HAK GUGAT DAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Oleh: Wiwiek Awiati
Sengketa Lingkungan
Pasal 1 (25): Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Pengertian Dasar Sengketa: Costintino dan Merchant1 mendefinisikan konflik sebagai ketidak-‐sepakatan mendasar antara dua pihak, dimana sengketa adalah satu bentuknya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Douglas Benang bahwa konflik adalah suatu keadaan, bukan proses. Orang yang menentang kepentingan, nilai, atau kebutuhan berada dalam keadaan konflik, yang mungkin laten (berarti tidak muncul ke permukaan, tidak ditindaklanjuti ataupun diselesaikan). Sedangkan konflik yang muncul ke permukaan yang ditindak lanjuti ataupun diselesaikan, salah satu bentuk prosesnya adalah (penyelesaian) sengketa , "Konflik bisa saja terjadi tanpa perselisihan, tetapi perselisihan tidak bisa ada tanpa konflik."2 Dalam sebuah 1
Costintino, C.A. and Merchant C.S. Designing Conflict Management Systems: A Guide to Creating Productive and Healthy Organizations. San Francisco: Jossey-‐Bass, 1996, pp 4-‐5 2 Douglas H. Yarn, ed. "Conflict" in Dictionary of Conflict Resolution, San Francisco: Jossey-‐Bass 1999. p. 115.
2
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
konflik tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa sengketa yang memungkinkan untuk diselesaikan satu persatu, yang pada akhirnya akan menyelesaikan konflik tersebut. Kita dapat melihat dari gambar berikut ini:
K O N F L I K
Sayangnya pembedaan arti dari Konflik dan Sengketa juga tidak berhasil disepakati ole para ahli yang sering melakukan penelitian dan bekerja dalam ranah ini. Kata Konflik (conflict) dan Sengketa (dispute) dalam kesehariannya seringkali diartikan sama dan dipergunakan secara berganti ganti terhadap sebuah penjelasan atas adanya ketidak kesuaian atau ketidak cocokan (incompatibility) antara dua pihak atau lebih. Sengketa dalam pengertiannya yang luas (termasuk perbedaan pendapat, perselisihan, ataupun konflik) adalah hal yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi pada suatu peristiwa/ situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa/situasi tersebut. Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu (Bedner 2007): 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang berkaitan dengan upaya
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
3
perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/ perusakan. Pemicu terjadinya sengketa bermacam-‐macam, antara lain dalam bentuk: 1. kesalahpahaman; 2. perbedaan penafsiran; 3. ketidak-‐jelasan pengaturan; 4. ketidak-‐puasan; 5. ketersinggungan; 6. kecurigaan; 7. tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur; 8. kesewenang-‐wenangan atau ketidakadilan; 9. terjadinya keadaan-‐keadaan yang tidak terduga; 10. dll
Karakteristik Sengketa Lingkungan Beberapa ciri-‐ciri sengketa lingkungan adalah antara lain: 1. Para Pihak yang bersengketa: Dalam segketa lingkungan, para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut biasanya lebih dari 2 pihak (multi parties), dan melibatkan banyak orang. Para pihak (stakeholders), selain korban (yang jumlahnya seringkali banyak) dan tergugat (diduga) pencemar/ perusak lingkungan, seringkali Pemerintah (pusat maupun daerah) serta pihak ke tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga menjadi penentu kunci bagi penyelesaian sengketa ini. 2. Kejadian awal sampai timbul korban berjarak cukup lama/ bertahun-‐tahun: Terjadinya perbuatan yang mencemarkan atau merusak lingkungan biasanya baru dapat diidentifikasi setelah beberapa waktu kemudian (tidak terjadi seketika). 3. Upaya pembuktian seringkali tidak mudah dilakukan, antara lain karena rentang waktu yang panjang 4. Wilayah terkena dampak seringkali sangat luas dan bisa mencakup beberapa wilayah adminsitrative.
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
4
5. Adanya perbedaan kekuatan (power relationship) diantara para pihak yang bersengketa.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Seperti telah diatur di dalam Pasal 84 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009, upaya penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui Pengadilan ataupun di luar Pengadilan. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan dapat dilakukan melalui tiga jalur, yaitu Gugatan Perdata dan Tuntutan Pidana di Pegadilan Umum, maupun Gugatan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN). Namun selain melalui jalur Pengadilan, upaya penyelesaian sengketa lingkungan juga dimungkinkan melalui jalur di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution/ ADR) untuk perkara Keperdataan. Artinya upaya penyelesaian dilakukan sebelum gugatan didaftarkan di Pengadilan. Bentuk dari penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, dapat dilakukan melalui (1) proses ajudikasi yaitu proses arbitrase; (2) proses non ajudikasi, seperti Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Evaluasi netral dini (early neutral evaluation), Pencarian fakta netral (neutral fact-‐finding) dan (3) proses Hibrida (hybrid) seperti Mini Trial, Mediasi-‐arbitrase dan Ombudsman. 1. Ajudikasi: a. Arbitrase: Menurut UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pengertian Arbitrase adalah Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
5
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para pihak memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat pertama dan terakhir. 2. Non Ajudikasi a. Negosiasi komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda3 b. Mediasi Suatu intervensi dalam sebuah negosiasi atau konflik oleh pihak ke tiga yang diterima (oleh para pihak), dimana pihak ke tiga tersebut mempunyai tidak memiliki atau memiliki secara terbatas, kewenangan untuk memutus, tetapi hanya membantu para phak agar secara sukarela mencapa kesepakatan atas persoalan yang disengketakan4 c. Konsiliasi Konsiliasi pada dasarnya mirip dengan Mediasi. Namun bila perlu dibedakan, konsiliator memiliki peran intervensi yang lebih besar daripada mediator; dalam konsiliasi pihak ketiga (konsiliator) secara aktif memberikan nasihat atau pendapatnya untuk membantu para pihak menyelesaikan sengketa. d. Evaluasi netral dini (early neutral evaluation) Proses di mana pihak ketiga yang netral (evaluator) menawarkan pendapat yang objektif dan tidak mengikat, lisan ataupun tertulis, tentang posisi kasus masing-‐masing pihak berdasarkan bukti-‐bukti dan fakta yang tersedia, serta penyampaian analisis perkiraan tentang kemungkinan hasil apabila diselesaikan melalui proses ajudikasi (litigasi atau arbitrase). e. Pencarian fakta netral (neutral fact-‐finding) Sifat proses yang dijalankan adalah investigasi/ penyelidikan yang bersifat tertutup, dimana pihak ke tiga netral memiliki keahlian di bidang yang disengketakan dan hasil akhir adalah rekomendasi/ laporan. 3. Hibrida: a. Mini Trial 3
Fisher R. & William Ury: GettingTo Yes: Negotiating an Agreement Without Giving In, London Bussiness Book, 1991, P.XIII) 4 Christopher W. Moore: The Mediation Process and Practice
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
6
Minitrial ini sering dipergunakan oleh pebisnis dan pemerintah federal untuk menyelesaikan masalah hukum tanpa menimbulkan biaya dan penundaan terkait dengan litigasi pengadilan. Minitrial tidak menghasilkan keputusan formal tetapi merupakan kendaraan bagi para pihak untuk mencapai solusi melalui proses penyelesaian terstruktur. Hal ini digunakan secara efektif ketika isu-‐isu kompleks dipertaruhkan dan para pihak perlu atau ingin mempertahankan hubungan baik. Para pihak menandatangani perjanjian menyetujui minitrial dan kemudian masing-‐masing memilih anggota untuk duduk di panel. Perwakilan ini memiliki wewenang untuk merundingkan suatu penyelesaian. Para pihak juga pilih "penasihat netral" untuk duduk di panel. Penasihat harus independen dan tidak memihak, karena orang ini akan menjadi moderator minitrial tersebut. Para pihak membayar bagian yang sama dari biaya penasihat dan menanggung biaya minitrial mereka sendiri. b. Mediasi-‐arbitrase Penyelesaian sengketa yang diawali dengan proses mediasi, namun bilamana tidak terdapat kesepakatan maka para proses akan diteruskan dengan mekanisme arbitrase. Proses med-‐arb ini harus disepakati oleh para pihak diawal proses perundingan perdamaian. c. Ombudsman Ombudsman ditunjuk oleh pemerintah atau parlemen, tetapi dengan tingkat independensi yang tinggi, yang ditugaskan mewakili kepentingan publik untuk menerima laporan dan menyelidiki serta menangani keluhan maladministrasi atau pelanggaran HAM Berkembangnya Proses Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan antara lain disebabkan karena: (1) Penyelesaian bersifat win-‐win solution, artinya semua pihak akan memperoleh kemanfaatan dari apa yang disepakatinya karena mampu memenuhi kepentingan hakiki dari kedua belah pihak. (2) Adanya budaya musyawarah yang telah dikenal dalam berbagai masyarakat (3) Memperhatikan aspek Substantif, Prosedural dan Psikhologis dari semua pihak (4) Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan menimbulkan perasaan bermusuhan diantara para pihak, dan (5) Masih adanya ketidakpuasan terhadap proses pengadilan yang memakan waktu yang relatif lama, mahal dan sulit Berdasarkan Pasal 85 UU No. 32 tahun 2009, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai (1) bentuk dan besarnya
7
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
ganti rugi, (2) tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan, (3) tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau (4) tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Hal yang patut diingat adalah bilamana para pihak setuju untuk melaksanakan proses perdamaian di luar pengadilan, maka saat perundingan berlangsung, maka tidak diperkenankan salah satu pihak ataupun keduanya untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan. Gugatan ke Pengadilan hanya dapat dilakuakn bilamana perundingan tersebut sudah dinyatakan gagal (dead lock). Terhadap penyelesaian di luar pengadilan, masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. Pemerintah dan pemerintah daerah diperkenankan untuk memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak tersebut (Pasal 86). Perbedaan proses ADR dalam UU No. 4 tahun 1997, UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 32 tahun 2009. UU 4 Tahun 82
UU 23 Tahun 97
UU 32 Tahun 09
Bersifat Wajib
Bersifat sukarela
Bersifat sukarela
Dilakukan oleh Tim/Tri Partit (Penderita/korban; Pencemar; Pemerintah)
Dilakukan oleh para pihak atau Arbiter Mediator
Dapat menggunakan jasa Arbiter atau Mediator
Pasal 20 ayat (2)
Pasal 31-‐33
Pasal 85-‐86
Hak Gugat dalam UU 32 tahun 2009 Hak Gugat (standing/ standing to sue) dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan, kelompok/organisasi ataupun institusi pemerintah di pengadilan sebagai pihak Penggugat untuk menuntut pemulihan atas hak-‐hak nya yang telah dilanggar oleh Tergugat, ataupun ganti kerugian atas apa yang dideritanya. Di dalam Undang-‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) perihal mengenai Hak Gugat ini diatur dalam beberapa pasal,
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
8
yang memberikan jaminan akses bagi beberapa pihak, yaitu bagi (1) Hak Gugat Orang perorangan (individual); (2) Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup (NGO standing)5; (3) Hak Gugat Perwakilan Kelompok (Class Action)6; (4) Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah7; dan Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit)
1. Hak Gugat Orang Perorangan (Individual): Hak gugat individual dapat bersifat Voluntair ataupun Contensia. Gugatan Voluntair yang bersifat sepihak (ex-‐parte), yaitu permasalahan yang diajukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa (undisputed matters), bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only), tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party), dan tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (tergugat). Gugatan semata-‐mata untuk kepentingan pemohon. Sedangkan gugatan Contensia, adalah gugatan yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan/ dituangkan dalam bentuk gugatan merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties) untuk diselesaikan di Pengadilan. Selain mengandung sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih, gugatan ini bersifat party, dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat 2. Hak Gugat Perwakilan Kelompok Pasal 91 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. (3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturanperundang-‐undangan.
5 Pasal 92 UUPLH 6 7
Pasal 91 UUPLH Pasal 90 UUPLH
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
9
Terjadinya class action karena timbulnya konflik hukum dan pertentangan tersebut menyangkut orang banyak, yakni antara masyarakat perseorangan, antara masyarakat dengan badan hukum, atau masyarakat dengan pemerintah (pejabat publik)8 Hak Gugat Perwakilan Kelompok atau lebih dikenal dengan sebutan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), adalah salah satu bentuk prosedural beracara dalam hukum acara perdata. Dalam Gugatan class action, sekelompok orang9 yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan hanya dengan mewakilkan kepada satu orang atau lebih10 untuk bertindak sebagai Penggugat, sepanjang mereka memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum11. Gugatan class actions pertama kali diatur dalam Undang-‐undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Undang-‐Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diubah dengan dengan Undang-‐undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Undang-‐Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-‐undang Nomor 32 Tahun 2009, gugatan class actions diatur dalam Pasal 91 UUPPLH yaitu: (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. (2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Pihak yang menggugat yang berjumlah sangat banyak itu disebut dengan Anggota Kelas (Class Member), sedangkan pihak yang mewakili mereka untuk menggugat ke Pengadilan disebut sebagai Wakil Kelas (Class Representative). Class actions (gugatan perwakilan) pertama kali dikenal di Inggris pada awal abad ke-‐18. Sebelum tahun 1873, penerapan class actions di Inggris diberlakukan pada Court of Chancery (Dennis R. Klinck: 2010). Baru kemudian pada tahun 1873, dengan diundangkannya Supreme Court Judicature Act di Inggris, class action mulai digunakan Supreme Court di Inggris. Prosedur class actions adalah prosedur beracara yang dikenal dan diterapkan pada umumnya di negara-‐negara yang menganut sistem hukum anglo saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Namun demikian, saat ini prosedur class actions juga dikenal dan diterapkan di negara-‐negara yang menganut
8
H. Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia dalam Indonesian Center for Environmental Law (ICEL): Anotasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2013, halaman 219 9 Jumlahnya bisa puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang. 10 Dalam hal ini dimaksudkan jumlah orang yang menjadi perwakilannya tidak banyak, namun disesuaikan dengan karakteristik dari gugatan yang diajukan (kesamaan fakta dan dasar hukum) 11 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2001 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok, Pasal 1 huruf (a).
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
10
sistem hukum civil law, seperti halnya Brazil dan Indonesia. Sebagaimana ditegaskan oleh Antonio Gidi, saat ini class actions major trend of universal dimension 2002)12 Tujuan Gugatan Perwakilan Kelompok Tujuan dari diadopsinya prosedur gugatan class actions adalah untuk memberikan akses keadilan yang seluas luasnya melalui penyederhanaan prosedur beracara bagi masyarakat yang dirugikan untuk mendapatkan ganti rugi, walaupun mereka tidak memiliki biaya (finansial) dan waktu yang cukup bahkan dalam kodisi dimana pihak yang dirugikan tidak memiliki kekuatan yang seimbang (imballance of power) dengan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Selain itu prosedur ini juga menyederhanakan proses berperkara di Pengadilan sehingga upaya untuk menyelesaikan gugatan ganti rugi yang melibatkan orang banyak menjadi lebih efektif dan efisien. Gugatan class actons dilakukan secara serentak atau sekaligus hanya dalam satu gugatan. Dari perspesktif Pengadilan, prosedur ini juga sangat membantu menghindari kemungkinan gugatan saling bertentangan untuk fakta dan dasar hukum yang sama dengan tergugat yang sama (Hal ini sangat mungkin terjadi bila gugatan dilakukan secara perorangan). Selain itu proses perkara menjadi ekonomis (Judicial Ekonomy) karena dengan hanya satu gugatan maka biaya proses pengadilan lebih sedikit dibandingkan banyak gugatan/ pengulangan gugatan yang serupa. Prasyarat Gugatan Perwakilan Kelompok Gugatan class action harus memenuhi persyaratan sebagai berikut13: 1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya orang banyak itu diartikan dengan lebih dari sepuluh orang; sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan sendiri-‐sendiri atau bersama-‐ sama dalam satu gugatan. 2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum (question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok; misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama, atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di lokasi yang sama dan lain-‐lain. 3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok. Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai tuntutan ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis 12
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL): Anotasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2013, halaman xi. 13 Rule 23, US Federal Rule of Civil Procedure, sebagaimana dikutip oleh Mas Achmad Santosa dalam Gugatan Perwakilan (Class Action), hlm.10.
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
11
tuntutannya yang sama, misalnya tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya tergantung tingkat penyakit yang dideritanya. 4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang layak sesuai dengan beberapa kriteria berikut: a. harus memiliki kesamaan fakta dan dasar hukum dengan anggota kelompok yang diwakilinya; b. memiliki bukti-‐bukti yang kuat; c. jujur; d. memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya; e. mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan anggota kelompoknya; dan f. sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-‐biaya perkara di pengadilan. Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
12
Perbedaan antara Gugatan Perwakilan Kelompok dengan Gugatan Individual:
Pengaturan lebih khusus mengenai class action diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Namun berdasarkan catatan dari tim Perumus Perubahan Undang-‐undang Nomor 32 tahun 2009, perlu dilakukan beberapa pengaturan lebih spesifik di Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2002 tersebut. Hal hal tersebut adalah tentang: (1) Kriteria Class Action; (2) Persyaratan surat gugatan; (3) waktu pemeriksaan; (4) ada/tidaknya permohonan khusus class action; (5) Option in atau option out , (6) Pengaturan tentang duplikasi gugatan, (7) Pemberitahuan (notifikasi); (8) Beban biaya pemberitahuan; (9) Bentuk keputusan diterima/ tidak diterimanya prosedur class action; (10) Sisa ganti kerugian; dan (11) Administrasi pelaksanaan ganti kerugian.
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
13
3. Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup (Hak Gugat LSM) Pasal 92 (1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. (3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum; b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. Organisasi Lingkungan Hidup atau LSM (Lembaga Swadaya Masyaralat) dapat tampil di pengadilan didasarkan pada suatu pemahaman bahwa LSM adalah wali (guardian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari teori yang dikemukan oleh Profesor Cristoper Stone, dimana dalam artikelnya yang dikenal luas di Amerika Utara yang berjudul Sholud Tress Have Standing. Dalam teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada objek-‐objek alam (natural objects) dan menurut Stone hutan, laut, atau sungai sebagai objek alam layak memiliki hak hukum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya hanya karena sifatnya yang inanimatif (tidak dapat berbicara). Dalam dunia hukum sendiri sudah sejak lama mengakui hak hukum obyek inanimatif, seperti pada perseorangan, negara dan anak dibawah umur. Untuk penasehat hukum, kuasa atau walinya bertindak mewakili kepentingan hukum mereka14. Sebagai wali, pengadilan memberikan hak kepada kelompok tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan terhadap obyek alam dimaksud. Selanjutnya apabila terdapat indikasi pelanggaran atas hak hukumnya, misalnya perusakan atau pencemaran, organisasi tersebut, untuk dan atas nama objek alam yang berada di bawah perwaliannya mengajukan gugatan dalam rangka mengupayakan pemulihan (remedial action). Berangkat dari gagasan inilah, organisasi lingkungan memiliki hak standing bertindak sebagai wali atas nama lingkungan hidup/obyek alam. Pendekatan perwalian (guardianship approach) ini dapat mencegah membanjirnya gugatan, karena organisasi tersebut dipersyaratkan harus memiliki pemahaman yang dalam mengenai seluk beluk objek alam yang berada di bawah perwaliannya, sehingga tidak semua organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai penggugat15. 14 Op.Cit: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL): halaman xi 15 Ibid, Hal xii
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
14
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing) apabila memenuhi per-‐syaratan, pertama, berbentuk badan hukum, kedua menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan ketiga telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. Namum demikian, bagi Organisasi Lingkungan Hidup, tuntutannya (petitum) tidak dapat berupa permintaan ganti kerugian. Tuntutan hak yang diperbolehkan hanya berupa kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, seperti (1) meminta Pengadilan memerintahkan tergugat untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang bertujuan melestarikan fungsi lingkungan; (2) meminta Pengadilan menyatakan tergugat telah melakukan PMH dan (3) meminta Pengadilan memerintahkan tergugat memperbaiki instalasi pengolahan limbah. Selain itu Oranisasi Lingkungan juga berhak untuk meminta penggantian biaya biaya riil yang telah dikeluarkan dalam rangka mengatasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang terjadi (out of pocket expenses). Pengakuan terhadap hak gugat organisasi lingkungan hidup di Indonesia ini pertama kali diakui melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada kasus Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) melawan PT Inti Indorayon Utama (IIU). Perkara perdata ini berawal dari gugatan perdata WALHI melawan BKPM Pusat bersama-‐sama dengan Gubernur Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan dan Perusahaan Pulp dan Paper (PT IIU) masing-‐masing sebagai tergugat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 820/Pdt.G/1988/PN.JKT.PST tanggal 14 Agustus 1989, menolak substansi/pokok perkara gugatan WALHI yang mempersoalkan keabsahan studi AMDAL PT IIU, ditutupnya akses penggugat pada informasi AMDAL dan informasi perihal kondisi kerusakan serta pencemaran lingkungan. Namun demikian, Yayasan WALHI walaupun tidak memiliki kepentingan kepemilikan (proprietary interest) diakui hak gugatnya (standing) untuk tampil sebagai penggugat di pengadilan. Inti keputusan yang menyangkut soal standing ini sekaligus menggeser doktrin hukum keperdataan konvensional yang mendalilkan tiada gugatan tanpa kepentingan hukum . Selain putusan Pengadilan negeri Jakarta Pusat, beberapa perkara lain yang juga terkait dengan gugatan LSM adalah: -‐
-‐
WALHI v. PT Freeport Indonesia (Mei 2000) atas insiden Danau Wanagon. Diputus oleh PN Jakarta Selatan, 28 September 2001 ! Legal Standing diakui dan gugatan dimenangkan hingga pada pokok perkara. Walhi Jatim v. Gubernur Jatim, Dirut Perum Perhutani, dan Bupati Mojokerto.tahun 2003 atas kerusakan hutan yg diduga melatarbelakangi bencana banjir longsor Pacet di PN Surabaya, diputus 6 Januari 2004 ! Hakim menolak gugatan dengan tidak mengakui legal standing Walhi Jatim (subyek tdk memenuhi syarat).
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
-‐
-‐
15
Walhi v. PT. Lapindo Brantas, PT. Energi Mega Persada, Kalila Energi limited, PAN Asia, Medco Energi, Santos Brantas, Pemerintah Pemda Jatim cq gubernur Jatim, dan Bupati Sidoarjo pada 2007 di PN Jakarta Selatan, diputus pada 27 Desember 2007 ! Hakim mengakui legal standing Walhi. Namun dalam pemeriksaan pokok perkara Majelis hakim menilai semburan lumpur di lingkungan PT Lapindo Brantas merupakan fenomena alam. Walhi v. PT NMR pada 2007 utk pencemaran di Teluk Buyat.
Hak Gugat LSM juga dikenal pada pada UU 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dimana Organisasi persampahan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pengelolaan sampah yang aman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan16; Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran riil17, dan Organisasi persampahan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan18: berbentuk badan hukum; mempunyai anggaran dasar di bidang pengelolaan sampah; dan telah melakukan kegiatan nyata paling sedikit 1 (satu) tahun sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Hak Gugat Pemerintah Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah ini dapat didayagunakan untuk meminta pertanggungjawaban perdata terhadap penanggungjawab usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerugian ekosistem untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian lingkungan/ekosistem (ecosystem damages)19. Hak gugat pemerintah ini telah dikenal sejak UU No. 23 tahun 1997, dimana dinyatakan “Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat”. Hak Pemerintah untuk melakukan gugatan perdata ke Pengadilan juga diakui di dalam UU No 32/2009; Pasal 90 UUPPLH menyatakan bahwa: “Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup”. 16
UU 18 Tahun 2008 Pasal 37 (1) UU 18 Tahun 2008 Pasal 37(2) 18 UU 18 Tahun 2008 Pasal 37(3) 19 Indonesian Center for Environemntal Law: Anotasi UU No.32 tahun 2009. Halaman 10. 17
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
16
Terlihat jelas terdapat perbedaan signifikan dalam pengaturan Hak Gugat Pemerintah dalam UU No. 23 tahun 1997 dengan UU No. 32 tahun 2009. Hak Gugat Pemerintah dalam UU No. 32 tahun 2009 lebih mempertegas bahwa obyek gugatan pemerintah adalah mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Sedangkan kalusul dalam UU No 23 tahun 1997 mengenai kopensasi atau ganti kerugian yang diderita masyarakat sudah tidak lagi menjadi kewajiban Pemerintah. Masyarakat dapat mencari keadilan dengan hak gugat yang diberikan kepada mereka melalui Undang Undang ini. Hal yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” dan”tindakan tertentu”. Penjelasan pasal 90(1) UU No. 32 tahun 2009 menegaskan bahwa Kerugian Lingkungan Hidup adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat, sedangkan Tindakan Tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. 4. Citizen Lawsuit Citizen Lawsuit atau hak gugat warganegara merupakan mekanisme beracara di pengadilan dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya kerugian dari berbagai akibat tindakan atau kebijakan atau karena tidak berbuatan (omission) oleh pemerintah atau pengambil keputusan. Hak gugat secara citizen law suit adalah hak gugat yang diberikan bagi setiap warga untuk menggugat karena berkenaan dengan kebijakan pembuat keputusan yang merugikan kepentingan umum. Dalam gugatan citizen lawsuit, penggugat tidaklah benar-‐benar sebagai korban yang mengalami langsung (riil), untuk itu seseorang warga tidak perlu membuktikan bahwa dirinya/pihaknya memiliki kepentingan hukum atau sebagai orang yang mengalami kerugiaan riil20. Dalam sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap permasalahan lingkungan. Pada perkembangannya, Citizen Lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang dimana negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya Citizen law suit pertama sekali dipergunakan oleh Amerika Serikat pada tahun 1970 melalui Clean Air Act (Pasal 304). Setelah itu berkembang diadopsi di berbagai peraturan perundang lingkungan di Amerika Serikat, antara lain Clean Water Act (Pasal 505), Comprehensive 20 Nommy H.T. Siahaan: Perkembangan Legal Standing Dalam Hukum Lingkungan (Suatu Analisis Yuridis Dalam Public Participatory Untuk Perlindungan Lingkungan), Syiar Hukum FH UNISBA, VOL. XIII. NO. 3 November 2011, hal 239
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
17
Environmental Response Compensation and Liability Act -‐ CERCLA (Pasal 310), Resource Conservation and Recovery Act (Pasal 7002) (Sugianto,2004). Citizen Lawsuit di Amerika Serikat tidak hanya dipergunakan di dalam perkara hukum keperdataan (privat law) tetapi setiap orang dapat bertindak sebagai penuntut umum (prosecutor) untuk mengajukan tuntutan pidana lingkungan (environmental offences) berupa tuntutan denda bilamana penuntut umum Negara (public prosecutor) tidak menjalankan tugasnya (Pasal 109 CERCLA). Standing demikian disebut dengan private prosecution atau citizen attorney general (Gordon Arbuckle et al, 1993: 59 dalam Santosa,2004). Tiga bentuk gugatan warga negara 1. Seorang warga negara dapat membawa gugatan terhadap warga negara, perusahaan, atau badan pemerintah karena terlibat dalam perilaku yang dilarang oleh undang-‐undang. misalnya, warga negara dapat menuntut sebuah perusahaan berdasarkan Clean Water Act (CWA) yang secara ilegal mencemari jalur air. 2. Seorang warga negara dapat mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah karena gagal untuk melakukan tugas “non-‐discretionary”. Sebagai contoh, seorang warga negara bisa menggugat Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) karena gagal mengeluarkan kebijakan-‐kebijakan yang dimandatka oleh CWA. 3. Bentuk yang kurang lazim adalah warga negara bisa menuntut pemerintah untuk mengeluarkan perintah (injunction) menghentikan dengan segera potensi yang membahayakan dan substansial melibatkan generasi, pembuangan atau penanganan limbah, terlepas dari apakah tindakan tersebut melanggar hukum atau tidak. Beberapa catatan mengenai Gugatan Citizen Lawsuit berdasarkan beberapa perkara Citizen Lawsuit yang pernah diajukan di Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Tergugat dalam Citizen Lawsuit adalah Penyelenggara Negara, Mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai Tergugat/Turut Tergugat maka Gugatan tersebut menjadi bukan Citizen Lawsuit lagi, karena ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak bisa diperiksa dengan mekanisme Citizen Lawsuit.
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
18
2. Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-‐hak warga negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa. Selain itu Penggugat secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-‐pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action. 3. Penggugat adalah Warga Negara, yang bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action, Penggugat tidak harus merupakan kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiel apa yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa. Selain itu Penggugat secara keseluruhan adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-‐pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action. 4. Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action. Dalam prakteknya di Indonesia yg didasarkan pada pengaturan di beberapa negara common law, Citizen Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi berupa somasi kepada penyelenggara Negara. Isi somasi adalah bahwa akan diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam pemenuhan hak-‐hak Warga Negaranya dan memberikan kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan jika tidak ingin gugatan diajukan. Pada prakteknya somasi ini harus diajukan selambat-‐lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan, namun karena belum ada satupun peraturan formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat. 5. Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti rugi materiel, karena kelompok warga negara yang menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara materiel dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action. 6. Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (Regeling) agar perbuatan
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
19
melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi. 7. Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari peradilan TUN. 8. Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu Undang-‐undang (UU) karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-‐undangan di bawah Undang-‐undang (UU) karena hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana kini telah diatur dalam PERMA tentang Judicial Review peraturan perundang-‐undangan di bawah undang-‐undang.
Beberapa kasus gugatan Citizen Law Suit Meskipun di dalam produk legislasi di Indonessia tidak mengatur mengenai citizen law suit, pengadilan telah mencatat perkembangan dengan adanya beberapa putusan citizen Law suit. Didahului dengan adanya dua buah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masing-‐ masing dengan No 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt Pusat dan dan No 212/Pdt G/2002/PN.Jkt Pusat 21. Perkara No 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt Pusat: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt Pusat adalah perkara perdata gugatan J.Sandyawan Sumardi Cs ( terdiri dari 50 orang) v Presiden RI, Megawati Soekarnoputri (beserta 9 institusi) sebagai tergugat berkaitan dengan pendeportasian 480.000 warga negara RI oleh Pemerintah Malaysia yang menjadi buruh migran di Malaysia. Majelis Hakim memberikan penetapan kapasitas standing kepada para Penggugat atas nama kepentingan warga Negara Republik Indonesia yang menjadi buruh migran di Malaysia. Pertimbangan putusan No. 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt Pusat pada pokoknya bertolak dari hak setiap warganegara untuk membela kepentingan umum, dapat menggugat negara atau pemerintah atau siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-‐nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan umum (pro bono publico). Sesuai hak asasi manusia mengenai acces to justice. 21 Nommy H.T. Siahaan Opcit, hal 241
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
20
Perkara No 212/Pdt G/2002/PN.Jkt Pusat: Putusan No 212/Pdt G/2002/PN.Jkt Pusat antara penggugat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) v Gubernur DKI Jakarta Cs sebagai tergugat menyangkut perkara gugatan melakukan perbuatan melawan hukum berupa intimidasi dan penghalang-‐halangan terhadap salah seorang anggotanya Edy Haryadi, jurnalis warta kota, yang sedang meliput penggusuran oleh aparat Trantib di lahan sengketa swasta di Cilincing Jakarta Timur pada 27 Maret 2001. Pertimbangannya hakim disini cukup komprehensif dengan pendekatan sejarah lahirnya legal standing dan citizen standing di berbagai negara dan diterapkan di Indonesia, dan menghubungkannya kemudian dengan dasar hukumnya yang terdapat di dalam tiga UU (Lingkungan, Kehutanan, Konsumen) yang di dalamnya juga mengatur tentang hak-‐hak publik. Majelis Hakim dalam perkara No 212/Pdt G/2002/PN.Jkt Pusat ini menetapkan menerima para penggugat sebagai pihak dengan mekanisme gugatan citizen law suit. Pertimbangan hukum pada intinya, setelah mengujinya dari dimensi yang menetapkan 3 (tiga) kriteria hak gugat organisasi yang ditetapkan undang-‐undang, yang kemudian kriteria pertama tidak terpenuhi bagi AJI, yakni tidak berbentuk hukum atau yayasan, bagi Majelis Hakim tidak berarti penggugat tidak memiliki hak gugat. Disini Pengadilan memberikan standing karena AJI memiliki kepentingan khusus (special interest). Misi yang diemban dan diperjuangkan oleh penggugat bukan hanya menyangkut kepentingan khusus jurnalis dan pekerja pers Indonesia, tetapi juga menyangkut kepentingan yang berdimensi publik dengan mewujudkan kebebasan pers masyarakat untuk memperoleh informasi yang fair dan obyektif. Setelah kedua putusan tersebut di atas, lambat laun bermunculan gugatan citizen law suit ke pengadilan, namun dapat dicatat cukup banyak yang mengalami kegagalan, terutama antara lain karena bentuk gugatan CLS yang diajukan tidak dapat diterima hakim.tentu sajakebanyakan menyangkut bentuk dan prosedur gugatan yang berbeda dengan gugatan biasa. Namun patut dicatat, ada satu putusan CLS yang sudah berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde), yakni gugatan citizen law suit terhadap kebijakan penyelenggaraan Nasional yang diajukan oleh LBH melawan Pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemerintah (Tergugat) banding atas putusan tersebut dan dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI tanggal 6 Desember 2007, dan seterusnya putusan tsb dikuatkan pula (Kasasi Tergugat Ditolak) oleh Mahkamah Agung tgl 14 Sept 2009 No 2596 K/Pdt/2008. Inilah putusan pertama sekali diterima sebagai CLS, sekaligus dapat dipergunakan sebagai yurisprudensi tetap22. Di Amerika Serikat: 22 ibid hal 242.
Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu V
21
Gugatan seorang Warga Negara Amerika atas kelalaian Pemerintah dalam melakukan pelestarian terhadap Spesies kelelawar langka di Amerika. Gugatan tersebut dikabulkan dan hasilnya adalah pemerintah Amerika mengeluarkan Act tentang Konservasi kelelawar langka tersebut. Di India: Gugatan seorang Warga Negara India atas kelalaian Pemerintah India dalam melestarikan sungai gangga yang merupakan sungai suci bagi umat hindu. Hasilnya adalah Larangan pemerintah India kepada pabrik-‐pabrik di sekitar sungai Gangga melakukan pencemaran terhadap sungai.