MARCH 2016
24 Oktober 2015, desa Sei Ahass, Kapuas, Kalimantan Tengah: Anak sekolah dalam kabut asap. ©Rante/Greenpeace
Publikasikan Peta, Hentikan Kebakaran, Selamatkan Hutan→ Transparansi sangat penting untuk mencegah berlanjutnya krisis kebakaran, dan meningkatkan perlindungan hutan demi kebaikan semua orang Indonesia “Platform peta Greenpeace baru akan memberikan penjelasan yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan hutan di Indonesia, yang masih jauh dari transparan. Transparansi adalah ciri khas dari pemerintahan yang akuntabel, dan dapat membantu memberantas korupsi. Dengan memastikan semua orang bisa melihat ke mana hak atas hutan telah dibagikan, dan kepada siapa, peta ini akan membantu mengurangi kerugian negara melalui korupsi di penerbitan konsesi, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan lahan.” Bambang Widjojanto, pengacara kepentingan publik dan mantan wakil kepala Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (KPK), berbicara dalam mendukung peta Monitoring Hutan Indonesia yang publikasi online oleh Greenpeace.
Dalam bulan-bulan terakhir 2015, Indonesia dan wilayah sekitarnya tercekik kabut asap dari krisis kebakaran yang parah. Pada awal November, total emisi dari kebakaran ini diperkirakan telah melebihi emisi bahan bakar fosil tahunan Jepang.[1] Biaya krisis Indonesia ini diperkirakan mencapai US$ 16 miliar[2] dan kabut beracun dari kebakaran berdampak terhadap jutaan orang termasuk di negara tetangga Malaysia dan Singapura.[3] Lebih dari 500.000 orang di Indonesia dilaporkan telah menderita penyakit pernapasan akut sebagai akibat dari bencana kabut asap.[4]
Secara total pada tahun 2015, sekitar 130.000 titik api terdeteksi di pelosok negeri, banyak di antaranya berada di konsesi perkebunan. Namun, tidak mungkin bagi masyarakat Indonesia untuk mengidentifikasi dengan benar konsesi mana yang terdampak kebakaran, karena data kepemilikan lahan tidak dipublikasikan. Tanpa data peta penguasaan tanah, di mana dan untuk tujuan apa, perjuangan masyarakat Indonesia untuk menganalisa penyebab dari kebakaran dan membantu mencegah berulangnya bencana, dan mengusulkan solusi berbasis bukti.
Kurangnya transparansi menghambat akuntabilitas dan buruk baik bagi demokrasi dan lingkungan di mana kita semua tergantung.
2 PUBLISH MAPS, STOP FIRES, SAVE FORESTS
Kurangnya Transparansi Memiliki Biaya Sosial
25 Februari 2016, Sungai Tohor, Riau: Matahari terbit di atas pepohonan yang terbakar pada tahun 2014. ©Hikmal/Greenpeace Jutaan hektar hutan yang telah diberikan untuk konsesi kelapa sawit, kertas, kayu, atau konsesi pertambangan sering tanpa konsultasi publik dan tanpa mengungkapkan di mana atau kepada siapa. Nyatanya, jutaan hektar hutan dikuasai oleh dua atau lebih konsesi. Studi oleh KPK telah menunjukkan bahwa banyak peraturan yang mengatur pengelolaan hutan rawan penyalahgunaan, yang mengarah ke korupsi dan hilangnya jutaan dolar dalam pendapatan publik - uang seharusnya membiayai pendidikan dan kesehatan.
Ketika pemerintah tidak melakukan transparansi, maka dampak yang akan timbul adalah:
Korupsi: alokasi konsesi tak bermoral untuk keuntungan finansial atau politik pribadi.
Hilangnya pendapatan publik: pajak publik yang tak terbayar, seperti dari penebangan ilegal.
Konflik sosial: Akibat mengabaikan hak lahan masyarakat, menjadikan mereka tidak dapat berpartisipasi dalam keputusan penggunaan lahan yang berdampak besar pada mereka. Banyak kawasan hutan tak terhitung dalam konsesi juga dapat diklaim sebagai lahan masyarakat.
Ketidakpastian sektor swasta: lemahnya koordinasi antara lembaga menyebabkan seringnya terjadi tumpang tindih antar konsesi, dan mengakibatkan konflik klaim pengelolaan. Peta Greenpeace sendiri berhasil mengidentifikasi sekitar 7 juta ha tumpang tindih antara konsesi, (lebih dari 5 juta ha di antaranya melibatkan konsesi batubara).
Penegakan hukum yang lemah: ketika publik tidak mendapatkan informasi, sulit untuk melaporkan pidana yang melibatkan pengelolaan lahan, dan bahkan penegak hukum akan kesulitan secara tepat waktu untuk mendapatkan akses informasi yang diperlukan untuk menindaklanjuti laporan publik.
Tidak memberikan penghargaan kepada yang berhak: terdapat insentif yang rendah bagi perusahaan untuk secara aktif mendukung insentif pemerintah untuk mencegah kebakaran melalui perlindungan lahan gambut..
MARCH 2016
Indonesia yang modern didirikan sebagai negara demokrasi, dan di dalam Undang-Undang Dasar secara khusus melindungi hak atas informasi (terutama melalui pasal 28 huruf F). Ini harus diterjemahkan menjadi penyediaan informasi yang proaktif, tepat waktu dan bebas biaya, dalam format yang dapat dengan mudah ditemukan, digunakan dan dimengerti. UUD juga menyatakan bahwa sumber daya alam seluruhnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, yang berarti bahwa hutan adalah milik kita bersama dan tanggung jawab kita bersama untuk kita sendiri dan generasi mendatang. Masyarakat dan publik yang lebih luas perlu mengetahui siapa yang memberikan hak atas lahan hutan, yang menerima hak tersebut, dan apa yang mereka lakukan dengan hutan tersebut. Transparansi pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia membutuhkan akses ke: ● Peta kepemilikan tanah, seperti perkebunan dan konsesi pertambangan (termasuk alokasi yang diusulkan) untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab terhadap hutan dan lahan gambut Indonesia yang sedang dihancurkan oleh tebang habis hutan alam, pengeringan gambut atau kebakaran. ●
Peta tutupan hutan dan perubahan tutupan hutan, untuk memungkinkan:
○
pemantauan dampak alokasi lahan.
○
penegakan hukum di hutan dan manajemen perkebunan.
○
identifikasi penebangan ilegal.
● Peta lahan gambut dan peta hidrologi gambut, untuk pengelolaan dan untuk memungkinkan perusahaan untuk menjalankan instruksi pemerintan untuk mencegah kebakaran. Anggota masyarakat tidak dapat terlibat dalam proses politik kecuali mereka memiliki informasi dan sarana. Masyarakat yang secara langsung terdampak oleh pembukaan tambang baru dan perkebunan telah lama meminta pemerintah untuk menerbitkan peta tersebut, dan menghormati hak-hak tanah masyarakat. Sayangnya, transparansi penuh tetap belum terealisasi.
Upaya Greenpeace untuk mendukung transparansi dan kepentingan umum
Peta online 'Kepo Hutan' menunjukkan gambut, konsesi, dan titik api antara 1 Februari 2014 dan 1 Maret 2014 sekitar Sungai Tohor. Kontribusi besar lainnya dalam mengurangi kebakaran di masa depan adalah registrasi lahan mutakhir yang online, dan mudah untuk dicari. Kepemilikan lahan di Indonesia sering tidak diketahui atau bersengketa, sehingga sulit untuk menetapkan pihak mana yang bertanggungjawab. Menyandingkan database dengan teknologi pemetaan digital seperti Global Forest Watch milik WRI dapat membuat pengidentifikasian masalah jauh lebih mudah. Satu Peta, proyek yang didukung pemerintah untuk mengembangkan sebuah solusi pemetaan tata ruang, saat ini sedang dikembangkan.
Oliver Balch, 10 Maret 2016, www.weforum.org/agenda/2016/03/indonesias-forest-fires-whatyou-need-to-know
MARCH 2016
Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia berjanji akan mempublikasikan Satu Peta, memberikan informasi rinci mengenai banyak topik. Terlepas dari janji ini, pemerintah telah gagal untuk mewujudkannya. Saat Presiden Jokowi mulai menjabat pada tahun 2014, presiden menjanjikan transparansi, termasuk mewujudkan inisiatif One Map. Namun jadwal untuk penyelesaian proyek ini tertunda hingga 2019. Dengan tertundanya proyek Satu Peta (One Peta), Greenpeace dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah meminta pemerintah, melalui kebebasan untuk keterbukaan informasi, untuk menerbitkan peta yang berisi data penting tentang hutan Indonesia. Kami meminta data peta yang disediakan dalam format shapefile. Format terbuka ini memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk menggabungkan peta resmi pemerintah dengan gambar satelit terbaru atau informasi digital lainnya dan melakukan analisis. Analisis dapat menunjukkan tidak hanya di mana kebakaran terjadi atau hutan yang sedang ditebangi habis, tapi siapa yang bertanggung jawab untuk kerusakan tersebut. Dengan adanya krisis kebakaran yang baru muncul di negara ini, Greenpeace Indonesia meluncurkan 'Kepo Hutan' (Ingin tahu Tentang Hutan), alat pemetaan online interaktif yang memungkinkan masyarakat untuk memantau kebakaran dan penggundulan hutan dengan waktu yang mendekati langsung, dan memantau yang sebelumnya pernah terjadi yaitu siapa yang menguasai lahan dan di mana mereka berada. Platform ini memungkinkan akses informasi pada tingkat grup holding dan konsesi individu, dan bagaimana mereka kaitannya dengan hutan, lahan gambut, hotspot kebakaran dan alarm deforestasi. Peta ini terus dikembangkan berdasarkan informasi yang tersedia dari berbagai sumber. Greenpeace berharap peta tersebut akan:
membantu pengawasan secara demokratis.
meminta pertanggungjawaban perusahaan untuk bertanggung jawab atas kebakaran yang menghancurkan negara pada tahun 2015.
mendorong pelaku lain, khususnya pemegang konsesi perkebunan, untuk maju dan mempublikasikan peta mereka sendiri, dan
menetapkan standar untuk inisiatif pemerintah terhadap Satu Peta..
Mencapai transparansi 27 November 2014, Sungai Tohor, Riau: Presiden Joko Widodo mengikuti masyarakat desa Sungai Tohor menyekat kanal. ©Rante/Greenpeace
Masyarakat memiliki hak terhadap informasi geospasial yang komprehensif dalam format yang paling berguna - yaitu shapefile - untuk memungkinkan analisis dan pemantauan yang berkelanjutan. Tak seorang pun harus melalui proses lingkaran hukum dan menunggu berbulanbulan atau bertahun-tahun untuk mendapatkan akses terhadap data penting. Standar pemerintah harus: Semua data, sepanjang waktu, tersedia untuk semua. Bambang Widjojanto
MARCH 2016
Kementerian harus mempublikasikan data yang mereka miliki dan mengundang semua pemangku kepentingan - masyarakat, para ahli, perusahaan, dan kementerian - untuk bekerja sama memperbaiki kesalahan, meningkatkan data dan menyelesaikan konflik lahan. Sampai pemerintah memenuhi komitmen untuk mempublikasikan Satu Peta, Greenpeace akan terus berkampanye untuk akses informasi publik ini demi kepentingan umum.
Perusahaan harus menempatkan semua peta konsesi untuk operasi mereka sendiri dalam domain publik, misalnya melalui pemantauan hutan secara online Global Forest Watch dan sistem peringatan atau melalui Kepo Hutan, dan mengharuskan semua pemasok untuk melakukan hal yang sama.
Studi kasus: Sungai Tohor
4 Februari 2015, Sungai Tohor, Riau: Kanal memotong lahan gambut. ©Moldenhauer/Greenpeace Desa Sungai Tohor terletak di salah satu pulau di Kepulauan Meranti lepas pantai Provinsi Riau. Pada tahun 2014, desa ini menarik perhatian internasional setelah anggota masyarakat, Pak Manan, memulai petisi online meminta Presiden Jokowi untuk datang melihat sendiri dampak mengerikan dari kebakaran di masyarakat yang terjadi akibat pengeringan lahan gambut oleh perusahaan perkebunan kayu pulp. Pada tahun 2009, penduduk desa menemukan bahwa lebih dari 10.000 ha area di pulau mereka telah dialokasikan untuk sebuah perusahaan kayu pulp, dengan kanal transport selebar 10 meter memotong lahan gambut dan alat-alat berat mereka membersihkan area lahan yang mereka gunakan untuk budidaya. Masyarakat juga mengetahui bahwa 21.000 hektar konsesi penebangan selektif di pulau itu telah diberikan izinnya sebagai perkebunan sagu. Bukan hanya masyarakat tidak punya suara atas pengalokasi tersebut, mereka bahkan tidak diberitahu, meskipun konsesi ini tumpang tindih dengan tanah mereka sendiri [yang belum dipetakan]. Dampaknya sangat mengerikan. Pengeringan gambut untuk perkebunan akhirnya menyebabkan kebakaran pada tahun 2014 yang membakar sekitar 5.000 hektar lahan termasuk kebun sagu masyarakat. Bahkan walau tanpa kebakaran, pengeringan tersebut telah merusak hutan alami dan tanaman sagu masyarakat. Menurut masyarakat, lahan gambut yang dikeringkan mencapai hingga kedalaman 9 meter – yang secara hukum seharusnya terlarang untuk pengembangan semacam ini. Pada bulan November 2014, hasil dari petisi online Pak Manan, Presiden Jokowi mengunjungi desa untuk melihat sendiri penyebab keprihatinan masyarakat. Tergerak oleh apa yang dilihatnya, presiden secara pribadi membantu masyarakat membangun sebuah bendungan di lahan gambut yang dikeringkan. Presiden Jokowi memerintahkan para menterinya untuk mencabut izin perkebunan dan meninjau semua konsesi industri di lahan gambut untuk melihat apakah mereka merusak ekosistem. Setahun setengah kemudian, masyarakat Sungai Tohor diberitahu bahwa konsesi kayu pulp telah dicabut, namun masih ragu dengan status hukum dari kelanjutan perkebunan sagu mereka sendiri, dan batas-batas konsesi industri perkebunan sagu yang tetap ada. Penduduk desa tidak diberikan surat resmi atau peta untuk memperjelas situasi.
MARCH 2016
Peta seperti yang tercantum dalam platform Kepo Hutan Greenpeace, terlihat di bawah digunakan oleh Pak Manan di Sungai Tohor pada Maret 2016, bisa membantu memberikan masyarakat dengan kepastian yang mengilhami baik kewirausahaan dan pelayanan yang baik. Namun pada akhirnya tergantung kepada pemerintah untuk memastikan informasi terbaru dan terlengkap yang tersedia untuk umum.
25 Februari 2016, Sungai Tohor, Riau: Pak Abdul Manan melihat peta Greenpeace ‘Kepo Hutan’ guna melihat titik api yang telah terjadi di wilayah Sungai Tohor. ©Hikmal/Greenpeace
Kami ingin peta terbuka untuk umum. Kami memiliki hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada tanah kami sendiri. Dan kita harus mampu memonitor - kami ingin menjadi yang pertama, bukan yang terakhir, untuk mengetahui saat ada kebakaran atau ketika dikeluarkannya izin sehingga kami dapat mempertahankan tanah kami dan meminta pertanggung jawaban mereka yang salah. Pak Abdul Manan, Maret 2016
Diterbitkan oleh Greenpeace Indonesia Maret 2016 [1] GFED (2015) 10 November 2015 perkiraan emisi api sebesar 1.713 MtCO2, dibanding emisi Jepang sebesar 1.360MtCO2 pada 2013 menurut EDGAR (2015). [2] http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-01-20/haze-crisis-cost-indonesia-almost-2-of-gdp-world-bank-says [3] http://blog.cifor.org/36467/dont-inhale-scientists-look-at-what-the-indonesian-haze-is-made-of?fnl=en [4] http://www.reuters.com/article/indonesia-haze-health-idAFL8N12Z2HT20151110 and http://news.asiaone.com/news/asia/haze-kills-10-people-indonesia-leaves-over-500000-respiratory-ailments-agency