eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (3): 747-760 eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
EFEKTIVITAS KEPUTUSAN DSB-WTO DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INDONESIA-AMERIKA SERIKAT (STUDI KASUS: WT/DS406 UNITED STATES-MEASURES AFFECTING THE PRODUCTION AND SALE OF CLOVE CIGARETTES) HARMAWATI1 NIM. 0902045175 Abstract: The Effectiveness of Judgment of Dispute Settlement Body-World Trade Organization In Trade Dispute Resolution of Republic of Indonesia-United States (Case Study: WT/DS406 United States-Measures Affecting The Production and Sale Of Clove Cigarettes), under guidance of Rahmah Daniah, S.IP, M.Si as first lecturer advisor and Aisyah, S.IP, MA as second lecturer advisor, International Relations Department, Social and Political Sciences, Mulawarman University, 2014. The result showed that DSB-WTO as a Dispute Settlement Body among WTO’s member as organization could solve all trade dispute effectively, and than the act of the DSU-WTO axplicitly describes how should DSB form a Panel which is have a role in the process to make the final decision of the DSB. But in the trade disputes in the Republic of IndonesiaUnited States, the judgment result of the Dispute Settlement Body has becomes ineffective and the legality of the legislation Dispute Settlement Understanding become absurd, because the US does not doing the final decision DSB with not providing compensation to Indonesia over the losses experienced during the US regulations applied. External environment such as the Strategic Partnership among Republic of Indonesia and the United States, also give effect to Indonesia respone based on did not Dispute Settlement Body’s recommendations tackle by the United States within the time limit which has been specified. In this case, the regulation of smoking issued United States tend have been misused to find cigarettes weaknesses that not necessary and other instrument to protect the domestic market. Keywords: Effectifity, WT/DS 406
1
Mahasiswa Program S1Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman (
[email protected], 2014).
747
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
Pendahuluan Amerika Serikat merupakan mitra dagang keempat terbesar Indonesia sesudah Jepang, Cina dan Singapura. Perkembangan kerjasama perdagangan RI-AS banyak mengalami kemajuan, Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas utama ke AS, seperti kulit dan produk pakaian, makanan olahan dan kerajinan, namun juga berupaya untuk mengembangkan ekspor industri tembakau, khususnya rokok kretek, yan g nilai ekspornya masih terbilang kecil, terutama kenegara-negara Eropa dan Amerika. (www.deplu.go.id) Kerjasama Indonesia-AS dibidang perdagangan rokok kretek pada awalnya berjalan sangat baik. Pangsa pasar ekspor rokok kretek Indonesia mencapai US$ 500 Juta atau sekitar Rp 4,26 Triliun per tahun dari total produksi, sepertiganya diekspor ke AS (http://mobile.kontan.co.id). Namun kerjasama tersebut mengalami kendala yang cukup signifikan. Kendala tersebut berawal ketika dikeluarkannya peraturan publik the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009, Publik Law 111-31 oleh pemerintah AS. Pada tanggal 22 Juni 2009, secara resmi Presiden Barrack Obama bersama Komite Senat Amerika Serikat, menyetujui dan mengesahkan kebijakan tersebut, pemberlakuan tentang pencegahan dan pengurangan jumlah perokok muda di AS. ( http://antaranews.com) Kebijakan AS tersebut mulai efektif pada tanggal 22 September 2009 yang dikeluarkan oleh lembaga pengawasan makanan dan obat-obatan FDA BILL AS. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok muda dikalangan masyarakat AS dengan melarang produksi dan perdagangan rokok, termasuk di dalamnya rokok kretekdan rokok beraroma buah-buahan, yang dinyatakan membuat kecanduan yang fatal dan dapat merusak kesehatan or ganorgan vital manusia. Atas dasar itulah, FDA melarang peredaran rokok kretek di Amerika Serika karena dianggap akan merusak eksistensi generasi muda. FDA BILL AS mengemukakan bahwa tak kurang dari 36.000 generasi muda umur 1217 tahunadalah perokok, dan 1.100 diantaranya menjadi pecandu rokok yang memiliki rasa (flavors) yang termasuk didalamnya adalah rokok kretek. (http:erabaru.net) Salah satu isi dari kebijakan FDA BILL Pasal 907 A yang berbunyi: “Cigarettes with flavor such as menthol and clove are considered more dangerous than cigarettes without cloves and are not classified as tobacco and menthol flavor just like the original product. United States likes Marlboro” “Rokok dengan flavor seperti menthol dan cengkeh dianggap lebih berbahaya dibandingkan rokok tanpa cengkeh dan yang tidak dikategorikan sebagai flavor hanyalah tembakau dan menthol seperti rokok Marlboro produk asli Amerika Serikat” (www.org.go.id) Pada Pasal 907 dalam Food and Drug Administration (FDA) BILL tersebut menyatakan larangannya bila dalam rokok terdapat flavor pada produk rokok, hal ini dinyatakan untuk menekan kebiasaan merokok pada anak-anak dibawah umur. Padahal dari data yang diperoleh oleh Indonesia, konsumsi rokok menthol dikalangan anak muda AS adalah sebesar 43 persen, atau sekitar ¼ persen dari
748
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
keseluruhan rokok yang dikonsumsi di Amerika Serikat. Sebaliknya, konsumsi rokok kretek hanya mencapai kurang dari 1 persen, lebih tepatnya 0,09 persen dari keseluruhan konsumsi rokok di Amerika Serikat, dan komsumsi rokok pada anak muda hanya berkisar 0,05 persen. (www.neraca.co.id) Berdasarkan bentuk perlakuan diskriminatif AS tersebut, maka Indonesia menempuh berbagai cara untuk memperoleh kesepakatan bersama untuk menghilangkan diskriminasi perdagangan tersebut, yang menyebabkan kerugian bagi pihak Indonesia. Sistem dan prosedur penyelesaian sengketa dalam ketentuan undang-undang DSU-WTO dalam proses penyelesaian sengketa dagang rokok kretek Indonesia-Amerika Serikat dengan melalui proses berikut: (www.wto.org) Pada tanggal 7 April 2010, Indonesia meminta konsultasi dengan AS sehubungan dengan ketentuan the Family Smoking Prevemtion and Tobacco Control Act tahun 2009 yang melarang penjualan rokok kretek di AS. Konsultasi tersebut kemudian dinyatakan gagal karena AS tetap tidak akan merubah kebijakannya. Tidak adanya kesepakatan yang terjadi diantara kedua belah pihak, maka pada tanggal 22 Juni 2011 DSB menangguhkan pembentukan Panel yang diajukan oleh Indonesia. Dalam gugatan awal, Indonesia mendalilkanbahwa AS telah melanggar Pasal III:4 dan XX GATT 1944, Pasal 2.1, 2.2, 2.5, 2.8, 2.9, 2.10, 2.12, dan 12.3 Technical Barriers to Trade Agreement (TBT), dan Pasal 2, 3, 5 dan 7 Sanitary and Phytosanitary Agreement (SPS). Pada tanggal 2 September 2011, Panel WTO telah mengeluarkan putusannya dengan mengabulkan dari gugatan pertama Indonesia. Panel memutuskan bahwa ketentuan (section) 907(a)(1)(A) Amerika Serikat tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 2.1, 2.9.2, 2.12 TBT. Pemerintah AS yang tidak setuju terhadap putusan panel yang dikeluarkan DSB pada tanggal 2 September 2011, melakukan banding ke WTO pada tanggal 5 Januari 2012. Amerika Serikat mengajukan banding atas keputusan panel yang menyatakan bahwa AS telah melanggar Pasal 2.1 TBT Agreement. Oral Heading di Appelate Body diselenggarakan pada tanggal 9 Februari 2012 untuk menguji kembali interpretasi hukum yang termaktub dalam laporan panel, dan bukan untuk memeriksa novum (bukti) baru. Laporan Appelate Body menyatakan dalam putusannya bahwa AS telah melakukan pelanggaran mengenai ketentuan Perjanjian WTO dalam hal ini the Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement pada pasal 2.1 TBT Agreement mengenai less favourable treatment atau diskriminasi dagang, danpasal 2.12. mengenai Reasonable Interval terhadap waktu sosialisasi dan penetapan kebijakan. Appelate Body merekomendasikan agar Amerika Serikat merubah kebijakannya mengenai larangan rokok sesuai dan sejalan dengan ketentuan WTO, khususnya ketentuan Perjanjian TBT. Keputusan tersebut diberlakukan kepada AS terhitung sejak Juli 2012-Juli 2013.
749
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
Landasan Teori dan Konseptual Teori Rezim Internasional Salah satu rejim internasional yang masih aktif dalam menangani masalah perdagangan dunia adalah rezim Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal degan nama World Trade Organization (WTO) yang telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu organisasi internasional yang paling penting dan berpengaruh dalam hubungan ekonomi dan pembangunan antar bangsa. Organisasi yang beranggotakan sebagian besar negara di dunia ini berperan dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan pembangunan ekonomi dan standard hidup negara-negara anggotanya. Menurut Adolf Warouw, Ketua Konsentrasi Hukum Perdagangan Internasional, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, sistem perdagangan dalam kerangka WTO ini merupakan rule-based system degan perjanjian-perjanjian multilateral yang disepakati bersama yang sifatnya terintegrasi dan single undertaking. Termasuk didalamnya adalah adanya satu kesatuan dalam sistem penyelesaian sengketa dengan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan organisasi internasional lainnya, oleh karena itu hukum dasar WTO dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu: 1. 2. 3. 4.
Peraturan mengenai non-diskriminasi Peraturan mengenai akses pasar. Peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil. Peraturan yang mengenai hubungan antara liberalisasiperdagangannilai-nilai serta kepentingan social lainnya, dan 5. Peraturan mengenai harmonisasi perangkat hukum nasional dalam bidangbidang khusus. Selain kelima kategori diatas yang merupakan acuan dari hukum WTO, ada pula sumber utama dari hukum WTO yaitu WTO Agreement yang berisi tentang lampiran-lampiran mengenai perjanjian internasional yang merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO Agreement. (Peter Van Boscche.2012.87-90). Beberapa dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah:
1.
Perjanjian-perjanjian multilateral atas perdagangan barang (IA), terdiri dari: General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Perjanjian umum mengenai Tarif dan Perdagangan 1994 yang selanjutnya disebut GATT 1994).
2.
Agreement on Technical Barriers to Trade (Perjanjian mengenai HambatanHambatan Teknis dalam perdagangan) selanjutnya disebut TBT Agreement. TBT Agreement tersebut merupakan ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan berupa peraturan tekhnis, standar produk dan prosedur penilaian kepatuhan teknis suatu produk atau barang yang akan diperdagangkan dalam konteks perdagangan internasional.
3.
Peraturan-peraturan mengenai non-diskriminasi yang terpenting dalam WTO Agreement yang berkaitan dengan sengketa Indonesia-Amerika Serikat adalah:
750
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
1). Pasal I GATT 1994 ( kewajiban perlakuan MFN atas barang) 2). Pasal III GATT 1994 (kewajiban perlakuan nasional atas barang) Konsep Efektivitas Efektivitas merupakan ukuran dari suatu keberhasilan organisasi didalam mencapai tujuan yang diterapkan sebelumnya. Georgopoulos dan Tannenbaum dalam buku Richard M.Steers mengungkapkan bahwa rumusan keberhasilan organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran organisasi tetapi juga mekanismenya mempertahankan diri dan mengejar sasarannya. Dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuantujuan organisasi. Organisasi merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari pola-pola aktifitas kerjasama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh aktoraktor individu sebagai subjek yang menjalankan aktifitas kerjasama tersebut untuk mencapai suatu tujuan. Organisasi dalam hal ini, DSU-WTO yang merupakan badan banding yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa dagang antara anggota WTO yang disebut DSB. Kinerja atau pola-pola aktifitas yang dilakukan aktor-aktor organisasi yang menjadi bagian di dalamnya selalu dijadikan bahan evaluasi dan faktor utama yang menentukan interprestasi sebuah organisasi. Dalam hal ini, evaluasi dan interprestasi terhadap kinerja dari sebuah organisasi diukur melalui berhasil atau tidaknya sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya yang berkaitan dengan aspek fisiologisnya. Menurut Richard M.Steers, faktor-faktor pendukung keberhasilan akhir suatu organisasi dapat ditemukan dalam empat kelompok umum, yaitu : Karakteristik Organisasi, terdiri dari struktur dan teknologi organisasi yang dapat mempengaruhi efektifitas organisasi. Struktur meliputi faktor-faktor seperti luasnya desentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar-pribadi , dan seterusnya. Teknologi berkaitan dengan struktur, yang mana teknologi berinterksi dengan struktur dan pengaruhnya terhadap keberhasilan organisasi. Jika hubungan struktur dan teknologi sudah harmonis, yaitu keduanya dapat bekerjasama, maka pekerja akan sedikit saja memenuhi masalah dalam usaha mencapai tujuan bersama. Karakteristik Lingkungan, berpusat pada lingkungan pekerjaan suatu organisasi ang terdiri dari lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh pada efektifitas. Lingkungan eksternal yaitu semua kekuatan yang timbul diluar batasbatas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan dialam organisasi seperti kodisi ekonomi pasar dan peraturan pemerintah sehingga timbul suatu keharusan untuk memonitor perubahan lingkungan secara terus-menerus dan menyesuaikan desain, teknologi sasaran dan tingkah laku organisasi menanggapi perubahan-perubahan itu. Lingkunan internal meliputi atribut lingkungan kerja yang mempunyai hubungan dari segi-segi tertentu dari efektivitas.
751
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
Karekterisik Pekerja, faktor ketiga yang terpenting dari efektivitas adalah pekerja. Perhatian harus diberikan kepada peranan perbedaan individual antara para pekerja dalam hubungnnya dengan efektivitas. Pekerja yang berlainan mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga, dalam menghadapi perbedaan tersebut diperlakukan rasa keterikatan dan prestasi untuk keefektivitasan. Tanpa ketertarikan dan prestasi, efektivitas tidak mungkin tercapai. Kebijakan dan praktek Manajemen, terdapat beberapa mekanisme khusus untuk meningkatkan efektivitas organisasi dalam faktor ini adalah penetapan tujuan strategi, pencarian dan pemanfaatan sumber daya, lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, adaptasi dan inovasi pengaruh. DSB-WTO ketika menyelesaikan suatu sengketa akan mengeluarkan suatu hasil keputusan berupa laporan yang mana baik pihak penggugat maupun tergugat wajib untuk melaksanakan hasil laporan tersebut dengan pengimplementasikan dalam waktu yang diatur sehingga memberikan hasil yang dapat menormalisasikan hubungan perdagangan antar negara. DSB-WTO dapat memberikan tindakan-tindakan retaliasi terhadap tergugat yang tidak melaksanakan keputusan. Metodologi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dimana dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan efektivitas keputusan DSB dalam menyelesaikan sengketa dagang Indonesia-Amerika Serikat. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder.Teknik pengumpulan data sendiri melalui pengambilan data langsung dari sumbernya dan library research yaitu berdasarkan dari buku dan media internet. Sedangkan untuk teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan data kualitatif dengan metode analisis dan kajian sejarah yaitu menjelaskan dan menggambarkan data berdasarkan sumber-sumber tertulis yang dipercaya. Hasil Penelitian Sengketa yang timbul dari suatu kerjasama perdagangan internasional, pada dasarnya membawa dampak yang cukup signifikan bagi negara yang melakukan kerjasama tersebut. Begitu pula sengketa dagang rokok kretek antara IndonesiaAS, dampak yang paling signifikan dirasakan oleh Indonesia ketika AS mengeluarkan kebijakan regulasi The Tobacco Control Act 907 pada tanggal 9 Juni 2009 dan efektif diberlakukan pada tanggal 22 September 2009. Indonesia yang tidak begitu saja menerima kebijakan AS tersebut tentu saja melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan hambatan perdagangan non-tariff AS tersebut. Adapaun proses penyelesaian sengketa dagang tersebut dijabarkan sebagai berikut: Proses Penyelesaian Sengketa Dagang Indonesia-Amerika Serikat Melalui DSB-WTO Kebijakan Tobacco Control Act yang dikeluarkan oleh FDA BILL AS, ternyata membawa dampak yang cukup signifikan bagi ekspor rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat. Dampak tersebut berupa kerugian yang di alami Indonesia yang
752
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
timbul akibat dari larangan ekspor rokok kretek yang mencapai US$ 200 juta per tahun. Selain itu, dampak kebijakan Amerika Serikat tersebut juga dirasakan oleh petani tembakau Indonesia, karena mengurangi permintaan tembakau dalam negeri sebagai bahan utama dari pembuatan rokok. (www.neraca.co.id). Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur suatu regulasi teknis yang dibuat oleh suatu negara, tidak boleh memperlakukan produk domestik negara tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan produk impor sejenis. Sebelum melakukan analisa terhadap ada atau tidaknya pelanggaran Tobacco ControlAct terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel terlebih dulu memeriksa apakah TobaccoControl Act termasuk ke dalam definisi “technical regulation” sebagaimana yang diatur didalam Annex 1.1 TBT Agreement. Annex 1.1 TBT Agreement berbunyi: "Document which lays down product characteristics or their related processes and productionmethods, including the applicable administrative provisions, with which compliance ismandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging,marking or labelling requirements as they apply to a product, process or production method." “Dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau metode produksi yang terkait, termasuk ketentuan administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau secara khusus berkenaan dengan terminologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti digunakan pada produk, metode proses atau metode produksi.” Rokok kretek dan rokok menthol dapat dikategorikan sebagai produk “sejenis”, karena secara fisik kedua produk tersebut sama. Keduanya merupakan rokok yang dilinting dengan kertas dan digunakan untuk menghisap tembakau. Aroma dan rasa kedua jenis rokok tersebut juga sama-sama dapat menimbulkan ketergantungan terhadap perokok. Selain itu, klasifikasi tariff keduanya pun sama. Maka dari itu, unsur kedua dari Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu bahwa kedua produk yang disengketakan merupakan produk yang “sejenis” sudah terpenuhi. Unsur yang terakhir agar suatu regulasi teknis disebut dinyatakan melanggar Pasal 2.1 TBT Agreement adalah ketika regulasi tersebut memperlakukan produk impor tidak sama dengan produk ekspor. Meskipun pada hasil persidangan pertama Panel hanya mengabulkan gugatan pertama Indonesia, namun pada persidangan kedua setelah adanya banding yang diajukan oleh Amerika Serikat, Panel justru mengabulkan gugatan kedua Indonesia, yaitu Pasal 2.2 TBT Agreement, mengenai tidak diperlukannya pelarangan terhadap peredaran rokok kretek. Panel memutuskan bahwa Indonesia dapat membuktikan jika pelarangan rokok kretek lebih bersifat menghambat perdagangan dikarenakan adanya persaingan dagang, dan bukan untuk menguragi jumlah perokok muda.
753
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
Selain mengabulkan dua pasal di atas, Panel juga mengabulkan gugatan Indonesia yang berkaitan dengan Reasonable Interval Pasal 2.12 TBT Agreement, yaitu tidak adanya waktu sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat berkenaan dengan waktu penerapan kebijakannya. Padahal dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa, apabila negara anggota akan menerapkan kebijakannya, maka seharusnya ada waktu yang wajar dalam mensosialisasikan kebijakan yang akan diterapkan sehingga kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan dampak yang signifikan bagi anggota lainnya. Pelaksanaan Keputusan Berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22 DSU-WTO Sengketa dagang Indonesia-AS memang berlangsung sangat alot, berbagai forum pertemuan telah dilaksanakan antar kedua belah pihak, mulai dari konsultasi bilateral sampai pengajuan banding ke pengadilan tertinggi DSB-WTO. Namun sampai keputusan final DBS dikeluarkan, kesepakan yang terbaik bagi kedua negara tersebut belum tercapai secara klimaks. Oleh karena itu, untuk memastikan agar pihak yang bersengketa khususnya pihak yang dikalahkan melaksanakan rekomendasi atau putusan DSB, maka Pasal 21 Ayat 6 DSU menegaskan bahwa: (www.wto.org) “The DSB shall keep under surveillance the implementation of adopted recommendations or rulings. The issue of implementation of the recommendations or rulings may be raised at the DSB by any Member at any time following their adoption. Unless the DSB decides otherwise, the issue of implementation of the recommendations or rulings shall be placed on the agenda of the DSB meeting after six months following the date of establishment of the reasonable period of time pursuant to paragraph 3 and shall remain on the DSB's agenda until the issue is resolved. At least 10 days prior to each such DSB meeting, the Member concerned shall provide the DSB with a status report in writing of its progress in the implementation of the recommendations or rulings.” “BPS harus tetap memantau pelaksanaan rekomendasi atau keputusan BPS yang diterima. Masalah pelaksanaan rekomendasi atau keputusan dapat diajukan kepada BPS oleh setiap Anggota kapan saja setelah penerimaan mereka terhadap rekomendasi atau keputusan BPS tersebut. Kecuali dengan cara lain diputuskan BPS, masalah pelaksanaan rekomendasi atau keputusan harus dimasukkan ke dalam agenda pertemuan BPS sesudah enam bulan setelah tanggal penetapan jangka waktu yang wajajar menurut ayat 3 dan akan tetap berada dalam agenda BPS sampai masalah tersebut diatasi dengan baik. Sekurang-kurangnya 10 hari sebelum setiap pertemuan BPS tersebut, Anggota yang bersangkutan harus memberikan BPS laporan tertulis yang melaporkan perkembangan pelaksanaan rekomen dasi atau keputusan BPS.” DSB terus mengawasi pelaksanaan rekomendasi atau putusan. Apabila pihak yang tergugat (AS ) tidak dapat melaksanakan rekomendasi atau putusan dalam waktu yang ditentukan, maka pihak tergugat (Indonesia) melakukan negosiasi untuk menentukan kompensasi yang dapat diterima. (Huala Adolf, 2004:149).
754
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
Bila juga tidak dapat melaksanakannya, dalam tempo yang diberikan tersebut, harus dilakukan lagi perundingan untuk menetapkan secara bersama suatu kompensasi. Bila tidak mencapai persetujuan tentang kompensasi tersebut, pemohon dapat meminta hak dari DSB untuk menangguhkan konsesi-konsesi atau kewajiban-kewajiban negara yang dinyataakn bermasalah tersebut. Dan meminta hak untuk melakukan tindakan balasan. Hak ini biasanya dijamin karena konsesus yang diminta ditolak oleh tergugat. (Syahmin AK. 2006:261) Jika kompensasi yang dirundingkan tidak berhasil disepakati 20 hari setelah habisnya waktu yang telah ditentukan, maka pihak penggugat dalam sengketa tersebut dapat meminta DSB untuk menangguhkan konsesi atau kewajiban lainnya terhadap pihak tergugat. Dalam proses tersebut DSB memberikan otorisasi untuk membatalkan atau menangguhkan konsesi tersebut kapada pihak tergugat dalam waktu 30 hari setelah waktu implementasi yang disepakati telah berakhir. Jika terdapat sengketa mengenai tingkat pembatalan konsesi yang akan diambil, hal tersebut dapat diserahkan kepada arbitrase yang menentukan besaran pembatalan konsesi yang dapat diterapkan yang seimbang dengan kerugian yang didapat dari para penggugat akibat tindakan yang diambil oleh pihak tergugat. (Kartadjoemena, 2002:272) Keputusan arbitrase merupakan keputusan final yang mengikat pihak yang bersangkutan. Bentuk retaliasi (suspension of obligations) cara pelaksanaannya dilakukan melalui pencabutan konsesi, yang berfungsi sebagai instrument retaliasi yang dilakukan pada sektor dimana pelanggaran pertama terjadi dalam kasus diserahkan kepada DSB. DSU merumuskan prosedur yang harus ditempuh. Penangguhan konsesi harus dikenakan pada sektor yang ada dalam sengketa dan dalam pertimbangan panel. Apabila pelaksanaan tersebut tidak efektif, maka penangguhan konsesi dapat diterapkan pada sektor lain, tetapi masih dalam perjanjian yang sama. Jika hal ini masih efektif untuk diterapkan, penangguhan konsesi dapat diterapkan terhadap sektor lain yang berada dalam cakupan perjanjian lain. Efektifitas Keputusan DSB-WTO Dalam Penyelesaikan Sengketa Dagang Indonesia-Amerika Serikat Berdasarkan Legally Binding Hasil akhir keputusan DSB menyatakan bahwa AS terbukti bersalah atas pelanggaran perdagangan berupa hambatan non-tariff yang dikenakan untuk produk rokok Indonesia, khususnya rokok kretek, dan mengakibatkan Indonesia mengalami kerugian sebesar US$ 200 juta per tahun. Berdasarkan keputusan akhir DSB tersebut, maka hasil sidang dimenangkan oleh Indonesia dimana AS harus membayar denda atau kompensasi atau mencabut kebijakannya. Amerika Serikat sebagai negara tergugat tidak serta-merta melaksanakan hasil keputusan DSB-WTO tersebut, padahal DSB telah memberikan tenggang waktu yang cukup lama (Juli 2012-Juli 2013) bagi AS untuk melakukan perubahan pada regulasinya. Selain itu, kemenangan Indonesia telah tercacat dalam agenda Recourse to Article 22.2 of DSU by Indonesia atas kasus United States “Measures Affecting the Production of Clove Cigarettes (DS 406)”. Tentu saja hal ini
755
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
menjadi masalah baru bagi Indonesia, karena AS tidak mematuhi perintah ahkir DSB, sehingga ekspor rokok kretek Indonesia ke AS masih menghadapi kendala. DSB (Dispute Settlement Body) yang merupakan Organ Penyelesaian Sengketa di WTO, tentu saja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menangani masalah perdagangan, terutama yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dagang negara anggota WTO. Keberadaan DSB sebagai Organ Penyelesaian Sengketa WTO sangat membantu negara anggota WTO yang terlibat sengketa dagang. Salah satunya adalah sengketa dagang antara Indonesia-AS, dimana dalam kasus tersebut DSB telah memberikan waktu yang wajar kepada negara penggugat dan tergugat untuk secara bertahap menjalankan dan mengikuti proses penyelesaian sengketa sesuai dengan prosedur hukum WTO. Tahapan penyelesaian sengketa yang diawali dengan proses konsultasi Indonesia-AS, pengajuan pembentukan Panel oleh Indonesia sebagai negara penggugat, dan pengajuan banding oleh AS sebagai negara tergugat, telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di DSB-WTO. Jika dipandang dari segi karakteristik organisasi, maka DSB sebagai Dewan Utama yang dibentuk langsung oleh DSU-WTO, dapat melaksanakan dan menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan prosedur hukum yang ditetapkan DSU-WTO dan berhasil melaksanakan fungsi organisasinya sebagaimana mestinya. WTO memiliki prinsip-prinsip dalam organisasi yang disebut pula sebagai lingkungan internal yaitu MFN, Non-Tariff Measures, National Treatment, Transparency, serta kuota, dimana dalam setiap prinsip perdagangan yang telah disepakati tersebut harus dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku agar tercipta suatu harmonisasi perdagangan antar sesama anggota WTO. Perjanjianperjanjian yang telah diratifikasi tersebut ternyata dilanggar oleh AS sebagai anggota WTO, regulasi The Tobacco Control Act AS pada pasal 907 dinyatakan tidak sesuai dengan perjanjian WTO yang berkaitan dengan National Treatment dan pelanggaran Non-Tariff Measures, sampai akhir batas waktu yang ditentukan oleh DSB, AS belum juga merubah regulasinya agar tidak merugikan Indonesia . Berdasarkan sub indikator lingkungan internal, maka efektivitas DSB-WTO dinyatakan tidak efektif karena ternyata kekuatan hukum perjanjian yang telah disepakati bersama tidak dapat mengikat anggotanya untuk mematuhi semua peraturan tersebut. Selain lingkungan internal, lingkungan eksternal juga merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi efektifitas DSB dalam menyelesaikan sengketa. Dimana dalam lingkungan tersebut, semua kekuatan yang timbul diluar batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan didalam organisasi, seperti kondisi ekonomi pasar dan peraturan pemerintah sehingga timbul suatu keharusan untuk memonitor perubahan lingkungan secara terusmenerus dan menyesuaikan desain, teknologi sasaran dan tingkah-laku organisassi menanggapi perubahan-perubahan itu.
756
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
Dalam lingkungan eksternal, terdapat beberapa hal yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan suatu negara, dalam hal ini sengketa dagang rokok kretek Indonesia-AS. AS merupakan negara adidaya yang banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia internasional, terutama dunia ekonomipolitik. Dalam memberikan pengaruhnya, AS tidak secara langsung menyerukan keberadaan kekuasaannya bagi dunia internasional, namun melalui beberapa pendekatan dan beberapa strategi politik maupun ekonomi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor tidak efektifnya putusan DSB-WTO dalam memutuskan sengketa dagang yang terjadi antara IndonesiaAS. Walupun pada kenyataannya, Indonesia telah memenangkan kasus ini pada tingkat panel maupun banding, dan dalam bentuk formal maupun informal. Namun AS tetap tidak bertindak apapun untuk mengubah peraturan yang telah dibuatnya yang jelas-jelas telah merugikan Indonesia baik dalam segi finansial maupun dari segi kelayakan produk di mata dunia internasional. Artinya, tujuan Indonesia menggugat AS sampai ketingkat banding DSB-WTO adalah untuk mengamankan akses pasar rokok kretek dan bukan untuk meningkatkan nilai ekspor rokok kretek yang memang terbilang sangat kecil ke AS. WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak negara-negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhi dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Pematuhan peraturan tersebut, tentu saja menjadi dasar dari bagaimana karakteristik pekerja atau dewan tertinggi dalam memantau anggotanya apakah telah menjalankan setiap peraturan dan prinsip perdagangan sebagaimana yang telah disepakati bersama. Jika dilihat dari segi karakteristik tersebut, maka diskriminasi yang dilakukan oleh AS jelas-jelas merupakan pelanggaran perdagangan yang bukan hanya melanggar kesepakatan kerjasamanya dengan Indonesia, tetapi juga telah melanggar kesepakatan perdagangan semua negara yang terikat dalam kontrak perjanjian kerjasama dengan WTO. Keberadaan WTO sampai saat ini belum mampu menggunakan kekuasaanya untuk merubah kebijakan AS, maka dapat dipastikan bahwa DSU-WTO merupakan organisasi perdagangan dunia yang keefektivannnya hanya berlaku untuk beberapa negara anggota saja, dan tidak berlaku bagi AS. Padahal, DSUWTO telah menetapkan DSB-WTO sebagia badan penyelesaiann sengketa WTO yang mempunyai wewenang untuk mengatasi dan menyelesaikan sengketa dagang antar antar negara anggota WTO. Dengan terbentuknya DSB-WTO, diharapkan untuk dapat menciptakan sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan sengeta perdagangan dalam kerangka WTO serta negara anggota dapat mematuhi hasil putusan DSB. DSB-WTO ketika menyelesaikan suatu sengketa akan mengeluarkan suatu hasil keputusan berupa laporan, yang mana baik pihak penggugat maupun pihak
757
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
tergugat wajib untuk melaksanakan hasil laporan tersebut dengan mengimplementasikan dalam waktu yang diatur, sehingga m emberikan hasil yang dapat menormalisasikan hubungan perdagangan antar negara. DSB-WTO dapat memberikan kesempatan kepada pihak pengugat untuk melakukan tindakan balasan terhadap tergugat yang tidak melaksanakan keputusan selama jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh hasil keputusan panel. Ada tiga pilihan yang diberikan DSB-WTO yang salah satunya harus dijalankan oleh AS atas regulasi teknis yang dibuatnya, diantaranya: (www.wto.org) 1. Merubah regulasinya dan memberikan kompensasi kepada Indonesia atas kerugian yang dialami Indonesia selama regulasi tersebut belum dicabut. 2. Merubah regulasinya dan memberikan ijin kembali kepada Indonesia untuk kembali mengekspor rokok kretek ke AS yang merupakan produk paten Indonesia. 3. Tidak merubah regulasinya, namun memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada Indonesia atas kerugian yang dialami Indonesia selama regulasi tersebut diefektifkan Keputusan DSB-WTO di atas tentu saja harus dijalankan oleh AS, sebagai bentuk pematuhan hukum yang berlaku yang dapat menormalisasikan kembali hubungan kerjasama Indonesia-Amerika Serikat. Namun kenyataannya, sampai berakhir batas waktu yang ditentukan, Amerika Serikat tidak menjalankan putusan panel DSB-WTO, tanpa alasan yang jelas. Sikap semacam ini tentu saja menjadikan keefektivan DSB dan legalitas undang-undang DSU menjadi absur penerapan dan pelaksanaanya, bila dipandang dari berbagai aspek. Legally binding dalam setiap keputusan memiliki perbedaan dalam pengimplementasiannya. Kekuatan hukum yang mengikat (legally binding) dalam perjanjian internasional yang telah disepakati, selain menngikat juga memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan yang dapat dipaksakan berlakunya. Sehingga bila terjadi pelanggaran dalam perjanjian internasional baik dikarenakan kekeliruan, tidak dilaksanakannya perjanjian, maupun terjadinya perubahan keadaan secara mendasar maka perjanjian tersebut dapat berakhir. DSB-WTO yang merupakan organ penyelesaian sengketa WTO, maka setiap keputusan yang telah dikeluarkan akan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (legally binding), tetapi karena DSB-WTO merupakan sebuah organisasi internasional, maka setiap keputusan tersebut tidak memiliki kekuatan eksukutorial. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa, keputusan yang dikeluarkan DSB-WTO yang seharusnya mengikat dalam kasus ini menjadi tidak efektif terhadap AS sebagai pihak tergugat yang kalah dalam tingkat panel maupun banding, karena tidak terdapatnya kekuatan eksekutorial. Kekuatan seksekutorial dapat digunakan untuk memaksa berlakunya putusan tersebut
758
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2014: 1-14
Kesimpulan Jika melihat tujuan Indonesia melakukan gugatan dan aturan hukum yang terdapat dalam DSU-WTO, maka dapat disimpulkan bahwa, DSB-WTO yang merupakan mandat dari DSU WTO sudah seharusnya memutuskan kebijakan yang sesuai dengan kondisi saat ini, yaitu AS seharusnya diberikan sanksi yang tegas terkait regulasi perdagangannya yang merugikan pihak Indonesia, agar kembali tercipta suatu harmonisasi perdagangan antar negara yang secara terus-menerus, dan tetap berpegang teguh pada Undang-undang DSU-WTO karena dengan itu keputusan DSB-WTO menjadi valid bagi semua negara anggota tanpa terkecuali. Adapun hasil akhir DSB dalam memutuskan sengketa dagang rokok kretek Indonesia-AS adalah tidak efektif, karena dari lima indikator efektivitas DSBWTO, hanya satu yang efektif yaitu karakteristik organisasi, selebihnya karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, karakteristik kebijakan dan prektik managemen serta legally binding DSB dalam sengketa ini tidak efektif karena AS tidak menjalankan keputusan akhir DSB dan tidak adanya sanksi tegas atas ketidak patuhan AS terhadap DSB-WTO. Secara jelas Most Favoured Nation yang terdapat dalam salah satu Pasal TBT Agreemen, dapat digunakan sebagai instrument untuk melawan kebijakan perdagangan yang tidak adil, dalam implementasinya kebijakan tersebut digunakan untuk melakukan investigasi guna mencari kelemahan produk Indonesia dan sebagai instrument proteksi terselubung demi melindungi pasar dalam negeri AS yang semakin bersaing dalam perdagangan internasional sehingga menimbulkan hambatan, terlebih lagi ini merupakan salah satu upaya AS agar bisa menetralkan krisis finansialnya yang terjadi sejak tahun 2008. DSB-WTO ketika hendak mengeluarkan hasil keputusan seharusnya memiliki kekuatan eksekutorial. Dengan kekuatan eksekutorial, maka DSB-WTO dapat memberlakukan secara kuat hasil putusan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dan yang tidak konsisten terhadap perjanjian-perjanjian WTO. Seharusnya undang-undang DSU-WTO dikaji ulang agar nantinya penerapan eksekutorial menjadi netral bagi semua negara anggota, termasuk negara anggota yang mempunyai pengaruh bagi perkembangan organisasi WTO. Refrensi Buku Adolf, Huala S.H.,LL.M.,Ph.D. 2004. Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Hukum
Penyelesaian
Sengketa
Bossche, Van Den, Danier Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi. 2012. Pengantar Hukum WTO, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Kartadjoemena, H.S. 2002. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang. Jakarta:UI-Press.
759
Efektivitas keputusan DSB-WTO dalam sengketa dagang Indonesia-AS (Harmawati)
Long, Oliver. Aturan-aturan Hukum Perdagangan menurut GATT (Huala Adolf), Jakarta:Rajawali Press. Ndaru, Herjuno, Kinasih, Rika febriani, Sulistyoningsih. 2012. Tembakau, Negara dan Keserakahan Modal Asing, Jakarta:Indonesia Berdikari. Steers, Richard M. 1980. Efektifitas Organisasi, Jakarta:Erlangga. Syahmin AK.,S.H., M.H.. 2006. Hukum Dagang Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Internet “Bilateral Cooperation” terdapat di www.deplu.go.id/List/BilateralCooperation/DisForm.aspx?ID=11. ”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun”, terdapat di http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us-200juta-per-tahun/html. “Produsen Berharap AS kembali Buka Pasar Kretek”, terdapat http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/05/12182712/Produsen Berharap-AS-Kembali-Buka-Pasar-Kretek.
di
“Rokok Tewaskan Seratus Juta Orang”, terdapat di http://erabaru.net/kesehatan/24510-rokok-kretek-tewaska-seratus-juta-orang.html. “Strategi Kerjasama Pembangunan Indonesia - Amerika Serikat”, terdapat di http://www.usaid.gov/id/indonesia/cdcs. “United States-Measures Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes”, terdapat dihttp://www.wto.org/english/thewto/whatis/tif/org6. html.
760