Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Akumulasi Logam Berat pada Siput (Faunus ater) dan Struktur Populasinya di Daerah Aliran Sungai Krueng Reuleng, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar 1,2*
Rahmi Agustina, 3M. Ali S, 4Ferdinan Yulianda, 5Suhendrayatna
1
Program Studi Doktor Matematika dan Aplikasi Sains Program Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; 2 Staf Pengajar Universitas Jabal Ghafur, Sigli; 3 Jurusan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala; 4 Departemen Manajemen Suberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor; 5 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akumulasi logam berat pada Siput, Faunus ater dan struktur populasinya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Reuleng, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar. Contoh berupa air, sedimen, dan Siput, Faunus ater diambil pada bulan November 1016 sampai Januari 2017 dan kandungan logam berat pada Siput, Faunus ater dan sedimen dianalisa dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer, Shimadzu AA 630 setelah didestruksi menggunanakan metode TCLP. Struktur populasi dianalisis dengan menghitung pola penyebaran Siput, Faunus ater menggunakan Indek Morisita, sementara pola pertumbuhan dianalisis melalui data panjang cangkang dan berat tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi logam berat Pb dan Zn pada siput, Faunus ater yang hidup di DAS Krueng Reuleng bervariasi masing-masing 0 – 9,651 mg-Pb/kg dan 16,428 – 147,90 mg-Zn/kg, sementara pada sedimen ditemukan masing-masing 0 – 60,732 mg-Pb/kg dan 53,61 – 205,3 mg-Zn/kg. Tingkat Kepadatan Siput, Faunus ater yang tinggi pada DAS Krueng Reuleng ditemukan pada daerah berbatuan (Stasiun 3) dengan pola penyebaran mengelompok dan seragam serta pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif yang ditandai dengan pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat. Kata kunci: Faunus ater, struktur populasi, Krueng Reuleng Pendahuluan Krueng Reuleung merupakan salah satu sungai yang terdapat di Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar yang didiami oleh berbagai jenis biota perairan, salah satunya Faunus ater. Wilayah ini berada pada lokasi yang baik bagi pertumbuhan dan reproduksi Faunus ater. Biota ini merupakan salah satu makrozobentos dari filum Mollusca kelas Gastropoda yang ditemukan dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar. Sumber daya Faunus ater yang terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Reuleung ini merupakan salah satu sumber daya yang dijadikan sebagai mata pencarian masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Faunus ater merupakan hewan sejenis siput yang dikenal dengan sebutan cue dalam masyarakat A1
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
lokal Aceh Besar yang sering dijadikan lauk tambahan dalam sayur atau dalam rebusan saja. Siput, Faunus ater ini tergolong herbivora yang makanannya berupa tumbuhan alga, plankton, detritus, dan lamun (Nasution dan Siska, 2011) sehingga hidupnya di perairan dasar pasir dan lumpur. DAS Krueng Reuleung melewati pemukiman penduduk dan kerap dijadikan sebagai sumber air untuk pencucian alat transportasi, pembuangan air limbah rumah tangga, dan juga limbah berbagai industri kecil lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan mempengaruhi pola pertumbuhan dan penyebaran siput, Faunus ater di sungai tersebut. Demikian juga dengan potensi keberadaan logam berat pada DAS Krueng Reuleung, mengingat adanya kegiatan industri maupun kondisi alam di sekitarnya berpotensi menurunkan pertumbuhan dan mempengaruhi pola penyebaran siput, Faunus ater. Logam berat dalam konsentrasi tertentu merupakan salah satu kelompok pencemar yang sangat berbahaya apabila masuk ke dalam ekosisten perairan (Suhendrayatna, et al., 2011). Efek toksik dari bahan pencemar tersebut terhadap biota perairan seperti Faunus ater dapat terjadi secara fisiologi, morfologi, genetik, dan bahkan kematian (Nasution dan Siska, 2011). Logam berat bahkan berpengaruh pada fungsi enzim dan fertilitas spesies hewan air, seperti senyawa organotin dan logam Pb dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap biota air walaupun pada konsentrasi yang rendah (Svavarsson et al., 2001). Oleh karena logam berat dapat terendapan ke dalam sedimen, maka kadar logam berat dalam sedimen lebih besar dari air. Kekhawatiran akan adanya akumulasi logam berat pada Siput, Faunus ater menjadikan salah satu alasan perlunya penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akumulasi logam berat pada Siput, Faunus ater dan Struktur populasinya di perairan Krueng Reuleng Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar. Struktur populasi yang dianalisis meliputi kepadatan, pola pertumbuhan, dan pola penyebaran Faunus ater yang terdapat di alam khususnya di DAS Krueng Reuleung Bahan dan Metode Pengambilan contoh berupa air, sedimen, dan Faunus ater dilakukan di sungai Krueng Reuleung dengan menggunakan metode standar. Lokasi pengambilan dibagi ke dalam 3 stasiun yaitu stasiun 1 berada di hulu sungai, stasiun 2 di bagian aliran sungai, dan stasiun 3 mendekati muara sungai. Setiap stasiun ditetapkan 3 plot sampling masing-masing berukuran 1 m x 1m yang ditetapkan secara sistematis. Pengumpulan contoh sedimen dan siput Faunus ater dilakukan dengan cara menyelam dan mengambil langsung dari dasar perairan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol contoh yang telah diberi label sesuai dengan stasiun pengamatan dan ditransportasikan ke laboratorium untuk proses analisis. Akumulasi logam berat pada Faunus ater dan sedimen dianalisa dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer, Shimadzu AA 630 (Eaton and Epps, 1995) setelah didestruksikan dengan metode Toxicity Characteristic Leaching Procedure (US-EPA, 1989). Struktur Populasi yang diamati meliputi tingkat kepadatan, pola penyebaran, dan pola pertumbuhan dari Faunus ater. Kepadatan Faunus ater yang diperoleh dari proses pengambilan pada setiap stasiun pengamatan dihitung. Analisis pola penyebaran Faunus ater diperoleh melalui perhitungan Indek Morisita (Krebs, 1989). Data panjang cangkang dan berat tubuh dipergunakan untuk menganalisis pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan diperoleh dengan menganalisis hubungan antara panjang dengan total berat tubuh. Pengambilan contoh dilakukan pada lokasi seperti digambarkan pada Gambar 1 selama 3 bulan dengan 1 pengambilan setiap bulannya. Hasil dan Pembahasan Kandungan Bahan Pencemar di DAS Krueng Reuleung Berdasarkan hasil analisis pendahuluan, Pb dan Zn merupakan logam berat yang dominan ditemukan pada DAS Krueng Reuleung. Akumulasi logam Pb dan Zn pada siput, Faunus ater
A2
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
dan sedimen DAS Krueng Reuleng untuk setiap stasiun selama 3 bulan pengamatan ditabulasikan pada Tabel 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Selama 3 bulan pengamatan, kandungan logam Pb dan Zn pada sedimen ditemukan masing-masing 0-60,732 mg-Pb/kg dan 53,61-205,3 mg-Zn/kg dan akumulasi logam Pb dan Zn pada siput, Faunus ater ditemukan masing-masing 0-9,651 mg-Pb/kg dan 16,428147,90 mg-Zn/kg. Kandungan Pb pada sedimen dan siput, Faunus ater pada bulan November dan Desember menunjukkan bahwa kandungan logam baik pada sedimen dan siput, Faunus ater terlalu kecil. Hasil analisis pada bulan Januari memberikan nilai yang meningkat sangat signifikan, dimana kandungan Pb pada sedimen ditemukan masingmasing 60,732 mg-Pb/kg (Stasiun 1); 51,096 mg-Pb/kg (Stasiun 2); dan 60,097 mg-Pb/kg (Stasiun 3). Perbedaan ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi ekologi pada daerah tersebut dimana pada bulan November dan Desember daerah studi cenderung ekstrem dengan ditandai terjadinya beberapa kali badai sehingga menyebabkan arus air tidak stabil. Keadaan arus dapat mempengaruhi terakumulasinya logam berat pada sedimen dan siput, Faunus ater. Keadaan ini berbeda dengan hasil analisis pada logam Zn, di mana logam ini ditemukan baik pada sedimen maupun terakumulasi pada siput, Faunus ater di setiap stasiun pengamatan. Sifat Pb yang mudah terurai merupakan indikasi terjadinya perbedaan ini.
A3
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan Zn dalam sedimen dengan kadar tertinggi terdapat pada Stasiun 1 di bulan Desember 2016 mencapai 205,30 mg-Zn/kg. Stasiun 1 terletak di daerah hulu sungai Krueng Reuleung berdekatan dengan perbukitan, dimana pada musim hujan sebagian batuan dan tanah dari perbukitan akan tergerus oleh air hujan masuk ke dalam sungai. Kurangnya aktivitas masyarakat dan rendahnya kecepatan arus sungai juga menyebabkan Zn cenderung mengendap ke dalam sedimen. Demikian pula yang terjadi pada siput, Faunus ater di mana kandungan Zn tertinggi pada siput, Faunus ater ditemukan pada Stasiun Pengamatan 1 di bulan November 2016 yang mencapai 147,90 mg-Zn/kg. Tabel 1.
Konsentrasi logam Pb dan Zn pada sedimen dan Siput, Faunus ater pada DAS Krueng Reuleng selama 3 bulan pengamatan Kandungan Logam Berat (mg/kg) Stasiun Sampel November Desember Januari Pengamatan Pb Zn Pb Zn Pb Zn sedimen tt 53,61 tt 205,30 60,732 169,082 Stasiun 1 siput tt 147,90 tt 111,71 6,049 28,169 sedimen tt 71,90 tt 103,60 51,096 89,184 Stasiun 2 siput tt 82,71 tt 28,59 8,926 36,074 sedimen tt 103,75 tt 137,14 60,097 90,741 Stasiun 3 siput tt 66,81 tt 52,82 9,651 16,429 tt: tidak terdeteksi Tingkat Kepadatan Kepadatan (density) populasi adalah jumlah individu per satuan luas atau volume (Campbell et al., 2004). Tingkat kepadatan Siput, Faunus ater di DAS Krueng Reuleng bervariasi pada setiap stasiun. Tingkat kepadatan populasi Siput, Faunus ater pada DAS Krueng Reuleng diperlihatkan pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa tingkat kepadatan pada setiap stasiun berfluktuasi setiap bulannya. Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan siput, Faunus ater selama tiga bulan, diketahui bahwa kisaran kepadatan rata-rata Siput, Faunus ater pada tiga stasiun menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kepadatan tertinggi Faunus ater ditemukan pada Stasiun 3 dan kepadatan terendah terdapat pada Stasiun 2. Kepadatan tertinggi berada pada Stasiun 3, hal ini terkait karena Stasiun 3 merupakan daerah berbatuan yang sangat disenangi oleh Siput, Faunus ater sebagai habitat hidupnya. Siput ini menempel pada berbatuan karena banyak bentos yang melekat yang merupakan salah satu sumber makanannya sehingga tingkat kepadatan siput pada Stasiun 3 lebih tinggi dibandingkan Stasiun 1 dan 2.
60
Jumlah (Populasi)
50 40 30
20 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
10
0
November
Desember
Desember
Waktu Pengamatan (bulan) Gambar 2. Tingkat kepadatan Siput, Faunus ater pada DAS Krueng Reuleung A4
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
Selain karena kondisi substrat yang sesuai, kepadatan Faunus ater juga dipengaruhi oleh banyaknya makanan yang terkandung dalam substrat yang mengandung bahan organik tinggi. Kepadatan Faunus ater dikaitkan dengan kandungan bahan organik, karena pada umumnya gastropoda termasuk Faunus ater merupakan deposit feeder yang memanfaatkan endapan bahan organik pada substrat dasar perairan sebagai makanannya. Siregar (2013) menjelaskan bahwa faktor ketersediaan makanan juga ikut berpengaruh dalam menunjang keberlangsungan hidup dan pertumbuhan Faunus ater. Ketersediaan bahan organik akan memberikan variasi kepadatan terhadap organisme yang ada (Perdana, dkk. 2013). Faktor yang membatasi distribusi dan kepadatan jenis siput di alam dikategorikan ke dalam dua faktor, yaitu faktor alam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan suatu biota untuk memilih tipe habitat yang disenangi. Oleh karena itu, distribusi serta kepadatan siput di alam dapat dijadikan indikasi kesesuaian habitat terhadap biota tertentu (Doddy, 1998). Selain itu faktor ketersediaan makanan juga ikut berpengaruh dalam menunjang keberlangsungan hidup dan pertumbuhan siput (Siregar, 2013). Pola Penyebaran Hasil analisis data Indek Morisita menunjukkan bahwa pola penyebaran populasi Faunus ater pada rentang waktu November 2016 sampai Januari 2017 di Krueng Reuleung Leupung, terjadi secara berkelompok dan seragam. Hasil pengukuran Indeks Morisita diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Pola Penyebaran Faunus ater selama 3 bulan Pengamatan Bulan Plot Stasiun Pengamatan 1 2 3 November 1 7 4 15 2016 2 37 17 84 3 49 34 86 Desember 1 22 16 20 2016 2 32 34 33 3 35 29 49 Januari 1 44 51 39 2017 2 38 46 43 3 31 28 94
pada Krueng Reuleung Leupung di tiga stasiun Σx
Σx2
(Σx)2
n
Iδ
26 138 169 58 99 113 134 127 153
290 8714 10953 1140 3269 4467 6058 5409 10581
676 19044 28561 3364 9801 12769 17956 16129 23409
3 3 3 3 3 3 3 3 3
1,22 1,36 1,14 0,98 0,98 1,03 0,99 0,99 1,34
Pola Penyebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Seragam Seragam Mengelompok Seragam Seragam Mengelompok
Hasil pengamatan pada bulan November menunjukkan bahwa semua stasiun memperlihatkan pola penyebaran yang mengelompok. Pada pengamatan Desember dan Januari, pola penyebaran mengelompok hanya terjadi pada Stasiun 3 yaitu daerah yang mendekati muara sungai. Berdasarkan kriteria Indeks Morisita, pola penyebaran siput, Faunus ater bersifat mengelompok karena nilai Indeks Morisita lebih besar dari satu. Suin (1997) menyatakan bahwa kebanyakan hewan dasar distribusinya mengelompok, karena mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya. Ayunda (2011) menegaskan bahwa penyebab utama pola sebaran mengelompok bagi biota perairan adalah kondisi lingkungan, cara berproduksi, dan kebiasaan makan. Pola sebaran yang mengelompok akan memudahkan individu untuk berhubungan satu sama lainnya untuk berbagai kebutuhan, seperti bereproduksi dan mencari makan. Pola penyebaran seragam mayoritas terjadi pada bulan Desember dan Januari (untuk Stasiun 1 dan 2) termasuk hal yang tidak lazim terjadi, karena pola penyebaran seragam jarang terdapat pada populasi alami. Kondisi yang mendekati keadaan demikian adalah apabila terjadi penjarangan akibat kompetisi antara individu yang relatif ketat (Michael, 1994). Intervensi zat pencemar yang memasuki perairan juga dapat memicu ketidaklaziman ini, Stasiun 1 dan Stasiun 2 merupakan daerah yang melewati pemukiman penduduk. Masuknya limbah rumah tangga dan industri kecil lainnya menyebabkan A5
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi Faunus ater. Ketersediaan zat organik menjadi rendah dan persaingan untuk mendapatkan makanan menjadi semakin ketat Pola Pertumbuhan Hasil pengukuran pola pertumbuhan Faunus ater pada DAS Krueng Reuleung diperlihatkan pada Gambar 3. Laju pertumbuhan Faunus ater yang terdapat di Krueng Reuleung memperlihatkan bahwa panjang cangkang minimum dan maksimum pada pengamatan bulan November 2016 yaitu 14-54 mm dengan berat antara 0,15-5,25 gram. Panjang cangkang minimum dan maksimum pada pengamatan bulan Desember 2016 mencapai 1758 mm dengan berat berkisar 0,37-10,31 gram. Panjang cangkang minimum dan maksimum pada pengamatan bulan Januari 2017 mencapai 11-55mm dengan berat antara 0,09-8,12 gram. Data tersebut mengungkapkan bahwa pola pertumbuhan siput bervariasi setiap bulan, namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pola pertumbuhan tersebut meningkat seiring dengan pertambahan ukuran cangkang yang terus berubah. Setyobudiandi (2004) menyatakan bahwa setelah mencapai panjang rata-rata maksimum, siput akan mengalami penurunan percepatan pertumbuhan (pertumbuhan akan berhenti). Keterkaitan substrat akan ketersediaan makanan berupa detritus dan plankton menjadi faktor dalam pertumbuhan yang terjadi pada siput.
Gambar 3. Pola Pertumbuhan Faunus ater di Krueng Reuleung pada 3 stasiun selama 3 bulan pengamatan Gambar 3 memperlihatkan pola pertumbuhan Faunus ater selama 3 bulan pengamatan bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan cangkang lebih cepat dari penambahan berat Faunus ater. Allometrik negatif merupakan karakteristik dari Faunus ater, karena moluska melindungi dirinya dari lingkungan dengan cangkangnya, sehingga pertumbuhan cangkang lebih diutamakan dari pertumbuhan bagian tubuh yang lain. Seed dalam Kastoro (1992) menyebutkan bahwa cangkang merupakan bagian yang paling menonjol pada moluska sehingga pertumbuhan moluska ini adalah pertambahan panjang cangkang yang diikuti dengan pertambahan tubuhnya. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Akumulasi logam berat Pb dan Zn pada siput, Faunus ater yang hidup pada DAS Krueng Reuleng bervariasi pada setiap stasiun selama 3 bulan pengamatan masingmasing 0-9,651 mg-Pb/kg dan 16,428-147,90 mg-Zn/kg;
A6
Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP) Unsyiah 2017, April 13, 2017, Banda Aceh, Indonesia
2. Kandungan logam berat Pb dan Zn pada sedimen DAS Krueng Reuleng bervariasi pada setiap stasiun selama 3 bulan pengamatan masing-masing 0-60,732 mg-Pb/kg dan 53,61-205,3 mg-Zn/kg; 3. Tingkat Kepadatan Faunus ater pada DAS Krueng Reuleng tinggi ditemukan pada Stasiun 3 yang merupakan daerah berbatuan dan sangat disenangi sebagai habitat hidupnya; 4. Populasi Faunus ater pada DAS Krueng Reuleng memiliki pola penyebaran mengelompok dan seragam; dan 5. Pola pertumbuhan Faunus ater pada DAS Krueng Reuleng bersifat allometrik negatif yang ditandai dengan pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat. Daftar Pustaka Ayunda, R. (2011). Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok. Campbell, N.A.R, Jane B., Lawrence M.G. (2004). Biologi Edisi Kelima Jilid 3, Erlangga, Jakarta. Dody, S. (2011). Pola Sebaran, Kondisi Habitat Dan Pemanfaatan Siput Gonggong (Strombus urturella) di Kepulauan Bangka Belitung. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta. Eaton, A.D. and Epps, A.A. (1995). Standart Methods for the Examintion of Water and Wastewater, 19th Ed, APHA, AWWA, and WEF, Baltimore, MD. Kastoro, W. (1988). Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau (Perna viridis L) dari Perairan Binaria, Ancol Teluk Jakarta, Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 45. Krebs, C.J. (1989). Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Third Edition. Harper and Row Publishers, New York. Michael, P.E. (1994). Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Universitas Indonesia, Jakarta. Nasution, S., Siska, M. (2011). Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) pada Sedimen dan Siput Strombus Canarium di Perairan Pantai Pulau Bintan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 5:2, 82-93. Perdana T, Melani WR, Zulfikar A. 2013. Kajian Kandungan Bahan Organik terhadap Kelimpahan Keong Bakau (Telescopium telescopium) di Perairan Teluk Riau Tanjungpinang. Skripsi. FIKP. UMRAH. Riau. 52 hal. Setyobudiandi, I. (2000). Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Suin, N.M. (1997). Ekologi Hewan Tanah, Jakarta, Bumi Aksara. Siregar, NMA. (2013). Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Keong Tutut (Bellamya javanica v.d Bush 1844) di Waduk Saguling, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhendrayatna, Ohki, A., Gultom, A.C. (2011) Mercury Levels and Distribution in Organs of Freshwater Organisms from Krueng Sabe River, Aceh Jaya, Indonesia, 6th Annual International Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster & Recovery 2011 in Conjunction with 4th South China Sea Tsunami Workshop, November 22-24, 2011 ISSN: 1693-3044, p. T-417. Svavarsson, J.A. Granmo, R. Ekelund, R., Szpunar, J., (2001). Occurrence and Effects of Organition on Adult Common Whelk Buccinum undatum (Molusca, Gastropods) in Harbours and in a Simulated Dredging Situation. Mar. Poll. Bull.42:370-376. US-EPA, (1989). EPA Superfund Record of Decision: Picatinny Arsenal (US Army). Rockaway Township, NJ, U.S. Environmental Protection Agency Superfund. http://www.epa.gov/superfund/sites/rods/fulltext/r0289093.pdf.
A7