TAUHID DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
Oleh: ANWAR SODIK NIM: 101033121733
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008
1
2
MENYIBAK DIMENSI HUMANISME KONSEP TAUHID NURCHOLISH MADJID SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana
Oleh : ANWAR SODIK NIM: 101033121733
Di Bawah Bimbingan :
Dr. Zainun Kamal, M.A
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
3
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
yang
berjudul
“TAUHID
DAN
NILAI-NILAI
KEMANUSIAAN DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat. Jakarta, 31 Maret 2008 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Hj. Hermawati, M.A. NIP. 150227408
Drs. Ramlan A. Gani, M. Ag. NIP. 150254185
Penguji I,
Penguji II,
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, M.A. NIP. 150209685
Drs. Agus Darmaji, M. Fils. NIP. 15021902447
Pembimbing,
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A. NIP. 150228884
4
KATA PENGANTAR al-Hamdulillah, Puji syukur sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Merajai jagad raya ini dan dengan inayah-Nya pula di kesempatan kali ini setelah melalui aral yang tidak kecil dan tidak sedikit, akhirnya penulisan skripsi ini telah terselesaikan dengan baik, kendati kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ini masih menghinggapi. Shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada ‘Panglima Padang Pasir’, yakni baginda Nabi besar Muhammad SAW, para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman kelak. Tentunya, penulis menyadari betul bahwa banyak pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi yang cukup sederhana ini. Untuk itu, sudah seyogyanya penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tak langsung, terutama: 1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, DR. M. Amin Nurdin, MA., beserta Pembantu Dekan, DR. Hamid Nasuhi, MA. 2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, dan bapak Drs. Ramlan A. Gani, M. Ag., selaku Sekretaris Jurusan, dan seluruh Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, melalui perantara bapak-bapak dan ibu-ibulah, penulis lebih mengerti banyak hal, terutama sekali yang berkaitan dengan keushuluddinan dan kefilsafatan. 3. Kedua orang tua penulis, ayahanda H. Mardawis dan ibunda Hj. Arhati, yang tanpa lelah dan pretensi balas budi telah mengasuh, membantu, mendukung dan memberi semangat dalam keseharian dan terutama
5
pendidikan penulis, sehingga penulis bisa menjadi manusia seperti sekarang ini. Dan yang lebih berjasa sekali di balik perjalanan pendidikan penulis adalah Ka Eluk, Ka Embad dan Ka Syarif, karena dengan materi beliau-beliaulah penulis bisa melanjutkan pendidikan hingga saat ini. Tak lupa, penulis menyampaikan salam hangat dan terima kasih kepada adikadik tercinta, Nunung dan Uul. 4. Teman-teman Af tercinta; Sahal, Ivan, Daus, Cepy, Faruk, Opik dan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu. 5. Teman-teman sepak bola Cobarco Fc (Legoso, Mabar), PsKs Fc (Ps. Kemis Tangerang). Dan karyawan sepatu Reebok Tangerang (Bupping). 6. Teman-teman ngopi di Musholla Al-Mizan, Legoso; Bhote, Gebro, Bang Fitri, Malik, Buluk, Aray, Jelunk, anak-anak Ketos dan lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya. 7. Guru-guru beserta murid TPA Al-Mizan; Ka Hamdi, Ka Jazuli, Ka Darto, dan Ust. Agus Suryana S. ag. Juga teman spesial penulis Lia Aprilia. Akhirnya, sekali lagi dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, sumbangsih berupa saran, kritik dan pikiran sangat penulis harapkan. Terima kasih. Tangerang, 02 Maret, 2008 Penulis,
Anwar Sodik
6
PEDOMAN TRANSLITERASI ا
= Tidak dilambangkan
ل
=l
ب
=b
م
=m
ت
=t
ن
=n
ث
= ts
و
=w
ج
=j
ﻩ
=h
ح
=h
ء
= (tidak dilambangkan di awal
خ
= kh
د
=d
ي
=y
ذ
= dz
ة
= t (dalam posisi di-mudhaf-
ر
=r
kan)
ز
=z
س
=s
ش
= sy
ص
= sh
ض
= dh
ط
= th
ظ
= zh
kata)
h (dalam posisi tidak di-mudhaf-kan) ket; Mad, Fathatayn, Nisbah, Hâ Dhamir Mudzakkar Gha’ib, dan Al: a panjang = â i panjang = î u panjang = û ―ً
ع
=‘
غ
= gh
ف
=f
ق
=q
ك
=k
―ٌٍ
= an = tidak dilambangkan
َأ ْو
= aw
ي ْ َأ
= ay
َﻟ ُﻪdan ِﻣ ْﻨ ُﻪ
= lahủ dan minhu
Yâ nisbah = î (mudzakkar) Îyah(mu’annats)
7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................
i
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................
iii
DAFTAR ISI.............................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah.......................................
6
C. Kajian Pustaka.................................................................
7
D. Metodologi Penelitian .....................................................
9
E. Sistematika Penulisan .....................................................
10
SKETSA-BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID..........
11
A. Riwayat Hidup ................................................................
11
B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia
17
C. Beberapa Karya Utama ...................................................
23
HUMANISME: SEBUAH DESKRIPSI UMUM .............
28
BAB II
BAB III
A...................................................................................Humanis me: Asal-Usul dan Pengertian.........................................
28
B...................................................................................Perkemb angan Makna Humanisme...............................................
31
8
C...................................................................................Tauhid dan Humanisme dalam Perspektif Islam.........................
BAB IV
36
DIMENSI HUMANISME KONSEP TAUHID NURCHOLISH MADJID ..................................................
40
A. Hakikat Tauhid................................................................
40
B. Tauhid dan Kemanusiaan................................................
44
1. .............................................................................Emansip asi Harkat dan Martabat Manusia .............................
44
2. .............................................................................Inklusivi sme Keagamaan ........................................................
50
3. .............................................................................Meneguh kan Keadilan .............................................................
53
C. Tauhid dan Prinsip Dasar Politik (Negara ......................
56
1. .............................................................................Relasi Agama dan Negara....................................................
56
2. .............................................................................Islam dan Musyawarah .......................................................
60
3. .............................................................................Islam dan Partisipasi Politik................................................
63
D. Evaluasi-Kritis Konsep Tauhid-Humanis Nurcholish Madjid .............................................................................
65
9
BAB V
PENUTUP............................................................................
68
A. Kesimpulan .....................................................................
68
B. Saran-saran......................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
70
10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw.1Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang dari ajaran Islam.2 Secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring berjalannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distorsi pemahaman―yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam as.3Oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan kepada-Nya―yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qurân.4 Secara sosio-teologis, konsep tauhid yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad adalah tauhid yang tidak hanya terbatas pada persoalan kemurniannya, tapi juga 1
sensitif serta erat sekali kaitannya dengan suatu
Lihat misalnya, ( QS. 39: 38). M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 4. 3 Taib Tahir Abd Mu’in, Ilmu Kalâm ( Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), Cet. , Ke-3, h. 15. 4 Taib Tahir, Ilmu Kalâm, h. 16. 2
11
humanisme dan rasa keadilan, baik ekonomi maupun sosial.5Hal itu dikarenakan Islam sebagai agama datang untuk mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, seperti dicerminkan dengan tingkat ketaatan yang tinggi kepada Allah, pengetahuan tentang syari’at, dan terlepasnya umat dari beban kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, serta berbagai macam belenggu yang memasung kebebasan mereka.6 Terkait dengan asumsi tersebut, Rasulullah saw telah membuktikannya secara kongkrit selama kehidupannya, baik kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai pemimpin politik, khususnya di kota Madinah. Bahkan Michael H. Hart dalam bukunya Sejarah Seratus Tokoh berpendapat bahwa beliaulah nabi satusatunya manusia dalam sejarah yang meraih kesuksesan luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi yang paling berpengaruh di dunia.7 Lebih jauh Michael Hart menambahkan bahwa
Nabi Muhammad
memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap agama Nasrani. Ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap teologi Islam, tapi sekaligus juga pokok-pokok etika dan moralnya.8 Berdasarkan fakta sejarah, apa yang dinyatakan Michael Hart di atas sungguhlah benar adanya. Beberapa bukti sejarah pun dapat disebutkan sebagai berikut:
5
Fazlur Rahman, Islam, terjemahan: Ahsin Mohammad, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), Cet. , Ke-4, h. 3. 6 Jalaluddin Rakhmata, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 2004), Cet. , Ke-12, h. 43-44. 7 Michael H. Hart, The 100, Ranking of The Most Influential Persons in History, terjemahan: Mahbub Djunaidi, Sejarah Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Jakarta: PT. Dinia Pustaka Jaya, 1986), Cet. , Ke-8, h. 27. 8 Michael Hart, Sejarah Seratus Tokoh, h. 32.
12
Pertama, Nabi Muhammad telah mampu mendobrak sistem oligarkis perdagangan ekonomi Bangsa Arab kala itu―yang menganggap bahwa kekuatan hanya terletak pada kekayaan, tipu daya, kelicikan, dusta dan egoisme dan bukan pada kebenaran, keadilan sosial, cinta kasih, ketulusan serta kerendahan hati sebagaimana Islam mengajarkannya. Kedua, Nabi Muhammad adalah nabi pertama yang berani melakukan penghapusan perbudakan; menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan berbagai macam bentuk penindasan. Ketiga, Beliau pun telah mampu menciptakan dan menegakkan sebuah komunitas atau masyarakat manusia yang berdasarkan pada kesetaraan sosial, cinta kasih, keadilan, persaudaran dan juga sikap toleran terhadap kalangan nonMuslim9 dan lain sebagainya. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam melalui konsep tauhidnya betul-betul merupakan agama kemanusiaan dan keadilan. Kenyataan ini dikarenakan beberapa diktum al-Quran itu sendiri menopang dan memerintahkannya.10 Sungguhpun demikian, pada masa belakangan yaitu pasca timbulnya aliran-aliran teologi dalam Islam yang berawal dari pertikaian politik dalam rangka memperebutkan kursi kepemimpinan politik (khilafah) di masa kekuasaan Ali ibn Abi Thalib,11 pada akhirnya konsep tauhid ini pun mulai berubah menjadi
9
Ziaul Haque, Reveletion & Revolution in Islam, terjemahan: E. Setiawati al-Khatab, Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet. , Ke-1. h. 213-244. 10 Lihat misalnya, (Q.S. 2:164), (Q.S. 5: 16), (Q. S. 16: 64-65), (Q.S. 53: 1-18) dan (Q. S. 6: 159-163). 11 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet., ke-5, h. 1-11.
13
sebuah “diskursus ilmiah” yang cenderung melihat konsep tauhid tersebut secara rasional dan spekulatif-filosofis, sebagaimana dalam wacana teologis aliran-aliran kalam klasik. Akibatnya, tauhid yang pada awalnya memiliki spirit dan ruh kemanusiaan; penggugah semangat dan motivasi bagi kehidupan manusia secara berangsur-angsur memudar dari konsep awalnya. Hal ini, dikarenakan tauhid lebih didekati secara rasional. Dan, sebagaimana kita mafhum bahwa proses rasionalisasi mengandaikan adanya obyektivikasi. Dan setiap obyektifikasi akan lebih menekankan pada aspek fenomenanya tinimbang nomenanya. Oleh karenanya, terkait dengan hal itu dan dalam konteks itu pula, kiranya figur mendiang Nurcholish Madjid sebagai salah satu Intelektual―Muslim Indonesia garda depan ini, tidak bisa diabaikan begitu saja terkait dengan konsep tauhid yang digagasnya. Nurcholish Madjid―yang juga akrab disapa Cak Nur ini, menaruh apresiasi tersendiri terhadap konsep tauhid―yang juga cukup khas dan genuine dalam mengartikulasikan otentisitas ajaran Islam tersebut. Menurut Madjid, tauhid adalah kalimat syahadat atau persaksian. Di mana yang pertama itu mengandung apa yang populer dikenal dengan rumusan al-nafy wa al-itsbât (peniadaan dan peneguhan, negasi dan konfirmasi). Dengan negasi itu, demikian Madjid berpendapat, kita membebaskan diri dari setiap keyakinan mitologis (banalitas) yang palsu dan membelenggu serta merenggut martabat kemanusiaan kita sebagai makhluk Allah swt yang paling tinggi. Dan dengan konfirmasi itu kita
tetap
menyatakan
percaya
kepada
Wujud
Maha
Tinggi
yang
14
sebenarnya.12Dengan demikian, berangkat dari argumentasi logis Madjid, menghendaki
manusia―yang
telah
dibekali
kemampuan
yang
mendasar―mengarungi kehidupannya dengan penuh kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, setelah kita menanamkan keyakinan kepada Zat yang memberikan kehidupan kepada makhluk yang mengisi jagat raya ini. Dan masih menurut Madjid, bahwa beriman bukan hanya terbatas pada kepercayaan kepada Tuhan, tapi lebih dari pada itu, beriman juga berarti mempunyai orientasi ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan perkenan Tuhan sebagai pusat berpijak segala aktivitasnya di dunia ini.13 Lebih lanjut Madjid berargumen bahwasannya menjadikan ridha Tuhan dan penyerahan diri kepada−Nya secara total, maka dengan sendirinya sebagai hamba Tuhan yang beriman akan selalu mengikuti perintah-Nya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti, tidak bersikap sombong, tidak secara berlebihan ataupun berkekurangan dalam menggunakan hartanya―yang kesemua itu menurut Madjid adalah jenis rasa kemanusiaan dan tangung jawab sosial yang tinggi.14 Dengan
demikian,
adalah
hal
yang
urgen
bagi
penulis
untuk
mengelaborasi dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang gagasan tauhid Nurcholish Madjid ini. Dalam pada itu, sesungguhnya konsep tauhid yang ditawarkan Nurcholish Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks keindonesiaan masa kini, mengingat di satu sisi mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun di sisi lain ketimpangan sosial maupun ekonomi dengan 12
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. ,
Ke-3, h. Ii. 13
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Iiv. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. , Ke5, h. 32-33. 14
15
sangat mudah sekali dapat ditemukan baik secara kasat mata ataupun melalui media massa, baik elektronik maupun cetak yang ada di sekitar kita. Fenomena ini seolah merefleksikan bahwa Islam sebagai agama sangatlah tidak sensitif dan peka pada persoalan realitas kehidupan umat. B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis tidak berpretensi mengkaji seluruh aspek pemikiran
Nurcholish
Madjid,
namun
hanya
dibatasi
seputar
konsep
tauhidnya―yang menurut dugaan kuat sementara penulis sarat dengan dimensi nilai-nilai humanisme. Adapun rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut: Sejauh manakah dimensi humanisme konsep tauhid Nurcholish Madjid ? Demikianlah batasan dan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini. Adapun judul yang penulis ajukan dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di muka adalah Menyibak Dimensi Humanisme Konsep Tauhid Nurcholish Madjid. Menyibak di sini maksudnya adalah mengungkap secara lebih dalam dan teliti. Sedangkan dimensi humanisme adalah aspek dari sisi humanismenya itu sendiri. Dan untuk pengertian humanisme di sini adalah humanisme dalam konteks keagamaan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hak atau kapasitas untuk mengambil inisiatif dalam kehidupannya di dunia ini berlandaskan prinsip dasar ajaran agama yakni Surga (Tuhan) sebagai norma ideal bagi kehidupan peradaban manusia, di mana pada saat yang bersamaan ia harus memiliki komitmen untuk merealisasikan norma-norma ideal tersebut dalam
16
praktik kehidupan nyatanya di atas muka bumi ini.15Adapun yang dimaksudkan dengan konsep tauhid Nurcholish Madjid adalah gagasan Nurcholish Madjid itu sendiri tentang ide tauhidnya. Demikianlah beberapa penjabaran yang penulis lukiskan terkait dengan maksud judul yang digunakan dalam penelitian ini. C. Kajian Pustaka sepanjang pengetahuan dan kajian pustaka yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya tulis, baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang telah mengkaji lebih dahulu terkait dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun demikian, berdasarkan analisis penulis, dari seluruh kajian ilmiah tersebut, belum ada satu pun penelitian yang mengangkat sisi humanisme dari konsep tauhidnya Nurcholish Madjid. Untuk menunjukkan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan menguraikannya satu persatu, namun hanya sebagian saja―yang penulis anggap sudah cukup mewakili beberapa karya lainnya. Pertama, adalah buku dalam bunga rampai yang ditulis oleh Sukidi dengan judul Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001).dalam buku tersebut, Sukidi menguraikan tentang bagaimana pemikiran teologi Cak Nur berdasarkan perspektif filsafat perennial, yang kemudian Sukidi mengistilahkan dengan “Teologi Inklusif Cak Nur”. Menurut analisis Sukidi, bangunan epistemologi teologi inklusif Cak Nur berangkat dari asumsi bahwa al-Islam adalah sebagai sikap pasrah ke kehadirat Tuhan, di mana sikap pasrah inilah menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Di sini terlihat jelas sekali bahwa 15
The Encyclopedia of Philoshopy, (ed.) Paul Edwards (London: Macmillan Publishing & The Free Press, 1967), Vol. 3 & 4, p. 71.
17
Sukidi hanya melihat tauhid Nurcholish Madjid dari sisi inklusivitasnya saja terhadap agama-agama lain. Kedua, tulisan Mahmud Afifi, Teologi Islam AgamaAgama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (tesis, UIN Jakarta, 2003). Dalam pembahasan tesis itupun, Afifi tak jauh berbeda dengan apa yang dikaji Sukidi. Bahkan, fokus penelitiannya pun hanya ingin melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama, dilihat dari kacamata doktrin Islam (Alquran) serta relevansi dalam konteks saat ini. Terakhir, adalah Sutisna dengan judul Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid (Skripsi, UIN Jakarta, 2004). Tak jauh berbeda dari pembahasan sebelumnya, penelitian inipun masih berkutat pada pandangan teologi Pluralisme Nurcholish Madjid, yang tidak ada bedanya dengan beberapa penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan data-data tersebut, apa yang ingin dikaji penulis dalam penelitian ini tentunya sangatlah berbeda. Perbedaan itu dikarenakan penelitian ini lebih memfokuskan pada kajian konsep tauhidnya Nurcholish Madjid―yang menurut dugaan kuat sementara penulis sarat sekali dengan nilai-nilai humanisme, bahkan dapat dikatakan antara tauhid di satu sisi, dengan nilai-nilai humanisme di sisi lain merupakan satu kesatuan yang intrinsik dalam konsep tauhidnya Nurcholish Madjid. Oleh karenanya, adalah sebuah keharusan ilmiah dan intelektual melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut. Dan dalam konteks itu pula, masih terbuka lebar bagi penulis untuk melakukan penelitian (skripsi) ini, di samping juga belum ada yang meneliti sebelumnya sebagaimana telah penulis tunjukkan di muka.
18
D. Metode Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengacu kepada beberapa karya primer Nurcholish Madjid dan beberapa karya skunder yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Sebagian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini adalah Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) dan Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995) sebagai karya magnum-opusnya dan beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Di samping itu pula, penulis juga menggunakan beberapa karya pendukung lainnya, yang memiliki kaitan dan relevansi yang cukup signifikan dalam penyempurnaan penelitian skripsi ini. Adapun pendekatan metodologi penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini ingin mengungkapkan pemikiran tauhid yang memiliki dimensi kemanusiaan apa adanya. Sedangkan pendekatan analitis kritis adalah menganalisa serta menilai secara kritis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu juga kelemahan dari konsep tauhid Nurcholish Madjid. Mengenai teknik penulisan, di sini penulis mengacu kepada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Tahun 2004-2005 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
19
E. Sistematika Penulisan Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, studi kepustakaan, metodologi pembahasan dan terakhir sistematika pembahasan tentang penelitian ini. Bab II, menguraikan tentang sosok biografis intelektual Nurcholish Madjid beserta iklim intelektual sekitar yang mempengaruhinya, termasuk beberapa karyanya yang merefleksikan perkembangan pemikirannya. Bab III, menguraikan asal-usul dan perkembangan makna humanisme tersebut secara histories, dilengkapi penjelasan tentang tauhid dan humanisme dalam konteks Islam. Bab IV, merupakan kajian inti dimensi humanisme konsep tauhid Nurcholish Madjid dengan uraian tentang hakikat tauhid dan kaitannya dengan kemanusiaan serta prinsip dasar politik dalam kehidupan bermasyarakat disertai evaluasi-kritis terhadapnya. Bab V, merupakan kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini dan diakhiri saran-saran.
BAB II SKETSA BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid adalah seorang Intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas,16 sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan. Nurcholish Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Tepatnya pada tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H).17 Cak Nur―biasa disapa―genap pada usia 66 tahun kembali ke pangkuan Ilahi, Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1426 H, pukul 14. 05 WIB.18 Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.19 Sebagaimana anak-anak pada umumnya (kala itu), Nurcholish oleh ayahanda tercinta Abdul Madjid dan ibundanya Nyai Fathonah disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR) yang dilaksanakan pada pagi hari dan sore harinya Cak Nur belajar di Madrasah al-Wathoniyyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri,
16
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. I, h. X. 17 http://id.wikipedia.org/wiki:/Nurcholish Madjid. 18 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru Bangsa,,h. 1. 19 http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-Madjid/indexs.shtml
11 1
12
bertempat di kediamannya di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.20 Sejak di Madrasah itulah Abdul Madjid (salah seorang murid kesayangan KH. Hasyim Asyari) mengetahui kecerdasan otak anaknya dari beberapa prestasi pelajaran yang sering mendapat nilai tertinggi di sekolahnya, tentunya ini sangat membuat bahagia hati sang ayah atas prestasi anaknya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pelajar. Setelah tamat dari sekolah dasarnya pada usia 14 tahun lebih kurang, atau sekitar tahun 1955 sang ayah menganjurkan untuk melanjutkan pendidikannya di Daar al-Ulum Rejoso Jombang, Cak Nur pun yang memiliki cita-cita menjadi seorang Masinis kereta api itu mematuhi apa yang dianjurkan ayahnya. Tapi selang dua tahun kemudian, Nurcholish merasa tidak kerasan di Pesantren yang tidak begitu jauh dari tempat kediamannya itu. Konon tidak betahnya Nurcholish dikarenakan sering ia mendapat ejekan dari teman-temannya, sebagian gurugurunya dan juga sebagian orang di Desanya; “masa anak tokoh Masyumi mondok di Pesantren (NU) sih..! yang santrinya dan juga guru-gurunya pakai sarung?”. demikian ungkapan yang sering terlontar padanya. Cak Nur pun merasa tidak nyaman dengan adanya kata-kata ejekan itu, akhirnya ia dipindahkan ke KMI (kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) Pesantren Daar as-Salam Gontor Ponorogo,21 sebuah institusi pendidikan yang menghargai pluralitas madzhab dan juga sistem pendidikan satu-satunya di Pulau Jawa yang telah menerapkan pendidikan sistem modern yang seirama dengan perkembangan zaman, karena
20
Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan Dasi&Musdah Mulia tetap Berjilbab (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet. I. hal. 2-3. 21 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan Dasi&Musdah Mulia tetap Berjilbab, h. 4.
13
pesantren Daar as-Salam mengajarkan dua bahasa bertarap Internasional, yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan tidak lagi kegiatan belajar mengajarnya menggunakan sistem tradisional seperti sorogan. Kemudian Cak Nur melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu IAIN) setelah mengakhiri pendidikan pesantrennya, yang selesai pada tahun 1961. Ia masuk pada Fakultas Sastra dan Peradaban Islam, Jurusan Sastra Arab. Hingga pada tahun 1968 ia menyandang gelar Sarjana Muda dengan predikat terbaik tentunya setelah melalui kerja keras dan sungguh-sungguh serta keuletannya dalam belajar sebagai seorang pelajar yang sadar akan statusnya itu. Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia―secara langsung maupun tidak langsung―mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada dirinya, keluarganya,
juga
teman-teman
sepejuangannya.
Beberapa
gerakan
kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode langsung, yakni tahun 1966-1969 dan 1969-1971. selain di HMI, ia juga aktif di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan itu menjabat sebagai presiden pertama tahun 1967-1969, ia menjabat di persatuan ini sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga
14
baginya peran sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang latihan menjadi seorang pemimpin.22 Julukan Intelektual Muda telah melekat dalam diri Cak Nur, dikarenakan gagasan-gagasannya yang brilian tentang keagamaan banyak yang dianggap sebagai alternatif pencerahan intelektual dan yang selalu menjadi cubitan kecil dalam pemahaman tokoh keagamaan. Cak Nur punya keinginan melanjutkan studinya untuk menambah khazanah keilmuannya, Cak Nur pun menemukan jalan licin ketika tahun 1973 dua orang intelektual sekaliber internasional berkunjung ke Indonesia dalam rangka mencari peserta seminar dan loka karya,23dengan tema “Islam dan Tantangan Peradaban ke Depan”, yang bertempat di University of Chicago, yang dipromotori oleh Ford Fondation. Nama kedua intelektual itu adalah Fazlur Rahman dan Leonard Binder. Sebelumnya kedua intelektual itu telah memilih HM. Rasjidi (tokoh Masyumi) sebagai peserta loka karya dan seminar itu, namun karena umurnya yang tidak lagi muda maka pilihan pun beralih pada aktivis HMI itu, yakni Nurcholish Madjid. Pilihan kedua intelektual itu tidak serta merta beralih begitu saja, tentunya Nurcholish menjadi alternatif dari pilihan itu berkat pemikiran-pemikirannya yang selalu dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, juga gagasan keagamaannya (keislaman) yang membuat namanya dikenal banyak orang khususnya kaum akademisi.
22 23
h. 84.
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223. Greg Berton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. I,
15
Untuk menjadi peserta seminar dan loka karya di Negeri Paman Sam itu Nurcholish harus terlebih dulu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)24 sebagai persyaratan menjadi peserta. Setelah persyaratan itu terpenuhi dan keadaan fisik pun memadai akhirnya berangkatlah anak bangsa yang berprestasi itu ke Luar Negeri untuk menambah khazanah keilmuan dan pengalamannya. Program seminar dan loka karya telah usai, timbullah keinginan Cak Nur untuk tinggal lebih lama di Chicago untuk menimba ilmu di sana, Cak Nur pun memohon pada Leonard binder (salah satu intelektual panitia loka karya dan seminar) untuk melanjutkan studinya di Pascasarjana University of Chicago. Leonard Binder akhirnya mengabulkan permohonan Cak Nur untuk belajar ke Universitas itu. Awalnya Nurcholish dalam kajian politiknya di bawah bimbingan Leonard, namun Fazlur Rahman membujuknya terlebih dulu untuk mengambil kajian keislaman di bawah bimbingannya. Dengan sebab itulah banyak pemikirannya dipengaruhi dari pemikiran Fazlur Rahman sendiri, yaitu tentang konsep Neo-Modernisme yang diintrodusir oleh intelektual muslim asal Pakistan itu. Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoralnya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat Summa Cum Laude pun diraihnya.
24
Sutisna, “Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, (Jakarta: Perpustakaan Utama UIN, 2004. h. 26.
16
Layaknya seorang muslim pulang dari tanah suci, kembalinya Nurcholish dari Chicago pada tahun 1984, lebih dari seratus orang menyambutnya di Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Menyambut kedatangan seorang intelektual yang telah melakukan pendalaman keilmuan di Negeri yang konon sekuler itu, para tokoh Indonesia pun tidak mau ketinggalan, diantaranya: Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, AM Fatwa, dan para tokoh lainnya.25 Kembalinya Nurcholish ke tanah air, tanpa berlama-lama santai setelah menjalani
proses
penggemblengan
yang
luar
biasa
dalam
perjalanan
pendidikannya, ia pun langsung berbenah diri menatap dan berusaha memberikan yang terbaik untuk bangsanya dengan kontribusi pemikirannya terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan, kenegaraan dan keagamaan yang tidak menentu. Langkah-langkah yang ia lakoni untuk bangsa ini, diantaranya; menjadi staf ahli IPSK-LIPI (1984-2005), mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina (1985-2005), menjadi anggota Komnas HAM RI (1993-2005), pengajar Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1985-2005), anggota Dewan Pers Nasional (1990-1998), wakil ketua dewan penasehat ICMI (1990-1995), Fellow, Eisenhower Fellowship, Piladelphia, Ameika Serikat (1990), anggota MPR-RI (1987-1992 dan 1992-1997), serta pernah menjadi Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Kanada, tahun 1991-1992. Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita (meninggal dunia) dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya
25
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-Madjid/index.shtml.
17
dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sahabatnya Amin Rais mengungkapkan.26 Pemikiran-pemikiran Cak Nur terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan. B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia Telah banyak orang tahu, bahwa prestasi Nurcholish lebih banyak terukir di pentas pemikiran. Terutama pemikirannya tentang Demokrasi, Pluralisme, Humanisme dan Modernisme. Keyakinannya dalam memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan Westernisme. Bagi Cak Nur, modernisme adalah sama halnya dengan demokrasi (rasionalisasi) sebagai gejala Global. Gagasan Nurcholish tentang Pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim garda depan, pluralisme dalam bingkai Civil Society dan peradaban, terlebih di saat kondisi Indonesia sedang terjerumus dalam berbagai kemerosotan dan juga ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur pun pernah menyatakan, “jika bangsa Indonesia ingin membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaan itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak azasi manusia,” dengan kata lain bahwa membangun
26
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 79.
18
sebuah peradaban dalam bangsa yang majemuk tidak akan terlaksana tanpa memperioritaskan paham pluralisme dalam masyrakat dan sistem kenegaraan.27 Corak pemikiran Nurcholish selalu dalam konteks keindonesiaan, kendati ia pernah nyantri di Chicago namun tetap saja tema besar yang ia bawa tak pernah lepas dari pandangan dan pemikiran-pemikirannya selalu dalam lingkaran konteks keindonesiaan. Juga wawasannya dalam keagamaan, teori sosial, filsafat dan politik masih berada dalam bayangan keindonesiaan. Sepak terjang pemikiran Cak Nur dimulai ketika ia aktif di HMI dan menjadi imam HMI selama dua periode, sebab itulah kesediaan Cak Nur untuk menjadi imam HMI yang kedua kalinya membuat geram dan kecewa para tokoh senior HMI lainnya, salah satunya adalah Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Sehingga keduanya menjadi oposan dan memutuskan untuk keluar dari HMI. Perjalanan pemikirannya berlanjut ketika HMI gabungan dan PII juga GPII mengadakan halal bi halal. Pada acara itu, Nurcholish Madjid mendapat kesempatan ceramah di hadapan para aktivis dan ilmuwan. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi Cak Nur bisa mendapat kesempatan itu yang sebelumnya penceramah Dr. Alfian, peneliti LIPI dan kalangan dari PII (Pemuda Islam Indonesia) berhalangan hadir hingga akhirnya terpilih Cak Nur untuk menggantikannya. Di saat ceramah itulah dari dua bibir Cak Nur keluar kata-kata yang sangat menggegerkan dan controversial, yakni slogan “Islam Yes, Partai Islam No.” Ungkapan itu mengisyaratkan penolakannya terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai Islam Politik.
27
Marwan Saridjo, Cak Nur diantara Sarung dan Dasi, h. 18.
19
Pada tahun 1972, Nurcholish diminta memberikan pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki dalam sebuah forum Intelektual dan Kebudayaan yang sangat bergengsi dan prestisius itu. Dalam pidato itu, Cak Nur mempresentasikan posisi ide liberalnya, oleh sebab itulah HM. Rasjidi tergerak untuk menulis buku kritikan terhadap Cak Nur yang baginya pemikiran-pemikirannya telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Hakikatnya pemikiran-pemikiran Nurcholish penekanannya lebih kepada konteks Islam keindonesiaan,28 yakni mengemas doktrin Islam yang menghormati kemajemukan dan beragamnya visi dan misi dalam pemikiran individu maupun statement yang sudah menjadi konsensus dalam tiap-tiap komunitas. Nurcholish menghendaki kepada seluruh umat muslim Indonesia agar menyikapi keragaman Etnis, Budaya dan yang paling utama perbedaan keyakinan untuk lebih arif dan bijaksana serta proporsional. Sebagai seorang muslim tentunya kenal dan sudah paham terhadap fungsi ajaran umat Islam yang terkandung dalam rangkaian huruf ayat-ayat Alquran, hanya saja kaum muslimin tinggal berupaya mengaktualisasikan pesan Tuhan yang terdapat dalam kitab suci Alquran di kehidupan nyata. Baginya agama hanya akan dipandang benar bila memiliki komitmen emansipatoris dan solidaritas kemanusiaan,29 dalam pemahaman
lain
bisa
diuraikan
bahwa
agama
memiliki
kemampuan
membebaskan manusia dari kungkungan zamannya, seperti penindasan, kebodohan, keterbelakangan dan yang senada dengan itu. 28
Islam keindonesiaan yang berkembang pada saat Nurcholish hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan upaya merefleksikan ajaran Islam dalam konteks kekinian dan keindonesiaan. 29 Nurcholish Madjid, Islamic Roots of Modern Pluralism: Indonesia Experience, Studia Islamika vol. I, UIN Jakarta, 1984.
20
Menurut Nurcholish, modernisasi adalah sesuatu yang bersifat rasional, ilmiyah dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di alam. Baginya modernisasi adalah suatu keniscayaan karena itu bagian dari perintah Tuhan Yang Maha Esa, Cak Nur menjelaskan bahwa modernitas atau sikap modern mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yakni pendekatan kepada kebenaran Mutlak, jadi modernitas berada dalam suatu proses yaitu proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif menuju penemuan kebenaran yang Mutlak yakni Allah SWT. Untuk dapat melihat Neo-Modernisme yang di gulirkan Nurcholish Madjid, kita dapat melihatnya dengan hasil pemikirannya tentang peradaban Islam dan Modernisme Islam. Ia juga sangat intens terhadap persoalan keimanan (tauhid), akhlak, fiqih dan tasawuf yang kesemuanya bagian dari kajian keislaman. Menurutnya, tantangan yang paling berat bagi orang yang beragama adalah syirik atau politeisme bukannya ateisme, karena syirik memberikan peluang penyerahan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa. Nurcholish mengingatkan bahwa manusia mempunyai hawa al nafs yang kerap kali membuat kita angkuh atau arogan, sehingga menuhankan diri kita sendiri. Agar kita dapat menghindarinya dari itu semua manusia harus melakukan pembebasan diri, karena pembebasan ini akan membawa kepada kerendahan hati sehingga akan menjadi orang yang selalu dalam ketakwaan, taat kepada Allah SWT ataupun kepada sesame makhluk. Melihat pada konteks keindonesiaan, amatlah tidak mungkin bagi masyarakat Indonesia untuk mengelak dari masuknya kultur luar yang semakin
21
gencar. Unsur-unsur keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dengan keislaman ataupun sebaliknya, karena unsur-unsur keindonesiaan dan kemodernan ada dalam Islam. Tentunya keterkaitan antara keindonesiaan dan kemodernan dengan keislaman telah terlihat jelas dari beberapa jelas dari beberapa keterangan Nurcholish dalam corak pemikirannya yang terdapat pada sebagian karyanya.30 Nurcholish mengungkapkan bahwa ide tentang pertumbuhan dan perkembangan dengan sendirinya mengandung makna proses (dinamis), tahapantahapan untuk selalu mencari sesuai dengan masanya. Baginya, dalam islam tidak ada penyelesaian satu kali untuk selamanya (final), melainkan selalu berubah dan berbeda pada seiap ruang dan waktu. Bangsa Indonesia harus mampu menyelesaikan masalahnya dengan terlebih dulu menyesuaikan dengan budayanya masing-masing.31 Cak Nur ingin memulai islam dalam konteks keindonesiaan dengan rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap hukum klasik serta disesuaikan dengan kebutuhan pada masa kini. Menurutnya, untuk konteks Indonesia sangat mungkin adanya akulturasi islam dengan budaya lokal, sebagaimana yang terdapat dalam rumusan kaidah Ushul Fiqh bahwa adat atau kebiasaan masyarakat tertentu bisa dijadikan
landasan
hukum
(al
‘adatu
muhakkamatun),
tentunya
tidak
bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Corak keislaman dengan keindonesiaan memiliki kesinambungan pada ideologi Pancasila, Cak Nur berasumsi bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran 30 31
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixviii. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. IxxI.
22
Islam. Dari keterangan itu terlihat konsistensi Cak Nur dalam mengedepankan semangat Pluralisme. Selain dalam corak pemikiran Nurcholish yang keindonesiaan juga terletak dalam pemikirannya yang kekinian atau kemodernan, Nurcholish mencoba membawa pemahaman Islam dengan semangat kemodernan. Bahkan menurutnya, Islam pada dirinya sendiri secara inheren adalah agama yang selalu modern, kalau dilihat dalam perspektif sejarah modernisasi adalah aktifitas dan kreatifitas manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan dan kesulitan untuk memberi kemudahan dalam hidup. Nurcholish mengungkapkan betapapun kreatifnya suatu bangsa yang modern, namun bila dilihat ke belakang modernnya mereka hanyalah sebatas kealnjutan dari berbagai kreatifitas manusia sebelumnya. Modernitas merupakan suatu perjalanan sejarah yang cukup logis dan tak mungkin terhindarkan, perjalanan modernitas bagi Cak Nur adalah sesuatu yang cukup logis, sehingga harapan besar akan terjadinya modernitas juga diharapkan pada umat Islam. Berdasar pada pemahaman Nurcholish tentang Islam keindonesiaan dan kemodernan seperti yang telah dipaparkan sekelumit corak pemikirannya di atas, terlihat bahwa Islam yang fleksibel, mendasar dan lebih menghormati pada nilainilai kemanusiaan masih bisa dijadikan pijakan dasar untuk merekonstruksi paham keagamaan (keislaman) yang berbasis pada budaya lokal dan nasional Indonesia.
23
C. Beberapa Karya Utama Nurcholish Madjid tidak bedanya dengan pemikir-pemikir lainnya, bahwa setiap buah pemikirannya tertuang dalam goresan tinta. Buku adalah sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan ide dan gagasannya kepada manusia-manusia yang gandrung dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, dan bukulah yang pantas untuk menggoreskan tinta pemikiran seorang tokoh. Oleh karena itulah, Nurcholish berusaha mengabadikan pemikirannya di setiap lembaran-lembaran dalam buku. Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan di Indonesia merupakan kompilasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah yang pernah ditulisnya. Lain halnya dengan buku Khazanah Intelektual Islam, karena buku itu merupakan suntingan karya-karya pemikir muslim klasik yang sudah diterjemahkan Nurcholish ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pembahasan ini, karya-karya Nurcholish tidak bisa diungkapkan secara keseluruhan, namun hanya sebagian saja karyanya yang dianggap sudah cukup mewakili. Adapun karya-karyanya antara lain: Khazanah Intelektual Islam, buku terbitan PT. Bulan Bintang, Jakarta 1984 ini adalah langkah awal mengabadikan pemikirannya lewat tulisan disaat Nurcholish melewati hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat. Maksud buku suntingan ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang merupakan salah satu segi kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini Nurcholish juga memperkenalkan kepada para pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Adapun tokoh-
24
tokoh yang disebut Cak Nur dalam buku ini adalah: al-Kindi (258 H/870 M), alAsy’ari (w. 300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 M), Ibn Sina (370 H-428 H/980 M-1037 M), al-Ghazali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M), Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M), Jamaluddin al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H1323 H/1845 M-1905 M). penulis tegaska kemabli tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung 1987. dalam isi buku ini membincangkan tentang permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat itu, dan di sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an permasalahan-permasalahan menjadi wacana yang mengegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang controversial. Dengan sebab itulah, buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni sampai mengalami cetak ulang hingga 12 kali. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina adalah penerbit dari buku ini, Jakarta 1992. Nurcholish Madjid dalam buku ini menyinggung lembaga pendidikan tradisional pesantren. Kritikan Nurcholish tertuju pada kurikulum pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa materi keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan hanya dan selalu dalam bahasa Arab, seperti Fiqh, ‘Aqa’id, Nahwu-Sharaf.
25
Padahal menurutnya, ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang muslim berinteraksi dengan sesame, yakni semangat religiusitas dan juga Tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum kenyataannya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat dalam ilmu-ilmu eksak. Dalam buku ini tidak hanya tulisan Nurcholish yang membicarakan lembaga pendidikan tradisional pesantren tapi juga tulisannya Malik Fadjar serta laporan tim kompas. Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Diterbitkan oleh penerbit Paramadina 1992. dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari kelompok kajian agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang. Islam; Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Paramadina 1995. dalam buku ini yang menjadi tema besar adalah pada reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran pokok Islam yang selama ini telah mengalami pendangkalan dan salah kaprah umat dalam memandang ajarannya, mengakibatkan umat mengidentikkan dengan hasil penafsiran Ulama semata. Nurcholish Madjid dalam buku ini menghendaki agar umat Islam
26
Indonesia khususnya menjadikan Islam bisa kembali menjadi ajaran yang lebih aspiratif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Pintu-Pintu menuju Tuhan. Paramadina 1994. isi buku ini merupakan kumpulan tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish menjelaskan bahwa umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam telah menyediakan banyak pintu untuk menuju dan meraih perkenan Tuhan. Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina 1995. Kajian pokok dalam buku ini ada pada pembahasan tentang wajah Islam yang kosmopolit dan Universal, yang menampilkan nilai humanisme, keadilan, inklusivitas, pluralitas juga egaliter, tetapi pada saat yang bersamaan menampilkan Islam yang menampung nilai-nilai dan kultur parsial. Sehingga Islam sebagai ajaran yang universal dan kosmopolit tetap menjadi ajaran yang relevan di setiap perjalanan zaman. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Paramadina 1997. dalam buku ini memuat pikiran-pikiran Nurcholish Madjid tentang peran Intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan demokratisasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki era industrialisasi dan era tinggal landas. Masyarakat Religius, buku terbitan Paramadina 1997 ini mengetengahkan tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, dan konsep pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga. Dalam hal itu,
27
Nurcholish menerangkannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, tapi tidak berarti substansi permasalahan diabaikan. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 1999. dalam buku ini Nurcholish mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi yang fresh dan jernih. Di mana dalam uraiannya mengaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan. Selain buku-buku di atas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula karya Nurcholish yang sudah beredar di pasaran dan tidak sempat dimuat dalam bab ini. Buku-buku itu antara lain: Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid, Fatsoen Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradaban Islam, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Dialog Ramadhan dan Fiqh Lintas Agama. Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran Nurcholish Madjid di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok pemikir yang handal dan julukan pun melekat padanya, yakni seorang teolog, filosof, sejarawan, konseptor dan pembaharu yang selalu mengedepankan toleransi pada setiap perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang berpijak pada ajaran Islam.
BAB III HUMANISME SEBUAH DESKRIPSI UMUM A. Humanisme: Asal-usul dan Pengertian Humanisme merupakan paham kemanusiaan yang menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran. Paham ini diambil dari mitologi Yunani Kuno, yaitu ketika Bromotheus, dewa yang jatuh hati dan merasa kasihan dengan nasib manusia, hingga ia mencuri obor kebijakan (pengetahuan) dari para dewa untuk diberikan kepada umat manusia sebagai suluh, karena itu, tradisi humanisme hampir selalu bercorak melawan segala sesuatu yang berbau samawi (langit). Demikian pula awal Renaissance Barat diikuti oleh gerakan humanisme yang sangat kreatif terhadap dogmatisme agama (Kristen). Namun, istilah humanisme baru dipakai pada Abad ke 19 oleh aliran Eksistensialisme di Jerman. Sebelum Abad ke 19 atau sekitar Abad ke 14 humanisme tela menjadi gerakan filsafat yang lahir di Italia dan kemudian berkembang ke seluruh pelosok Eropa.32 Beberapa yang melatarbelakangi lahirnya humanisme dari adanya rasa kemanusiaan dan penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kebebasan memilih serta memandang yang terbaik oleh Tuhan, untuk itu terlihat kurang jelas bila pengertian tentang humanisme belum dikemukakan. Adanya banyak pengertian mengenai humanisme membuat penulis merasa perlu menjabarkan beberapa pengertian yang berbeda. Dalam kamus bahasa
32
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1989) h. 42.
28 1
29
Inggris Humanisme (humanism) memiliki arti perikemanusiaan.33 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia humanisme berarti suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal.34 Humanisme juga memberikan angggapan bahwa individu yang rasional sebagai nilai yang paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk perkembangan kratif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa mengacu pada konsep-konsep mengenai hal-hal yang di luar kacamata inderawi.35 Adapun dalam Encyclopedia of Britanica, bahwa humanisme berarti adanya pemujaan terhadap kemanusiaan. Ini terlihat pada budaya kesusastraan dan penghidupan kembali sastra klasik yang menekankan terhadap individu dan semangat kritis serta menitikberatkan pada karakteristik dari Renaissance yang sekuler. Bisa juga berarti paham kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia. Pengertian ini dapat dilacak pada paham filsafat yang menampik supernaturalisme dan menekankan pada kebebasan seseorang yang bernilai dalam kapasitas untuk meralisasikan diri dengan akal sehat.36 Pengertian humanisme berlanjut pada perjalanan sejarah yang sedikit memiliki peran dalam memunculkan pengertian tentang humanisme. Sebut saja aliran Eksistensialisme, lokomotif dan imam dalam aliran ini ada pada Jean-Paul Sartre. Ia ‘melicinkan jalan’ dalam pengertian humanisme ini melalui beberapa 33
John M. Echols dan Hasan Shadiliy, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 2003) cet. Xxv, h. 306. 34 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmuah Populer, (Surabaya, Arkola, 1994), h. 234. 35 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 2002), cet. III, h. 295. 36 Encyclopedia of Britanica 2003 Ultimate Reference Suite CD-Rom, (Inggris, 2003), dictionary 2, h. 1.
30
diskusi yang dia ikuti, kendatipun tak langsung terfokus pada masalah humanisme sebagai pembahasan karena ia lebih dikenal sebagai eksistensialis, namun pembahasan tentang humanisme tak terhindarkan sebagai bahasan kedirian manusia. Diskursus ini kemudian disusul oleh aliran Strukturalisme, dan seterusnya.37 Melihat dari beberapa keterangan tentang pengertian humanisme, sedikit punya pemahaman bahwa pengertian tentang humanisme sangatlah beragam, dan yang pasti tempat bersemainya wacana humanisme ada dalam filsafat, pengertian humanisme dimaknai secara beragam disebabkan karena tak terdapat pemaknaan yang tunggal terhadap kata ini. K. Bertens dalam bukunya menuliskan pengertian tentang humanisme yang sebelumnya A. Lalande telah memaknai itu. Bertens mengatakan bahwa humanisme sebagai gerakan para “humanis” pada zaman Renaissance; teori pengenalan filsuf Inggris F. Schiller; pandangan etis yang melihat perspektif manusia saja; dan pendapat yang menyoroti manusia menurut aspek yang lebih tinggi.38 Dengan demikian terlihat bahwa manusia makhluk yang bisa menentukan masa depannya sendiri tanpa harus bergantung pada sesuatu di luar dirinya, inilah salah satu paham yang melahirkan humanisme dengan melewati proses dialektika politik, budaya, agama, sosial dan lainnya. Berbagai pengertian dan pemahaman tentang humanisme berada dalam pemaknaan yang beragam sesuai dengan konteks dan perjalanan pemahaman hidup manusia, mungkin terlihat dari beberapa pemahaman tentang humanisme di 37 38
K. Bertens, Panorama Filsafat Barat, (Jakarta, Gramedia Pustaka, 1987), h. 32-36. K. Bertens, Panorama Filsafat Barat, h. 30.
31
atas lebih pada penekanan ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak azasi manusia B. Perkembangan Makna Humanisme Pemaknaan manusia dalam memahami humanisme sangat beragam dan menjadi bias ketika menusia memaknai pengertian humanisme berawal dari pemahaman-pemahaman yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat, baik itu doktrin agama, sistem sosial, rumusan filsafat dan lainnya. Persoalan humanisme selalu berkait dengan status telatif individu dan kekuasaan, seringkali Negara. Sejak Yunani Kuno telah terjadi perdebatan panjang antara mereka yang menghargai nilai kekuasaan. Plato mengatakan bahwa ketidaksamaan merupakan keadaan alamiah manusia (natural), dan masyarakat merupakan pengatur tertinggi atas individu.39 Tentunya pemahaman tentang humanisme ini lebih pada pemahaman ke filsafatnya. Memang humanisme lahir dari cikal bakalnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.m.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas―setelah Protagoras―dalam mengenakan ukuran kebajikan dan kebenaran terletak pada akal manusia.40 Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan dari akal budinya untuk mendapatkan kebaikan hidupnya baik secara personal maupun kolektif. Yang masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme 39
Harun Nasution dan Bachtiar Effendy (ed), Hak Azasi Manusia dalam Islam, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 93. 40 Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari A Short History of Philosophy, oleh Saut Pasaribu (Yogyakarta, Yayasan Benteng Budaya, 2002), h. 95.
32
(mikrokosmos) adalah Plato (428-347 s.m.) dan Aristoteles (348-322 s.m.), kendatipun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka (makrokosmos). Tokoh-tokoh di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan prinsip-prinsip bagi tindak tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia). Masa inilah yang disebut sebagai humanisme klasik.41 Memasuki Abad pertengahan (Abad ke-5 M hingga Abad ke-15 M), pemikiran filsafat hampir seluruhnya dikuasai oleh para Pendeta, Uskup, Biarawan, Imam, Suster atau yang biasa disebut klerus, yang selalu menghubungkan pemikiran filsafatnya dengan wahyu serta ajaran agama Kristen. Kajian utamanya bukan mengenai manusia, melainkan apa yang mereka―ajaran Bapak Gereja, Kitab Suci atau Bibel―katakan mengenai manusia, sehingga penyelidikannya mengenai teks-teks yang dominan dan yang dianggap memiliki otoritas Tuhan. Berulang kali penelusuran teks-teks ini dilakukan dan dikomentari terus-menerus, sehingga menjadi mata kuliah wajib di skolastik, kalaupun ada pertanyaan – pertanyaan sulit, maka mengacu pada karya – karya Aristoteles dan lainnya yang dianggap memiliki otoritas. Akibat dari teosentrisme, para filosof, ilmuwan dan pemikir barat merasa harus mengurangi dominasi gereja dan agama untuk kemajuan berpikir manusia sendiri supaya merdeka terhadap nasib dan masa depannya. Akibatnya orang mencari inspirasi baru sebagai alternative 41
Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, (Jakarta, STF Driyarkara, 1998), h. 6.
33
kebudayaan tradisional kristiani. Perhatian mereka pun tertuju pada kebudayaan Yunani–Romawi, sebagai satu–satunya budaya yang mereka anggap baik, kebudayaan ini dijadikan patokan dan model terhadap segala dasar kehidupan dasar manusia. Pada zaman Renaissance, sekitar abad ke 15 dan abad ke 16, yang terjadi di eropa, humanisme kembali diangkat. Hanya saja di bandingkan humanisme klasik yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan polis (Negara kota), maka humanisme renaissance menginginkan individualisme yang kuat. Ajaran ini mendorong pada pemujaan, tidak terbatas terhadap kecerdasan dan kemampuan individu. Karena kehendaknya adalah “manusia universal”. Para pemikir dan ilmuwan menyokong abad ini dengan menyumbangkan berbagai karyanya. Petrarka, Bocaccio, Michael Angelo, Raffael, menyelidiki dan menemukan hasil karya seni dan sastra yang berkualitas tinggi. Florenz, menerjemahkan tulisan – tulisan plato ke dalam bahasa latin. Johannes Gutenberg, menemukan mesin cetak. Galilea – Galileo (1564 – 1642), Leonardo Da Vinci (1452 – 1519), Niccon dengan “pengetahuan adalah kekuasaan” (1561 – 1626), mencoba melakukan penyeledikan Empiris – Experimental yang modern dan di anggap pasti, mengalahkan dominasi pandangan Aristotelian yang selama ini mengusai Eropa.
42
Dalam bidang keagamaan, Martin Luther (1483 – 1546),
melakukan gerakan reformasi gereja. Muncul juga penyelidikan anatomi dalam kedokteran, penemuan kompas, senjata api, pembangunan kota roma kuno, melalui gereja raksasa di Vatikan (1506) dengan luas 44 hektar yang dibangun 42
Jostein Gardner, Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat, (Bandung : Mizan, 2002), Cet. XII, h. 224.
34
selama 120 tahun, sebagai bukti keperkasaan manusia. Akhirnya penemuan ilmu pengetahuan dan kemajuan berpikir berdampak pada seluruh bidang kehidupan dan kebebasan serta kemampuan manusia mengusai alamnya. Kondisi ini semakin menguat di jaman pencerahan (Aufklarung atau Enlightenment) pada abad ke 17 dan ke 18. Di Inggris, abad ini di sebut juga dengan The Glorius Revolution, karena waktu itu terjadi revolusi inggris 1688, menggantikan raja James II oleh William Oranien, yang menghasilkan konstitusi pertama didunia secara modern.
43
Peraturan inilah yang menjadi “Declaration of Rights” (1689), dan “Bill of Rights”.
44
Pada jaman ini manusia di tuntut untuk mencari cahaya didalam
akalnya sendiri. Sebagaimana Immanuel Kant (1724 – 1804) mengatakan bahwa manusia harus keluar dari sifat terlalu bebasnya sendiri sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuatnya selama ini.45 Dengan semangat jamannya, berbagai penemuanpun berlanjut, Isaac Newton (1643 – 1727) meletakkan dasar – dasar fisika dan hukum grafitasinya. John Locke (1632 – 1704) mendesak pengakuan hak – hak minoritas untuk beroposisi dalam pemerintahan. Di Perancis abad ini telah melahirkan agama baru yakni Deisme, agama kodrati yang berdasarkan rasio serta pendirian sebuah patung dewi rasio di dalam katedral Notre Dame, serta revolusi Perancis. Sementara di Jerman, pencerahan terlihat tenang, karena pusat perhatiannya tertuju pada bidang moral, mengetengahkan hubungan antara rasio
43 44
Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 9. Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 10
35
dan wahyu Kristen. Di dalam periode idealisme Jerman, lahir aliran Neo – Humanisme, di samping idealisme Jerman dan Zaman klasik romantik. 46 Neo humanisme ingin mencapai manusia ideal, yang mana mengutamakan supaya semua nafsu dijinakkan, mencapai kesempurnaan antar tubuh dan jiwa, dan memanusiakan manusia (Herder, 1744 – 1803). Bagi mereka bukan manusia rasional yang diperlukan sekarang, tapi manusia yang etis dan estetis. Sementara itu, Auguste Comte (1798 – 1897), menginginkan pendirian “agama kemanusiaan”. 47 Kemajuan
ilmu
pengetahuan,
teknologi,
gerakan
sosial-politik,
demokratisasi, hak azasi manusia, globalisasi dan lainnya diklaim sebagai hasil jerih payah dari kelompok yang mengedepankan rasionalitas. Di Barat kecendrungan semacam ini membawa pada apa yang mereka sebut sebagai humanisme sekuler atau humanisme ateis. Salah seorang pemikir yang bisa dikategorikan masuk dalam humanisme ateis adalah Friedrich Nietzsche (18441900), yang menyatakan bahwa “Tuhan telah Mati” (God is Dead).48 Setelah terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak, konflik yang diderita humanisme semakin kompleks. Padahal dalam manifesto I, tahun 1933 di Jerman, semangat gerakan humanisme adalah “satu dunia” (one world) di mana, “semua manusia bersaudara”, di atas segalanya. Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan suka rela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika itu pula kata “universal” menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala 46
Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 12. Robert C. Solomon dan Cathelen M. Higins, Sejarah Filsafat, h. 95. 48 Sindhunata, Kritik Humanisme Ateis, Basis (Yogyakarta, 2000), h. 3. 47
36
itu amat tegang dan kalang kabut menghadapi ancaman terorisme, sayangnya kemudian tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak seimbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama yang kemudian berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan makna dari kata “universalitas”. Bahkan sebagian orang berpendapat, globalisme dan kosmopolitanisme adalah “universal” yang baik dan tepat, dan sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang manusiawi.49 C. Tauhid dan Humanisme dalam Perspektif Islam Tauhid merupakan salah satu ajaran utama Islam yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui para utusannya (nabi dan rasul), dan tauhid pulalah yang mendasari akidah kaum muslim. Seorang muslim belum bisa dikatakan sebagai kaum muslimin kalau ia menolak tauhid atau meragukannya. Di sini terlihat bahwa betapa pentingnya memahami tauhid yang sebagai inti dari ajaran islam, dikarenakan bahwa tauhid mendasari seluruh pemikiran manusia tentang dunia dan sebagai konsepsi islam yang dapat dipertentangkan dengan sekulerisme, humanisme atau eksistensialisme.50 Tauhid memang satu, tetapi dalam perkembangan pemikiran islam telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna atau telah dikonseptualisasikan dalam bermacam-macam paham. Paham-paham yang lahir dalam aliran ilmu 49 50
Erita Narhetali, “Humanisme Sudah Mati?”, Kompas, 27 maret 2003. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung, Mizan, 2004), cet. xii. h. 178.
37
kalam sejak Muktazilah hingga Khawarij pun menunjukkan perbedaan konseptualisasi paham tauhid ini. Dan tauhid merupakan ajaran islam yang paling esensial berkaitan dengan keimanan, seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Kitab-Kitab, Hari Kiamat, Qada dan Qadar, di mana rukun itu harus dipahami, dimengerti dan dihayati dengan baik oleh seorang muslim, sehingga akan membawa kepada kesadaran akan kewajibannya sebagai hamba Allah akan nampak dalam pelaksanaan ibadah, tingkah laku, sikap dan perbuatan serta tutur katanya dalam keseharian, yang kemudian tauhid akan menimbulkan cita-cita dan kemauan, yang pada gilirannya timbullah aktivitas dalam kehidupannya. Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT.51 Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang diciuptakan oleh para mutakallimin atau teologi dialektis islam), kata – kata tauhid dimaksudkan sebagai paham “memahaesakan tuhan” atau lebih sederhananya paham “ketuhanan yang maha esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidak terdapat dalam al – qur’an (yang ada dalam al – qur’an) adalah kata – kata “ahad” atau “wahid”, namun istilah ciptaan kaum mutakallimin itu memang secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “memahaesakan tuhan”. Bahkan secara jelas tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul yang diutus untuk setiap
51
B. D. Mc Donald, Tauhid. Dalam M. TH. Houtsma, et all. Frist Encyclopedia of Islam (eiden E. J. Brill, 1987), vol. 8, h. 704
38
kelompok manusia di bumi hingga kelahiran nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.52 Pemahaman manusia – khususnya kaum muslimin – tentang konsep tauhid tentunya memiliki latar belakang historis yang saling berkaitan dengan konteks sosio-cultural manusia. Di sinilah salah satu faktor dari keragaman pemahaman kaum muslimin memahami tauhid, dengan bertitik tolak pada pemahaman dalam fungsi tauhid yang sejatinya membebaskan manusia dari mitologi atau takhayul dan juga berbagai kepalsuan – kepalsuan yang dipercayai. Islam, oleh banyak penulis sejarah, bukan hanya dianggap sebagai agama baru, melainkan juga Liberating Force,53 yang berarti bahwa islam merupakan kekuatan pembebas umat manusia dari berbagai macam penindasan dan diskriminasi, atau juga pembebas dari tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia, yang semestinya mendapat perlakuan yang sewajarnya dengan manusia yang lainnya. Islam dan Humanisme, di antara keduanya memiliki keterkaitan yang saling mendukung dan menguatkan, keduanya juga merupakan prinsip keseimbangan yang tidak bisa diceraikan begitu saja, secara totalitas ajaran – ajaran islam adalah yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Ini terbukti dalam kitab suci umat islam (Al – Qur’an), pada surat Al - Baqarah ayat 22, surat Al - Maudidah ayat 5, surat An - Nissa ayat 22, 23 dan 24, surat An - Nur ayat 32, surat Al - Mumtaharah ayat 10 – 11, surat An - Nisaa ayat 7 – 12, 176, surat Al - Baqarah ayat 180, surat Al -Maudidah ayat 106, surat 52 53
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 72 – 73. Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif. h. 65.
39
Al - Baqarah 279, 280 dan 282, surat Al - Anfaal ayat 56 - 58, surat Al - Taubah ayat 4, surat Al - Baqarah ayat 178, surat An - Nisaa ayat 92 – 93, surat Al Maudidah ayat 38, surat Yunus ayat 27, surat Al - Israa ayat 33, surat As - Syuura ayat 40, surat An - Nisaa ayat 59, Surat Ali - Imron ayat 159, surat Asy - Syuuraa ayat 38, surat Al - Baqarah ayat 190 – 193, surat Al - Anfal ayat 39,41, surat At Taubah ayat 5, 29, dan 193, surat Al - Hajj ayat 39, 40, surat Al - Hujuraat ayat 13 dan surat Al -Baqarah ayat 177.54 Surat dan ayatnya yang telah di sebutkan diatas merupakan salah satu bukti dari peran islam yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan yang juga merupakan tujuan dari gerakan humanisme. Islam adalah sebuah humanisme, yakni agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral, inilah nilai dasar islam. Tapi berbeda dengan prinsip – prinsip filsafat dan prinsip – prinsip agama lain, humanisme islam adalah humanisme teosentrik. Dengan kata lain, bahwa islam merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada Keimanan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.
Prinsip
humanisme
teosentrik
inilah
yang
kemudian
akan
ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.
54
Al Qur’an dan terjemahannya : Juz 1 – Juz 30, (Jakarta: Depag RI, 1994), h. 100.
BAB IV DIMENSI HUMANISME KONSEP TAUHID NURCHOLISH MADJID A. Hakikat Tauhid Salah satu aspek pokok yang paling mendasar sekaligus otentik dari ajaran Islam adalah tauhid.Yakni meyakini sekaligus menyadari bahwa hanya Tuhan Yang Satu dan Maha Esa-lah yang patut disembah. Secara teologis, konsep dasar ini dengan tegas dan gamblang memiliki pijakan dasarnya yang cukup kuat di dalam beberapa diktum Alquran.55Sedangkan secara filosofis mengandaikan akan kesadaran penuh kepada mereka yang meyakininya bahwa manusia tak lain kecuali makhluk-Nya yang jauh dari kesempurnaan dan bersifat nisbi. Dengan kata lain, tidak ada satu pun wujud (tuhan-tuhan) yang patut disembah dan pantas untuk dimintai pertolongan serta inayahnya kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Nurcholish Madjidyang akrab disapa Cak Nur iniTuhan yang sebenarnya adalah; Maha Esa; Maha Hadir dalam hidup ini yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita; Yang perkenan atau ridha-Nya harus dijadikan orientasi hidup dalam bimbingan hati nurani yang sesuci-sucinya mengikuti jalan yang lurus; Yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia dan seluruh yang ada.56 Dalam kalimat syahâdat “Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh, demikian Nurcholish Madjid menyatakan, persaksian yang pertama itu mengandung apa
55
Lihat. (QS: 112: 1) Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cet. , Ketiga, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. Ii. 56
41 1
41
yang secara masyhur dikenal sebagai rumusan ‘al-nafy wa al-itsbât,’ atau peniadaan dan peneguhan, negasi dan konfirmasi. Dengan negasi itu kita membebaskan diri dari setiap keyakinan yang banal dan palsu; membelenggu serta merenggut martabat kemanusiaan kita sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Adapun dengan konfirmasi itu kita tetap menyatakan kepada wujud Maha Tinggi yang sebenarnya.57 Dengan demikian, bagi Cak Nur, tidaklah cukup dengan hanya mengimani adanya Tuhan, tapi pada saat yang bersamaan menjadikan sesuatu yang bukan Tuhan itu sendiri sebagai tuhannya, yang pada hakikatnya tidak memiliki sifat keilahian yang dalam term agama disebut dengan musyrik, yaitu menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya. Berdasarkan penjelasan tersebut sebagai konsekuensinya, menurut Cak Nur, kita harus sepenuhnya bersandar kepada-Nya. Bergantung dan menaruh kepercayaan serta berpandangan positif kepada-Nya. Ini semua, lebih lanjut Cak Nur berargumen, merupakan kebalikan diametral dari sikap kaum musyrik berdasarkan surat al-Zumar ayat 38:
“Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik) siapa yang menciptakan langit dan bumi pasti mereka menjawab, Allah. Katakan (kepada mereka); apakah kamu memperhatikan sesuatu yang kamu berseru kepadanya selain Allah itu? Jika Allah menghendaki marabahaya kepadaku,
apakah
mereka
(berhala-berhala)
itu
dapat
menghilangkan
marabahaya itu? Atau jika Dia (Allah) menghendaki rahmat bagiku, apakah
57
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ii
42
mereka menahan rahmat itu? Katakanlah lebih lanjut, cukuplah bagiku Allah saja dan kepada-Nyalah mereka yang mau bersandar.”58
Jadi, bagi Nurcholish Madjid, percaya akan adanya Tuhan sebagai Wujud Tertinggi yang dijadikan kekuatan supra-rasional dalam kehidupan manusia, tidaklah menjamin dan berkorelasi positif secara linier dengan hakikat makna tauhîd itu sendiri. Kenyataan ini dapat dilihat lebih jauh dalam sejarah peradaban bangsa Arab pra-Islam itu sendiri sebagaimana digambarkan oleh intelektual Muslim kenamaan Isma’il al-Faruqi:
“ Inskripsi Arabia Selatan (Ma’in, Saba’ dan Qhataban), begitu pula Arabia Utara ( Lihyan , Tshamud dan Shafa) memberi bukti bahwa suatu dewa maha tinggi (supreme deity) yang disebut al-ilah atau Allah telah disembah sejak masa dahulu kala. Dewa Ioni mengairi tanah, membuat palawija tumbuh, raja kaya berkembang biak dan sumber air serta sumur mengeluarkan air yang memberi hidup. Di Mekkah, juga diseluruh Jazirah Arabiah, Allah diakui sebagai pencipta dari semuanya, Pangeran seluruh alam, penguasa langit dan bumi,Pengawas tertinggi segala-galanya. Allah adalah nama dewa yang paling banyak disebut. Tetapi fungsinya didelegasikan atau diambil alih oleh dewa-dewa lain yang lebih kecil dan pengaruh-Nya yang luar biasa dinyatakan dalam matahari dan rembulan misalnya. Kualitas-kualitas-Nya dijelmakan dan digantikan ke dalam dewa-dewa atau dewi-dewi selain daripada-Nya (Allah). 58
h. 4-5.
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet. V. ( Jakarta: Paramadina, 1999),
43
Dengan
begitu
timbullah
sejumlah
pantheon
yang
setiap
anggotanya
memperhatikan sama juga suatu kebutuhan tertentu atau suku tertentu dan mewakili suatu ciri khusus, tempat, obyek, atau kekuatan yang menunjukkan kehadiran, perhatian dan kekuasaan-nya yang bersifat ilahi. Allah, seorang dewi, digambarkan sebagai anak perempuan Allah dan diidentifikasikan dengan matahari oleh sebagaian, dengan rembulan oleh yang lain. Al-Uzzah adalah seorang anak perempuan ilahi yang kedua, yang dihubungkan dengan planet Venus, Maniat anak perempuan ketiga, mewakili nasib. Dzu al-Syara dan Dzul Khalasah adalah dewa-dewa yang mengambil nama dari tempat-tempat ramalan nasib, Dzul Kaffayn dan Dzul Rijl diasosiasikan dengan anggota badan yang mempunyai makna tertentu, meskipun tidak diketahui. Wudud, Yaghuts, Ya’qub dan Suwa adalah dewa-dewa yang mengambil nama dari fungsi-fungsi ketuhanan untuk berturut-turut, cinta, pertolongan, perlindungan dan penerapan siksa yang pedih. Dewa Hubal, yang memiliki patung paling menonjol di Ka’bah, mempunyai tangan yang terbuat dari emas yang murni al-malik (raja), alRahman (Pengasih), dan al-Rahim (selamanya Pengasih) mengidentifikasi dewadewa atau barangkali mewakili fungsi-fungsi ketuhanan maha tinggi dari suatu Dewa dengan suatu nama yang lain.”59
Dengan demikian, hakikat makna tauhid tidaklah cukup hanya dengan mengimani akan keberadaan-Nya, tapi lebih daripada itu adalah mempercayai bahwa Allah itu dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian
59
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur, (Jakarta: KPP, 2004), h. 19.
44
dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain. Oleh sebab itu, apabila kita berhasil mewujudkan itu semua dalam diri kita, maka kita benar-benar telah ber-tauhid, demikian Cak Nur berujar.
B. Tauhîd dan Kemanusiaan: 1. Emansipasi Harkat dan Martabat Manusia Tauhid, sebagai asas dasar keberimanan seorang Muslim sebagaimana telah diuraikan, merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawa-tawar lagi. Oleh karena tauhid dalam artian berserah diri secara total dan sepenuhnya dan menjadikannya orientasi kehidupannya di dunia ini merupakan inti dan hakikat dari agama dan keberagamaan itu sendiri. Dengan demikian, setidaknya terdapat beberapa konsekuensi dasar dari perinsip tauhid tersebut.60Tuhan adalah sebagai satu-satunya sumber otoritas kebenaran tertinggi. Dengan ungkapan lain, tidak ada seorang anak manusia pun sebagai makhluk ciptaan-Nya yang nisbi tersebut mengklaim secara mutlak serta memonopoli kebenaran bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Tatkala seseorang mengklaim hanya dirinyalah yang paling benar, pada saat bersamaan menganggap orang lain salah sepenuhnya, maka pada hakikatnya orang tersebut telah terjebak dalam kemusyrikan. Hal ini jelas bertentangan sekali dengan spirit dasar tauhid itu sendiri. Tipikal orang semacam inilah yang dalam istilah Cak Nur disebut thâgût atau tiran, yaitu sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain tanpa memberi
60
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 2.
45
peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas.61Dalam pandangan Cak Nur, belenggu atau tiran yang seringkali membuat manusia congkak dan angkuh terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya adalah “hawa nafsu”.62 Hawa nafsu ini pula yang menjadi sumber pandangan-pandangan subjektif yang dengan sendirinya juga menghalangi seseorang dalam melihat kebenaran. Secara tidak sadar orang tersebut pada hakikatnya telah menjadikan hawa nafsu-nya sebagai tuhan yang selalu ia taati. Disebabkan karakter dasar dari hawa nafsu itu sendiri yang bersifat tiran dan membelenggu kebebasan seseorang menuju pada kebenaran yang sesungguhnya, maka pada gilirannya ia akan terkurung di dalam sangkar kesesatan dan kenaifan. Bahkan, orang itu pun akan lebih bersikap tertutup dan fanatik yang menyebabkan dirinya bersikap reaktif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, tanpa mempertanyakan maupun merefleksikan terlebih dahulu kemungkinan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Menurut Cak Nur,63 dengan mengutip firman Tuhan, gambaran seseorang yang terkungkung oleh tiran semacam ini telah terjadi di masa lalu:
“…Apakah setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa kebenaran) dengan sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu menjadi congkak, sehingga sebagian (dari para rasul itu) kamu dustakan, dan sebagaian lagi kamu bunuh?!” Mereka yang menolak itu bertanya, “hati kami telah tertutup
61
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 126 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 81 63 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 82 62
46
(dengan ilmu)!” Sebaliknya, Allah telah mengutuk mereka karena penolakan mereka (terhadap kebenaran), maka sedikit saja mereka percaya.” (Q.S: 45: 23).
Ayat tersebut bagi Cak Nur, memiliki pesan moril kepada umat manusia akan bahaya kecongkakan dan sikap tertutup karena merasa telah berilmu, sehingga jauh dari pelita cahaya kebenaran. Nah, agar seseorang dapat terhindar dari sikap semacam itu, maka ia perlu melakukan pembebasan terhadap dirinya sendiri (self liberation), dan hal ini hanya mungkin jika dan kalau orang tersebut meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah, melalui penyerahan dirinya secara total kepada-Nya. Efek tauhid inilah yang pada gilirannya memberikan semangat pembebasan dalam diri seseorang, sekaligus mengangkat harkat dan martabat kemanusian pribadi yang bersangkutan. Ibn Taymiyyah misalnya, sebagaimana yang dikutip oleh Cak Nur, menyatakan bahwa tauhid secara inheren berakibat kepada pembebasan manusia dari segala macam kepercayaan palsu seperti mitologi-mitologi. Kepercayan palsu atau mitologi yang secara wataknya sendiri selalu membelenggu manusia, itu biasanya berkisar sekitar praktik pemujaan selain Allah Yang Maha Esa, sehingga tercipta pujaan-pujaan (âlihah, jamak ilâh) yang palsu, bahkan juga pemujaan kepada kecenderungan mengikuti hawa nafsunya sendiri.64 Inilah yang dalam pandangan Cak Nur disebut sebagai hakikat dari hilangnya harkat dan martabat kemanusiaannya yang tinggi.65Ia tidak lagi menjadi pribadi manusia yang merdeka, dan ia dengan sendirinya menjadi budak dari
64
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Cet. , II, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 190. dan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 96. 65 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 97.
47
obyek yang disembahnya; Yang tentunya secara kualitatif jauh lebih rendah dan hina daripada dirinya sendiri. Padahal, manusia sejatinya adalah makhluk yang paling tinggi kedudukan dan derajatnya, sekaligus ‘puncak’ ciptaan
Tuhan
dibandingkan makhluk-Nya yang lain. Maka, seseorang yang menjadikan obyek sembahan dan kebergantungan hidupnya selain kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesungguhnya ia telah menghinakan dan merendahkan sisi kemanusianya sendiri yang justru bertentangan dengan semangat tahuhid. Namun demikian, dampak dari tauhid tidak hanya membawa akibat emansipasi bagi pribadi manusia yang bersangkutan saja, tapi juga bagi pola hidup saling menghormati sesama manusia. Maka dari itu, kualitas pribadi-pribadi manusia yang bertauhid, sudah barang tentu memiliki dampaknya juga bagi kehidupan sosialnya. Salah satu efek yang paling penting sekali adalah semangat pembebasan sosialnya dalam bentuk sikap dan paham egaliterianisme.66Hal ini dikarenakan setiap pribadi manusia berharga sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab langsung kepada_Nya. Tidak seorang pun dari mereka yang dibenarkan diingkari hak-hak asasinya, sebagaimana juga tak seorang pun dari mereka yang dibenarkan mengingkari hak-hak asasi pribadi yang lain. Berdasarkan prinsip itu, maka tauhid menghendaki sistem kemasyarakatan yang demokratis, terbuka, adil dan bebas berekspresi untuk saling mengungkapkan pendapatnya dalam rangka mencari titik temu dan kebenaran. Karena itu, Cak Nur menandaskan, setiap bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak adalah bertentangan dengan jiwa
66
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 102-03.
48
tauhid. Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasan mutlak pada sesama manusia adalah tidak adil dan beradab. Sikap pasrah secara mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa mensyaratkan akan kehidupan tatanan sosial yang adil, terbuka dan demokratis sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.67 Konsekuensi lain yang dapat ditarik adalah timbulnya paham akan persamaan manusia yang egaliter dan sejajar antara satu dengan yang lainnya. Yakni dilihat dari sisi harkat dan martabatnya yang asasi sebagai pangkal humanisme atau kemanusiaan di dalam pandangan Islam. Karena itu, tidak seorang pun berhak merendahkan atau menguasai harkat serta martabat manusia lain. Seperti memaksakan kehendak dan pandangannya terhadap orang lain.68 Dengan begitu, maka setiap orang memiliki hak dan kebebasanya masing-masing, sehingga ia menjadi makhluk moral dalam artian manusia memiliki tanggung jawab atas pilihan dan tindakan yang dilakukannya berdasarkan petunjuk agama dan akal-pikirannya. Baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Menurut Cak Nur, hal ini mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia memiliki hak dasarnya untuk memilih dan menentukan perilaku moral dan etisnya.69 Tanpa kebebasan tersebut, adalah tidak logis bagi manusia itu sendiri untuk dimintai pertanggung jawabannya. Inilah salah satu kemuliaan tertinggi, sekaligus yang membedakan derajat dan martabat manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Oleh sebab itu, demi harkat dan martabatnya, manusia harus menghambakan diri hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam gambaran
67
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 3-4. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 4. 69 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan. (Jakarta: Paramadina), 1995, cet. h. 68
191-93.
49
grafisnya, demikian Cak Nur berujar, manusia harus melihat ke atas hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada alam harus melihat ke bawah. Sedangkan kepada sesamanya manusia harus melihat secara mendatar atau horizontal. Hanya dengan itu, Cak Nur kembali menandaskan, manusia menemukan dirinya yang fitri dan alami sebagai makhluk dengan martabat dan harkat yang tinggi.70 Dengan ungkapan lain, manusia menemukan kepribadiannya yang utuh dan integral serta otentik, hanya jika ia memusatkan orientasi transendentalnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya, apabila manusia menempatkan harkat serta martabatnya kepada sesamanya, apalagi pada obyek semacam gejala alam, maka ia akan kehilangan kebebasannya. Pada gilirannya, berakibat pula pada hilangnya kesempatan dan kemungkinan mengembangkan diri ke tingkat yang setingitingginya. Jadi, menurut Cak Nur, dengan menempatkan tauhid sebagai landasan dasar orientasi kehidupan manusia yang dalam bahasa sehari-hari menjadikan ridha Tuhan sebagai titik tolak segala perbuatannya; Tuhan sebagai asal sekaligus tujuan hidupnya.71Maka manusia telah menempatkan dirinya berdasarkan fitrahnya yang otentik dan merdeka dari segala macam bentuk tiran (thâgût) yang membelenggu pribadi manusia itu sendiri, sekaligus menghalanginya menuju jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhai-Nya dengan segenap cahaya kebenaran yang terkandung di dalamnya.
70 71
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 97. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 97-98.
50
2. Inklusivisme Keagamaan Absennya sikap toleranintra maupun antar ummat beragamayang pada akhirnya melahirkan konflik sosial-keagamaan di negeri ini, sedikit banyak mencerminkan bagaimana bangunan sikap keberagamaan itu sendiri. Apa yang termanifestasikan dalam keseharian seseorang adalah merefleksikan bagaimana pandangan dan pemahaman keagamaannya tersebut. Dengan ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa toleran atau tidaknya seseorang yang beragama terhadap pemeluk agama lainnya adalah bergantung kepada inklusif atau eksklusifnya pemahaman keagamaan yang dimilikinya tersebut. Seseorang yang memiliki pandangan inklusif dengan sendirinya ia akan bersikap toleran, baik intra maupun antar umat beragama, sebaliknya, seorang yang eksklusif pun demikian. Ia akan lebih cenderung bersikap intoleran terhadap mereka yang bersebrangan terhadap paham maupun keyakinan agamanya. Terkait persoalan di atas, maka Cak Nur menekankan sekali perlunya paham inklusivisme bagi kaum Muslim. Seperti, toleransi, kebebasan, keadilan dan keterbukaan. Hal ini dikarenakan agama Islam, demikian Cak Nur berargumen, adalah agama universal untuk sekalian umat manusia, yang pada saat bersamaan tanpa harus mengurangi keyakinan seorang Muslim akan kebenaran agamanya.72 Pokok pangkal kebenaran universal tersebutyang dengan sendirinya juga kebenaran tunggaladalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa
atau Tauhid.
Konsekuensi terpenting dari kemurnian tauhid ini, demikian Cak Nur berujar,
72
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 178-79.
51
ialah pemutusan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah; Tuhan yang Maha Esa, tanpa kemungkinan memberi peluang untuk melakukan sikap mendasar serupa kepada sesuatu apapun selain diri-Nya. Inilah al-Islâm, yang menjadi intisari semua agama yang benar, demikian dengan tegas Cak Nur berucap.73 Dalam pada itu, bagi Cak Nurdengan mengutip pandangan Ibn Taymiyyah74hal itu juga menunjukkan bahwa al-Islâm dalam maknanya yang generik juga adalah inti dan saripati semua agama para nabi dan rasul. al-Islâm adalah spirit dasar dari kebertauhidan seorang Muslim yang dalam konteks formal keagamaan diwujudkan dengan tidak menyembah kepada siapapun selain diri-Nya, Dzat Yang Maha Esa. Jadi, bagi mereka sekalipun secara formal adalah seorang muslim, tapi jika dalam kehidupan praksis kesehariannya bertentangan dengan semangat tauhid atau al-Islâm itu sendiri, maka ia bukanlah Muslim sejati dan dengan sendirinya tertolak. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut, maka menurut Cak Nur, Alquran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan dalam artian bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok. Bagi Cak Nur, semua agama pada prinsipnya mempunyai dasar yang sama, yaitu keharusan manusia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga semuanya akan bermuara kepada satu ‘titik pertemuan (common platform),’ yang 73
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 181. Lihat juga, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 21-24. 74 “Oleh karena pangkal agama, yaitu “al-Islâm”, itu saatu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka nabi s.a.w. bersabda dalam hadits shahih, “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “ Yang paling berhak kepda ‘Îsâ putera Maryam adalah aku.”Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182.
52
dalam istilah Cak Nur disebut “kalimah sawâ’.”75 Pandangan Cak Nur ini didasarkan dari Firman Tuhan: “Katakanlah,”Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu kita tidak menyembah kecuali
Allah dan kita tidak
mempersekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagi Tuhan selain Allah...” (QS. 3:64). Lebih jauh lagi, dengan mengutip firman Tuhan lain, yang berbunyi,” Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Barang siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang kukuh yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. 2:256). Cak Nur menegaskan bahwa pemaksaan agama terhadap orang lain kepada agama tertentu merupakan tindakan yang sangat dilarang dan bertentangan dengan ajaran dasar Islam itu sendiri. Bagi Cak Nur, berdasarkan ayat tersebut, manusia harus diberikan kebebasan untuk memilih suatu agama. Hal ini dikarenakan manusia sudah dianggap dewasa, sehingga dapat menentukan jalannya sendiri yang benar dan tidak perlu dipaksa-paksa.76 Dengan kata lain, manusia saat ini adalah mereka yang telah tercerahkan serta mempunyai kemampuan dan tanggung jawab sendiri berdasarkan rasionalitas dan pengetahuannya. Dengan demikian, dalam pandangan Cak Nur, bersikap inklusif dalam bermasyarakat adalah sebuah keharusan dan keniscayaan teologis dari nilai-nilai dasar ajaran Islam itu sendiri. Toleransi, kebebasan, keterbukaan dan keadilan 75 76
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.184. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 218.
53
yang kesemua itu merupakan sisi dasar kemanusiaan kita hanya mungkin termanifestasikan melalui pandangan dan sikap yang inklusif sebagai konsekuensi logis dari paham ketauhidan kita. 3. Meneguhkan Keadilan Sosial Dalam semangat tauhid, konsep dasar manusia adalah dilahirkan dalam kesucian yang dalam istilah teknis agama disebut fitrah Karena fitrah-nya itu manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Seperti, keadilan, keterbukaan, toleransi dan lain sebagainya. Jadi, menegakkan keadilan merupakan dorongan dasar naluriah manusia sebagai makhluk Tuhan yang bersifat fitriah tersebut. Menurut Cak Nur, kesucian manusia itu sendiri merupakan kelanjutan dari perjanjian primodial manusia dengan Tuhannya. Yaitu suatu ikatan perjanjian antara manusia dan Tuhan sebelum ia dilahirkan ke muka bumi ini. Perjanjian tersebut ialah persaksian bahwa Dialah satu-satu-Nya Pelindung dan Pemelihara baginya. Maka, masih menurut Cak Nur, manusia (dan jin) pun tidaklah diciptakan Allah kecuali hanya harus tunduk dan menyembah kepada-Nya, yakni, menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid.77 Maka, ber-tauhid dengan segala konsekuensinya itulah makna terdalam dari hakikat hidup manusia dengan penuh kesadaran bahwa ia berasal dan akan kembali kepada-Nya. Tentunya, salah satu konsekuensi keber-tauhidan manusia tersebut adalah menegakkan keadilan sosial. Karena menegakkan keadilan merupakan hakikat dasar kemanusiaan itu sendiri. Mereka yang melakukan tindakan dzalim dan
77
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 179.
54
berlaku sewenang-wenang terhadap orang lain, maka dengan sendirinya telah mencederai hakikat kemanusiaanya itu sendiri sebagai konsekuensi logis dari paham ketauhidannya. Dalam pandangan Cak Nur, kemestian menegakkan keadilan merupakan bagian dari Sunnatullah. Sebagai Sunnatullah, kemestian menegakkan keadilan adalah kemestian yang merupakan hukum obyektif, tidak tergantung kepada kemauan pribadi siapa pun juga dan tidak akan berubah (immutable). Karena hakikatnya yang obyektif dan tidak berubah itu, siapa pun yang menegakkan keadilan pasti akan melahirkan kebaikan dan sebaliknya mereka yang mengabaikannya akan melahirkan malapetaka.78Oleh sebab itu, banyak diktum Alquran yang menegaskan bahwa menegakkan keadilan harus dilakukan kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Bahkan, upaya semacam itu disebutkan dalam Alquran sebagai perbuatan yang paling mendekati taqwa kepada Allah swt. Maka jelaslah, bagi seseorang ataupun masyarakat yang membiarkan segala bentuk praktik kedzaliman dan anti-keadilan sosial berlangsung, mereka akan dihancurkan oleh Tuhan. Demikian pula kewajiban memperhatikan kaum tertindas maupun terlantar. Pengabaian terhadapnya, akan berakibat pada kehancuran masyrakat itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, Cak Nur menandaskan, mereka yang berlaku dzalim dan menindas terhadap mereka yang lemah. niscaya mereka akan menjadi musuh Nabi SAW. di hari kiamat kelak. Dalam pidatonyasebelum wafatnya Nabilebih lanjut Cak Nur menjelaskan, beliau bersabda:
78
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 184.
55
“Wahai sekalian manusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, dalam agamamu dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu! Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu pakai! Dan jangalah bebani mereka dengan beban yang mereka tidak sanggup menanggungnya .Sebab sesungguhnya mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti halnya kamu sekalian sendiri. Awas, barang siapa bertindak dzhalim kepada mereka, maka akulah musuhnya di hari kiamat, dan Allah adalah Hakimnya…”79
Selain daripada itu, menegakkan keadilan merupakan bagian dari hukum kosmos. Artinya, menegakkan keadilan sangat erat kaitannya dengan hukum alam raya ini. Asumsi ini merujuk kepada diktun Alquran yang berbunyai, “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (al-mîzân). Maka hendaknya kamu (umat manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan.” (QS, 5:7-9).
Jadi, berdasarkan pernyataan Alquran tersebut, menurut Cak Nur, segala tindakan yang melanggar prinsip keadilan tersebut adalah sama saja melawan hukum kosmos.80Ini berarti reaksi keberatan terhadap tindakan ketidakadilan itu, tidak hanya datang dari orang yang dirugikan saja, tapi juga seluruh alam raya ini. 79 80
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 185. Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 40-41.
56
Singkatnya, menegakkan keadilan dalam konteks kehidupan sosial khususnya, dan berbagai tindakan lainnya, baik lahir maupun batin pada umumnya adalah sebuah keharusan dan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. C. Tauhid dan Prinsip Dasar Politik (Negara) 1. Relasi Agama dan Negara Terkait dengan persoalan hubungan antara agama dan negara, setidaknya ada dua aliran utama pendapat yang berbeda. Pertama, adalah mereka yang berpendapat bahwa agama dan negara bertentangan satu sama lain. Agama adalah representasi dari nilai-nilai kerohanian dan sakral, sedangkan negara adalah urusan duniawi yang bersifat sekuler. Menurut aliran ini, dalam proses legislasi, tidak ada keharusan untuk mempertimbangkan praktik keagamaan, bahkan umat beragama tidak bebas mempraktikkan agama semaunya di ranah publik. Kedua, model sekuler Barat liberal. Aliran ini menempatkan agama bukan sebagai sesuatu yang
tabu,
tetapi
juga
bukan
faktor
mendasar
terhadap
kebijakan
pemerintah.81Lalu pertanyaannya adalah bagaimana sesungguhnya relasi antara agama dan negara dalam pandangan Islam yang dipahami oleh Cak Nur? Apakah Cak Nur sependapat dengan model yang pertama atau yang kedua sebagaimana telah dijelaskan? Menurut Cak Nur, Islam tidak hanya memiliki dimensi personal dan individual (hablum min al-Allah) , tapi juga sosial atau politik (hablum min alnâs). Dikatakan personal karena watak dasar dari agama itu yang bersifat batiniah. Maka dari sudut ini, hanyalah orang yang bersangkutan sendiri sajaselain Allah 81
21-22.
Mun’im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi, (Bekasi: Gugus Press, 2002), h.
57
Yang Maha Tahu yang benar-benar mengetahuinya. Masalah agama (keimanan) adalah masalah pribadi antara yang bersangkutan dengan Tuhannya. Karena tekanan yang begitu kuat kepada sifat pribadi hubungan kepada Tuhan itu, maka tidak sedikit pun terbesit dalam benaknya untuk membayangkan bahwa ia bisa lepas dan bebas dari keharusan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Tuhan. Pada gilirannya, sikap pribadi yang penuh tanggung jawab itu kepada Tuhan, akan dengan sendirinya melimpah dan mewujud nyata dalam sikap penuh tanggung jawab sesama manusia atau masyarakat, bahkan kepada seluruh masyarakat.82 Inilah yang disebut dimensi sosial agama. Selalu ada keterpautan antara iman dengan amal saleh, antara tali hubungan dari Allah dengan tali hubungan antara sesama manusia dan antara taqwa dengan budi pekerti luhur. Dengan demikian, bagi Cak Nur, terkait persoalan hubungan antara agama yang hakikatnya bersifat personal dengan negara yang lebih bersifat publik atau kemasyarakatan tidaklah terpisahkan, namun idak berarti bahwa keduanya itu identik. Negara dan agama dalam Islam tidak terpisahkan karena setiap orang Muslim, dalam melakukan setiap kegiatan, termasuk kegiatan dalam bernegara dan bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencapai ridha Allah SWT, dengan i’tikad sebaik-baiknya dan pelaksanaan amal perbuatan setepat-tepatnya. Oleh karena tidak ada sedikit pun kegiatan seseorang walaupun hanya sebesar atom, yang tidak akan terlepas dari tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT.83 Namun demikian, antara agama dan negara tidaklah identik. Oleh karena dalam urusan dunia, seperti masalah kenegaraan, demikian Cak Nur 82 83
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 345-46. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. cxi.
58
menandaskan, kita boleh, bahkan dianjurkan Nabi SAW untuk belajar kepada siapa saja dan dari mana saja, termasuk melakukan inovasi-inovasi kreatif yang lebih baru dan relevan dengan hajat kepentingan kaum Muslim itu sendiri, sedangkan agama tidak berlaku demikian. Dalam masalah agama kita harus merujuk dan berdasarkan kepada sumber-sumber suci, baik Alquran maupun Sunnah.84Dengan kata lain, Cak Nur ingin mengatakan bahwa terkait persoalan bagaimana bentuk maupun sistem negara, itu semua diserahkan kepada pilihan kaum Muslim sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Seperti, keadilan, keterbukaan, kesetaraan maupun persamaan dalam hak politik. Lebih lanjut Cak Nur menjelaskan, prisip-prinsip dasar universal kemanusian dalam ajaran Islam tersebut sangatlah sulit terwujud, tanpa bimbingan dan peranan agama. Sebagai bukti Cak Nur mencontohkan dengan kenyataan bangkrutnya sistem Eropa Timur yang ingin menjauhkan ataupun memisahkan ajaran agama dengan persoalan kenegaraan. Dalam sistem Eropa Timur yang Marxis-Leninis tersebut, demikian Cak Nur memaparkan, biarpun Marx dan para pendukungnya mengklaim bahwa tindakan menghapus agama dan melepaskan manusia dari peranan agama bersifat “ilmiah,” ternyata menuai kegagalan. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa kaum Marxis tidak mampu benar-benar menghapus agama di sana, meskipun segenap dana dan upaya telah dikerahkannya. Yang kedua adalah justru amat ironis. Marxisme sendiri telah
84
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. cxiii.
59
menjadi agama pengganti (quasi religion) yang lebih rendah dan kasar.85 Pada batasan tertentu, memang benar mereka telah berhasil membebasakan diri mereka dari obyek penyembahan kepada entitas supranatural (Tuhan Yang Maha Esa) tersebut. Karena bagi mereka menyembah akan berakibat kepada perbudakan dan perampasan kemerdekaan manusia. Namun pada batasan yang lain, mereka ternyata terjerembab ke dalam praktek penyembahan kepada obyek-obyek yang jauh lebih membelenggu, lebih memperbudak dan merampas lebih banyak kemerdekaan mereka. Yaitu para pemimpin mereka yang bersifat tiranik dan otoriter. Berdasarkan uraian di muka, dapat diikhtisarkan bahwa asas tauhid merupakan fondasi utama dalam kehidupan bernegara. Melalui nilai-nilai ketauhidan itulah persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan dapat terwujud secara adil dan berperikemanusiaan. Hal ini disebabkan kelemahan yang dimiliki oleh setiap individu manusia itu sendiri yang terkandung cenderung mengarah kepada tindakan-tindakan destruktif dan tidak berprikemanusiaan. Tapi, dengan pancaran nilai-nilai ketauhidan dengan menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagi titik tolak sekaligus orientasi dalam setiap aktivitasnya di dunia ini, maka dengan sendirinya manusia akan terhindar dari segala macam tindakan destruktif tersebut. Negara hanyalah instrumen untuk mencapai tatanan kehidupan politik masyarakat yang berprikemanusian dan damai, sementara agama adalah tujuan dari prinsipprinsip dasar kemanusiaan tersebut yang lebih bersifat permanen dan abadi.
85
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xx.
60
2. Islam dan Musyawarah Menurut Cak Nur, dalam ajaran Islam , prinsip musyawarah adalah salah satau asas kemasyarakatan yang sedemikian pentingnya. Dikatakan demikian, lanjut Cak Nur, dikarenakan sampai ada satu surah dalam Alquran yang diberi nama Syûrâ (QS. No: 42), yang erat sekali kaitannya dengan musyawarah. Biasanya, masih menurut Cak Nur, dalam sistem Alquran, hal yang menonjol atau meninggalkan kesan yang mendalam dalam suatu surah, itulah yang digunakan dasar untuk memberi nama surah yang bersangkutan.86 Jadi, bagi Cak Nur, prinsip musyawarah adalah salah satu isu sentral yang dibicarakan dalam Alquran. Karena ia merupakan isu sentral, maka dengan sendirinya prinsip musyawarah merupakan elemen terpenting yang asasi dan harus diwujudkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Asumsi yang mendasari bahwa prinsip musyawah sebagai elemen yang asasi dalam kemasyarakatan tersebut bukanlah tanpa dasar. Salah satu alasannya adalah berangkat dari sebuah premis teologis yang menyatakan bahwa manusia sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya. Karena manusia sendiri dari awal telah mengakui Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya adalah kelahiran manusia dalam kesucian asal (fitrah). Oleh karena kesucian asalnya, maka manusia adalah makhluk yang hanîf , yakni, selalu merindukan dan secara alami memihak kepada yang benar dan baik. Oleh karena manusia itu fithrî dan hanîf, maka dengan
86
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 252.
61
sendirinya dia mempunyai potensi untuk benar dan baik sebagai potensi original manusi tersebut yang dibawa sejak lahir.87 Disebabkan oleh watak dasar manusia yang fithrî dan hanîf tersebut, dengan selalu berpotensi untuk benar dan baik itulah, menjadi dasar hak seseorang untuk didengar pendapatnya. Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban orang lain untuk mendengar. “Didengar” dan “mendengar” inilah dasar makanisme dan spirit dasar dari musyawarah . Kata musyawarah itu sendiri yang berasal dari Bahasa Arab Musyâwarah,yang secara etimologis mengandung arti “saling memberi isyarat,” yakni saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik; jadi bersifat timbal balik. Namun pertanyaannya kemudian adalah jika masing-masing dari kita bersifat fithrî dan hanîf, mengapa kita tidak cukup dengan diri kita sendiri saja? Mengapa kita masih perlu dan wajib mendengarkan orang lain? Menanggapi pertanyaan tersebut, Cak Nur menjelaskan, meskipun manusia itu fithrî dan hanîf, namun dia juga bersifat lemah dan terbatas. Ini, kata Cak Nur, tidak mungkin pasti dan selamanya baik dan benar. Manusia hanya potensial baik dan benar. Maka agar potensi baik dan benar itu menjadi aktual, seorang manusia tidak bolah hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Dia harus menyertai orang lain dalam mencari kebenaran dan itulah yang disebut dengan musyawarah.88
87
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 192-93, dan Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 252. 88 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 253.
62
Dengan demikian, lebih lanjut Cak Nur menguraikan, musyawarah antara sesama warga masyarakat merupakan hakikat kaum beriman. Hal ini sesuai dengan apa yang digambarkan dalam Alquran:89 “Maka apapun yang diberikan kepadamu, hanyalah guna kesenangan hidup di dunia ini, Tapi yang ada pada Allah, lebih baik dan lebih lestari bagi mereka yang bertawakal kepada Tuhan mereka, dan bagi mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan jika mereka marah tetap memberi maaf, dan bagi mereka yang menyahut (menerima dengan baik) seruan Tuhan mereka, lagi pula menegakkan shalat, dan urusan sesama mereka adalah musyawarah sesama mereka, dan mereka mendermakan sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan bagi mereka yang ditimpa kezhaliman , mereka membela diri.” (QS. , 42:36).
Karena manusia adalah makhluk sosial, maka berdasarkan ayat tersebut, Cak Nur juga ingin menandaskan bahwa dalam bermusyawarah, sikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian dan kesedian untuk senantiasa memberi maaf secara wajar dan pada tempatnya, merupakan elemen dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam bermusyawarah. Tanpa sikap-sikap terpuji tersebut, maka yang lahir adalah egoisme, otoriterianisme, tiranisme, dan lain-lain yang serba berpusat kepada kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain.
89
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 198.
63
3. Islam dan Partisipasi Politik Karena hakikat manusia pada dasarnya adalah cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan (hanîf). Dan pada saat yang bersamaan juga lemah dan terbatas, sehingga memungkinkan ia berbuat hal-hal yang destruktif. Maka diberikanlah oleh Tuhan akal-pikiran dan kemudian agama agar dapat membedakan antara yang benar dan palsu, sehingga dengan sendirinya manusia memiliki kebebasan dan hak untuk memilih jalannya sendiri, sekaligus bertanggung jawab atasnya di hadapan Tuhan kelak. Berangkat dari premis-premis dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan untuk memilih jalan tertentu sekaligus mempertangung jawabkannya merupakan hak asasi dasar manusia yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun, seperti hak untuk mengekspresikan pikiran dan pilihan politiknya, termasuk menyangkut masalah keyakinan agama. Kenyataan tersebut telah dibuktikan dan dicontohakan oleh Nabi SAW sendiri. Salah satunya adalah ketika Nabi SAW menempatkan (pasukan) sahabat beliau
pada suatu posisi sewaktu Perang Badar, kemudian al-Hubâb ibn al-
Mundzir ibn al-Jamûm (seorang shahabat) bertanya, “Ini perintah yang diturunkan Allah kepada engkau ataukah pendapat dan musyawarah?” Nabi menjawab, “Ini hanyalah pendapat dan musyawarah.” Maka dia (al-Hubâb) menyarankan kepada beliau (Nabi) posisi lain yang lebih cocok untuk kaum Muslim, dan beliau menerima sarannya itu.90
90
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 561.
64
Berdasarkan contoh kasus tersebut, menunjukkan bahwa Nabi SAW telah meletakkan dasar-dasar sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi keluasan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman. Hal ini tentunya tidak lepas dari sifat watak dasar Islam itu sendiri yang sangat terbuka dan toleran terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya. Inilah yang membuat R. N. Bellah, salah seorarang sosiolog agama kenamaan menyebut masyarakat Islam paling dini tersebut modern.91 Modern karena tingkat partisipasi politik yang terbuka dan tinggi dari seluruh jajaran anggota masyarakatnya. Juga keterbukaan dan kemungkinan posisi pimpinan masyarakat itu untuk diuji kemampuan mereka berdasarkan ukuran-ukuran universal (berlaku bagi semua orang), yang dilambangkan dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidak berdasarkan keturunan sebagaimana bangsa Arab Jahiliyyah, tapi pemilihan (apapun bentuk teknisnya saat itu). Tentunya, partisipasi politik kaum Muslim tersebut tidak mungkin terwujud, jika nilai dasar dari pandangan Islam itu sendiri bersifat partikuar dan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran yang datang dari luar lingkungannya. Oleh sebab itu, menurut Cak Nur, pandangan tentang masyarakat Islam “modern” tersebut, sebagaimana digambarkan R. N. Bellah, pada hakikatnya berpangkal dari pandangan hidup tauhid. Salah satu implikasi pokok dari tauhid ialah pemusatan kesucian hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan pelepasan kesucian itu dari segala sesuatu selain Allah. Dalam konteks bangsa Arab, ujar Cak Nur, di zaman Nabi SAW. Pandangan ini berakibat dilepaskannya nilai kesucian dari
91
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 559.
65
pandangan kesukuan dan kepemimpinan kesukuan.
92
Maka dengan dasar
pandangan tauhid itu manusia dibebaskan dari mitologi-mitologi, sehingga segala sesuatu selain Allah, termasuk kepemimpinan dalam masyarakat, menjadi sasaran sikap, telaah dan kajian terbuka. Dengan ungkapan lain, watak masyarakat Muslim yang terbuka, egaliter dan memiliki kesadaran partisipasi politik yang tinggi tersebutyang dalam istilah Bellah disebut “modern” tanpa ada ajaran pokok yang menopang dan mendorongnya mustahil terwujud. Artinya, tauhid-lah yang membuat kenyataan itu menjadi mungkin dan terwujud. D. Evaluasi-Kritis Konsep Tauhid-Humanis Nurcholish Madjid Secara epistemologis, nampak sekali konsistensi bangunan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut. Konsistensinya itu dapat terlihat dari hampir semua gagasan-gagasan pokok yang ditelurkannya tersebut tidak lepas dari bingkai ketauhidan. Cak Nurdemikian ia biasa disapaselalu menjadikan tauhid sebagai premis dasar umum bangunan pemikirannya. Kebebasan dan kemerdekaan manusia, keadilan, egaliterianisme, inklusivisme, pluralisme, toleransi dan keterbukaan adalah sederet ide-ide pokok humanis Cak Nur, yang merupakan hasil deduksi dari definisi tauhid yang dirumuskannya sendiri. Pada tataran konsep, gagasan-gagasan Cak Nur yang sarat dengan nilainilai humanis tersebut, tentunya cukup jenial sekaligus otentik. Dikatakan jenial karena ide-ide yang disuguhkan oleh Cak Nur itu masih jarang sekalijika dikatakan tidak adaterpikirkan ataupun terumuskan secara sistematis oleh
92
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 190-91.
66
intelektual-intelektual Muslim-Indonesia selama ini. Otentik, dikarenakan gagasan-gagasan yang dihadirkan oleh Cak Nur selalu berangkat dan tidak lepas dari nilai-nilai ketauhidan yang diyakininya sebagai seorang intelektual-Muslim yang menjadikan tauhid sebagai landasan sekaligus orientasi kehidupan di dunia ini. Artinya, Cak Nur mampu mengusung gagasan-gagasan yang bersifat humanitarianistik tesebut, tanpa harus terjerembab ke dalam paham humanisme sekuler yang mengebiri nilai-nilai keagamaan dan menganggapnya sebagai sumber belenggu kebebasan dan kemerdekaan manusia sebagaimana yang terjadi di dunia Barat. Namun demikian, itu bukan berarti konsep pemikiran Cak Nur lepas dari kritik dan kelemahan. Secara akademis, pandangan Cak Nur sepenuhnya belum bisa dipertanggung jawabkan. Hampir tidak ada penjelasan metodologis yang utuh dan komprehensif sedikit pundalam karya-karyanya, termasuk magnum opusnya, Islam Doktrin dan Peradabansecara sistematis, terpadu, maupun integral tentang apa dan bagaimana metodologi yang digunakan olehnya dalam membangun ide-ide dasarnya. Dalam menguraikan gagasannya, Cak Nur terkesan hanya mengutip sana-sini pendapat orang lain, seperti Ibn Taimiyyah, Robert N. Bellah, Yusuf Ali ataupun Muhammad Assad, yang kemudian disistematisasikan dan diambil benang merahnya untuk menopang gagasan yang diusungnya. Singkatnya, tidak ada basis metodologis yang utuh, padu dan jelas, yang tentunya secara akademis hal itu lebih bisa dipertanggung jawabkan. Pada tataran praksis, tidak semua ide-ide Cak Nur itu (seperti inklusivisme dan pluralisme agama) dengan mudah bisa diterima khalayak publik Indonesia
67
begitu saja, mengingat masih banyaknya tingkat ekonomi maupun pendidikan masyarakat kita yang relatif rendah dan terbelakang. Hal itu disebabkan ide-ide Cak Nur sendiri yang cenderung “elitis’ dan “abstrak,” sehingga tidak mudah dicerna dan dikonsumsi kecuali oleh mereka yang notabene kalangan berpendidikan menengah ke atas. Artinya, jika Cak Nur menginginkan ide-idenya tersebut sebagai perjuangan kulturisasi nilai-nilai keislaman dalam konteks keindonesian, mampu tampil sebagai tawaran-tawaran kultural yang produktif, konstruktif serta mamapu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua umat manusia93, sepertinya sulit sekali terwujud. Kenyataan ini bisa dilihat dengan betapa banyaknya konflik sosial yang diselimuti tindak kekerasan, baik atas nama agama ataupun komunal, hampir sebagian besar dilakukan oleh mereka yang secara ekonomi maupun pendidikan relatif rendah dan terbelakang. Sungguhpun begitu, apa yang telah digagas dan diperjuangkan oleh mendiang Nurcholish Madjid tersebut, sudah sepatutnya diapresiasi dan dihargai. Tak dapat dipungkiri, Cak Nur, dengan seabrek gagasan pembaharuannya itu sedikit banyak telah memberikan kontribusi cukup signifikan bagi kekayaan khazanah wacana keislaman Indonesia kita hingga detik ini.
93
Bandingkan, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 63.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah diuraikan, maka sebagai jawaban dari rumusan masalah dalam peneleitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa dimensi konsep tauhid yang digagas oleh Nurcholish Madjidyang populer disapa Cak Nur inisarat sekali dengan nilai-nilai humanisme. Seperti, keharusan bersikap adil, egaliter, toleran, saling menghargai dan tidak memaksakan kebebasan orang lain, bersikap inklusif dan pluralis dalam beragama, bersikap kritis dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan tidak fanatik ataupun sektarianisme. Bagi Cak Nur, semua nilai-nilai humanis tersebut merupakan konsekuensi logis dari paham ketauhidan. Yaitu persaksian dan penyerahan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena persaksian dan penyerahan secara total kepada-Nya tersebut, maka dengan sendirinya berimplikasi pada keharusan manusia untuk selalu bersikap dan bertindak sesuai dengan perkenan serta ridhaNya, yang tentunya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Adalah mustahil, sebuah tindakan yang diridhai-Nya itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian dan kebajikan. Singkatnya, tauhid adalah sebuah paham keagamaan yang kental sekali dengan dimenensi-dimensi humanisme. Inilah konsepsi Cak Nur tentang tauhid. Dengan ungkapan lain, konsep tauhid bagi Cak Nur, tidak samata-mata hanya sebatas peneguhan atas kemahaesaan-Nya, tapi juga sarat dengan kandungan dimensi nilai-nilai humanisme.
68 1
69
B. Saran-saran Berdasarkan atas pemaparan mengenai bangunan pemikiran konsep tauhid mendiang Nurcholish Madjid yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka penulis memberikan saran-saran berikut ini: 1. Perlu pengembangan pemikiran Cak Nur kepada cakupan yang lebih luas dan juga lebih mudah untuk dipahami oleh khalayak publik Indonesia, yang tidak hanya dinikmati kalangan pendidikan kelas menengah ke atas (elitis). 2. perlu dikembangkan kajian yang lebih intensif mengenai bangunan pemikiran konsep tauhid kemanusiaan Cak Nur. Dengan itu, tindakantindakan yang secara langsung maupun tak langsung merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan tidak lagi terjadi di bumi pertiwi ini. Masyarakat Indonesia berharap tidak lagi terjadi perendahan nilai-nilai kemanusiaan. Wallahu a’lam.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahim, Muhammad Immaduddin, Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Abd Mu’in, Taib Tahir, Ilmu Kalâm, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975. Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, terjemahan: Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1998). A’la, Abd, Dari Neo-Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina, 2003. Amir Aziz, Ahmad, Neo-Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Rineta Cipta, 1990. Al Qur’an dan terjemahannya : Juz 1 – Juz 30, Jakarta: Depag RI, 1994. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 2002, cet. III. B. D. Mc Donald, Tauhid. Dalam M. TH. Houtsma, et all. Frist Encyclopedia of Islam eiden E. J. Brill, 1987, vol. 8. Berton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2000, cet. I. Bertens, K. Panorama Filsafat Barat, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1987. Echols, John M. dan Hasan Shadiliy, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2003 cet. Xxv. Encyclopedia of Britanica 2003 Ultimate Reference Suite CD-Rom, (Inggris, 2003), dictionary 2. Gardner, Jostein, dunia sophie : sebuah novel filsafat, bandung : Mizan, 2002, Cet. XII.
70
71
Hart, Michael H. The 100, Ranking of The Most Influential Persons in History, terjemahan: Mahbub Djunaidi, Sejarah Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1986, Cet. , Ke-8. Haque, Ziaul Reveletion & Revolution in Islam, terjemahan: E. Setiawati alKhatab, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta: LKiS, 2000, Cet. , Ke-1. http://id.wikipedia.org/wiki:/Nurcholish Madjid. http://www.tokoh Indonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-Madjid/indexs.shtml. Hadiwijono, Dr. Harun Seri Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1989. Madjid, Nurcgholish, Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1995, cet. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995, cet. III. Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1993. Madjid, Nurcholish, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1993. Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1997. Madjid, Nurcholish, Islamic roots of Modern Pluralism: Indonesia Experience, Studia Islamika vol. I, UIN Jakarta, 1984.
72
Nasution, Harun, Islam Ditnjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986. jilid. I. Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986. Nafis, Muhammad Wahyuni dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru Bangsa,, Jakarta: Paramadina, 2005, cet. I. Nasution, Harun dan Bachtiar Effendy (penyunting), Hak Azasi Manusia dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987. Narhetali, Erita, “Humanisme sudah Mati?”, Kompas, 27 maret 2003. Partanto Pius A, dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmuah Populer, Surabaya, Arkola, 1994. Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan: Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 2000, Cet, ke-4. Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 2004, Cet. , Ke-12. Syalthuth, Mahmud, al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah. Daar al-Qalam al-Qahirah, 1966. Saridjo, Marwan Cak Nur: di antara Sarung dan Dasi&Musdah Mulia tetap Berjilbab, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, cet. I. Sutisna,
“Pluralisme
dalam
Pemikiran
Nurcholish
Madjid”,
Jakarta:
Perpustakaan Utama UIN, 2004. Solomon, Robert C, dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari A Short History of Philosophy, oleh Saut Pasaribu; Yogyakarta, Yayasan Benteng Budaya, 2002.
73
Sindhunata, Kritik Humanisme Ateis, Basis; Yogyakarta, 2000. Sirry, Mun’im A, Dilema Islam Dilema Demokrasi, Bekasi: Gugus Press, 2002. Tjahjadi, Simon Petrus L,
Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta, STF
Driyarkara, 1998. Tebba, Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, Jakarta:KPP, 2004. Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (sebuah telaah atas pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Jakarta: Penamadani, 1990.