FOCUS Beyond Your Imagination
Powered by LensaManual.net
Love To Focus Manually Hal 1
011
Prolog Editor
A
llhamdulillah, Segala Puji untuk Tuhan Semesta Alam. Edisi perdana dari Focus Magz akhirnya bisa rampung juga.
Edisi perdana ini kami beri kode dengan penomoran 01 yang bertujuan memudahkan pengarsipan untuk pembaca nantinya. Tentunya,kami berharap dengan tertulisnya 01 maka akan ada bilangan-bilangan yang akan menyusulnya. entah sampai kapan. Sengaja kami memilihkan tema Love to Focus Manually. Bukan tujuan kami ingin mengecilkan segmentasi pembaca. Tapi ijinkanlah kami selaku penggiat lensa manual untuk memulai sesuatu dengan yang kami geluti hingga kini. Tapi kami pun tidak bermaksud untuk menutup pintu terhadap mahzab fotografi yang lain. Karena sekali lagi, tujuan kita sama yaitu memotret Cahaya. Hanya cara dan kesukaan kita saja yang berbeda.
Kami menyadari, penyajian majalah digital ini masih jauh dari sempurna dan elok dilihat jika dibandingkan dengan majalah-majalah yang lain yang sudah ada. Bukan. Bukan karena masalah eksistensi mengenai majalah ini kami butuh saran dan masukan. Tapi lebih karena kami menyadari bahwa segala sesuatu pasti ada saja kekurangannya. Untuk hal itu kami membutuhkan masukan dan saran. Inovatif. Kreatif. Dan Konstruktif yang nantinya kami harapkan saran dari pembaca. Agar nantinya penyampaian dan kemasan dalam majalah ini menjadi lebih menarik. enarik lagi.
Selamat Membaca
Semua foto yang ditampilkan pada edisi ini sudah mendapatkan persetujuan dari sang Fotografer. Dilarang menggunakan foto-foto yang terdapat di majalah ini tanpa seijin Fotografer yang bersangkutan
Hal 2
Faisal Fadly (Pay)
[email protected] @angulon4wide
Cover
0
Gallery I
4
Gallery II
20
Opreker
28
Anton Rahmadi
Daftar Isi
Anton Rahmadi
Ipul Satjadiguna
Bayu Ardhi
Hal3
Hal 4
Galleries I
“Photography is an all time research: I observe, translate and put the result in frames.”
Anton Rahmadi Pria kelahiran Samarinda 1 April ini. Sedang mengambil S3 Farmakologi di Australia
[email protected]
Berbekal kamera SLR manual warisan, Pentax K1000 dan sebuah lensa SMC 50mm/1.4, petualangan fotografi saya dimulai di awal tahun 1990-an. Dikala itu, saya masih duduk di bangku sekolah menengah. Fotografi film, utamanya bagi pelajar dari lingkungan keluarga biasa, merupakan sesuatu hal yang mahal.
Hal 5
“Dalam sebulan, jatah jajan saya hanyalah satu rol film 36”
Dalam sebulan, jatah jajan saya hanyalah satu rol film 36. Film favorit saya adalah Fuji Superia ASA 200 dan ASA 400. Saat itu saya juga mengetahui bahwa keluarga kami memiliki sebuah kamera rangefinder Voigtlander Bessa dengan lensa Ultron 50mm. Sayangnya, lensa tersebut tidak dapat digunakan lagi.
Hal 6
“Berangkat dari keluarga peneliti, perjalanan fotografi saya sebenarnya dimulai dari ketertarikan saya dengan mikroskop”
Hal 7
Hal 8
Galleries I
Minat saya sebenarnya lebih kearah perangkat optik medis seperti mikroskopi dan analisis-analisis gambar. Berangkat dari keluarga peneliti, perjalanan fotografi saya sebenarnya dimulai dari ketertarikan saya dengan mikroskop. Perkenalan dengan alat optik ini lebih awal dibandingkan dengan kamera SLR. Adalah uban (rambut putih) menjadi objek ‘penelitian’ kecil saya pertama kali. Saat itu saya mendapat pinjaman sebuah mikroskop stereo yang dapat melihat gambargambar renik dengan lebih tiga dimensi. Berbekal perangkat tersebut, struktur uban saya gambarkan untuk kemudian dibandingkan dengan rambut hitam. Saat itu, usia saya baru menginjak satu dasawarsa
Perjalan hidup mengalir, mungkin pula dari pengalaman awal yang sangat berbekas ini, akhirnya saya mengambil spesialisasi ilmu mikrobiologi. Pendidikan sarjana saya tamatkan dengan gelar ‘cum laude’ di bidang mikrobiologi pangan, dilanjutkan dengan master yang mendapatkan nilai ‘high distinction’ untuk riset di bidang yang sama. Ketertarikan tersebut pula yang membawa saya menerima tantangan pendidikan lanjutan di bidang farmakobiologi sel utamanya dalam analisis grafis dari morfologi sel-sel otak tikus.
Galleries I
Dengan ketertarikan saya yang besar di bidang mikroskopi, saya lebih banyak bermain di ranah manual fokus. Dalam satu minggu, saya dapat menghasilkan sekitar 500 frame untuk kemudian dianalisis dengan peranti lunak khusus. Ilmu fotografi mikroskopi pada umumnya masih bersifat fully manual, baik itu hardware controlled ataupun software controlled. Perbedaan yang paling mendasar adalah hampir semua lensa-lensa mikroskopi bersifat fix aperture dengan ruang tajam yang sangat sempit. Sebagai gambaran, sebuah mikroskop digital dengan perbesaran 200x memiliki field of view hanya sekitar 0,72 x 0,54 mm (rasio 4:3) dengan ruang tajam yang kurang dari 0,1mm. Tantangan lainnya adalah kontras gambar yang dihadapi umumnya sangat rendah dibandingkan kamera biasa. Untuk itu, kemampuan presisi dari sebuah sistem Auto-Focus benar-benar diuji. Saat ini, hanya ada satu penyedia sistem Auto-Focus untuk perangkat mikrobiologi sel yang sudah tersedia dipasaran dengan harga yang luar biasa mahal, tentunya. Hal 9
“Dalam satu minggu, saya dapat menghasilkan sekitar 500 frame untuk kemudian dianalisis dengan peranti lunak khusus”
Bila di ranah kamera digital banyak diantaranya yang mempersoalkan ukuran sensor, kerapatan sensor, hingga kemampuan sensor dalam menangkap kekayaan warna (dynamic range)¸ fotografi mikroskopi bergelut dengan permasalahan yang sama sekali berbeda. Kamera tercanggih yang umum ada dipasaran hanyalah 3Mpixels. Persyaratan sensornya juga berbeda, misalnya harus mampu mentoleransi cahaya backlight dan dapat digunakan untuk berbagai sumber cahaya yang umumnya uniform wavelength. Sebagai contoh, kami memiliki kamera yang harus mampu menangkap kontras super rendah dengan sumber cahaya laser berkekuatan rendah, lampu merkuri, hingga lampu berfluoresensi. Dalam beberapa hal, mikroskopi digital juga harus mampu menangkap cahaya near infrared (NIR) dan ultraviolet. Saya bekerja dengan banyak merek, misalnya mikroskop biasa dengan film dari Nikon, mikroskop digital Olympus dan Leica, dan mikroskop khusus dari Zeiss.
Hal 10
Disela-sela kesibukan saya di laboratorium, hobi fotografi dengan kamera digital tetap dijaga sebagai penyegaran dari stress pekerjaan. Hingga di tahun 2001, saya masih menggunakan kamera pemberian orang tua dengan tambahan satu lensa saja, SMC Pentax 3.5/135mm. Saat itu, saya dipercaya untuk memegang kamera digital seri Nikon D1x untuk beberapa liputan dengan beberapa lensa AF. Setelah masa itu, untuk beberapa saat lamanya, saya cukup senang mengeksplorasi dunia fotografi dengan kamera prosumer, Kodak P880.
Hal 11
Beranjak di tahun 2009, akhirnya saya memutuskan untuk membeli sebuah kamera SLR. Pilihan saat itu jatuh ke brand Olympus dikarenakan bentuknya yang kompak. Segera setelah itu, saya mengetahui bila Olympus dapat ‘memakan’ banyak sekali lensa manual dari merek lainnya. Dua adapter pertama yang saya miliki adalah F-mount to 4/3 dan K-mount to 4/3. Adapter berikutnya yang saya ambil adalah OM-mount to 4/3. Berbekal dua lensa murah meriah OM 3.5/28mm dan OM 1.8/50mm yang sebagaian hasil-hasilnya tampil di galeri majalah ini.
“Saya mengetahui bila Olympus dapat ‘memakan’ banyak sekali lensa manual dari merek lainnya”
“Ibunda sayalah yang memberikan inspirasi dalam mikroskopi”
Hal 12
Ibunda sayalah yang memberikan inspirasi dalam mikroskopi. Selain itu, saya menyukai aliran fotografi lansekap,
urban lansekap, dan natural. Untuk fotografi aliran lansekap dan natural, saya menyukai karya-karya Jim Zuckerman
dengan kamera Mamiya RZ67. Saat ini saya juga menikmati karya-karya dari Vivian Maier, fotografer tak dikenal yang namanya baru muncul setelah kematiannya. Berbeda dengan Vivian, saya menyukai
mengambil foto ekspresi manusia, saya lebih menyukai memotret dari arah berlawanan atau dari arah belakang kepala.
Hal 13
Akhir kata, untuk menggabungkan kedua minat saya di bidang fotografi, saya mencoba menerapkan prinsip fotografi adalah riset seumur hidup. Photography is an all time research: I observe, translate and put the result in frames.
Hal 14
Hal 15
Hal 16
Hal 17
Galleries I
Galleries I
Hal 18
Hal 19
Galleries I
Galleries II
Saeful Rakhmat Hidjah Satjadiguna. Pria yang lahir di Garut 28 Tahun lalu ini merupakan pengemar berat PERSIB dan AC Milan
“Jadi yang membuat saya memilih pentax adalah lensa manualnya. Dan yang patut diingat adalah sebelum Saya membeli camera, Saya terlebih dahulu membeli lensanya.
Hal 20
Fotografi, merupakan hobby Saya semenjak kelas satu SMP (1992), karena ketertarikan saya melihat camera Canon Ayah Saya. Ayah saya hanyalah seorang pecinta fotografi amatir, tetapi Beliaulah yang mengajarkan saya apa itu framing. Pada saat dekat lebaran saya meminta untuk dibelikan 1 compact Kamera merk Fuji, saya masih ingat hargaya 200 ribu rupiah, dibeli di FIP dekat rumah saya di Garut. Saya menggunakan kamera yang dibeli itu untuk mendokumentasiakan semua acara keluarga Saya. Semenjak saat itu saya yang selalu memegang kamera, Sayalah fotografer keluarga. Setelah beberapa lama memakai kamera compact, Ayah dan Ibu Saya pergi
menunaikan ibadah haji (1996). Saya meminta untuk dikasih oleh-oleh kamera compact yang ada zoomnya (mungkin prosumer pada saat sekarang). Ketika Ayah kembali lagi dari tanah suci, Beliau berbisik, mengatakan punya kamera buat Saya. Saya sudah membayangkan kamera yang ada zoomnya. Tetapi ketika dikasih, yang ada adalah camera Zenit SLR dengan dua lensa Helios 44-6 dan Jupiter 21. Dimulailah petualangan saya dengan kamera Zenit ini. Sungguh pada saat itu saya buta akan segala macam tentang kamera SLR, baik itu aperture, ISO dan kecepatan. Akhiranya yang terjadi adalah try and error. Film pertama saya adalah Film yang menghasilkan gambar putih semua, alias
kebakar semua. Ini karena Saya memutar film dalam keadaan terbuka, karena takut salah. Pelajaran pertama di SLR, jangan memutar film pada saat terbuka. Kemudian yang saya lakukan adalah mencatat semua bukaan, kecepatan dan apapun tombol yang ada di kamera pada saat dipakai moto. Semuanya dicoba, ini semua dikarenakan SLR zenit saya exposure assist tidak berjalan (setelah saya pikir sekarang, mungkin karena batu batere di SLR sudah mati). Akhirnya setiap satu rol diberengi dengan secarik kertas catatan, sehingga ketika film di cuci, hasil fotonya bisa diketahui kenapa under ataupun over.
Jujur, ada pengalaman tidak enak akan coba2 ini, ketika saya diminta untuk mendokumentasikan acara sekolah (karena saya adalah satusatunya siswa pada saat itu yang mempunyai SLR, sehingga orang teripu dengan penampilan) Saya coba-coba menggunakn Zenith saya, dan hasilnya dari 36+2 frame fuji film, hanya 10 frame yang layak di cetak.
“Kemudian yang saya lakukan adalah mencatat semua bukaan, kecepatan dan apapun tombol yang ada di camera pada saat dipakai moto” Hal 21
“Saya mulai merasakan kebutuhan akan hasil photo yang baik sebelum di olah secara digital”
Hal 22
Ketika Indonesia memasuki millennium ke-2 saat rezim lama berganti menjadi rezim reformasi. Kala itu, HP menjadi barang kebutuhan primer. Saya tetap terobesi dengan fotografi, cuman menahan diri karena dana yang terbatas. Tetapi ketika ke toko elektronik saya selalu sengaja lewat ke bagian fotografi dan saya pun tau kalau zaman film sudah ditinggalkan. Zaman sudah beralih ke era digital. Akhirnya tahun 2005 ketika Ayah saya pergi umroh saya meminta beliau untuk
membelikan saya satu kamera digital. Saya sangat bahagia ketika dikasih kamera digital Samsung. Hampir setiap minggu saya berangkat untuk hunting ke tempattempat wisata di Garut. Pada tahun ini juga saya mengenal apa itu digital imaging, saya mulai terobsesi, dengan banyak membeli buku2 tutorial digital imaging (PS). Saya menggunakan hasil photo camdig saya dan juga hp saya untuk di olah secara digital. Saya juga kembali membeli
majalah-majalah fotografi. “Snap” adalah majalah fotografi yang biasa saya beli. Di dalam majalah itu sering dibahas mengenai tutorial pengolahan foto secara digital. Jadi saya benar2 menjadi photoshoper. Ketika saya lulus, dan dalam keadaan pengangguran saya menggunakan kemampuan digital imaging saya untuk membuat buku tahunan ana-anak SMA di kota kelahiran saya. Disitu saya mulai merasakan kebutuhan akan hasil
photo yang baik sebelum di olah secara digital. Saya ngidam mempunyai Kamera bagus. Kamera prosumer adalah kamera pilihan saya. Saya mencoba nabung tetapi uang tetap tidak terkumpul, akhirnya kalau ada project design saya suka meminjam kamera punya teman saya.
Hal 23
Galleries II
Alhamdulillah tahun 2008 Saya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Selama saya piket saya sudah membaca review DSLR entry level. Saya tertarik ke SONY Alpha 200, tetapi apa daya gaji pas2an dan persiapan pernikahan membuat saya tidak bisa menabung untuk mendapatkan DSLR. Setahun kemudian saya menikah dan pindah mencari nafkah di Jakarta, impian mempunyai DSLR semakin menguat ketika semakin mudahnya saya melihat “penampakan” asli dari kamera-kamera yang saya baca reviewnya. Istri saya menjadi saksinya ketika saya selalu ngeces kalau lewat toko kamera. Akhirnya setelah mengajukan “proposal” beberapa kali dalam kurun waktu 8 bulan ke istri, akhirnya di acc juga. Saya banyak membaca review dari kamerakamera DSLR yang ada, akhirnya dikarenakan salah satu kandidat kamera saya Pentax. Ketika saya masukan kata pentax di dalam Mbah Google, saya nyasar ke Hal 24
LensaManual.net. Masih teringat dengan jelas lapak pertama yang saya baca adalah kepunyaan Mang Ubed. Saya baru tau dari LM.net kalau lensa2 lama saya itu mempunyai mount m42. Karena saya masih ingat bagaimana enaknya memutar lensa ketika memasang dan melepaskannya di Zenith saya. Saya akhiranya focus kalau lensa-lensa tua saya juga harus bisa diberdayakan. Ketika membaca kalau mount m42 itu adalah kepunyaan Pentax zaman dahulu, dan membaca reviewnya ga jelek2 juga,akhiranya saya putuskan untuk membeli camera Pentax. Jadi yang membuat saya memilih pentax adalah lensa manualnya. Dan yang patut diingat adalah sebelum Saya membeli camera, Saya terlebih dahulu membeli lensanya. Akhirany pentax K-x di tangan saya. Saya seminggu bisa menghabiskan 1000 SC untuk moto apa saja yang ada di lingkungan rumah saya. Lensa ke dua yang saya beli adalah lensa manual SMC Pentax 50mm f1,7, saya pakai lensa itu untuk makro-makroan
“Karena saya masih ingat bagaimana enaknya memutar lensa ketika memasang dan melepaskannya di Zenith saya. Saya akhiranya focus kalau lensa-lensa tua saya juga harus bisa diberdayakan”
(reverse). Akhirnya saya terkena LBA, tetapi dana terbatas, istri sudah mulai mengawasi keuagan Saya. Akhirnya Saya cerita ke kakak Saya yang tinggal di German. Saya bilang ingin lensalensa eropa terutama German. Lalu, dia mengusulkan untuk membeli di German dan mengirimnya ke Indonesia. Secara sembunyi-sembunyi Saya membeli lensa2 tersebut dari istri Saya, dengan niat kalau ada apa-apa lensa akan saya jual kembali. Saya mulai membeli lensa-lensa eropa dan mengirimnya ke Indonesia. Saya kirimkan ke rumah orang tua saya di Garut agar tidak ketahuan oleh istri Saya Dan saya benar-benar LBA disaat banyak lensa yang datang yang memaksa Saya untuk menjual lensa-lensa tersebut, karena kalau tidak, bisa ketahuan istri. Akhirnya tanggal 8 Mei 2010 saya membuka lapak pertama saya di LM.net. Saya jual dan
“Saya mulai membeli lensa-lensa eropa dan mengirimnya ke Indonesia”
datangkan lagi. Ketika untungnya lumayan, saya berkesimpulan kenapa tidak dipakai sebagai pengahasilan ke dua Saya. Karena ini tidak jauh dengan hobby saya dan juga sangat menyenangkan. Menyenangkan karena bisa mencoba beberapa macam lensa. Dan karena berjualan juga, membuat saya bisa berkenalan dengan rekan-rekan satu hobi. Saya benar-benar seorang hobbyist fotografi yang memotret apa saja. Objek yang paling banyak saya poto adalah jemuran di rumah saya. Jemuran itu Saya gunakan untuk test bokeh dari lensa-lensa manual yang akan Saya jual. Saya juga terpengaruhi oleh hasilhasil teman dari LM.net
Hal 25
Galleries II
Hal 26
Hal 27
Galleries II
Bengkel Opreker
1
Staeble-Kata 2.8/45 Lensa ini berasal dari kamera Braun Super Paxette I, buatan sekitar tahun 1950-an. Kamera Jerman ini merupakan kamera Rangefinder dengan mount ulir M39 yang memiliki flange back 44mm, jarak ini sama seperti yang dimiliki EOS. Staeble Kata 2.8/45mm memiliki susunan lensa Triplet (3 lensa 3 group), susunan lensa yang sangat sederhana. dengan jumlah blade diafragma 10 blade. Susunan lensa triplet sering kita jumpai pada lensa lensa tua, seperti Zeiss Mikrotar 4.5/45, Meyer Trioplan 2.9/50, Meyer Domiplan 2.8/50. Melihat dari jarak flange back yang sama dengan EOS, maka lensa dari Braun Paxette ini bisa dipasang di EOS, dengan bantuan adapter. Walaupun memiliki flange back yang sama, kita juga harus mempertimbangkan ketebalan adapter itu sendiri. Setelah lensa terpasang pada adapter maka jarak flange back akan berubah menjadi 45mm, itu dikarenakan ada penambahan jarak dari ketebalan adapter sekitar 1mm. Dengan adannya penambahan jarak tersebut, mengakibatkan lensa tidak mampu untuk mencapai fokus infinity. Dari kendala tersebut, maka lensa harus ada sedikit modifikasi. Agar jarak flange back 44mm tersebut bisa dicapai normal di body EOS. Berikut foto foto cara modifikasi:
Hal 28
2
Bengkel Opreker
5
3
6
4
7
Hal 29
Bengkel Opreker
8
9
Hal30
Bengkel Opreker
“Melihat dari jarak flange back yang sama dengan EOS, maka lensa dari Braun Paxette ini bisa dipasang di EOS, dengan bantuan adapter”
Hal 31
Bayu Ardhi
[email protected]
www.LensaManual.Net