8
serbuk terlarut tersebut yang kemudian disonikasi kembali selama 30 menit. Larutan ekstrak temulawak tersebut, dikeringkan dengan menggunakan spray dry agar diperoleh sampel dalam bentuk serbuk. Untuk variasi waktu sonikasi dan konsentrasi TPP lainnya (Tabel 3), metodenya sama seperti langkah di atas. Tabel 3 Kode sampel Nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan dengan TPP 0.5% selama 30 menit TPP 0.5% selama 60 menit TPP 1% selama 30 menit TPP 1% selama 60 menit
Kode Sampel A1 A2 A3 A4
Karakterisasi XRD Sekitar 200 mg sampel ditaburkan ke dalam holder berupa kaca preparat yang dibagi dua, sampel tersebut ditaburkan pada bagian holder berukuran 2 x 2 cm2 yang kemudian diratakan tipis hingga kaca holder pada bagian tersebut tertutup serbuk sampel secara sempurna. Sampel dikarakterisasi menggunakan alat XRD dengan sumber Cu ). ( Karakterisasi SEM Sampel diletakkan pada plat aluminium yang memiliki dua sisi, kemudian dilapisi dengan lapisan emas dengan waktu coating ± 30 detik. Sampel yang telah dilapisi, diamati menggunakan SEM dengan tegangan 10 kV dan perbesaran hingga 20.000 kali. Karakterisasi FTIR Sebanyak 2 mg sampel nanopartikel dicampur dengan 100 mg KBr untuk dibuat pelet dengan pencetak vakum. Pelet yang terbentuk dikenai sinar infra merah dengan jangkauan bilangan gelombang 4.000-400 cm-1. Latar belakang absorpsi dihilangkan dengan cara pelet KBr dijadikan satu pada setiap pengukuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nanopartikel Ekstrak Temulawak Tersalut Kitosan Nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan disintesis melalui 2 variasi yaitu konsentrasi TPP dan waktu sonikasi. TPP yang digunakan pada penelitian ini yaitu TPP dengan konsentrasi 0,5% dan 1%. Penambahan TPP bertujuan untuk
membentuk ikatan silang ionik antara melekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap (Mi et al. 1999). Sifat kitosan yang mudah rapuh dapat distabilkan menggunakan TPP. Variasi waktu sonikasi selama 30 menit dan 60 menit dilakukan untuk mengetahui ukuran nanopartikel dan kehomogenan larutan dengan penambahan waktu sonikasi. Pada penelitian ini digunakan alat berupa beaker glass 500 mL sebagai wadah untuk membuat larutan nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan, sedangkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan menggunakan Erlenmeyer 250 mL sebagai wadahnya (komunikasi pribadi). Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan wadah terhadap penjalaran energi. Berdasarkan hasil foto SEM, diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa sampel yang menggunakan wadah Erlenmeyer 250 mL menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan menggunakan wadah beaker glass 500 mL. Jika dilihat dari kehomogenan distribusi ukuran partikel, sampel yang menggunakan wadah beaker glass 500 mL distribusi ukuran partikelnya cenderung lebih homogen dibandingkan dengan menggunakan wadah Erlenmeyer 250 mL (Gambar 9). Ketika gelombang sonic menjalar dalam wadah Erlenmeyer 250 mL, penyebaran energinya tidak sama. Hal ini terkait dengan geometri wadah Erlenmeyer 250 mL yang tidak beraturan atau cenderung mengerucut ke atas dan jarak antara sumber gelombang terhadap dinding wadah yang berbeda-beda (Gambar 10 (a)), sehingga energi yang dipantulkan pada molekul larutan emulsi berbeda-beda pula. Terjadinya pemantulan yang berbeda-beda ini menyebabkan molekul larutan emulsi ada yang pecah lebih cepat dan ada juga yang pecah lebih lama sehingga menghasilkan ukuran partikel yang paling kecil namun tidak homogen. Berbeda dengan sampel yang menggunakan wadah beaker glass 500 mL (Gambar 10 (b)) penyebaran energi pada wadah tersebut cenderung merata karena geometri wadah yang beraturan, serta jarak antara sumber gelombang terhadap dinding wadah yang sama, sehingga seluruh molekul yang ada pada wadah tersebut terkena energi yang sama dan molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama serta distribusi ukuran partikelnya cenderung lebih homogen. Hal ini yang menyebabkan
9
distribusi ukuran partikel menggunakan wadah Erlenmeyer 250 mL kurang homogen. Dalam proses sonikasi terjadi resonansi, ketika frekuensi gelombang sonic mendekati frekuensi gelembung kavitasi (f ≈ f0) yang pada waktu tertentu dianalogikan pecah, karena pada saat itu sistem memiliki energi maksimal yang dapat diserap oleh gelembung kavitasi. Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel yang terkungkung di dalamnya juga akan dapat terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran kecil (Hapsari 2009). Tabel 4 Ukuran partikel nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan dengan konsentrasi TPP 0,5% Diameter partikel wadah sonikasi 30 sonikasi 60 menit (nm) menit (nm) Erlenmeyer 222-3500 333-4600 250 mL beaker glass 430-2900 422-4700 500mL
(d) Gambar 9 Foto SEM nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan sonikasi 30 menit (a) dan sonikasi 60 menit (b) dengan menggunakan wadah Erlenmeyer, serta sonikasi 30 menit (c) dan sonikasi 60 menit (d) dengan menggunakan wadah beaker glass pada perbesaran 2000 kali.
(a)
(a)
(b)
(c)
(b) Gambar 10 proses sonikasi menggunakan wadah Erlenmeyer 250 mL (a) dan proses sonikasi menggunakan wadah beaker glass 500 mL (b). Hasil analisis XRD Analisis XRD digunakan untuk mengetahui struktur sampel. Data yang diperoleh dari analisis XRD berupa grafik hubungan antara sudut difraksi sinar-X pada sampel dengan intensitas sinar yang
10
dipantulkan oleh sampel. Menurut Kencana (2009), bentuk amorf ditandai dengan . Pada puncak lemah pada sudut pola XRD dapat dilihat terbentuknya peak pada sudut 2 antara hingga dengan variasi konsentrasi TPP dan waktu sonikasi. Berdasarkan hasil XRD yang diperoleh (Gambar 11), keempat sampel menunjukkan sifat amorf karena terdapat pola difraksi dengan puncak 21,04° pada sampel A1; 20,62° pada sampel A2; 20,14° pada sampel A3; dan 19,48° pada sampel A4. Hal tersebut bersesuaian dengan data kitosan dan kurkumin dalam JCPDS. Pergeseran puncak yang terlihat pada keempat sampel menunjukkan bahwa keempat sampel telah mengalami perubahan struktur kristal menjadi bentuk amorf. Terjadinya perubahan struktur ini terkait dengan sifat biodegradabel, karena semakin amorf strukturnya maka akan semakin mudah untuk diuraikan dalam tubuh (Hapsari 2009). Hal ini berkaitan dengan aplikasi dalam penghantaran obat, dimana kurkumin diharapkan dapat terbungkus oleh kitosan sehingga jika dikonsumsi mudah terdegradasi. Nilai derajat kristalinitas yang diperoleh untuk sampel A1 25,99%; sampel A2 25,99%; sampel A3 26,50%; dan sampel A4 29,34%. Besarnya nilai derajat kristalinitas bertambah besar seiring dengan banyaknya konsentrasi TPP dan lamanya waktu sonikasi. Pada gambar 11 juga terlihat puncak-puncak yang cukup tinggi pada sudut 44, 64, dan 77. Puncak-puncak tersebut bukan merupakan karakteristik dari sampel melainkan adanya pengotor yang terdapat pada sampel tersebut.
Gambar 11 Pola XRD kode sampel A1, A2, A3, dan A4
Hasil analisis Morfologi SEM Hasil karakterisasi SEM nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan yang telah dibuat dengan metode sonikasi diperoleh bentuk partikel berupa bulatan menyerupai bola dan berkerut (Gambar 12). Ukuran partikel dapat ditentukan dengan mengukur diameter bola tersebut. Perbesaran yang digunakan yaitu mulai dari 1000 kali hingga 20.000 kali. Bentuk bola partikel ekstrak temulawak tersalut kitosan masih bisa terlihat jelas hingga perbesaran 20.000 kali. Setelah dilakukan pengukuran diameter berdasarkan foto SEM diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa kode sampel A4 menghasilkan ukuran partikel yang paling kecil dan distribusi ukuran partikelnya lebih homogen dibandingkan dengan kode sampel A1, A2, dan A3. Berdasarkan Gambar 12, kerutan pada partikel semakin berkurang dengan bertambahnya TPP dan waktu sonikasi. Perbedaan ukuran yang diperoleh memperlihatkan bahwa penambahan TPP dan waktu sonikasi cenderung mempengaruhi ukuran partikel dan meningkatkan kehomogenan ukurannya. Menurut Mi et al. (1999), penambahan TPP bertujuan untuk membentuk ikatan silang ionik antara melekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penjerap. Semakin banyaknya penambahan TPP, ekstrak temulawak yang tersalut kitosan semakin kuat dan dapat mengurangi kerutan. Meningkatnya kehomogenan ukuran partikel juga dapat dilihat pada Gambar 12. Semakin lama waktu sonikasi, akan menyamaratakan energi yang diterima partikel diseluruh bagian sisi larutan sehingga ukuran partikel semakin homogen. Gambar foto SEM kode sampel A3 berbeda dengan kode sampel lainnya (Gambar 12). Hal tersebut dikarenakan terjadi penundaan proses spray dry setelah melakukan proses sonikasi. Larutan yang telah disonikasi sebaiknya langsung dilakukan proses spray dry agar larutan tersebut tidak membentuk gel. Tujuan dilakukan spray dry agar menghasilkan serbuk berupa partikel nanokapsul yang kecil, teknik yang ramah sehingga dapat terhindar dari penggunaan pelarut organik, dan dapat meningkatkan stabilitas serbuk (Yundhana, 2008).
11
A1(a)
A2(b)
A3(c)
Hasil analisis FTIR Karakterisasi FTIR dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui keberadaan ekstrak temulawak yang disalut oleh kitosan. Secara umum, spektrum inframerah dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi dalam senyawa. Pada penelitian ini, pembanding yang digunakan adalah standar kurkumin. Hal ini disebabkan belum adanya data FTIR ekstrak temulawak. Menurut Firdaus et al. (2008), gugus fungsi khas yang terdapat pada nanokitosan murni adalah gugus hidroksil (-OH) dan gugus amida (-NH2). Gugus fungsi hidroksil pada kitosan muncul pada bilangan gelombang 3450-3200 cm-1 (Firdaus et al. 2008), sedangkan gugus fungsi amida muncul pada bilangan gelombang 16601500 (Colthup et al. 1975). Gugus fungsi khas yang terdapat pada kurkumin dapat dilihat pada Tabel 6 (Colthup et al. 1975). Berdasarkan hasil FTIR yang diperoleh (Gambar 13), menunjukkan bahwa keempat sampel terdapat gugus fungsi hidroksil pada bilangan gelombang masing-masing 3350,62 cm-1; 3370,05 cm-1; 3341,62 cm-1; dan 3378,00 cm-1. Gugus fungsi amida pada penelitian ini muncul dalam bilangan gelombang 1567,15 cm-1 pada sampel A1; 1564,70 cm-1 pada sampel A2; 1557,33 cm-1 pada sampel A3; dan 1559,86 cm-1 pada sampel A4. Gugus fungsi khas yang dimiliki kurkumin seperti C=O, C=C, C-O, dan C-H tekuk juga terdapat pada keempat sampel. Terjadi sedikit perubahan bilangan gelombang dari keempat sampel, hal ini menunjukkan adanya interaksi kembali antar gugus fungsi akibat penambahan TPP dan waktu sonikasi. Tabel 6 Pita transmitan standar kurkumin dan data literatur
A4(d) Gambar 12 Morfologi nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan; A1(a), A2(b), A3(c), dan A4(d) Tabel 5 ukuran partikel hasil foto SEM Kode sampel Diameter (nm) A1
430-2900
A2
422-4700
A3
444-4200
A4
418-2300
Sumber data literatur: Colthup et al. (1975)
12
17.4
Laboratory Test Result
16 15 14 13 12 11
surfaktan untuk menjaga kestabilan emulsi dan memisahkan partikel satu sama lain agar tidak menggumpal kembali setelah disonikasi.
10 9 %T
8
DAFTAR PUSTAKA
7 6 5 4 3 2
Kitosan 2%+TPP 0.5%+temulawak 5% (30mnt)
A1, A2, A3, A4
1
Kitosan 2%+TPP 1%+temulawak 5% (30 mnt) Kitosan 2%+TPP 0.5%+temulawak 5% (60mnt) Kitosan 2%+TPP 1%+temulawak 5% (60mnt)
0 -1.0 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 13 Pola Spektra FTIR kode sampel A1, A2, A3, dan A4
KESIMPULAN dilakukan pembuatan Telah nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan dengan variasi konsentrasi TPP dan waktu sonikasi. Konsentrasi TPP yang tinggi dapat menguatkan sifat mekanik kitosan yang mudah rapuh dan dapat membentuk ikatan silang ionik antara melekul kitosan. Lamanya waktu sonikasi dapat meningkatkan kehomogenan ukuran partikel. Penggunaan wadah dengan menggunakan beaker glass 500 mL lebih menghasilkan distribusi ukuran partikel yang lebih homogen dibandingkan menggunakan wadah Erlenmeyer. Sampel dengan konsentrasi TPP 1% dan waktu sonikasi 60 menit menunjukkan bahwa ekstrak temulawak yang tersalut kitosan semakin kuat dan kerutan pada partikel semakin berkurang. Ukuran partikel yang diperoleh pada sampel tersebut sebesar 418 nm hingga 2300 nm. Hasil XRD menunjukkan bahwa nanopartikel ekstrak temulawak tersalut kitosan berstruktur amorf. Besarnya nilai derajat kristalinitas bertambah besar seiring dengan banyaknya konsentrasi TPP dan lamanya waktu sonikasi. Berdasarkan foto SEM (Gambar 12), menunjukkan bahwa partikel yang dihasilkan berupa bulatan menyerupai bola dan berkerut. Keberadaan ekstrak temulawak dalam penyalut kitosan dapat dipastikan karena grafik spektra FTIR yang diperoleh hampir sama dengan standar kurkumin.
SARAN Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat divariasikan lagi konsentrasi TPP dan selang waktu sonikasi yang lebih lama. Sifat kitosan yang mudah rapuh dan dapat membentuk gel, sehingga perlu diberi
Berger J et al. 2004. Structure and interactions in covalently and ionically crosslinked chitosan hydrogels for biomedical applications. Eur J Pharm Biophram 57:193-194. Colthup NB, Daly LH, Wiberly SE. 1975. Introduction to Infrared and Raman Spectroscopy. New York: Academic Press. Cullity BD. 1956. Element of X-Ray Diffraction. Addison Wesley Publishing Company, Inc. Desai KGH, Park HJ. 2005. Preparation and characterization of drug-loaded chitosan–tripolyphosphate microspheres by spray drying. Drug Development Res. 64:114–128. Fardiaz D. 198. Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Firdaus F, Darmawan E, Mulyaningsih S. 2008. Karakteristik spectra infrared (IR) kulit udang, kitin, dan kitosan yang dipengaruhi oleh proses demineralisasi, deproteinisasi, deasetilasi I, dan deasetilasi II. Jurnal Ilmiah Farmasi 4:11-22. Gabriel BL. 1985. SEM: A user’s Manual for Materials Science. Ohio: Packer Engineering Associates, Inc. Hapsari BW. 2009. Sintesis nanosfer berbasis ferrofluid dan polylactic acid (PLA) dengan metode sonikasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Hielscher, T. 2005. Ultrasonic Production of Nano-Size Dispersions and Emulsions, dalam: Proceedings of European Nanosystems Conference ENS’05. Hirano S. 1996. Chitin biotechnology application. Dalam: El-Gewely MR. 1996. Biotechnology Annual Review. Canada: Elsevier. Hu Z, Chan WL, Szeto YS. 2007. Nanocomposite of chitosan and silver oxide and its antibacterial property. J Appl Polym Sci. 108: 52–56. Jamaludin MA. 1994. Isolasi dan pencirian kitosan limbah kulit udang windu (Penaeus monodon Fabricus) dan