EKSISTENSI GERAKAN GREENPEACE DI INDONESIA Tugas Akhir Kelas Gerakan Politik 2008
disusun oleh:
A. sudiana Sasmita
21292/SP
Dadan Ramdhani
21622/SP
Hani Arya P.
21630/SP
Hani Fauziah
21794/SP
Ikhda Nurnoviyati
21554/SP
Keke Eskatario
21507/SP
Susilo Hardjono
21870/SP
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2008 8
Pendahuluan: Suatu Sintesis Nalar dan Refleksi Greenpeace adalah organisasi independen yang berkampanye menggunakan konfrontasi kreatif anti kekerasan untuk mengungkap permasalahan lingkungan global, dan untuk memaksa solusi bagi sebuah masa depan yang damai dan hijau. Target Greenpeace adalah untuk memastikan kemampuan bumi untuk kelangsungan hidup bagi semua keanekaragamannya. (pernyataan Resmi Greenpeace) Pernyataan di atas agaknya menjelaskan gerakan Greenpeace sebagai salah satu gerakan sosial baru yang disintesiskan oleh Rajendra Singh. Menurutnya, paradigma yang memandang gerakan sosial secara binner – yakni: paradigma mobilisasi sumber daya yang memusatkan pada peran nalar (dan aksi kolektif) dan paradigma orientasi identitas yang menekankan peran refleksi (daripada nalar), dapat disintesiskan dalam memahami gerakan sosial.1 Hal ini dikarenakan kritik terhadap salah satu paradigma tersebut justru menyiratkan tuntutan untuk mensintesiskan keduanya. Sekaligus untuk memperlihatkan kesamaan asumsi keduanya yang sama kuat bahwa gerakan sosial berada dalam situasi sarat konflik. Begitupun dalam pernyataan resmi Greenpeace tersebut, tersirat adanya peran kuat dari nalar dan aksi kolektif yang diwujudkan aktor-aktornya dalam bentuk organisasi independen berkonfrontasi dengan caranya yang
kreatif dan anti kekerasan untuk mengungkap
permasalahan lingkungan global. Di sini paradigma mobilisasi sumber daya bisa kita temukan. Namun, tersirat pula adanya tekanan akan peran kuat dari refleksi dalam gerakan ini yang terwujud dari pernyataannya, bahwa mereka memaksakan solusi yang damai dan hijau dengan memastikan kemampuan bumi untuk kelangsungan hidup bagi semua keanekaragamannya. Secara nalar, tentu solusi damai dan hijau sangat sulit untuk dicapai dengan kondisi dunia dan jelajah kapitalisme yang kian merambah hampir ke seluruh pelosok Bumi. Padahal untuk kelangsungan hidup manusia sendiri sekarang begitu sulit dipastikan, apalagi kelangsungan semua keanekaragaman di Bumi. Sehingga, secara logis menjadi wajar untuk pesimistik memastikan kemampuan Bumi demi kelangsungan hidup bagi semua keanekaragamannya (tanah, bumi, air, tumbuhan, dsb). Terlebih lagi, dalam prakteknya, Greenpeace berhadapan 1
Rajendra Singh. “Teori Gerakan sosial Baru” dalam wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Nomor XI tahun 2002. Hlm:52
dengan perusak alam yang acapkali dilakukan oleh negara dan pasar atas nama kebutuhan masyarakat (setidaknya kebutuhan manusia untuk bertahan hidup). Dalam hal ini, memaksakan solusi damai dan hijau dengan memastikan kemampuan Bumi demi keanekaragamannya boleh jadi merupakan peran kuat dari refleksi (ketimbang nalar) yang bisa kita telaah dari paradigma orientasi identitas.2 Selanjutnya menurut Singh, petunjuk yang digunakan untuk memahami sintesis keduanya bisa dilihat dari konsepsi Habermas tentang aksi teleologis (1985: 86) dalam kerangka pilihan aktor dalam menggali pertolongan untuk menuju perangkat alternatif guna menyadari tujuan. Aksi teleologis berkorespondensi dengan konsepsi aksi rasional (teori mobilitas sumber daya). Kemudian, rumusan Habermas tentang “aksi dramaturgis” (ibid.:80-100) yang merujuk pada penyingkapan berdayaguna dan ekspresif dari subjektivitas seseorang, perasaan, gairah, pengalaman, dan identitas ke dunia objektif, ke “dunia yang lain”. Di sini tampak jembatan antara nalar dan refleksi yaitu sistem norma – yang mendefinisikan orientasi dunia aktor.3 Sehingga, walaupun kedua paradigma tersebut agaknya saling meminggirkan satu sama lain, tetapi dapat diintegrasikan ke dalam paradigma gerakan sosial yang relatif koheren dengan meletakkan konsepsi masyarakat (sebagai sistem norma) yang didefinisikan oleh konsepsi aksi sosial. Karena itu, konsepsi gerakan sosial berkorespondensi dengan konsepsi jenis masyarakat spesifik. Dengan begitu, gerakan Greenpeace bisa kita lihat berkorespondensi dengan masyarakat ramah lingkungan. Di sinilah penting kiranya untuk melihat eksistensi gerakan Greenpeace di Indonesia yang telah terhimpit oleh kapitalisme dan gerak industrialisasi dalam struktur ekonomi global, sekaligus berada dalam struktur masalah lingkungan global. Keberadaan Greenpeace di Indonesia agaknya akan menunjukkan karakteristik spesifik dari masyarakat di Indonesia. Utamanya, dengan memahami konflik kepentingan kapitalisme yang pragmatis dengan kepentingan untuk pelestarian alam hingga ke anak-cucu, merupakan situasi konfliktual di negeri ini. Sehingga, dalam asumsi situasi konfliktual tersebut-lah tulisan ini hendak memaparkan bagaimana eksistensi gerakan Greenpeace di Indonesia berkorespondensi dengan jenis masyarakat spesifik-nya. 2
Pendapat ini kami temukan dari pandangan yang melihat Greenpeace sebagai gerakan sosial baru, tetapi diskusi kami mempermasalahkan paradigma yang akan digunakan. Tidak hanya sebatas pada karakteristik GSB. Kemudian mengantarkan pada sintesis dua paradigma gerakan sosial dari Rajendra Singh sebagai upaya dalam menelaah keberadaan greenpeace di Indonesia. (2 Juni 2008) 3 Rajendra Singh, op.cit. hlm:53
Bagian-bagian makalah ini dimulai dengan greenpeace di Indonesia yang memaparkan bagaimana melihat eksistensi greenpeace di Indonesia,
strategi gerakan yang
menjelaskan kontekstualisasi yang dilakukan greenpeace dalam kegitannya, dan bagian Penutup untuk memahami seperti apa korespondensi greenpeace dan masyarakat (Indonesia).
Greenpeace di Indonesia4 Greenpeace bermula dari pembentukan Don’t Make a Wave Committee oleh sejumlah warga Kanada dan warga asing dari Amerika Serikat di Vancouver di tahun 1970. Komite ini dibentuk dengan tujuan untuk mencegah percobaan bom nuklir Amerika Serikat (Cannikin) di bawah Pulau Aleutia di Amchitka, Alaska. Perjalanan ke Amchitka ini mengalami kegagalan, Amerika Serikat tetap melakukan ujicoba nuklirnya. Pada tanggal 30 September 1971 Kapal Greenpeace ditangkap US Coast Guard di Pulau Akutan dan di kirim kembali ke Sand Point. Kapal penangkap ikan yang digunakan Don’t Make a Wave Committee, The Phyllis Cormack—yang namanya kemudian diganti menjadi Greenpeace—tidak pernah sampai Amchitka, tetapi gerakan yang dilakukan telah menunjukkan konsistensi mereka dalam menyelamatkan lingkungan. Pembentukan Don’t Make a Wave Committee pun berhasil meletakkan dasar untuk aktivitas-aktivitas Greenpeace berikutnya Pada 4 Mei 1972, Don’t Make a Wave Committee pun secara resmi berganti nama menjadi Greenpeace Foundation. Nama Greenpeace sendiri dikombinasikan dari kata green (hijau) dan peace (damai) oleh Bill Darnell. Di akhir era 70an, isu lingkungan yang semakin merebak kemudian memunculkan gerakan-gerakan lingkungan baru, dan lebih dari 20 kelompok lingkungan di Amerika Utara, Eropa, New Zealand, dan Australia mengadopsi nama Greenpeace untuk nama kelompoknya. Greenpeace Foundation yang bermarkas di Vancouver kemudian mengalami krisis di tahun 1979. timbul masalah-masalah keuangan, konflik antar kantor perwakilan mengenai fundraising, bahkan berujung ke terancam pecahnya Greenpeace sebagai gerakan global. David McTaggart 4
Bagian ini ditulis untuk memperjelas analisis dari kelompok pembuat makalah sebelumnya, greenpeace: dinamika dan eksistensi gerakan Lingkungan. Sekaligus merespon diskusi kelas yang menyiratkan untuk memperdalam greenpeace di Indonesia.
kemudian melobi Greenpeace Foundation Canada untuk menerima sarannya tentang struktur baru Greenpeace yang memungkinkan untuk menyatukan kantor-kantor Greenpeace yang tersebar di bawah bantuan organisasi global tunggal, dan di tanggal 14 Oktober 1979 Greenpeace International akhirnya didirikan. Kemudian struktur ini tetap berjalan hingga sekarang. Prinsip dasar struktur baru ini, menurut kami lebih pada upaya untuk menjaga kemandirian keuangan dan menunjang kinerja organisasi Greenpeace. Bukan pada penyeragaman strategi gerakan, tetapi memaksimalkan efisiensi dan efektivitas organisasi.5 Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya secara resmi tanggal 24 November 2006, Greenpeace pun membuka kantor di Indonesia. walaupun secara operasional, telah ada sejak juli 2005. Kantor greenpeace di Indonesia berpusat di Cikini, Jakarta. Hingga penulisan makalah ini, ada sekitar 32 kantor cabang greenpeace Indonesia yang telah dibuka di daerah-daerah. Sebelumnya, greenpeace telah membentuk kantor regional greenpeace Asia Tenggara yang diketuai oleh Emmy Hafild (periode 2005-2008). Tetapi tetap membuka kantor nasional greenpeace Indonesia. menurut Hafild, Greenpeace Indonesia diperlukan untuk mendukung gerakan lingkungan yang telah ada karena pemerintah belum serius menanggapi masalah lingkungan hidup. Maksudnya, barangkali membantu greenpeace Asia Tenggara yang telah berdiri lebih dulu. Apalagi anggota greenpeace yang berasal dari Indonesia cukup banyak, sedangkan isu lingkungan cenderung belum ditanggapi serius oleh pemerintah Indonesia.6 Keberadaan greenpeace di Indonesia, sekaligus menambah barisan gerakan lingkungan di Indonesia. Tak heran, peran gerakan ini nampaknya belum begitu terlihat di khalayak masyarakat Indonesia. Berbeda dengan gerakan lingkungan yang telah hadir terlebih dahulu, seperti: WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KTH(Kelompok Tani Hutan),dsb. Terlebih, dalam isu lingkungan di tingkat lokal nampaknya Greenpeace Indonesia belum menunjukkan perannya yang sesuai dan memadahi. Sejalan dengan hal itu, kami menguraikan pemahaman tentang eksistensi greenpeace Indonesia di tahun ke-2 berdasar tanggal resmi pembentukan greenpeace Indonesia. Eksistensinya bisa kita lihat dari 3 hal: 5
Berbeda dengan pendapat kelompok pembuat makalah sebelumnya yang menganggap struktur ini hirarkis-otoriter dan untuk menyeragamkan strategi gerakan kepada semua kantor nasional/regional greenpeace. 6 Bisa kita lihat pula dari website greenpeace Indonesia yang integral dengan greenpeace Asia Tenggara. pun,hampir tidak ada dikotomi yang membedakan anggota greenpeace Indonesia dan greenpeace Asia Tenggara. kecuali, dalam hal teritori cakupan kerja.
Pertama, kontribusi yaitu dengan melihat sejauhmana kontribusi gerakan greenpeace bagi solusi permasalahan lingkungan di Indonesia. Dalam hal ini, kontribusi greenpeace di Indonesia memang cukup terlihat. Buktinya, mereka telah melakukan cukup banyak kegiatan yang mendesak pemerintah dan perusahaan untuk menjaga lingkungan. Diantaranya, kampanye untuk surga yang hilang di hutan Papua, demonstrasi terhadap lumpur lapindo, kampanye penyelamatan hutan Indonesia, dll. Kedua, keanggotaan. Sampai tahun 2007 tahun lalu, keanggotaan greenpeace telah bertambah cukup pesat. Sekitar ribuan orang yang telah bergabung sebagai anggota greenpeace. Baik itu yang bersifat sebagai Supporter, mereka yang berpartisipasi dalam Greenpeace dan tergabung secara resmi sebagai anggota dengan membayar iuran sebesar Rp 50.000 7; volunteer hanya berpartisipasi pada kegiatan Greenpeace, namun tidak melibatkan jumlah uang tertentu; maupun cyberactivist, forum sukarelawan yang dibangun Greenpeace di jaringan internet—sama seperti volunteer—untuk menjadi cyberactivist tidak perlu membayar iuran tertentu. Hanya saja, keanggotaan yang bersifat volunteer agaknya lebih banyak diikuti daripada cyberactivist. Mengingat di Indonesia, penggunaan jaringan internet belum dapat menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, pengakuan. Maksudnya, kontribusi dan keanggotaan greenpeace seharusnya juga dilihat dari pengakuan masyarakat (indonesia) terhadap dirinya. Ketika masyarakat mengakui eksistensinya, maka gerakan ini bisa disebut eksis. Tidak semata-mata hanya melihat dari dalam greenpeace, tetapi melihat pula dari luar diri greenpeace – masyarakat. Dalam istilah yang lain, ada kontekstualiasasi gerakan agar ”menyentuh” masyarakat di tingkat lokal baik secara organisasi formal – mendirikan kantor cabang di daerah, maupun secara reflektif – meningkatkan pemahaman bagi masyarakat tentang misi yang damai dan hijau untuk kelangsungan Bumi beserta keanekaragamannya. Maka dari itu, agar eksistensi gerakan ini bisa bertambah kuat, maka perlu upaya yang lebih kontekstual terkait strategi gerakan yang mereka gunakan.8 Hal ini juga dikarenakan struktur greenpeace dari internasional ke regional/cabang tidak mengurangi otonomi dari tiap kantor regional/nasional, termasuk greenpeace di Indonesia untuk melakukan kontekstualisasi strategi gerakan. 7
Jumlah besarnya uang iuran ini seperti disampaikan oleh salah seorang anggota greenpeace Indonesia dari jurusan ilmu pemerintahan, yaitu Hendra Januriansyah (12 Maret 2008) 8 Hampir senada dengan pandangan kelompok pembuat makalah yang lama (kelompok 9), bahwa greenpeace Indonesia perlu berpikir ulang tentang strategi gerakannya.
Kontekstualisasi gerakan bisa kita simak dari uraian di bawah ini tentang strategi gerakan greenpeace yang secara umum masih berada dalam ”jalur” strategi yang digunakan oleh seluruh greenpeace di dunia. Tetapi, kegiatannya secara spesifik telah menunjukkan beberapa perbedaan dari segi operasionalnya. Tak lain, ini dilakukan untuk menarik pengakuan eksistensi greenpeace Indonesia di tingkat lokal – daerah. Strategi Gerakan Sejak awal pendiriannya, Greenpeace relatif tidak berpusat pada seorang tokoh kharismatik. Greenpeace di Indonesia seperti halnya greenpeace di negara lain, memiliki pola gerakan yang berbasis pada jaringan. Hal ini bisa dilihat dari kerja sama yang dibangun oleh greenpeace di Indonesia dengan lembaga-lembaga lain yang juga concern dalam permasalahan lingkungan hidup. Misalnya saja kampanye penyelamatan hutan Indonesia yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat pada tanggal 16 Februari 2008. Aksi kampanye yang merupakan bentuk keprihatinan terhadap rusaknya hutan Indonesia ini adalah kerja sama Greenpeace Indonesia dengan berbagai pihak. Diantaranya adalah dengan komisi lingkungan hidup DPR, anggota DPD RI perwakilan Jakarta, dan juga yayasan Pitaloka milik artis Rieke Dyah Pitaloka. Selain bekerja sama dengan lembaga dalam negeri. Keberadaan Greenpeace Indonesia yang masih sangat muda menyebabkan Greenpeace Indonesia harus banyak belajar kepada Greenpeace Asia Tenggara yang lebih dulu berdiri. Adanya jaringan yang kuat di antara Greenpeace dan lembaga lain yang bergerak dalam masalah lingkungan hidup, diharapkan akan mempermudah terciptanya misi Greenpeace serta mempertahankan eksistensi Greenpeace di Indonesia. Dalam melakukan gerakannya, Greenpeace tidak melakukan aksi yang bersifat konvensional seperti unjuk rasa atau pemogokan. Akan tetapi Greenpeace lebih cenderung melakukan aksi dengan metode operasional gerakan yang bersifat non-konvensional. Contohnya adalah aksi pemblokiran yang dilakukan Greenpeace terhadap kapal tanker yang sedang mengisi CPO untuk keperluan ekspor di Pelabuhan Dumai. Aksi ini mirip sabotase. Contoh lain adalah aksi menuangkan ratusan kilogram lumpur yang didatangkan langsung dari porong ke kantor Menko Kesra Abu Rizal Bakrie untuk menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Bisa dikatakan, Greenpeace selalu menggunakan cara yang unik dalam setiap aksinya. Tentu saja aksi yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia tersebut tidak pernah
dengan menggunakan kekerasan. Karena hal ini sesuai dengan prinsip Greenpeace yaitu non violence direct action. Menurut Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Emmy Hafild, aksi tanpa kekerasan yang dilakukan Greenpeace pada dasarnya adalah bertujuan untuk mengembalikan hak-hak sipil masyarakat. Contoh aksi tanpa kekerasan yang dilakukan Greenpeace Indonesia adalah aksi simbolik pemotongan lukisan pohon dengan menggunakan gergaji pada kampanye penyelamatan hutan Indonesia pada bulan Februari 2007. Target gerakan Greenpeace tentu saja adalah pihak-pihak yang dianggap telah merusak lingkungan, termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan besar yang selama ini ditengarai telah ikut andil dalam rusaknya lingkungan lewat limbah-limbah pabrik yang mereka hasilkan. Selain perusahaan-perusahaan, pemerintah yang melakukan legalisasi bagi perusakan alam pun merupakan target gerakan Greenpeace. Sedangkan dalam metode pembiayaan, Greenpeace merupakan organisasi yang mandiri secara finansial. Pembiayaan yang dilakukan oleh Greenpeace bersifat kolektif, yaitu berasal dari iuran para anggotanya sebesar 50 ribu rupiah tiap bulannya. Selain kolektif dari para anggotanya, Greenpeace Indonesia mendapatkan bantuan dana dari Greenpeace pusat – semacam subsidi silang. Dalam menjaga kenetralannya, Greenpeace tidak pernah mau menerima donasi dari perusahaan atau pemerintah yang disinyalir akan mengganggu netralitasnya. Medium gerakan yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia merupakan kombinasi diantara medium terbuka dan terselubung. Ambil contoh, dalam kampanye anti penebangan hutan. Mereka mendokumentasikan melalui video amatir dan pemotretan untuk memperlihatkan ke publik. Sekaligus diperlihatkan ke perusahaan yang terkait. Akibatnya, perusahaan kadang menuntut agar gerakan ini meminta ijin terlebih dahulu kepada mereka. Tak jarang hal ini yang menyebabkan greenpeace disebut anarkis. Sedangkan menurut greenpeace sendiri, aksi ini diperlukan untuk “menangkap basah” dari target gerakan yang telah merusak alam. Utamanya, di Indonesia dimana laju degradasi hutan sangat pesat – sekitar 1 juta hektar per tahun. Sedangkan sistem hukum kita masih terdapat celah untuk “diakali” oleh tersangka pengrusakan hutan. Pun, hukumannya belum bisa membuat para pelaku pengrusakan lingkungan menjadi jera. Maka, medium yang terbuka dan terselubung lah yang digunakan oleh greenpeace Indonesia. Penutup: Korespondensi Greenpeace dan Masyarakat (Indonesia)
Akhirnya, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa konsepsi masyarakat spesifik didefinisikan dari konsepsi aksi sosial. Dalam makalah ini, berarti konsepsi tentang masyarakat ramah lingkungan di Indonesia didefinisikan dari aksi sosial yang mendukung dan menjaga eksistensi gerakan sosial yang mengangkat isu lingkungan. Singkatnya, dari segi operasional konsep, seberapa besar partisipasi baik kuantitas mupun kualitas dari masyarakat untuk mendukung gerakan lingkungan di Indonesia. sebagai wujud kepedulian satu sama lain (baca: gerakan lingkungan dan masyarakat). Sehingga, korespondensi greenpeace sebagai salah satu gerakan lingkungan yang telah berdiri di Indonesia dengan masyarakat bisa kita petakan. Tepatnya, kita petakan dari konsep operasionalnya, yakni partisipasi. Partisipasi dari segi jumlah yakni dengan menjadi anggota greenpeace di Indonesia memang tak dapat diragukan lagi. Jumlahnya yang ribuan orang menyiratkan suatu bentuk kepedulian masyarakat secara umum bagi eksistensi gerakan ini. Walaupun greenpeace berasal dari luar, seringkali ada yang berpendapat bahwa gerakan ini berlawanan dengan wawasan nasionalisme. Yang paling ekstrim, kecurigaan membawa kepentingan asing.9 Gerakan ini dalam prakteknya telah mendapat tempat yang cukup luas di Indonesia. selain karena jumlah anggota (terutama yang bersifat volunteer) semakin banyak, greenpeace Indonesia hingga 2008 ini telah membuka 32 kantor cabang di daerah. Hampir setara dengan jumlah provinsi di Indonesia dengan persebaran yang cukup merata. Apalagi gerakan ini cukup dikenal di kalangan anak muda melalui banyak event yang kreatif untuk menggugah kepeduliaan akan isu lingkungan. Kendatipun demikian, dari segi kualitas, gerakan ini masih terus mencari-cari “bentuk” yang sesuai dengan konteks Indonesia. begitu juga partisipasi masyarakat secara kualitas, masih terkesan “coba-coba”. Buktinya, banyak yang tertarik dengan ikut-serta terlibat dalam gerakan, namun memilih menjadi volunteer. Memang alasan kuatnya ialah sifat volunteer tidak mengumpulkan iuran wajib setiap bulan. Tetapi, alasan demi “penjajakan” sebelum berperan aktif dengan greenpeace Indonesia boleh jadi merupakan alasan yang kuat pula. Lebih-lebih, usia greenpeace Indonesia yang baru berkisar 2 tahun. Selain itu, masyarakat yang terlibat dalam gerakan ini kebanyakan adalah relatif kawula muda dan pengguna internet – yang kebanyakan diakses oleh kelas menengah ke atas.10 Hal ini hampir serupa dengan yang dialami oleh gerakan lingkungan yang lain di Indonesia seakan ada 9
Kecurigaan ini pernah pula diungkapkan oleh Nizam Zulfikar pada sesi tanya jawab diskusi kelas. (12 Maret 2008) Pendapat ini diutarakan oleh Silfiana agar kami mengklarifikasi pandangan kami yang menganggap greenpeace adalah gerakan sosial baru. (12 Maret 2008) 10
anggapan bahwa gerakan itu hanya diperuntukkan oleh kawula muda ataupun pengguna internet. Padahal greenpeace Indonesia secara nyata, merangkul semua elemen dengan tidak memandang usia, pekerjaan, kelas sosial, dst. Sebagai contoh, kampanye anti penebangan hutan yang melibatkan salah satu suku di daerah kalimantan. Pun, rekruitmen keanggotaan yang terbuka bagi siapa saja. Walaupun dari segi informasi rekruitmen yang digunakan greenpeace memang mengandalkan jaringan internet. Tetapi, digaris-bawahi, tak ada batasan untuk menjadi anggota baik dari segi jumlah, waktu pendaftaran, dsb. Oleh karena itu, korespondensi masyarakat dan gerakan greenpeace dari segi kuantitas memang telah menunjukkan tingkat hubungan yang cukup baik. Dengan keanggotaannya yang mencapai ribuan dan puluhan kantor cabang di Indonesia, bolehlah kita menyebut korespondensi yang terjadi memang cukup signifikan. Tetapi, tidak kemudian menyebut bahwa masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat spesifik yang ramah/peduli lingkungan. Hal ini dikarenakan secara kualitas, yang terjadi lebih pada penjajakan terhadap suatu gerakan lingkungan. Barangkali pemaknaan eksistensi greenpeace masih lebih dipandang secara nalar di dalam kehidupan masyarakat (termasuk sebagian anggota greenpeace Indonesia) ketimbang secara reflektif. Padahal Greenpeace – sesuai pernyataan resminya, merupakan gerakan yang menunjukkan eksistensinya secara nalar – dalam bentuk organisasi independen, dan secara reflektif dengan memaksakan solusi damai dan hijau, serta memastikan kemampuan Bumi untuk kelangsungan keanekaragaman di dalamnya. Sekaligus perlu sekiranya riset lebih lanjut untuk memperdalam korespondensi secara kualitas yang memetakan eksistensi secara nalar dan reflektif dari gerakan greenpeace di Indonesia ini.
Referensi: •
Aditjondro, George Junus. Pola-Pola Gerakan Lingkungan Refleksi Untuk Menyelamatkan Lingkungan Dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
•
Singh, Rajendra. “Teori Gerakan Sosial Baru” dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif no.XI tahun 2002.
•
—, Chronology, the Founding of Greenpeace, http://www.rexweyler.com/resourses/greenchronfound. html, diakses 24 Maret 2007
•
—, How is Greenpeace Structured?, http://www.greenpeace.org/international/about/how-is-greenpeacestructured
•
Riky Ferdianto, Greenpeace Buka Kantor Perwakilan di Indonesia, http://www.tempointeraktif.com
•
Forum Diskusi Volunteer Greenpeace Indonesia. http://www.yahoogroups.com/gpindo_volunteer