HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi dengan baik sampel DNA, namun dari total 70 sampel yang digunakan ditemukan beberapa sampel yang tidak dapat diamplifikasi oleh primer tersebut. Suhu annealing berhasil didapat setelah dilakukan optimasi, diperoleh suhu annealing untuk lokus ILSTS073 adalah 55 oC, lokus ILSTS030 60 oC dan lokus HEL013 55 oC. Suhu annealing pada lokus ILSTS030 berbeda dengan yang digunakan oleh Kathiravan et al. (2009). Perbedaan suhu ini mungkin disebabkan jenis ternak yang digunakan. Lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing dapat mengamplifikasi 67, 68 dan 65 sampel sapi Katingan. Pita target dapat dilihat setelah dilakukan proses silver staining pada gel akrilamid. Perbedaan panjang dari pita target menunjukkan perbedaan alel. Selain pita target, muncul juga pita-pita tambahan seperti yang dapat dilihat pada gambar gel akrilamid. Menurut Poerwanto (1993), konsentrasi enzim yang terlalu tinggi dan jumlah siklus yang berlebih juga dapat menjadi penyebab munculnya pita-pita tambahan. Sampel yang tidak dapat diamplifikasi pada lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing sejumlah 3, 2 dan 5 sampel. Hal ini mungkin dikarenakan primer tidak dapat menempel pada daerah komplemennya sehingga DNA mikrosatelit yang diapit tidak dapat diamplifikasi atau dikarenakan pencampuran bahan PCR tidak sempurna. Menurut Poerwanto (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil PCR adalah konsentrasi enzim (taq polimerase), dNTP (deoxynucleotide triphosphate), konsentrasi magnesium (MgCl2), suhu, jumlah siklus, konsentrasi primer dan DNA templet. Konsentrasi enzim yang terlalu tinggi dan jumlah siklus yang berlebihan akan menyebabkan latar yang tidak spesifik. Kondisi suhu penempelan primer (annealing) juga sangat menentukan baik tidaknya proses amplifikasi.
2
Keragaman DNA Mikrosatelit Keragaman genetik merupakan perbedaan antara individu dalam suatu populasi, antara individu dalam populasi yang berbeda dalam spesies yang sama atau dalam spesies yang berbeda (Hendrick, 2000). Hasil analisis DNA mikrosatelit lokus ILSTS073, lokus ILSTS030 dan HEL013 masing-masing menghasilkan 13 alel, 10 alel dan 12 alel. Berikut ini disajikan keragaman DNA mikrosatelit setiap lokus pada sapi Katingan. Lokus ILSTS073 Lokus ILSTS073 menghasilkan 13 alel dengan macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, M dan N. Ukuran alel terendah sebesar 148 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 184 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad sesuai dengan ukuran alelnya. Contoh penentuan genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus ILSTS073 dapat dilihat pada Gambar 4.
140 pb
Keterangan : M = marker (*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan) (1a-8)= nomor sampel
Gambar 4. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS073 Macam alel yang dihasilkan berbeda antara populasi Buntut Bali, populasi Pendahara, dan populasi Tumbang Lahang. Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe untuk masing-masing populasi pada lokus ILSTS073 dapat dilihat pada Tabel 3.
16
Tabel 3. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus ILSTS073 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Populasi
Jumlah Alel
Alel dan Ukuran (pb)
Frekuensi Alel
Genotipe
Frekuensi Genotipe
Buntut Bali (n=13)
7
Pendahara (n=24)
10
C (156) D (158) E (160) G (162) H (166) I (168) M (178) A (148) B (152) D (158) E (160) G (162) H (166) I (168) J (170) K (174) N (180)
0,1154 0,1154 0,4231 0,1154 0,0385 0,1538 0,0385 0,0208 0,0208 0,0833 0,5208 0,1667 0,0208 0,0833 0,0417 0,0208 0,0208
Tumbang Lahang (n=30)
8
C (156) D (158) E (160) F (162) H (166) I (168) K (174) N (180)
0,0167 0,1167 0,5167 0,0833 0,1333 0,0833 0,0333 0,0167
DD EE CG EH EI II DM AB DD DE EE DG EG GG EH EI EJ GK GN CD DD DE EE DF EH FH HH EI EK FK HN
0,0769 0,3076 0,2308 0,0769 0,1538 0,0769 0,0769 0,0417 0,0417 0,0417 0,3333 0,0417 0,0417 0,0833 0,0417 0,1667 0,0833 0,0417 0,0417 0,0333 0,0333 0,0333 0,3333 0,1000 0,1333 0,0333 0,0333 0,1667 0,0333 0,0333 0,0333
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada lokus ILSTS073, populasi Buntut Bali, Pendahara dan Tumbang Lahang masing-masing menghasilkan 7, 10 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus ILSTS073 adalah alel E pada populasi Pendahara sebesar 0,5208 dan alel yang rendah adalah alel C dan N pada populasi Tumbang Lahang yaitu masing-masingsebesar 0,0167. Frekuensi genotipe tertinggi pada ketiga populasi yaitu genotipe EE dengan nilai frekuensi genotipe untuk populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang berturut-turut 0,3076, 0,3333 dan 0,3333.
17
Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe DD, EH, II, dan DM dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe AB, DD, DE, DG, EG, EH, GK, dan GN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0417, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe CD, DD, DE, EE, FH, HH, EK, FK, HN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333. Distribusi frekuensi alel pada lokus ILSTS073 dari masing-masing populasi disajikan pada Gambar 5.
60 50 40
Buntut Bali Pendahara
(%) 30
Tumbang Lahang 20 10 0
Macam Alel Gambar 5. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS073 Hasil distribusi alel pada Gambar 5 menunjukkan bahwa beberapa alel yang hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Pendahara dan Tumbang Lahang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali pada Lokus ILSTS073, seperti alel M yang hanya ditemukan pada populasi Buntut Bali serta alel C yang hanya terdapat pada populasi Buntut Bali dan Tumbang Lahang. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS073 disajikan pada Tabel 4.
18
Tabel 4. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS073 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Macam Alel
Frekuensi Alel
Macam Genotipe
Frekuensi Genotipe
A B C D E F G H I J K M N
0,0075 0,0075 0,0296 0,1045 0,5000 0,0373 0,0821 0,0746 0,0970 0,0149 0,0224 0,0075 0,0149
DD EE CG EH DM AB DE DG EG GG EJ GK GN EI II CD DF FH HH EK FK HN
0,0448 0,3284 0,0448 0,0896 0,0149 0,0149 0,0299 0,0149 0,0149 0,0299 0,0149 0,0149 0,0149 0,1642 0,0149 0,0149 0,0149 0,0149 0,0149 0,0149 0,0149 0,0149
Berdasarkan Tabel 4 di atas, hasil tersebut menunjukkan bahwa alel E merupakan alel tertinggi, alel E ini mendominasi alel lain yang berarti bahwa kemungkinan tetua dari sapi Katingan memiliki alel dominan E, seperti yang dinyatakan oleh Ciampolini et al. (1995) bahwa DNA Mikrosatelit banyak digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendukung pemuliaan ternak meliputi kegiatan dalam identifikasi ternak, penetapan asal-usul keturunan, penggalian sumber-sumber genetik, dan menjadi penanda molekuler penting dalam analisis genetik pada beberapa sapi. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa variasi genetik terjadi jika terdapat dua alel atau lebih dalam satu populasi (frekuensi alel lebih dari 1%). Perbedaan jumlah alel yang diperoleh disebabkan bangsa sapi yang digunakan (Bishop et al., 1994) dan perbedaan jumlah sampel yang digunakan (Winaya, 2000). Prahasta (2001) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah sampel yang digunakan maka akan semakin banyak kemungkinan alel yang muncul. Moxon dan Will (1999)
19
menyatakan bahwa keragaman mikrosatelit tersebut disebutkan perbedaan ukuran DNA mikrosatelit pada masing-masing lokus, sebagai hasil rekombinasi tidak seimbang saat replikasi DNA yang berakibat pada penarikan dan pengurangan jumlah nukleotida. Jumlah alel yang muncul tidak hanya dipengaruhi jumlah sampel yang digunakan, tetapi juga dipengaruhi oleh bangsa sapi dan sistem perkawinan yang dilakukan (Fikri, 2002). Menurut Utomo et. al. (2011), perkawinan pada sapi Katingan terjadi secara alam karena pejantan kebanyakan tersedia dalam kelompok sapi-sapi tersebut. Lokus ILSTS030 Lokus ILSTS030 menghasilkan sebanyak 10 alel dengan macam alel yaitu alel A, B, C, D, E, F, G, H, I dan J. Ukuran alel terendah sebesar 140 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 178 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad A hingga J sesuai dengan ukuran alelnya. Hasil sebagian genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus ILSTS030 dapat dilihat pada Gambar 6.
140 pb
Keterangan : M = marker (*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan) (21, 46-55)= nomor sampel
Gambar 6. Contoh Penentuan Genotipe Lokus ILSTS030 Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe pada masing-masing populasi pada lokus ILSTS030 dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah alel yang dihasilkan pada lokus ILSTS030 pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang masing-masing sebanyak 6, 8 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus ILSTS030 adalah alel G pada populasi Tumbang
20
Lahang sebesar 0,4000 dan alel terendah adalah alel J pada populasi Tumbang Lahang yaitu sebesar 0,0167. Tabel 5. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus ILSTS030 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Populasi
Jumlah Alel
Alel dan Ukuran (pb)
Frekuensi Alel
Genotipe
Frekuensi Genotipe
Buntut Bali (n=13)
6
B (146) D (150) E (152) F (154) G (156) I (160)
0,1154 0,1538 0,1538 0,0769 0,3077 0,1923
Pendahara (n=25)
8
B (146) C (148) D (150) E (152) F (154) G (156) H (158) I (160)
0,1000 0,0200 0,1400 0,2600 0,0800 0,2400 0,0600 0,1000
Tumbang Lahang (n=30)
8
A (140) B (146) C (148) D (150) E (152) F (154) G (156) H (158) I (160) J (178)
0,0333 0,0833 0,0333 0,1333 0,1000 0,0833 0,4000 0,0667 0,0500 0,0167
BB DD EE FF BG GG GI II BD DD BE CE EE FF BG GG EH HH BI GI II AB CC BD DD EE BF FF AG BG DG GG HH GI IJ
0,0769 0,1538 0,1538 0,0769 0,0769 0,2308 0,0769 0,1538 0,0400 0,1200 0,0400 0,0400 0,2000 0,0800 0,0800 0,1600 0,0400 0,0400 0,0400 0,0800 0,0400 0,0333 0,0333 0,0333 0,1000 0,1000 0,0333 0,0667 0,0333 0,0667 0,0333 0,3000 0.0667 0.0667 0.0333
21
Frekuensi genotipe yang tinggi dari populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang berturut-turut yaitu GG, EE dan GG dengan nilai frekuensi genotipe 0,2308, 0,2000, dan 0,3000. Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe BB, FF, BG dan GI dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe BD, BE, CE, EH, HH, BI dan II dengan nilai frekuensi genotipe 0,0400, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe AB, CC, BD, BF, AG, DG dan IJ dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333. Distribusi frekuensi alel pada lokus ILSTS030, disajikan pada Gambar 7.
40
(%) 30 20 10 0
Macam Alel Gambar 7. Distribusi Frekuensi Alel Lokus ILSTS030 Hasil distribusi alel pada Gambar menunjukkan bahwa beberapa alel yang hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Tumbang Lahang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara pada Lokus ILSTS030, seperti alel A dan J yang hanya ditemukan pada populasi Tumbang Lahang. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS030 disajikan pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus ILSTS030 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Macam Alel
Frekuensi Alel
Macam Genotipe
Frekuensi Genotipe
A B C D E F G H I J
0,0147 0,0956 0,0221 0,0140 0,1691 0,0809 0,3162 0,0518 0,0809 0,0007
DD EE AG BI AB CC DG BG GG IJ BD EH II BE BF HH BB FF GI CE
0,1176 0,1470 0,0147 0,0147 0,0147 0,0147 0,0147 0,0735 0,2352 0,0147 0,0294 0,0147 0,0441 0,0147 0,0147 0,0441 0,0147 0,0735 0,0735 0,0147
Hasil tersebut menunjukkan bahwa alel G merupakan alel tertinggi. Alel G ini mendominasi alel lainnya yang berarti bahwa kemungkinan salah satu tetua dari sapi Katingan yang beralel G ditemukan banyak pada sapi Katingan. Lokus HEL013 Lokus HEL013 menghasilkan sebanyak 12 alel dengan macam alel yaitu alel B, C, D, E, F, G, H, I, M, N, O dan P. Ukuran alel terendah sebesar 174 pb dan ukuran alel tertinggi yaitu 204 pb. Kesemua alel tersebut diberi tanda abjad sesuai dengan ukuran alelnya berturut-turut (174, 176, 178, 180, 182, 184, 186, 188, 196, 200, 202, dan 204 pb). Contoh penentuan genotipe dari pewarnaan perak sampel pada lokus HEL013 dapat dilihat pada Gambar 8.
23
140 pb
Keterangan : M = marker (*) = tidak dilakukan genotyping (bukan sapi Katingan), (45-56)= nomor sampel
Gambar 8. Contoh Penentuan Genotipe Lokus HEL013 Informasi mengenai macam alel, frekuensi alel, genotipe, dan frekuensi genotipe untuk masing-masing populasi pada lokus HEL013 dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah alel yang dihasilkan pada lokus HEL013 pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang masing-masing sebanyak 5, 10 dan 8 alel. Frekuensi alel tertinggi pada lokus HEL013 adalah alel F pada populasi Buntut Bali sebesar 0,4615 dan alel yang rendah adalah alel I dan L pada populasi Tumbang Lahang yaitu sebesar 0,0167. Frekuensi genotipe tertinggi dari populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang yaitu genotipe FN dengan nilai frekuensi genotipe 0,6923, 0,5909, dan 0,7000. Frekuensi genotipe yang rendah untuk populasi Buntut Bali yaitu genotipe DF, FF, GG dan GO dengan nilai frekuensi genotipe 0,0769, frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Pendahara yaitu genotipe BB, CF, FF, EG, FH, GI dan EL dengan nilai frekuensi genotipe 0,0455, sedangkan untuk frekuensi genotipe yang rendah pada populasi Tumbang Lahang yaitu genotipe EE, GI, EL dan GN dengan nilai frekuensi genotipe 0,0333.
24
Tabel 7. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe Lokus HEL013 pada Populasi Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Populasi
Jumlah Alel
Alel dan Ukuran (pb)
Frekuensi Alel
Genotipe
Frekuensi Genotipe
Buntut Bali (n=13)
5
Pendahara (n=22)
10
0,0769 0,0769 0,0769 0,6923 0,0769 0,0455 0,0455 0,0455 0,0455 0,0455 0,0455 0,0455 0,5909 0,0909
8
0,0385 0,4615 0,1154 0,3462 0,0385 0,0455 0,0227 0,0455 0,3864 0,0909 0,0227 0,0227 0,0227 0,2955 0,0455 0,0500 0,3500 0,0833 0,0333 0,0167 0,0167 0,0500 0,0333
DF FF GG FN GO BB CF FF EG FH GI EL FN GO
Tumbang Lahang (n=30)
D (178) F (182) G (184) N (200) O (202) B (174) C (176) E (180) F (182) G (184) H (186) I (188) L (196) N (200) O (202) E (180) F (182) G (184) H (186) I (188) L (196) N (200) P (204)
EE GI EL FN GN GO HP
0,0333 0,0333 0,0333 0,7000 0,0333 0,1000 0,6667
Distribusi frekuensi alel lokus HEL013, disajikan pada Gambar 9. 50 40 (%) 30 20 10 0
Macam Alel Gambar 9. Distribusi Frekuensi Alel Lokus HEL013
25
Hasil distribusi alel pada Gambar 8 menunjukkan bahwa beberapa alel hanya muncul pada populasi tertentu. Beberapa alel yang ditemukan pada populasi Tumbang Lahang ada yang tidak ditemukan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara pada lokus HEL013, seperti alel P yang hanya ditemukan pada populasi Tumbang Lahang serta alel D yang hanya ditemukan pada populasi Buntut Bali. Informasi mengenai frekuensi masing-masing alel dan genotipe untuk lokus ILSTS030 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Macam Alel dan Genotipe serta Frekuensi Alel dan Genotipe pada Lokus HEL013 pada Sapi Katingan di Kalimantan Tengah Macam Alel
Frekuensi Alel
Macam Genotipe
Frekuensi Genotipe
B C D E F G H I L N O P
0,0154 0,0077 0,0077 0,0385 0,3846 0,0923 0,0231 0,0154 0,0154 0,3385 0,0462 0,0154
FN EG CF HP GG FF GI FH EE DF GO EL BB GN
0,6769 0,0154 0,0154 0,0154 0,0154 0,0376 0,0154 0,0154 0,0154 0,0154 0,0923 0,0376 0,0154 0,0154
Berdasarkan Tabel 8 di atas, hasil tersebut menunjukkan bahwa alel F dan alel N merupakan alel tertinggi, kedua alel ini mendominasi alel lainnya yang berarti bahwa kemungkinan salah satu tetua dari sapi Katingan yang beralel F atau beralel N ditemukan banyak pada sapi Katingan. Nilai Heterozigositas Nilai heterozigositas (ĥ) tertinggi ditemukan pada populasi Tumbang Lahang yaitu pada lokus HEL013 (0,9667) dan terendah (0,1538) ditemukan pada populasi Buntut Bali yaitu pada lokus ILSTS030. Rataan Heterozigositas (Ĥ) dari ketiga lokus menunjukkan bahwa sapi Katingan yang berasal dari populasi Tumbang Lahang mempunyai keragaman genetik yang sedikit lebih tinggi (0,6333) dibandingkan sapi Katingan yang berasal dari populasi Buntut Bali (0,5128) dan Pendahara (0,6063).
26
Prahasta (2001) menyatakan bahwa semakin banyak sampel yang digunakan pada suatu lokus maka semakin besar nilai heterozigositas yang diperoleh, Nilai heterozigositas dari ketiga primer yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Heterozigositas sapi Katingan pada Ketiga Populasi (ĥ) pada Populasi Lokus
Buntut Bali
Pendahara
Tumbang Lahang
ILSTS073
0,5385
0,5417
0,6000
ILSTS030
0,1538
0,3600
0,3333
HEL013 Rataan Heterozigositas (Ĥ)
0,8462
0,9091
0,9667
0,5128
0,6036
0,6333
Nei (1987) menyatakan bahwa nilai heterozigositas (ĥ) merupakan cara paling akurat untuk mengukur variasi genetik. Menurut Takezaki dan Nei (1996), untuk mengukur keragaman genetik, rataan heterozigositas dari lokus-lokus mikrosatelit antara 0,3 dan 0,8 dalam populasi, dengan demikian sudah sesuai dengan kategori tersebut. Tingkat heterozigositas dapat dipengaruhi oleh ukuran atau jumlah populasi (Nei, 1987). Derajat heterozigositas dapat diperoleh dari rataan persentase lokus heterozigot tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot di dalam populasi (Nei dan Kumar, 2000). Keragaman genetik pada tingkat DNA dapat diketahui dengan melihat nilai heterozigositas dan frekuensi alel. Rataan Heterozigositas (Ĥ) dari masing-masing lokus dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Heterozigositas (Ĥ) dari Masing-masing Lokus No.
Lokus
Rataan Heterozigositas (Ĥ)
1
ILSTS073
0,5672
2
ILSTS030
0,3088
3
HEL013
0,9231
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa raatan heterozigositas (Ĥ) tertinggi terdapat pada lokus HEL013 dan terendah terdapat pada lokus ILSTS030.
27
Rataan
heterozigositas
(Ĥ)
dari
heterozigositas
yang
tinggi
pada
subpopulasi/populasi menurut Abdullah (2008) menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut mengandung alel-alel sapi lain. Hal ini dimungkinkan karena di lokasi Tumbang Lahang telah dikembangkan sapi jenis Zebu, PO, Bali bahkan juga FH melalui berbagai program, baik dari Pemerintah maupun dari misionaris. Menurut Utomo et. al. (2011), misionaris bekerja di Tumbang Lahang diantaranya pada saat itu untuk membina masyarakat lokal guna melakukan kegiatan pertanian menetap. Dalam rangka mendukung kegiatan pertanian tersebut dikembangkan pula sapi-sapi (sapi Zebu) yang dapat membantu untuk mengolah lahan. Sapi-sapi introduksi tersebut ada yang dikawinsilangkan dengan sapi lokal setempat. Adanya kawin silang menimbulkan segregasi gen-gen sapi-sapi tersebut yang beragam dan meluas pada populasi sapi Katingan yang ada di Tumbang Lahang, dan membentuk performan sapi Katingan populasi Tumbang Lahang seperti sekarang ini. Menurut Karthickeyan et al. (2009), tidak adanya kegiatan seleksi seperti yang ada di lapangan,memunculkan alel observasi yang tinggi dimana keragaman genetiknya juga akan tinggi. Keragaman genetik ternak di Indonesia khususnya bangsa sapi telah banyak diteliti pada beberapa bangsa sapi, dan hasilnya menyatakan bahwa bangsa sapi tersebut bersifat polimorfik seperti yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan Heterozigositas (Ĥ) pada Beberapa Bangsa Sapi di Indonesia Lokus
(Ĥ)
Sapi Pesisir
ILSTS006
0,71
Harmayanti (2004)
Sapi Katingan
ILSTS029
0,66
Purwanti (2011)
Sapi Bali
16 lokus*
0,33
Winaya et al. (2007)
Sapi Madura
16 lokus*
0,31
Winaya et al. (2007)
Sapi Katingan
HEL013
0,92
Hasil Penelitian
Bangsa Ternak
Referensi
Keterangan : (*) Terdiri dari BM2113, CSSM66, ETH3, ETH10, ETH152, ETH185, ETH225, HEL1, HEL9, ILSTS005, INRA023, INRA032, INRA035, INRA037, HAUT24
Crow (1986) menyatakan bahwa sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal memiliki peluang yang semakin besar untuk terekspresi ketika derajat heterozigositas semakin menurun yang diakibatkan derajat inbreeding yang tinggi dan fragmentasi populasi. Tingginya keragaman genetik juga menandakan bahwa
28
sifat-sifat yang dimiliki masih sangat beragam, baik sifat yang unggul maupun yang jelek (Harmayanti, 2004). Jarak Genetik Berdasarkan hasil penelitian sapi Katingan pada populasi Buntut Bali, Pendahara, dan Tumbang Lahang diperoleh hasil bahwa populasi Pendahara memiliki jarak genetik yang lebih dekat dengan populasi Buntut Bali, sedangkan populasi Tumbang Lahang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan populasi Buntut Bali dan Pendahara. Jarak genetik dari ketiga populasi sapi Katingan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 12. Tabel 12. Jarak Genetik Sapi Katingan Populasi Tumbang Lahang, Buntut Bali, dan Pendahara Berdasarkan Metode UPGMA Populasi
Jarak Genetik antar Populasi Tumbang Lahang
Pendahara
Tumbang Lahang
0,0000
Pendahara
0,0506
0,0000
Buntut Bali
0,0363
0,0099
Buntut Bali
0,0000
Berdasarkan pohon genetik sapi Katingan (Gambar 10), sapi Katingan pada populasi Buntut Bali dan Pendahara memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat, sedangkan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh dengan populasi Buntut Bali dan Pendahara. Hasil pada penelitian ini sama dengan kondisi di lapang yang sebenarnya. 2,1712 0,4940 1,6772 0,4940
Gambar 10. Pohon Genetik Sapi Katingan Sub Populasi Tumbang Lahang, Buntut Bali, dan Pendahara Berdasarkan Metode UPGMA
29
Jika dilihat pada peta lokasi pengambilan sampel sapi Katingan, jarak lokasi pengambilan sampel sapi Katingan populasi Buntut Bali berdekatan dengan populasi Pendahara. Hal ini dapat menyebabkan jarak genetik sapi Katingan pada populasi Buntut Bali berdekatan dengan populasi Pendahara karena sistem pemeliharaan ekstensif pada sapi Katingan dapat menyebabkan perkawinan sapi Katingan antara kedua populasi. Begitu juga dengan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang, kemungkinan sapi Katingan pada populasi Tumbang Lahang belum terjadi perkawinan dengan sapi Katingan yang ada di populasi Buntut Bali dan populasi Pendahara, sehingga jarak genetiknya berjauhan.
30