PERANAN LEMBAGA P3A/KEJRUEN BLANG DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR IRIGASI DI PROVINSI ACEH
Helmi Dosen Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsyiah-Darussalam, Banda Aceh ABSTRACT The scarcity and competitiveness of water resource availabilities will bring effect not only to the socioeconomic life of community but also triggering conflicts amongst water users and economic sectors. The objective of this paper is trying to analyze the role of water users association P3A/Keujruen Blang as a community based institution in solving problem of water distribution in the context to encourage the regional autonomy. How to make the water users association becomes powerful and having strong responsibilities in water management. The aspects area including budget transparence and accountability, water rights, boundary jurisdiction, and representation rules when water allocation conflict comes. On the other hands, the role of water users association is supposed to be active in land and water conservation as well as the environments. These activities including: (1) controlling the rate conversion of land use, (2) increasing unused land to reused for horticulture and food crop production, plantation and animal husbandry production, (3) land conservation, land reclamation and improving the destructed land, (4) empowerment of land and water rights, (5) conservation of water by developing new water resources and optimum and efficiency of water use, increasing water quality and (7) institutional empowerment by increasing human resources skill in land and water management. Keywords: Institutional empowerments, efficiency of water and land conservatio sanksi, dan 5) produktivitas padi sangat beragam antara bagian hulu dan hilir. Kalau PENDAHULUAN kita lihat persoalan ini tidak terlepas dari Semakin tua umur bumi, unsur kelembagaan dan perangkat kebijakan ketersediaan sumberdaya air dan lahan yang belum berfungsi secara efektif dalam pertanian potensial semakin langka dan upaya menyadarkan masyarakat akan terbatas. Kondisi sumberdaya air yang pentingnya pengelolaan air. terbatas, sementara kebutuhan akan air untuk Adanya anggapan bahwa air irigasi adalah berbagai kepentingan terus meningkat, barang publik (publik good), menyebabkan menyebabkan permintaan terhadap air masyarakat cenderung kurang efisien dalam semakin kompetitif. Ketersediaan menggunakan air. Secara ekonomi, sumberdaya air yang semakin terbatas dan ketidakjelasan tentang hak-hak dalam kompetitif tidak hanya akan berpengaruh penggunaan air (water rights) dan kewajiban negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi dalam pengelolaan air menyebabkan maupun antar pengguna dalam suatu sektor. organisasi asosiasi pemakai air kurang Tingkat kebutuhan air di luar sektor pertanian efektif, dan mekanisme kelembagaan dalam yang dominan adalah untuk memenuhi alokasi sumber daya air tidak berfungsi, konsumsi rumah tangga dan industri yang sehingga menimbulkan inefisiensi cenderung meningkat sejalan dengan penggunaan air. kemajuan ekonomi. Hasil penelitian Rachman, Kariyasa, dan Menurut Rahman (1999), Pengelolaan Mardiharini (2001), menunjukan bahwa irigasi merupakan upaya untuk sebagai tindak lanjut dari Inpres No. 3/1999 mendistribusikan air secara adil dan merata, di Grobongan, Jawa Tengah, telah dibentuk namun dalam mekanismenya Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sering dihadapkan pada beberapa Gabungan/Federasi dengan pendekatan batas permasalahan mendasar, yaitu : 1) jumlah wialayah hidrologis. Sementara itu, di daerah golongan air bertambah tanpa Tulung Agung juga dibentuk P3A Gabungan terkendali, 2) letak petakan sawah relatif dari Federasi, namun pendekatannya berdasarkan saluran tidak diperhitungkan dalam distribusi batas wilayah administratif dikhawatirkan air dan anjuran teknologi yang berada dapat menimbulkan konflik dalam dibagian hilir (tail end), 3) penyadapan air secara liar diperjalanan berlanjut tanpa
pemeliharaan dan perbaikan saluran air irigasi, serta dalam pengalokasian air. Menurut Anggono (2000), Ketersediaan air permukaan dan air bumi nasional mencapai 2.110 mm/tahun atau setara dengan 127.775 m3/detik. Namun Indonesia sudah memasuki status kelangkaan air jika dilihat dari segi potensi air yang dapat dimanfaatkan (potentially utilizable water resource/PUWR). Analisis kebutuhan dan pasokan air tahun 2020 yang dilakukan oleh International Water Management Institute (IWMI) mengkategorikan Indonesia sebagai negara kelompok ketiga, yakni yang membutuhkan pengembangan sumber daya air 25-100% dibanding saat ini. Negara yang masuk kategori seperti ini memiliki sumber daya air yang cukup, tetapi secara regional masih perlu dianalisis lebih lanjut dengan memperhatikan berbagai parameter dan faktor yang mempengaruhi. Oleh karena itu mulai hari ini mari kita membuka mata dan menggalakkan pemberdayan seluruh komponen masyarakat untuk lebih mengetahui dan menyadari hal-hal di atas dan dapat berlaku arif dan bijaksana dalam mengelola lingkungan terutama yang menyangkut tentang konservasi lahan dan air. Secara umum kebijaksanaan pengaturan irigasi yang dikeluarkan pemerintah memuat tentang perlindungan sumberdaya air dan pengaturan pemanfaatannya. Kebijaksanaan pemerintah terbaru dalam pengelolaan air irigasi adalah Inpres Nomor 3 Tahun 1999 tentang pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi (PKPI). Kebijaksanaan tersebut memuat lima isi pokok sebagai berikut: 1) Redefinisi tugas dan tanggung jawab lembaga pengelolaan irigasi, 2) Pemberdayaan P3A, 3) Penyerahan Pengelolaan Irigasi kepada P3A, 4) pembiayaan OP jaringan irigasi melalui IPAIR, dan 5) Keberlanjutan sitem irigasi. KONSEP DAN ASPEK KRITIKAL KELEMBAGAAN IRIGASI Konsep kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan transaksi. Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakikatnya bentuk kelembagaan mengatur 3 hal esensial, yaitu
Penguasaan, Pemanfaatan, dan Transfer Teknologi (Rachman, 1999). Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi itu mengatur hal-hal tersebut. Pakpahan (2001) menilai bahwa bentuk kelembagaan berdampak terhadap kinerja produksi, penggunaan input, kesempatan kerja, perolehan hasil, dan pelestarian lingkungan. Seberapa jauh kelembagaan yang direkayasa diterima masyarakat bergantung pada struktur wewenang, kepentingan individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kelembagaan yang mempunyai nilainilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berprilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas. Lembaga-lembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan membuktikan betapa pentingnya organisasi dalam suatu pengelolaan air. Menurut Ambler (1992) organisasi pengelola air bukan sekedar untuk kegiatan teknis semata, namun juga merupakan suatu lembaga sosial, bahkan di pedesaan Indonesia kandungan kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih syarat dari pada sarana fisiknya. Pasandaran dan Taryoto (1993) mengungkapkan bahwa berbagai pengaturan irigasi yang berorientasi pada upaya generalisasi kebijaksanaan, tanpa memperhatikan norma-norma setempat seringkali menghadapi hambatan. Karena itu, dalam sistem kemasyarakatan yang majemuk seperti yang ada di Indonesia, pertimbangan kekhasan masing-masing masyarakat atau wilayah seyogyanya harus mendapat pertimbangan. Sejalan dengan itu, Deptan, (2004) mengungkapkan bahwa langkah konservasi suatu sumberdaya, pada gilirannya harus mewujudkan suatu “technical innovation” dan “institutional innovation”. Dalam sistem kelembagan pengelolaan irigasi terkandung makna elemen-elemen partisipasi, teknologi, tujuan, dan struktur dimana terdapat interdependensi satu sama lain. Sistem kelembagaan yang dianut bertujuan kearah efisiensi, dengan mengurangi ongkos transaksi (“transaction cost”). Hubungan sistem kelembagaan dan biaya transaksi tercirikan pada tiga kaitan sifat yang secara nyata menyebabkan adanya perbedaan insentif dan pembatas bagi
partisipan yaitu: 1) sifat fisik irigasi, 2) sifat masyarakat partisipan, dan 3) sistem kelembagaan. Dalam konteks kelembagaan irigasi, tiga aspek penting yang sangat berperan adalah : 1) batas yurisdiksi (“jurisdiction boundary”) yaitu batas otoritas suatu lembaga dalam mengatur sumber daya air, yang umumnya berdasarkan batas hidrologis seperti saluran sekunder dan saluran primer, 2) hak kepemilikan (“property rights”) yaitu hak setiap individu petani untuk mendapatkan pelayanan air sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, dan 3) aturan representasi (“rule of representation”) yaitu aturan yang telah disepakati dengan tujuan untuk menjamin terjadinya keseimbangan antara hak atas pelayanan air yang diperoleh dengan besarnya kewajiban yang dibebankan. Agar aturan ini bisa ditegakkan, maka perlu adanya penerapan sanksi secara konsisten. Sementara itu, aspek teknis pada dasarnya menyangkut alokasi air (“water allocation”) serta operasi dan pemeliharaan (“maintenance”). Keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan irigasi akan berpengaruh terhadap hasil (“outcomes”), efisiensi, dan optimasi pengalokasian sumberdaya air. Lemahnya keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan seringkali menimbulkan konflik manajemen sumberdaya air. Oleh karena itu kejelasan “water rights” akan merefleksikan hak dan tanggung jawab dalam mengelola sistem irigasi dan kemudahan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya air. Cara kongkrit, keterkaitan ini disajikan pada gambar 1. adanya konfersi lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan permintaan air antar sektor semakin kompetitif, dan kondisi ini sering kali memicu timbulnya konflik dalam alokasi dan pendistribusiannya. Konflik juga bisa timbul karena tidak adanya aturan baku, tidak adanya kejelasan batas kewenangan dan ketidak seimbangan antara pelayanan air yang diterima dengan kewajiban yang harus dibayar. Agar ketersediaan air terjamin secara berkelanjutan diperlukan pemeliharaan, baik pada saluran irigasi maupun sumber air. Tidak adanya kejelasan siapa yang telah mendapatkan pelayanan air dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pemeliharaan saluran dan sumber air merupakan potensi konflik yang bisa pecah sewaktu-waktu.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan secara nasional, maka diperlukan penyediaan sarana dan prasarana lahan dan air, sebagai bagian integral pembangunan pertanian secara utuh, kegiatan pengelolaan lahan dan air diarahkan untuk mendukung subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan dalam mencapai sasaran produksi komoditas unggulan nasional. Kegiatan pengelolaan lahan dan air diprioritaskan guna memenuhi ketersediaan lahan dan air secara berkelanjutan untuk mendukung pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Kebutuhan irigasi untuk padi sawah, 50% kebutuhan air dipenuhi air irigasi, selebihnya dari hujan. Penggunaan irigasi mencapai ratarata 8.000-12.000 m3.Musim Tanam/ha, bergantung dari curah hujan. Berdasarkan analisis Subdit Hidrologi, permintaan air untuk irigasi, industri, perkotaan dan rumah tangga di Indonesia pada tahun 2005 hanya 6,5% dari total kesediaan air. Bagian terbesar, atau 80% permintaan adalah untuk irigasi, dengan rasio terendah 0,42% untuk Maluku dan Papua, sedangkan yang tertinggi 50% untuk Pulau Jawa dengan 87% untuk irigasi. Aspek kritikal kelembagaan irigasi meliputi: a. Batas Yurisdiksi (“Jurisdiction Boundary”) Banyak permasalahan dalam pengelolaan air irigasi berkaitan dengan struktur batas yurisdiki. Konsep batas yurisdiksi dapat memberi arti batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumber daya. Dalam kasus pengelolaan wilayah sungai maupun irigasi, batas yurisdiksi juga menunjukkan bagaimana suatu institusi menentukan siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh. Menurut Rachman (1999), kegunaan air dipengaruhi oleh dimensi lokasi, waktu, kuantitas dan kualitas, sehingga faktor yang menentukannya seperti keadaan tanah, iklim, dan musim akan mempengaruhi nilai investasi irigasi yang dibangun dan menentukan tingkat keinginan masyarakat pengguna air untuk membayar iuran air (“user’s willingness to pay”). Semakin langka ketersediaan air, maka “willingness to pay” petani untuk membayar iuran irigasi semakin besar, dan sebaliknya semakin melimpah ketersediaan air, maka
“willingness to pay” petani untuk membayar iuran air semakin rendah. Oleh karena itu, air harus diberi harga yang sebanding dengan tambahan biaya (biaya marjinal) yang dikeluarkan dalam penyediaan dan pendistribusiannya, yang meliputi manfaat terbesar yang seharusnya (“opportunity cost”) mampu dihasilkan dari penggunaan sumber daya (modal, tenaga kerja, dan lahan), jika sumber daya tersebut digunakan untuk kegiatan lain. Sebagai contoh, “opportunity cost” penggunaan modal pada umumnya sebesar tingkat bunga komersial yang berlaku di bank. Pada sebagaian masyarakat petani masih ada kesan bahwa air merupakan sumberdaya yang bebas dimiliki oleh semua orang (“common property”). Pandangan ini timbul karena air menjadi komoditas yang murah didaerah tropis dengan ketersediaan yang relatif milimpah. Namun didaerah-daerah tertentu yang ketersediaannya terbatas, khususnya didaerah beriklim kering, air dipandang sebagai sesuatu yang berharga. Batas yurisdiksi berbeda-beda berdasarkan jenis pengelolaan irigasinya yaitu: 1) irigasi pemerintah, 2) irigasi yang diserahkan pengelolaannya pada masyarakat (Penyerahan Irigasi Kecil (PIK)), dan 3) irigasi desa (Rachman et al., 2001). Untuk irigasi pemerintah perbaikan dan pemeliharaan seluruh bangunan pada saluran primer dan sekunder sampai dengan 50 m dari saluran tersier menjadi tanggung jawab pemerintah (Dinas SDA), dan operasionalnya juga wewenang pemerintah. Sementara untuk irigasi kecil, bangunan irigasi adalah tanggung jawab pemerintah, namun operasionalnya menjadi wewenang masyarakat. Berbeda halnya untuk irigasi desa, baik pembangunan, pemeliharaan, maupun operasionalnya seluruhnya di tangani masyarakat. Seiring dengan Inpres No. 3/1999 tentang pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi, terjadi perubahan yang sangat mendasar di mana dari saluran primer, sekunder sampai tersier dilimpahkan kepada P3A Gabungan dengan pendanaan berasal dari iuran penggunaan air atau IPAIR (Rachman et al., 2001). Namun demikian, mekanisme pelimpahan wewenang tersebut mengalami hambatan mengingat belum disertakannya dasar hukum dan pedoman yang jelas di tingkat lokal. Ketidak jelasan dasar hukum dan belum adanya pedoman
yang baku mengakibatkan berbedanya penafsiran implementasi di tingkat daerah. sebagai ilustrasi, di Jawa Timur, pembentukan P3A Gabungan di dasarkan pada batas administrasi (P3A Gabungan mencakup satu kecamatan), sedangkan di Jawa Tengah, pembentukan P3A Gabungan di dasarkan hamparan hidrologis (saluran sekunder). Batas yurisdiksi dalam irigasi menjadi lebih mudah, khususnya untuk mengetahui siapa yang berhak ikut terlibat dalam pengelolaan air dalam satu hamparan hidrologis. Pembatasan ini terjadai hanya melalui aspek teknis, karena air mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah, kecuali ada upaya khusus menaikan muka air melalui pompanisasi. Hukum gravitasi dengan sendirinya akan membentuk batas yurisdiksi pengelolaan sumber daya air (Rachman, 1999). Batas yurisdiksi menjadi agak kabur, misalnya jika air sisa irigasi (“drainase”) masih dapat di manfaatkan oleh petak sawah yang berada di luar hamparan tersebut, atau adanya wilayah hamparan tertentu yang sumber airnya berasal dari lebih satu sumber. Konsekuensinya adalah sulitnya menarik iuran IPAIR atau iuran P3A dari petani, karena air yang selama ini mereka gunakan bukanlah melalui jasa P3A, melainkan air dari sumber alam bebas. Dalam kasus semacam ini, batas yurisdiksi yang kurang jelas akan menyebabkan kelembagaan P3A menjadi kurang efektif. Peluang munculnya potensi konflik semacam ini menuntut segera di implementasikannya suatu institusi yang mampu menangani berbagai kepentingan P3A. Institusi dimaksud adalah Gabungan P3A yang berdasarkan hamparan hidrologis (saluran sekunder), dan P3A Federasi (institusi di atas P3A Gabungan ) yang menangani saluran primer. Kepengurusannya berasal dari Perwakilan P3A Gabungan terkait, Pengamat Pengairan, Penjaga Pintu Bendung dan Penjaga Pintu Air (PPA). b. Hak Kepemilikan Terhadap Air (“WATER RIGHTS”) Aspek ini mengandung muatan sosial yang diatur hukum, adat dan tradisi, atau kesepakatan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya air. Implikasinya adalah: 1) Setiap individu mempunyai hak terhadap air, dan 2) Kewajiban yang jelas dapat
memudahkan individu/masyarakat untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya air (Rachman, 1999). Sehingga “Water rights” pada kelembagaan irigasi dapat merefleksikan hak yang diterima petani, yaitu memperoleh air pada saat di butuhkan dengan jumlah dan kualitas tertentu, serta membayar kewajiban yang telah di sepakati. Pada kondisi ketersediaan air sangat memadai dan stabil sepanjang tahun, peran P3A umumnya relatif kurang sehingga cukup beralasan apabila para petani enggan membayar iuran IPAIR. petani hanya bersedia membayar kewajiban setelah merasakan adanya pelayanan jasa dari P3A. fenomena semacam ini memberi petunjuk bahwa melalui konsep “Water rights” yang adaptif, kelembagaan irigasi dapat terjamin eksistensinya. Para petani berhak memperoleh layanan irigasi sesuai dengan kewajibannya sepanjang mereka merasakan air yang diperoleh berasal dari usaha jasa pihak tertentu. c. Aturan Representasi (“RULES OF REPRESENTATION”) Aspek ini dipandang penting untuk meningkatkan efisiensi operasional dan pemeliharaan irigasi. Keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan kolektif (Rachman dan Pasandaran, 2000). Efektivitas pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh kinerja dan status kelembagaan yang terkait, seperti Panitia Irigasi, Bamus, P3A / P3A Gabungan, dan Ulu-ulu. Ditingkat paling bawah, petani yang menjadi anggota P3A mewakili pengurus P3A terutama dalam berhadapan dengan pihak luar, misalnya dengan staf PU Pengairan. Persoalan representasi yang cukup esensial adalah penentuan besarnya IPAIR yang harus dibayar petani. Kinerja IPAIR sangat dipengaruhi oleh keputusan yang didasarkan prosedur yang representatif. Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya partisipasi petani dalam membayar iuran P3A dan rendahnya pengakuan terhadap eksistensi pengurus P3A adalah kurang dipertimbangkannya aspirasi petani. Dilanggarnya aturan representasi mengakibatkan kinerja institusi P3A kurang optimal. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur “representativeness” pengurus P3A yang diikuti dengan pemahaman terhadap nilai
dari organisasi akan mendorong akselerasi kemandirian P3A. KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI : PASCA INPRES NOMOR 3 TAHUN 1999 Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang berkesinambungan memerlukan keterpaduan secara holistic antara investasi jangka pendek untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan (OP) dan jangka panjang utuk kegiatan rehabilitasi sistem irigasi (Rachman dan Pasandaran, 2000). Karena terbatasnya dana untuk menangani kegiatan OP irigasi, maka pemerintah mencanangkan kebijaksanaan Iuran Pengelolaan Air (IPAIR). Tujuannya adalah untuk mencapai pemulihan biaya secara penuh atas biaya OP jaringan irigasi. Hal ini merupakan tantangan dan peluang bagi P3A/Keujruen Blang dalam memperluas kegiatan usaha ekonominya sehingga dapat mningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Untuk kapasitas P3A/Keujruen Blang dalam mengelola jaringan irigasi secara mandiri, diperlukan penyesuaian fungsi kelembagaan P3A/Keujruen Blang. Secara umum kebijakan pengaturan irigasi yang dikeluarkan pemerintah memuat tentang perlindungan sumberdaya air dan pengaturan pemanfaatannya. Kebijakan pemerintah terbaru dalam pengelolaan air irigasi adalah Inpres Nomor 3 Tahun 1999 tentang pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi. Kebijaksanaan tersebut memuat lima isi pokok sebagai berikut: 1) Redefinisi tugas dan tanggung jawab lembaga pengelolaan irigasi, 2) Pemberdayaan P3A/Keujruen Blang, 3) Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada P3A/Keujruen Blang, 4) Pembiayaan OP jaringan irigasi melalui IPAIR, dan 5) Keberlanjutan sitem irigasi (sustainability). Terlaksananya pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam pemberdayaan P3A/Keujruen Blang, khususnya menyangkut tiga aspek pokok, yaitu : 1) Pelaksanaan PPI, 2) Pelaksanaan IPAIR, dan 3) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, IPAIR tidak lagi di setor ke Dispenda Kabupaten/Kota, tetapi sepenuhnya dikelola oleh P3A/Keujruen Blang Gabungan yang wilayah kerjanya meliputi satu saluran sekunder atau P3A/Keujruen Blang Federasi
yang wilayah kerjanya meliputi satu saluran primer. Sebagai konsekuensi, perbaikan dan pemeliharaan saluran primer dan sekunder tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah. Lebih lanjut ditetapkan bahwa: 1) Perbaikan dan pemeliharaan sepanjang saluran primer menjadi tanggung jawab P3A/Keujruen Blang Federasi, 2) Perbaikan sepanjang saluran sekunder menjadi tanggung jawab P3A/Keujruen Blang Gabungan, 3) perbaikan sepanjang saluran tersier kebawah menjadi tanggung jawab P3A/Keujruen Blang dengan dana dari iuran IPAIR. Dari sisi petani, pelaksanaan PPI dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) meningkatkan kemampuan P3A/Keujruen Blang sebagai lembaga petani yang mandiri, dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, dan 2) petani mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan dana IPAIR. Dari sisi pemerintah, manfaat IPAIR adalah: 1) beban pemerintah daerah dalam kegiatan OP jaringan berkurang, 2) pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, bersifat koordinatif dan menjaga keberlanjutan sumber daya air (Rachman et al., 2001). Implementasi kebijakan pemerintah tersebut membawa perubahan besar dalam pola pengelolaan irigasi, baik dalam aspek peran, dan tanggung jawab pengelola irigasi maupun pendanaan terhadap kegiatan OP jaringan irigasi. Mengingat setiap daerah memiliki kondisi teknis jaringan dan sosiokultur beragam, maka perlu adanya pedoman PPI secara jelas dan rinci sesuai dengan kondisi situasi daerah. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan dapat terwujud pelaksanaan OP jaringan irigasi yang efisien dan efektif serta berkelanjutan melalui peran aktif masyarakat dan pemberdayaan kelembagaan P3A/Keujruen Blang Gabungan. Kemampuan dan kondisi sosiokultural masyarakat maupun lembaga pemerintah pengelola irigasi relative heterogen, sehingga kegiatan PPI harus dilakukan dengan asas selektif, bertahap, dan demokratis disesuaikan dengan kondisi jaringan irigasi dan tingkat kesiapan P3A/Keujruen Blang Gabungan setempat (Widodo, 2000). Disamping itu jaringan irigasi yang diserahkan merupakan jaringan irigasi yang secara teknis siap untuk diserahkan. Dengan demikian, diperlukan criteria yang jelas serta
disepakati bersama antara pemerintah dan P3A/Keujruen Blang Gabungan. PERSPEKTIF ORGANISASI KEUJREUN BLANG DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH DI PROVINSI ACEH Sebagaimana diketahui bahwa PPI merupakan pengalihan wewenang dan tanggung jawab. Di Provinsi Aceh selama ini, belum ada dasar hukum yang melandasi pelaksanaan PPI, khususnya menyangkut luas cakupan, wewenang dan tanggung jawab yang dialihkan sehingga menyebabkan terhambatnya mekanisme pengalihan tersebut. Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya yang merupakan “pilot project” PPI belum disertai dasar hukum yang konkrit, sehingga ketentuan hukum yang digunakan hanya mengacu pada Qanun Provinsi, belum ada Qanun Kabupaten. Mekanisme birokrasi yang harus ditempuh adalah melalui surat Gubernur yang berisi penyerahan dan kewenangan kepada Bupati untuk menyiapkan perangkat hukum dan Surat Keputusan (SK) penyerahan pengelolaan irigasi kepada P3A/Keujruen Blang Gabungan. Dalam konteks otonomi daerah (Kurnia dan Juda Winata, 2000), perspektif organisasi P3A/Keujruen Blang yang dimaksud adalah P3A/Keujruen Blang yang mandiri dalam : organisasi dan manajemen, pengelolaan keuangan, pembiayaan OP, dan menghadapi kekuatan-kekuatan luar. Selama ini kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan P3A/Keujruen Blang memandang institusi tersebut sebagai lembaga sosial. Disisi lain, P3A/Keujruen Blang sebagai organisasi pengelola air irigasi ditingkat lokal semakin dituntut peranannya dalam pengalokasian sumberdaya airyang kompetitif untuk berbagai kepentingan. Hal ini mengandung kontraversi apakah sifat sosial ini masih perlu dipertahankan dalam menghadapi sistem pengelolaan air irigasi yang semakin kompetitif. Kuswanto (1997) yang memandang P3A/Keujruen Blang dari fungsi dan keuntungannya, menyatakan sifat sosial P3A/Keujruen Blang masih perlu dipertahankan, karena: 1) pemilikan atas hak guna air dan jaringan irigasi oleh para petani anggota P3A/Keujruen Blang bersifat kolektif, 2) P3A/Keujruen Blang dapat berfungsi sebagai instrumen untuk
menciptakan dan menjaga pemerataan ekonomi dikalangan petani, dan 3) secara teknis akan memerlukan upaya perubahan kelembagaan yang sangat berat, mengingat sifat sosial P3A/Keujruen Blang yang telah tertanam dalam kebijakan dan peraturan yang menyangkut pengelolaan P3A/Keujruen Blang. Dengan demikian, langkah strategis adalah memadukan perspektif bisnis dalam kerangka visi P3A/Keujruen Blang yang bersifat sosial. Implikasinya adalah perlunya penyesuaian struktural kelembagaan P3A/Keujruen Blang yang mengacu pada perspektif otonomi daerah. Menurut Panuju, T (2009), Sejalan dengan dinamika yang berkembang perlu adanya penyesuaian kelembagaan yang lebih adaptif dari struktur dan kewenangan P3A/Keujruen Blang. Beberapa pemikiran penyempurnaan yang perlu adalah sebagai berikut: 1) Partisipasi petani dalam pengelolaan sumber daya air perlu ditingkatkan, tidak hnya pada pengelolaan ditingkat usaha tani, tetapi juga sampai istribusi dan transportasi ditingkat atas. Pembentukan organisasi P3A/Keujruen Blang Gabungan berdasarkan hamparan hidrologis (saluran sekunder) merupakan langkah strategis dalam upaya memberi kewenangan lebih luas dalam pengelolaan OP irigasi. Selain upaya penyesuaian kelembagan di tingkat petani, keberhasilan pengelolaan irigasi juga bergantung pada pengelolaan manajemen ditingkat distribusi dan alokasi. Dengan demikian, kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah Panitia Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota, panitia Tata Pengaturan Air (PTPA), dan Unit Pengelola Sumber Air serta P3A/Keujruen Blang. 2) Penggabungan P3A/Keujruen Blang berdasarkan hamparan hidrologis (saluran sekunder) diikuti dengan pemberian kewenangan yang diperluas akan menunjang peningkatan efisiensi kinerja P3A/Keujruen Blang, yang dicirikan oleh : 1) birokrasi yang berkurang, 2) komunikasi dan koordinasi relatif cepat dan lancar, 3) pihak-pihak yang berkepentingan terwakili dalam kepengurusan Gabungan P3A/Keujruen Blang., dan 4) pengelolan dana IPAIR yang lebih transparan dan demokratis. 3) Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya air ditingkat usaha tani, pada tahap awal diperlukan penyesuaian perspektif dalam memandang keberadaan dan fungsi
P3A/Keujruen Blang. Selama ini P3A/Keujruen Blang dipandang sebagai organisasi bersifat sosial. Oleh karena itu, dalam upaya memberdayakan organisasi P3A/Keujruen Blang diperlukan keterpaduan dengan memasukkan perspektif bisnis. Hal ini didasari pemikiran bahwa selama ini hak pemakai secara kolektif masih merupakan dasar bagi keterikatan para petani dalam keanggotaan P3A/Keujruen Blang, sehingga kepentingan bersama para petani harus lebih diutamakan dari pada kepentingan individu petani. Melihat uraian tersebut diatas maka keterlibatan pihak pemerintah dan lembagalembaga teknis yang berhubungan dengan penyediaan dan pengelolaan sumber sumber air terutama yang berada pada daerah-daerah sentra prouduksi perlu lebih ditingkatkan dan lebih bersinergi dalam mengatasi permasalahan kemungkinan kekurangan cadangan air. Ketersediaan air yang melimpah tidak mencerminkan kecukupan air. Bila ekonomi dunia bertumbuh cepat, permintaan air akan meningkat pula, bisa melampaui kemampuan penyediaan air bumi. Kebutuhan air di Indonesia untuk irigasi akan bersaing dengan kebutuhan industri, perumahan, dan lainnya yang terus meningkat. Menghadapi perkembangan demikian, ketersediaan air tanah dan sumber-sumber air dangkal perlu di pertahankan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penghijauan kembali semua perbukitan dan gunung yang sudah gundul serta pelestarian hutan-hutan lindung yang ada. Ketersediaan air diprediksi sampai tahun 2020 masih dapat dipenuhi dari air yang tersedia saat ini. Di pihak lain, diingatkan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air di beberapa tempat bersamaan dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Kualitas dan kuantitas air menurun diakibatkan tekanan demografi, anomali iklim (Climate Change/El Nino), dan rendahnya komitmen semua pihak dalam pengelolaan sumber daya air. Menurut Kasim, R (2009), Tujuan Pengembangan Irigasi air permukaan adalah memanfaatkan potensi sumber air permukaan sebagai irigasi. Peran dan manfaat kegiatan pengolahan lahan dan air antara lain : (1) mengendalikan laju alih fungsi lahan, (2) memperluas areal pertanian pada kawasan
tanaman pangan, hortikultura perkebunan dan peternakan, (3) mendayagunakan lahan pertanian terlantar, (4) melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian, serata reklamasi lahan pertanian, (5) penguatan hak atas tanah, (6) melakukan upaya pengembangan sumber air irigasi, optimasi pemanfaatan air irigasi, konservasi air, serta (7) pemberdayaan kelembagaan dan kualitas SDM pengelola lahan dan air. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penggabungan P3A/Keujruen Blang dan pelibatan petani anggota P3A/Keujruen Blang dalam pengelolaan sumberdaya air sampai pada distribusi air ditingkat atas (saluran primer dan sekunder) merupakan langkah strategis dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi ditingkat lokal. Penggabungan P3A/Keujruen Blang seyogyanya didasarkan pada konsep wilayah hidrologis (bukan pendekatan administratif), sehingga potensi konflik dalam pengelolaan irigasi relatif dapat dihindari. 2. Penyerahan urusan pemungutan dan pengelolaan dana IPAIR yang otonom, dapat mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran. Selain perubahan kelembagaan ditingkat petani, keberhasilan pengelolaan air irigasi juga tergantung pada pengelolaan ditingkat distribusi dan sungai. Kelembagaan yang perlu mendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia Irigasi Provinsi dan Panitia Irigasi Kabupaten/Kota, PTPA, Unit Pengelola Sumber Daya Air dan P3A/Keujruen Blang. 3. Tarif IPAIR tidak dapat diberlakukan secara umum karena tingkat pelayanan aparat pengairan tergantung pada kebutuhan petani dan ketersediaan air. Pada keaadaan air cukup, petani merasa tidak memerlukan pelayanan dan ini akan menekan tarif IPAIR. 4. Dalam proses PPI belum ada pedoman sebagai penuntun dalam pelaksanaannya didaerah. Untuk itu diperlukan adanya pedoman yang jelas dan partisipatif serta disesuaikan dengan kondisi sosiokultural masyarakat setempat. Tersedianya kepastian hukum terhadap pelimpahan wewenang pengelolaan irigasi ditingkat kabupaten dipandang penting sebagai dasar PPI kepada P3A/Keujruen Blang Gabungan. Demikian pula untuk menjaga
kelestarian jaringan irigai diperlukan dukungan dana pengelolanya dan proporsi aturan tanggung jawab secara eksplisit mengenai: 1) manajemen IPAIR dan OP oleh P3A/Keujruen Blang Gabungan, 2) dana khusus rehabilitasi jaringan di kabupaten oleh P3A/Keujruen Blang Gabungan, dan 3) dana bencana alam dari propinsi. 5. Dalam rangka mengurangi beban pemerintah dan membangun kemandirian petani dalam pengelolaan air irigisi, disarankan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh dapat mewujudkan program PPI kepada P3A/Keujruen Blang dengan membuat qanun tentang irigasi yang memuat pasal-pasal masalah ini, sehingga peran petani sebagai pengelola dan pengguna air menjadi lebih besar dan peran pemerintah hanya sebagai koordinator atau pembina. DAFTAR PUSTAKA Ambler, J. S. 1992. Irigasi di Indonesia. Dinamika Kelembagaan Petani. LP3ES. Jakarta Anggono, A. 2000. Kesiapan Daerah Kabupaten Kulonprogo dalam pengelolaan irigasi yang otonom.Makalah Seminar Nasional Pengelolaan SDA dalam Konteks Otda dan Musyawarah Anggota Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia. Yokyakarta. Deptan, 2004, Peran serta Kelompoktani dalam pembangunan irigasi. Jakarta. Kasim, R. 2009, Macam-macam sumber air permukaan dan jenis irigasinya. Sinar Tani. Jakarta. Kurnia, G. dan R. Judawinata. 2000. Kemandirian Perkumpulan Petani Pemakai Air. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. Kuswanto. 1997. Penyesuaian Kelembagaan P3A. PSI-UDLP UNAND, Padang. Pakpahan, A. 2001. Kerangka Analitik Untuk penelitian rekayasa sosial. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Panuju. T. 2009. Pengembangan Air Permukaan. Sinar Tani. Jakarta. Pasandaran, E dan A. Taryoto. 1993. Petani dan Irigasi. Dua sisi mata uang. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman. B. 1999. Analisis kelembagaan Jaringan Tata Air dalam Meningkatkan Efisiensi dan Optimasi Alokasi Penyaluran Air Irigasi di Wilayah Pengembangan IP. 300, Jawa Barat. PPS-IPB, Bogor. Rachman. B. dan E Pasandaran. 2000. Sistem Kelembagaan pengelolaan air irigasi dalam perspektif otonomi daerah dan ketahanan pangan. Bogor.
Rachman, B., dan K. Kariyasa, dan M. Mardiharini. 2001. Analisis sitem Kelembagaan Jaringan Air serta sikap dan perilaku petani pemakai air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Widodo, W. 2000. Pemberdayaan Petani dalam pengelolaan jaringan irigasi Jawa Tengah. Yogyakarta.