Artikel Mangrove, nelayan dan kita Onrizal PS Kehutanan, Universitas Sumatera Utara Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email:
[email protected],
[email protected]
Wisata alam dan wisata kuliner merupakan atraksi andalan pariwisata dunia saat ini, termasuk dunia pariwisata di Indonesia. Bila kita ke wilayah bagian selatan Jepang, misalnya ke pulau Iriomote, menjelajahi hutan mangrove dengan kayak (Gambar 1) atau kapal (Gambar 2) merupakan salah satu atraksi wisata alam yang banyak ditawarkan dan banyak peminatnya, tidak saja wisatawan lokal, namun juga wisatawan manca negara. Jepang dengan luas hutan mangrove yang hanya dalam hitungan ratusan hektar, mampu menghasilkan devisa yang tidak sedikit tanpa merusak sumberdaya hutan mangrove yang dimilikinya. Hutan mangrove juga merupakan objek penelitian yang sangat menarik dalam skala global (Gambar 3).
Gambar 1. Jelajah mangrove dengan kayak merupakan salah satu atraksi wisata yang ditawarkan dan banyak diminati pengujung di Pulau Iriomote, Jepang (Foto oleh Prof Tadashi Kajita, Chiba Univ).
Namun, Indonesia yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia (3.112.989 ha atau 22,6% dari hutan mangrove dunia) (Giri et al., 2011) belum mampu menjadikan kegiatan wisata alam di hutan mangrove yang sangat luas tersebut sebagai salah satu andalan pendapatan devisa negara. Pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti di hutan mangrove Bali, dan hutan mangrove di Angke Kapuk, Jakarta telah dimulai pembangunan sarana prasarana yang mendukung wisata alam mangrove. Selain melihat berbagai keunikan vegetasi mangrove, seperti perakarannya yang khas, hutan mangrove juga menyediakan atraksi pemancingan ikan, udang dan kepiting serta atraksi pemantauan burungburung air.
Gambar 2. Wisata mangrove dengan kapal menelusuri sungai di taman nasional yang sebagian besar di dominasi hutan mangrove di Pulau Iriomote, Jepang (Foto oleh Prof Tadashi Kajita, Chiba Univ)
Gambar 3. Para peneliti muda dari berbagai negara dan institusi di Asia dan Australia dengan bimbingan profesor senior dari Jepang menjadikan hutan mangrove sebagai objek penelitian dan sekaligus objek wisata (Dokumen JSPS Exchange Program for East Asian Young Researchers: Conservation Genetics of Mangroves, 2010)
WANAMINA ii WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Meskipun wisata alam dengan objek hutan mangrove belum terlalu berkembang di Indonesia, namun wisata kuliner berbasis berbagai produk perikanan tangkap dari ekosistem peraiaran mangrove berkembang pesat dan menjadi salah satu favorit bagi banyak pengunjung. Berbagai restoran di hotel, pusal perbelanjaan seperti mal, rumah makan, cafe sampai warung di pinggir jalan menyediakan berbagai olahan masakan dari kepiting, udang, ikan kerapu, ikan jenahar (Gambar 4) dan lainnya dengan label “Sea Food” sebagai menu andalan untuk manarik pengunjung. Tidak semua tahu, atau mungkin sebagian besar, berbagai menu itu dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove, karena judul terkecoh oleh label menunya: “sea food” yang secara harfiah diartikan makanan laut.
Gambar 4. Aktivitas nelayan dan berbagai produk perikanan yang dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove (Foto oleh Onrizal) Mangrove dan perikanan pantai Hutan mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut memiliki nilai penting dalam mendukung produktivitas ekosistem pesisir. Al Rasyid (1986) melaporkan bahwa produksi udang sangat terkait dengan produksi serasah mangrove. Walters et al. (2008) menginformasikan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat
tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA, kemudian 67% spesies hasil tangkapan perikanan komersial di bagian timur Australia, dan hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove (Macintosh, 1982). Namun akibat akses yang mudah dan nilai kegunaan (biodiversitas dan lahan) mangrove yang tinggi, kini sumberdaya mangrove menjadi salah satu sumberdaya tropis yang terancam
WANAMINA 7
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
kelestariannya (Valiela et al., 2001) ditambah lagi dengan pemanfaatan yang kurang atau tidak memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya mangrove. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem tersebut (Dave, 2006, Primavera, 2005). Kondisi serupa juga terjadi pada hutan mangrove di Sumatera Utara. Hasil review peta sebaran potensi mangrove tahun 2011 oleh BPHM Wilayah II (2011) menunjukkan bahwa dari hutan mangrove seluas 151.409,73 ha di Sumatera Utara sebagian besar (85,5%) sudah tidak berhutan lagi karena sudah dikonversi menjadi areal selain hutan mangrove, seperti tambak, perkebunan, persawahan, permukiman danLabu, areal pertanian lainnya. Hanya Arboretum di Pantai Sumut 21.952,12 ha (14,5 %) saja yang masih berupa hutan mangrove baik dengan kondisi tutupan vegetasi yang rapat maupun kurang rapat (jarang). Kondisi tutupan hutan mangrove di Sumatera Utara pada tahun 2011 tersebut menunjukkan kehilangan hutan mangrove yang sangat besar dibandingkan kurun waktu sebelumnya. Hasil interperatasi Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara pada tahun 1977 (Bakosurtanal, 1977 dalam ITTO & Ditjen RLPS, 2005) menunjukkan bahwa di pesisir timur Sumatera Utara saja terdapat sekitar 103.415 ha hutan mangrove. Sebagian besar (89.093 ha atau 86,2%) hutan mangrove tersebut berupa hutan mangrove primer dan sisanya (14.322 ha atau 13,8%) sebagai hutan mangrove sekunder. Berdasarkan administrasi pemerintahan, sebagian besar hutan mangrove tersebut terdapat di Kabupaten Langkat dengan luas sebesar 45.909 ha (44,4%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (21.051 ha atau 20,4%), Kabupaten Asahan (18.785 ha atau 18,2%) dan paling kecil luasannya pada Kabupaten Labuhan Batu (17.670 ha atau 17,1%). Hasil kajian Onrizal (2010) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1977 – 2006, luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara terus berkurang. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yakni sebesar 14,01% (tersisa menjadi
WANAMINA 8 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Sebaliknya penggunaan lahan selain hutan mangrove yang pada tahun 1977 tidak dijumpai, kecuali tambak sebesar (308 ha), pada tiga pengukuran berikutnya terus meningkat, yakni 16.469 ha pada tahun 1988/1998, 50.247 ha pada tahun 1997, dan 61.746 pada tahun 2006 (Gambar 5).
Gambar 5. Perubahan tutupan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Luas total hutan mangrove (THM), hutan mangrove primer (HMP) terus menurun dalam kurun waktu 1977/2006. Sebaliknya luas hutan mangrove sekunder (HMS) dan areal non hutan mangrove (NHM) karena konversi hutan mangrove terus bertambah dalam kurun waktu yang sama (Sumber: Onrizal, 2010)
Penggunaan lahan hutan mangrove menjadi selain hutan mangrove terutama adalah konversi untuk areal pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah (Onrizal, 2010). Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 ha, namun pada tahun 1988/1989, areal tambak menyebar dan bertambah pada daerah lain di pesisir timur Sumatera Utara, yakni sebesar 1
10.333 ha atau bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%), Kabupaten Asahan 1.053 ha atau 10,19%) dan sisanya di Kabupaten Labuhan Batu (hanya 32 ha atau 0,31%). Hasil inventarisasi BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan areal tambak di Kabupaten Langkat meningkat menjadi 7.397,47 ha, di Kabupaten Deli Serdang menjadi 4.842,95 ha. Areal mangrove di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu pada tahun 2006 juga meningkat dibandingkan tahun 1988/1989, yakni secara berturut-turut menjadi 1.106,50 ha dan 2.555,00 ha (BP DAS Asahan Barumun, 2006). Dengan demikian, areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 ha dalam kurun waktu 17 tahun. Luas tambak tahun 2006 ini tidak termasuk areal yang tambak yang berada di sistem lahan KHY yang mencapai 9.189,50 ha karena pada inventarisasi tahun-tahun sebelumnya tidak dihitung. Rusak dan hilangnya hutan mangrove di Sumatera Utara telah menyebabkan peningkatan ancaman kepunahan pada biodiversitas yang tergantung maupun yang berasosiasi dengan sumberdaya mangrove tersebut. Hasil uji t berpasangan (paired t-test) menunjukkan perbedaan nyata keanekaragaman jenis ikan yang tertangkap nelayan di pesisir timur Sumatera Utara pada saat hutan mangrove masih baik dan setelah hutan mangrove mengalami kerusakan dan hilang. Sekitar 65,7% dan 27,5% komoditas perikanan tangkap di pesisir pantai secara berturut-turut menjadi sulit atau malah tidak pernah tertangkap lagi oleh nelayan setelah hutan mangrove rusak dan hilang (Onrizal et al., 2009). Hal ini sejalan dengan hasil inventarisai BPDAS Wampu Sei Ular (2006) yang menyatakan lebih dari 94% hutan mangrove di Kabupaten Langkat telah mengalami kerusakan dan dikonversi untuk penggunaan lahan selain mangrove. Dampak lanjutan kerusakan dan kehilangan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara adalah menurunnya secara nyata pendapatan nelayan
adalah 40.5%, yakni dari rata-rata Rp 2.413.941 setiap bulannya ketika hutan mangrove masih baik) menjadi to Rp 1.436.383 per bulannya setelah hutan mangrove rusak atau hilang (Onrizal et al., 2009). Konversi hutan mangrove di pantai N a p a b a l a n o , S u l a w e s i Te n g g a r a j u g a menyebabkan berkurangnya secara nyata populasi kepiting bakau (Scylla serrata) di wilayah tersebut (Amala, 2004). Hasil penelitian Mulya (2000) di Suaka Margasatwa Karang Gading dan L a n g k a t Ti m u r L a u t ( S M K G LT L ) j u g a menunjukkan hal yang sama. Kerusakan tegakan hutan mangrove menyebabkan penurunan populasi kepiting. Bila kita membaca secara global, kehilangan habitat merupakan faktor penyebab utama kehilangan jenis berbagai keanekaragaman hayati baik sebagai faktor tunggal maupun berasosiasi dengan faktor penyebab kerentanan lainnya, seperti eksploitasi berlebihan, introduksi jenis asing, interaksi antar jenis secara alami (pemangsa atau pesaing), polusi dan bencana alam. Hasil analisis oleh Venter et al., (2006) menunjukkan bahwa kehilangan habitat memiliki kontribusi 84% yang mengancam kehilangan jenis, diikuti oleh kegiatan eksploitasi berlebihan (32%), interaksi antar jenis secara alami (31%), bencana alam (27%), polusi (26%) dan introduksi jenis asing (22%). Penutup: apa peran kita? Kini, bagi kelompok masyarakat yang bukan nelayan atau aktivitas pekerjaannya tidak terkait dengan sumberdaya mangrove, cukuplah berbagai fakta-fakta ilmiah yang telah disajikan menjadi bekal untuk dapat memahami keterkaitan antara kerusakan hutan mangrove dengan menurunnya secara nyata hasil tangkap dan pendapatan nelayan, sehingga masyarakat nelayan semakin miskin dan bertambah terus populasinya seiring dengan kerusakan hutan mangrove. Rupanya, dampaknya tidak berhenti sampai pada nelayan, kerusakan mangrove tersebut akan terus berpengaruh pada perekonomian lokal, regional dan global. Mengapa demikian? Karena mangrove di sepanjang zona pantai merupakan sumberdaya alam penting bagi manusia sebagai sumber makanan, serat, dan pendapatan (Johsi et al., 2006)
WANAMINA 9
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
serta vital secara ekonomi, baik skala lokal maupun nasional (FAO, 1982; Dahdouh-Guebas et al., 2000). Oleh karena itu, apapun profesi kita, mari terlibat aktif baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan: menjaga hutan mangrove yang masih baik, dan merehabilitasi hutan mangrove yang telah rusak. Sehingga, hutan mangrove yang baik tidak saja mensejahterakan nelayan, namun juga menjamin cadangan sumber protein hewani kita dari berbagai produk perikanan tangkap di pesisir pantai dan yang lebih penting lagi adalah menjamin kesempatan yang sama bagi generasi selanjutnya untuk merasakan manfaat dari hutan mangrove. Apakah anda setuju dengan saya? Semoga: Ya! Pustaka Al Rasyid, H. 1986. Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove di Pamanukan, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan 475: 29-65
Dahdouh-Guebas F., C. Mathenge, J.G. Kairo, & N. Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) amongst subsistence and commercial users. Economic Botany 54 (4): 513-527. Dave, R. 2006. Mangrove ecosystem of south, west Madagascar: an ecological, human impact, and subsistence value assessment. Tropical Resources Bulletin 25: 7-13 FAO. 1982. Management and utilization of mangroves in Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper 3. FAO: Rome Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek, N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography 20, 154–159
Amala, W.A.L. 2004. Hubungan konversi hutan mangrove dengan kemelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
ITTO & Dirjen RLPS. 2005. Review of data and information of mangrove forest ecosystem at North Sumatra Province. Jakarta: I n t e r n a t i o n a l Tr o p i c a l T i m b e r Organization (ITTO) & Directorate General of Land and Forest Rehabilitation Development, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS)
BP DAS Asahan Barumun. 2006. Inventarisasi dan identifikasi lahan kritis mangrove di 4 (empat) kabupaten (Asahan, Labuhan Batu, Nias, dan Nias Selatan) Propinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Asahan Barumun.
Joshi, L., U. Kanagaratnam, & D. Adhuri. 2006. Nypa fruticans – useful but forgotten in mangrove restoration programs? World Agroforestry Centre – ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor
BP DAS Wampu Ular. 2006. Inventarisasi dan identifikasi mangrove SWP DAS Wampu Sei Ular Tahun Anggaran 2006. Medan: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Sei Ular BPHM [Balai Pengelolaan Hutan Mangrove] Wilayah II. 2011. Review Peta Sebaran Potensi Mangrove Tahun 2011. BPHM Wilayah II, Medan.
WANAMINA 10 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Macintosh, D.J. 1982. Fisheries and aquaculture significance of mangrove swamps, with special reference to the Indo-West Pacific region. In: Muir, J.F., Roberts, R.J. (Eds.). Recent Advances in Aquaculture. Croom Helm, England, pp. 4–85
Mulya, M.B. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta keterkaitannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. Tesis Magister. Institut Pertanian Bogor: Bogor Onrizal. 2010. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Jurnal Biologi Indonesia 6 (2): 163172 Onrizal. A. Purwoko, & M. Mansor. 2009. Impact of Mangrove Forests Degradation on Fisherman Income and Fish Catch Diversity in Eastern Coastal of North Sumatra, Indonesia. Proceedings of the International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES'09), May 6-8, 2009. pp: 70-74 Primavera, J.H. 2005. Mangroves, fishpond, and the quest for sustainability. Science 310 (5745): 57-58 Valiela, I., J.L. Bowen, & J.K. York. 2001. Mangrove forest: one of the world's threatened major tropical environments. Bioscience 51(10): 807-815 Venter, O., N.N. Brodeur, L. Nemiroff, B. Belland, I.J. Dolinsek, & J.W.A. Grant. 2006. Threats to Endangered Species in Canada. BioScience 56 (11): 1-8 Walters, B.B., P. Ronnback, J.M. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H. Primavera, E. Barbier, & F. Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economic and management of mangrove forests: a review. Aquatic Botany 89: 220-236
WANAMINA 11
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA