FORMULASI BISKUIT DENGAN TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS LABU KUNING (Cucurbita moschata) SEBAGAI ALTERNATIF MAKANAN PENDAMPING ASI
Oleh: TRI SUNDARI I14052816
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT TRI SUNDARI. Formulation of Biscuits with Pumpkin(Curcubita moschata)-Based Composite Flour for Complementary Feeding. Under direction of FAISAL ANWAR and ROSWITA SUNARLIM. Pumpkin, banana and mung bean are the local food that has potential as substitution material in the manufacture of biscuits as complementary feeding. There local foods is should be reduced their oligosaccharide content by specific treatment for each kind of local food using cultural submersion of αgalactosidase enzyme for 18 hours at 108CFU/ml, submersion with 150 ppm of sodium metabisulphite for 5 minutes, and submersion with clean water for 6 hours content of pumpkins, bananas, and mung beans respectively. Composite flour made by mixing of 60% of pumpkin flour, 25% of mung bean flour, and 15% of banana flour. Formulation of biscuits was using RSM method. Determination of the best formulas made with physical and organoleptic. The best formula is a formula containing 20% of composite flour. Energy (464 kcal) and nutrient content (protein = 10.2 g and calcium = 202 mg) of biscuit is suitable to standart of Indonesia Complementary Feeding. Based on in vitro analysis, starch and protein digestibility each is 80.41%and 64.93%. There was negative content of Salmonella sp. Staphylococcus aureus, and E. coli in biscuit. So, this product is safe to be consump. Serving size of this biscuit was six units of equal to 66 grams of biscuits.
TRI SUNDARI. Formulasi Biskuit dengan Tepung Komposit berbasis Labu Kuning (Cucurbita moschata) sebagai Alternatif Makanan Pendamping ASI. Pembimbing FAISAL ANWAR dan ROSWITA SUNARLIM
RINGKASAN Masa bayi dan anak-anak merupakan masa yang paling penting dalam perkembangan manusia. Selama periode 2 tahun pertama dicirikan dengan perkembangan dan pertumbuhan fisik dan sosial yang sangat cepat yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan gizinya. MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Salah satu bahan lokal yang populer di masyarakat adalah labu kuning yang tinggi kandungan βkaroten. Pisang mengandung energinya cukup tinggi dan pemenuhan kebutuhan protein bayi diperlukan bahan pangan bersumber protein, salah satunya adalah kacang hijau. Kombinasi dari labu kuning, pisang, dan kacang hijau jika diformulasikan akan memberikan produk dengan zat gizi lengkap. Berdasarkan hal tersebut tepung komposit menjadi potensi untuk dikembangkan sebagai bahan substitusi MP-ASI dalam pembuatan biskuit. Tepung komposit terdiri dari 60% tepung labu kuning, 25% tepung kacang hijau dan 15% tepung pisang. Bahan baku tepung mengalami perlakuan untuk pengurangan oligosakarida dengan beberapa cara yaitu perendaman kultur enzim α-galaktosidase 108CFU/ml selama 18 jam pada labu kuning, perendaman dengan natrium metabisulfit 150 ppm selama 5 menit pada pisang dan perendaman dengan air bersih selama 6 jam pada kacang hijau. Formulasi biskuit dilakukan dengan membuat perbandingan bahan dasar penyusunan antara tepung komposit, pati garut, margarin, susu dan telur. Rancangan metode formulasi menggunakan rancangan Response Surface Methodology mixture design D-optimal yang menggunakan software Design Expert 7.0 trial (DX 7 trial). Kisaran komponen dikonversi berdasarkan berat total formula biskuit (100%), kisaran komponen yang digunakan adalah tepung komposit 20-23%, pati garut 30-33%, margarin 10-12.5%, susu 12-14%, gula 57.5 % dan telur 20%. D-optimal menghasilkan 25 formula dalam percobaan. Hasil 25 formula dimasukkan ke dalam syarat MP-ASI menghasilkan 10 formula. Pembuatan 10 formula biskuit kemudian diuji sifat fisik dan organoleptik untuk mendapatkan formula terbaik dengan kontrol biskuit MP-ASI Depkes. Sifat fisik yang diuji adalah densitas kamba, kekerasan, uji seduh dan waktu rehidrasi. Sifat organoletik yang diuji adalah kemudahan biskuit melarut dalam mulut, kerenyahan biskuit di mulut, kemudahan biskuit ditelan dan kehalusan biskuit dalam mulut. Hasil dari kedua uji ini didapatkan satu formula biskuit terbaik (F10) dengan kandungan 20% tepung komposit dan 30% pati garut. Formula terbaik (F10) diuji lanjut sifat kimia, biologi dan mikrobiologi. Formula terpilih dianalisis secara kimia, biologi dan mikrobiologi. Hasil analisis kimia yang memenuhi persyaratan MP-ASI adalah protein 10.2 g, energi 464 kkal dan Ca 202 mg. Hasil uji sifat biologi dengan uji daya cerna pati dan daya cerna protein secara in vitro, didapatkan bahwa kemampuan biskuit untuk dicerna cukup baik, yaitu: 64.93 % dan 80.41 %. Sifat mikrobiologi menunjukkan biskuit ini relatif aman dikonsumsi karena kandungan bakteri bernilai negatif untuk Salmonella sp.dan Staphylococcus aureus, E. coli (cfu/100 gram). Berdasarkan konstribusi zat gizinya, takaran saji biskuit adalah 6 keping atau setara 66 gram biskuit makan untuk memenuhi minimal 20% AKG yaitu energi 278 kkal, protein 6 gram, karbohidrat 35 gram dan lemak 12.6 gram dalam satu hari.
FORMULASI BISKUIT DENGAN TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS LABU KUNING (Cucurbita moschata) SEBAGAI ALTERNATIF MAKANAN PENDAMPING ASI
Oleh: TRI SUNDARI I14052816
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul
Nama NIM
: Formulasi Biskuit dengan Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning (Cucurbita moschata) sebagai Alternatif Makanan Pendamping ASI : Tri Sundari : I14052816
Disetujui : Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Prof.Dr. Ir. Faisal Anwar, MS NIP.19520413.198703.1001
Dr. Ir. Roswita Sunarlim, MS NIP. 19460918.197602.2001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Ir. Budi Setiawan, MS,. Ph.D NIP. 19621218.198703.1001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 20 Oktober 1987. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Ismuntiono dan Ibu Ernawati. Pendidikan penulis diawali dengan pendidikan dasar yang diselesaikan di SD Muhammadiyah 2 Pontianak. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di SLTP Negeri 3 Pontianak dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan di SMAN 1 Pontianak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008, dan 2009/2010. Selama kuliah penulis pernah mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB. Selama studi di Institut Pertanian Bogor penulis bergabung dalam keanggotaan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) TPB IPB periode 2005/2006, periode 2006/2007 sebagai perintis kelembagaan FEMA dan DPM FEMA, periode 2007/2008 sebagai Bendahara DPM FEMA dan anggota FORSIA (Forum Silaturahim Islam FEMA). Penulis juga pernah terlibat dalam Kepanitiaan Open House 43 dan MPKMB 43 tahun 2006, MPF (Masa Perkenalan Fakultas) dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) tahun 2007, panitia Seminar Gizi 42 ” FRESH” tahun 2008 dan kepanitiaan lainnya. Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Depok dan Kelurahan Depok Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok serta internship bidang Dietetika di RSUD R. Syamsudin, Sukabumi. Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat dengan melakukan penelitian yang berjudul ”Formulasi Biskuit dengan Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning (Curcubita moschata) sebagai Alternatif Makanan Pendamping ASI” yang merupakan bagian dari penelitian yang dibiayai DIKTI oleh Balai Besar Pengembangan dan Penelitian Pasca Panen Pertanian, Bogor.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan kemudahan sehingga skripsi yang berjudul “Formulasi Biskuit dengan Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning (Cucurbita moschata) sebagai Makanan Pendamping ASI” dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW juga atas keluarga, sahabat dan umatnya yang senantiasa tetap istiqomah hingga tibanya hari perhitungan kelak. Skripsi ini merupakan bagian yang paling manis untuk dikenang karena merupakan akhir dari perjalanan panjang dan penuh tantangan sejak mengikuti perkuliahan, penulisan proposal, pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan. Banyak hal yang penulis dapatkan dan pelajari untuk bekal hidup penulis di kemudian hari. Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Ismuntiono dan Ernawati selaku orang tua yang tak henti-hentinya memberikan doa, mendidik, dan kasih sayang yang tiada tara. 2. Prof. Dr. Ir Faisal Anwar,MS dan Dr. Ir. Roswita Sunarlim, MS selaku pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Tim penelitian labu kuning di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Bogor tahun 2009 ( Bu Leni, Bu Sri, Pak Abu) 4. Teman- teman penelitian labu kuning (Sri, Huri, Rino) atas semangat dan kerja samanya. 5. Teknisi baik yang berada di Lab Balai, Lab Gizi maupun di LIPI atas bantuan untuk kemudahan penelitian ini. 6. Kakak dan adikku tercinta (Mas Guntur, Mas Tio, Anggun) terima kasih doa dan dukungannya. 7. Para sahabatku FEMA atas doa dan dukungannya (Nisa, Diah, Kiki, Heni, Vivi, Riri) terutama teman GIZI 42 atas kebersamaan dan dukungannya selama ini. 8. Para imeh dan rangers (Ulfa, Fefin, Dinar, Sari, Nisa, Dude, Lily, Sima, Fuji, Listiana, Lisma, Ami, Eka, Ayiz) atas doa dan dukungannya. 9. Keluarga dakwah (Lia, Nina, Lina, Nurul, Mb Melput, Mb Weni, Mb Ratih, Bu Dewi, Mb Tina) atas doa, nasehat, semangat dan dukungannya.
i
10. Nafisa dan WAD crew (Endang, Puspa, Rahmi, Meita, Indra, Sarah, Henti, Eka, Trisna, Rani, Ma‟cik, „Aliim, Nunu, Mb Nyit) atas doa, dukungan dan bantuannya. 11. Adik-adik keluarga dakwahku (Age, Danis, Eka, Fitri, Kokom, Niswa, Fina, Risma, Yuni, Ana, Kokom, Leni, Syahida, Yani, Novi, Nur, Marni, Khusnul, Mentari, Rahma, dan Sarifah) atas doa, dukungan dan semangatnya. 12. Para ikhwah 41, 42, 43, 44, 45, 46 dan 47 sehingga banyak mendapatkan kemudahan dalam menjalankan semua amanah ini, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda atas bantuan, doa dan kerjasamanya selama ini. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi peningkatan gizi pada anak- anak Indonesia. Kritik dan saran sangat diharapkan penulis agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk berperan serta dalam peningkatan kualitas gizi di Indonesia.
Bogor, Maret 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA… .......................................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... viii PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan ..................................................................................................... Kegunaan ...............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping ASI ..................................................................... Syarat Makanan Pendamping ASI ............................................... Persyaratan Fisik Makanan Pendamping ASI ............................. Kecukupan Gizi ............................................................................. Mutu Protein ............................................................................................ Daya Cerna Protein ................................................................................. Labu Kuning ............................................................................................. Kacang Hijau .......................................................................................... Pisang Raja ............................................................................................. Biskuit………………………………………………………………………… Klasifikasi Biskuit ......................................................................... Bahan-bahan Pembuat Biskuit .................................................... Proses Pembuatan Biskuit ........................................................... Mutu Biskuit ................................................................................. Response Surface Methodology (RSM) ................................................. Optimasi ................................................................................................... Design Expert ..........................................................................................
3 3 5 6 6 7 7 9 11 12 13 13 14 15 15 16 16
METODE Waktu dan Tempat ................................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Persiapan Bahan Baku ............................................................................ Formulasi Tepung Komposit .................................................................. Formulasi Biskuit .................................................................................... Formulasi Biskuit Terpilih ........................................................................ Pengolahan dan Analisis Data ...............................................................
18 18 18 21 22 25 26
HASIL DAN PEMBAHASAAN Karakteristik Bahan ................................................................................ Tepung Komposit ......................................................................... Pati Garut ..................................................................................... Formulasi Biskuit .................................................................................... Pembuatan Biskuit ................................................................................... Sifat Fisik Biskuit .................................................................................... Densitas Kamba (bulk) ................................................................. Kekerasan ....................................................................................
27 27 28 29 30 31 31 32
iii
Uji Seduh ..................................................................................... Waktu Rehidrasi ........................................................................... Sifat Organoleptik Biskuit ........................................................................ Pertimbangan Formula Biskuit Terpilih .................................................. Kandungan Gizi Biskuit ........................................................................... Daya Cerna Pati dan Protein Biskuit ...................................................... Daya Cerna Pati ........................................................................... Daya Cerna Protein ..................................................................... Sifat Mikrobiologi Biskuit ......................................................................... Salmonella sp ............................................................................... Staphylococcus aureus ................................................................ E. coli ............................................................................................ Penentuan Takaran Saji ..........................................................................
33 33 34 35 36 38 38 39 39 40 40 40 41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................. 43 Saran........................................................................................................ 43 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 44 LAMPIRAN ......................................................................................................... 47
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1 Persyaratan Biskuit MP-ASI menurut SK Menkes 2007 ............................
5
2 AKG rata- rata per hari yang dianjurkan untuk anak umur 6-36 bulan ........
6
3 Komposisi dan kandungan zat gizi labu kuning (per 100 g) .........................
8
4 Komposisi dan kandungan zat gizi kacang hijau (per 100 g) .......................
9
5 Komposisi asam amino kacang hijau (per 100 g)......................................... 10 6 Kandungan zat gizi dalam 100 g daging pisang raja buluh .......................... 12 7 Kisaran konsentrasi masing-masing komponen penyusun biskuit............... 23 8 Formula biskuit MP-ASI dengan tepung komposit ....................................... 24 9 Kandungan zat gizi dan daya cerna tepung komposit .................................. 28 10 Kandungan zat gizi pati garut ....................................................................... 29 11 Kandungan zat gizi bahan penyusun biskuit ................................................ 30 12 Formula biskuit yang memenuhi standar MP-ASI (per 100 g) ..................... 30 13 Komposisi bahan penyusun biskuit yang memenuhi syarat MP-ASI ........... 31 14 Hasil pengujian sifat fisik biskuit dengan tepung komposit .......................... 34 15 Hasil pengujian indrawi biskuit dengan tepung komposit ............................. 35 16 Kandungan zat gizi biskuit (per 100 gram) ................................................... 37 17 Hasil pengujian sifat biologi biskuit dengan tepung komposit ...................... 38 18 Hasil pengujian sifat mikrobiologi biskuit dengan tepung komposit ............. 40 19 Kandungan zat gizi per takaran penyajian .................................................... 41
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning ................................................ 19 2 Diagram alir pembuatan tepung pisang ........................................................ 20 3 Diagram alir pembuatan tepung kacang hijau .............................................. 21 4 Diagram alir formulasi tepung komposit ....................................................... 22 5 Diagram alir pembuatan biskuit dengan tepung komposit ........................... 25 6 Diagram alir formulasi biskuit ........................................................................ 26 9 Biskuit F10 dan Depkes ................................................................................ 36
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lembar penilaian indrawi biskuit MP-ASI ..................................................... 47 2 Transformasi penilaian uji indrawi ................................................................. 48 3 Prosedur pengujian sifat fisik ........................................................................ 49 4 Prosedur pengujian sifat kimia ...................................................................... 50 5 Prosedur pengujian sifat biologi .................................................................... 55 6 Perhitungan takaran saji................................................................................ 56 7 Analisis ragam densitas ................................................................................ 57 8 Analisis ragam kekerasan ............................................................................. 57 9 Analisis ragam uji seduh ............................................................................... 57 10 Analisis ragam waktu rehidrasi ..................................................................... 57 11 Dokumentasi Penelitian................................................................................. 58
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masa bayi dan anak-anak merupakan masa yang paling penting dalam perkembangan manusia. Selama periode 2 tahun pertama dicirikan dengan perkembangan dan pertumbuhan fisik dan sosial yang sangat cepat yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan gizinya. Kecukupan pada asupan zat gizi bayi dan anakanak dipengaruhi oleh lingkungannya mulai dari cara asuhnya, kesehatannya, sampai kualitas makanan yang diberikan. Masa ini juga merupakan masa yang rentan terhadap kekurangan gizi dan terserang penyakit. Akibat kekurangan gizi pada bayi dan
anak-anak
dapat
menyebabkan
terjadinya
gagal
tumbuh,
yang
akan
mempengaruhi tumbuh kembang pada fase berikutnya. Menurut Krisnatuti & Yenrina (2000), Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan sempurna untuk bayi karena ASI dapat memenuhi semua kebutuhan zat gizi bayi hingga umur 6 bulan. Setelah melampaui periode ini bayi membutuhkan makanan tambahan selain ASI yaitu makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP- ASI komersial yang berkembang adalah dalam bentuk biskuit dan bubur yang memudahkan untuk disiapkan dalam waktu singkat. Salah satu bahan lokal yang populer di masyarakat adalah labu kuning. Labu kuning merupakan sayuran yang kaya akan β-karoten dan antioksidan. Warna kuning atau orange yang ada pada labu menandakan bahwa labu mengandung β-karoten (Middleton 1977). Buahnya mengandung karotenoid tinggi (1187.23 μg/g) sehingga dijuluki ”raja β-karoten”. Dalam saluran cerna, β-karoten dikonversi oleh sistem enzim menjadi retinol yang berfungsi sebagai vitamin A. Labu juga mengandung vitamin C, mineral (Ca, Fe, dan Na), inulin, dan serat pangan yang sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan kesehatan. Bahan lokal lain yang biasa menjadi makanan tambahan bayi adalah pisang. Pisang mengandung gizi yang sangat baik yaitu energinya cukup tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain. Pisang juga mengandung vitamin A (terutama pisang raja bulu sekitar 950 SI) , vitamin C, vitamin B-kompleks, dan serotonin. Kebutuhan protein bayi diperlukan dari bahan pangan sumber protein, salah satunya adalah kacang hijau. Kacang hijau memiliki protein yang kaya akan asam amino lisin, karbohidrat dan lemak. Kacang hijau juga mengandung kalsium dan
2
fosspor yang relatif tinggi bermanfaat untuk memperkuat kerangka (Astawan & Wresdiyati 2004). Kombinasi dari labu kuning, pisang, dan kacang hijau jika diformulasikan akan memberikan produk dengan zat gizi lengkap. Dalam pembuatan produk MP-ASI yang perlu diingat adalah bahwa organ pencernaan bayi pada usia 12-24 bulan belum kuat, sehingga makanan yang diberikan harus mudah dicerna dan lunak. Menurut Muchtadi (1994) hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan MP-ASI adalah kandungan energi dan protein tinggi dengan total kalori 100-120 per kilogram berat badan, kandungan vitamin dan mineral yang baik, bersifat padat gizi dan mempunyai daya cerna tinggi. Daya
cerna
MP-ASI
yang
tinggi
membutuhkan
proses
pengurangan
oligosakarida penyebab diare dan flatulensi pada bahan yang digunakan hingga taraf aman. Dosis aman konsumsi oligosakarida sekitar 0.3 g/kg bb/hari (Muchtadi 1996). Tepung komposit dari labu kuning, pisang dan kacang hijau yang sudah mengalami reduksi oligosakarida dapat menjadi bahan baku makanan pendamping ASI yang dapat diterima oleh pencernaan bayi. Berdasarkan hal tersebut tepung komposit campuran tepung labu kuning, pisang dan kacang hijau menjadi potensi untuk dikembangkan sebagai bahan substitusi dalam pembuatan MP-ASI. Produk yang potensial untuk dikembangkan dalam MP-ASI adalah biskuit untuk anak usia 12-24 bulan. Tujuan Tujuan Umum: Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh formulasi terbaik biskuit yang berasal dari tepung komposit berbasis labu kuning sebagai alternatif MPASI dengan menggunakan metode Response Surface Methodology (RSM). Tujuan Khusus: Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Membuat biskuit MP-ASI dari tepung komposit berbasis labu kuning. 2. Menganalisis sifat fisik, organoleptik, kimia, biologi dan mikrobiologi MP-ASI terpilih. 3. Menentukan takaran saji biskuit per sajian Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan biskuit bayi sebagai makanan pendamping ASI untuk pemenuhan gizi bayi. Selain itu dapat memberikan informasi mengenai pengembangan produk berbahan pangan lokal.
3
TINJAUAN PUSTAKA Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi setelah berumur 4-6 bulan (Krisnatuti & Yenrina 2006). Menurut SNI 01-7111.42005, MP-ASI adalah makanan bergizi yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia 6 bulan ke atas atau berdasarkam indikasi medis, sampai anak berusia 24 bulan untuk mencapai kecukupan gizinya. Makanan pendamping ASI bukan merupakan makanan utama, melainkan makanan pelengkap disamping air susu ibu, paling tidak sampai bayi berumur 24 bulan. ASI hanya mampu mencukupi kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Setelah itu produksi ASI semakin berkurang, sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan berat badan sehingga diperlukan makanan yang dapat melengkapi kebutuhan zat gizi bayi yaitu MP-ASI. Makanan ini harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa makanan pendamping ASI berguna untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI (Krisnatuti & Yenrina 2006). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terusmenerus. Pertumbuhan
dan
perkembangan
anak
dapat
dilihat
dari kondisi
pertambahan berat badan anak. Jika setelah usia 6 bulan berat badan anak tidak mengalami peningkatan, maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan zatzat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan oleh asupan bayi yang hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian makanan tambahan kurang memenuhi syarat. Disamping itu faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan juga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Syarat Makanan Pendamping ASI Agar pemberian makanan pendamping ASI dapat terpenuhi dengan sempurna maka perlu diperhatikan sifat-sifat bahan makanan yang digunakan. Makanan tambahan untuk bayi harus memiliki sifat fisik yang baik yaitu bentuk dan aroma yang layak untuk dikonsumsi. Selain itu, makanan pendamping ASI sebaiknya praktis dan mudah disiapkan dengan waktu pengolahan yang singkat. Makanan pendamping ASI harus memenuhi persyaratan khusus yaitu jumlah zat-zat gizi yang diperlukan bayi, seperti protein, energi, lemak, vitamin, mineral, dan zat-zat tambahan lainnya. MP-ASI hendaknya mengandung protein bermutu tinggi
4
dengan skor asam amino sekitar 60-70 NPU (Net Protein Utilization). Codex Alimentarius Guidelines mensyaratkan mutu protein dengan skor asam amino 65 NPU atau tidak kurang dari 2.1 PER (Protein Efficiency Ratio). Selain mutu protein juga harus memperhatikan jumlahnya (Krisnatuti & Yenrina 2006). Makanan pendamping ASI, selain mengandung protein yang bermutu tinggi juga harus menghasilkan energi yang cukup tinggi. Menurut Protein Advisory Group (PAG) no 8. dan Codex Alimentarius Guidelines (Winarno 1995), mensyaratkan dalam 100 gram produk harus dapat menyumbang energi sebesar 400 kkal. Kandungan energi ini dapat dicapai dengan melakukan penambahan gula dan lemak. Lemak dapat diberikan sampai kandungannya dapat menyediakan energi sebanyak 25% atau maksimum sebanyak 10 g/100g produk (Krisnatuti & Yenrina 2006). Penambahan vitamin dan mineral sangat diperlukan untuk memenuhi kelengkapan zat gizi yang dianjurkan. Penggunaan bahan tambahan makanan seperti penyedap, pewarna, pengawet, garam dan pemanis hendaknya dibatasi seminimal mungkin. Menurut Codex Alimentarius Guidelines diperkenankan penggunaan bahan tambahan makanan berupa emulsifier, pengatur keasaman, antioksidan, perisa dan enzim. Menurut SNI 01-7111.4-2005, bahan tambahan pangan yang diizinkan adalah pengemulsi, pengatur keasaman, antioksidan, perisa vanilla, penegas cita rasa, enzim dan bahan pengembang. Makanan bayi tidak boleh memiliki sifat kamba (bulk) yaitu volume makanan yang besar, tetapi memiliki kandungan gizi yang rendah. Makanan yang memiliki sifat kamba akan cepat memberi rasa kenyang. Namun, terdapat kemungkinan bahwa energi yang diperlukan bayi belum dapat terpenuhi (Krisnatuti & Yenrina 2006). Menurut Krisnatuti & Yenrina (2006), formulasi MP-ASI harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: (1) memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi, (2) memiliki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan, (3) dapat diterima oleh pencernaan bayi, (4) harga relatif murah, (5) bersifat padat gizi, dan diperoleh dari bahan pangan lokal, dan (6) kandungan serat kasar yang sukar dicerna dalam jumlah yang minimal, karena serat kasar yang terlalu banyak dapat mengganggu pencernaan bayi. Syarat mutu MP-ASI adalah zat gizi yang dikandung makanan pendamping ASI harus memenuhi kebutuhan gizi pada kelompok umur tersebut. Syarat mutu gizi MPASI dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam SK. Menkes 2007 mensyaratkan kepadatan energi tidak kurang dari 40 kkal per gram. Kandungan protein tidak kurang dari 8 g per
5
seratus kkal dan tidak lebih dari 12 per seratus kkal dengan mutu protein tidak kurang dari 70% kasein standar. Sedangkan kandungan lemak tidak kurang dari 10 g per seratus kkal dan tidak lebih dari 18 g perseratus kkal (Depkes 2007) Tabel 1 Persyaratan Biskuit MP-ASI menurut SK. Menkes 2007 No 1 2
Zat Gizi
Energi Protein (kualitas protein tidak kurang dari 70% kasein) 3 Lemak (kadar asam linoleat minimal 300 mg per 100 kkal atau 1,4 gram per 100 gram produk) 4 Karbohidrat: 4.1. Serat 4.2. Gula (gula sederhana) 5 Vitamin A (acetate) 6 Vitamin D 7 Vitamin E 8 Vitamin K 9 Vitamin B1 (Thiamin) 10 Vitamin B2 (Riboflavin) 11 Vitamin B6 (Pyridoksin) 12 Vitamin B12 13 Niasin 14 Folic acid 15 Iron (Fumarate) 16 Iodine 17 Zinc 18 Kalsium 19 Natrium 20 Selenium 21 Fosfor 21 Air Sumber: Depkes (2007)
Satuan kkal g
g
g g mcg mcg mg mg mg mg mg mcg mg mcg mg mcg mg mg mg mcg mg %
Kadar minimum 400 8 – 12 10 – 18
maksimum 5 maksimum 30 250 - 700 3 – 10 4–6 minimum 10 0.4 – 0.5 0.4 – 0.5 0.3 – 0.5 0.5 – 0.9 4.0 – 6.0 60 - 100 5.0 – 6.0 60 – 70 2.5 – 3.0 200 - 300 maksimum 800 10 – 15 Ca:P = 1.2 – 2.0 maksimum 5
Persyaratan Fisik Makanan Pendamping ASI Selain kandungan dan komposisi zat gizi yang dianjurkan, produk makanan anak balita termasuk MP-ASI dituntut mempunyai sifat fisik yang baik antara lain berupa penampakkan visual, warna, aroma yang layak dan harus disukai, serta relatif mudah disiapkan dengan waktu pemasakkan yang singkat atau bahkan segera siap dimakan dengan hanya menambahkan sejumlah kecil air sesuai kemampuan konsumsi anak (Mahmud 1979).
6
Beberapa sifat fisik lain yang harus diperhatikan adalah densitas kamba (kekambaan) dan kapasitas pengikat air. Makanan MP-ASI harus bersifat tidak kamba sehingga anak tidak cepat merasa kenyang mengingat masih terbatas kapasitas perutnya. Densitas kamba yang besar akan membutuhkan volume lebih besar untuk sejumlah kecil bahan sehingga hal ini dapat diartikan bahwa semakin besar nilai densitas kamba akan semakin sedikit pula kandungan gizi yang akan diterima. Menurut Sulaeman (1993) densitas kamba dipengaruhi oleh tepung-tepungan penyusun produk. Kapasitas pengikatan air merupakan sifat fungsional bahan yang dipengaruhi oleh kandungan protein dan lemak produk. Sifat fisik ini juga terkait pula dengan penyimpanan produk. Biskuit untuk MP-ASI harus memenuhi beberapa persyaratan seperti kandungan gizi yang sesuai serta beberapa persyaratan fisik. Karakteristik fisik biskuit yaitu densitas kamba rendah, kapasitas air rendah dan kekerasan rendah. Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk anak umur 6-36 bulan disajikan pada Tabel 2. Kecukupan gizi yang dianjurkan ini dapat dipenuhi dari ASI, makanan utama maupun makanan tambahan yang dikonsumsi tiap harinya. Hal ini menuntut tersedianya berbagai jenis MP-ASI yang bermutu, mempunyai nilai gizi yang tinggi serta dapat diterima dan disukai anak- anak 6-24 bln. Tabel 2. Angka kecukupan gizi rata- rata per hari untuk anak umur 6-36 bulan. Komponen Berat Badan (kg) Tinggi badan (cm) Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Viatamin D (mg) Vitamin E (mg) Vitamin K (mg) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B12 (mg) Sumber : Depkes (2004)
0-6 bulan 6 60 550 10 375 5 4 5 0.2 0.3 2 0,4
Golongan Umur 7-12 bulan 8.5 71 650 16 400 5 5 10 0.4 0.4 4 0,5
1-3 tahun 12 90 1000 25 400 5 6 15 0.5 0.5 6 0,9
Mutu Protein Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein lengkap atau protein dengan nilai biologis tinggi
7
atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Protein tidak lengkap atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan kacang- kacangan yang lain merupakan protein tidak lengkap. Daya Cerna Protein Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar zat gizi yang dikandungnya, tetapi juga dapat tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam- asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cerna tubuh. Hal ini disebabkan ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein fitat dan sebagainya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989). Labu Kuning Tanaman labu kuning merupakan suatu jenis tanaman sayuran menjalar dari famili Cucurbitaceae yang tergolong dalam jenis tanaman semusim yang setelah berbuah akan langsung mati. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi. Adapun ketinggian tempat yang ideal adalah antara 0-1500 m dpl (Hendrasty 2003). Labu kuning (Cucurbita moschata) diperkirakan berasal dari Peru dan Meksiko, Amerika Tengah. Awal penyebarannya tidak diketahui secara pasti. Tanaman ini banyak ditanam di daerah tropis seperti Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Afrika, Amerika Tengah dan Karibia (Setiawan & Trisnawati 1993). Setiawan & Trisnawati (1993) menambahkan bahwa labu kuning memiliki daya adaptasi yang tinggi. Tanaman ini dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan iklim yang berlainan atau tahan terhadap suhu dan curah hujan yang tinggi, sehingga labu kuning dapat ditanam di tempat yang berhawa panas dan dingin. Tanaman ini juga dapat hidup sepanjang tahun, baik musim hujan maupun di musim kemarau. Labu kuning mempunyai batang merambat atau menjalar, cukup kuat, bercabang banyak dan berbulu agak tajam. Panjang batang mencapai 5-10 m dan
8
pada ketiak daun muncul sulur-sulur berbentuk pilin yang berfungsi sebagai alat pemegang. Daun berbentuk menyirih, ujungnya agak runcing, tulang daun nampak jelas, berbulu halus dan agak lembek sehingga bila terkena sinar matahari akan layu. Bunga labu kuning berbentuk lonceng dan berwarna kuning. Dalam satu rumpun bunga terdapat bunga jantan dan bunga betina dengan buah terdapat pada satu pangkal bunga betina. Jumlah bunga jantan lebih banyak dibandingkan jumlah bunga betina tetapi beberapa jenis ada yang berumah satu yakni dalam satu bunga terdapat bunga jantan dan bunga betina (Sudarto 1993). Bentuk buah labu kuning bermacam-macam tergantung dari jenis, ada yang berbentuk bokor (bulat pipih dan beralur), berbentuk oval, berbentuk panjang dan berbentuk piala. Buah yang masih muda kulitnya hijau sedangkan yang sudah tua berwarna kuning, hijau kotor dan jingga dengan bercak-bercak kuning kehijauan. Buah labu kuning terdiri dari atas lapisan kulit luar yang keras dan lapisan daging buah yang merupakan tempat timbunan makanan. Tekstur daging buah tergantung jenisnya ada yang halus, padat, lunak (Sudarto 1993). Menurut Astawan (2004) labu kuning mempunyai kadar air dan kandungan βkaroten yang cukup tinggi, selain itu juga merupakan sumber vitamin C. Komposisi dan kandungan zat gizi labu kuning secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi dan kandungan zat gizi labu kuning (per 100 g) Komposisi Air (%)
Kandungan 86.8
Energi (kkal)
51
Protein (g)
1.7
Lemak (g)
0.5
Karbohidrat (g)
10
Serat (g)
2.7
Kalsium (mg)
40
Pospor (mg)
180
Natrium (mg)
280
Kalium (mg)
220
Β-Karoten (μg)
1569
Vitamin C (mg) 2 Sumber : Puslitbang Gizi, Depkes RI (2001)
Manfaat labu kuning dalam terapi antara lain untuk penyembuhan radang, pengobatan ginjal, pengobatan demam dan pengobatan diare . Buah labu kuning mengandung atioksidan yang bermanfaat untuk mencegah berbagai jenis kanker. Air
9
buahnya sebagai penawar racun binatang berbisa, sementara bijinya merupakan mengobati cacing pita (Astawan 2004). Kacang Hijau Kacang hijau merupakan salah satu tanaman yang berumur pendek (±60 hari) yang disebut mungbean, greengram atau goldengram. Menurut Soeprapto (1993) kacang hijau termasuk divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae klas Ddicitiledonaea, ordo Rosales, famili Papilionaceae, genus Vigna, dan spesies Vigna radiata / Phaseolus radiatus. Tanaman kacang hijau berbatang tegak dengan ketinggian sangat bervariasi antara 30 sampai dengan 60 cm. Cabangnya menyamping pada batang utama, berbentuk bulat dan berbulu, warna batang dan cabangnya ada yang hijau ada juga yang ungu. Polong kacang hijau berbentuk silindris dengan panjang antara 6 sampai dengan 15 cm dan biasanya berbulu pendek. Warna bijinya kebanyakan hijau kusam atau hijau mengkilap, beberapa ada yang berwarna kuning, coklat dan hitam (Soeprapto 1993). Kacang hijau merupakan tanaman tropis yang menghendaki panas sepanjang hidupnya, hidup di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl seperti daerah Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Mojosari, Jombang, Pekalongan, Banyumas, Jepara, Cirebon, Subang, Banten, Sulawesi, NTT, dan Maluku. (Soeprapto 1993). Kacang hijau mempunyai kandungan gizi baik. Menurut Soeprapto (1993) tiap 100 g biji kacang hijau mengandung Vitamin A, Vitamin B1 dan Vitamin C. Bila bijinya dikecambahkan maka kecambah yang tumbuh menjadi kaya Vitamin E. Berikut ini disajikan Tabel kandungan zat gizi kacang hijau : Tabel 4. Komposisi dan kandungan zat gizi kacang hijau (per 100 g) Komposisi Air (%) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Fe (mg) Kalsium (mg) Vitamin A (μg)
Kandungan 15 323 22.9 1.5 56.8 3.3 7.3 223
Sumber: Soeprapto (1993)
Kacang hijau dikenal juga sebagai sumber protein yang baik. Sumber protein nabati yang cukup baik kandungan asam amino pada kacang hijau cukup baik.
10
Kandungan protein kacang hijau bervariasi antara 22.5-26 %. Kandungan asam amino lisin kacang hijau tinggi sedangkan kandungan asam amino metioninnya rendah. Berikut ini Tabel kandungan asam amino kacang hijau. Tabel 5. Komposisi asam amino kacang hijau (per 100 g) Asam Amino Alanin Arginin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Histidin Asoleusin Leusin Lisin Methionin Fenilalanin Prolin Serin Treonin Triptopan Tirosin Valin
Persentase (%) 4.15 4.14 12.10 17.00 4.03 4.05 6.95 12.90 7.49 0.84 7.07 4.72 5.35 4.50 1.35 3.86 8.23
Sumber : Soeprapto (1993)
Senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik beberapa macam enzim telah ditemukan dalam bahan pangan nabati terutama dalam kacang-kacangan dan telah dibuktikan bahwa senyawa aktifnya adalah protein (Muchtadi 1989). Tripsin inhibitor yang terdapat dalam kacang hijau ini menurut Thirumaran & Seralathan dalam Mc Lean (1988) dapat dihilangkan atau dihancurkan selama proses pengolahan dengan menggunakan panas, tetapi proses ini juga akan menghancurkan asam amino sulpur. Kecepatan penghancuran inhibitor tripsin dalam kacang-kacangan oleh panas adalah fungsi dari suhu, lama pemasakan, ukuran partikel dan kadar air bahan. Kacang hijau mempunyai daya cerna protein yang tinggi yaitu 81%. Daya cerna dipengaruhi adanya inhibitor tripsin dan aktivasi enzim tripsin serta adanya tanin atau poliphenol (Nurdiani 2003). Biji kacang hijau yang telah direbus atau diolah dan kemudian dikonsumsi mempunyai daya cerna yang tinggi dan rendah daya flatulensinya. Flatulensi disebabkan oleh oligosakarida seperti rafinosa, stakiosa, dan
11
verbakosa. Perendaman kacang-kacangan dalam air, proses perkecambahan, dan fermentasi mencegah timbulnya flatulensi (Astawan 2004). Pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan antara lain untuk diolah menjadi makanan atau ditumbuhkan menjadi kecambah (tauge). Kacang hijau juga diolah menjadi tepung, baik tepung kacang hijau atau tepung pati kacang hijau (tepung hunkwe). Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk membuat kue basah, cookies, dan kue tradisional, produk bakery, bubur, dan makanan bayi. Menurut SNI (2005), tepung kacang hijau adalah bahan makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Paseolus radiatus L) yang sudah dihilangkan kulitnya dan diolah menjadi tepung. Pembuatan tepung kacang hijau dilakukan dengan merendam biji di dalam air selama tujuh jam. Selanjutnya ditiriskan, dikeringkan dan disosoh. Penyosohan ini dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh beras. Kacang hijau tanpa kulit (dhal) selanjutnya digiling dan diayak untuk memperoleh tepung kacang hijau (Astawan 2009). Pisang Raja Pisang (Musa sp. famili Musaceae) merupakan tanaman sepanjang musim yang tumbuh subur di daerah tropis. Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertinggi kedua di antara jenis buah-buah lainnya yaitu 510.30 kw/Ha pada tahun 2005 (Deptan 2007). Pisang Raja termasuk jenis pisang komersial karena banyak terdapat di pasaran. Pisang raja terdiri dari beberapa jenis seperti pisang raja sereh yang biasa dikonsumsi sebagai pisang meja, pisang raja uli yang terkenal sebagai pisang olahan, dan pisang raja bulu sebagai pisang olahan dan buah pisang (Satuhu & Supriyadi 2000). Ciri-ciri umum pisang ini antara lain berkulit tebal dan berwarna kuning berbintik-bintik. Bintik hitam pada buah yang sudah matang, ukuran buah cukup besar dengan diameter 3.2 cm dan panjang 12-18 cm, bentuk buah umumnya melengkung, dan daging buah yang telah matang terasa legit dan manis (Cahyono 1995). Pisang raja bulu merupakan salah satu jenis pisang komersil yang mempunyai ukuran sedang dan gemuk dengan bentuk buah melengkung dan pangkal buah agak gemuk. Kulit buah tebal dan berwarna kuning berbintik coklat. Daging buahnya sangat manis, berwarna kuning kemerahan, bertekstur lunak, dan tidak berbiji. Berat setiap tandannya 7-10 kg terdiri dari 6-7 sisir dan setiap sisirnya 10-15 buah. Panjang buah
12
antara 12-18 cm, diameter 3-4 cm dengan bobot rata-rata 110 - 120 g. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan rata-rata sekitar 90 buah (ipteknet 2005) Tabel 6. Kandungan zat gizi daging pisang raja buluh (per 100 g) Zat Gizi
Jumlah
Kalori (kkal) 127.0 Protein (g) 1.2 Lemak (g) 0.2 Karbohidrat (g) 31.8 Kalsium (mg) 10.0 Phospor (mg) 22.0 Besi (mg) 0.8 Vitamin A (SI) 950.0 Vitamin C (mg) 10.0 Air (g) 65.8 Sumber : Prawiranegara (2004)
Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam bentuk asli dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan menbuat tepung pisang. Tepung pisang mempunyai sifat mudah dicerna dan cocok digunakan sebagai bahan makanan untuk anak-anak. Tepung pisang di Eropa dimanfaatkan sebagai campuran dengan bubuk kakao sebagai bahan puding. Tepung pisang dapat membantu memperingan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman 1982). Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang, jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan mesin pengering sedangkan tepung pisang B diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan. Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang yang belum matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua (Munadjim 1983).
Biskuit Biskuit merupakan makanan kering yang tergolong makanan panggang atau kering. Biskuit dibuat dari bahan dasar tepung dan bahan tambahan lain membentuk suatu formula, sehingga menghasilkan suatu produk dengan struktur tertentu (Matz & Matz, 1978).
13
Klasifikasi Biskuit Menurut Departemen Perindustrian RI (1990), biskuit diklasifikasikan menjadi biskuit keras, kraker, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah. Kraker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis. Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang padat. Sedangkan wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya berongga-rongga. Bahan-bahan Pembuat Biskuit Bahan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material) (Matz & Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, susu bubuk, putih telur dan bubuk coklat. Sedangkan, bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang dan kuning telur. 1. Tepung Tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit dan memegang peran penting dalam citarasa. Sebagai pengikat dalam penelitian menggunakan tepung komposit yang merupakan campuran tepung labu kuning, tepung kacang hijau dan tepung pisang. Campuran tepung sebagai pengikat adalah tepung komposit dan pati garut yang biasa digunakan sebagai bahan tambahan atau utama pada pembuatan biskuit bayi (Puspowati 2003). 2. Telur Menurut Matz & Matz (1978) dalam pembuatan biskuit, telur berfungsi sebagai pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan, juga berperan meningkatkan dan menguatkan aroma, warna dan kelembutan. Tingkat kerenyahan biskuit akan semakin bertambah dengan penambahan telur. 3. Lemak (shortening) Fungsi lemak dalam pembuatan biskuit adalah sebagai penghalus dan pelunak tekstur, sehingga dapat terbentuk struktur biskuit yang elastis. Selain itu, lemak dapat memberikan sumbangan terhadap cita rasa biskuit yang khas dan membuat cepat
14
melunak saat di mulut. Kombinasi lemak dan gula sukrosa akan mencegah terbentuknya lapisan keras di permukaan biskuit pada saat pendinginan (Sunaryo 1985). 4. Gula Menurut Sunaryo (1985) fungsi utama penambahan gula adlah sebagai pemberi rasa manis, memberi warna (karamel pada waktu pemanggangan) dan memperkeras tekstur biskuit. Faktor waktu pemanggangan biskuit harus diperhatikan karena jika terlalu lama akan menyebabkan karamelisasi gula yang berlebihan sehingga penampakkan biskuit akan menjdi hangus. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa, yaitu pemanis yang mengandung kalori atau memberikan sumbangan energi ke bahan pangan. 5. Susu Susu digunakan dalam pembuatan biskuit berfungsi membentuk aroma, mengikat air, bahan pengisi, membentuk struktur yang kuat dan porous karena adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya laktosa. Selain itu, nilai gizi biskuit akan meningkat dengan digunakannya susu. Susu skim merupakan produk susu rendah lemak yang kaya protein. Sumber karbohidrat pada susu skim adalah laktosa yang mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak balita (Matz & Matz 1978). 6. Bahan Pengembang Bahan pengembang yang umum digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat (Wheat Associates 1981 dalam Puspowati 2003). Fungsi baking powder dalam adonan adalah melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang dengan sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah. Ammonium bikarbonat adalah suatu garam yang menguap jika dipanaskan, melepas gas karbondioksida, amonia dan air. Proses Pembuatan Biskuit Proses pembuatan biskuit terdiri dari tahap persiapan bahan, pencampuran, pencetakan dan pemanggangan. Secara umum biskuit diklasifikasikan dalam adonan lunak dan adonan keras. Menurut Whiteley (1971) ada dua dasar pencampuran adonan lunak yaitu metode krim dan metode all-in. Metode krim diawali dengan mencampur lemak dan gula hingga membentuk krim yang homogen, selama
15
pencampuran dapat ditambahkan perwarna atau essens. Selanjutnya dilakukan penambahan susu dan bahan kimia aerasi yang dicampur dalam waktu yang singkat. Setelah itu, ditambahkan tepung dan sisa air kedalam krim dan diaduk hingga adonan cukup mengembang serta mudah dibentuk. Metode all-in dilakukan dengan mencampur semua bahan secara langsung. Metode ini lebih cepat dan menghasilkan adonan yang agak lebih padat dan keras dibandingkan metode krim. Adonan keras dibuat dengan menggunakan metode all-in. Pencampuran dilakukan hingga adonan cukup mengembang yang umumnya diistirahatkan selama satu jam dan kemudian dicetak serta dipanggang.Proses penting lain dalam pembuatan biskuit adalah proses pemanggangan. Faktor- faktor yang mempengaruhi proses pemanggangan adlah tipe oven yang digunakan, metode pemanasan, dan tipe bahan bakar yang digunakan. Kondisi pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan tekstur yang diinginkan dengan kadar air yang minimum. Mutu Biskuit Tekstur dan aroma biskuit adlah karakteristik utama biskuit. Tekstur biskuit didesain sejak dari pengaturan bahan baku, pecampuran, pencetakan hingga pemanggangan. Pada produk biskuit kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Response Surface Methodology (RSM) Menurut Giovani (1983), diacu dalam Hadiningsih (2004), RSM adalah metode statistik menggunakan data kuantitatif dan desain penelitian yang sesuai untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan multivarian secara simultan. Persamaanpersamaan dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat digunakan dalam tiga cara, yaitu: 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menunjukkan hubungan interaksi antar faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor. RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari masingmasing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus pengetahuan-gagasan-analisis desain secara berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Efektivitas teknik optimasi RSM tergantung pada lima asumsi sebagai berikut; 1) faktor kritis dari suatu produk atau proses diketahui; 2) daerah atau batasan dimana
16
level faktor dapat mempengaruhi produk diketahui; 3) faktor-faktor bervariasai secara berkesinambungan sepanjang sebaran penelitian yang diuji; 4) ada fungsi matematis yang menghubungkan faktor dengan respon terukur; dan 5) respon yang ditetapkan oleh teknik optimasi ini merupakan suatu permukaan halus. Kegunaan dari teknik optimasi RSM ini adalah; 1) dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan menghasilkan respon (peubah tak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum; 2) dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan faktor-faktor pada level tertentu; dan 3) dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan. Optimasi Optimasi merupakan suatu pendekatan normatif untuk mengidentifikasi penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai dengan batasan yang diberikan (Ma‟arif et al 1989 dalam Hadiningsih 2004) Tujuan dari optimasi adalah untuk meminimumkan usaha atau biaya operasional yang dibutuhkan dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Unsur penting dalam masalah ini adalah fungsi tujuan yang sangat tergantung pada peubah masukan. Fungsi tujuan adalah langkah untuk meminimalisasi hasil atau efisiensi pemanfaatan bahan- bahan produksi, proses dan sebagainya. Penentuan fungsi tujuan dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi. Design Expert Design expert (DX) adalah sebuah program
yang digunakan dalam
mengoptimasi produk atau proses. Program ini menyediakan rancangan yang efisiensinya tinggi untuk factorial design, response surface methode, mixture design techniques, dan combined design. Factorial design digunakan untuk mengidentifikasi faktor- faktor utama yang mempengaruhi proses atau produk, response surface methode digunakan untuk menentukan model proses yang ideal untuk mencapai hasil yang optimal. Mixture design techniques digunakan untuk menemukan formulasi yang optimal. Combined design digunakan untuk mengkombinasikan variabel- variabel, komponen campuran, dan faktor- faktor kategori dalam satu desain (Anonim 2005). Mixture experiments adalah salah satu eksperimen yang memiliki respon yang diasumsikan hanya tergantung pada proporsi relatif dari ingredien yang ada dalam formula dan bukan tergantung pada proporsi relatif dari ingredien yang ada dalam
17
formula dan bukan tergantung pada jumlah ingredien tersebut. Dua kriteria dalam memilih mixture design diantaranya: 1) Komponen- komponen di dalam formula merupakan bagian dari total formulasi. Jika persentasi salah satu komponen naik, maka persentasi komponen yang lain turun. 2) Respon harus merupakan fungsi dari proporsi komponen- komponennya (Cornell 1990). Ada beberapa pilihan dalam mixture design yaitu simplex design dan non simplex design. Simplex design digunakan ketika selang konsentrasi komponen-komponen yang digunakan sama. Bila selang konsentrasi yang digunakan berbeda digunakan non simplex design, yaitu D-optimal (Antonim 2005). Proses optimasi melalui program DX terdapat empat tahap, yaitu merancang percobaan, mengukur respon (parameter yang akan dioptimasi) dan memasukkan datanya ke dalam rancangan percobaan, analisis data, dan rekomendasi formula yang optimal. Pada tahap merancang percobaan untuk tujuan optimasi formulasi harus ditentukan faktor/fungsi kendala yang akan mempengaruhi produk, kemudian ditentukan rentang nilai (kuantitas masing-masing komponen dari jumlah minimal hingga maksimal). Keluaran dari tahap perancangan adalah beberapa rancangan formula yang direkomendasikan untuk dicoba dan diukur responnya. Data respon yang telah diukur, kemudian dimasukkan dalam program DX. Sebelum program melakukan optimasi, ditentukan dulu respon yang akan dioptimasi beserta tujuannya yaitu dimaksimalkan, diminimalkan, berada dalam rentang nilai tertentu atau tidak dioptimasi. Setelah
ini, program
secara otomatis
akan melakukan optimasi
berdasarkan data yang dimasukkan dan merekomendasikan formula baru yang paling optimal (Anonim 2005). Pada program DX fungsi tujuan optimasi dikenal dengan desirability. Desirability memiliki nilai 0 hingga 1. Bila dilihat dari aspek numerik, kegiatan optimasi merupakan bagian untuk mencari titik yang dapat memaksimumkan nilai desirability (Anonim 2005)
18
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Februari 2010 yang merupakan bagian dari penelitian labu kuning yang dilaksanakan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor (BBPP Pascapanen Pertanian Bogor). Proses pembuatan biskuit dan uji organoleptik dilaksanakan di BBPP Pascapanen Pertanian, Bogor sedangkan analisis sifat fisik, kimia dan mikrobilogi dilaksanakan di Laboratorium Analisis Zat Gizi serta Laboratorium Sanitasi dan Keamanan Pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Analisis β- karoten dilaksanakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung komposit yang berasal dari campuran tepung labu kuning, kacang hijau dan pisang raja dengan proporsi tertentu, pati garut, telur, gula bubuk, margarin, susu skim dan baking powder double acting. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah aquades, HCL 0.02 N, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, merah metil biru, asam askorbat, KOH, petroleum eter, dietil eter, kloroform, etanol 96%, hidroquinon, NaCl, Na-Sulfat anhydrous, n-heksan, phenolpthalein, asetonitril,
HNO3, buffer phospat ,
etanol 78%, etanol murni, aseton, enzim α-amilase, dan bahan kimia lainnya. Alat yang digunakan untuk membuat biskuit adalah baskom, oven, mixer dan cetakan. Alat untuk analisis yang digunakan adalah timbangan analitik, tanur listrik, eksikator, cawan, oven, desikator, labu lemak, kertas saring, ekstraksi soklet, labu Kjeldahl, alat destilasi, erlenmeyer, stirer, labu pemisah, HPLC, dan alat-alat untuk analisis mikrobiologi. Persiapan Bahan Baku Proses awal adalah penyiapan bahan baku dan salah satu bahan baku terpenting dari penelitian ini adalah tepung komposit. Proses pembuatan dan analisis tepung telah dilakukan pada penelitian sebelumnya karena penelitian ini merupakan bagian dari penelitian labu kuning yang dilaksanakan BBPP Pascapanen Pertanian Bogor. Tepung komposit terpilih berasal dari campuran tepung labu kuning 60%, tepung kacang hijau 25% dan tepung pisang raja 15%. Proses awal dimulai dengan penepungan bahan baku yang meliputi tepung labu kuning, tepung kacang hijau dan
19
tepung pisang yang melalui proses reduksi oligosakarida. Proses pembuatan tepung labu kuning meliputi proses pembuangan kulit dan biji, pencucian, pengirisan, perendaman dengan air kapur, penirisan, perendaman dengan enzim α-galaktosidase, penirisan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Lamanya perendaman dengan kultur enzim α-galaktosidase selama 18 jam pada kultur 108CFU/ml. Proses pengeringan dilakukan dengan oven dan penepungan menggunakan disk mill. Proses penepungan labu kuning dapat dilihat pada Gambar 1. Labu Kuning Pengupasan dan pembersihan biji Pemotongan Pengirisan Perendaman kultur enzim α-galaktosidase 108CFU/ml 18 jam Penirisan Perendaman dengan larutan CaC03 0,15% selama 1 jam Penirisan Pengeringan dengan oven Penggilingan Pengayakan 80 mesh Tepung labu kuning Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung labu kuning (Pratama 2010) Pisang yang digunakan dalam pembuatan tepung pisang adalah pisang raja bulu (Musa paradisiaca.sp) yang memiliki tingkat kematangan ¾ sehingga kandungan pati yang lebih banyak dibandingkan kandungan gulanya. Penepungan pisang dengan
20
reduksi oligosakarida meliputi pengupasan, pengirisan, pemblansiran, perendaman natrium metabisulfit, penirisan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Blansir dilakukan pada suhu 80-100oC selama 5 menit. Perendaman dengan natrium metabisulfit 150 ppm dilakukan selama 5 menit. Pengeringan dilakukan dengan oven dan penepungan menggunakan disk mill. Proses penepungan pisang dapat dilihat pada Gambar 2. Pisang ¾ matang
Dibersihkan dan dicuci
Pengirisan
Blansir selama 5 menit pada suhu 80oC
Perendaman dengan natrium metabisulfit 150 ppm selama 5 menit Penirisan dan pencucian
Pengeringan dengan drum drier atau oven pengering
Penepungan dengan disk mill
Pengayakan 80 mesh Tepung pisang Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung pisang (Hidayat 2010) Penepungan kacang hijau dengan reduksi oligosakarida meliputi perendaman air bersih, pengeringan, penyosohan, penepungan, dan pengayakan. Perendaman dengan air bersih dilakukan selama 6 jam, pengeringan dilakukan dengan
21
menggunakan oven dan penepungan menggunakan disk mill. Proses alur penepungan dapat dilihat pada Gambar 3.
Kacang hijau
Perendaman air selama 6 jam Penirisan
Pengeringan dengan rak pengering
Penyosohan kulit Penepungan dengan disk mill Pengayakan 80 mesh Tepung kacang hijau Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung kacang hijau (Rahmawati 2010) Formulasi Tepung Komposit Tahap ini dilakukan formulasi tepung komposit hasil reduksi oligosakarida. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi yang terbaik dari campuran tiga tepung (labu kuning, pisang, dan kacang hijau). Formula tepung komposit berdasarkan metode RSM (Response Surface Methodology). Formulasi tepung komposit dilakukan dengan mencampurkan tepung labu kuning, tepung pisang raja dan tepung kacang hijau yang telah mengalami pengurangan oligosakarida. Rancangan metode optimasi tepung komposit dilakukan dengan rancangan RSM mixture design D-optimal yang menggunakan software Design Expert 7.0 trial (DX 7 trial). Menurut Rahmawati (2010) kisaran formulasi untuk mendapatkan tepung komposit berbasis labu kuning maka komposisi tepung labu kuning harus diatas atau sama dengan 50% dari total komposisi bahan baku Konversi formulasi berdasarkan
22
berat total formula tepung komposit (100 %) yaitu tepung labu kuning 50-60 %, tepung pisang 15-25 %, dan tepung kacang hijau 15-25 %. Hasil kisaran ini menghasilkan 16 formula dalam percobaan. Respon yang mempengaruhi tepung komposit terpilih adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, karbohidrat, kadar Fe, kadar Zn, kadar Ca, kadar β-karoten, total pati, dan daya cerna pati. Berdasarkan hasil analisis yang memenuhi standar tepung untuk MP-ASI, formula tepung komposit yang optimum yaitu formula dengan komposisi tepung labu kuning 60%, tepung pisang 15% dan tepung kacang hijau 25%.Diagram alir formulasi tepung komposit dapat dilihat pada Gambar 4. Tepung labu kuning rendah oligosakarida
Tepung kacang hijau rendah oligosakarida
Tepung kacang hijau rendah oligosakarida
Formulasi tepung komposit dengan metode RSM Analisis karakteristik kimia formulasi tepung komposit Penentuan formula tepung komposit terbaik melalui RSM Formula tepung komposit terbaik Gambar 4 Diagram alir formulasi tepung komposit MP-ASI Formulasi Biskuit Formulasi biskuit dilakukan dengan membuat perbandingan bahan dasar penyusunan antara tepung komposit, pati garut, margarin, dan susu. Rancangan metode formulasi menggunakan rancangan RSM mixture design D-optimal yang menggunakan software Design Expert 7.0 trial (DX 7 trial). Penggunaan RSM mixture design dikarenakan rancangan ini sesuai dengan faktor perlakuan pada metode ini, yaitu perlakuan pencampuran komponen yang diubah- ubah untuk memperoleh repon tertentu (Anonim 2005). Faktor perlakuan berupa komponen yang diubah- ubah pada penelitian ini adalah jumlah tepung komposit, pati garut, margarin, susu dan telur. Output dari proses analisa respon yang diolah dengan rancangan statisik RSM mixture design
23
adalah berupa persamaan polinomial. Persamaan polinomial yang diperoleh tiap respon ditunjukkan dengan variabel tertentu yang dapat berbentuk Mean (M), Linear (L), Quadratik (Q) dan Cubic (C). Variabel tersebut menjadi faktor yang menentukan rancangan model polinomial untuk faktor perlakuan pada pebelitian sehingga didapatka repon yang mendukung terciptanya produk yang optimal (Anonim 2005). Kisaran komponen dikonversi berdasarkan berat total formula tepung komposit (100%), kisaran komponen yang digunakan adalah tepung komposit 20-23%, pati garut 30-33%, margarin 10-12,5%, susu 12-14%, gula 5-7,5 % dan sisanya adalah telur 20%. Bahan baku tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan biskuit adalah baking powder double acting yang diberikan sebanyak 0,5 gram untuk setiap 100 gram pembuatan biskuit. Bahan ini tidak dimasukkan dalam kisaran jumlah 100 gram bahan baku karena jumlahnya yang kecil dan mengalami penguapan selama proses pemanggangan biskuit. D-optimal menghasilkan 25 formula dalam percobaan. Tabel 7 menunjukkan kisaran masing- masing komponen penyusun biskuit. Tabel 7. Kisaran konsentrasi masing- masing komponen penyusun biskuit Komponen
Batas Bawah (%)
Batas Atas (%)
Tepung Komposit
20
23
Pati Garut
30
33
Margarin
10
12,5
Susu
12
14
Gula
5
7,5
Berdasarkan kisaran konsentrasi masing- masing komponen ini, program DX trial merancang beberapa formula. Pada tahap ini juga dilakukan penetuan respon apa saja yang diukur. Pemilihan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proposi relatif dari komponen- komponennya. Responrespon ini diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon- respon ini diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon pada penelitian ini adalah kadar energi, protein dan lemak. Respon ini dipilih agar dapat diperoleh formula yang dapat menghasilkan tepung komposit yang sesuai dengan syarat MPASI. Rancangan formula biskuit dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil rancangan formula biskuit diuji respon energi, lemak dan protein. Program akan merekomendasikan salah satu model polinomial untuk setiap respon. Modelmodel polinomial tersebut adalah mean, linier, quadratik, spesial cubic dan cubic. Model polinomial merupakan proses analisis mutu awal produk yang diolah oleh
24
rancangan statistik RSM mixture design D-optimal yang menunjukkan hasil analisis mutu awal atau respon produk. Program Design Expert trial merekomendasikan salah satu model yang sesuai untuk setiap respon. Variabel respon yang paling signifikan dapat digunakan sebagai model predikasi pada tahap optimasi. Variabel- variabel respon tersebut selanjutnya digunakan sebagai model prediksi untuk mendapatkan formula terpilih. Tabel 8. Formula biskuit MP-ASI dengan tepung komposit Formula F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21 F22 F23 F24 F25
Tepung Komposit 20 20.5 22 20 20 20 21.8 21.5 20.5 20 20 21.8 23 23 20 20.6 20 21.8 20.5 20 20.2 20 20 20 21.5
Pati Garut 32 30 30 30 31.8 33 30 31.5 30 30 30 30 30 30 30 30.6 30 30 30.5 33 30.4 30 31.8 31.8 31.5
Susu 13 12.7 13 14 12 12 12 12 12 12 14 12 12 12 13.2 12.8 12 12 14 12 12.3 13.2 12 12 12
Margarin 10 10.9 10 11 11.2 10 11.2 10 10 12.5 10 10 10 10 10 11.1 11.5 11.2 10 10 10.4 11.8 11.2 10 10
Gula 5 5.9 5 5 5 5 5 5 7.5 5.5 6 6.2 5 5 6.8 5 6.5 5 5 5 6.7 5 5 6.2 5
Kuning Telur 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Baking Powder 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
.Proses pembuatan biskuit diawali dengan mencampur margarin, gula bubuk dan baking powder dengan mixer kecepatan tinggi selama 3 menit. Kemudian ditambahkan telur dengan mixer kecepatan sedang, setelah itu ditambahkan sisa bahan yang lain yaitu campuran tepung komposit, pati garut dan susu diaduk hingga adonan kalis. Adonan yang sudah kalis siap dicetak dan dipanggang dengan suhu 140 0
C selama 40 menit hingga berwarna kuning keemasan. Diagram alir pembuatan
biskuit dapat dilihat pada Gambar 5.
25
Margarin, gula bubuk dan baking powder dicampur dengan mixer kecepatan tinggi (3 menit)
Ditambahkan telur dengan kecepatan sedang
Ditambahkan campuran tepung komposit, pati garut dan susu skim diaduk hingga tercampur rata dan kalis
Pencetakan 0
Pemanggangan (140 C, 40 menit)
Biskuit Gambar 5. Diagram alir pembuatan biskuit dengan tepung komposit Formula Biskuit Terpilih Formula biskuit direspon untuk yang memenuhi syarat MP-ASI terhadap kandungan energi, protein dan lemak dari kandungan bahan- bahan penyusunnya dari TKPI (Tabel Komposisi Pangan Indonesia) (Persagi 2009) dan hasil penelitian. Formula biskuit yang memenuhi syarat MP-ASI
dilakukan uji fisik yang meliputi:
densitas kamba, kekerasan, uji seduh, waktu rehidrasi yang kemudian dilanjutkan dengan uji organoleptik. Satu formula terbaik yang dipilih melalui uji fisik dan uji organoleptik dilanjutkan dengan uji kimia, uji biologi dan uji mikrobiologi. Uji kimia meliputi: kadar air, karbohidrat, protein, lemak, abu, serat makanan, total gula, βkaroten, besi (Fe), seng (Zn), kalsium (Ca), fosfor (P), timbal (Pb), raksa (Hg), vitamin B1, B2, B6, B12, D. Metode masing – masing analisis secara rinci disajikan pada Lampiran 3 sampai 5. Semua data analisis disajkan dalam berat basah. Uji biologi meliputi daya cerna pati dan daya cerna protein. Sedangkan uji mikrobiologi meliputi jumlah E.coli, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus. Diagram alir formulasi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6
26
Bahan penyusun biskuit (tepung komposit, pati garut, margarin, gula, dan telur) Formulasi biskuit dengan metode RSM Respon kadar Energi, lemak dan Protein Formula yang memenuhi syarat MP-ASI (10 formula) 10 formula diuji sifat fisik dan organoleptik 1 formula terpilih diuji sifat kimia, biologi dan mikrobiologi Gambar 6. Diagram alir formulasi biskuit Pengolahan dan Analisis Data Data yang dihasilkan diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SAS 9.1. Penentuan terhadap sifat fisik dilakukan analisis varian (ANOVA). Jika hasil ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ). Penentuan terhadap uji organoleptik dilakukan dengan nilai mean dari masing- masing parameter.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Tepung Komposit Tepung komposit adalah campuran lebih dari satu jenis tepung dengan perbandingan tertentu untuk melengkapkan zat gizi yang tidak atau kurang terdapat dalam salah satu bahan. Tepung komposit dalam penelitian ini adalah tepung yang terbuat dari campuran tepung labu kuning (Curcubita moschata), pisang raja bulu (Musa paradisiaca.sp) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus). Alasan pemilihan bahan baku dari penelitian ini adalah pemanfaatan labu kuning sebagai bahan baku biskuit yang belum banyak sedangkan penggunaan tepung kacang hijau dan pisang karena pemanfaatannya telah banyak digunakan dalam industri MP-ASI.Tepung ini didapat dari penelitian sebelumnya karena penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian labu kuning yang dilaksanakan oleh BBPP Pascapanen Pertanian Bogor. Tepung komposit yang terpilih didasarkan pada tepung yang memenuhi syarat MP-ASI dan memiliki kandungan β-karoten dan protein serta daya cerna pati yang tinggi. Berdasarkan respon dari RSM didapatkan bahwa tepung komposit yang terpilih adalah tepung dengan kandungan tepung labu kuning 60%, tepung pisang 15% dan tepung kacang hijau 25% untuk berat basah bahan baku. Berdasarkan kandungan tepung labu kuning sebanyak 60%, maka tepung komposit ini bisa dinyatakan berbasis labu kuning didasarkan pendapat Rahmawati (2010) bahwa suatu bahan pangan dapat dikatakan basis jika memiliki kandungan bahan lebih dari 50%. Tepung komposit ini mengalami beberapa perlakuan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang optimal sebagai bahan dalam pembuatan makanan bayi. Proses pentingnya adalah pengurangan oligosakarida yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu perendaman kultur enzim α-galaktosidase 108CFU/ml selama 18 jam pada labu kuning, perendaman dengan natrium metabisulfit 150 ppm selama 5 menit pada pisang dan perendaman dengan air bersih selama 6 jam pada kacang hijau sebelum proses pengeringan dan penepungan dilakukan. Tepung
komposit
memiliki
sifat
higroskopis
sehingga
mengalami
penggumpalan jika diletakkan di udara terbuka. Tepung komposit memiliki kadungan protein yang cukup tinggi yaitu 11,17% dibandingkan kandungan tepung terigu sebanyak 8,9%. Lemak yang dikandung tepung komposit sebanyak 3,6% menjadi penyumbang 10% kandungan energi total tepung komposit. Kecernaan pati pada
28
tepung komposit cukup baik karena sama dengan kecernaan tepung- tepungan yang lain. Kandungan zat gizi dan daya cerna tepung komposit disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kandungan zat gizi dan daya cerna tepung komposit (per 100 gram) Komponen
Kandungan
Kadar Air (g)
7,12
Abu (g)
4.66
Protein (g)
11.17
Lemak (g)
3.6
Karbohidrat (g)
73.77
Energi (kkal)
372
β-Karoten (mg)
23.9
Besi (mg)
8.59
Seng (mg)
0.87
Kalsium (mg)
666
Total Pati (g)
64.5
Daya Cerna Pati (%)
84,7
Sumber: Rahmawati (2010)
Pati garut Pati garut adalah pati yang berasal dari umbi garut (Maranta arundinaceae L) yang merupakan tanaman herba berumpun yang berkembang biak dengan bertunas (Deptan 2007). Pati ini biasa digunakan sebagai bahan baku atau tambahan dalam proses pembuatan produk MP-ASI salah satu biskuit komersil MP-ASI yang menggunakan pati garut sebagai bahan utama dikenal dengan biskuit arrowroot. Menurut Puspowati (2003) serat dalam pati garut sangat halus dan memiliki daya cerna pati yang cukup tinggi yaitu 30% untuk pati garut mentah, meningkatnya kecernaan pati garut yang disangrai mencapai 60,16% dan kecernaan dalam bentuk dekstrin pati garut mencapai 81,63.
Pati yang digunakan sebagai bahan baku
didapatkan dari hasil produksi BBPP Pascapanen Pertanian Bogor. Kandungan karbohidrat pada tepung garut cukup tinggi karena menyumbang 96% dari total kandungan energi pati garut (Tabel 10). Hal ini menjadikan alasan pemilihan pati garut sebagai bahan baku tambahan pembuatan biskuit MP-ASI karena karakteristik biskuit bayi yang memiliki syarat pemenuhan 50% dari total energi biskuit berasal dari karbohidrat. Kandungan zat gizi pati garut dapat dilihat pada Tabel 10.
29
Tabel 10. Kandungan zat gizi pati garut (per 100 gram) Komponen Gizi Kadar Air (g) Abu (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Energi (kkal) Besi (mg) Kalsium (mg) Sumber : Persagi (2009)
Kandungan 13.6 0.3 0.7 0.2 85.2 355 1.5 8
Formulasi Biskuit Pembuatan biskuit yang berasal dari tepung komposit berbasis labu kuning sebagai MP-ASI yang ditujukan untuk anak umur 12-24 bulan. Biskuit MP-ASI adalah biskuit yang dapat dikonsumsi langsung (anak langsung dapat memegangnya) dan merupakan jenis makanan yang disukai oleh anak-anak. Hal ini didasarkan bentuk dan warnanya yang menarik seta rasa dan nilai gizi yang memenuhi syarat MP-ASI. Formulasi biskuit dikembangkan melalui nilai optimum yang didapat dari teknik RSM (Response Surface Methodology). Nilai optimum ini diperoleh dari enam faktor bahan penyusun yang mempengaruhi pembuatan biskuit yaitu jumlah tepung komposit, pati garut, susu, margarin, gula dan kuning telur. Desain baku yang digunakan dengan teknik RSM, dimana keenam faktor tersebut diacak adalah Mixture D-Optimal Design agar di dapat formula yang optimum. Batasan yang digunakan untuk pembuatan tepung komposit berbasis labu kuning ini adalah jumlah tepung komposit 20-23%, pati garut 30 – 33%, susu 12 – 14 %, margarin 10 – 12.5 %, gula 5 – 7.5 % dan telur 20 %. Jumlah dari seluruh bahan formula adalah 100 % yang menghasilkan 25 formula. Penentuan formulasi biskuit yang terpilih dari formula yang dihasilkan dengan metode RSM adalah dengan memasukkan persyaratan untuk MP-ASI yaitu biskuit untuk bayi berusia 12-24 bulan. Persyaratan tersebut adalah
kandungan energi
minimal 400 kkal, protein 8-12 gram dan lemak 10-18 gram dalam 100 gram biskuit (standar MP-ASI Depkes 2007). Penghitungan kandungan energi, protein dan lemak pada tahap formulasi dihitung dari bahan- bahan penyusunnya menggunakan data sekunder dari TKPI (Tabel Komposisi Pangan Indonesia) (Persagi 2009) dan hasil penelitian tepung komposit.
30
Formula hasil metode RSM dihitung total kandungan zat gizinya berdasarkan bahan penyusunnya. Kandungan zat gizi penyusun biskuit MP-ASI ditentukan dengan menggunakan TKPI (Persagi 2009) dan hasil analisis penelitian tepung komposit yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kandungan zat gizi bahan penyusun biskuit (per 100 gram) Nama Pangan Tepung Garut (arrowroot)*
Energi
Protein
Lemak
355
0.7
0.2
19.3 35.6 0 0.6 11.17
31.9 1 0 81 3.6
Telur Ayam, bagian kuning * 361 Tepung Susu Skim * 362 Gula Pasir * 364 Margarine * 720 Tepung Komposit ** 372 Keterangan: * Persagi (2009), ** Rahmawati (2010)
Setelah semua data kandungan zat gizi terpenuhi, langkah selanjutnya adalah memasukkan persyaratan MP-ASI untuk bayi usia 12-24 bulan sebagai response formula biskuit yang memenuhi syarat. Formula optimum yang dihasilkan melalui metode RSM didapatkan sepuluh formula terpilih yang dibandingkan dengan biskuit kontrol yaitu biskuit Depkes untuk anak usia 12-24 bulan. Bahanbahan penyusun dari biskuit Depkes adalah tepung terigu, margarin, gula, susu, lesitin kedelai, garam bikarbonat, diperkaya dengan vitamin dan mineral serta ditambah dengan penyedap rasa dan aroma (flavour). Formula biskuit yang memenuhi standar MP-ASI dapat dilihat di Tabel 12. Tabel 12 Formula biskuit yang memenuhi standar MP-ASI (per 100 gram) Komponen Energi Protein F2 401 10.7 F4 401 11.1 F5 402 10.4 F7 402 10.5 F10 407 10.4 F16 402 10.7 F17 403 10.4 F18 402 10.5 F22 404 10.8 F23 402 10.4 Depkes* 450 8 Keterangan: * Kemasan Biskuit MP-ASI Depkes Formula
Lemak 16.2 16.3 16.5 16.5 17.5 16.3 16.6 16.5 16.9 16.5 15
31
Pembuatan Biskuit Pembuatan biskuit dilakukan dengan pencetakan ukuran yang sama dan mirip dengan biskuit kontrol. Masing- masing biskuit dicetak dengan ukuran berdiameter 5 cm dengan berat berkisar 10-11 gram. Biskuit yang dibuat adalah 10 formula yang memenuhi syarat MP-ASI dari 25 formula yang ada. Bahan- bahan penyusun setiap biskuit dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Komposisi bahan penyusun biskuit yang memenuhi syarat MP-ASI Formula F2 F4 F5 F7 F10 F16 F17 F18 F22 F23
Tepung Komposit 20.5 20 20 21.8 20 20.6 20 21.8 20 20
Pati Garut 30 30 31.8 30 30 30.6 30 30 30 31.8
Susu 12.7 14 12 12 12 12.8 12 12 13.2 12
Margarin 10.9 11 11.2 11.2 12.5 11.1 11.5 11.2 11.8 11.2
Gula 5.9 5 5 5 5.5 5 6.5 5 5 5
Kuning Telur 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Warna biskuit dengan tepung komposit menghasilkan warna kuning kecoklatan. Warna coklat pada biskuit dengan tepung komposit disebabkan warna karatenoid yaitu kelompok pigmen yang berwarna kuning dan larut dalam lemak yang terdapat pada tepung komposit, kuning telur dan margarin sebagai bahan pembuat biskuit (Winarno 1997). Warna coklat juga dipengaruhi oleh reaksi Maillard selama proses pemanggangan. Sifat Fisik Biskuit Sifat fisik biskuit komposit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah densitas kamba, uji seduh dan waktu rehidrasi. Hasil rata-rata pengujian sifat fisik biskuit dengan tepung komposit tanpa perlakuan disajikan pada Tabel 14. Densitas Kamba (bulk) Densitas kamba merupakan salah satu karakteristik fisik penting yang diperlukan untuk evaluasi proses pemanggangan produk pangan terutama biskuit dan dinyatakan dalam satuan gram/ml. Selain itu tingkat kepadatan gizi suatu produk makanan terutama MP-ASI dapat dinyatakan dengan nilai densitas kamba. Menurut Wirakartakusumah, Abdullah & Bobor (1992) bahwa densitas kamba (bulk) adalah masa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil
32
pembagian dari berat bahan dengan volume wadah. Suatu bahan dikatakan kamba jika densitas kambanya kecil. Densitas kamba yang kecil berarti bahan tersebut membutuhkan volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan sehingga semakin sedikit pula kandungan gizi yang akan diterima anak karena kapasitas perut bayi yang terbatas. Makanan bayi tidak boleh memiliki sifat kamba sebab memberikan rasa cepat kenyang yang ditunjukkan dengan nilai densitas kamba yang paling kecil. Hasil pengamatan menunjukkan biskuit Depkes sebagai kontrol memiliki nilai densitas kamba paling kecil yaitu 0.405 g/ml. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap densitas kamba (Tabel 14). Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata jujur (BNJ) menunjukkan densitas kamba semua biskuit perlakuan berbeda nyata dengan biskuit kontrol. Namun demikian, densitas kamba antar biskuit perlakuan adalah tidak berbeda nyata (Tabel 14). Bila dikaitkan dengan kandungan lemak dan densitas kamba didapat bahwa semakin besar kandungan lemaknya maka densitas kambanya juga semakin besar. Menurut Winarno (1989) bahwa lemak dapat mempengaruhi densitas kamba suatu produk karena lemak dapat mengkompakkan struktur bahan sehingga kadar lemak yang lebih besar cenderung menyebabkan densitas kamba yang semakin besar. Kekerasan Kekerasan merupakan sifat fisik yang perlu diketahui pada produk biskuit. Biskuit yang dirancang untuk MP-ASI sebaiknya memiliki kekerasan yang rendah. Kekerasan produk- produk makanan kering dikaitkan dengan sifat kerenyahannya. Kekerasan umumnya diuji menggunakan alat texture analyzer, sedangkan kerenyahan diuji secara inderawi karena terkait kesan digigit dalam mulut semakin tinggi nilai kekerasan makan semakin keras biskuit. Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa nilai kekerasan biskuit terbesar adalah biskuit F22 yaitu 5.99 kg/mm/s dan terkecil adalah biskuit kontrol dari Depkes yaitu 1.92 kg/mm/s. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap kekerasan (Tabel 14). Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata jujur (BNJ) menunjukkan kekerasan semua biskuit perlakuan berbeda nyata dengan biskuit kontrol. Namun demikian, kekerasan antar biskuit perlakuan untuk F2, F4, F5, dan F7 adalah tidak berbeda nyata satu sama lain (Tabel 14). Biskuit dengan tepung komposit F5, F7 dan F10 juga tidak berbeda nyata antara satu sama lain. Sedangkan, biskuit dengan tepung komposit F18 dan F22 tidak berbeda nyata antara satu sama lain serta biskuit dengan tepung komposit F22 dab F23 tidak berbeda nyata antara satu sama lain.
33
Kekerasan biskuit MP-ASI berkaitan dengan kekambaan produk yaitu semakin keras biskuit maka densitas kambanya semakin besar pula (Puspowati 2003). Produk biskuit MP-ASI diharapkan tidak terlalu keras juga tidak terlalu renyah. Bila terlalu keras, biskuit tersebut tidak renyah maka tidak akan disukai anak- anak. Sedangkan bila terlalu renyah (kekerasan rendah) maka biskuit tersebut mudah pecah atau rusak sehingga akan merugikan baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Uji Seduh Jumlah air yang dibutuhkan untuk uji seduh per sajian juga dapat menunjukkan sifat kepadatan gizi biskuit. Jumlah air matang yang ditambah hingga kekentalannya sama dengan biskuit kontrol adalah jumlah air yang cocok untuk uji seduh sebagai petunjuk penyajiannya bila akan disajikan dalam bentuk bubur. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan jumlah air hangat yang ditambahkan adalah 80 ml untuk membuat biskuit kontrol per saji (40 g). Banyaknya air yang dibutuhkan biskuit perlakuan untuk menyerupai bubur pada biskuit kontrol adalah berkisar antara 74.5 ml sampai 77.25 ml. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap uji seduh (Tabel 14). Oleh karena itu, jumlah air yang diperlukan untuk menyeduh agar diperoleh bubur biskuit yang serupa baik antar perlakuan maupun antar perlakuan dengan kontrol adalah tidak nyata jumlah atau volume airnya. Namun demikian, pada
Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah air yang dibutuhkan biskuit
perlakuan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan biskuit kontrol. Hal ini diduga ada hubungannya dengan densitas kamba produk. Hal ini dapat dilihat dari adanya kecenderungan bahwa biskuit dengan densitas kamba yang semakin besar maka semakin sedikit air yang dibutuhkan unyuk memperoleh bubr biskuit dengan konsistensi yang serupa. Bahan pangan yang densitas kambanya kecil akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan yang densitas kambanya besar. Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi adalah waktu untuk menyatakan mulai biskuit diberi air sampai menjadi bubur yang dihitung dan dinyatakan sebagai waktu rehidrasi biskuit. Hasilnya diperoleh bahwa biskuit kontrol memiliki waktu rehidrasi yang paling cepat yaitu 58 detik dan biskuit perlakuan berkisar 149 sampai 155 detik. Berdasarkan uji Anova menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap waktu rehidrasi biskuit (Tabel 14). Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata jujur
34
(BNJ) menunjukkan bahwa antara biskuit dengan tepung komposit F2 dan F23 berbeda nyata satu sama lain, namun tidak berbeda nyata dengan biskuit lainnya. Semua formula biskuit dengan tepung komposit berbeda nyata waktu rehidrasi dengan biskuit kontrol. Waktu rehidrasi berkaitan dengan kekerasan produk pangan dan jumlah air yang diperlukan untuk membuat bubur biskuit dengan konsistensi serupa. Dengan demikian, semakin keras suatu produk, maka memerlukan waktu rehidrasi yang lebih lama dan jumlah air yang lebih banyak (Puspowati 2003). Tabel 14. Hasil pengujian sifat fisik biskuit dengan tepung komposit Formula
Sifat Fisik Biskuit Kekerasan Uji Seduh per saji* (kg/mm/s) (ml) 4,43a 74,5a
F2
Densitas Kamba (g/ml) 0,614a
Waktu Rehidrasi Saji (detik) 149a
F4
0,636a
5,35a
75,5a
150ab
F5
0,645a
4,99ab
77,25a
152ab
F7
0,644a
5,80ab
75,5a
150ab
F10
0,640a
3,74b
76,5a
153ab
F16
0,642a
4,25c
75,75a
154ab
F17
0,646a
5,93c
77a
155ab
F18
0,644a
5,80d
75,5a
150ab
F22
0,648a
5,99e
76a
154ab
F23
0,645a
4,99e
77,25a
152b
Depkes
0,405b
1,92f
80a
58c
Keterangan: * per saji = 40 gram. Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% BNJ.
Sifat Organoleptik Biskuit Penilaian mutu suatu produk pangan pada umumnya sangat ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya (Winarno 1997). Pengujian indrawi (uji organoleptik) dilakukan untuk semua perlakuan dan dijadikan sebagai salah satu parameter untuk menentukan biskuit komposit terbaik. Hasil pengujian indrawi disajikan pada Tabel 15.
Sifat biskuit yang diuji
organoleptik adalah kehalusan dalam mulut, kemudahan di telan, kerenyahan di mulut dan kemudahan melarut dalam mulut. Uji ini dilakukan oleh 30 panelis semi terlatih. Nilai transformasi dari nilai 1 sampai 5, dimana nilai terkecil (1) diperuntukkan bagi sifat indrawi produk yang tidak diinginkan dan nilai terbesar (5) diperuntukkan bagi sifat diinginkan. Misalnya untuk sifat indrawi kehalusan dimulut nilai 1 untuk sifat kasar dan
35
nilai 5 untuk sangat halus. Penjelasan secara rinci tentang skala uji organoleptik ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 15. Hasil pengujian indrawi biskuit dengan tepung komposit Rata- Rata Formula Kehalusan
Kemudahan ditelan
Kerenyahan dimulut
Kemudahan melarut
F2 F4 F5 F7 F10 F16
2.3 2.9 3.1 2.3 3.0 2.2
2.9 3.3 3.4 3.2 3.7 2.9
3.3 3.4 3.5 3.6 3.6 3.5
2.6 3.0 3.2 2.9 3.2 2.7
F17 F18 F22 F23 Depkes
2.3 2.3 2.5 3.1 3.4
2.9 3.2 3.1 3.4 4.3
3.0 3.6 3.3 3.5 4.2
2.7 2.9 2.9 3.2 3.9
Berdasarkan uji organoleptik hampir semua formula biskuit dengan tepung komposit perlakuan memiliki kehalusan di mulut yaitu agak kasar, kecuali untuk formula F5, F10 dan F23 yang agak halus. Sifat indrawi untuk kemudahan ditelan untuk semua formula biskuit komposit adalah bersifat agak mudah ditelan, dibandingkan biskuit Depkes bersifat mudah ditelan. Sifat indrawi untuk kerenyahan dimulut untuk formula biskuit komposit semuanya bersifat agak renyah, sedangkan biskuit Depkes bersifat renyah. Sifat indrawi untuk kemudahan melarut dalam mulut, hampir semua formulasi biskuit komposit bersifat agak sukar melarut dalam mulut, kecuali untuk biskuit komposit F4, F5, F10, dan F23 yang bersifat agak mudah melarut. Hal ini berbeda nyata dengan biskuit Depkes yang memiliki sifat kemudahan melarut dalam mulut. Semua nilai uji organoleptik pada biskuit perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah daripada biskuit Depkes. Hal ini disebabkan karakteristik biskuit perlakuan yang memiliki kekerasan yang relatif tinggi dan kekompakkan biskuit yang padat serta kurangnya porosnya tekstur biskuit dibandingkan dengan biskuit Depkes. Pertimbangan Formula Biskuit Terpilih Penentuan
formula
biskuit
MP-ASI
terbaik
dilakukan
dengan
mempertimbangkan hasil pengujian sifat fisik dan organoleptik. Berdasarkan sifat fisik yaitu densitas kamba damba dan uji seduh, F10 memiliki nilai paling kecil dibandingkan
36
formula lainnya walaupun memiliki perbedaan yang tidak nyata. Berdasarkan syarat MP-ASI yang memiliki sifat kekambaan yang kecil, maka F10 merupakan formula terbaik. Berdasarkan sifat organoleptik yang memiliki rata- rata nilai yang baik untuk semua uji adalah F10 dengan nilai lebih besar sama dengan 3. Berdasarkan kedua parameter yaitu karakteristik sifat fisik dan sifat organoleptik maka formula biskuit yang terpilih adalah F10, yaitu dengan kandungan tepung komposit sebanyak 20% dan pati garut 30%. Gambar biskuit F10 dan Depkes dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Biskuit F10 dan Depkes Biskuit terpilih kemudian diuji sifat kimia untuk melihat kandungan zat gizi yang terkandung dalam biskuit yang didapat melalui analisis proksimat, vitamin dan mineral. Sifat biologinya meliputi daya cerna pati dan protein serta sifat mikrobiologi meliputi uji cemaran bakteri Salmonella sp, Staphylococcus aureus, dan E. coli. Kandungan Gizi Biskuit Uji kimia dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi biskuit terpilih yang dibandingkan dengan kandungan gizi biskuit kontrol. Uji ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), seng (Zn), fosfor (P), timbal (Pb), dan raksa (Hg). Hasil uji untuk per 100 gram biskuit dibandingkan dengan kandungan gizi biskuit Depkes pada kemasan biskuit serta standar MP-ASI menurut SK Menkes (2007) yang disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil analisis kandungan gizi biskuit,
maka yang memenuhi
syarat standar MP-ASI Depkes (2007) adalah kandungan energi, protein dan kalsium. Sedangkan kandungan lemak masih terlalu tinggi daripada biskuit kontrol. Hal ini berkaitan dengan adonan biskuit dan kandungan biskuit perlakuan yang dihitung melalui perkiraan dengan TKPI berbeda dengan kandungan zat gizi biskuit dengan hasil analisis.
37
Tabel 16. Kandungan gizi biskuit (per 100 gram) Komponen (%bb) Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat Makanan Total Gula Energi Total Β-karoten Vitamin A (ppm) Vitamin D (μg) Vitamin E (mg) Vitamin K (μg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin B12 (μg) Niasin (mg) Asam Folat (μg) Fe (mg) Iodine (μg) Zn (mg) Ca (mg) Natrium (mg) Selenium (μg) P (mg) Pb (ppm) Hg (ppm)
ASI,
Biskuit MP-ASI
Biskuit Depkes
8.48 1.91 10.2 21.0 58.40 6.48 7.85 464 70 10.9 <0.25 1.12 2.46 0 0.59 202.35 5.47 0 0
5 8* 15* 72* 2.76 18.13 455* 350* 5* 5* 4.9 0.5* 0.5* 0.5* 0.9* 6* 60* 6* 70* 3* 200* 80* 13* 160* 0* 0*
Standar SK Menkes (2007) 8-10 10-18 Maks 5 Maks 30 Min 400 250-700 3-10 4-6 Min 10 0.4-0.5 0.4-0.5 0.3-0.5 0.5-0.9 4.0-6.0 60-100 5.0-6.0 60-70 2.5-3 200-300 Maks 800 10-15 120-200 <0.3 <0.03
Ket erang an : * = label produk biskuit MPASI Depke s
Serat meru pakan komp onen pentin g dalam pemb uatan MP-
jumlah serat pada MP-ASI harus dibatasi karena serat yang terlalu banyak
mengganggu pencernaan bayi. Jumlah serat yang melebihi standar MP-ASI menjadikan biskuit lebih aman dikonsumsi untuk anak dengan umur lebih dari dua tahun yang membutuhkan serat di atas 5 gram seiring dengan bertambahnya umur (Prabantini 2010). Kandungan mineral hasil biskuit MP-ASI hasil formulasi adalah Ca 202.35 ppm, Zn 0,59 mg, dan P 5.47 mg serta cemaran Pb 0 ppm Hg 0 ppm berada di bawah standar Menkes (2007). Hal ini diduga disebabkan oleh mineral yang relatif mudah rusak pada saat terjadi proses pengolahan (Almatsier 2002). Sedangkan untuk kandungan vitamin yang masih jauh dibawah standar persyaratan MP-ASI yaitu vitamin A, B1 dan B12. Padahal vitamin ini berperan penting dalam proses diferensiasi sel dan metabolisme zat gizi makro (Almatsier 2003).
Oleh karena itu perlu
38
dipertimbangkan untuk mengurangi kandungan lemak dan serat serta meningkatkan kandungan vitamin dan mineral yang dapat dilakukan dengan cara fortifikasi pada saat formulasi biskuit tersebut. Daya Cerna Pati dan Protein Biskuit Kemampuan suatu bahan pangan untuk dihidrolisis menjadi komponen yang lebih sederhana dan mudah dicerna oleh tubuh oleh enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna (Muchtadi 1989). Dalam penelitian ini dilakukan analisis daya cerna pati dan protein secara in vitro untuk mengetahui kualitas biskuit MP-ASI. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Hasil uji daya cerna pati dan protein biskuit disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Daya cerna pati dan protein biskuit dengan tepung komposit (%) Biskuit Biskuit Depkes (kontrol) Biskuit MP-ASI
Daya Cerna Pati 63.50 64.93
Daya Cerna Protein 98.23 80.41
Daya Cerna Pati Analisis daya cerna pati secara in vitro menggunakan enzim α-amilase. Pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi gula- gula sederhana dan dekstrin. Jumlah glokosa dan maltosa diukur secara spektrofotometri setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS). Daya cerna dihitung sebagai persentase pati murni (Muchtadi 1989). Pada biskuit MP-ASI yang dibuat dari tepung komposit memiliki daya cerna pati yang lebih tinggi daripada biskuit Depkes. Hal ini berarti kecernaan pati pada biskuit dengan tepung komposit lebih tinggi dibandingkan dengan biskuit Depkes. Menurut Muchtadi (1993) beberapa hal yang dapat menyebabkan tingginya daya cerna pati diantaranya pemanasan dengan suhu tertentu hingga mencapai suhu gelatinisasi optimum pati serta interaksi antara pati dan non pati. Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus
.
Menurut Tharanthan & Mahadevamma (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati dicerna lambat pada usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati
39
adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya. Daya Cerna Protein Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Prinsip dasar pengukuran daya cerna protein secara in vitro dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan larutan multienzim (Hsu et al (1977) dalam Muchtadi (1989). Daya cerna protein pada biskuit dengan tepung komposit memiliki nilai yang lebih rendah daripada biskuit Depkes. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kandungan serat pada biskuit dengan tepung komposit yang lebih tinggi daripada biskuit Depkes. Menurut Fennema (1996) beberapa hal yang mempengaruhi daya cerna protein adalah konformasi protein, faktor antinutrisi, ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat serta proses pengolahan. Pemanggangan dapat menyebabkan daya cerna menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa dan maltosa membentuk reaksi nonenzimatik Maillard. Hal ini bisa dilihat pada roti yang dipanggang selama 30 menit dengan suhu oven 2300C menunjukkan penyusutan protein sebesar 15% dan meningkat seiring dengan lamanya pemanggangan. Reaksi Maillard bertanggung jawab dalam proses pembentukan aroma dan cita rasa produk melalui proses pemanggangan. Daya cerna biskuit MP-ASI yang dibuat dengan tepung komposit yaitu 80,41%. Daya cerna ini dapat dikatakan sedang karena nilainya menyerupai daya cerna kacang- kacangan dan nasi (Fennema 1996). Sifat Mikrobiologi Biskuit Analisis mikrobiologi dilakukan dengan cara penentuan Total Plate Count (TPC). Analisis kuantitatif mikrobiologi sangat penting dilakukan untuk mengetahui jumlah mikroba yang terdapat dalam bahan pangan. Pada Tabel 18 adalah data hasil analisis biskuit terpilih yang dibandingkan dengan standar MP-ASI (SK Menkes 2007). Tabel 18. Hasil Pengujian sifat mikrobiologi biskuit dengan tepung komposit Jenis Bakteri
Biskuit MP-ASI
Standar MP-ASI SK Menkes (2007)
Salmonella sp.
negatif
Staphylococcus aureus
negatif
Negatif <1.0x102 koloni/g
E. coli (cfu/100 gram)
negatif
<1.0x10 koloni/g
4
40
Salmonella sp. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada biskuit MP-ASI yang dibuat dari tepung komposit tidak mengandung Salmonella sp. yang ditunjukkan dengan hasil negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit tersebut telah memenuhi standar aman untuk dikonsumsi. Salmonella sp. merupakan bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia dan hewan lainnya. Habitat utamanya adalah saluran usus hewan dan manusia. Salmonella juga terdapat di bagian tubuh yang lain serta di udara terutama udara yang tercemar. Salmonella sp. sensitif terhadap panas sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi dan dapat bertahan hidup pada suhu rendah (Jay 2000). Staphylococcus aureus Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada biskuit MP-ASI yang dibuat dari tepung komposit tidak mengandung Staphylococcus aureus yang ditunjukkan dengan hasil negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit tersebut telah memenuhi standar aman untuk dikonsumsi. Staphylococcus aureus adalah mikroba yang banyak ditemukan di udara, tanah, debu dan air serta hidup pada pada kulit dan organ luar manusia seperti hidung dan tangan. Staphylococcus stabil pada suhu dingin dan dapat musnah dengan perlakuan suhu pasteurisasi dan suhu pemasakkan pangan. Pencemaran bakteri ini disebabkan kontaminasi dari pekerja melalui batuk, bersin, dan jatuhnya rambut (Gaman & Sherrington 1992). E.coli (Escherichia coli) Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada biskuit MP-ASI yang dibuat dari tepung komposit tidak mengandung E. coli (Escherichia coli) yang ditunjukkan dengan hasil negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit tersebut telah memenuhi standar aman untuk dikonsumsi. E. Coli adalah bakteri gram negatif yang banyak terdapat dalam usus manusia dan hewan. Beberapa strain E.coli dapat menyebabkan keracunan dan banyak terdapat pada air dan makanan yang tercemar kotoran hewan. E coli tidak dapat hidup pada suhu rendah dan suasana asam. Bakteri ini menjadi penyebab diare dan memiliki peningkatan risiko terkena tekanan darah tinggi, masalah ginjal dan juga penyakit jantung di kemudian hari (Supardi dan Sukamto 1999). Berdasarkan hasil uji mikrobiologi, produk MP-ASI ini relatif aman dari cemaran dan layak untuk dikonsumsi. Biskuit telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh (SK Menkes 2007) yaitu bebas dari cemaran dan bakteri patogen. Penggunaan aluminium foil sebagai pembungkus biskuit menjadi salah satu cara menjaga keamanan biskuit dan kandungan zat gizinya.
41
Penentuan Takaran Saji Angka kecukupan gizi yang dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencegah defisiensi zat gizi. Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan konstribusi protein yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG bayi 12-24 bulan. Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein bayi 12-24 bulan ( berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Bila AKG untuk bayi yang digunakan adalah 20% dari 25 gram protein adalah 5 gram protein yang harus dipenuhi dari sajian. Biskuit dengan tepung komposit berdasarkan hasil proksimat dan
perhitungan energi per 100 gram
sajian
menyumbangkan 464 kkal energi dan 10,16 gram (bb) protein. Berarti untuk memenuhi target pemenuhan 20% protein, maka jumlah biskuit yang dikonsumsi adalah 49,21 gram biskuit (perhitungan disajikan dalam Lampiran 6). Apabila dari biskuit MP-ASI diharapkan dapat menyumbang 20% dari AKG (25 gram) atau setara dengan 5 gram protein dan memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 80,41%, maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah sebanyak 61,19 gram (perhitungan disajkan dalam Lampiran). Bila satu keping biskuit sekitar 11 gram, untuk memenuhi kebutuhan tersebutmaka bayi harus mengkonsumsi 6 keping biskuit atau 66 gram biskuit. Dengan demikian akan diperoleh kandungan zat gizi per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Kandungan zat gizi per takaran penyajian (66 gram) Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Karbohidrat (gram) Lemak (gram)
Jumlah per sajian (gram) 278 6.1 35 12.6
Biskuit MP-ASI yang terbuat dari tepung komposit memiliki konstribusi yang cukup untuk pemenuhan zat gizi terutama protein dan energi. Konstribusi yang diberikan untuk 6 keping biskuit adalah protein 24.4 % dan energi 27.8 % dari AKG.
42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Formulasi biskuit yang ditentukan melalui penentuan bahan penyusun biskuit dengan optimasi formula metode RSM (Response Surface Methodology) didapatkan sebanyak 25 formula. Formula biskuit dengan tepung komposit yang memenuhi syarat MP-ASI berdasarkan ketentuan SK Menkes (2007) adalah
sepuluh formula.
Berdasarkan sifat fisik dan organoleptik maka didapatkan satu formula terbaik, yaitu F10. Formula terpilih terakhir diuji lanjut dengan analisis kimia, biologi dan kandungan mikrobiologi. Berdasarkan kandungan kimia biskuit dari formula terpilih yang memenuhi standar MP-ASI adalah protein, total gula, energi dan Ca. Kandungan lemak dan serat makanan melebihi batas standar serta kandungan gizi lainnya lebih rendah dari standar. Daya cerna pati dan daya cerna protein untuk biskuit MP-ASI adalah cukup baik yaitu masing- masing 64.93 % dan 80.41 %. Uji analisis mikrobiologi menunjukkan bahwa biskuit ini relatif aman dikonsumsi karena kandungan bakteri bernilai negatif untuk Salmonella sp., Staphylococcus aureus dan E. coli (cfu/100 gram). Takaran saji biskuit adalah 6 keping untuk memenuhi minimal 20% AKG yaitu terpenuhinya protein 24.4% dan energi 27.8%. Saran Formulasi biskuit perlu diperbaiki dengan mencari komposisi bahan yang dapat memenuhi tekstur biskuit dan kandungan gizi biskuit yang memenuhi standar MP-ASI. Kandungan serat di atas persyaratan MP-ASI menjadikan biskuit MP-ASI yang dibuat dengan tepung komposit lebih baik diberikan kepada anak umur lebih dari dua tahun.
43
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia [Anonim]. 2005. Design Expert. 15 November 2009. [www. Stat-ease.com. 15 November 2009] Apriyantono A, D Fardiaz, NL Puspitasari & S Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Methods of Analysis of The Association of Official Agriculture Chemist. Washington: Association of Official Agriculture Chemist. Astawan M & T Wresdiyati. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai. ________. 2004. Labu kuning penawar racun dan cacing pita yang Kaya Antioksidan. www.gizi.net [4 Juli 2009]. ________. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Jakarta: Penebar Swadaya. Barbara et.al. 1993. Estimate of the biovailability of iron, copper, and zinc in infant formula studies “in-vitro”. Biovailability 93: 243-247. Cahyono. 1995. Pisang: Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar Swadaya. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. SK Menkes Spesifikasi Teknis MP-ASI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Tabel angka kecukupan gizi 2004 bagi orang Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Hasil pencarian berdasarkan komoditi tanaman pangan. Database. Deptan.go.id.[8 Juli2009]. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Gaman PM & KB Sherrington. 1992. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Giovani M. 1983. Response surface methodology and product optimation. IFT Sensory Evaluation Division Program, “Aproaches to Product Optimization through Sensory Evaluation” 43rdannual Meeting of Institut of Food Technologists. New Orleans, LA, 19-22 Juni 1983. dalam Hadiningsih. 2004. Optimasi formula makanan pendamping ASI dengan menggunakan response surface methodology (RSM) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
44
Hadiningsih N. 2004. Optimasi Formula Makanan Pendamping ASI dengan Menggunakan Response Surface Methodology (RSM). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB Hardiman. 1982. Tepung Pisang. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Hendrasty HK. 2003. Tepung Labu Kuning: Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Karnisius. Herison C. 1998. Sayuran Dunia 2. Bandung: ITB Press. Hidayat R. 2010. Mempelajari Pembuatan Tepung Pisang Raja Bulu kaya β-Karoten dan Karakteristik Mutunya.[ Skripsi] Bogor: Departemen Ilmu Teknologi Pangan. Fateta. IPB. [Ipteknet] Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2005. Teknologi budidaya tanaman pangan pisang raja bulu. http//www.iptek.net.id/ind/tekmologi pangan/indexpho [8 Juli 2009]. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6th edition. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publisher Inc. Kim SKJ et.al. 2003. A simple method for estimation of enzyme resistant starch conten. Journal of Starch 55: 366-368, Krisnatuti D & R Yenrina. 2006. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Matz S.A. & T.D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Connecticut: The AVI Publishing Company. Mervina. 2009. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang.[ Skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat. Fema. IPB. Middleton JT. 1997. Encyclopedia of Food. New York: McGraw Hill. Muchtadi D. 1989. 1989. Petujuk Laboratorium: Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. ________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ________. 1996. Oligasakarida yang Menyehatkan. http//web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde ntrtnhlth oligosakarida.php [8 Juli 2009] Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Jakarta: Gramedia. Nurdiani R. 2003. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sutchi) untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau [Skripsi]. Bogor: Fakults Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
45
[Persagi] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Elex Media Komputindo. Prabantini D. 2010. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: ANDI Pratama HZ. 2010. Pengaruh Bakteri Asam Laktat terhadap Perubahan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO) pada Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata). [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Teknologi Pangan. Fateta. IPB. Prawiranegara. 2004. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhatara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 2001. Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Puspowati SD. 2003. Kajian Formulasi, Mikrostruktur, Daya Cerna dan Umur Simpan Biskuit Garut Untuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). [Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan. Fateta.IPB. Rahmawati S. 2010. Formulasi dan Karakterisasi Mutu Tepung Komposit Berbasis Labu Kuning untuk Makanan Pendamping ASI kaya β-karoten. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. Fema. IPB. Satuhu S & A Supriyadi. 2000. Pisang: Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar. Jakarta: Penebar Swadaya. Setiawan AI & Y Trisanawati. 1993. Pare dan Labu. Jakarta: Penebar Swadaya. Soekarto TS. 1985. Metoda Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Soeprapto HS. 1993. Bertanam Kacang Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya. Sulaeman A. 1993. Pengembangan Formula Produk Makanan Balita dari Bahan Dasar Campuran Tepung Singkong dan Tepung Pisang. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Supardi I & M Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung: Penerbit Alumni. Tharanthan RN & S Mahadevamma. 2003. Grain legumes a born to human nutrition. Trend in Food Science and Technology Vol 14 (12): 507-518. Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture: Fundamental of in-line Production Applied Science. London: Publisher Ltd. Winarno FG. 1995. Gizi Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. __________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah MA, K Abdullah & AMS Bobor. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
46
47
Lampiran 1 Lembar penilaian indrawi biskuit MP-ASI Lembar Uji Penilaian Indrawi
Nama Panelis :
Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin : L / P Nama Produk : Biskuit MP ASI Petunjuk : Amati dan deskripsikan produk di bawah ini dengan mencicipinya dan berilah tanda cek (V) pada kotak yang disediakan sesuai dengan penilaian Anda. Jangan membandingkan antar sampel. Penilaian
Sifat Indrawi : Kehalusan dalam mulut Sangat halus Halus Agak halus Agak berpasir Berpasir Sifat Indrawi : Kemudahan ditelan Sangat mudah ditelan Mudah ditelan Agak mudah ditelan Agak sukar ditelan Sukar ditelan Sifat Indrawi: Kerenyahan di mulut Sangat renyah Renyah Agak renyah Agak keras Keras Sifat Indrawi: Kemudahan melarut dalam mulut Sangat mudah melarut Mudah melarut Agak mudah melarut Agak sukar melarut Sukar melarut
Kode Sampel
48
Lampiran 2.Transformasi penilaian uji indrawi Transformasi
Penilaian Sifat Indrawi : Kehalusan dalam mulut Sangat halus
5
Halus
4
Agak halus
3
Agak kasar
2
Kasar Sifat Indrawi : Kemudahan ditelan
1
Sangat mudah ditelan
5
Mudah ditelan
4
Agak mudah ditelan
3
Agak sukar ditelan
2
Sukar ditelan Sifat Indrawi: Kerenyahan di mulut Sangat renyah
1
Renyah
4
Agak renyah
3
Agak keras
2
Keras
1
5
Sifat Indrawi: Kemudahan melarut dalam mulut Sangat Mudah melarut
5
Mudah melarut
4
Agak mudah melarut
3
Agak sukar melarut
2
Sukar melarut
1
49
Lampiran 3 Prosedur Pengujian Sifat Fisik
a.
Densitas Kamba Sampel biskuit ditimbang (A), kemudian diukur volumenya. Cara mengukur volume biskuit adalah biskuit yang telah ditimbang dimasukkan gelas piala 100 ml dan ditambahkan butiran manik- manik ( butiran kristal kaca) sampai tanda tera. Kemudian volume butiran manik- manik (butiran kristal kaca) diukur dengan gelas ukur (B). Volume biskuit (C) = 100 ml – B ml. Densitas kamba dinyatakan dalam gram/ml, sehingga densitas kamba biskuit = A/C.
b.
Kekerasan dengan Texture Analyzer Sampel diletakkan dibawah probe yang terbentuk pisau dengan kecepatan 10 mm/ detik dan jarak 10 mm. Selama penekanan berlangsung beberapa detik akan dihasilkan grafik dengan sumbu horisontal menunjukkan jarak (mm) yang bersesuaian dengan lama penekanan satuan kg beban/mm/detik.
c.
Rendemen Semua bahan untuk membuat biskuit sebelum dipakai ditimbang dahulu (A). Semua biskuit yang terbentuk kemudian ditimbang (B). Rendemen biskuit =
d.
Uji Seduh Sampel ditimbang sebanyak 40 gram. Tambahkan air hingga mencapai kekentalan yang diinginkan. Uji seduh menunjukkan banyaknya air yang ditambahkan ke dalam sampel untuk melarut.
e.
Waktu Rehidrasi Waktu rehidrasi adalah lamanya sampel mengalami uji seduh. Waktu ini
dihitung dari sampel yang diberi air hingga melarut menjadi bubur. Satuannya adalah detik. f. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating terhadap kesukaan dalam mulut, kemudahan ditelan, kerenyahan dalam mulut dan kemudahan melarut. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih yang berjumlah 25 orang dan mengisi format. Waktu penguji adalah panelis dalam keadaan tidak lapar dan tidak kenyang yaitu pada pukul 09.00 – 11.00 WIB.
50
Lampiran 4 Prosedur pengujian sifat kimia
a. Penetapan Kadar Abu (AOAC 1995) Sebanyak 2-3 gram contoh ditimbang ke dalam sebuah cawan porselen yang telah diketahui beratnya dan diarangkan di atas nyala pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimal (550 oC) sampai pengabuan sempurna setelah didinginkan dalam eksikator, lalu beratnya ditimbang sampai konstan. Perhitungan : Kadar Abu % = (b-c) X 100% A Keterangan : a
= berat contoh sebelum diabukan (g)
b
= berat contoh ditambah cawan sesudah diabukan (g)
c
= berat cawan kosong (g)
b. Penetapan Kadar Air (AOAC 1995) Kadar air ditentukan dengan metode pemanasan langsung. Cawan logam dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC sampai didapat berat tetap dari cawan. Sampel ditimbang kira-kira 2 gram dalam cawan tersebut. cawan dan sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC, sekitar 3-4 jam sampai tercapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator dan segera ditimbang. Perhitungan: % Kadar Air = B1 – B2 X 100% B Keterangan : B1 = Berat cawan + sampel sebelum dioven B2 = Berat cawan + sampel setelah dioven B
= Berat Sampel
c. Kadar Lemak (AOAC 1995) Keringkan labu lemak dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit, didinginkan dalam desikator (A). Timbang 5 gram sampel (S) tepat langsung dalam saringan timbel yang sesuai ukurannya, kemudian tutup dengan kapas wool yang bebas lemak atau sampel dapat pula dibungkus dengan kertas saring. Masukkan pelarut lemak ke dalam labu lemak secukupnya. Masukkan timbel ke dalam alat ekstraksi soxlet. Panaskan labu lemak dan lakukan ekstraksi selama 3-4 jam.
51
Setelah selesai pelarutnya disulingkan kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC sampai tidak ada penurunan berat lagi. Dinginkan dalam eksikator selama 20-30 menit dan timbang (B). Perhitungan :
% Lemak = B - A X 100% S
d. Kadar Protein (AOAC 1995) Penentuan kadar protein sampel menggunakan metode mikro Kjehdhal. Sampel ditimbang 0.2 g (kira-kira membutuhkan 0.5-1 ml HCl 0.02 N). Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1.9 g K 2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4 kemudian didekstruksi selama 1 jam. Labu Kjeldahl didinginkan dan ditambah sedikit air (1-2 ml). Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH- Na2S2O3. Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil biru sebanyak 2-4 tetes. Destilasi sampai mendapatkan 15 ml destilat dan dilarutkan menjadi 50 ml. Hasil ini kemudian dititrasi dengan HCL 0.02 N sampai titik akhir dari titrasi. Titik akhir ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi biru keunguan/ abu-abu. Kadar protein dihitung dengan rumus: % N= (ml HClcontoh – ml HClblanko) x N HCl x 14.007 x 100 mg contoh Kadar Protein = 6.25 X % N
e. Perhitungan Kadar Karbohidrat (Winarno 1997) Analisa kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Perhitungan = 100% - %(kadar air + kadar protein + kadar abu + kadar lemak) f. Serat Makanan menggunakan Enzim (Dovell dan Harris, 1982 dalam Muchtadi 1989) Analisa kadar serat makanan menggunakan enzim pepsin dan pankreatin untuk mencerna sampel. Serat makanan adalah residu yang tidak tercerna oleh enzimenzim tersebut. Prosesnya adalah 20-26 g sampel basah diblender dalam 100 ml air destilata. Atur pHnya menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 1,0 M dan buffer pH
52
1,5. Tambahkan 0,3 g Amberlite IR-120, taruh dalam penangas 850C selama 1 jam sambil di shaker. Dinginkan dan kemudian saring, tambahkan 200 ml isopropanol ke dalam filtrat, biarkan semalam untuk mengendapkan pektin. Residu yang ada digunkan untuk menentukan serat (tanpa pektin). Saring pektin dengan Buchner dengan kertas saring. Pektin pada kertas saringdimasukkan ke oven, sedangkan residu dicuci dari kertas saring hingga volume 200 ml. pH larutan diatur hingga 1,5 lalu tambahkan 100 mg pepsin kemudian diinkubasi selama 1 malam pada suhu 370C. Sampel dikeluarkan lalu atur pH menjadi 7,5 kemudian letakkan sampel pada penangas air hingga suhu 37 0C, lalu tambahkan 100 mg pankreatin dan diinkubasi selama 1 jam sambil di shaker. Setelah itu sampel disentrifus selama 30 menit, sarig dengan Buchner dengan kertas saring. Serat pada
kertas saring di oven
vakum selama 20 jam, kemudian ditimbang. Kadar serat adlah selisih berat kertas saring, dan dihitung sebagai persentase berat kering bahan yang dianalisis. Jumlah persentase pektin dan serat adalah persentase serat makanan dalam bahan yang dianalisis. g. Total gula titrasi Timbang 5-10 g contoh pada labu takar, tambahkan air hingga tanda tera 250 ml. saring dan pipet 50 ml filtrat kemudian masukkan ke dalam labu takar 250 ml ditambahkan 10 ml Pb asetat setengah basa, kocok hingga timbul endapan putih. Setelah itu tambahkan Na2HPO4 10 % dan air hingga tanda tera 250 ml. Sebelum inversi : Pipet 10 ml filtrat pada labu erlen meyer 500 ml ditambahkan 15 ml air, batu didih dan larutan luff kemudian didihkan selama 10 menit. Angkat dinginkan dalam es. Setelah dingin ditambahkan 10-15 ml larutan KI 30% dan 25 ml H2SO4 25%. Titrasi dengan larutan tio 0,1 N. Larutan tio = (b-a) ml Kadar gula sebelum inversi = Sesudah terjadi inversi Pipet 50 ml filtrat dan masukkan ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan 5 ml HCl 25 % dan panaskan di penangas pada suhu 60-700C selama 10 menit. Angkat dan dinginkan kemudian tambahkan NaOH 30% hingga tanda tera. Kemudian titrasi dengan larutan tio. Kadar sukrosa :(% gula sesudah inversi - % gula sesudah inversi) x 0,95.
53
h. Analisis Beta-karoten (journal of chromatography 1992) 1. Penyiapan larutan standar Timbang ± 0,01 g beta-karoten ke dalam erlenmeyer bertutup asah. Tambahkan 1 g asam askorbat dan 25 ml aquades, kocok menggunakan stirer hingga homogen. Tambahkan 50 ml etanol dan 10 ml larutan KOH 60%, kocok kembali menggunakan stirer selama 1 jam. Tambahkan 60 ml petrolum eter: dietil eter (1:1), kocok menggunakan stirer selama 1 jam. Masukkan larutan ke dalam labu pemisah 500 ml. Kocok larutan dan biarkan larutan terpisah sempurna. Pindahkan lapisan bagian atas ke dalam labu kocok laninya. Tambahkan 25 ml petrolum eter : dietil eter (1:1), stirer selama 30 menit. Masukkan larutan ke dalam labu pemisah, kocok dan biarkan memisah, kemudian gabungkan lapisan bagian atas ke dalam labu pemisah, ulangi kembali perlakuan ini satu kali. Cuci larutan tersebut dengan aquades sampai bebas basa. Pindahkan larutan ke dalam labu dasar bulat berleher asah dan uapkan dengan menggunakan vakum evaporator hingga kering. Larutkan residu dengan propanol. Buat larutan deret standar (disesuaikan dengan konsentrasi contoh). Saring larutan dengan Sep pak Catridge C-18. Larutan siap diinjek ke dalam HPLC. 2. Penyiapan contoh Timbang 10 g contoh, kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml bertutup asah. Tambahkan 1 g asam askorbat an 25 ml aquades, kocok menggunakan stirer hingga homogen. Tambahkan 50 ml etanol dan 10 ml larutan KOH 60%, kocok kembali menggunakan stirer selama 1 jam. Tambahkan 60 ml petrolum eter : dietil eter (1:1), stirer selama 30 menit. Masukkan larutan ke dalam labu pemisah, kocok dan biarkan memisah, kemudian gabungkan lapisan baigan atas ke dalam labu pemisah, ulangi kembali perlakukan ini sebanyak satu kali. Cuci larutan tersebut dengan menggunakan aquades sampai bebas basa. Pindahkan larutan ke dalam labu dasar bulat berleher asah dan uapkan dengan menggunakan vakum evaporator hingga kering. Larutkan residu dengan propanol. Saring larutan dengan Sep pak Catridge C 18, injeksikan larutan ke dalam HPLC. Kadar betakaroten dalam contoh dapat dihitung dengan rumus:
Csp = Asp x Betakaroten x Fp/ wsp Ast Keterangan:
54
Csp : konsentarsi contoh (mg/kg) Ast : luas area standar Asp : luas area contoh Fp : Faktor pengenceran Wsp : Berat contoh i.
Analisis vitamin dan mineral (Barbara et al. 1993) Sampel ditimbang dalam erlemneyer 2 gram, ditambahkan H 2SO4 sebanyak 10 ml. Kemudia ditambahkan asam sitrat sebanyak 10 ml. Destruksi sampil ditambah aquades bebas ion jangan lebih dari 100 ml sampai berubah warna (bening), hatihati jangan sampai gosong. Tunggu samapai dingin, masukkan ke dalam labu ukur sampai dibilas dengan aquades ion sampai tanda tera. Disaring dengan kertas whatman 42. aliquot dibaca dengan AAS pada panjang gelombang 213.9 nm. Pembuatan blangko dilakukan dengan cara yang sama tanpa menggunakan sampel. Perhitungan : kadar mineral (μg/g) = (a-b) X v W Keterangan: a = Konsentrasi larutan sampel (μg/ml) b = Konsentrasi larutan blanko (μg/ml) v = Volume ekstrak sampel (ml) w = Berat sampel (g)
55
Lampiran 5. Prosedur pengujian sifat biologi a. Daya Cerna Pati in Vitro (Kon et al 1971 dikutip oleh Muchtadi et al 1992) Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, tambahkan 100 ml air destilata. Kemudian, dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai
suhu 90 0C sambil diaduk,segera diangkat dan didinginkan.
Larutan dipipet sebanyak 2 ml, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat pH 7. Masing- masing sampel dibuat 2 kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37 0c selama 15 menit, ditambahkan 5 ml larutan enzim - amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel (selama 30 menit).Sebanyak 1 ml larutan ditambahkan 2 ml larutan DNS (asam dinitrosalisilat), dipanaskan selama 12 menit. Setelah dingin tambahkan 10 ml air destilata lalu dihomogenisasi dengan vortex.Absorbansinya dihitung =520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosamurni 0,5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1ml dengan air destilata. Daya cerna pati (%) = Dimana : A a B b
: kadar maltosa sampel : kadar maltosa blanko sampel : kadar maltosa pati murni : kadar maltosa blanko pati murni
b. Daya Cerna Protein in vitro ( Hsu et al 1977 dalam Muchtadi et al 1992) Larutan multienzim (1,6 g tripsin, 3,1 mg kimotripsin dan 1,3 mg peptidase per ml air destilata). Larutan multienzim dibuat secukupnya kemudian diletakkan dalam ice bath, diatur pH- nya menjadi 8,0 dengan menambahkan HCl dan NaOH 0,1 N. Penentuan daya cerna pati adalah biskuit digiling dengan ukuran 80 mesh kemudian disuspensikan dengan air destilata sampai diperoleh konsentrasi 6,25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspensi kemudian diatur pH-nya menjadi 8,0 dengan penambahan HCl/NaOH 0,1 N. Sampel diletakkan dalam penangas air 37 0C dan diaduk
selama
5
menit.
Kemudian
ditambahkan
5
ml
larutan
multienzim(penambahan enzim sebagai waktu ke-0) sambil tetap diaduk. pH suspensi sampel dicatat pada menit ke-10. Daya cerna protein = Y = 210,464 – 18,103X Dimana
:
Y = daya cerna protein X = pH suspensi sampel pada menit ke-10.
56
Lampiran 6 Perhitungan Takaran Saji a. Perhitungan Takaran Saji Tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit X=
x 100
Keterangan : X = jumlah biskuit yang harus dikonsumsi (gram) A = protein yang harus dipenuhi (gram) B = protein per 100 gram biskuit (gram) X=
x 100
X = 49, 21 gram
b. Perhitungan Takaran Saji Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit c. Y =
xX
Keterangan : Y= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dengan memperhitungkan daya cerna protein(gram) C = daya cerna protein biskuit B = jumlah biskuit yang dikonsumsi tanpa memperhitungkan daya cerna protein (gram)
Y=
x 49,21
Y = 61,19 gram
57
Lampiran 7 . Analisis Ragam Densitas Sumber Keragaman Densitas
db 10
JK 0,10113
KT 0,01011
Galat
11
0,00045
0,00004
Total
21
0,10158
F Hit 246,38
P <0,0001
F Hit 224,68
P <0,0001
F Hit 1,04
P <0,4698
F Hit 627,94
P <0,0001
Lampiran 8 . Analisis Ragam Kekerasan Sumber Keragaman Densitas
db 10
JK 29,17186
KT 2,91719
Galat
11
0,14282
0,012984
Total
21
29,31469
Lampiran 9 . Analisis Uji Seduh Sumber Keragaman Densitas
db 10
JK 21,37208
KT 2,13721
Galat
11
22,54885
2,04989
Total
21
43,92093
Lampiran 10 . Analisis Waktu Rehidrasi Sumber Keragaman Densitas
db 10
JK 1598,000
KT 1598,4000
Galat
11
28,000
2,54545
Total
21
16012,000
58
Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian
Penyiapan Bahan
Pemanggangan Biskuit
Pembuatan Biskuit
Biskuit yang sudah matang
Biskuit yang Lolos Syarat MP ASI