29
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Penelitian Secara administratif, Desa Gelang termasuk dalam wilayah Kecamatan Rakit, Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Luas Desa Gelang
adalah 187.800 ha atau 5,79 persen dari luas total Kecamatan Rakit. Sebagian besar wilayah di Desa Gelang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang terdiri atas berbagai macam jenis yaitu padi, kelapa, sayuran, buah (jeruk) dan hasil pertanian lainnya. Desa Gelang merupakan desa yang memiliki tanaman melati gambir terbanyak di Kabupaten Banjarnegara. Setiap tahunnya, melati yang dihasilkan di Desa Gelang sebanyak ±6 ton/ha/tahun dengan harga per kilogramnya yang tidak menentu setiap waktu. Pada saat dilakukan pengambilan data, harga melati gambir adalah Rp 23.000,00/kg dengan pembagian Rp 10.000/kg untuk buruh pemetik dan Rp 13.000/kg untuk petani atau pemilik lahan melati gambir. Data terakhir pada Tahun 2010, jumlah penduduk Desa Gelang adalah 4.190 orang yang terdiri atas 2.177 laki-laki dan 2.013 perempuan dengan 1.130 Kepala Keluarga. Pekerjaan mayoritas penduduk di Desa Gelang adalah sebagai petani dan petani penggarap (buruh tani). Pekerjaan selanjutnya yang banyak dimiliki adalah buruh bangunan, buruh industri, dan pedagang. Hanya terdapat beberapa orang saja yang memiliki pekerjaan sebagai PNS. Sampai tahun 2008, jumlah rumah tangga miskin di Desa Gelang sebanyak 30,45 persen dari total rumah tangga. Fasilitas pendidikan yang terdapat di Desa Gelang antara lain enam Taman Kanak-kanak (TK), dua Play Group (PG), tiga Raudatul Aftal (RA), lima Sekolah Dasar (SD), dan dua Madrasah Ibtidai‟yah (MI). Sementara itu, untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat sebuah yayasan yang dibangun yaitu Yayasan Pendidikan Ma‟arif yang memberikan pendidikan gratis. Sampai Tahun 2010, penduduk di Desa Gelang yang berumur 18-56 tahun yang berhasil menempuh pendidikan hingga SD sebanyak 980 orang, tamat SMP sebanyak 367 orang, tamat SMA sebanyak 287 orang, dan tamat Perguruan Tinggi sebanyak 63 orang.
30
Karakteristik Demografi Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga atau besar keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. Menurut BKKBN, besar keluarga digolongkan menjadi tiga yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota tidak lebih dari empat orang. Keluarga sedang memiliki jumlah anggota sebanyak lima hingga enam orang sedangkan keluarga besar memiliki jumlah anggota lebih dari enam orang. Tabel 3 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (51,51%) termasuk dalam keluarga kecil, sisanya yaitu sebesar 37,87 persen dan 10,62 persen merupakan keluarga sedang dan keluarga besar. Jumlah anggota keluarga terkecil adalah tiga orang dan jumlah terbanyak adalah sembilan orang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka beban orang tua untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga juga akan semakin besar. Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-6 orang) Keluarga besar (≥7 orang) Total Min-max (orang) Rataan±SD (orang)
Keluarga n 34 25 7 66 3-9 4,67±1,35
% 51,51 37,87 10,62 100,00
Tipe Keluarga Tipe keluarga dibedakan menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain seperti kakek, nenek, cucu, menantu, dan lain-lain. Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat sebesar 83,33 persen keluarga yang merupakan keluarga inti dan sebesar 16,67 persen keluarga yang merupakan keluarga luas. Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga Tipe keluarga Keluarga inti Keluarga luas Total
Keluarga n 55 11 66
% 83,33 16,67 100,00
31
Usia Suami dan Istri Usia suami dan istri dikelompokkan menjadi tiga yaitu dewasa muda, dewasa tengah dan dewasa tua (Hurlock 1980). Tabel 5 menunjukkan bahwa usia suami berada pada rentang 28 sampai dengan 65 tahun dengan rataan 44,05 tahun. Terdapat sebesar 57,57 persen keluarga yang memiliki suami pada usia dewasa tengah dan sebanyak 40,90 persen keluarga dengan suami berada pada usia dewasa muda. Hanya 1,53 persen keluarga dengan suami pada usia dewasa tua. Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri Usia Dewasa muda (18-40 tahun) Dewasa tengah (41-60 tahun) Dewasa tua (>60 tahun) Total Min-max (tahun) Rataan±SD (tahun)
Suami n % 27 40,90 38 57,57 1 1,53 66 100,00 28-65 44,05±8,17
Istri n % 40 60,60 26 39,40 0 0,00 66 100,00 24-56 39,38±7,63
Berbeda dengan usia suami, sebanyak 60,60 persen keluarga memiliki istri pada usia dewasa muda. Sisanya, yaitu 39,40 persen keluarga dengan istri usia dewasa tengah yaitu sebanyak 39,40 persen. Hanya terdapat 1,53 keluarga dengan istri yang berada pada usia 24 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik umur suami maupun umur istri berada pada usia produktif. Usia Anak Rentang usia anak sekolah dalam penelitian ini adalah 3-18 tahun. Rentang usia ini diambil berdasarkan usia seorang anak yang mulai mengenal pendidikan baik formal maupun non-formal sejak dini. Tabel 6 memperlihatkan bahwa rentang usia anak dibagi menjadi empat yaitu pra sekolah, anak usia sekolah, remaja, dan dewasa. Jumlah total anak sekolah yang dimiliki keluarga contoh adalah 100 anak. Lebih dari separuh anak keluarga contoh adalah anak usia sekolah dasar (56,00%). Urutan kedua adalah anak keluarga contoh dengan usia anak remaja (26,00%) dan terdapat masing-masing sembilan persen anak keluarga contoh yang berada pada usia pra sekolah dan dewasa awal.
32
Tabel 6 Sebaran anak keluarga contoh berdasarkan usia Usia anak Pra sekolah (3-5 tahun) Anak usia sekolah (6-12 tahun) Remaja (13-15 tahun) Dewasa awal (16-18 tahun) Total
Jumlah n 9 56 26 9 100
% 9,00 56,00 26,00 9,00 100,00
Jumlah Anak Sekolah Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh satu keluarga berbeda-beda, mulai dari satu anak hingga empat anak sekolah seperti yang ditunjukkan Tabel 7 dibawah ini. Terdapat lebih dari separuh contoh memiliki anak sekolah sebanyak satu orang (56,06%). Terdapat 43,94 persen keluarga yang memiliki anak usia sekolah lebih dari satu orang yaitu 37,68 persen keluarga dengan dua anak sekolah, 4,54 persen keluarga dengan tiga anak sekolah dan 1,62 persen keluarga dengan empat anak sekolah. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah Jumlah anak sekolah (orang) 1 2 3 4 Total Rataan±SD
Keluarga n 37 25 3 1 66 1,52±0,66
% 56,06 37,78 4,54 1,62 100,00
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Pendidikan Orang tua Pendidikan menjadi salah satu tolok ukur kemampuan berifikir seseorang. Semakin tinggi pendidikan, seseorang akan semakin mampu untuk berifikir kompleks dengan permasalah yang ada, demikian sebaliknya. Lebih separuh keluarga memiliki istri dengan pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar (SD) dan tidak terdapat keluarga dengan istri yang menempuh pendidikan hingga SMA. Sama seperti istri, terdapat lebih dari separuh keluarga yang memiliki suami dengan pendidikan hingga SD. Persentase keluarga dengan istri dan suami yang tidak tamat SD lebih besar dari pada keluarga dengan istri dan suami yang tamat SMP. Rentang pendidikan tertinggi istri hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan pendidikan tertinggi suami adalah Sekolah Menengah Atas (SMA).
33
Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan istri dan suami Lama pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total Min-max (tahun) Rataan±SD (tahun)
Istri n % 13 19,69 42 63,63 11 17,68 0 0,00 66 100,00 2-9 6,08±1,69
Suami n % 13 19,69 43 65,17 9 13,63 1 1,51 66 100,00 2-12 6,09±1,85
Pekerjaan Suami Melalui pendidikan yang tinggi diharapkan seseorang akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Seluruh suami adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga (primary breadwinner) sedangkan istri berperan sebagai pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner). Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki suami yang bekerja di bidang pertanian yaitu sebanyak 31,81 persen bekerja sebagai buruh tani (termasuk pemetik melati gambir) dan 27,27 persen bekerja sebagai petani. Pekerjaan lain yang ditekuni oleh suami adalah buruh non-tani (bangunan), pedagang, dan pekerjaan lain seperti pencari batu, reparasi jam, dan tukang pijit. Dikarenakan pendapatan dari pekerjaan utama masih kurang mencukupi kebutuhan anggota keluarga, terdapat 6,06 persen keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh suami antara lain menjadi tukang kayu, membajak sawah, dan melakukan kegiatan pertanian lainnya. Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan jenis pekerjaan utama suami Jenis pekerjaan Pedagang Petani Buruh tani Buruh non-tani Lain-lain Total
Jumlah n 6 18 21 12 9 66
% 9,09 27,27 31,81 18,18 13,65 100,00
Pekerjaan Istri dan Anak Seluruh istri memiliki pekerjaan utama sebagai buruh pemetik melati gambir. Sama halnya dengan suami, istri juga mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terdapat 10,60 persen keluarga dengan istri yang memiliki pekerjaan tambahan. Jenis pekerjaan tambahan yang dimiliki
34
istri antara lain sebagai pekerja pabrik, pembuat jajanan, membuka warung di rumah dan penjual jamu. Selain orang tua, terdapat 33,33 persen keluarga yang memiliki sumber penghasilan keluarga dari anak. Pekerjaan yang dimiliki anak antara lain pekerja pabrik, pekerja migran (bekerja di luar kota), berdagang, buruh tani, membuka bengkel, dan bekerja di tempat fotocopy. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang diterima oleh seluruh anggota keluarga dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, dihitung dalam rupiah/bulan. Hampir separuh keluarga contoh memiliki pendapatan keluarga kurang dari Rp 500.000,00/bulan (46,96%). Proporsi terbesar kedua adalah keluarga
dengan
penghasilan
antara
Rp
500.000,00
sampai
Rp
999.999,00/bulan yaitu sebesar 34,85 persen. Hanya terdapat sebagian kecil keluarga contoh yang memiliki pendapatan keluarga lebih dari sama dengan Rp 1000.000,00/bulan. Pendapatan keluarga contoh bervariasi dengan nilai minimal adalah Rp 90.000,00/bulan sampai Rp 2.250.000,00/bulan dengan rataan sebesar Rp 649.090,91/bulan. Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan (Rp/bulan) <500.000,00 500.000,00-999.999,00 1.000.000,00-1.499.999,00 1.500.000,00-2.000.000,00 >2.000.000,00 Total Min-max (Rp/bulan) Rataan±SD(Rp/bulan)
Jumlah n 31 23 6 5 1 66 90.000,00-2.250.000,00 649.090,91±482.720,58
% 46,96 34,85 9,09 7,57 1,53 100,00
Pendapatan per Kapita Pendapatan yang dihitung berdasarkan pendapatan seluruh anggota keluarga dibagi jumlah seluruh anggota keluarga adalah pendapatan per kapita yang dinyatakan dalam rupiah/kapita/bulan. Semakin banyak anggota keluarga maka akan semakin besar pula beban yang ditanggung oleh keluarga. Tabel 11 menunjukkan pendapatan keluarga yang dikelompokkan berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) BPS. Hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita ≤Rp 179.982,00 atau termasuk dalam kategori miskin. Sedangkan sisanya
35
termasuk dalam kategori hampir miskin, hampir tidak miskin dan tidak miskin dengan persentase masing-masing sebesar 7,57 persen, 12,12 persen dan 8,59 persen. Pendapatan per kapita terendah yang dimiliki keluarga contoh adalah Rp 16.667,00/bulan dan pendapatan per kapita tertinggi keluarga contoh adalah Rp 600.000,00/bulan dengan rataan sebesar Rp 144.543,84/bulan. Besar rata-rata pendapatan per kapita masih berada di bawah Garis Kemiskinan.
Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita Jumlah n % Miskin (≤179.982,00) 47 71,72 Hampir miskin (179.982,01-224.977,50) 5 7,57 Hampir tidak miskin (224.977,60-269.9730) 8 12,12 Tidak miskin (>269.973,00) 6 8,59 Total 66 100,00 Min-max (Rp/bulan) 16.667,00-600.000,00 Rataan±SD (Rp/bulan) 144.543,84±113.960,00 Keterangan: a. Rp 179.982,00 adalah Garis Kemiskinan (GK) Propinsi Jawa Tengah untuk daerah perdesaan Tahun 2010 b. Menggunakan kriteria dari Badan Resmi Statistik No 47/IX/1 September 2006 (Miksin:
1.50GK) Pendapatan
ab
(Rp/kapita/bulan)
Kontribusi Istri terhadap Pendapatan Keluarga Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sebagai sumber penghasilan, istri memiliki kontribusi terhadap pendapatan keluarga. Tabel 12 memperlihatkan besarnya kontribusi pendapatan suami, istri dan anak terhadap pendapatan
keluarga.
Rata-rata
pendapatan
keluarga
adalah
Rp
649.090,91/bulan. Proporsi terbesar pendapatan keluarga masih berasal dari suami baik dari pekerjaan utama maupun dari pekerjaan tambahan yaitu sebesar 46,65 persen/bulan. Proporsi pendapatan total istri dan anak terhadap pendapatan keluarga hampir sama yaitu 26,25 persen/bulan untuk istri dan 27,10 persen/bulan untuk anak. Artinya, anak dan istri yang bekerja memiliki kontribusi cukup besar terhadap pendapatan keluarga. Sebesar 33,33 persen keluarga yang memiliki anak bekerja, terdapat 9,09 persen keluarga yang memiliki anak bekerja dengan usia anak sekolah yaitu antara 16-18 tahun. Adanya anak usia sekolah yang bekerja bertujuan untuk menambah pendapatan keluarga sehingga anak bersekolah hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa anak memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan keluarga. Ketika anak yang
36
bekerja memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan tidak bekerja maka keluarga akan kehilangan pendapatannya lebih dari satu per empat pendapatan keluarga. Tabel 12 Kontribusi anggota keluarga terhadap pendapatan keluarga per bulan Sumber pendapatan Suami Istri Anak Jumlah
Utama Rp 287.500,00 134.015,15 175.909,09 597.424,24
% 44,30 20,65 27,10 92,05
Tambahan Rp 15.303,03 36.363,64 0,00 51.666,67
% 2,35 5,60 0,00 7,95
Rataan Rp % 302.803,03 46,65 170.378.79 26,25 175.909.09 27,10 649.090.91 100,00
Penggunaan Pendapatan Istri sebagai Buruh Pemetik Melati Gambir Pendapatan rata-rata istri sebagai buruh pemetik melati adalah Rp 134.015,15/bulan dengan kisaran antara Rp 30.000,00 sampai Rp 300.000,00 per bulan. Pendapatan yang diperoleh dari melati gambir digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 13. Penggunaan pendapatan istri sebagai buruh pemetik melati paling banyak digunakan adalah untuk membeli kebutuhan pokok yang hampir dilakukan oleh seluruh contoh (92,42%). Penggunaan ini sebagai upaya penambahan kebutuhan pokok yang belum tercukupi oleh suami. Terdapat beberapa istri yang tidak menggunakan pendapatan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok karena pemenuhan kebutuhan pokok sudah menjadi tanggung jawab suami saja, sehingga dimanfaatkan oleh istri untuk pemenuhan kebutuhan lain. Pemanfaatan selanjutnya adalah untuk biaya pendidikan anak. Hasil ini mengindikasikan bahwa kebutuhan pendidikan anak masih menjadi prioritas penting bagi keluarga buruh pemetik melati. Tabel 13 Penggunaan pendapatan buruh pemetik melati gambir Kegiatan Membeli kebutuhan pokok Biaya pendidikan anak Biaya kesehatan anak Membayar hutang Membeli peralatan rumah tangga Ditabung Investasi Lain-lain (bahan dan peralatan pertanian)
Keluarga n 61 53 3 23 7 2 5 2
% 92.42 80.30 4.55 34.85 10.61 3.03 7,58 3,03
Hasil lain menunjukkan bahwa terdapat lebih dari satu per tiga keluarga contoh yang memanfaatkan pendapatan dari memetik melati gambir untuk
37
membayar hutang baik hutang di warung atau hutang lainnya. Hal ini terjadi karena tingkat kepercayaan masyarakat untuk saling berhutang masih cukup tinggi. Kegiatan menabung juga hanya dilakukan oleh sedikit keluarga contoh. Kegiatan menabung tidak menjadi prioritas utama ketika mendapatkan uang dari pendapatan melati gambir karena pendapatan yang rendah sudah dimanfaatkan terlebih dahulu untuk pemenuhan kebutuhan lain terutama kebutuhan pokok sehingga tidak terdapat uang lebih yang dapat ditabung. Masyarakat memiliki pemahaman yang salah bahwa uang untuk menabung adalah sisa uang yang telah digunakan. Padahal, sebaiknya menabung dilakukan dengan menyisihkan uang diawal. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al (2005) di Cianjur dan Demak bahwa tedapat perbedaan kegiatan yang dilakukan oleh orang kaya dan orang miskin yaitu kebanyakan keluarga kaya memiliki dana tabungan, sementara hampir tidak satu pun keluarga miskin memiliki tabungan.
Kesejahteraan Keluarga Indikator Garis Kemiskinan (GK) Badan Pusat Statistik (BPS) Indikator pertama yang digunakan untuk menganalisis kesejahteraan keluarga buruh pemetik melati gambir adalah indikator Garis Kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada indikator ini, keluarga dengan pendapatan per kapita kurang dari sama dengan Garis Kemiskinan termasuk dalam kategori keluarga miskin, dan sebaliknya. Terdapat hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita kurang dari sama dengan Garis Kemiskinan (71,21%) sedangkan sisanya yaitu 28,79 persen keluarga memiliki pendapatan per kapita di atas Garis Kemiskinan. Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan BPS Jumlah n % Miskin (≤Rp179.982) 47 71,21 Tidak miskin (>Rp179.982) 19 28,79 Total 66 100,00 Keterangan: Rp179.982,00 adalah Garis Kemiskinan Propinsi Jawa Tengah di Daerah Perdesaan tahun 2010 (BPS 2010) Pendapatan/kapita (Rp/bulan)
38
Indikator 14 Kriteria Rumah Tangga Miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Indikator kedua yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (selanjutnya disebut BLT) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Keluarga yang menjadi sasaran Bantuan Langsung Tunai adalah keluarga yang memenuhi sembilan kriteria dari 14 kriteria yang ada. Tabel 15 memperlihatkan sebaran keluarga berdasarkan 14 indikator BLT.
Tabel 15 Sebaran keluarga berdasarkan 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14
Kriteria
n 2
Luas lantai bangunan tempat tinggal <8m per orang Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu kayu murahan Jenis dinding rumah terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain Sumber penerangan tidak menggunakan listrik Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/hujan Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah Hanya mengonsumsi susu atau daging/ayam satu kali dalam seminggu Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas 0,5ha, buruh tani/nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan/pekerjaan lain dengan pendapatan
Keluarga % 5 7,57 15 22,72 37
56,06
46
69,69
0 66
0,00 100,00
56
84,84
54
81,81
46 0 0
69,69 0,00 0,00
57
83,36
52
78,78
17
25,75
Rumah adalah kebutuhan dasar manusia disamping pakaian dan makanan. Kondisi dan kualitas rumah menunjukkan keadaan sosial ekonomi pemiliknya, semakin baik kondisi rumah menunjukkan semakin baik pula keadaan sosial ekonomi rumah tangga (BPS 2007). Tabel 15 menunjukkan bahwa masih terdapat sebesar 7,57 persen keluarga contoh yang memiliki rumah dengan luas <8m2 per orang, dan sebesar 22,71 persen keluarga contoh yang
39
memiliki rumah dengan lantai dari tanah/bambu kayu murahan. Dilihat dari jenis dinding, lebih dari setengah keluarga contoh (56,06%) memiliki rumah dengan dinding kayu dan tembok tanpa diplester. Salah satu fasilitas rumah yang penting adalah ketersediaan jamban atau fasilitas buang air besar. Keluarga yang berbagi fasilitas buang air akan lebih beresiko untuk terkena suatu penyakit tertentu seperti disentri, diare, dan thypus (BPS et al 2008). Terdapat sebesar 69,69 persen keluarga contoh yang tidak memiliki fasilitas buang air besar. Pada keluarga ini, sungai dijadikan sebagai fasilitas untuk buang air besar. Sungai yang melewati Desa Gelang, selain dipergunakan sebagai fasilitas buang air besar juga dipergunakan untuk mandi dan mencuci oleh beberapa keluarga contoh. Seluruh keluarga contoh memenuhi kebutuhan air bersih dengan menggunakan mata air dan air sumur. Fasilitas lain yang penting adalah ketersediaan listrik, di Desa Gelang seluruh contoh sudah menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dan membantu berbagai aktivitas sehari-hari. Akan tetapi, untuk kegiatan memasak, sebagian besar keluarga contoh (84,84%) masih menggunakan kayu bakar atau minyak tanah. Pemerintah sudah menggalakkan program konversi minyak tanah ke gas, akan tetapi masyarakat belum merasakan manfaat dari program tersebut. Harga tabung gas yang dirasa mahal membuat masyarakat tetap menggunakan kayu bakar yang dapat diperoleh secara gratis. Terdapat
sebanyak
81,81
persen
responden
yang
tidak
mampu
mengonsumsi susu atau daging atau ayam dalam satu minggu satu kali. Hal ini terjadi karena sebagian besar contoh menganggap makanan bergizi seperti daging atau ayam dan susu sebagai makanan mewah dan diperoleh dengan harga mahal. Oleh karena itu, lebih baik mengonsumsi makanan jenis lain dengan harga yang lebih murah dan dapat dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Makanan seperti daging dan ayam biasanya dikonsumsi saat acara tertentu seperti pernikahan, khitanan, dan acara istimewa lainnya. Akan tetapi, seluruh keluarga contoh mampu makan lebih dari dua kali dalam satu hari. Kebutuhan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sandang masih tergolong rendah. Sebagian besar keluarga contoh (69,69 persen) hanya memenuhi kebutuhan sandang atau pakaian satu tahun sekali, yaitu pada saat lebaran. Biaya pengobatan di puskesmas dapat dijangkau oleh seluruh keluarga contoh, walaupun tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga contoh sebagian besar merupakan tindakan kuratif yaitu pengobatan ke puskesmas
40
ketika terdapat anggota keluarga yang sakit. Terdapat 83,36 persen keluarga contoh dengan kepala keluarga yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 600.000,00/bulan. Selain memiliki penghasilan yang rendah, 78,78 persen keluarga contoh juga memiliki kepala keluarga dengan pendidikan terkahir sampai Sekolah Dasar (SD)
atau bahkan tidak tamat Sekolah Dasar. Aset
merupakan sumber daya materi yang benilai uang yang dimiliki oleh keluarga dapat berupa aset uang dan barang. Tidak semua keluarga memiliki aset, terdapat 25,75 persen keluarga contoh yang tidak memiliki tabungan mudah dijual seperti kolam, sawah, kebun, dan sepeda motor. Keluarga yang memenuhi kurang dari 9 kriteria termasuk sebagai keluarga tidak miskin, 9-10 kriteria termasuk sebagai keluarga hampir miskin dan lebih dari sama dengan 11 termasuk sebagai keluarga miskin. Keluarga yang berhak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah keluarga yang termasuk dalam kelompok miskin dan hampir miskin. Dalam penelitian ini hanya ditemukan 18,18 persen keluarga buruh pemetik melati yang tergolong dalam keluarga hampir miskin dan berhak mendapatkan bantuan dana BLT seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 16. Selain itu, tidak terdapat keluarga yang tergolong sebagai keluarga miskin. Tabel 16 Sebaran keluarga berdasarkan kategori miskin menurut indikator BPS untuk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kategori Miskin (skor ≥11) Hampir miskin (skor 9-10) Tidak miskin (skor <9) Total
Jumlah n 0 12 54 66
% 0 18,18 81,82 100,00
Berdasarkan cut off point yang ada pada Tabel 16, sebagian besar keluarga buruh pemetik melati termasuk dalam keluarga tidak miskin. Hasil ini berbeda dengan jumlah keluarga miskin ketika diukur menggunakan indikator Garis Kemsikinan BPS bahwa jumlah keluarga miskin sebanyak 71,21 persen. Pada kasus ini, penggolongan keluarga sebagai keluarga miskin diubah menjadi keluarga yang memenuhi lima indikator yang dimiliki oleh lebih dari tiga per empat keluarga contoh di setiap item pernyataan indikator BLT yang dijadikan sebagai ciri keluarga miskin pada keluarga buruh pemetik melati gambir di wilayah penelitian. Lima indikator yang dimaksud adalah sumber air minum, sumber bahan bakar untuk memasak, kemampuan mengonsumsi susu/daging dan ayam, sumber penghasilan Kepala Keluarga, dan pendidikan Kepala
41
Keluarga. Keluarga contoh yang memenuhi lima indikator tersebut tergolong sebagai keluarga miskin. Berdasarkan indikator baru ini, sebanyak 54,54 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin, sisanya sebesar 45,46 persen termasuk dalam keluarga tidak miskin seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 17. Tabel 17 Sebaran keluarga berdasarkan kategori miskin menurut indikator BPS untuk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan cut off point 5 Jumlah n 36 30 66
Kategori Miskin Tidak miskin Total
% 54,54 45,46 100,00
Strategi Koping Menurut Voydanoff (1987), strategi koping adalah proses yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Pada penelitian ini strategi koping diukur pada saat keluarga buruh pemetik melati gambir mengalami penurunan pendapatan, yaitu saat harga bunga melati gambir rendah. Mengurangi Pengeluaran (Cutting Back) Cutting back adalah strategi yang digunakan untuk merespon rendahnya keterbatasan sumber daya uang melalui pola pengeluaran yang berbeda sehingga dapat mengurangi pengeluaran. Dalam penelitian ini, strategi mengurangi pengeluaran (cutting back) dikelompokkan menjadi mengurangi kebutuhan pangan, kebutuhan kesehatan, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan lain-lain. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang menjadi prioritas utama bagi manusia. Firdaus dan Sunarti (2009) mengatakan bahwa pengeluaran pangan tidak bisa dikurangi hingga batas tertentu, bahkan jika diperlukan keluarga berhutang terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tabel 18 menunjukkan strategi mengurangi kebutuhan pangan. Strategi yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh adalah mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jenis maupun jumlahnya, seperti lebih memilih makan menggunakan lauk tempe dari pada daging atau telur. Walaupun pandapatan keluarga rendah, pemenuhan kebutuhan pangan keluarga jarang mendapat pengurangan, karena pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga adalah hal utama.
42
Strategi kedua yang banyak dilakukan oleh keluarga adalah mengubah distribusi pangan yang awalnya untuk ibu dialihkan untuk anak. Strategi lain yang banyak dilakukan adalah mengurangi pembelian susu dan jajan anak (43,93%); mengurangi penggunaan bahan minuman seperti kopi, teh dan gula (40,90%); dengan sengaja memanfaatkan makanan yang tidak habis untuk keesokkan harinya (28,78%) dan mengurangi porsi makan (misalnya satu piring menjadi setengah piring) (18,18%). Strategi mengurangi pengeluaran pangan yang paling sedikit dilakukan oleh keluarga adalah mengurangi frekuensi makan yang hanya dilakukan oleh 6,06 persen keluarga. Sementara itu, strategi pengeluaran yang tidak dilakukan oleh keluarga adalah strategi mengganti bahan pangan pokok (misalnya beras diganti menjadi jagung atau singkong). Tabel 18 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi kebutuhan pangan No
Strategi koping
1
Mengurangi pembelian kebutuhan pangan (jenis dan jumlah) Mengurangi prosi makan (misalnya 1 piring menjadi setengah piring) Mengganti bahan pangan pokok (misalnya beras diganti menjadi jagung atau singkong) Mengurangi frekuensi makan (2 kali menjadi 1 kali) Mengurangi pembelian susu dan jajan anak Mengubah distribusi pangan (prioritas ibu menjadi untuk anak) Dengan sengaja memanfaatkan makanan yang tidak habis untuk keesokan harinya Mengurangi penggunaan bahan minuman (kopi, teh, gula)
2 3 4 5 6 7 8
Keluarga n 45
% 68,18
12
18,18
0
0,00
4 29 40
6,06 43,93 60,60
19
28,78
27
40,90
Selain pangan, strategi pengeluaran juga dilakukan dalam mengurangi pengeluaran kesehatan. Tabel 19 menunjukkan bahwa strategi mengurangi pengeluaran dibidang kesehatan yang paling banyak dilakukan adalah keluarga contoh mencari tempat pengobatan gratis (menggunakan asuransi jaminan kesehatan). Strategi selanjutnya adalah menggunakan obat generik ketika berobat, menggunakan pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit, dan lebih memilih mengonsumsi jamu dari pada obat modern. Kesehatan anggota keluarga merupakan hal penting yang harus tetap dijaga. Ketika terdapat anggota keluarga yang sakit, hanya terdapat 6,06 persen keluarga yang menunda pengobatan seperti menggunakan obat warung terlebih dahulu. Jika anggota keluarga yang sakit tidak kunjung sembuh, keluarga akan
43
membawa ke Puskesmas atau mantri. Terdapat 4,54 persen keluarga yang mengurangi anggaran pemeriksanaan kesehatan. Selain menggunakan obat moderen, keluarga juga menggunakan obat tradisional atau alternatif untuk menyembuhkan sakit anggota keluarga, seperti menggunakan dedaunan dan tanaman obat. Pembelian suplemen atau vitamin untuk anak tidak menjadi prioritas utama keluarga. Banyak keluarga yang mengaku tidak terlalu memprioritaskan kebutuhan vitamin untuk anak, karena orang tua merasa anak sudah atau tetap sehat tanpa mengonsumsi vitamin. Dari keluarga yang terbiasa membeli vitamin untuk anak hanya terdapat 4,54 persen keluarga yang mengurangi pembelian vitamin. Tabel 19 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran kesehatan No
Strategi koping
1 2 3
Menggunakan obat generik Menggunakan jamu dari pada obat modern Mencari tempat pengobatan gratis (menggunakan asuransi jaminan kemiskinan) Mengurangi pembelian suplemen/vitamin Menunda pengobatan anggota keluarga yang sakit Mengurangi anggaran pemeriksaan kesehatan Mencari pengobatan alternatif/tradisional
4 5 6 7
Keluarga n 11 6 35
% 16,67 9,09 53,03
3 4 3 10
4,54 6,06 4,54 15,15
Selain pangan dan kesehatan, strategi koping mengurangi pengeluaran juga dilakukan dalam bidang pendidikan seperti yang ditunjukkan Tabel 20 Kebutuhan pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dicukupi oleh orang tua untuk membantu anak belajar. Akan tetapi, penghasilan yang kurang mencukupi sering membuat orang tua melakukan penghematan. Kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh keluarga dalam menghemat pengeluaran pendidikan adalah dengan cara mengurangi pembelian buku pelajaran. Hal ini dapat diatasi dengan cara hanya membeli buku-buku penting yang diharuskan oleh pihak sekolah. Keluarga sangat jarang membeli buku tambahan yang dapat dimanfaatkan anak sebagai tambahan materi belajar. Kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan mengurangi uang saku anak. Dalam penelitian ini tidak ditemukan keluarga yang memiliki anak berhenti sekolah karena kekurangan biaya, anak terpaksa bolos karena tidak memiliki uang saku, dan membeli buku bekas.
44
Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran pendidikan No 1 2 3 4 5
Keluarga n 22 0 0 0 27
Strategi koping Mengurangi uang saku anak sehari-hari Anak berhenti sekolah Anak terpaksa bolos Membeli buku bekas Mengurangi pembelian buku pelajaran
% 33,33 0,00 0,00 0,00 40,90
Strategi mengurangi pengeluaran juga dilakukan oleh keluarga dalam pemenuhan kebutuhan lain, seperti peralatan rumah tangga, barang elektronik, pakaian, dan lain-lain seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 21. Strategi mengurangi kebutuhan lain lebih banyak dilakukan oleh keluarga. Hal ini karena strategi mengurangi kebutuhan lain dianggap bukan suatu kebutuhan wajib yang harus dipenuhi layaknya kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam kebutuhan lain-lain, strategi yang paling sering dilakukan adalah menunda pembelian
barang
elektronik
(96,96%).
Selanjutnya,
keluarga
menunda
pembelian perabot rumah tangga seperti meja, kursi, lemari dan lain-lain (89,39%).
Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping mengurangi pengeluaran lain-lain No 1 2 3 4 5 6
Strategi koping Menunda pembelian perabot rumah tangga seperti meja, kursi, lemari, dll Menunda pembelian barang elektronik Mengurangi penggunaan listrik Mengurangi pembelian pakaian Mengurangi sumbangan sosial Mengurangi pembelian rokok
Keluarga n 59 64 37 50 15 33
% 89,39 96,96 56,06 75,75 22,72 50,00
Gambar 2 menunjukkan pengelompokkan strategi koping mengurangi pengeluaran secara keseluruhan yang terdiri atas kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lain. Lebih dari separuh keluarga contoh melakukan strategi mengurangi pengeluaran dalam kategori sedikit (60,61%) yaitu hanya melakukan sedikit kegiatan mengurangi pengeluaran ketika terjadi masalah ekonomi yaitu masalah penurunan pendapatan. Sisanya yaitu sebesar 39,39 persen keluarga contoh tergolong dalam kategori sedang dan tidak terdapat keluarga yang melakukan strategi koping dalam kategori banyak.
45
Sedikit (≤9 kegiatan) 39,39% 60,61%
Sedang (10-17 kegiatan) Banyak (≥18 kegiatan)
Gambar 2 Sebaran keluarga berdasarkan kategori strategi koping mengurangi pengeluaran secara keseluruhan Menambah Pendapatan (Generating Income) Generating income adalah strategi untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya uang di dalam keluarga yang dapat dilakukan dengan cara: anggota keluarga memiliki pekerjaan sampingan, menambah jam kerja atau menambah jumlah anggota keluarga yang bekerja. Sama halnya dengan strategi mengurangi pengeluaran, strategi menambah pendapatan juga dilihat dari kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya. Strategi menambah pendapatan dalam kebutuhan pangan yang paling banyak dilakukan oleh keluarga pemetik melati gambir di Desa Gelang adalah dengan sengaja menerima makanan dari saudara atau tetangga (Tabel 22). Kegiatan kedua yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan hasil panen dari kebun/hasil ternak/kolam untuk dijual dan atau dikonsumsi sendiri. Kegiatan selanjutnya yaitu memelihara hewan ternak seperti ayam, itik, dan kambing; dan memanfaatkan lahah kosong untuk ditanami sayuran seperti bayam, daun singkong, kacang panjang dan jenis sayuran lain yang dengan cara penanaman yang mudah. Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan pangan No
Strategi koping
1 2
Memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami sayuran,dll Memeliharan hewan ternak (ayam atau bebek untuk diambil telurnya) Dengan sengaja menerima makanan dari tetangga/saudara Menggunakan hasil panen dari kebun/hasil ternak/kolam untuk dijual dan dikonsumsi sendiri
3 4
Keluarga n % 28 42,42 31 46,96 64 40
96,96 60,60
Keluarga contoh tidak terlalu banyak melakukan kegiatan menambah pendapatan dalam bidang kesehatan. Hanya terdapat 24,24 persen keluarga
46
contoh yang memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami obat seperti tanaman ciplukan, daun sirih, dan kunyit. Hal ini dikarenakan keluarga contoh banyak yang tidak mengenal tanaman obat dan lebih memilih menggunakan obat warung atau berobat ke puskesmas dan mantri ketika terdapat anggota keluarga yang sakit. Kegiatan menambah pendapatan di bidang pendidikan yang paling banyak dilakukan adalah meminta seragam bekas ke saudara atau tetangga (Tabel 23). Orang tua tetap mengusahakan untuk membeli buku sekolah anak dan
tidak
terdapat
keluarga
contoh
yang
meminta
buku
bekas
ke
saudara/tetangga. Hal ini disebabkan bergantinya buku-buku pelajaran yang digunakan anak untuk belajar di sekolah sehingga ketika anak meminta buku ke orang lain dikhawatirkan materi yang terdapat dalam buku berbeda. Selain itu, kebanyakan buku-buku yang dibeli adalah buku yang memang wajib untuk dimiliki oleh masing-masing anak di sekolah seperti Lembar Kerja Siswa (LKS). Untuk buku paket, dapat diakses oleh anak melalui perpustakaan. Meminta sepatu bekas ke saudara atau tetangga masih dilakukan oleh sebagian kecil keluarga (6,06%). Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan pendidikan No 1 2 3 4
Strategi koping Mengusahakan beasiswa untuk anak Meminta buku bekas ke saudara/tetangga Meminta seragam bekas ke saudara/tetangga Meminta sepatu bekas ke saudara/tetangga
Keluarga n % 12 18,18 0 0,00 22 33,33 4 6,06
Dalam bidang strategi menambah pendapatan lain-lain, sebagain keluarga contoh memiliki anak bekerja untuk membantu orang tua seperti berdagang, bertani, bekerja di pabrik dan bermigrasi ke kota (Tabel 24). Kegiatan selanjutnya adalah mencari pekerjaan tambahan baik suami maupun istri. Lebih dari satu per empat istri mencari pekerjaan tambahan, seperti membuka warung di rumah, bekerja di pabrik, membuat jajanan, dan berjualan keliling. Sementara itu, suami yang mencari pekerjaan tambahan lebih sedikit dari pada istri, karena pekerjaan suami sebagai petani sudah menyita waktu cukup banyak yaitu dari pagi sampai siang bahkan sampai sore.
47
Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping menambah pendapatan lain-lain No 1 2 3 4 5 6 7
Keluarga n % 18 27,27 12 18,18 10 15,15 17 25,75 32 48,48 4 6,06 1 1,51
Strategi koping Suami mencari pekerjaan tambahan Istri mencari pekerjaan tambahan Suami menambah jam kerja dari pekerjaan utama Istri menambah jam kerja dari pekerjaan utama Anak bekerja membantu orang tua Menjual aset rumah untuk keperluan sehari-hari Menggadaikan barang
Strategi koping menambah pendapatan dikelompokkan menjadi sedikit, sedang, dan banyak (Gambar 3). Lebih dari separuh keluarga responden melakukan kegiatan menambah pendapatan pada kategori sedikit. Artinya keluarga contoh hanya melakukan sedikit kegiatan menambah pendapatan ketika terjadi masalah ekonomi. Sisanya, sebesar 36,37 persen keluarga contoh memiliki startegi koping dalam kategori sedang dan tidak terdapat keluarga contoh yang melakukan strategi koping dalam kategori banyak.
sedikit (≤5 kegiatan)
sedang (6-10 kegiatan)
banyak (≥11 kegiatan)
36,37% 63,63%
Gambar 3 Sebaran keluarga berdasarkan kategori strategi koping menambah pendapatan secara keseluruhan Jumlah strategi koping dihitung berdasarkan jumlah strategi mengurangi pengeluaran dan menambah pendapatan. Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (68,18%) melakukan strategi koping pada kategori sedikit baik cutting back maupun generating income. Sisanya yaitu sebesar 31,82 persen keluarga contoh melakukan strategi koping pada kategori sedang dan tidak terdapat keluarga contoh yang melakukan cutting back dan generating income pada kategori banyak.
48
Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan strategi koping secara keseluruhan Keluarga
Kategori
n 42 24 0 66
Sedikit (≤14 kegiatan) Sedang (15-28 kegiatan) Banyak (≥29 kegiatan) Total
% 68,18 31,82 0,00 100,00
Investasi Anak Perilaku Investasi Anak Setiap manusia memiliki sumber daya yang dapat dikembangkan. Agar manusia dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki, diperlukan suatu upaya berupa investasi sumber daya manusia. Investasi pada anak terdiri dari dua komponen yaitu nilai uang dari jasa seperti makanan, pakaian, rumah, transportasi, pendidikan, dan perawatan kesehatan; dan nilai waktu yaitu waktu yang dihabiskan orang tua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui perawatan maupun pemeliharaan (Bryant & Zick, 2006). Perilaku investasi adalah seluruh perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang peningkatan kualitas anak seperti pendidikan dan kesehatan. Perilaku Investasi Pendidikan. Pendidikan merupakan jalan menuju produktivitas tinggi bagi masyarakat, sehingga diharapkan melalui pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Perilaku investasi pendidikan adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang pendidikan anak. Berdasarkan Gambar 4, sebagian besar keluarga contoh memiliki investasi pendidikan dalam kategori sedang (81,81%) dan hanya sebagian kecil keluarga contoh yang memiliki perilaku investasi pendidikan dalam kategori tinggi (7,59%).
Rendah (≤33,33%)
Sedang (33,34%-66,66%)
Tinggi (≥66,67%)
7,59% 10,60%
81,81%
Gambar 4 Sebaran keluarga berdasarkan perilaku investasi pendidikan
49
Perilaku Investasi Kesehatan. Perilaku investasi kesehatan merupakan segala tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang kesehatan anak. Gambar 5 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh memiliki perilaku investasi kesehatan dalam kategori sedang. Sebesar 46,96 persen keluarga contoh memiliki perilaku investasi yang tergolong rendah dan hanya terdapat satu keluarga contoh yang memiliki perilaku kesehatan dalam kategori tinggi.
rendah (≤33,33%)
sedang (33,34%-66,66%)
tinggi (≥66,67%)
1,53%
46,96% 51,51%
Gambar 5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan perilaku investasi kesehatan Dilihat dari perilaku investasi pendidikan dan investasi kesehatan secara keseluruhan, terdapat tiga per empat keluarga contoh yang memiliki perilaku investasi dalam kategori sedang, sisanya yaitu sebesar 24,24 persen termasuk dalam kategori rendah dan tidak terdapat keluarga yang memiliki perilaku investasi anak dalam kategori tinggi seperti yang ditunjukkan Tabel 26. Tabel 26 Sebaran keluarga berdasarkan perilaku investasi pendidikan dan kesehatan Kategori Rendah (≤33,33%) Sedang (33,34%-66,66%) Tinggi (≥66,67) Total
Keluarga n 16 50 0 66
% 24,24 75,76 0,00 100,00
Alokasi Uang. Alokasi uang untuk anak terdiri atas tiga kebutuhan yaitu pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan pendidikan terdiri atas seragam sekolah, uang saku harian, buku pelajaran/buku cerita, les, kursus, sepatu, tas, uang SPP dan alat tulis. Kebutuhan kesehatan terdiri atas
50
suplemen/vitamin, medical check up dan obat-obatan. Kebutuhan pakaian, jalanjalan dan hobi termasuk dalam kebutuhan lainnya.
Tabel 27 Alokasi uang untuk anak per bulan berdasarkan tingkat pendidikan anak Tingkat pendidikan PAUD
SD
SMP
SMA
Kegiatan Pendidikan Kesehatan Lainnya Total Pendidikan Kesehatan Lainnya Total Pendidikan Kesehatan Lainnya Total Pendidikan Kesehatan Lainnya Total
Rataan Rupiah 74.763,44 16.944,33 43.854,25 119.393,11 65.226,25 9.666,58 8.052,40 75.879,12 87.212,60 6.875,00 12.143,82 98.999,16 270.411,40 5.083,25 10.076,89 282.747,60
% 11,52 2,61 6,76 18,39 10,05 1,49 1,24 11,69 13,44 1,06 1,87 15,25 41,66 0,78 1,55 43,56
Standar Deviasi 26.530,75 24.300,49 74.892,59 82.108,28 23.279,93 9.134,09 4.084,68 24.968,80 33.525,11 3.750,00 6.445,36 39.712,84 145.917,80 3.500,05 3.978,56 146.408,80
Tabel 27 menunjukkan alokasi uang untuk anak per bulan. Alokasi pengeluaran minimal keluarga untuk anak adalah Rp 43.167,00/anak/bulan sedangkan nilai maksimal adalah Rp 642.887,00/anak/bulan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 105.860,80/anak/bulan. Pengeluaran keluarga untuk anak bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan dan jumlah anak. Keluarga dengan anak Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki alokasi pengeluaran terbesar yaitu Rp 282.747,60/bulan atau 43,56% dari pendapatan keluarga. Alokasi pengeluaran dikelompokkan menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi. Lebih dari separuh anak memiliki alokasi pengeluaran dari orang tua dalam kategori rendah (55%) dengan persentase terbesar untuk kelompok Sekolah Dasar (SD) seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 28. Hal ini karena anak dengan jenjang pendidikan Sekolah Dasar mendapat bantuan paling banyak dari pihak pemerintah dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya, sehingga orang tua merasa kewajiban untuk membiayai sekolah anak beralih menjadi tanggung jawab pihak lain yaitu pemerintah (adanya bantuan memicu ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah). Pada kelompok sedang, anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) memiliki alokasi terbesar (50,00%), sedangkan untuk kelompok tinggi anak SMA mendapatkan persentase terbesar. Hal ini karena keluarga dengan anak SMA
51
memiliki beban yang semakin banyak untuk menunjang segala keperluan sekolah
dan
dibandingkan
sedikitnya dengan
dana/bantuan
jenjang
yang
pendidikan
di
diberikan
pemerintah
bawahnya.
Adanya
bila biaya
Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) menambah semakin banyaknya kebutuhan anak SMA. Selain itu, banyaknya pelajaran yang diterima oleh siswa SMA membuat biaya pendidikan semakin meningkat.
Tabel 28 Alokasi pengeluaran berdasarkan tingkat pendidikan anak Alokasi pengeluaran
TK n 5 2 2 9
Rendah Sedang Tinggi Total
% 55,6 22,2 22,2 100
n 36 17 3 56
Tingkat pendidikan SD SMP % n % 64,28 10 38,46 30,35 13 50,00 5,37 3 11,54 100 26 100
Total
SMA n 4 1 4 9
% 44,4 11,2 44,4 100
n 55 33 12 100
% 55 33 12 100
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dianalisis menggunakan analisis regresi logistik untuk indikator Garis Kemiskinan (GK) dan indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digunakan adalah indikator dengan lima skor. Keluarga yang memenuhi lima indikator keluarga miskin berdasarkan indikator baru ini tergolong sebagai keluarga miskin dan keluarga yang memenuhi kurang dari lima indikator tergolong sebagai keluarga tidak miskin. Hasil analisis regresi logistik pada Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai Negelkerke
adalah
sebesar
0,332
untuk
indikator
kesejahteraan Garis
Kemiskinan (GK) dan 0,560 untuk indikator kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Artinya, model hanya dapat menjelaskan sebesar 33,2 persen dan 56,00
persen
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kesejahteraan
berdasarkan indikator Garis Kemiskinan dan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Uji regresi logistik untuk variabel kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK) sebagai variabel dependen menujukkan bahwa variabel pekerjaan tambahan suami dan mata pencaharian suami berpengaruh signifikan. Keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan dan memiliki mata pencaharian bukan di bidang pertanian berpeluang lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan dan bekerja di bidang
52
pertanian.
Diantara
tujuh
variabel
yang
diduga
berpengaruh
terhadap
kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK), variabel pekerjaan tambahan suami memiliki pengaruh paling besar terhadap kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK). Keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan, berpeluang 3,171 kali lipat untuk sejahtera dibandingkan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan.
Tabel 29 Nilai koefisien regresi logistik faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan Variabel independen
Kesejahteraan GK B Exp .Sig (B)
-3,636 -0,026 0,243 Konstanta 0,029 1,029 0,530 Umur suami (tahun) Jumlah anggota keluarga 0,110 1,117 0,693 (orang) 0,062 1,064 0,754 Pendidikan istri (tahun) -0,088 -0,916 0,628 Pendidikan suami (tahun) Pekerjaan tambahan suami 3,171 23,837 0,029** (0=tidak memiliki; 1=memiliki) Mata pencaharian suami 2,190 8,933 0,004*** (0=pertanian; 1=bukan pertanian) Tipe keluarga (0=keluarga inti; -1,692 -0,184 0,189 1=keluarga luas) Pendapatan keluarga (rupiah) 17,396 Chi-square 2 Nagelkerke R 0,332** Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%
Kesejahteraan BLT B Exp .Sig (B) -8,484 0,016
-0,000 1,016
0,025 0,733
-0,410
-0,664
0,283
0,197 0,933
1,218 2,541
-0,735
-0,479
0,690
1,465
4,325
0,061*
-0,531
-0,588
0,616
0,000
0,378 0,003***
1,000 0,004** 35,854
0,560 **
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah pendidikan suami, mata
pencaharian suami,
dan pendapatan keluarga.
Keluarga dengan
pendidikan suami tinggi, memiliki mata pencaharian bukan di bidang pertanian, dan memiliki pendapatan keluarga yang tinggi berpeluang lebih besar untuk sejahtera. Diantara delapan variabel yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT), mata pencaharian suami memiliki pengaruh paling besar. Keluarga dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian memiliki peluang sejahtera sebanyak 1,465 kali lipat. Berdasarkan dua indikator yang telah digunakan untuk mengukur faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga, variabel mata pencaharian suami berpengaruh secara konsisten terhadap indikator Garis
53
Kemiskinan (GK) dan indikator penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian memiliki peluang yang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang bekerja di bidang pertanian. Umur suami memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin
tua
umur
suami,
peluang
untuk
sejahtera
semakin
besar.
Bertambahnya umur suami, diikuti dengan pertambahan aset yang dimiliki oleh keluarga, sehingga akumulasi aset dapat terjadi seiring dengan pertambahan umur suami. Jumlah
anggota
keluarga
tidak
berpengaruh
signifikan
dengan
kesejahteraan keluarga baik indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara jumlah anggota keluarga dengan indikator Garis Kemiskinan yang diukur menggunakan pendapatan perkapita keluarga. Hal ini diduga karena banyaknya anak yang bekerja dalam keluarga. Berdasarkan pengamatan, sebagian besar anak yang dimiliki oleh keluarga contoh memilih untuk bekerja pada usia dini yaitu sekitar 15 tahun ke atas atau setelah selesai menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adanya anak bekerja memiliki kontribusi cukup penting terhadap pendapatan keluarga. Sementara itu, jumlah anggota keluarga memiliki hubungan negatif dengan kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin banyak jumlah anggota keluarga, peluang keluarga untuk sejahtera semakin kecil karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar seringkali mempunyai masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok keluarga (Iskandar 2007). Pendidikan istri tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan keluarga. Akan tetapi, terdapat hubungan positif antara lama pendidikan istri dengan kesejahteraan keluarga baik indikator Garis Kemiskinan (GK) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Semakin tinggi pendidikan istri maka peluang keluarga untuk sejahtera lebih besar. Pendidikan suami berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap indikator kesejahteraan Garis Kemiskinan (GK). Hasil ini diduga karena pendapatan suami tidak ditentukan oleh perbedaan lama tahun pendidikan yang didominasi oleh suami dengan tingkat pendidikan akhir di Sekolah Dasar. Perbedaan pendapatan
54
ditentukan oleh kemampuam bekerja. Sementara itu, pendidikan suami berpengaruh positif signifikan terhadap kesejahteraan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pendidikan terakhir suami hingga Sekolah Dasar (SD) baik tamat maupun tidak merupakan salah satu ciri keluarga miskin berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT), sehingga keluarga dengan pendidikan suami yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar berpeluang lebih besar untuk sejahtera. Variabel pekerjaan tambahan suami berpengaruh positif signifikan tehadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Garis Kemiskinan (GK). Suami yang memiliki pekerjaan tambahan berpeluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami tanpa pekerjaan tambahan. Lain halnya dengan indikator Garis Kemiskinan, variabel pekerjaan suami
memiliki
hubungan
negatif
tidak
signifikan
terhadap
indikator
kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Perbedaan hasil ini diduga karena indikator Garis Kemiskinan diukur menggunakan pendekatan pendapatan sehingga keluarga dengan suami memiliki pekerjaan tambahan akan memiliki pendapatan per kapita keluarga yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan. Sementara itu, variabel pekerjaan tambahan memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kesejahteraan berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hal ini diduga karena pendapatan dari pekerjaan tambahan masih dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok, sedangkan kebutuhan akan sumber
air
minum
yang
tidak
menggunakan
air
sumur,
kemampuan
menggunakan bahan bakar memasak yang tidak menggunakan kayu dan kemampuan mengonsumsi pangan dengan harga mahal (susu, daging dan ayam) yang merupakan ciri keluarga miskin berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) belum dapat tercukupi oleh keluarga. Variabel tipe keluarga yang dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga inti memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga luas. Keluarga dengan status keluarga inti lebih fokus dalam memenuhi segala kebutuhan anggotanya dibandingkan dengan keluarga luas yang terdiri atas anggota keluarga lain. Kehadiran orang lain selain anggota keluarga inti akan membuat kebutuhan semakin beragam dan
55
meningkatkan pengeluaran rumah tangga, seperti adanya nenek atau kakek yang tinggal bersama dengan keluarga inti akan menambah kebutuhan anggota keluarga. Pendapatan keluarga memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan rendah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap jumlah strategi koping yang
dilakukan oleh keluarga buruh pemetik
melati gambir dianalisis
menggunakan regresi linier berganda. Hasil uji regresi linier berganda pada Tabel 30 menunjukkan nilai Adjusted R square sebesar 0,097. Artinya hanya sebesar 9,7 persen dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan oleh keluarga buruh pemetik melati gambir dapat dijelaskan oleh model. Jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, pekerjaan tambahan suami dan kesejahteraan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap strategi koping keluarga.
Tabel 30 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah strategi koping Variabel Tidak terstandarisasi Konstanta Jumlah anggota keluarga (orang) Pendidikan istri (tahun) Pendidikan suami (tahun) Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) Pekerjaan tambahan suami (0=tidak memiliki, 1=memiliki) Pendapatan keluarga (rupiah) Kesejahteraan BLT (0=tidak sejahtera, 1=sejahtera)
Koefisien β Terstandarisasi
.Sig
10,688 0,645 -0,034 0,186
0,255 -0,017 0,101
0,000 0,096* 0,894 0,498
-2,720
-0,299
0,035**
3,068
0,216
0,095*
-2,447E-7
-0,035
0,814
-2,169
-0,319
0,034**
F R Adjusted R square Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% ** =signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%
1,995 0,440 0,097*
Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap strategi koping keluarga,
variabel
kesejahteraan
keluarga
memiliki
pengaruh
terbesar
56
dibandingkan
dengan
variabel
lainnya.
Keluarga
yang
sejahtera
akan
menurunkan strategi koping yang dilakukan oleh keluarga sebanyak 2,169 poin. Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif tidak signifikan terhadap jumlah strategi koping. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin meningkat. Pendidikan istri dan suami tidak berpengaruh signifikan terhadap strategi koping keluarga. Hal ini diduga karena pendidikan istri dan suami yang cenderung homogen. Akan tetapi, pendidikan istri dan suami memiliki hubungan yang positif dengan strategi koping. Semakin tinggi pendidikan suami dan istri, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin banyak. Semakin tinggi pendidikan menunjukkan wawasan serta jejaring yang dimiliki akan semakin meningkat sehingga strategi koping yang dilakukan keluarga akan semakin banyak terutama dalam menambah pendapatan yang lebih sulit diwujudkan dibanding mengurangi pegeluaran atau berhemat. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) diacu dalam Rachmawati (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi
banyaknya
strategi
koping
adalah
pengalaman
dalam
menghadapi masalah. Tipe keluarga berpengaruh negatif signfikan terhadap strategi koping keluarga. Keluarga luas memiliki strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga inti. Variabel pekerjaan tambahan suami berpengaruh positif signifikan terhadap strategi koping. Adanya pekerjaan tambahan yang dimiliki suami menunjukkan sebagai salah satu bentuk strategi koping menambah pendapatan yang dimiliki oleh keluarga. Pendapatan suami dari pekerjaan utama dirasa belum mencukupi kebutuhan keluarga sehingga suami melakukan suatu upaya menambah pendapatan dengan cara memiliki pekerjaan tambahan. Pendapatan keluarga memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap jumlah strategi koping yang dilakukan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka strategi koping yang dilakukan akan semakin sedikit. Deacon dan Firebough (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki strategi koping apabila terjadi
penurunan
pendapatan
sehingga
akan
mempengaruhi
alokasi
pengeluaran keluarga. Status kesejahteraan keluarga berpengaruh negatif signifikan terhadap strategi koping. Keluarga yang lebih sejahtera akan melakukan strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga yang tidak sejahtera.
57
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Investasi Anak Perilaku investasi anak adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh orang tua untuk menunjang pendidikan dan kesehatan anak. Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda dengan perilaku investasi anak sebagai variabel dependent diperoleh nilai Adjusted R square sebesar 0,111. Artinya sebesar 11,1 persen variabel yang mempengaruhi perilaku investasi anak dapat dijelaskan oleh model. Diantara lima variabel yang diduga berpengaruh terhadap perilaku investasi anak, variabel pendidikan istri memiliki pengaruh terbesar di antara variabel lain. Setiap kenaikan 1 tahun pendidikan istri maka akan terjadi kenaikan perilaku investasi anak sebesar 1,915 poin. Tabel 31 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi anak Variabel Tidak terstandarisasi Konstanta Jumlah anggota keluarga (orang) Pendidikan istri (tahun) Pendidikan suami (tahun) Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) Pendapatan keluarga (rupiah)
Koefisien β Terstandarisasi
.Sig
28,806 -0,279 1,915 -0,191
-0,035 0,299 -0,033
0,001 0,813 0,020** 0,804
-6,057
-0,209
0,133
5,347E-6
0,238
0,059*
F 2,616 R 0,423 Adjusted R square 0,111** Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%
Jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap perilaku investasi anak. Hal ini diduga karena banyaknya anggota keluarga didominasi oleh anak yang sudah tidak sekolah. Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan menyebabkan kasih sayang yang diberikan orang tua semakin berkurang. Menurut Gunarsa (1990) diacu dalam Hartoyo dan Hastuti (2003), dalam keluarga kecil seorang anak tidak perlu memperjuangkan kasih sayang dari orang tuanya, tetapi anak-anak dalam keluarga besar harus berjuang untuk mendapat kasih sayang orang tua. Semakin banyak jumlah anggota keluarga diasumsikan dengan semakin bertambahnya jumlah anak. Menurut Laybourn (1994) diacu dalam Tyas (2008), anak yang memiliki saudara tidak bisa mendapatkan seluruh perhatian dan cinta orang tuanya karena orang tua tersebut harus membagi kasih sayang kepada semua anak yang dimilikinya tanpa pilih kasih.
58
Pendidikan istri berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Semakin tinggi pendidikan istri maka perilaku investasi yang diberikan untuk anak akan semakin baik. Lain halnya dengan pendidikan istri, pendidikan suami memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap perilaku investasi anak. Perbedaan hasil ini dikarenakan, perilaku investasi terkait dengan pengasuhan yang lebih banyak dilakukan oleh istri atau ibu. Dilihat dari tipe keluarga, tipe keluarga berpengaruh negatif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Keluarga luas memiliki perilaku investasi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak
yang
tinggal
hanya
dengan keluarga
inti.
Pendapatan keluarga
berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku investasi anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka perilaku investasi yang diberikan orang tua akan semakin tinggi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Uang untuk Anak Uji regresi linier berganda digunakan untuk menentukan faktor yang berpengaruh
terhadap
alokasi
pengeluaran
uang
untuk
anak.
Alokasi
pengeluaran uang dihitung berdasarkan nilai rupiah dan persentase dari pendapatan rata-rata keluarga seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 32 di bawah ini. Berdasarkan uji regresi linier berganda diperoleh nilai Adjusted R square sebesar 0,469 untuk pengeluaran dalam rupiah dan pengeluaran dalam persen. Artinya, sebesar 46,9 persen faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran anak dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hasil uji regresi keduanya menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah, pendidikan suami, tipe keluarga dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi uang untuk anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir. Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap alokasi uang untuk anak, variabel jumlah anak sekolah memiliki pengaruh terbesar dibandingkan variabel lainnya. Setiap penambahan satu orang anak sekolah, alokasi uang untuk anak akan bertambah sebanyak Rp 139.104,665 atau 21,431 persen dari total pendapatan keluarga.
59
Tabel 32 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi uang untuk anak Variabel B Konstanta Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah anak sekolah (orang) Pendidikan istri (tahun) Pendidikan suami (tahun) Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) Pendapatan keluarga (rupiah) Perilaku Investasi (skor)
Pengeluaran (Rp) Beta .Sig
-23.656,961
-
-41.664,834
B
Pengeluaran (%) Beta .Sig
0,763
-3,643
-
-0,476
0,001***
-6,419
-0,476
0,001***
139.104,665
0,778
0,000***
21,431
0,778
0,000***
-8.637,462
-0,124
0,228
-1,331
-0,124
20.734,275
0,325
0,002***
3,194
0,325
0,002***
77.265,123
0,245
0,055*
11,902
0,245
0,055*
0,078
0,320
0,003***
1,208E-5
0,320
0,003***
682,388
0,063
0,554
0,063
0,554
F 9,187 R 0,725 Adjusted R square 0,469*** Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95% ***=signifikan pada selang kepercayaan 99%
0,105
0,763
0,228
9,187 0,725 0,469***
Jumlah anggota keluarga memiliki hubungan negatif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan semakin kecil alokasi uang yang diterima oleh masing-masing anggota keluarga. Banyaknya anak sekolah akan membuat pengeluaran orang tua untuk anak semakin tinggi, baik untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan lain-lain. Diantara pendidikan orang tua, pendidikan suami lebih berpengaruh secara signifikan dibandingkan dengan pendidikan istri. Lain halnya dengan perilaku investasi anak yang lebih dipengaruhi oleh pendidikan istri, alokasi uang dipengaruhi oleh pendidikan suami. Tipe keluarga yang dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas. Tipe keluarga memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. keluarga luas memiliki alokasi uang yang lebih banyak dibandingkan dengn keluarga inti. Pendapatan keluarga berpengaruh positif sangat signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka alokasi uang yang diberikan untuk anak semakin besar. Sementara itu, hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa perilaku investasi berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Akan tetapi, terdapat hubungan yang positif diantara kedua variabel. Semakin baik perilaku investasi anak, alokasi uang yang diberikan orang tua untuk anak akan semakin tinggi.
60
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi koping dan perilaku investasi anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir yang dilakukan di Desa Gelang, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Keluarga buruh merupakan keluarga dengan pendapatan rendah. Pendapatan rendah menjadi penyumbang besar terhadap kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan. Bekerja sebagai buruh tidak memerlukan pendidikan tinggi karena buruh lebih mengandalkan kekuatan fisik untuk bekerja. Termasuk dalam kelompok ini adalah buruh pemetik melati gambir. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja sebagai buruh pemetik melati dan memiliki anak sekolah (3-18 tahun). Rata-rata pendapatan keluarga buruh pemetik melati gambir adalah Rp 649.090,91/bulan. Sumber pendapatan keluarga adalah suami, istri dan terdapat beberapa keluarga dengan anak bekerja. Meskipun pendapatan buruh pemetik melati gambir tergolong rendah, buruh pemetik melati gambir memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan keluarga. Istri yang bekerja memiliki kontribusi sebesar 26,25 persen terhadap pendapatan keluarga yang terdiri atas 20,65 persen dari pendapatan utama sebagai buruh pemetik melati gambir dan 5,60 persen dari pendapatan tambahan. Hasil ini mendukung pernyataan Suryocondro (1987) dalam Suryawati (2002) bahwa setiap wanita bekerja di luar rumah dapat membawa dampak positif terhadap pendapatan keluarga. Pendapatan 134.015,15/bulan
rata-rata dengan
buruh kisaran
pemetik antara
melati Rp
gambir
30.000,00
adalah
Rp
hingga
Rp
300.000,00/bulan. Perbedaan pendapatan ini tergantung pada perolehan bunga melati gambir setiap harinya. Tidak terdapat jadwal bekerja bagi buruh pemetik melati gambir. Biasanya, pemetik melati gambir memulai kegiatannya pada pukul 06.00 WIB dan berakhir dengan waktu yang tidak menentu, tergantung pada habis atau belumnya bunga melati yang dapat dipetik pada hari itu. Akan tetapi, biasanya kegiatan memetik melati gambir dilakukan selama kurang lebih lima sampai enam jam. Pendapatan sebagai buruh pemetik melati gambir tergolong kecil, akan tetapi memiliki manfaat yang besar, antara lain istri dapat membantu suami untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Penggunaan ini merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh istri sebagai buruh pemetik melati.
61
Pemanfaatan selanjutnya adalah untuk biaya pendidikan anak (uang saku). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan biaya kesehatan anak tidak terlalu menjadi prioritas utama. Biaya kesehatan hanya dikeluarkan ketika anak sakit atau perawatan tertentu. Tindakan kuratif (ketika anak sakit) merupakan tindakan yang paling sering dilakukan oleh keluarga. Jarang sekali orang tua yang melakukan tindakan preventif (pencegahan) seperti pembelian vitamin dan pemberian susu. Hal ini karena orang tua merasa biaya pemeliharaan kesehatan untuk anak bukan suatu keharusan, sehingga tidak perlu diberikan ketika anak tidak sakit atau anak dalam keadaan sehat. Menurut beberapa orang tua, tanpa diberikan perlakukan preventif kepada anak, anak dapat tumbuh dengan baik dan tetap sehat. Perbedaan karakteristik keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Menurut Undang-undang No 10 Tahun 1992, keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Penelitian ini mengukur kesejahteraan keluarga menggunakan indikator Garis Kemiskinan (GK) dan indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikeluarkan oleh BPS. Berdasakan indikator Garis Kemiskinan (GK), terdapat hampir tiga per empat keluarga contoh termasuk dalam keluarga miskin dan menurut indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak terdapat keluarga buruh pemetik melati di Desa Gelang yang tergolong sebagai keluarga miskin dan sebagain besar keluarga tergolong sebagai keluarga tidak miskn. Hasil yang telah diperoleh berdasarkan dua indikator menunjukkan perbedaan antara jumlah keluarga tidak miskin. Perbedaan hasil ini diduga disebabkan oleh tiga hal. Pertama, indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki dimensi lebih luas dan lebih menjelaskan kondisi kehidupan dari berbagai
aspek
seperti
ekonomi,
pendidikan,
kesehatan,
dan
sosial
kemasyarakatan (Muflikhati et al 2010). Kedua, terdapat tiga indikator yang tidak dipenuhi oleh seluruh keluarga contoh di wilayah penelitian yaitu sumber penerangan, kemampuan makan/hari dan kemampuan membayar biaya pengobatan. Ketiga, menurut Muflikhati (2010) rendahnya tingkat kemiskinan ini
62
disebabkan kriteria yang ditetapkan terlalu banyak untuk menggolongkan rumah tangga menjadi hampir miskin yaitu sembilan kriteria. Berdasarkan
dua
indikator
yang
digunakan
untuk
mengukur
kesejahteraan keluarga, variabel mata pencaharian suami secara konsisten berpengaruh terhadap status kesejahteraan, baik indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan suami yang bekerja di bidang bukan pertanian memiliki peluang yang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan di bidang pertanian. Bekerja di bidang pertanian (menjadi buruh tani dan petani dengan lahan sempit) biasanya memiliki penghasilan yang rendah dan tidak menentu setiap bulannya dibandingkan dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian, misalnya pedagang yang memiliki penghasilan rutin setiap hari. Bekerja
di
bidang
pertanian
dianggap
sebagai
pekerjaan
yang
menghasilkan pendapatan rendah dan memerlukan tenaga yang banyak. Alasan ini pula yang menyebabkan banyak orang melakukan transmigrasi ke tempattempat yang dinilai mampu menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada sebagai petani. Rendahnya peluang petani untuk sejahtera juga dikarenakan rendahnya produktivitas yang dimiliki oleh petani, kegiatan pertanian yang dilakukan hanya on-farm dan jarang sekali keluarga petani yang melakukan kegiatan off-farm, sehingga pendapatan yang diterima petani masih tergolong rendah. Belum adanya pengembangan hasil pertanian secara luas menyebabkan petani menjual secara langsung hasil pertaniannya dengan harga yang rendah. Sementara itu, menurut hasil penelitian Sitorus et al (2008), menurunnya peluang petani untuk meningkatkan kesejahteraan berkaitan dengan dua hal yaitu semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dibeli di pasar (semakin komersil) dan input produksi usaha tani yang harus dibeli di pasar (semakin komersil). Akibatnya, banyak keluarga yang mencari pekerjaan di luar bidang pertanian. Bagi lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi survival dimana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari sektor pertanian (Whiter 1988 dalam Girsang 1996). Selain mata pencaharian suami, pekerjaan tambahan suami juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan berdasarkan indikator Garis Kemiskinan (GK). Keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan tambahan memiliki peluang lebih besar untuk sejatera, dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan. Adanya pekerjaan
63
tambahan yang dimiliki oleh suami menyebabkan pendapatan keluarga, khususnya pendapatan suami yang memiliki kontribusi terbesar terhadap keluarga, lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Aniri (2008) bahwa suami dengan pekerjaan tunggal akan lebih sejahtera karena pendapatan dari pekerjaan utama lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari pekerjaan sampingan. Perbedaan hasil ini karena pendapatan suami dari pekerjaan tambahan memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan pendapatan dari pekerjaan utama, walaupun pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh suami tidak rutin dilakukan setiap hari. Selain mata pencaharian suami, pendidikan suami dan pendapatan keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diukur dengan menggunakan lima indikator baru. Semakin tinggi pendidikan suami peluang keluarga untuk sejahtera lebih besar. Pendidikan tinggi membuka peluang suami untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi semakin besar sehingga keluarga akan semakin sejahtera. Hasil ini mendukung penelitian Rambe (2004) dan Muflikhati (2010) bahwa pendidikan kepala keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Selain itu, Firdausy (1999) diacu dalam Permatasari (2010) menyatakan bahwa keluarga yang dikepalai oleh seseorang
dengan
dibandingkan
tingkat
dengan
pendidikan
keluarga
yang
rendah dikepalai
cenderung oleh
lebih
seseorang
miskin yang
berpendidikan tinggi. Semakin tinggi pendapatan keluarga, peluang keluarga untuk sejahtera juga akan semakin besar. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarga baik untuk kebutuhan pangan ataupun non-pangan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Iskandar (2007), Aniri (2008) dan Muflikati (2010) bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Ketika keluarga menghadapi suatu kesulitan ekonomi yaitu mengalami penurunan pendapatan ketika harga bunga melati turun, diperlukan upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga atau keuarga tetap dapat mempertahankan kesejahteraannya. Hal ini disebut sebagai strategi koping. Menurut Voydanoff (1987), strategi koping adalah proses yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Dua strategi yang dilakukan keluarga ketika
64
mengalami kesulitan keuangan yaitu mengurangi pengeluaran (cutting back) dan menambah pendapatan (generating income) (Puspitawati 1998). Secara keseluruhan, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga pemetik melati di Desa Gelang sebagian besar termasuk dalam kategori sedikit baik dalam cutting back maupun generating income. Sedikitnya jumlah cutting back menandakan bahwa keluarga buruh pemetik melati telah berusaha meminimalkan kegiatan mengurangi pengeluaran agar pemenuhan kebutuhan bagi anggota keluarga tidak mengalami penurunan atau tidak terjadi penurunan kualitas hidup bagi anggota keluarga. Kegiatan cutting back yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh untuk kebutuhan pangan adalah mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jenis maupun jumlah, untuk kebutuhan kesehatan berupa mencari tempat pengobatan gratis yaitu dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Asuransi Kesehatan untuk Orang Miskin (Askeskin), untuk kebutuhan pendidikan berupa mengurangi pembelian buku pelajaran, dan untuk kebutuhan lain-lain berupa menunda pembelian barang elektronik. Kegiatan cutting back lebih mudah untuk dijalankan dari pada kegiatan generating income, karena dalam menjalankan kegiatan generating income melibatkan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga seperi sumber daya manusia dan jejaring yang dimiliki oleh keluarga untuk meningkatkan sumber daya uang keluarga. Sementara itu, kegiatan cutting back lebih mudah dijalankan karena dalam pelaksanaannya tidak melibatkan orang lain (jejaring sosial), yaitu hanya melibatkan anggota keluarga sendiri. Menurut Puspitawati (1998), tingkat kemiskinan berhubungan erat dengan strategi penghematan (cutting back) dibandingkan dengan strategi menambah pendapatan (generating income). Akan tetapi, sediktinya jumlah generating income yang dilakukan oleh keluarga contoh berarti keluarga contoh cenderung pasif menghadapi kenyataan. Kegiatan generating income yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh untuk kebutuhan pangan adalah dengan sengaja menerima makanan dari tetangga
atau
saudara,
untuk
kebutuhan
kesehatan
adalah
dengan
memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami tanaman obat, untuk kebutuhan pendidikan adalah dengan meminta seragam bekas ke saudara/tetangga, dan untuk kebutuhan lain-lain adalah anak bekerja membantu orang tua. Selain itu, rendahnya kegiatan yang dilakukan karena kurangnya akses dan sedikitnya pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga sehingga kurang mampu mengeksplor
65
sumberdaya yang ada. Menurut Rogers dalam Rahardjo (1999), rendahnya tingkat inovasi peasant 1 berkaitan dengan tiga hal yaitu: pola hidup peasant cenderung menggunakan cara-cara yang diketahui akan menghasilkan dan enggan menggunakan cara-cara baru yang mungkin menyebabkan kegagalan, sumber-sumber ekonomi yang langka atau penerapan teknologi yang kurang tepat guna karena membutuhkan biaya, dan rendahnya pengetahuan mengenai masalah-masalah teknis (technical know-how) dan sumber daya. Banyak atau sedikitnya kegiatan strategi koping yang dilakukan keluarga tergantung pada latar belakang sosial ekonomi keluarga. Hasil uji regresi linier berganda menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, pekerjaan tambahan suami, dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap strategi koping keluarga buruh pemetik melati gambir. Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh positif terhadap jumlah strategi koping. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin meningkat. Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan menambah beban keluarga, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Cara atau strategi koping yang dilakukan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan akan semakin sering dilakukan dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga (Rachmawati 2010). Selain itu, Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga maka upaya untuk mengatasi masalah keluarga akan semakin optimal dilakukan. Tipe keluarga berpengaruh negatif terhadap strategi koping keluarga. Keluarga luas memiliki strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga inti. Hal ini diduga karena keluarga luas yang mendapat tambahan anggota keluarga lain dianggap lebih sejahtera, sehingga muncul anggota keluarga lain selain keluarga inti yang tinggal bersama dengan keluarga inti. Friedman, Bowden dan Jones (2003) mengemukakan bahwa terdapat tujuh strategi koping yang dapat dilakukan oleh keluarga internal (intrafamiliar) yaitu mengandalkan
kemampuan
sendiri
dari
keluarga,
penggunaan
humor,
musyawarah bersama (memelihara ikatan bersama), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran dan normalisasi.
1
Peasant adalah penghasil-penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif, menjadikan pekerjaan tersebut sebagai nafkah, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan (Wolf;1956 diacu dalam Rahardjo;1999)
66
Adanya pekerjaan tambahan yang dimiliki suami menunjukkan sebagai salah satu strategi koping menambah pendapatan yang dimiliki oleh keluarga. Pendapatan suami dari pekerjaan utama dirasa belum mencukupi kebutuhan keluarga sehingga suami melakukan suatu upaya menambah pendapatan dengan cara memiliki pekerjaan tambahan. Selanjutnya, strategi koping dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Semakin sejahtera, strategi koping yang dilakukan akan semakin sedikit. Keluarga sejahtera telah mampu memenuhi kebutuhan keluarga baik kebutuhan pangan maupun non pangan, sehingga ketika terdapat penurunan pendapatan, keluarga dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasinya, seperti menggunakan aset yang dimiliki oleh keluarga untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Rachmawati (2010) bahwa keluarga yang lebih sejahtera akan memiliki masalah ekonomi yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga miskin. Pada dasarnya setiap keluarga ingin mempertahankan kesejahteraannya, bahkan memperbaiki keadaan ekonomi keluarga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan.
Strategi
koping
sebagai
upaya
untuk
mempertahankan
kesejahteraan yang merupakan tujuan keluarga tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam (endogenous), tetapi ada faktor-faktor lain dari luar (eksogenous) yang turut mempengaruhi proses tersebut (Mardiharini 2002). Salah satu harapan orang tua dari anak adalah anak memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari orang tua. Untuk dapat mewujudkannya, orang tua perlu memberikan modal agar sumber daya anak memiliki kualitas yang baik. Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), modal manusia/sumber daya manusia adalah jumlah total dari kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh manusia dan cara penggunaan sumber daya manusia yang berpengaruh terhadap sumber daya di masa yang akan datang. Agar manusia dapat menggunakan sumber daya yang dimilikinya, diperlukan suatu upaya berupa investasi sumber daya manusia yang dimulai dari kecil yaitu dari masa anak-anak. Perilaku investasi anak terdiri atas dua kegiatan yaitu perilaku inevstasi pendidikan dan perilaku investasi kesehatan. Pendidikan merupakan jalan menuju produktivitas tinggi bagi masyarakat, sehingga diharapkan melalui pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Pentingnya pendidikan seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh
67
karena itu, orang tua perlu memberikan investasi berupa investasi pendidikan kepada anak. Berdasarkan hasil penelitian, perilaku investasi pendidikan lebih baik daripada perilaku investasi kesehatan pada keluarga contoh. Hal ini terjadi karena orang tua cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menjadi keharusan bagi orang tua untuk anak, seperti membayar dengan tepat waktu uang pendidikan atau SPP. Selain itu, sebagian besar orang tua hanya melakukan hal-hal yang umumnya sudah menjadi kebiasaan diberikan kepada anak, sedangkan kegiatan yang membutuhkan biaya tambahan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan, seperti mengajak anak berekreasi dan memberikan ketrampilan khusus dan les sebagai bekal ketrampilan anak. Hartoyo dan Hastuti (2003) menyatakan bahwa pengeluaran untuk pendidikan anak yang relatif kecil memungkinkan anak kurang dapat mengembangkan potensinya. Masyarakat lapiasan bawah menganggap pendidikan sebagai suatu pilihan dan bukan keharusan (Mulatsih et al 2002). Hal ini karena tingginya biaya pendidikan dan ketidakseimbangan antara biaya pendidikan dan pemanfaatan kelulusan dalam dunia kerja. Selain itu, adanya fasilitas pendidikan gratis bagi siwa SD dan munculnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) turut mendukung perilaku investasi pendidikan. Beban orang tua terasa semakin ringan dengan adanya Yayasan Ma‟arif di Desa Gelang yang memberikan sekolah gratis bagi anak-anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan SMP. Investasi dalam bidang kesehatan tentunya berbeda dengan investasi dalam bidang pendidikan yang memiliki tujuan agar manusia memiliki produktivitas dan pendapatan yang tinggi dikemudian hari. Melalui investasi kesehatan, akan dapat memperpanjang umur harapan hidup dan terhindar dari penyakit sehingga akan menghasilkan waktu produktif yang lebih tinggi. Akan tetapi, keluarga contoh memiliki perilaku investasi kesehatan pada kategori sedang bahkan rendah. Berdasarkan hasil penelitian BPS (2009), kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan masih tergolong rendah. Perilaku investasi kesehatan yang paling sering dilakukan oleh keluarga contoh adalah perilaku kuratif yaitu pada saat anak sakit. Keluarga jarang sekali melakukan kegiatan preventif atau pencegahan. Orang tua merasa memberikan pelayanan kepada anak seperti pemberian makanan bergizi, vitamin, dan lain-lain
68
membutuhkan biaya yang tinggi. Sementara pendapatan keluarga sudah habis dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Bryant dan Zick (2006) menyatakan bahwa investasi kesehatan memiliki biaya tambahan yang lebih rumit dibandingkan dengan investasi pendidikan. Pendapatan yang rendah, membuat orang tua hanya melakukan tindakan-tindakan kuratif (ketika anak sakit) terhadap anak. Selain pendidikan, rendahnya pendidikan orang tua membuat pola pikir orang tua kurang mendukung untuk melakukan tindakan promotif dan preventif. Menurut orang tua tindakan promitif dan preventif tidak terlalu penting untuk dilakukan. Orang tua jarang menyediakan susu, makanan bergizi, dan vitamin kepada anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya uang untuk membeli semua kebutuhan. Selain itu, kepuasan orang tua dengan keadaan anak membuat orang tua tidak terlalu memberikan perhatian khusus, seperti anak yang sudah gemuk sehingga orang tua tidak perlu memberikan vitamin. Rendahnya perilaku investasi yang dilakukan orang tua diduga karena pendidikan orang tua yang rendah, sehingga mind set yang dimiliki orang tua akan anak bukan untuk investasi sebagai perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia tapi sebagai tenaga kerja yang murah dan sebagai sandaran hidup di hari tua. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku investasi anak adalah pendidikan ibu dan pendapatan keluarga. Istri dengan pendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, sehingga perilaku investasi yang dilakukan terhadap anakpun akan semakin tingggi. Hasil ini mendukung hasil penelitian Leibowitz (1982) bahwa pendidikan istri berhubungan signifikan terhadap IQ anak. Akan tetapi, hasil ini mengindikasikan bahwa investasi yang dilakukan lebih berdasarkan pada hubungan antara anak dengan ibu dibandingkan dengan faktor genetik yang diturunkan oleh ibu. Bryant dan Zick (2006) menyatakan bahwa pendidikan anggota keluarga akan berpengaruh positif terhadap SDM dan kesehatan seseorang. Menurut Ali (2009) kaum perempuan yang mengikuti pendidikan dengan lebih baik akan lebih mampu menjaga kesehatan diri dan anak-anaknya, bahkan dapat mengurangi laju pertumbuhan penduduk sehingga menghasilkan generasi yang lebih berkualitas. Selain pendidikan ibu, pendapatan keluarga juga berpengaruh terhadap bagaimana perilaku investasi yang diterima oleh anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka perilaku investasi yang diberikan orang tua akan semakin tinggi. Hal ini terkait dengan beberapa perilaku investasi baik investasi
69
pendidikan maupun kesehatan dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan yang memerlukan biaya, seperti mengikutsetakan anak untuk les, pemberian makanan empat sehat lima sempurna, pemberian vitamin dan buah, mengajak anak untuk rekreasi, dan lain-lain. Keluarga dengan pendapatan tinggi diasumsikan dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang telah tercukupi. Menurut Shinta (2008) seiring
dengan
meningkatnya
pendapatan
keluarga,
maka
pemenuhan
kebutuhan keluarga setelah pangan akan diprioritaskan untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Bentuk investasi keluarga untuk meningkatkan perkembangan anak menjadi sumberdaya yang berkualitas adalah waktu dan uang (Hartoyo 1998). Investasi anak selain diukur berdasarkan perilaku yang dilakukan orang tua untuk anak juga diukur dengan alokasi uang yang diberikan oleh orang tua untuk anak. Alokasi pengeluaran uang untuk anak adalah semua pengeluaran yang manfaatnya dirasakan oleh anak secara langsung, dari mulai untuk makan, pendidikan, kesehatan dan pengeluaran lainnya untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Dalam penelitian ini, alokasi uang untuk makan tidak dihitung, karena kebutuhan makan untuk anak-anak masih bersama dengan orang tua. Alokasi uang ini bervariasi tergantung pada tingkat pendidikan anak dan jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga. Berdasarkan hasil penelitian, keluarga yang memiliki anak SMA memiliki alokasi uang paling besar dibandingkan dengan keluarga dengan anak PAUD, SD maupun SMP. Menurut Lino (2009), biaya tahunan yang dikeluarkan untuk anak secara umum meningkat sesuai dengan bertambahnya umur anak. Dalam alokasi uang untuk anak terdapat kecenderungan bahwa semakin meningkat jenjang pendidikan anak, besarnya alokasi uang untuk pendidikan akan semakin naik. Sementara itu, alokasi kesehatan semakin menurun dengan semakin naiknya jenjang pendidikan anak. Hal ini karena semakin meningkatnya usia anak, orang tua menganggap bahwa anak sudah mampu mengurus dirinya sendiri, sehingga orang tua tidak mengalokasikan uang untuk kesehatan anak. Berbeda dengan alokasi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, alokasi uang untuk kebutuhan lainnya pada kelompok anak usia PAUD memiliki alokasi paling besar diantara jenjang pendidikan lainnya. Keluarga dengan anak usia PAUD lebih sering mencukupi kebutuhan lainnya seperti mengajak anak jalanjalan/rekreasi dan membeli baju.
70
Besarnya alokasi uang untuk anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah, pendidikan suami, tipe keluarga, dan pendapatan keluarga Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan semakin kecil alokasi
uang
yang
diterima
oleh
masing-masing
anggota
keluarga.
Bertambahnya jumlah anggota keluarga akan menambah beban kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Hartoyo (1998) bahwa jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh negatif terhadap investasi anak dalam bentuk uang. Peningkatan jumlah anak akan cenderung menurunkan pendapatan orang tua dan biasanya anak dihadapkan pada perbedaan alokasi uang (Behrman, Pollak & Taubman (1988) diacu dalam Taubman 1996). Selain itu, Leibowitz (1982) menyatakan bahwa penambahan jumlah anggota keluarga akan mengurangi dukungan keluarga terhadap anak dalam penentuan sekolah karena adanya kesulitan keuangan dan hal ini mengindikasikan tingkatan yang rendah dalam investasi keluarga, tetapi tingkat akhir pendidikan tidak tergantung pada jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga. Banyaknya anak sekolah akan membuat pengeluaran orang tua untuk anak semakin tinggi. Diantara pendidikan suami dan istri, pendidikan suami lebih berpengaruh terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin tinggi pendidikan suami akan membuat semakin besarnya alokasi pengeluaran uang untuk anak. Hal ini diduga karena ayah adalah pengatur keuangan rumah tangga, sehingga pengambil keputusan pengeluaran masih didominasi oleh ayah. Selain itu, suami dengan pendidikan tinggi memiliki pengetahuan yang lebih tinggi pula sehingga pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya akan membuat alokasi pengeluaran untuk investasi anak semakin tinggi. Semakin tinggi pendidikan suami akan membuat orientasi anak menjadi lebih penting (Permatasari 2010). Samon (2005) menyatakan bahwa lama pendidikan akan berpengaruh terhadap gaya hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengeluaran yang dilakukan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga, alokasi uang yang diberikan untuk anak akan semakin besar. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih mencurahkan sumberdayanya untuk meningkatkan kualitas anak (Hartoyo 1998). Berdasarkan hasil penelitian Yeung, Linver, dan Brooks-Gun (2002), tingkat dan stabilitas pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang jelas terhadap fungsi
71
keluarga dan kesejahteraan anak. Melalui sumber daya yang maksimal, anak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki. Berdasarkan tipe keluarga, keluarga luas memiliki alokasi uang yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga inti. Hasil ini berbeda dengan Suryawati (2002) bahwa struktur keluarga memberi pengaruh positif signifikan dimana keluarga inti memberikan alokasi pendidikan lebih banyak dibandingkan dengan keluarga luas. Hasil penelitian ini diduga karena keluarga luas, misalnya hadirnya kakak ipar atau nenek/kakek dalam keluarga turut berpartisipasi terhadap alokasi uang yang diberikan untuk anak. Seperti nenek/kakek yang memberikan uang saku kepada cucu, kakak ipar atau saudara yang lain memberikan bantuan uang seperti baju, buku, sepatu, tas, dan keperluan lainnya. Hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa perilaku investasi memiliki pengaruh terhadap alokasi pengeluaran uang untuk anak. Pada dasarnya semua orang tua menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Akan tetapi, keterbatasan sumber daya materi seperti uang dan pengetahuan yang dimiliki orang tua membuat orang tua kurang memperhatikan segala kebutuhan anak yang menunjang masa depan anak dengan meningkatkan kualitas sumberdaya.
Keterbatasan penelitian Terdapat hampir tiga per empat jumlah penduduk miskin yang diukur dengan menggunakan indikator Garis Kemiskinan. Hasil ini jauh lebih besar dibandingkan dengan angka kemiskinan Kabupaten Banjarnegera yaitu sebesar 27,18 persen dari total penduduk Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan pendekatan yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan berdasarkan Garis Kemiskinan adalah pendapatan (bukan pengeluaran) dimana pengeluaran keluarga biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan keluarga. Pembuatan cut off point baru dari indikator kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT) menggunakan lima indikator baru yaitu sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/hujan; bahan bakar untuk memasak
sehari-hari
adalah
kayu
bakar/arang/minyak
tanah;
hanya
mengonsumsi susu atau daging/ayam satu kali dalam seminggu; sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas 0,5ha, buruh tani/nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan/pekerjaan lain dengan pendapatan
72
sekolah/tidak tamat SD/tamat SD belum teruji secara konsisten sehingga belum dapat diterapkan di wilayah penelitian lain. Penelitian ini hanya mengkaji perilaku investasi anak dalam bentuk perilaku dan alokasi uang, belum dilakukan pengkajian tentang alokasi waktu dan nilai anak serta hubungan antara nilai anak dengan investasi anak. Selain itu, dalam pengukuran strategi koping, kegiatan strategi koping tidak dilihat berdasarkan intensitas (sering atau tidak) tetapi hanya dilihat apakah dilakukan atau tidak (ya atau tidak).