GANG DI KOTA PEKANBARU (KEHIDUPAN DAN KEBERADAAN DALAM PROSES PEWARISAN NILAI GANG ; SUATU KAJIAN KASUS )
TESIS OLEH: ASWIN AZHAR SIREGAR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2008
ABSTRACT SIREGAR, ASWIN AZHAR, SIK, Gang In Pekanbaru City ( A Case Analysis of Gang’s Life and Existence in a Process of Gang’s Value Inheritance ). Guided by Dra. Auda Murad, M.A. dan Ir. Mardianto Manan, M.T. The objective of the research is to analyze the life, the existency and the development of gang’s value and the process of inheritance by the young generation of the gang. By using the theory and concept of Primary Group, Gang, Urbanism, Delinquent Subculture and Differential Association, the Writer analyzed the gang’s problem in the context of city life. Miller concluded that “...youth Gangs were accurately seen as a predominantly urban phenomenon”. Since 1998, most of the city in Indonesia has undergone the gang’s problems even the case, in which the youth group were involved, has increased drastically by ten times based on police’s record during 1986 to 2005. This phenomenon also happen in Pekanbaru City especially in a trading zone named Pasar Bawah and its surrounding. This research has taken place in that area for almost six months starting June 2007 till January 2008. This research was conducted in a qualitative approach. To collect all the data, the Writer has interviewed all the key informan by in-depth interview. The Writer has also observed the object in the field and studied many related documents. Only in this trianggulation model the best answer to the research questions could be found. Finding of the research is that the gangs in Pasar Bawah Pekanbaru have the characteristic which’s possibly traced to the beginning of group development, that is the childhood and teenage period. Pasar Bawah and all other factors inside this area has played an important role to the gang’s development and the variety of gang’s activities. The most powerful gang in Pasar Bawah is Gang KD. This Gang has the characteristic of primary group and primary relations which is observable. Gang KD is a solidified type gang which means the relationship between the gang's member tied strongly. Some conflict inside and outside the gang has developed the group conciousness and group solidarity. Nevertheless, the gang’s activities is against the general norm of society. Gang KD has shown a non corforming activities so that it has developed the gang’s subculture and make the members feel no fear of social sanction or formal (law) sanction. A dominant subculture inside this gang is a criminal subculture but, sometimes, it has also the conflict subculture and retreatist subculture. The Gang’s tradition and value has transmitted to the new recruits or candidates trough a closed relationship and intimacy. A senior gang’s member is a role model for the new one (junior). Gang has become a mean of delinquency technic transfer. Based on the finding and analysis, a recomendation has been given to the local authority to begin a redevelopment of the area and provide the social facilities which is not congenial for the growth of the gang including criminal gang or criminal organization. Finally, delinquency and crime must be prevented and controlled to maintain security and order and to create a civil society that life in harmony.
ABSTRAK ASWIN AZHAR SIREGAR, SIK. Gang Di Kota Pekanbaru (Kehidupan dan Keberadaan Dalam Proses Pewarisan Nilai Gang : Suatu Kajian Kasus). Dibimbing oleh Dra. Auda Murad, M.A. dan Ir. Mardianto Manan, M.T. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan gang dan proses pembentukan nilai serta diwarisinya nilai tersebut oleh penerus gang. Selanjutnya, dengan dilandasi oleh Teori dan konsep Primary Group, Gang, Urbanism, Subculture Delinquent dan Differential Association, penulis mencoba menganalisis permasalahan gang dalam konteks sosiologi perkotaan. Miller menyimpulkan “…youth Gangs were accurately seen as a predominantly urban phenomenon”. Sejak tahun 1998 hampir semua daerah di Indonesia menghadapi “Gang problems” bahkan pertambahan kasus kejahatan yang melibatkan kelompok anak muda atau “youth Gang” tercatat pada pihak kepolisian menjadi lebih dari 10 kali lipat dari tahun 1986 sampai tahun 2005. Demikian pula di Kota Pekanbaru, khususnya di pusat perdagangan yang terkenal dengan nama Pasar Bawah, fenomena ini juga terjadi. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan di Pasar Bawah Pekanbaru dan Sekitarnya selama lebih kurang 6 bulan terhitung mulai Juni 2007 sampai Januari 2008. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh data-data, Peneliti melakukan wawancara terhadap sumber-sumber informasi. Wawancara dilakukan secara terstruktur dan mendalam. Peneliti juga melakukan pengamatan di lapangan dan mempelajari dokumen-dokumen terkait dengan permasalahan penelitian. Temuan peneliti adalah gang-gang di Pasar Bawah memiliki karakteristik yang dapat ditelusuri dari masa awal terbentuknya gang, yaitu masa kecil dan masa remaja. Keberadaan Pasar Bawah dan perkembangannya juga merupakan variabel penting dalam pembentukan gang serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Gang. Gang yang paling berkuasa di Pasar Bawah adalah Gang KD yang memiliki karakteristik primary group dan primary relations yang cukup kuat sehingga dapat diamati (observable). Tipe Gang KD adalah Solidified Type, artinya Gang KD memiliki ciri-ciri ikatan antar anggota yang solid. Beberapa konflik yang dialami oleh gang, semakin menguatkan group conciousness dan group solidarity di dalam Gang. Meskipun kegiatan gang, tercermin melalui tindakan dan sikap anggota gang, bertentangan dengan norma umum yang berlaku di masyarakat, tetapi terbentuknya subculture gang membuat anggota gang tidak takut terhadap sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum. Subkultur dominan pada gang KD adalah subkultur kriminal. Namun, subkultur konflik dan retreatist juga ditemukan. Nilai-nilai Gang diwarisi oleh calon anggota gang atau penerus gang melalui hubungan yang intim. Senior adalah role model bagi para anggota baru atau anggota muda. Gang adalah sarana penyebaran teknik delinquency. Berdasarkan hasil penelitian ini, saran diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk mulai menata pembangunan kota dan memperbaiki sarana prasarana sosial sehingga pembentukan gang-gang kriminal dapat dicegah demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat kota.
ii
GANG DI KOTA PEKANBARU (KEHIDUPAN DAN KEBERADAAN DALAM PROSES PEWARISAN NILAI GANG : SUATU KAJIAN KASUS )
OLEH : ASWIN AZHAR SIREGAR, SIK
TESIS SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR MAGISTER PADA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS RIAU
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2008
iii
Lembar pengesahan Judul tesis
: Gang Di Kota Pekanbaru (Kehidupan Dan Keberadaan Dalam Proses Pewarisan Nilai Gang : Suatu Kajian Kasus).
Nama
: ASWIN AZHAR SIREGAR, SIK
Nomor Mahasiswa
: 06102245889
Program Pendidikan : MAGISTER Program Studi
: SOSIOLOGI Menyetujui Komisi Pembimbing
Dra. Auda Murad, M.A Ketua
Ir. Mardianto Manan, M.T. Anggota
Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana
Sosiologi
Universitas Riau
Drs. Swis Tantoro, MSi
Prof. Dr. Rasoel Hamidy, MS
Tanggal ujian : 13 Februari 2008
iv
Riwayat Hidup Singkat
1. Nama
: ASWIN AZHAR SIREGAR
2. Pangkat/Nrp
: Komisaris Polisi / 74120630
3. Tpt/tgl. Lahir
: Tapanuli Selatan, 28 Desember 1974
4. Kesatuan
: Ditlantas Polda Riau
5. Jabatan
: Kepala Seksi STNK
6. AKPOL
: Lulus thn. 1996
7. PTIK
: Angkatan XLIII thn. 2006
8. Kursus/Dik
: a. Pendidikan Dasar Perwira Lalu Lintas 1997 b. KIBI Hankam level IV Advanced c. Kursus Bahasa Belanda Erasmus Huis 1999 d. PIVM Apeldoorn Nederlands / Traffic Accident Analysis 2000 e. Traffic Co-Locator Course, UN IPTF Sarajevo, Bosnia and Hercegovina 2001 f. Field Training Officer Course, UN IPTF Sarajevo, Bosnia and Hercegovina 2002 g. Middle Management Course, CoESPU, Vicenza, Italy, 2007
9. Jabatan
: a. Paur Pamtol Pus PJR Ditlantas Polri 1997 b. Waka Induk PJR Cikampek 1998-2000 c. Guru Muda I Pusdik Lantas Polri Serpong 2000-2002 d. Kasat Lantas Polresta Tanjung Pinang Polda Riau 2003 e. Kapolsek Kabil Poltabes Barelang Polda Riau 2004 f. Kasubbag Renmin Ditlantas Polda Riau 2006
v
10. Penugasan
: a. Tugas Belajar : PIVM Apeldoorn Nederlands, 1999-2000 b. Kontingen Garuda XIV-14 Bosnia Hercegovina, 2001-2002 c. CoESPU Peace Keeping Training Program Vicenza, Italia, 2007
Pekanbaru,
Januari 2008
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini dalam bentuk Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Universitas Riau. Penulis menyadari akan segala keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki sehingga apa yang tertuang dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian tidaklah berlebihan apabila penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna setidak-tidaknya bagi penulis sendiri sebagai cermin kemampuan dan selanjutnya sebagai pemacu untuk berkembang di masa depan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis berusaha untuk memenuhi kewajiban menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk Tesis dengan judul “Gang Di Kota Pekanbaru (Kehidupan dan Keberadaan Dalam Proses Pewarisan Nilai Gang : Suatu Kajian Kasus)”. Penulis pun menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan mampu berbuat banyak dalam penulisan ini. Untuk itu tiada kata yang pantas untuk diucapkan kecuali terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya kepada Pembimbing Materi Ibu Dra. Auda Murad M.A. dan Ir. Mardianto Manan, M.T. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada: 1. Rektor UNRI Prof. Dr. Ashaluddin Jalin M.S., beserta seluruh staf yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan Tesis ini.
vii
2. Bapak Kapolda Riau, Dirlantas dan Wadir Lantas yang telah memberikan izin, arahan, dan bantuan selama proses penelitian. 3. Orang tua penulis dimana pada saat penulis merampungkan studi beliau senantiasa memberikan dorongan dan doa. 4. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Urban Studi Angkatan VI Program Pasca Sarjana UNRI, Rekan Alfis, Syahril, Ronald Rumondor, Bang Ady Wibowo dan Bang Yulmar. 5. Seluruh informan khususnya yang berada di Pasar Bawah dan Sekitarnya 6. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak membantu dalam penyusunan Tesis ini. Dan akhirnya dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini kepada UNRI almamater tercinta dan Polri. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi Masyarakat, Pemerintah Kota Pekanbaru, khususnya bagi pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pekanbaru, Februari 2008 Penulis
ASWIN AZHAR SIREGAR
viii
DAFTAR ISI
Halaman Daftar isi ........................................................................................................
ix
Daftar tabel dan chart ....................................................................................
xi
Daftar gambar ................................................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...................................................................................
1
1.2 Permasalahan.....................................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelompok sosial atau ”social group” dan “primary group”............
10
2.2 Gang .................................................................................................
19
2.3 Gang Dan Perkembangan Kota .........................................................
38
2.4 Delinquent Subculture .......................................................................
43
2.5 Differential association ......................................................................
51
2.6 Konsep Operasional ...........................................................................
55
III. GAMBARAN JALANNYA PENELITIAN 3.1 Pendekatan Dan Metode Penelitian .................................................
62
3.2 Prosedur Pengumpulan Data .............................................................
73
3.3 Prosedur Analisis Data......................................................................
78
ix
Halaman IV. KEHIDUPAN PENDUDUK DI PASAR BAWAH PEKANBARU 4.1 Jumlah Penduduk Dan Penyebarannya Di Pasar Bawah Dan Sekitarmya
82
4.2 Etnis Masyarakat Di Sekitar Pasar Bawah ............................................
85
4.3 Mata Pencaharian Dan Kemiskinan …………...………………….
86
4.4 Tingkat Pendidikan .............................................................................
89
4.5 Sarana Dan Prasarana Sosial Dan Keamanan Di Sekitar Pasar Bawah ....
90
V. ANALISIS
TENTANG
KEBERADAAN
GANG
DI
PASAR
BAWAH
PEKANBARU 5.1 Kelompok-Kelompok Sosial Dan Gang Di Pasar Bawah ….....…...
97
5.2 Karakteristik Gang Dan Profil Anggotanya ......................................
107
5.3 Kegiatan-Kegiatan Gang ..................................................................
131
VI. ANALISIS SUB CULTURE GANG DAN PROSES PEWARISAN NILAI GANG 6.1 Pola Kegiatan Dan Subculture Gang ................................................
138
6.2 Proses Belajar Dan Penerusan Nilai Dalam Kelompok ……………
151
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan .........................................................................................
161
7.2 Rekomendasi ................................................................................................. 165
x
Daftar Tabel dan Chart
Halaman 1. Tabel 2.1
Charactersistic Of Primary Group And Secondary Group….
18
2. Tabel 2.2
Interaction Scale Indikator ....................................................
22
3. Tabel 2.3
Impact of Gang : Membership and Various Risk Factors on The Incidence of Self-Reported Violence (Males Only) ......
4. Tabel 4.1
31
Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kelurahan/ Kampung Sekitar Pasar Bawah .............................................
83
5. Tabel 4.2
Jumlah RW, RT dan Keluarga (KK) di Sekitar Pasar Bawah
84
6. Tabel 4.3
Distribusi Penduduk Menurut Etnis di Kelurahan/Kampung Sekitar Pasar Bawah ..............................................................
85
7. Tabel 4.4
Jumlah Pedagang di Pasar Bawah .........................................
86
8. Tabel 4.5
Data Keluarga Miskin di Kecamatan Senapelan ...................
89
9. Tabel 4.6
Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Senapelan ......
90
10. Tabel 4.7 Jumlah Sekolah di Kelurahan/Kampung Pasar Bawah .........
91
11. Tabel 4.8 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kelurahan/Kampung Sekitar Pasar Bawah ..........................................................................
92
12. Tabel 4.9 Tempat Hiburan Umum di Kelurahan/Kampung Sekitar Pasar Bawah ....................................................................................
92
13. Tabel 5.1 Tipe-Tipe Kelompok di Pasar Bawah Pekanbaru ..................
98
14. Tabel 5.2 Indikator hubungan Primer Ditinjau Dari ”Usual Phisical Conditions” ...........................................................................
101
xi
15. Tabel 5.3 Relationship Indikator : Normative Requirements Pada Kelompok-Kelompok di Pasar Bawah Pekanbaru ................
104
16. Tabel 5.4 Sanksi dan Kontrol Dalam Kelompok-Kelompok di Pasar bawah
107
17. Tabel 5.5 Reaksi Positif Antar Anggota Gang KD ...............................
113
18. Tabel 5.6 Pemecahan-Pemecahan Masalah Dalam Gang KD ..............
118
19. Tabel 5.7 Reaksi Negatif Sesama Anggota Gang KD ..........................
123
20. Tabel 5.8 Indikator ”Bertanya” Antar Anggota Gang KD ...................
126
21. Tabel 5.9 Umur dan Jenis Kelamin Anggota Kelompok KD yang TerCatat di Kantor Polsekta Senapelan ......................................
129
22. Tabel 5.10 Tempat Tinggal Anggota Berdasarkan RW .........................
130
23. Chart 5.1 Tingkat Pendidikan Warga Kampung Dalam .......................
127
xii
Daftar gambar
Halaman 1. Gambar 2.1 Proses Terjadinya Kelompok ...................................................
12
2. Gambar 2.2 Natural History Of The Gang ...................................................
29
3. Gambar 3.1 Kerangka Teoritis : Gang Di Kota Pekanbaru (Kehidupan dan Keberadaan Dalam Proses Pewarisan Nilai Gang : Suatu Kajian Kasus).......
61
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Freeh (1994), Direktur Federal Buereau of Investigation, “FBI”, dalam tulisannya yang berjudul “Responding To Violent Crime In America” di dalam FBI Bulletin, Law Enforcement, 1994 mengetengahkan istilah “Epidemic of Violence” atau wabah kekerasan yang mungkin tepat untuk menggambarkan realitas kejahatan yang tengah berkembang di dunia sejak abad ke-20. Fenomena ini terjadi di kota-kota di dunia, terutama di kota-kota negara-negara dunia ketiga. Sehubungan dengan wabah kekerasan “epidemic of violence”, Miller (2001) dalam laporan penelitiannya “The Growth of Youth Gang Problems in the United States 1978-1990” secara lebih khusus dan rinci mencoba menjelaskan perkembangan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anak muda “youth Gang” di Amerika Serikat dan membuat kesimpulan bahwa: “The last quarter of the 20th century was marked by significant growth in youth Gang problems across the United States. In the 1970’s, less than half the States reported youth Gang problems, but by the late 1990’s, every State and the District of Columbia reported youth Gang activity”. Selanjutnya Miller (2001) mengatakan bahwa “…youth Gangs were accurately seen as a predominantly urban phenomenon”. Berdasarkan kondisi tersebut, Miller (2001) memprediksi Gang akan berkembang secara drastis pada masa yang akan datang, sebagaimana yang dijelaskannya bahwa “…during a time period comprising roughly the last three decades of the 20th century, experienced
1
Gang problems in more identified localities than at any other time in history. If the past is any guide, this period, during which the number of Gang localities reached an unprecedented level, will be followed by a period of reduced prevalence…”. Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga mengalami hal yang sama berkaitan dengan “epidemic of violance” khususnya permasalahan “Gang”. Fenomena ini banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Jakarta awal tahun 1997, terjadi perkelahian massal antara Gang yang dipimpin oleh Hercules dengan “Gang” yang dipimpin oleh Jose de Frates (Yus) yang memperebutkan wilayah pertokoan di Tanah Abang. Perkelahian massal tersebut mengakibatkan macetnya perputaran roda ekonomi di kawasan itu (Herliyanto, 1997). Di awal tahun 90-an tidak banyak daerah yang melaporkan permasalahan Gang atau“Gang problems”, namun sejak tahun 1998 hampir semua daerah melaporkan menghadapi “Gang problems”. Laporan lima tahunan Mabes Polri (2006), sejak tahun 1980 sampai dengan 2005 tercatat pertambahan kasus kejahatan yang melibatkan kelompok anak muda atau “youth Gang”. Laporan yang tercatat pada pihak kepolisian menjadi lebih dari 10 kali lipat dalam periode 1986-2005 dimana pada periode 1986 – 1990 hanya ada 1634 kasus, meningkat menjadi 2728 kasus pada periode 1991-1995, dan meningkat secara tajam menjadi 6771 kasus pada periode 1996-2000, dan selanjutnya terindentifikasi 9228 kasus pada periode 2001-2005. (Mabes Polri, 2006). Jumlah ini tentu akan lebih besar seandainya semua kejahatan yang terjadi dalam masyarakat dilaporkan atau tercatat pada kepolisian. Diperkirakan jumlah yang tidak dilaporkan hampir sama
2
atau mungkin lebih banyak dibandingkan dengan kasus yang tercatat di kantor kepolisian. Rukmana (2005) menjelaskan meningkatnya kejahatan yang dilakukan kelompok anak muda, salah satunya disebabkan berkembangnya sub kebudayaan modern yang tidak terlepas dari konteks perubahan sosial yang mengikutinya. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat urbanisasi diyakini juga sebagai faktor lain yang menyebabkan meningkatnya kejahatan dalam masyarakat perkotaan (Anaroga, 1989). Selanjutnya Suparlan (1996) menjelaskan bahwa urbanisasi di satu pihak dapat menguntungkan tingkat perkembangan dan kesejahteraan hidup di kota, tetapi di lain pihak juga dapat menyebabkan kemerosotan kondisi dan tingkat kesejahteraan hidup di kota. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu kota menyebabkan persaingan tenaga kerja terdidik semakin kompetitif. Akibatnya, tenaga-tenaga kerja yang tidak dan kurang terdidik semakin terpinggirkan karena kalah bersaing dan akhirnya tingkat pengangguran menjadi tinggi, sehingga muncul kegiatankegiatan ekonomi sektor informal dan di ikuti dengan kriminalitas serta berkembangnya pemukiman kumuh (Suparlan, 1996). Kota Pekanbaru salah satu kota yang relatif besar jumlah penduduknya dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 3,45 persen pada 1990 – 2005 (BPS 2006) mengalami hal yang sama dimana selama tahun 5 tahun (2001-2005) terakhir tercatat 741 kasus yang dilaporkan sebagai akibat tindakan kelompok anak muda atau rata-rata 11 kasus per bulan (Poltabes Pekanbaru Tahun, 2000 - 2006). Korban dalam kasus tersebut tercatat 17 orang meninggal dunia dan kerugian materil kurang lebih 4,07 Milyar Rupiah. Korban dan kerugian itu akan semakin
3
besar jika dilihat dari dampak sosial yang ditimbulkan seperti: perasaan tidak aman dan rasa takut masyarakat, penundaan investasi, kemunduran usaha para investor, bahkan kerugian yang mengakibatkan bangkrutnya sebuah perusahaan (Poltabes Pekanabaru, 2006). Tindakan Gang yang kerap terjadi diantaranya; pencurian dengan kekerasan (jambret),
praktek
“premanisme”
berupa
pemerasan,
pengrusakan
dan
pengancaman yang sasaran kejahatan ini biasanya para pelaku usaha yang menempati ruko (rumah toko) sebagai tempat usahanya. Pengalaman yang penulis alami sendiri, terhadap tindakan pemerasan dan pengancaman dari anggota Gang di lingkungan Pasar Bawah Pekanbaru terjadi pada tahun 2007, ketika akan membongkar barang kiriman milik kantor dimana penulis bekerja. Anggotaanggota Gang meminta uang fee kepada penulis, mereka menyebutnya sebagai kompensasi bongkar muat, sebagai tanda “sahnya” kegiatan pembongkaran barang kiriman dari truk pengangkut ke gudang di kantor Penulis. Saat itu penulis sangat marah, karena kantor dimana penulis bekerja adalah instansi resmi pemerintah yang mengurusi masalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum (Polri). Jika di kantor Polri saja, anggota “Gang” berani meminta fee bongkar muat, tentu bongkar muat yang dilakukan di ruko-ruko yang ada di sekitar kantor penulis khususnya harus tunduk pada aturan “Gang” tersebut. Rumah toko (ruko) banyak terdapat di kota Pekanbaru yang berfungsi sebagai rumah tempat tinggal dan tempat usaha, mulai dari usaha perdagangan, perbengkelan, apotik, rumah makan, perkantoran, penginapan, bahkan untuk tempat tinggal dan peruntukan lainnya merupakan incaran operasi dari “Gang”
4
tersebut. Salah satu wilayah tersebut adalah Pasar Bawah Pekanbaru, di wilayah Kampung Dalam, Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru. Pasar ini sangat populer bukan hanya sebagai pasar tertua di Pekanbaru tetapi juga sebagai pasar yang menyediakan berbagai jenis barang mulai dari barang dalam negri sampai barangbarang import. Begitu populernya pasar ini, sehingga bagi wisatawan yang berkunjung ke Pekanbaru, jika belum pergi ke Pasar Bawah berarti belum mengunjungi Pekanbaru sehingga Pasar Bawah juga sering disebut sebagai “pasar wisata”. Namun pada sisi lain, Pasar Bawah juga identik dengan kehidupan “Gang” yang kuat. Gang terbesar dan paling berkuasa di Pasar Bawah bernama ”Gang Kampung Dalam”. Berdasarkan hasil rekapitulasi data Gangguan kamtibmas Polsek Senapelan, dalam setahun terakhir ini masyarakat telah mengalami dan menyaksikan Gangguan keamanan seperti pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian dengan kekerasan (curas), jambret, pemerasan oleh kelompok pemuda (Gang), pengrusakan, pengancaman, bahkan penipuan sampai pencurian ringan dan berat, sebanyak 138 kali. Data selengkapnya lihat pada lampiran 1 ’Data Kejahatan 2005-2007 Per Kelurahan’ (Polsekta Senapelan, 2007). Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa angka kejahatan yang tercatat pada kepolisian baik didalam wilayah Pekanbaru khususnya hanya merupakan index laporan masyarakat yang tercatat di Poltabes Pekanbaru (sudah termasuk data dari Polsek Senapelan dan Pospol Pasar Bawah Senapelan), sedangkan yang tidak diketahui, atau diketahui tapi tidak dilaporkan, atau dilaporkan tetapi tidak dicatat jumlahnya dapat melebihi. Kawasan Pasar Bawah Kecamatan Senapelan merupakan beat area (daerah rawan kejahatan) yang
5
mendapat penanganan khusus dari pihak Poltabes Pekanbaru. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah (Polri Cq. Poltabes Pekanbaru 2007) dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat khususnya dalam menekan angka kejahatan dan jumlah korban akibat tindakan kekerasan/kejahatan yang dilakukan oleh Gang tersebut upaya tersebut adalah : (1) kegiatan-kegiatan penyuluhan dan penerangan masyarakat, (2) penertiban dan pengawasan kegiatan masyarakat, seperti perijinan untuk keramaian, (3) kegiatan pendidikan dan latihan masyarakat, seperti pelatihan pengaturan penjagaan dan patroli awak Pos kamling, pelatihan penggunaan kentongan, membunyikan tanda bahaya (alarm) serta membentuk, melatih dan menggiatkan kelompok-kelompok sadar kamtibmas, (4) kegiatan rehabilitasi masyarakat, meliputi : pembinaan tuna sosial dan remaja nakal, (5) kegiatan pengumpulan informasi dari masyarakat, seperti observasi, penyebaran angket dan wawancara (Poltabes Pekanbaru, 2006). Tetapi fenomena kejahatan ini sampai sekarang masih belum teratasi. Usaha-usaha untuk memahami permasalahan Gang dan pemecahannya telah banyak diteliti oleh para Sosiolog dan Kriminolog. Theodorson (1969) dalam Modern Dictionary of Sociology mengatakan bahwa Gang adalah: “A group of individuals that share a common identity, even if that identity consists of little more than their association with one another”. Ketertarikan para pakar bukan hanya pada perumusan definisi dan konsep Gang dalam konteks sosiologi dan kriminologi, tetapi juga dalam menemukan hubungan Gang dengan penyimpangan perilaku (delinquent/juvenile) serta kejahatan yang melibatkan Gang. Moore (1991) menyatakan dalam hasil penelitian yang dipublikasikan oleh OJJDP (Office of Jufenile and Justice
6
Departement Program) bahwa “…Gangs are no longer just at the rowdy end of the continuum of local adolescent groups—they are now really outside that continuum” (1991:132)”. Demikian pula Klein membuat kesimpulan yang sama“…street Gangs are something special, something qualitatively different from other groups and from other categories of law breakers” (1995:197). Meskipun para pakar dan peneliti Gang tersebut memandang Gang sebagai sesuatu yang “qualitatively different,” namun tidak sebuah studi pun yang terlepas dari pembahasan pengaruh keanggotaan Gang dari pengaruh pergaulan kawan sebaya dalam keterlibatan perilaku menyimpang atau kejahatan (Klein, 1995). Dari penjelasan latar belakang di atas, teori, konsep dan definisi serta hasilhasil penelitian terdahulu tentang Gang yang dirujuk penulis, asumsi penulis adalah bahwa Gang adalah kelompok primer (primary group) terbentuk dari orang-orang yang memiliki hubungan-hubungan primer (primary relation) yang tumbuh dan berkembang searah dengan kehidupa kota yang negatif (urbanism) dimana Gang tersebut mampu bertahan dari waktu ke waktu karena terbentuknya sub kebudayaan Gang (subculture delinquent) dalam kelompok tersebut yang terus diwariskan melalui proses belajar diantara orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan akrab (differential association). Berdasarkan kenyataan di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian mengenai kegiatan yang dilakukan Gang dan anggota-anggotanya di suatu wilayah dan bagaimana Gang tersebut dapat mempertahankan eksistensi kelompoknya dari waktu ke waktu ditinjau dari teori dan konsep sosiologi perkotaan. Secara khusus, topik dan penekanan dalam penulisan ini adalah kajian
7
terhadap kegiatan-kegiatan Gang dan kehidupan para anggotanya serta proses pewarisan nilai-nilai Gang dari generasi ke generasi. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan pokok yang dijadikan sebagai obyek penelitian adalah Eksistensi setiap Gang dan bentukbentuk kegiatan yang dilakukan oleh Gang tersebut di Pasar Bawah Pekanbaru. Hal yang ingin dianalisa dalam penulisan ini adalah sehubungan dengan keberadaan Gang di Pasar Bawah yang terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya serta pembinaan keberlangsungan Gang-Gang tersebut dari waktu ke waktu. Teori kelompok primer (primary group theory), konsep urbanisme (urbanism), delinquent subculture dan differential association. Beberapa pertanyaan kunci yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Siapa saja Gang yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru? 2. Bagaimana karekter Gang dan profil anggotanya? 3. Apa saja bentuk kegiatan Gang di Pasar Bawah Pekanbaru? 4. Bagaimana Gang tersebut membina kelangsungan hidup kelompoknya sehingga nilai-nilai yang berlaku dalam Gang tersebut dapat diwarisi oleh penerusnya? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Mengacu kepada masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk :
8
1. Mengidentifikasi Gang-Gang yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru. 2. Memahami karekteristik Gang yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru dan profil anggotanya. 3. Mengetahui bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Gang di Pasar Bawah Pekanbaru. 4. Menganalis bagaimana Gang tersebut membina kelangsungan hidup kelompoknya serta proses pewarisan nilai-nilai di dalam Gang tersebut. 1.2. Manfaat Penelitian Signifikansi penelitian ini adalah : (1) pentingnya pemahaman tentang perkembangan kota dan perkembangan kehidupan masyarakat yang menyertainya, (2) memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sisi lain kehidupan perkotaan kepada para pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam (3) mengambil kebijakan pembangunan dan penataan kota. Maka, manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat akademis: mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama Kajian Perkotaan tentang kehidupan kelompok masyarakat di perkotaan. 2. Manfaat praktis adalah sebagai bahan masukan dalam rangka pengambilan kebijakan oleh Pemerintah dalam penanganan permasalahan yang timbul sebagai dampak dari perkembangan kota terutama yang menyangkut aksiaksi Gang (Gangster Action).
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi tentang Gang di Pasar Bawah Pekanbaru memerlukan kerangka konsepsi penelitian. Tujuan kerangka konsepsi adalah untuk menentukan variabel-variabel penelitian berhubungan dengan kerangka teoritis secara empiris, sehingga arah penelitian menjadi jelas. Untuk mengetahui data dan fakta mengenai gejala yang menjadi pokok perhatian, kerangka konsepsi penelitian sangat diperlukan untuk membatasi ruang lingkup penelitian, agar penelitian ini menjadi lebih fokus pada permasalahan yang akan diteliti dan dalam hal ini adalah Gang yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru. Bagian ini meliputi identifikasi secara sistematis teori, konsep, generalisasi, penemuan dan analisis penelitian yang berkaitan dengan permasalahan pokok penelitian, serta menyediakan kerangka konsepsi atau teori untuk penelitian yang telah dilakukan. Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, akan diambil beberapa hasil penelitian yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam bab I telah dijelaskan bahwa permasalahan yang diteliti dititikberatkan pada masalah adanya kegiatan Gang di Pasar Bawah Pekanbaru terkait dengan perkembangan Kota Pekanbaru serta proses pewarisan nilai-nilai Gang. 2.1 Kelompok Sosial atau ”Social Group” dan Primary Group 2.1.1 Kelompok Sosial Kelompok Sosial atau Social Group adalah himpunan atau kesatuan-‐ kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara
10
mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal-‐balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Broom dan Selznik (1963) menjelaskan bahwa Kelompok sosial biasanya ditandai dengan kesadaran setiap anggota kelompok tersebut bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan. Maka dalam interaksi antar anggota kelompok terjadi dalam bentuk hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya. Salah satu ciri kelompok sosial yang dipersyaratkan Hess dkk. (1988) adalah adanya suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-‐anggota kelompok. Faktor tadi dapat berupa nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-‐lain. Kesamaan tujuan, misalnya, membuat kelompok harus memiliki struktur, kaidah dan pola perilaku yang menjadi pedoman anggotanya. Menurut Bales dan Smith dalam Wirawan (1997) yang dimaksud dengan kelompok adalah ”satuan (unit) yang terdiri dari 2 orang atau lebih yang melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu”. Semantara itu, menurut Cart wright dan Zander, Fiedler dan Lewin juga dalam Wirawan (1997) ”kelompok adalah kumpulan individu yang saling ketergantungan, dengan melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok dan saling ketergantungan, maka dapat timbul cohesiveness”. Selanjutnya, Wirawan (1997) mengutip Cota, dkk. (1995) menjelaskan bahwa yang dimaksud cohesiveness dalam kelompok adalah “suatu kelompok dimana diantara anggota-anggota nya terjadi hubungan yang sangat erat“. Hubungan yang sangat erat tersebut dapat terjadi karena dalam diri setiap
11
anggota kelompok terdapat ikatan emosional atau ikatan bathin, ada perasaan diterima oleh kelompoknya, merasa senasib dan sepenanggungan. Selain itu, dalam diri masing-masing anggota merasa bahwa kelompok tersebut sangat penting buat dirinya, sehingga ada dorongan untuk tetap tinggal didalam kelompok tersebut dan tidak ada keinginan untuk meninggalkannya. Situasi dan kondisi inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan solidaritas kelompok. Pembentukan kelompok dapat diawali dengan adanya persepsi, perasaan atau motivasi, dan tujuan yang sama dalam memanuhi kebutuhannya. Seperti yang terlihat dalam bagan berikut ini: Gambar 2.1 Proses Terjadinya Kelompok Perasaan Motivasi
Tujuan Interakasi Pembentukan Perpecahan
Perubahan Penyesuaian Sumber: Hidayat, 2004, Dinamika Kelompok Sosial
Penjelasan dari bagan di atas adalah sebagai berikut : pembentukan kelompok diawali dengan adanya perasaan atau persepsi yang sama dalam memenuhi
12
kebutuhan. Setelah itu akan timbul motivasi untuk memenuhinya, sehingga ditentukanlah tujuan yang sama dan akhirnya interaksi yang terjadi akan membentuk sebuah kelompok. Pembentukan kelompok dilakukan dengan menentukan kedudukan masingmasing anggota. Interaksi yang terjadi suatu saat akan memunculkan perbedaan antara individu satu dengan lainnya sehingga timbul perpecahan (konflik). Perpecahan yang terjadi bisanya bersifat sementara karena kesadaran arti pentingnya
kelompok
tersebut,
sehingga
anggota
kelompok
berusaha
menyesuaikan diri demi kepentingan bersama. Akhirnya setelah terjadi penyesuaian, perubahan dalam kelompok mudah terjadi Salah satu pengklasifikasian kelompok sosial yang dikenal dalam literatur sosiologi adalah adalah primary dan secondary group. Secara singkat primary group digambarkan oleh Broom and Selznik (1969) sebagai kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan. Selanjutnya, Broom and Selznik (1969) dalam Sosiology: A Text With Adapted Readings, Third Edition menjelaskan bahwa berbagai group dalam masyarakat seperti keluarga, group tentara, Gang anak muda, dan pekerja-pekerja di suatu toko dapat dikatakan sebagai ”Primary Group” sebab mereka terbentuk dari ”significant extence of primary relations and perform function normaly”. Jadi, secara teoritik Gang merupakan salah satu bentuk kelompok, yaitu Primary Group. Sebelum membahas teori-teori dan konsep tentang Gang, penulis menganggap penting untuk membahas terlebih dahulu teori Primary Group. Hal ini berkaitan dengan berbagai bentuk kelompok yang ada dalam masyarakat yang dianggap
13
atau dikategorikan ”Primary Group” sehingga sulit membedakan antar kelompok yang ada (primary and non Primary Group). 2.1.2 Primary Group Kelompok-kelompok sosial dalam arti bentuk-bentuk kehidupan bersama merupakan suatu pembahasan penting dalam sosiologi. Perwujudan dari kehidupan bersama tersebut adalah kelompok-kelompok yang beraneka ragam dan tidak terhitung jumlahnya. Kelompok-kelompok sosial timbul karena manusia dengan sesamanya mengadakan suatu hubungan untuk tujuan dan kepentingan bersama. Penggolongan-penggolongan atau klasifikasi kelompok-kelompok yang terdapat dalam masyarakat tidak selalu memuaskan. Misalnya klasifikasi berdasarkan besar kecil, banyak atau sedikit anggotanya, lama atau tidak lamanya sifat hubungan yang diadakan ataupun macam dari kepentingan-kepentingan dan tujuan bersamanya. Salah satu klasifikasi dari kelompok-kelompok sosial tersebut adalah Primary Group (diterjemahkan menjadi Kelompok Primer, namun untuk selanjutnya tetap akan menggunakan istilah Primary Group). Yang dimaksud dengan Primary Group adalah kelompok-kelompok kecil yang cenderung permanen, dan berdasarkan kenal mengenal secara pribadi antar sesama anggotanya. Dalam pengertian ini, Primary Group besar sekali pengaruhnya terhadap individu. Sifat– sifat dari Primary Group dibahas oleh Cooley dalam Broom and Selznik (1963) sebagai berikut : “By Primary Group I mean those characterize by intimate face to face association and cooperation. They are primary in several senses, but chiefly in that they are fundamental informing the social nature and ideals of the
14
individuals. The results of intimate associations, sociologically, is a certain fusion of individualities in a common whole, so that one's very self, for purpose at least, is the common life purpose of the grow. Perhaps the simple way of describing this wholeness is by saying that it is a WE ; it involves the sort of sympathy and mutual identification for which WE is the natural expression. One lives in the feeling of the hole and finds the chief aims of his will in that feeling”. Menurut Cooley, Primary Group adalah kelompok-kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi. Sebagai salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi adalah peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok. Dari definisi yang dijelaskan Cooley tersebut, dua hal yang penting, yaitu, pertama-tama bahwa dia bermaksud untuk menunjuk pada suatu kelas yang terdiri dari kelompok-kelompok yang konkrit, seperti misalnya keluarga, kelompokkelompok sepermainan, rukun tetangga dan lain-lain. Hal kedua adalah istilah saling mengenal dimana Cooley menekankan pada sifat hubungan antar individu seperti simpati dan kerjasama yang spontan. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai makna utama dalam pelbagai arti, terutama bahwa kelompokkelompok tersebut sangat penting bagi pembentukan ataupun perwujudan cita-cita sosial individu. Untuk analisis yang lebih mendalam, Broom dan Selznik (1963) menjelaskan bahwa : “A group is primary insofar as it based upon primary relations”. Oleh karena itu perlu dibedakan antara Primary Group dan primary relation. Broom dan Selznik (1963), selanjutnya menjelaskan karakteristik utama Primary relation sebagai berikut : “Response is to whole persons rather than to segments”. “In the primary relation the participants interact as unique and total individuals.
15
Uniqueness means that response is to particular persons and is not transferable to other persons”. Karakteristik selanjutnya adalah “Communications is deep and extensive”. “In the primary relations fewer limits are placed on both the range and the mode of communication. In nonprimary relations communications is limited to a few areas. In the primary relations, communication tends to occur as readily by means of non-verbal and private behaviour as by words”. Karakteristik terakhir adalah “Personal satisfactions are paramount”. Individuals enter into primary relations because such relations contribute directly to personal security and well-being”. Primary relations biasanya, namun tidak merupakan hal mutlak, merupakan interaksi face to face. Keluarga, pasangan kekasih, dan sahabat dapat saja terpisah secara fisik, tapi primary relation diantara mereka tetap terjaga. Dapat pula dikatakan bahwa banyak interaksi impersonal dilakukan face to face, misalnya di ruang sidang pengadilan, meskipun orang-orang yang ada berinteraksi face to face tetapi tak dapat dikatakan bahwa mereka termasuk dalam primary relations. Karakteristik utama primary realtions - Response is to whole persons rather than to segments, Communications is deep and extensive, Personal satisfactions are paramount - adalah sesuatu yang dapat diamati (observable) terutama pada saat
kualitas
“primaryness”
telah
sepenuhnya
terbangun.
Berdasarkan
pengalaman, primary group bervariasi mulai dari tipe yang ideal sampai pada group dimana primary relation tidak sempurna, bahkan seperti pada interaksi antar kawan atau sahabat atau pasangan kekasih. Walaupun demikian, model primary relations sangat berguna dalam mendiagnosis situasi dimana ketidak-
16
lengkapan “relations” menjadi sumber ketegangan dan frustasi. Kembali pada pernyataan bahwa “ A group is primary insofar as it based on primary relations”. Interaksi dimana orang-orang bertempat tinggal, bekerja bersama untuk jangka waktu yang relatif lama, bahwa hubungan yang dibangun atas dasar primary relation biasanya menyatu. Keluarga, kelompok bermain, dan lingkungan bertetangga menawarkan kondisi yang cocok (congenial) bagi terbentuknya primary group. Namun demikian tidak semua kelompok kecil merupakan primary group. Sebagai contoh Panitia yang bekerja bersama dalam jangka waktu terbatas yang terdiri dari berbagai latar belakang pekerjaan, umur, status atau kepangkatan, sangat kecil kemungkinan akan membentuk sebuah primary group. Jumlah anggota group yang kecil membantu terbentuknya primary group, tetapi tidak dengan sendirinya kelompok kecil menjadi primary group. Sebaliknya, jumlah anggota kelompok yang besar, meskipun kurang cocok bagi terbentuknya primary group, tetapi tidak menjadi penghalang terbentuknya primary group. Sosiolog terkadang mengatakan bahwa keseluruhan komunitas atau masyarakat terbentuk dari primary relations. Broom dan Selznik (1963) menyimpulkan bahwa berbagai grup seperti Keluarga, Grup Tentara, Gang anak muda, dan pekerja-pekerja di suatu toko dapat dikatakan sebagai primary group, sebab mereka terbentuk dari significant extent of primary relations and perform functions normally. Karakteristik primary group dapat dibedakan terhadap kelompok-kelompok lain yang ada dalam masyarakat melalui primary relationship dan secondary relationship yang dirumuskan oleh Lundberg, dkk., dalam sebuah tabel “charecteristic of primary
17
group and secondary group” sebagai berikut : Tabel 2.1 Charecteristic Of Primary Group And Secondary Group Family Neighbourhood Play group Grouping Type Business Corporation Political Party Professional Association Suami-Istri Orangtua-Anak Kawan-kawan Positional Networks Anggota (resmi) Pelayan (staf)-pelanggan Pelaku-Pengamat Manager-Worker Informal Expectations Involve whole Persons Stress affective relationship Normative Formal Prescriptions Requirements Involve behavioural segments Stress instrumental relationship elaborate division of labor Personal Control Informally administered involve primary internal constrain imposed by group itself Sanctions Impersonal Control Formally administered Relationship involve chiefly external constrain Indikator Imposed by designated enforcements official Direct Communication Spatial Proximity Small numbers of members Low membership turnover Continuous interaction Long Duration Usual Physical Indirect Communication Conditions Spatial Distance Large numbers of members High membership turn over periodic interaction Brief duration Sumber : Bales dalam Lundberg, dkk. (1968)
18
Kingsley (1960) menulis dalam Human Society yang dikutip Surjono Sukanto dalam “Sosiologi : Suatu Pengantar” bahwa “Teori Cooley tentang Primary Group agak membingungkan. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah bahwa setiap kelompok sosial sampai derajat tertentu pasti memiliki perasaan sebagai kesatuan. Hal tersebut perlu untuk mempertahankan kelompok. Apabila kenyataannya demikian, maka tidak ada alasan untuk membedakan kelompok primer dari kelompok sekunder”. Kingsley, meskipun demikian, sependapat dengan Cooley bahwa hasil hubungan timbal balik antara anggota-anggota kelompok secara psikologis merupakan peleburan individu dengan cita-citanya masing-masing sehingga tujuan dan cita-cita individu juga menjadi tujuan serta cita-cita kelompok. Sudah tentu secara mutlak tak dapat dikatakan bahwa kehidupan serta hubungan antara anggota kelompok akan selalu harmonis. Tentu adakalanya terjadi perbedaanperbedaan paham, bahkan pertentangan; namun semuanya itu demi kepentingan kelompok juga. Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa primary group adalah kelompok-kelompok kecil yang agak langgeng (permanen) dan berdasarkan kenal-mengenal secara pribadi antara sesama anggotanya. Salah satu bentuk primary group yang banyak diteliti dan populer di kalangan sosiolog dan kriminolog adalah Gang. 2.2 Gang 2.2.1 Teori, Konsep dan Defenisi What is a Gang? Sebuah pertanyaan yang telah menjadi perdebatan panjang para pakar Sosiologi dan Kriminologi. Broom dan Selznik (1963) dalam
19
Sociology : A Text with Adapted Reading mencoba menjelaskan Gang dari asal mula terbentuknya Gang : “Delinquent Gang arise chiefly from play group that engage in delinquent or quasi delinquent activities. The members of a play group develop a we-feeling and start referring to themselves as the bunch or crowd. Group solidarity may be further promoted through rivalry with other Gangs, and delinquent character of the Gang emphasized when police and property owners try to suppress its activities. The Gang then become a sub society, with values and codes in conflict with those the larger society. The conflict with other Gang, the school, the family, and the police distinguished a Gang from play group”. Broom dan Selznik menekankan bahwa tumbuhnya Gang berawal dari keakraban individu yang bermain dan beraktivitas bersama dan kemudian terbentuk menjadi sub society. Hal utama yang membedakan kelompok sepermainan (play group) anak muda dan Gang anak muda (youth Gang) yaitu adanya konflik dengan kelompok lain, keluarga, sekolah dan polisi. Selanjutnya Broom dan Selznik (1963) menambahkan “A study of street corner societies, which have the characteristic of Gang, concluded they arise spontaneously unsupervised recreational activities, consisting largely of just just 'hanging around' on a particular street corner : The corner Gang structure arise out of a habitual association of the members over a long period of time. This nuclei of most Gangs can be traced back to early boyhood, when living close together provided the first opportunities for social context. School years modified the original pattern somewhat, but I know of no corners Gangs which arose through class room or school play ground association. The Gangs grow up on the corner and remained there with remarkable persistent of early boyhood until the members reach their late twenties or early thirties' ”. Gang sebagai fenomena perkotaan diakui oleh para pakar sosiologi dan kriminologi. Broom dan Selznik pun menyebutkan bahwa “Gang formation appear to be more characteristic of urban than of rural adolescence societies”. Sebagaimana penulis mengutip Miller (2001) di awal tulisan ini “ Gang is
20
predominantly as an Urban Phenomenon”. Gang, sebagaimana primary group lainnya, mencoba mempertahankan konformitas kelompoknya dengan kondisi sosial yang ada. Broom dan Selznik menulis: “Delinquent Gang like other Primary Groups attempts to secure conformity by ridicule, gossip, ephitets, reward and punishments. A boy confronted with the alternative of committing delinquency or being called “chicken” or “square” will almost choose the former. Loyalty to Gang members and honesty with the Gang are the two primary virtues even severe physical punishments by Gang leaders are endure and keep secret from outsiders, for the alternative is ostracism by the Gang”. Lundberg dkk., (1968) menyarankan untuk menggunakan interaction scale dalam menganalisis proses interaksi yang terjadi dalam sebuah kelompok. Terdapat dua belas kategori yang digunakan dalam mengklasifiakasikan perilaku yang diamati melalui tindakan-tindakan anggota kelompok (lihat Tabel 2.2).
21
Tabel 2.2 Interaction Scale Indikator Positive Reaction
Shows Solidarity Shows Tension Release Shows Agreement
Problem Solving Attemps
Gives Suggestion Gives Opinion Gives Information
Question
Ask for Information Ask for Opinion Ask for Suggestion
Negative Reaction
Shows Disagreement Shows Tension Shows Antagonism
Sumber: Lundberg, Sociology Fourth Edition, 1968 Pandangan para ahli kepolisian sedikit berbeda : The police's definition of a Gang is: a group of individuals, juvenile and or adult, who associate on a continuous basis, form an allegiance for a common purpose, and are involved in delinquent or criminal activity. This definition is simple and functional. It allows the police departments to take proactive law enforcement action normally before the Gang gets an organized structure. The Gang may range from a loose knit group of individuals who hang around together and commit crimes together, to a formal organization with a leader or ruling council, Gang colors, Gang identifiers, and a Gang name. (Ensiklopedi Kepolisian, PTIK, 2002) Definisi ini tampaknya lebih sederhana untuk dipahami atau untuk memudahkan Polisi dalam mengatasi perkembangan kejahatan yang berasal dari penyimpangan-penyimpangan
perilaku.
Polisi
berkepentingan
untuk
ikut
22
menyelesaikan permasalahan sosial melalui cara-cara penegakan hukum. Definisi lain menyebutkan : “A Gang is a group of individuals that share a common identity, even if that identity consists of little more than their association with one another. In early English usage, it referred to a group of workmen, and later underwent pejoration. It could refer to harmless associations of youngsters and could carry sentimental and positive associations (e.g., the 1917 drinking song "Hail, Hail, the Gang's All Here"). Dalam pengertian masyarakat modern, Gang sering disebut sebagai “loosely organized groups that control a territory through readiness to use violence, especially against other Gangs. However, there is not an exact, agreed-upon definition”. Berbagai definisi dan konsep ditawarkan dan menjadi perdebatan banyak pakar, dimulai setelah Thrasher (1927) mendefinisikan Gang dalam “The 1313 Gangs” yang ditelitinya di Chicago sebagai berikut: The word ‘Gang’ generally carries a negative connotation, though within a Gang which defines itself in opposition to mainstream norms, members may adopt the phrase in proud identity or defiance. Gang activities are not restricted to typical organized crime groups. Sebuah Artikel yang diterbitkan secara resmi oleh Pemerintah Amerika Serikat Journal of Contemporary Criminal Justice (1998), membahas bahwa “A consensus definition developed over 5 years and agreed on by more than 100 Gang research scholars in the United States and Europe. It is a minimalist definition specifically designed to enhance comparative street Gang research”. Akhirnya disepakati bahwa definisi yang ada dibuat hanya untuk membantu para peneliti memajukan riset komparatif terhadap Gang dan berbagai fenomenanya. Tidak ada sebuah definisi dan konsep akhir yang dapat menjelaskan Gang dalam pandangan keilmuan.
23
Hasil Penelitian lain yang dilakukan oleh Mooris (1958) di kota Chicago dan San Diego menjelaskan bahwa “A Gang is a group of individuals bound together for a common purpose. [They are bound together] a lot of ways, socially, economically, emotionally sometimes. Basically [a Gang is] a group of people with the same objectives, trying to reach for the same goals. Anggota-anggota Gang umumnya memandang kelompoknya sebagai sebuah kesempatan (opportunity) untuk interaksi sosial sebagaimana layaknya sebuah keluarga atau persaudaraan atau sebuah sistem untuk saling dukung mendukung. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut : “Gang members in Chicago and San Diego viewed their Gangs as an opportunity for social interaction (including partying, “hanging out,” getting women) and as a family, brotherhood, or support system. Gang members in both cities described the role of the Gang as a means of protection from rivals, a means of survival, and a source of respect. Many Gang members appear to seamlessly combine social interaction with making money: For San Diego Gangs, social interaction, friendship, and self-protection appeared to be the primary purpose, and moneymaking was incidental or opportunistic. Although the concept of Gang as brotherhood or family was also extremely important to the Chicago Gangs, making money was their central organizational objective or defining feature”. (Morris, 1958) Dalam literaratur-literatur penelitian di Indonesia, hampir tidak ditemukan studi khusus tentang Gang. Beberapa pakar mencoba menggunakan istilah preman atau kelompok preman atau organinsasi preman untuk menggantikan Gang dalam penelitian-penelitiannya. Nitibaskara dalam tulisannya yang berjudul “Budaya Premanisme” menggunakan teori Lower Class Culture dari Miller (2001) untuk menjelaskan kehidupan para preman di Jakarta. Sesungguhnya Miller (2001) mengetengahkan Lower Class Culture Theory untuk menggambarkan kehidupan Gang dan anggota-anggotanya yang berasal dari kawasan kumuh (slum area) di Chicago. Lower Class Culture Theory merupakan hasil studi Miller tentang
24
kebudayaan masyarakat kelas bawah yang merupakan kajian kelompok bukan merupakan kajian individu. Apakah preman atau kelompok preman tersebut sama dengan Gang? Diskusi tentang ini dibahas oleh Marulli (2001) sebagai berikut : “Sampai saat ini belum ada satu definisi tentang preman yang disepakati oleh semua pihak. Ada yang menyatakan preman itu berasal dari kata “free mangan” alias makan gratis (tentunya dilakukan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan). Ada pula yang menyatakan bahwa preman berasal dari bahasa Belanda ”Vrij Man” yang berarti orang-orang bebas yang tidak mengenal norma dan nilai-nilai masyarakat yang berlaku. Penjelasan Marulli di atas sama seperti yang dikatakan oleh para pakar di Eropa dan Amerika yang dipublikasikan dalam Jurnal of Contemporary Criminal Justice. Dengan mengutip Max Weber yang menjelaskan bahwa orang tidak boleh memulai suatu definisi, melainkan perlu menurunkan indikator-indikator definisi itu sesuai contoh-contoh khusus, yang bagaimanapun juga tak akan pernah menjadi definisi akhir, melainkan sebuah definisi yang dicocokkan dengan maksud-maksud atau peristiwa yang sedang dihadapi. Preman sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah 'sebutan kepada orang jahat (todong, copet, rampok, dsb.) (Balai Pustaka, 1997). Dari makna kamus tersebut dan realitas yang terjadi, preman dan tindakan kriminal memang sulit dipisahkan. Definisi preman yang lain, menurut Mintarsih (1997) adalah: Seorang yang mengikatkan dirinya dalam suatu kelompok pergaulan, tidak terikat pada norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, mungkin mempunyai identitas dalam bentuk tato tertentu (sebagai tanda kelompoknya), mempunyai wilayah kekuasaan, mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal seperti mencopet, menodong, memeras, menyiksa dan lainlain. Atau, seseorang yang oleh dirinya dan oleh masyarakat dianggap sebagai
25
preman dan mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal seperti mencopet, menodong, memeras, menyiksa dan lain-lain. (Mintarsih, 1997). Tentunya masih banyak definisi-definisi lain tentang preman yang disampaikan oleh para pakar sosiologi maupun dari para peneliti lainnya. Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi preman ini, tetapi dari beberapa definisi tersebut ada hal yang hampir selalu ada yaitu kecenderungan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan serta adanya kecenderungan untuk mengikatkan diri dalam kelompok tertentu. Dalam definisi-definisi di atas, menurut penulis, terdapat perbedaan dalam mendefinisikan Preman dan Gang. Preman hampir selalu diidentikkan dengan pelaku pelanggaran atau kejahatan karena sebagian besar preman dalam pengertian orang awam adalah para berandalan. Anggapan ini berbeda sepenuhnya dengan Gang dalam konsep-konsep sosiologi. Gang belum tentu penjahat, tetapi mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Kekerasan dan kebrutalan yang
mereka tunjukkan hanya merupakan strategi
dalam menghadapi kerasnya lingkungan atau kehidupan mereka. Marulli (2001) selanjutnya memberikan penjelasan tambahan tentang Preman bahwa “keberadaan preman di suatu wilayah dapat digolongkan sebagai parasit bagi lingkungannya. Perilaku mereka cenderung tidak bermanfaat dan lebih banyak merugikan lingkungan sekitarnya seperti mabok-mabokan, pemalakan, meminta setoran dari pengusaha legal, menguasai parkir liar sampai melakukan penodongan dan tindak kejahatan dengan kekerasan lainnya”. Ini semakin terlihat sebagai usaha untuk memasukkan Preman sebagai bagian dari pembahasan tentang Gang dalam literatur-literatur sosiologi dan kriminolgi.
26
Penelitian lain tentang Gang dilakukan oleh Sumadi (2002) dalam ”Kegiatan Organisasi-Organisasi
Preman
Di
Muara
Angke
Jakarta
Utara”
yang
menyimpulkan bahwa organisasi-organisasi preman yang ada di Muara Angke Jakarta Utara adalah Organisasi Preman Bugis-Makassar dan Organisasi Preman Kulon. Sedangkan Organisasi Preman Madura tidak berada dalam kawasan Muara Angke, yaitu sepanjang jalan dalam wilayah Kecamatan Penjaringan yang dilalui oleh mobil-mobil yang mengangkut dari dan ke arah Muara Angke Jakarta Utara. Sumadi (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa kelompok-kelompok preman yang ada di Muara Angke tersebut terbentuk karena suku bangsa, sebab anggotaanggotanya kebanyakan berasal dari suku bangsa dan daerah asal yang sama. Pola-pola hubungan yang tampak dalam setiap kelompok merupakan hubungan kerabat atau kekeluargaan. Dalam perekrutan dan penempatan anggota, para pemimpin kelompok lebih mengutamakan kepada orang-orang yang masih ada hubungan kerabat, kawan dekat, keluarga kawan dekat, kawan se-kampung, atau tetangga kampung yang dikenal dengan baik. Dari berbagai tinjauan tentang Gang di atas, beberapa indikator yang dipergunakan dalam penelitian di Pasar Bawah Pekanbaru dirumuskan sebagai berikut : yang dimaksud Gang dalam tulisan ini adalah kelompok primer yang berada pada dan mengontrol wilayah tertentu dengan melakukan berbagai kegiatan yang menunjukkan ketidak-terikatan Gang pada norma atau aturan yang berlaku. Gang terbentuk melalui ”primary relation” anggota-anggotanya dalam pergaulan kawan sebaya dan kawan bermain. Gang memiliki sub kultur kelompok yang berbeda dari kultur masyarakat umum dimana Gang tersebut berada. Assosiasi yang terjadi antar anggota Gang, antara anggota Gang dan bukan
27
anggota Gang merupakan sebuah proses ”assosiasi differensial” yang menyebabkan perilaku dan subkultur Gang diwariskan dari waktu ke waktu. Gang merupakan kelompok yang berbeda dengan organisasi kriminal, meskipun keanggotaan Gang mempengaruhi kecenderungan anggotanya berperilaku menyimpang bahkan menjadi pelaku kejahatan (criminal). 2.2.2 Tipe Gang Tipe-tipe Gang didasarkan kepada karekteristik Gang yang dapat dibedakan melalui ”the development of tradition, unreflektive internal structure, solidarity, morale group awareness and attachment to a locale teritory”. Thrasher menggambarkan sebuah diagram tipe-tipe Gang dalam Natural History of The Gang (lihat Gambar 1).
28
Gambar 2.1 Natural History Of The Gang
Sumber: Thrasher, The 1313 Gangs, 1927. Thrasher (1927) menjelaskan bahwa diagram pada Gambar 1 tersebut di desain secara kasar untuk mewakili tahap-tahap dalam sejarah alami Gang dan kemungkinan-kemungkinan hubungan terhadap tipe-tipe perilaku kolektif. Pada bagian sebelah kiri diagram di atas adalah group-group yang mewakili Gang pada tahap embryonic; pada bagian kanan adalah perkembangan akhir Gang dan kelompok-kelompok inclusive dimana Gang dapat berubah menjadi bentuk tipe tersebut. Apa yang dikatakan Le Bon ( ), sebagai formasi pscychology crowd baik dalam tindakan ataupun dalam orgiastic type dapat merupakan sebuah karekterer dari kelompok pada setiap tahap perkembangannya.
29
Thrasher dalam diagram diatas juga mendiskusikan pendapat Le Bon sebagai berikut : “if conditions are favorable to its continued existence, the Gang tends to undergo a sort of natural evolution from a diffuse and loosely organized group into the solidified init which represents the matured Gang and which may take one of several forms. It sometimes becomes a specialized delinquent type such as the criminal Gang, but usually it becomes conventionalized and seeks incorporation into the structure of community, imitating some established social pattern such as a club, but in reality retaining many, if not all, of its original attributes. The Gang may also acquire the characteristics of a secret society. Once developed, Gangs sometimes from federations among themselves or make alliances with rings or political machines. The following case shows a group passing through several of these stages”. 2.2.3 Keanggotaan Gang dan Penyimpangan Perilaku (Gang Membership and Delinquency) Hubungan antara penyimpangan perilaku dan keanggotaan dalam sebuah Gang dijelaskan Broom and Selznik (1963) sebagai berikut : “the Gang influences individuals towards deliquency and crime in a number of ways : by promoting attitudes of hostility toward community agencies of social control, by teaching technic of crime and a general pattern of destructiveness, by enforcing it's system of a signing highest prestige to the most daring skill or skilled criminal, and by serving as a medium of contact where beginner can learn from more experienced juvenile delinquents and older professional criminals”. Kesimpulan yang sama dinyatakan oleh Battin-Pearson, Thornberry, Hawkins, and Krohn, dalam laporan penelitiannya yang dipublikasikan dalam Juvenile Justice Bulletin edisi Oktober 1998 : “Gang membership intensifies delinquent behavior. From the earliest to the most recent investigations, criminologists have consistently found that, when compared with youth who do not belong to Gangs, Gang members are far more involved in delinquency, especially serious and violent delinquency. Associating with delinquent peers also contributes to delinquency. Indeed, peer delinquency is one of the strongest predictors of delinquency that researchers have identified. However, the effect of belonging to a Gang has not been separated from the effect of simply associating with delinquent
30
peers”. Tabel 2.3 “Impact of Gang” yang disimpulkan dari hasil penelitian Rochester Youth Development Study di Amerika Serikat memberikan gambaran tentang pengaruh beberapa variabel terhadap pelangaran hukum yang dilakukan oleh lakilaki dewasa (1998). Tabel 2.3 Impact of Gang : Membership and Various Risk Factors on the Incidence of Self-Reported Violence (Males Only) Gang membership
0.28†
Family poverty level
-0.06†
Parental supervision
-0.04
Commitment to school
-0.02
Negative life events
0.12†
Prior violence
0.27†
Delinquent peers
0.06
*Standardized ordinary least squares regression coefficients. †p<0.05 Sumber : Rochester Youth Development Study, OJJDP, 1998 Keanggotaan Gang (Gang membership) mendapat koefisien terbesar diikuti oleh pengalaman melakukan kejahatan sebelumnya “prior violance”, dan hal-hal yang buruk yang dialami dalam perjalanan hidup ”negative live events”. Hubungan keanggotaan Gang dan perilaku menyimpang yang dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan keluarga “family poverty level”, pengaruh teman sebaya yang memiliki perilaku menyimpang “delinquent peer”, pengawasan orang tua
31
“parental supervision”, dan komitmen untuk terus bersekolah “commitment to school” berturut-turut makin tidak berpengaruh terhadap kejahatan dan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota Gang. Namun demikian, penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat masih sangat berhati-hati untuk membuat sebuah kesimpulan tentang hubungan perilaku menyimpang anggota Gang dengan jumlah kejahatan “Until now, no one knew what proportion of all delinquent and criminal offenses are committed by Gang members. Research has demonstrated that adolescents who join street Gangs are more involved in delinquent acts than are adolescents who do not join such Gangs. This is especially true for serious and violent delinquency” (OJJDP, 1998). Para Pakar berpendapat bahwa belum dapat disimpulkan seberapa banyak kejahatan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang (delinquency) anggota Gang. “Despite this uniform finding, surprisingly few estimates exist of the proportion of all delinquent acts for which Gang members are responsible; that is, although it is known that Gang members have a higher rate of offending than nonmembers, the proportion of the total amount of crime that can be attributed to them is unknown” (OJJDP, 1997). Sebagaimana dijelaskan dalam sub bab terdahulu, bahwa Gang tidak harus melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma yang berlaku di dalam masyarakat dimana Gang tersebut berada, meskipun Gang memiliki kecendrungan untuk menyimpang. Tentang kecendrungan ini Kartono (2003) menjelaskan bahwa ” Gang delinquent banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar, dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk pencurian, perusakan
32
milik orang lain, dengan sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang konvensional, melakukan tindakan kekerasan dengan menteror lingkungan dan lain-lain”. Pendapat ini bertentangan dengan hasil-hasil penelitian di Amerika Serikat yang ”belum” dapat menyimpulkan proporsi jumlah kejahatan (crime) yang dilakukan oleh Gang. Penulis sendiri berpendapat bahwa keberadaan Gang tidak dapat dipersalahkan atas semua kejahatan yang terjadi di suatu wilayah sebab jika ternyata Gang tersebut beranggotakan pelaku-pelaku kejahatan maka sudah sejak dahulu kepolisian akan mengarahkan kegiatan-kegiatan operasionalnya pada pembinaan dan pengawasan Gang tersebut. Fakta-fakta menunjukkan meskipun Gang telah dibina dan diawasi, jumlah kejahatan masih cukup tinggi. Nawojczyk (1997) dalam ”Street Gang Dynamics” menggambarkan bagaimana Gang yang berasal dari kumpulan kawan-kawan sepermainan berubah menjadi Gang kriminal: Over the last several years in Arkansas, Gangs have made an evolution from being turf and brotherhood oriented to now being involved in one way or another with criminal enterprises. Some sell drugs, some steal cars, some brutalize and rob, and some do all of the above. Local Gang members have stated that out of town connections many times bring in guns and drugs from other communities for distribution. Nawojczyk selanjutnya menambahkan : Groups that may have started out as a delinquent band of neighborhood toughs have now turned into a violent drug Gang, some of whom retain a Gang identity for enforcement, collection, or other reasons. Most Gang members crave power, or "juice" as it is known in Gang slang. Several years ago, a pecking order within a Gang may have been established by flying fists. Now it is settled by flying lead. Joining a group known to have a reputation, good or bad, gives a kid looking for a purpose something to belong to. Participants have said the mere interaction of members, listening to one another's problems and sharing the other trials and tribulations today's teens are faced with are the drawing card for them to become a banger.
33
Setelah menjadi anggota Gang, anak-anak dan remaja yang tergabung tersebut justru menikmati status keanggotaanya. Mereka mulai mendapatkan keuntungan dari keterlibatannya sebagai anggota Gang. Nawojczyk (1997) menjelaskan hal ini sebagai berikut : “ Gang members also claim to enjoy the respect or fear others exhibit around them. Then they say, the money begins flowing, and with that comes all of the things associated with material wealth that is usually beyond the reach of these adolescents without the criminal activity of being involved in a Gang. All of this is quite a heady trip for a young kid. Semakin lama mereka bergabung, semakin sulit untuk meninggalkan Gang tersebut untuk kembali kepada kehidupan keluarga dan masyarakat yang normal. Mereka seperti dihadapkan pada jalan buntu. Nawojczyk (1997) menggambarkan situasi tersebut sebagai berikut: Once a kid gets into a Gang, over and over they are told there is no way out. They fear serious reprisals from fellow Gang members if a defection is suspected. Some are told they will be killed if they try to get out. Others are told that they can kill their mother to earn their way out. You must remember when dealing with a kid involved in this that our beliefs must be set aside because the young person's beliefs are what we are dealing with, and you can bet that they believe everything the Gang tells them. 2.2.4 Group Non Gang (Group not counted as a Gang) Kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya. Setiap kelompok memiliki karakteristik masing-masing yang sering menyerupai karakteristik kelompok lain. Demikian pula karakteristik yang dimiliki oleh Gang, sering ditemukan pada kelompok lain. Hal ini perlu didefinisikan secara jelas agar kelompok-kelompok yang ada teridentifikasi secara baik. Isu tentang ini akan dibahas dalam sub bab berikut. Sebuah lembaga penelitian di Amerika Serikat, National Youth Gang Centre
34
(NYGC), dalam laporan penelitian yang dipublikasikan pada Bulletin no. 1 June 2005 menyimpulkan bahwa banyak peneliti salah mengkategorikan sebuah kelompok anak muda sebagai Gang meskipun sesungguhnya bukan Gang. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut : Many small towns and rural areas are experiencing Gang problems for the first time. In other communities, local observers jump to the mistaken conclusion that Gangs are present. This may occur because small groups of delinquents are very common, even in the smallest communities. Adolescents enjoy hanging out together, and the reality is that juvenile delinquency is often committed in groups. The visibility of these groups in shopping malls and on street corners and their frequent troublesome behavior may suggest Gang involvement.(NYGC, 2005). Pengkategorian tersebut tidak dapat hanya diamati dari penampilan luar saja, seperti mode pakaian dan gaya, tetapi tetapi harus diteliti dari faktor-faktor yang lebih kompleks : Another factor that may lead to the mistaken conclusion that a Gang problem exists is the recent transfusion of Gang culture into the larger youth culture. Certain clothing styles and colors commonly worn by Gang members have become faddish in the popular youth culture. One need only watch MTV for a short period of time to see the popularity of what once were considered exclusively to be Gang symbols” (NYGC, 2005). Bahkan bila sebuah kelompok anak muda mempergunakan berbagai simbol Gang yang mirip dengan simbol yang dimiliki Gang-Gang di tempat lain (kota besar), hal ini tidak dapat dipastikan sebagai kemunculan sebuah Gang. Klein (1967) menjelaskan kemungkinan kesalahan identifikasi tersebut sebagai berikut : Even if local youths are displaying Gang symbols such as the colors of big city Gangs, this alone does not necessarily signify a genuine Gang problem. Local groups of youths often imitate big city Gangs, generally in an attempt to enhance their self-image or to seek popularity and acceptance among their peers. Furthermore, although community officials and/or residents may encounter episodic or solitary signs of Gang activity in an area (e.g., graffiti, arrest of a nonlocal Gang member, and other isolated incidents), absent further conclusive and ongoing evidence, this is not necessarily indicative of an “emerging” Gang problem that is likely to persist.
35
Moore dalam laporan penelitian OJJDP mengatakan bahwa masalah Gang itu terlihat sangat cepat tumbuh di kota-kota kecil tetapi secepat itu pula permasalahan Gang itu menghilang In most cases, the Gang problem is short-lived and dissipates as quickly as it develops. Most often, this is mainly because small towns and rural areas do not have the necessary population base to sustain Gangs and any disruption (e.g., arrest, members dropping out) may weaken the Gang. For prolonged survival, Gangs must be able to attract new members to replace short-term members and older youths who typically leave Gangs toward the end of adolescence. Jadi, agar tetap survive, Gang harus memiliki daya tarik bagi masuknya anggota baru untuk menggantikan anggota lama yang meninggalkan Gang. Beberapa peneliti mencoba menjelaskan bahwa banyak anggota Gang yang sebetulnya tidak lagi anggota Gang tetapi masih memiliki hubungan dengan Gang dan anggota-anggotanya. Mereka tidak lagi menyebut dirinya anggota Gang, tetapi sering menunjukkan ciri-ciri keanggotaan. Thornberry (2005) mengatakan Research across a number of cities with typically longer-standing Gang problems has found considerable movement in and out of Gangs: approximately half of the youth who join leave the Gang within a year (Hill et al., 2001; Peterson et al., 2004; Thornberry et al., 2003; Thornberry et al., 2004). Thus, the more long-term members of Gangs compose one of the many dimensions of a community’s Gang problem—albeit typically the most serious dimension”. Tumbuhnya kelompok-kelompok berkarakteristik kesukuan dan kedaerahan di kota-kota, juga mengaburkan konsep Gang jika ditinjau dari Teori Primary Group Cooley, hal ini dapat ditinjau pada penjelasan berikut : “Thrasher (1927) and Whyte (1943) has explained that too little is understood about ethnicity and Gangs, particularly for new immigrant groups. This focus has been a historic component of Gang research, to the present day and is especially important in light of increasing levels and complexities of immigration”.
36
Colley melanjutkan penjelasannya : Determining which of the many groups cited by the various reporting sources could legitimately be considered youth Gangs was a prerequisite to this study. In most instances, the author had no way of knowing exactly how the reporters defined or conceived of the groups on which they reported and could not assume that all citations of youth Gangs referred to similar units. However, in examining the reporting documents, it was usually quite clear which kinds of units would not be counted as youth Gangs”. Miller dalam The Growth of The Youth Gang in United States, misalnya, membatasi definisi Gang yang ia pergunakan dan sekaligus menjelaskan kelompok-kelompok yang tidak dikategorikan sebagai Gang dalam penelitiannya : In conformity with the usage adopted by a national survey conducted by the National Youth Gang Center in 1995, several groups designated as “Gangs,” “street Gangs,” or “criminal street Gangs” were not considered youth Gangs for purposes of this Report. These groups are motorcycle Gangs, including Hell’s Angels and Devils Disciples; hate or ideological Gangs, including Skinheads and Neo-Nazis; prison Gangs, including Nuestra Familia and the Black Guerilla Family; and other types of adult Gangs, including drug operations, syndicates, and organized crime Gangs. A major objective was to maintain a distinction between youth Gangs (ages 12 to 24) and exclusively adult Gangs”. Kelompok-kelompok yang dikategorikan Gang dalam laporan penelitian Miller (2001) adalah The kind of unit sought and counted is the traditional area-based adolescent and young adult street Gang whose violent activities include assaultive and predatory crimes. Excluding the many hate Gangs, prison Gangs, and other adult Gangs simplifies the task of associating Gangs with localities but at the same time substantially reduces the total number of Gangs that are considered by this Report”. Penulis sependapat dan mempergunakan pengkategorian yang digunakan oleh Miller dalam tulisan ini, bahwa Gang-Gang yang menjadi obyek penelitian adalah Gang-Gang
tradisional
yang
terbentuk
berdasarkan
hubungan-hubungan
anggotanya sebagai kawan sebaya dan tinggal di tempat / wilayah yang sama atau berdekatan meskipun mereka juga melakukan atau terlibat dalam kejahatan yang
37
sejenis dengan kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak dikategorikan sebagai Gang. Kelompok yang terbentuk atas dasar rasa kebencian, gerombolan mantan narapidana, atau kelompok yang terbentuk karena aktifitas kriminal yang sama tidak dikategorikan sebagai Gang yang dimaksud dalam tulisan ini. 2.3 Gang dan Perkembangan Kota Pada awal tulisan ini, penulis mengutip Miller (2001) yang menyimpulkan bahwa “… youth Gang were accuratly since as redominantly urban phenomena”. Broom and Selznik (1963) menjelaskan hal yang sama bahwa “…Gang formation appear to be more caracteristic of urban then of rular adolescence society”. Untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan perkembangan kota dan munculnya Gang-Gang di perkotaan penulis memandang perlu memasukkan pengertian urbanisme sebagai cara hidup orang-orang yang tinggal di kota dalam kaitannya dengan pertumbuhan Gang. 2.3.1 Teori Urbanisme Perkembangan kota dan permasalahan yang terjadi di wilayah urban telah lama menjadi perhatian para pakar sosiologi. Broom and Selznik (1963) memberikan gambaran tentang hal tersebut dalam Teori of Urbanism : Urbanism is the study of cities – their geographic, economic, political, social, and cultural environment, and the imprint of all these forces on the built environment. Urbanism is also the practice of creating human communities for living, work, and play, covering the more human aspects of urban planning. Urbanists define urban areas by their high population density. They maintain that this characteristic makes cities physically and sociologically distinct from rural areas. Broom kemudian menambahkan :
38
Having established that cities are genuinely distinct from rural areas, scholars have studied cities according to several dimensions: the internalize perspectives which looks at spatial and social order within a city, externalist perspectives which views cities as stable points or nodes in the wider globalizing space of networks and flows, and the interstitial perspective which attempts to reconcile the two perspectives: by trying to understand how globalizing flows and external forces influence, and are influenced by, the social, temporal and spatial ordering of a city. Amin and Graham (1997) argue in The Ordinary City that the urbanscape can best be understood as a site of co-presence of multiple spaces, multiple times and multiple webs of relations, tying local sites, subjects and fragments into globalizing networks of economic, social and cultural change. Urbanism dan urbanisasi adalah konsep yang saling berhubungan. Pengertian urbanisasi umumnya merupakan deskripsi dari jumlah penduduk, kepadatan, dan variasi status anggota populasi dalam sebuah wilayah tertentu (Hess, 1988). Sedangkan urbanism lebih menunjukkan pengertian tentang cara hidup ”a way of life” yang membedakan cara hidup tradisional pedesaan yang kemudian berubah menjadi cara hidup baru di perkotaan yang lebih individual (Redfield, 1941). Para pakar sosiologi telah mendisikusikan dalam berbagai tulisan tentang apa yang mereka temukan dalam kehidupan kota yang negatif dan sangat merusak ”harmful effects of city life”. Misalnya Wirth (1938) dalam esay klasiknya tentang urbanisme berpendapat bahwa kepadatan penduduk dan keberagaman status pada kota-kota membawa efek negatif pada kondisi psikologi dan menimbulkan dampak sosial. Kehidupan kota membawa penduduknya pada stimulus yang berlebihan. Mekanisme kontrol sosial dan ”informal support networks” semakin melonggar. Penduduk kota dihadapkan pada situasi sulit serta harus mereka atasi sendiri, seperti : sakit mental ”mental illness”, konsumsi alkohol ”alcoholism”, kejahatan ”criminality” bahkan bunuh diri ”suicide”. (Hess dkk., 1988). Hess dkk. mengutip Fischer (1982) menambahkan bahwa kehidupan kota tidak melemahkan kekuatan hubungan antar individu pada primary group ”indeed,
39
there are no differences in the amount and quality of social ties among more and less urban residents”. Dalam tulisan ini tidak seluruh aspek kota akan dipergunakan untuk meninjau Gang dan perkembangan Pasar Bawah. Prioritas yang dipilih adalah variabel kependudukan dan perilaku kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Penulis merujuk Hossain (2006) dalam “Urban Poverty And Adaptation of The Poor To Urban Life in Dhakka Bangladesh” mengungkapkan bahwa : poverty in the slum of Dhakka City was most strongly influenced by recent migration from rural area, household organisation, participations in the “informal” sector of the economy and acces to housing and land. Almost half of the poor household in the study locations were identified as “hardcore poor”, that is having insufficient income to their physical needs. The remainder were found to be “absolute poor”, those who experienced poverty and vulnerablity but varied in their level of income and consumption. This level of poverty was also charecterised by their social, cultural and political marginalisation. In the summary, the urban poor remain very much dependent on their household and social networking, the main social capital they use to adapt the life in Dhakka City. Hossain (2006) juga menjelaskan tentang perilaku dan sub kultur orang-orang miskin yang hidup di kota Dhakka : “city life is characterised as a relatively large, dense and permanent settlement of socially heteregenous individuals. The personal traits, the cultural life and the ideas of member of urban communities are significantly different from their rural counterparts”. Hossain kemudian melanjutkan bagaimana perubahan demografi berpengaruh terhadap eskalasi permasalahan Gang Changing demographics in some small towns and rural areas may contribute to the emergence or escalation of Gang problems. This may be related to the immigration of newly arrived racial or ethnic groups into an area. For example, language barriers and being ostracized by the dominant population of youths at school and on the streets may lead excluded youths to band together and coalesce into a permanent youth group and potentially come to be recognized as a Gang.
40
Penjelasan yang ingin diberikan oleh Hossain adalah bagaimana para pendatang yang mengalami banyak permasalahan dalam kehidupan kota menjadi penyebab timbulnya kelompok-kelompok yang pada akhirnya potensial bagi terbentuknya gang. 2.3.2 Pertumbuhan Gang di Kota-Kota (The Growth of the Gang in the cities) Penjelasan Hossain tentang budaya masyarakat miskin di kota memiliki kesamaan dengan kesimpulan Moore dalam laporan penelitiannya tentang hubungan kondisi ekonomi dan tumbuhnya Gang. Moore (1998) menyimpulkan sebagai berikut: An often overlooked feature of youth Gangs is that they are a symptom of deeper community problems, not an isolated problem in and of themselves (Huff, 2002). That is, Gangs and related Gang problems tend to emerge from larger social and economic problems in the community and are as much a consequence of these factors as a contributor. One noted Gang researcher has outlined four community conditions that often precede the transition from typical adolescent groupings to established youth Gangs (Moore, 1998). Ada Teori yang mengatakan bahwa penurunan pendapatan dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan illegal. Sesuai Teori Anomie (Merton, 1964), terjadi bentuk inovasi sebagai akibat ketidakseimbangan antara nilai dan tujuan sosial dengan sarana sosio cultural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi warga masyarakat yang tidak mendapat kesempatan yang halal akan cenderung mencari jalan pintas memilih bentuk pelanggaran hukum. Teori lain mencoba menjelaskan bahwa krisis ekonomi di desa-desa mengakibatkan sebagian pemudanya bermigrasi ke kota-kota. Ketidaksiapan kotakota menampung mereka dan menurunnya primary social control, membuat para pendatang ini melakukan aksi potong kompas dengan cara yang tak sah untuk mempertahankan hidupnya. Mereka menjadi penganggur dan terpaksa tinggal di
41
daerah kumuh serta bersosialisasi dengan kekerasan dengan budaya kekerasan. Akhirnya mereka tumbuh menjadi manusia yang tidak takut sanksi, baik sanksi sosial maupun hukum. Dalam teori psikologi dikatakan adanya hambatan dan ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan pada gilirannya menjelma menjadi bentuk-bentuk perilaku agresif. Henry dan Short (1954) berpendapat bahwa orang-orang yang mengalami frustasi mudah sekali melakukan tindakan kekerasan. Terence Moris (1958) dalam The Criminal Area menjelaskan looking the map of Chicago we find that the concentric zone system is a generalistion considerably removed from reality. Lake Michigan occupies virtually half the total circle, and the lake shore by reason of its littoral positions in area of very desirable residence notwithstanding its location zone II which is supposed to be zone of transition containing the rooming houses, the brothels and the underworld dens. Like so many American cities, Chicago in planned on the block system of main streets running east to west and north to south, with the result that development tended to be along these lines of transportation rather than along radii from the central business distict. To be fair, one must admit that Zorbaugh at least was conscious of the extent to which topography may make the pattern of urban growth unique to any given city. Pendapat yang sama dikemukakan Shaw dan McKay dalam Juvenile and Delinquency and Urban Areas yang dikutip Cloward dan Ohlin (1969). Shaw dan McKay menyebutkan adanya cultural transmission sebagai cara untuk meneruskan tradisi-tradisi kriminal pada urban neighbourhood “ the development in some urban neighbourhood of a criminal tradition that persist from one generation to another despite constant changes in population”. Dalam studi ekologi tentang lingkungan urban (Ecological studies of the urban environment), Shaw dan McKay menemukan bahwa hubungan antara individu yang belum dewasa dengan para pelaku kejahatan profesional (sophisticated offenders), merupakan cara bagi perekrutan anggota baru kedalam kegiatan kriminal Gang.
42
Jadi, banyak anak-anak atau remaja yang belum dewasa direkrut menjadi anggota sebuah Gang dalam sebuah proses yang disebutnya “integration of different agelevels of offenders”. Integrasi antara para calon anggota Gang dan anggota Gang yang lebih dewasa atau bahkan telah menjadi profesional dalam melakukan kejahatan merupakan salah satu topik pembahasan dalam pembentukan subkultur kriminal Gang “criminal subculture”. 2.4 Delinquent Subculture Sub bab berikut merupakan pembahasan mengenai Delinquent Gang atau Sub Cultures. Cloward and Ohlin (1969) menguraikanya dalam Delinquency and Opportunity ; A Theory of Delinquent Gang untuk menjawab dua pertanyaan pokok tentang Gang dan Delinquency : (1) Why do delinquent norms or rules of conduct develop?, (2) what are the conditions which account for the distinctive contennt of variuos system of delinquent norms – such as prescribing violance or theft or drug-use? Cloward and Ohlin (1969) mengatakan bahwa delinquent subcultures dapat dibagi menjadi tiga topik utama yaitu : Criminal Subculture, Conflict subculture dan retreatist subculture. Criminal subculture dalam Gang terlihat dari kecenderungan melakukan kegiatan-kegiatan seperti pencurian, extortion, cara-cara ilegal lainnya yang digunakan untuk mengamankan sumber dana (uang) Gang. Sedangkan Conflict subculture merupakan cara yang digunakan Gang melalui manipulasi kekerasan dalam menunjukkan eksistensi dan statusnya di mata kelompok lain atau masyarakat. Yang terakhir, Retreatist subculture, merupakan bentuk penarikan
43
diri Gang dari masyarakat umum dan menjadi eksklusif dalam interaksi dengan pihak-pihak lain di luar Gang. Bentuknya adalah konsumsi terhadap alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang (drug abuse). Teori-teori awal tentang delinquency dan sub culture -Teori Biologis, Teori Psikogenesis, dan Teori Sosiogenis- sangat populer sampai tahun-tahun 50an. Sejak 1950 ke atas banyak terdapat perhatian pada aktivitas-aktivitas Gang yang terorganisir dengan subkultur-subkulturnya. Adapun sebabnya ialah: (1) bertambahnya dengan cepat jumlah kejahatan, dan meningkatnya kualitas kekerasan serta kekejaman yang dilakukan oleh anak-anak remaja yang memiliki subkultur
delinkuen
dan
(2)
meningkatnya
jumlah
kriminalitas
yang
mengakibatkan sangat besarnya kerugian dan kerusakan secara universal, terutama terdapat di negara-negara industri yang sudah maju, disebabkan oleh meluasnya kejahatan anak-anak remaja. Kultur atau kebudayaan dalam hal ini menyangkut satu kumpulan nilai dan norma yang menuntut bentuk tingkah-laku responsif sendiri yang khas pada anggota-anggota kelompok Gang tadi. Sedang istilah “sub” mengindikasikan bahwa bentuk “budaya” tadi bisa muncul di tengah suatu sistem yang lebih inklusif sifatnya. Subkultur delinquent Gang mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi tertentu (misalnya materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya kelompokkelompok remaja berandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status sosial ‘terhormat’ di tengah kelompoknya, prestige sosial, relasi sosial yang intim,dan hadiah-hadiah materil lainnya.
44
Menurut teori subkultur ini, sumber deliquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola sub budaya (subcultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para individu delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain adalah (1) memiliki populasi yang padat (2) status sosial-ekonomis penghuninya rendah (3) kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk (4) banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi. Oleh karena itu sumber utama kemunculan kejahatan ialah subkultur-subkultur delinkuen dalam konteks yang lebih luas dan kehidupan masyarakat yang slum (kumuh). Kemunculan Gang-Gang delinkuen dengan subkulturnya itu merupakan reaksi terhadap permasalahan suatu stratifikasi penduduk dengan status sosial rendah yang ada di tengah satu daerah yang menilai secara berlebihan status sosial yang tinggi dan harta kekayaan. Namun dalam realitasnya, pencapaian status sosial tinggi dan penumpukan harta kekayaan tadi sangat sulit dilakukan lewat jalan yang wajar. Besarnya ambisi materiil, dan kecilnya kesempatan untuk meraih sukses, memudahkan pemunculan kebiasaan hidup yang menyimpang dari norma hidup wajar, sehingga banyak anak-anak dan remaja menjadi a-susila dan kriminal. Muncul pula banyak anomi dalam lingkungan masyarakat sedemikian ini. Fakta juga menunjukan, bertambahnya jumlah delinkuensi terjadi pada masyarakat dengan kebudayaan konflik tinggi, dan terdapat di negara-negara yang mengalami banyak perubahan sosial yang serba cepat. Daerah yang mengalami proses perubahan cepat itu antara lain ialah: daerah pelabuhan, basis militer, kawasan industri, pusat perdagangan, ibukota, pangkalan udara dan laut, dan
45
sebagainya karena itu negara-negara yang sangat maju secara ekonomis dan teknologi juga mempunyai tingkat delinkuensi remaja paling tinggi di dunia. Dengan begitu ada hubungan yang erat antara tingkat delinkuensi individu dengan siklus kesejahteraan dan depresi ekonominya. Di kota besar di negara-negara yang sudah maju, kejahatan bergandengan erat sekali dengan kemiskinan (Cloward and Ohlin 1958). Hal ini dicerminkan oleh distribusi ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial yang berbeda-beda, dengan sendirinya dalam masyarakat sedemikian ini terdapat banyak kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Semua kejadian tadi merangsang terjadinya peningkatan jumlah kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang berasal dari stratifikasi ekonomis rendah dengan pola subkultur kemiskinan, namun anak-anak dan remajanya memiliki ambisi materiil yang selalu tinggi dan tidak realistis. Di kalangan kelas menengah dan tinggi dalam masyarakat modern sekarang, pada dekade terakhir ini anak-anak mudanya yang hidup sejahtera dan makmur banyak yang ikut -ikutan menjadi delinkuen, khususnya hal ini terdapat di negaranegara yang sejahetra dan teknis maju. Mereka banyak yang menjadi delinkuen disebabkan faktor kejemuan dan kejenuhan ( jenuh hidup di tengah kemakmuran). Kemewahan dan kemakmuran membuat anak tadi menjadi terlalu manja, lemah secara mental, bosan karena terlalu lama menganggur, tidak mampu memanfaatkan waktu kosong dengan perbuatan yang bermanfaat,dan terlalu enak hidup santai. Maka dalam iklim subkultur makmur-santai tadi anak-anak remaja ini menjadi agresif dan memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi bagi kehampaan jiwanya dengan melakukan perbuatan delinkuen jahat yang ’hebat-
46
hebat’. Kejahatan Gang terkonsentrasi di daerah-daerah rawan penuh kejahatan (orang dewasa) bertingkat tinggi, dengan subkultur kriminal jadi, ada distribusi ekologi dari kejahatan remaja tersebut. Di daerah-daerah rawan tadi terdapat subkultur kejahatan yang berorientasi pada keuntungan ekonomis lewat barter dan dagang secara ilegal, yang berkerja sama dengan gerombolan kriminal orang dewasa (orang dewasa berfungsi sebagai penadah atau otak kegiatan). Ada juga Gang-Gang dengan subkultur retreatis atau pengasing diri, dengan jalan mencari pengalaman esoteris, yaitu pengalaman yang khusus bagi orangdalam sendiri dan pengalaman kicks atau sentakan-sentakan dengan menggunakan obat-obat bius selaku penggairah hidup. Sebagian besar dari mereka melakukan hubungan seks bebas secara intensif dan tingkah-laku seksual yang menyimpang lainya. Motivasi Gang tersebut diarahkan pada pencarian pengalaman baru yang aneh-aneh. Gang ”retreatist” dengan sengaja menciptakan iklim beats
(dentuman,
kocokan, pahlawan) untuk menentang kewibawaan. Agar mereka berani dalam “pertempuran perlawanan”, mereka banyak menggunakan bahan-bahan narkotika dan minuman yang mengandung alkohol berkadar tinggi, lalu bersikap nonchalant serta acuh tak acuh terhadap dunia luar. Pola adaptasi mereka terhadap masyarakat luas diwarnai sentimem-sentimen buram, kebencian, antipati, serta perlawanan. Mereka memindahkan peranan sosial dari satu sistem orang dewasa dengan norma dan nilai-nilai kriminal. Lama-kelamaan mereka mengembangkan pola kriminalitas sistematis yang terorganisir dengan rapi. Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa perilaku delinkuen adalah
47
perilaku menyimpang, jahat, dursila, kriminal, sosiopatik, melanggar norma sosial dan hukum serta serta ada konotasi “pengabaian”. Delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi individu yang dilakukan oleh anak-anak, remaja dan adolesens. Adler (1952) dalam Kartono, Kenakalan Remaja, mencoba menggambarkan perilaku-perilaku delinquent sebagai berikut : 1. Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu-lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain. 2. Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman milieu sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan. 3. Perkelahian antar Gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa. 4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacammacam kedurjanaan dan tindak a-susila. 5. Kriminalitan anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampas, menjambret,
menyerang,
merampok,
menggarong;
melakukan
pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya; mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya. 6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan hemat dan menimbulkan keadaan yang kacau-
48
balau) yang mengganggu lingkungan. 7. Perkosaan, agrevitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, atau di dorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain. 8. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan. 9. Tindak-tindak inmoral seksual secara terang-terangan, tanpa tendeng aling-aling, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas, geltungsrieb, (dorongan menuntut hak) dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya. 10. Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan sadistis. 11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan, sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas. 12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin. 13. Tindak radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja. 14. Perbuatan a-sosial dan anti-sosial lain disebabkan oleh Gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, psikotik, dan menderita GangguanGangguan jiwa lainnya. 15. Tindak
kejahatan
disebabkan
oleh
penyakit
tidur
(encephalitis
49
lethargical), dan ledakan meningitis serta post-encephalitics; juga luka dikepala dengan kerusakan pada otak adakalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol-diri. 16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior (Adler, 1952). Banyak perbuatan kejahatan anak-anak dan remaja tidak dapat diketahui, dan tidak dihukum disebabkan antara lain oleh: (a) kejahatannya dianggap sepele, kecil-kecilan saja sehingga tidak perlu dilaporkan kepada yang berwajib; (b) orang segan dan malas berurusan dengan polisi dan pengadilan; (c) orang merasa takut akan adanya balas dendam. Dalam kondisi statis, gejala delinquency merupakan gejala sosial yang sebagian dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitasnya, namun sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi, hanya bisa dirasakan ekseseksesnya. Sedang dalam kondisi dinamis gejala delinquency tersebut merupakan yang terus menerus berkembang, berlangsung secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi dan urbanisasi (Kartono, 2000). Akhirnya, ketiga pola Delinquent Subculture – criminal, conflict dan retreat yang dijelaskan pada awal subbab ini serta pengaruh faktor-fatkor lainnya, seperti kemiskinan, pemukiman kumuh, waktu-waktu luang yang tidak diisi oleh kegiatan positif dan lain-lain, tidak hanya menentukan tindakan-tindakan dan gaya hidup anggota Gang (way of life) tetapi juga membawa konsekuensi berbeda terhadap permasalahan sosial yang timbul serta cara-cara pencegahan dan
50
penanggulangannya.
2.5 Differential Association Teori differential association dikemukakan pertama kali oleh Sutherland pada tahun 1934 dalam “Principle of Criminology”. Sutherland dipengaruhi “symbolic interactionism” dari Mead, Park, dan Burgess, serta aliran Ekologi yang dikembangkan Shaw dan McKay. William III dan McShane ( ) menyimpulkan bahwa teori differential association disusun bertitik tolak pada tiga teori lain, yaitu: Ecological and Cultural Transmission Theory, Symbolic Interactionism dan Culture Conflict Theory. Terdapat dua versi teori differential association yang dikemukakan oleh Sutherland, pertama yang terdapat pada edisi ketiga “Principle of Criminology” yang menunjuk pada systematic criminal behaviour, dan memusatkan pada culture conflict dan social disorganization serta differential association. Adapun versi ini menegaskan bahwa: (1) any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute, (2) failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual, (3) the conflict of culture is therefore the fundamental principle in the explanation of crime. Versi kedua dari teori ini dikemukakan oleh Sutherland pada tahun 1947 (edisi keempat) yang menegaskan bahwa semua tingkah laku dipelajari dan Sutherland juga mengganti istilah “Social Disorganization” dengan “Differential social disorganization”. Versi kedua ini mengetengahkan sembilan proposisi sebagai
51
berikut : 1. Tingkah laku kriminal dipelajari 2. Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi 3. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim 4. Mempelajari tingkah laku kriminal termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan dorongan/motivasi atau alasan pembenar. 5. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan : Menyukai atau tidak menyukai. 6. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan : lebih suka melanggar daripada mentaatinya. 7. Assosiasi differential ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas. 8. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme berlaku dalam setiap proses belajar. 9. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhankebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. Sutherland mengartikan istilah differential association sebagai “the contents of the pattern presented in association would differ from individual to individual”.
52
Jadi “mere association with criminals would case criminal behavior”. Tidak dapat dikatakan bahwa pergaulan seseorang dengan para penjahat atau pelaku kriminal akan mengubahnya menjadi seorang kriminal. Hal ini berbeda pada setiap individu. Schussler (1973) dalam Atmasasmita “Teori dan Kapita Selekta Kriminologi” membuat kesimpulan dari sembilan proposisi Sutherland tersebut yaitu : (1) The theory of differential association does not necessarily emphasizers who ones associated are it focuses instead on the definition provided by those association. (2) The term differential association that individuals as well group are exposed to differing association with people who will vary in the important they attach to respect for the law or law abiding behavior. The individual, then, will learn to work or away from crime according to the culture standards of his associate, especially those with whom he spends frequently and long periode of time. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Schussler bahwa “assosiasi differensial” yang dialami individu dalam kelompok primernya bukan faktor mutlak yang menjadikan seseorang berperilaku menyimpang “delinquent”. Ketaatan pada norma, hukum dan aturan yang ada dalam masyarakat akan bervariasi dari kelompok ke kelompok atau individu berdasarkan “assosiasi differensial” terhadap kelompok atau orang-orang terdekatnya. Dengan perkataan lain, jika assosiasi dimana individu itu berada merupakan kelompok yang taat hukum, maka individu dan kelompok tersebut akan menghormati hukum yang berlaku karena ketaatan tersebut merupakan standar budaya kelompoknya. Demikian pula sebaliknya terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum oleh individu, merupakan cerminan budaya yang ada dalam kelompok primer. Semakin lama seseorang menghabiskan waktu bersama kelompok tersebut, semakin kuat pengaruh budaya kelompok terhadap perilakunya. Selanjutnya Sutherland (1947) dalam Principles of Criminology menjelaskan
53
bahwa Among the influences in a neighbour the mutual stimulation of children in association is one of the most important. Breckinridge and Abbott, Healy, Shaw, and others have shown that deliquencies are genarally committed by two or more children acting together. Shaw and McKay found by a study of juvenile court records in Chicago that 88,2% of the boys had been engaged in deliquencies in company with others, and that 93,1% of those engaged in stealing had been in company with others”. Sutherland kemudian menambahkan penjelasannya tentang Gang dan kelompok dalam kehidupan sosial “The term ‘Gang’ is generally used of a somewhat larger and less definite group. The definition of the Gang is not clear”. Sutherland mengatakan bahwa bila ditinjau dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, hampir semua anak, remaja dan dewasa pernah atau masih menjadi anggota kelompok yang dapat saja disebut Gang. Pada kelompok semacam inilah orang-orang belajar tentang comformity dan non comformity. Kebanyakan kelompok ini digambarkan oleh Sutherland (1947) memiliki aktifitas yang merusak. Kelompok tersebut digambarkan sebagai berikut : Most of these groups were described as harmless in their activities, though inclined to mild rowdyism, and the name “Gang” was apllied largely in a spirit of bravodo. These are essentially different from the Gang in the deliquency areas. Frequently all the boys who live on the street, or the boys of one national stock in a neighborhood, belong together for purposes of fights and are known by a common name. Sutherland menambahkan : Frequently a portion of the boys in a neighborhood of about the same age and with somewhat similier attitudes toward deliquency or toward play have a common meeting place on a corner and engage in many common activities without any other formal organization. A stranger would not be permitted to associate with this group and certain boys in the neighborhood might be ostracized, but otherwise the group is inclusive. Some Gangs are much more formally organized, with names, leaders, passwords, and slogans and may persist with changing personnel for several decades. Pada bagian akhir Sutherland menjelaskan bagaimana proses “differential
54
association” dalam Gang berlangsung : A Gang in this sence is the means of disseminating techniques of delinquencies, of training in delinquency, of protecting its members engaged in delinquncy, and of maintaining continuity in deliquency. It is not necessary that there be bad boys including good boys to commit offences. It is genarally a mutual stimulation, as a result of which each of the boys commits deliquencies which he would not commit alone. Pemahaman penulis tentang penjelasan Sutherland di atas adalah bahwa Gang kemudian menjadi sarana bagi penyebaran teknik delinquency, menjadi tempat untuk berlatih dan tindakan-tindakan menyimpang tersebut mendapatkan perlindungan dari seluruh anggota Gang. 2.6 Konsep Operasional Berdasarkan penjelasan Teori, Konsep dan Definisi yang penulis rujuk di atas, maka konsep-konsep yang akan dioperasional dalam penelitian adalah : 1. Kelompok : Kelompok Sosial atau Social Group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. 2. Primary Group : Yang dimaksud dengan Primary Group adalah kelompok-kelompok kecil yang cenderung permanen, dan berdasarkan kenal mengenal secara pribadi antar sesama anggotanya. Dalam pengertian ini, Primary Group besar sekali pengaruhnya terhadap individu. Menurut Cooley dalam Broom and Selznik (1969), Primary Group adalah kelompok-kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi. Sebagai
55
salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi adalah peleburan individu-individu ke dalam kelompok-kelompok sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok. Dari definisi yang dijelaskan Cooley tersebut, dua hal yang penting, yaitu, pertama-tama bahwa dia bermaksud untuk menunjuk pada suatu kelas yang terdiri dari kelompok-kelompok yang konkrit, seperti misalnya keluarga, kelompokkelompok sepermainan, rukun tetangga dan lain-lain. Hal kedua adalah istilah saling mengenal dimana Cooley menekankan pada sifat hubungan antar individu seperti simpati dan kerjasama yang spontan. Kelompokkelompok tersebut mempunyai makna utama dalam pelbagai arti, terutama bahwa kelompok-kelompok tersebut sangat penting bagi pembentukan ataupun perwujudan cita-cita sosial individu. Untuk analisis yang lebih mendalam, Broom dan Selznik (1963) menjelaskan bahwa : “A group is primary insofar as it based upon primary relations”. Oleh karena itu perlu dibedakan antara primary group dan primary relation. 3. Primary Relationship : Penjelasan Broom dan Selznik (1963) dalam Sociology : A Text With Adapted Reading bahwa karakteristik utama Primary relation sebagai berikut : “Response is to whole persons rather than to segments”. “In the primary relation the participants interact as unique and total individuals. Uniqueness means that response is to particular persons and is not transferable to other persons”. Karakteristik selanjutnya adalah “Communications is deep and extensive”. “In the primary relations fewer limits are placed on both the range and the mode of communication. In nonprimary relations communications is limited to a
56
few areas. In the primary relations, communication tends to occur as readily by means of non-verbal and private behaviour as by words”. Karakteristik terakhir adalah “Personal satisfactions are paramount”. Individuals enter into primary relations because such relations contribute directly to personal security and well-being”. 4. Gang : Dari berbagai tinjauan tentang Gang maka konsep yang dipergunakan dalam penelitian di Pasar Bawah Pekanbaru dirumuskan sebagai berikut : yang dimaksud Gang dalam tulisan ini adalah primary group yang berada pada dan mengontrol wilayah tertentu dengan melakukan berbagai kegiatan yang menunjukkan ketidak-terikatan Gang pada norma atau aturan yang berlaku. Gang terbentuk melalui ”primary relation” anggota-anggotanya dalam pergaulan kawan sebaya dan kawan bermain. Gang merupakan kelompok yang berbeda dengan organisasi kriminal, meskipun keanggotaan Gang mempengaruhi kecenderungan anggotanya berperilaku menyimpang bahkan menjadi pelaku kejahatan (criminal). 5. Tipe Gang : Tipe-tipe Gang didasarkan kepada karekteristik Gang yang dapat dibedakan melalui ”the development of tradition, unreflektive internal structure, solidarity, morale group awareness and attachment to a locale teritory”. Thrasher menggambarkan sebuah diagram tipe-tipe Gang dalam Natural History of The Gang. Pada diagram tersebut, yang di desain secara kasar, mewakili tahap-tahap dalam sejarah alami Gang dan kemungkinan-kemungkinan hubungan terhadap tipe-tipe perilaku kolektif. Bagian kiri diagram adalah group-group yang mewakili Gang pada tahap
57
embryonic; dan bagian kanan adalah perkembangan akhir Gang dan kelompok-kelompok inclusive dimana Gang dapat berubah menjadi tipe tersebut. 6. Group Non Gang (Group not counted as a Gang) : Gang-Gang yang menjadi obyek penelitian adalah Gang-Gang tradisional yang terbentuk berdasarkan hubungan-hubungan anggotanya sebagai kawan sebaya dan tinggal di tempat / wilayah yang sama atau berdekatan meskipun mereka juga melakukan atau terlibat dalam kejahatan yang sejenis dengan kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang tidak dikategorikan sebagai Gang. Kelompok yang terbentuk atas dasar rasa kebencian, gerombolan mantan narapidana, atau kelompok yang terbentuk karena aktifitas kriminal yang sama tidak dikategorikan sebagai Gang yang dimaksud dalam tulisan ini. 7. Urbanisme : “Urbanism is the study of cities – their geographic, economic, political, social, and cultural environment, and the imprint of all these forces on the built environment. Urbanism is also the practice of creating human communities for living, work, and play, covering the more human aspects of urban planning. Urbanists define urban areas by their high population density. They maintain that this characteristic makes cities physically and sociologically distinct from rural areas”. Urbanisme dan urbanisasi adalah konsep yang saling berhubungan. urbanisasi umumnya merupakan deskripsi dari
Pengertian
jumlah penduduk,
kepadatan, dan variasi status anggota populasi dalam sebuah wilayah tertentu (Hess, 1988). Sedangkan urbanism lebih menunjukkan pengertian
58
tentang cara hidup ”a way of life” yang membedakan cara hidup tradisional pedesaan yang kemudian berubah menjadi cara hidup baru di perkotaan yang lebih individual (Redfield, 1941). Dalam tulisan ini tidak seluruh aspek kota akan dipergunakan untuk meninjau kehidupan dan keberadaan Gang serta perkembangan Pasar Bawah. Prioritas yang dipilih adalah variabel kependudukan dan perilaku kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tersebut, yaitu : heterogenitas etnis, pendidikan, mata pencaharian dan kemiskinan, fasilitas atau sarana prasarana sosial, kegiatan-kegiatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitar pasar bawah serta permasalahan dalam kehidupan kota yang menjadi penyebab timbulnya kelompok-kelompok yang pada akhirnya potensial bagi terbentuknya gang. 8. Delinquent Subculture : Gang memiliki sub kultur kelompok yang berbeda dari kultur masyarakat umum dimana Gang tersebut berada. Cloward and Ohlin (1969) mengatakan bahwa delinquent subcultures dapat dibagi menjadi tiga topik utama yaitu : Criminal Subculture, Conflict subculture dan retreatist subculture. Berdasarkan ketiga bentuk subkultur gang tersebut, maka subkultur delinquent Gang yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah
subkultur
kepercayaan/keyakinan,
gang ambisi
yang
mengaitkan
tertentu
(misalnya
sistem
nilai,
materiil,
hidup
bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja berandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status sosial ‘terhormat’ di tengah kelompoknya, prestige sosial, relasi sosial
59
yang intim,dan hadiah-hadiah materil lainnya. Subkultur merupakan pedoman berlaku yang tercermin dari kegiatan-kegiatan kelompok dan perilaku kelompok serta perilaku anggota gang. Perilaku-perilaku delinquent dimaksud seperti apa yang dijelaskan oleh Adler (1952) dalam Kartono (1999) yang dirinci menjadi enam belas perilaku delinquent. 9. Differential Association : Assosiasi yang terjadi antar anggota Gang, antara anggota Gang dan bukan anggota Gang merupakan sebuah proses ”assosiasi differensial” yang menyebabkan perilaku dan subkultur Gang diwariskan dari waktu ke waktu. Penulis menggunakan sembilan proposisi yang dikemukakan oleh Sutherland (1947) dalam Principles of Criminology yang merupakan versi kedua dari teori Differential Association. Pemahaman penulis tentang penjelasan Sutherland adalah bahwa Gang kemudian menjadi sarana bagi penyebaran delinquency technic, menjadi tempat untuk berlatih dan tindakan-tindakan menyimpang tersebut mendapatkan perlindungan dari seluruh anggota Gang.
60
BAB III GAMBARAN JALANNYA PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dimana penulis mencari fakta-fakta, fenomena tentang Gang di Kota Pekanbaru, keberadaan, karakteristik dan kegiatan yang dilakukan setiap hari serta interaksi yang terjadi antar Gang dan kelompok lain, antar anggota Gang, dan antara anggota Gang dan orang-orang lain dalam kehidupannya seharihari. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini bersifat eksploratif. Creswell (2002) menyebutkan bahwa peneliti tidak memulai dengan sebuah teori untuk menguji atau membuktikannya. Maka sesuai dengan model induktif pemikiran, teori-teori yang digunakan oleh penulis dalam mempelajari kehidupan Gang di Kota Pekanbaru, muncul selama pengumpulan data dan tahap-tahap analisis penelitian dan digunakan sebagai dasar perbandingan dengan teori lain. Penulis sepakat tentang prosedur tepat pengumpulan data, analisis, dan pelaporan data penelitian kualitatif yang dijelaskan oleh Marshall, Rossman dan Walcott (1990). Mereka menyarankan untuk membaca terlebih dahulu artikelartikel jurnal kualitatif dan jurnal topik penelitian. Sayangnya artikel-artikel dan jurnal tersebut kebanyakan telah diringkas langkah-langkah dan prosedur penelitiannya serta lebih menekankan hasil sesuai dengan batas panjang editorial yang direkomendasikan. Sebelum memulai penelitian ini, penulis mengandalkan saran dari Dewan
62
Pembimbing, menggunakan contoh-contoh dari jurnal, tesis dan desertasi tentang penelitian kualitatif serta topik tentang Kelompok-kelompok sosial dalam Masyarakat, Gang, Delinquency, dan Perkotaan, kemudian menggabungkannya dengan pengalaman penulis sendiri. Prosedur penelitian ini dimulai dengan mengajukan asumsi desain kualitatif, menetapkan jenis desain penelitian, menggambarkan peran peneliti, membahas pengumpulan data, menentukan prosedur pencatatan data, mengidentifikasi prosedur
analisis
data,
menyebutkan
langkah-langkah
pembuktian
dan
menggambarkan hasil naratif penelitian. Penulis memulai dengan meninjau asumsi-asumsi paradigma penelitian kualitatif. Prosedur ini sangat berguna untuk menjelaskan alasan-alasan pemilihan metode penelitian. Misalnya, Kirk dan Miller mengemukakan pengertian penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung kepada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 1990). Suparlan (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas perwujudan dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-polanya. Pendekatan kualitatif merupakan proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap
63
yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah. Creswell dalam Suparlan (1997) juga mengatakan bahwa penelitian kualitatif menginginkan hasil holistik mengenai objek yang diteliti. Farouk dan Jaali (2003) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian eksploratif yang mempunyai proses yang lain daripada penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, data merupakan sumber teori atau teori berdasarkan data. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data lapangan dapat dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan, dan terus menerus disempurnakan selama proses penelitian berlangsung yang dilakukan secara berulang-ulang. Penelitian tentang Gang di Kota Pekanbaru ini sangat cocok dengan desain kualitatif. Tidak hanya disebabkan pandangan penulis yang cocok dengan asumsiasumsi ontologi, epistimologi, axiologi atau retorik tetapi juga dipengaruhi pengalaman dan latihan-latihan yang dikuasai oleh penulis selama menjadi anggota Polri dan bekerja di sekitar Pasar Bawah Pekanbaru. Penguasaan kepustakaan dan essay-essay yang berkaitan dengan topik Gang, Delinquency dan Perkotaan juga membantu penulis dalam memilih desain penelitian. Lebih dari itu, metode-metode pengumpulan data yang spesifik, prosedur sampling, dan polapola analisis yang digunakan untuk menciptakan desain pertanyaan spesifik yang unik yang mencakup seluruh proses penelitian. Crabtree & Miller (1998) dalam Rulam (2005) menyarankan bahwa desain kualitatif atau penelitian lapangan seperti ini sangat cocok untuk mengambil bentuk suatu studi kasus atau studi topikal.
64
Bogdan & Biklen (1998) dalam Rulam (2005) mengatakan bahwa studi kasus adalah suatu kajian yang rinci tentang suatu latar, atau subjek tunggal, atau suatu tempat penyimpanan dokumen, atau suatu peristiwa tertentu. Defenisi lain mengetengahkan bahwa studi kasus adalah eksaminasi sebagian besar atau seluruh aspek-aspek potensial dari unit atau kasus khusus yang dibatasi secara jelas (atau serangkaian kasus). Suatu kasus itu bisa berupa individu, keluarga, pusat kesehatan masyarakat, rumah perawat, organisasi atau suatu kelompok. Sedangkan studi topikal (topical study) hanya menginvestigasi satu atau sedikit suasana aktivitas terpilih dalam lapangan yang kurang dibatasi secara jelas (Crabtree & Miller, 1998). Deny dalam Lincoln dan Guba (1985) mendefenisikan studi kasus sebagai suatu eksaminasi intensif atau lengkap tentang suatu segi, atau isu atau mungkin peristiwa suatu latar geografis dalam suatu batasan waktu tertentu. Stake (1978) dalam Rulam (2005) menyarankan bahwa studi kasus itu tidak perlu seseorang atau suatu perusahaan, studi kasus dapat berupa “sistem terbatas” (Bounded System) apapun yang diminati. Suatu lembaga, program, tanggung jawab, himpunan atau suatu populasi dapat menjadi suatu kasus. McDonald dan Walker, juga dalam Rulam (2005), menyarankan bahwa studi kasus adalah suatu ”eksaminasi tentang suatu hal dalam tindakan”. Yang lain, walaupun bukan defenisi-defenisi yang sangat tepat telah diajukan dalam studi kasus yang meliputi: (1) potret realitas (a snapshot of reality); (2) bagian dari kehidupan (a slice of life); (3) kehidupan kecil (a microcosm); (4) peristiwa (an episode); (5) unit tindakan (an action unit); (6) eksaminasi yang mendalam tentang suatu hal (a depth examination of an instance); dan (7) eksaminasi yang
65
intensif tentang suatu kelompok (intensive examination of a unit) (Lincoln dan Guba, 1985). Patton (1980) mengungkapkan bahwa kasus dalam penelitian kualitatif itu dapat berupa individu, program, institusi atau kelompok. Penulis sependapat dan memilih desain kualitatif yang menggunakan suatu kajian kasus dalam penelitian tentang Gang di Pasar Bawah Pekanbaru ini. Pandangan psikologis penulis, topik Gang ini sangat menyenangkan dan prosedur kualitatif yang tidak terikat aturan atau prosedur khusus yang ketat lebih memberikan kebebasan dalam melakukan penelitian Gang di Kota Pekanbaru. Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa penelitian ini membutuhkan waktu yang lama dan melelahkan, namun demikian toleransi tinggi terhadap kerancuan yang dianut dalam paradigma penelitian kualitatif, sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Topik Gang di Pasar Bawah yang dipilih oleh penulis, jika ditinjau dari sifat masalahnya, merupakan penelitian pendalaman. Variabel penelitian yang sulit diidentifikasi bahkan tidak diketahui merupakan akibat dari teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang masih diperdebatkan oleh para pakar Sosiologi dan Kriminologi. Penulis sependapat dengan kesimpulan yang dikemukakan Locke, Spirduso dan Silverman (1987) bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat interpretatif. Sehingga, bias, nilai dan penilaian peneliti dinyatakan secara tegas dalam laporan penelitian. Penulis ingin menekankan bahwa penelitian Gang di Kota Pekanbaru lebih memperhatikan proses dari pada hasil atau produk yang muncul di tengah masyarakat. Ketertarikan pada makna, kata-kata dan gambaran - bagaimana Gang dapat bertahan dari waktu ke waktu di Pasar Bawah Pekanbaru, bagaimana
66
anggota-anggota Gang menjalani kehidupannya, pengalaman penulis tentang Gang, serta bagaimana Gang berusaha membuat struktur dunianya masuk akal dan dapat diterima orang lain – menjadi dasar untuk meninjau permasalahan ini dalam desain kualitatif berupa kajian kasus. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa memilih studi kasus tersebut dalam meneliti Gang di Pekanbaru? Ada berapa alasan utama mengapa penulis melakukan studi kasus dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, studi kasus memberikan ”deskripsi yang padat” tentang kehidupan dan keberadaan Gang di Pekanbaru sebagai sebuah evaluasi (penelitian) naturalistik. Kedua, studi kasus adalah ”grounded”; ini memberikan perspektif eksperiensial berbeda dengan banyak pendekatan lainnya terhadap evaluasi yang bergantung pada instrumentasi, desain, atau hipotesis yang a prirori, studi kasus adalah ideal untuk prosentasi data yang “grounded” yang muncul dari konteks itu sendiri. Ketiga, studi kasus bersifat holistik dan seperti-kehidupan (lifelike). Peneliti menyajikan sebuah sebuah gambaran tentang keberadaan dan kehidupan gang yang dapat dipercaya bagi para partisipan sebenarnya di dalam suatu latar, dan dapat mudah dimasukkan ke dalam ”bahasa alami” dari orang-orang (pengguna) yang terkait. Keempat, studi kasus menyederhanakan kisaran data yang diminta seseorang untuk dipertimbangkan – ini dapat dibuat seindah mungkin sehingga dapat memerankan tujuan dengan sebaik-baiknya yang ada di dalam pikiran peneliti. Bukan dihadapkan pada tabel-tabel teknis yang tidak berakhir, pembaca diberi informasi yang esensial dengan suatu format yang terfokus dan seperti percakapan. Bukan meminta sendiri untuk mengintegrasikan sebuah keragaman informasi yang sangat luas yang diberikan dalam bentuk yang berbeda-beda,
67
pembaca diberikan sajian suatu pernyataan yang terpadu dengan baik yang menyatakan
hal-hal
yang
penting
(dan
hubungan-hubungannya)
dan
menghilangkan sisanya. Akhirnya,
dan
mungkin
yang
terpenting.
Studi
kasus
dapat
mengkomunikasikan lebih dari yang dapat dikatakan di dalam bahasa yang proporsional. Studi kasus yang membangun ”pengetahuan yang tersembunyi” dari para pembacanya. Ini merupakan sarana pelaporan yang tepat bagi pemahaman dan bahasa anggota gang. Studi kasus memberikan jenis informasi kepada pembaca
yang
memungkinkan
dia
untuk
mempertahankan
semua
pengetahuannya, tidak hanya apa yang dapat dinyatakannya dalam bahasa lisan. Untuk menempatkannya ke dalam pernyataan di hari tersebut, studi kasus memancarkan ”getaran” yang memberikan rasa substanis kasus yang aktual kepada pembaca. Dalam situasi yang aktual, pembaca sebuah studi kasus akan merasakan banyak hal yang tidak dapat didokumentasikannya secara ilmiah tetapi dimana dia akan mempunyai banyak sekali kepercayaan diri; studi kasus memberikan kepada dia dengan suatu latar pengganti dimana jenis kesimpulan yang sama dapat dibuat. kita semua mengetahui lebuh dari apa yang kita katakan; studi kasus memberukan suatu kendaraan untuk pemindahan jenis pengetahuan tanpa kata (wordless knowledge) tersebut. Sebagaimana penelitian kualitatif lain, Peneliti merupakan instrumen pokok untuk pengumpulan dan analisis data. Data-data tentang Gang di Pasar Bawah yang diperoleh penulis didekati melalui instrumen manusia, bukannya melalui inventaris, daftar pertanyaan atau kuesioner, atau mesin. Dalam hal ini, penulis membangun abstraksi, konsep, dan rincian-rincian yang bersifat induktif.
68
Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan informasi dan data tentang keberadaan
Gang
di Pasar
Bawah
Pekanbaru,
kemudian
menganalisis
karakteristik, kegiatan, keberlangsungan hidup Gang, proses belajar sosial yang terjadi dan pewarisan nilai-nilai Gang ditinjau dari teori atau konsep yang digunakan sebagai rujukan Penulis. Maka, pokok jawaban penelitian berada pada data empiris yang ditemukan Penulis di lapangan dan merupakan sumber utama kebenaran. Hal tersebut dilakukan agar Peneliti tidak terpaku pada konsep atau teori yang ada, sehingga dapat digali informasi atau data sedalam-dalamnya. Peneliti melaksanakan penelitian yang bersifat deskriptif, karena peneliti ingin menekankan pada fenomena kegiatan-kegiatan Gang di Pasar Bawah Pekanbaru. Prosesnya berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut. Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan fenomena dengan aturan berpikir ilmiah yang diterapkan secara sistematis tanpa menggunakan model kuantitatif; atau normatif dengan mengadakan klasifikasi, penilaian standar norma, hubungan dan kedudukan suatu unsur dengan unsur lain. Tulisan Moorse (1991) sangat membantu penulis dalam mengupas topik tentang Gang di Pasar Bawah sebab variabel-variabel dan dasar teorinya yang tidak sempurna serta minimnya penelitian-penelitian terdahulu. Moorse (1991) menyatakan bahwa karakteristik masalah dalam penelitian kualitatif adalah (1) konsepnya tidak matang karena kurangnya teori dan penelitian terdahulu, (2) pandangan bahwa teori yang sudah ada mungkin tidak tepat atau kurang memadai, rancu atau bahkan tidak benar, (3) kebutuhan untuk mendalami dan menjelaskan fenomena dan untuk mengembangkan teori, atau (4) hekekat fenomenanya tidak cocok dengan ukuran-ukuran kuantitatif.
69
Lancy (1993), Smith (1987) dan Tesch (1990) dalam Creswell (2002) menyarankan untuk meninjau bidang studi sosiologi dengan pendekatan kualitatif, sebab jenis desain kualitatif sangat tepat digunakan untuk mengupas karakteristik bahasa, menemukan keberaturan, mencari pemahaman makna teks dan tindakan serta kebebasan mengajukan pemikiran. Penulis sependapat dengan Jacob (1987) yang mengatakan bahwa desain kualitatif digunakan untuk membandingkan dan menjelaskan “tradisi” penelitian kualitatif sebagai psikologi ekologis, etnografi holistik, antropologi kognitif, etnografi komunikasi, dan interaksionisme simbolis. Alternatif masalah lain yang umumnya menggunakan desain kualitatif adalah bidang sosiologi (grounded theory), psikologi (fenomenologi), ilmu politik, serta studi-studi kasus dalam ilmu sosial. Keragaman proses pengumpulan data, proses analisis data yang berlainan dan format-format khusus untuk melaporkan informasi merupakan karakter desain kualitatif yang dipilih penulis. Pada bagian akhir sub bab ini, Penulis ingin menjelaskan peran peneliti dalam penelitan tentang Gang di Kota Pekanbaru. Terkait dengan peran peneliti, menurut pendapat Locke, Spirduso dan Silverman (1987), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat interpretatif. Sehingga, bias, nilai dan penilaian peneliti dinyatakan secara tegas dalam laporan penelitian. Keterbukaan seperti itu dianggap bermanfaat dan positif. Proses mendapatkan ijin masuk ke lokasi penelitian dan masalah-masalah etis yang muncul merupakan dua unsur peran peneliti. Pengalaman penulis yang sering berhubungan dengan anggota Gang di Pasar Bawah Pekanbaru sangat membantu dalam mengumpulkan data-data penelitian. Mungkin tepat untuk mengatakan bahwa pengalaman penulis tersebut cenderung
70
membentuk penafsiran laporan penelitian. Dimulai dari peristiwa yang dialami penulis sendiri yaitu saat “pengusiran anggota Gang” yang meminta fee pembongkaran barang di halaman kantor penulis, kemudian beberapa dialog awal dengan beberapa pejabat yang memiliki otoritas di Pasar Bawah tentang keberadaan Gang KD di Pasar Bawah merupakan alasan pemilihan topik, latar penelitian dan lokasi penelitian. Peran peneliti dalam penelitian kualitatif, terutama, sebagai instrumen utama pengumpulan data mengharuskan identifikasi nilai, asumsi dan prasangka pribadi pada awal penelitian. Kontribusi peneliti dalam latar penelitian dapat bermanfaat dan bersifat positif, bukannya merugikan (Locke, dkk, 1987), persepsi penulis tentang kehidupan Gang di Pasar bawah Pekanbaru dan cara-cara yang mereka lakukan untuk mempertahankan keberadaan kelompoknya yang dihadapkan kepada upaya pemerintah untuk memberantas kejahatan dan penyimpangan sosial yang dilakukan oleh Gang dan anggota-anggotanya, dibentuk oleh pengalaman pribadi penulis. Dari bulan Mei 2006 hingga sekarang ini (Desember 2007), penulis telah bekerja di sekitar Pasar Bawah Pekanbaru. Sebagai anggota Polri yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum dan peraturan-peraturan positif, pemahaman akan konteks dan peran ini meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan kepekaan akan banyaknya tantangan, keputusan dan masalah yang dihadapi selama penulis bekerja dan berinteraksi dengan para informan. Penulis memiliki pengetahuan tentang perkembangan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar Pasar Bawah Pekanbaru. Perhatian khusus akan diberikan pada pemimpin Gang dalam menciptakan perubahan sebagai proses
71
adaptasi dengan perkembangan masyarakat sekitarnya, membangun hubungan dengan berbagai kelompok, institusi ataupun perorangan. Pengalaman Penulis bekerja di lokasi yang sama dengan para informan membawa prasangka tertentu ke dalam penelitian ini. Meskipun akan dilakukan upaya maksimal untuk memastikan obyektifitas, prasangka itu dapat membentuk cara penulis memandang dan memahami data yang dikumpulkan. Penulis memulai penelitian dengan pandangan bahwa Gang terbentuk dari pergaulan kawan sebaya dan sepermainan yang berkembang sesuai perkembangan kawasan dan masyarakat sekelilingnya ke arah penyimpangan norma dan nilai yang umum terdapat dalam masyarakat. Penulis memandang, meskipun berbagai upaya dilakukan masyarakat dan otoritas yang berkuasa di Pasar Bawah Pekanbaru, tetapi proses pembentukan subculture gang dan differential association yang terjadi membuat Gang KD di Pasar Bawah dapat bertahan dari waktu ke waktu bahkan meneruskan nilai-nilai yang ada kepada calon anggota Gang. Selanjutnya, langkah-langkah yang diambil untuk mendapatkan ijin masuk ke lokasi penelitian diawali dengan pengajuan proposal kepada dewan penguji di Program Pasca Sarjana “Urban Studi” UNRI. Setelah mendapatkan persetujuan untuk memulai penelitian, surat ijin penelitian dikirimkan kepada beberapa pejabat terkait, Walikota Pekanbaru, Camat Senapelan, Lurah Kampung Dalam, Kapoltabes Pekanbaru, Kapolsek Senapelan dan Kapolpos Pasar Bawah Pekanbaru. Penulis menyampaikan pula ijin penelitian kepada Pengelola Pasar Bawah Pekanbaru. Para informan diberi kesempatan untuk mempelajari proposal singkat penulis, dengan tambahan penjelasan dari penulis bahwa nama, jabatan dan alamat serta
72
identitas lain yang dicatat oleh penulis akan dirahasiakan jika mereka memberikan informasi atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penulis. Masalah etika ini penulis anggap perlu sebagai cara yang dipilih dalam mendapatkan keterbukaan sumber informasi dan kepercayaan akan kerahasiaan informasi yang disampaikan kepada penulis. Penulis menjelaskan pula kepada para informan bagaimana hasil-hasil wawancara, pengamatan dan penelitian dokumen akan dilaporkan serta siapasiapa yang akan membaca laporan tersebut. Perasaan terganggu dari para informan sangat dihindari karena itu diyakini oleh penulis akan menutup sumber informasi yang diinginkan. 3.2 Prosedur Pengumpulan Data Langkah yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data meliputi : (1) menetapkan batas-batas penelitian, (2) mengumpulkan informasi melalui pengamatan, wawancara, dokumen dan bahan-bahan visual, dan (3) menetapkan aturan untuk mencatat informasi. 3.2.1 Batasan Penelitian dan Pengumpulan Data Ide penelitian kualitatif dengan suatu kajian kasus adalah sengaja memilih informan, termasuk dokumen ataupun bahan-bahan visual lainnya yang dapat memberikan jawaban terbaik terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan. Penulis ingin menekankan bahwa dalam penelitian Gang di Pasar Bawah Pekanbaru tidak ada pemilihan informan secara acak. Penulis menggunakan empat ukuran yang disarankan Miles dan Huberman (1984) dalam Creswell (2002) yaitu :
73
1. Latar atau tempat penelitian berlangsung : Pasar Bawah Pekanbaru dan sekitarnya, Kampung Dalam, Pelabuhan Bongkar Muat baik yang tradisional milik masyarakat atau pun pelabuhan resmi milik pemerintah. 2. Kelompok atau Pelaku dan orang-orang yang diamati atau diwawancarai : Kelompok-kelompok sosial yang ada atau beroperasi di Pasar Bawah Pekanbaru dan sekitarnya yang berjumlah sekitar 20-an kelompok. Gang KD yang beranggotakan sekitar 70 orang. Maka Informan utama dalam penelitian ini adalah Tokoh Masyarakat termasuk Pejabat atau Petugas yang berwenang, Pemimpin dan anggota Gang KD. Meskipun begitu penulis juga akan mengamatinya dalam konteks pandangan Tokoh-Tokoh masyarakat Kampung Dalam Kec. Senapelan Pekanbaru. Dengan demikian sumber data primer dilapangan meliputi : (1) Anggota Kelompok Preman Di Pasar Bawah Pekanbaru, (2) Pemimpin atau Ketua Kelompok Preman di Pasar Bawah Pekanbaru.Pengusaha, Pemilik Kios, Toko, dan Ruko, (3) Tokoh dan Warga Masyarakat yang tinggal di Pasar Bawah Pekanbaru, (4) Pengunjung Pasar Bawah Pekanbaru.Pengelola Pasar Bawah Pekanbaru, (5) Kepala Desa/Lurah Kampung Dalam dan Camat Senapelan, (6) Petugas dan Pejabat Polisi yang menangani keamanan Pasar Bawah Pekanbaru. Penelitian ini juga menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari Kantor Pengelola Pasar Bawah Pekanbaru (Dinas Pasar), Kantor Kelurahan, Kantor Polisi (Pos Pol, Polsek, dan Poltabes Pekanbaru), serta sumbersumber data lainnya yang berkembang dalam penelitian. 3. Peristiwa yang diamati : Fokus studi ini adalah pengalaman dan peristiwa sehari-hari yang melibatkan Gang KD di Pasar Bawah Pekanbaru. Persepsi
74
dan makna yang terkandung dalam peristiwa tersebut seperti apa yang diungkapkan oleh para informan. Fokus ini mencakup perpaduan kejadiankejadian atau informasi yang tidak biasa terjadi di kehidupan masyarakat umum dan memahami peristiwa dan masalah penting yang muncul. 4. Proses merupakan sifat kejadian yang dilakukan pelaku di dalam latar penelitian : perhatian khusus diberikan kepada peran pimpinan Gang dalam memimpin dan mengatur Gang-nya serta menciptakan hubungan dengan orang-orang, kelompok lain, institusi pemerintah, dan masyarakat umum di sekitar Pasar Bawah dan Kampung Dalam. Sehubungan dengan penelitian yang penulis lakukan di Pasar Bawah Pekanbaru terhadap Gang yang ada, penulis perlu menganggap perlu mendiskusikan apakah gang sebagai sebuah kelompok dapat diamati dan dipelajari secara objektif? Para peneliti dan pakar banyak yang menyatakan bahwa kelompok atau group adalah sebuah abstraksi yang tidak nyata atau unreal. Pola berlaku yang terdapat dalam kelompok dinyatakan sebagai kumpulan dari semua tindakan dan perilaku individual yang sesungguhnya terpisah-pisah. Pandangan ini juga menyangkal bahwa ketika individu berkumpul dalam satu kelompok muncul sebuah perilaku baru yang tidak dapat diamati jika individu tersebut terpisah dari kelompoknya atau seorang diri. Pertanyaan ini jelaskan oleh Lundberg (1968) dengan sebuah ilustrasi sekelompok pelajar yang tergabung dalam sebuah tim sepakbola. Jika kita mengamati pada pertandingan sepakbola, maka pengamatan dapat ditujukan pada penampilan seorang pemain, penampilan kelompok secara keseluruhan, tingkah laku “officials” atau pelatih tim tersebut. Pengamatan dapat pula dilakukan
75
terhadap aksi-aksi dalam permainan tersebut atau terhadap para penonton yang berada di pinggir lapangan. Meskipun kelompok bervariasi berdasarkan karakter masing-masing individu yang ada didalamnya, tim tersebut akan tetap berfungsi meskipun ada pemain yang diganti (termasuk pelatihnya). Tim Sepakbola ini, sebagaimana kelompok lain, memiliki lapis kehidupan (life-span) yang berada diluar pengaruh anggotanya. Hal ini bukan merupakan sebuah kumpulan perilaku atau tindakan yang ditentukan oleh anggotanya. Pemahaman terhadap sebuah kelompok, karena itu, harus dimulai dari pemahaman terhadap aturan-aturan (norms) yang mengatur aktifitas dan perilaku setiap anggotnya. Sebuah norma mungkin dapat dilihat secara eksplisit sebab norma tersebut ditegakkan secara formal. Apakah norma tersebut formal atau informal, keberadaan dan ‘power’ yang dimiliki memberi hubungan-hubungan dan pola-pola yang berlaku dalam kelompok, hal inilah yang membedakan sebuah kelompok sosial dari “unorganized mass of individuals” atau dari sebuah kumpulan tindakan individu-individu. Lundberg (1968) menyimpulkan bahwa kelompok dapat dijadikan sebagai “as a unit of observation”. Petter Blau (1980) sebagaimana dikutip Hess, dkk. (1989) menyimpulkan bahwa “the prime objective of sociology is the study of social structure and the processes that generate and change it. Which implies that our units of analysis are collectivities, not persons, because only collectivities have social structure.“ A collectivity is a group of people acting together, and its structure is a result of the coordinated actions of its members”. Maka unit observasi dan unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok-kelompok yang ada di Pasar Bawah termasuk aturan-aturan atau norma yang berlaku dalam kelompok yang diamati.
76
3.2.2 Pengumpulan dan Pencatatan Data Pengumpulan data dilakukan mulai September 2007 hingga Desember 2007. Data yang dikumpulkan meliputi wawancara-wawancara dengan informan (Pertanyaan wawancara lihat Lampiran C). Pengamatan terhadap kegiatankegiatan yang dilakukan oleh Gang KD di Pasar Bawah Pekanbaru. Lamanya pengamatan rata-rata dua jam, baik pada pagi, siang maupun malam hari. Jadwal pengamatan disesuaikan dengan waktu kerja penulis. Selain itu, informan telah setuju untuk merekam kesan pengalaman, pemikiran dan perasaannya dalam rekaman wawancara yang dilakukan dengan voice recorder. Dua wawancara lanjutan terhadap informan kunci berlangsung pada saat penulis hampir menyelesaikan tulisan ini. Penulis menggunakan sebuah buku besar lapangan yang dirasakan sangat membantu dalam tahap pengumpulan data. Buku besar lapangan tersebut memberikan cara-cara penulisan terperinci yang akan penulis lakukan selama penelitian di lapangan, dalam tahap penulisan dan analisis data. Catatan ini berisi rincian pengamatan penulis, pemikiran-pemikiran, perasaan dan persepsi penulis selama melakukan penelitian. Penulis memberi judul pada sampul buku besar lapangan tersebut “Lembaran Kerja Penelitian tentang Gang di Kota Pekanbaru”. Prosedur pencatatan data merupakan pendekatan yang dipergunakan dalam pencatatan data. Penulis memasuki lokasi penelitian dengan perhatian pada dua masalah penting : (1) apa yang akan dicatat, dan (2) bagaimana data itu akan dicatat. Maka penulis menyusun sebuah protokol pengumpulan informasi yang disesuaikan dengan pengamatan yang akan dilakukan selama proses penelitian. Protokol ini mencakup bagian-bagian sebagai berikut: (a) judul, (b) instruksi
77
kepada pewawancara (pernyataan pembuka), (c) pertanyaan penelitian kunci yang diajukan, (d) pertanyaan-pertanyaan investigasi untuk menindaklanjuti jawabanjawaban yang diberikan informan, (e) pesan transisi untuk pewawancara, (f) ruang untuk mencatat komentar-komentar pewawancara serta tempat peneliti menulis catatan reflektif. Catatan-catatan deskriptif yang dibuat penulis memuat ‘potret informan’, rekonstruksi dialog, penjelasan latar fisik, laporan kejadian khusus, dan kegiatankegiatan. Pada beberapa kesempatan peneliti dapat mencatat pikiran pribadi seperti spekulasi, perasaan, masalah, ide, dugaan, kesan dan prasangka (Bogdan and Biklens, 1992 dalam Creswell, 2002). Dalam bagian ini penulis juga memasukkan informasi demografis tentang waktu, tempat dan tanggal yang menjelaskan tempat dilakukannya pengamatan atau wawancara. Penulis mencatat informasi dari wawancara dan menggunakan digital voice recorder untuk merekam semua percakapan yang terjadi. Juga menggunakan kamera digital untuk mengambil gambar dan video peristiwa yang diamati. Jika menghadapi dokumen, penulis mencatat dan mengambil gambar dari penulis dan dokumen tersebut, kemudian membuat salinan (copy) dokumen tersebut dengan persetujuan informan. 3.3 Prosedur Analisis Data Meriam (1988) dan Marshall and Rossman (1989) berpendapat bahwa pengumpulan dan analisis data harus merupakan sebuah proses yang bersamaan dalam penelitian kualitatif. Proses analisis data bersifat pilih-pilih ; tidak ada cara yang benar (Tesch 1980). Data yang dihasilkan melalui wawancara, pengamatan
78
dan penelitian dokumen-dokumen tentang Gang KD di pasar bawah Pekanbaru sangat banyak, sebab analisis data mengharuskan peneliti terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan dan melihat pertentangan atau penjelasan alternatif temuan. Schatzman dan Strauss (1973) menyatakan bahwa analisis data kualitatif terutama bertujuan untuk mengelompokkan benda, orang dan peristiwa serta karakteristik-karakteristiknya. Dalam melakukan penelitian ini penulis membuat indeks atau kode data dengan menggunakan kategori-kategori yang terdapat pada rujukan penulis (tinjauan pustaka). Penulis berusaha untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pola kegiatan dan kehidupan Gang dari sudut pandang anggotaanggotanya, lalu berusaha untuk memahami dan menjelaskan pola ini. Selama tahap analisis data, data disusun secara kategoris dan kronologis serta ditinjau secara berulang-ulang. Penulis membuat daftar ide-ide penting yang mucul seperti yang dianjurkan oleh Meriam (1988). Sebagaimana di uraikan diatas data seperti jenis-jenis kegiatan, jumlah orangorang yang terlibat atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota Gang diinterpretasi dan dimasukkan kedalam sebuah tabel. Suatu hal yang perlu benarbenar dipahami bahwa analisis data dilakukan secara simultan dalam proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini misalnya, pada bulan pertama peneliti telah memperoleh gambaran tentang kegiatan-kegiatan Gang dan tindakantindakan yang dilakukan oleh anggotanya, kemudian peneliti mencoba merumuskan pola-pola yang ditemukan kedalam bentuk format laporan data observasi. Namun pada minggu berikutnya ternyata pola tersebut perlu disesuaikan dan diuji lagi di lapangan, yang akhirnya menjelang akhir bulan
79
kedua baru ditemukan pola kegiatan Gang yang lebih baik. Dalam melakukan analisis penulis melakukan penyesuaian seperlunya atas konsep yang dikemukakan oleh Schatzman dan Strauss di atas, hal tersebut dilakukan mengingat sifat penelitian lebih berorientasi praktis daripada teoritis. Jadi konsep Schatzman dan Strauss lebih merupakan suatu label yang diberikan bagi suatu kejadian, ide atau peristiwa mengenai suatu fenomena yang dapat dijelaskan yang satu dengan yang lain. Berikut disajikan contoh laporan observasi penulis (contoh laporan pengamatan lihat pada lampiran 3). Untuk memastikan keabsahan internal strategi-strategi berikut dilakukan penulis selama penelitian : (1) trianggulasi data : data dikumpulkan melalui sumber majemuk melalui wawancara, pengamatan dan analisa dokumen. Pengamatan dilakukan berulang-ulang dilokasi penelitian baik terhadap fenomena dan latar yang serupa maupun terhadap kegiatan-kegiatan lain yang berlangsung dilokasi penelitian selama kurang lebih 3 bulan masa penelitian, (2) pemeriksaan anggota informan : informan berperan sebagai pemeriksa sepanjang proses analisis data, penulis melakukannya melalui dialog yang berkesinambungan menyangkut interpretasi tentang realitas dan data yang ditemukan. hal ini untuk memastikan kejujuran data. Strategi utama untuk memastikan keabsahan eksternal menggunakan 3 teknik yang disarankan Meriam (1988) untuk memastikan reliabilitas, yaitu : (1) peneliti memberikan laporan rinci tentang fokus penelitian, peran peneliti, posisi informan, dasar pengumpulan data dan konteks untuk mengumpulkan data, (2) digunakan metode trianggulasi atau metode pengumpulan dan analisis data untuk
80
memperkuat reliabilitas dan keabsahan internal, (3) strategi pengumpulan dan analisis data dilaporkan secara rinci dengan memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang metode yang digunakan dalam penelitian. Seluruh tahap penelitian diperiksa dengan cermat oleh pembimbing yang berpengalaman dalam metode penelitian kualitatif. Reliabilitas pada umumnya diartikan sebagai kemampuan dari suatu metode untuk memberikan hasil yang berulang jika metode itu diterapkan oleh peneliti yang lain. Sebagian ahli ilmu sosial mengatakan bahwa reliabilitas hanya dipersoalkan oleh positifis, yaitu mereka yang melihat bahwa fakta sosial tidak berbeda dengan fakta alamiah sehingga dapat dipelajari secara berulang. Sebaliknya mereka yang memandang kenyataan sosial sebagai sesuatu yang berubah tidak mempersoalkan reliabilitas penelitian. Sehingga konsep mengenai pengulangan replication itu sendiri merupakan suatu permasalahan. Topik ini biasa disebut epistimologi dalam ilmu sosial, yaitu mempelajari sifat, lingkup, reliabilitas ilmu pengetahuan, atau dengan pernyataan populer “bagaimana kita mengetahui tentang apa yang kita ketahui” ( how we know what we know) Faroukh (1999). Peneliti tetap berusaha menyajikan selengkap mungkin semua teknik dan taktik yang diterapkan dalam penelitian ini dengan pemikiran bahwa kemungkinan ada peneliti lain yang bermaksud mengulanginya dikemudian hari. Hal tersebut tidak dapat menjamin bahwa penelitian akan dapat memberikan hasil yang berulang, mengingat proses sosial yang selalu berubah, khususnya jika rekomendasi yang ditawarkan berkenaan dengan hasil penelitian yang telah ditindaklanjuti.
81
61
KERANGKA TEORITIS STUDI TENTANG GANG DI PASAR BAWAH PEKANBARU
Pola Pemukiman
Perkembangan Kota
>Karakteristi k Gang Conformity
Masyarakat
Budaya (norma dan nilai)
Social Order (ketertiban atau keteraturan sosial)
>Profil Anggota Gang
Crime Conflict Retreat
Non-Conformity
Primary Group and Primary Relation
Delinquent Subculture
Delinq uent Gang
Differe ntial Associa tion
>Kegiatan Gang >Eksistensi Gang di Masyarakat Perkotaan >Proses Belajar dan Keberlangsun gan Gang
BAB IV KEHIDUPAN PENDUDUK DI PASAR BAWAH PEKANBARU Gambaran tentang lokasi penelitian merupakan deskriptif dari situasi dan keadaan yang menjadi latar penelitian. Penulis menganggap penting untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang latar penelitian Gang di Pasar Bawah Pekanbaru disamping untuk meninjau beberapa aspek kehidupan penduduk di Pasar Bawah dan sekitarnya yang berhubungan dengan Gang dan masyarakat di Pasar Bawah juga untuk memberikan informasi dimana, kapan dan bagaimana penelitian berlangsung. Latar penelitian berupa situasi dan keadaan yang ingin digambarkan pada bab ini meliputi demografi, geografi, faktor sosial budaya dan faktor sosial ekonomi masyarakat Pasar Bawah dan sekitarnya. Data-data yang dianggap penting dan berkaitan dengan gang dan masyarakat di sekitar Pasar Bawah antara lain jumlah dan distribusi penduduk, komposisi etnis, tingkat pendidikan, mata pencaharian dan kemiskinan serta fasilitas yang tersedia. Pada bagian akhir bab ini, penulis akan menggambarkan pula kegiatan sehari-hari di Pasar Bawah yang umumnya merupakan gambaran dari kegiatan masyarakatnya. Agar gambaran tersebut menjadi jelas, beberapa data sekunder yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Senapelan, Polsekta Senapelan, dan sumber-sumber lain di cek ulang melalui wawancara dan pengamatan (observasi). 4.1 Jumlah Penduduk dan Penyebarannya di Pasar Bawah dan Sekitarnya Keberadaan Pasar Bawah di tepi Sungai Siak merupakan saksi sejarah pembentukan kota Pekanbaru. Secara administratif Pasar Bawah terletak di Kelurahan Kampung Dalam, Kecamatan Senapelan. Laporan PT. Delena Pratama Indah
82
menyebutkan bahwa gedung Pasar Bawah memiliki luas 4,210 M2 dengan bentuk bangunan berlantai tiga. Faktor-faktor geografi Pasar Bawah merupakan gambaran batas-batas wilayah serta peruntukan pemanfaatan lahan di Pasar Bawah. Batas-batas wilayah Pasar Bawah dalam tulisan ini mengikuti batas-batas administratif kelurahan Kampung dalam dan Kecamatan Senapelan sebab Pasar Bawah sendiri merupakan pusat aktifitas perdagangan yang batas-batas administratifnya tidak begitu jelas. Pasar ini merupakan sentral kota Pekanbaru pada masa lalu, seiring dengan berkembangnya kota dan peran Sungai Siak sebagai pintu keluar masuk ke Pekanbaru. Tidak jauh berbeda dengan pelabuhan lain di Indonesia, misalnya Belawan dan Sunda Kelapa yang sejak jaman dahulu telah menjadi pusat perdagangan. Demografi di lingkungan di pasar bawah terdiri atas dua jenis. Pertama, penduduk, yakni orang-orang yang bermukim atau bertempat tinggal di kecamatan senapelan. Kedua, pedagang/pengusaha, yakni orang-orang yang berusaha, dan tidak bermukim dilokasi usahanya. Adapun jumlah penduduk di Pasar Bawah, khususnya Kampung Dalam tercatat 3333 jiwa. Jumlah penduduk pada kampung-kampung sekitar Pasar Bawah adalah sebagai berikut : Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kelurahan/Kampung Sekitar Pasar Bawah No
Kelurahan/Kampung
LK Pdg. Bulan 4877 Pdg. Terubuk 4102 Sago 1256 Kp. Dalam 1745 Kp. Baru 4150 Kp. Bandar 2598 Jumlah 18730 Persen 50.54% Sumber : Laporan Intelejen Polsek Senapelan 1 2 3 4 5 6
Jenis Kelamin PR Jumlah 4640 9517 4106 8208 1356 2612 1588 3333 4110 8260 2534 5132 18332 37062 49.46%
Persen 25.68% 22.15% 7.05% 8.99% 22.29% 13.85% 100.00%
83
Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah penduduk di Kampung Padang Bulan adalah yang tertinggi. Menurut Penulis, hal ini disebabkan letak Kampung Padang Bulan yang cukup strategis dan langsung bersentuhan dengan Sungai Siak. Meskipun Pasar Bawah berada di Kampung Dalam, tetapi tampaknya kebanyakan pedagang berasal dari kampung-kampung lain di sekitarnya. Kepadatan Penduduk rata-rata pada seluruh kampung-kampung di sekitar Pasar Bawah pada tahun 2005 / 2006 adalah : 37.062 jiwa (Polsekta Senapelan, 2007) Jumlah ini masih ditambah lagi dengan jumlah pedagang yang berasal dari luar kawasan Pasar Bawah serta para pengunjung Pasar Bawah yang berjumlah kurang lebih tiga ribu sampai empat ribu orang rata-rata setiap harinya. Maka, jika dilihat dari tempat pemukimannya, penduduk Pasar Bawah terbagi atas dua bagian. Pertama, mereka yang bermukim atau bertempat tinggal di kecamatan senapelan. Kedua, pedagang/pengusaha, yakni orang-orang yang berusaha tetapi tidak bermukim di Pasar ini. Berikut adalah tabel distribusi keluarga dan jumlah RW dan RT di kelurahan sekitar Pasar Bawah Tabel 4.2 Jumlah RW, RT dan Keluarga (KK) di Sekitar Pasar Bawah No 1 2 3 4 5 6
Kelurahan/Kampung
RW
Pdg. Bulan 10 Pdg. Terubuk 6 Sago 5 Kp. Dalam 5 Kp. Baru 8 Kp. Bandar 8 Jumlah 42 Sumber : Intelejen Dasar Polsek Senapelan Tahun 2007
Lokasi Pemukiman Keluarga RT (KK) 39 1.903 27 1.642 19 522 18 667 22 1.652 30 1.026 155 7412
84
4.2 Etnis Masyarakat Di Sekitar Pasar Bawah Pada masa sebelum tahun lima puluh-an, masyarakat atau penduduk mayoritas di daerah Pasar Bawah adalah etnis Melayu dan para pedagang cina. Kini, sesuai dengan perkembangan zaman, penduduk di Pasar Bawah tidak lagi hanya etnis Melayu ataupun cina, tetapi juga ditemukan etnis lainnya, seperti Minangkabau, Jawa dan etnis dari Sumatera Utara. Saat ini penduduk Kecamatan Senapelan, terutama di sekitar Pasar Bawah semakin beragam etnis dan kelompoknya. Selain orang-orang Minang dan Batak yang semakin banyak, etnis china pun semakin bertambah. Etnis china umumnya menempati ruko-ruko yang ada di pasar tersebut. Sedangkan etnis lainnya, hanya menggunakan kios atau toko sebagai tempat untuk berdagang. Komposisi Etnis di Kampung-Kampung sekitar Pasar Bawah adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Menurut Etnis Di Kelurahan/Kampung Sekitar Pasar Bawah
No
Kelurahan/Kampung
Etnis
Batak Cina Melayu Minang Jawa 1 Pdg. Bulan 1146 458 4014 3096 2408 2 Pdg. Terubuk 889 296 3459 3063 2075 3 Sago 189 94 978 1263 600 4 Kp. Dalam 241 120 1327 1609 683 5 Kp. Baru 894 298 3479 3082 2087 6 Kp. Bandar 678 246 2159 1912 1110 Jumlah 4040 1515 15418 14027 8966 Persentase 8.85% 3.32% 33.80% 30.75% 19.65% Sumber : Intelejen Dasar Polsek Senapelan Tahun 2007
Lain 229 395 94 120 497 308 1646 3.6%
Dari Tabel 4.4 di atas terlihat bahwa jumlah etnis yang paling banyak di sekitar Pasar Bawah adalah etnis Melayu dan Minang. Kemudian diikuti oleh etnis Jawa dan Batak, cina dan etnis lainnya. Etnis Minang meskipun tidak paling dominan di Pasar
85
Bawah, namun kebanyakan mereka menggeluti profesi sebagai pedagang. Ada yang berdagang kelontong, ada yang membuka rumah makan dan ada yang berdagang kain serta pakaian. Etnis cina meskipun tidak dominan tetapi menguasai banyak ruko yang ada di sekitar Pasar Bawah terutama ruko yang berada di jalan Juanda dan Jalan Senapelan. Etnis Batak, Jawa dan etnis lainnya meskipun ada yang membuka toko, tetapi tidak sebanyan etnis Minang dan Cina. 4.3 Mata Pencaharian dan Kemiskinan Potensi Ekonomi pencarian masyarakat di Kecamatan Senapelan pada umumnya berdagang dengan menggunakan fasilitas sungai siak (KP3), Pasar Bawah Jl. Saleh Abbas dan Pasar Senapelan, dan sebagian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan sebagai Karyawan pada Perusahaan – Perusahaan non Pemerintahan (swasta) serta sebagai Buruh. Tabel 4.4 berikut ini memperlihatkan Jumlah Pedagang yang ada di Pasar Bawah : Tabel 4.4 Jumlah Pedagang Di Pasar Bawah No. Nama Tempat 1. Kios Lantai I 2. Kios Lantai II 3. Kios Lantai III 4. Kaki Lima 5. Los Terbuka Total Jumlah Pedagang Sumber : PT. Dalena Pratama Indah, 2007
Jumlah Pedagang 118 148 91 133 150 640
Selain dikenal sebagai pasar tertua di Pekanbaru, Pasar Bawah dikenal juga sebagai sentralnya beragam produk dari luar negeri dengan harga yang miring. Sudah menjadi rahasia umum kalau dulunya di pasar ini banyak sekali didapati beragam produk dari Singapore dan Malaysia. Hal ini dimungkinkan, mengingat secara geografis letak kota Pekanbaru tidak terlalu jauh dari kedua negara tetangga tersebut.
86
Apalagi keberadaan Sungai Siak yang memiliki akses secara langsung ke Singapore dan Malaysia. Kenyataan ini sesungguhnya telah lama berlangsung sejalan dengan berkembangnya kota Pekanbaru. Aktifitas Pasar Bawah diawali pukul 04.00 pagi hingga pukul 17.00 sore. Umumnya, dari pagi hingga siang, transaksi untuk kebutuhan harian yang lebih dominan. Transaksi ini berlangsung hampir di setiap sudut pasar, mulai dari areal pertokoan di jalan Sago / H.A. Sulaiman hingga ke kios-kios di dalam pasar. Beragamnya barang-barang dari luar negeri di Pasar Bawah menjadi daya tarik tersendiri bagi warga dari luar kota Pekanbaru untuk mengunjunginya. Karena itu tidak mengherankan jika Pasar Bawah selalu ramai dikunjungi, terlebih lagi di akhir minggu. Hal menarik lain dari Pasar Bawah adalah tersedianya banyak barang-barang bekas ”second” mulai dari kelengkapan kendaraan bermotor hingga perlengkapan pertukangan. Keberadaan pasar yang beragam ini juga mengundang keinginan tahuan orang-orang yang kadang hanya ingin menghabiskan waktu untuk mengenal keberadaan pasar bawah. Selain aktifitas perdagangan, di Pasar Bawah berlangsung pula aktifitas pendukung lainnya, misalnya, bongkar muat dan jasa angkutan. Tetapi tidak jarang juga kegiatan ini meresahkan para pedagang ataupun pemilik barang toko-toko yang ada disana. Meskipun para pemilik barang sudah memiliki karyawan untuk memindahkan barang-barang mereka dari mobil ke toko, para buruh angkut ini juga tetap mengenakan pemilik barang untuk membayar kepada mereka. Sebenarnya di Pasar Bawah terdapat pos keamanan, tetapi kegiatan-kegiatan yang terkesan sebagai aksi Gangster tersebut sangat sulit untuk dihentikan.
87
Pada malam hari, mulai pukul 20.00 wib hingga pukul 05.00 wib, tidak ada aktifitas perdagangan di gedung pasar, tetapi pada beberapa ruas jalan yang mengelilingi Pasar Bawah, Kampung Dalam, Jalan Juanda, Jalan Ahmad Yani hingga ke Jalan Riau banyak pedagang makanan dan warung rokok berjajar di sepanjang jalan-jalan tersebut. Sudut-sudut Kampung Dalam keadaannya lebih gelap yang disebabkan kurangnya fasilitas penerangan jalan umum. Beberapa remaja dan orang dewasa banyak berkumpul pada teras-teras ruko untuk berbincang-bincang sambil menikmati makanan dan minuman. Ada kelompok yang senang mengisi aktifitasnya dengan bernyanyi, ada yang sibuk mengawasi mobilmobil parkir di sekitar warung makanan. Jika mobil akan bergerak, mereka mendekat untuk meminta uang parkir, padahal tidak ada pungutan parkir resmi pada jam-jam malam di lokasi itu. Ramainya situasi Pasar Bawah dengan aktifitas perdagangan ternyata bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Jika ditinjau dari tingkat kesejahteraan, masih banyak yang hidup di bawah kemiskinan. Data keluarga miskin di kampung-kampung sekitar Pasar Bawah yang diperoleh Penulis dari Kantor Kecamatan Senapelan memberikan gambaran yang cukup menyedihkan. Perhatikan Tabel 4.5 berikut :
88
Tabel 4.5 Data Keluarga Miskin di Kecamatan Senapelan
No
Kelurahan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kp. Dalam Kp. Baru Kp. Bandar Sago Pd. Bulan Pd. Terubuk
Data Gakin
Kartu yg beredar
Kartu yg ditarik
70 341 245 102 220 280
70 318 220 101 203 111
9 12 13 25 18
1.258 1.023 77 Jumlah Sumber : Laporan Tahun 2007 Kecamatan Senapelan
Jumlah 70 309 208 88 178 93
Jumlah Penduduk Gakin Tambahan 181 218 84 59 164 92
946
798
Tabel 4.5 tentang Data Keluarga Miskin jika dibandingkan dengan Tabel 4.2 tentang Jumlah RW, RT dan Keluarga (KK) di Sekitar Pasar Bawah diperoleh kesimpulan bahwa dari 7412 KK di sekitar Pasar Bawah 1258 KK atau 17% diantaranya merupakan keluarga miskin, bahkan setelah pendataan resmi dilakukan jumlah tersebut bertambah 798 KK sehingga menjadi 2056 KK atau 27,7%. Kondisi yang lebih memprihatinkan yaitu pada wilayah Kampung Dalam terdapat 251 KK keluarga miskin yang berarti 37,6% dari 667 KK yang tinggal di kampung tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa keberadaan Pasar Bawah yang secara administratif berada di Kelurahan Kampung Dalam tidak memberikan nilai tambah bagi kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. 4.4 Tingkat Pendidikan Sebagaimana dijelaskan pada tabel sebelumnya bahwa keberadaan Pasar Bawah tidak memberikan nilai tambah bagi kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Menurut Penulis hanya kelompok pedagang yang mendapatkan keuntungan dari keberadaan pasar tersebut. Maka tidak heran bila kelompok anak-anak, remaja dan 89
pemuda banyak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan sampai pada tingkat SMU, sebagaian besar hanya menamatkan sekolah sampai tingkat SLTP. (lihat tabel 4.6). Tabel 4.6 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kecamatan Senapelan Tingkat Pendidikan No Kelurahan 1
Blm Sekolah
Tidak TMT SD 482
TMT SD
TMT SLTP
TMT SLTA
Pd Bulan 532 1026 2467 3059 Pd 2 435 465 1127 2560 2617 Terubuk 3 Sago 252 195 614 925 567 Kp. 4 295 210 367 1075 877 Dalam 5 Kp. Baru 230 335 1175 2575 2792 Kp. 6 275 315 992 1081 1509 Bandar Jumlah 2019 2002 5301 10683 11421 Persen 5.59% 5.54% 14.68% 29.59% 31.63% Sumber : Intelejen Dasar Polsek Senapelan Tahun 2007
Akademi
PT
Buta Huruf
732
222
85
325
825
183
210
254
152
195
225
75
206
300
62
275
315
40
1943 5.38%
2141 597 5.93% 1.65%
Tingginya jumlah anak putus sekolah pada tingkat SLTP dan SMU membuat remaja dan orang dewasa yang ada di Pasar Bawah memiliki banyak waktu luang. Banyak yang menghabiskan waktu dengan duduk-duduk atau berkeliling-kelilinh, sambil menunggu peluang mendapatkan uang. 4.5 Sarana dan Prasarana Sosial dan Keamanan di Sekitar Pasar Bawah Sarana dan prasarana sosial merupakan gambaran tentang fasilitas pendidikan, kesehatan, pusat-pusat keramaian yang ada di sekitar Pasar Bawah. Jumlah sekolah yang ada dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut :
90
Tabel 4.7 Jumlah Sekolah di Kelurahan/Kampung sekitar Pasar Bawah
No
Fasilitas Pendidikan
Jumlah
1
TK
11
2
SD
23
3
SLTP
6
4
SMU
7
5
PT
0
Sumber : Intelejen Dasar Polsekta Senapelan Tahun 2007 Dari Tabel di atas dapat kita lihat bahwa fasilitas pendidikan yang ada sebagian besar hanya Sekolah Dasar (SD). Mereka yang tamat SD, jika akan melanjutkan pendidikan, hanya dapat ditampung pada 6 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang ada di sekitar Pasar Bawah, atau mereka dapat melanjutkan ke sekolah yang berada di kecamatan lain yang letaknya cukup jauh. Data pada tabel 4.6 tentang Tingkat Pendidikan Penduduk menunjukkan bahwa jumlah anak putus sekolah hingga tingkat SLTP mencapai hampir 26%. Fasilitas atau sarana sosial lainnya yang ada di Pasar Bawah adalah fasilitas atau kesehatan, diantaranya Puskesmas, rumah sakit, praktek dokter dan pos KB. Tabel 4.8 berikut merupakan gambaran fasilitas kesehatan yang terdapat di sekitar Pasar Bawah.
91
Tabel 4.8 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kelurahan/Kampung sekitar Pasar Bawah Sarana Kesehatan No Kelurahan Poliklinik Puskesmas Puskesmas RS Pembantu Bersalin 1. Kp. Baru 1 1 2 2. Kp. Bandar 1 4 3. Kp. Dalam 1 1 4. S a g o 1 1 5. Pd. Bulan 2 1 1 6. Pd. Terubuk 1 Jumlah 5 1 2 10 Sumber : Intelejen Dasar Polsekta Senapelan Tahun 2007
Praktek Dokter 3 2 4 10 7 7 33
Pos KB 8 8 5 5 8 6 40
Jumlah fasilitas kesehatan yang ada di Pasar Bawah dan sekitarnya sudah cukup memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Hal ini berbeda jauh dengan fasilitas hiburan dan tempat bermain anak-anak dan remaja yang hanya tersedia di Mal atau pusat perbelanjaan. Di Pasar Bawah tidak terdapat Taman Bermain untuk anak-anak atau taman kota sebagai sarana hiburan dan rekreasi keluarga. Adapun tempat-tempat keramaian umum adalah sebagai berikut : Tabel 4.9 Tempat Hiburan Umum di Kelurahan/Kampung sekitar Pasar Bawah No Nama Tempat Hiburan Pimpinan 1 Eksekutif Klub Willy 2 Permata Karaoke Ahok/sukri/aciok 3 Sago Tradisi Karaoke Furaya S a m i l i 4 Bandarioh Pub Mutiara Angie 5 Hokky 88 Gunawan 6 Mall Ciputra Seraya Apra/Wandi 8 Plaza Pasar Bawah Rudi Ahmad 9 Plaza Pasar Senapelan Maria Sumber : Intelejen Dasar Poltabes Pekanbaru Tahun 2007
Alamat Jl. Cempaka Jl. Kh. Ali Jl. Jend. Sudirman Jl. D.I.Panjaitan Jl. Riau Jl. Riau Jl. Saleh Abbas Jl. A.Yani
Dari tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa jenis tempat hiburan yang tersedia umumnya untuk orang dewasa. Selain pusat perbelanjaan, plaza atau mall, yang banyak adalah karaoke, pub atau klub malam. Hal ini menyebabkan suasana jalan-
92
jalan di sekitar Pasar Bawah hingga menjelang subuh, tidak pernah benar-benar sepi. Adanya tempat hiburan seperti Karaoke, Bilyar dan Diskotik menjadikan pengunjung maupun pelintas tidak pernah berhenti. Baru menjelang matahari terbit pukul 05.00 wib, aktifitas bertukar menjadi pasar pagi. Tempat-tempat hiburan malam sebagaimana disebutkan di atas sangat rawan bagi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban umum. Tidak heran bila pos-pos keamanan, baik Pos Polisi maupun Pos Tramtib dan Pos Koramil, tersebar cukup banyak di wilayah ini. Selain Markas Poltabes Pekanbaru yang berada tidak jauh dari Pasar Bawah, Polsek Senapelan pun hanya berjarak satu kilometer. Di Pasar Bawah sendiri terdapat Pospol Pasar Bawah yang berada di Jl. Saleh Abbas. Disamping itu, terdapat pula kantor dan pos milik TNI yang berada di sekitar Pasar Bawah yaitu POM TNI di Jl. A.Yani, Perbek TNI AD di Jl. Kp. Dalam, serta Koramil Senapelan Jl. D. I. Panjaitan. Bahkan pihak pengelola gedung Pasar Bawah senidir mempekerjakan 12 (duabelas) orang petugas sekuriti khusus untuk mengamankan Gedung Pasar Bawah. Meskipun demikian, ternyata jumlah gangguan keamanan di Pasar Bawah masih cukup tinggi terutama kejahatan yang bersifat konvensional atau street crime. (lihat lampiran 1 : Jumlah Kejahatan Yang Dilaporkan Ke Polsek Senapelan Tahun 2005 Sampai Dengan 2007 Setiap Bulannya). Kondisi Sarana dan prasarana pasar yang ada saat ini telah mengalami banyak kemajuan. Sepuluh tahun yang lalu, pasar ini hanya terdiri dari lapak dan kios-kios kayu. Namun demikian, meskipun hanya kios kayu, barang-barang yang ditawarkan sangat beragam dan terkesan mewah, khususnya barang-barang yang berasal dari luar negeri. Jenis barang yang dijual kebanyakan adalah barang-barang elektronik dan baju-baju atau fashion. Semakin lama Pasar Bawah semakin ramai dikunjungi
93
pembeli. Situasi ramai tersebut bahkan memberi kesan pasar ini tidak teratur, sangat padat, dan kotor. Uniknya, pasar ini tetap didatangi pengunjung karena daya tarik tersendiri dari barang-barang yang dijual. Pada tahun 1999 terjadi kebakaran yang menghabiskan seluruh kios yang ada. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut pemerintah membangun tempat penampungan sementara untuk menampung para pedagang ini menjelang dibangunnya pasar dengan konstruksi pasar raya yang lebih baik dan modern. Pembangunan dan pengelolaan Pasar Bawah diberikan kepada pihak pengembang, yaitu PT. Delena Pratama Indah. PT. Delena diberikan hak pengelolaan hingga dua puluh lima tahun sejak Gedung Pasar mulai dibangun dan setelah masa tersebut habis, pengelolaan akan dikembalikan kepada pemerintah daerah. Perubahan wajah pasar yang dilakukan PT. Delena sangat mengesankan. Bila dibandingkan dengan keadaan sebelum terjadi kebakaran. Pada masa itu hampir seluruh kios hanya terbuat dari kayu, sangat kotor dan tidak tertata bahkan semerawut. Kini penataan ruang pasar dan kebersihan menjadi perhatian utama bagi pengelola yang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat. Berbagai akses keluar masuk pasar terutama lorong jalan disekitar pasar ini juga ikut diperbaiki. Tetapi perbaikan tersebut justru dimanfaatkan oleh beberapa pedagang untuk menjual barang-barang second onderdil mobil, dan perlengkapan rumah tangga atau kantor eks Singapura. Pejabat pasar setempat menyebutkan bahwa pengembangan secara meluas terhadap pasar ini sudah tidak dapat memungkinkan lagi, selain karena keberadaannya di tengah kota Pekanbaru juga disebabkan lokasi pasar yang berada ditengah pemukiman padat. Sebagai gantinya Pemerintah daerah menetapkan suatu rancangan baru bagi Pasar Bawah sebagai sebuah pasar tradisional
94
yang bernuansa wisata dengan latar belakang Islami – Mesjid Raya Pasar Bawah Pekanbaru. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir, terjadi ada dua tahap perkembangan pasar bawah yang terekam dalam penelitan, yaitu masa Sebelum Pasar terbakar dan masa Sesudah Pasar terbakar. Terbakarnya Pasar Bawah pada tahun 1999 telah mengubah wajah pasar bawah menjadi apa yang kita lihat sekarang. Ketika Pasar Bawah terbakar, aktifitas perdagangan tetap berjalan di tempat penampungan sementara. Keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali, penentuan siapa yang boleh berjualan di tempat penampungan sementara seolah-olah diserahkan pada masyarakat dan pedagang semata-mata. Akhirnya kelompok yang kuat mengatur penempatan dan sewa lahan tempat penampungan sementara. Kelompok ini menikmati pendapatan yang besar dari jasa pengaturan lokasi pasar sementara. Pada saat Pasar baru telah dibangun kembali, kebiasaan memungut uang sewa, mengatur bongkar muat barang dari dan ke tokotoko, memungut uang keamanan dan uang kebersihan terus berlanjut hingga saat ini.
95
BAB V ANALISIS TENTANG KEBERADAAN GANG DI PASAR BAWAH PEKANBARU Kelompok-kelompok sosial dalam arti bentuk-bentuk kehidupan bersama merupakan suatu pembahasan penting dalam sosiologi. Perwujudan dari kehidupan bersama tersebut adalah kelompok-kelompok yang beraneka ragam dan tidak terhitung jumlahnya. Kelompok-kelompok sosial timbul karena manusia dengan sesamanya mengadakan suatu hubungan untuk tujuan dan kepentingan bersama. Kelompok Sosial atau Social Group adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal-‐balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong. Ciri-ciri kelompok sosial secara umum digambarkan oleh Hess dkk. (1988) sebagai berikut : (1) setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan, (2) ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya, (3) terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-‐anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-‐lain, (4) berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
96
Salah satu bentuk kelompok yang ditemukan penulis di Pasar Bawah adalah primary group. Primary group, sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, adalah kelompok-kelompok kecil yang cenderung permanen, dan berdasarkan kenal mengenal secara pribadi antar sesama anggotanya. Maka untuk menjelaskan kelompok-kelompok yang ada di Pasar Bawah dan membedakannya menurut klasifikasi gang dan bukan gang, Penulis akan meninjau data-data yang ditemukan dengan menggunakan Primary Group Theory yang dikemukakan oleh Cooley dan Relationship Indicator, dari Lundberg dkk., serta konsep-konsep tentang Gang yang dikemukakan oleh Trasher, Cloward and Ohlin, dan Morris. 5.1 Kelompok-Kelompok Sosial dan Gang di Pasar Bawah Berdasarkan catatan penelitian, penulis menemukan kelompok-kelompok berada dan atau beroperasi di Pasar Bawah dan Sekitarnya begitu banyak jumlahnya. Data-data kelompok-kelompok tersebut dicross-chek ulang dengan catatan resmi di Kantor Kecamatan Senapelan, Polsek Senapelan, Kelurahan Kampung Dalam, Pospol Pasar Bawah, dan Instansi Pengelola Pasar Bawah Pekanbaru. Penulis mengamati lebih dari dua puluh kelompok sosial yang terdapat di Pasar Bawah Pekanbaru. Nama-nama kelompok, alamat domisili, dan tokoh-tokoh kelompok sebagaimana terdapat pada lampiran 2. Tabel 5.1 berikut menggambarkan tipe-tipe kelompok yang ada dipasar bawah pekanbaru.
97
Tabel 5.1 Relationship Indicator Ditinjau dari Tipe-tipe kelompok di Pasar Bawah Pekanbaru
Nama Kelompok Sosial
AMPG
BHY
FKPP Kp. Baru
Grouping Type
Relationship Indikator
Family
GEMPAR
IKSS
LHMR
LDII
X
Neighbourhood
X
Play group
X
SPSI NIBA Kp. Dalam X X
X
X
X
Business Corporation Political Party Professional Association
X X
X
Sumber : Data Primer Penelitian, 2007 Kelompok-kelompok sosial tersebut tidak seluruhnya bersifat primer, seperti kelompok Bhayangkari Kota Pekanbaru, Wanita Katolik Republik Indonesia, ataupun Lembaga Dakwah Islam Indonesia sebab hubungan yang terjadi antar anggotanya tidak bersifat primer. Meskipun beberapa kelompok melakukan komunikasi face to face tetapi respon anggota terhadap permasalahan di dalam kelompoknya lebih merupakan respon terhadap individu yang dipengaruhi oleh keakraban pribadi. Sebagaimana disimpulkan dari wawancara penulis dengan Har, salah seorang anggota kelompok BHY, terhadap pertanyaan tentang lamanya ikatan kenal mengenal antar anggota kelompok bahwa ”Saya sebelumnya tidak mengenal ketua, kira-kira dua tahun lalu, ketika ia pindah dan langsung menjadi ketua kelompok kami, disitulah saya mengenal dia”. Pertanyaan lain yang ditanyakan oleh penulis kepada Har tentang siapa saja yang membantu anggota-anggota kelompok ketika menghadapi masalah dalam
98
kehidupan sehari-harinya, dijawab sebagai berikut, ”kalau ada masalah, sebetulnya kami lebih banyak minta tolong kepada tetangga atau saudara kerabat, karena rasanya tidak pas jika minta tolong kepada anggota atau ketua kelompok ini”. Informan juga menjelaskan bahwa keikutsertaannya dalam kelompok BHY hanya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dijalankan kelompok. Pertanyaan yang serupa diajukan pula kepada anggota-anggota dari kelompok lainnya dan penulis mendapatkan jawaban yang hampir sama meskipun variasi lamanya kenal mengenal tidak sama antar kelompok. Penulis melanjutkan pengamatan terhadap interaksi antar anggota pada kelompok-kelompok yang ada di Pasar Bawah. Sangat jelas terlihat bahwa pada kelompok-kelompok yang tidak primer di atas, komunikasi antar anggota, respon terhadap permasalahan anggota lain serta tujuan individu bergabung dengan kelompok tersebut, tidak menunjukkan adanya hubungan-hubungan primer diantara anggota. Colley menjelaskan ”a group is primary in so far as it based on primary relations”, dan karakteristik utama primary relation adalah ” -Response is to whole persons rather than to segments, Communications is deep and extensive, Personal satisfactions are paramount-. Situasi yang diamati dalam kelompok dan wilayah dimana kelompok tersebut berada tidak cocok (congenial) bagi terbentuknya primary group. Penulis menemukan bahwa jumlah anggota kelompok bervariasi antara puluhan hingga ratusan orang. Meskipun Broom and Selznik (1963) tidak mensyaratkan besar kecilnya jumlah anggota bagi terbentuknya primary group tetapi penulis menemukan bahwa kelompok-kelompok yang besar atau lebih dari seratus orang semakin tidak primer. Sebagaimana yang disimpulkan dari
99
penjelasan informan tentang hal tersebut sebagai berikut; “kalau tidak salah jumlah seluruh anggota sekitar seratus enam puluh orang. Saya tidak kenal semuanya. Yang saya kenal hanya yang satu tim dengan saya. Memang, pada saat berkumpul, kami sering berbicara antara satu sama lain, tetapi hanya sebatas itu saja”. Perasaan sebagai satu kesatuan dalam kelompok diperdebatkan oleh Kingsley (1960) bahwa kenyataan yang tidak dapat disangkal pada setiap kelompok sosial sampai derajat tertentu pasti memiliki perasaan sebagai satu kesatuan. Hal tersebut perlu untuk mempertahankan keberadaan kelompok. Menurut penulis, derajatderajat perasaan kesatuan tersebut memang dapat diamati (observable) terutama jika kita menanyakan tanggapan-tanggapan terhadap hubungan kelompok tersebut dengan kelompok lain, seperti yang dijelaskan informan; “ada waktu-waktu tertentu dimana rasanya kita begitu akrab, tetapi sebentar saja. Kalo situasi berubah, perasaan itu hilang lagi”. Penulis menanyakan kapan saat perasaan akrab itu muncul dan hilang, ”kalo ada pertandingan-pertandingan olah raga pada harihari besar, kita menjadi sangat akrab, tetapi setelah itu hilang lagi”. Analisis penulis terhadap perasaan akrab yang muncul pada situasi-situasi tersebut, sifatnya tidak permanen dan hanya muncul ketika kelompok mempertahankan identitas dan keberadaan kelompok dalam “persaingan” dengan kelompok lain. Ini belum cukup primer untuk dikatagorikan sebagai primary group. Kelompok-kelompok yang ditandai ciri kenal mengenal ditemukan pula diantara kelompok-kelompok yang ada di Pasar Bawah, seperti Laskar Hulubalang Melayu Riau, Forum Komunikasi Pedagang Pasar, Forum
100
Komunikasi Pemuda Pemudi Kampung Baru, dan beberapa kelompok lainnya. Salah seorang anggota Kelompok KB mengambarkan kenal mengenal dalam kelompoknya sebagai berikut; “kebanyakan yang kumpul di sini, anak-anak kampung baru. Maksudnya keluarganya memang asli sini. Kami kenal sejak dulu dan tidak ada “orang luar” yang “gabung” ke sini”. Meskipun pada pengamatan terhadap kelompok KB menunjukkan adanya “orang-orang luar” yang bergabung dengan kelompok tersebut tetapi keberadaannya sudah diterima seperti orang dalam. Pengertian “orang luar” adalah orang-orang yang tidak bertempat tinggal di kampung tersebut sedangkan “orang dalam” sebaliknya. Tabel 5.2 menggambarkan derajat keprimeran kelompok-kelompok yang diamati : Tabel 5.2 Indikator Hubungan Primer ditinjau dari “Usual Phisical Conditions”
Usual Physical Conditions
Relationship Indikator
Nama Kelompok Sosial
AMPG
BHY
FKPP Kp. Baru
Direct Communication
X
Spatial Proximity
X
Small numbers of members
X
Low membership turnover
X
Continuous interaction
X
Long Duration
X
GEMPAR
IKSS
LHMR
X
X X
X
X X
X
X X
X
X
X
Spatial Distance
X
X
X
X
Large numbers of members
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Brief duration
X X
Indirect Communication
High membership turn over Periodic interaction
LDII
SPSI NIBA Kp. Dalam
X
X X
X
X X
X
X
Sumber : Data Primer Penelitian, 2007
101
Penulis melanjutkan penggalian terhadap respon antar anggota dalam kelompok seperti yang dijelaskan oleh MUH sebagai berikut “bagi kami sesama anggota sudah biasa saling tolong menolong. Biasanya kalau ada hajatan di salah satu rumah anggota, kami berbagi tugas untuk membantunya”. Pendapat yang sama disampaikan juga oleh anggota yang lain kepada penulis. “Bukan saja dalam acara hajatan, tapi macam-macamlah. Namanya juga kita sekampung”. Pertanyaan tentang solidaritas antar sesama anggota dijelaskan pula oleh informan kepada penulis sebagai berikut; “bagi kami, berbagai masalah yang menimpa anggota kami, selalu kami bantu sebisanya. Ada semacam tanggung jawab bersama antar sesama anggota kelompok”. Broom and Selznik (1963) membahas intimacy and encounter dalam primary group sebagai berikut; “from the stand point of individual, the primary group has adual significant (1) it is haven or revuge, a place of comfort and protection; and (2) it is the locale within which the main drama of individuals, personal live is acted out. Artinya, bagi individu, primary group dimana ia berada setidak-tidaknya memiliki dua makna yakni sebagai tempat dimana ia mendapatkan kenyamanan dan perlindungan, dan sebagai tempat dimana ia melakukan seluruh aktivitasnya sebagai bagian dari kegiatan kelompok secara menyeluruh. Gangguan terhadap anggota kelompok dianggap sebagai Gangguan terhadap kelompok. Kesimpulan penulis terhadap munculnya perasaan kesatuan dan solidaritas juga dipengaruhi besar kecilnya jumlah kelompok. Dengan membandingkan pada kelompok-kelompok yang lebih besar anggotanya, kelompok KB yang beranggotakan kurang lebih enam puluh orang memiliki derajat keprimeran yang lebih tinggi.
102
Tally dalam Tally’s Corner; A Study of Negro Street Corner Man yang dikutip Broom dan Selznik (1969) mengadaptasikan kehidupan jalanan di sebuah sudut kota Washington DC yang diamatinya terhadap dua puluh empat orang negro dewasa menjadi sebuah kesimpulan bahwa: “freindship is sometimes anchor in kinship, sometimes in long – term associations witch may reach back into chaild hood. Under close freindship are born locally, in the street corner world it self rather then brought in by man from the outside. Such friendship are built on neighbour or co – worker relationship, or on a shared experince or another event or situation which bring two people together in a special way”. Secara umum Tally ingin mengatakan bahwa persahabatan terkadang berubah menjadi sebuah persaudaran. Persahabatan itu terbina diantara orang-orang yang tinggal berdekatan dan membagi pengalaman masing-masing atau terbentuk pada sebuah situasi yang membawa dua individu dalam suatu hubungan yang khusus. Di sini nilai persahabatan berubah menjadi nilai persaudaran “the most common form of pseudokin relation is known as “going for brother”. Maknanya secara sederhana adalah dua indvidu tersebut ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa mereka bersaudara dan berhubungan satu sama lain, seperti abang-adik. Persaudaraan ini muncul pada suatu pernyataan berupa tanggung jawab, kesetiaan, harapan-harapan sebagai sesuatu yang ingin dicapai dari persaudaraan semu tersebut. Tabel 5.3 berikut ini menggambarkan hasil pengamatan penulis terhadap beberapa kelompok dengan menggunakan indikator “normative requirements”.
103
Tabel 5.3 Relationship Indikator: Normative Requirements Pada Kelompok-Kelompok Di Pasar Bawah Pekanbaru
Normative Requirements
Relationship Indikator
SPSI NIBA Kp. Dalam
FKPP Kp. Baru
GEMPAR
IKSS
LHMR
Informal Expectations
X
X
X
X
X
Involve whole Persons
X
X
X
Stress affective relationship
X
X
X
Nama Kelompok Sosial
AMPG
BHY
LDII
Formal Prescriptions
X
X
Involve behavioural segments
X
X
X
X
X
Stress instrumental relationship
X
X
X
X
X
elaborate division of labor
X
X
X
Sumber : Data Primer Penelitian, 2007 Dari hasil pengumpulan data sekunder, khususnya catatan di kantor kepolisian, penulis mengetahui bahwa kelompok KB pernah terlibat dalam perkelahian dengan kelompok lain yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru. Catatan kepolisan menyebutkan bahwa penyebab perkelahian adalah ketersinggungan antar individu akibat ucapan yang tidak pantas terhadap pribadi si A sehingga terjadi perkelahian antar individu yang pada akhirnya berubah menjadi perkelahian antar kelompok. Penulis menanyakan ulang permasalahan tersebut kepada salah seorang anggota kelompok KB. Apakah ia atau kelompoknya pernah terlibat perkelahian dengan kelompok lain di Pasar Bawah? Informan RAM mengatakan “seingat saya, ada dua atau tiga kali pernah terjadi perkelahian dengan kelompok lain. Sebabnya
104
hanya masalah pribadi. Tapi karena kita bersaudara, maka kita harus melindungi saudara kita itu”. Pak NAS, tokoh masyarakat di luar kelompok yang diwawancarai, menjelaskan situasi tersebut sebagai berikut; ”orang-orang kelompok KB itu, memang selalu bikin ulah. Dan kalau mereka ”datang” selalu beramai-ramai”. Tindakan kelompok yang mengambil alih tanggung jawab dan permasalahan anggotanya merupakan suatu bentuk peleburan tujuan-tujuan individu ke dalam tujuan-tujuan kelompok yang melembaga dan dipraktekan dalam hubungan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. NAS menambahkan bahwa ”kelompok-kelompok seperti KB tidak hanya meresahkan karena perkelahian, tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti berkumpul, bernyanyi di simpang sampai larut malam, dan tak jarang juga mereka minum-minum”. Penulis menanyakan apakah ada kelompok lain yang melakukan hal-hal yang sama dengan kelompk KB di Pasar Bawah, "Ada satu lagi yang lebih gawat, yaitu kelompoknya si RK. Itu kumpulan anak-anak Kampung Dalam”. Dengan demikian, apa yang dikatakan Colley tentang primary group yang ditandai dengan karekter intimate face to face association and cooperation dimana pada tingkat tertentu terjadi peleburan tujuan indvidu dan kelompok yang tidak dapat dibedakan, dapat ditemui pada kelompok KB dan kumpulan anak-anak Kampung Dalam. Mungkin gambaran sederhana tentang keseluruhan anggota dalam kelompok itu adalah dengan menyebut diri mereka ”KAMI atau KITA” (WE). Kami adalah sebuah ungkapan alami untuk menunjukan keterlibatan rasa simpati dan mutual identification dalam kehidupan seseorang, dimana ia menemukan hal-hal yang sesuai dengan apa yang ia inginkan di dalam kelompok tersebut.
105
Kegiatan-kegiatan kelompok yang bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh NAS di atas membedakan kelompok-kelompok non Gang (primary group non Gang) dan kelompok yang diidentifikasi sebagai Gang. Maka hal utama yang membedakan kelompok-kelompok kawan sepermainan (peer group) dengan Gang anak muda (youth Gang) yaitu adanya konflik dengan kelompok lain, keluarga, sekolah dan polisi yang terjadi akibat unsupervised activities. Broom and Selznik (1963) menyimpulkan hal tersebut ke dalam sebuah rumusan studi tentang Gang ”A study of street corner societies, which have the characteristic of Gang, concluded they arise spontaneously unsupervised recreational activities, consisting largely of just “hanging around” on a particular street corner”. Broom and Selznik menambahkan bahwa Gang anak muda (youth Gang) dapat dikatakan sebagai primary group sebab mereka terbentuk dari “significant extence of primary relations and performs function normally”. Tentu ada kalanya terjadi perbedaan-perbedaan paham bahkan pertentangan antar anggota kelompok. Sebagaimana dijelaskan HAR warga Kampung Dalam yang tergabung dalam kelompok pimpinan RK, “kadang-kadang diantara kita sering bertengkar juga. Tapi dalam satu atau dua hari sudah baikan kembali”. Penulis menanyakan hal-hal apakah yang biasanya menyebabkan pertengkaran, dan di jawab oleh JUM “paling-paling soal bagi-bagi kerja dan pembagian hasil. Kalau sudah ditengahi Bang RK, biasanya cepat selesai”. Secara mutlak tidak dapat dikatakan bahwa kehidupan serta hubungan-hubungan akan selalu harmonis, namun semuannya itu demi kepentingan kelompok juga. Tabel 5.4 menggambarkan bagaimana kelompok-kelompok di Pasar Bawah menerapkan sanctions dalam kelompoknya.
106
Tabel 5.4 Relationship Indicator : Sanksi dan Kontrol Dalam Kelompok-Kelompok di Pasar Bawah
GEMPAR
IKSS
LHMR
Personal Control
X
X
X
X
X
Informally administered
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
involve primary internal constrain Sanctions
Relationship Indikator
SPSI NIBA Kp. Dalam
FKPP Kp. Baru
Nama Kelompok Sosial
AMPG
BHY
X
imposed by group itself
LDII
Impersonal Control
X
X
X
Formally administered
X
X
X
involve chiefly external constrain Imposed by designated enforcements official
X
X
X
X
X
X
X
X
Sumber : Data primer penelitian, 2007 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, - kelompok-kelompok di Pasar Bawah, hubungan-hubungan primer antar anggota kelompok, karekteristik primary group dan adanya kecenderungan berbuat menyimpang dari normanorma umum yang berlaku dalam masyarakat - penulis menyimpulkan terdapat beberapa Gang di Pasar Bawah Pekanbaru yaitu Gang KD, BARA dan OKP-PP. 5.2 Karakteristik Gang dan Profil Anggotanya Gang-gang yang ada atau beroperasi di Pasar Bawah memiliki karakteristik yang hampir sama. Hal ini terutama ditentukan oleh asal mula Gang serta kondisi
107
lingkungan yang cocok/sesuai (congenial) bagi terbentuknya gang. Penulis tidak memasukkan organisasi-organsisasi pemuda dan serikat pekerja yang jumlahnya banyak di Pasar Bawah sebab kelompok ini lebih menampilkan ciri-ciri organized crime. Gang KD dapat dikatakan sebagai kelompok yang paling berkuasa dan yang pertama-tama
mempraktekkan
kegiatan-kegiatan
Gang
di
Pasar
Bawah
Pekanbaru. Hal ini sesuai dengan penjelasan beberapa orang informan kunci yang penulis temui. Misalnya BUN yang sejak lahir sampai saat ini terus menerus tinggal di Kampung Dalam dan kini ia bekerja sebagai security tidak tetap di salah satu pusat perbelanjaan pasar tersebut. “Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok KD berada di Pasar Bawah kira-kira tahun 70-an. Mereka menjalani kehidupan yang hampir tidak berubah sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka mulai dewasa mereka ingin mencari pekerjaan tetapi banyak yang tidak diterima oleh pemilik toko sehingga mereka menjadi pengangguran, dan menghabiskan waktu di sekeliling pasar untuk mencari kesempatan mendapatkan uang”. Pendapat yang sama disampaikan seorang tokoh di wilayah Pasar Bawah dan sekitarnya, FAT menjelaskan “kelompok-kelompok lain di sini kalau mau ikut beroperasi, biasanya minta izin dulu pada kelompok KD”. Ketika penulis menanyakan mengapa mereka meminta izin, FAT menjawab “di Pasar Bawah ini identik dengan kekuasaan dan pengaruh kelompok KD. Boleh di bilang kalau beroperasi tanpa sepengatahuan dan seizin mereka, sama saja dengan mencari masalah”. Dalam sub bab berikut ini, penulis akan mencoba menjelaskan karekteristik Gang, profile anggota dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Gang KD di Pasar
108
Bawah Pekanbaru. 5.2.1 Karakteristik dan Tipe Gang What is a Gang? What charecteristic does it possess which distinguish it from other forms of colective behaviour such as a play group, a crowd, a club, a ring or secret society? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagaimana yang dijelaskan dalam rujukan literatur penulis tentu tidak dapat dijawab hanya dengan defenisi-defenisi yang terdapat dalam literatur tentang Gang. Jawaban seharusnya diperoleh melalui suatu proses pengujian terhadap berbagai fenomena aktual tentang Gang dan membandingkannya dengan kelompok primer lainnya. Observasi terhadap karekteristik-karekteristik Gang sebenarnya merupakan suatu penggalian terhadap variabel-variabel Gang secara sistematis. Penulis mendapatkan banyak perbedaan atau variasi yang sangat sulit untuk dikonseptualisasikan bila ditinjau dari rujukan-rujukan teoritik sebelumnya. Misalnya perbedaan umur anggota Gang yang sangat besar antara 14 sampai dengan 45 tahun yang sebelumnya tidak didiskusikan oleh Colley, sebab Gang tumbuh dari pergaulan kawan sebaya (peer group) atau kawan sepermainan (play group). Maka sangat sulit untuk menjelaskan hubungaan perbedaan umur anggota Gang dengan perbedaan perilaku yang diamati. Pembahasan tentang karekteristik Gang KD, sebagaimana dijelaskan Thrasher melalui diagram natural history of the Gang, difokuskan pada asal mula terbentuknya Gang (embryonic stages) dan perkembangan Gang yang pada akhirnya menentukan tipe Gang. Di awal sebelum terbentuknya sebuah Gang, anggota-anggotanya tumbuh sebagai anak-anak atau remaja yang sering berkumpul dan menghabiskan waktu
109
bersama-sama. Kegiatan berkumpul dan menghabiskan waktu bersama ini seolaholah tidak mengenal batas waktu karena mereka mendapatkan kepuasan dari kegiatan yang dilakukan tersebut. Sekumpulan anak-anak atau remaja di Kampung Dalam yang secara spontan membentuk kelompok-kelompok sepermainan merupakan awal dari terbentuknya Gang KD (embrio Gang). Kebiasaan berkumpul memberikan kesempatan bagi embrio Gang menjadi a real Gang. Penulis menanyakan kepada seorang anggota Gang KD tentang kisah-kisah masa kecil mereka, TAR menjelaskan, ”kami sudah sejak lahir tinggal di kampung ini. Pasar Bawah dan pelabuhan tempat kami kumpul dan bermain. Kawan-kawan anggota KD yang lainnya pun teman-teman saya sejak kecil dan orang sini semua. Waktu kami mulai besar, kami mulai ikut mencari uang”. Ketika menjelaskan kegiatan-kegiatan pada masa kecil, TAR melanjutkan “Dulu Pasar Bawah tidak seperti (sekarang) ini. Asal kami mau bantu-bantu saja, kami bisa dapat lima puluh sampai seratus rupiah setiap hari. Waktu itu uang segitu sudah banyak. Bisa untuk jajan atau belanja-belanja lainnya (TAR menceritakan pada waktu itu sekitar awal tahun 80-an, harga satu mangkuk miso ayam, kira-kira sepuluh rupiah). Kadang-kadang ada kawan yang nakal, uang itu dibelikan rokok. Kami merokok di dekat pelabuhan sambil mandi-mandi (berenang) di Sungai Siak. Kalau ada yang ketahuan orang tua, biasanya kena marah”. Penulis melanjutkan pertanyaan tentang apa yang dilakukan TAR dan temantemannya ketika mulai remaja. “paling seru kalau kita pulang sekolah, berkelahi dengan anak-anak kelompok lain. Misalnya anak-anak Kampung Baru. Ada juga kawan-kawan yang bolos atau cabut dari sekolah. Kawan-kawan yang tidak berani
110
melakukan kenakalan-kenakalan seperti itu, kami sebut dia bencong”. Dalam dokumen yang diteliti penulis tentang sejarah Pasar Bawah, pada tahun delapan puluhan, kehidupan di pasar tersebut dan kegiatan-kegiatan perdagangan lainnya telah ramai, terutama di sekitar pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu keluar masuknya barang-barang dari dan ke Pekanbaru. Dari data yang dikumpulkan penulis, sebagian besar dapat dikelompokkan ke dalam dua masa, yaitu masa sebelum terbakar dan masa sesudah terbakar. Thrasher (1968) menjelaskan tentang hubungan faktor lingkungan dengan terbentuknya Gang sebagai berikut : Such a crowded environment is full of opportunities for conflict with some antagonist person or group within or without the Gangs on social milleu. The conflict arises on the one hand with groups of it on class in disputes over the value prerogatives of Gangland – teritory, loothe, play spaces, patronage in illicit bussiness, privileges to exploit and so on; it comes about on the other trough opposition on the park of the conventional social order to the Gangs unsupervised activities. Thraser ingin mengatakan bahwa lingkungan yang padat merupakan suatu peluang bagi timbulnya konflik dengan seseorang atau dengan kelompok lain. Konflik tersebut dapat terjadi dalam sebuah kelompok pada beberapa hal seperti penguasaan wilayah, perebutan tempat bermain, tipu-menipu yang merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain atau previlege yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Konflik lain juga muncul dalam kegiatan Gang yang bertentangan dengan norma sosial yang ada. Pada situasi seperti ini, Gang menghadapi sebuah perjuangan mempertahankan eksistensinya baik terhadap Gang lain maupun terhadap kekuatan-kekuatan lain disekelilingnya. Hasil wawancara yang dirangkum penulis dari beberapa anggota Gang KD tentang masa kecil mereka, perubahan-perubahan lingkungan Pasar Bawah dan
111
sekitarnya, dan perkembangan Gang memberikan gambaran bahwa Gang KD muncul dari sebuah “spontaneous play-group”. Konflik-konflik dengan kelompok lain atau dengan lingkungan sekitar dan masyarakat di Pasar Bawah menimbulkan kesadaran anggota kelompok akan eksistensinya. Sebuah kelompok tidak dapat dikategorikan sebagai Gang hingga mereka (anggota-anggota Gang) mulai merasakan ‘kegairahan’ dari pertentangan-pertentangan yang ada dan menikmati apa yang dikatakan sebagai “disapproval”. Kondisi-kondisi lingkungan jika memungkinkan akan berlanjut dari pembentukan eksistensi Gang kepada sebuah evolusi alami dari Gang yang rapuh dimana loyalitas anggotanya belum teruji dan a Gang moral belum matang berubah menjadi sebuah Gang yang solid dengan keanggotaan yang loyal. TAR menjelaskan kepada penulis tentang bagaimana terbentuknya loyalitas dan a Gang moral dalam Gang KD sebagai berikut “saya lupa tahunnya, tapi waktu itu ada satu tempat bilyard di dekat pelabuhan, banyak orang yang datang ke tempat itu. Saya dan kawan-kawan pun sering main ke sana. Tapi kami hanya main sesama kami saja. Orang-orang yang datang pun main dengan kawan-kawan dia juga”. Penjelasan TAR tersebut dapat dipahami sebagai awal dari terbangunnya kesadaran kelompok (group consciouesness) pada Gang KD. Penulis selanjutnya menanyakan apakah ada persaingan antar kelompok di tempat bilyar tersebut, dan TAR menjelaskan bahwa persaingan antar kelompok memang ada, terutama saat tempat bilyar penuh dan banyak group yang mengantri untuk bermain sehingga menimbulkan ide-ide baru pada setiap kelompok untuk menguasai tempat bilyar tersebut, setidak-tidaknya mendapatkan kepastian bahwa kelompok mereka dapat bermain kapan pun datang ke tempat bilyar tersebut.
112
Terbangunnya
kesadaran
kelompok
juga
disertai
munculnya
rasa
kesetiakawanan atau loyalitas seperti digambarkan TAR sebagai berikut “saya dan kawan-kawan kalau pergi ke sekolah, selalu bersama-sama. Padahal, sering pula kami tak sampai di sekolah. Nanti, kalau orang tua bertanya, kami katakan kalau kami semua pulang dari sekolah. Pokoknya, pada waktu itu, kami sama-sama melindungi”. Tabel 5.5 dan Chart 1 menggambarkan reaksi positif antar sesama anggota dalam Gang KD. Tabel 5.5 Reaksi Positif Antar Anggota Gang KD Positive Reaction
Kasus
Persentase (%)
Shows Solidarity
4
14.8
Shows Tension Release
6
22.2
Shows Agreement
17
63
27
100
Jumlah Kasus Sumber : Data Primer Penelitian, 2007
Dari tabel 5.5 di atas, terlihat bahwa reaksi positif tertinggi berada pada indikator shows agreement, yang berarti sesama anggota Gang saling menyetujui keputusan, tindakan dan kegiatan yang dilakukan oleh anggota lainnya. Meskipun rasa solidaritas terlihat kecil pada skala diatas, sesungguhnya persetujuan, saling membagi perasaan (tekanan) dan solidaritas merupakan suatu kesatuan reaksi positif yang ditunjukkan oleh anggota Gang terhadap anggota Gang lainnya. Penulis sependapat dengan apa yang dijelaskan oleh Tharaser (1968) tentang terbentuknya loyalitas pada The Notoriuos Glorrians Gang : this desire to escape family supervision marked the beginning of our feeling of solidarity. Out first loyalities were to protect each other againts our parents. Sometimes the letter were regarged with great dislike by the Gang. The mother of one boys, who was
113
very unkind to him, viewed us with equal hatred and once threw a pan of dishwater on us when we were whistling for our pal”. Tanda awal dari terbentuknya rasa solidaritas adalah tindakan saling melindungi tidak hanya terhadap Ganguan dari luar tetapi juga terhadap kontrol keluarga dan orang tua. Tabel 5.5 di atas menunjukkan bagaimana solidaritas yang terjadi dalam Gang KD yang disimpulkan dari kasus-kasus diketahui melalui wawancara dan pengamatan terhadap anggota-anggota Gang KD Tabel 5.5 di atas juga menggambarkan interaksi antar anggota dalam 3 indikator reaksi positif. Sebagaimana disimpulkan dari jumlah kasus dimana anggota Gang KD pada setiap permasalahan memberikan reaksi postif, interaksi yang terjadi lebih menunjukkan adanya kesesuaian (agreement), saling pengertian, serta solidaritas. Sebagian besar anggota Gang menunjukkan persetujuan kepada anggota lain meskipun hal tersebut tidak jelas diketahui permasalahannya oleh anggota Gang tersebut. Keterangan-keterangan dan penjelasan tentang awal terbentuknya Gang KD, baik yang disampaikan oleh anggota Gang maupun oleh informan lain di luar Gang KD memberikan keyakinan kepada penulis bahwa Gang KD merupakan tipe Gang yang solid (solidified type). Masa awal terbentuknya Gang KD dapat ditelesuri ulang dari penjelasanpenjelasan tentang kenakalan-kenakalan masa kecil dan remaja anggotanya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan untuk mengisi waktu-waktu luang serta konflik-konflik dengan kelompok lain atau masyarakat sekitar pasar bawah. BUS seorang anggota Gang KD menceritakan kepada penulis tentang kenakalankenakalan yang dilakukannya bersama kawan-kawannya di sekitar pelabuhan dan
114
Pasar Bawah “ Group kami ada lima orang. Macam-macam yang kami buat. Dulu, toko si Abun itu, sering kami curi dagangannya, seperti limun, susu kaleng dan sebagainya. Hasil curian itu kami habiskan bersama-sama”. Kemudian penulis menanyakan kepada BUS, selain kegiatan masa lalu yang menyenangkan, apakah pernah BUS dan kawan-kawannya mengalami peristiwa yang menyedihkan bersama-sama? BUS menjawab “pernah, yang paling saya ingat, waktu kami tertangkap mencuri kabel di pelabuhan. Kami dibawa ke kantor polisi dan sempat dikurung dua hari sampai keluarga kami datang menjemput. Seorang kawan saya lolos, tapi kami tidak menceritakan itu kepada polisi”. Keakraban dan kesetiaan anggota Gang KD masih dipegang teguh hingga kini. RM anggota polisi menjelaskan betapa sulitnya meminta keterangan kepada anggota Gang KD jika ada salah seorang dari mereka yang dicurigai terlibat dalam tindak kriminal. Mereka tidak saja berusaha untuk menutupi keberadaan kawannya, tapi juga melindungi dari kemungkinan tertangkap oleh polisi. Gang-Gang yang solid dalam hasil penelitian Thrasher (1963) dijelaskan memiliki ”a high degree of loyalty and morale and minimum of internal friction” yang terbentuk sebagai hasil sebuah proses “a longer development and a more intense and more extended conflict”. Maka dapat dikatakan bahwa Gang KD dengan berbagai konflik dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh anggotanya secara bersama, telah membentuk Gang KD menjadi apa yang disebut Thrasher sebagai the solidified type. Tipe Gang ini mewariskan pula nilai esprite de corps of the Gang yang menjadi bukti bahwa tindakan-tindakan kolektif menyatukan perasaan-perasaan anggotanya ke dalam sebuah semangat kebersamaan. Bahkan bila terjadi konflik
115
internal, tidak serta merta dapat memecah kesatuan kelompok. Kembali ke pokok bahasan tentang karekteristik Gang, Thrasher (1968) menjelaskan tentang karekter Gang sebagai ”the individuality of Gangs”, sesungguhnya tidak ada dua Gang yang sama, baik dalam prinsip-prinsip, bentuk dan keunikannya. Karakter Gang ditentukan oleh sebuah sebaran variabel dari personil atau anggotanya yang dikombinasikan dengan perbedaan fisik, perbedaan lingkungan sosial, pengalaman-pengalaman dan tradisi yang berlaku di masyarakat dimana Gang tersebut berada. Dengan demikian Gang-Gang tersebut dapat berbeda pada status keanggotaan, tipe kepemimpinan, model organisasi, interest, aktivitas serta status sosialnya di dalam masyarakat. Fenomena penting yang harus diamati dari Gang KD adalah asal mula terbentuknya Gang, sebagaimana Gang-Gang dalam pembahasan literatur sosiologi dan krimonologi, karekteristik Gang ditentukan oleh faktor ini. Maka Gang berbeda dari kelompok-kelompok formal yang ada, terutama pada apa yang disebut oleh Thrasher sebagai spontan unplaned origin. Tidak seperti sebuah perkumpulan mahasiswa ataupun serikat pekerja, asal mula pembentukan tidak harus ditelesuri secara sosiologis. Sedangkan Gang, lebih alami dan berkembang dari sekumpulan anak-anak atau remaja yang berkumpul dan bermain di suatu kawasan. Temuan penelitian penulis sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan Tally dalam Tally’s Corner; A Study of Negro Street Corner Man yang disimpulkannya dari pengamatan terhadap dua puluh empat orang negro dewasa di sebuah sudut kota Washington DC bahwa di kota-kota besar di negara maju umumnya Gang terbentuk dari anggota-anggota yang memiliki ras atau
116
sukubangsa yang sama. Sedangkan di negara-negara dunia ketiga dapat terbentuk Gang seperti Gang KD yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang melebur menjadi satu dalam sebuah kelompok. Anggota Gang KD yang diamati ada yang berasal dari suku Melayu, suku Minang dan suku Batak. Meskipun pembahasan tentang pengaruh kesukubangsaan atau ras tidak dibahas mendalam oleh Tally dan Thrasher tetapi kekhasan yang terjadi pada Gang KD, menurut pendapat Penulis berhubungan dengan keragaman sukubangsa yang ada di Indonesia dan perkembangan kota Pekanbaru sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera atau daerah-daerah sekitarnya. Hal lain yang sangat signifikan pada Gang KD adalah keakraban yang terbentuk dari face to face relations. Bahkan beberapa anggota memilih tinggal bersama dengan mengontrak (kos) di rumah-rumah petak. Penulis menemukan ada empat orang anggota Gang KD yang mengontrak satu rumah petak di Jl. X No 26, padahal keluarga mereka mempunyai rumah sendiri dan bertempat tinggal di Kampung Dalam juga. Penulis menanyakan alasan anggota Gang untuk tinggal bersama meskipun rumah keluarga mereka masih berada di kelurahan yang sama dan disamping itu mengontrak rumah-rumah petak membutuhkan biaya yang cukup tinggi. TAR menjelaskan ” Banyak kawan-kawan yang memilih tidak tinggal di rumah orang tuanya, karena seringkali orang tua menanyakan ini dan itu serta memberi nasehat agar tidak melakukan pelanggaran hukum”. TAR melanjutkan penjelasan lain tentang pilihan untuk tinggal bersama ” kalau tinggal bersama kita banyak waktu untuk saling cerita. Kadang-kadang jika kita memiliki masalah, kawan-kawan ikut membantu menyelesaikannya”.
117
Tabel 5.6 memberikan gambaran tentang pemecahan-pemecahan masalah yang dilakukan oleh anggota Gang KD. Sesama anggota Gang saling memberi saran, pendapat, dan berbagi informasi yang mungkin dapat memecahkan masalah yang dihadapi anggota lainnya. Tabel 5.6 Pemecahan-Pemecahan Masalah Dalam Gang KD Problem Solving Attemps
Kasus
Persentase (%)
Gives Suggestion
4
14.8
Gives Opinion
15
55.6
Gives Information
8
29.6
27
100.0
Jumlah Kasus Sumber : Data Primer Penelitian, 2007
Dari tabel di atas, penulis menyimpulkan bahwa jika salah seorang anggota Gang menghadapi masalah maka sebagian besar akan memberikan pendapatnya tentang masalah tersebut (give opinion), kemudian beberapa diantaranya memberikan informasi terkait dengan masalah tersebut (gives informations), dan sebagian kecil memberikan saran pemecahan (gives suggestion) atas masalah tersebut. Meskipun penulis menemukan keterlibatan anggota lain secara fisik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kawannya, tetapi hal tersebut merupakan lanjutan dari saran yang telah diberikan. Sering pimpinan Gang mengambil alih permasalahan dan memerintahkan anggota lain untuk menyelesaikannya. Keputusan tersebut sesungguhnya tidak untuk menyelesaikan masalah individu tetapi sebagai cara untuk meredam dampak yang akan dialami oleh kelompok. Karekteristik lainnya yang penulis temukan pada Gang KD adalah (1)
118
kebiasaan menghabiskan waktu dengan berpesta-pesta atau berkumpul, (2) berperilaku seperti kelompok-kelompok penjahat (mob), (3) konflik internal dan konflik dengan kelompok lain, (4) tumbuhnya tradisi dan kesadaran Gang, (5) dan keterikatan pada teritorial. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukan bahwa karakteristik sebagaimana tersebut di atas dapat diamati pada Gang KD. Seperti, kebiasaan menghabiskan waktu dengan berpesta-pesta atau berkumpul, terungkap dari hasil wawancara dengan anggota Gang KD, FAT menjelaskan ” kalau sudah malam tidak ada lagi kerjaan kita, biasanya kawan-kawan kumpul di situ (menunjuk ke sebuah gazebo yang ada di sudut jalan Sago) menceritakan apa-apa yang mereka kerjakan seharian. Kalau ada yang mendapatkan uang, kawan lain memintanya untuk belanja makanan dan minuman. Ada juga yang tanpa diminta sudah membawa makanan dan minuman sendiri. Biasanya sampai larut malam kumpul di situ. Ya, namanya saja ngumpul, pasti ada minum lah”. Kebiasaan berkumpul dan minum alkohol yang sering dilakukan Gang KD dinyatakan juga oleh seorang tokoh masyarakat di Kampung Dalam, yakni SAT, ”memang, hampir setiap hari orang-orang itu kumpul. Biasanya sampai tengah malam. Kalau minum-minum itu sudah adatnya. Tapi kami mau buat apa? Kalau kita tegur, malah bikin ribut, jadi diam sajalah”. Terence (1958) dalam penelitiannya tentang Gang di Chicago dan San Diego melihat keberadaan Gang sebagai sebuah kesempatan untuk berinteraksi secara sosial (termasuk berpesta atau hanging out) dan sebagai sebuah persaudaraan (brother hood). Dengan berkumpul, hubungan antar sesama anggota semakin erat. Jadi untuk mengatakan bahwa kelompok KD adalah Gang KD, hal utama yang
119
membentuk mereka menjadi a real Gang adalah kebiasaan berkumpul bersama secara periodik, dan jika hal tersebut berlangsung terus menerus menuju ke sebuah pelembagaan, akan terwujud dalam sebuah eksistensi Gang. Kegiatan berkumpul dan berpesta yang dilakukan anggota kelompok KD mendorong munculnya karekteristik Gang yang berperilaku seperti kelompok penjahat. ZUL, seorang anggota Gang KD menjelaskan kepada penulis, ”rasanya, memang tidak enak kalau tiap malam kumpul dan minum-minum. Kami pun sudah biasa dicap sebagai orang-orang jahat oleh masyarakat sini. Pokoknya siapa saja yang ikut kumpul di sini pasti dianggap orang tak benar. Padahal kami tidak melakukan apa-apa”. Ciri-ciri fisik yang ditunjukkan oleh anggota Gang KD, seperti bertato, rambut acak-acakan, pakaian yang lusuh dan kumal, menurut pengalaman penulis hampir tidak berbeda dengan ciri-ciri penjahat.
Maka, persepsi masyarakat terhadap
anggota Gang KD sama dengan penjahat. WAN seorang pemuka masyarakat di Kampung Dalam memberikan pendapat tentang hal tersebut, ”kalau melihat anakanak KD itu, ciri-cirinya sama dengan penjahat yang disiarkan di tv-tv. Apalagi waktu mendengar suara mereka yang seperti orang berkelahi. Kalau mereka sedang ngumpul, semua hal bisa saja terjadi. Bahkan tidak jarang pula sesama mereka bertengkar”. Gang KD sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah sebuah kelompok yang terbentuk dari spontanitas anggota-anggotanya dan kemudian terintegrasi melalui konflik-konflik. Konflik tidak hanya terjadi di luar kelompok tetapi juga terjadi didalam kelompok. Ketika penulis menanyakan kepada informan apakah kelompok mereka sering berkonflik juga dengan kelompok lain? SUM
120
menjelaskan, ”seingat saya, memang ada beberapa kali kelompok kita pernah ribut dengan kelompok lain. Penyebabnya seringkali hanyalah masalah pribadi anggota kelompok kita, tapi waktu kita kumpul diceritakan dan kita semuanya pun merasa terlecehkan. Padahal kalau dipikir, masalahnya tidaklah besar. Misalnya, ada anggota kita yang tersinggung dengan ucapan anggota kelompok lain. Kalau ribut karena ada kelompok lain yang mengambil ”periuk nasi” kelompok kita, seingat saya pun sudah pernah terjadi dan cukup menghebohkan”. Dokumen yang diteliti oleh penulis menjelaskan tentang perkelahian antara gang KD dengan kelompok PP dimana perkelahian disebabkan oleh masuknya kelompok PP ke Pasar Bawah dan berusaha mengambil alih beberapa sumber pendapatan gang KD. Bentuk konflik yang terjadi adalah perkelahian antar kelompok yang menyebabkan meninggalnya satu orang anggota Gang KD dan suasana pasar bawah menjadi mencekam. Catatan kepolisian dan penjelasan salah seorang anggota polisi menunjukkan bahwa setelah perkelahian tersebut hampir satu bulan polisi berpatroli pagi, siang, dan malam hari untuk mencegah agar tidak terjadi perkelahian kembali. Cloward dan Ohlin (1969) menyebutkan kerugian-kerugian yang akan dialami oleh masyarakat jika perilaku menyimpang seperti yang dilakukan oleh anggota Gang terus berlangsung. Hal tersebut disimpulkan sebagai ”the social cost of delinquent subculture” yang dapat menyebabkan tiga kerugian utama bagi masyarakat. Pertama, bahwa penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh gang atau anggota gang merupakan cerminan adanya suasana atau situasi yang cocok (congenial) bagi terbentuknya subculture penyimpangan (delinquent subculture).
Jika
tindakan-tindakan
tersebut
dinyatakan
sebagai
suatu
121
”keberhasilan” maka anggota gang atau pelaku tersebut akan mendapat tempat dan status sosial yang lebih baik dalam kelompoknya atau dalam masyarakat dan akan muncul kecenderungan untuk mempraktekkan cara-cara yang sama dalam memperoleh status sosial yang lebih baik. Cloward dan Ohlin menggambarkan ”the fighting member of the street gang can lay claim to a’ rep’ only if he continually exhibits skill in the use of violance”. Social cost kedua yang digambarkan oleh Cloward dan Ohlin, bahwa access to sucessful adult criminal career sometimes result from partisipation in a delinquent subcultures. Artinya, tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh anggota gang merupakan suatu cara yang ditempuh dalam merintis karir kriminalnya. Dengan demikian hal ini menyebabkan meningkatnya the long run social cost of juvenile misconduct atau promotes career in crime. Ketiga, tindakan-tindakan meyimpang merupakan suatu faktor penting dari peran anggota gang yang harus dilakukan olehnya untuk menjaga status keanggotaannya dalam gang, jadi tindakan-tindakan anggota gang tersebut terintegrasi dengan tindakan-tindakan anggota lain yang satu sama lain saling bergantung terhadap peran masing-masing. Dengan demikian tindakan-tindakan individu saling mendukung dalam membentuk tindakan kelompok. Pada akhirnya anggota gang tidak lagi memiliki kontrol diri, misalnya rasa malu dan rasa bersalah terhadap orang lain, karena perasaan tersebut telah dibatasi oleh pikiran rasional agar diterima dalam kelompoknya. Penjelasan di atas memunculkan satu pertanyaan menarik yakni bagaimana konflik internal maupun eksternal itu diselesaikan? SUM menjelaskan kepada penulis ”biasanya pertengkaran antar anggota kelompok kita diselesaikan ketua.
122
Kawan-kawan yang berselisih paham, oleh ketua, didudukan bersama. Ketua menanyakan apa yang menjadi masalah dan ketua yang akhirnya memberikan keputusan. Kalau memang tindakan anggota itu salah, maka ketua langsung menasehatinya, termasuk juga kepada anggota-anggota lain yang ikut berkumpul ketika itu. Tujuannya supaya anggota-anggota lain tidak berbuat kesalahan yang sama. Sedangkan kalau ribut dengan kelompok lain, biasanya sesama ketua kelompok saling bertemu. Jika tidak selesai juga, sudah pasti perang lah. Kita sebagai anggota kelompok, tentu tidak tinggal diam. Tapi seingat saya, belum pernah tak terselesaikan masalahnya sama ketua kelompok kita”. Perhatikan tabel 5.7 berikut yang menunjukkan situasi ketidakcocokan antar anggota Gang KD. Tabel 5.7 Reaksi Negatif Sesama Anggota Gang KD Negative Reaction
Kasus
Persentase
Shows Disagreement
19.00
70.4%
Shows Tension
6.00
22.2%
Shows Antagonism
2.00
7.4%
27.00
100.0%
Sumber : Data Primer Penelitian, 2007 Ketidaksetujuan (Disagreement) terhadap sesama anggota merupakan reaksi tertinggi yang ditunjukkan oleh seorang anggota Gang sebagai rekasi terhadap tindakan, ucapan atau pun situasi yang ada dalam Gang. Ketegangan antar anggota merupakan tahap berikutnya dari reaksi negatif yang ditunjukkan. Mungkin saja ketidaketujuan yang terjadi berubah menjadi ketegangan antar sesama anggota. Bentuk reaksi negatif dengan menunjukkan rasa permusuhan sangat jarang terjadi dalam Gang. Pada bab terdahulu telah dijelaskan bagaimana
123
Gang berubah menjadi sebuah persaudaraan semu (pseudo kin) dengan menganggap anggota lain seperti saudara kandung sendiri. Pernyataan SUM yang penulis kutip di atas dibenarkan pula oleh RUS, salah seorang tokoh masyarakat di Kampung Dalam. Ia menjelaskan kepada penulis sebagai berikut ”kami selaku orang-orang tua di sini, tak jarang dibuat pening oleh orang-orang KD itu. Kadang-kadang, sesama mereka bersitegang. Padahal mereka itu berkawan. Tapi untungnya, ketua mereka RK pandai mendamaikan orangorangnya. Jadi, tidak sampai berkelahi dan membesar masalahnya. Kalau anggota KB ribut dengan kelompok lain, RK juga yang maju menyelesaikannya”. Penjelasan SUM dan RUS di atas menunjukan bahwa ketua gang tidak saja berperan sebagai individu yang mengatur kegiatan-kegiatan anggotanya melainkan juga mempunyai peranan sebagai tokoh yang bertanggung jawab dalam penyelesaian konflik, baik internal maupun eksternal. Ini artinya, kemampuan ketua gang dalam mengelola konflik menjadi salah satu variabel penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup gang. Jika ditinjau dari rujukan penulis tentang primary group sebagaimana dikutip Thraser (1968) dari Coley tentang primary group virtues bahwa the gang is a primary group; the gang occasionaly evolves special mechanic for meting out justice. The leader sometimes acts as arbiter and his word is usually accepted as final”. Dalam menggambarkan hal ini Thraser memberi contoh proses penyelesaian konflik internal pada gang South Side di Chicago “… has been in the habbit for years fare minded boy sometimes take the rule of judge…” Dengan kata lain, penyelesaian konflik dapat juga diperankan oleh seseorang yang dianggap fair (adil dan tidak berpihak). Tradisi lain yang terbentuk dalam gang yang sejalan dengan primary group
124
virtues adalah munculnya persaudaraan dan mutual kindliness (saling berbuat baik). Wujudnya bisa saling berkorban kepada sesama anggota gang. Jika seorang anggota gang dalam bahaya, tidak jarang anggota lain tampil ke depan untuk membela meskipun beresiko mengorbankan nyawanya. Kebiasaan berkumpul dan berpesta, berperilaku seperti kelompok penjahat dalam kehidupan keseharian serta munculnya konflik internal maupun eksternal, pada gilirannya menciptakan tradisi-tradisi dalam gang KD. Tradisi itu dapat berupa pertemuan antar sesama anggota kelompok dalam tempo waktu tertentu dan berkelanjutan, kebiasaan untuk saling berbagi, penggunaan simbol-simbol tertentu, penghormatan pada senioritas, serta mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik. Tradisi-tradisi tersebut menjadi bagian dalam interaksi antar anggota gang. Tradisi yang terbentuk pada gilirannya mendorong lahirnya suatu kesadaran bersama, bahwa mereka merupakan satu kesatuan dan saling membutuhkan. Tumbuhnya tradisi dan kesadaran di dalam gang KD, merupakan salah satu karekteristik gang sebagaimana yang dijelaskan Thraser di atas. Tabel 5.8 memberikan gambaran tentang sikap anggota gang dengan bertanya jika ia membutuhkan informasi, saran atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya.
125
Tabel 5.8 Indikator “Bertanya” Antar Anggota Gang KD Question
Kasus
Persentase
Ask for Information
14.00
51.9%
Ask for Opinion
9.00
33.3%
Ask for Suggestion
4.00
14.8%
27
100%
Sumber : Data Primer Penelitian, 2007 Kebanyakan anggota hanya meminta informasi kepada anggota lainnya jika mereka ingin melakukan suatu kegiatan yang belum mereka kuasi dengan baik. Pada situasi lain, jika melakukan kegiatan yang kira-kira tidak akan mudah diselesaikan, anggota Gang meminta pendapat kepada kawannya, tetapi sangat sedikit yang dapat dimintai untuk memberikan saran pemecahan suatu masalah, dalam hal ini, ketua Gang adalah orang yang paling tepat. Keterikatan kepada teritorial (wilayah) dibuktikan dengan pengakuan pihak luar terhadap kekuasaan gang KD di Pasar Bawah. Dalam bahasa yang sederhana pihak-pihak luar mengatakan bahwa Pasar Bawah identik dengan kekuasaan gang KD atau Pasar Bawah milik gang KD dan mereka siap mempertahankannya. Hampir di semua sudut Pasar Bawah dan pelabuhan tidak lepas dari ”kontrol” anggota gang KD. Kuatnya perasaan keterikatan anggota gang terhadap teritorialnya, tidak saja dipengaruhi oleh sumber-sumber ekonomis yang dapat mereka peroleh dari wilayah yang dikuasai gang mereka, namun dipengaruhi juga oleh lamanya mereka tinggal di wilayah tersebut atau bahkan sejak lahir menetap di Pasar Bawah. Ketika penulis menanyakan mengapa mereka tidak mencoba berusaha
126
ditempat lain yang mungkin lebih ‘menjanjikan’ dan memberi rasa tenang dari pada tetap berada di pasar bawah
informan menyatakan ”saya lebih merasa
nyaman tinggal dan bekerja disini, semua keluarga saya tinggal disini. Lagi pula untuk bekerja diluar pasti membutuhkan modal dan keahlian yang khusus”. Ketika penulis menanyakan apa yang dimaksud dengan modal dan keahlian informan menjelaskan bahwa modal adalah uang untuk memulai sebuah usaha sedangkan keahlian adalah tinggi rendahnya pendidikan atau sekolah atau keterampilan lain yang dimiliki. Data yang diperoleh dari Polsek Senapelan menunjukkan lima puluh delapan persen penduduk kampung dalam tidak menamatkan SMA/SMU. Chart di bawah ini menggambarkan komposisi penduduk Kampung Dalam berdasarkan tingkat pendidikan. Chart 5.1
Sumber : Data Intilejen Dasar Polsek Senapelan Tahun 2007
127
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk Kampung Dalam hanya menamatkan pendidikan sampai tingkat SLTP, yaitu sebesar 32,3%. Data tingkat pendidikan anggota Gang tidak dapat dicatat oleh penulis karena hambatan dalam mewawancarai seluruh anggota gang. Sedangkan pada ’kantor’ gang, tidak dilakukan pencatatan resmi oleh ketua gang. Tingkat Pendidikan merupakan salah satu profil yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya. 5.2.3 Profil Anggota Gang Profil anggota oleh Tresser dibahas sebagai personality and the action pattern of the gang. Tresser mengatakan “the significance of sosiological conception of personality – namely, as the role of the individual in the group – comes out clearly in the study of the gang”. Adapun profile anggota gang yang akan dijelaskan pada sub bab ini meliputi umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan (tugas yang diberikan oleh pimpinan gang), place of residance, dan status keanggotaan dalam gang. Profil anggota gang pada dasarnya merupakan indikator dari social categories untuk menjelaskan social position seorang anggota gang didalam kelompoknya, pada bagian akhir sub bab ini penulis juga akan menjelaskan keterkaitan profil anggota gang dan pola prilaku (behavior pattern) anggota gang baik dalam interaksi antara anggota gang dengan kelompoknya, serta antara anggota gang dan masyarakat pada umumnya. Data Intelijen Dasar pada Kantor Polsekta Senapelan memberikan gambaran tentang data anggota-anggota gang KD sebagai berikut
128
Tabel 5.9 Umur dan Jenis Kelamin Anggota Kelompok KD Yang Tercatat Di Kantor Polsekta Senapelan No.
Kelompok Umur
Frekwensi
Persentase
1.
11-15
2
7.41%
2.
16-20
6
22.22%
3.
21-30
11
40.74%
4.
31-40
8
29.63%
27
100%
Jumlah Sumber : Data Primer Penelitian, 2007
Anggota gang KD sebagian besar merupakan pemuda dan orang dewasa. Anak-anak dan remaja belum dapat dikatakan merupakan anggota gang. Meskipun mereka berkumpul bersama anggota gang yang lebih tua atau dewasa, tetapi Penulis tidak mencatat seluruhnya sebagai anggota Gang. Hanya anak-anak atau remaja yang diamati terus menerus berada bersama anggota dewasa serta berinteraksi secara intensif yang penulis kategorikan sebagai anggota gang KD. Penulis menanyakan kepada DIR, seorang anggota gang KD, untuk menggambarkan bagaimana kehidupan gang dan kehidupan anggota yang tergabung ke dalam gang KD, dengan tujuan mendapatkan gambaran singkat profil anggota Gang. DIR menjelaskan “anak-anak Kampung Dalam yang gabung di sini, ada sekitar lima puluh sampai enam puluh orang. Kebanyakan putus sekolah, maka waktunya dihabiskan dengan nongkrong-nongkrong di pasar, ngobrol sana sini atau bermain bola. Beberapa dari anggota ada yang suka berkelahi atau ribut dengan orang lain di Pasar Bawah dan biasanya kawankawannya memberikan bantuan atau menolong”. Catatan penulis dan data yang didapat dari Unit Intelijen Polsekta Senapelan
129
memperkirakan jumlah anggota gang KD ada tujuh puluh orang. Sebagian besar anggota gang KD bertempat tinggal di sekitar Pasar Bawah, khususnya Kampung Dalam. Memang ada beberapa anggota yang tidak tinggal di Kampung Dalam, tetapi dulunya mereka pernah tinggal di kampung tersebut. Tabel berikut menunjukkan tempat tinggal anggota Gang KD : Tabel 5.10 Tempat Tinggal Anggota Gang berdasarkan RW No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tempat Tinggal Kampung Dalam RW. I Kampung Dalam RW. II Kampung Dalam RW. III Kampung Dalam RW. IV Kampung Dalam RW. V Bukan Kampung Dalam Jumlah Sumber : Data Primer Penelitian, 2007
Frekwensi 4 7 5 3 3 5 27
Persentase 14.81% 25.92% 18.52% 11.11% 11.11% 18.52% 100%
Sutherland menjelaskan tentang kehidupan anak-anak dan remaja yang tinggal dalam sebuah lingkungan yang sama bahwa mereka sering berkumpul untuk tujuan mempertahankan statusnya dengan cara melakukan pertarungan dengan kelompok lain. Kelompok ini memiliki wilayah dan tempat bermain khusus tanpa harus berubah menjadi organisasi formal dan mulai melakukan perilaku-perilaku menyimpang. Frequently a portion of the boys in a neighborhood of about the same age and with somewhat similier attitudes toward deliquency or toward play have a common meeting place on a corner and engage in many common activities without any other formal organization. A stranger would not be permitted to associate with this group and certain boys in the neighborhood might be ostracized, but otherwise the group is inclusive, kehadiran orang asing dalam kelompok belum tentu dapat diterima karena kelompok telah menjadi inklusif.
130
5.3 Kegiatan-Kegiatan Gang Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pola-pola kegiatan gang KD didasarkan kepada pengaturan yang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan gang. Anggota-anggota gang terus menerus berada di lapangan (sekitar Pasar Bawah) dan juga diwajibkan melaporkan hasil-hasil kegiatan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. HAR salah seorang anggota gang KD menjelaskan kepada penulis mengenai hal tersebut, ”semua aturan main di sini sudah diatur ketua sehingga anggota sudah mengerti apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Misalnya si A yang bertugas memungut uang lapak, si B yang ugurus upah pelabuhan dan seterusnya. Masing-masing orang itu punya juga anak buah untuk membantu kerja mereka. Jika ada masalah di lapangan maka mereka harus pandai-pandai membereskannya. Semua yang mereka lakukan, disampaikan ke ketua pada waktu kita kumpul, termasuk juga duit yang didapat”. Pengaturan pembagian kerja oleh ketua gang KD dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pengontrolan ketua terhadap kinerja anggota gang dan sekaligus juga sebagai mekanisme untuk mencegah terjadinya konflik internal. Dengan adanya pengaturan kerja, maka masing-masing anggota gang memahami apa yang menjadi tugas serta wilayah kerjanya. Dari hasil pengamatan di lapangan, anggota gang KD mengisi tempat-tempat tetap pada pagi dan siang hari sesuai dengan tugasnya masing-masing. Tempat-tempat tersebut antara lain : (1) Gedung Pasar Bawah, (2) Lapak Kaki Lima Pasar Bawah, (3) Sudut Jalan Juanda dan Jalan Ahmad Yani, (4) Sepanjang Jalan H. Sulaiman, (5) Kios onderdil bekas Jalan Sago, (6) Pelabuhan, dan (7) Sepanjang Jalan Senapelan menuju ke Jalan Ahmad Yani.
131
Kendatipun pembagian kerja telah diatur sedemikian rupa, namun tidak jarang muncul berbagai masalah di lapangan sehingga tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. RIK, seorang anggota gang KD menjelaskan kepada penulis sebagai berikut ”Tak selamanya kerja itu berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Banyak masalah yang muncul. Misalnya, di pelabuhan. Sebelum barang kita bongkar, kita tawar menawar upah dulu. Nah itu selalu tengkar mulut dulu dengan yang punya barang. Padahal upah yang kita minta rasanya tidak beratlah. Kalau seperti itu, emosi saja bawaannya”. Untuk menjalankan kegiatan dan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, kepada anggota Gang diajarkan cara-cara untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti memungut ongkos keamanan lapak, negosiasi upah dan fee bongkar muat serta melakukan pengancaman atau pemerasan dengan kekerasan bagi pedagang yang tidak membayar ataupun membayar kurang dari apa yang mereka minta. Informan RIK menjelaskan ” dulunya kita juga tidak begitu berani untuk nego bongkar muat. Tapi, abang-abangnya yang mengajarkan cara negosiasi dengan pemilik barang. Kalau dengan sedikit ’keras’ biasanya berhasil ”. Dari pengamatan penulis dengan anggota-anggota gang KD diketahui bahwa kegiatan utama seperti yang dijelaskan di atas merupakan sumber utama pendapatan gang. Masih terdapat kegiatan-kegiatan lain yang juga dilakukan oleh anggota gang KD berdasarkan pembagian tugas dari pimpinan gang. Diantaranya menjadi mandor bongkar muat, mengamankan barang-barang yang akan dimuat atau yang diturunkan dari kapal di pelabuhan-pelabuhan sekitar Pasar Bawah dan Kampung Dalam, serta mengamankan kapal-kapal atau perahu yang bersandar di pelabuhan, mengamankan barang-barang dagangan yang digelar di pasar, kegiatan menjadi
132
tukang tagih hutang dan bon-bon yang belum dibayar antar sesama pedagang, menjadi penjual barang-barang second hasil seludupan, dan terakhir menjadi penyalur modal atau pemberi pinjaman uang kepada pedagang yang membutuhkan. Penulis melanjutkan wawancara dengan beberapa Pemilik toko di Pasar Bawah (tepatnya toko-toko di sepanjang Jl. Ahmad Yani). Mereka mengaku dipaksa untuk bekerjasama dengan gang KD dalam hal bongkar muat barang (dari mobil ke gudang/toko atau sebaliknya). Jika menolak, barang-barang yang ada di dalam toko akan dirusak bahkan kendaraan yang melakukan bongkar muat dihentikan dan tidak dibenarkan melakukan bongkar muat. Disini penulis dengan hati-hati, ingin mengatakan bawha anggota gang kd sekaligus buruh bongkar muat. Anggota gang KD bernaung di bawah Serikat Pekerja sektor Niaga, Bank, Jasa dan Asuransi (SPSI-NIBA) yakni suatu organisasi yang umumnya beranggotakan para pekerja bongkar muat barang di pasar, pelabuhan ataupun pusat perdagangan. Hampir di setiap kecamatan Kota Pekanbaru, SPSI-NIBA terdapat Pimpinan Unit Kerja (PUK). Setiap PUK wajib melakukan koordinasi dengan setiap pemilik toko dan gudang yang melakukan jasa angkutan dan bongkar muat barang dan para pemilik toko diwajibkan untuk menggunakan jasa buruh yang berasal dari SPSINIBA. Namun banyak pemilik toko yang merasa dirugikan jika menggunakan jasa buruh SPSI-NIBA. Karena tingginya tarif bongkar muat yang mereka minta. Alasan lainnya, pemilik toko memiliki karyawan yang bisa dimanfatkan tenaganya untuk urusan bongkar muat. Kendatipun demikian, ternyata SPSINIBA tetap meminta uang kepada pemilik toko sebagai kompensasi atas tidak
133
digunakannya jasa mereka dalam bongkar muat barang. Jumlahnya sebesar Rp 50.000 setiap bulannya. Tarif bongkar muat yang mereka tetapkan terhadap pemilik jasa angkutan barang antara lain sebagai berikut; jenis Mobil Fuso dikenakan Rp 450.000. Mobil dengan muatan besi dihitung per ton Rp 20.000. Mobil dengan muatan beras/makanan ayam Rp 15.000 per ton, sedangkan muatan yang dibawa dengan jenis mobil kontainer 20 fit dikenakan Rp 350.000. Besarnya pungutan bongkar muat barang bervariasi. Mulai dari Rp 3000 s/d Rp 7.500 per unit untuk jenis barang elektronik. Selain itu, pemilik toko diminta juga untuk membayar uang keamanan sebesar Rp 300.000 per enam bulan. Gang KD juga menetapkan biaya bongkar muat dengan sistem harian pada pihak konsumen atau pemilik toko dan pemilik barang kebutuhan harian seperti beras, telur, terigu, rokok. Tarif bongkar muat terhadap barang-barang itu ditetapkan dengan SK Walikota Pekanbaru No.074 Tahun 2004 Tentang Penetapan Tarif Bongkar Muat Barang Antar Gudang dan Antar Wilayah Dalam Kota Pekanbaru, disebutkan sebagai berikut; dalam propinsi upah bongkar 20% dari ongkos angkutan. Antar propinsi upah bongkar 15% dari ongkos angkutan. Antar pulau upah bongkar 10% dari ongkos angkutan (lihat Lampiran 5). Kegiatan parkir yang pada awalnya merupakan bagian dari kegiatan ilegal gang KD, sekarang telah diambil alih oleh seorang anggota polisi IND yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. Tawar menawar dalam mengambil alih lahan parkir tersebut tidak mendapatkan hambatan yang sulit karena status IND sebagai aparat penegak hukum sehingga dalam penelitian ini, kegiatan pungutan parkir tidak menjadi bagian objek kegiatan gang KD.
134
Dalam kesempatan lain penulis mengamati bagaimana pengaruh kekuasaan gang KD terhadap kelompok-kelompok lain yang beroperasi di Pasar Bawah. Meskipun tidak menunjukan suatu struktur langsung sebagai bagian gang KD tetapi mereka tidak berani untuk menentang “aturan” yang ditetapkan gang KD dalam mengontrol Pasar Bawah. Misalnya ada aturan tidak tertulis yang mewajibkan setiap proses bongkar muat barang harus dilaporkan ke gang KD. Jadi bila ada kelompok lain yang menghandle bongkar muat tersebut, ia harus memberikan fee sebagai tanda melapor kepada gang KD. Penulis mewawancarai salah seorang pemilik toko di Pasar Bawah Pekanbaru. Nasir, 60 tahun, menuturkan kisah tentang suka duka membuka toko di Pasar Bawah dan mengapa banyak pemuda-pemuda yang tidak bekerja. “Saya membuka toko di sini kira-kira tahun 80. Ketika itu, banyak pemuda-pemuda di sini yang meminta ikut kerja di toko saya. Tapi, karena toko saya tidak begitu besar, saya cuma bisa menerima dua orang pemuda sini. Sampai sekarang masih sering anak-anak kampung dalam datang ke sini untuk meminta pekerjaan. Tapi keadaan ekonomi tidak memungkinkan untuk memperkerjakan mereka”. Gang KD adalah sebuah kelompok yang terbentuk dari spontanitas anggotaanggotanya dan kemudian terintegrasi melalui konflik-konflik. Gang KD memiliki karekteristik yang dapat diamati melalui perilaku kelompok maupun perilaku individu anggotanya. Perilaku tersebut tercermin melalui kegiatankegiatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan sehari-hari di Pasar Bawah. Halhal yang diamati tersebut, pertama, face to face relations. Kedua, bergerak atau beraktivitas dalam konteks unit atau kelompok. Ketiga, meleburnya individuindividu dalam kelompok. Keempat, konflik dan terakhir tujuan.
135
Sebagai kelanjutan dari karekteristik gang KD tersebut, munculah apa yang diyakini oleh penulis sebagai sebuah perilaku kolektif dalam membangun tradisitradisi, kekaburan internal struktur, semangat kebersamaan ( esprite de corp), solidaritas, kesadaran group dan keterikatan kepada teritorial. Berdasarkan uraian karakteristik, tipe dan profil anggota gang serta kegiatankegiatan yang dilakukan gang di atas, untuk mengatakan bahwa kelompok KD adalah gang KD, hal utama yang membentuk mereka menjadi a real gang adalah kebiasaan berkumpul bersama secara periodik, dan jika hal tersebut berlangsung terus menerus menuju ke sebuah pelembagaan, hal tersebut yang penulis nyatakan sebagai ”eksistensi” gang KD. Adapun kegiatan Gang, merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam Gang yang semakin lama dipraktekkan akan berubah menjadi subkultur Gang.
136
BAB VI ANALISIS TENTANG SUB KULTUR GANG DAN PROSES PEWARISAN NILAI GANG Analisis tentang kegiatan-kegiatan gang pada bab sebelumnya berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai gang (a gang morale), dengan perkataan lain pembentukan nilai-nilai gang merupakan kelanjutan dari kegiatan-kegiatan, kebiasaan-kebiasaan, dan kemudian menjadi pola-berlaku dalam kehidupan gang. Penulis berpendapat bahwa hal ini sebagai awal pembentukan subkultur gang yang kemudian menjadi pedoman-berlaku bagi setiap kegiatan gang dan bagi setiap anggota gang. Penjelasan tentang keterkaitan karakteristik dan tipe gang serta kegiatan yang dilakukan sehari-hari oleh anggota gang ataupun gang tersebut dibahas oleh Cloward dan Ohlin (1969) dalam Delinquency and Opportunity ; A Theory of Delinquent Gang sebagai berikut : Subculture dalam Gang terlihat dari kecenderungan melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari, seperti Criminal subculture yang terlihat dalam aksi-aksi pencurian, extortion, dan cara-cara ilegal lainnya yang digunakan untuk mengamankan sumber dana (uang) Gang. Conflict subculture merupakan cara yang digunakan Gang melalui manipulasi kekerasan dalam menunjukkan eksistensi dan statusnya di mata kelompok lain atau masyarakat. Gang harus memenangkan semua pertarungan dengan gang atau kelompok lain. Yang terakhir, Retreatist subculture, merupakan bentuk penarikan diri Gang dari masyarakat umum dan menjadi eksklusif dalam interaksi dengan pihak-pihak lain di luar Gang. Bentuknya adalah konsumsi terhadap alkohol dan
137
penyalahgunaan obat-obatan terlarang (drug abuse). 6.1 Pola Kegiatan Dan Subculture Gang KD Pembahasan tentang sub culture gang merupakan pembahasan tentang sub culture delinquent. Sub culture delinquent adalah sebuah kategori khusus dari sub culture penyimpangan sosial. Konsep terakhir ini dijelaskan sebagai seluruh perilaku yang bertentangan dengan perilaku umum yang disepakati dalam masyarakat atau harapan-harapan masyarakat terhadap peran dan tindakan seseorang dalam masyarakat. Cloward and Ohlin (1969) mendefensikan delinquent sub culture sebagai “one in which certain forms of delinquent activity are essential requirements for the perfomance of the dominant roles supported by the sub culture”. Selanjutnya Cloward and Ohlin (1969) menguraikan dalam Delinquency and Opportunity; A Theory of Delinquent Gang dua pertanyaan pokok tentang Gang dan Delinquency : (1) Why do delinquent norms or rules of conduct develop?, (2) what are the conditions which account for the distinctive contennt of variuos system of delinquent norms – such as prescribing violance or theft or drug-use? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Cloward and Ohlin (1969) menjabarkan delinquent subcultures menjadi tiga topik utama yaitu : Criminal Subculture, Conflict subculture dan retreatist subculture. Sub culture yang terbentuk dalam gang KD merupakan sub culture dominan kriminal. Hal ini dapat dibuktikan melalui penerapan cara-cara ilegal dalam tindakan-tindakan anggota gang untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatankegiatan yang mengatasnamakan gang KD. Orientasi nilai gang KD cenderung
138
menyimpang atau terwujud dalam perilaku kriminal yang diterima dalam gang tersebut sebagai cara untuk mencapai tujuan (sukses). Penggunaan keahlian dan pengetahuan anggota gang tentang kriminal diarahkan untuk mendapatkan hasil material, keuntungan dan kekuasaan yang sebenarnya illegal namun mendapatkan “pengakuan” dari kelompok lain atau masyarakat luas. Dalam sub bab berikut, penulis akan membahas criminal pattern atau caracara illegal yang diterapkan gang KD dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya. Sub culture konflik dan sub culture retreatist juga ditemukan pada gang KD, namun dalam pengamatan penulis sub culture dominan adalah sub culture kriminal. 6.1.1 Criminal Pattern Dalam Gang KD Nilai-nilai kejahatan yang terdapat dalam Gang KD, sebagaimana sub culture lain dalam kelompok sosial di masyarakat, membutuhkan kondisi lingkungan tertentu untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu faktor lingkungan yang mendukung tumbuhnya “criminal style” dalam kehidupan gang adalah integrasi dari anggota gang yang berbeda usia. Perbedaan usia ini tentu bukan perbedaan yang kecil, misalnya satu sampai lima tahun, tetapi perbedaan yang besar, lebih dari lima tahun bahkan hingga dua puluh sampai tiga puluh tahun. Dalam daftar nama anggota gang KD yang penulis dapatkan dari informan terdapat anggota yang berusia empat puluh tiga tahun dan terdapat pula anggota yang berusia enam belas tahun. Pada tabel 4.4 tentang usia anggota gang, terlihat bahwa kelompok usia yang paling banyak adalah dua puluh lima hingga tiga puluh tahun dan yang paling sedikit adalah empat puluh sampai empat puluh lima tahun.
139
Shaw and McKay dalam Cloward and Ohlin (1969) menerangkan hasil studi ekologi pada lingkungan perkotaan (urban environment) bahwa delinquency cenderung ditemukan pada suatu kawasan yang mengalami perubahan-perubahan demografi. Shaw and McKay mengetengahkan istilah criminal tradition dan culture transmision. Kesimpulan tersebut merupakan hasil pengamatan terhadap kehidupan di kawasan kumuh Chicago yang memunculkan sebuah hubungan antara pelaku-pelaku non dewasa dan pelaku-pelaku ahli dewasa yang disebutnya sebagai integration of different age-levels of offender. Dokumentasi-dokumentasi dalam literatur sosiologi mengambarkan sebuah tradisi dimana terjadi integrasi antara pelaku penyimpangan sosial anak-anak dan remaja dengan pelaku dewasa. Dalam sub culture ini prestise diraih oleh merekamereka yang memiliki kecukupan material dan kekuasaan untuk mengatur anggota-anggota atau orang di bawahnya. Dengan kata lain, pencapaian sukses secara material dan non material merupakan suatu persepsi yang ingin dicapai oleh semua anggota gang. Pola-pola kriminal yang dilakukan oleh anggota gang senior dan terbukti “sukses” menjadi role model bagi anggota gang lainnya, terutama anggota baru atau junior. Pada gang KD pola-pola kriminal yang umumnya dipraktekan yakni pemerasan dan pengancaman, penipuan bahkan sampai pada penggunaan kekerasan dalam menjalankan kegiatan gang. Apabila salah satu pola kriminal berhasil memberikan keuntungan yang besar, maka pola tersebut akan dikuti dan anggota yang melakukannya seolah-olah mendapatkan pengakuan dari anggota gang lainnya. Sebaliknya, jika hasilnya sedikit, maka pola kriminal yang dilakukan tersebut akan ditinggalkan. Di dalam gang KD pun muncul jargon-
140
jargon kriminal seperti “daripada melakukan banyak kegiatan, tapi hasilnya kecil, lebih baik melakukan satu atau dua kegiatan namun hasilnya besar”. Pengamatan penulis terhadap pola-pola kriminal yang diterapkan anggota gang KD di Pasar Bawah terungkap pada peristiwa negosiasi fee bongkar muat barang di depan toko X Jl. Sago. Pada peristiwa yang diceritakan korban AS kepada penulis, salah seorang anggota gang KD membentak, mengancam dan menggunakan kata-kata kasar kepada pemilik barang ketika meminta fee bongkar muat barang. Wawancara penulis dengan salah seorang pemilik toko memberikan gambaran tentang cara-cara yang digunakan oleh anggota gang KD dalam menjalankan kegiatannya, AS menjelaskan ”biasanya kalau truk pengangkut barang-barang datang, dari jauh sudah dikerumuni oleh buruh-buruh bongkar muat. Ketika kendaraan itu sudah berhenti didepan toko kita akan datang satu orang untuk negosiasi harga bongkar muat dengan pemilik toko atau pemilik barang. Harga bongkar muat biasanya lima ribu rupiah per koli, tapi kalau koli atau kotaknya besar bisa sampai lima belas ribu rupiah, kalau ditotal bisa mencapai lima ratus ribu rupiah satu kali bongkar muat”. Penulis menanyakan apakah para pemilik toko atau pemilik barang bisa menawar atau menolak bongkar muat yang diatur oleh gang KD, AS melanjutkan penjelasannya “kalau kita menolak mereka menggertak bahwa bongkar muat barang adalah hak SPSI dan kewajiban pemilik toko atau pemilik barang untuk menggunakan buruh SPSI NIBA dalam bongkar muat. Jika kita bertahan mereka akan mulai ricuh didepan toko sehingga pembelipembeli meninggalkan toko kami”. Untuk mendapatkan penjelasan tentang ketentuan bongkar muat yang
141
dilakukan oleh buruh-buruh yang tergabung dalam SPSI NIBA penulis meneliti dokumen surat keputusan Walikota Pekanbaru No. 074 Tahun 2004 tentang penetapan tarif bongkar muat barang antar gudang dan antar wilayah dalam kota Pekanbaru. Dalam dokumen tersebut dinyatakan salah satu pertimbangan walikota adalah menciptakan hubungan kerja yang harmonis antara serikat pekerja dan pengusaha di kota Pekanbaru dan untuk menciptakan kenyamanan berusaha dan ketenangan bekerja (lihat lampiran 5 Keputusan Walikota Pekanbaru No. 074 Tahun 2004). Pengamatan penulis terhadap tarif ongkos bongkar muat barang di pasar bawah tidak sesuai dengan keputusan walikota tersebut, tarif ditentukan sendiri oleh negosiator bongkar muat yang merupakan anggota gang KD. Umumnya pengusaha keberatan dengan tarif yang jauh lebih tinggi dari tarif yang terdapat dalam keputusan walikota di atas (lihat lampiran tarif ongkos bongkar muat). Fakta di atas merupakan salah satu bentuk sub kultur kriminal yang oleh Cloward dan Ohlin dikatakan bahwa gang berusaha mengeksploitasi peluangpeluang yang ada untuk mendapatkan kesuksesan materi meskipun hal tersbut menjadikan gang tidak dipercaya oleh masyarakat umum. Dalam pandangan gang mereka adalah korban dari keadaan yang ada, maka jika ada peluang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Gang melihat orang-orang yang sukses sebagai keberhasilan dalam membina jaringan (KKN), misalnya pengusaha membagi keuntungan kepada politisi untuk mendapatkan fasilitas dan keuntungan yang lebih. Sikap seperti ini menetralisir semua norma-norma umum yang ada dan menciptakan the right guy di dalam kelompoknya sebagai bukti bahwa anggota gang tersebut dapat di andalkan dalam melakukan kegiatan-kegiatan gang yang
142
memberikan keuntungan material. Sub kultur lain yang penulis amati dalam gang KD adalah munculnya kemampuan gang untuk berhubungan dengan otoritas-otoritas yang berkuasa dalam menjamin kebebasan gang melakukan aktivitasnya. Anggota-anggota gang yang remaja menyaksikan bahwa pimpinan-pimpinan mereka memiliki hubungan baik dengan aparat-aparat yang memiliki otoritas di pasar bawah, misalnya polisi, petugas TramTib satpol PP, bahkan dengan anggota TNI (militer). Kedekatan atau keintiman antara pimpinan dan aparat-aparat tersebut membangkitkan keberanian serta rasa percaya diri anggota gang dalam menjalankan kegiatannya dengan menggunakan pola-pola kriminal yang mereka ketahui melanggar aturan atau hukum yang berlaku. Keterangan yang diberikan seorang informan kepada penulis tentang hubungan baik pimpinan gang KD dengan aparat sebagai berikut ”bang RK itu akrab dengan semua orang, kawankawannya banyak ada tentara, polisi, pengacara pun ada, dengan bang P yang sekarang duduk di anggota dewan pun dia seperti abang adik”. Cloward dan Ohlin (1969) menyimpulkan through connection with occupant of these half-legitimate, half-illegitimate roles and with big shoots in under world the aspiring criminal validates and assures his freedom oh movement in a world made save for crime. Perkembangan Pasar Bawah yang terekam dalam penelitan, yaitu masa Sebelum Pasar terbakar dan masa Sesudah Pasar terbakar mengubah wajah pasar bawah menjadi apa yang kita lihat sekarang. Ketika Pasar Bawah terbakar, aktifitas perdagangan tetap berjalan di tempat penampungan sementara. Keadaan menjadi kacau dan tidak terkendali, penentuan siapa yang boleh berjualan di tempat penampungan sementara seolah-olah diserahkan pada masyarakat dan
143
pedagang semata-mata. Akhirnya kelompok yang kuat mengatur penempatan dan sewa lahan tempat penampungan sementara. Kelompok ini menikmati pendapatan yang besar dari jasa pengaturan lokasi pasar sementara. Setelah pasar dibangun kembali, kebiasaan memungut uang sewa, uang keamanan dan uang kebersihan terus berlanjut, terutama bagi pedagang yang tidak pindah ke gedung baru Pasar Bawah atau tetap berjualan di sekitar gedung pasar bawah. Dari sinilah awal baru dominasi Gang di Pasar bawah pekanbaru. 6.1.2 Conflict Values (the pursue of status) Pada Gang KD Sebuah ‘role model’ dalam conflict pattern di Pasar Bawah adalah seorang jagoan yang memenangkan semua pertarungan dengan anggota kelompok atau dengan kelompok lain. Perasaan takut dari lawan-lawan atau dari orang lain merupakan situasi yang ingin ditimbulkan dari seorang jagoan. Kemenangan dalam pertarungan adalah reputasi ingin diraih. Kemenangan mencerminkan kekuatan atau kehebatan. Dalam pandangan anggota-anggota gang lain, bagaimanapun, faktor utama dari seorang jagoan di dalam gang adalah anggotaanggota yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Apa yang diperbuat oleh sang jagoan tersebut merupakan cerminan dari keinginannya untuk membela integritas personal dirinya dan kehormatan gang, dengan perkataan lain konflikkonflik harus dihadapi dengan segenap keberanian dan menampilkan sikap yang tanpa rasa takut ketika menghadapi bahaya-bahaya (ancaman) yang muncul terhadap diri pribadinya. Penulis menemukan sub kultur konflik ini muncul juga di dalam gang KD meskipun bukan merupakan sub kultur dominan tetapi pola-pola yang diamati menunjukkan adanya rasa hormat dan penghargaan yang tinggi dari anggota gang
144
lainnya terhadap anggota-anggota yang sering atau sering memenangkan pertarungan. Bagi anggota gang kekuatan fisik dan masculinity atau kejantanan merupakan simbol-simbol yang harus ada dalam diri anggota gang maupun dalam gang itu sendiri. Kekuatan fisik dan reputasi yang diperoleh dari setiap kemenangan menjamin akses yang lebih luas terhadap kesempatan menikmati hasil kegiatan gang ataupun kesempatan melakukan kegiatan yang menjamin keuntungan yang lebih besar. Sebagaimana diceritakan oleh seorang anggota gang bahwa mereka-mereka yang dihormati di dalam gang dan dianggap senior serta berpeluang menjadi pemimpin adalah anggota-anggota yang memenuhi kriteria sebagai berikut. 1. Senior : Dapat dilihat dari segi usia ataupun lamanya bergabung dengan gang KD. 2. Memiliki pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan termasuk dengan aparat. 3. Memiliki keberanian. 4. Memiliki pengalaman 5. Pernah berurusan dengan polisi dan berhasil mengatasinya 6. Loyal terhadap kawan-kawannya serta tujuan daripada gang. Dari keseluruhan kriteria di atas seorang jagoan lebih utama dinilai dari hatinya (keberanian), tidak memiliki rasa takut meskipun harus berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar ia tidak akan pernah menganiaya kawankawannya di dalam gang ataupun menantang mereka untuk membuktikan nilai integritas terhadap gangnya. Hal utama yang lebih di tunjukkan oleh seorang jagoan adalah membangkitkan keberanian anggota lain, membela semua
145
kepentingan gang dan membela anggota gang untuk mempertahankan kehormatan. Pada rujukan tinjauan pustaka, Cloward dan Ohlin mempersoalkan adanya keyakinan bahwa daerah-daerah kumuh (slum area) selalu dalam keadaan disorganized. Pada beberapa lower class urban neighbourhoods ditemukan lemahnya kesatuan (unity) dan cohesivenest yang disebabkan ketidakstabilan sistem serta ketidakstabilan hubungan-hubungan sosial. Cloward dan Ohlin meyakini instabilitas sosial pada daerah kumuh menyebabkan tingginya mobilitas vertikal dan mobilitas geographic. Pembangunan dan perkembangan perumahan warga tidak sejalan dengan jenis pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari sehingga, pola pemukiman tradisional yang dicirikan oleh keseragaman jenis pekerjaan menjadi terpecah belah dan ”orang-orang asing” menyusup kedalamnya dan mengubah penggunaan lahan-lahan yang ada menjadi berbeda dari sebelumnya. Perubahan penggunaan lahan tersebut misalnya mengubah area pemukiman menjadi kawasan komersial atau bahkan menjadi kawasan industri. Keadaan semacam ini menyebabkan hilangnya keseimbangan dalam masyarakat dan usaha-usaha untuk membangun organisasi sosial menjadi semakin sulit. Cloward dan Ohlin menyimpulkan transiency and instability become the offer riding features or social live. Transiency dan ketidakstabilan sosial secara bersama-sama, menghasilkan sebuah tekanan besar bagi munculnya perilaku merusak (violent behavior) pada generasi muda yang tinggal di kawasan tersebut. Dua hal yang penulis kemukakan sebagai sebab munculnya sub kultur konflik pada gang KD adalah (1) unorganized community yang berada di sekitar pasar bawah namun tidak
146
menyediakan cara-cara yang legitimate untuk mencapai kesuksesan. (2) kontrol sosial yang ada pada kawasan dan masyarakat di sekitar pasar bawah dan kampung dalam sangat lemah. 6.1.3 Retreatist (withdrawn into restricted world) Pada Gang KD Penggunaan obat-obat terlarang serta konsumsi alkohol di kalangan remaja dan orang-orang dewasa merupakan salah satu bentuk retreatist behavior yang ditemukan penulis pada gang KD. Penulis mendapatkan informasi tentang penggunaan narkoba oleh anggota gang, sebagaimana diceritakan oleh salah seorang informan sebagai berikut “kadang-kadang rasanya kita pingin lari dari kenyataan yang ada. Di keluarga kita dianggap gagal, sedangkan kenyataan yang kita alami sendiri memang sangat susah untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari saja. Usaha-usaha apapun yang kita buat sepertinya tidak pernah menghasilkan sesuatu yang berarti, paling-paling hanya cukup untuk bertahan hidup dari hari kehari saja”. Meskipun informasi ini tidak mewakili kehidupan seluruh anggota gang namun pengamatan penulis menunjukkan jumlah anggota gang yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika atau konsumsi alkohol cukup banyak. Alasan lain yang penulis catat adalah keinginan untuk melampiaskan kekecewaan atau sebaliknya untuk merayakan suatu kegembiraan secara berlebihan. Dalam kehidupan sehari-hari anggota gang selalu ada anggota yang berhasil mengumpulkan uang dari kegiatan yang dilakukannya dan sebaliknya, ada pula anggota gang yang sering tidak berhasil ataupun hanya mampu mengumpulkan sedikit hasil setiap harinya. Keadaan dimana anggota-anggota tersebut, yang selalu berhasil dan yang sering gagal, berinteraksi mendorong
147
munculnya pelampiasan terhadap penggunaan Narkoba dan konsumsi alkohol. Retreatist sub culture oleh Cloward dan Ohlin dijelaskan sebagai akibat dari tekanan yang terus menerus dimana anggota gang merasa selalu gagal untuk mencapai atau mendapatkan apa yang ia inginkan. Adaptasi anggota gang dalam bentuk pengasingan diri dari masyarakat dapat muncul sebagai konsekuensi atas penggunaan cara-cara ilegal namun tidak memberikan hasil yang diharapkan, sementara cara yang legal sudah pasti tidak dapat dilakukan. Hipotesis Cloward dan Ohlin ini didasarkan pada sebuah analisis Merton yang menyatakan : “Retreatist arises from continued failure to near the goal by legitimate measures and from an inability to use the illegitimate route because of internalized prohibitions or socially structured barriers, this process occurring while the supreme value of the success goal has not yet been renounced”. Maka dengan demikian apa yang penulis temukan pada sebagian anggota gang KD memenuhi hipotesis yang dijelaskan di atas. Sebelum mengakhiri sub bab ini, penulis ingin menegaskan kembali hasil penelitian terhadap gang KD yang memiliki tiga jenis delinquence subculture yang tumbuh di dalam gang, khususnya pada gang yang berada di lower class area of large urban center. Meskipun pada penelitian penulis menemukan contohcontoh pola-pola subculture dominan berupa kriminal subcultur pada gang KD, namun pada pengamatan-pengamatan tertentu dua jenis subkultur lain – konflik dan retretist – juga terdapat pada gang KD. Cloward dan Ohlin menyebut hal di atas sebagai the varieties of delinquence subculture. Gang yang dominan menunjukan konflik subculture juga melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang sistematis, sebaliknya gang yang memiliki
148
subkultur kriminal kadang terlibat juga dalam konflik dengan gang lain. Cloward dan Ohlin hanya menjelaskan kecenderungan sub kultur delinquence gang muncul dari penilaian kelompok atau orang di luar gang terhadap orientasi gang. Orientasi gang dapat berupa keuntungan ekonomi (criminal subculture), pengakuan status (conflict subculture) atau pemisahan diri dari masyarkat umum (retreatis subculture). Di dalam gang KD sendiri yang memiliki subculture dominan kriminal, variasi dari anggota ke anggota berbeda satu sama lainnya. Beberapa anggota gang menunjukan keterlibatan total dalam berbagai tindakan kriminal gang bahkan dalam peran-peran lain di luar gang, namun banyak pula anggota gang KD yang menerapkan segregasi (pemisahan) aspek-aspek hidupnya saat berperan sebagai anggota gang dan saat bukan berperan sebagai anggota gang. Misalnya, dalam keluarga atau kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Kemampuan dan peluang untuk memisahkan pengaruh kriminal subkultur gang dalam kehidupan pribadi anggota gang KD dipengaruhi oleh kepentingan anggota tersebut dalam menempatkan dirinya. Keputusan untuk melakukan pemisahan subkultur gang dan komformitas terhadap norma umum yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat, sebenarnya, sangat sulit dilakukan oleh seorang anggota gang karena ia menghadapi konsekuensi diterima atau ditolak dari satu atau kedua sistem dimana ia berada. Penulis menemukan fenomena ini ketika seorang anggota gang KD menjalankan ibadah sholat bersama-sama dengan penulis di Masjid Raya Pasar Bawah. Bahkan penulis bertemu beberapa kali dengan anggota gang tersebut di mesjid yang sama. Berdasarkan analisis terhadap fenomena dan data-data yang ditemukan dalam
149
penelitian dapat dijelaskan bahwa subkultur delinquent yang ada pada Gang mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan,
ambisi tertentu (misalnya
materiil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas dan lain-lain) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelompok remaja berandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status sosial ‘terhormat’ di tengah kelompoknya, prestige sosial, relasi sosial yang intim,dan hadiah-hadiah materil lainnya. Menurut teori subkultur yang dikemukakan Cloward dan Ohlin maka sumber deliquency yang dapat penulis simpulkan ialah: sifat-sifat struktur sosial dengan subculture yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang ada di Pasar Bawah dan kampung-kampung sekitarnya oleh para individu delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain adalah (1) memiliki populasi yang padat (2) status sosial-ekonomis penghuninya rendah (3) kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk (4) banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi. Oleh karena itu sumber utama kemunculan kejahatan ialah subkultur-subkultur delinkuen dalam konteks yang lebih luas dan kehidupan masyarakat yang slum (kumuh). Kemunculan Gang-Gang delinkuen dengan subkulturnya itu merupakan reaksi terhadap permasalahan suatu stratifikasi penduduk dengan status sosial rendah yang ada di tengah satu daerah yang menilai secara berlebihan status sosial yang tinggi dan harta kekayaan. Namun dalam realitasnya, pencapaian status sosial tinggi dan penumpukan harta kekayaan tadi sangat sulit dilakukan lewat jalan yang wajar. Besarnya ambisi materiil, dan kecilnya kesempatan untuk meraih sukses, memudahkan pemunculan kebiasaan hidup yang menyimpang dari norma
150
hidup wajar, sehingga banyak anak-anak dan remaja menjadi a-susila dan kriminal. Muncul pula banyak anomi dalam lingkungan masyarakat sedemikian ini. 6.2 Proses Belajar dan Pewarisan Nilai Dalam Kelompok (Differential Association) Proses belajar sosial yang menjadi landasan terbentuknya differential association dalam sebuah kelompok intim diyakini merupakan sebuah jawaban atas kejahatan sebagai sebuah tingkah laku yang dipelajari. Teori Differential Association menyatakan bahwa kejahatan dipelajari dalam sebuah kelompok pergaulan intim yang menjadi lembaga assosiasinya. Leighninger (1963) menyatakan “If a person associates with more groups that define criminal behavior as acceptable than groups that define criminal behavior as unacceptable, the person will probably engage in criminal behavior". Sementara Calhoun (1976) menambahkan “Put another way, "just as people must learn though socialization how to conform to their society's norms, they must also learn how to depart from those norms. In other words, deviance, like conforming behavior, is a product of socialization". Kedua pernyataan di atas menyimpulkan bahwa Teori Differential association menjelaskan bagaimana seorang anak atau remaja mempelajari secara sosial sebuah perilaku menyimpang dari orang-orang yang ada disekitarnya seperti keluarga, kawan sebaya, kawan bermain atau kawan-kawan sekolah dimana ia setiap harinya melakukan kontak dan interaksi. Orang dewasa, terutama orang tua, menjadi penentu pokok dalam proses sosialiasasinya. Sebagaimana perilaku yang dinyatakan “conform” terhadap
151
norma sosial, perilaku menyimpang (non conform) pun adalah produk sosialisasi dalam masyarakat. Untuk memudahkan pemahaman terhadap Gang KD yang ada di Pasar Bawah Pekanbaru, Penulis mengamati seorang anak remaja berusia enam belas tahun yang tinggal bersama orangtuanya yang juga adalah anggota gang KD. Penulis menemukan bahwa di rumah, anggota-anggota Gang KD yang berstatus orangtua juga sering mempraktekkan perilaku menyimpang (bahkan kejahatan) di rumahnya. Menurut Sutrherland (1947) anak yang demikian tersebut akan mengalami pembentukan persepsi bahwa kegiatan (kejahatan) itu tidak bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat akhirnya ia akan mulai terlibat dengan penyimpanagn atau kejahatan tadi, “The child would grow up assuming that these acts may not be as wrong as society or the law has defined them. If a child is around delinquent peers, one can also learn the activities of their peers and be much more prone to engaging in criminal activity”. Pada kesempatan lain, Penulis juga pernah menemukan seorang bapak membawa anaknya dalam menjalankan kegiatan sehari-hari (lihat gambar orang tua dan anak di Pasar Bawah. Kemudian penulis menanyakan kepada Bapak tersebut “SIR” untuk apa ia membawa anaknya dalam kegiatan di Pasar Bawah, SIR menjawab “Anak ini udah tak sekolah lagi, dari pada ia menganggur di rumah, lebih baik ikut kita untuk bantu-bantu”. Yang dimaksud dengan bantubantu adalah membantu mengangkat barang apabila Bapaknya mendapat order untuk membongkar barang dari truk ke toko. Menjaga nilai etis adalah salah satu bagian yang harus diperankan penulis dalam mengumpulkan data di lapangan, untuk mewawancarai anak-anak penulis
152
memilih informan yang tepat, pada waktu dan tempat yang cocok dengan kondisi anak-anak atau remaja tersebut. Penulis menemukan tiga orang anak, kira-kira berusia dua belas sampai lima belas tahun, dan menanyakan kenapa mereka berada di Pasar Bawah dan tidak bersekolah, HAN, lima belas tahun menjelaskan “saya sekolah sampai kelas 1 SMP, Pak. Sudah satu tahun lebih saya berhenti. Orang tua tidak sanggup membayar uang sekolah. Juga tidak punya uang untuk membeli buku-buku”. HAN melanjutkan dengan penjelasan kenapa ia ikut kegiatan Gang KD di Pasar Bawah “Abang saya yang menyuruh saya ikut ‘kerja’, soalnya dirumah juga nganggur. Kata abang saya, saya sudah besar, jadi harus bisa membelanjai hidup sendiri”. Hal-hal yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja adalah apa yang diperintahkan oleh anggota yang lebih dewasa atau tua. Mereka memungut uanguang sewa lapak dan uang kebersihan. Mereka juga berani mengancam dan memeras pedagang, yang tidak membayar atau membayar tetapi kurang dari yang diminta. Penulis mewawancarai seorang petugas kepolisian STV, tentang kegiatankegiatan yang dilakukan oleh anak-anak di sekitar pasar bawah tersebut, ia menjelaskan “anak-anak itu tidak sama dengan anak-anak biasa, mereka berani dan sering menggunakan kata-kata kasar waktu berbicara dengan orang dewasa, bahkan terhadap pedagang-pedagang yang sudah berusia tua mereka sering membentak untuk meminta uang sewa lapak. Mereka berani begitu karena dilindungi oleh orang yang lebih dewasa [anggota gang KD]”. Penulis menggali informasi lebih dalam apakah anak-anak tersebut pernah terlibat dalam kasus yang ditangani oleh polisi, STV menjelaskan bahwa beberapa anak pernah dilaporkan
153
dalam kasus pencurian “pencurian di kampung ini (termasuk pasar bawah) biasa dilakukan anak-anak, orang tua mereka tau tapi tidak melarangnya”. Penulis dalam kesempatan lain berbicara dengan beberapa anak yang ada di pasar bawah dan mencatat bahwa pada saat berkumpul bersama anak-anak tersebut selalu menceritakan pengalaman-pengalaman mereka dalam melakukan pencurian serta merencanakan pencurian berikutnya yang akan dilakukan. Dari percakapan tersebut hampir semua anak pernah terlibat dalam pencurian, tetapi barang-barang yang dicuri adalah barang-barang kecil, sedikit jumlahnya atau kurang berharga. Hal ini berbeda dengan pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa yang mencuri barang-barang berharga dengan cara yang lebih ‘profesional’ bukan hanya dalam pencurian tetapi dalam kegiatan lain seperti pemerasan, penipuan, negosiasi upah atau fee bongkar muat, anggota-anggota gang yang lebih dewasa mampu menghasilkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Shaw (1930) berpendapat bahwa the little follows admired the big shoots and longed for the day when they could get into the big racket. Fellows who had done time where the big shoots and looked up to and gave the little fellows tips on how to get by and pull off big jobs. Fakta yang ditemukan penulis dan apa yang dirumuskan oleh Shaw di atas, penulis berpendapat bahwa cara-cara melakukan kegiatan gang (kejahatan) dipelajari oleh anak-anak dan remaja calon anggota gang dari orang yang lebih dewasa dalam sebuah interaksi yang intim. Sutherland secara berturut-turut memasukkan hal tersebut pada proposisi pertama, dua, tiga dan empat yang dinyatakannya sebagai berikut : (1) criminal bevahior is learn, (2) criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communications. Dalam hal ini komunikasi yang dimaksud
154
oleh Sutherland tidak hanya komunikasi-komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi non verbal seperti kode-kode isyarat gerak anggota tubuh (the communications of gestures), (3) the principle part of the learning of criminal bevahior occures within intimate personal groups, (4) when criminal behavior is learn, the learning includes a technic of comiting the crime which are sometimes very complicated, sometimes very simple : and the specifics direction motives drives rationalitations and attitude. Dalam pergaulan perbedaan umur antar anggota gang itu menjadi sebuah ‘role model’, yang muda melihat dan mencontoh anggota gang yang lebih tua. Apalagi jika angota gang itu sukses, baik secara ekonomi maupun sosial. Gambaran akhir yang dimiliki oleh seorang anggota gang adalah pemenuhan seluruh kebutuhan hidupnya dan status sosial yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat. bagi mereka perilaku menyimpang dan kejahatan dipelajari sebagai alternatif pencapaian tujuan tersebut. Situasi masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas berresiko terhadap terjadinya dis organisasi sosial, kontrol sosial yang tidak efektif, bahkan tingginya angka kejahatan dan pelanggaran hukum. Sesungguhnya penulis tidak ingin menyebutkan terjadinya praktek-praktek korupsi, pungutan-pungutan liar dan konspirasi (KKN) yang terjadi di daerah tersebut karena bukan merupakan topik dalam pembahasan ini. Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di kampung dalam pasar bawah dan sekitarnya, pengaruh dan kekuatan yang dimiliki oleh gang KD justru
menciptakan
sebuah
situasi
yang
mentoleransi
praktek-praktek
penyimpangan. Proposisi Sutherland tentang (5) the spesific direction of motive and drives is
155
learn from definitions of legal coach as favorable or unfavorable. Berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari di pasar bawah. Sesungguhnya di pasar bawah terdapat begitu banyak petugas maupun institusi yang menegakkan hukum dan menjaga agar norma-norma ditaati. Tetapi praktek yang terjadi sering merupakan campuran antara kewajiban untuk patuh pada peraturan dan kesempatan untuk tidak patuh pada peraturan atau norma. Hal ini yang disebut Sutherland sebagai culture conflict in relations to the legal coach. Penulis sependapat dengan Kobrin dalam Clowar and Ohlin (1969) yang mengatakan bahwa terdapat kecenderungan terbentuknya gang dan kegiatankegiatan sub-culture kriminal pada wilayah yang memiliki toleransi terhadap penyimpangan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Disini kegiatan-kegiatan gang ditandai dengan karakter berupa violance and destructive. Masyarakat kemudian membangun sebuah batasan baru yang lebih permisive terhadap kegiatan-kegiatan gang tersebut, pada akhirnya meskipun kegiatan gang di luar batas norma dan harapan masyarakat tetapi tetap berada dalam struktur sosial lokal masyarakat itu sendiri. Sutherland menyimpulkan sebagai inti dari teori differential associations bahwa seseorang menjadi menyimpang karena keleluasaanya membangun definisi sendiri tentang hal-hal yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Fakta tentang hal ini penulis temukan pada berbagai sumber informasi, seperti pada dokumen yang menjelaskan tentang ruang lingkup pekerjaan serikat pekerja NIBA yang seluruhnya merupakan anggota gang KD (dokumen terlampir). Dalam dokumen yang dikirimkan oleh Pimpinan SPSI NIBA, yang juga adalah pimpinan gang KD, kepada pejabat-pejabat otoritas bidang keamanan dan ketertiban,
156
terdapat kalimat yang menyatakan bahwa tujuan mereka memberitahukan ruang lingkup pekerjaannya tersebut adalah agar tidak terjadi perebutan lahan pekerjaan yang dapat menimbulkan bentrokan di lapangan. Secara sederhana dokumen tersebut sebenarnya merupakan suatu penegasan bahwa bongkar muat barang di Pasar Bawah Pekanbaru merupakan hak mereka (lihat lampiran 6). Pernyataan seorang tokoh masyarakat tentang bagaimana gang KD dan anggota-anggotanya membuat sendiri aturan yang benar dan yang salah di uraikan sebagai berikut “para pengusaha telah diberi tahu oleh gang KD baik secara lisan maupun tertulis untuk ‘mematuhi’ aturan bongkar muat di pasar bawah ini, bagi mereka yang tidak taat akan diteror bahkan dirusak barang dagangannya atau tokonya”. Penulis menggali lebih dalam apakah sebenarnya aturan yang dibuat oleh gang KD itu sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum yang berlaku dan menemukan bahwa aturan tersebut salah dan tidak sesuai peraturan perburuhan. Sehingga ‘hak melakukan bongkar muat’ hanya merupakan karangan mereka sendiri yang diinterpretasikannya dari aturan-aturan lain seperti keputusan walikota pekanbaru tentang tarif bongkar muat atau surat edaran dewan pimpinan pusat SPSI tentang ruang lingkup FAK SPSI. Jadi jelas bahwa apa yang disebut Sutherland sebagai counter acting forces merupakan asal mula seseorang berperilaku menyimpang. Differential association meramalkan bahwa seseorang akan memilih jalannya sebagai pelaku kejahatan ketika keseimbangan definisi terhadap pelanggaran hukum melebihi hal-hal kepatuhan terhadap hukum. Sutherland menambahkan “This tendency will be reinforced if social association provides active people in the persons life. Earlier in life the individual comes under the influence of those of
157
high status within that group, the more likely the individual to follow in their footsteps”. Hal ini dilanjutkan dengan proposisi berikutnya yang mengatakan (6) Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan : lebih suka melanggar daripada mentaatinya. Proses asosiasi differensial yang terjadi antar anggota gang dan antara anggota gang dan calon anggota gang bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas. Seorang informan, BUN, menceritakan kisah hidup seorang anggota gang yang telah “sukses” dan memperoleh apa yang diinginkan oleh anggota lainnya sebagai berikut : “dulu si PUR itu sekelas dengan saya, ia memang pemberani. Makanya, waktu kami mulai ikut dengan Bang RK ia dipakai terus. Bang RK banyak memberi dia “nasehat” dan petunjuk tentang cara-cara mengatur pekerjaan. Kalo Bang RK jumpa dengan kawan-kawannya yang aparat, PUR biasanya ikut. Pokoknya hampir tiap hari dia nempel dengan Bang RK”. Penulis menanyakan kesuksesan apa yang diperoleh PUR, BUN menambahkan “Dia sekarang sudah pandai main proyek. Satu kali jebol proyeknya cukup untuk beli rumah dan mobil. Yang mengajarkan itu Bang RK, kalo tidak pakai cara keras, mana mungkin orang-orang seperti kami dapat proyek besar”. Perbedaan yang terjadi pada BUN dan PUR muncul dari perbedaan proses assosiasi antar anggota baru dengan anggota yang lebih senior, baik perbedaan frekwensi, durasi maupun intensitas. Anggota baru mempelajari cara-cara yang dilakukan, meniru dan kemudian melakasanakan sendiri kegiatan yang sama. Pada kasus seperti PUR di atas ia bahkan dapat mengembangkan cara lama menjadi cara baru yang lebih hebat dan memberikan hasil yang besar. Semakin intensif sebuah assosiasi semakin cepat anggota baru mempelajari semua teknik
158
melakukan kegiatan gang Pada bagian akhir bab ini penulis ingin menjelaskan bagaimana proses “differential association” dalam Gang berlangsung. Penulis menggunakan pendapat Sutherland yang menyatakan bahwa Gang merupakan sarana untuk menyebarkan “techniques of delinquency” atau teknik delikuensi. Sutherland menyatakan : A Gang in this sence is the means of disseminating techniques of delinquencies, of training in delinquency, of protecting its members engaged in delinquncy, and of maintaining continuity in deliquency. It is not necessary that there be bad boys including good boys to commit offences. It is genarally a mutual stimulation, as a result of which each of the boys commits deliquencies which he would not commit alone. Pemahaman penulis tentang penjelasan Sutherland di atas adalah bahwa Gang kemudian menjadi sarana bagi penyebaran teknik delinquency, menjadi tempat untuk berlatih dan tindakan-tindakan menyimpang tersebut mendapatkan perlindungan dari seluruh anggota Gang. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme berlaku dalam setiap proses belajar. Proposisi akhir Sutherland menyatakan “sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama”. Penulis memahami bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Gang KD, merupakan cara bagi mereka untuk menghadapi kerasnya kehidupan kota. Sebagian besar anggota Gang berasal dari keluarga miskin yang berada di sekitar Pasar Bawah. Pekerjaan yang menggunakan kekerasan, ancaman dan pemaksaan diartikan
159
sama dengan pekerjaan lain yang dilakukan oleh anggota masyarakat pada umumnya. Pernyataan ZUL berikut menggambarkan bagaimana pemahaman anggota gang baru terhadap kegiatan Gang : “menurut saya, biarpun cara kawankawan keras dalam mencari uang di pasar ini, tetapi itu sama saja dengan orang lain yang bekerja di perusahaan atau kantor pemerintah. Di sana juga ada yang KKN dan diperiksa Polisi juga”. Penulis ingin menggali lebih dalam bagaiamana ZUL memandang pekerjaannya yang sekarang dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kriminal, ZUL menyatakan “Kalau cuma mengatur bongkar muat di pasar ini, sama saja dengan pegawai lain. Tapi Kami tidak sama dengan perampok yang memang semata-mata mencari uang dengan menyiksa atau bahkan membunuh orang. Cara kami wajar kok?” Pandangan ini yang menunjukkan kepada Penulis bahwa pemahaman mereka atas kegiatan yang menyimpang dari norma (non conformity) sama dengan kegiatan yang taat norma (conformity). Setiap orang memiliki kebutuhan hidup masing-masing, maka cara untuk memenuhinya pun berbeda-beda. Perbedaan kebutuhan dan cara mencapainya dianggap merupakan pencerminan kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
160
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan Teori-teori yang demikian banyak dalam kajian Sosiologi dan Kriminologi memberikan Penulis peluang untuk menggunakannya dalam pembahasan tentang Gang di Pasar Bawah Pekanbaru, tetapi untuk memutuskan teori mana yang paling tepat untuk membahas dan menjawab permasalahan yang ada sangat tidak mudah. Pertanyaan yang muncul dipikiran penulis, sebagai mahasiswa Urban Studi yang tertarik dengan kehidupan masyarakat, selama melakukan penelitian adalah : bagaimana seluruh teori yang dijelaskan dalam tinjauan pustaka dan teoriteori lain yang ada dalam tulisan ini digunakan untuk menjelaskan Gang dan permasalahan-permasalahannya. Hal yang kemudian penulis pahami adalah bahwa teori-teori tersebut harus digunakan dalam suatu rangkaian yang berhubungan satu dengan lainnya. Sebagaimana masalah-masalah sosial lainnya, faktor kausal permasalahan Gang begitu banyak jumlahnya dan selalu ada pengecualian pada setiap teori. Sebagai contoh, Teori Subkultur Gang yang dikemukakan Cloward dan Ohlin (1969) tidak menjelaskan mengapa anggota Gang terlibat dalam kejahatan padahal sebenarnya berasal dari daerah yang memiliki situasi lingkungan positif. Perspektif struktural yang dikemukakan Cloward dan Ohlin terhadap kehidupan orang-orang yang berasal dari pedesaan atau suburb tidak menjelaskan mengapa mereka berbuat jahat. Dengan menggunakan seluruh teori dan konsep yang ada untuk menganalisis
161
data dan fakta yang telah diuraikan sebagai temuan penelitian, penulis memperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut : (1) Gang Di Pasar Bawah Pekanbaru : Penulis menyimpulkan bahwa terdapat banyak kelompok sosial di Pasar Bawah Pekanbaru baik yang dapat dikategorikan primary group maupun bukan primary group. Gang merupakan sebuah bentuk primary group. Kelompok-kelompok yang ditandai ciri kenal mengenal ditemukan pula diantara kelompok-kelompok yang ada di Pasar Bawah, seperti Laskar Hulubalang Melayu Riau, Forum Komunikasi Pedagang Pasar, Forum Komunikasi Pemuda Pemudi Kampung Baru, dan beberapa kelompok lainnya. Tetapi mereka tidak termasuk Gang sebagaimana dipersyaratkan oleh Broom and Selznik bahwa hal utama yang membedakan kelompok-kelompok kawan sepermainan (peer group) dengan Gang anak muda (youth Gang) yaitu adanya konflik dengan kelompok lain, keluarga, sekolah dan polisi yang terjadi akibat unsupervised activities” atau Thraser melalui the Natural History of Gang. GangGang yang diidentifikasi berada di Pasar Bawah berdasarkan analisis Penulis adalah : Gang KD, Gang BARA, dan Gang PP. (2) Karakteristik Gang dan Profil Anggota Gang : Gang-gang yang ada atau beroperasi di Pasar Bawah memiliki karakteristik yang hampir sama. Hal ini terutama ditentukan oleh asal mula Gang serta kondisi lingkungan yang cocok/sesuai (congenial) bagi terbentuknya gang. Kelompok yang lebih menampilkan ciri-ciri organized crime tidak dimasukkan dalam kategori Gang. Gang KD dapat dikatakan sebagai kelompok yang paling berkuasa dan yang pertama-tama
mempraktekkan
kegiatan-kegiatan
Gang
di
Pasar
Bawah
Pekanbaru. Hal utama yang membentuk mereka menjadi a real gang adalah
162
kebiasaan berkumpul bersama secara periodik, dan hal tersebut berlangsung terus menerus menuju ke sebuah pelembagaan. Gang KD dengan berbagai konflik dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh anggotanya secara bersama, telah membentuk Gang KD, menjadi apa yang disebut Thrasher sebagai, the solidified type. Anggota-Anggota Gang KD yang berasal dari berbagai sukubangsa atau ras menjadikannya berbeda dengan pembahasan Gang yang ada di kota-kota besar di negara maju. (3) Kegiatan-Kegiatan Gang : Pengaturan kegiatan Gang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan gang. Anggota-anggota gang terus menerus berada di lapangan (sekitar Pasar Bawah) dan juga diwajibkan melaporkan hasil-hasil kegiatan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain menguasai bongkar muat barang dari truk ke toko dan sebaliknya, masih terdapat kegiatan-kegiatan lain yang juga dilakukan oleh anggota gang KD, diantaranya menjadi mandor bongkar muat, mengamankan barang-barang yang akan dimuat atau yang diturunkan dari kapal di pelabuhan-pelabuhan sekitar Pasar Bawah dan Kampung Dalam, serta mengamankan kapal-kapal atau perahu yang bersandar di pelabuhan, mengamankan barang-barang dagangan yang digelar di pasar, kegiatan menjadi tukang tagih hutang dan bon-bon yang belum dibayar antar sesama pedagang, menjadi penjual barang-barang second hasil seludupan, dan terakhir menjadi penyalur modal atau pemberi pinjaman uang kepada pedagang yang membutuhkan. Adapun kegiatan Gang, merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam Gang yang semakin lama dipraktekkan akan berubah menjadi subkultur Gang.
163
(4) Pembentukan nilai dan proses pewarisan nilai gang oleh calon anggota dan penerus Gang dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, terbentuknya subkultur Gang, dan kedua, proses belajar sosial yang terjadi di dalam dan di luar Gang. Subkultur Gang yang terdapat pada Gang di Pasar Bawah adalah “criminal subculture dominant”, meskipun subkultur konflik dan retreatist juga ditemukan di dalam Gang, tetapi pengamatan terhadap tindakan-tindakan dan sikap anggota Gang menggambarkan secara jelas pola dominan subkultur kriminal. Gang yang dominan menunjukan konflik subculture juga melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang sistematis, sebaliknya Gang yang memiliki subkultur kriminal kadang terlibat juga dalam konflik dengan Gang lain. Differential association merupakan suatu model proses belajar sosial. Hal yang penulis simpulkan dari proses belajar dan diwarisinya nilai gang oleh calon anggota gang atau penerus gang adalah anggota-anggota Gang KD yang berstatus orang tua ternyata sering mempraktekkan perilaku menyimpang (bahkan kejahatan)
di
rumahnya.
Menurut
Sutrherland
(1947)
anak-anak
yang
menyaksikan hal tersebut akan mengalami pembentukan persepsi bahwa kegiatan (kejahatan) itu tidak bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat, akhirnya ia akan mulai terlibat dengan penyimpangan atau kejahatan. Dalam pergaulan perbedaan umur antar anggota gang itu menjadi sebuah ‘role model’, yang muda melihat dan mencontoh anggota gang yang lebih tua. Apalagi jika angota gang itu sukses, baik secara ekonomi maupun sosial. Kondisi masyarakat di Pasar Bawah saat ini berada pada batasan baru yang lebih permisive terhadap kegiatan-kegiatan gang, sehingga, meskipun kegiatan gang di luar batas norma dan harapan masyarakat tetapi tetap dapat berada dalam struktur sosial
164
lokal masyarakat. Penulis sependapat dengan kesimpulan Suherland bahwa inti dari proses differential associations adalah “seseorang menjadi menyimpang karena keleluasaanya membangun definisi sendiri tentang hal-hal yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum”. Sebagai bagian akhir kesimpulan ini, sebagaimana pendapat penulis tentang Teori dan Konsep yang dirujuk yang seharusnya digunakan bersama dalam menjelaskan permasalahan Gang maka Teori Primary Group, Gang, Urbanism, Subculture Delinquent dan Differential association, kemudian, cukup dapat menjelaskan permasalahan Gang di Pasar Bawah Pekanbaru. Anggota dan calon anggota gang tumbuh dalam sebuah lingkungan yang negatif sebagaimana Wirth menyimpulkan apa yang disebutnya sebagai harmful efect of city life “Kehidupan kota membawa penduduknya pada stimulus yang berlebihan. Mekanisme kontrol sosial dan informal support networks semakin melonggar. Penduduk kota dihadapkan pada situasi sulit serta yang harus mereka atasi sendiri, seperti : sakit mental (mental illness), konsumsi alkohol (alcoholism), kejahatan (criminality) bahkan bunuh diri (suicide)”. Maka Penulis menyimpulkan bahwa terbentuknya Gang di Pasar Bawah Pekanbaru dari sebuah primary group yang sekaligus menentukan karakteristik gang dan profil anggotanya, kegiatan-kegiatan yang di bentuk oleh subkultur gang serta proses differential association yang terjadi dalam telah menjadikan Gang KD dapat bertahan dari waktu ke waktu. 7.2 Rekomendasi Rekomendasi Penulis didasarkan pada temuan penelitian dan analisis data yang dilakukan. Penulis menggunakan contoh-contoh penanganan masalah Gang
165
yang telah dilakukan di beberapa negara maju, seperti Amerika dan Inggris, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Beberapa hasil penelitian tentang Gang di negara tersebut menyarankan penataan ulang kawasan pemukiman dan sarana prasarana sosial yang ada. Penataan dapat dilakukan terhadap masyarakat di Pasar Bawah dengan demikian juga efektif dibedakan menurut jenis masyarakatnya. Tentunya penataan bagi masyarakat yang berada di Pasar Bawah sedikit banyak akan berbeda dengan penataan bagi masyarakat di luar Pasar Bawah. Dengan mempertimbangkan bahwa pemukiman masyarakat di Pasar Bawah semakin bertambah penduduknya, sehingga tata lingkungan kota yang sebelumnya baik menjadi diabaikan, maka pusat perhatian dari penataannya adalah memberikan penyuluhan dan alternatif pemukiman baru. Lebih jelas lagi dapat disajikan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penataan masyarakat Pasar Bawah sebagai berikut : a. Penyuluhan secara intensif Penyuluhan ini dimaksudkan agar mereka bersedia untuk dipindahkan ke tempat yang telah tersedia dan tanpa rasa enggan bersedia menetap di tempat yang baru tersebut. Materi penyuluhan antara lain tentang kepastian hukum pemilikan tempat tinggal yang baru, cara-cara penyesuaian pola hidup di tempat tinggal yang baru, masalah kesehatan. Pembinaan ini dilakukan di tempat pemukiman mereka dan dilaksanakan sebelum mereka dipindahkan ke tempat yang baru. Bentuk pembinaan terutama berupa pendidikan keahlian yang menuju kepada profesi yang terarah. Profesi ini dimaksudkan agar mereka memiliki sesuatu keahlian khusus yang dapat digunakan setelah mereka dipindahkan.
166
b. Pemindahan ke lokasi yang baru Penempatan masyarakat Pasar Bawah ke lokasi yang baru sebaiknya direncanakan secara matang. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : (1) pemilihan lokasi yang baru, (2) bentuk atau model bangunan. Lokasi, bentuk dan model bangunan sangat berpengaruh bagi kelangsungan kehidupan masyarakat yang harmonis. Kedua rekomendasi di atas diberikan dalam bentuk saran kepada Pemerintah Kota Pekanbaru dan Kepolisian Kota Besar Pekanbaru untuk dipergunakan sebagai dasar kebijakan dalam penanganan permasalahan sosial Gang yang ada di Pasar Bawah. Saran yang penulis berikan antara lain ditujukan kepada Walikota dan Camat untuk mulai memikirkan penataan kawasan Pasar Bawah sesuai visi dan misi Pemerintah Kota Pekanbaru yang menginginkan kawasan Pasar Bawah menjadi kawasan Pasar Wisata. Sedangkan untuk Poltabes Pekanbaru saran diberikan untuk merancang kegiatan pembinaan (preemtif) dan pencegahan (preventif) kejahatan yang berasal dari kecocokan lokasi dan kesempatan yang ada. Penyuluhan dan Patroli diarahkan pada kawasan tersebut untuk memberi rasa aman bagi para pengguna Pasar Bawah dan sekitarnya serta menjamin berlangsungnya semua kegiatan dengan aman, tertib dan lancar.
167
Daftar Lampiran 1. Lampiran 1:
Data Kejahatan Tahun 2005 s/d 2007 Per Kelurahan di Kecamatan Senapelan
2. Lampiran 2:
Pertanyaan Wawancara Dengan Anggota Gang
3. Lampiran 3:
Contoh Laporan Pengamatan (Observasi)
4. Lampiran 4:
Daftar Nama-Nama Kelompok di Pasar Bawah dan Sekitarnya
5. Lampiran 5:
SK Walikota Pekanbaru No. 074 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif Bongkar Muat Barang Antar Gudang dan Antar Wilayah Dalam Kota Pekanbaru
6. Lampiran 6:
Surat SPSI NIBA tentang Ruang Lingkup Pekerjaan Serikat Pekerja NIBA
7. Lampiran 7:
Foto Udara Pasar Bawah
Daftar Pustaka
Abdussalam, R. 1997, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri, Jakarta, Dinas Hukum Polri. Ahmadi, Rulam, 2005, Memahami Metode Penelitian Kualitatif Cet. I, UM Press, Malang Anoraga, Panji, 1989, Perkembangan Kejahatan, Pradnya Paramita, Jakarta. BPS, 2007, Riau Dalam Angka, Pekanbaru. Broom, Leonard and Philip Selznick. 1963. Sociology: A Text With Adapted Readings, Third Edition, New York, Harper & Row Publish, Inc. -----, 1973, Sociology: A Text With Adapted Readings, Fitfth Edition, New York, Harper & Row Publish, Inc. Cloward, Richard, and Ohlin, E. Lloyd, 1969, Delinquency and Opportunity ; A Theory of Delinquent Gang, The Free Press, New York Creswell, Jhon. 1994. Research design, quntitative & qulitatif approaches. Terjemahan angkatan III & IV KIK-UI, KIK Press, Jakarta. -----, 2002, Research Design Qualitative & Quantitative Approaches Cetakan Kedua, Terjemahan oleh angkatan IV dan V KIK UI, KIK Press, Jakarta Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota Dan Ekologi Sosial), Cetakan kelima, Yogyakarta, Alumni/1997/Bandung. Dermawan, Mohammad Kemal, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra Adhitya Bakti, Bandung Farouk Muhammad, 2003, Modul Kuliah Metodologi Penelitian, PTIK , Jakarta -----, 2003, Metodologi Penelitian Sosial (Bunga Rampai), Jakarta, PTIK Press dan Restu Agung, 2003, -----,. 2003. Menuju reformasi Polri, PTIK Pres, Jakarta. Freeh, Louis J., 1994, Responding To Violent Crime In America, The FBI Law Enforcement Bulletin, Washington DC. Gilbert, Alan & Josef Gugler. 1996. Urbanisasi Dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga, Penerjemah Anshori. Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. Herlianto, 1997, Urbanisasi, Pembangunan, Dan Kerusuhan Kota. Bandung, Alumni Bandung. Hidayat, 2004, Dinamika Kelompok Sosial, Rosdakarya, Bandung.
Hossain, M. Shahadad, 2006, Urban Poverty And Adaptation Of The Poor In Dhakka City Bangladesh, University of New South Wales, Sydney. Howell, James C. and Arlen Egley, Jr., 1995, Gangs in Small Towns and Rural Counties, OJJDP Bulletin, Edition June 1995, U.S. Department of Justice, Office of Justice Programs, Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention, Washington D.C. Klein, Malcolm, 1995, The American Street Gang: Its Nature, Prevalence, and Control, Oxford University Press, New York. Kartono, 2001, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Jakarta.
Rajawali Graffiti Pers,
Lincoln, Yvonna & Egon. G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Sage Publications, New Delhi. Louis J. Freeh, 1994, Responding To Violent Crime In America, The FBI Law Enforcement Bulletin, April 1994 Edition. Lubans V.A dan J.M Edgar, 1979, Policing By Objectives (Diterjemahkan oleh tim PTIK untuk kepentingan internal), Social Development Corporation, Connecticut. Lundberg, dkk., 1968, Sociology Fourth Edition, Harper and Row Publishers, New York Mabes Polri, 2007, Polri Dalam Angka, Jakarta. Manning, Chris & Tadjuddin, 1985, Urbanisasi, Pengangguran, Dan Sektor Informal Di Kota, Diterjemahkan oleh Al. Ghozi Usman & Andre Bayo. PT Gramedia, Jakarta. Marulli, C.C. Simanjuntak, 2002, Organisasi Preman di Blok M, KIK-Press UI, Jakarta. Merton, Robert K., 1968, Social Theory and Social Structure, The Free Press, New York. Miller, Walter B., 2001, The Growth of The Youth Gang in United States : 19701998, U.S. Departement Of Justice, Washington. Moleong, Lexi J., 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya Moore, J. W., 1998. “Understanding Youth Street Gangs: Economic Restructuring and the Urban Underclass.” In M. W. Watts (ed.), Cross-Cultural Perspectives on Youth and Violence (pp. 65-78). Stamford, CT: JAI Mooris, P. Terence, 1958, The Criminal Area, New York Humanities Press and Routledge & Kegan Paul Ltd., London
Nas, P.J.M., 1979, Kota Di Dunia Ketiga (Pengantar Sosiologi Kota Dalam Tiga Bagian), Jakarta, Bhratara Karya Aksara. -----, 1984, Kota Di Dunia Ketiga 2 (Pengantar Sosiologi Kota Terdiri Dari Tiga Bagian), Jakarta, Bhratara Karya Aksara. Nawojczyk, 1997, Street Gang Dynamics, The Nawojczyk Group, Arkansas Nitibaskara, T.B. Ronny, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, Jakarta Patton, Michael Quinn, 1980, Qualitative Evaluation Methode, Baverly Hills Sage Publication, London Polsekta Senapelan, 2007, Intelejen Dasar Tahun 2007, Pekanbaru. Poltabes Pekanbaru, 2005, Asta Gatra Poltabes Pekanbaru, Pekanbaru. -----, 2000 – 2006, Laporan Kesatuan Poltabes Pekanbaru, Pekanbaru. -----, 2007, Intelejen Dasar Poltabes Pekanbaru, Pekanbaru. -----, 2007, Kumpulan Laporan Intelejen Permasalahan Premanisme di Wilayah Hukum Poltabes Pekanbaru, Satuan Intelkam, Pekanbaru PTIK, 2006, Himpunan Teori/Pendapat Para Sarjana Yang Berkaitan Dengan Kepolisian. Jakarta. -----, 2002, Eniklopedi Kepolisian, KIK Press , Jakarta. Pusat Penelitian Industri dan Perkotaan Universitas Riau, Jurnal Industri dan Perkotaan volume XI Nomor 19/Februari 2007, Pekanbaru, UNRI. Raharjo, 1983, Perkembangan Kota Dan Permasalahannya, PT Bina Aksara, Yogyakarta. REPUBLIK INDONESIA, Lembaran Negara Nomor 2 Tahun 2002, UndangUndang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ritzer, Goerge & Douglas J. Goodman, 2003, Modern sociological Theory 6th edition. Terjemahan Alimandan, 2005, teori sosiologi modern edisi keenam, cetakan ketiga. Jakarta, Predana media. Rukmana, Deden, 2005, Pedagang Kaki Lima dan Informalitas Perkotaan, Kompas, Jakarta. -----, 2006, The Spatial Origins Of The Homeless: How The Homeless Vary In Their Geographic Distribution, Florida State University, Florida. Sara R. Battin-Pearson, dkk., 1998, Gang Membership, Delinquent Peers, and Delinquent Behavior, OJJDP Bulletin, Edition October 1998, U.S. Department of Justice, Office of Justice Programs, Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention, Washington D.C.
Satuan Reserse Kriminal Poltabes Pekanbaru, 2006, Laporan Tahunan Sat Reskrim, Pekanbaru. Shaw, Clifford R., and Henry D. McKay, 1942, Juvenile Delinquency and Urban Areas: A study of Rates of Delinquency in Relation To Differential Characteristic of Local Communities in American Cities, Univ. Chicago Press, Chicago. -----, 2007, Laporan Tahunan Sat Reskrim, Pekanbaru. Soekanto, Soerjono, 2005. Sosiologi, suatu pengantar, edisi baru keempat 1990, cetakan ketigapuluh delapan. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi, suatu pengantar, edisi keempat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Sumadi, 2002, Organisasi Preman di Muara Angke Jakarta Utara, Jakarta, KIK UI. Sunarto, Kamanto, 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi, 1996, Kemiskinan Di Perkotaan, Yayasan Obor, Jakarta. -----, 1997, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, PPSUI. -----, 2004. Masyarakat Dan Perkotaan : Perspektif Antropologi Perkotaan, YPKIK, Jakarta. Sutherland, E. H., 1947, Principles Of Criminology Fourth Edition, J.B. Lippincott Company, Chicago Theodorson, 1969, Modern Dictionary Of Sociology, Thornberry, Terence P. and Burch II, James H., 1997, Gang Members and Delinquent Behavior, OJJDP Bulletin, Edition June 1997, U.S. Department of Justice, Office of Justice Programs, Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention, Washington D.C. Thraser, Frederic, 1927, The Gang, Study of 1313’s Gang, The University Chicago Press, Chicago. Tri, Kurnia Nurhayati, SS, MPd, 2003, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia , Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, Eska Media , Jakarta. Umar, Bambang W. Dr., 2001, Penelitian Kualitatif, Program Studi Ilmu Kepolisian, Jakarta
Universitas Indonesia,
US Department Of Justice, 1997, Juvenile Justice Bulletin June 1997, Office of Juvenile Justice and Deliquency Prevention, Washington. -----, 1998, , Juvenile Justice Bulletin October 1998, Office of Juvenile Justice and Deliquency Prevention, Washington.
US Government, 1998, Journal Of Contemporary Criminal Justice, Washington Wirawan, S. Sarlito, 1991, Teori-Teori Psikologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta. Yudho, Winarno SH, MA, 2005, Sosiologi Hukum I, Universitas Indonesia, Jakarta.
DAFTAR PERTANYAAN PEDOMAN WAWANCARA
A. IDENTITAS DAN RIWAYAT PEKERJAAN ANGGOTA GANG 1. Siapakah nama saudara? 2. Berapa usia saudara? 3. Apa pendidikan terakhir saudara? 4. Apakah saudara sudah berkeluarga? 5. Kalau sudah berkeluarga, berapa anak saudara? 6. Dari manakah asal saudara? 7. Sudah berapa lamakah anda menjadi anggota Gang? 8. Apakah saudara sebelumnya pernah bekerja di tempat lain? 9. Kalau pernah, coba ceritakan riwayat pekerjaan saudara?
B. ALASAN MENJADI ANGGOTA GANG 10. Apa motivasi (yang mendorong) saudara sehingga mau menjadi anggota Gang? 11. Apakah profesi sebagai anggota Gang tersebut atas keinginan saudara sendiri atau ada seseorang yang mengajak saudara? 12. Kalau ada seseorang yang mengajak, apakah saudara kenal dengan seseorang tersebut dan apa hubungan saudara dengannya? 13. Apakah saudara mengerti bahwa menjadi anggota Gang dan kegiatannya tidak disukai oleh masyarakat? 14. Apakah saudara mengerti bahwa kebanyakan pekerjaan Gang melanggar hukum?
15. Apakah keluarga saudara (istri, anak, dan kerabat) tahu kalau saudara menjadi anggota Gang? 16. Adakah keinginan saudara untuk mencari pekerjaan lain selain dari menjadi anggota Gang?
C. KEDUDUKAN DAN PERAN ANGGOTA GANG DALAM ORGANISASI 17. Apakah saudara bekerja sebagai Gang secara sendiri-sendiri (individual) atau bergabung dengan suatu kelompok Gang? 18. Kalau bergabung dengan suatu kelompok, saudara bergabung denga kelompok Gang yang mana? 19. Apa kedudukan dan tugas saudara dalam kelompok Gang tersebut? 20. Berapakah jumlah Anggota Gang yang ada di kelompok saudara? 21. Siapakah yang menjadi pimpinan saudara dalam kelompok tersebut? 22. Mengapa saudara bergabung dengan kelompok Gang tersebut? 23. Apakah ada keinginan saudara untuk pindah dan bergabung dengan kelompok Gang yang lain? 24. Apakah ada persyaratan khusus untuk menjadi anggota Gang di Pasar Bawah? 25. Berapakah kelompok Gang yang ada dan beroperasi di Pasar Bawah?
D. DAERAH KEKUASAAN ANGGOTA GANG 26. Di manakah wilayah kekuasaan saudara? 27. Sudah berapa lamakah saudara berada (menguasai) wilayah tersebut? 28. Pada jam berapakah saudara berada di wilayah kekuasaan tersebut?
29. Apakah bentuk kegiatan masyarakat yang ada di wilayah kekuasaan saudara tersebut? 30. Apakah saudara mengenali dengan baik orang-orang yang ada di wilayah kekuasaan saudara tersebut? 31. Apakah pernah wilayah kekuasaan saudara direbut oleh kelompok Gang lain? 32. Kalau pernah, apa yang menjadi pemicunya, apakah saudara berusaha untuk mempertahankannya, dan bagaimana caranya? 33. Bagaimana cara mendapatkan wilayah kekuasaan tersebut? 34. Apa ada keinginan dari saudara untuk mempertahankan dan mengembangkan daerah kekuasaannya? 35. Kalau ya, apakah ada upaya-upaya khusus (tertentu) yang saudara lakukan? 36. Mengapa upaya-upaya tersebut yang menjadi pilihan saudara?
E. SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ANGGOTA GANG 37. Dari manakah sumber pendapatan saudara sebagai anggota Gang? 38. Ada berapakah sumber-sumber pendapatan saudara miliki? 39. Bagaimana caranya mendapatkan sumber-sumber pendapatan tersebut? 40. Berapakah besarnya (rupiah) tiap-tiap sumber pendapatan tersebut, dan bagaimana cara pengambilannya? 41. Bagaimana seandainya ada sumber pendapatan yang tidak mau memberikan uang? 42. Berapakah penghasilan saudara dalam satu bulan?
43. Apakah pendapatan tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan saudara atau ada kepentingan lainnya? 44. Kalau ada kepentingan lain, untuk kepentingan apa, kepada siapa dan bagaimana caranya pembagiannya? 45. Apakah pendapatan sebagai anggota Gang dapat mencukupi segala kebutuhan saudara?
F. HUBUNGAN DAN STRATEGI ANGGOTA GANG 46. Dalam kelompok saudara, darimanakah kebanyakan anggotanya berasal? 47. Bagaimana hubungan saudara dengan sesama anggota Gang dalam satu kelompok? 48. Bagaimana pula hubungan kelompok saudara dengan kelompok Gang lain yang ada di Pasar Bawah? 49. Bagaimana hubungan saudara dengan orang-orang yang ada di wilayah kekuasaan saudara dan apakah wujud atau bentuk dari hubungan tersebut? 50. Apakah saudara menjalin hubungan dengan aparat keamanan (polisi)? 51. Kalau ya, apakah jalinan hubungan tersebut bersifat rutin atau temporer? 52. Kalau bersifat rutin, dalam hal apa saudara menjalin hubungan tersebut dan berapa kali satu bulan? 53. Apakah saudara juga menjalin hubungan dengan aparat pemerintah yang lain (seperti Dinas Perikanan, Sahbandar, Tentara, Lurah, Camat. Dll)? 54. Kalau ya, dalam hal apa saudara menjalin hubungan tersebut dan berapa kali dalam satu bulan?
55. Mengapa saudara menjalin hubungan dengan polisi dan aparat pemerintah lainnya? 56. Apakah dalam menjalin hubungan baik dengan aparat polisi maupun dengan aparat pemerintah lain, saudara memberikan ”sesuatu”? 57. Kalau ya, apakah sesuatu tersebut dalam bentuk barang atau uang? 58. Kalau uang, berapakah besarnya dalam tiap-tiap aparat? 59. Apakah saudara pernah dimanfaatkan oleh aparat (polisi dan aparat pemerintah lainnya) untuk melakukan kegiatan-kegiatan ”tertentu”? 60. Kalau pernah, sudah berapa kali, dalam kegiatan apa, kapan, dan untuk tujuan apa? 61. Apakah dalam kegiatan tersebut, saudara mendapat kompensasi atau imbalan dari aparat?
Nama-Nama Kelompok Di Pasar Bawah dan Sekitarnya Kecamatan Senapelan Pekanbaru
No 1
Nama Kelompok Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
Alamat Jl. Cempedak Pekanbaru
Ketua Kelompok Drs. Endang Sukarelawan
Forum Komunikasi Putra Putri
Jl. A. Yani No. 138,
Drs. Indra B.
Indonesia (FKPPI)
Pekanbaru
Syukur
3
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
Jl. Riau No. 50/36 Pekanbaru
Drs. S. Warsito
4
Gerakan Pemuda Anshor
Jl. Amal No. 3 Pekanbaru
5
Pemuda Panca Marga
6
Bhayangkari Kota Pekanbaru
Jl. A. Yani, Pekanbaru
7
Wanita Katholik Republik Indonesia
Jl. A. Yani No. 48 Pekanbaru
Ny. Rumiati M
8.
Gerakan Pemuda Ka’bah
Jl. Samratulangi, Pekanbaru
Rino
Musyawarah Kekeluargaan Gotong
Jl. Riau No. 11 B Lt.II
Royong (MKGR)
Pekanbaru
Gerakan Pemuda Al Jamiatul
Jl. Kota Baru No. 56
Wasliyah
Pekanbaru
11.
Ikatan Keluarga Siak dan Sekitarnya
Jl. Kuras, Pekanbaru
12.
Angkatan Muda Partai Golkar
13.
Ikatan Pemuda Pekanbaru
Jl. Melur No. 59 Pekanbaru
Forum Komunikasi Pemuda Pemudi
Jl. Jati. Kantor Lurah Kp
Kp. Baru (FKPPKP)
Baru, Pekanbaru
2
9. 10.
14. 15. 16.
Laskar Hulubalang Melayu Riau (LKMR) Kesatuan Perempuan Partai Golkar
Jl. A. Yani No. 138 Pekanbaru
Jl. Kenanga No. 16 C Pekanbaru
Syahminal L. Tanjung Jhony Ilyas Ny. Syafril Nusral, SH.MM
Drs. Nasril Lian Ridwan H. Khaidir Dahermansyah Mustholiem M. Raisnur
Jl. Meranti, Pekanbaru
Wan Zulfardan
Jl. Riau, Pekanbaru
Hj. Elmistimar
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
26. 27. 28.
Angkatan Muda Partai Golkar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Laskar Hulubalang Melayu Riau (LHMR) Lembaga Pemuda Melur Sekitarnya (LPMS) Solidaritas Pemuda Pasar Senapelan (SPPS)
Jl. Perdagangan Pekanbaru
Herman Lubis
Jl. Jati No. 1 Pekanbaru
Ricky Maulana
Jl. Nenas, Pekanbaru
Miswandi
Jl. Cempaka, Pekanbaru
Boy Naldo
Jl. A. Yani. Gg. Aridha No.
Senapelan (FKPPS)
21 Pekanbaru
Sekitarnya (GEMPAR) SPSI NIBA Kelurahan Sago SPSI NIBA Kelurahan Kampung Bandar dan Kampung Baru SPSI NIBA Kec. Senapelan
Agusril
Kelurahan Sago, Pekanbaru
Ruli Kamba
Kelurahan Kampung Bandar dan Kampung Baru,
Yasni Thamrin
Pekanbaru Kecamatan Senapelan, Pekanbaru Kelurahan Kampung Dalam,
Dalam
Pekanbaru
Terubuk
Syaiful Bahri
Jl. Teratai, Pekanbaru
SPSI NIBA Kelurahan Kampung SPSI NIBA Kelurahan Padang
Pasaribu
Jl. Melur, Pekanbaru
Forum Komunikasi Pedagang Pasar Generasi Pemuda Pariaman
Parlaungan
Jl. Riau, Pekanbaru
Sumber : Laporan Tahunan Polsekta Senapelan Tahun 2007
Mahyudin Ruli Kamba Andri Tanjung.