6
Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur Omphalina sp. dengan Media Gambut Ke dalam setiap bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam) dimasukkan masingmasing formulasi Omphalina sp. dalam media gambut (F1) dengan variasi konsentrasi 1 g, 3 g, dan 5 g. Selain F1, dibuat juga formulasi Omphalina sp. dalam media gambut dengan perbandingan 10 g Omphalina sp. kering yang telah ditumbuk halus dengan 200 g gambut (F5) dan divariasikan dengan konsentrasi yang sama. Nilai absorban larutan zat warna tersebut diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4. Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi Konsentrasi terendah kultur Omphalina sp. dengan media gambut yang diperoleh diinkubasi dengan cara dibungkus dengan kain kasa 10 x 10 cm2 dan kertas saring berukuran 10 x 10 cm2 yang dimasukkan kedalam botol berpori. Setelah itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam). Nilai absorban larutan zat warna diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4. Dekolorisasi Tekstil
Limbah
Cair
Industri
Konsentrasi terendah dan media inkubasi dekolorisasi yang diperoleh, diaplikasikan dalam limbah cair industri tekstil dengan menggunakan cara yang sama. Limbah cair yang digunakan terlebih dahulu dicari panjang gelombang maksimumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan Kultur Omphalina sp. Hasil penentuan kondisi optimal penyiapan kultur Omphalina sp. (Gambar 2 dan 3) menunjukkan bahwa Omphalina sp. dalam berbagai variasi perlakuan tersebut mampu mendekolorisasi zat warna tekstil. Hasil yang paling baik ditunjukkan oleh perlakuan yang menggunakan media Omphalina sp. dengan gambut dibanding perlakuan menggunakan bagas tebu atau ijuk + bagas tebu. Penurunan nilai absorban untuk warna hitam sampai hari ke-3 pada perlakuan menggunakan media gambut ialah sebesar 45,1%, media ijuk+bagas 28,3%, dan media
bagas 24,8%. Hasil serupa juga didapatkan untuk warna-warna yang lain. Pada Gambar 2 terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan media gambut pada warna hitam menunjukkan penurunan kepekatan warna yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terjadi perubahan warna menjadi sedikit kuning. Perubahan ini juga teramati pada warna-warna yang lain dengan penurunan nilai absorban yang lebih tinggi. Penyebab pasti dari perubahan ini belum diketahui, namun diduga hal ini terjadi karena adanya aktivitas enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh Omphalina sp. yang terdapat dalam perlakuan tersebut. Diduga proses dekolorisasi terjadi karena adanya proses adsorbsi sebagai sistem non-enzimatik dilanjutkan dengan adanya kemampuan degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas metabolisme dengan sistem enzimatik (Dewi 2005). Selain itu dalam dekolorisasi dengan jamur secara umum adalah penghilangan warna karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai tingkat awal perubahan warna dalam proses dekolorisasi. Proses selanjutnya diteruskan oleh fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular (Awaluddin et al. 2001).
a. Media gambut
K 1 2 3 4
b. Media bagas
K 1 2
3
4
c. Media Ijuk+bagas
K 1 2
3 4
Gambar 2 Hasil dekolorisasi zat warna hitam. K= kontrol, 1= perlakuan hari pertama, 2= perlakuan hari kedua, 3= perlakuan hari ketiga, dan 4= perlakuan hari keempat Gambar 3 menunjukkan bahwa penurunan nilai absorban dengan perlakuan menggunakan media gambut (F1 1:100) pada hari pertama sudah cukup tinggi, yaitu dari 0,452 menjadi 0,132 namun pada hari kedua dan ketiga terjadi kenaikan nilai absorban yang diikuti perubahan warna yang menjadi semakin kuning. Berbeda dengan itu, penurunan nilai absorban yang terjadi dengan perlakuan menggunakan bagas atau ijuk + bagas tidak terlalu besar walaupun
7
sudah dilakukan pengamatan selama tiga hari. Pada percoban ini teramati bahwa kemampuan Omphalina sp. menguraikan zat warna tekstil dengan konsentrasi pekat tanpa aerasi, tanpa penambahan nutrisi serta tanpa pengaturan kondisi pH awal ini, diduga akan memudahkan dalam aplikasinya di lapangan.
a.
Media Gambut 0.5 0.452 0.4 0.3 0.248 0.2
0.188
0.157
0.132
0.1
0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
b.
Media Bagas
didekolorisasi dengan konsentrasi terendah yang diperoleh, maka zat warna dengan warna lainnya pun dapat didekolorisasi dan memberikan hasil yang baik. Besar formulasi yang dicobakan ialah 1 g, 3 g, dan 5 g. Percobaan menggunakan berbagai konsentrasi formulasi media gambut (F1), hasil yang didapat kurang memuaskan sehingga dibuat pula percobaan dengan menggunakan formulasi media gambut (F5). Perlakuan menggunakan F1 dalam berbagai konsentrasi memberikan penurunan nilai absorban yang lebih kecil dibandingkan menggunakan F5, hal ini disebabkan jumlah Omphalina sp. yang terkandung pada formulasi media F5 lebih besar dibanding pada F1, walaupun secara visual hasil dekolorisasi pada hari pertama untuk F1 5 gram lebih baik dibandingkan pada F5 5 gram yang masih sedikit berwarna hitam (Gambar 4).
0.5 0.452
a. F1 5 g
0.418
0.4
0.345
0.34
0.3
b. F5 5 g
0.334
0.2 0.1
0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
Media Ijuk + bagas
c. 0.5 A 0.452 0.4
K 1 2 3 4
0.393
0.361
0.324
0.3
0.326
0.2 0.1 0 0
1
K 1 2 3 4
2
3 Hari ke-
4
5
Gambar 3 Nilai absorban dekolorisasi zat warna hitam. Media gambut (F1 1:100)= formulasi antara 1 g Omphalina sp. dengan 100 g gambut Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur Omphalina sp. dengan Media Gambut Hasil yang diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan formulasi media gambut (F1) menunjukkan dekolorisasi yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga perlakuan tersebut digunakan untuk mencari konsentrasi terendah dengan kemampuan yang baik. Zat warna tekstil sintetik (wanteks) yang digunakan ialah yang berwarna hitam. Hal ini disebabkan warna tersebut dinilai paling sukar didekolorisasi dibandingkan warna lainnya pada percobaan penentuan kondisi optimal, sehingga jika warna hitam dapat
Gambar 4 Penentuan konsentrasi terendah formulasi F1 5 g dan F5 5 g. Sebanyak 5 g yang diambil dari formulasi 1 g Omphalina sp. dengan 100 g gambut (a) dan 10 g Omphalina sp. dengan 200 g gambut (b), zat warna= hitam; k, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2) Hasil yang didapat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi terendah yang diperoleh yaitu F5 sebesar 5 g. Konsentrasi ini menghasilkan penurunan nilai absorban dan dekolorisasi yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 1 atau 3 g. Penurunan nilai absorban yang terjadi untuk F5 5 gram dari hari ke-0 sampai hari ke-3 ialah 0,427-0,117 atau sekitar 72,6%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan nilai absorban F1 5 gram, dimana penurunan nilai absorban sampai hari ke-3 yang didapat ialah 52,7%. Penurunan nilai absorban dengan F5 5 gram ini lebih baik dibanding dengan konsentrasi lainnya. Hal ini karena jumlah Omphalina sp. yang terdapat pada F5 5 gram lebih banyak dibanding yang lain.
8
F1 5 gram
a. A 0.5 0.4 0.427
0.323
0.3
0.227
0.2 0.1 0 0
1
2
0.202
3
0.185
4
5
58,3%, sedangkan untuk kertas 0,448-0,286 atau sebesar 36,1% (Gambar 7). Tingginya penurunan nilai absorban pada perlakuan yang menggunakan kain ini disebabkan karena interaksi antara larutan zat warna yang digunakan dengan media yang digunakan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan kertas + botol berpori.
Hari ke-
b.
F5 5 gram 0.5 0.427
0.4
0.326
0.3
K 1 2 3 4
K 1 2 3 4
a. Kain
b. Kertas+botol
0.2 0.161 0.117
0.1
0.112
0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
Gambar 5 Nilai absorban penentuan konsentrasi terendah. Zat warna= hitam; F1 5 g dan F5 5 g (seperti Gambar 4)
Gambar 6 Hasil metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam. K, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 4)
a.
Kain 0.5 0.448 0.4
Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi Setelah didapatkan konsentrasi minimal, ternyata terdapat suatu masalah karena sulitnya proses pengambilan sampel untuk diukur nilai absorbannya. Untuk mengatasi hal itu maka dilakukan penentuan metode inkubasi dekolorisasi yang bertujuan mengurangi tercampurnya formulasi media gambut dengan cairan sehingga tidak mengganggu ketika pengukuran, selain itu berguna untuk dilakukan pemakaian berulang. Hasil yang diperoleh (Gambar 6) menunjukkan bahwa dekolorisasi warna hitam pada F5 5 g yang diinkubasi dengan cara dibungkus kain lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kertas + botol. Pada hari kedua dan ketiga pengamatan, formulasi F5 yang dibungkus dengan menggunakan kain menghasilkan penurunan warna yang sangat nyata terhadap warna hari ke-0 atau tanpa perlakuan. Hal ini berbeda dengan perlakuan menggunakan kertas + botol, dimana warna pada hari kedua dan ketiga masih sedikit pekat. Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa metode inkubasi dekolorisasi menggunakan kain lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kertas + botol. Hal ini pun dapat dilihat pada penurunan nilai absorban perlakuan yang menggunakan kain sampai hari ketiga yaitu 0,448-0,187 atau sebesar
0.398
0.3 0.249 0.2
0.187 0.129
0.1 0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
b.
Kertas + botol 0.5 0.448 0.4
0.401 0.321
0.3
0.286 0.237
0.2 0.1 0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
Gambar 7 Nilai absorban metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam. Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil Aplikasi perlakuan dengan menggunakan konsentrasi terendah dan metoda inkubasi dekolorisasi yang terbaik dilakukan terhadap limbah cair industri tekstil. Limbah cair yang digunakan ialah yang berwarna ungu dan biru muda dengan panjang gelombang untuk masing-masingnya ialah 482 nm dan 668 nm. Panjang gelombang ini didapat menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Perlakuan menggunakan konsentrasi terendah (F5 5 g) menunjukkan bahwa limbah cair tersebut dapat didekolorisasi. Hal ini
9
–OH
kromofor menjadi gugus (Yaropolov et al. 1994).
dan
a. Ungu
b. Biru muda
K 1 2 3 4
K 1 2 3 4
c. Ungu
d. Biru muda
K 1
2
3 4
K 1 2
N2
3 4
Gambar 8 Hasil dekolorisasi limbah cair industri tekstil. Perlakuan dengan formulasi F5 5 g (a dan b) dan dengan dibungkus kain (c dan d); k, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2)
a.
Limbah cair warna ungu 0.35 0.309
A b s o rb a n
0.3 0.25
0.202
0.2
0.188
0.173
0.15
0.159
0.1 0.05 0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
b.
Limbah cair warna biru muda 0.25 0.201
0.2
A b s o rb a n
terlihat baik secara visual maupun dari penurunan nilai absorbannya. Limbah cair ini diberikan perlakuan yang sama dengan percobaan sebelumnya. Pada Gambar 8 (a dan b) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan warna dari warna asal menjadi semakin kuning kecoklatan. Hal ini diduga karena proses adsorpsi serta eksudat enzim yang dihasilkan oleh miselium Omphalina sp. dalam media tersebut. Perlakuan selanjutnya terhadap limbah cair ini ialah dengan menggunakan metoda inkubasi dekolorisasi dengan cara dibungkus kain. Gambar 8 (c dan d) menunjukkan bahwa proses dekolorisasi pada kedua warna memberikan hasil yang baik. Dekolorisasi dari kedua limbah cair ini sebenarnya sudah sangat tinggi pada hari pertama. Hal ini terlihat dari warnanya yang sudah tidak seperti warna asalnya, sehingga perlakuan bisa dilakukan hanya dalam waktu satu hari. Limbah cair berwarna ungu yang dibungkus kain (Gambar 9 c), penurunan nilai absorban pada hari pertama cukup tinggi dan terlihat pada gambar bahwa penurunan kepekatan warna yang dihasilkan sangat nyata. Pada hari selanjutnya nilai absorban mengalami kenaikan yang diikuti dengan perubahan warna yang menjadi sedikit keruh. Hasil yang didapatkan untuk limbah cair berwarna biru muda yang dibungkus kain menunjukkan terjadinya penurunan nilai absorban sampai hari keempat. Penurunan yang paling tinggi terjadi pada hari pertama, sedangkan penurunan nilai absorban pada hari ketiga dan keempat tidak terlalu jauh atau relatif sama. Hasil penelitian sebelumnya dengan menggunakan media yang berbeda menyebutkan bahwa miselium Omphalina sp. A-1 amobil dalam kultur batch tanpa aerasi mampu mendekolorisasi dengan baik dua jenis limbah pabrik kain batik yang masing-masing mengandung bahan pewarna indigo carmen dan -naftol (Tri-Panji 2006). Menurut Kirby et al. (1995), jamur pelapuk putih mampu menggunakan zat warna sebagai sumber karbon yang menyebabkan konsentrasi zat warna berkurang atau habis. Fenomena ini belum jelas karena ternyata tidak semua zat warna mampu digunakan sebagai sumber karbon. Kemungkinan mekanisme dekolorasi lainnya adalah oksidasi gugus kromofor seperti yang dikemukakan oleh Yaropolov et al. bahwa lakase mampu mengoksidasi ikatan azo (-N=N-) yang merupakan gugus
0.15 0.1
0.092
0.083
0.072
0.056
0.05 0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
c.
Limbah ungu (kain) 0.35 0.309
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1
0.093
0.103
0.099
0.088
0.05 0 0
1
2
Hari ke-
3
4
5
10
d.
DAFTAR PUSTAKA
Limbah biru muda (kain)
Awaluddin R, Darah S, Ibrahim CD, Uyub AM. 2001. Decolorization of commercially available synthetic dyes by the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. J Fungi and Bactery. 62:55-63.
0.25 0.2 0.15 0.1
0.086 0.064
0.05
0.042
0.039
0 0
2
4
6
Hari ke-
Gambar 9 Nilai absorban industri tekstil.
limbah
cair
Pada penelitian ini terdapat kendala dalam pengambilan sampel, karena perlakuan yang menggunakan media gambut harus hati-hati agar gambutnya tidak terbawa ketika diukur. Oleh karena itu sampel disentrifuse dengan kecepatan 10 ribu rpm selama 10 menit yang bertujuan agar gambut yang terbawa dapat terendap sehingga tidak mengganggu proses pengukuran nilai absorban. Kendala lainnya ialah belum diketahuinya penyebab pasti dari perubahan warna yang menjadi sedikit kuning dari percobaan ini.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi optimal proses dekolorisasi terjadi pada perlakuan menggunakan media gambut dibanding media lainnya. Konsentrasi terendah ialah sebesar 5 g (F5) dan metode inkubasi dekolorisasi terbaik ialah dengan dibungkus kain dibanding kertas dalam botol berpori. Panjang gelombang untuk limbah cair warna ungu ialah 482 nm dan biru muda 668 nm. Formulasi media gambut yang digunakan dapat mendekolorisasi limbah cair industri tekstil. Saran Penggunaan lebih banyak macam dan jenis zat warna tekstil sangat baik untuk dicoba agar kemampuan Omphalina sp. lebih dapat teruji. Perlu juga dilakukan penelitian lebih jauh tentang mekanisme dekolorisasi yang dilakukan oleh Omphalina sp. agar lebih memudahkan dalam penggunaan media dan perlakuan yang digunakan.
Cascio J. 1994. Best management practices for pollution prevention in the textile industry. J Enviromental Protection. 96:625-629. Dewi RS. Potensi fungi indigenous limbah industri tekstil sebagai agen pendekolorisasi pewarna azo sumber pencemaran warna perairan. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XII. Jogjakarta. 19-22 April 2005. Hlm 454-457. Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaous Fungi in Technical Microbiology. New York: Elsevier. Hoo
K, Suryo W. 1982. Pengolahan Air Industri. Bogor: Pusbangtepa IPB.
Moore, Landecker E. 1996. Fundamentals of the Fungi, Ed ke-4. London: PrenticeHall International (UK) Limited. Nemerow NL, Dasgupta A. 1991 Industrial and Hazardous Waste Treatment. New York: Van Nostrand Reinhold. Nicholas DD. 1973. Biological control of decay in standing by preservative treatments. J Inst. Wood Science. 7:6-9. Pickard MA, H Vandetrol, R Ramon, R Vazquez-Duhalt. 1999. High production of ligninolitic enzymes from white rot fungi. Can J Microbiol 45:627-631. Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood: its Biology and Ecology. New York: Wiley Chichester. Sastrohamidjojo H. 2001. Spektroskopi. Ed ke2. Yogyakarta: Liberty. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: IPB Pr. Tauber MM, George MG, Astrid R. 2004. Degradation of azo dyes by lacasse and ultrasound treatment. J Environ Microbiol 71:100-112.