1
Gerakan Anti Sawit Greenpeace Pada Tahun 2008-2010 Santi Rosita Devi dan Andrinof A. Chaniago Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Abstrak Artikel ini menjelaskan mengenai gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace. Gerakan ini bertujuan untuk menghentikan laju deforestasi Hutan Indonesia yang diakibatkan oleh semakin meluasnya lahan perkebunan kelapa sawit. Gerakan ini termanifestasikan ke dalam bentuk kampanye anti sawit Greenpeace, terhadap salah satu perusahaan besar industri kelapa sawit Indonesia, yakni Sinar Mas, selama periode tahun 2008-2010. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian deskriptif-analitis. Bentuk dari strategi gerakan ini adalah pemilihan target kampanye, menjadi saksi langsung sebuah peristiwa, pembentukan jaringan lokal-nasional, dialog dan forum diskusi, penggunaan aksi langsung tanpa kekerasan, dan penciptaan tekanan pasar. Abstract This research explains about Greenpeace anti-palm environmental movement. This movement intends to stop deforestation in Indonesia caused by oil palm plantation expansion. The movement manifested in the form of anti-palm oil campaigns of Greenpeace to one of palm oil big company, Sinar Mas, in 2008-2010. The research uses qualitative method with descriptive-analytic approach. The forms of strategy are: selection of campaign target, bearing witness, establishment of local and national network, dialogue and discussion forum, nonviolent direct action, and market pressure. Key words : Environmental movement; Greenpeace; Indonesian palm-oil industry; Sinar Mas
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil atau CPO) terbesar di dunia sejak tahun 2006. Oleh karena itulah, Indonesia semakin menargetkan pertumbuhan ekonomi dari sektor industri kelapa sawit sehingga digunakan penanaman berbasis ekspor. Disisi lain, penanaman kelapa sawit membutuhkan lahan perkebunan yang luas, sementara untuk kasus Indonesia - sebagian besar daratan terdiri dari hutan. Deforestasi tentu tidak bisa dihindari. Selain itu, penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
2
besar, juga seringkali dilakukan di lahan gambut. Sejalan dengan hal tersebut, muncul sebuah gerakan dari sebuah ENGO (Environtmental Non-Government Organization), yakni Greenpeace. Adapun tujuan dari gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace adalah menghentikan laju deforestasi Hutan Indonesia dan lahan gambut yang hilang yang diakibatkan oleh masifnya industri ini. Gerakan ini termanifestasikan dalam sebuah kampanye anti sawit terhadap salah satu perusahaan industri kelapa sawit, yakni Sinar Mas. Greenpeace menganggap bahwa Sinar Mas adalah perusahaan pemilik lahan kelapa sawit terluas di Indonesia, namun tidak menerapkan standardisasi pengelolaan lingkungan yang tepat dan hanya mengedepankan kepentingan ekonomi. Kampanye secara masif dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2010. Terkait dengan hal tersebut, Greenpeace menyusun strategi gerakan, agar tujuan dari gerakan ini berhasil. Artikel ini membahas tentang bagaimana bentuk strategi gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace pada tahun 2008-2010? 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan mengenai bentuk dari strategi gerakan anti sawit Greenpeace, termasuk bagaimana Greenpeace menciptakan sebuah kesempatan politik sebagai ruang untuk melakukan sebuah gerakan anti sawit. Penelitian ini menggunakan Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement), yakni mekanisme Struktur Kesempatan Politik Political Opportunity Structure (POS), dan framing (pembingkaian). Teori ini diharapkan mampu untuk menjelaskan bagaimana Greenpeace memunculkan sebuah kesempatan politik untuk melakukan gerakan, serta penggunaan framing gerakan, untuk menyusun strategi gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace. 2. Metode Penelitian 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Gerakan Sosial Baru Teori Gerakan Sosial Baru muncul akibat kekecewaan para intelektual terhadap pandangan Teori Marxist tentang revolusi sosial dimana gerakan sosial sebagai cerminan dari perjuangan kelas dalam proses produksi. Oleh karena itulah gerakan sosial selalu dipelopori dan berpusat atau dimotori para kaum buruh. Sebaliknya dalam perkembangan teori yang dikaitkan dengan kapitalisme, justru kaum buruh tidak terlibat secara langsung dalam sistem
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
3
eksploitasi produksi yang semakin besar dan merasakan kekecewaan serta melahirkan posisi tawar kolektif terhadap negara. Oleh karena itu, gerakan sosial baru tumbuh dan berkembang di zaman menguatnya kapitalisme negara state-led development serta pada era globalisasi liberal saat ini.(L Situmorang, 2010: 25-26) Teori Gerakan Sosial Baru menempatkan arah perjuangan gerakan dalam melawan ketimpangan sosial atas dominasi kapitalisme negara, media massa, serta kapitalisme industri dan anti-globalisasi. Gerakan ini tidak saja dimotori oleh kaum buruh, melainkan juga gerakan mahasiswa, gerakan feminis, gerakan kalangan profesional, gerakan anti-perang, gerakan lingkungan, gerakan kelompok miskin kota, dan gerakan-gerakan lainnya. Di Eropa, gerakan lingkungan masuk ke dalam analisis Gerakan Sosial Baru (Cohen, 1985: 663). Hal ini dikarenakan tingkat “kebaruan” gerakan lingkungan, tidak bisa dianalisis dengan Gerakan Sosial Lama yang hanya berbasiskan pada kelas politik dari gerakan buruh. Oleh karena itulah kemunculan Gerakan Sosial Baru muncul sebagai respon atas keluhan baru (new grievance). Gerakan Sosial Baru, disimbolkan dengan pergantian bentuk objek - dari yang berbasiskan dominasi kepentingan ekonomi, menjadi berbasiskan identitas budaya dan orientasi (Melucci, 1989) 2.1.1.1 Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure / POS) Salah satu mekanisme yang dipakai untuk menjelaskan gerakan sosial adalah Political Opportunity Structure (POS) atau struktur kesempatan politik. Mekanisme struktur kesempatan politik berusaha menjelaskan bahwa gerakan sosial yang terjadi disebabkan oleh perubahan dalam struktur politik, yang dilihat sebagai kesempatan. (A Situmorang, 2007: 3) POS menjelaskan mengenai adanya pergolakan politik yang berdampak pada kemunculan, struktur, lingkup, dan kesuksesan sebuah gerakan sosial. Konsep ini menekankan pada adanya struktur eksternal dibandingkan faktor internal sebuah gerakan. POS tidak hanya menjelaskan mengenai kesempatan politik sebuah gerakan terhadap negara, karena dalam perkembangannya kesempatan politik juga memungkinkan organisasi gerakan sosial untuk melakukan protes terhadap perusahaan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa konsumen dapat menekan perusahaan dengan melakukan boikot produk, sedangkan warga negara tidak bisa atau pendapatnya kurang didengar oleh negara. Lebih lanjut, Jasper dan Poulsen menambahkan bahwa karakteristik institusi dan bagaimana respon institusi tersebut terhadap tuntutan gerakan, akan sangat berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya kampanye yang ditujukan terhadap mereka.(Yanto, 2002)
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
4
2.1.1.2 Framing (Pembingkaian) Frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut memiliki arti dan makna.(Goffman dikutip Yanto, 2002). Pemahaman proses framing penting dikarenakan framing dapat memahami sukses atau gagalnya sebuah gerakan sosial (Mc.Carthy, Smith, & Zald, 1996). Menurut Snow dan Banford (1988), suksesnya gerakan sosial terletak pada sampai sejauh mana mereka memenangkan “pertempuran atas arti”. Hal ini berkaitan dengan upaya para pelaku perubahan memengaruhi makna dalam kebijaksanaan publik. Oleh karena itu, pelaku perubahan memiliki tugas penting mencapai perjuangannya dengan mem-framing masalah-masalah sosial dan ketidakadilan. Menurut Zald (1996: 268), ada dua topik yang menjadi sumber dasar framing. Topik pertama adalah kontradiksi budaya dan alur sejarah. Menurutnya, kesempatan politik dan mobilisasi seringkali tercipta melalui ketegangan budaya dan kontradiksi yang telah berlangsung lama, yang kemudian muncul menjadi bahan proses framing, seperti keluhan dan ketidakadilan, sehingga aksi kolektif menjadi mungkin. Kontradiksi budaya juga menjadi penyebab mobilisasi ketika dua atau lebih tema-tema budaya yang memiliki potensi kontradiksi dibawa ke dalam kontradiksi aktif melalui kekuatan aksi kolektif. Kemungkinan lain, misalnya ketika realitas perilaku sekelompok masyarakat dilihat secara substansi memiliki perbedaan dari justifikasi ideologi sebuah gerakan sosial. Hal yang penting dalam mem-framing gerakan adalah pemahaman bahwa adanya perbedaan aktor yang berada di dalam maupun diluar sebuah gerakan, yang dapat membuat melebarnya framing. Oleh karena itu, topik kedua proses framing adalah merumuskan sebuah aktivitas strategi. (A Situmorang, 2007: 10-11) Selanjutnya, untuk mencapai kelompok sasaran, aktor gerakan membutuhkan alat dalam menjalankan framing, yakni media. Menurut Zald, “pengkontesan” framing terjadi dalam interaksi secara langsung melalui beragam media cetak dan elektronik.(Zald, 1996: 270) 2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka menganalisis suatu gerakan lingkungan yang dilakukan oleh sebuah organisasi gerakan sosial, dengan unit analisis Greenpeace sebagai pihak yang concern mengenai masalah deforestasi
yang diakibatkan oleh ekspansi
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam batasan tahun 2008-
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
5
2010, karena dalam masa tersebut, Greenpeace melakukan kampanye masif melalui serangkaian aksi yang ditujukan terhadap Sinar Mas 2.3 Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif-analitis (Bailey, 1982: 38-39). Penelitian ini akan menggambarkan mengenai bentuk strategi gerakan anti sawit Greenpeace, serta bagaimana Greenpeace menciptakan suatu kesempatan politik untuk melakukan gerakan tersebut. 2.4 Proses Pengumpulan Data Tehnik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan metode penelitian lapangan. Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data sekunder dengan mengumpulkan data dari jurnal, surat kabar, majalah dan internet. Studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur yang terkait dengan pergerakan Greenpeace di Indonesia, serta kepentingan ekonomi-politik industri kelapa sawit Indonesia, baik melalui buku, jurnal, surat kabar, majalah, ataupun internet. Selain itu peneliti akan mempelajari dokumen terkait untuk memahami konteks isu gerakan anti sawit Greenpeace, seperti UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, Dokumen AMDAL, dan lain-lain. Sedangkan metode penelitian lapangan digunakan untuk mengumpulkan data primer. Peneliti tidak akan melakukan observasi lapangan, tetapi peneliti akan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) (Ritchie & Lewis, 2003: 144). Narasumber yang diwawancara dipilih dengan metode purposive sampling. Pemilihan sampel dengan metode ini, bertujuan untuk memilih informan yang memiliki pengetahuan atau karakteristik yang dapat menyediakan informasi atau pemahaman tentang masalah yang diteliti (Ritchie & Lewis, 2003: 144). Pihak yang terlibat langsung dalam gerakan lingkungan anti sawit terdiri atas 3 kelompok, yakni aktivis lingkungan, pemerintah, dan pengusaha kelapa sawit. 3. Analisis/ Interpretasi Data 3.1 Kesempatan Politik Gerakan Lingkungan Anti Sawit Greenpeace Sejak berakhirnya orde baru, Indonesia mengalami keterbukaan politik. Salah satunya adalah adanya akses yang dimiliki oleh organisasi-organisasi gerakan sosial terhadap pemerintah untuk melakukan protes terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
6
konteks inilah, Greenpeace hadir di Indonesia. Greenpeace kemudian membuat programprogram yang berkaitan dengan isu lingkungan, meskipun di Indonesia, isu gerakan yang berkaitan dengan masalah lingkungan, tidaklah sepopuler isu sosial dan ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, maka kesempatan politik kemunculan Greenpeace yang pertama, yaitu adanya akses terhadap lembaga-lembaga politik di Indonesia yang mengalami keterbukaan. Sejak beralihnya Indonesia ke sistem politik yang lebih demokratis, maka posisi tawar yang dimiliki oleh NGO seperti Greenpeace menjadi lebih tinggi dibandingkan masa sentralistis yang tertutup. Greenpeace Indonesia terdaftar sebagai perkumpulan, dengan nama “Perkumpulan Sea Greenpeace Indonesia Chapter”, Nomor SKI AHU-128.AH.01.06 pada 4 Desember 2009. Dasar hukum ini disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Meskipun memiliki dasar hukum, sifat kelembagaan Greenpeace, sebenarnya belum jelas. Hal ini dikarenakan dasar hukum yang menjadi payung status hukum kelembagaan Greenpeace di Indonesia, baru diatur oleh hukum (Hindia Belanda) yang lama (tentang Rechtspersoon Iijkheid van vareenigingen). Dasar hukum ini tidak menjelaskan mengenai apa hak dan kewajiban suatu perkumpulan dalam Sistem Hukum Indonesia. Selain itu, status hukum Greenpeace ini juga terkait dengan jenis aktivitas Greenpeace di Indonesia. Dengan terdaftarnya Greenpeace di Kementerian Hukum dan HAM, status Greenpeace didasarkan pada KUHPerdata. Oleh karena itu, aktivitas Greenpeace seharusnya hanya terbatas pada kegiatan perdata atau ruang lingkup harta kekayaan saja. (http://news.detik.com/read/2011/09/23/103428/1728803/471/polemik-status-kelembagaangreenpeace-di-indonesia) Menurut ketentuan tersebut, Greenpeace juga tidak seharusnya memainkan peranan di luar hal perdata, termasuk mengkritisi kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Hal inilah yang membuat status Greenpeace menjadi tidak jelas, sehingga berdampak pada aktivitasnya yang selalu dipermasalahkan di Indonesia. Aktivitas Greenpeace yang seringkali mengkritik kebijakan Indonesia, serta status dan jaringannya yang berada di luar negeri, selalu menimbulkan bahwa aksi Greenpeace merupakan “aksi bayaran” untuk menutup persaingan Indonesia dalam sistem ekonomi global. Oleh karena itulah, Greenpeace tidak memiliki “nama baik” di kalangan pemerintah atau pembuat kebijakan. Status hukum dan label “antek asing” yang sering dikaitkan dengan kehadiran dan aktivitas Greenpeace, menjadikan gerakan lingkungan yang dilakukan Greenpeace di
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
7
Indonesia, tidak mendapat tempat. Oleh karena itulah, variabel kesempatan politik gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace yang kedua, adalah perusahaan sebagai target gerakan Greenpeace. Greenpeace menunjuk perusahaan sebagai target gerakan, didasarkan pada asumsi bahwa, konsumen dapat menekan perusahaan dengan melakukan boikot produk, sedangkan warga
negara
tidak
bisa
dan/atau
pendapatnya
kurang
didengar
oleh
Negara.
(Wahlstrom&Peterson, 2006: 363-366). Terkait dengan hal tersebut, Greenpeace menganggap bahwa Pemerintah Indonesia dan Perusahaan kelapa sawit, memiliki kepentingan ekonomipolitik yang sama dalam industri kelapa sawit Indonesia. Oleh karena itulah, dengan menunjuk Perusahaan sebagai target gerakan, maka diasumsikan bahwa Greenpeace juga dapat mempengaruhi kebijakan Pemerintah. Dalam kasus gerakan lingkungan ati sawit Greenpeace, Pemerintah Indonesia dan Perusahaan, berafiliasi dan menjadi “lawan” bagi gerakan ini. 3.1.1 Kekuatan Ekonomi-Politik Industri Kelapa Sawit Indonesia Industri kelapa sawit Indonesia masih bergerak pada sektor hulu, yakni berupa penanaman kelapa sawit untuk menghasilkan minyak kelapa sawit (CPO) untuk kebutuhan ekspor. Menurut Untung Sukaedi, kebanyakan perusahaan yang bergerak di bidang industri ini, masih mengutamakan produktivitas penanaman kelapa sawit dengan cara memperluas lahan perkebunan. Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia. Berdasarkan status pengusahaan, lahan perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat (38%), perkebunan swasta (52%), dan sisanya dimiliki oleh perusahaan negara. Salah satu perusahaan swasta yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terbesar adalah Golden Agri Resources (GAR). Golden Agri Resources Ltd. (GAR) adalah perusahaan milik Grup Sinar Mas yang bergerak dibidang industri kelapa sawit. GAR terdaftar di bursa saham Singapura sejak tahun 1999, sedangkan operasi bisnis mereka ada di Cina dan Indonesia. Di Cina, GAR bergerak di bidang pengolahan minyak nabati, sedangkan di Indonesia, GAR bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Perusahaan ini memiliki lahan perkebunan terluas di Indonesia, dengan total 391.642 hektar pada tahun 2008 (GAR, 2008)
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
8
Di Indonesia, GAR memiliki anak perusahaan, yakni Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). SMART bertugas mengkoordinasikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit milik GAR di Indonesia. Sedangkan SMART sendiri memiliki 128.817 hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. (SMART, 2008) Sebagai perusahaan besar, SMART memegang peranan ekonomi yang cukup besar di Indonesia, misalnya dalam hal penyerapan tenaga kerja, dan pemasukan negara dari pajak yang dibayarkan SMART setiap tahun. Apabila dihitung dari jumlah pekerja SMART dengan asumsi bahwa setiap 100 ha, diperlukan tenaga kerja sekitar 56 orang (A Kurniawan, 2011: 7), maka dengan jumlah lahan SMART di Indonesia yang mencapai 128.817 ha, setidaknya perusahaan ini telah menyerap sekitar 72.138 orang pekerja. Jumlah pekerja ini hanya dihitung dari pekerja yang ada di perkebunan, tidak termasuk dengan pekerja yang ada di pabrik pengolahan produk lanjutan dan kantor pusat SMART, serta anak perusahaannya yang lain. Peranan ekonomi lain yang dimiliki SMART adalah dalam hal penerimaan pajak negara. Adapun laporan keuangan SMART secara sederhana selama periode tahun 2008-2010 yang disajikan dalam bentuk diagram, adalah sebagai berikut :
Gambar 1 Penjualan Bersih, Laba Usaha, Laba Bersih, dan Pajak PT.SMART Tbk Sumber : Laporan Tahunan PT. SMART Tbk. Tahun 2008, 2009, dan 2010, telah diolah kembali
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
9
Apabila dihitung dari hasil laba bersih, pajak yang disetor SMART ke negara mencapai ratusan miliar rupiah per/tahun. Sehingga apabila ini dikaitkan dengan semakin meningkatnya permintaan akan hasil minyak nabati dari hasil industri kelapa sawit, maka laba penjualan SMART akan semakin besar, dan tentu berbanding lurus dengan pajak yang akan diterima negara. 3.1.2 Sinar Mas sebagai Target Kampanye Greenpeace Sebelum melakukan gerakan lingkungan anti sawit, Greenpeace berkali-kali telah menegaskan bahwa pihaknya bukanlah anti sawit. Namun, kampanye anti sawit yang dilakukan Greenpeace, adalah kampanye yang berkaitan dengan pembabatan hutan dan lahan gambut Indonesia. Tujuan kampanye Greenpeace sendiri adalah untuk menghentikan oknum perusahaan besar yang melakukan pengerusakan hutan, yang merugikan Indonesia, mengancam keanekaragaman hayati, dan masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada hutan, serta yang berdampak buruk terhadap perubahan iklim Indonesia maupun dunia. Oleh karena itulah, hal yang ‘anti’ bagi Greenpeace adalah pengerusakan lingkungan yang dilakukan dengan tidak bertanggung jawab (http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/posisigreenpeace-mengenai-tuduhan-antek-asin/blog/19277/) Dalam melakukan gerakan anti sawit, Greenpeace memilih Sinar Mas - atau dalam hal ini adalah GAR dan anak perusahaannya di Indonesia, yakni SMART- sebagai target kampanye. Hal ini dikarenakan dua pertimbangan. Pertimbangan yang pertama yakni posisi Sinar Mas sebagai holding company atau perusahaan besar. Menurut Zulfahmi, aktivis Greenpeace, apabila kampanye Greenpeace ini berhasil dan perusahaan besar mau berubah (memasukkan kebijakan internal untuk pelestarian lingkungan), maka hal ini akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Pertimbangan kedua, adalah keanggotaan Sinar Mas di organisasi kelapa sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO). Menurut Greenpeace, Sinar Mas tidak berhak untuk menjadi anggota RSPO dan mendapatkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang dikeluarkan oleh RSPO, dikarenakan standar operasionalisasi kegiatan industri kelapa sawit yang dipakai Sinar Mas, masih buruk. Greenpeace mencatat bahwa, setidaknya Sinar Mas telah melakukan enam pelanggaran (termasuk di dalamnya masalah lingkungan, hukum, dan sosial), yakni : Pertama, ekspansi lahan mengakibatkan adanya deforestasi besar-besaran. Kedua, terdapatnya emisi gas rumah
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
10
kaca yang besar- akibat dibukanya hutan tropis untuk kepentingan industri kelapa sawit. Ketiga, kerusakan lahan gambut, karena ditemukan beberapa kasus, bahwa beberapa perusahaan Sinar Mas telah melakukan pendirian perkebunan diatas lahan gambut sedalam 3 meter atau lebih dengan cara pembakaran. Keempat, pelanggaran izin konsesi (pembersihan lahan sebelum izin keluar). Kelima, terancamnya ekosistem hutan, Keenam, timbulnya konflik sosial. (Greenpeace, 2009: 4) 3.2
Strategi Kampanye Anti Sawit Greenpeace Proses kampanye Greenpeace terhadap Sinar Mas dimulai sejak tahun 2007. Sebelum
melakukan kampanye, Greenpeace terlebih dahulu melakukan riset mengenai kegiatan industri perusahaan Sinar Mas. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan, yakni turun langsung ke perkebunan kelapa sawit milik Sinar Mas di beberapa lokasi di Indonesia, yakni di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Hal ini disebut dengan strategi bearing witness. Strategi bearing witness adalah dimana Greenpeace turun langsung ke lapangan, untuk menjadi saksi langsung sebuah peristiwa (kerusakan lingkungan). Logika bearing witness ini membawa pesan bahwa apa yang dilakukan oleh Negara dan Perusahaan itu salah, sehingga hal ini mampu menciptakan tekanan moral bagi Negara dan Perusahaan (F Ismiranti, 2009: 70). Selain itu, Greenpeace juga menggunakan teknologi citra satelit untuk memeriksa luas Hutan Indonesia dan lahan gambut yang hilang. (Greenpeace, 2010:5) Untuk memperkaya hasil temuannya, Greenpeace bekerjasama dengan NGO lain, yang memiliki concern di bidang masalah lingkungan - khususnya hutan, serta masalah sosial yang diakibatkan oleh industri perkebunan kelapa sawit, seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Sawit Watch, JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif), HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis), KpSHK, ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), FWI (Forest Watch Indonesia), dan Solidaritas Perempuan. Adapun bentuk koordinasi Greenpeace dengan lembaga-lembaga tersebut adalah berupa dialog untuk bertukar pikiran mengenai isu kelapa sawit, dan berbagi data terkait dengan masalah lingkungan, sosial, dan hukum yang diakibatkan oleh industri ini. Dengan adanya data tersebut, maka laporan investigasi Greenpeace, tidak hanya diisi mengenai masalah lingkungan saja, melainkan juga mengenai masalah sosial, ekonomi, dan hukum. Hal ini menjadi penting, mengingat di Indonesia, isu lingkungan kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan isu lain, seperti isu sosial, ekonomi, dan hukum.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
11
Hasil temuan atau riset yang dilakukan Greenpeace, kemudian disampaikan Greenpeace kepada para stakeholder yang hadir di pertemuan RSPO pada November 2007, terutama kepada Pemerintah Indonesia dan Sinar Mas. Dalam proses komunikasi ini, Greenpeace berdialog dengan Sinar Mas, agar Sinar Mas mau mengubah kebijakan internal perusahaan sehingga lebih peduli lingkungan. Namun, Sinar Mas tidak menanggapi tuntutan Greenpeace. Greenpeace pun menganggap bahwa forum dialog bersama Sinar Mas ini, tidak menemukan kata sepakat. Oleh karena itu, dalam forum tersebut, Greenpeace juga menyampaikan bahwa pihaknya akan melakukan kampanye anti sawit terhadap Sinar Mas. Kampanye yang dilakukan Greenpeace terhadap Sinar Mas adalah dengan melakukan ‘aksi langsung tanpa kekerasan’ atau non-violent direct action (I Wicaksono, 2010 :51). Dalam melakukan setiap aksinya, Greenpeace selalu mengundang media, agar aksi tersebut dapat terpublikasi. Tujuannya adalah agar masyarakat nasional dan internasional menjadi peduli terhadap isu lingkungan yang diangkat Greenpeace (penciptaan public awarness atau kesadaran publik) Greenpeace melakukan aksi langsung tanpa kekerasan terhadap Sinar Mas selama tiga tahun, yakni antara tahun 2008 sampai 2010. Selain ditujukan terhadap Sinar Mas, aksi ini juga ditujukan ke Pemerintah Indonesia, dan RSPO. Sebagai organisasi kampanye global, Greenpeace juga memanfaatkan jejaring internasional mereka. Oleh karena itulah, aksi Greenpeace tidak hanya dilakukan di Indonesia tetapi juga di beberapa negara di dunia. Aktivis Greenpeace yang ada di tiga negara, yakni Greenpeace Prancis, Greenpeace Inggris, Greenpeace Belanda, dan Italia, melakukan aksi protes dengan cara demonstrasi di masing-masing negara, untuk menuntut Sinar Mas agar mau mengubah kebijakan industri kelapa sawit miliknya (http://www1.kompas.com/lipsus112009/kpkread/2008/04/21/1716227 4/greenpeace.pemasok.unilever.rusak.hutan.kalimantan) Kampanye para aktivis Greenpeace di luar negeri terutama di lakukan di negara-negara di Uni Eropa. Hal ini didasarkan pada dua hal, pertama kawasan Uni Eropa saat itu adalah pengimpor CPO ketiga terbesar dari Indonesia, kedua, sejak 1 Januari 2008, Uni Eropa telah menerapkan peraturan non-tarif barang-barang impor, yakni dalam prosesnya, barang impor tersebut harus diproduksi dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan. Dengan adanya pertimbangan ini, maka Uni Eropa akan mengkaji ulang produk atau barang yang mereka impor. (Adams, 2011: 7)
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
12
Selain untuk menciptakan kesadaran publik, kampanye yang dilakukan Greenpeace di dunia internasional adalah (juga) untuk menciptakan sebuah tekanan pasar. Tekanan pasar dilakukan agar konsumen memboikot produk hasil industri kelapa sawit milik Sinar Mas. Tekanan pasar dilakukan Greenpeace melalui aksi-aksi protes global yang dilakukan Greenpeace di beberapa negara di dunia, yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan rekanan Sinar Mas. Sebagai hasilnya, satu per satu perusahaan rekanan Sinar Mas mulai memutuskan kontrak suplai CPO secara sepihak, dengan berbagai alasan. Pada akhir 2009, Unilever telah mengumumkan pemutusan kontrak CPO senilai US$ 30 juta (Greenpeace, 2010), dan sejak 1 April 2010, perusahaan ini telah menghentikan pembelian CPO dari pihak Sinar Mas, karena CPO Sinar Mas dinilai dikelola sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan hidup RSPO. Hal ini juga diikuti oleh Cargill, dan Kraft pada tahun 2010. Perusahaan lain yang memutuskan kontrak berikutnya yakni Nestle setelah berbagai demonstrasi - yang ditujukan terhadap mereka - oleh aktivis Greenpeace di kantor pusat Nestle di Swiss, dan juga pabrik Nestle di Inggris, Jerman, dan Belanda. Sementara itu, Burger King - perusahaan makanan cepat saji milik Amerika Serikat, seperti yang dikutip dari siaran pers Dow Jones Newswire pada 3 September 2010, juga memutuskan kontrak suplai CPO Sinar Mas dengan sebelumnya menyewa tim independen untuk melakukan verifikasi data terkait kerusakan lingkungan seperti yang dituduhkan Greenpeace.
(http://www.tempo.co/read/news/2010/09/03/090276325/Ramai-ramai-Tolak-
Minyak-Sawit-Sinar-Mas) Selain itu, semua aksi langsung dan tekanan pasar yang dilakukan oleh Greenpeace, ternyata juga berhasil membuat RSPO menunda pengeluaran sertifikat kelapa sawit berkelanjutan Sinar Mas selama hampir satu tahun. Hal ini yang kemudian berdampak pada adanya pengkajian ulang produk kelapa sawit yang diekspor Indonesia ke Uni Eropa. 3.3 Respon Negara serta Hasil Akhir Gerakan Greenpeace Dengan adanya kepentingan ekonomi-politik yang sama yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan Perusahaan, maka kedua institusi tersebut akan berafiliasi dan menjadi “lawan” bagi gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace. Oleh karena itulah, Pemerintah merespon gerakan ini dengan cara-cara diplomatis, yang terkesan membela Perusahaan, dan menyudutkan Greenpeace.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
13
Adapun respon Pemerintah terhadap gerakan lingkungan anti sawit, adalah sebagai berikut : Pertama, Pemerintah terkesan memperbaiki citra perusahaan kelapa sawit dibandingkan dengan mengubah kebijakan negara. Pemerintah Indonesia beberapa kali mengirimkan delegasi ke luar negeri untuk memperbaiki citra kelapa sawit Indonesia untuk melawan kampanye yang dilakukan Greenpeace. Misalnya, Menteri Pertanian saat itu, yakni Suswono yang mengirimkan delegasi ke Uni Eropa serta Wakil Menteri Perdagangan dan Wakil Menteri Pertanian melakukan kunjungan ke Frankfurt Jerman. Kunjungan ini dimaksudkan untuk meyakinkan dunia internasional (termasuk Bank Dunia) bahwa industri kelapa sawit Indonesia tidak merusak lingkungan. Kunjungan untuk memperbaiki citra industri ini dirasa kurang tepat, karena Pemerintah seharusnya meyakinkan kepada dunia internasional mengenai rencana perubahan kebijakan yang lebih baik (peduli lingkungan), terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Dari respon negara tersebut, ada kesan bahwa negara ingin membela kepentingan industri kelapa sawit Sinar Mas, dengan mengatasnamakan kepentingan industri kelapa sawit Indonesia secara keseluruhan. Kedua, tidak menurunkan tim independen untuk menganalis ulang temuan Greenpeace, dan hanya cukup memakai hasil penelitian tim independen milik Sinar Mas sebagai bahan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah. Dalam kampanyenya, Greenpeace menyebutkan bahwa Sinar Mas telah melakukan enam pelanggaran (Greenpeace, 2010). Dalam menanggapi hal ini, Sinar Mas telah membentuk tim independen, yakni Tim Ivex, yang datanya kemudian diverifikasi oleh Control Union Certification (CUC), BSI Group, dan dua ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni Bambang Hero Saharjo dan Yanto Santosa. (http://finance.detik.com/read/2010/ 08/10/142535/1417354/4/sinar-mas-dan-greenpeace-beda-pendapat-soal-hasil-verifikasi?f991 103) Adapun hasil dari temuan tim independen tersebut menyatakan bahwa memang terjadi beberapa hal yang dituduhkan Greenpeace terhadap Sinar Mas. Namun, dalam menanggapi hal ini, Suswono (Menteri Pertanian) menyatakan bahwa dirinya, tidak akan membentuk tim independen dari sisi Pemerintah, karena menurutnya data dari tim independen yang dibentuk Sinar Mas tersebut, sudah lebih dari cukup. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Sinar Mas, tidak terlepas dari adanya kelalaian Pemerintah, atau dalam hal ini adalah Ditjen Perkebunan, khususnya Direktorat Pembinaan Usaha Perkebunan dalam melakukan pengawasan rutin terhadap kegiatan perkebunan Sinar Mas.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
14
Ketiga, tidak ada penanganan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sinar Mas. Terdapat beberapa pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh operasionalisasi kegiatan perkebunan kelapa sawit milik Sinar Mas. Salah satunya adalah pelanggaran AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Mengutip dari penjelasan Sugeng Priyanto, menurut Undang-undang No. 32 tahun 2009, pelanggaran AMDAL haruslah diproses secara hukum. Terkait dengan hal ini, maka Pemerintah dalam hal ini menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL. Sedangkan apabila izin lingkungan itu dicabut atau ditolak, maka izin usaha dan/atau kegiatan harus dibatalkan. Dalam menanggapi hal ini, pihak Pemerintah, yakni Menteri Pertanian Suswono, hanya mengganggap bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sinar Mas, dikarenakan adanya kesalahan dari Pemerintah Daerah yang telah memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan Sinar Mas untuk beroperasi atau melakukan kegiatan perkebunan. Keempat, masalah dikembalikan ke dua belah pihak (Sinar Mas dan Greenpeace). Pemerintah dan Sinar Mas memang memiliki kepentingan ekonomi-politik yang sama terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Oleh karena itulah, respon Pemerintah akan terkesan membela kepentingan Sinar Mas, dan cenderung mengabaikan gerakan Greenpeace. Menurut Jefri Gideon, Pemerintah Indonesia juga tidak bisa mendesak Sinar Mas untuk memenuhi segala tuntutan Greenpeace, dikarenakan peran strategis yang dimainkan oleh perusahaan ini terhadap sektor ekonomi Indonesia. Lebih lanjut, menurut Jefri, Pemerintah Indonesia juga tidak bisa dengan serta merta mengabaikan kampanye Greenpeace mengenai buruknya pengelolaan industri kelapa sawit Indonesia, dikarenakan isu ini telah menjadi isu politik yang bersifat global - yang bisa menyebabkan Indonesia memiliki citra buruk dimata internasional. Oleh karena itulah, dalam poin ini, setelah segala upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan masalah antara Greenpeace dengan Sinar Mas, pada akhirnya Pemerintah terkesan lepas tangan, dan cenderung memilih untuk mengembalikan masalah tersebut, kepada kedua belah pihak. Terkait dengan tujuan awal gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace, tujuan gerakan ini adalah untuk menghentikan laju deforestasi hutan dan lahan gambut Indonesia. Greenpeace belum berhasil untuk mencapai tujuan tersebut, dikarenakan hutan serta lahan gambut di Indonesia masih terdeforestasi, akibat kegiatan perkebunan kelapa sawit.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
15
Pemerintah juga belum berniat untuk mengubah kebijakan industri kelapa sawit Indonesia, yang selama ini berfokus pada kegiatan ekspor CPO (industri hulu), menjadi industri pengolahan kelapa sawit menjadi produk lanjutan (industri hilir). Namun, apabila dilihat dari tujuan yang lebih minor, dan mengarah pada tuntutan atau kampanye anti sawit terhadap Sinar Mas, bisa dibilang bahwa tujuan dari gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace berhasil tercapai. Adapun keberhasilan gerakan anti sawit Greenpeace terhadap Sinar Mas, dapat terlihat dari adanya keinginan Sinar Mas untuk mengakomodir tuntutan dalam kampanye Greenpeace, dengan cara mengubah kebijakan internal perusahaan Sinar Mas menjadi lebih peduli lingkungan. Kebijakan ramah lingkungan atau green policy yang dibuat Sinar Mas, berisi mengenai empat poin penting. Pertama, Perusahaan Sinar Mas tidak akan melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit di tempat yang memiliki nilai konservasi tinggi, kedua, pihaknya juga tidak akan mengkonversi lahan gambut di Indonesia, untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit, kecuali dalam batas yang diizinkan. Ketiga, Sinar Mas tidak akan melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit di lahan yang memiliki nilai atau kandungan karbon yang tinggi. Keempat, Perusahaan Sinar Mas akan lebih memperhatikan proses pengelolaan produk menjadi lebih peduli atau ramah lingkungan. Kesimpulan Tujuan dari gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace adalah untuk menghentikan laju deforestasi di Indonesia, yang diakibatkan oleh adanya ekspansi lahan perkebunan sawit di areal hutan dan lahan gambut Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, Greenpeace telah menyusun strategi agar tujuan gerakan anti sawit Greenpeace, dapat berhasil. Dan dengan adanya asumsi bahwa Negara dan Perusahaan berafiliasi dan menjadi ‘lawan’ dari gerakan ini, maka strategi gerakan anti sawit Greenpeace, haruslah memuat strategi yang dapat ditujukan ke Negara dan Perusahaan. Ada enam strategi gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace, pertama pemilihan target kampanye. Gerakan Greenpeace
termanifestasikan dalam bentuk kampanye anti sawit-
terhadap salah satu perusahaan industri kelapa sawit yang terbesar, yakni Sinar Mas. Dengan menetapkan perusahaan sebagai target kampanye, maka Greenpeace membuat tujuan yang lebih spesifik, yakni untuk menghentikan oknum perusahaan besar yang melakukan pengerusakan terhadap Hutan Indonesia.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
16
Kedua, yakni strategi bearing witness, yakni Greenpeace datang langsung ke lokasi perkebunan milik Sinar Mas di Indonesia dan menyaksikan berbagai kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan. Strategi ini, direncanakan agar gerakan Greenpeace dapat membawa pesan bahwa apa yang dilakukan oleh Negara dan Perusahaan itu, adalah sesuatu yang salah. Ketiga, pembentukan jaringan lokal-nasional. Keempat, strategi dialog dan forum diskusi untuk lobbiying. Greenpeace melakukan dialog dengan Sinar Mas, dalam forum tahunan RSPO yang diadakan pada tahun 2007. Kelima, penggunaan aksi langsung tanpa kekerasan (non-violent direct action) untuk menciptakan kesadaran publik. Keenam, strategi penciptaan tekanan pasar. Greenpeace melakukan tekanan pasar ke perusahaan rekanan Sinar Mas. Sebagai hasil akhirnya, gerakan lingkungan anti sawit Greenpeace memang belum berhasil untuk membuat Indonesia mengubah kebijakan pengembangan industri kelapa sawit dari perkebunan menjadi pengolahan (industri hulu ke hilir), untuk menghentikan laju deforestasi yang kian bertambah. Namun, keberhasilan gerakan ini terlihat pada dibuatnya kebijakan ramah lingkungan internal perusahaan (green policy) yang dibuat oleh Sinar Mas. Daftar Acuan Buku : Bailey, Kenneth D. 1982. Methods of Social Research, second edition. New York : The Free Press Melucci, A.. 1989.Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society, ed. J. Keane and P. Mier. London: Radius Rithie, Jane and Jane Lewis. 2004.Qualitative Research Practice. London : Sage Publication Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Yanto, Eri. 2002. Analisis Framing, Yogyakarta : LKIS Yogyakarta Zald, Mayer N, “Culture, Ideology, and Structure” dalam Doug McAdam, John D. McCarthy&Mayer N.Zald (ed) . 1996. Comparative Perspective on Social Movement Political Opportunities, Mobilizing Structure, and Cultural Framing, Cambridge : Cambridge University Press Jurnal : Cohen, J. L. (1985) ‘Strategy and Identity: New Theoretical Paradigms and Contemporary Social Movements’, Social Research 52(4): 663–716.
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
17
Karya Ilmiah : Ismiranti, Fitri. 2009.Peranan Greenpeace dalam Mengkampanyekan Energi Terbarukan di Indonesia untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global, Skripsi Sarjana, Bandung : FISIP Universitas Komputer Indonesia Kurniawan, Ambar. 2011. Analisis Keterkaitan Harga Minyak Nabati dan Minyak Bumi dalam Perdagangan Dunia Minyak Nabati, Tesis Magister. Bogor : Institut Pertanian Bogor Situmorang, Lisken LM. 2010. Gerakan Lingkungan Anti Sawit, Tesis Magister, Depok : FISIP UI Wicaksono, Ikhsan Pratama. 2010. Analisis framing (pembingkaian) dalam gerakan lingkungan hidup;Studi kasus gerakan anti batubara oleh LSM Greenpeace Asia Tenggara Indonesia, Jakarta, Skripsi Sarjana. Bogor : FEM IPB Sumber Dokumen : Adams, Friedel Hütz. 2011. Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari Ledakan Pasar Minyak Kelapa Sawit. GAR, Laporan Tahunan GAR, Pada Tahun 2008 Greenpeace. 2009. Illegal Forest Clearence and RSPO Greenwash : Case Studies of Sinar Mas Greenpeace. 2010. “Tertangkap Basah : Bagaimana Eksploitasi Minyak Kelapa Sawit oleh Nestle Memberi Dampak Bagi Kerusakan Hutan Tropis, Iklim dan Orang Hutan” SMART, Laporan Tahunan SMART, Pada Tahun 2008 Referensi Internet : Nugraha, Purna Citra“. Polemik Status Kelembagaan Greenpeace di Indonesia”. Sumber : http://news.detik.com/read/2011/09/23/103428/1728803/471/polemik-statuskelembagaan-greenpeace-di-indonesia [Diakses pada 11 Maret 2013; 13.45 WIB] Greenpeace, “Posisi Greenpeace Mengenai Tuduhan Antek Asing”. Sumber : http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/posisi-greenpeace-mengenai-tuduhan-antekasin/blog/19277/ [Diakses pada 13 Februari 2013; 12.45 WIB] Suhendra,“Sinar Mas dan Greenpeace Beda Pendapat Soal Hasil Verifikasi” . Sumber : http://finance.detik.com/read/2010/08/10/142535/1417354/4/sinar-mas-dan-greenpeacebeda-pendapat-soal-hasil-verifikasi?f9911013 [Diakses pada 2 Maret 2012 ; 22.30 WIB] “Ramai-ramai Tolak Minyak Sawit Sinar Mas”. Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2010/09/03/090276325/Ramai-ramai-Tolak-MinyakSawit-Sinar-Mas [Diakses pada 26 November 2012; 12.46 WIB]
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013
18
“Greenpeace : Pemasok Unilever Rusak Hutan Kalimantan”. Sumber : http://www1.kompas.com/lipsus112009/kpkread/2008/04/21/17162274/greenpeace.pem asok.unilever.rusak.hutan.kalimantan [Diakses pada 5 Maret 2012 ; 22.05 WIB] Wawancara : Jefri Gideon Saragih, Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, di Kantor Sawit Watch, Bogor, 6 November 2012 pukul 13.00 WIB. Sugeng Priyanto. Asisten Deputi Pengaduan dan Penataan Hukum Administrasi Lingkungan KLH pada 9 November 2012 Untung Sukaedi. Kompartemen Lingkungan Hidup GAPKI dan Mantan Ketua Departemen Lingkungan PT.SMART Tbk pada 8 November 2012 Zulfahmi, Juru Kampanye Greenpeace mengenai Isu Hutan, di Kantor Greenpeace, Jakarta, 2 November 2012 pukul 13.00 WIB
Gerakan Anti..., Santi Rosita devi, FISIP UI, 2013