eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (3): 953-966 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
HUBUNGAN BILATERAL AS-IRAN PADA MASA PEMERINTAHAN BARACK OBAMA
Armanoto Madjid1 NIM. 06.56179.08405.02
Abstract: Bilateral relations is a mutual relations built by two nations, that cooperate as well as in economic, political, even defence and security issue based on national interest of each nations. This terms also made by two different continent countries, the US and Iranian. The wealth of nature resources such as oil in Iran and western civilization (US) which a center modernitation, form a national prime interest by each nations and this is also the main reason why these two nations made their formal bilateral relations in 1856. After the Islamic Iranian Revolution in 1979, their relations change drastically. Iran try to make a gap on their relations with the White House. Reza Fahlevi regime which is friendly with the US has been swept from Iranian government and replaced by Ayyatolah Khomeini, then change Iran to a fully Islamic nation, apply an Islamic precept on Iranian governmernt. These condition make formal bilateral relations between US and Iran threatened in danger, because Khomenei sure that the US is one of the western nations that will become a paracite to any Islamic countries, especially in Middle East. This hostile attitude keep going for more over 30 years. Barack Obama occupy an office in white house as the 44th US's president in 2009, and began to present his intention to make a peace with nations in Middle East including Iran. the Iranian leaders perceive that intention in a good way. However, either US or Iranian have their own national interests and this interest will be the main factors that influence these two nation's foreign political strategy for each others.
Keywords : US-Iran Relations, National Interest, Barack Obama
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman. email :
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
Pendahuluan AS dan Iran pertama kali menjalin hubungan bilateralnya ketika Shah Iran, Nasseredin Shah Qajar, mengirim duta besar pertama Iran, Mirza Abolhasan Syirazi, ke Washington DC pada tahun 1856. Hubungan bilateral kedua negara dapat dikatakan berjalan dengan baik hingga perang dunia II dan menjadi semakin erat ketika Shah Reza Pahlevi menjadi pemimpin Iran. Namun sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979 hubungan kedua negara berubah drastis. AS berusaha menarik diri menjalin hubungan bilateral dengan Iran. Rezim Reza Fahlevi yang pro terhadap AS disingkirkan dari pemerintahan dan digantikan oleh Ayyatollah Khomeini, kemudian merubah Iran menjadi sebuah negara Islam, menerapkan ajaran-ajaran Islam sebagai dasar dalam pemerintahan dan tata negara. Keadaan tersebut membuat hubungan bilateral antara keduanya terancam memburuk, karena Khomeini meyakini bahwa AS merupakan salah satu negara barat yang selama ini merupakan parasit bagi negara-negara Islam khususnya di Timur Tengah. Pada tahun yang sama, kedutaan besar AS di Teheran ditutup paksa dan diusir keluar dari tanah Persia yang menjadi awal permusuhan dan putusnya hubungan diplomatik kedua negara, setelah sebelumnya terjadi peristiwa disanderanya warga AS sebanyak 53 orang selama 444 hari di kedutaan besar AS di Iran yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa radikal. Terjadinya Perang Iran-Irak pada September 1980 hingga Agustus 1988, semakin memperburuk ketidakharmonisan hubungan Iran-AS. Lepas dari latar belakang perseteruan perbatasan antara Irak-Iran, campur tangan Amerika Serikat yang dengan jelas mendukung rezim Saddam Hussein membuat Iran sebagai pihak yang sangat dirugikan. Meski telah memperoleh resolusi damai dari PBB, keberpihakan internasional terhadap Irak lebih besar dibanding Iran. Iran terisolasi dari dunia internasional akibat revolusi Islam tahun 1979, karena AS. Kemudian pada masa pemerintahan Bill Clinton tahun 1995, AS melakukan embargo total terhadap Iran. Presiden Clinton memberi instruksi kepada perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Iran untuk mencabut saham/investasinya dan pergi dari tanah Persia. Hubungan kedua negara mulai memasuki tahap baru ketika kepemimpinan di AS diduduki oleh Barack Obama yang menjabat sebagai Presiden AS ke-44.Sehari setelah pelantikannya, pada tanggal 21 Januari 2009 Obama mengatakan secara resmi bahwa AS akan mendukung segala bentuk diplomasi dengan Iran tanpa prekondisi / syarat-syarat lain. Pernyataan tersebut dipertegas pada tanggal 4 Juni 2009 ketika Obama melakukan pidato terbuka di Kairo. Obama mengatakan perlunya sebuah awal baru bagi hubungan AS dan Muslim, berdasarkan kepentingan dan kehormatan bersama. Berkaitan dengan Iran, Obama menyadari bahwa akan sulit untuk memperbaiki rasa saling tidak percaya yang berlangsung selama beberapa dekade. Akan tetapi Obama bersikeras akan memperbaiki hubungan tanpa prekondisi atau syarat-syarat dan hanya akan berdasarkan kepentingan dan kehormatan bersama.
954
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
Barack Obama telah berkomitmen bahwa dirinya beserta administrasinya akan membuat kebijakan luar negeri yang menjamin keamanan warga negaranya. Untuk wilayah Timur Tengah, AS dibawah kepemimpinan Obama mengeluarkan beberapa kebijakan luar negeri yaitu diantaranya memusatkan pada ancaman organisasi teroris Al-Qaeda di Pakistan dan Afganistan, bertanggung jawab mengakhiri perang di Irak, menjaga senjata nuklir agar tidak jatuh ketangan teroris melalui program proliferasi nuklir dan yang terakhir mempromosikan perdamaian dan keamanan di Timur Tengah. Selain itu, Barack Obama memandang perlunya menjalin hubungan bilateral yang harmonis seperti pada saat sebelum Revolusi Islam 1979 terjadi. Obama berharap dapat melakukan perundingan yang dapat menjawab permasalahan dengan Iran yang utama pada saat ini, yaitu pengembangan nuklir Iran. Dimana program Iran ini sebelumnya telah mendapat pertentangan keras dari Presiden Bush yang menganggap pengembangan nuklir Iran berpotensi menjadi pengembangan senjata nuklir, bukan sebagai kepentingan energi yang selama ini disebut oleh pemerintahan Iran dibawah Presiden Ahmadinejad. Walaupun dengan berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Bush, namun permasalahan ini sama sekali tidak dapat dikatakan selesai, berpedoman pada komitmen untuk menjaga keamanan warga negara AS, salah satu kebijakan luar negeri yang utama dari Obama adalah nonproliferasi nuklir yang tentunya akan bersinggungan dengan pengembangan uranium yang dilakukan Iran. Menurutnya hal ini kemudian akan menjadi bahan perundingan yang sangat perlu dibicarakan dengan pemimpin Iran Mahmoud Ahmadinejad.
Kerangka Dasar Teori A. Konsep Hubungan Bilateral Penelitian ini menggunakan konsep hubungan bilateral dan konsep kepentingan nasional untuk menjelaskan rumusan masalah. Dalam kamus bahasa Indonesia, hubungan bilateral merupakan suatu hubungan kerjasama yang dilakukan oleh dua negara, baik itu kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, maupun pertahanan serta keamanan (Tuhana Taufik Adrianto. 2001). Pengertian hubungan bilateral adalah menyangkut masalah-masalah yang mempengaruhi dua kelompok yang berbeda dengan unilateral ( satu kelompok ) dan multilateral ( banyak kelompok ). Hubungan bilateral digunakan dalam masalah-masalah internasional untuk mengindikasikan sesuatu masalah tetapi dilakukan secara eksklusif menyangkut masalah-masalah perdagangan, pertahanan dan diplomasi (Evans Graham dan Jeffrey Newnham, 2001). Dalam hubungan internasional terdapat beberapa pola-pola hubungan bilateral dengan perkembangannnya dalam lingkup global secara menyeluruh, yaitu a) Pola kerjasama merupakan suatu bentuk penyatuan usaha-usaha antara dua negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang saling berkesesuaian, b) Pola konflik Suatu bentuk interaksi dimana satu pihak memakai kekuatan terhadap pihak lain, meskipun tidak selalu berbentuk benturan fisik, c) Pola kompetisi Suatu bentuk hubungan dimana pihak yang satu berusaha mendahului pihak yang lain dalam
955
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
mencapai suatu tujuan, d) Pola akomodasi Merupakan bentuk hubungan antara konflik dan kerjasama atau bentuk penyesuaian artinya terdapat perbedaanperbedaan tetapi tidak sampai menyebabkan konflik.Dalam hubungan internasional pola ini sering disebut “toleransi” atau “kompromi”. Dalam pola hubungan konflik terjadi situasi dimana suatu kondisi sosial yang timbul pada saat satu atau lebih aktor mengejar kepentingan tertentu secara bersamaan, konflik merupakan akibat pertentangan antara tuntutan yang dimiliki negara A dengan negara B atau negara lainnya. Konflik mencakup tindakan diplomatik, propaganda, perdagangan, atau ancaman dan sanksi militer termasuk embargo yang dilakukan salah satu negara terhadap negara lainnya. B. Konsep Kepentingan Nasional Kepentingan nasional ( National Interest ) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa / negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara / bangsa adalah keamanan ( mencakup kebutuhan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah ) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini, yaitu keamanan ( security ) dan kesejahteraan ( Property ), serta hal-hal dasar dalam merumuskan atau menetapkan kepentingan nasional bagi setiap negara (T. May Rudi, 2002). Adapun tiga kepentingan internasional yaitu a) Identical Interest, kepentingan identik diantara negara-negara yang secara nyata adalah kepentingan nasional (ialah satu ataupun lebih diatas spesific interest) dimana negara-negara itu dapat bertahan bersama dan memiliki pemikiran yang sama, b) Complementary Interest, kepentingan yang saling melengkapi diantara negara-negara walaupun tidak identik setidaknya dapat membentuk dasar dari perjanjian pada isu-isu yang spesifik, c) Conflicting Interest, merupakan kepentingan yang tidak termasuk dalam identical interest dan complementary interest, kepentingan tersebut dapat berubah apakah itu melalui diplomasi, suatu peristiwa ataupun kepentingan bersama ( James N. Rosenou, 1969 ).
Metodologi Penelitian Jenis Penelitian ini adalah eksplanatif, yaitu penulis menjelaskan hubungan sebab akibat tentang fenomena / peristiwa – peristiwa yang berpengaruh pada pola hubungan kedua negara. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder sebagai bahan acuan dalam meneliti peristiwa atau fenomena - fenomena yang ada. Data tersebut berupa artikel-artikel, buku dan jurnal yang tentunya terkait dengan topik pembahasan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik studi literatur. Penulis mengambil data dari buku, media-media elektronik dan artikel-artikel baik dari jurnal maupun berita-berita yang terkait dengan permasalahan yang diangkat penulis. Penulis Menggunakan teknik penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berdasarkan survey yang mendalam mengenai kasus tertentu, analisanya tidak menggunakan perhitungan dalam sistem statistik. Akan tetapi lebih kepada analisa fakta-fakta atau fenomena-fenomena yang terjadi.
956
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
Hubungan bilateral AS-Iran adalah hubungan antara AS dan Iran yang secara resmi dimulai pada tahun 1865. Hubungan kedua negara tergolong berjalan dengan baik dengan dibukanya perwakilan diplomatik di masing-masing negara. Namun pada tahun 1979, Revolusi Islam di Iran menyebabkan hubungan kedua negara memburuk. Salah satu tolak ukur hubungan bilateral AS dengan Iran adalah berhasil tidaknya Presiden Obama dan Presiden Ahmadinedjad menyelaraskan kepentingan nasionalnya masing-masing. Kepentingan nasional suatu negara dapat menentukan sikap negara tersebut kepada negara lain, yang akan membentuk suatu pola hubungan bilateral tertentu. Pemerintahan Barack Obama adalah pemerintahan di AS yang dipimpin oleh Barack Obama sebagai presiden. Barack Obama naik dan menjabat sebagai Presiden AS ke-44 menggantikan kepemimpinan Presiden Bush tanggal 20 Januari 2009. Diawal kepemimpinannya, Obama mempunyai misi-misi penting diantaranya mempromosikan kedamaian dan keamanan di Timur Tengah melalui kunjungan-kunjungan kenegaraan, penarikan pasukan militer AS di Timur Tengah dan terus mendukung program non-proliferasi nuklir. Pembahasan / Hasil penelitian A. Dinamika Hubungan Bilateral AS-Iran Sebelum Pemerintahan Barack Obama Amerika Serikat dan Iran mempunyai sejarah hubungan bilateral yang sangat panjang. Secara resmi hubungan bilateral kedua negara dimulai pada tahun 1856, ketika Shah Iran, Nasseredin Shah Qajar, mengirim duta besar pertama Iran, Mirza Abolhasan Syirazi, ke Washington DC. Pada tahun 1944 kedua Negara mulai membuka kedutaan besar di negaranya masing-masing. Secara keseluruhan, hubungan kedua Negara berjalan dengan sangat baik, terutama ketika Iran dipimpin oleh rezim Mohammad Reza Pahlevi. Shah Reza Pahlevi membentuk suatu hubungan bilateral dengan AS yang erat, termasuk di dalamnya untuk memodernisasi kebijakan ekonomi Iran, kebijakan luar negeri yang pro barat dan seringkali mengadakan kunjungan-kunjungan ke Amerika, yang Shah anggap sebagai sekutu Iran paling utama pada saat itu. Di sisi lain, AS menganggap Iran merupakan salah satu Negara penghasil minyak yang sangat berpengaruh di Timur Tengah, dan membuatnya menjadi sebuah pilar bagi kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Namun sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979 hubungan kedua negara berubah drastis. AS berusaha menarik diri menjalin hubungan bilateral dengan Iran. Rezim Reza Fahlevi yang pro terhadap AS disingkirkan dari pemerintahan dan digantikan oleh Ayyatollah Khomeini, kemudian merubah Iran menjadi sebuah negara Islam, menerapkan ajaran-ajaran Islam sebagai dasar dalam pemerintahan dan tata negara. Keadaan tersebut membuat hubungan bilateral antara keduanya terancam memburuk, karena Khomeini meyakini bahwa AS merupakan salah satu negara barat yang selama ini merupakan parasit bagi negara-negara Islam khususnya di Timur Tengah. Pada tahun yang sama, kedutaan besar AS di Teheran ditutup paksa dan diusir keluar dari tanah Persia yang menjadi awal
957
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
permusuhan dan putusnya hubungan diplomatik kedua negara, setelah sebelumnya terjadi peristiwa disanderanya warga AS sebanyak 53 orang selama 444 hari di kedutaan besar AS di Iran yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa radikal. Terjadinya Perang Iran-Irak pada September 1980 hingga Agustus 1988, semakin memperburuk ketidakharmonisan hubungan Iran-AS. Lepas dari latar belakang perseteruan perbatasan antara Irak-Iran, campur tangan Amerika Serikat yang dengan jelas mendukung rezim Saddam Hussein membuat Iran sebagai pihak yang sangat dirugikan. Meski telah memperoleh resolusi damai dari PBB, keberpihakan internasional terhadap Irak lebih besar dibanding Iran. Iran terisolasi dari dunia internasional akibat revolusi Islam tahun 1979, karena AS. Kemudian pada masa pemerintahan Bill Clinton tahun 1995, Amerika melakukan embargo total terhadap Iran. Presiden Clinton memberi instruksi kepada perusahaanperusahaan AS yang beroperasi di Iran untuk mencabut saham/investasinya dan pergi dari tanah Persia. Tidak itu saja, tahun berikutnya AS juga mendesain agar negara lain khususnya negara-negara Eropa untuk tidak menanamkan saham/investasi besar di Iran. Hal tersebut tentu saja menjadi permasalahan besar bagi kedua negara untuk melanjutkan hubungan bilateral yang harmonis. Hubungan kedua belah negara ini sempat mengalami sedikit perbaikan pada akhir tahun 2001 dan 2002 dengan adanya perundingan kembali untuk membuka perwakilan diplomatik di masing-masing negara. Hal ini terjadi karena AS melancarkan serangan terhadap Taliban di Afghanistan. Serangan AS ini merupakan keuntungan bagi Iran karena kelompok Taliban dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan di Iran dan menjadikan permasalahan tersebut pada saat itu sebagai agenda utama dalam pemerintahan Iran untuk diselesaikan. Akan tetapi harapan akan membaiknya hubungan bilateral kedua belah pihak hilang pada saat George W. Bush menjabat sebagai presiden AS. Dia menyatakan dengan tegas kepada dunia melalui pidatonya bahwa Iran adalah salah satu dari ‘Axis of Evil’ (Poros Setan). Sebutan tersebut ditujukan kepada Iran dan dua negara lainnya (Korea Utara dan Irak) karena negara-negara tersebut mengembangkan program nuklir. Khusus bagi pengembangan nuklir Iran, AS dengan tegas mengatakan bahwa pengayaan uranium Iran tersebut berpotensi besar digunakan oleh pemerintah Iran untuk membuat dan mengambangkan senjata nuklir dan atom. AS dengan kekuasaannya memaksa DK PBB untuk memberi sanksi terhadap Iran ( resolusi No. 1696, 1737, 1747, 1803, 1929), tetapi Iran selalu menolaknya. Pertentangan tersebut tentu saja semakin membuat hubungan bilateral kedua negara semakin memburuk. B. Hubungan Bilateral AS-Iran Pada Masa Pemerintahan Barack Obama Upaya rekonsiliasi hubungan AS dengan Iran dilakukan Presiden Obama dengan membuat langkah-langkah besar yang mengejutkan. Salah satu langkah besar itu adalah mengakui keterlibatan AS dalam kudeta 1953 untuk menggulingan pemerintah Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. “Di tengah Perang Dingin, AS telah memainkan peran dalam menggulingkan pemerintah Iran yang dipilih
958
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
secara demokratis”. Begitulah pernyataan Obama dalam pidato pentingnya pada dunia Muslim di Kairo. Pernyataan tersebut merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah presiden AS yang menjabat mengakui secara terbuka keterlibatan AS dalam kudeta tersebut. Menyikapi pidato Obama di Kairo, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei melancarkan serangan keras terhadap Amerika Serikat. Khamenei mengatakan, ratusan pidato sekalipun tidak akan ada gunanya jika tidak ada perubahan kebijakan AS. Kata indah dari Presiden Obama kepada dunia Islam menurut Khamanei tidak akan ada gunanya kalau tidak ada perubahan kebijakan dari Washington itu sendiri. AS di bawah Obama memang jelas sangat jauh berbeda dengan masa George W. Bush. Amerika di bawah Bush tidak pernah melihat Iran seperti apa, hanya ucapan-ucapan sepihak dari yang tidak berkenan bagi Iran. Iran pun menyikapi hal serupa terhadap AS. Hal itu justru malah semakin menjauhkan cita-cita hubungan harmonis kedua negara tersebut. Dalam pidatonya di Kairo 4 Juni 2009 kepada dunia Muslim yang lebih luas, Obama berbicara tentang "awal baru" antara AS dan Muslim. Dia mengakui kesulitan dalam mengatasi ketidakpercayaan selama puluhan tahun antara keduanya, tapi dia berjanji untuk melanjutkan kejujuran, keberanian dan tekad. Dia mengatakan, Washington bersedia untuk bergerak maju tanpa prasyarat dan atas dasar saling menghormati. Obama mendukung kata-katanya dengan tindakan yang dirancang untuk diplomasi pada masalah paling serius yang membagi kedua negara, yaitu program pengembangan nuklir Iran. Pada pertengahan tahun 2009, Iran menghubungi Badan Energi Atom Internasional untuk meminta bantuan mencari bahan bakar bagi reaktor kecil riset Teheran. Fasilitas ini memproduksi radioisotop untuk prosedur medis yang mengobati sekitar 10.000 pasien seminggu. Kebutuhan dari isotop medis dijadwalkan habis pada akhir 2010. Dalam kesepakatan yang diperantarai sebagian besar oleh Amerika Serikat, Badan Energi Atom Internasional mengusulkan formula untuk menyediakan bahan bakar ke Teheran serta menawarkan perlindungan. Kesepakatan itu tampaknya batal untuk berbagai alasan, baik domestik maupun asing. Masalah terbesar mungkin pergolakan internal politik Iran. Presiden Ahmadinejad awalnya mendukung kesepakatan tersebut, "Kami menyambut pertukaran bahan bakar, kerjasama nuklir, pembangunan pembangkit listrik dan reaktor dan kami siap untuk bekerja sama," katanya langsung di televisi negara. Tapi kesepakatan reaktor segera dikritik oleh oposisi Green Movement serta kaum konservatif dalam rezim, sebagian besar untuk alasan politik. Beberapa pemimpin juga khawatir bahwa setiap perubahan dalam mendasari Republik Islam antiAmerika akan mengancam keberadaan sistem mereka. Setelah Iran mengingkari kesepakatan Reaktor Riset Teheran, pemerintah Obama memulai apa yang disebut dengan kebijakan dual-track : Menjaga hubungan kedua negara dengan harapan akan menjadi lebih baik, sementara disisi lain mendorong sanksi baru terhadap Iran. Turki dan Brazil, dua kekuatan menengah
959
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
dengan kursi di Dewan Keamanan PBB, membuat satu usaha terakhir untuk menghidupkan kembali inisiatif diplomatik. Ketika PBB bergerak pada pemungutan suara untuk sanksi Iran, Perdana Menteri Turki dan Presiden Brasil bernogosiasi dengan Ahmadinejad di Teheran. Ketiganya menandatangani kesepakatan tripartit pada 17 Mei 2010. Point dalam kesepakatan ini banyak terdapat dari kesepakatan asli Jenewa. Tapi Teheran menemukan hal yang lebih menarik karena uranium mentahnya akan diolah di Turki, negara Muslim yang memiliki hubungan lebih baik dengan Iran, dibandingkan Rusia. Iran juga berpikir dapat meminta dukungan Turki dan Brasil dalam menentang sanksi resolusi yang baru di Dewan Keamanan PBB. Pemerintah AS terus bekerjasama dengan Inggris, Perancis dan Jerman, tiga negara yang memimpin upaya diplomatik internasional dengan Iran, tentang langkah-langkah dalam kesepakatan sanksi baru. Setelah enam bulan negosiasi yang rumit, Dewan Keamanan mengesahkan Resolusi 1929 pada tanggal 9 Juni 2010. Suara terakhir adalah 12 mendukung, dua lawan (Turki dan Brasil), dan satu abstain (Libanon). Resolusi 1929 mengharuskan anggota PBB untuk memblokir transfer teknologi yang berkaitan dengan rudal maupun senjata nuklir dan memotong akses komersial untuk pertambangan uranium atau bahan produksi nuklir di wilayah mereka. Resolusi mentarget pelayaran Iran yang berafiliasi dengan Garda Revolusi Iran, dan meminta anggotanya agar menolak keuangan dan jasa asuransi mereka. Resolusi 1929 juga menyerukan negara anggota untuk memblokir cabang baru dari bank-bank Iran tertentu di wilayah mereka. C. Kepentingan Nasional AS dan Iran Sejak dimulainya hubungan bilateral kedua negara, sebenarnya Iran merupakan sekutu yang sangat penting dan produktif bagi AS. Iran merupakan negara Timur Tengah yang berpengaruh kuat di kawasan itu, yang menjadi salah satu negara potensial untuk menjadi pilar hegemoni AS di Timur Tengah. Berdasarkan doktrin keamanan Amerika Serikat yang disebut „Keamanan Dua Pilar‟, Iran bersama Arab Saudi merupakan dua lengan eksekutif politik keamanan Amerika di kawasan. Iran, juga merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, material yang sangat dibutuhkan oleh negara industri seperti AS. Sebagai salah satu negara penghasil minyak terbanyak di dunia, Iran menjadi negara yang sangat menguntungkan dalam kerjasama perdagangan. Selain minyak, perdagangan militer sangat menguntungkan bagi kedua negara khususnya AS sebagai produsen besar persenjataan militer. Dua kepentingan tersebut di atas menjadi prioritas utama bagi AS untuk terus menjalin hubungan baik dengan Iran. Karena hal tersebutlah AS sebenarnya sangat tidak menginginkan Revolusi di Iran terjadi, akan tetapi kenyataan tidak demikian. Hubungan baik dengan Iran yang semakin erat ketika Rezim Shah Reza Pahlevi berkuasa harus runtuh seketika ketika Revolusi Islam Iran terjadi yang diprakarsai oleh Khomeini. Sejak berdirinya revolusi, AS sangat susah
960
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
menjangkau Iran yang telah berubah menjadi negara Islam absolut yang antikapitalis. Menyadari pentingnya Iran bagi AS, AS melakukan berbagai cara untuk normalisasi hubungan kedua negara, akan tetapi selalu gagal. Seiring berjalannya waktu, AS memiliki prioritas lain terhadap Iran, yaitu dengan menghentikan pengembangan program nuklir Iran. Alasan AS disini adalah bahwa pengembangan uranium nuklir yang dilakukan Iran berpotensi menjadi pengembangan senjata nuklir. Dan AS sebagai negara adidaya merasa bertanggung jawab mencegah hal tersebut, karena dapat mengancam keamanan internasional, lebih spesifik lagi, keamanan domestik negaranya. Alasan tersebut memang masuk akal, akan tetapi jika kita melihat lebih jauh kedalam, akan timbul pertanyaan, mengapa AS sangat bersikeras menghentikan pengembangan uranium yang dilakukan oleh Iran, padahal pengembangan tersebut diawasi langsung oleh Badan energi Atom Internasional. Dan mengapa Iran tidak boleh mengembangkan energi nuklir sedangkan Israel dan India nyata-nyata mengembangkan energi nuklir lebih dahulu. Kemungkinan terbesar alasan sebenarnya AS menghalangi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir adalah alasan politis. Negara-negara Barat terutama Amerika, tidak menginginkan hegemoninya terancam oleh kekuatan baru dunia, apalagi itu adalah negeri Islam seperti Iran. Hal itulah yang membuat AS bersikeras meminimalisir pengembangan nuklir Iran, melalui berbagai sanksi dengan menggunakan pengaruhnya di DK PBB. Amerika Serikat, bersama Rezim Shah Reza Muhammad Reza Pahlevi, telah membawa kebangkitan perekonomian Iran, akibat dukungan dana yang besar dari Amerika dan sikap Rezim Shah Reza yang pro-Israel. Bahkan, Shah Reza sempat menjadi Kaisar minyak dunia, melakukan banyak infestasi di luar negeri. Shah bahkan berambisi ingin meletakkan Iran dalam posisi yang sejajar dengan Britania (Inggris) dan Amerika. Di masa ini pula Amerika dan sekutu mendukung program nuklir Iran, dengan asumsi agar tenaga listrik Iran tercukupi dan agar minyak bisa tereksploitasi lebih besar. Amerika menandatangani perjanjian memasok uranium selama 10 tahun dengan Iran, sementara Prancis memberi bantuan Sumber Daya Manusia dan Britania berupa pendanaan. Lenyapnya rezim Shah benar-benar menjadi momentum buruk hubungan Iran-AS. Bantuan AS yang memajukan perekonomian Iran dengan dibarengi penjajahan kapitalisme dan materialisme dianggap oleh rakyat Iran sebagai godaan setan. Kini, Iran tidak lagi menganggap AS sebagai negara sekutu, Iran merasa bahwa bantuan AS sejak awal mula hubungan merupakan strategi agar AS dapat meraup keuntungan yang lebih dari hubungan tersebut. Iran menganggap bahwa AS merupakan parasit yang merusak negaranya secara diam-diam dan perlahan. Dapat dilihat bahwa kepentingan Iran pada saat ini adalah untuk menjauhkan hegemoni AS dari negaranya, dan mengembangkan negaranya sendiri tanpa campur tangan negara kapitalis tersebut. Hal ini akhirnya bersinggungan keras ketika Iran mencoba melanjutkan pengayaan uraniumnya dibawah pemerintahan Ahmadinejad. Iran mengalami tekanan internasional yang diprakarsai AS, melalui DK PBB, yang mengeluarkan sanksi-sanksi keras terhadap Iran. Bagaimanapun,
961
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
Iran tetap bersikeras melanjutkan program pengayaan uranium tersebut, karena Iran menganggap bahwa energi nuklir merupakan energi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup negaranya. D. Politik Luar Negeri AS Terhadap Iran Setelah Obama menjabat sebagai Presiden AS pada tahun 2009 lalu, politik luar negeri AS terhadap Iran sedikit bergeser. Isu bahwa Iran terlibat dalam peristiwa 11 September sudah tidak lagi menjadi agenda dominan politik luar negeri AS. Isu tersebut sudah beralih ke senjata pemusnah massal atau nuklir. Menjaga keamanan domestik maupun keamanan internasional, serta mempertahankan hegemoninya di kawasan Timur Tengah, merupakan salah satu kepentingan nasional AS yang utama, keadaan ini mengharuskan AS agar bersikeras dalam upaya-upaya penghentian pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Iran. Dan upaya yang dapat dilakukan AS adalah dengan memberikan sanksi terhadap Iran, tentunya dengan mendapat dukungan Internasional yang luas. Hal inilah yang tetap diperjuangkan Pemerintahan Obama hingga sekarang, AS terus berupaya mengumpulkan dukungan internasional untuk memberikan sanksi yang lebih berat kepada Iran, dengan asumsi bahwa ketika Iran terdesak, mereka akan menghentikan pengayaan uraniumnya. DK PBB pertama kali mengeluarkan resolusi untuk sanksi terhadap pengayaan nuklir Iran pada tahun 2006, yang menghasilkan 2 resolusi, Resolusi No. 1696 (2006) dan No. 1737 (2006). Tahun 2007, ada Resolusi No. 1747 (2007). Kemudian tahun 2008, keluar Resolusi 1803 (2008). Ketika Obama menjabat, DK PBB berhasil mengeluarkan resolusi No. 1929 (2010). Sebagian besar isi dari resolusi tersebut adalah agar Iran segera menghentikan pengayaan uraniumnya. Dengan banyaknya sanksi yang dijatuhkan DK-PBB melalui 5 resolusi, tidak membuat Iran menghentikan kegiatan pengayaan uraniumnya. Iran tetap bersikeras bahwa pengayaan uranium yang mereka kembangkan hanya bertujuan damai, untuk pembangkit tenaga listrik yang menjadi vital disetiap negara belahan dunia. Akan tetapi, menghadapi begitu banyak sanksi yang dikeluarkan bukanlah hal yang mudah. Dengan diberlakukannya sanksi tersebut, tentu saja Iran kewalahan dengan semakin sulitnya pasokan bantuan teknik maupun keuangan untuk pengembangan energi nuklir miliknya. Iran mengambil strategi diplomatik dengan negara-negara lain. Iran melakukan diplomasi yang komprehensif tentang program nuklirnya. Iran berusaha meyakinkan kepada dunia, bahwa mereka berhak mengembangkan program nuklirnya untuk kepentingan damai. Mereka menjelaskan program nuklir Iran bukan untuk kepentingan militer. Mereka belum dapat mengembangkan senjata nuklir. Yang dikerjakan, menurut mereka, adalah pengayaan uranium untuk kepentingan energi. Mereka juga menjelaskan, bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), mereka merasa berhak mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai. Para petinggi Iran berkunjung ke berbagai negara untuk menjelaskan kepentingan nuklirnya. Hasilnya dapat
962
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
dilihat ketika Brasil dan Turki, yang pada resolusi no. 1929 menyatakan tidak setuju atas resolusi tersebut pada sidang DK-PBB tahun 2010, dan Indonesia menyatakan abstain atas resolusi tersebut. Iran juga beranggapan bahwa AS tidak dapat begitu saja menjatuhkan sanksi tersebut. Seorang pejabat senior energi Iran mengatakan, AS tidak dapat langsung menjatuhkan sanksi terhadap ekspor minyak Iran, karena negara ini memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang besar. Produksi minyak Iran menyumbang lima persen dari total produksi minyak dunia. Iran mengekspor sekitar 2,5 juta barel minyak per hari. Mengingat cadangan besar minyak dan gas Iran serta kebutuhan minyak di dunia, AS tidak mampu untuk menjatuhkan sanksi terhadap ekspor minyak Iran secara langsung. E. Pola Hubungan Bilateral AS-Iran Dalam suatu hubungan bilateral, kepentingan nasional masing-masing negara merupakan salah satu faktor utama bagaimana pola hubungan tersebut akan terbentuk. Dalam kasus ini, terjadi persinggungan kepentingan nasional yang juga membetuk pola hubungan antara AS dan Iran. Seperti yang telah dibahas pada point sebelumnya, AS mempunyai kepentingan utama dalam menjaga keamanan negaranya, dan yang lebih penting lagi, untuk menjaga eksistensi hegemoni AS di kawasan Timur Tengah. Dalam hal ini, Iran mempunyai kepentingan untuk lebih mensejahterakan rakyatnya dengan melakukan pengembangan energi nuklir yang bertujuan sebagai pembangkit tenaga listrik. Disinilah persinggungan kepentingan bertemu, AS sebagai polisi dunia menganggap bahwa ada indikasi pengembangan / pengayaan uranium tersebut sebagai langkah awal pembuatan senjata berhulu ledak nuklir, yang dapat mengancam keamanan dunia, lebih khusus lagi keamanan warga negaranya. Dilain pihak, Iran tetap bersikeras dalam melanjutkan program pengayaan uraniumnya tersebut. Penekanan AS agar Iran menghentikan program tersebut melalui sanksi-sanksi DK-PBB dan sikap keras Iran atas sanksisanksi tersebut membentuk pola konflik dalam hubungan bilateral kedua negara. Pola konflik adalah suatu bentuk interaksi dimana satu pihak memakai kekuatan terhadap pihak lain, meskipun tidak selalu berbentuk benturan fisik. Dalam pola hubungan konflik terjadi situasi dimana suatu kondisi sosial yang timbul pada saat satu atau lebih aktor mengejar kepentingan tertentu secara bersamaan, konflik merupakan akibat pertentangan antara tuntutan yang dimiliki negara A dengan negara B atau negara lainnya. Konflik mencakup tindakan diplomatik, propaganda, perdagangan, atau ancaman dan sanksi militer termasuk embargo yang dilakukan salah satu negara terhadap negara lainnya. Dalam kasus antara hubungan AS dan Iran pada masa pemerintahan Obama, pertentangan kepentingan antar kedua negara begitu besar, masih seputar pengembangan nuklir Iran yang kontroversial. AS yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia internasional mengumpulkan dukungan dari negara-negara lain untuk menekan Iran agar menghentikan pengayaan uraniumnya, termasuk didalamnya melakukan embargo ekonomi, khususnya yang berhubungan dengan
963
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
pengembangan / pengayaan uranium tersebut. Iran tidak mau kalah, mereka melakukan berbagai diplomasi komprehensif keberbagai negara untuk mengatasi berbagai tekanan yang dilakukan AS. Pola hubungan ini masih berlanjut hingga sekarang, sehingga harapan adanya normalisasi hubungan antar keduanya semakin menipis. Selama AS terus memaksa Iran agar menghentikan program pengayaan uranium Iran tersebut, pola hubungan konflik antara keduanya tidak akan berubah kearah yang lebih baik. Kesimpulan Pada saat Barack Obama menjabat sebagai Presiden AS, fokus permasalahan yang terjadi antara AS dan Iran adalah pengayaan uranium yang dilakukan oleh Iran. Hal ini menyebabkan adanya persinggungan kepentingan antara kedua negara. AS pada umumnya mengatakan bahwa pengembangan uranium yang dilakukan oleh Iran berpotensi ditujukan untuk membuat senjata nuklir, yang dapat mengancam keamanan negaranya ataupun keamanan internasional. Kemungkinan yang tersembunyi dari maksud AS menekan Iran menghentikan pengayaan uraniumnya adalah AS tidak menginginkan adanya kekuatan dominan baru di Timur Tengah, apalagi negara tersebut menganut paham Islam yang kuat. Kekuatan baru dikawasan dapat menggangu kepentingan AS di Timur Tengah yang selama ini dipertahankan melalui hegemoninya. Dilain pihak, Iran tetap bersikeras dalam melanjutkan pengayaan uranium untuk tujuan damai, sesuai dengan aturan Badan Atom Internasional dan tetap merujuk pada Pakta Non-Proliferasi. Sesuai dengan deskripsi konsep yang ada, pola hubungan yang terjadi antara AS dan Iran adalah pola konflik, walaupun tidak pada tahap peperangan senjata. Sikap permusuhan dua negara tersebut terus terjadi hingga sekarang pada masa Pemerintahan Barack Obama, dan kemungkinan besar akan terus berlanjut ke periode-periode pemerintahan selanjutnya jika kedua negara masih menerapkan politik luar negeri yang sama. Saran Hubungan kedua negara akan terus menemui jalan buntu apabila tidak ada negara yang mengubah sikap atas negara lainnya. Iran dibawah Ahmadinedjat telah menunjukkan keteguhannya dalam meneruskan pengayaan uranium untuk tujuan damai. Solusi perdamaian bagi kedua negara yang mungkin terbaik adalah perubahan sikap AS atas program yang dijalankan Iran tersebut. Setiap negara mempunyai kepentingan, pengayaan uranium Iran telah diawasi oleh Badan Atom Internasional, Iran telah mengikuti prosedur, dan hingga sekarang belum ditemukan adanya bukti Iran mengembangkan senjata nuklir. Sebaiknya untuk menormalisasikan hubungan, AS mengurangi tekanan ataupun ancaman terhadap Iran. Walau bagaimanapun usaha AS untuk normalisasi hubungan dengan Iran tidak akan terwujud apabila AS terus menghalangi Iran dalam mengejar kepentingan nasionalnya.
964
Hubungan Bilateral AS-Iran pada masa Pemerintahan Barack Obama (Armanoto M.)
DAFTAR PUSTAKA Budiono Kusumohamidjojo. 1987. Hubungan Internasional : Kerangka Studi Analitis. Jakarta : Binacipta B. N. Marbun. 2003. Kamus Politik Edisi Terbaru. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Evans Graham dan Jeffrey Newnham. 2001. The Dictionary of Worlds Politics – The Reference Guide to Concept, Ideas and Inspiration. New York : Harvester. Holtsi, Kj. 1988. Poltik Internasional : Kerangka Untuk Analisis. Jakarta : Erlangga. Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hunbungan Internasional. Bardin : Jakarta. James N. Rosenau. 1969. Internasional Politics and Foreign Policy : a Reader in Research Revised Edition. New York : The Press. Mochtar Mas‟oed. 1989. Studi Hubungan Internasional : Tingakt Analisis dan Teorisasi. Yoyakarta : Studi Sosial UGM. R. Soeprapto. 1997. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Prilaku. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. S. L. Roy. 1991. Diplomasi. Jakarta : CV. Rajawali. Tuana Taufik Adrianto. 2001. Mengapa Papua Bergejolak ?. Yogyakarta : Gama Global Media. T. May Rudi. 2002. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung : Refika Aditama.
Sumber Lain ( Internet ) : “ Hubungan Amerika Serikat – Iran”, terdapat di http://en.wikipedia.org/wiki/Iran_United_States_relations, 8 Juni 2010 “ Krisis Sandera Iran “, terdapat di http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_sandera_Iran, tanggal 20 April 2010 “ Prospek Hubungan Bilateral Iran-AS : Change We Don’t Believe In”, terdapat di http://interdisciplinary.wordpress.com/2009/03/28/hubungan-bilateraliran-as-change-we-dont-believe-in/, tanggal 28 Maret 2009 “ Kebijakan Politik Luar Negri Barat “, terdapat di http://insidewinme.blogspot.com/2010/04/kebijakan-politik-luar-negribarat-buku.html, tanggal 06 April 2010 " Barack Obama : Administration willing to talk Iran without preconditions ", terdapat di http://www.guardian.co.uk/world/2009/jan/21/barack-obama-irannegotiations " The Carter Adminstration", terdapat di http://iranprimer.usip.org/resource/carter-administration-0, diakses tanggal 18 Juni 2012 ” The Reagan Administration" terdapat di, http://iranprimer.usip.org/resource/reagan-administration, diakses tanggal 18 Juni 2012
965
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013 : 953-966
" The George H. W. Bush Administration" terdapat di, http://iranprimer.usip.org/resource/george-hw-bush-administration, diakses tanggal 18 Juni 2012 " The Clinton Administration" terdapat di, http://iranprimer.usip.org/resource/clinton-administration, diakses tanggal 18 Juni 2012 " The George W. Bush Administration" terdapat di, http://iranprimer.usip.org/resource/george-w-bush-administration, diakses tanggal 18 Juni 2012 " Obama akui keterlibatan AS dalam kudeta di Iran", terdapat di http://www.adangdaradjatun.com/berita/terbaru/333-obama-akuiketerlibatan-asdalam-kudeta-di-iran-1953, diakses tanggal 12 Desember 2012 “ Khamanei: Politik Luar Negeri AS Harus Diubah”, terdapat di, http://www.beritanusantara.com/-internasional/80/1544.html, diakses tanggal 12 Des. 2012 " Kebijakan Politik Luar Negri Barat", terdapat di, http://insidewinme.blogspot.com/2010/04/kebijakan-politik-luar-negribarat-buku.html, diakses tanggal 12 Desember 2012 " The Obama Administration" terdapat di, http://iranprimer.usip.org/resource/obama-administration, diakses tanggal 18 Juni 2012 " AS cari sekutu melawan nuklir Iran" terdapat di, http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/04/15/462601/as- carisekutu-lawan-nuklir-iran/, diakses tanggal 12 Desember 2012 " UN Security Council Resolution 1929, Iran", terdapat di http://www.cfr.org/iran/un-security-council-resolution-1929-iran/p2243, diakses tanggal 05 Januari 2013
966