1
HET BELEID VAN DE RECHTER DAN UPAYA PENEGAKAN UU PKDRT OLEH HAKIM DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA Oleh: A. Mukti Arto
ال ْس ِبم َّر ِب َّر ال ِب ِب
ِب ْس ِب
Pendahuluan Pada tanggal 26 s/d 28 Februari 2013, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia (Badilag MA-RI) menyelenggarakan Seminar dan Workshop Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Usulan Standarisasi Penerapan (SOP) UU PKDRT dengan mengambil tema “Mendorong Efektifitas Penegakan UU PKDRT dalam rangka Pemenuhan Hak-Hak Korban Melalui Penerapan Standarisasi UU PKDRT.” Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun standarisasi bagi para hakim di Lingkungan Peradilan Agama yang diharapkan mampu menegakkan UU PKDRT dalam kasus-kasus rumah tangga diajukan kepadanya melalui proses peradilan perdata guna memulihkan kembali hak-hak istri dan anak-anak korban KDRT. Tulisan ini dimaksudkan untuk: pertama, menjadi bahan diskusi di lingkungan para hakim Peradilan Agama maupun para akademisi di berbagai kampus dan para tokoh-tokoh agama dan masyarakat guna merespon
perkembangan
kebutuhan
hukum
masyarakat;
kedua,
mendorong semua pihak dan para hakim di Lingkungan Peradilan Agama untuk mendalami lebih lanjut mengenai peran apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dikehendaki oleh UU PKDRT melalui perkara-perkara rumah tangga yang diajukan ke pengadilan agama yang pada gilirannya nanti dapat disusun standarisasi penerapan UU PKDRT dalam proses peradilan; dan ketiga, menyumbangkan suplemen bagi para peserta seminar dan lembaga terkait dalam upaya menegakkan UU PKDRT.
2
Apakah KDRT itu? Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Psl 1 angka 1 UU-PKDRT). KDRT ini bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, oleh sebab itu harus dihapuskan. Dalam ajaran Islam, KDRT merupakan salah satu bentuk kemungkaran yang harus dihapuskan. Asas-asas Penghapusan KDRT Penghapusan
kekerasan
dalam
rumah
tangga
tersebut
dilaksanakan berdasarkan asas: a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan d. perlindungan korban (Psl 3 UU-PKDRT). Tujuan Penghapusan KDRT Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) dimaksud bertujuan: a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera (Psl 4 UU-PKDRT). Hak-hak korban KDRT Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU PKDRT, korban KDRT berhak mendapatkan: a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
3
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. Hal ini sesuai asas-asas kemanusiaan dan perlindungan korban KDRT yang harus diberikan kepada semua korban KDRT tanpa diskriminasi, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Bantulah saudaramu, baik yang berbuat zalim maupun yang menjadi korban kezaliman”, lalu shahabat bertanya:
“Bagaimana kami
bisa menolong orang berbuat zalim?”. Nabi pun menjawab: “Hentikan dia dari berbuat zalim, itulah cara menolongnya”. HR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmizi dari Anas RA.1 Kewajiban mencegah KDRT Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Psl 15 UU PKDRT). Ketentuan ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW yang artinya bahwa: “Apabila diantara kamu sekalian ada yang mengetahui adanya kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu (kekuatan, kekuasaan dan kewenangan yang ada pada dirimu); apabila engkau tidak mampu, maka dengan lisanmu; dan apabila engakau juga tidak mampu, maka
1
Al-Suyuthi, Al-Jami’u Al-Shaghir fi Ahaditsi Al-Basyiri Al-Nadzir, Penerbit Al-Daru AlKatib Al-„Arabiy Lil-Thiba‟ah wa Al-Nasyr, Kairo, 1967, hlm. 97.
4
dengan hatimu (doamu); dan itulah iman yang paling lemah.” HR. Muslim dan Ahmad dari Abi Said RA.2 Kewajiban PA terkait PKDRT PA
yang
mendengar,
melihat,
atau
mengetahui
terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib melakukan upaya-upaya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Kewajiban tersebut dilakukan secara optimal sesuai batas-batas kewenangan yang dimiliki pengadilan agama, yang antara lain, sebagai berikut: a. Untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana dapat dilakukan dengan memberi penasihatan dan upaya menyadarkan pelaku akan kesalahnnya yang dapat dilakukan secara intensif ketika persidangan memasuki tahap upaya damai dan mediasi; b. Perlindungan fisik bagi korban dapat diberikan dengan memberikan tempat pada ruang pelayanan khusus yang tersedia di pengadilan agama dan bantuan aparat keamanan, sedang perlindungan hukum diberikan melalui putusan hakim yang dapat memberi kepastian hukum dan memulihkan hak-haknya dalam hukum perkawinan sebagai korban KDRT dan menghukum pelaku memenuhi kewajibannya kepada korban; c. Pertolongan darurat dapat diberikan dengan membantu korban mendapat pertolongan dari rumah sakit ataupun unit layanan kesehatan lainnya; dan d. Untuk membantu mendapatkan penetapan
perlindungan,
maka
pengadilan menyarankan kepada korban yang bersangkutan atau pendampingnya untuk melapor ke kepolisian terdekat.
2
Ibid., hlm. 305.
5
Kewenangan PA terkait PKDRT PA sebagai salah satu institusi penegak hukum mempunyai kewenangan untuk turut ambil bagian dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kewenangan PA dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Memberi perlindungan hukum dan keadilan mengenai hak-hak istri dan anak-anak korban KDRT. Perlindungan hukum dan keadilan ini diberikan melalui putusan pengadilan setelah proses pemeriksaan perkara selesai. Inilah yang menjadi kebutuhan primer (daruriyat) korban KDRT yang menjadi kewenangan pokok pengadilan agama. Di sinilah hakim dituntut untuk memberi putusan yang sempurna, yaitu putusan yang benar-benar dapat (1) memberi perlindungan hukum, (2) memenuhi rasa keadilan, (3) memulihkan hak-hak si korban, (4) menghentikan kezaliman, dan (5) dapat dieksekusi. 2. Memberi penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban dan menyediakan ruang pelayanan khusus. Hal ini untuk membantu korban yang sedang dalam kondisi krisis. 3. Memberi izin kepada pekerja sosial untuk melakukan pendampingan bagi korban KDRT dalam proses persidangan. pendampingan ini sangat diperlukan untuk penguatan mental korban berada dalam kondisi labil dan tertekan akibat kekerasan yang menimpa dirinya dari orang yang sesungguhnya diharapkan menjadi pelindungnya dalam rumah tangga. 4. Memberi pelayanan bimbingan rohani baik dalam proses mediasi maupun litigasi bagi korban KDRT. 5. Memberitahukan atau setidaknya menyarankan kepada korban untuk melapor
kepada
kepolisian
setempat
untuk
tindakan
hukum
selanjutnya. Mengacu Kepada Tuntunan Rasulullah SAW Untuk mengawali diskusi ini penulis mencoba mengetengahkan sabda Rasulullah SAW bahwa:
خ لك خيلك آلهله و نا خ لك آلهلي
6
Artinya: “Sebaik-baiknya kamu semua adalah yang paling baik terhadap istrinya. Dan saya adalah suami terbaik terhadap istri diantara kamu sekalian”. (HR. Ibnu Hibban). Hadis ini seharusnya dijadikan acuan dalam memahami berbagai teks AlQur‟an maupun Al-Hadits untuk terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender dalam rangka membentuk kelurga yang sakinah, mawadah, wa rahmah. KDRT dalam Perspektif Syariah Islam Syariah Islam sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah SWT mencerminkan kehendak-Nya atas hamba-Nya di dunia ini. Syariah Islam merupakan rahmatan lil’alamin.3
﴾١٠٧﴿ ََو َ ا َ ْسل َ ْسل َنا َا ِب َّر َل ْس َ ًة اِّل ْسل َ ااَ ِب م Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Rahmat untuk seluruh isi alam semesta ini diwujudkan dengan adanya rasa kasih sayang satu sama lain. KDRT bertentangan dengan prinsip “mu’asyarah bil ma’ruf‟”, yakni pergaulan antara suami istri yang setara, harmonis dan baik, dengan saling menghormati. Kesetaraan ini dapat terwujud manakala suami istri dapat menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional (Penjelasan Pasal 3 huruf b UU PKDRT). Syariah Islam melindungi orang-orang yang tertindas dan teraniaya dan mencegah kezaliman.
Syariah
Islam
adalah
agama
yang
ramah
terhadap
perempuan4 dan anak-anak. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Nisa‟ ayat (9) yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang 3
Alquran Surat Al-Anbiya’ 21 ayat (107). Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kyai Pesantren, Fahmina Institut dan LKIS Yogyakarta, Cetakan Ketiga, November 2009. 4
7
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Dalam syariah Islam, KDRT merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum syariah Islam. Keadilan dalam syariah Islam bermakna memberi perlindungan pihak yang lemah atas tekanan (kezaliman) pihak yang kuat. Karena perempuan dan anak-anak berada pada posisi yang lemah, maka wajib dilingdungi. KDRT dapat digolongkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) sehingga memerlukan penanganan khusus dan serius karena sesungguhnya rumah tangga yang semestinya merupakan tempat berlindung yang paling aman dan sejuk bagi istri dan anak-anak namun justru di tempat itulah mereka menjadi korban kekerasan. Kebijaksanaan Hakim Menurut Hukum Hakim berarti orang yang bijaksana. Hakim adalah pemikir dan pelaku kebijaksanaan di bidang hukum dan peradilan. Dalam bahasa Belanda, kebijaksanaan hakim disebut “het beleid van de rechter”.5 Hakim PA adalah hakim negara di bidang syariah Islam. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009). Tugas hakim bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa secara tuntas dan final. Hakim wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Secara ex officio hakim wajib menyempurnakan putusannya agar benar-benar memberi kepastian dan perlindungan hukum, memenuhi rasa keadilan, memulihkan kembali hakhak korban, menghentikan kezaliman, dan dapat dieksekusi. Untuk dapat mewujudkan putusan yang sempurna, maka hakim harus memiliki data-data mengenai fakta kejadian yang lengkap dan 5
W. van Gerven, Het Beleid van de Rechter, alih bahasa Hartini Tranggono: Kebijaksanaan Hakim, Penerbit Erlannga, Jakarta, 1973., hlm. 114.
8
akurat dalam kasus yang terjadi. Data-data ini dapat diperoleh melalui pemeriksaan perkara (konstatiring) sehingga ditemukan fakta hukum yang lengkap,
kronologis,
sistematis
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya berdasarkan hukum pembuktian. Fakta-fakta hukum tersebut dipertimbangkan oleh hakim untuk menjawab petitum. Hakim dan Terobosan Hukum Hakim bukan corong UU. Hakim adalah penegak hukum dan keadilan. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau
kurang
jelas,
melainkan
wajib
untuk
memeriksa
dan
mengadilinya (Pasal10 ayat (1) UU No, 49 Tahun 2009). Hakim wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat agar putusannya memenuhi rasa keadilan. Hakim dapat membentuk hukum pada kasus-kasus yang yang dihadapi. Dalam khasanah ilmu hukum Islam, terobosan hukum ini disebut istimbath yang dilakukan melalui ijtihad. Ijtihad merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas-tugas hakim secara utuh. Hakim harus memiliki budaya ijtihad dan ijtihad harus menjadi budaya hakim. Hakim sejati adalah juga mujtahid, sebagaimana dicontohkan Mu‟adz ibn Jabal.6 Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Apabila hakim hendak mengambil keputusan kemudian ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya itu tepat, maka ia memperoleh dua pahala; tetapi jika ia hendak mengambil keputusan kemudian berijtihad dan ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat satu pahala.” HR Muttafaq „alaih.7 Kepastian
hukum
bersifat
general
sehingga
menghendaki
kesamaan pada semua kasus. Keadilan selalu bersifat kasuistis karena menghendaki keseimbangan (kesetaraan) antara dua pihak atau lebih. Keadilan dalam suatu kasus belum tentu sama dengan keadilan pada kasus yang lain karena sesungguhnya tidak ada kasus yang sama persis
6
Lihat HR Tirmizi yang menceritakan ketika Rasulullah SAW mengangkat Mu’adz ibn Jabal menjadi Hakim di Yaman. Fatchur Rahman, Hadits-Hadits tentang Peradilan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 41-42. 7 Ibid., hlm. 38.
9
melainkan hanya serupa tapi tak sama. Kepastian hukum berada dalam ranah hukum wadl’i.8 Hukum wadl’i mengatur hubungan status hukum antar persoon. Dalam ranah ini tidak ada tempat untuk melakukan terobosan hukum. Keadilan berada dalam ranah hukum taklifi.9 Hukum taklifi mengatur hubungan hak dan kewajiban antar person dalam ranah perdata. Dalam ranah inilah hakim dapat melakukan terobosan hukum. Hakim sebagai profesionalis hukum dapat mendesain hukum baru agar putusannya memenuhi rasa keadilan. Hakim itu seperti dokter yang membuat recep untuk pasiennya, recep untuk setiap pasien selalu berbeda karena disesuaikan dengan kondisi pasien. Makna Terobosan Hukum Secara empirik, ada dua kondisi yang membutuhkan terobosan hukum, yaitu: pertama, manakala norma hukum terapan yang telah ada mengalami kebuntuan sehingga tidak mampu menembus tujuan hukum; atau kedua, manakala hukum mengalami kesenjangan antara norma hukum yang ada dengan tujuan hukum yang diharapkan sehingga norma hukum yang ada tidak dapat memberi perlindungan hukum, memenuhi rasa keadilan, memenuhi hak-hak korban, mencegah kezaliman, atau tidak dapat dieksekusi, sebagaimana mestinya. Untuk mengatasi kondisi itu harus dilakukan terobosan hukum melalui metode reinterpretasi dan redefinisi ayat, hadis dan teks hukum yg ada dengan mengembalikan kepada prinsip-prinsip dasarnya dan mengembangkan kembali melalui asas-asas hukum dan teori hukum untuk bisa menampilkan fungsi hukum yang sesungguhnya, yakni: (1) memberi perlindungan hukum, (2) memenuhi rasa keadilan, (3) memenuhi hak-hak korban, (4) mencegah kezaliman, dan (5) dapat dieksekusi. Itulah makna terobosan hukum. Menurut Cardozo, manakala kaidah hukum yang sudah ada tidak mampu 8
Hukum wadl’i adalah hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, rukun, sah, batal, mani’, dan akibat mengenai status hubungan hukum satu sama lain. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2005, hlm. 362. 9 Hukum taklifi adalah hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara hamba dengan Tuhannya, dan antara person atau lembaga yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Perbuatan mukallaf ini dapat diklasifksikan menjadi (5 lima) katagori, yaitu wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram dengan bagian masing-masing. Amir Syarifuddin, ibid, hlm. 310.
10
lagi meneyelesaikan masalah, maka hakim harus membentuk hukum baru untuk kasus yang dihadapinya itu.10 Terobosan hukum harus dilakukan menurut hukum dan tidak boleh melanggar hukum. Dalam praktik peradilan, terobosan hukum dapat terjadi baik dalam hukum acara maupun hukum materil. Pertama, terobosan dalam hukum acara berada antara larangan bahwa hakim tidak boleh memutus lebih dari yang diminta dan hak ex offico hakim yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk memutus lebih dari yang diminta demi terwujudnya keadilan dan penyelesaian perkara yang tuntas dan final (Pasal 189 ayat (1) RBg/Pasal 178 ayat (1) HIR). Kedua, sedang terobosan dalam hukum materiil adalah manakala kaidah hukum yang ada tidak mampu menyelesaikan masalah secara adil dan tuntas sehingga hakim harus melakukan penemuan hukum baru (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009/Pasal 229 KHI). Penemuan hukum ini pada hakikatnya merupakan proses pembentukan hukum baru oleh hakim yang bersifat kasuistis.11 Agar tidak menyalahi hukum, maka untuk melakukan terobosan hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Penambahan amar putusan tidak melebihi substansi petitum (pokok perkara), baik kuantitas maupun kualitas, kecuali UU menentukan lain. 2. Penambahan amar putusan bersifat accesoir terhadap pokok perkara yang berfungsi melengkapi atau menyempurnakan amar mengenai pokok perkara agar tuntas dan final. 3. Terobosan hukum dilakukan berdasarkan UU yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk secara ex officio menggunakan hak kebijaksanaannya untuk menambahkan amar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pokok perkara, baik kuantitas maupun kualitas, demi kesempurnaan fungsi putusan hakim. 4. Terobosan hukum masih berada dalam ruang lingkup kompentensi pengadilan agama yang bersangkutan, baik relatif maupun absolut. 10
W. Van Gerven, op., cit., hlm. 61. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyarta, 1996, hlm. 142. 11
11
5. Terobosan hukum benar-benar untuk penyempurnaan putusan agar dapat (1) memberi perlindungan hukum, (2) memenuhi rasa keadilan, (3)
memulihkan
kembali
hak-hak
korban,
(4)
mencegah
dan
menghentikan kezaliman, dan (5) dapat dieksekusi. Langkah-langkah Metodologis Terobosan Hukum Dalam upaya melakukan terobosan hukum demi menemukan keadilan,
perlu
ditempuh
langkah-langkah
metodologis
dalam
reinterpretasi dan redefinisi atas ayat-ayat hukum, hadis-hadis hukum dan juga teks-teks hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun kompilasi. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan tujuan syariah sebagai basis utama penafsiran dan takwil. 2. Melakukan analisis terhadap sosio-historis atas kasus-kasus yang ada dalam teks ayat-ayat hukum, hadis-hadis hukum dan juga teks-teks hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun kompilasi. 3. Melakukan analisis bahasa dan konteksnya. 4. Melakukan identifikasi aspek kausalitas dalam teks sebagai jalan ke pemikiran analogis untuk kebutuhan konteks sosial baru, kini, dan di sini. 5. Melakukan analitis kritis terhadap sumber-sumber transmisi hadis dan kritik matan.12 Peran Hakim Peradilan Agama dalam Penegakan UU-PKDRT PKDRT merupakan bagian dari tugas hakim dalam penegakan syariah Islam. Dalam menangani setiap kasus yang di dalamnya terdapat PKDRT, hakim wajib mengambil langkah memberi perlindungan bagi si korban. Dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara, hakim wajib menerapkan asas equality dan kesetaraan jender. Mendorong Pembaruan Paradigma Para Hakim Hakim sebagai pemikir dan pelaku pembaruan harus terus menerus didorong untuk melakukan pembaruan paradigma sesuai dengan 12
Husein Muhammad, op., cit., hlm.187.
12
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan: 1. Melalui media yang ada, melakukan pembaruan paradigma para hakim dan pejabat pengadilan lainnya yang sensitif jender. 2. Menyusun program BIMTEK yang sensitif jender dengan pendekatan filosofis, humanis dan sosiologis. 3. Menyusun, menerbitkan dan menyebarluaskan buku-buku referensi dan parameter untuk mengukur sensitifitas hakim. Menerapkan Kebijakan Melalui Terobosan Hukum Untuk itu, hakim PA harus terus melakukan kajian hukum dan peradilan mengenai isu-isu terkini, termasuk isu-isu mengenai penegakan UU PKDRT melalui proses peradilan perdata, dengan terus melakukan terobosan hukum. Untuk itu perlu dilakukan kebijakan yang bersifat akademis dalam bentuk: 1. Melakukan
kaji
ulang
pemahaman
teks-teks
hukum
dengan
memanfaatkan metode interpretasi yang komprehensif dan progresif guna menemukan hukum dan menegakkan maqashid al syariah. 2. Mengembangkan dan menerapkan teori „maslahah‟ dalam setiap pengambilan keputusan hukum. 3. Mendorong keberanian hakim melakukan terobosan hukum melalui ijtihad sesuai kewenangannya dengan mengembangkan asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum, dan merumuskan kaidah-kaidah hukum baru yang berkeadilan jender. Beberapa Contoh Terobosan Hukum Dalam upaya menegakkan UU PKDRT terkait dengan peran peradilan agama ini, maka dapat dilakukan melalui terobosan-terobosan hukum yang diterapkan dalam proses peradilan mengenai perkaraperkara rumah tangga. Terobosan-terobosan hukum dimaksud, antara lain, sebagai berikut: 1. Dalam perkara cerai talak, hakim secara ex officio dapat menetapkan kewajiban suami memberi nafkah iddah dan mut‟ah bagi istri
13
meskipun tidak ada petitum (permintaan) dari istri melalui rekonvensi (Pasal 41 huruf c UU Perkawinan). Akibat cerai talak sebagaimana diatur dalam Pasal 149 KHI menjadi hak ex officio hakim. Pasal 149 KHI menetapkan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberi mut‟ah kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul (belum pernah melakukan hubungan badan); b. memberi nafkah (biaya hidup), maskan (tempat tinggal yang layak), dan kiswah (pakaian yang pantas) kepada bekas istri selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhul; d. memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Penentuan besaran mut‟ah, nafkah iddah dan nafkah anak disesuaikan dengan kemampuan suami dan kepatutan, seperti lamanya masa perkawinan dan besaran take home pay suami (Keputusan Rakernas MA-RI Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012). 2. Dalam perkara cerai gugat, hakim secara ex officio juga dapat mewajibkan bekas suami (tergugat) memberi nafkah idah bagi bekas istri sebagai janda cerai gugat (penggugat).13 Hal ini dianalogkan (diqiyaskan) dengan janda cerai talak yang didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: pertama, bahwa Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri; kedua, bahwa bekas suami dan bekas istri dapat terjadi baik dalam cerai talak maupun cerai gugat; ketiga, bahwa selama dalam masa idah, bekas istri wajib menjaga dirinya, tidak boleh menerima pinangan orang lain dan tidak boleh menikah dengan pria lain (Pasal 151 KHI); keempat, bahwa 13
Cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh dan atas kehendak istri.
14
ketentuan tersebut juga berlaku bagi janda dalam cerai gugat; kelima, bahwa oleh sebab itu bekas suami dalam carai gugat juga dapat dibebani kewajiban membayar nafkah idah dan mut‟ah kepada bekas istrinya, selama keadilan menghendaki demikian; keenam, bahwa apalagi jika gugatan cerai ini terjadi karena istri menjadi korban KDRT yang dilakukan oleh suaminya, maka tidaklah adil jika pelaku KDRT dibebaskan dari tanggung jawab untuk membayar ganti rugi yang menjadi hak istri sebagai korban KDRT; dan ketujuh, bahwa pembebanan kewajiban tersebut dapat diberikan secara ex officio atas kehendak hakim demi keadilan ataupun atas permintaan pihak istri. Penemuan hukum ini dilakukan secara analogis (qiyas) dengan cerai talak. 3. Apabila dalam perkara perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat, ditetapkan bahwa anak ikut ibunya, maka hakim secara ex officio dapat mewajibkan suami menanggung nafkah anak akibat perceraian meskipun tidak ada permintaan dari ibunya dalam petitum. Ketika terjadi sengketa mengenai pengasuhan anak (hadanah) dan hakim menetapkan bahwa anak harus ikut ibunya demi kepentingan terbaik anak, maka hakim dapat mewajibkan suami (ayah dari anak itu) menanggung biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut pada ayahnya (Pasal 156 huruf f KHI). 4. Dalam masa idah tidak ada nusyuz atas dasar tamkin14 sehingga hakhak istri selama idah harus dipenuhi. Dalam masa idah, hubungan hak dan kewajiban antara suami istri masih berlaku, minus hubungan badan dengan suaminya, dan karenanya istri masih wajib menjaga dirinya, tidak boleh menerima pinangan dari orang lain dan tidak boleh menikah dengan pria lain, namun demikian tidak ada kewajiban atas istri untuk mau melakukan hubungan badan dengan suaminya (tamkin), meskipun istri masih berada dalam ikatan perkawinan dengan suami karena talak raj‟i 14
Tamkin adalah kesediaan istri untuk melakukan hubungan badan dengan suaminya.
15
misalnya,. Dalam keadaan demikian, suami masih bertanggung jawab atas keperluan hidup bagi istrinya. 5. Dalam perkara cerai talak, untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan serta melindungi hak-hak istri, maka hak nafkah idah dan mut‟ah untuk istri yang ditetapkan oleh hakim
wajib
diserahterimakan
kepada
istri
pada
saat
suami
mengucapkan ikrar talak di depan sidang. Agar kewajiban suami benar-benar dilaksanakan, maka perintah penyerahan ini harus dimuat dalam amar putusan sebelumnya ketika hakim mengizinkan pemohon (suami) untuk menjatuhkan talak, misalnya: “Memerintahkan kepada Pemohon menyerahkan nafkah idah dan mut’ah kepada Termohon pada saat setelah Pemohom mengucapkan ikrar talak di depan sidang”. Hal ini karena talak di satu sisi dan nafkah idah dan mut‟ah pada sisi yang lain merupakan satu paket keseimbangan dan keadilan. 6. Dalam perkara cerai talak, jika anak ditetapkan ikut ibunya, maka penyerahan anak kepada ibunya harus dilakukan pada saat suami mengucapkan ikrar talak di depan sidang. Agar perintah mengenai penyerahan anak ini dapat dilaksanakan, maka harus dimuat dalam amar putusan ketika hakim mengizinkan suami menjatuhkan talak di depan sidang sehingga pelaksanaan ikrar talak dan penyerahan anak merupakan satu kesatuan demi terwujudnya proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 7. Kedudukan suami istri dalam rumah tangga adalah sejajar (musawah), segala sesuatu yang menjadi kepentingan bersama harus diputuskan bersama, meski suami adalah kepala keluarga namun ia bukan berarti menjadi pemegang kekuasaan tunggal atau tertinggi dalam rumah tangga.
16
Kedudukan suami sebagai kepala keluarga adalah primus inter pares, artinya meskipun UU memberikan fungsi kepada suami sebagai pimpinan
rumah
tangga
tetapi
hak-haknya
dalam
mengambil
keputusan adalah sejajar dengan istri. 8. Hakim dalam menetapkan hadanah anak (fisical custady) akibat perceraian, harus didasarkan atas kepentingan terbaik anak, pendapat anak harus didengar dan dipertimbangkan oleh hakim. Dalam berbagai kitab fikih dan juga dalam KHI, hadanah merupakan hak dan sekaligus kewajiban orang tua. Ketika terjadi sengketa mengenai
hadanah,
maka
hakim
harus
mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak sebagai fokus utama yang merupakan kewajiban orang tua. Masing-masing orang tua memiliki potensi untuk mengasuh anak. Oleh karena itu, hakim harus mempertimbangkan orang tua mana yang lebih dominan memiliki potensi bagi kepentingan terbaik anak, maka dialah yang harus diserahi tanggung jawab hadanah atas anaknya. 9. Hadanah (fisical custady) adalah hak anak yang menjadi tanggung jawab ayah/ibu, bukan sekedar hak orang tua. Hak orang tua harus diartikan sebagai kewajiban orang tua. Kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama hakim.15 10. Dalam mengambil keputusan mengenai perkara perceraian dan hadanah, hakim harus pula memperhatikan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
secara
komprehensif dan proporsional. Pasal-pasal dari semua UU tersebut yang relevan dengan pokok perkara oleh hakim dimasukkan ke dalam
15
QS Al-Nisa‟ ayat (9): Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
17
pertimbangan hukum. Hal ini merupakan salah satu
bentuk
kepedulian hakim terhadap kasus-kasus KDRT. 11. Tidak setiap istri yang meninggalkan tempat kediaman bersama berarti nusyuz, tetapi harus dibuktikan penyebabnya bahwa istri telah bersalah sehingga terbukti nusyuz (Pasal 84 ayat (4) KHI). 12. Suami yang menuduh istrinya telah nusyuz, maka ia wajib membuktikan bahwa dirinya sebagai suami sudah memberi perhatian dan keperluan hidup yang layak sesuai kemampuannya, namun istrilah yang tidak mau taat kepada suami tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariah. 13. Dalam menentukan “harta bersama” yang hendak dibagi, maka harta bersama yang ada dalam perkawinan harus dikurangi lebih dahulu dengan hutang-hutang dalam perkawinan, termasuk hutang nafkah suami terhadap istri, jika ada, baru kemudian sisanya menjadi harta bersama yang harus dibagi antara mantan suami istri. Nafkah istri termasuk kewajiban suami yang jika tidak dibayar maka menjadi hutang. Oleh sebab itu harus dibayar lebih dulu dengan harta bersama atau dengan harta pribadi suami. Sisa dari hutang-hutang itulah yang ditetapkan menjadi harta bersama untuk dibagi. 14. Pada asasnya harta bersama dibagi dua dengan porsi 1:1, kecuali ada pertimbangan lain yang lebih adil. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada umumnya istri juga bekerja, meskipun dalam wilayah domestik, yakni istri wajib berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam dan istri juga menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya (Pasal 83 KHI). Itulah kontribusi istri dalam membina rumah tangga. 15. Suami istri adalah team work, oleh karena itu dalam pembagian harta bersama hakim harus mempertimbangkan:
18
(1) apakah masing-masing suami istri telah menjalankan fungsinya dalam membina rumah tangga dan (2) adakah hubungan kerjasama satu sama lain, sehinga (3) ada keseimbangan antara kontribusi dalam membina rumah tangga dengan distribusi dalam pembagian harta bersama. (4) Dalam
pembagian
waris
antara
anak
laki-laki
dengan
anak
perempuan diterapkan porsi 2:1 jika anak laki-laki berkedudukan sebagai pengganti ayah sehingga dibebani tanggung jawab atas kebutuhan hidup dan masa depan saudara-saudara perempuannya. (5) Tetapi jika anak laki-laki tidak dibebani tanggung jawab atas kebutuhan hidup dan masa depan saudara-saudara perempuannya, maka pembagian waris dapat diterapkan porsi 1:1, atau porsi lain yang lebih adil. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan: pertama, bahwa kepentingan dan masa depan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama; kedua, bahwa tanggung jawab pewaris terhadap anak perempuan dan terhadap anak laki-lakinya adalah juga sama; ketiga, bahwa kewajiban anak perempuan dan anak laki-laki terhadap pewaris adalah juga sama; keempat, bahwa karena ahli waris anak laki-laki tidak dibebani tanggung jawab terhadap ahli waris anak perempuan, maka tidak alasan bagi ahli waris anak laki-laki untuk mendapat bagian lebih besar dari pada ahli waris anak perempuan; dan kelima, bahwa selain itu, hakim dapat pula menerapkan porsi pembagian lain yang lebih adil. (6) Jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris lain, maka anak perempuan (satu atau lebih) dapat menerima seluruh harta warisan secara utuh melalui rad, meskipun tidak ada anak laki-laki (Pasal 174 ayar (2) KHI). Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: pertama, bahwa pewarisan pada hakikatnya merupakan pelanjutan dari hubungan hak dan kewajiban antara pewaris dengan ahli waris
19
menurut hukum keluarga ketika sama-sama masih hidup; kedua, bahwa ahli waris yang berhak menerima warisan adalah mereka yang pada waktu pewaris masih hidup mempunyai hubungan hak dan kewajiban dengan pewaris menurut hukum keluarga; ketiga, bahwa ahli waris yang pada waktu pewaris masih hidup tidak mempunyai hubungan hak dan kewajiban dalam hukum keluarga tidak berhak menerima warisan; keempat, bahwa konsep mawaris dalam KHI ini disesuaikan dengan kondisi riil hukum keluarga yang berlaku di Indonesia yang berbeda dengan fikih mawaris yang berlaku di tempat lain yang selama ini diajarkan di Indonesia; kelima, bahwa kondisi sosiologis masyarakat muslim di Indonesia pada umumnya bersifat bilateral sehingga menghendaki pembaruan hukum waris yang bersifat bilateral; dan keenam, bahwa hukum keluarga Islam yang hidup di masyarakat muslim Indonesia tidak membeda-bedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam keluarga. (7) Anak perempuan pewaris menghijab saudara pewaris (paman dan bibinya anak) dan paman pewaris (Pasal 174 ayat (2) KHI). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hukum waris bagi masyarakat bilateral dimana antara pewaris dengan saudaranya (lakilaki maupun perempuan) tidak ada hubungan hak dan kewajiban dalam hukum keluarga. Oleh karena itu, antara mereka juga tidak saling mewarisi. Dengan demikian anak perempuan dapat menjadi ahli waris tunggal dengan menutup pamannya maupun bibinya. (8) Cucu dari anak perempuan berkedudukan sebagai „ahli waris pengganti’, yakni menggantikan posisi ibunya yang telah wafat mendahului pewaris (kekeknya) sehingga ia mendapat bagian warisan (Pasal 185 KHI). Dengan kata lain, bagian warisaan yangt seharusnya diterima oleh ibunya diberikan kepada anaknya debagai pengganti ibunya. Hal ini berbeda dari fikih mawaris konvensional yang tidak memberi bagian untuk cucu dari anak perempuan yang ibunya telah meninggal lebih
dahulu
dari
pewaris.
Cucu
dari
dari
anak
dinaikkan
20
kedudukannya
sebagai
pengganti
ibunya
demi
keadilan
dan
perlindungan anak. (9) Perkawinan yang dibatalkan tidak menghapuskan hak istri atas nafkah madliyah, nafkaf idah, harta bersama, dan hadanah anak (Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan/Pasal 75 dan 76 KHI). Batalnya perkawinan hanya mengakibatkan hilangnya hak saling mewarisi antara suami istri. (10) Anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang perkawinannya dibatalkan oleh pengadilan dapat dimintakan itsbat asal usul anak ke pengadilan agama. Batalnya perkawinan ayah dan ibu tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dengan ayah ibunya, tidak mengubah status hukum antara anak dengan ayah ibunya, tidak mengubah hubungan perdata antara anak dengan ayah ibunya, dan tidak mengubah asalusul anak (Pasal 76 KHI). (11) Anak yang dilahirkan oleh seorang ibu tetapi tidak diketahui secara yuridis siapa ayahnya, dapat diakui oleh ayahnya melalui istilhaq dengan keputusan pengadilan agama (Pasal 55 UU Perkawinan). (12) Anak yang telah diakui oleh ayahnya mempunyai hubungan nasab syar‟i dengan ayahnya. Hal ini merupakan konsekuensi hukum dari pengakuan anak. (13) Anak non muslim tetap mendapat bagian warisan dari orang tuanya yang muslim melalui „wasiat wajibah’. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa perbedaan agama tidak menghapuskan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya (include hak saling mewarisi) dan sebaliknya. Anak non muslim bukan ahli waris dzul faraid , oleh karena itu dia dapat menerima bagian melalui wasiat wajibah dengan porsi tidak melebihi ahli waris yang sederajat. (14) Jika dalam gugatan cerai suami minta tebusan (khuluk), maka khuluk tidak dapat dikabulkan jika bertentangan dengan rasa keadilan dan
21
gugatan cerai dapat dikabulkan tanpa khulu‟ jika istri mempunyai cukup alasan, apalagi jika di dalamnya terdapat alasan KDRT. (15) Masyarakat yang tidak mampu dapat memperoleh pelayanan hukum dan keadilan dari pengadilan agama dengan biaya negara. (16) Perkawinan yang tidak tercatat dapat dimintakan itsbat nikah (penetapan kepastian sah atau tidaknya nikah) ke pengadilan agama untuk dapat dicatatkan dan mendapatkan akta nikah. Pasal 6 ayat (2) KHI menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan Pegawai Pwncatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 KHI menyatakan bahwa (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah; (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama. Jadi, agar perkawinan mempunyai alat bukti dan berkekuatan hukum, maka harus dicatatkan untuk mendapatkan kutipan akta nikah melaui itsbat nikah. (17) Jika terbukti tidak ada halangan untuk sahnya nikah menurut UU Perkawinan,
maka
perkawinannya
dinyatakan sah
dan dapat
dicatatkan ke PPN/KUA Kecamatan setempat. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai UUD Tahun 1945. Pasal 4 KHI menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 5 ayat (2) KHI menyatakan bahwa Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU nomor 32 Tahun 1954. Menurut UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk, pencatatan nikah dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: pertama, Pegawai Pencatat Nikah mencatat langsung setiap akad
22
nikah yang dilangsungkan di hadapannya (di bawah pengawasannya); dan kedua, Pegawai Pencatat Nikah mencatat perkawinan yang dilangsungkan tidak di hadapannya setelah diitsbatkan (diperiksa dan diuji kebenarannya dengan memenuhi rukun nikah dan syaratsyaratnya) dengan penetapan atau putusan oleh pengadilan agama. Apabila pencatatan nikah dilakukan atas dasar penetapan atau putusan pengadilan agama, maka pada kolom terakhir Buku Akta Nikah dicatat nomor dan tanggal penetapan atau putusan pengadilan agama dan nama pengadilan agama yang bersangkutan. Kemudian kepada para pihak diberikan Kutipan Akta Nikahnya. (18) Jika
terbukti
ada
halangan
nikah
yang
bersifat
permanen
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 KHI, maka nikah dinyatakan batal demi hukum. (19) Jika terbukti terdapat halangan yang bersifat temporer atau prosedural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 KHI, maka nikahnya „dapat‟ dibatalkan (bisa batal atau tidak batal), yakni: pertama, jika pada saat diajukan itsbat nikah itu masih ada larangannya, maka nikahnya dinyatakan batal; kedua, tetapi jika halangan atau larangan dimaksud sudah tidak ada, maka nikahnya tetap sah. (20) Orang tua biologis wajib mencukupi kebutuhan penghidupan bagi anaknya yang lahir di luar nikah, sebagai ta‟zir. MK dalam Putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 berpendapat bahwa adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Selanjutnya MUI dalam Fatwanya Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 memutuskan bahwa Pemerintah berwenang
menjatuhkan
hukuman
ta’zir
lelaki
pezina
yang
mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a.
23
mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; dan b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Kemudian MA dalam Keputusan Rakernas pada Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012 memutuskan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil zina sebaiknya untuk memenuhi rasa keadilan dan kepentingan anak serta hak asasi anak menerapkan pendapat Mazhab Hanafiah dimana anak hasil zina berhak mendapat nafkah dari pihak ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya. Hubungan hak dan kewajiban antara anak biologis dengan ayah niologis ini merupakan bagian dari hubungan perdata. Berdasarkan asas non retroaktif, ketentuan hukum baru ini berlaku bagi anak yang dilahirkan setelah tanggal 17 Februari 2012. (21) Orang
tua
biologis
wajib
memberikan
bagian
dari
harta
peninggalannya untuk anaknya yang lahir di luar nikah melalui wasiat wajibah, sebagai ta‟zir. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 Jo Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 dan Keputusan Rakernas MA Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012. Berdasarkan asas non retroaktif, ketentuan hukum baru ini berlaku bagi ayah biologis yang meninggal dunia setelah tanggal 17 Februari 2012. (22) Anak
yang
lahir
dalam
perkawinan
sirri
dapat
mengajukan
permohonan pengesahan anak ke Pengadilan Agama. Hal ini karena anak mempunyai hak asasi untuk mengetahui dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya (Keputusan Rakernas MARI Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012). (23) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh Pejabat yang berwenang, berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari ayahnya tersebut (Keputusan Rakernas MA-RI Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012).
24
(24) Kewajiban nafkah terhadap anak angkat adalah sama dengan kewajiban nafkah terhadap anak kandung, oleh karenanya jika suami istri telah bercerai maka kewajiban nafkah terhadap anak angkat tetap menjadi kewajiban ayah angkatnya sepanjang ia mampu untuk memenuhi kewajiban nafkah tersebut, akan tetapi jika ayah angkatnya tidak mampu maka pengadilan dapat menetapkan ibu angkat berkewajiban untuk memenuhi nafkah anak tersebut. (25) Anak tiri yang dipelihara sejak kecil bukan sebagai ahli waris, tetapi dapat diberi bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah (Keputusan Rakernas MA-RI Komisi II Bidang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012). (26) Harta bersama dalam perkawinan poligami dibagi sesuai periode
masa perkawinan dengan suaminya (Pasal 65 ayat (1) huruf b UU Perkawinan). Harta bersama perkawinan poligami ditentukan berdasarkan harta tersebut diperoleh pada masa perkawinan dengan istri pertama, kedua, ketiga dan keempat. Istri pertama mempunyai hak atas harta yang diperoleh suami dengan perkawinan istri kedua, ketiga, keempat (Keputusan Rakernas MA Komisi II Bindang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012). (27) Hibah orang tua kepada anaknya dapat dicabut. Pencabutan hibah
oleh salah seorang dari orang tua tanpa persetujuan suami/isteri, sedangkan harta yang dihibahkan tersebut adalah harta bersama, maka hanya ½ dari obyek hibah saja yang dapat dicabut, setelah hakim
mempertimbangkan
bahwa
pencabutan
tersebut
cukup
beralasan (Keputusan Rakernas MA Komisi II Bindang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012). (28) Hakim wajib berijtihad
untuk menyempurnakan putusannya agar
benar-benar dapat (1) memberi perlindungan dan kepastian hukum, (2) memenuhi rasa keadilan, (3) memulihkan hak-hak si korban KDRT, (4) menghentikan kezaliman (KDRT), dan (5) dapat dieksekusi.
25
Semua terobosan hukum tersebut perlu dikaji dan diuji kebenaran sehingga ditemukan kebenaran yang dapat dipertanggungjawbkan. Melengkapi Sarana dan Prasarana Pengadilan PA sekarang sudah saatnya melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelayanan prima kepada terutama bagi korban KDRT, misalnya: 1. Pos bantuan hukum (Posbakum) untuk masyarakat tidak mampu (SEMA Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. 2. Situs dan website untuk transparanasi dan informasi peradilan. 3. Ruang pelayanan khusus (RPK) bagi perempuan korban KDRT dan anak-anak. 4. Information desk dan informasi-informasi lainnya. 5. Izin pendampingan bagi korban KDRT. 6. Kotak pengaduan, saran dan informasi. Ini semua sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak guna mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Oleh sebab itu bagi pengadilan agama yang belum melengkapi sarana dan prasarana dimaksud hendaklah segera mewujudkannya. Langkah-langkah Preventif dan Rekomendasi Untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka dihimbau kepada masyarakat, terutama kaum perempuan agar: 1. Perempuan harus cerdas dan jangan mudah ditipu ataupun dirayu. 2. Jangan lakukan nikah di bawah tangan dengan janji apapun juga. 3. Laporkan segera kepada Kepolisian manakala terjadi KDRT baik yang menimpa diri sendiri maupun orang lain. 4. Diperlukan pengaturan hukum terpadu pada satu lembaga, misalnya Pengadilan Agama diberi kewenangan menyelesaikan kasus pidana KDRT-nya dan kasus rumah tangga lainnya. 5. Diperlukan penanganan terpadu antar lembaga penegak hukum agar korban KDRT mendapat perlindungan yang mudah dan tidak berbelitbelit.
26
6. Diperlukan SEMA tentang pelaporan KDRT oleh pengadilan agama dalam kasus-kasus yang ditanganinya, untuk dilaporkan ke Kepolisian guna ditindaklanjuti. Penutup Demikian kajian singkat ini semoga bermanfaat bagi para pembaca yang budiman dan setidak-tidaknya dapat menjadi motivator bagi para pembaca untuk mengoreksi dan mengkaji lebih dalam lagi. Atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan ini, penulis mohon dimaafkan dan dibetulkan kembali sebagaimana mestinya. Terima kasih.
َْسا َ ْس ُد ِهّلل ِب َل ِّل ْسا َ ااَ ِب م Ambon,
5 Maret 2013 M 22 Rabiul Akhir 1434 H
27
DAFTAR REFERENSI Al-Qur-an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Suyuthi, Al-Jami’u Al-Shaghir fi Ahaditsi Al-Basyiri Al-Nadzir, Penerbit Al-Daru Al-Katib Al-„Arabiy Lil-Thiba‟ah wa Al-Nasyr, Kairo, 1967. A Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis Queen, Solo, 2009. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, Jakarta, 2005 Fatchur Rahman, Hadits-Hadits tentang Peradilan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1977. Faqihuddin Abdul kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, Edisi Kedua 2013. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kyai Pesantren, Fahmina Institut dan LKIS Yogyakarta, Cetakan Ketiga, November 2009. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyarta, 1996. W. van Gerven, Het Beleid van de Rechter, alih bahasa Hartini Tranggono: Kebijaksanaan Hakim, Penerbit Erlannga, Jakarta, 1973. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Hukum Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012.
28
Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2013 tanggal 10 Maret 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadanya. Keputusan Rakernas MA-RI Komisi II Bindang Peradilan Agama tanggal 31 Oktober 2012. HIR dan RBg.