3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Api-api (Avicennia marina) Avicennia marina atau yang umum disebut api-api banyak ditemukan di wilayah mangrove yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Mangrove ini hidup di tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, dengan substrat berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam tinggi. Api-api mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar sampai dengan 90 ‰. Api-api biasa berasosiasi dengan jenis mangrove Rhizophora dan merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung (Noor et al. 2006). Tumbuhan A. marina tumbuh dengan tegak, serta memiliki banyak cabang. Api-api memiliki batang yang mengeluarkan getah dan memiliki rasa yang pahit. Daun tumbuhan ini tumbuh berhadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik dengan ujung tumpul dan pangkal yang rata. Bunga tumbuhan ini berwarna kuning dengan kelopak bunga yang pendek dan pucat. Buah berbentuk kotak, berkatup, berbiji satu serta berkecambah sebelum rontok. tumbuhan ini halus, berwarna kelabu dan hijau loreng.
Kulit kayu
Akar napas api-api
tumbuh lurus, berbentuk ramping dan berjumlah banyak (Purnobasuki 2004). Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk dalam famili Verbenaceae. Daun api-api digunakan untuk mengatasi kulit yang terbakar dan resin yang keluar dari kulit kayu digunakan sebagai alat kontrasepsi (Noor et al. 2006). Menurut Bandaranayake (2002) tumbuhan api-api ini banyak mengandung senyawa aktif seperti fitoaleksin, steroid, tanin, triterpenoid. Morfologi tumbuhan api-api dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tumbuhan api-api (Avicennia marina) (Noor et al. 2006)
4
2.2 Ekstraksi Senyawa Bioaktif Pengambilan bahan aktif yang bersifat sebagai antibakteri dilakukan dengan cara ekstraksi. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam.
Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harborne 1987). Pada proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel dan akan masuk ke dalam rongga sehingga komponen bioaktif akan larut. Perbedaan konsentrasi antara larutan komponen bioaktif di dalam sel dengan di luar sel menyebabkan larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang kali hingga terjadi keseimbangan antara larutan di luar dengan di dalam sel (Nur dan Adijuwana 1989). Kelarutan zat dalam pelarut bergantung pada kepolarannya.
Zat yang
polar hanya larut dalam pelarut polar begitu pula zat non polar hanya larut dalam pelarut non polar.
Pemilihan pelarut dalam ekstraksi harus memperhatikan
selektivitas pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi komponen sasaran, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, dan tipe pelarut (Harborne 1987).
Ekstraksi beberapa kali
dengan pelarut yang lebih sedikit akan lebih efektif dibanding ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur dan Adijuwana 1989). 2.3 Senyawa Fitokimia Analisis fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diujikan dengan sistem biologi. Idealnya untuk analisis fitokimia harus digunakan jaringan tumbuhan segar. Cara lain, tumbuhan dapat dikeringkan, pengeringan harus dilakuan secepatnya tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan aliran udara yang baik untuk mencegah perubahan kimia yang terlalu banyak (Harborne 1987). Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,
5
saat ini diketahui sebanyak 5.500 jenis alkaloid (Harborne 1987).
Alkaloid
sebagian besar terdiri dari komponen ammonia berbasis nitrogen yang disintesis dari asam amino.
Senyawa ini bersifat basa karena adanya atom nitrogen.
Sebagian besar alkaloid terdapat pada padatan yaitu atropine, beberapa berbentuk cairan berisi karbon, hidrogen dan nitrogen (Doughari 2012). Bandaranayake (2002) mengemukakan bahwa alkaloid memiliki banyak aktivitas farmakologi. Singh et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan bahwa alkaloid yang diisolasi dari tumbuhan Prosopis juliflora dan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum luas. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yaitu nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid berupa senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya (Harborne 1987). Hasil penelitian yang dilakukan Ravikumar et al. (2011) menunjukkan bahwa senyawa terpenoid terkandung dalam jumlah banyak pada ekstrak A. marina, sedangkan jumlahnya sedikit pada ekstrak Ceriops decandra dan Bruguiera cylindrica. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua penyulih hidroksil (Harborne 1987).
Michalowicz (2007)
mengemukakan bahwa senyawa fenol tidak berwarna, mengkristal, larut dalam air dan pelarut organik.
Ravikumar et al. (2011) menemukan bahwa senyawa
polifenol terkandung pada A. marina dalam jumlah kecil. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari ribuan senyawa fenol, tapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik juga terdapat dalam jumlah besar. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air (Harborne 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Prabhu dan Guruvayoorappan (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol A. marina mengandung senyawa flavonoid antara lain luteolin 7-o-methylether, galactoside analogue, quercetin dan kaempferol.
6
Saponin adalah molekul gula yang tergabung dengan aglikon triterpenoid atau steroid. Saponin terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin larut dlam air namun tidak larut dalam eter, serta menghasilkan aglikon (Doughari 2012). Francis et al. (2002) melaporkan saponin juga dapat ditemukan pada organisme laut tingkat rendah dan beberapa bakteri.
Hasil penelitian Ravikumar et al. (2011) menunjukkan saponin
terkandung dalam jumlah sedikit pada ekstrak daun A. marina. Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh khususnya dalam jaringan kayu.
Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
mantap yang tidak larut dalam air (Harborne 1987). Menurut Clinton (2009) tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin kondensasi dan tanin hidrolisis. Tanin hidrolisis terbentuk dari unit asam galat atau asam epigalat yang terkondensasi pada molekul gula. Tanin kondensasi adalah dimer atau oligomer dari katekin, epikatekin dan unit sejenisnya. Berdasarkan penelitian Hong et al. (2011), tanin hidrolisis telah berhasil diisolasi dari Rhizophora apiculata. 2.4 Bakteri Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniseluler. Sel bakteri berbentuk bulat, batang atau spiral. Umumnya bakteri berdiameter 0,5-1,0 µm. Bakteri menimbulkan berbagai perubahan kimiawi pada substansi yang ditumbuhinya, mampu menghancurkan banyak zat dan dapat menyebabkan penyakit (Pelczar dan Chan 1986). Feliatra et al. (2004) menyatakan bahwa beberapa jenis bakteri dapat menguntungkan bagi inang yang ditinggalinya yang dinamakan bakteri probiotik. Bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri Gram-positif dan bakteri Gramnegatif berdasarkan perbedaan pada komposisi dan struktur dinding selnya (Pelczar dan Chan 1986). Dinding sel Gram-positif tersusun komponen pokok yang disebut mucocompleks. Mucocompleks ini adalah polimer dari gula amino N-asetilglukosamin dan asam N-asetil-muramic, peptide alanin, asam glutamat, dan asam diaminopimelik atau lysin. Dinding sel bakteri gram positif juga terdiri dari polimer ribitol fosfat yang disebut asam teikhik dan sebuah polimer gliserol fosfat.
Dinding sel bakteri gram negatif lebih komplek, terdiri dari dua
7
mucocompleks dan satu komplek lipoprotein-polisakarida, yang terdiri dari semua jenis asam amino (Jawetz et al. 1960). Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif juga berbeda dalam sensitivitasnya terhadap enzim, kerusakan fisik, desinfektan dan antibiotik. Bakteri Gram-positif lebih sensitif terhadap penisilin tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik atau enzim dibandingkan bakteri Gram-negatif. Bakteri Gram-negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin (Fardiaz 1989). 2.4.1
Escherichia coli Escherichia coli termasuk dalam kelompok bakteri anaerobik fakultatif
Gram-negatif. Bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan (Pelczar dan Chan 1986). E. coli sering terdapat dalam feses dan sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz 1989). Bakteri E. coli tersebar luas sebagai parasit pada mamalia dan burung. (Greenwood et al. 1992). Jenis bakteri ini bersifat motil dan dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas yaitu 15-45 °C. Bakteri E. coli menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran urin dan sepsis (Cowan dan Talaro 2009).
Penyakit lain yang ditimbulkan dari
kontaminasi E. coli yaitu pneumonia, endokarditis, meningitis pada bayi yang baru lahir. E. coli enteropatogenik (EPEC) merupakan penyebab diare pada bayi. Mekanismenya adalah melekatkan dirinya pada sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentous actin pedestal sehingga menyebabkan diare cair. Bakteri ini secara alami sensitif terhadap antibiotik, salah satunya yaitu kloramfenikol (Greenwood et al. 1992). Morfologi E. coli dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Escherichia coli (Todara 2011)
8
2.4.2
Staphylococcus aureus Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam
bentuk tunggal, berpasangan atau berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini termasuk dalam kelompok bakteri kokus Gram-positif. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna kuning sampai jingga.
Kebanyakan galur
S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas (Fardiaz 1989).
Mikrorganisme ini tidak menghasilkan spora, non-motil dan
biasanya tidak menghasilkan kapsul. Kenampakan individual bakteri ini bundar dengan permukaan yang halus dan berkilau sedangkan kenampakan koloni buram dan menghasilkan pigmen secara berkala. Bakteri ini memproduksi nukleus tahan panas
yang
dapat
memecah
Deoxyribose
Nucleid
Acid
(DNA)
sel
(Greenwood et al. 1992). Bakteri S. aureus dapat menimbulkan penyakit yang disebabkan infeksi pada manusia dan hewan seperti misalnya bisul dan luka (Greenwood et al. 1992). S. aureus merupakan organisme penyebab keracunan makanan karena dapat melepas enterotoksin pada makanan yang terkontaminasi.
Makanan yang
mengandung toksin jika masuk ke sistem pencernaan manusia akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual dan diare setelah 6 jam (Madigan 2009). Morfologi S. aureus dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Staphylococcus aureus (Todar 2011) 2.5 Fungi Fungi merupakan organisme yang tidak berklorofil dan memiliki dinding sel yang kaku. Komponen dinding sel fungi tersusun atas khitin dan selulosa atau glukan.
Fungi
atau
(Pelczar dan Chan 1986).
cendawan
terdiri
dari
kapang
dan
khamir
Perbedaan utama antara organisme tersebut yaitu
kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen (miselium) sedangkan
9
khamir merupakan fungi sel tunggal tanpa filamen. Fungi memproduksi spora yang berfungsi sebagai alat reproduksinya (Fardiaz 1989). Fungi memperoleh nutrient dengan cara mengabsorpsi materi organik dari organism yang telah mati.
Saat fungi menginvasi jaringan hidup, umumnya
organisme ini membunuh sel jaringan tersebut dan mengabsorpsi nutriennya. Fungi dapat bersifat saprofitik atau parasit yang dapat mengambil nutrisi dengan cara difusi dari inangnya (Greenwood et al. 1992). Sifat parasit fungi ini dapat merugikan manusia.
Beberapa fungi yang bersifat sebagai parasit dapat
menimbulkan penyakit
pada tumbuhan dan hewan, termasuk
manusia
(Pelczar dan Chan 1986). 2.5.1
Candida albicans Candida albicans termasuk dalam kelas ascomycetes.
Sel Candida
tumbuh membentuk pseudomiselium atau hifa yang mengandung banyak sel-sel tunas (Fardiaz 1989). Candida merupakan jenis khamir berukuran 4-6 µm yang bereproduksi dengan pertunasan. Candida dapat ditemukan pada tanah, benda mati, makanan dan lingkungan rumah sakit. Candida dikenal luas sebagai fungi patogen dan menginfeksi manusia, namun fungi ini dapat hidup pada permukaan tubuh manusia tanpa menyebabkan infeksi (Ostrosky-Zeichner 2012). Fungi Candida menginfeksi dengan cara menurunkan fungsi sistem imun (Ostrosky-Zeichner 2012). Infeksi C. albicans umum ditemukan pada selaput lendir mulut, vagina dan saluran pencernaan yang disebut dengan kandidiasis (Pelczar dan Chan 1986). Sudirman (2006) melaporkan bahwa C. albicans juga menimbulkan infeksi pada bagian kulit yang basah dan hangat seperti pada ketiak, lipatan paha, skrotum atau lipatan di bawah payudara. Morfologi C. albicans dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Candida albicans (Ostrosky-Zeichner 2012)
10
2.5.2 Microsporum gypseum Microsporum gypseum merupakan fungi yang umum menginfeksi kulit dan rambut.
Kurniati dan Rosita (2008) melaporkan bahwa penyakit yang
disebabkan infeksi fungi ini antara lain tinea kapitis (infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut) dan tinea favosa (infeksi jamur pada kulit kepala dan kulit muda). M. gypseum tumbuh dengan cepat dan matang dalam 6 hingga 10 hari. M. gypseum menghasilkan hifa, makronidia dan mikronidia. Makronidia tersebar banyak, fusiform dan berbentuk simetris dengan ujung bulat, sedangkan mikronidia berjumlah sedikit, bergerombol dan terdapat di sepanjang hifa (Ostrosky-Zeichner 2012).
Menurut Kurniati dan Rosita (2008) penampakan
koloni M. gypseum datar dan tekstur permukaan koloni fungi ini seperti granula berwarna kecokelatan. Gambaran mikroskopik berupa beberapa mikronidia dan sejumlah makronidia berdinding tipis. Morfologi M. gypseum dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Microsporum gypseum (Sutton 2007) 2.6 Antimikroba Senyawa antimikroba didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa antimikroba dapat dibedakan menjadi mikrosidal (bakterisidal) dan mikrostatik (bakteriostatik).
Senyawa yang bersifat bakterisidal mampu
membunuh bakteri sedangkan senyawa yang bersifat bakteriostatik dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa yang bersifat membunuh lebih baik daipada yang hanya bersifat menghambat (Fardiaz 1989).
Respon setiap
11
mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri Gram-positif lebih rentan dibandingkan bakteri Gram-negatif yang secara alami lebih resisten (Madigan 2009). Antimikroba bisa dibedakan menurut toksisitasnya yaitu selektif dan nonselektif.
Senyawa non-selektif punya efek sama pada semua sel sedangkan
senyawa selektif lebih beracun terhadap mikroorganisme daripada jaringan tubuh hewan atau manusia (Madigan 2009). Senyawa antibakteri yang digunakan dalam pengobatan pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif artinya senyawa tersebut harus mampu menghambat dan membunuh mikroba tanpa merugikan inang (manusia) (Greenwood et al. 1992). Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan dari mikroorganisme, yang memiliki sifat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Sifat antibiotik menurut Waluyo (2008) adalah sebagai berikut: a) menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak inang b) bersifat bakterisidal, bukan bakteriostatik c) tidak menyebabkan resistensi pada kuman d) berspektrum luas (efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri) e) tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan dalam waktu lama f) tetap aktif dalam plasma, cairan badan atau eksudat g) larut dalam air serta stabil h) jika bersifat bakterisidal, cepat dicapai dan bertahan untuk waktu lama di dalam tubuh Kloramfenikol merupakan salah satu zat antibiotik.
Kloramfenikol
memiliki kemampuan antibakteri yang sangat besar, tetapi kloramfenikol digunakan terbatas pada beberapa indikasi klinis (Greenwood et al. 1992). Kloramfenikol termasuk kelompok antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri.
Kloramfenikol merupakan
antibiotik yang paling stabil dan netral. Zat ini juga cepat dan hampir sempurna diarbsorpsi oleh saluran pencernaan (Fardiaz 1989).
12
Menurut Sadeghnia dan Hassanzadeh-Khayyat (2005) ketoconazol merupakan senyawa antifungi yang termasuk dalam kelompok imidazol. Zat ini diberikan melalui mulut bagi penderita kandidiasis kronis, infeksi saluran pencernaan oleh jamur, infeksi dermatofit pada kulit dan kuku dan penyakit akibat fungi patogen lain. Penyerapan ketoconazol dalam saluran pencernaan bervariasi dan meningkat seiring dengan penurunan pH perut. Lebih dari 90% ketoconazol terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Paolicelli (2011) melaporkan bahwa ketoconazol bersifat larut air dan mudah mengalami degradasi kimia seperti oksidasi dan hidrolisis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tumbuhan mangrove mengandung senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba.
Penelitian yang
dilakukan Saad et al. (2012) menunjukkan tanin yang terdapat pada Soneratia telah dibuktikan memiliki aktivitas antibakteri.
Hasil serupa dinyatakan oleh
Hong et al. (2011), bahwa tanin hidrolisis yang diisolasi dari kulit batang Rhizophora apiculata memiliki aktivitas antifungi terhadap C. albicans. Haq et al. (2011) menemukan bahwa senyawa fenolik yang diekstrak dari Bruguiera gymnorrhiza efektif menghambat pertumbuhan beberapa bakteri gram positif dan Gram-negatif. 2.7 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Aktivitas antimikroba diukur berdasarkan jumlah terkecil senyawa yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji dengan nilai yang disebut MIC (Madigan 2009).
Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba secara kasat mata. Luasan dari masingmasing dari zona hambat merupakan ukuran langsung dari tingkat sensitivitas senyawa (Greenwood et al. 1992). Menurut Wiegand et al. (2008) penentuan MIC dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan daya tahan obat antibiotik. Ada 2 metode yang digunakan dalam pengujian MIC, yaitu teknik tabung pengenceran (tube dillution technique) dan metode difusi agar (agar diffusion method). Teknik tabung pengenceran dilakukan dengan menginokulasikan bakteri uji ke dalam beberapa tabung reaksi yang telah diisi medium dengan konsentrasi
13
senyawa antimikroba berbeda. Tabung diinkubasi, setelah itu ditentukan MIC nya berdasarkan kekeruhannya (Madigan 2009). Wiegand et al. (2008) menyatakan bahwa metode difusi agar dilakukan dengan menaruh sejumlah bakteri dalam cakram nutrient agar yang telah diisi dengan zat antimikroba dengan konsentrasi berbeda.
Adanya koloni bakteri pada cakram setelah inkubasi menunjukkan
pertumbuhan mikroba. Menurut Wiegand et al. (2008) dilusi cair menggunakan media cair untuk pertumbuhan yang berisi senyawa antimikroba dengan konsentrasi yang meningkat secara berurutan, dan diinokulasi sejumlah sel bakteri. Volume yang digunakan menentukan jenis metode termasuk makrodilusi atau mikrodilusi. Jika volume yang digunakan sebanyak 2 mL maka disebut makrodilusi sedangkan mikrodilusi menggunakan microtiter plate dengan volume sebanyak 500 µL per sumur.
Penampakan kekeruhan atau endapan setelah inkubasi menunjukkan
pertumbuhan mikroba. (dalam
mg/L)
Nilai MIC ditunjukkan dengan konsentrasi terendah
senyawa
antimikroba
yang
mencegah
pertumbuhan
mikroorganisme secara kasat mata dibawah kondisi tersebut. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) tidak sama untuk setiap senyawa antibakteri, tetapi dipengaruhi oleh jenis organisme, ukuran inokulum, komponen media kultur, waktu inkubasi, serta kondisi inkubasi berupa suhu, pH atau aerasi (Madigan 2009). Menurut Davis dan Stout (1971), ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah).
Faktor yang
mempengaruhi ukuran daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar.