SLTP. Sejak awal, bahasa Jawa memang baru menjadi mata pelajaran di SD dan SLTP. Di tingkat menengah, bahasa Jawa menjadi mata pelajaran di Sekolah Pendidikan Guru dan SMA jurusan bahasa. Di Perguruan Tinggi, bahasa Jawa berdiri sendiri sebagai program studi dan mata kuliah mandiri pada jurusan terkait (Sutrisna Wibawa, 2011: 3). Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program muatan lokal dalam Standar Isi dilandasi kenyataan bahwa di Indonesia terdapat beranekaragam
kebudayaan.
Sekolah
tempat
program
pendidikan
dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya (Depdiknas, 2006: 1).
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Harapan masyarakat terhadap pembelajaran bahasa Jawa adalah agar pelajaran bahasa Jawa dapat lebih mengangkat nilai adiluhung yang ada dalam tata kehidupan Jawa seperti toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya (Sutrisna Wibawa, 2011: 4-5). Pada era globalisasi yang ditengarai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia terasa tanpa sekat dan semakin dekat. Dalam kondisi seperti ini, keadaan bahasa dan sastra Jawa seperti terjepit, terhimpit oleh kegemerlapan kebudayaan manca. Kontak multibahasa dalam suatu masyarakat tutur di era ini bukan merupakan hal yang ajaib, melainkan suatu peristiwa yang sangat lumrah terjadi. Pada perkembangan terakhir dapat dikatakan bahwa setiap orang telah berdwilingual bahkan bermultilingual. Seseorang dalam berkomunikasi tidak segan lagi mencampurkan struktur bahasa tertentu ke dalam struktur bahasa utama yang sedang digunakan sebagai alat kontak sosial, dan sering juga mereka beralih kode ke kode lain yang diperlukan (Sumarlam, 2011: 2). Adanya kecenderungan di kalangan generasi muda Jawa tidak berani atau tidak suka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa karena takut berbuat salah. Menyadari betapa sulitnya kaidah dan unggah-ungguh bahasa Jawa, mereka tidak berani menggunakannya karena takut dianggap tidak punya tata krama, tata susila, sopan santun, subasita dan unggah-ungguh (Sumarlam, 2011: 2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Unggah-ungguh basa atau undha usuk basa yang lazim pula disebut sebagai tingkat tutur bahasa merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki oleh beberapa suku di Indonesia, terutama dimiliki oleh suku Jawa, Sunda, dan Bali. Sampai saat ini unggah-ungguh bahasa Jawa masih digunakan oleh sebagaian besar penutur berbahasa Jawa (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2007:1). Dalam bahasa Jawa, terdapat ragam-ragam bahasa seperti ragam formal, ragam informal, dan ragam indah. Antara ragam yang satu dengan ragam yang lain terdapat perbedaan bentuk yang cukup jelas, lebih jelas daripada perbedaan bentuk yang umumnya ada pada bahasa Indo-Eropa (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 3). Pada bahasa Jawa, antara ragam formal dan informal terdapat perbedaan yang sangat menyolok, yang bagi orang luar perbedaan itu mungkin dapat menyebabkan mereka berpikir bahwa kedua-duanya adalah bahasa yang berlainan. Di samping itu, bahasa Jawa juga memiliki tingkat tutur (undha usuk) yang kompleks. Soepomo Poedjasoedarma (1979: 3) menyatakan bahwa tingkat tutur ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2). Umumnya bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menunjukkan sikap hubungan O1 yang berbeda berhubung adanya tingkat sosial O2 yang berbeda. Ada golongan masyarakat tertentu yang perlu dihormati dan ada golongan masyarakat lain yang dapat dihadapi secara biasa. Faktor yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
menyebabkan perbedaan tingkat sosial itu berbeda-beda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, ada yang karena perbedaan kondisi tubuh, kekuatan ekonomi, kekuasaan politis, aluran kekerabatan, perbedaan usia, jenis kelamin, kekuatan magis, kekhususan kondisi psikis, dan sebagainya. Adanya perbedaan rasa hormat dan takut yang tertuju kepada tipe orang yang berbeda-beda ini sering tercermin pada bahasa yang dipakai masyarakat itu (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 6). Masyarakat Jawa beberapa tahun terakhir mulai khawatir terhadap keberadaan undha usuk tersebut. Kekhawatiran tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa generasi muda saat ini mulai tidak menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara baik. Sebenarnya, unggah-ungguh bahasa Jawa dalam setiap kesempatan selalu menjadi topik pembicaraan yang sangat hangat dan menarik, baik dalam kalangan akademik maupun dalam seminar-seminar di luar akademik (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2007:2). Akan tetapi, karena hasil seminar itu tidak disosialisasikan atau dimasyarakatkan, kesalahan-kesalahan yang kerap dilakukan generasi muda seperti penggunaan ragam krama untuk dirinya dibiarkan berlarut-larut dan tidak ada penanganan yang sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah tersebut. Kunci utama menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara benar, sebenarnya terletak pada kemampuan memilih dan memilah kata-kata bahasa Jawa secara cermat. Jika hal itu tidak dikuasai, kalimat yang disusun pun pasti menjadi tidak benar (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2007:4).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Di sisi lain Muhadjir dan A. Latief (1995: 47) mengemukakan bahwa secara umum unsur-unsur keefektifan berbicara dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) unsur keefektifan berbicara yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa oleh pembicara, dan (2) unsur keefektifan berbicara yang dikaitkan dengan penampilan berbicara di luar unsur kebahasaan. Unsur pertama disebut unsur kebahasaan, dan unsur kedua disebut unsur nonkebahsaan. Unsur kebahasaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan oleh pembicara ketika melangsungkan komunikasi lisan atau pembicaraan. Unsur-unsur tersebut meliputi (1) ketepatan pengucapan bunyi bahasa, (2) penempatan tekanan, nada, dan lagu kalimat yang sesuai, (3) pemilihan kata dan ungkapan yang baik, konkret, dan bervariasi, dan (4) ketepatan susunan penuturan. Unsur nonkebahasaan adalah hal-hal yang ada kaitannya dengan penampilan pembicara, entah itu sikap, pandangan mata, gerak-gerik anggota badan, raut muka maupun perilaku lain yang terlihat pada saat pembicara itu berbicara. Unsur-unsur tersebut meliputi (1) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, (2) pandangan (arah tatapan mata) yang ditujukan kepada lawan bicara secara merata (menyeluruh), (3) bersikap terbuka, ada rasa kesediaan menghargai pendapat orang lain, (4) dukungan gerak-gerik dan mimik yang tepat, (5) penyampaian dengan suara yang jelas dan nyaring.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan guru Bahasa Jawa, siswa mengalami kesulitan dalam menerapkan unggah-ungguh bahasa Jawa terutama dalam berbicara. Penguasaan kosakata dan minat belajar yang rendah terhadap bahasa Jawa diduga menjadi rintangannya. Kesulitan yang dialami siswa tersebut juga dialami oleh mahasiswa dari Asia yang belajar di luar negeri. Chou Yen-Lin dalam The Internet TESL Journal, Vol. X, No. 9, September 2004 mengemukakan bahwa mahasiswa dari Asia yang belajar di luar negeri mengalami kesulitan dalam berbicara secara fasih dan tepat. Mereka kesulitan dalam berinteraksi dengan mahasiswa lain yang berasal dari Amerika Serikat dan dengan pengajar-pengajarnya. Hal itu menyebabkan mereka lebih pasif jika berada di kelas, atau malah mereka menanyakan hal yang tidak mereka ketahui isi dari pertanyaan yang mereka lontarkan. Permasalahan rendahnya kemampuan berbicara tersebut menurut Chou Yen-Lin dapat diminimalisir dengan digunakannnya strategi sosioafektif di kelas oleh pengajar secara kontinyu. Dalam kurikulum muatan lokal mata pelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa, dijelaskan bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa terdiri atas kompetensi berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa. Kompetensi berbahasa dan bersastra diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis. Keterampilan berkomunikasi di sini diperkaya oleh fungsi utama sastra dan budaya Jawa berupa penanaman budi pekerti, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi sastra dan budaya Jawa, serta sebagai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
sarana pengungkapan gagasan, imajinasi, dan ekspresi kreatif, baik lisan maupun tulis. Keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Jawa didukung oleh kemampuan memahami dan menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh basa (Sutrisna Wibawa, 2011: 9). Kompetensi berbahasa dan bersastra terbagi dalam empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu (a) menyimak, (b) berbicara, (c) membaca, dan (d) menulis. Dalam pelaksanaan pembelajaran, empat aspek kompetensi berbahasa dan bersastra ini tidak terpisah satu dengan lainnya, melainkan dilaksanakan secara
terpadu.
Pemilahan empat aspek hanya untuk
menunjukkan dalam setiap aspek apa yang harus dikembangkan (Sutrisna Wibawa, 2011: 4-5). Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para penutur asli. Penutur yang demikian mungkin bahkan tidak menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak “mengerti” sistem bahasanya sendiri. Kenyataan tersebut sekali lagi membuktikan bahwa penguasaan bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 399). Hal ini sekaligus menjadi alasan pemilihan kompetensi berbicara sebagai salah satu variabel dalam tulisan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
Menurut Asep Jolly (2004: 1) berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan) seseorang kepada orang lain. Keterampilan berbicara, sifatnya produktif, menghasilkan, memberi dan menyampaikan. Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi. Penguasaan
kosakata
sangat
bertalian
erat
dengan
kegiatan
keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, Henry Guntur Tarigan (1993: 2) mengemukakan bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung pada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa. Dari pemikiran ini pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara seseorang sangat ditopang oleh kekayaan kosakata yang diketahui dan dikuasainya. Seseorang yang memiliki pemahaman dan penguasaan yang memadai tentang kosakata yang digunakan dalam suatu teks tertulis atau lisan, maka berkecenderungan orang tersebut akan dengan mudah memahami atau menggunakan kosakata tersebut dalam berkomunikasi, baik secara reseptif (menyimak, membaca) maupun secara produktif (berbicara, menulis).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Kurt singer (1987: 78) mengemukakan bahwa minat adalah suatu landasan yang paling meyakinkan demi keberhasilan suatu proses belajar. Jika seorang murid memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat dapat mengerti dan mengingatnya. Belajar akan merupakan suatu siksaan dan tidak akan memberi manfaat jika tidak disertai sifat terbuka bagi bahan-bahan pelajaran. Minat siswa SMA khususnya kelas X terhadap bahasa Jawa sangat rendah berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, baik dengan guru bahasa Jawa maupun dengan siswa itu sendiri. Bahasa Jawa dirasa sangat sulit bagi siswa terutama menyangkut unggah-ungguh yang harus mereka kuasai jika ingin dianggap memiliki sopan santun. Hal tersebut membuat minat mereka untuk mempelajari bahasa Jawa semakin rendah. Sebenarnya diharapkan dengan meningkatnya minat siswa terhadap bahasa Jawa, kemampuan berbicara mereka juga akan semakin baik. Dari uraian tersebut di atas didapatkan perincian bahwa ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan minat belajar dengan kemampuan berbicara. Dengan kata lain, penguasaan kosakata ditambah minat belajar yang tinggi, akan meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Untuk itu perlu penelitian untuk membuktikan bahwa penguasaan kosakata dan minat belajar yang tinggi, kemampuan berbicara siswa juga akan meningkat. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
1. Generasi muda sering melakukan kesalahan dalam menerapkan tingkat tutur bahasa Jawa, misalnya dengan menggunakan ragam krama untuk dirinya. 2. Era globalisasi membuat generasi muda lebih memilih bahasa yang dianggap “gaul” dan lebih mudah digunakan untuk berkomunikasi dengan siapapun tanpa harus memperhatikan adanya tingkatantingkatan seperti dalam bahasa Jawa. 3. Generasi muda kurang bisa memilih dan memilah kata-kata bahasa Jawa secara cermat. 4. Minat generasi muda menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh sangat kurang karena bahasa Jawa dianggap sangat sulit. 5. Kosakata bahasa Jawa yang sangat beragam membuat generasi muda sangat kesulitan menerapkannya dalam berkomunikasi dengan bahasa Jawa. 6. Berbicara bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh dirasa sangat sulit bagi generasi muda dan menimbulkan rasa takut melakukan kesalahan jika tetap menggunakannya dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih dihormatinya. C. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat lebih mendalam dank arena keterbatasan peneliti, maka masalah yang akan dibahas terbatas pada: 1. Penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
2. Minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa; 3. Penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama dalam kaitannya dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang ada dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Adakah
hubungan antara
penguasaan
kosakata
dengan
kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap? 2. Adakah hubungan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap? 3. Adakah hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap? E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hubungan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
2. Hubungan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. 3. Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis. 1. Manfaat teoretis Hasil penelitian ini dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah teori pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Hasil penelitian ini juga memperkaya khasanah ilmu khususnya dalam bidang pengajaran. 2. Manfaat praktis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaatnya khususnya bagi siswa, guru, dan peneliti lain. Bagi guru dan siswa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Bagi peneliti yang lain, penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai masukan atau referensi untuk melakukan penelitian yang lebih luas dan mendalam di masa mendatang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Berbicara Kompetensi berbahasa yang bersifat aktif produktif merupakan kemampuan yang menuntut kegiatan encoding, kegiatan untuk menyampaikan bahasa kepada pihak lain, baik secara lisan maupun tertulis. Kegiatan berbahasa yang produktif adalah kegiatan menyampaikan gagasan, pikiran, perasaan, pesan atau informasi oleh pihak penutur. Penutur dapat bernama pembicara jika aktivitas menghasilkan bahasa itu melalui kegiatan berbicara, dan dapat bernama penulis jika aktivitas menghasilkan bahasanya itu disampaikan melalui sarana tulisan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 397). Burhan Nurgiyantoro menggolongkan kegiatan mempergunakan bahasa menjadi dua, yaitu berbicara dan menulis. Kegiatan berbicara dan menulis, walaupun samasama bersifat produktif, mempunyai perbedaan. Perbedaan antara berbicara dan menulis, selain terletak pada sarana yang digunakan, lisan dan tertulis, kegiatan berbicara pada umumnya merupakan aktivitas memberi dan menerima bahasa, menyampaikan gagasan dan pesan kepada lawan bicara dan pada waktu yang hampir bersamaan pembicara akan menerima gagasan dan pesan yang disampaikan oleh lawan bicaranya tersebut. Dalam kegiatan berbicara biasanya terjadi komunikasi timbal balik dalam atu kesatuan waktu, hal yang tidak terjadi pada kegiatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
menulis. Dalam kegiatan menulis, penulis secara sepihak menyampaikan gagasan dan pesannya yang tidak dapat secara langsung diterima dan direaksi oleh pihak pembaca yang dituju (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 397). Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat berbicara dalam suatu bahas secara baik, pembicara harus mengetahui lafal, struktur dan kosakata yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan disampaikan, serta kemampuan memahami bahasa lawan bicara (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 399). Brown (2001: 27) memberikan lima konsep penting dalam berbicara, yaitu (1) kemampuan berbicara adalah kemampuan yang sangat penting untuk berkomunikasi, (2) kemampuan berbicara adalah suatu proses yang kreatif, (3) kemampuan berbicara adalah hasil proses belajar, (4) kemampuan berbicara sebagai media untuk memperluas wawasan, dan (5) kemampuan berbicara dapat dikembangkan dengan berbagai topik. Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi akan mudah dipahami dengan cara memperbandingkan diagram komunikasi dengan diagram peristiwa berbahasa. Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1984: 12) menggambarkan peristiwa bahasa sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
PEMBICARA
PENDENGAR
Maksud
Pemahaman
(praucap)
(postucap)
Penyandian
Pembacaan sandi
(encoding)
(decoding)
Fonasi
Audisi
(pengucapan)
(pendengaran)
Transisi (peralihan) Gambar 1. Alur Peristiwa Bahasa Imam Syafi’ie (1993: 33) menyatakan bahwa keterampilan berbicara merupakan kemampuan pembicara dalam memilih dan menata gagasan yang ingin disampaikan, menuangkannya ke dalam kode-kode kebahasaan sesuai dengan system bahasa yang digunakan, memilih ragam bahasa sesuai dengan konteks komunikasi, dan mengucapkannya dengan intonasi, tekanan, nada, dan tempat yang tepat. Keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting untuk dikuasai oleh siswa agar mereka mampu berkomunikasi dengan sesame secara baik, efektif, dan efisien. Keefektifan dan keefisienan komunikasi hanya bias diwujudkan apabila komunikasi tersebut dilakukan dengan bahasa. Karena bahasa pada hakikatnya adalah ucapan. Proses pengucapan bunyi-bunyi bahasa itu tidak lain adalah berbicara. Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para penutur asli.penutur yang demikian mungkinbahkan tidak menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak mengerti system bahasanya sendiri. Kenyataan itu sekali lagi membuktikan bahwa penguasaan bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu kemampuan berbicara seharusnya mendapat perhatian yang cukup dalam pembelajaran bahasa dan tes kemampuan berbahasa (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 399-400). Menurut Asep Jolly (2004: 1) berbicara adalah salah satu aspek keterampilan berbahasa. Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan) seseorang kepada orang lain. Keterampilan berbicara, sifatnya produktif, menghasilkan, memberi dan menyampaikan. Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi. Pengetahuan tentang ilmu atau teori berbicara sangat menunjang kemahiran serta keberhasilan seni dan praktik berbicara. Untuk itulah diperlukan pendidikan berbicara (speech education). Konsep-konsep dasar pendidikan berbicara mencakup tiga kategori, yaitu: (1) hal-hal yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
berkenaan dengan hakikat atau sifat-sifat dasar ujaran, (2) hal-hal yang berhubungan
dengan
proses
intelektual
yang
diperlukan
untuk
mengembangkan kemampuan berbicara, dan (3) hal-hal yang memudahkan seseorang untuk mencapai keterampilan berbicara (Haryadi dan Zamzami, 1997: 58). Yang dimaksud pengetahuan tersebut menurut Bygate (1987: 3) adalah pengetahuan tentang tata bahasa dan kosakata, sedangkan keterampilan mencakup keterampilan perspektif motorik dan keterampilan interaksi. Keterampilan
interaksi
mencakup
keterampilan
dalam
menuangkan
pengetahuannya, sedangkan keterampilan perspektif motorik mencakup keterampilan berkomunikasi. Sesuai dengan hakikat berbicara sebagai peristiwa penyampaian maksud kepada orang lain, maka dalam berbicara akan selalu terlihat adanya tujuan. Menurut Suharyantin dan Edy Suryanto (1996: 132) tujuan berbicara dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan umum menyangkut tujuan atau maksud yang secara umum ingin dicapai oleh pembicara. Tujuan ini bersifat lebih luas daripada tujuan khusus. Tujuan khusus merupakan tujuan yang lebih terbatas sebagai tujuan yang ingin dicapai selam pembicara tampil dalam suatu peristiwa berbicara. Tujuan khusus akan bersifat lebih spesifik, khusus, bersumber pada tujuan umum. Menurut Gorys Keraf (1980: 320) tujuan umum berbicara dapat dibedakan atas lima macam, yakni (1) mendorong, (2) meyakninkan, (3) bertindak/berbuat, (4) memberitahukan, dan (5) menyenangkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Dalam pembicaraan yang bertujuan mendorong, pembicara berusaha menyentuh
emosi
pendengar
misalnya
untuk
member
semangat,
membangkitkan kegairahan, menekan perasaan yang kurang baik, serta menunjukkan rasa hormat dan pengabdian. Dengan pembicaraan ini pendengar diharapkan menunjukkan reaksi yang berupa tergugahnya perasaan mereka terhadap hal yang disampaikan oelh pembicara. Karena tujuannya adalah membujuk pendengar, pembicaraan semacam itu bersifat persuasif. Dalam pembicaraan yang bertujuan untuk meyakinkan, pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan pendengar. Setelah pembicaraan tersebut, diharapakan terjadi persesuaian pendapat, keyakinan dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara. Untuk itu pembicara harus menyiapkan bukti, fakta,
contoh,
dan
ilustrasi
yang
dapat
memperjelas
topik
yang
dibicarakannya. Pembicaraan ini juga bersifat persuasif. Tujuan berbicara untuk bertindak dan berbuat sejajar dengan tujuan pertama dan kedua di atas. Jika pembicara telah dapat mempengaruhi pendengar sedemikian rupa, ia akan lebih mudah mencapai tujuannya yakni meminta pendengarnya untuk memberikan reaksi fisik atau tindakan yang memang telah direncanakan sebelumnya oleh pembicara. Reaksi fisik tersebut timbul karena pembicara telah berhasil meyakinkan pendengar membakar emosi mereka atau keduanya. Pembicaraan dengan tujuan ini juga bersifat persuasif.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Dalam pembicaraan yang bertujuan untuk memberitahukan atau menyampaikan sesuatu kepada pendengar, setelah mendengarkan pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara diharapkan pendengar betul-betul mengetahui, memahami lebih baik, atau bertambah luas perbendaharaan pengetahuannya tentang sesuatu. Pembicaraan ini bersifat instruktif artinya mengandung ajaran. Tujuan yang ingin dicapai oleh pembicara dalam pembicaraan dengan tujuan menyenangkan adalah terciptanya suasana gembira bagi pendengar. Akibat dari pembicaraan ini adalah pendengar akan menunjukkan minat serta kegembiraan. Karena itu, pembicaraan semacam ini bersifat rekreatif artinya menimbulkan kegembiraan dan kesenangan bagi pendengar. Dari tujuantujuan umum ini pembicara dapat merumuskan tujuan khusus yang ingin dicapainya selama peristiwa berbicara berlangsung. Hal senada juga disebutkan oleh Imam Syafi’ie (1993: 38) yakni bahwa tujuan berbicara dibedakan menjadi empat macam, yaitu (1) untuk menyenangkan atau menghibur pendengar, (2) untuk menyampaikan informasi dan menjelaskan sesuatu, (3) untuk merangsang dan mendorong pendengar melakukan sesuatu, dan (4) untuk meyakinkan pendengar. Burhan Nurgiyantoro (2010: 400) menyebutkan dalam situasi yang normal, orang melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu yang didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
demikian, kejelasan penuturan tidak semata-mata ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal) yang dipergunakan saja, melainkan amat dibantu oleh unsureunsur paralinguistik seperti gerakan-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam komunikasi tertulis. Situasi pembicaraan (serius, santai, wajar, tertekan) dalam banyak hal juga akan mempengaruhi keadaan dan kelancaran pembicaraan. Hal lain yang mempengaruhi keadaan pembicaraan menurut Burhan Nurgiyantoro adalah masalah apa yang menjadi topik pembicaraan dan lawan bicara. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya harus diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik dalam suatu bahasa (Oller dalam burhan Nurgiyantoro, 2010: 400). Atau paling tidak, tes berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang menghadirkan kedua faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang mempertimbangkan faktorfaktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati situasi yang normal, boleh dkatakan telah memenuhi harapan tes pragmatik dan bermakna sebagaimana tuntutan tes otentik. Tugas-tugas tes pragmatik dan atau otentik menghendaki peserta didik telah menguasai tahap elementer dalam suatu bahasa, atau paling tidak sudah dapat mempergunakan bahasa itu untuk aktivitas berbicara. Burhan Nurgiyantoro (2010: 400) memberikan beberapa bentuk tugas berbicara terkait tugas yang bersifat pragmatik dan otentik sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
a. Tugas Berbicara Otentik Tugas berbicara otentik dimaksudkan sebagai tes berbicara yang memenuhi kriteria asesmen otentik. Hal ini perlu dikemukakan kembali karena pada kenyataan praktik pemberian tugas berbicara di sekolah belum tentu berkadar otentik. Misalnya pembelajaran pelafalan (pronunciation) dalam bahasa target yang melatih ketepatan pelafalan peserta didik, pengucapan kata, tekanan kata, pola dan tekanan kalimat, dan lain-lain. Kegiatan tersebut dalam penguasaan bahasa target, dan bahkan menjadi prasyarat kompetensi berbahasa lisan, namun belum berkadar otentik. Tugas-tugas semacam itu dalam sudut pandang pendekatan komunikatif dikenal sebagai tugas prakomunikatif. Dalam tugas berbicara otentik terdapat dua hal pokok yang tidak boleh dihilangkan, yaitu benar-benar tampil berbicara (kinerja bahasa) dan isi pembicaraan mencerminkan kebutuhan realitas kehidupan (bermakna). Jadi, dalam asesmen otentik peserta didik tidak sekadar ditugasi untuk berbicara, berbicara dalam arti sekadar praktik mempergunakan bahasa secara lisan, melainkan juga menyangkut isi pesan yang dijadikan bahan pembicaraan. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di kantor atau di dunia pekerjaan, orang terlibat pembicaraan pasti karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan dan bukan berbicara sekadar praktik berbahasa. Hal inilah yang kemudian diangkat dalam asesmen otentik kompetensi berbahasa lisan: berbahasa dalam konteks yang jelas. Konteks menunjuk pada berbagai faktor penentu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
siapa yang berbicara, situasi pembicaraan, isi dan tujuan pembicaran, dan lain-lain. Tugas berbicara sebagai bentuk asesmen otentik harus berupa tugastugas yang ditemukan dan dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Jadi, tugas berbicara otentik mengambil model aktivitas bentuk-bentuk berbicara sehari-hari sehingga kompetensi yangdikuasai peserta didik bersifat aplikatif. Orang berbicara karena ingin menyampaikan sesuatu lewat bahasa, maka penggunaan bahasa yang benar adalah yang sesuai dengan konteks penggunaan. Jadi, pada intinya ketepatan bahasa dalam berbahasa lisan dilihat dari ketepatan bahasa yang dipakai dan kejelasan komunikasi yang dituturkan dalam konteks pembicaraan yang jelas. Untuk itu, tugas-tugas berbicara yang dipilih untuk mengukur kompetensi berbahasa lisan peserta didik haruslah yang memungkinkan peserta didik mengungkapkan keduanya: berunjuk kerja bahasa untuk menyampaikan informasi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Phopam (dalam Isriwiji, 2008: 24) yang memberikan penilaian kinerja keterampilan komunikasi lisan (berbicara) ke dalam empat aspek, yaitu: cara penyampaian (delivery), pengorganisasian (organization), isi (content), dan bahasa (language). Cara penyampaian berhubungan dengan penyamapaian pesan (seperti volume suara, kecepatan, dan artikulasi). Pengorganisasian berhubungan dengan bagaimana isi dari pesan tersebut diatur dan bagaimana ide yang satu dihubungkan dengan ide yang lain. Isi berhubungan dengan banyaknya relevansi atau pertautan informasi dalam suatu pesan dan bagaimana isi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
tersebut disesuaikan dengan pendengar dan situasi. Bahasa berhubungan dengan tata bahasa dan kata yang digunakan untuk menyampaikan pesan. b. Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kompetensi berbicaranya dalam bahasa terget. Apapun bentuk tugas yang dipilih haruslah yang memungkinkan peserta didik untuk tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya, melainkan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi. Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, di samping dapat juga mengungkap kemampuan peserta didik peserta didik berbicara dalam bahasa yang bersangkutan mendekati pemakaiannya secara normal. Selain itu, pemberian tugas hendaklah juga dilakukan dengan cara menarik menyenangkan agar peserta uji tidak merasa tertekan dan dapat mengungkapkan kompetensi berbahasanya secara normal dan maksimal. 1) Bicara Berdasarkan Gambar Untuk mengungkap kemampuan berbicara pembelajar dalam suatu bahasa, gambar dapat dijadikan rangsang pembicaraan yang baik. Rangsang yang berupa gambar sangat baik untuk dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing tahap awal. Akan tetapi, rangsang gambar pun dapat pula dipergunakan pada pembelajar yang kemampuan berbahasanya telah (lebih) tinggi tergantung pada keadaan gambar yang dipergunakan itu sendiri. Burt (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 402) menyusun gambar-gambar menarik yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
dimaksudkan untuk mengungkap berbicara peserta didik yang potensial untuk tes yang berkadar pragmatik. Gambar yang dimaksud kemudian disebutnya sebagai the Bilingual Syntax Measure. Rangsang gambar yang dipakai sebagai rangsang berbicara dapat dikelompokkan ke dalam gambar objek dan gambar cerita. Gambar objek merupakan gambar tentang objek tertentu yang berdiri sendiri seperti binatang, kendaraan, pakaian, alam, dan berbagai objek yang lain yang kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar yang lain. Gambar cerita adalah gambar susun yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang saling berkaitan yang secara keseluruhan membentuk sebuah cerita. (1) Gambar Objek Gambar objek adalah gambar yang masing-masing memiliki nama satu kata dan merupakan gambar-gambar lepas yang antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya. Gambar objek dapat dijadikan rangsang berbicara untuk peserta didik tingkat awal, misalnya taman kanakkanak atau pembelajar bahasa asing tingkat pemula yang masih dalam tahap melancarkan lafal bahasa dan memahami makna kata. Namun sebenarnya tuga peserta didik yang sekadar menyebutkan nama-nama gambar tidak alamiah, tidak wajar, peserta didik sudah tahu jawabannya, dan karenanya tidak pragmatik, tidak otentik. Tugas yang dilakukan dengan gambar tersebut tidak bermakna karena tidak berada dalam kaitannya dengan situasi konteks. Tugas tersebut tidak memaksa peserta didik untuk menunjukkan kemampuan berbicaranya, baik yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
menyangkut ketepatan aspek linguistik maupun unsur ekstra linguistik. Oleh karena itu, penggunaan media tersebut untuk merangsang berbicara peserta didik sebaiknya dibatasi. (2) Gambar Cerita Gambar cerita adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah cerita. Mirip komik atau mirip buku gambar tanpa kata (wordless picture books), yaitu buku-buku gambar cerita yang alur ceritanya disajikan lewat gambar-gambar, atau gambar-gambar itu sendiri menghadirkan cerita. Kalaupun dalam gambar-gambar tersebut disertai kata-kata, bahasa verbal tersut sangat terbatas. Gambar cerita atau buku gambar tanpa kata bervariasi tingkat kompleksitasnya dari sederhana dan mudah dikenali squensialnya sampai yang abstrak. Dilihat dari sifat alamiahnya, gambar cerita tersebut potensial untuk dijadikan baha rangsang berbicara. Gambar cerita berisi suatu aktivitas, mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna dan menunjukkan situasi konteks tertentu. Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar tersebut dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta didik menemukan logika urutannya sendiri. Jadi, pada intinya gambar cerita itu sudah menunjukkan makna tertentu. Maka, tugas berbicara berdasarkan
rangsang
gambar
cerita
tidak lain
adalah
tugas
menceritakan makna gambar itu atau menjawab pertanyaan terkait.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
(a) Pemberian Pertanyaan Pemberian pertanyaan secara terbuka untuk dijawab semua peserta didik termasuk asesmen otentik. Namun pertanyaan yang diajukan harus yang menuntut mereka berpikir tingkat tinggi dan bukan sekadar pertanyaan hafalan atau menagih fakta dan konsep. Pertanyaan yang diajukan tidak pasti berupa tugas pragmatik, pertanyaan yang dimaksud adalah yang dengan mudah dijawab karena memang hanya itu jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan pragmatis memungkinkan peserta didik menjawab dengan jawaban berbeda-beda, untuk itu perlu ditentukan kriteria jawaban yang tepat dan yang sebaliknya. Oller (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 405) mengemukakan bahwa penilaian dapat dilakukan secara terpisah, yaitu dari segi ketepatan (struktur) bahasa dan kelayakan konteks. Namun, Oller menambahkan bahwa kelayakan konteks haruslah mendapat penekanan. (b) Bercerita Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara terbuka untuk dijawab seperti pada poin pemberian pertanyaan sebelumnya hanya menuntut peserta didik untuk memberikan jawaban yang sesuai yang biasanya hanya terdiri dari satu kalimat. Pertanyaanpertanyaan seperti itu walaupun terarah, agak membatasi kreativitas imajinasi peserta didik. Tugas pragmatik atau otentik yang lebih memberi kebebasan peserta didik, di samping juga lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
mengungkap kemampuan berbahasa dan pemahaman kandungan makna secara logis, adalah meminta mereka untuk bercerita sesuai dengan gambar yang disediakan. Penggunaan gambar sebagai rangsang untuk meningkatkan kemampuan berbicara senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sartin Miolo dalam jurnal kemitraan bahasa dan sastra, volume 3 nomor 4 tahun 2004. Miolo menyatakan bahwa menurut penelitian yang telah dilakukan, penggunaan gambar sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Penggunaan gambar tersebut juga dapat menarik perhatian dan menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan bagi siswa. 2) Berbicara Berdasarkan Rangsang Suara Tugas
berbicara
berdasarkan
rangsang
suara
yang
lazim
dipergunakan adalah suara yang berasal dari siaran radio atau rekaman yang sengaja dibust untuk maksud itu. Program radio yang dimaksdu dapat bermacam, misalnya siaran berita, sandiwara, atau programprogram lain yang layak. Jika program radio yang dipilih waktunya tidak berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di sekolah, program tersebut dapat direkam dan menghadirkannya dalam bentuk rekaman. Atau peserta didik sengaja ditugasi untuk mendengarkan siaran tertentu pada radio tertentu pada jam tertentu untuk kemudian menceritakannya di sekolah. Tugas ini memang sangat terkait dengan tes kompetensi menyimak. Pengaitan antara kedua kompetensi itu justru harus ditekankan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
peembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang dimaksud memenuhi tuntutan whole language. 3) Berbicara Berdasarkan Rangsang Visual dan Suara Berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara merupakan gabungan antara berbicara dan suara. Namun wujud visual yang dimaksud sebenarnya lebih dari sekadar gambar. Selain wujud gambar diam, juga berupa gambar gerak dan gambar aktivitas. Contoh rangsang yang dimaksud yang paling banyak dikenal adalah siaran televisi, video, atau berbagai bentuk rekaman sejenis. Siaran televisi juga dapat direkam untuk kemudian dibawa ke kelas, misalnya karena jika waktu siaran tidak berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di sekolah. Siaran televisi yang dipilih dapat berupa siaran berita, sinetron, acara flora dan fauna, dan lain-lain yang di dalamnya terkandung unsur pendidikan atau unsur penting lainnya. Tugas bentuk ini terlihat didominasi dan terkait dengan kompetensi menyimak, namun juga terdapat bentuk-bentuk lain yang memerlukan pengamatan dan pencermatan seperti gambar, gerak, tulisan, dan lain-lain yang terkait langsung dengan unsur suara dan secara keseluruhan menyampaikan satu kesatuan informasi. 4) Bercerita Tugas bercerita yang dimaksud ada kemiripan dengan tugas bercerita berdasarkan
beberapa
rangsang
sebelumnya,
namun
lebih
luas
cakupannya. Tugas ini dapat berdasarkan rangsang apa saja tergantung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
perintah guru. Tugas ini dalam jenis asesmen otentik berupa tugas menceritakan kembali teks atau cerita (retelling texts or story). Jadi, rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita dapat berupa buku yang sudah dibaca, berbagai cerita (fiksi dan cerita lama), berbagai pengalaman (pengalaman bepergian, pengalaman berlomba, pengalaman berseminar), dan lain-lain. Bercerita berdasarkan isi buku banyak dilakukan para guru, bahkan juga sampai di tingkat pendidikan tinggi. Untuk tingkat pendidikan tinggi, bercerita juga dapat mencakup laporan secara lisan terhadap buku yang dibaca. 5) Wawancara Wawancara (oral interview) merupakan teknik yang paling banyak dipergunakan untuk menilai kompetensi berbicara seseorang dalam suatu bahasa, khususnya bahasa asing yang dipelajarinya. Wawancara biasanya dilakukan kepada seorang pembelajar yang kompetensi berbahasa lisannya, baasa targrt yang sedang dipelajarinya, sudah cukup memadai sehingga memungkinkan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bahasa itu. Kegiatan wawancara dalam rangkaian tes kompetensi berbahasa lisan termasuk ke dalam jenis asesmen otentik dan bukan sekadar kegiatan untuk mengetahui informasi tertentu tentang jati diri peserta uji. Kegiatan wawancara dilakukan oleh du (beberapa) orang penguji terhadap peserta didik atau calon tertentu selama jangka waktu tertentu. Wawancara dimaksudkan untuk menilai kompetensi berbahasa peserta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
uji lewat pertanyaan tentang berbagai masalah keseharian. Pewawancara hendaknya menguasahakan agar calon tetap tenang, tidak merasa tertekan, tidak merasa seperti sedang diuji, sehingga bahasa yang diungkapkan dapat mencerminkan kemampuan yang sebenarnya. Biasanya kesadasaran calon bahwa ia sedag diuji akan mempengaruhi mentalnya sehingga bahasanya pun akan terpengaruh pula, misalnya tidak lancar, sering terjadi kesalahan atau bahkan mungkin tidak dapat berbicara. Oleh karena itu, pada awal dimulainya wawancara, penguji sebaiknya menanyakan hal-hal yang mudah dijawab calon agar tumbuh keberanian dan rasa percaya dirinya. Masalah yang ditanyakan dalam wawancara dapat menyangkut berbagai hal, tetapi hendaknya disesuaikan dengan tingkat pengalaman peserta uji (Valette dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 411), misalnya usia, sekolah, dan kemampuan berbahasa. Tanggapan yang diharapkan dari calon tidak hanya berasal dari pertanyaan-pertanyaan pewawancara, melainkan dapat jga berasal dari rangsang lain yang sengaja disiapkan untuk itu. Rangsang yang dimaksud adalah wacana bacaan dan rekaman. Rangsang yang berupa bacaan atau rekaman disuruh baca atau dengar terlebih dahulu kepada calon sebelum wawancara dimulai. Masalah yang terdapat di dalam bacaan atau rekaman itulah yang kemudian dijadikan topik wawancara, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, permintaan pandangan, pendapat, sikap, atau sesuatu yang lain kepada calon. Akan tetapi, bagaimana pandangan calon tidaklah penting benar karena yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
terutama ingin dinilai adalah kemampuan berbicara calon dalam mengekspresikan gagasan dan pengembangan argumentasi. Penggunaan media bacaan dan rekaman sebagai rangsang berbicara mempunyai kelemahan karena wawancara akan berubah atau sulit dibedakan dengan tes kemampuan membaca dan mendengarkan. Kompetensi membaca dan mendengarkan calon akan mempengaruhi kelancaran berbicaranya. Sebaliknya, jika calon kurang dapat memahami isi bacaan atau rekaman, pewawancara memberikan pertanyaanpertanyaan yang bersifat mengarahkan. Penggunaan media bacaan menurut Valette hanya tepat dilakukan pada calon tingkat lanjut (advanced students) (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 412). Walaupun
praktis,murah,
dan
populer,
teknik
wawancara
mempunyai kelemahan dalam hal penilaian karena adanya sifat subjektif pada pihak penilai, di samping membutuhkan penilai yang terlatih dan berpengalaman. Penilaian wawancara sulit dibuat benar-benar objektif dan konsisten, walau oleh penilai yang sama sekalipun. Adanya faktor kelelahan, kejemuan, dan lain-lain termasuk yang bersifat pribadi akan berpengaruh dalam penilaian. Hal-hal tersebut akan menyebabkan rendahnya kadar reliabilitas penilaian. Kelemahan tersebut kadangkadang memang dapat diatasi dengan merekam kegiatan wawancara untuk dinilai ulang. Akan tetapi penggunaan rekaman kadang-kadang tidak praktis dan tidak efisien.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
6) Berdiskusi dan Berdebat Tugas berbicara yang selanjutnya menurut Burhan Nurgiyantoro (2010: 419) adalah berdikusi, berdebat, berdialog, dan berseminar. Berdikusi, berdebat, berdialog merupakan tugas-tugas berbicara yang paling tidak melibatkan dua orang pembicara. Bahkan dalam berseminar lazimnya diikuti banyak peserta walau belum tentu semuanya mau dan dapat berbicara.situasi pembicaraa dalam kegiatan berdiskusi, berdebat, dan berdialog dapat formal, setengah formal, atau nonformal, sedang dalam berseminar mesti formal. Berbagai tugas berbicara baik dilakukan para peserta didik di sekolah dan terlebih lagi para mahasiswa untuk melatih kemampua dan keberanian berbicara. Selain itu, tugas-tugas tersebut juga baik dan strategis sebagai latihan beradu argumentasi. Dalam aktivitas itu, peserta didik berlatih untuk mengungkapkan gagasan, menanggapi gagasangagasan kawannya secara kritis, dan mempertahankan gagasan sendiri dengan argumentasi secara logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk maksud itu semua, sudah tentu kemampuan dan kefasihan berbicara dalam bahasa yang bersangkutan sangat menentukan. 7) Berpidato Dilihat dari segi kebebasan peserta didik memilih bahasa untuk mengungkapkan gagasan, berpidato mempunyai persamaan dengan tugas bercerita. Dalam kehidupan bermasyarakat, aktivitas berpidato banyak dikenal dan dilakukan orang. Untuk melatih kemampuan peserta didik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
mengungkapkan gagasan dalam bahasa yang tepat dan cermat, tugas berpidato baik untuk diajarkan dan diujikan di sekolah. Ujian berbahasa lisan dengan tugas berpidato pun tinggi kadar keotentikannya. Senada dengan pendapat Asep Jolly yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan dalam menyampaikan maksud kepada orang lain. Pada penelitian ini digunakan bentuk tugas bercerita untuk mengetahui kemampuan berbicara siswa, tepatnya menceritakan kembali sebuah cerita atau teks yang telah disiapkan. 2. Hakikat Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa Bahasa ialah suatu aspek kebudayaan. Ia sekaligus juga jaringan sentral sarana pengekspresi kebudayaan itu. Selanjutnya, ia juga menjadi cerminan kebudayaan masyarakat pemakainya. Maka dari itu, adanya system tingkat tutur yang sangat komplek dan ekstensif di dalam bahasa Jawa dapat dianggap suatu pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin system hubungan perorangan di dalam masyarakat Jawa dianggap penting. Perbedaan antara suasan tutur resmi dan tidak resmi dianggap penting (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 59). Lebih lanjut Soepomo Poedjasoedarma menjelaskan penghargaan terhadap tingkat sosial seseorang, entah itu karena usianya, aluran kekerabatannya, pangkatnya, kekayaannya, atau yang lain-lain, sebetulnya tidak cukup hanya dinyatakan dengan tingkat tutur tertentu, tetapi juga dengan bentuk-bentuk aturan etiket yang lain. Demikian juga penghargaan orang terhadap situasisituasi bicara tertentu, seperti situasi berkabung dalam pelayatan, pesta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
perkawinan, rapat-rapat, dan lain-lain, harus dinyatakan dengan ekspresi bahasa yang tepat dan bentuk ekspresi nonbahasa yang tepat pula. Pada waktu berbicara, sikap badan (duduk, berdiri, pandangan mata) harus tepat. Demikian pula cara menunjuk, cara berucap, cara berpakaian, dan lain-lain. Penggunaan basa (krama dan madya) tidak hanya berkurang di kalangan para teman dan kolega, tetapi juga di kalangan lembaga-lembaga pendidikan dan keluarga. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta sekarang ini orang tua banyak yang lebih menyukai kalau anak-anaknya bercakap dengan ngoko terhadap mereka. Hal ini lain dengan jaman sebelum perang. Pada waktu itu orang tua yang ingin dianggap mengerti adat sopan santun mengajarkan kepada anak-anaknya agar mereka itu ber”basa” terhadap orang tua serta sanak keluarga yang beraluran lebih tua. Sekarang ini banyak orang tua yang lebih menyukai anak-anaknya menjalin hubungan akrab dan tak merasa enggan terhadap orang tua mereka (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 59). Di sekolah-sekolah, masih menurut Soepomo Poedjasoedarma, banyak guru yang berbahasa Indonesia terhadap murid-muridnya, dan karenanya muridmurid pun berbahasa Indonesia terhadap guru. Kalau dulu bahasa Jawa banyak digunakan sebagai bahasa pengantar, sekarang ini bahasa Indonesia adalah bahasa pengantarnya. Kepandaian menggunakan tingkat tutur secara tepat tidak lagi menjadi penanda latar belakang kelas sosial seseorang. Dulu, keluarga orang tingkat atas harus dan mesti pandai bercakap sengan krama dengan baik dan tepat. Sekarang ini, banyak tokoh masyarakat kalangan atas yang kurang begitu mampu bercakap sengan krama dengan baik dan tepat. Sebagai pengganti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
kepandaian menggunakan tingkat tutur krama, sekarang ini orang menganggap bahwa kepandaian menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan kepandaian bercakap bahasa asing tertentu menjadi penanda latar belakang sosial berkelas tinggi (1979: 59). Tentang kekurangmampuan menggunakan tingkat tutur secara baik ini secara garis besar menurut Soepomo Poedjasoedarma (1979: 59) dapat dibagi menjadi 2 jenis: 1) O1 tidak pandai memilih kata-kata secara tepat pada tingkat tutur yang diapakainya; 2) O1 tidak pandai memilih tingkat tutur yang sesuai dengan latar belakang O2 serta dengan situasi bicara yang ada. Bahasa merupakan kecakapan yang hanya bisa dikuasai melalui praktik serta latihan yang bertubi-tubi. Untuk mempraktikan langsung pada situasi yang cocok tidak selalu tersedia cukup kesempatan (Soepomo Poedjasoedarma, 1979: 55) Berdasarkan
penjelasan
Soepomo
Poedjasoedarma
di
atas,
dapat
disintesiskan bahwa kemampuan berbicara bahasa Jawa adalah kemampuan seseorang dalam memilih kata-kata secara tepat pada tingkat tutur yang dipakainya dan kemampuan memilih tingkat tutur yang sesuai dengan latar belakang O2 serta dengan situasi bicara yang ada. Pada penelitian ini digunakan bentuk tugas bercerita untuk mengetahui kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa, tepatnya menceritakan kembali sebuah cerita atau teks yang telah disiapkan. Dengan kata lain kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa tercermin dalam kemampuannya menceritakan kembali teks sebuah cerita yang disampaikan dalam bahasa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
3. Hakikat Penguasaan Kosakata Dalam komunikasi melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan, kosakata merupakan unsur yang amat penting. Kemampuan berbahasa ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu diantaranya adalah penguasaan kosakata. Berikut ini dipaparkan beberapa konsep mengenai kosakata atau perbendaharaan kata. a. Pengertian Kosakata Terdapat beberapa pandangan yang dikemukakan oleh para pakar bahasa sehubungan dengan pengertian kosakata. Kosakata sebagai salah satu komponen kebahasaan memiliki arti yang beragam. Sri Sukesi Adiwiramarta et al. (1978: 7) mengemukakan bahwa kosakata atau perbendaharaan kata yang dalam bahasa Inggris disebut lexicon, berasal dari bahasa Yunani lexicon yang berarti kata. Kosakata merupakan seperangkat leksem yang termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan idiom (Richards, Platt dan Webber, 1985: 307). Sementara itu, Vallete (1977: 223) mendefinisikan kosakata sebagai kata atau kelompok kata yang memiliki makna tertentu. Alisjahbana (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti, 2006: 33) menyatakan bahwa penguasaan kosakata berkaitan langsung dengan pemahaman makna kalimat sebagai satuan bentuk bahasa yang terkecil dan mengandung suatu pikiran, sehingga komunikasi antara orang yang mengungkapkanbatau menulis kalimat dengan orang yang mendengar atau membaca dapat terlaksana. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kosakata sebagai unsur bahasa sangat penting untuk menunjang keterampiln berbahasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Dari sumber lain dijelaskan bahwa kosakata dipandang sebagai keseluruhan kata yang dimiliki oleh bahasa (Gorys Keraf, 1986: 191). Pandangan tersebut diperluas oleh Harimurti Kridalaksana (1984: 19) dengan mengemukakan bahwa kosakata merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; atau dengan perkataan lain, kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa. Henry Guntur Tarigan (2008: 123) berpendapat bahwa setiap orang mempunyai dua jenis daya kata, satu untuk berbicara dan menulis, yaitu daya untuk memilih dan mempergunakan kata-kata yang diekspresikan, serta daya kata yang digunakan untuk membaca dan menyimak. Ada beberapa cara untuk memperbesar daya kata, antara lain: (1) mengetahui dan dapat membedakan ragam bahasa; (2) mempelajari makna kata dari konteks; (3) mengetahui bagian-bagian kata; (4) menggunakan kamus; (5) mengetahui makna-makna varian; (6) mengetahui idiom, (7) mengetahui kata yang bersinonim atau berantonim; (8) mengetahui bedanya denotasi dan konotasi; (8) memahami asal-usul kata. Henry Guntur Tarigan (2008: 124) mengemukakan ada beberapa hal yang harus diketahui untuk memperbesar daya kata, antara lain: (1) ragam bahasa( ragam remi dan tidak resmi, ragam teknis dan nonteknis), (2) mempelajari makna kata, (3) bagian-bagian kata (awalan, kata dasar, akhiran, atau sisipan), (4) penggunaan kamus, (5) makna-makna varian, (6) idiom/ungkapan, (7) sinonim dan antonim, (8) konotasi dan denotasi, (9) derivasi (asal-usul kata).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Dalam kehidupan sehari-hari penguasaan kosakata mempunyai peranan yang sangat penting karena pikiran seseorang hanya akan dipahami denga baik oleh pihak lain apabila ide tersebut dapat diungkapkan dengan kosakata yang dipilih secara tepat. Harris (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti, 2006: 34) mengemukakan pendapatnya bahwa kata merupakan wahana penting dalam komunikasi. Apabila persediaan kosakata tidak mencukupi maka komunikasi akan terhambat. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila dinyatakan penguasaan kosakata merupakan hal yang sangat penting dalam tindak berbahasa. Dalam hal ini dapat dikatakan semakin banyak kata yang diketahui dan dikuasai oleh seseorang, semakin baik pula kemampuan berbicaranya. Untuk itu, setiap orang perlu memperluas kosakatanya, perlu mengetahui sebanyak-banyaknya perbendaharaan kata dari bahasa yang dipelajarinya. b. Kaitan Penguasaan Kosakata dengan Keterampilan Berbahasa Penguasaan kosakata sangat bertalian erat dengan kegiatan keterampilan berbahasa. Dalam hal ini, Henry Guntur Tarigan (1993: 2) mengemukakan bahwa kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung pada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya. Semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa. Pernyataan ini senada dengan yang diuraikan Burhan Nurgiyantoro (2010: 338) bahwa kemampuan memahami kosakata terlihat dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedangkan kemampuan mempergunakan kosakata nampak dalam kegiatan menulis dan berbicara. Oleh karena itu, tes
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
penguasaan kosakata biasanya langsung dikaitkan dengan kemampuan reseptif atau produktif secara keseluruhan. Dari pemikiran ini pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa kemampuan berbicara seseorang sangat ditopang oleh kekayaan kosakata yang diketahui dan dikuasainya. Seseorang yang memiliki pemahaman dan penguasaan yang memadai tentang kosakata yang digunakan dalam suatu teks tertulis atau lisan, maka berkecenderungan orang tersebut akan dengan mudah memahami atau menggunakan kosakata tersebut dalam berkomunikasi, baik secara reseptif (menyimak,membaca) maupun secara produktif (berbicara, menulis). c. Manfaat Penguasaan Kosakata Dalam masyarakat, manusia tidak akan lepas dari tindak komunikasi. Bahasa adalah sarana yang sangat penting dalam berkomunikasi. Kosakata merupakan salah satu unsur bahasa yang memegang peranan paling mendasar dalam kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan menguasai kosakata memiliki kontribusi yang cukup baik dalam upaya seseorang berbicara secara tepat. Dengan bermodalkan kosakata yang cukup banyak, dan dikuasainya, pada umumnya seseorang tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam menyampaikan maksudnya. Kemampuan berbahasa seseorang yang didukung oleh penguasaan kosakata yang cukup memadai akan sangat menunjang kemampuan intelektualnya. Bahasa sebagai sarana berkomunikasi sangat penting peranannya dalam kehidupan. Agar dapat berkomunikasi dengan baik salah satunya harus menguasai kosakata. Semakin banyak kosakata seseorang maka semakin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
mudah untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Kosakata sangat berperan dalam menentukan keberhasilan komunikasi, menarik tidaknya suatu komunikasi tergantung pada pemilihan kosakata yang digunakan. Orang yang pandai memilih kosakata secara tepat akan menimbulkan ketertarikan terhadap pendengar. Ia akan berbicara dengan lancer, komunikatif, dan variatif, sehingga tidak membosankan. Hal ini berbeda sekali jika seseorang hanya mempunyai sedikit kosakata dan tidak mempunyai kemampuan memilih secara tepat, akibatnya kalimatnya mungkin tidak komunikatif sehingga sulit dimengerti, atau bahkan menimbulkan makna lain. Gorys Keraf (1988: 88) berpendapat bahwa dengan kata-kata seorang dapat berpikir, menyatakan perasaan, gagasan. Penguasaan kosakata sangat penting dalam berbicara. Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro (2010: 213) membagi penguasaan kosakata menjadi dua yaitu bersifar reseptif (kemampuan
untuk
memahami)
dan
produktif
(kemampuan
untuk
mempergunakan). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kosakata atau perbendaharaan kata yang cukup banyak, dan mengetahui secara tepat batas-batas pengertiannya, akan lebih mudah dan mampu berbicara secara tepat sesuai dengan ragam bahasa yang ada dalam bahasa tersebut. Dalam penelitian ini bahasa yang dimaksud adalah bahasa Jawa. Berdasarkan teori dan konsep yang dipaparkan di muka, dapat disintesiskan bahwa pada hakikatnya penguasaan kosakata merupakan kemampuan seseorang (siswa) tentang pemahaman kosakata dalam bahasa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
tertentu, baik yang bersifat produktif maupun yang bersifat reseptif. Artinya, penguasaan kosakata pada penelitian ini mengarah pada kemampuan siswa tentang pemahaman kosakata dalam berbicara secara tepat sesuai dengan ragam yang terdapat dalam bahasa Jawa. 4. Hakikat Minat Belajar a. Pengertian Minat Menurut pendapat Reilly dan Lewis (1983: 454) pengertian minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat pula didikatakan rasa suka seseorang terhadap sesuatu kegiatan, dimana minat menjadi sebab kegiatan itu dilakukan oleh seseorang dan juga merupakan penyebab munculnya partisipasi dalam suatu kegiatan. Dengan demikian, minat berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung secara sadar. Minat termasuk ke dalam salah satu aspek jiwa manusia yang biasanya menimbulkan kecenderungan gambaran yang lebih luas. Menurut pendapat Winkel (1993: 30) definisi minat adalah kecenderungan yang agak menetap dalam subjek, merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa berkecimpung dalam bidang tersebut. Kesiapan belajar juga dapat mempengaruhi perkembangan minat seseorang. Artinya seseorang belum akan berminat bila dia belum siap untuk melakukan kegiatan tersebut. Kesempatan belajar juga berpengaruh terhadap perkembangan minat seseorang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
Lingkungan sosial budaya juga sangat mempengaruhi perkembangan minat seseorang. Misalnya pengaruh orang tua, guru, teman, maupun lingkungannya turut mendorong timbulnya minat anak terhadap suatu kegiatan. Senada dengan Winkel, Slameto (2003: 57) mengemukakan bahwa minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan untuk mengenang beberapa kegiatan. Menurut Bimo Walgito (1996: 38) minat adalah suatu keadaan yang mana seseorang
mempunyai
perhatian
terhadap
sesuatu
keinginan
untuk
mengetahui, mempelajari dan membuktikan lebih lanjut. Selanjutnya menurut Whitherington (dalam Suharsimi Arikunto, 1999: 135) minat adalah kesadaran seseorang terhadap obyek seseorang, atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan dirinya serta dipandang sebagai sesuatu yang sadar. Minat menurut Gie (1994: 28) berarti sibuk, tertarik, atau terlibat sepenuhnya dengan sesuatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan itu. Crow dan Crow (1989: 3030) menyatakan bahwa minat bisa berhubungan dengan daya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan orang lain, benda, atau kegiatan itu sendiri. Dengan kata lain, minat dapat menjadi partisipasi dalam kegiatan. Menurut Tidjan (1977: 71), minat adalah gejala psikis yang menunjukkan pemusatan perhatian terhadap suatu objek. Dengan minat yang tinggi, suatu kegiatan akan memperoleh prestasi yang baik, karena dalam melakukan kegiatan tersebut disertai dengan perhatian yang tinggi dan dilakukan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
suasana yang menyenangkan. Minat yang besar akan mendorong seseorang untuk berusaha semaksimal mungkin dengan menggunakan berbagai fasilitas yang menunjang untuk mencapai tujuan yang diingikan. Aiken (1994: 209) memberi batasan minat sebagai kesukaan terhadap kegiatan melebihi kegiatan lainnya. Ini berarti minat berhubungan dengan nilai-nilai yang membuat seseorang mempunyai pilihan dalam hidupnya Menurut Winkel (1993: 30) dalam bukunya mengemukakan definisi minat adalah kecenderungan menetap dalam subjek untuk merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu. Rumusan pengertian minat yang lebih operasional dikemukakan oleh Rats, Harmin, dan Simon (1996: 69). Menurut mereka minat adalah sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seseorang dan menyebabkan orang itu menggunakan waktu, uang, serta energi untuk kesukaannya terhadap objek tersebut. Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa minat adalah sesuatu dorongan yang timbul dari dalam jiwa
seseorang
untuk
membangkitkan
ketertarikan
seseorang
dan
menyebabkan orang itu untuk berusaha, berbuat dengan intensitas yang lebih tinggi terhadap objek tersebut. b. Pengertian belajar Pengertian belajar menurut Slameto (2003: 78) adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa: a) “Belajar itu membawa suatu perubahan (behavioral changes) baik aktual maupun potensial; b) perubahan itu menghasilkan suatu kecakapan baru; dan c) perubahan itu terjadi karena usaha yang disengaja” (1993:249). Menurut Nasution, “Belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan (apakah dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah) yang dibedakan dari perubahan-perubahan oleh faktor yang tidak termasuk latihan, misalnya perubahan karena mabuk atau minum ganja bukan termasuk belajar” (1986:39). Lebih lanjut dijelaskan bahwa praktik yang diperkuat tersebut merupakan sebab belajar. Seseorang dikatakan telah belajar jika dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya ia tidak dapat melakukannya. Menurut Meier (2003;156), “Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan”. Pengetahuan di sini bukanlah sesuatu yang diserap siswa, melainkan sesuatu yang diciptakan siswa dalam proses belajarnya. Hakim (2002:1) “Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan daya pikir”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Menurut Winkel (1996: 50), belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas. Shalahuddin (1990: 29) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui prosedur latihan. Perubahan itu sendiri berangsur-angsur dimulai dari sesuatu yang tidak
dikenalnya,
untuk
kemudian
dikuasai
atau
dimilikinya
dan
dipergunakannya sampai pada suatu saat dievaluasi oleh yang menjalani proses belajar itu. Cronbach mengemukakan “Learning is shown by a change in behavior as results of experience” ( dalam Sumadi Suryobroto, 1983:181). Belajar itu ditunjukkan oleh adanya perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Definisi di atas mengandung makna: 1) Belajar adalah suatu aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik secara potensial maupun secara actual. 2) Perubahaan itu berupa kemampuan baru dalam memberikan respon terhadap suatu stimulus. Dengan kata lain, individu yang telah melakukan kegiatan belajar akan memiliki kemampuan baru dalam memberi sambutan terhadap situasi tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
3) Perubahaan itu berfungsi secara relatif permanen. Artinya perubahan itu bukan sekedar merupakan keadaan sesaat saja,tetapi dapat berfungsi dalam kurun waktu yang relatif lama. 4) Terjadinya perubahan itu bukan karena proses pertumbuhan atau kematangan,melainkan karena suatu usaha sadar. Artinya, terjadinya perubahan itu karena ada usaha yang disengaja oleh individu yang bersangkutan untuk memperoleh perubahan itu. Dapat ditarik kesimpulan, belajar merupakan proses menuju perubahan, baik perubahan dalam hal pengetahuan maupun dalam hal keterampilan dan sikap. c. Ciri-ciri Siswa Berminat dalam Belajar Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Slameto (2003: 58) siswa yang berminat dalam belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus-menerus. 2) Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati. 3) Memperoleh suatu kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang diminati. 4) Ada rasa keterikatan pada sesuatu aktivitas-aktivitas yang diminati. 5) Lebih menyukai suatu hal yang menjadi minatnya dari pada yang lainnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
6) Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan. Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan, dapat disintesiskan bahwa yang dimaksud minat belajar adalah kemauan yang kuat untuk melakukan suatu proses menuju perubahan, baik perubahan dalam hal pengetahuan maupun dalam hal keterampilan dan sikap. Dalam penelitian ini minat belajar tersebut adalah minat belajar bahasa Jawa. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah penetian yang dilakukan oleh Kathleen B. Egan (1999:277) yang berjudul Speaking: A Critical Skill and a Challenge. Dalam penelitiannya tersebut, Egan menyatakan bahwa berbicara merupakan inti dari pembelajaran bahasa kedua, namun justru paling banyak diabaikan dalam pengajaran dan dalam pengujiannya dengan alasan logistik dan sebagainya. Penelitian ini mendeskripsikan rencana dan usaha dalam meningkatkan kemampuan berbicara dengan speech-interactive melalui komputer. Dari penelitian ini, didapatkan gambaran tentang kemampuan berbicara yang dapat ditingkatkan melalui percakapan. Penelitian lain yang menginspirasi penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Xu Liu (2010: 136) yang berjudul Arousing the College Students’ Motivation in Speaking English through Role-Play. Penelitian ini membahas mengenai peningkatan motivasi berbicara bahasa Inggris melalui role-play. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan motivasi berbicara bisa terlaksana melalui metode role-play. Dalam metode role-play
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
terdapat dialog-dialog yang harus dilakukan pemeran untuk memerankan tokoh dalam drama yang disusun. Dalam pembacaan dialog-dialog tersebut perlu penguasaan kosakata yang baik agar percakapan yang dilakukan bisa lebih natural. Sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang perlunya penguasaan kosakata yang baik dalam percakapan, dan percakapan tersebut merupakan salah satu kemampuan berbicara. Penelitian mengenai penguasaan kosakata yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Phityan Dewi Yovita Agnes (2008) yang berjudul Improving Students’ Vocabulary Mastery Through Experiential Learning: an Action Research at the Sixth Year of SD Negeri Triyagan 2 Sukoharjo in 2007/2008 Academic Year. Phityan Dewi Yovita Agnes dalam penelitian ini mengemukakan bahwa penguasaan kosakata merupakan pengetahuan yang paling dasar untuk mempelajari bahasa Inggris, khususnya bagi pemula. Penelitian yang dilakukan oleh Sayekti Hidayah Rahayu dari Pascasarjana UNS (2011) juga sangat memberikan sumbangan yang berarti dalam penulisan ini. Penelitian tersebut berjudul Hubugan antara Penguasaan Kosakata dan Konsep Diri dengan Kemampuan Berbicara Survai pada Siswa Kelas VIII MTs N se-Kabupaten Sragen. Dari penelitian tersebut didapat sutu kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara, ada hubungan positif antara konsep diri dengan kemampuan berbicara, dan ada hubungan positif antara penguasaan kosakata, konsep iri secara bersama-sama denga kemampuan berbicara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
C. Kerangka Berpikir Setelah teori-teori atau konsep-konsep yang berhubungan dengan variabel penelitian yaitu penguasaan kosakata bahasa Jawa dan minat belajar bahasa Jawa serta kemampuan berbicara bahasa Jawa, berikut dikemukakan penyusunan kerangka berpikir. 1. Hubungan antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi. Sehingga, untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara
harus mengetahui
lafal,
struktur dan
kosakata
yang
bersangkutan. Sehubungan dengan hal di atas, maka ada hubungan yang positif antara penguasaan kosakata, dalam penelitian ini kosakata bahasa Jawa, dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. 2. Hubungan antara minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar siswa termasuk dalam kegiatan berbicara. Minat merupakan suatu kegemaran yang sengaja dilakukan dengan senang hati tanpa adanya suatu paksaan. Jika minat belajar bahasa Jawa siswa sudah tumbuh, maka kegemarannya menggunakan bahasa Jawa untuk berbicara juga tumbuh.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Dengan demikian, semakin tinggi minat belajar bahasa Jawa akan semakin baik dalam berbicara bahasa Jawa. 3. Hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersamasama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa Kemampuan berbicara bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya minat belajar dan penguasaan kosakata. Dengan menguasai kosakata bahasa Jawa siswa akan lebih tepat dalam berbicara bahasa Jawa. Sedangkan
minat
belajar
adalah
faktor
non
kebahasaan
yang
mempengaruhi diri seseorang untuk mau, malas, atau senang terhadap suatu kegiatan. Jadi, jika minat belajar siswa terhadap bahasa Jawa sudah muncul maka siswa juga akan gemar berbicara dengan bahasa Jawa. Dengan demikian, jika penguasaan kosakata bahasa Jawa baik dan minat belajar bahasa Jawa tinggi, maka diharapkan siswa akan mampu berbicara bahasa Jawa dengan tepat sesuai dengan ragamnya. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka ada hubungan positif antara penguasaan kosakata bahasa Jawa dan minat belajar bahasa Jawa secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Dari uraian tersebut dapat digambarakan suatu model pemikiran sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
3a Tinggi
1a
2a
Tinggi
Tinggi
Kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y)
Penguasaan kosakata
Minat belajar
X1
Rendah
Rendah Rendah
1b
3b
2b
Gambar 2. Model Alur Pemikiran Keterangan: 1a
= penguasaan kosakata semakin tinggi berkecenderungan kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi
1b
= penguasaan kosakata semakin rendah berkecenderungan kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin rendah
2a
=
minat
belajar
semakin
tinggi
berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi 2b
=
minat
belajar
semakin
rendah
berkecenderungan
kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin rendah
commit to user
X2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
3a
= penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersamasama
semakin
tinggi
berkecenderungan
kemampuan
berbicara bahasa Jawa juga semakin tinggi 3b
= penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersamasama semakin rendah kemampuan berbicara bahasa Jawa juga semakin rendah D. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut. 1. Ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa 2. Ada hubungan positif antara minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa 3. Ada hubungan positif antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan tempat dan waktu penelitian, populasi, sampel, dan penarikan sampel, metode penelitian, variabel penelitian dan definisi operasional, teknik pengumpulan data, validitas dan reliabilitas insrumen, uji prasyarat analisis, teknik analisi data, dan hipotesis statistik. Selengkapnya adalah sebagai berikut.
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Cilacap, SMA Negeri 1 Cipari, SMA Negeri 1 Bantarsari, SMA Negeri 1 Sidareja dan SMA Negeri 1 Kedungreja. Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan, dimulai pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Januari 2012. Penyusunan proposal hingga seminar proposal dilakukan dari bulan Mei sampai dengan bulan Juni. Kemudian penyusunan instrumen hingga uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober. Jadwal penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Tabel 1. Jadwal Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 6. 7. 8. 9.
Kegiatan Penyusunan proposal Revisi proposal Seminar proposal Penyusunan instrumen penelitian Validitas & reliabilitas instrumen Pengurusan surat ijin penelitian Penelitian Penyusunan laporan penelitian Ujian tesis Revisi
Mei X X
Jun
Jul
Tahun 2011/2012 Agt Sep Okt Nov
Des
Jan
X X X
X
X
X
X
X X X
X
X
X X X
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel 1. Populasi Dalam penelitian ini populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. Jumlah SMA Negeri seKabupaten Cilacap adalah 17 sekolah. 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti (Sudjana, 1996). Sampel dalam penelitian ini adalah untuk wilayah bagian timur, kelas X.J SMA Negeri 1 Cilacap, wilayah bagian barat, kelas X.4 SMA Negeri 1 Cipari, bagian selatan, kelas X.1 SMA Negeri 1 Kedungreja, bagian utara adalah kelas X. 7 SMA Negeri 1 Sidareja. Bagian terakhir adalah wilayah tengah, yaitu kelas X. 2 SMA Negeri 1 Bantarsari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
3. Teknik Penarikan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan multi-stage random sampling atau cluster random sampling. Menurut Bhisma Murti (2010: 56), multi-stage sampling merupakan skema pencuplikan di mana peneliti mencuplik sampel melalui proses bertingkat. Tingkat pertama, dicuplik lima SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap yang mewakili wilayah bagian timur, barat, selatan, utara dan tengah. Tingkat kedua dicuplik 1 kelas dari masingmasing SMA yang telah dicuplik pada tingkat pertama. C. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agara dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan keadaan (Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti, 2006: 14). Metode juga merupakan cara kerja untuk memahami dan mendalami objek yang menjadi sasaran. Melalui metode yang tepat, seorang peneliti tidak hanya mampu melihat fakta sebagai kenyataan, tetapi juga mampu memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang dpat terjadi melalui fakta itu. Meskipun bekal pengetahuan bahasa mencukupi, tetapi pemahaman metodologi penelitian bahasanya sempit, seorang peneliti bahasa akan melakukan penelitian dengan persiapan yang dangkal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Lebih lanjut Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti (2006: 15) menjelaskan metode penelitian dikendalikan oleh garis-garis yang konseptual dan prosedural. Pemikiran konseptual yang berupa gagasangagasan orisinal dan pemikiran prosedural dimulai dari observasi dan percobaan, dan berakhir pada pernyataan-pernyataan umum. Dengan kata lain, proses yang ditetapkan dalam metode penelitian sangat sistematis dan penuh tujuan. Lebih luas lagi metodologi mengacu pada rancangan ketika peneliti memilih prosedur tertentu untuk menyelidiki dan memecahkan suatu masalah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei melalui studi korelasional. Metode survei merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan status gejala pada waktu penelitian berlangsung dan dapat mengumpulkan data dari subjek penelitian. Studi korelasional merupakan studi yang digunakan untuk mencari hubungan antara 2 variabel atau lebih (Tulus Winarsunu, 2002: 71). Mc Millan dan Scumacher (dalam Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti, 2006: 25) menjelaskan penelitian korelasional berhubungan dengan penilaian hubungan antara dua atau lebih fenomena. Jenis penelitian ini biasanya melibatkan ukuran statistik tingkat / derajat hubungan, disebut korelasi. Ada dua jenis hubungan korelasi, yaitu korelasi positif dan korelasi negatif menurut Syamsudin AR. dan Vismaia S. Damaianti (2006: 25).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
Korelasi positif artinya bahwa nilai tinggi variabel pada variabel pertama berhubungan dengan nilai yang tinggi pada variabel kedua. Korelasi negatif artinya bahwa nilai tinggi variabel pertama berhubungan dengan nilai rendah variabel kedua. Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel, yaitu 2 variabel bebas (X1 dan X2) dan 1 variabel terikat(Y). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berbicara bahasa Jawa sedangkan variabel bebasnya adalah penguasaan kosakata dan minat belajar. Secara skematis, model hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut. 1 Penguasaan kosakata (X1) 3
Minat Belajar (X2)
Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa (Y)
2
Gambar 3. Model Hubungan Antarvariabel Keterangan: 1. Hubungan penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa 2. Hubungan minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
3. Hubungan penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa D. Variabel Penelitian & Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel bebas atau variabel independen dalam penelitian ini terdiri atas 2, yaitu: (1) penguasaan kosakata, dan (2) minat belajar. Sementara itu, variabel terikat atau variabel dependen penelitian ini adalah kemampuan berbicara Bahasa Jawa. 2. Definisi Operasional a. Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa Kemampuan berbicara bahasa Jawa adalah skor yang diperoleh siswa setelah merespon instrumen tes kemampuan berbicara. Skor yang diperoleh siswa ini menunjukkan kecakapan mereka dalam mengungkapkan apa yang menjadi maksudnya kepada orang lain dengan bahasa lisan sesuai dengan tingkat tutur bahasa Jawa. Tes kemampuan berbicara ini berbentuk tes unjuk kerja. Adapun aspek yang dinilai dalam tes kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa adalah (1) ekspresi; (2) kelancaran penyampaian maksud; (3) ketepatan penggunaan tingkat tutur; (4) kejelasan ucapan/pelafalan; (5) keruntutan cerita; (6) kesesuaian isi cerita. b. Penguasaan Kosakata Penguasaan Kosakata adalah skor yang diperoleh siswa setelah merespon tes penguasaan kosakata. Skor ini menunjukkan penguasaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
kosakata siswa dalam berbicara dalam bahasa Jawa sesuai dengan tingkat tuturnya. c. Minat belajar Minat adalah suatu perasaan pernyataan psikis yang menunjukkan adanya pemusatan perhatian terhadap suatu objek, karena objek tersebut menarik dirinya. Indikator untuk mengukur minat adalah: (1) penyediaan waktu; (2) keuletan; (3) pengorbanan; (4) tingkat kesenangan; (5) kesadaran kemanfaatan; (6) tingkat perhatian; (7) target capaian dan rasa bangga. E. Teknik Pengumpulan Data Data adalah segala fakta atau keterangan tentang sesuatu yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. Setiap informasi diharapkan dapat memberikan gambaran, keterangan, dan fakta yang akurat mengenai suatu kejadian / kondisi tertentu. Oleh karena itu perlu dipilih suatu tehnik pengumpulan data yang tepat, yang sesuai dengan karakteristik dari satuan pengamatan yang akan diungkap / diketahui (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 19). Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data berbentuk tes dan angket. Tes merupakan sebuah instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu sampel tingkah laku yang jawabnya berupa angka (Gronlund dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 105). Pengumpulan informasi lewat teknik tes lazimnya dilakukan lewat pemberian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
seperangkat tugas, latihan, atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh peserta didik (testi, tercoba) yang sedang dites. Untuk melakukan kegiatan tes diperlukan suatu perangkat tugas, pertanyaan, atau latihan. Perangkat tugas inilah yang kemudian dikenal sebagai alat tes atau instrumen tes. Jawaban yang diberikan peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dianggap sebagai informasi terpercaya yang mencerminkan kompetensi, pengetahuan, atau keterampilan yang sedang diukur capaiannya. Informasi tersebut kemudian dinyatakan sebagai salah satu masukan penting untuk mempertimbangkan posisi peserta didik dalam capaian prestasi belajar (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 105). Burhan Nurgiyantoro lebih lanjut mengemukakan bahwa tes dapat dibedakan menjadi berbagai macam tergantung dari segi membedakannya. Berdasarkan jumlah individu yang dites, tes dapat dibedakan menjadi tes individual dan tes kelompok. Tes individual terjadi jika sewaktu melaksanakan kegiatan tes guru hanya menghadapi seorang peserta didik. Misalnya, jika guru menghendaki tes satu per satu seperti dalam ujian lisan, praktik berbicara, wawancara, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam tes kelompok yang dihadapi guru adalah sejumlah peserta didik. Berdasarkan jawaban yang dikehendaki yang diberikan peserta didik, tes dapat dibedakan ke dalam tes perbuatan dan tes verbal. Tes perbuatan adalah tes yang menuntut respon peserta didik berupa tingkah laku yang melibatkan gerakan otot, tes kinerja, unjuk kerja performansi. Tes perbuatan dimaksudkan untuk mengukur tujuan-tujuan yang berkaitan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
dengan aspek psikomotorik. Tes verbal di pihak lain menghendaki jawaban peserta didik yangberupa tingkah laku verbal, yaitu jawaban yang berbentuk bahasa yang berisi kata-kata dan kalimat. Dilihat dari segi cara menjawabnya, tes verbal dibedakan menjadi tes lisan dan tes tertulis. Tes lisan menhendaki jawaban peserta didik diberikan secara lisan, sedang tes tertulis menuntut jawaban peserta didik diberikan secara tertulis. Tes lisan adalah tes yang perintah, pertanyaan, dan jawabannya dilakukan secara lisan. Baik guru yang memberi perintah atau pertanyaan maupun peserta didik yang menjawabnya dilakukan secara lisan (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 140). Ujian lisan dapat berupa tes formtif, ulangan harian, atau bahkan mungkin tes sumatif. Ujian ini biasanya dilakukan secara individual, seorang demi seorang per peserta didik hingga seluruh peserta didik mendapat bagian. Ujian lisan yang demikian akan membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang lebih banyak, maka penyelenggaraannya harus juga mempertimbangkan hal-hal tersebut. Bentuk nontes yang berupa wawancara dalam kondisi tertentu juga dapat dipandang sebagai tes lisan. Hal itu jika wawancara dimaksudkan untuk mengukur kompetensi berbahasa lisan pembelajar yang diwawancarai. Burhan Nurgiyantoro (2010: 142) menjelaskan tes kinerja, unjuk kerja, perbuatan atau performansi tidak berbeda pengertiannya dengan tes psikomotorik. Pada intinya tes kinerja adalah tes atau tugas yang menuntut pelibatan aktivitas motorik dalam meresponnya. Dalam pembelajaran bahasa tes kinerja dikaitkan dengan kompetensi berbahasa yang mencakup
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
keempat kompetensi berbahasa, yaitu menyimak dan membaca (aktif reseptif) serta berbicara dan menulis (aktif produktif). Tes kinerja dan tes lisan sebagai salah satu cara mengukur hasil belajar berbahasa bisa tumpang tindih. Sebuah tes kompetensi berbahasa dan bersastra yang diklaim sebagai tes lisan sebenarnya juga berupa tes kinerja. Tes kinerja atau tugas-tugas berunjuk kerja bahasa yang memakai saluran lisan misalnya wawancara, menceritakan kembali wacana yang didengar atau dibaca, berbagai jenis membaca bersuara seperti membaca nyaring, membaca indah, membaca puisi, cerpen, drama, berdeklamasi, dan lain-lain (Burhan Nurgiyantoro, 2007: 142-143). Secara garis besar, Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bentuk tes dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tes uraian, tes objektif, dan tes uraian objektif. Bentuk tes uraian atau esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk uraian dengan memergunakan bahasa sendiri. Dalam bentuk tes uraian itu peserta didik dituntut berpikir tentang dan memergunakan apa yang diketahui yang berkenaan dengan petanyaan yang harus dijawab. Bentuk tes uraian memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menyusun dan mengemukakan jawabannya sendiri dalam lingkup yang secara relative dibatasi (Tuckman dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 117). Bentuk tes objektif disebut juga sebagai tes jawaban singkat (short answer test). Sesuai dengan namanya, tes jawab singkat menuntut peserta didik hanya dengan memberikan jawaban singkat, bahkan hanya dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
memilih kode-kode tertentu yang mewakili alternative jawaban yang telah disediakan, misalnya dengan memberikan tanda silang, melingkari atau menghitamkan opsi jawaban yang dipilih. Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti dan dikhotomis, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar. Jika peserta didik tidak menjawab “seperti itu” (opsi atau jawaban yang dinyatakan benar) dinyatakan salah, dan tidak ada bobot atau skala terhadap jawaban suatu butir soal seperti halnya pada tes uraian. Oleh karena jawabannya bersifat pasti, jawaban peserta didik yang benar terhadap suatu butir soal, akan dinyatakan benar oleh korektor, entah siapapun korektornya. Dengan demikian, dengan mudah dan pasti terjadi kesepakatan di antara para korektor tentang jawaban yang benar. Hasil pekerjaan peserta didik diperiksa oleh siapapun dan kapanpun akan menghasilkan skor yang kurang lebih sama. Oleh karena itu tes ini disebut sebagai tes objektif (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 122). Sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, Burhan Nurgiyantoro (2007: 122-123) mengemukakan bahwa tes objektif memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah: a. Indikator dan bahan yang akan diteskan dimungkinkan lebih menyeluruh daripada tes uraian. Pembuatan tes objektif bisa relative banyak karena dapat dikerjakan secara cepat, dan itu berarti dapat mencakup bahan yang lebih banyak pula. Hal itu akan meningkatkan validitas isi alat tes yang bersangkutan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
b. Bentuk tes objektif hanya memungkinkan adanya satu jawaban yang benar. Hal itu akan menimbulkan adanya sifat objektivitas bagi peserta didik yang menjawab pertanyaan dan guru atau korektor yang memeriksa pekerjaan pserta didik. Keadaan ini memungkinkan terjadinya sifat reliabilitas penilaian yang tinggi. c. Bentuk tes objektif sangat mudah dikoreksi karena hanya mencocokkan jawaban peserta didik dengan kinci jawaban yang telah disediakan. d. Hasil pekerjaan bentuk tes objektif dapat dikoreksi secara cepat dengan hasil yang dapat dipercaya. Kelemahan yang dimiliki tes objektif menurut Nurgiyantoro (2007: 123-124) adalah sebagai berikut: a. Penyusunan bentuk tes objektif membutuhkan waktu yang relative lebih lama, di samping membutuhan ketelitian, kecermatan, dan kemampuan khusus dari pihak guru. b. Ada kecenderungan guru yang hanya menekankan perhatiannya pada indikator-indikator dan atau bahan ajar tertentu saja sehingga tes tidak bersifat komprehensif. Di samping itu, jika dilihat dari sisi jenjang kompetensi berpikir, yang dibuat pada umumnya hanya berupa jenjang-jenjang dasar: ingatan dan pemahaman, atau sedikit penerapan. c. Pihak peserta didik yang mengerjakan tes mungkin sekali melakukan hal-hal yang bersifat untung-untungan. Seorang peserta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
didik mungkin tidak mengerti sama sekali jawaban yang benar terhadap suatu butir soal. Walau hanya asal menjawab pertanyaan, jawabannya mungkin betul. Di samping itu, kerjasama antarpeserta didik sangat mudah terjadi. Jika hal ini terjadi, skor yang doicapai peserta didik belum tentu mencerminkan kompetensi atau capaian belajar yang sebenarnya. d. Bentuk tes objektif biasanya panjang sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaannya. Pengadaan tes objektif juga memerlukan waktu yang lama, misalnya dalam penyusunan, perbanyakan, dan pengurutan nomor. Burhan Nurgiyantoro di samping mengemukakan kelemahan dan kelebihannya, juga memberikan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kelemahan bentuk tes objektif, yaitu sebagai berikut: a. Penyusunan butir-butir soal bentuk tes objektif hendaknya mendasarkan
diri
pada
kisi-kisi
yang
telah
dipersiapkan
sebelumnya. Dengan cara itu akan dapat diatasi kecenderungan guru yang terpusat pada kompetensi dasar, indikator, atau bahan ajar tertentu dan kurang memperhatikan kompetensi dasar, indikator, atau bahan ajar yang lain. b. Kesulitan penyusunan tes objektif antara lain dapat diatasi dengan berlatih secara berkesinambungan, mempelajari bentuk tes objektif sususnan orang lain yang baik, dan lain-lain bahkan harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
memahami kompetensi dasar dan indikator, serta bahan ajar terkait yang akan disusun alat tesnya. c. Kemungkinan adanya peseta didik yang untung-untungan atau bekerjasama dapat diatasi dengan mengenakan rumus tebakan dalam penyekoran hasil pekerjaan peserta didik, pengawasan yang ketat ketika pelaksanaan ujian. d. Besarnya dana yang dibutuhkan dalam pengadaan tes objektif kiranya antara lain dapat diatasi dengan mempergunakan alat tes itu lebih dari hanya satu kali. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan jika alat tes itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi validitas, reliabilitas, dan efektivitas butir-butir soalnya. Dengan kata lain, ujian yang terdahulu harus dianalisis untuk memastikan hal-hal tersebut. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data berbentuk tes dan angket. Tes yang digunakan adalah tes kinerja dan tes objektif pilihan ganda. Tes kinerja digunakan untuk mengukur kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri seKabupaten Cilacap. Tes ini meliputi: (1) ekspresi; (2) kelancaran penyampaian maksud cerita; (3) ketepatan penggunaan tingkat tutur; (4) kejelasan ucapan / pelafalan; (5) keruntutan cerita; (6) kesesuaian isi cerita. Tes objektif pilihan ganda digunakan untuk mengukur penguasaan kosakata bahasa Jawa siswa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Kuesioner atau yang juga dikenal sebagai angket merupakan satu teknik pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis melalui sebuah daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, dan harus diisi oleh responden (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 25). Muhammad Ali (dalam Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 25) menyatakan bahwa kuesioner mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kuesioner sebagai alat pengumpul data adalah: (1) angket dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel, (b) dalam menjawab pertanyaan melalui angket responden dapat lebih leluasa, karena tidak dipengaruhi oleh sikap mental hubungan antara peneliti dengan responden, (c) setiap jawaban dapat dipikirkan masak-masak terlebih dahulu, karena tidak terikat oleh cepatnya waktu yang diberikan kepada responden untuk menjawab pertanyaan sebagaimana wawancara, (d) data yang terkumpul lebih mudah dianalisa, karena pertanyaan yang diajukan kepada setiap responden adalah sama. Sementara kekurangan kuesioner sebagai alat pengumpul data yaitu (a) pemakaian angket terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta yang diketahui responden, dan tidak dapat diperoleh dengan jalan lain, (b) sering terjadi angket diisi oleh orang lain (bukan responden yang sebenarnya), karena tidak dilakukan secara langsung berhadapn muka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
antara peneliti dengan responden, (c) angket diberikan terbatas kepada orang yang melek huruf. Bentuk kuesioner secara garis besar terdiri dari dua macam, yaitu kuesioner berstruktur dan kuesioner tidak berstruktur. Kuesioner berstruktur adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban, sehingga responden hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih. Bentuk jawaban kuesioner berstruktur adalah tertutup, artinya pada setiap item sudah tersedia berbagai alternatif jawaban. Kuesioner tidak berstruktur adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga responden bebas mengemukakan pendapatnya. Bentuk jawaban kuesioner tak berstruktur adalah terbuka, artinya setiap item belum terperinci dengan jelas jawabannya. Kondisi ini memungkinkan jawaban responden sangat beraneka ragam. Angket yang digunakan untuk mendapatkan data tentang minat belajar siswa dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner berstruktur. Angket ini berupa pertanyaan yang diikuti oleh respons atau jawaban yang telah tersedia yang menunjukkan tingkatan. Adapun empat respon atau tingkatan itu adalah SS = sangat setuju, S = setuju, TS = tidak setuju, STS = sangat tidak setuju. Pada item atau pertanyaan yang bersifat positif, respon atau jawaban SS bernilai 4, S bernilai 3, TS bernilai 2, dan STS bernilai 1. Sedangkan pada item yang bersifat negatif, SS bernilai 1, S bernilai 2, TS bernilai 3, dan STS bernilai 4. Indikator untuk mengukur minat adalah: (1) penyediaan waktu; (2) keuletan; (3) pengorbanan; (4)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
tingkat kesenangan; (5) kesadaran kemanfaatan; (6) tingkat perhatian; (7) target capaian dan rasa bangga. F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Langkah yang tak kalah penting dalam rangka kegiatan pengumpulan data adalah melakukan pengujian terhadap instrumen (alat ukur) yang akan digunakan. Kegiatan pengujian instrumen penelitian meliputi dua hal, yaitu pengujian validitas dan reliabilitas. Pentingnya pengujian validitas dan reliabilitas berkaitan dengan proses pengukuran yang cenderung keliru. Uji validitas dan reliabilitas diperlukan sebagai upaya memaksimalkan kualitas alat ukur, agar kecenderungan keliru dapat diminimalkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa validitas dan reliabilitas adalah tempat kedudukan untuk menilai kualitas semua alat dan prosedur pengukuran (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30). 1. Validitas Suatu instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat mengukur sesuatu dengan tepat apa yang hendak diukur. Ada dua jenis validitas untuk instrumen penelitian, yaitu validitas logis (logical validity) dan validitas empiric (empirical validity) (Suharsimi Arikunto dalam Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30). Validitas logis adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil penalaran. Instrumen dinyatakan memiliki validitas apabila instrumen tersebut telah dirancang dengan baik dan mengikuti teori dan ketentuan yang ada. Artinya, apabila instrumen yang sudah disusun berdasarkan teori
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
penyusunan instrumen, maka secara logis instrumen tersebut sudah valid (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 30). Validitas empirik adalah validitas yang dinyatakan berdasarkan hasil pengalaman. Sebuah instrumen penelitian dikatakan memiliki validitas apabila sudah teruji dari pengalaman. Dengan demikian, syarat instrumen memiliki validitas apabila sudah dibuktikan melalui pengalaman, yaitu melalui sebuah uji coba (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 3031). Untuk validasi instrumen kemampuan berbicara bahasa Jawa tidak dilakukan secara empirik atau melalui penghitungan statistik, tetapi hanya digunakan validitas logis yang mendasarkan pada teori-teori/konsep yang digunakan (dalam hal ini tercermin pada indikator-indikator kemampuan berbicara itu sendiri). Langkah kerja yang dilakukan dalam rangka mengukur validitas instrumen penelitian adalah sebagai berikut: a. Menyebarkan instrumen yang akan diuji validitasnya kepada responden
yang
bukan
merupakan
responden
sesungguhnya.
Responden dalam uji validitas instrumen penguasaan kosakata sejumlah 30, sedangkan responden dalam uji validitas instrumen minat belajar sejumlah 40. b. Mengumpulkan data hasil uji coba instrumen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
c. Memeriksa kelengkapan data, untuk memastikan lengkap tidaknya lembaran data yang terkumpul. Termasuk di dalamnya memeriksa kelengkapan pengisian item angket. d. Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor pada item yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perhitungan atau pengolahan data selanjutnya. e. Memberikan / menempatkan skor (scoring) terhadap item-item yang sudah diisi pada tabel pembantu. f. Menghitung koefisien korelasi produk momen untuk setiap butir / angket dari skor-skor yang diperoleh. g. Menentukan nilai tabel koefisien korelasi pada df (degree of freedom) = n – 2; uji validitas instrumen penguasaan kosakata memiliki N = 30 sehingga df = 30 – 2 = 28 dan uji validitas instrumen minat belajar memiliki N = 40 sehingga df = 40 – 2 = 38, dengan α = 5% h. Membuat kesimpulan dengan cara membandingkan nilai hitung r dengan nilai tabel r. criteria yang diberlakukan adalah jika nilai r hitung lebih besar (>) dari nilai r tabel, maka item dinyatankan valid. (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 31-36). Untuk mempermudah pengujian validitas instrumen tes penguasaan kosakata dan minat belajar bahasa Jawa siswa, digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. Berdasarkan langkah kerja di atas, suatu tes atau item penelitian dikatakan valid jika nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel, taraf
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
signifikan ditentukan 5%, jika diperoleh hasil korelasi yang lebih besar dari r tabel pada taraf signifikan 0.05 berarti pertanyaan tersebut valid. Berdasarkan uji coba instrumen penguasaan kosakata dengan menggunakan responden 30 orang dan uji coba instrumen minat belajar dengan responden 40 orang, maka dengan nilai kritik pada taraf signifikansi 5%, hasil uji validitas butir instrumen (rhitung) selanjutnya dikonsultasikan dengan rtabel harga kritik dari rtabel product moment df = 28 adalah r = 0,374 dan harga rtabel product moment pada df = 38 adalah r = 0,320. Bila rhitung lebih besar dari rtabel maka butir instrumen valid atau sebaliknya tidak valid. Berdasarkan hasil uji validitas yang telah dilakukan, dapat diketahui sebagai berikut: 1) Instrumen Penguasaan Kosakata Jumlah item pertanyaan = 30 item. Dari 30 butir item pertanyaan 25 item dinyatakan valid dengan range skor validitas = 0,403 - 0,726 > 0,374 dalam penelitian selanjutnya semua item yang valid diikutkan dalam instrumen penelitian. Sedangkan 5 item yang tidak valid didrop atau tidak digunakan dalam penelitian. 2) Instrumen Minat Belajar Jumlah item pernyataan = 40 item. Dari 40 butir item pernyataan 32 item dinyatakan valid dengan range skor validitas = 0,345 – 0,679 > 0,320. Dalam penelitian selanjutnya 30 item yang valid digunakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
sebagai instrumen penelitian dan 8 item yang tidak valid didrop dan 2 item tidak digunakan dalam penelitian. 2. Reliabilitas Instrumen Pengujian alat pengumpulan data yang kedua adalah pengujian reliabilitas instrumen. Suatu instrumen pengukuran dikatakan reliabel jika pengukurannya konsisten dan cermat akurat. Jadi uji reliabilitas instrumen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 37). Tuckman
(dalam
Burhan
Nurgiyantoro,
2010:
165)
mengungkapkan istilah reliabilitas tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu. Reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas (r) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya, koefisien reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah nilai reliabilitasnya. Langkah kerja yang dilakukan dalam rangka mengukur reliabilitas instrumen penelitian adalah sebagai berikut: a. Menyebarkan instrumen yang akan diuji reliabilitasnya kepada responden yang bukan merupakan responden sesungguhnya. Responden dalam uji reliabilitas instrumen penguasaan kosakata
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
sejumlah 30, sedangkan responden dalam uji reliabilitas instrumen minat belajar sejumlah 40. b. Mengumpulkan data hasil uji coba instrumen. c. Memeriksa kelengkapan data, untuk memastikan lengkap tidaknya lembaran data yang terkumpul. Termasuk di dalamnya memeriksa kelengkapan pengisian item angket. d. Membuat tabel pembantu untuk menempatkan skor-skor pada item yang
diperoleh.
Hal
ini
dilakukan untuk
mempermudah
perhitungan atau pengolahan data selanjutnya. e. Memberikan / menempatkan skor (scoring) terhadap item-item yang sudah diisi pada tabel pembantu. f. Menghitung koefisien korelasi produk momen untuk setiap butir / angket dari skor-skor yang diperoleh. g. Menentukan nilai tabel koefisien korelasi pada df (degree of freedom) = n – 2; uji reliabilitas instrumen penguasaan kosakata memiliki N = 30 sehingga df = 30 – 2 = 28 dan uji reliabilitas instrumen minat belajar memiliki N = 40 sehingga df = 40 – 2 = 38. Untuk uji reliabilitas kemampuan berbicara df = (rater)(aspek) - 1. Sehingga diperoleh df untuk kemampuan berbicara = 17, dengan α = 5% h. Membuat kesimpulan dengan cara membandingkan nilai hitung r dengan nilai tabel r. Kriteria yang diberlakukan adalah jika nilai r
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
hitung lebih besar (>) dari nilai r tabel, maka item dinyatankan reliabel. (Sambas Ali dan Maman Abdurrahman, 2007: 38-41). Berdasarkan langkah kerja di atas, suatu tes atau item penelitian dikatakan reliabel jika nilai r hitung lebih besar daripada nilai r tabel, taraf signifikan ditentukan 5%. Berdasarkan uji coba instrumen penguasaan kosakata dengan menggunakan responden 30 orang dan uji coba instrumen minat belajar dengan responden 40 orang, maka dengan nilai kritik pada taraf signifikansi 5%, hasil uji reliabilitas butir instrumen (rhitung) selanjutnya dikonsultasikan dengan rtabel harga kritik dari rtabel product moment df = 28 adalah r = 0,361 dan harga rtabel product moment pada df = 38 adalah r = 0,312 sedangkan rtabel product moment df = 17 adalah r = 0,456. Bila rhitung lebih besar dari rtabel maka butir instrumen reliabel atau sebaliknya tidak reliabel. Untuk mempermudah penghitungan reliabilitas instrumen tes penguasaan kosakata dan angket minat belajar bahasa Jawa siswa dalam penelitian ini digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. Sedangkan untuk menghitung reliabilitas kemampuan berbicara digunakan rumus reliabilitas rating sebagai berikut: 1. Menghitung jumlah kuadrat total (JKT) JKT = Σt2 - (
∑ )(
)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
Kemudian dicari derajat bebas total (dbt) dengan rumus: dbt = (aspek)(raters) – 1 2. Menghitung jumlah kuadrat antar-raters (Jkt) dengan rumus: Jkt =
(∑
1)
2 + (∑
2)
2+
……….(∑
)2
−(
)2
(∑ )
慡
Kemudian dicari derajat bebas total (dbt) dengan rumus: dbt = raters – 1 3. Menghitung jumlah nilai antaraspek (Jks) Jks =
(∑
1)
2 +(∑
2)
2 + ……….(∑
)2
−(
)2
(∑ )(
)
Selanjutnya dicari derajat bebas aspek (dbs) dengan rumus: dbs = aspek – 1 4. Menghitung jumlah kuadrat total residu (JKTs) dengan rumus: JKTs = JKT - Jkt – Jks Selanjutnya dicari derajat total dengan rumus: dbts = (aspek-1)(raters-1) Uji coba reliabilitas instrumen mendapatkan hasil sebagai berikut: 1. Instrumen Kemampuan Berbicara Hasil uji reliabilitas tes kemampuan berbicara diperoleh r = 0,868 berarti instrumen kemampuan berbicara reliabel karena r hitung lebih besar dari r tabel yaitu 0,868 > 0,456. Perhitungan reliabilitas rating selengkapnya terdapat pada lampiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
2. Instrumen Penguasaan Kosakata Hasil uji reliabilitas tes penguasaan kosakata diperoleh r = 0,895 berarti instrumen penguasaan kosakata reliabel karena hasil r hitung lebih besar dari r tabel yaitu 0,895 > 0,361. Reliabilitas tes penguasaan kosakata terlihat dalam keluaran spss berikut. Tabel 2. Reliabilitas Instrumen Penguasaan Kosakata
Cronbach's Alpha .895
N of Items 30
3. Instrumen Minat Belajar Hasil uji reliabilitas angket minat belajar diperoleh r = 0,928 berarti instrumen minat belajar reliabel karena hasil r hitung lebih besar dari r tabel yaitu 0,928 > 0,312. Hal ini terlihat dalam keluaran spss di bawah ini. Tabel 3. Reliabilitas Instrumen Minat Belajar
Cronbach's Alpha .928
N of Items 40
G. Uji Prasyarat Analisis Sebelum data penelitian dianalisis, data tersebut perlu diuji prasyarat analisis yaitu uji normalitas. Uji normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Data yang berdistribusi normal berarti memiliki sebaran yang normal pula. Dengan profil data yang memiliki sebaran yang normal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menguji normalitas data, antara lain uji chikuadrat, uji lilliefors, dan uji kolmogorov-smirnov. Uji normalitas dalam
penelitian ini menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. Linieritas adalah keadaan di mana hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen bersifat linier (garis lurus) dalam range variabel independen tertentu. Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui persamaan garis regresi variabel bebas X terhadap variabel terikat Y bersifat linier (garis lurus) atau tidak. Berdasarkan garis regresi yang telah dibuat, selanjutnya diuji keberartian koefisien garis regresi serta linieritasnya. Uji linieritas antara variabel bebas X dengan variabel terikat Y menggunakan Test of Linierity dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. 1. Uji Normalitas Hasil uji normalitas data dengan tes Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0 dapat dilihat dalam tabel rangkuman pengujian sebagai berikut. Tabel 4. Rekap Hasil Uji Normalitas Variabel
Koefisien p
α
Status
Kemampuan berbicara
0,115
0,05
Normal
Penguasaan Kosakata
0,133
0,05
Normal
Minat Belajar
0,416
0,05
normal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
H0 = sampel ditarik dari populasi berdistribusi normal H1 = sampel ditarik dari populasi berdistribusi tidak normal α = 0,05 - sig > 0,05 maka H0 diterima (normal) - sig < 0,05 maka H0 ditolak (tidak normal) Dari tabel rangkuman hasil pengujian di atas, kemampuan berbicara memiliki nilai sig. (signifikansi) sebesar 0,115 > 0,05, kemudian penguasaan kosakata memiliki nilai sig. 0,133 > 0,05, dan nilai sig. minat sebesar 0,416 > 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data-data tersebut, yaitu kemampuan berbicara, penguasaan kosakata, dan minat belajar ditarik dari populasi yang berdistribusi normal. Dengan kata lain, H0 diterima. 2. Uji Linieritas Perhitungan linieritas dengan Anava berdasarkan sumber variasi deviation from linearity dilakukan dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15.0. rangkuman pengujian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Rekap Hasil Uji Linieritas Variabel Kemampuan berbicara - Penguasaan Kosakata Kemampuan berbicara - Minat Belajar
Koefisien p 0,480 0,087
α 0,05 0,05
Status Linier Linier
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa uji linieritas hubungan antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen menghasilkam nilai p > 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen berbentuk linier. H. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik kuantitatif korelasi sehingga uji hipotesis yang digunakan ialah teknik analisis korelasi (sederhana dan ganda). Dalam program Statistical Product and Service Solution (SPSS) tidak terdapat menu korelasi ganda secara khusus, sehingga digunakan menu regression. Adapun bentuk persamaan regresi linier yang akan dicari adalah regresi Y atas X1 dan X2 dengan model: Ŷ = bo + b 1 X1 + b2 X2 I. Hipotesis Statistik 1. Ho = ry1≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa) Ho = ry1> 0 (terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan kemampuan berbicara bahasa Jawa) 2. Ho = ry2≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa) Ho = ry2>0 (terdapat hubungan antara minat belajar dan kemampuan berbicara bahasa Jawa) 3. Ho = Ry12≤ 0 (tidak terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
Ho = Ry12>0 (terdapat hubungan antara penguasaan kosakata dan minat belajar secara bersama-sama dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam hasil penelitian dibicarakan tiga pokok bahasan, yaitu deskripsi data masing-masing variabel, pengujian prasyarat analisis, pengujian hipotesis serta pembahasan dan analisis data. A. Deskripsi Data Dalam deskripsi data akan dikemukakan mengenai data kemampuan berbicara bahasa Jawa, penguasaaan kosakata, dan data minat belajar siswa kelas X SMA Negeri se- Kabupaten Cilacap. 1. Data Kemampuan Berbicara Data kemampuan berbicara merupakan skor yang diperoleh melalui tes kinerja. Data ini memiliki nilai tertinggi sebesar 25, nilai terendah sebesar 11, rata-rata sebesar 18,196, median sebesar 18, modus sebesar 18, dan standar deviasi sebesar 3,17. Adapun sebaran frekuensinya disajikan dalam diagram 1 berikut: Tabel 6. Deskriptif Data Kemampuan Berbicara Variabel
Max
Min
Mean
Median
Modus
SD
Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
25
11
18,196
18
18
3,17
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
Adapun distribusi frekuensi data kemampuan berbicara bahasa Jawa dapat disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut: Tabel 7. Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa Skor
f absolut
f relatif (%)
10,5 – 12,5
7
4,1
12,5 – 14,5
12
7,1
14,5 – 16,5
31
18,3
16,5 – 18,5
45
26,6
18,5 – 20,5
37
21,8
20,5 – 22,5
19
11,2
22,5 – 24,5
14
8,2
24,5 – 26,5
4
2,3
Jumlah
169
100
Frekuensi Absolut Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa 50
45 37
Frekuensi
40
31
30 19
20 10
14
12 7
4
0 10,5
12,5
14,5
16,5
18,5
20,5
Nilai
Gambar 4. Histogram Data Kemampuan Berbicara Bahasa Jawa
commit to user
22,5
24,5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
2. Data Penguasaan Kosakata Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran. Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai berikut: mean diperoleh angka sebesar 13,77; median diperolah angka sebesar 14; modus diperoleh angka sebesar 14; standar deviasi diperoleh angka sebesar 3,14; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 24 dan nilai terendah diperoleh angka sebesar 3. Tabel 8. Deskripsi Data Penguasaan Kosakata Variabel Penguasaan Kosakata
Max
Min
Mean
Median
Modus
SD
24
3
13,77
14
14
3,14
Adapun distribusi frekuensi data penguasaan kosakata dapat disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut: Tabel 9. Distribusi Frekuensi Data Penguasaan Kosakata Skor
f absolut
f (%)
2,5 – 5,5
1
0,6
5,5 – 8,5
8
4,7
8,5 – 11,5
26
15,4
11,5 – 14,5
65
38,5
14,5 – 17,5
54
32
17,5 – 20,5
11
6,5
20,5 – 23,5
3
1,8
23,5 – 26,5
1
0,6
Jumlah
169
100
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
Frekuensi
Frekuensi Absolut Data Penguasaan Kosakata 65
70 60 50 40 30 20 10 0
54 26 1 2,5
11
8 5,5
8,5
11,5
14,5
17,5
3
1
20,5
23,5
Nilai
Gambar 5. Histogram Data Penguasaan Kosakata
3. Data Minat Belajar Skor data yang telah diperoleh dapat dilihat pada lampiran. Sedangkan rangkuman data statistik dapat disajikan dalam uraian sebagai berikut: mean diperoleh angka sebesar 92,72; median diperolah angka sebesar 92; modus diperoleh angka sebesar 89; standar deviasi diperoleh angka sebesar 8,08; nilai tertinggi diperoleh angka sebesar 111 dan nilai terendah diperoleh angka sebesar 72. Tabel 10. Deskriptif Data Minat Belajar Variabel Penguasaan Minat Belajar
Max
Min
Mean
Median
Modus
SD
111
72
92,72
92
89
8,08
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
Adapun distribusi frekuensi data penguasaan kosakata dapat disajikan dalam tabel dan histogram sebagai berikut: Tabel 11. Distribusi Frekuensi Data Minat Belajar Skor
f absolut
f relatif (%)
71,5 – 76,5
4
2,4
76,5 – 81,5
7
4,1
81,5 – 86,5
25
14,8
86,5 – 91,5
43
25,4
91,5 – 96,5
33
19,5
96,5 – 101,5
33
19,5
101,5 – 106,5
17
10,1
106,5 – 111,5
7
4,1
Jumlah
169
100
Frekuensi Absolut Data Minat Belajar 50
43
Frekuensi
40
33
30
33
25 17
20 10
4
7
7
0 71,5
76,5
81,5
86,5
91,5
Nilai
Gambar 6. Histogram Data Minat Belajar
commit to user
96,5
101,5
106,5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
B. Pengujian Prasyarat Analisis Data Data yang telah tersusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis untuk membuktikan hipotesis yang dirumuskan. Syarat analisis data yang digunakan analisis regresi linier adalah sebaran populasi data harus berdistribusi normal dan kedua variabel bebas harus linier dengan variabel terikat. Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil uji normalitas dan hasil uji linieritas. Hasil uji prasyarat analisis data yang telah dilakukan dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut: 1. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas digunakan untuk menunjukkan apakah data yang dianalisis mempunyai sebaran (distribusi) normal atau tidak. Untuk menetapkan normal atau tidaknya distribusi data digunakan kriteria sebagai berikut: Jika p > 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi normal Jika p < 0,05 maka data yang diperoleh berdistribusi tidak normal Perhitungan normalitas dengan metode Kolmogorov-Smirnov Test with Lilliefors Significance Correction dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows 15.0. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output atau keluaran spss dan dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 12. Hasil Uji Normalitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Penguasaan Kosa Kata 169 13,77 3,138 ,090 ,073 -,090 1,164 ,133
Minat Belajar 169 92,72 8,083 ,068 ,068 -,054 ,883 ,416
Kemamp. Bicara B Jawa 169 18,20 3,165 ,092 ,092 -,079 1,195 ,115
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Tabel 13. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Koefisien p
α
Status
Kemampuan berbicara
0,115
0,05
Normal
Penguasaan kosakata
0,133
0,05
Normal
Minat belajar
0,416
0,05
Normal
Variabel
Berdasarkan output atau keluaran dan tabel di atas, kemampuan berbicara memiliki nilai sig. (signifikansi) sebesar 0,115 > 0,05, kemudian penguasaan kosakata memiliki nilai sig. 0,133 > 0,05, dan nilai sig. minat sebesar 0,416 > 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data-data tersebut, yaitu kemampuan berbicara, penguasaan kosakata, dan minat belajar ditarik dari populasi yang berdistribusi normal. Dengan kata lain, H0 diterima. 2. Uji Linieritas
Dengan adanya hasil uji linieritas maka diketahui apakah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat berbentuk linier. Untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
menetapkan linier atau tidaknya bentuk hubungan antar variabel digunakan kriteria sebagai berikut: Jika p > 0,05 maka data dalam penelitian memiliki korelasi yang linier Jika p < 0,05 maka data dalam penelitian korelasinya tidak linier Perhitungan linieritas dengan Anova berdasarkan sumber variasi deviation from linearity dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows 15.0. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output atau keluaran spss dan dirangkum dalam tabel berikut: Tabel 14. Hasil Uji Linieritas X1 dan Y ANOVA Table
Kemamp. Bicara B Jawa * Penguasaan Kosa Kata
Between Groups
(Combined) Linearity Deviation from Linearity Within Groups Total
Sum of Squares 330,644 179,986
df 18 1
Mean Square 18,369 179,986
F 2,038 19,970
Sig. ,011 ,000
150,659
17
8,862
,983
,480
1351,912 1682,556
150 168
9,013
Tabel 15. Hasil Uji Linieritas X2 dan Y ANOVA Table
Kemamp. Between Bicara B Groups Jawa * Minat Belajar
(Combined) Linearity Deviation from Linearity Within Groups Total
Sum of Squares 550,350 155,678
df 34 1
Mean Square 16,187 155,678
F 1,916 18,425
Sig. ,005 ,000
394,672
33
11,960
1,415
,087
1132,206 1682,556
134 168
8,449
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Tabel 16. Rangkuman Hasil Uji Linieritas Variabel independen
Koefisien p
α
Status
Kemampuan berbicara - Penguasaan kosakata
0,480
0,05
Linier
Kemampuan berbicara - Minat belajar
0,087
0,05
Linier
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa uji linieritas hubungan antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen menghasilkan nilai p > 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen berbentuk linier. C. Pengujian Hipotesis
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan analisis data untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya diterima atau ditolak. Adapun analisis korelasi sederhana dan regresi ganda dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows 15.0.
1. Mencari Korelasi antara Kriterium dengan Prediktor a. Menghitung Koefisien Korelasi sederhana dengan Product Moment antara X1 dan Y; X2 dan Y 1) Koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y (Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa) Ha: Ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
H0: Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa Perhitungan korelasi menghasilkan angka koefisien korelasi sebesar r = 0,327 dengan signifikansi p = 0,000 tingkat signifikannya 1%. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi signifikan atau diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output spss berikut ini. Tabel 17. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan Y Correlations pengkosa pengkosa
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
bicara
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1
bicara .327(**) .000
169 .327(**) .000
169 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
169 1 169
Dengan demikian pengujian hipotesis pertama dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima. 2) Koefisien korelasi sederhana dengan Product Moment antara X2 dan Y (Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa) Ha : Ada hubungan positif yang signifikan antara Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa H0 : Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Perhitungan korelasi menghasilkan angka koefisien korelasi sebesar r = 0,304 dengan signifikansi p = 0,000 tingkat signifikannya 1%. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi signifikan atau diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output spss berikut ini. Tabel 18. Hasil Uji Korelasi antara X2 dan Y Correlations bicara bicara
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
minat
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 169 .304(**) .000
minat .304(**) .000 169 1
169 169 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dengan demikian pengujian hipotesis kedua dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima. b. Menghitung Koefisien Korelasi Ganda antara X1, X2 dengan Y Ha: Ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dan Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa H0: Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dan Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa Perhitungan korelasi ganda dengan analisis regresi menghasilkan angka koefisien korelasi sebesar R = 0,447. Anova untuk menguji signifikansi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
korelasi ganda menghasilkan nilai statistik sebesar F = 20,696 dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa korelasi signifikan atau diputuskan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Hasil perhitungan dapat dilihat pada output spss berikut ini. Tabel 19. Hasil Uji Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y Model Summaryb Model 1
R R Square ,447a ,200
Adjusted R Square ,190
Std. Error of the Estimate 2,848
DurbinWatson 2,114
a. Predictors: (Constant), Minat Belajar, Penguasaan Kosa Kata b. Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawa
Tabel 20. Hasil Uji Signifikansi Korelasi antara X1 dan X2 dengan Y ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 335,809 1346,747 1682,556
df 2 166 168
Mean Square 167,904 8,113
F 20,696
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), Minat Belajar, Penguasaan Kosa Kata b. Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawa
Dengan demikian pengujian hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dan minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” diterima.
2. Mencari Persamaan Garis Regresi Berdasarkan hasil perhitungan regresi ganda pada output berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
Tabel 21. Hasil Perhitungan Regresi Ganda antara X1 dan X2 dengan Y Coefficientsa
Model 1
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,603 2,708
(Constant) Penguasaan Kosa Kata Minat Belajar
Standardized Coefficients Beta
t ,961
Sig. ,338
,330
,070
,327
4,712
,000
,119
,027
,304
4,383
,000
a. Dependent Variable: Kemamp. Bicara B Jawa
maka diperoleh persamaan regresi ganda sebagai berikut: Ŷ = bo + b1 X1 + b2 X2 Ŷ = 2,603 + 0,330 X1 + 0,119 X2 Persamaan tersebut menyatakan hubungan matematis antarvariabel. Fungsinya adalah untuk memperkirakan (menentukan) nilai kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y) berdasarkan nilai penguasaan kosakata (X1) dan nilai minat belajar (X2). Jika X1 dan X2 tidak ada, maka besarnya Y adalah 2,603 satuan. Jika X1 berubah sebesar 1 satuan, maka Y akan berubah sebesar 0,330 satuan. Jika X2 berubah sebesar 1 satuan, maka Y akan berubah sebesar 0,119 satuan. D. Menentukan Sumbangan Relatif 1. Hasil Kontribusi X1 terhadap Y Kontribusi (sumbangan) variabel X1 terhadap variabel Y, yaitu penguasaan kosakata terhadap kemampuan berbicara bahasa Jawa, dapat diketahui dengan cara menguadratkan koefisien korelasi sederhana antara X1 dan Y (ry1) yang diperoleh, yaitu 0,327, dikalikan seratus persen (100%) sehingga diperoleh hasil sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
(ry1)2 x 100% = (0,327)2 x 100% = 0,106929 x 100% = 10,69% Dengan demikian, variabel X1 (penguasaan kosakata) memberi kontribusi terhadap Y (kemampuan berbicara) sebesar 10,69%. 2. Hasil Kontribusi X2 terhadap Y Kontribusi (sumbangan) variabel X2 terhadap variabel Y, yaitu minat belajar terhadap kemampuan berbicara bahasa Jawa, dapat diketahui dengan cara menguadratkan koefisien korelasi sederhana antara X2 dan Y (ry2) yang diperoleh, yaitu 0,304, dikalikan seratus persen (100%) sehingga diperoleh hasil sebagai berikut. (ry2)2 x 100% = (0,304)2 x 100% = 0,092416 x 100% = 9,24% Dengan demikian, variabel X2 (minat belajar) memberi kontribusi terhadap Y (kemampuan berbicara) sebesar 9,24%. 3. Hasil Kontribusi X1 X2 terhadap Y Kontribusi (sumbangan) variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y, yaitu penguasaan kosakata dan minat belajar terhadap kemampuan berbicara bahasa Jawa, dapat diketahui dengan cara menguadratkan koefisien korelasi ganda antara X1X2 dan Y (ry12) yang diperoleh, yaitu 0,447, dikalikan seratus persen (100%) sehingga diperoleh hasil sebagai berikut. (ry12)2 x 100% = (0,447)2 x 100% = 0,199809 x 100% = 19,98% Dengan demikian, variabel X1 dan X2 (penguasaan kosakata dan minat belajar) memberi kontribusi terhadap Y (kemampuan berbicara) sebesar 19,98%. E. Pembahasan dan Analisis Data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian dilakukan pembahasan dan analisis data terhadap rumusan hipotesis sebagai berikut: 1. Hubungan antara Penguasaan kosakata (X1) dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y) Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima karena r = 0,327 dan p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel Penguasaan kosakata dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa memiliki hubungan positif yang signifikan. Berbicara bukan hanya cepat mengeluarkan kata-kata dari alat ucap, tetapi utamanya adalah menyampaikan pokok-pokok pikiran secara teratur, dalam berbagai ragam bahasa sesuai dengan fungsi komunikasi. Sehingga, untuk dapat berbicara dalam suatu bahasa secara baik, pembicara harus mengetahui lafal, struktur dan kosakata yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat hubungan yang positif antara penguasaan kosakata bahasa Jawa, dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semakin tinggi penguasaan kosakata bahasa Jawa, kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa akan semakin tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
2. Hubungan antara Minat Belajar (X2) dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y) Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” dinyatakan diterima karena r = 0,304 dan p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel Minat Belajar dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa memiliki hubungan positif yang signifikan. Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar siswa termasuk dalam kegiatan berbicara. Jika minat belajar bahasa Jawa siswa sudah tumbuh, maka kegemarannya menggunakan bahasa Jawa untuk berbicara juga tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semakin tinggi minat belajar bahasa Jawa siswa akan semakin baik dalam berbicara bahasa Jawa. 3. Hubungan antara Penguasaan kosakata (X1) dan Minat Belajar (X2) dengan Kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y) Hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata dan minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Cilacap” diterima karena R = 0,447 dan p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti bahwa variabel penguasaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
kosakata dan minat belajar memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemampuan berbicara bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya minat belajar dan penguasaan kosakata. Dengan menguasai kosakata bahasa Jawa siswa akan lebih tepat dalam berbicara bahasa Jawa. Sedangkan minat belajar adalah faktor non kebahasaan yang mempengaruhi diri seseorang untuk mau, malas, atau senang terhadap suatu kegiatan. Jadi, jika minat belajar siswa terhadap bahasa Jawa sudah muncul maka siswa juga akan gemar berbicara dengan bahasa Jawa. F. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti telah berusaha secara maksimal tetapi disadari sepenuhnya masih terdapat beberapa keterbatasan antara lain : 1.
Penelitian ini khusus menyangkut mata pelajaran Bahasa Jawa dan hanya mengungkap
kompetensi
dasar
berbicara,
sehingga
tidak
bisa
digeneralisasikan untuk mata pelajaran dan kompetensi dasar yang lain. 2.
Hasil kesimpulan dalam penelitian ini hanya berlaku pada siswa kelas X SMA Negeri se - Kabupaten Cilacap yang menjadi populasi penelitian, sehingga generalisasi hasil penelitian hanya dapat diterapkan kepada populasi yang memiliki karakteristik dan kriteria yang sama dengan penelitian ini.
3.
Penggunaan instrumen berupa
angket atau
kuesioner
memiliki
kelemahan antara lain responden memiliki kecenderungan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
memperlihatkan hal yang baik pada dirinya. Sehingga menyebabkan responden memilih jawaban yang tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Mengatasi hal itu peneliti telah memberikan himbauan kepada responden untuk memberikan jawaban sesuai keadaan dirinya dan tidak terpengaruh orang lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan deskripsi data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata (X1) dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y). Semakin tinggi penguasaan kosakata siswa maka, semakin meningkat pula kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. 2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara minat belajar (X2) dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y). Semakin tinggi minat belajar yang dimiliki siswa maka, semakin meningkat pula kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguasaan kosakata (X1) dan minat belajar (X2) dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa (Y). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penguasaan kosakata dan minat belajar siswa maka, kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa juga akan meningkat. B. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa implikasi sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
1. Dengan adanya hubungan positif antara penguasaan kosakata dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa, maka memberikan gambaran bagi guru, agar bisa lebih banyak memberikan bentuk-bentuk tes yang dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. 2. Dengan adanya hubungan positif antara minat belajar dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa, maka dapat memberikan gambaran bagi siswa dan guru
untuk
dapat
meningkatkan
minat
belajar
siswa.
Dengan
meningkatkan minat belajar yang ada pada dirinya, siswa secara sukarela atau tanpa paksaan akan meningkatkan kegiatan belajar mereka, sehingga akan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. 3. Dengan memperhatikan seluruh faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa baik penguasaan kosakata maupun minat belajar, maka secara nyata guru harus dapat menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang efektif, nyaman dan memadai bagi siswa, sehingga penguasaan kosakata dan minat belajar siswa meningkat untuk meningkatkan pula kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa.
C. Saran Berdasarkan simpulan dan implikasi hasil penelitian di atas, maka perlu disampaikan saran-saran sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
1. Bagi Sekolah a.
Sekolah hendaknya memberikan dukungan penuh bagi terbentuknya lingkungan belajar yang efektif di sekolah dengan meyediakan sarana bagi guru dan siswa untuk dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa.
b.
Guru hendaknya memahami bahwa siswa memiliki latar belakang minat belajar yang berbeda, sehingga guru hendaknya memiliki trik untuk dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar.
2. Bagi Siswa a. Siswa hendaknya menyadari arti pentingnya penguasaan kosakata bagi kemampuan berbicaranya, sehingga siswa diharapkan senantiasa dapat meningkatkan penguasaan kosakatanya melalui berbagai cara dalam belajar. b. Siswa hendaknya senantiasa dapat meningkatkan minat belajarnya sehingga kemampuan yang dimilikinya juga dapat senantiasa meningkat. 3. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini dapat dijadikan acuan dan referensi untuk mengadakan penelitian mengenai penguasaan kosakata, minat belajar, dan kemampuan berbicara bahasa Jawa siswa. Hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan.
commit to user