BAB IV PROFIL LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA DI INDONESIA 4.1
Sejarah LSM Greenpeace Greenpeace merupakan LSM Internasional yang resmi berdiri 4 Mei 1972,
namun pergerakannya sudah dimulai sejak awal tahun 1970. LSM ini termasuk kedalam gerakan sosial baru, karena isu-isu lingkungan yang mereka kampanyekan dan jaringan kerja yang luas dan tersebar di seluruh dunia merupakan ciri-ciri dari gerakan sosial baru. Pergerakan LSM Greenpeace bermula dari sekelompok orang yang memutuskan untuk bersama-sama memprotes pengujian nuklir di Amchitka, dimana Amchitka adalah tempat berlindungnya sekitar 3000 berang-berang dan rumah elang kepala botak serta hewan liar lainnya yang berada di lepas pantai bagian Barat Alaska. Gerakan ini dimulai dengan pembentukan formasi Don't Make A Wave Comitte oleh sekelompok aktivis Kanada dan Amerika di Vancouver pada 1970. Nama komite ini diambil dari sebuah slogan yang digunakan selama protes terhadap uji coba nuklir Amerika Serikat, sasaran dari komite tersebut adalah menghentikan ujicoba pemboman nuklir bawah tanah tahap ke-dua dengan kode Canikkin, oleh militer AS di bawah pulau Amchitika, Alaska. Komite tersebut terdiri dari Paul Cote (Mahasiswa hukum Universitas British Columbia), Jim Bohlem (mantan nakoda kapal selam dan operator radar di Angkatan Laut AS), Irving Stowe (seorang Quaker dan Yale-educated Lawyer), Patrick Moore (Mahasiswa Ekologi di Universitas British Columbia), Bill Darnell (seorang Pekerja Sosial). Komite tersebut melanjutkan gerakannya dengan membentuk LSM baru bernama Greenpeace dan menyebut diri mereka Rainbow Warrior, dengan Metcalfe sebagai pemimpinnya. Pada awalnya nama Greenpeace merupakan nama kapal yang mereka pergunakan dalam melakukan aksi protes uji coba nuklir di daerah Amchitka. Kata Greenpeace sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu green yang berarti hijau, dan peace yang berarti damai, nama tersebut pertama kali dilontarkan oleh Bill Darnell tanpa sengaja. Kedua hal tersebut
45
memperlihatkan komitmen Greenpeace dalam melindungi lingkungan dan menjaga kedamaian bagi seluruh spesies makhluk hidup di muka bumi. Tahun 1978, nama organisasi Greenpeace mulai dikenal di beberapa negara karena aksi yang mereka lakukan. Memasuki tahun 1979, Greenpeace sudah memiliki perwakilan di beberapa negara yaitu Kanada, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Denmark, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Belanda. Demi terjaganya koordinasi antara satu dengan yang lainnya maka mereka memutuskan untuk mendirikan Greenpeace International. Kekhawatiran sempat dirasakan karena belum menemukan sosok yang tepat untuk memimpin Greenpeace International, namun rasa khawatir tersebut mulai hilang ketika seorang anggota komite mengusulkan nama McTaggart, ia merupakan pelaut yang memiliki kemampuan berpolitik yang baik, integritas dalam berkampanye, dan bisnis yang mapan. Akhirnya pada 14 oktober 1979, Greenpeace International secara legal berdiri dan McTaggart terpilih sebagai Executive Director dari Greenpeace International yang pertama. Selain itu perwakilan dari masing-masing negara menyetujui bahwa kantor pusat Greenpeace International berada di Amsterdam Belanda, karena saat itu perwakilan Greenpeace yang berada di Eropa sudah terkoordinir dengan baik, dan organisasinya pun sudah tersusun dengan rapih.
4.2
Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) Greenpeace Asia tenggara merupakan kantor regional yang memiliki tiga
kantor di kawasan asia tenggara yaitu Thailand, Philipina dan Indonesia. Wilayah Asia Tenggara dimata Greenpeace memiliki arti yang sangat penting karena Asia Tenggara memegang posisi kunci dalam menentukan keamanan lingkungan global, dan kurangnya kesadaran masyarakat Asia mengenai kerusakan lingkungan dan lemahnya mekanisme demokrasi untuk memperkuat masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. Melihat pentingnya potensi pembangunan dan ancaman di wilayah ini, dan dalam rangka konsolidasi serta pengembangan kampanyenya di Asia Tenggara, Greenpeace meningkatkan kegiatannya di wilayah ini. Berdirinya GPSEA didahului oleh suatu proses penjajakan ke negara Thailand, Filipina maupun Indonesia, hingga secara resmi didirikan pada tanggal 1 Maret tahun 2000, dengan kantor pusat di Thailand.
46
GPSEA sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu GPSEA Indonesia, GPSEA Thailand, dan GPSEA Filipina. Sejak hadirnya Greenpeace di Asia Tenggara, LSM Internasional ini telah menampakkan hasilnya dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan di kawasan ini. Menyangkut perjuangan mereka dalam mengkampanyekan sumbersumber energi yang terbarukan, pada tahun 2002 atas desakan Greenpeace bersama-sama dengan komunitas lokal berhasil menunda rencana Pemerintahan Filipina untuk membangun pembangkit listrik batu bara berdaya 50 megawatt di Pulupandan, Propinsi Negro. Empat tahun kemudian tepatnya tanggal 12 Juli tahun 2006 Greenpeace bersama dengan komunitas lokal Isabela yang berada di Filipina, kembali berhasil menghentikan rencana Perusahaan Minyak Nasional Filipina (PNOC) untuk membuka tambang batu bara dan pembangkit listriknya. Pada tahun 2004 tepatnya tanggal 20 Februari dalam Convention on Biological Diversity (CBD) yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 180 pemerintahan setuju untuk membangun kerjasama dalam melindungi kondisi lingkungan, laut maupun darat. Pada tahun yang sama di Filipina, atas masukan Greenpeace bersama dengan komunitas lokal berhasil meyakinkan Control Pollution Department untuk mencabut izin dari 1300 lahan Rai yang diperuntukan program Klong Dan Waste Water Treatment Project karena mengambil hak masyarakat untuk mempergunakan sumberdaya air yang berada di lokasi tersebut. Menyangkut isu limbah beracun, pada tahun 2005 tepatnya 20 April Setelah tekanan bertubi-tubi yang datang secara online dari pendukung Greenpeace kepada perusahaan Sony Ericsson, membuat perusahaan tersebut menyatakan bahwa mereka tidak akan mempergunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam setiap produknya. Langkah ini pun diikuti oleh perusahaan Samsung dan Nokia. Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 26 Juni 2006, Greenpeace berhasil menekan dua perusahaan besar yang bergerak pada bidang industri teknologi yaitu Dell dan HP untuk tidak mempergunakan bahan-bahan beracun dan membuatnya lebih ramah lingkungan dalam setiap produk yang mereka jual.
47
4.3
Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia (GPSEA Indonesia) GPSEA di Indonesia secara resmi berdiri pada bulan Maret tahun 2008.
Misi Greenpeace hadir di Indonesia adalah untuk
melindungi hak-hak
lingkungan, mengekspos dan menghentikan kejahatan lingkungan, serta mengedepankan pembangunan bersih. Dalam menjalankan aktifitasnya, LSM ini menolak donasi dari pemerintah, organisasi atau partai-partai politik dan lembaga lainnya sehingga LSM ini bebas menyuarakan dan mengekspos kejahatankejahatan lingkungan. Awalnya Greenpeace mulai menjajaki wilayah Indonesia sekitar tahun 1990, dengan mengusung toxic waste sebagai isu utama hingga pada akhirnya mereka bersama dengan LSM lokal, berhasil menghentikan masuknya limbah sampah berbahaya di pelabuhan Tanjung Priok dan mengembalikannya ke nagara asal yaitu Jerman. Pada tahun 2004 Greenpeace datang kembali ke Indonesia, tepatnya ke Kalimantan untuk meneliti keadaan hutannya dan mengkontrak salah satu apartemen di daerah Kuningan yang dijadikan kantor atau tempat mengurus masalah administrasi, namun saat itu Greenpeace hadir di Indonesia hanya saat ada program-program tertentu saja. Greenpeace memulai program dengan memiliki kantor operasional di daerah Sempur Bogor. Greenpeace mulai aktif kembali berkampanye di wilayah Indonesia dengan isu deforestasi hutan alam Indonesia sebagai masalah utama di daerah Kalimantan dan Papua dengan nama kampanye Paradise Forest. Saat itu Greenpeace di Indonesia belum memiliki struktur yang lengkap dan belum secara legal berdiri di Indonesia, hanya terdiri dari administrator, koordinator aksi, juru kampanye media, dan bantuan beberapa staff dari Greenpeace internasional dan Greenpeace Asia Pasifik. Hal ini mendapatkan respon positif dari masyarakat Indonesia, terlihat dari cukup besarnya jumlah volunter yang sudah bergabung dengan Greenpeace yaitu sekitar 100 orang. Pada pertengahan tahun 2006, kantor GPSEA Indonesia pindah ke Jakarta di daerah Cikini dan melegalkan kehadirannya di Indonesia pada tanggal 1 maret 2006 maka struktur kepengurusan pun mulai lengkap tersusun. Hadirnya Greenpeace di Indonesia bukan tanpa hasil, saat bencana tsunami
mengguncang
rakyat
Aceh
pada
tahun
2005,
Greenpeace
48
mendistribusikan energi listrik yang bersih bagi korban Aceh yang berhasil selamat dengan memasang sistem energi solar PV pada suatu desa agar kebutuhan energinya terpenuhi Pada tahun 2006 di bawah tekanan Greenpeace, Asian Development Bank (ADB) meningkatkan bantuan dana untuk energi terbarukan serta memberikan dana energi bersih senilali 1 milyar dollar AS. Selain itu, Greenpeace mencetuskan program manajemen hutan berbasis masyarakat sebagai solusi atas penghancuran hutan Papua yang berkelanjutan. Setahun kemudian saat pemerintah Indonesia berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, komunitas dan kelompok-kelompok lokal di Jepara berhasil mendorong perubahan nyata setelah dikeluarkannya fatwa oleh para pemuka agama setempat yang menentang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di wilayah yang berdekatan dengan gunung Muria, yang merupakan gunung berapi yang masih aktif. Selain itu, Greenpeace berhasil menunjukan dampak deforestasi dan peran lahan gambut pada iklim melalui Kamp Pembela Hutan di Riau, Sumatra.
4.4
Prinsip Utama Selama lebih dari 30 tahun, Greenpeace secara konsisten memegang teguh
dan menerapkan nilai-nilai maupun prinsip utama yang terdapat pada budaya organisasi Greenpeace. Nilai-nilai dan prinsip utama ini menyumbangkan suatu proses intrepertasi dalam suatu organisasi. Nilai tersebut memberikan sudut pandang normatif bagi aspek-aspek yang organisasi harus capai, seperti yang terlihat pada misi Greenpeace dan secara eksplisit memberikan petunjuk moral dalam mencapainya. Dalam organisasi gerakan sosial baru, nilai maupun prinsip utama ini dipandang, dipertahankan secara kolektif, dan digunakan oleh organisasi dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, nilai maupun prinsip tersebut mempengaruhi sudut pandang organisasi akan suatu isu tertentu. Nilai-nilai dan prinsip yang dipegang oleh Greenpeace adalah sebagai berikut : Pertama, Greenpeace tidak meminta atau menerima dana dari pemerintah, perusahaan atau partai politik. Greenpeace mendapatkan dana dari sumbangan
49
individual sebagai pendukung (supporter) dan dana hibah dari yayasan-yayasan yang sudah teruji komitmennya. Greenpeace mendapatkan dana paling besar dari individu yang bersimpati pada Greenpeace dan memiliki kepedulian yang sama dengan Greenpeace. Nilai ini membantu Greenpeace lebih independen ketika harus berhadapan dengan pemerintah dan perusahaan. Masih terkait dengan sumber dana, Greenpeace tidak mencari atau menerima sumbangan yang akan mengkompromikan kemandirian, tujuan, atau integritasnya. Sikap ini penting untuk menunjukkan independensi Greenpeace dari pemberi dana. Kedua, Greenpeace memegang teguh prinsip-prinsip: tanpa kekerasan (non-violence). Greenpeace menyebut setiap aksinya, seperti mengikatkan tubuh pada rel kereta (protes transportasi limbah nuklir) atau pada pohon, menghadang kapal laut penangkap ikan paus dan aksi serupa, sebagai non-violence direct action atau aksi langsung tanpa kekerasan. Direct action adalah aksi protes di mana aktivis atau pemrotes melawan melalui aksi yang dirancang bukan hanya untuk mengubah kebijakan pemerintah atau mengubah opini publik melalui media, tetapi juga mengubah kondisi lingkungan di sekeliling mereka secara langsung. Direct action sendiri didasari oleh dua pemikiran. Pertama, (mengikuti satyagraha atau truth-force-nya Mahatma Gandhi), aktivis mencoba mempengaruhi lawan agar mengubah rencananya dengan menunjukkan perspektif mereka memiliki moral yang lebih tinggi (moral superiority) melalui kepasrahannya menjalani pengorbanan diri atau keadaan tidak menyenangkan, seperti mengikat diri pada rel kereta. Pemikiran logis kedua adalah menjadi saksi (bearing witness). Logika bearing witness ini membawa pesan yang jernih pada lawan bahwa para aktivis yakin apa yang dilakukan pemerintah atau perusahaan salah, contohnya dengan menjadi saksi langsung dari pengrusakan hutan alam. Kedua hal ini memberikan tekanan moral pada lawan yaitu pemerintah atau perusahaan. Greenpeace sudah memulai bearing witness dan direct action sejak awal, ketika tahun 1971 para pendiri Greenpace menggunakan kapal ikan tua berlayar “Phyllis Cormack” dari Vancouver, Kanada, menuju Pulau Amchitka, pulau kecil
50
di Tepi Barat Alaska. Meskipun hanya kapal kecil tua, Phyllis Cormack dicegah oleh tentara Amerika Serikat sebelum tiba di pulau itu. Ketiga, independen dari politik (political independence). Greenpeace berusaha mempertahankan independensinya dari politik (political independence). Greenpeace tidak dipengaruhi oleh paham politik mana pun dan dari negara atau partai apa pun. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip “no permanent allies or enemies.”. Keempat, Greenpeace tidak memiliki sekutu atau musuh permanen (no permanent allies or enemies). Greenpeace sebagai organisasi terbuka tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. Situasi politik, ekonomi, sosial, terkait dengan isu lingkungan tertentu mendorong Greenpeace mengambil strategi bersekutu dengan pemerintah atau organisasi non-pemerintah lainnya untuk mencapai tujuan. Persekutuan ini tidak permanen. Untuk satu isu lingkungan tertentu mungkin saja Greenpeace bersekutu dengan pemerintah, tetapi untuk isu yang berbeda Greenpeace memposisikan pemerintah sebagai lawan. Misalnya untuk isu perdagangan limbah B3, Greenpeace memposisikan negara berkembang (termasuk Indonesia) sebagai sekutu dan pemerintah negara maju sebagai “lawan”. Tetapi untuk isu kehutanan, Greenpeace memposisikan Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) sebagai “lawan.”. Kelima, Greenpeace sebagai organisasi non-pemerintah, memegang teguh prinsip transparan dan akuntabilitas. Dua prinsip ini menjadi penting karena Greenpeace harus mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangannya kepada para supporter individu dan foundation yang memberikan dana. Setiap tahun keuangan Greenpeace diaudit dan laporan audit terbuka untuk diperiksa oleh para supporter.
4.5
Fokus Isu yang Diangkat LSM Greenpeace sebagai bagian dari gerakan sosial baru mengangkat
lingkungan sebagai tema utama dalam setiap kampanyenya. Isu-isu yang diangkat oleh LSM ini adalah kampanye iklim dan energi, kampanye hutan, kampanye
51
kelestarian laut, kampanye menentang rekayasa genetika, menentang limbah beracun dan polusi, kampanye pengelolaan limbah ramah lingkungan, dan kampanye perdamaian. GPSEA di Indonesia sebagai salah satu bagian dari NRO, mengusung isu perubahan iklim sebagai fokus utama, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan Indonesia dan ketersediaan dana. Dalam pandangan Greenpeace perubahan iklim merupakan malapetaka yang akan segera dihadapi manusia yang terus menerus menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi. Akibat pemanasan global ini adalah mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran, coral bleaching dan gelombang badai besar. Greenpeace melihat bahwa negara pesisir pantai, negara kepulauan, dan daerah negara yang kurang berkembang seperti Asia Tenggara akan terkena dampak paling besar. Perubahan iklim juga telah menyebabkan meningkatnya selimut alami dunia, yang mengarah pada meningkatnya suhu iklim dunia, dan perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi juga mematikan. Greenpeace percaya bahwa hanya dengan langkah pengurangan emisi gas rumah kaca yang sistematis dan radikal dapat mencegah perubahan iklim yang dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah kepada ekosistem dunia dan penduduk yang tinggal di dalamnya melalui suatu revolusi energi yang mengedepankan pengembangan sumber-sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan. Greenpeace menambahkan penggundulan hutan atau deforestasi yang terjadi di Indonesia melepas gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah sangat besar, menyumbang terjadinya perubahan iklim yang berbahaya. Hutan tropis menyimpan karbon di tanah dan pepohonan. Seperti spons/busa, hutan tropis menyerap karbondioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fossil sebagai sumber energi. Menurut LSM ini seharusnya semua pihak bahu-membahu menjaga hutan karena dengan luasan besar hutan dapat meredam dan melawan dan menjaga bumi, namun yang terjadi kini adalah sebaliknya. Pengrusakan hutan menyumbang 20% dari emisi GRK setiap tahun.
52
Di Indonesia, hutan rawa gambut lenyap akibat pembalakan, pengeringan dan dibakar untuk perluasan kelapa sawit. Lahan gambut ini (kadang-kadang hingga kedalaman 12 meter) menyimpan karbon yang sangat besar. Lahan gambut yang dikeringkan dan dibakar akan menjadi sebuah bom karbon, kemudian melepaskan hampir dua milliyar ton karbondioksida berbahaya setiap tahun. Oleh karena itu, isu-isu yang diperjuangkan Greenpeace di Indonesia terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari : 1. Revolusi energi, 2. Zero Deforestation dan Paradise Forest, untuk menghentikan emisi gas rumah kaca, 3. Penolakan batubara, lebih menyarankan pada penggunaan energi yang terbarukan, terdesentralisasi dan efisiensi energi, 4. Penolakan nuklir sebagai sumber energi.
4.6
Jaringan Mitra Kerja Greenpeace merupakan LSM Lingkungan berskala internasional yang
memiliki jaringan kerja yang luas. LSM Greenpeace sendiri terdiri dari Greenpeace Internasional, 28 National and Regional Offices (NRO) di seluruh dunia. NRO tersebut terdiri dari Greenpeace Afrika, Greenpeace Argentina, Greenpeace
Australia-Pasifik,
Greenpeace
Belgia,
Greenpeace
Brazil,
Greenpeace Kanada, Greenpeace Central and Eastern Europe, Greenpeace Chili, Greenpeace Cina, Greenpeace Republik Ceko, Greenpeace Perancis, Greenpeace Jerman, Greenpeace Yunani, Greenpeace India, Greenpeace Itali, Greenpeace Japan, Greenpeace Luxembourg, Greenpeace Mediterania, Greenpeace Meksiko, Greenpeace
Belanda,
Greenpeace
Russia,
Greenpeace Greenpeace
Selandia Asia
Baru,
Tenggara,
Greenpeace Greenpeace
Nordic, Spanyol,
Greenpeace Swiss, Greenpeace Inggris dan Greenpeace Amerika Serikat. Masing-masing NRO membawa isu kampanye global yang disesuaikan dengan kondisi lokal tempat dimana mereka berada dan berusaha mencari dukungan finansial dari masyarakat untuk membiayai dana operasional mereka.
53
GPSEA di Indonesia sebagai salah satu bagian dari NRO GPSEA, memiliki jejaring kemitraan yang cukup luas di wilayah Indonesia. Di Indonesia LSM ini bergabung dengan komunitas Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) yang terdiri dari 44 anggota yaitu : KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan),
YLKI
(Yayasan
Lembaga
Konsumen
Indonesia),
CAPPA
(Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy), DPN (Dewan Perubahan Nasional), ICW (Indonesia Corruption Watch), KP (Karang Puang), Imparsial, SHK (Sistem Hutan Kerakyatan), PADI (Partai Aliansi Demokrat Indonesia), Kemitraan, PHBI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), KAU (Koalisi Anti Utang), AMAN (Asosiasi Masyarakat Anti Narkoba), SPI (Serikat Petani Indonesia), SP (Sahabat Peternak), Wanacala Sumatra Selatan, PILAR (PEDULI ALAM RIAU), Yayasan Kanopi Indonesia, YMD (Yayasan Mitra Desa), KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), SBIB (Sekretariat Bersama Indonesia Berseru), Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), IGJ (Institute for Global Justice), STI (Solidaritas Tani Indonesia), EKNAS WALHI (Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif), YAPPIKA (Yayasan Pensayatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia), LIMA (Lingkar Madani untuk Indonesia), Sarekat Hijau, CSF (Center for Social Forestry), WALHI Jakarta (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta), dan HUMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) Khusus untuk isu batu bara, GPSEA Indonesia bersama tiga LSM lain membentuk suatu Koalisi Anti-Batu Bara atas dasar kesamaan misi dan tujuan untuk jangka panjang, koalisi ini terdiri dari GPSEA Indonesia, WALHI NASIONAL, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), SDE (Sekolah Demokrasi Ekonomika), dan IENR.
4.7
Strategi Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia Program
Greenpeace
secara
global
adalah
menjabarkan
dan
menggambarkan masalah lingkungan global yang mereka ingin selesaikan, secara adil bagi negara-negara maju maupun negara berkembang, adil bagi generasi saat
54
ini dan masa depan, dan adil bagi manusia dan lingkungannya. Sehingga hampir sebagian besar kegiatan GPSEA adalah berkampanye dengan tema utama lingkungan. Dalam menjabarkan dan menggambarkan masalah lingkungan setiap LSM ini memerlukan strategi kampanye maupun strategi komunikasi dalam melaksanakannya. Strategi kampanye yang dipakai oleh LSM Greenpeace adalah sebagai berikut : 1. Direct action (aksi langsung), merupakan strategi organisasi dalam berkampanye yang ditujukan kepada pihak-pihak yang diduga sebagai sumber permasalahan dengan cara konfrontasi. Selain itu tujuan dari strategi ini adalah untuk menarik perhatian media. 2. Direct communication (komunikasi langsung), merupakan strategi yang organisasi gunakan dalam membangun dan mempromosikan isu-isu yang menjadi fokus kegiatan kampanye kepada para karyawan, konsumen, politisi dan pihak-pihak yang terkait. Selain itu strategi ini berguna dalam menarik perhatin media. Hal ini dicerminkan oleh kegiatan divisi Direct Dialogue Campaign (DDC) yang berusaha mempromosikan isu-isu yang diangkat oleh Greenpeace. 3. Photo OP, merupakan strategi yang organisasi gunakan dalam menarik dan memfokuskan perhatian dari publik pada isu-isu yang Greenpeace sedang perjuangkan. Bentuk dari Strategi photo op adalah kegiatan pameran foto, maupun foto-foto yang diunduh pada website resmi LSM ini dan dapat dilihat pada stand-stand yang didirikan Greenpeace di pusat-pusat perbelanjaan. 4. Protest (aksi protes), merupakan strategi yang digunakan organisasi dengan cara memobilisasi massa, sebagai bentuk ketidakpuasan dan ketidaksetujuan terhadap kondisi yang ada. Agar pesan dapat tersampaikan secara optimal, maka strategi ini membutuhkan atensi dari media massa.
55
Dalam mengkampanyekan isu-isu dan pesan-pesan yang menjadi fokus perjuangan, Greenpeace memiliki strategi komunikasi tersendiri agar pesan dapat sampai dengan efektif kepada publik. Strategi komunikasi yang dipergunakan oleh Greenpeace adalah sebagai berikut : 1. Know your audience (kenali target komunikasi), dalam mengenali target audience terdapat beberapa hal yang organisasi ini perhitungkan. Hal-hal tersebut adalah a. Memilah-milah audience yang ada, misalnya berdasarkan pekerjaan, gender, umur, ras, ketertarikan (interest), dll. b. Menentukan kelompok audience yang menjadi prioritas. c. Memerhatikan dan menangkap apa yang mereka lakukan, rasakan dan pikirkan saat ini. d. Kemudian memperhitungkan apa yang seharusnya mereka lakukan, rasakan dan pikirkan kelak. e. Setelah itu merumuskan hal-hal yang dapat memotivasi mereka untuk berubah. f. Memperhitungkan siapa yang mereka percaya (apakah akademisi, birokrat, atlit, selebriti). g. Apakah mereka percaya kepada organisasi 2. Do things in the right order (lakukan dengan cara yang benar), setelah mengetahui target audience mereka menyusun langkah-langkah selanjutnya sesuai dengan tujuan awal. Langkah-langkah tersebut adalah mengidentifikasi masalah (identify problem), mengidentifikasi lawan (identify opponents), mengidentifikasi solusi (identify solution), dan menyusun suatu seruan untuk perubahan (call for action). 3. Create events and stories (ciptakan cerita dan peristiwa), dalam tahap ini organisasi menyusun suatu kegiatan maupun aktifitas yang sesuai dengan isu yang mereka angkat kemudian buat cerita mengenainya, setelah itu memperkuatnya dengan dokumentasi kegiatan tersebut dengan gambar. 4. Maximize people’s motivation not knowledge (tingkatkan motivasi bukan pengetahuan), meningkatkan motivasi individu memiliki prioritas lebih tinggi
56
apabila dibandingkan dengan meningkatkan pengetahuan individu. Menurut pandangan mereka, selain karena pengetahuan maupun ketertarikan pribadi akan suatu isu, seseorang akan lebih termotivasi apabila ia dapat melihatnya secara nyata dan tersentuh secara emosional. 5. Keep It Simple and Stupid (usahakan tetap sederhana dan terlihat bodoh), dalam menyampaikan pesan kepada target audience, organisasi ini berusaha mengemas pesan tersebut dalam suatu media yang sederhana dan berbeda agar mudah diingat dan dimengerti.
4.8
Struktur Organisasi Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia Sejak resmi berdiri pada tanggal 1 maret 2006, struktur Greenpeace
Indonesia menjadi lengkap sesuai dengan standar struktur organisasi yang ditetapkan oleh Greenpeace Internasional. Berikut adalah struktur organisasi Greenpeace Indonesia.
Ecxecutive directur
Ass. Ecxecutive directur
Indonesia Country
Organizatio n support
Campaign Departeme
Communication
Fund
departeme
Raising
n Juru kampany e Hutan
Juru kampanye Iklim dan Energi
Juru kampanye Nuklir
Koordinato r Solar generation
Koordinato r Aksi dan
Manager dan HRD
Media
New Media
Manajer fundraisin g
ICT
logistik
Senior finance and account
Assisten Media
Database and supporter service
Assistent Finance and Account
Assisten fundraisin g
Assistent DDC
Satt.office bandung
Satt office yogya
Satt office surabaya
Satt office semarang
Gambar 2. Struktur Organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia
57
Greenpeace Asia Tenggara sebagai salah satu dari National and Regional Offices (NRO) dipimpin oleh seorang Ecxecutive Director (Von Hernandez) yang dibantu oleh seorang Assistent Ecxecutive Director (Anna Kristina Abad). Ecxecutive Director ini memiliki tugas untuk mengkoordinasikan perwakilan Greenpeace Asia Tenggara yang terdapat pada tiga negara, yaitu Filipina, Thailand dan Indonesia. Kantor perwakilan Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia dipimpin oleh seorang Indonesia Country Representative (Nur Hidayati). Organization support (Sri Agustiniati) yang dibantu oleh Senior Account (Irene Melinda) dan Assisten Finance & Administration (Dini Andriani) memiliki tugas untuk menjaga keberlangsungan organisasi yang bersifat administratif seperti surat-menyurat dan memenuhi kebutuhan organisasi serta menjaga akuntabilitas LSM tersebut dengan cara menyusun laporan keuangan secara rinci dan berkala. Greenpeace Asia Tenggara Indonesia memiliki tiga juru kampanye utama dengan isu yang spesifik, yaitu
Forest Campaigner (Annette Cotter, Bustar
Maitar, Joko Arif, dan Yuyun Indradi) yang fokus pada isu hutan, Climate and Energy Campaigner (Arif Fiyanto) dan Solar Generation Coordinator (Didit HaryoWicaksono) yang fokus pada isu iklim dan energi bersih yang terbarukan, serta Nuclear Campaigner (Tessa Mariede Ryck Van Der Gracht) yang fokus pada isu nuklir. Untuk mendukung kegiatan juru kampanye dalam berkampanye maupun melakukan penelitian, GreenpeaceAsia Tenggara Indonesia memiliki Action Coordinator (Eji Anugrah Romadhon) dan Logistic Coordinator (Richi Raimba). Media Coordinator (Hikmat Soeriatanuwijaya) yang dibantu oleh seorang Assistent
Media
Coordinator
(Findi
Kenandarti)
bertugas
untuk
mengkomunikasikan segala aktifitas maupun temuan-temuan Greenpeace pada masyarakat Indonesia melalui press release dan press conference, selain itu ia juga bertugas untuk memantau berita-berita yang berkembang di surat kabar nasional dan memantau segala pemberitaan terkait dengan LSM Greenpeace di Indonesia, sedangkan untuk mengkomunikasikan segala aktifitas maupun temuantemuan Greenpeace pada masyarakat Indonesia melalui jaringan dunia maya merupakan tugas seorang New Media Coordinator (Arie Rostik Utami). Untuk
58
mendukung dan menjaga akses akan informasi serta kelancaran berkomunikasi melalui dunia maya, LSM ini didukung oleh seorang Information & Communication Technology Unit (HaryoYuswo PranotoYudho). Greenpeace sebagai LSM yang independen dari sisi keuangan tentu membutuhkan orang-orang yang rela membantu Greenpeace dalam menggalang dana dan merekrut suporter, orang-orang tersebut dipimpin oleh seorang Direct Dialogue Coordinator (Iola Milatantri Ayukemala). Selain menggalang dana, divisi DDC bertugas untuk berkampanye secara langsung pada setiap orang yang ia temui tanpa melihat status sosialnya. Data-data orang yang bergabung dengan Greenpeace sebagai Suporter akan dikelola oleh divisi Database and supporter service. Dalam struktur organisasi, kedua divisi ini dipimpin oleh seorang Manager Fund Raising (Budi Santosa).
59
BAB V FRAME GERAKAN SOSIAL ANTI-BATUBARA PADA LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA di INDONESIA Media komunikasi dalam organisasi dapat dikatakan sebagai suatu framing, seperti aksi penentangan batubara yang Greenpeace lakukan di Indonesia, buku yang diterbitkan, maupun aktifitas lainnya, karena media komunikasi tersebut memuat frame gerakan sosial yang mempengaruhi cara pandang seorang individu dalam mengkontruksi suatu fakta atau peristiwa, dan membentuk suatu identitas kolektif. Frame gerakan sosial anti-batubara merupakan frame yang dibentuk oleh LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia, frame ini berperan memobilisasi seorang individu agar masuk kedalam kelompok dan secara aktif menentang penggunaan batubara. Frame gerakan sosial ini terdiri dari agregate frame, consensus frame, dan collective action frame. Melalui frame ini seorang individu dapat merasakan dan sadar akan bahwa masalah lingkungan khususnya batubara merupakan masalah sosial karena di dalamnya terdapat unsur ketidakadilan, dan melabeli maupun mengkontruksi pihak-pihak yang terkait dan bertanggung jawab atas masalah lingkungan, terkait dengan batubara, serta mengkontruksi identitas seorang individu. 5.1
Agregate Frame Batubara pada Budaya Organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia Greenpeace memandang perubahan iklim tantangan terbesar masyarakat
dunia kedepannya, akibat dari meningkatnya suhu iklim dunia atau pemanasan global karena meningkatnya selimut alami dunia. Tantangan tersebut mereka jabarkan ke dalam dampak-dampak bersifat irreversible (tidak dapat diputar balik) yang akan timbul apabila perubahan iklim terjadi. Dampak-dampak tersebut adalah meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran, coral bleaching dan gelombang badai besar, dimana dampak-dampak tersebut akan merusak ekosistem dunia dan mengancam penduduk yang tinggal di dalamnya, terlebih lagi bagi penduduk yang berada di kawasan Asia Tenggara, karena banyak negara yang berada di kawasan
60
ini merupakan negara kepulauan ataupun pesisir, sehingga rentan terhadap dampak-dampak yang akan timbul akibat dari perubahan iklim dunia. Menurut LSM ini, di Indonesia penyebab dari perubahan iklim berasal dari dua sektor yaitu sektor hutan dan sektor energi. Dalam pandangan Greenpace, posisi hutan sangat penting sebagai pengatur iklim global dan pola cuaca, yang merupakan sistem-sistem penting dari lingkungan hidup yang mendukung kehidupan di atas bumi, karena hutan dan tanahnya adalah penyimpan karbon yang besar, lebih besar dari ekosistem daratan lainnya. Hampir separuh wilayah hutan yang hilang dalam 10.000 tahun terakhir punah kurang dari 80 tahun yang lalu dan sebagian besar pengrusakan hutan ini terjadi dalam 30 tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan penyusutan dan kepunahan keanekaragaman hayati terbesar di atas bumi dan dengan demikian menghancurkan kehidupan jutaan orang yang bergantung pada hutan.
Untuk memperkuat argumen tersebut Greenpeace
mengutip pernyataan para ahli lingkungan yang berpendapat bahwa bumi sedang berada pada tahap kepunahan besar keenam dan laju kepunahan akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2050. Menurut perkiraan Greenpeace Asia Tenggara, Indonesia adalah penghasil emisi ketiga terbesar gas rumah kaca dunia setelah Cina dan Amerika Serikat. Tingkat emisi yang tinggi ini merupakan konsekuensi dari sangat tingginya laju penggundulan hutan, yang mencapai hampir dua juta hektar per tahun, terutama pengrusakan hutan gambut yang kaya karbon. LSM ini memperkirakan dua milyar ton karbondioksida (CO2) dilepas hanya dari pengeringan dan pembakaran hutan gambut di Asia Tenggara, dimana 90 persen emisi CO2 hutan gambut di wilayah ini berasal dari Indonesia. Pada sektor energi, batubara merupakan salah satu penyebab meningkat laju perubahan iklim dunia, hal ini dilihat sebagai suatu bentuk ketidakadilan, tidak adil bagi lingkungan maupun manusia yang menempatinya. Permasalahan ini mulai dikampanyekan oleh Greenpeace Internasional akhir tahun 2008 ketika mereka menemukan fakta-fakta bahwa biaya eksternalitas dari batubara itu sangat besar berbanding terbalik dengan anggapan yang mengatakan bahwa batubara adalah energi yang murah.
61
Fakta-fakta yang ditemukan Greenpeace bersama Institut Penelitian CE Delft melalui studi kasus di lima negara pengguna batubara, yaitu India, China, Filipina, Indonesia, dan Thailand dimana masing-masing negara mewakili salah satu tahap dari rantai aliran produksi batubara. Rantai produksi ini terdiri dari proses penambangan yang diwakili oleh negara India, proses pembakaran diwakili oleh negara Indonesia, Cina, sedangkan aksi penentangan penggunaan batubara diwakili oleh negara Thailand. Dampak yang ditimbulkan pada tiap negara dapat dikatakan serupa, mulai dari masalah kesehatan, masalah ekonomi, dan masalah kerusakan lingkungan. Menanggapi berbagai permasalahan tersebut, mereka melihat bahwa pemerintah India, China, Filipina, Indonesia dan Thailand tidak menanggapi dan tidak memperhitungkan ‘biaya’ yang akan ditanggung masyarakat. Khususnya di Indonesia, mereka memandang bahwa proyeksi Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk membenarkan pembangunan PLTU baru adalah keliru karena tidak mengindahkan dampak yang akan ditimbulkan seperti penyakit pernafasan, kecelakaan tambang, hujan asam, polusi asap dan penurunan hasil pertanian serta perubahan iklim. Menurut juru kampanye, berdasarkan letak geografis Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang sangat rentan terhadap perubahan. Menurut Greenpeace, akibat yang ditimbulkan tersebut merupakan “biaya” yang harus dibayar oleh masyarakat. Selain itu, mereka memandang bahwa pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap batu batubara atau “mafia batubara” telah mensayasai depatemen energi sehingga menghambat proses pengembangan potensi sumber energi bersih dan terbarukan yang terdapat di Indonesia. 5.2
Consensus frame Batubara pada Budaya Organisasi LSM Greenpeace Indonesia Melihat aksi-aksi yang dilakukan oleh Greenpeace selama ini menyangkut
isu batubara seperti aksi damai langsung Cilacap dan Bali, LSM ini berusaha mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendesak pemerintah maupun perusahaan untuk mengembangkan energi yang terbaharukan dan menghentikan
62
penggunaan batubara. Karena apabila batubara terus menerus digunakan laju perubahan iklim global akan semakin cepat dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulanginya semakin besar serta emisi gas rumah kaca harus mencapai puncaknya paling lambat pada tahun 2015. Langkah ini diperlukan karena mereka melihat pemerintah maupun pihak perusahaan sebagai pengelola tidak memiliki komitmen untuk menanggulangi perubahan iklim. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Algore yang dikutip oleh juru kampanye Greenpeace : ”Saya bingung kenapa pemuda-pemuda di dunia sekarang, tidak melakukan aksi mereka untuk menghentikan..ee..bulldozer yang sedang membangun Pembangkit listrik tenaga uap..tenaga batubara..karena bulldozer-bulldozer inilah yang pada akhirnya meruntuhkan kehidupan umat manusia dengan mereka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap..” (Af, 28 tahun)
Melalui buku yang telah diterbitkan, Greenpeace berusaha menyadarkan dan mengajak masyarakat luas untuk turut mendukung dan mempromosikan penggunaan sumber-sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan seperti yang terlihat pada salah satu halaman buku ”Biaya Batubara Sebenarnya” yang berjudul ”Meninggalkan Batubara”. Karena dengan mengembangkan energi terbarukan masyarakat yang bermukim dekat dengan PLTU tidak akan lagi menerima beban maupun masalah ekonomi, kesehatan dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data-data yang ditemukan pada aksi damai langsung Cilacap dan Bali serta buku ” Biaya Sebenarnya Batubara” dan pendapat yang didampaikan oleh juru kampanyenya, terlihat agregate frame dari LSM ini yang berusaha mendefinisikan dan menegaskan bahwa masalah lingkungan sebagai masalah sosial karena dampak yang ditimbulkan akibat dari pengrusakan hutan dan penggunaan sumber energi yang kotor akan berpengaruh terhadap kehidupan setiap manusia yang hidup di bumi.
63
5.3
Collective action frame Batubara pada Budaya Organisasi LSM Greenpeace Indonesia Sesuai dengan teori frame gerakan sosial, collective action frame yang
terdapat pada budaya organisasi Greenpeace dikonstruksi oleh tiga frame yaitu injustice frame, agency frame, dan identity frame. Berdasarkan agregate frame yang telah teridentifikasi sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa dampakdampak yang ditimbulkan pada rantai aliran produksi merupakan injustice frame pada LSM Greenpeace terkait dengan isu batubara yang sedang mereka kampanyekan, karena dampak-dampak tersebut memberikan alasan kepada Greenpeace untuk bertindak sesegera mungkin. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan juru kampanye Greenpeace berikut ini, ”..sekarang batubara kontribusinya terhadap gas rumah kaca secara global sekitar 60%, artinya apabila kita terus tergantung, terus memanfaatkan batubara, dampak..laju perubahan iklim akan semakin cepat, dampak-dampak akan luar biasa parah dan itu sudah terjadi sekarang. Indonesia sendiri sudah mengalami dampak-dampak perubahan iklim yang dasyat, contoh sepanjang tahun kemarin aja itu..ee..tidak ada satu bulanpun sepanjang tahun 2008 bebas dari bencana yang diduga akibat dari perubahan iklim, bayangkan ketika kita masih terus menggunakan batubara ini sebagai sumber energi kita maka dampak perubahan iklimnya akan semakin dasyat dan laju kerusakannya semakin cepat..” (AF, 28 tahun)
Dampak-dampak tersebut direpresentasikan kedalam suatu perhitungan ’biaya’, menurut Greenpeace biaya-biaya ini harus ditanggung oleh masyarakat yang berada disekitar PLTU maupun masyarakat dunia selama pemerintah dan perusahaan masih menggunakan batubara sebagai sumber energi. Melihat aksi yang telah mereka lakukan dan buku yang mereka rujuk terkait dengan isu batubara, mereka memandang bahwa tanggung jawab terletak pada pihak pemerintah maupun perusahaan-perusahan yang bergerak di bidang batubara. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan seharusnya memperhitungkan dan mengiventasikan modalnya untuk membangun pembangkit listrik yang menggunakan energi yang terbarukan, walaupun hal tersebut membutuhkan waktu
64
dan membutuhkan modal yang tidak sedikit, seperti yang juru kampanye Greenpeace utarakan berikut ini,
”...katakanlah untuk membangun instalasi pembangkit listriknya memang dia (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) pertama lebih mahal, tapi setelah dia beroperasi..dia justru akan jadi lebih murah karena tidak membutuhkan batubara, ga ada transportasinya..kalo batubara itu..mungkin bangunnya lebih murah , tapi sepanjang sampe PLTUnya ini mati..ga beroprasi lagi..terus membutuhkan biaya..kenapa ga itu (maksudnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi)...”(AF, 28 tahun)
Dalam konteks batubara, agency frame yang terdapat pada Greenpeace fokus kepada masyarakat sebagai sumber dukungan dan kekuatan Greenpeace dalam mengkampanyekan isu batubara dan pemerintah sebagai pemegang keputusan. Greenpeace menganggap pemerintah sebagai ’lawan’ atau pihak yang tidak memiliki komitmen politik dan niat baik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada terkait dengan bidang energi. Tidak adanya komitmen ini disebabkan oleh masih beredarnya ’mafia batubara’ yang terdapat pada jajaran pemerintahan saat ini. Dalam hal ini, Greenpeace melabeli pejabat pemerintah yang merangkap pengusaha dan pengusaha batubara yang memiliki hubungan dengan pemerintahan seperti pengusaha yang menjadi donatur kampanye SBY sebagai ’mafia batubara’. Menanggapi isu batubara, koalisi batubara yang Greenpeace prakarsai memposisikan diri mereka sebagai pihak penentang. Berdasarkan prinsip dasar yang mereka pegang selama ini, koalisi yang terdiri dari Greenpaece, KAM Cilacap, JATAM, Walhi, dan Sekolah Demokrasi Ekonomi sifatnya tidak mengikat antara satu dengan yang lain sesuai dengan prinsip kemandirian politik Greenpeace yaitu “no permanent allies or enemies”. Terakhir adalah identity frame, berdasarkan prinsip dasar yang ada Greenpeace memandang ataupun melabeli diri mereka sendiri sebagai organisasi yang mandiri dan independen bebas dari segala tekanan politik maupun
65
kepentingan, sebagaimana quote yang terdapat pada setiap press release, buku, booklet, dan setiap halaman website GPSEA Indonesia berikut ini, ”Greenpeace adalah organisasi kampanye yang independen, yang menggunakan konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah lingkungan hidup, dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan yang hijau dan damai.”
”Greenpeace adalah organisasi kampanye independen global yang beraksi untuk mengubah sikap dan perilaku, untuk melindungi hutan dan menjaga lingkungan, dan mempromosikan perdamaian.”
Nilai-nilai dasar yang terdapat pada kedua quote tersebut seperti independen dan konfrontasi kreatif, Greenpeace terapkan pada setiap aksi protes yang dilakukan seperti halnya aksi protes PLTU di Cilacap, mereka melakukan aksi teatrikal dengan dengan cara tidur di depan PLTU Cilacap dan menggunakan masker maupun baju berwarna putih, melambangkan permasalahan yang sedang dipertentangkan. Selain melalui aksi-aksi teatrikal seperti aksi damai langsung Cilacap, nilai-nilai ini direpresentasikan oleh Greenpeace dalam menjalin hubungan dengan mitra kerjanya maupun baju keseharian berupa baju antibatubara ataupun baju Greenpeace sebagai simbol identitas diri.
5.4
Ikhtisar Frame Gerakan Sosial LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia Dari uraian penjelasan di atas, disajikan dengan Matriks 3. dalam matriks
tersebut dapat dilihat ikhtisar frame gerakan sosial anti-batubara pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia. Frame gerakan sosial tersebut merupakan skema maupun frame LSM Greenpeace terhadap batubara. Frame ini digunakan Greenpeace untuk membentuk frame anti-batubara pada anggota organisasi, dan masyarakat umum serta saat mereka berhadapan dengan pihak pemerintah ataupun pihak perusahaan. Frame gerakan sosial ini dapat diidentifikasi, salah satu caranya dengan mengidentifikasi elemen dari frame yang terdapat isi ataupun pesan-pesan dari media komunikasi organisasi, seperti buku, booklet, movement document, dan
66
atribut seperti pakaian. Frame gerakan sosial di dalam media komunikasi tersebut dipaparkan dalam Matriks 1.
Matriks 1. Frame Gerakan soisal Anti-Batubara.
Frame gerakan sosial
Agregate frame
Consensus frame
Collective action frame
Injustice frame
Agency frame
Isi frame o Perubahan iklim merupakan tantangan terbesar masyarakat dunia o Penyebab perubahan iklim di Indonesia berasal dari dua sektor, yaitu : Ø Sektor hutan →Pengatur iklim global dan pola cuaca → hutan gundul 2 juta Ha/tahun Ø Sektor energi →Biaya eksternalitas dari rantai produksi batubara o Mendesak pemerintah maupun perusahaan untuk mengembangkan energi terbarukan dan menghentikan penggunaan batubara, o Batubara mempercepat laju perubahan iklim global, dan o Masyarakat yang bermukim dekat dengan PLTU akan terus menanggung beban ekonomi, kesehatan dan semakin rusaknya kondisi lingkungan
Masyarakat yang berada disekitar PLTU maupun masyarakat dunia harus menanggung biaya ekternalitas dari seluruh rantai produksi batubara Masyarakat (suporter) dan koalisi anti-batubara dipandang sebagai sumber kekuatan Pemerintah dianggap sebagai ’lawan’, Pejabat pemerintah yang berusaha di bidang batubara sebagai mafia batubara
Sumber data o Wawancara o Movement document pada situs resmi GPSEA indonesia o Booklet o Buku “Biaya Sebenarnya Batubara”
o Movement document pada situs resmi GPSEA indonesia o Booklet o Buku “Biaya Sebenarnya Batubara”
o Movement document pada situs resmi GPSEA indonesia o Buku “Biaya Sebenarnya Batubara” o Movement document pada situs resmi GPSEA indonesia o Buku “Biaya Sebenarnya Batubara” o Wawancara
67
Identity frame
Mandiri dan independen bebas dari segala tekanan politik maupun kepentingan,
o Movement document pada situs resmi GPSEA indonesia o Booklet o Buku “Biaya Sebenarnya Batubara”
68
BAB VI FRAMING BATUBARA PADA LSM GREENPEACE ASIA TENGGARA DI INDONESIA Sejak Greenpeace hadir dan berupaya mempertahankan kelestarian hutan di Indonesia, isu-isu LSM ini di Indonesia mulai mengalami perkembangan sesuai dengan tantangan yang mereka hadapi kini. Perubahan iklim merupakan isu utama yang mereka perjuangkan dan permasalahkan di Indonesia. Hal ini merupakan keresahaan utama (grievances) dari LSM ini, karena Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang berada di garis khatulistiwa dianggap tidak siap dengan dampak yang akan muncul akibat dari perubahan iklim. Perubahan iklim ini diakibatkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca ini ditimbulkan oleh berbagai hal, salah satunya timbul dari hasil pembakaran baru bara yang digunakan oleh Pembangkit Listri Tenaga Uap untuk menghasilkan energi listrik. Hampir 40% energi listrik yang ada di Indonesia berasal dari PLTU yang menggunakan batubara. Oleh karena itu Greenpeace di Indonesia mulai mengkampanyekan penentangan mereka terhadap penggunaan batubara dan pembangunan PLTU baru di Indonesia. Terkait dengan isu batubara, Greenpeace Asia Tenggara mengkampanyekan dengan beberapa cara, antara lain melalui aksi protes langsung, penerbitan terbatas buku mengenai batu bara, Direct Dialogue Campaign (DDC), dan pembuatan baju anti-batubara, dimana dalam cara yang Greenpeace ambil tidak terlepas dari frame gerakan sosial yang terdiri dari agregate frame, consensus frame, dan collective action frame.
6.1
Buku “Biaya Batubara Sebernarnya” “Biaya Batubara Sebenarnya” merupakan buku setebal 60 halaman yang
diterbitkan oleh Greenpeace Asia Tenggara pada bulan Februari tahun 2009. Buku ini memiliki dua versi bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Untuk versi bahasa Inggris sudah diterbitkan terlebih dahulu oleh Greenpeace International pada bulan Desember tahun 2008. Buku ini ditulis oleh beberapa aktivis Greenpeace dari beberapa negara, mereka adalah Mareike Britten, Iris
69
Cheng, Jayashree Nandi, Emily Rochon, Nabiha Shahab, dan Mang Wei serta bekerja sama dengan institut penelitian Belanda CE Delft. Konsisten dengan isu yang mereka kampanyekan, maka seluruh bagian dari buku dicetak di atas kertas hasil daur ulang dan menggunakan tinta yang berasal dari kacang kedelai. Secara garis besar isi buku ini berusaha menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dunia apabila terus menerus menggunakan batu bara sebagai sumber bahan baku pembangkit energi.
Gambar 3. Halaman Muka Buku “Biaya Batubara Sebenarnya”
Buku setebal 60 halaman ini dapat dikatakan sebagai bahan acuan atau dapat dikatakan sebagai ‘senjata’ bagi juru kampanye, anggota DDC dan anggota Greenpeace yang lain ketika mereka berbicara dan berkampanye mengenai batu bara. Buku ini tidak untuk diperjualbelikan secara bebas, namun diberikan kepada kalangan akademisi, politisi, serta supporter yang tertarik dan antusias dengan isu batubara. Walaupun begitu masyarakat dapat mengakses maupun mengunduhnya di situs resmi Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia sejak bulan Februari dalam format PDF. Kemudahan masyarakat ataupun pihak-pihak lainnya dalam mengakses buku ini, berguna dalam membangun sudut pandang serta wacana publik ketika mereka berdiskusi membahas batubara. Buku ini secara garis besar memuat informasi mengenai rantai produksi batubara, jenis-jenis batubara, dampakdampak yang ditimbulkan oleh batubara, dan solusi yang Greenpeace
70
perjuangkan serta kisah-kisah masyarakat yang terkena dampak batubara hingga pergerakannya. Berdasarkan strategi kampanye Greenpeace, penerbitan buku ini secara tidak langsung termasuk kedalam strategi direct communication maupun photo op. Karena melalui buku ini semua pihak dapat melihat jelas alasan Greenpeace dalam menentang batubara, sehingga dapat dikatakan bahwa buku ini berperan dalam membangun komunikasi interpersonal, kelompok, hingga publik. Elemen frame yang terdapat pada buku “Biaya Batubara Sebenarnya” adalah sebagai berikut : Isu utama, isu utama yang dibicarakan dalam buku ini adalah masalah permasalahan lingkungan yang terkait dengan batubara, hal ini terlihat dari cover buku dan isi dari buku itu sendiri. Diagnosis, dalam buku ini mereka mencoba membentuk persepsi pembaca akan batu bara dengan menggambarkan dan mengidentifikasi permasalahan yang ditimbulkan, mulai dari proses penambangan hingga proses penggunaan batu bara atau disebut dengan rantai aliran produksi. Menurut mereka, pandangan terhadap batu bara sebagai bahan baku energi yang murah adalah salah, karena nilai ekonomik dihitung termasuk serangkaian faktor, dari penambangan dan biaya penjualan, namun tidak memperhitungkan pajak dan biaya-biaya terbesar dari penggunaan batubara : kerugian pada kemanusiaan dan kerusakan lingkungan sangat besar akibatnya. Pandangan ini diperkuat oleh 2 studi kasus yang berbeda pada 4 negara yaitu : India (memperlihatkan akibat dari proses penambangan), Indonesia, Cina, dan Thailand (memperlihatkan akibat dari proses pembakaran). Di India tepatnya di daerah Jharia, kegiatan tambang batubara bermula ketika daerah tersebut dinasionalisasikan dan diambil alih oleh perusahaan publik Bharat Coking Coal Limited (BCCL). Perusahaan ini membuka tambang secara besar-besaran untuk mengambil batubara yang dengan lapisan permukaan tanah, namun setelah itu mereka membiarkan lahan tersebut begitu saja, hal ini menyebabkan lapisan batubara tersebut menyala dan mengeluarkan gas beracun. Lahan terbuka ini mengundang pendatang miskin tanpa keterampilan untuk ikut mengumpulkan batubara secara ilegal, setelah menetap di daerah tersebut mereka menderita penyakit paru-paru dan kulit karena menghirup gas beracun.
71
Di Indonesia sejak mulai beroprasinya PLTU bertenaga 600MW di Cilacap, ‘memaksa’ masyarakat yang berdomisili dekat dengan PLTU kerap mendengarkan dengungan keras yang menggangu dan merasakan polusi udara pindah dari tempat tinggalnya. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan, kesehatan menjadi permasalahan tersendiri karena anak-anak yang tinggal disekitar PLTU terus-menerus batuk, dimana menurut peneliti Greenpeace hal ini sangat mungkin disebabkan oleh pencamaran udara dari PLTU. Selain kesehatan, sejak hadirnya PLTU di cilacap berdamapak pada sumber nafkah warga. Hampir 12 hektar sawah produktif dari dua desa hancur sehingga tidak dapat dipergunakan setelah dibanjiri air asin dan air panas yang keluar dari PLTU . Selain itu warga yang berprofesi sebagai nelayan, merasakan penurunan produktifitas hasil tangkapannya. Menurut Greenpeace semua permasalahan ini bertentangan dengan tujuan dari pembangunan PLTU dan proyeksi pemerintah yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi setempat. Di Cina batubara mengubah kondisi kota-kota yang berada di propinsi Shanxi. Datong salah satu kota yang memiliki cadangan batubara yang masif dan berkualitas tinggi, oleh karena itu pemerintah setempat melakukan ekspoitasi besar-besaran terhadapnya sehingga menimbulkan pencemaran udara. Hal ini mengancam warisan budaya setempat yang sudah UNESCO tetapkan sebagai situs warisan dunia. Sedangkan didaerah Xiaoyi sebagai salah satu penghasil batubara terbesar di propinsi Shanxi, kegiatan penambangan, pemrosesan dan pembakaran batubara berakibat buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduknya serta lingkungannya, seperti buruknya kualitas air dan menurunnya jumlah air bersih yang tersedia. Dan yang terakhir kota Linfen, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Negara Cina kota ini memiliki tingkat pencemaran udara terburuk di Negara tersebut. Padahal pada tahun 1980an, Linfen dikenal sebagai kota bungan dan buah. Burukny kondisi lingkungan mengakibatkan menurunnya produktifitas produk pertanian setempat dan munculnya penyakitpenyakit pernapasan. Di Thailand tepatnya di daerah Mae Moh, sejak dioperasikannya 11 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap, SO2 mulai menyelimuti daerah tersebut dan ketika bercampur dengan udara menghasilkan suatu hujan asam yang beracun. Hal
72
ini mengakibatkan warga di 40 desa yang berada di radius tujuh kilometer dari PLTU jatuh sakit, diperkirakan 300 orang meninggal secara langsung dan diperkirakan lebih dari 30.000 warga kehilangan tempat tinggal . Selain itu hujan asam ini mengakibatkan rusaknya lahan pertanian penduduk beserta dengan hasil panennya. Tingkat permintaan energi yang berlipat mengakibatkan laju penggunaan batu bara semakin meningkat hingga pada tahap yang mengkhawatirkan. Batu bara dilihat sebagai ancaman terbesar terhadap kondisi iklim bumi, karena batu bara merupakan sumber energi yang paling mencemari dan sumber dominan emisi karbon dioksida (CO2) dunia. Terkait masalah batu bara, buku ini juga mencoba mengulas dan mengkritisi kebijakan Penangkapan dan Penyimpangan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CSS), secara garis besar kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi dampak iklim dari pembakaran bahan bakar fosil dengan menangkap CO2 dari cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap dan menguburnya dalam tanah. Dimana CSS telah dijadikan justifikasi pembangunan baru pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara dan ‘tindakan tanpa perubahan’. Dalam pandangan mereka CSS, tidak memenuhi tuntutan tepat waktu untuk menghindari dampak buruk perubahan iklim. Mereka memandang pihak yang mendukung kebijakan tersebut sebagai pihak-pihak yang berjualan ‘obat’ teknologi. Selain itu buku ini mencoba menyoroti rencana pemerintah Indonesia dalam mengurangi penggunaan bahan bakar minyak menjadi batubara dan gas. Rencana tersebut juga akan
mengembalikan rencana pemerintah untuk
membangun PLTU bertenaga batubara berkapisatas 10.000 megawatt pada tahun 2009 atau 2010. Pemerintah juga telah menetapkan target konsumsi batu bara menjadi lebih dari 33%. Greenpeace Indonesia memandang hal ini dapat mempercepat laju perubahan iklim dunia. Prognosis, Setelah menggambarkan permasalahan yang akan masyarakat dunia hadapi apabila tetap mempergunakan batu bara, isi dari buku ini juga menunjukan jalan keluar yang seharusnya dilaksanakan, Greenpeace menggagas suatu cetak biru ‘Energy [R]evolution’. Cetak biru tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki pilihan sumberdaya energi terbarukan yang
73
potensial dan secara teknis tersedia seperti tenaga matahari, angin, geothermal, biogas dan ombak. Sehingga Indonesia tidak perlu bergantung pada batu bara untuk menggerakan rencana persediaan energinya untuk memenuhi permintaan energi. Tuntutan
akan
pengembangan
energi
yang
berkelanjutan
telah
diperlihatkan oleh warga Iloilo dan LSM lokal, Filipina. Di Negara tersebut, Greenpeace bersama dengan LSM lokal memperlihatkan aksi massa yang menentang batubara dan menyerukan undang-undang energi terbarukan. Salah satu tokoh penggeraknya adalah Aurora Alerta Lim, mantan asisten presiden Universitas Filipina Tengan (Central Philippine University) urusan lingkungan. Menurutnya tantangan terbesar yang dihadapi adalah sikap ‘masa bodoh’ pemerintah nasional dan kota terhadap pemanasan global dan kebohongan yang disebarkan oleh pendukung batubara yang menyatakan bahwa batubara energi yang murah dan ‘teknologi energi bersih’. Simbol-simbol yang digunakan, visualisasi batu bara pada buku ini, memposisikan pembaca sebagai saksi dari proses (bearing witness) perubahan iklim yang diakibatkan oleh batu bara mulai dari proses penambangan hingga pembakaran terlihat dari hampir setengah dari jumlah halaman yang terdapat pada buku ini berisikan gambar-gambar yang berkaitan dengan batu bara yang dapat menunjukan elemen diagnosis buku ini, hingga solusi yang ditawarkan. Berikut ini adalah salah satu contoh visualisasi batu bara yang dapat menunjukan elemen diagnosis maupun prognosis dengan argumen pensayat pada gambarnya pada buku tersebut :
74
Gambar 4. Halaman Pada Buku “Biaya Batubara Sebenarnya” sebagai simbol pencemaran udara.
Halaman ini (gambar 3) memperlihatkan asap yang ditimbulkan dari proses pembakaran batu bara yang diambil dari PLTU bertenaga batubara. Gambar tersebut berusaha mempertegas isi buku ini, diperkuat dengan cathphrases yaitu ‘Saat ini terdapat hampir 40% lebih banyak karbon dioksida di atmosfir dibandingkan sebelum Revolusi Industri. Tingkat CO2 saat ini lebih tinggi dibandingkan saat manapun dalam 650.000 tahun terakhir’. Katakata tersebut dikutip dari Badan Administrasi Atmosfir dan Lautan Amerika atau
National
Oceanic
Atmospheric
Administratio
(www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends.aa).
75
Gambar 5. Gerakan Massa pada Buku “Biaya Batubara Sebenarnya” Sebagai Simbol Solusi dari Masalah Energi.
Halaman ini (gambar 4) memperlihatkan gerakan massa yang menuntut pemerintah untuk meninggalkan batubara dan menggunakan energi-energi yang terbarukan. Gambar tersebut menunjukan prognosis yang terdapat pada isi buku ini, diperkuat dengan cathphrases yaitu ‘It’s time renewable energy’. Argumen pendukung, Argumen yang terdapat pada buku ini diperkuat dengan fakta-fakta yang mereka dapatkan langsung dari lapangan maupun hasil kutipan berbagai sumber. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah : o Di seluruh dunia, 11 milyar ton3 CO2 berasal dari PLTU bertenaga tiap tahunnya, (International Energy Agency, 2008. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar.OECD/IEA 2008), o Halaman Apendiks 1 yang mengupas informasi dasar tentang baru, mulai dari jenis batubara hingga jenis penambangan batubara, o Halaman Apendiks 2 yang mengulas perhitungan biaya sesungguhnya dari batubara, Selain itu buku ini berusaha memperlihatkan alasan mengapa mereka menentang penggunaan batubara sebagai sumber energi dengan menunjukan dampak yang sudah terjadi pada beberapa negara, yaitu India, Indonesia, Cina, Thailand, dan Filipina.
76
6.2
Aksi Langsung Damai Cilacap Pada tanggal 12 Februari 2009, Greenpeace melakukan aksi langsung di
depan pagar PLTU Cilapap. Aksi ini tergolong ke dalam tipe direct action dan direct communication, yang berpegang kepada prinsip dasar mereka yaitu nonviolent maka aksi ini dapat berjalan dengan damai. Melalui aksi ini Greenpeace berusaha melakukan suatu komunikasi publik, yang berusaha menyoroti dampakdampak yang ditimbulkan oleh batubara di lokasi pembangkit listrik bertenaga batubara di Cilacap. Greenpeace membantah proyeksi keliru yang digunakan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk membenarkan pembangunan PLTU baru dengan tidak mengindahkan “biaya-biaya eksternal” seperti penyakit pernafasan, kecelakaan tambang, hujan asam, polusi asap dan penurunan hasil pertanian serta perubahan iklim. Seperti yang dikutip dari juru kampanye Greenpeace:
"Indonesia mungkin saja memiliki sumberdaya batubara yang sangat besar, tetapi juga memiliki sumberdaya panas bumi dan energi surya yang sangat besar dan belum banyak dimanfaatkan. Sayangnya, pengembangan potensi energi terbarukan negeri ini telah dikalahkan oleh mafia batubara yang mensayasai departemen energi," (AF, 12 Februari 2009)
Aksi ini diikuti oleh 40 orang aktivis Greenpeace dan beberapa perwakilan warga setempat yang merasa dirinya dirugikan oleh hadir PLTU di wilayah tempat tinggal mereka . Dalam aksi protesnya mereka tidur di jalanan yang berada tepat di depan PLTU dengan menggunakan baju dan masker berwarna putih dan yang lainnya merantai diri mereka sendiri ke pagar PLTU Cilacap. Baju dan masker yang mereka gunakan melambangkan kesehatan masyarakat dan penentangan terhadap batubara.
77
Gambar 6. Aksi Langsung Damai Cilacap, 12 Februari 2009
Bersamaan dengan dilaksanakannya aksi langsung damai ini, koalisi anti batubara yang terdiri dari Greenpaece, KAM Cilacap, JATAM, Walhi, dan Sekolah Demokrasi Ekonomi melayangkan surat protes kepada jajaran Direksi PT. Sumber Segara Primadaya dan Bupati Cilacap. Isi surat tersebut menggambarkan dampak-dampak yang ditimbulkan dari PLTU dan menolak anggapan bahwa batubara adalah sumber energi yang murah apabila dibandingkan dengan eksternalitas yang ditimbulkan. Tuntutan yang terdapat pada surat protes tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mendesak pemerintah menghentikan ekspor batubara dan penggunaan batubara sebagai sumber energi, dan perluasan PLTU bertenaga batubara baru di wilayah Cilacap dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Karena semestinya, pemerintah segera mengembangkan sumber-sumber energi bersih dan terbarukan di Indonesia. 2. Mengingat dalam kasus PLTU Cilacap, upaya-upaya mediasi yang dilakukan selama ini tak menunjukkan kemajuan berarti. Kami menuntut dilakukannya. sebuah pertemuan yang setara antara jajaran direksi PLTU, Pemerintah Daerah Cilacap dan KAM menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan PLTU Cilacap selambatnya, akhir Februari 2009.
78
Elemen frame yang terdapat pada aksi damai di Cilacap adalah sebagai berikut : Isu utama, penentangan batubara merupakan isu utama yang terdapat pada aksi langsung dan damai di Cilacap, hal ini dapat dilihat dari spandukspanduk yang dibentangkan aktivis selama aksi tersebut berlangsung. Diagnosis, proyeksi keliru yang digunakan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk membenarkan pembangunan PLTU baru dengan tidak mengindahkan “biaya-biaya eksternal” seperti penyakit pernafasan, kecelakaan tambang, hujan asam, polusi asap dan penurunan hasil pertanian serta perubahan iklim menjadi penyebab dilakukannya aksi ini. Selain itu, mereka memandang bahwa pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap batu batubara atau “mafia batubara” telah mensayasai depatemen energi sehingga menghambat proses pengembangan potensi sumber-sumber energi bersih dan terbarukan yang terdapat di Indonesia. Prognosis, dalam aksi damai ini Greenpeace beserta LSM lainnya menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya mengedepankan pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan sumber-sumber energi bersih dan terbarukan, serta mendesak penghentian kegiatan ekspor batubara serta perluasan PLTU bertenaga batubara baru di wilayah Cilacap dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Mereka menuntut dilakukannya. sebuah pertemuan yang setara antara pihak-pihak yang terkait yaitu jajaran direksi PLTU, Pemerintah Daerah Cilacap dan KAM dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan PLTU Cilacap selambatnya, akhir Februari tahun 2009, agar hal tersebut dapat terlaksana. Simbol-simbol yang digunakan, Pada aksi ini mereka merantai diri mereka sendiri di pagar PLTU Cilacap dan menggunakan baju putih, masker wajah berwarna. Hal ini melambangkan bentuk protes warga setempat yang menentang kehadiran PLTU Cilacap karena eksternalitas buah hasil proses pembakaran batubara menghasilkan dampak yang negatif bagi warga sekitar dan kondisi iklim dunia secara global. Dua sepanduk berwarna kuning yang mereka pergunakan memperkuat tujuan dari aksi ini, kata-kata yang terdapat pada spanduk itu adalah “BATUBARA MEMATIKAN”. Keseluruhan simbol-simbol
79
dalam aksi yang dilakukan Greenpeace ini memperlihatkan elemen diagnosis aksi tersebut. Argumen pendukung, pada aksi ini tidak ditemukan argumen pendukung yang memperkuat alasan dari dilaksanakannya aksi tersebut.
6.3
Aksi Langsung Damai Bali Pada tanggal 26 Juni 2009, Greenpeace kembali melakukan aksi langsung
damai terkait dengan isu batubara di depan pintu masuk Hotel Padma Legian, Bali. Seperti yang LSM ini lakukan di Cilacap, aksi yang mereka lakukan ini tergolong ke dalam direct action maupun direct communication. Hari itu merupakan hari terakhir acara pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke tujuh yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara yang berada di kawasan ASEAN. Dalam aksi damai ini aktivis Greenpeace kembali berusaha melakukan suatu komunikasi public dengan cara membentangkan dua spanduk besar bertuliskan “COAL KILLS” dan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!”. Dalam aksi ini, LSM Greenpeace Asia Tenggara menyerukan negara-negara di ASEAN untuk menghentikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara, seperti yang juru kampanye Greenpeace katakan berikut ini,
“ASEAN terus tergantung pada batubara yang membawa kawasan menuju percepatan perubahan iklim dengan dampak seperti kekeringan, banjir dan kelaparan akibat berkurangnya hasil pertanian yang mengancam kehidupan ratusan juta orang. Daripada pertemuan itu membicarakan perluasan penggunaan batubara, ASEAN seharusnya menyepakati rencana untuk keluar dari pemanfaatan batubara dan beralih pada ekonomi yang rendah karbon,” (AF, 28 tahun)
80
Gambar 7. Aksi Langsung Damai Bali 26 Juni 2009
Pernyataan juru kampanye tersebut diperkuat oleh data yang berasal dari laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan program lingkungan untuk Asia Tenggara (EEPSEA). Menurut data tersebut Asia Tenggara adalah satu di antara kawasan yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan ADB memperkirakan setidaknya kawasan Asia Tenggara akan kehilangan enam atau tujuh persen pendapatan tahunan atas dampak perubahan iklim di akhir abad ini jika tidak ada tindakan untuk mengatasi perubahan iklim. Di samping biaya ekonomi dan iklim dari batubara, Greenpeace memperlihatkan bahwa batubara juga menimbulkan biaya kemanusiaan, seperti yang terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, Indonesia dimana 31 petambang battubara meninggal saat melakukan aktifitasnya. Juru kampanye berpendapat, untuk menghindari hal tersebut satu-satunya cara adalah menggunakan sumber-sumber energi ramah lingkungan dan terperbaharui, seperti yang ia katakana berikut ini, “Satu-satunya solusi yang akan menjauhkan kita dari malapetaka iklim dan memberikan kita masa depan hanyalah dengan pemanfaatan yang lebih besar pada energi diperbaharui, mengurangi bertahap penggunaan batubara dan berhenti merencanakan nuklir, digabungkan dengan pelaksanaan program-program efisiensi energi dalam skala besar. Negara-negara ASEAN perlu menunjukkan bahwa kawasan ini serius menangani perubahan iklim, saatnya mengkritisi pembicaraan iklim di Copenhagen, Desember tahun ini,” (AF, 28 tahun) Greenpeace melihat bahwa sebenarnya negara-negara anggota ASEAN memiliki banyak sumberdaya energi terbaharui dan seharusnya mereka
81
mengembangkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki cadangan energi geothermal terbesar di dunia dan bisa menyediakan 9,5 gigawatt energi hingga tahun 2025. Tetapi saat ini kurang dari lima persen sumber panas bumi yang digunakan, oleh karena itu Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk meningkatkan sasaran pada energi terperbaharui, terutama panas bumi, angin, tenaga surya dan micro-hydro serta mengembangkan produk hukum dan peraturan yang selama ini jadi hambatan terbesar dalam investasi di bidang energi terperbaharui, seperti yang telah Negara Filipina lakukan dengan membuat undang-undang energi terperbaharui di akhir tahun 2008. Apabila pemerintah Indonesia tidak menindaklanjuti langkah ini maka emisi CO2 yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil akan mencapai lebih dari setengah dari seluruh emisi gas rumah kaca Indonesia sekarang dan akan terus meningkat di tahun 2050. Elemen frame yang terdapat pada aksi damai di Cilacap adalah sebagai berikut : Isu utama, batubara merupakan isu utama yang terdapat pada aksi langsung dan damai di depan Hotel Padma Legian, Bali, hal ini dapat dilihat dari dua spanduk yang dibentangkan aktivis selama aksi tersebut berlangsung. Diagnosis, Greenpeace melihat bahwa ketergantungan pemerintah dari negara-negara anggota ASEAN terhadap batubara akan mempercepat laju perubahan iklim dunia. Perubahan iklim ini akan membawa dampak yang besar seperti kekeringan, banjir dan kelaparan akibat berkurangnya hasil pertanian yang mengancam kehidupan ratusan juta orang. Prognosis, untuk mencegah timbulnya dampak-dampak dari perubahan iklim, Greenpeace mendesak pemerintah dari negara-negara anggota ASEAN untuk mengedepankan sumber-sumber energi terbarukan, mengurangi bertahap penggunaan
batubara
dan
berhenti
merencanakan
nuklir,
serta
menggabungkannya dengan pelaksanaan program-program efisiensi energi dalam skala besar. Oleh karena itu LSM ini memandang bahwa pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan sepatutnya membuat suatu peraturan yang mampu memacu pengembangan sumber-sumber energi yang terbarukan seperti yang negara Filipina telah lakukan.
82
Simbol-simbol yang digunakan, Pada aksi ini mereka melakukannya secara sederhana, beberapa aktivis Greenpeace membentangkan dua spanduk besar bertuliskan “COAL KILLS” dan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!”, dimana kata-kata “COAL KILLS” termasuk ke dalam elemen diagnosis sedangakan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!” termasuk ke dalam elemen prognosis. Melalui spanduk “COAL KILLS”, Greenpeace berusaha mempertegas kepada perwakilan maupun pemimpin pemerintah dari negara-negara anggota yang hadir di acara pertemuan ASEAN Forum On Coal (AFOC) ke tujuh bahwa batubara
berbahaya
bagi
manusia
maupun
kondisi
lingkungan
karena
menimbulkan eksternalitas karena menghasilkan dampak yang negative, maka dengan slogan “QUIT COALS, GO RENEWABLE!!!” yang terpampang pada spanduk yang mereka gunakan. Greenpeace menginkan negara-negara yang hadir dalam acara tersebut untuk mengurangi ketergantungannya akan batubara dan mengedepankan potensi sumber-sumber energi terbarukan yang terdapat di wilayah ASEAN. Argumen pendukung, dalam aksi ini Greenpeace mengambil contoh kebijakan yang telah pemerintah Filipina tetapkan dengan undang-undang energi terperbaharui di akhir tahun 2008, yang akan membawa negara itu pada energi bersih di masa mendatang yang akan membawa keuntungan ekonomi selama negara memotong emisi karbonnya.
6.4
Baju anti batu bara Baju anti batubara merupakan salah satu bentuk simbol penentangan LSM
Greenpeace yang dapat membentuk identitas pribadi pada anggotanya. Baju ini dibuat pada bulan Februari bersamaan dengan aksi damai di Cilacap, baju ini diperuntukan kepada seluruh anggota Greenpeace Indonesia. Baju ini tidak diberikan ataupun diperjualbelikan pada masyarakat umum, karena di dalamnya terdapat label Greenpeace. Oleh karena itu setiap yang mengenakan baju tersebut dilarang merokok, merusak lingkungan, dan wajib menjalankan nilai maupun norma yang terdapat pada LSM ini. Selain itu, dengan baju ini mereka dapat membangun suatu komunikasi kelompok maupun interpersonal, karena baju ini secara tidak langsung dapat menunjukan posisi mereka terhadap batubara.
83
Gambar 8. Atribut Pakaian anti-batubara
Elemen frame yang terdapat pada baju anti batubara adalah sebagai berikut : Isu utama, penentangan batubara merupakan isu utama yang terdapat pada baju berwarna hitam ini, hal tersebut dapat dilihat dari kata-kata terdapat pada baju maupun simbol yang digunakan. Diagnosis, pada baju ini terdapat kata-kata “BATUBARA SUMBER ENERGI MEMATIKAN”, kata-kata ini berusaha mencerminkan permasalahan yang sedang bangsa Indonesia hadapai terkait masalah sumber energi. Prognosis, tidak terdapat prognosis pada baju ini Simbol-simbol yang digunakan, keseluruhan baju ini merupakan simbolsimbol atau bentuk penentangan Greenpeace terhadap batubara yang mereka apresiasikan ke dalam sebuah media berupa baju berwarna hitam dengan gambar tengkorak yang termasuk ke dalam elemen diagnosis. Gambar tengkorak mempertegas kata-kata yang tepat berada di bawahnya, bahwa batubara benarbenar sumber energi yang mematikan. Argumen pendukung, pada baju anti-bara tidak ditemukan argumen pendukung pada tulisan-tulisan yang melekat pada baju tersebut.
84
6.5
Kegiatan Direct Dialogue Campaign dan Booklet Pada hari Selasa tanggal 15 September 2009 LSM Greenpeace melakukan
kegiatan DDC (Direct Dialogue Campaign) di Pondok Indah Mall, Jakarta. Kegiatan ini dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 20.00 WIB. DDC tidak dilakukan di Pondok Indah Mall saja, namun menyebar di pusat-pusat keramaian dan aktifitas masyarakat seperti pusat perbelanjaan, lingkungan kampus dan koridor-koridor bus Transjakarta. Tempat ini sendiri dipilih sebagai lokasi DDC oleh divisi DDC Greenpeace karena pusat perbelanjaan tersebut ramai pengunjungnya dan saat itu Greenpeace diundang oleh pengelolanya untuk mengisi salah satu stand yang masih kosong di bagian jembatan Timur selama satu minggu, sehingga berguna bagi LSM ini dalam membangun komunikasi publik. DDC dapat diibaratkan sebagai ‘ujung tombak’ Greenpeace dalam mengkampanyekan isu-isu yang sedang mereka perjuangkan secara langsung kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan strata sosialnya, memberikan pandangan tentang lingkungan dan menggalang donasi dari masyarakat yang akan mereka gunakan untuk mendanai seluruh kegiatan. Dalam melakukan kegiatan DDC, Greenpeace Asia Tenggara Indonesia membentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan lima hingga tujuh orang terdiri dari seorang Team Leader dan anggota tim. Masing-masing kelompok bertugas selama kurang lebih enam jam, sehingga dalam satu hari terdapat dua kelompok yang bertugas dalam satu lokasi.
85
Gambar 9. Kegiatan DDC Greenpeace Asia Tenggara Indonesia
Pada hari itu kelompok pertama yang bertugas di Pondok Indah Mall adalah Kelompok Awang yang berisikan lima orang terdiri dari Awang sebagai ‘Team Leader’ dan Dita, Apay, Frandi dan Zein sebagai anggota. Saat itu mereka menggunakan atribut Greenpeace yang berbeda-beda, dimana Awang, Apay dan Zein menggunakan polo shirt berwarna hijau dan polos yang memiliki lambang Greenpeace, sedangkan Dita dan Frandi menggunakan baju anti-batubara berwarna hitam yang memiliki lambang Greenpeace. Stand berukuran kira-kira 2X2 meter yang telah didirikan oleh divisi logistik sejak minggu malam bediri dua buah stanting banner yang memuat logo Greenpeace dan revolusi energi, sebuah meja, dan dua buah foto berukuran 20X30 cm yang terdiri dari foto deforestasi hutan di Riau dan foto seorang nelayan di Cilacap yang berguna dalam menarik perhatian pengunjung. Selain itu mereka juga memajang beberapa beberapa buku yang Greenpeace telah terbitkan “Menggoreng Iklim”, “Energy [r]evolution”, dan “Biaya Batubara Sebenarnya”, pengunjung dapat membaca buku-buku tersebut dengan bebas atau aktivis DDC dapat mempergunakannya saat menjelaskan dan berdiskusi dengan pengunjung tentang hal-hal yang Greenpeace sedang perjuangkan.
86
Gambar 10. Poster Nelayan Cilacap pada Stand DDC di Pondok Indah Mall
Dalam menjalankan tugasnya aktivis DDC menggunakan pendekatan persuasif dengan tetap menjaga sopan santun, hal ini terlihat ketika saat Awang mencoba mengajak seorang pengunjung yang melintasi stand Greenpeace dengan sapaan yang santun dan senyuman, walaupun pengunjung wanita tersebut menolaknya. Saat menjelaskan misi dan isu-isu yang Greenpeace setidaknya aktivis DDC melakukannya dalam lima menit, apabila pengunjung tertarik maka akan terjadi diskusi antara mereka. Ketika pengunjung tertarik dan bersedia membantu kegiatan Greenpeace, maka aktivis DDC akan menyodorkan formulir yang berisi biodata, alamat email, besarnya donasi yang akan pengunjung sumbangkan, dan kelengkapan administrasi lainnya. Saat pengunjung sudah mengisi formulir, aktivis DDC akan memberikan sebuah Booklet kepada pengunjung tersebut. Booklet ini merupakan cinderamata atau tanda terima kasih yang diberikan oleh DDC (Direct Dialogue Campaigner) kepada pendukung Greenpeace saat pertama kali mereka bergabung. Booklet ini berisi profil singkat Greenpeace, cara Greenpeace berkampanye, isu-isu kampanye yang diusung oleh LSM ini, dan solusi alternatif yang ditawarkan oleh Greenpeace dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Seperti buku ‘Biaya Batubara Sebenarnya’, booklet ini seluruhnya berasal dari kertas daur ulang dan menggunakan tinta yang berasal dari sari kedelai.
87
88
Gambar 11. Tampak Depan booklet Greenpeace Southeast Asia Indonesia
89
Gambar 12. Tampak Belakang booklet Greenpeace Southeast Asia Indonesia
Elemen frame yang terdapat pada booklet adalah sebagai berikut : Isu utama, masalah lingkungan merupakan isu utama yang terdapat pada booklet ini, hal tersebut dapat dilihat dari isi booklet maupun simbol-simbol yang digunakan. Diagnosis, latar belakang permasalahan terlihat pada bagian ‘Sekilas kami’, pada bagian ini mereka ingin menunjukan kepada pembaca bahwa pesatnya
pertumbuhan
industri
mengakibatkan
meningkatnya
polusi,
penggundulan hutan, perubahan iklim dan perubahan genetika di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah maupun perusahaan dipandang sebagai penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Prognosis, dalam booklet ini Greenpeace meyakini bahwa kekuatan massa yang memiliki keyakinan yang sama dengan hal-hal yang LSM ini perjuangkan dapat menjadi suatu kekuatan global yang besar dan dapat diperhitungkan. Demi terjadinya perubahan Greenpeace mengajak supporter menjadi bagian dari solusi dengan bersama-sama mempromosikan energi bersih dan keadilan lingkungan. Untuk langkah awal, Greenpeace mengajak supporter untuk melakukan perubahan perilakunya dalam aktifitas kesehariannya dengan cara tidak menyia-nyiakan kayu, mengurangi penggunaan kertas, menggunakan kertas daur ulang, menanam lebih banyak tanaman tradisional di kebun milik pribadi, dan hanya membeli kayu yang bersumber daru praktek panen yang sah dan berkelanjutan. Selain itu booklet ini memberikan informasi kepada pembacanya tentang bagaimana Greenpeace berkampanye yaitu tanpa kekerasan, konfrontasi kreatif yang Greenpeace ibaratkan sebagai ‘menebar benih’, independen, dan terakhir menggalang kekuatan massa. Simbol-simbol yang digunakan, simbol berupa bahan baku berkas dan tinta yang digunakan menunjukan konsistensi LSM ini saat mengajak masyarakat untuk menggunakan kertas daur ulang, visualisasi dari foto-foto yang terdapat di booklet tersebut.
90
Gambar 13. Simbol dari Elemen Diagnosis Dalam booklet
Gambar ini (gambar 13) merupakan elemen diagnosis yang terdapat pada booklet, gambar ini memperlihatkan aksi teatrikal aktivis Greenpeace yang menggambarkan batubara sebagai seekor naga yang menyemburkan api besar berupa gas CO2. Melalui foto aksi ini, Greenpeace berusaha menunjukan bahwa batubara adalah sumber energi berbahaya.
Gambar 14. Simbol dari Elemen Prognosis dalam booklet
Gambar ini (gambar 14) merupakan elemen prognosis yang terdapat pada booklet, gambar ini memperlihatkan anak yang memegang mainan kincir. Anak kecil pada foto tersebut melambangkan masa yang akan datang, sedangkan kincir angin melambangkan energi angin ataupun energi terbarukan. Melalui foto ini, Greenpeace berusaha mengkampanyekan energi terbarukan yang berkelanjutan,
91
dimana energi angin adalah salah satu contohnya. Argumen pendukung, pada booklet ini tidak ditemukan argumen pendukung.
6.6
Ikhtisar Framing Batubara Pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia Dari uraian penjelasan di atas, disajikan dengan Matriks XX. dalam
matriks tersebut dapat dilihat ikhtisar framing batubara pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia. Elemen-elemen dari frame tersebut merupakan skema maupun frame LSM Greenpeace terhadap batubara. Frame ini digunakan Greenpeace untuk membentuk frame anti-batubara pada anggota organisasi, dan masyarakat umum serta saat mereka berhadapan dengan pihak pemerintah ataupun pihak perusahaan. Elemen dari frame tersebut terdiri dari isu utama, diagnosis, prognosis, simbol, dan argumen pendukung. Frame ini diidentifikasi dari frame yang terdapat isi ataupun pesan-pesan dari media komunikasi organisasi, seperti buku, booklet, movement document, dan atribut seperti pakaian. Frame gerakan sosial di dalam media komunikasi tersebut dipaparkan dalam Matriks 2. Masing-masing media komunikasi ini memiliki peranan komunikasi yang berguna dalam mengkontruksi makna ataupun membangun gravience (keresahan).
92
Framing
Isu Diagnosis
Prognosis
Simbol
Argumen
Peranan Komunika si
Buku “ Biaya Batubara Sebenarnya”
Aksi Langsung Damai Cilacap Masalah Masalah batubara batubara Dampak aliran Biaya produksi eksternalitas batubara dan mafia batubara
Aksi Langsung Damai Bali
Baju AntiBatubara
Penolakan batubara Ketergantunga n negaranegara ASEAN terhadap batubara
Penolakan batubara Batubara sebagai sumber masalah
Tidak terdapat prognosis
Booklet
Masalah lingkungan o Penggund ulan hutan o Perubaha n iklim o Rekayasa genetika n Promosika n energi bersih n Perubaha n perilaku
Enery [r]evolution
n Bangun sumber energi terbarukan, n Stop ekspor dan n Pertemuan pihak-pihak terkait
n Utamakan energi bersih n Kurangi batubara n Hentikan nuklir n Buat kebijakan seperti Filipina
n visualisasi dari dampak aliran produksi hingga gerakan antibatubara n Bahan dasar Buku Data-data dari lokasi kejadian
Baju dan masker sebagai bentuk penolakan batubara dan dampak yang ditimbulkan
Tulisan “COAL n “Coal kills” n Bahan KILLS” dan n ”BATUBAR dasar “QUIT COAL, A SUMBER buku GO ENERGI n GambarRENEWABLE” MEMATIKAN” gambar n Gambar pada tengkorak booklet
Tidak terdapat argument pendukung
Contoh penerapan kebijakan negara Filipina
Tidak terdapat Tidak argument terdapat pendukung argument pendukung
Komunikasi interpersonal, kelompok, dan publik
Komunikasi publik
Komunikasi publik
Komunikasi Komunikasi interpersonal, publik kelompok, dan publik
Matriks 2. Framing Batubara pada LSM Greenpeace Asia Tenggara di Indonesia.
93
BAB VII IDENTITAS KOLEKTIF ANGGOTA GREENPEACE ASIA TENGGARA di INDONESIA TERKAIT ISU BATUBARA 7.1
AF : Juru Kampanye Iklim dan Energi, khususnya Isu Batubara AF lahir di Bandung 24 April 1981, saat ini AF tinggal di daerah Pondok
Cina yang dekat dengan Universitas Indonesia. Pria yang sudah tertarik dengan isu-isu lingkungan dan kegiatan outdoor sejak SMP ini, merupakan sarjana ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi Lingkungan, Universitas Indonesia. Saat ini AF ditunjuk sebagai Juru Kampanye Iklim dan Energi dengan spesialisasi isu batubara sejak awal tahun 2008. AF sudah mengenal Greenpeace semenjak ia SMP, saat itu AF melihat aksi LSM ini di salah satu siaran televisi nasional. Dalam pandangan AF kecil Greenpeace merupakan organisasi yang terkesan radikal dan langsung menyerang sumber permasalahan. Sejak itu AF beranganangan untuk bergabung dengan Greenpeace. Setelah menyandang gelar Sarjana Ekonomi, AF bergabung dengan Yayasan Pelangi Indonesia. Yayasan PELANGI merupakan sebuah lembaga riset lingkungan yang memfokuskan diri untuk meneliti kebijakan-kebijakan yang terkait dengan lingkungan. Selama kurang lebih tiga tahun AF bergabung dengan Yayasan Pelangi Indonesia sebagai peneliti perubahan iklim sebelum dia bergabung dengan Greenpeace Indonesia. Saat bergabung dengan Yayasan Pelangi Indonesia identitas akitivis AF mulai terbentuk, ketika itu AF melihat dirinya sebagai peneliti lingkungan yang cemas dengan kondisi lingkungan Indonesia. Sebagai peneliti, taktik yang AF gunakan dalam mengungkapkan temuan-temuan penelitiannya adalah ruang-ruang diskusi maupun seminar, walaupun sebenarnya AF merasa kurang sejalan dan yakin dengan taktik yang Yayasan Pelangi Indonesia gunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah lingkungan di Indonesia. Peluang untuk bergabung dengan Greenpeace datang, saat AF membaca salah satu surat kabar nasional yaitu KOMPAS, ketika itu Greenpeace memang sedang mencari orang yang bersedia untuk menjadi Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Indonesia. Setelah beberapa tahapan wawancara AF lalui, akhirnya dia resmi bergabung dengan Greenpeace Asia
94
Tenggara Indonesia pada akhir tahun 2008. Alasan mengapa dia berhenti dari Yayasan Pelangi dan pindah ke Greenpeace adalah perbedaan metode perjuangan atau taktik yang digunakan, walaupun visi dan misi dari kedua organsiasi tersebut tidak jauh berbeda, sebagaimana yang ia utarakan berikut ini,
“..kenapa saya memutuskan pindah ke Greenpeace..karena saya percaya dengan cara kerja Greenpeace ini kita bisa mengubah sesuatu..dibanding..kalo di lembaga seperti Pelangi..kita cuma melakukan riset..kemudian hasil risetnya kita seminarkan..atau kita diskusikan..setelah itu selesai..nah..saya pikir cara seperti masih kurang…karena sering kali hasil-hasil riset kita cuma berakhir di ruang seminar..di meja-meja rapat..dan ga jelas outputnya apa...nah..klo Greenpeacekan punya riset..punya seminar..dan aksi langsung untuk semakin membuat orang paham akan permasalahan yang dihadapi..” (AF, 28 tahun) Pernyataan tersebut memperlihatkan perubahan identitas aktivis pada diri AF, kini dia melihat dirinya sebagai seorang aktivis lingkungan hidup yang peduli dengan kondisi lingkungan Indonesia dan berjuang untuknya. AF yakin terhadap misi maupun visi dari Greenpeace sehingga AF tidak ragu menyebut dirinya sebagai Aktivis lingkungan hidup Greenpeace. Sebutan ini merupakan identitas organisasional yang melekat pada AF, sejak dirinya bergabung dengan LSM bertaraf internasional ini. Kini sebagai Aktivis Greenpeace, AF juga melihat dirinya sebagai aktivis lingkungan hidup yang independen, mandiri secara finansial. Strategi pendanaan ini bagi AF merupakan salah satu kekuatan Greenpeace dalam berkampanye dan hal yang membedakan LSM ini dengan LSM lingkungan yang lain. Karena dengan mandiri secara finansial, Greenpeace dapat dengan bebas menekan pihakpihak yang menjadi ‘lawan’ tanpa pandang bulu dalam memperjuangkan apa yang Greenpeace yakini. AF meyakini strategi kampanye Greenpeace, seperti aksi langsung maupun independent Greenpeace dapat membuat masyarakat semakin paham akan permasalahan yang ada, sehingga AF tidak ragu-ragu dalam berjuang dan berkampanye dengan Greenpeace. Dalam pandangan AF, kondisi lingkungan di Indonesia sudah ‘luar biasa parah’, akibat dari tidak jelasnya kebijakan pemerintah saat ini sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk berlindung dibalik program-
95
program CSR (Corporate Social Responsibility) yang mereka jalankan, sementara di lain sisi operasi maupun kegiatan perusahaan tersebut terus-menerus merusak lingkungan. Menurutnya kerusakan-kerusakan ini akan mempercepat laju perubahan iklim di dunia, tentu saja dampaknya akan segera terasa di Indonesia apalagi bila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia, seperti yang ia katakan berikut ini,
“..dalam konteks iklim..menurut banyak laporan yang keluar barubaru ini ataupun sebelumnya..berdasarkan bukti-bukti juga..Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim..ee..secara geografis..kenapa Indonesia itu rentan..karena Indonesia itu Negara kepulauan kan..yang terdiri 17.000 pulah..nah..ee..salah satu dampak perubahan iklim itukan kenaikan permukaan air laut..nah itu menyebabkan Negara kepulauan seperti Indonesia ini sangat rentan..dengan hilangnya pulau-pulau kecil..trus..secara dampak-dampak lainnya yaa..sudah banyak dialami di Indonesia ini..mulai dari bencana-bencana yang diduga akibat perubahan iklim semakin sering terjadi..kaya banjir, tanah, longsor, kekeringan, merebaknya penyakit tropis yang diduga..dipicu oleh perubahan iklim..karena cuaca yang tak menentu..” (AF, 28 tahun) Ditanyai mengenai batubara, sebagai juru kampanye Greenpeace Indonesia dengan fokus kajian batubara, dia menjelaskan pendapatnya dengan lugas dan jelas dengan dasar perspektif Greenpeace. Ia menyadari bahwa kini Indonesia butuh pasokan listrik yang cukup besar, namun langkah pemerintah dalam menanggulanginya tidak tepat karena sebagian besar pasokan listrik Indonesia
menggunakan
batubara
sebagai
sumber
energi,
sedangkan
pengembangan sumber-sumber energi ramah lingkungan terabaikan terlihat dari kecilnya persentase pembangkit listrik yang menggunakan sumber-sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan seperti panas bumi. Karena langkah yang telah pemerintah ambil saat ini sudah mengorbankan kesehatan masyarakat maupun kondisi iklim di Indonesia. Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang selama ini ia telah lakukan, AF mendapatkan fakta bahwa sebenarnya Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat melimpah, mulai dari energi panas bumi dimana 40% dari energi panas bumi dunia terdapat di Indonesia, energi angin yang
96
terdapat di wilayah timur Indonesia, seperti daerah Nusa Tenggara, energi matahari karena iklim tropis Indonesia.
”..masih banyak sekali di pemerintahan SBY saat ini..yang..ee..pemerintahannya,menteri-menterinya, donatur kampanyenya SBY, Jusuf Kalla itu terlibat dalam industri batubara..industri besar itu..menteri energi itu punya perusahanperusahaan batubara..tambang..dia terlibat..dia brokerlah....jadi bagaimana mungkin..ee..mereka itu mau mengurangi penggunaan batubara ini..karena inika terkait dengan kepentingan ekonomi mereka..makanya kita selalu bilang..selama pemerintah masih dijerat oleh mafia energi..maka pemerintah tidak akan punya keberanian politik untuk mengenbangkan energi terbarukan..” (AF, 26 tahun)
Berdasarkan pernyataan tersebut, AF ingin menunjukan tidak adanya komitmen pemerintah dalam mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan, AF lihat sebagai akibat dari masih terdapatnya ‘mafia batubara’ di dalam jajaran pemerintah saat ini. Identitas kolektif yang melekat pada AF, secara ringkas ditampilkan pada matriks berikut ini.
Nama
AF
Identitas Aktivis sebelum Aktivis Lingkunga n
Sesudah Aktivis Lingkungan
Identitas Organisasional sebelum Aktivis Yayasan Pelangi Indonesia
sesudah Aktivis Greenpeace
Identitas Taktik Sebelum Seminar atau diskusi
sesudah Aksi Langsun g atau NVDA
Matriks 3. Identitas Kolektif yang Melekat pada AF.
7.2
AR : New Media Campaigner Greenpeace Indonesia AR lahir di Jakarta 25 Agustus 1983. Wanita lulusan S1 Komunikasi IISIP
ini sudah bergabung dengan Greenpeace sejak tahun 2004 sebagai voulenteer saat ia masih kuliah. Kini AR merupakan seorang New Media Campaigner Greenpeace Asia Tenggara Indonesia. Menurutnya awal mula dia mau bergabung dengan Greenpeace karena ajakan salah satu temannya di MAPALA ISIIP yang sudah bergabung terlebih dahulu, saat itu Greenpeace memang sedang membutuhkan sukarelawan dalam jumlah banyak untuk Public act dan Voluntery.
97
Saat pertama kali diajak oleh temannya untuk bergabung, dia mengaku tidak mengerti tujuan dari Greenpeace dan tidak terlalu perhatian dengan kondisi alam Indonesia, seperti ia sampaikan berikut ini, “...awalnya saya juga ga ngerti Greenpeace ngapain aja sih..pokoknya lingkungan hidup..mungkin kebanyakan orang tau kecuali saya..karena waktu dulu-dulu..ee..bodo amatlah sama lingkungan..yang penting naek gunung…pokonya alam Indonesia dipikir kita se..se..tahun 2004 tu kan..masi baguslah..saya ga ngerti lingkungan hidup..saya ga ngerti illegal logging itu apa...” (AR, 26 tahun) Pernyataan menunjukan bahwa sebelum bergabung dengan Greenpeace, tidak terdapat identitas aktivis yang melekat pada diri AR. Namun dirinya merasa termotivasi untuk bergabung dengan Greenpeace menjadi seorang aktivis lingkungan, saat salah satu temannya berkata,
“..dunia itu butuh kamu..dunia itu butuh kamu walaupun hanya sekedar mengirim fax doang..walaupun kamu cuma bisa ngangkatngangkat doang..ini tuh perjalanan untuk menggapai sesuatu..walaupun sekecil apapun yang kamu perbuat itu berguna buat kesananya..“ (AR, 26 tahun) Sejak mendengar perkataan tersebut, identitas aktivis AR pun mulai terbangun, dirinya merasa mulai tertarik untuk bergabung dengan LSM Greenpeace. Sejak bergabung dia rajin berkumpul dan membantu kegiatankegiatan Greenpeace di Indonesia. Salah satu tugas awal dia adalah membantu divisi media, seperti mengkliping koran dan mengirim fax, menurutnya tugas yang dia terima disesuaikan dengan latar pendidikan AR, saat itu identitas aktivis AR pun mulai terbangun sebagai aktivis lingkungan. Saat pertengahan tahun 2006, AR diangkat sebagai new media campaigner untuk mengisi kekosongan divisi tersebut. Seiring dengan berjalanannya waktu, AR mulai mengerti. Menurutnya dalam menjaga lingkungan tidak bisa setengah-setengah, tidak hanya menjaga lingkungan Indonesia saja namun masyarakat juga harus menjaga kelestarian lingkungan secara global dimana Indonesia merupakan salah satu bagiannya
98
karena pengaruh kondisi lingkungan dunia akan berpengaruh terhadap Indonesia juga. Apabila dibandingkan dengan LSM lingkungan lain, ia merasakan ‘aura’ yang berbeda, contohnya dari segi pendanaan. Menurutnya kemandirian dalam hal pendanaan merupakan suatu hal unik dan menarik dari Greenpeace, sebab apabila suatu LSM menerima sumbangan dana dari perusahaan terdapat kemungkinan LSM tersebut untuk diatur oleh perusahaan tersebut. Hal ini menunjukan identitas organisasi sekaligus identitas taktik pada diri AR yang memandang Greenpeace memiliki kelebihan dari LSM lingkungan lain dan melihat bahwa taktik atau strategi pendanaan Greenpeace adalah suatu hal yang tepat untuk sebuah LSM lakukan. Ditanyai
pendapatnya
mengenai
batubara
seperti
apa di
dalam
pandangannya, ia langsung mengatakan bahwa batubara adalah energi yang kotor. Karena mulai dari proses pengambilannya saja sudah mengakibatkan dampak yang cukup besar hingga bekas tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, menurutnya dampak-dampak tersebut merupakan ‘cost’ yang harus dibayar. Ia menyadari kebutuhan akan energi masyarakat Indonesia itu sangat besar dan tidak mungkin untuk menghentikan penggunaan batubara secara total, namun ia tidak melihat usaha pemerintah untuk membangun sumber energi yang terbarukan dan memperhitungkan biaya eksternalitas batubara. AR berpendapat bahwa penggunaan batubara seharusnya ‘stop’ pada level yang ada saat ini dan tidak menambahnya lagi dengan membuka tambangtambang batubara yang baru, serta untuk memenuhi kebutuhan akan energi yang kurang seharusnya pemerintah membangun pembangkit listrik dengan sumber energi yang terbarukan. Identitas kolektif yang melekat pada AR, secara ringkas ditampilkan pada matriks berikut ini.
Nama
AR
Identitas Aktivis sebelum NonAktivis
Sesudah Aktivis Lingkungan
Identitas Organisasional sebelum Non-Aktivis
Sesudah Aktivis Greenpeace
Identitas Taktik Sebelum Tidak ada
sesudah Indepen den
Matriks 4. Identitas Kolektif yang Melekat Pada AR.
99
7.3
LH : Siswi Greenpeace University Indonesia LH lahir di Jakarta tahun 1984, pendididkan terakhir S1 arsitektur
Universitas Indonesia. Sejak kuliah ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan, setelah lulus dia dengan beberapa temannya bergabung membentuk kelompok lingkungan ‘kecil-kecilan’ yang bertujuan untuk memberikan siswa-siswi sekolah dasar maupun menengah mengenai alternatif cara belajar dalam mengenal lingkungan. LH berharap kelak dirinya dapat bekerja di dalam sistem pemerintahan Indonesia untuk membantu memelihara budaya dan lingkungan Indonesia bersama Greenpeace sebagai pendamping. Hal ini menunjukan bahwa identitas aktivis yang melekat pada diri LH adalah identitas aktivis lingkungan hidup dan identitas aktivis ini tidak mengalami perubahan walaupun LH mengikuti program dari Greenpeace. Pada tahun 2009, tepatnya sejak bulan Maret LH mengikuti program Greenpeace University, yang baru pertama kali diselenggarakan oleh GPSEA. Selama 6 bulan LH diberikan materi-materi yang berkenaan dengan cara menyusun program suatu kampanye maupun cara melaksanakannya dan sesekali diberikan pengetahuan mengenai kondisi lingkungan di Indonesia saat ini. Dalam program ini LH memiliki kesempatan untuk bertemu orang baru setiap harinya, hal ini telah menjadi sesuatu yang paling LH persiapkan untuk belajar langsung dari orang-orang yang telah melakukan sesuatu untuk membantu lingkungan dan memberinya banyak inspirasi. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang dia dapatkan dari Universitas Greenpeace, LH merasa memiliki nilai-nilai Greenpeace sebagai mentor dan akan menerapkannya pada setiap langkah yang akan dia ambil kelak. Setelah beberapa lama berinteraksi dengan LSM ini, ia melihat bahwa Greenpeace adalah LSM yang ‘intelek’, melihat dari aksi-aksinya yang kreatif dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan sehingga dirinya merasa tertarik untuk berpartisipasi dalam program yang Greenpeace Asia Tenggara Indonesia selenggarakan. LH sangat menaruh perhatian terhadap kondisi lingkungan Indonesia. Menurutnya kondisi lingkungan Indonesia sudah mencapai ‘tahap yang paling kritis’ didukung dengan moral warga Indonesia yang ‘rusak’, karena mengorbankan
lingkungan
demi
mencapai
keuntungan
semata.
Dia
100
membandingkannya dengan hutan Amazon karena memiliki kemiripan dengan kondisi hutan Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, dalam pandangannya warga yang berada dalam kawasan hutan amazon memiliki perhatian dan usaha yang sangat besar dalam menjaga keletarian hutannya, hal ini berbanding terbalik dengan warga Indonesia. Ditanyai mengenai batubara, LH menyimpan kerasayan terhadap slogan ‘no coal’ yang sedang dikampanyekan oleh Greenpeace. Menurutnya Indonesia tidak bisa lepas dari batubara sebagai sumber energinya,
“sebenenya saya masih rada-rada ragu..dengan no coal..kalo menurut saya ga bisa..bukannya engga setuju dengan no coal..cuma yang diperbaikin bukan cuma kuantitasnya…kalaupun mau renewable energy, itu (batubara) tetep dipake..” (LH, 25 tahun) Menurut LH sebenarnya permasalahan terletak pada kegiatan ekspor ‘besar-besaran’ batubara yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, seharusnya pemerintah fokus untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri terlebih dahulu dan membatasi kegiatan ekspornya sehingga kegiatan pertambangan dapat diawasi dan dibatasi. Namun hal ini sulit untuk direalisasikan karena ‘pengusaha batubara yang berpolitik’ akan menjadi ‘lawan’ pertama yang harus dihadapi. Identitas kolektif yang melekat pada LH, secara ringkas ditampilkan pada matriks berikut ini.
Nam a
LH
Identitas Aktivis sebelum
Sesudah
Aktivis Lingkungan
Aktivis Lingkungan
Identitas Organisasional sebelum Aktivis Education Care Units
Sesudah Aktivis Education Care Units
Identitas Taktik Sebelum Edukasi
sesudah Aksi Langsung atau NVDA dan Independe n
Matriks 5. Identitas Kolektif yang Melekat Pada LH.
101
7.4
FA : Direct Dialogue Campaigner Greenpeace Asia Tenggara Indonesia FA lahir di Jakarta pada tahun 1984, saat ini menjadi salah satu Direct
Dialogue Campaigner Greenpeace Asia Tenggara Indonesia sejak bulan Februari tahun 2009. FA merupakan lulusan Diploma Garuda Training and Education yang terletak daerah Kosambi, Cengkareng. Setelah lulus pria berusia 25 tahun ini tidak serta merta langsung bergabung dengan Greenpeace, FA mulai mencoba untuk berwirausaha terlebih dahulu di bidang jual beli telepon seluler kemudian bekerja sebagai Superviser di beberapa perusahaan di Indonesia selama beberapa tahun, mulai dari Marketing Superviser dari sebuah perusahaan kemeja di Bali dan Kepala Pengiriman dari perusahaan Springbed di Jawa Timur. Perhatian FA terhadap lingkungan mulai terbangun sejak FA masih SMP, saat dirinya mulai bergaul dengan teman-teman kakaknya yang tergabung dalam organisasi SISPALA (Siswa Pecinta Alam) SMU 25 Jakarta dan mengikuti kegiatan-kegiatannya. FA pertama kali mengenal Greenpeace sejak tahun 1998 saat ia masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Ketika itu dia melihat Greenpeace di dalam sebuah Cover album “Mans Atraction” dari grup musik White Lion, terutama dalam lagu “Little Fighter” yang didedikasikan untuk rainbow warrior Greenpeace. Pada tahun 2009 FA kembali ke Jakarta setelah beberapa lama merantau ke Jawa Timur dan pulau Bali, saat di Jakarta inilah FA melihat peluang untuk bergabung Greenpeace Indonesia dalam situs resminya. Kini akhirnya FA menjadi seorang DDC Greenpeace Indonesia. Persamaan prinsip merupakan alasan mengapa FA bergabung dengan Greenpeace, seperti yang FA utarakan berikut ini,
“…prinsip saya sejalan sama Greenpeace jadi kita melakukannya dengan pelestarian alam bukannya dengan reboisasi awalnya..seperti itu..jadi kita lestarikan alam yang masih ada seperti yang saat ini tanpa dirusak sedemikian rupa dengan cara apapun dan karena independennya..jadi Greenpeace bebas bergerak kesana, kesini, tapi sesuai dengan jalur hukum yang ada...” (FA, 25 tahun)
102
FA mengaku saat diwawancara dan ditanya alasannya bergabung dengan Greenpeace tidak terlepas dari sisi gaji yang diberikan oleh LSM tersebut apabila FA melakukan tugasnya.
“…yaa pas ditanya Von pas di interview alasan kenapa masuk Greenpeace..yaa karena ini separuh 60% karena idealis 40% yaa karena financial, hehehe…” (FA, 25 tahun) Walaupun begitu isentif bukanlah hal utama yang ia cari saat bergabung dengan Greenpeace, karena dengan alasan ‘Demi dunia dan akherat’ merupakan salah satu alasan FA meyakinkan diri untuk bergabung dengan Greenpeace, karena apabila dibandingkan dengan isentif yang FA dapatkan ketika masih bekerja di perusahaan jauh lebih besar dari isentif yang Greenpeace berikan, seperti yang FA tekankan ketika dia beradu pendapat dengan salah satu Public Relations dari BATAN saat FA sedang melakukan kegiatan DDC di Cilandak Town Squere.
“…kalo saya kerja di perusahaan lain, gaji saya juga bisa besar, tapi karena saya cinta dengan lingkungan..yaa..saya masuk Greenpeace..” (FA, 25 tahun) Selain itu dia memandang bahwa sisi idealisme Greenpeace dalam memandang kondisi lingkungan lebih besar daripada LSM lingkungan lainnya serta aksi-aksinya yang lebih unggul. Dalam pandangan FA kondisi lingkungan Indonesia sudah tergolong sangat parah, ia mengambil contoh kondisi lingkungan Jakarta khususnya daerah bantaran sungainya yang dipenuhi oleh sampah-sampah
yang dibuang
sembarangan serta pemborosan-pemborosan.yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu pemborosan yang dilakukan oleh masyarakat adalah pemborosan energi, pemborosan ini salah satu penyebab terjadinya krisis energi. Krisis energi ini memacu pemerintah untuk mengeksploitasi lebih cepat sumber-sumber energi untuk memasok pembangkit listrik, hal ini berdampak kepada rusaknya hutanhutan alam di Indonesia.
103
Menyangkut masalah energi, FA memandang Indonesia masih terpaku dan berpatokan dengan batubara dalam memenuhi kebutuhan energinya. Sulit bagi Indonesia untuk lepas dari batubara karena ada pejabat-pejabat pemerintah yang turut serta dalam industri ini. Menurut FA apabila dibuat skala antara 1 hingga 100 kebijakan pemerintah yang mendukung sumber energi terbarukan baru sampai kisaran 25. Seharusnya pemerintah lebih mengedepankan pembangunan pembangkit listrik dengan sumber-sumber energi terbarukan, seperti energi panas bumi, angin dan air, hal ini merupakan solusi terbaik menurut FA dalam mengatasi krisis energi yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Pandangan maupun pendapat yang FA utarakan tidak datang dengan sendirinya, namun melalui proses mulai dari pelatihan awal DDC yang dia terima hingga pengalaman dan diskusi-diskusi yang terjadi saat dia sedang melakukan aktvitasnya sebagai seorang DDC. Terkadang saat FA sedang berkampanye sebagai DDC, dia bertemu dan bertukar informasi dengan orang-orang yang peduli dan memiliki pengetahuan lebih mengenai kondisi lingkungan seperti staff kehutanan dan pemandu wisata alam, hal ini menambah wawasan FA saat berkampanye. Selain itu FA menambah wawasannya akan lingkungan dengan membaca buku-buku yang terkait dengan lingkungan seperti PDB HIJAU, Kapitalisme Versus Lingkungan, dan buku-buku yang Greenpeace terbitkan. Sebelum bergabung dengan Greenpeace Asia Tenggara Indonesia FA melihat dirinya hanya sebagai ‘pecinta alam di daerah perumahan dan daerah pergaulan’, namun setelah bergabung dia memandang dirinya sebagai aktivis lingkungan Greenpeace yang independen terbebas dari segala tekanan dalam mengkampanyekan permasalahan lingkungan kepada masyarakat, hal ini memperlihatkan perubahan identitas aktivis dan identitas organisasi yang melekat pada diri FA. Menurut FA terdapat perbedaan pendapat mengenai identitas aktivis seorang DDC, beberapa orang menganggap bahwa DDC hanya sekedar karyawan yang melakukan fund raising saja bukan seorang aktivis lingkungan. Namun FA menampik anggapan tersebut dengan alasan bahwa tugas seorang DDC tidak hanya menggalang dana semata, sosialisasi kepada masyarakat ‘tanpa pandang bulu’ merupakan tugas lain dan yang utama dari seorang DDC Greenpeace.
104
Delapan bulan setelah bergabung dengan Greeanpeace Asia Tenggara, dia mengalami perubahan yang cukup signifikan, FA merasa dirinya lebih sensitif dan peduli dengan kondisi lingkungan dunia khususnya Indonesia. Oleh karena itu, FA berkomitmen untuk terus berjuang bersama Greenpeace kedepannya. Identitas kolektif yang melekat pada FA, secara ringkas ditampilkan pada matriks berikut ini.
Nam a
FA
Identitas Aktivis sebelum NonAktivis
sesudah Aktivis Lingkungan
Identitas Organisasional sebelum NonAktivis
Sesudah Aktivis Greenpeace
Identitas Taktik sebelum Tidak ada
sesudah Aksi Langsung atau NVDA
Matriks 6. Identitas Kolektif yang Melekat Pada FA.
7.5
MU : Voulenteer Greenpeace Asia Tenggara Indonesia MU adalah seorang voulenteer Greenpeace Asia Tenggara Indonesia. MU
kini berusia 29 tahun, belum menikah dan masih terhitung sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan ekonomi manajemen Universitas Titas Karya Bakti, Pontianak. Saat tingkat 1 hingga tingkat 3 MU aktif dalam kegiatan mahasiswa seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) maupun HIMEN (Himpunan Mahasiswa Manajemen). MU memiliki jiwa petualang yang besar, hal ini terlihat saat dia menjadi tenaga sukarela LSI (Lembaga Survey Indonesia) yang selalu ditempatkan di daerah-daerah pelosok Kalimantan, dia mengaku sangat menyukai kegiatan ini karena ‘sekalian jalan-jalan’ alih-alih membayar, dia malah dibayar atas hobinya tersebut. Perhatian MU terhadap lingkungan mulai terbangun saat memasuki tingkat akhir, dia bergabung dengan organisasi MAPALA dan aktif dalam kegiatankegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut. MU mengaku tergugah untuk menjadi seorang aktivis lingkungan ketika dulu berdiskusi dengan seniorseniornya mengenai kondisi lingkungan Indonesia, khususnya kondisi wilayah Kalimantan yang mulai mengalami kerusakan akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Sejak saat itu MU aktif dalam perkumpulan MAPALA seIndonesia, terakhir dia mengikuti pertemuan tahunan MAPALA se-Indonesia
105
yang diselenggarakan di Makasar pada pertengahan tahun 2009, hal ini menunjukan bahwa identitas aktivis yang melekat pada MU saat itu adalah identitas aktivis lingkungan hidup. MU resmi menjadi seorang volunter Greenpeace sejak bulan Juni tahun 2008 ketika ia masih kuliah. Awalnya MU mengaku benar-benar tidak mengenal Greenpeace, malah dia berasumsi bahwa Greenpeace adalah sejenis makanan atau sayuran. Pada tahun 2008 saat Greenpeace berencana melakukan aksi di Kalimantan, organisasi MAPALA kampusnya menerima undangan acara Greenpeace di Matari Mall, kemudian MU hadir sebagai perwakilan MAPALA kampusnya. Berkat acara tersebut MU mulai mengenal Greenpeace dan menerima banyak pengetahuan mengenai kondisi lingkungan Indonesia. Salah satu teman kuliahnya sempat mengajak MU bergabung dengan Greenpeace dengan cara mendaftarkan diri melalui internet, namun karena website tersebut menggunakan bahasa Inggris maka dia mengurungkan niatnya untuk bergabung karena alasan bahasa, sebab dirinya mengakui tidak fasih menggunakan bahasa Inggris secara aktif maupun pasif. Kemudian untuk kedua kalinya, Greenpeace mengundang MU untuk mengikuti latihan NVDA (Non-Violent Direct Action), saat pelatihan itu MU mengaku sangat menikmati acaranya. Setelah beberapa saat mengenal Greenpeace, MU memutuskan untuk bergabung sebagai Volunter dan aktif dalam aksi-aksi Greenpeace terutama aksi yang di daerah Kalimantan. Alasannya bergabung dengan Greenpeace adalah kesamaan visi dan misi Greenpeace dengan dirinya, walaupun Muksi mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui secara pasti visi maupun misi Greenpeace, yang ia ketahui hanyalah Greenpeace berjuang untuk melindungi lingkungan. Alasan lainnya adalah karena keunikan aksi-aksinya dan juga prinsip independen yang LSM ini pegang, seperti yang MU tuturkan berikut ini, “..saya pandang Greenpeace cukup cukup menarik bagus gerakannya..pertama dari keunikan aksinya beda dari aksi-aksi yang lain..kalo yang lain kan demonstrasi di jalan, klo Greenpeace beda ekstrim banget dan saya suka keekstriman yang ada di Greenpeace, contohnya kaya turun dari gedung..saya suka keekstriman dari Greenpeace, yang menariknya itu yaa di aksinya..karena…karena..saya ga pernah ikut aksi yang kaya gitu..yang dilaksanakan oleh Greenpeace, kita harus diam..kan…kalo
106
aksinya..aksinya mahasiswa, taulah kaya gimanakan.. artinya kalo artinya aksi mahasiswa itu selalu perlawananan, suka ada singgungan..tapi kalo Greenpeace kita harus diam..kita harus sabar, pertama kita harus melatih diri sabar jugakan.. dan kalo organisasi itu betul betul bergerak tanpa intervensi saya bakal ikut organisasi itu…” (MU, 29 tahun)
MU mengaku prinsip independen sudah meresap dalam dirinya dan melihat dirinya sebagai aktivis yang independen, karena dalam melakukan aktifitas sebagai aktivis lingkungan dia tidak dibayar sebab dalam pandangannya menjadi aktivis lingkungan merupakan salah satu kerja sosial sehingga dia tidak mengharapkan adanya balas jasa dari apa yang telah ia lakukan, berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat bahwa identitas taktik yang melekat pada MU adalah identitas aktivis lingkungan yang independen.
“…Saya senengnya independent..kalo kita independent siapa sih yang mau bayar kita.. kalo kita siap bergerak di organisasi yang independen, kita siap ga dibayar, harus kerja sosial…” (MU, 29 tahun) Melihat kondisi lingkungan Indonesia saat ini, MU merasa dirinya sangat prihatin. Menurutnya kondisi lingkungan terutama lingkungan Indoneisa kini ‘sudah tidak bersahabat’, terlihat dari bencana seperti banjir yang muncul dimanamana. Sebagai warga dari Kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat, ia melihat perubahan kondisi lingkungan yang sangat drastis, sebagai contoh saat MU kecil dia dapat secara bebas minum air yang berasal dari sungai kapuas,
“…di Kalimantan banyak kerusakan-kerusakan..salah satu contoh pencemaran-pencemaran air yang ada di Kalimantan..dulu di daerah saya, di daerah kabupaten, di kuburaya, jadi kalo mau ke kota pontianak pake motor klotok.itu yang ada mesinnya… klo kita mau minum aer, ya kita tinggal ambil di sungai, sekarang udah ga bisa, aernya udah kotor…” (MU, 29 tahun) Saat ditanya tentang isu batubara yang sedang Greenpeace kampanyekan, MU terlihat tidak terlalu mengerti dengan isu ini dikarenakan dirinya merasa ‘masih baru’ sehingga belum mengerti isu maupun solusi yang Greenpeace kampanyekan. Walaupun begitu MU tidak setuju dengan penggunaan batubara sebagai sumber
107
energi, karena dalam sudut pandang MU batubara sebagai bahan baku yang tidak dapat diperbarui apabila digunakan secara terus-menerus akan mengakibatkan kehancuran. MU mengaku dirinya belum mengetahui solusi revolusi energi yang Greenpeace
tawarkan
terkait
dengan
isu
batubara
serta
belum
tentu
mempercayainya walaupun solusi tersebut berasal dari Greenpeace.
“..kalo saya sih ngga selalu percaya tanpa saya liat, pikirkan dulu, saya selalu kalo percaya terhadap satu gerakan saya harus tau dulu maksud dan tujuannya..” (MU, 29 tahun) Sebagai seorang aktivis lingkungan dirinya mengaku masih berkomitmen untuk berjuang bersama LSM ini sebagai aktivis Greenpeace selama kegiatan maupun program yang Greenpeace sesuai dengan jalan pemikiran MU. Kedepannya MU belum bisa memastikan sampai kapan dirinya akan terus berjuang bersama Greenpeace, MU menjawabnya dengan sebuah ungkapan berikut ini ‘jalanin dulu,biarin seperti air yang mengalir’, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk saat ini identitas organisasi yang melekat pada MU adalah identitas aktivis Greenpeace. Identitas kolektif yang melekat pada MU, secara ringkas ditampilkan pada matriks berikut ini.
Nam a
MU
Identitas Aktivis Sebelum Aktivis Lingkung an
Sesudah Aktivis Lingkungan
Identitas Organisasional sebelum Aktivis MAPALA
Sesudah Aktivis MAPALA
Identitas Taktik sebelum Tidak ada
sesudah Aksi Langsung atau NVDA
Matriks 7. Identitas Kolektif yang Melekat Pada MU.
7.6
Analisis Identitas Kolektif yang Melekat Pada Anggota Greenpeace Greenpeace Asia Tenggara Indonesia Terkait Isu Batubara Kelima orang yang menjadi responden penelitian ini terdiri dari empat
orang anggota Greenpeace Asia Tenggara Indonesia dan seorang siswi Greenpeace University yaitu AF, AR, , FA, MU dan LH memiliki biodata yang disajikan dalam Matriks 8.
108
Nama
AF
AR
LH
FA
MU
Usia
28 tahun
27 tahun
25 tahun
25 tahun
29 tahun
Jenis kelamin
laki-laki
perempuan
Perempuan
laki-laki
laki-laki
Keanggota an GPSEA
Juru kampanye Iklim dan Energi
New Media Campaigner
Siswa GPU
Anggota DDC
Voulenteer
Tahun Keanggotaan
2008
2004
2009
2009
2008
Latar Belakang pendidikan
Sarjana Ekonomi
Sarjana Komunikasi
Insinyur
Sarjana muda
Mahasiswa jurusan Ekonomi
Aktivis LSM Education Care Units
Nonaktivis
Anggota Mapala
o Mahasiswa jurusan Teknik o Buku Greenpeace o Website GPSEA
o Pegawai Taman Nasional o Guide Taman Nasioanl o Buku Greenpea ce o aksi-aksi Greenpea ce
o Senior MAPALA,
Sejarah Peneliti Iklim Non-Aktivis keaktivisan dan Energi
Yayasan Pelangi Indonesi Framing o Hasil penelitiaan Batubara o o o o
Yayasan Pelangi, Buku Greenpeace, aksi-aksi Greenpeace Website GPSEA Website Sierra.com
o Buku Greenpeace o aksi-aksi Greenpeace
o Website GPSEA
Matriks 8. Profil Responden
Berdasarkan teori, identitas kolektif yang melekat pada kelima subjek penelitian penelitian dapat dilihat melalui tiga jenis identitas yang melekat pada dirinya yaitu identitas aktivis, identitas organisasi, dan identitas taktik ( Jasper dikutip Polletta dan James, 2002). Identitas aktivis yang melekat pada kelima responden adalah identitas aktivis lingkungan, hal ini dapat dari kepedulian mereka terhadap kondisi lingkungan, hal-hal yang telah mereka lakukan untuk menanggapi kondisi lingkungan tersebut dan partisipasi mereka dalam organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, seperti MAPALA ataupun LSM lingkungan.
109
Identitas aktivis pada diri responden, sudah ada yang terbentuk sebelum bergabung dengan Greenpace, seperti yang terlihat pada AF, LH dan MU, identitas aktivis mereka sudah terbentuk saat mereka belum bergabung dengan Greenpeace, sebab sebelumnya mereka sudah aktif dalam sebuah organisasi lingkungan, AF sebagai peneliti iklim dan energi pada Yayasan PELANGI, LH bersama-sama temannya mendirikan LSM lingkungan dan MU merupakan anggota aktif MAPALA kampusnya. Sedangkan Identitas aktivis pada anggota yang lain terbentuk setelah bergabung dengan Greenpace, seperti yang terlihat pada AR dan FA, sejarah keaktivisan mereka menunjukan bahwa mereka sebelumnya belum pernah bergabung dengan organisasi lingkungan, walaupun sebenarnya mereka memiliki ketertarikan dengan kondisi lingkungan. Identitas ini juga dapat menunjukan pemahaman mereka akan kondisi lingkungan Indonesia saat ini terkait dengan isu batubara yang sedang Greenpeace kampanyekan, karena sebagai seorang aktivis lingkungan mereka memilki pemikiran atas apa yang sedang terjadi, penyebabnya, hingga solusi yang seharusnya dilaksanakan. Berdasarkan hasil wawancara, identitas organisasi yang melekat pada responden adalah identitas organisasi Greenpeace. Hal ini terlihat dari lamanya keanggotaan dan komitmen mereka untuk terus berjuang bersama LSM ini kedepannya dengan caranya masing-masing langsung maupun tidak langsung, namun terdapat hal yang berbeda pada dua orang responden yaitu MU dan LH. Menurut MU, dirinya akan tetap komitmen bersama Greenpeace selama hal-hal yang dilakukan LSM ini sesuai dengan jalan pemikirannya atau dapat dikatakan identitas organisasi yang melekat pada dirinya bersifat temporer. Berbeda dengan MU, kedepannya LH berusaha menempatkan LSM Greenpeace sebagai ‘pendamping’, karena dirinya lebih fokus mengembangkan LSM lingkungan yang ia telah dirikan bersama kerabatnya. Di dalam identitas organisasi kelima responden terdapat identitas taktik yang melekat, hal ini sesuai dengan pendapat Jasper (dikutip Polletta dan James, 2001) yang menyatakan bahwa identitas organisasi dan identitas taktik terkadang serupa dan tidak terpisahkan, karena organisasilah yang menyusun dan melaksanakan suatu aksi. Identitas taktik yang melekat pada kelima responden adalah aksi langsung yang unik atau Non-violent Direct Action (NVDA) dan independen, identitas ini
110
juga merupakan prinsip utama dari LSM Greenpeace. Namun pada diri responden, salah satu dari identitas taktik terlihat lebih menonjol. Identitas taktik independen pada AR dan FA lebih menonjol dibandingkan dengan identitas taktik NVDA, karena mereka lebih meyakini taktik ini merupakan sumber kekuatan organisasi ketika berhadapan dengan ‘lawannya’. Pada diri AF, identitas taktik aksi langsung lebih menonjol dari identitas independen, karena identitas ini merupakan alasan AF untuk pindah dan berjuang bersama LSM Greenpeace. Sedangkan pada diri MU dan LH tidak ada identitas taktik yang lebih menonjol, mereka memaknai kedua nilai tersebut sama besar pengaruhnya sebagaimana yang mereka perlihatkan saat proses wawancara. Menurut Jasper (dikutip Polletta dan James, 2001) perbedaan identitas taktik pada diri responden adalah hal yang wajar, dimana identitas anggota suatu organisasi, terutama organisasi gerakan sosial belum tentu sama. Identitas kolektif yang melekat pada seluruh reponden merupakan hasil framing pada budaya organisasi LSM Greenpeace Asia Tenggara Indonesia, melalui pemaknaan dan interaksi mereka terhadap sebagaian ataupun seluruh media komunikasi yang terdapat pada organisasi tersebut yang terkait dengan isu batubara, media komunikasi pada LSM ini terdiri dari cerita, ritual, lambang, dan nilai-nilai yang mengandung frame gerakan sosial anti-batubara maupun prinsip utama yang LSM ini pegang selama lebih dari 30 tahun. Ritual mengenai batubara pada budaya organisasi LSM ini berupa aksi-aksi langsung anti-batura yang terdapat Greenpeace lakukan maupun kegiatan DDC serta buku pegangan ‘Biaya Batubara Sebenarnya’, nilai-nilai terdapat pada prinsip utama Greenpeace, dan lambang materi yang berupa atribut berupa baju Greenpeace maupun baju antibatubara.
Nama
AF
AR
Sejarah Peneliti Iklim Non-Aktivis keaktivisan dan Energi
LH
FA
MU
Aktivis LSM Matahari
Non-aktivis
Anggota Mapala
Yayasan Pelangi Indonesi
111
Framing Batubara
o Hasil penelitiaan Yayasan Pelangi, o Buku Greenpeace o aksi-aksi Greenpeace
o Website GPSEA o Website Sierra.com o Baju antibatubara
Identitas aktivis
Aktivis lingkungan
o Buku Greenpe ace o aksi-aksi Greenpe ace o Website GPSEA o Baju antibatubara
Aktivis lingkungan
o Buku Greenpeace
o Website GPSEA o Mahasiswa jurusan tekhnik
o Pegawai Taman Nasional o Guide Taman Nasioanl
o Senior MAPAL A,
o Buku Greenpeace o aksi-aksi Greenpeace
o Baju antibatubara
Aktivis lingkungan
Aktivis lingkungan
Aktivis lingkungan
Identitas Organisasi
Aktivis Greenpeace
Aktivis Greenpeace
Aktivis Education Care Unit
Aktivis Greenpeace
Aktivis MAPALA
Identitas taktik
Aksi langsung/ NVDA
Independen
Aksi langsung/ NVDA dan independen
Aksi langsung/ NVDA dan independen
Aksi langsung/ NVDA
Matriks 9. Framing Batubara pada Subjek Penelitian.
Setelah berinteraksi maupun memaknai Framing pada media komunikasi yang terdapat pada Greenpeace, pandangan mereka akan lingkungan maupun batubara berubah, sehingga mereka memiliki pandangan yang hampir sama antara yang satu dengan yang lain. Pada dasarnya seluruh responden memiliki agregate frame maupun consensus frame yang sama dengan Greenpeace, perbedaan terlihat ketika menjelaskan latar belakang permasalahan maupun dampak-dampak yang timbul, hal ini dikarenakan perbedaan latar belakang mereka sebelum bergabung dengan Greenpeace yang mempengaruhi pandangan mereka. Perbedaan terletak pada pemaknaan collective action frame yang melekat pada diri responden. Perbedaan pemaknaan frame ini terlihat pada hasil wawancara dengan LH dan MU. Terdapat perbedaan pada cara pandang LH dalam melihat latar belakang permasalahan terkait isu batubara dan cara menyelesaikan masalah batubara, perbedaan ini karena sebelumnya LH sudah memiliki pemikiran sendiri mengenai isu tersebut, pemikirannya itu lahir dari
112
hasil interaksi LH dengan teman kuliahnya di jurusan Teknik, Universitas Indonesia. Pada MU, dirinya mengaku belum pernah berinteraksi dengan semua media komunikasi yang terkait dengan isu batubara, dirinya beralasan sejak bergabung sebagai volunter di Kalimantan ia lebih fokus pada isu-isu hutan dibandingkan dengan isu batubara. Sedangkan collective action frame yang melekat pada AF, AR dan FA sama dengan collective action frame terkait dengan isu batubara, karena berinteraksi dengan media komunikasi Greenpeace, dimana AF sebagai juru kampanye tentu saja pemikirannya selaras dengan LSM ini, AR sebagai new media campaigner yang bertugas menyebarluaskan kegiatan Greenpeace melalui dunia maya, dapat dipastikan akan berinteraksi dengan semua media komunikasi Greenpeace dan yang terakhir FA, sebagai anggota dari DDC, dirinya ‘dipaksa’ untuk berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan seluruh media komunikasi LSM ini agar pengetahuannya bertambah setiap saat. Walaupun terdapat perbedaan, framing batubara pada organisasi ini dapat dikatakan berhasil dengan berubahnya sebagian ataupun seluruh identitas kolektif anggota yang menjadi responden penelitian ini. Selain itu, selarasnya frame gerakan sosial yang melekat anggota LSM Greenpeace termasuk ke dalam suatu keberhasilan, hal ini yang didasari oleh gagasan atau argumen yang mereka kemukakan mengenai kondisi lingkungan Indonesia, khususnya dalam konteks isu batubara.
113