FENOMENA ALIH KODE BAHASA INDONESIA – BAHASA INGGRIS: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK Yolanda Ryan Armindya, S.Hum Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16431, Indonesia
[email protected]
Abstrak Maraknya program pertukaran pelajar yang diadakan oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta menyebabkan adanya kemungkinan asimilasi budaya, terutama bahasa, oleh para peserta program pertukaran tersebut. Kemungkinan ini diperkuat oleh adanya gejala alih kode yang dilakukan oleh para peserta program pertukaran setelah mereka kembali. Sebagian besar dari mereka melakukan alih kode bahasa Indonesia-Inggris, terutama alumni program pertukaran pelajar yang berasal dari English-speaking countries. Alumni program pertukaran yang masih melakukan alih kode saat sedang bercakap-cakap adalah alumni program pertukaran pelajar di Yayasan Bina Antarbudaya,, khususnya alumni program pertukaran pelajar YES (Youth Exchange and Study). Karena itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti dan mengidentifikasi bentuk alih kode serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori alih kode oleh Gumperz (1982), teori penggunaan campur kode menurut Muysken (2000), serta fungsi-fungsi penggunaan alih kode menurut Holmes (2001) dan Wardhaugh (2002). Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat diidentifikasi 21 alih kode dengan bentuk metaphorical code switching dan 139 campur kode yang sebagian besar dilakukan dalam bentuk insertion. Selain itu, fungsi-fungsi alih kode dan campur kode berdasarkan teori Holmes (2001) dan Wardhaugh (2002) dapat ditemukan dalam ujaran alumni program pertukaran pelajar YES. Kata kunci: alih kode, campur kode, komunitas multibahasa
The Phenomenon of Code Switching on Indonesian – English: A Study of Sociolinguistics Abstract Exchange student programs, held by the government or private organization nowadays, cause the possibility of culture assimilation, especially language toward the returnees. This can be found on the indication of code switching among the returnees after they finished the program. Most of the returnees are those who did the program in one of the English-speaking countries. For instance, YES exchange student program returnees in Yayasan Bina Antarbudaya often switch their language when they speak to other returnees or volunteers in the organization. Therefore, the aims of this research are to analyze and identify the type of code switching as 1 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
well as the factors which influence them to do so. The theories applied for this research are the concept of code switching by Gumperz (1982), the definition of code mixing by Musyken (2000), and the functions of using code switching by Holmes (2001) and Wardhaugh (2002). Based on those theories, it can be concluded that there are 21 metaphorical code switchings and 139 code mixings; mostly on insertion forms. Furthermore, the functions of code switching, told by Holmes (2001) and Wardhaugh (2002), can be proven well. Keywords: code switching, code mixing, multilingual community
Pendahuluan Perkembangan zaman yang semakin pesat memunculkan adanya kebutuhan negara-negara yang ada di dunia untuk saling bekerjasama mempertahankan keharmonisan hubungan satu sama lain untuk tetap dapat menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, interaksi global semakin meningkat. Peningkatan interaksi antar masyarakat di seluruh dunia mendorong terciptanya suatu program dengan tujuan pengenalan terhadap budaya yang ada di dunia. Salah satu bentuk nyata dari program ini adalah program pertukaran pelajar yang sudah banyak dilakukan, baik oleh organisasi-organisasi swadaya, lembaga pendidikan, maupun pemerintah. Tujuan dan lamanya waktu program pertukaran ini bermacam-macam. Maraknya program pertukaran menyebabkan adanya kemungkinan asimilasi budaya, terutama bahasa, oleh para peserta program pertukaran tersebut. Kemungkinan ini diperkuat oleh adanya gejala alih kode yang dilakukan oleh para peserta program pertukaran setelah mereka kembali dari program tersebut. Sebagian besar dari mereka menggunakan alih kode bahasa Indonesia-bahasa Inggris karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sebagian besar penduduk dunia tahu dan mampu menggunakannya dalam bercakap-cakap. Karena itu, walaupun negara dari program pertukaran yang dituju tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu, para peserta ini tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai media komunikasi mereka dengan orang-orang di negara tersebut. Namun, tidak semua alumni program pertukaran ini mampu mempertahankan alih kode saat sedang bercakap-cakap karena situasi dan lawan bicara dapat memengaruhi keputusan mereka untuk melakukan alih kode atau tidak. Alih kode yang muncul saat alumni program pertukaran pelajar sedang bercakap-cakap merupakan suatu fenomena bahasa pada masyarakat luas. Hal ini dikarenakan alih kode merupakan perilaku berbahasa seseorang yang telah banyak ditemukan dan terjadi saat penutur tersebut menyisipkan kata atau frasa dalam bahasa asing ke dalam ujaran pada suatu percakapan. Salah satu perkumpulan alumni program pertukaran yang menggunakan alih kode saat sedang bercakap-cakap adalah alumni program pertukaran pelajar di Yayasan Bina Antarbudaya. Yayasan Bina Antarbudaya adalah sebuah organisasi nirlaba yang memiliki lima belas cabang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan Jakarta sebagaipusatnya. Kegiatan Bina Antarbudaya mencakup beberapa bidang antara lain pengiriman siswa, guru dan relawan Indonesia; penerimaan siswa, guru dan relawan asing dalam berbagai program; pengumpulan dana dan beasiswa, serta pembinaan pelatihan relawan. Keempat bidang tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling menunjang satu sama lain. Dalam program pengiriman siswa, organisasi ini membantu para pelajar SMA yang terpilih dari seluruh daerah di Indonesia untuk menetap di luar negeri selama kurang lebih satu tahun. Negara tujuan program pertukaran ini beragam, mulai dari Asia Pasifik, daratan Amerika, hingga Eropa. Ada dua organisasi internasional yang bekerjasama dengan Yayasan Bina Antarbudaya, yaitu AFS dan YES. AFS (American Field Service) merupakan organisasi internasional yang memiliki misi untuk mewujudkan perdamaian dunia dengan cara saling menghormati dan menghargai kebudayaan yang dimiliki bangsa lain. Karena itu, organisasi ini memprakarsai program pertukaran pelajar ke luar negeri dengan harapan bahwa para pelajar yang merupakan generasi penerus mampu mewujudkan dan mempertahankan perdamaian dunia agar tidak ada lagi terjadinya perang antar bangsa. YES (Youth Exchange and Study) merupakan organisasi serupa yang dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai upaya menjembatani pemahaman dan
2 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
saling pengertian antara masyarakat negara-negara yang memiliki populasi mayoritas umat Islam dengan masyarakat Amerika Serikat. Program ini terbentuk setelah terjadinya tragedi pengeboman 11 September 2001 di gedung World Trade Center, Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat berharap dengan adanya program ini paradigma masyarakat Amerika Serikat terhadap terorisme dan umat muslim dapat diluruskan. Berdasarkan tujuan diadakannya program ini, target utama program pertukaran ini adalah para pelajar SMA yang berasal dari negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Dengan demikian, alumni program pertukaran pelajar di Yayasan Bina Antarbudaya terbagi dua: alumni program pertukaran yang berasal dari non English-speaking countries dan alumni program pertukaran yang berasal dari Englishspeaking countries. Sebagian besar alumni program pertukaran yang berasal dari English-speaking countries merupakan para pelajar yang sebelumnya mengikuti program YES. Program pertukaran pelajar YES ini memiliki jumlah alumni yang lebih banyak dibandingkan dengan program lain. Karena itu, sebagian besar sukarelawan Yayasan Bina Antarbudaya merupakan alumni yang berasal dari program pertukaran pelajar YES. Yayasan Bina Antarbudaya pun menjadi wadah alumni program pertukaran pelajar YES untuk bertemu kembali bahkan bekerjasama untuk membantu menyelenggarakan suatu kegiatan. Adanya kesamaan latar belakang membuat alumni ini menggunakan bahasa Inggris kembali di dalam ujaran mereka saat sedang berada dalam komunitas tersebut. Hal ini menyebabkan perilaku alih kode antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris seringkali muncul dalam ujaran yang diucapkan oleh alumni. Gejala alih kode yang terjadi kemudian menjadi suatu fenomena berbahasa di dalam komunitas ini karena alumni program pertukaran pelajar YES secara aktif melakukan alih kode di dalam ujarannya. Selain itu, alumni program pertukaran pelajar YES melakukan alih kode dengan tujuan yang beragam. Karena itu, hal ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diamati dan diteliti agar fenomena berbahasa yang muncul dapat dilihat secara ilmiah. Konsep Bahasa Bahasa merupakan salah satu alat yang penting untuk berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat. Bahasa juga dapat menjembatani perbedaan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Tidak jarang, bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam percakapan mampu membuat orang lain mengetahui identitas lawan bicaranya tersebut. Kridalaksana dalam Kushartanti, dkk (Ed.) (2005) mengatakan bahwa dalam linguistik yang dimaksud dengan bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk digunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dengan demikian, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem yang memadukan dunia makna dan dunia bunyi. Namun, konsep bahasa dalam sudut pandang sosiolinguistik sedikit berbeda. Downes dalam Gunarwan (2001) menyebutkan bahwa para ahli sosiolinguistik menelaah bahasa sebagai keseluruhan tuturan yang dapat dihasilkan oleh penutur dan petutur di dalam konteks pemakaiannya. Karena itu, ujaran yang dihasilkan mengandungi fungsi sosial baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai cara untuk mengindentifikasikan kelompok sosial. Selain itu, situasi dan kondisi yang dimiliki oleh penutur dapat berpengaruh kepada perilaku bahasa penutur tersebut saat berkomunikasi. Setiap penutur memiliki ciri khas dalam bahasa mereka masing-masing sehingga akan selalu ada perbedaan dalam setiap variasi bahasa yang dituturkan oleh seseorang. Hal yang serupa juga terjadi dengan suatu kelompok sosial. Setiap kelompok sosial memiliki keunikan tersendiri dalam menggunakan bahasa yang dikuasai saat bercakap-cakap dengan anggota kelompok sosial tersebut. Perilaku berbahasa tersebut yang melatarbelakangi penelitian skripsi ini, yaitu untuk mengetahui dan menganalisis lebih lanjut faktor-faktor yang memengaruhi munculnya perilaku berbahasa tertentu oleh penuturnya. Masyarakat Multibahasa Wei (2008) mengatakan bahwa masyarakat multibahasa adalah masyarakat yang mampu berkomunikasi dalam dua atau lebih bahasa, baik secara aktif (dengan berbicara dan menulis) maupun pasif (dengan mendengar dan membaca). Berbeda dengan dwibahasawan, masyarakat multibahasa cenderung lebih fleksibel dengan peralihan suatu bahasa ke
3 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
bahasa lainnya ketika sedang berkomunikasi. Mereka tidak terpaku pada status bahasa tersebut dalam lingkungan sosial karena hal yang terpenting bagi masyarakat multibahasa adalah bagaimana kemampuan bahasa mereka dapat digunakan dengan baik dan seimbang untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada lawan bicara. Oleh karena itu, masyarakat multibahasa dilihat sebagai suatu masyarakat yang lebih terbuka dan terpapar terhadap berbagai jenis bahasa di dalam percakapan-percakapan yang mereka lakukan. Selain itu, Sridhar dalam Wardhaugh (2002) mengungkapkan bahwa masyarakat multibahasa menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memilih menggunakan suatu bahasa dalam satu kondisi dan menggunakan bahasa yang lainnya dalam kondisi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh masyarakat multibahasa dalam berkomunikasi juga memiliki fungsi sosial di dalam pembicaraan yang sedang dilakukan. Wei (2008) menambahkan bahwa kemampuan tersebut merupakan salah satu karakteristik penting yang dimiliki oleh masyarakat multibahasa tersebut. Mereka mampu untuk dengan mudah beralih menggunakan beberapa bahasa dalam suatu pembicaraan. Masyarakat multibahasa biasanya akan berbicara satu bahasa yang ia kuasai dalam waktu tertentu, berperilaku seperti ekabahasawan, lalu beralih menggunakan bahasa lain dalam suatu pembicaraan yang sama. Mereka juga seringkali mencampur bahasa yang dikuasai untuk digunakan saat bercakap-cakap. Hal ini menimbulkan adanya sebuah fenomena bahasa di dalam lingkungan sosial. Salah satu contoh masyarakat multibahasa yang terdapat di Jakarta adalah perkumpulan alumni program pertukaran pelajar di Yayasan Bina Antarbudaya. Program pertukaran pelajar yang mereka ikuti selama kurang lebih satu tahun di luar negeri menyebabkan mereka terpapar lebih dari satu bahasa untuk berkomunikasi. Selain itu, mereka juga mampu, baik secara aktif maupun pasif, untuk menggunakan lebih dari satu atau dua bahasa dan mampu menyeimbangkannya ketika berkomunikasi sehingga informasi yang diucapkan dapat tersampaikan dengan baik. Kecenderungan alumni ini untuk beralih dalam bahasa mereka pada waktu dan kondisi tertentu juga menegaskan bahwa mereka merupakan kelompok masyarakat multibahasa. Mereka bukanlah bagian dari masyarakat dwibahasa karena para alumni ini tidak memiliki kecenderungan untuk menganggap suatu bahasa lebih superior dibandingkan dengan bahasa lainnya.
Metode Penelitian Menurut Coulmas (2005), pelaku alih kode atau campur kode yang ideal adalah para penutur yang sedikitnya menguasai dua bahasa yang secara teratur digunakan untuk bercakap-cakap dalam komunitasnya. Walaupun kedua bahasa tersebut tidak seimbang dalam ujaran yang mereka ucapkan, para pelaku alih kode atau campur kode ini haruslah penutur yang benar-benar fasih pada kedua bahasa tersebut. Selain itu, pelaku alih kode atau campur kode yang ideal biasanya adalah para penutur dwibahasa atau multibahasa yang memang sering berada dalam situasi yang mengharuskan mereka memilih suatu kode atau variasi bahasa untuk berkomunikasi. Saat para penutur ini masuk ke dalam suatu komunitas, perilaku alih kode atau campur kode biasanya terjadi karena di dalam komunitas tersebut ada sebuah tendensi untuk menambahkan norma-norma sosial pada informasi yang disampaikan sehingga secara tidak langsung mengakomodasi penutur untuk melakukan alih kode atau campur kode. Hal ini terjadi pada sebuah perkumpulan alumni program pertukaran pelajar yang berada di Jakarta, Yayasan Bina Antarbudaya. Perkumpulan ini adalah sebuah komunitas yang menaungi alumni program pertukaran pelajar beserta para sukarelawan yang turut membantu dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Bina Antarbudaya. Alumni ini merupakan orang-orang yang berkesempatan tinggal di luar negeri selama kurang lebih satu tahun dan kembali aktif membantu dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya. Mereka cenderung melakukan alih kode atau campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ketika sedang bercakap-cakap, terutama untuk alumni program pertukaran pelajar YES yang berkesempatan menetap di Amerika Serikat selama satu tahun. Makna di balik alih kode dan campur kode di antara alumni program pertukaran pelajar YES ini beragam. Ujaran yang mengandung alih kode dan campur kode di dalamnya merupakan data yang dianalisis untuk mengetahui fungsi dan tujuan di balik alih kode dan
4 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
campur kode tersebut. Selanjutnya, teori-teori mengenai alih kode dan campur kode yang telah dipaparkan sebelumnya akan menjadi acuan dalam menganalisis data tersebut. Data yang digunakan dalam analisis penelitian ini berupa percakapan alumni program pertukaran pelajar YES selama kurun Mei 2013 dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan studi kasus yang diterapkan pada percakapan yang dilakukan oleh alumni program pertukaran pelajar YES. Selanjutnya, digunakan pula metode deskriptif untuk mengolah data yang telah dikumpulkan. Kridalaksana (1978) mengungkapkan bahwa istilah deskriptif dalam penyebutan metode deskriptif mengingatkan pada penyebutan linguistik deskriptif. Hal yang dipentingkan dalam linguistik jenis ini ialah apa yang sebenarnya diungkapkan seseorang, bukan apa yang menurut si penyelidik seharusnya diungkapkan karena tugas kajian linguistik bukanlah menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan apa yang betul dan apa yang salah. Teknik penelitian ini adalah pengamatan secara manunggal. “Pengamatan dilakukan dengan mengamati dan mendalami setiap perilaku penutur dari sebuah peristiwa tutur. Namun, pengamatan manunggal berbeda dari pengamatan biasa karena peneliti masuk sebagai anggota kelompok yang sedang diamati.” (Gunarwan, 2001: 33) Dalam pengamatan ini peneliti tidak hanya mengamati, tetapi menjadi penutur yang turut beralih kode dan dapat diterima sebagai anggota kelompok tersebut. Pengamatan manunggal memiliki kelebihan dari pengamatan biasa karena peneliti dapat memahami peristiwa tutur secara lebih mendalam. Peneliti merupakan salah satu dari sukarelawan Yayasan Bina Antarbudaya turut aktif dalam membantu komunitas ini untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan rutin organisasi tersebut. Pada kegiatan-kegiatan inilah peneliti bertemu dengan alumni program pertukaran pelajar YES yang juga turut membantu jalannya kegiatan tersebut. Ujaran yang dihasilkan dalam percakapan alumni program pertukaran pelajar YES direkam dengan menggunakan telepon seluler. Selain itu, peneliti juga memiliki catatan hasil observasi percakapan tersebut sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini. Selanjutnya, data tersebut disusun berdasarkan waktu berlangsungnya percakapan yang terjadi pada periode Mei 2013. Data yang telah terkumpul didengarkan kembali untuk dicatat dalam bentuk tulisan sehingga dapat dengan mudah ditemukan proses alih kode dan campur kode yang terjadi Transkrip percakapan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu sebuah metode yang hanya menganalisis data yang telah dikumpulkan dan tersedia untuk diteliti, dalam hal ini adalah ujaran yang diucapkan oleh alumni program pertukaran pelajar YES. Ujaran yang dikumpulkan dan dicatat adalah ujaran yang hanya mengandung dua bahasa di dalamnya, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dari ujaran tersebut, ujaran yang mengandung alih kode dan campur kode diberi tanda cetak tebal dan cetak miring lalu dianalisis lebih lanjut untuk melihat proses terjadinya peralihan kode. Selain itu, peneliti menggunakan metode studi literatur untuk mengidentifikasi bentuk alih kode dan campur kode serta menjelaskan fungsi-fungsi sosial alih kode dan campur kode yang terjadi. Teori alih kode yang diungkapkan oleh Gumperz (1982) dijadikan acuan untuk menganalisis gejala-gejala yang terjadi dalam proses munculnya alih kode dan bentuk alih kode yang terdapat dalam suatu ujaran. Sementara itu, untuk mengidentifikasi proses campur kode dan bentuk campur kode yang muncul pada suatu percakapan digunakan teori yang diungkapkan oleh Muysken (2000). Analisis berikutnya adalah identifikasi fungsi atau tujuan alih kode dan campur kode pada ujaran alumni program pertukaran pelajar YES. Konsep-konsep yang diungkapkan oleh Holmes (2001) dan Wardhaugh (2002) menjadi acuan untuk menentukan fungsi dan tujuan alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh alumni program pertukaran pelajar YES ketika sedang bercakap-cakap. Dengan demikian, proses dan bentuk alih kode atau campur kode yang terjadi serta tujuan di balik alih kode atau campur kode yang teridentifikasi digunakan untuk menarik kesimpulan dalam penelitian ini.
Alih Kode Bahasa merupakan aspek yang vital dalam berkomunikasi sehingga perilaku berbahasa seseorang dapat dilihat sebagai sebuah fenomena sosial. Selain itu, adanya hubungan antara pemilihan bahasa seorang penutur dengan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam informasi yang disampaikan menyebabkan penutur tersebut sadar bahwa sebuah strategi
5 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
diperlukan untuk menentukan bahasa yang digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam lingkup masyarakat multibahasa ketika mereka harus memilih dengan tepat bahasa yang mereka gunakan agar informasi dapat tersampaikan dengan jelas kepada lawan bicara. Coulmas (2005) menggunakan istilah code (kode), yaitu sebuah bentuk sarana komunikasi yang dapat berupa bahasa atau variasi dari suatu bahasa, untuk mewakili pilihan bahasa yang digunakan oleh seorang penutur multibahasa dalam berkomunikasi. Ketika seorang penutur beralih dari satu bahasa ke bahasa lain yang juga dikuasainya pada suatu ujaran, penutur telah melakukan alih kode di dalam percakapan tersebut. Poplack mengutip Myers-Scotton (1993) dalam Brezjanovic-Shogren (2011), ada tiga jenis alih kode yang dapat ditemukan dalam masyarakat: a. Tag switching Suatu kondisi saat penutur menyertakan sebuah bentuk tegun (tag atau sentence filler) dengan menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa yang digunakan sebelumnya. Bentuk tegun adalah suatu kata atau frasa yang biasa diucapkan oleh seseorang sebagai penanda sesuatu dan disisipkan di dalam ujarannya dengan tidak mengubah makna ujaran tersebut. Hal ini biasa ditemukan saat seorang penutur menggunakan dua bahasa berbeda dengan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, misalnya menggunakan kata-kata “you know” “I mean” ketika sedang mendeskripsikan sesuatu. A B
: Apa yang kamu ketahui tentang pernikahan kedua tetanggamu itu? : Biasalah… turun ranjang, you know, nikah sama adik mendiang istrinya. b. Intersentential switching
Intersentential switching adalah salah satu bentuk alih kode saat penutur beralih bahasa pada satu kalimat di antara dua klausa atau di antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Coulmas (2005) menggunakan istilah lain untuk menyebut jenis alih kode ini yaitu code switching. Selanjutnya, Coulmas (2005) mengungkapkan bahwa sebuah situasi saat para penutur multibahasa tahu bahwa ada dua jenis kode yang mereka gunakan saat sedang bercakap-cakap, disebut dengan code switching atau dalam bahasa Indonesia sering disebut juga dengan alih kode. Kadangkala, kemunculan alih kode tidak disadari oleh para penutur karena alih kode telah biasa terjadi dan dilakukan secara terus-menerus dalam percakapan yang sedang berlangsung. Di samping itu, perilaku alih kode merupakan sebuah strategi kontrol bahasa yang dilakukan oleh seorang penutur multibahasa ketika sedang bercakap-cakap. Selanjutnya, perilaku alih kode ini dilihat sebagai sebuah kemampuan berbahasa seorang individu sehingga tidak ada aturan atau kaidah berbahasa yang mengikat pelaku alih kode ketika sedang bercakap-cakap. Para pelaku alih kode ini membentuk sebuah lingkungan yang lebih luas dengan strategi kontrol bahasa yang mereka kuasai sehingga dapat juga mengatasi masalah komunikasi yang kerap terjadi akibat adanya perbedaan bahasa antara pembicara dan lawan bicara. Sebagai tambahan, para pelaku alih kode ini tidak bermaksud untuk melakukan dominasi suatu bahasa terhadap bahasa lainnya karena mereka melakukan alih kode bergantung kepada situasi dan kondisi saat mereka sedang bercakapcakap. Salah satu contoh percakapan yang mengandung bentuk alih kode dalam Holmes (2001) : [bahasa Maori yang diucapkan diberi tanda cetak miring dan terjemahannya dituliskan dalam huruf capital] Sarah John Sarah
: I think everyone‟s here except Mere. : She said she might be a bit late but actually I think that‟s her arriving now. : You‟re right. Kia ora Mere. Haere mai. Kei tei pehea koe? [HI MERE. COME IN. HOW ARE YOU?]
6 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Mere : Kia ora e hoa. Kei te pai. Have you started yet? [HELLO MY FRIEND. I‟M FINE] Walaupun rapat yang akan berlangsung menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi, Sarah menggunakan bahasa Maori saat menyapa Mere. Hal ini menandakan bahwa Sarah menyadari kehadiran Mere sebagai penutur yang baru bergabung dalam percakapan tersebut. Mere adalah orang Maori sehingga Sarah memutuskan untuk menyapa Mere dengan menggunakan bahasa Maori sebagai bentuk keakraban. Hal ini juga menandakan bahwa alih kode muncul sebagai akibat dari hadirnya orang baru dalam sebuah pembicaraan. c. Intrasentential switching Intrasentential switching adalah bentuk alih kode yang terjadi di dalam satu kalimat, biasanya muncul di dalam satu klausa. Jenis alih kode ini biasanya dipilih untuk digunakan dalam analisis perilaku berbahasa yang terkait dengan pola moprho-syntactic. Pada bentuk alih kode ini, bahasa lain yang dikuasai oleh penutur akan disisipkan di antara frasa dalam satu klausa yang diucapkan dalam bahasa ibu penutur tersebut. Dengan kata lain,dalam bentuk alih kode ini penutur mencampur satu bahasa dengan bahasa yang lain di dalam klausa pada ujaran yang ia tuturkan. Coulmas (2005) menggunakan istilah code mixing untuk membedakan bentuk alih kode ini dengan bentuk yang lainnya. Karena itu, istilah intrasentential switching dalam bahasa Indonesia adalah campur kode. Selanjutnya, Meyerhoff menambahkan bahwa campur kode merupakan suatu proses yang dinamis karena ketika campur kode muncul dalam sebuah percakapan, penutur maupun petutur akan cenderung melakukan campur kode secara terus-menerus di dalam percakapan tersebut. Hal ini menimbulkan sebuah anggapan bahwa campur kode dilakukan sebagai penanda keakraban pembicara dan lawan bicara. Salah satu contoh campur kode yang terjadi adalah ujaran dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai berikut: A : Lisa, apakah masih ingat waktu di SMA … guru Inggris kita, Pak Darjis tanya ke kamu begini: “Lisa, when do you use the present future tense?” Lalu kamu tidak bisa menjawab. Ingat tidak … ingat tidak? Akhirnya Pak Darjis dengan kesal berkata: “Okay Lisa, get out!” B : Sama sekali tidak. Pengalaman pertama … saya langsung ditugaskan untuk interview di airport … menterimenteri dari luar negeri datang … saya harus memberi press conference. Nah, saya adalah wakil dari TVRI. Untung ada bapaknya teman saya .. Oom Soehadirman. “Oom saya harus tanya apa ya?” “Well, you ask about this and this … this.” (Satiani, 1985) Pada contoh tersebut terlihat jelas bahwa kedua penutur adalah teman lama sehingga campur kode yang muncul disebabkan oleh kedua penutur yang telah mengetahui latar belakang mereka masing-masing sehingga keduanya tidak segan lagi untuk melakukan campur kode. Di samping itu, campur kode juga terjadi akibat penutur A melakukan campur kode terlebih dahulu sehingga penutur B pun menanggapi dengan melakukan hal yang serupa. Adapun Gumperz (1982) mengatakan bahwa alih kode adalah sebuah penjajaran dua bentuk tata bahasa yang berbeda dalam satu ujaran.. Fungsi dari kode yang berbeda ini adalah untuk menyatukan ujaran tersebur agar dapat membentuk satu bagian informasi atau pesan yang utuh walaupun terdapat lebih dari satu tata bahasa yang berbeda pada ujaran tersebut. Selain itu, Gumperz (1982) mengatakan bahwa ada dua bentuk alih kode yang dapat ditemukan dalam suatu percakapan: a) Situational code switching, suatu bentuk alih kode yang terjadi karena pengaruh keadaan atau situasi pada sebuah percakapan. Hal ini menyebabkan para penutur menggunakan kode yang berbeda-beda setiap adanya perubahan situasi atau tempat pembicaraan. Alih kode tipe ini biasanya lebih mudah diidentifikasi karena peneliti cukup melihat situasi yang menjadi tempat terjadinya pembicaraan lalu peneliti dapat mengamati kode atau bahasa yang digunakan pada situasi tersebut. Setelah itu, penelitian berlanjut dengan mengamati perilaku bahasa penutur tersebut saat situasi percakapan
7 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
berubah. Hal ini biasanya menyebabkan penutur beralih kode dengan menggunakan bahasa yang lain. Kadangkala, situasi tempat terjadinya percakapan tersebut sudah ditentukan oleh suatu lingkungan sosial sehingga pihak lain dapat mengajari atau memberi tahu penutur untuk menggunakan kode atau bahasa tertentu pada situasi tersebut, misalnya upacara adat tradisional dan upacara keagamaan. b) Metaphorical code switching, bentuk alih kode yang terjadi karena adanya perubahan topik pembicaraan yang melibatkan penutur tersebut. Seorang penutur akan menggunakan dua atau lebih bahasa yang berbeda untuk dua atau lebih topik yang berbeda pula. Ketika penutur tersebut beralih kode, suasana yang terjadi di dalam percakapan tersebut pun berubah, misalnya suasana formal menjadi informal, suasana yang resmi menjadi lebih personal dan santai, sauasana yang serius menjadi lebih penuh dengan humor, dan suasana yang lekat dengan sopan santun menjadi suasana yang terjalin dengan lebih akrab. Selain itu, kode atau bahasa yang digunakan juga memiliki makna dan nilai sosial tertentu dalam suatu percakapan yang sedang berlangsung.
Campur Kode Seperti yang telah dibahas sebelumnya, campur kode adalah salah satu bentuk alih kode intrasentential code switching. Menurut Hudson (1996), campur kode terjadi ketika seorang penutur dwibahasa atau multibahasa bertemu dengan penutur lain yang juga menguasai lebih dari satu jenis bahasa untuk bercakap-cakap sehingga perilaku campur kode ini muncul sebagai bagian dari ujaran yang diucapkan dalam percakapan tersebut. Selanjutnya, para penutur tersebut harus menyeimbangkan dua bahasa atau dua kode yang paling sering digunakan ketika melakukan campur kode agar tujuan dari campur kode ini dapat tersampaikan tanpa mengubah maksud dari isi percakapan. Misalnya, beberapa kata diujarkan dalam suatu bahasa, kemudian beberapa kata yang muncul setelahnya berasal dari bahasa yang lain, setelah itu kembali lagi bercakap-cakap menggunakan bahasa yang pertama kali digunakan, dan seterusnya. Berikut adalah contoh ujaran yang ditemukan oleh Labov dalam penelitiannya terhadap seorang penutur asal Puerto Rico yang tinggal di New York dan kemudian dikutip dalam Hudson (1996): Por eso cada [therefore each . . .], you know it‟s nothing to be proud of, porque yo no estoy [because I‟m not] proud of it, as a matter of fact I hate it, pero viene Vierne y Sabado yo estoy, tu me ve hancia mi, sola [but come Friday and Saturday I am, you see me, you look at me, alone] with a, aqui solita, a veces que Frankie me déjà [here alone, sometimes Frankie leaves me], you know a stick or something . . . Contoh di atas menunjukkan bahwa penutur tersebut secara teratur melakukan campur kode antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Perilaku campur kode pada ujaran tersebut pun terlihat seimbang. Selain itu, dapat dianalisis pula bahwa ujaran yang dihasilkan bebas dari kaidah tata bahasa yang berlaku, misalnya kata kerja estoy (dalam bahasa Spanyol) „am‟ seharusnya diikuti oleh kata sifat dalam bahasa yang sama, tetapi pada kenyataannya kata tersebut diikuti oleh kata sifat dalam bahasa Inggris „proud‟. Hal ini disebabkan oleh motivasi sosial penutur untuk menekankan beberapa kata agar makna ujaran yang ingin ia utarakan dapat tersampaikan dengan jelas. Selain itu, ada konsep campur kode lain yang diungkapkan oleh Muysken (2000). Ia mendeskripsikan campur kode sebagai perilaku dua bahasa dalam suatu ujaran ketika unsur-unsur leksikal dalam dua bahasa tersebut bergabung ke dalam satu struktur bahasa yang digunakan dalam ujaran tersebut. Muysken membagi proses terjadinya campur kode ke dalam tiga bentuk sebagai berikut: a) Insertion. Bentuk campur kode ini muncul ketika ada unsur leksikal dari suatu bahasa yang masuk dan bergabung ke dalam sistem gramatikal bahasa lain yang sedang digunakan untuk berkomunikasi. Dengan kata lain, bentuk campur kode ini merupakan penyisipan unsur bahasa lain, dalam padanan kata atau frasa, ke dalam suatu ujaran dengan tidak mengubah struktur tata bahasa ujaran tersebut. Ada empat tipe insertion yang biasa ditemukan pada suatu ujaran:
8 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
1. 2. 3. 4.
N insertion, bentuk penyisipan kata benda dari suatu bahasa ke dalam struktur tata bahasa lain pada satu ujaran. NP insertion, bentuk penyisipan frasa nomina, yang terdiri dari kata sifat+kata benda atau kata benda+pelengkap, dari suatu bahasa ke dalam struktur tata bahasa lain pada satu ujaran. DGNP insertion, bentuk penyisipan frasa nomina yang menyatakan jumlah, gender, dan definiteness dari suatu bahasa ke dalam bentuk struktur tata bahasa lain pada satu ujaran. DP insertion, bentuk penyisipan frasa determiner dari suatu bahasa ke dalam struktur tata bahasa lain pada satu ujaran.
Berikut adalah diagram proses terjadinya insertion pada suatu ujaran.
Diagram 1 Insertion Sumber: Musyken (2000, p.7) dalam Brezjanovic-Shorgen (2011) Pada diagram ini, “a” menggambarkan unsur leksikal L1 (bahasa ibu penutur) dan “b” menggambarkan unsur leksikal L2 (bahasa lain yang dikuasai selain bahasa ibu) yang disisipkan ke dalam suatu ujaran oleh penutur pada percakapan yang ia lakukan. Bentuk campur kode insertion dapat dilihat dalam contoh di bawah ini: Contoh 1 Campur kode muncul ketika seorang penutur asli bahasa Spanyol datang kepada salah satu peneliti untuk mendiskusikan makalah yang ia kerjakan dalam satu kelas yang sedang diambilnya. Ia dan peneliti tersebut memiliki kesamaan latar belakang penguasaan bahasa sehingga penutur tersebut secara tidak sadar menyisipkan unsur leksikal bahasa Inggris ke dalam ujaran bahasa Spanyol yang ia ucapkan. B: “Pero bueno creo que basta con que incluya la pregunta de enhanced output más todas las demás.” (Well, I think it is enough if I just include the question of enhanced output.) Contoh 2 Campur kode muncul ketika para peserta tutur yang merupakan penutur asli bahasa Indonesia membicarakan faktor-faktor yang menyebabkan adanya kenaikan tiket untuk menonton liga basket NBA. B: “Tergantung team, terus juga tergantung event. (It depends on the team and on the event.) b) Alternation. Bentuk campur kode ini muncul ketika terdapat perubahan struktur dua bahasa yang berbeda, baik sistem tata bahasa maupun perbendaharaan kata, yang tidak mudah terdeteksi karena sudah melebur ke dalam satu ujaran dalam suatu percakapan. Dengan kata lain, alternation merupakan campur kode yang terjadi saat dua bahasa yang berbeda digunakan dalam suatu klausa dengan bentuk susunan kata yang sejajar antar kedua bahasa tersebut. Berikut adalah diagram bentuk campur kode ini. .
9 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Diagram 2 Alternation Sumber: Musyken (2000, p.7) dalam Brezjanovic-Shorgen (2011) Pada diagram ini, A dan B menggambarkan struktur dua bahasa yang berbeda yang digunakan oleh penutur di dalam satu ujarannya. Bentuk campur kode alternation dapat dilihat dengan jelas melalui contoh di bawah ini: Contoh 1 Campur kode muncul ketika seorang peneliti memberikan pujian terhadap foto sepeda baru yang dimiliki oleh penutur asli bahasa Spanyol tersebut. Penutur ini merespon pernyataan tersebut dengan menggunakan bahasa Inggris pada bagian pertama kalimat yang diucapkannya, tetapi ia mengubah kode menjadi bahasa Spanyol saat ia menemui kesulitan untuk menterjemahkan frase “pretty girl”. B: “I just have it in my room like a niña bonita como debe ser.” (I just have it in my room like a girl pretty as it should be.) Contoh 2 Campur kode muncul ketika para penutur asli bahasa Indonesia berbicara mengenai pilihan kalimat yang harus dituliskan pada sebuah makalah yang harus segera dikumpulkan. Salah satu penutur menggunakan kata-kata “I mean” untuk memberi penekanan kepada kata-kata yang selanjutnya akan diucapkan olehnya dalam satu ujaran. B: “I mean, ganti ke kalimat laen.” (I mean, change it to another sentence.) c) Congruent lexicalization. Bentuk campur kode ini muncul saat penutur memadupadankan dua sistem tata bahasa yang berbeda tanpa mengubah struktur kalimat dengan cara menyisipkan unsur-unsur leksikal dari kedua bahasa tersebut. Dengan kata lain, congruent lexicalization adalah bentuk campur kode di dalam sebuah ujaran yang mengandung beragam perbendaharaan kata dari bahasa yang berbeda tetapi tetap dapat membentuk suatu informasi yang utuh karena adanya sistem tata bahasa secara bersama. Hal yang menonjol dalam bentuk campur kode ini adalah frekuensi kemunculan unsurunsur leksikal tersebut. Suatu ujaran dikatakan mengandung bentuk campur kode apabila kemunculan unsur-unsur leksikal dari bahasa yang berbeda lebih dari dua kali sehingga terkesan bergantian secara terus-menerus dengan bahasa lainnya. Berikut adalah diagram proses terjadinya congruent lexicalization pada sebuah ujaran.
Diagram 3 Congruent Lexicalization Sumber: Musyken (2000, p.7) dalam Brezjanovic-Shorgen (2011)
10 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Pada diagram ini, bahasa A dan bahasa B yang memiliki dua sistem tata bahasa berbeda dapat bergabung dalam satu ujaran karena adanya penyisipan unsur leksikal bahasa A, yaitu “a”, dan unsur-unsur leksikal bahasa B, yaitu “b” di dalam ujaran tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam contoh berikut: Contoh 1 Campur kode muncul ketika seorang penutur menjelaskan proses ketika ia mengakses jaringan internet menggunakan telepon genggam. B: “Gue konek pake cellp gue.” (I connected using my cell phone.) Contoh 2 Campur kode muncul ketika penutur ingin memberitahu lawan bicaranya bahwa program komputer yang biasa ia gunakan sebagai konvertor telah berakhir masa berlakunya. B: “Software gua buat convert file wav jadi mp3 gua udah expired.” (My software for converting wav files to mp3 has expired.) Dengan demikian, campur kode merupakan suatu fenomena peralihan kode atau bahasa yang dilakukan oleh penutur dalam satu ujaran sehingga hal yang menjadi tolok ukur dalam proses campur kode adalah bentuk leksikal dan sistem gramatikal bahasa yang digunakan. Para penutur tidak mengubah struktur tata bahasa yang ada, tetapi mereka berusaha untuk mempertahankan struktur tersebut dengan menyisipkan unsur leksikal bahasa lain agar informasi yang disampaikan melalui ujaran tersebut dapat dimengerti dengan baik. Selain itu, campur kode juga dapat terjadi karena adanya dua hal: penutur mengetahui bahwa ia dan petutur memiliki kesamaan latar belakang bahasa atau penutur tersebut secara sengaja ingin menunjukkan bahwa ia telah terbiasa menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi sehingga campur kode seringkali muncul dalam setiap ujaran. Pada akhirnya, teori campur kode yang digunakan dalam analisis penelitian ini adalah teori yang diungkapkan oleh Pieter Muysken. Muysken (2000) mengatakan bahwa campur kode merupakan suatu fenomena bahasa yang terjadi dalam suatu ujaran dengan melibatkan usnur-unsur leksikal dari dua bahasa berbeda yang bergabung ke dalam satu struktur bahasa yang sedang digunakan. Dengan kata lain, Musyken mampu menegaskan perbedaan campur kode dari alih kode, yaitu perilaku campur kode muncul pada tingkat tataran kata dan frasa. Selanjutnya, pembagian bentuk campur kode beserta diagram yang diungkapkan oleh Muysken mampu memudahkan peneliti dalam membedakan bentuk-bentuk campur kode yang terjadi dalam suatu ujaran.
Fungsi Alih Kode dan Campur Kode Wardhaugh (2002) menuliskan bahwa ada pula fungsi sosial yang dibawa oleh penutur ketika ia melakukan alih kode atau campur kode, yaitu: 1) menyatakan kuasa (assert power), 2) memperlihatkan adanya keakraban (declare solidarity), 3) menjaga kenetralan suatu ujaran ketika dua kode digunakan (maintain a certain neutrality when both codes are used), 4) mengungkapkan sebuah identitas (express identity).
11 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Selain itu, ada beberapa fungsi sosial yang ditambahkan oleh Holmes (2001) sebagai berikut: 1) menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan penutur kepada lawan bicara (express disapproval- may code switch because of anger), 2) menunjukkan ada makna tersirat di balik penyampaian informasi (convey affective meaning as well as information), 3) memperkaya bentuk komunikasi (enrich the communication), 4) menekankan konten tertentu dalam percakapan (emphasize the relation to the symbolic or social meaning).
Analisis dan Interpretasi Data Percakapan alumni program pertukaran pelajar YES yang menjadi data pada penelitian ini adalah percakapan yang terjadi pada bulan Mei 2013 dalam rapat-rapat rutin yang diadakan menjelang persiapan beberapa kegiatan yang akan diadakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya. Alih kode yang muncul pada percakapan tersebut dianalisis dengan teori yang diungkapkan oleh Gumperz (1982) sebagai acuan.campur kode yang muncul pada percakapan tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep mengenai campur kode yang dikemukakan oleh Muysken (2000). Selanjutnya, tujuan alih kode maupun campur kode diidentifikasi berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Holmes (2001) dan Wardhaugh (2002). Sementara itu, data yang ditampilkan adalah ujaran yang mengandung alih kode dan campur kode bahasa Indonesia – Inggris saja. Ada sebanyak 51 ujaran pada data 1 dan 50 ujaran pada data 2 yang di dalamnya mengandung bentuk alih kode atau campur kode. Dari ujaran tersebut dapat diketahui pula fungsi alih kode atau campur kode yang dilakukan oleh panutur di dalam percakapan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa di dalam ujaran tersebut terdapat 21 alih kode dan 139 campur kode. Bentuk dan tujuan alih kode dan campur kode pun beragam. Berikut adalah tabulasi alih kode dan campur kode dalam ujaran alumni program pertukaran pelajar YES. Tabel 1 Fenomena alih kode dan tujuan alih kode dalam ujaran alumni program pertukaran pelajar YES.
BENTUK ALIH KODE
UJARAN DATA 1
UJARAN DATA 2
Situational code switching
Tidak ditemukan adanya ujaran yang sesuai dengan bentuk alih kode ini.
Tidak ditemukan adanya ujaran yang sesuai dengan bentuk alih kode ini.
Metaphorical code switching
18, 30, 31, 32, 33, 36, 40, 44, 51
5, 6, 7, 17, 21, 28, 30, 31, 45, 46, 52, 53
UJARAN DATA 1
UJARAN DATA 2
33, 44, 51
5, 17, 46
TUJUAN ALIH KODE Menunjukan ketidaksetujuan penutur kepada lawan bicara. Menunjukkan adanya makna tersirat di balik penyampaian informasi.
12 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Menekankan konten atau informasi tertentu di dalam ujaran.
30, 32, 36, 40
6, 21, 28, 45, 52, 53
Tabel 2 Fenomena campur kode dan tujuan campur kode dalam ujaran alumni program pertukaran pelajar YES. BENTUK CAMPUR KODE
UJARAN DATA 1
UJARAN DATA 2
Insertion
1, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 15, 16, 17, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 38, 39, 41, 42, 43, 45, 47, 48, 50
1, 3, 4, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 23, 24, 26, 27, 29, 32, 33, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 47, 49, 51, 55
Alternation
15, 19, 23, 45
2, 8, 11, 18, 20, 22, 37, 42, 55
Congruent Lexicalization
2, 5, 11, 13, 14, 22, 28, 37, 46, 49
25, 34, 35, 36, 48, 50, 54
UJARAN DATA 1
UJARAN DATA 2
Menunjukkan adanya makna tersirat di balik penyampaian informasi.
7, 14, 17
14
Memperkaya bentuk komunikasi.
1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 12, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 23, 27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 50
2, 3, 8, 9, 12, 13, 19, 20, 22, 23, 26, 29, 32, 35, 36, 37, 38, 54
Menekankan konten atau informasi tertentu dalam percakapan.
1, 2, 3, 6, 11, 14, 15, 17, 22, 23, 29, 43, 49, 50
1, 10, 14, 15, 16, 24, 25, 33, 34, 48, 50, 54
TUJUAN CAMPUR KODE Menunjukkan ketidaksetujuan penutur kepada lawan bicara.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada beberapa ujaran tidak hanya satu bentuk alih kode dan campur kode yang dapat ditemukan, melainkan terdapat dua atau lebih bentuk alih kode dan campur kode dalam satu ujaran. Selain itu, tabel tersebut menunjukkan adanya persamaan antara dua data, yaitu alumni program pertukaran pelajar YES lebih banyak menggunakan campur kode. Bentuk campur kode yang paling banyak ditemukan pada kedua data tersebut adalah insertion. Selanjutnya, tujuan yang paling sering terlihat dari alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh para penutur adalah memperkaya bentuk komunikasi. Hal ini menandakan bahwa penutur tidak ingin kehilangan kemampuan dalam menggunakan perbendaharaan kata bahasa Inggris di dalam ujaran sehingga mereka melakukan alih kode atau pun campur kode dengan banyak menyisipkan unsur leksikal bahasa Inggris dalam struktur kalimat yang mereka ucapkan. Dalam beberapa ujaran juga ditemukan campur kode pada tingkat bentuk tegun, seperti okay, well, dan wait a minute. Campur
13 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
kode pada tingkatan tersebut berfungsi sebagai penarik perhatian lawan bicara agar dapat menyimak penutur dengan seksama. Sementara itu, hanya terdapat satu bentuk alih kode pada kedua data analisis, yaitu bentuk metaphorical code switching. Hal ini dikarenakan perubahan situasi atau pun peserta tutur tidak berubah sampai akhir percakapan sehingga satusatunya alasan mereka melakukan alih kode adalah perubahan topik pembicaraan. Selain itu, ujaran dengan bentuk alih kode ini memiliki makna dan nilai sosial tertentu, bergantung kepada konteks pembicaraan dan alur pembicaraan tersebut. Pada bentuk alih kode tidak ditemukan fungsi memperkaya bentuk komunikasi. Hal ini dikarenakan alih kode yang dilakukan sebagian besar bertujuan menekankan suatu konten atau informasi tertentu dalam percakapan. Selain itu, semua ujaran yang terdapat pada data 1 dan 2 mengandung tiga dari empat fungsi campur kode dan alih kode yang diungkapkan oleh Wardhaugh (2002). Fungsi-fungsi yang dapat ditemukan adalah: 1.
Memperlihatkan adanya keakraban (declare solidarity).
2.
Menjaga kenetralan suatu ujaran ketika dua kode digunakan (maintain a certain neutrality when both codes are used).
3.
Mengungkapkan sebuah identitas (express identity).
Fenomena alih kode dan campur kode untuk memperlihatkan keakraban dapat dilihat melalui unsur leksikal yang muncul di dalam ujaran alumni tersebut adalah jenis bahasa Indonesia dan bahasa Inggris populer. Mereka tidak terlalu memperhatikan tata bahasa dalam ujaran yang diucapkan karena mereka sudah mengenal satu sama lain dan memiliki hubungan yang intim. Selain itu, alumni sudah saling mengetahui ada beberapa kata dalam bahasa Inggris yang lebih lazim digunakan dalam komunitas tersebut sehingga alih kode dan campur kode tidak dapat dihindari. Dengan demikian, berdasarkan teori Gumperz (1982), alih kode yang terjadi di antara alumni program pertukaran pelajar YES adalah “we code”. Selain memperlihatkan keakraban, tipe alih kode ini juga digunakan untuk menunjukkan bahwa penutur merupakan bagian dari komunitas tersebut. Pada akhirnya, alih kode dan campur kode dapat berfungsi untuk menunjukkan identitas sebuah kelompok atau komunitas, dalam hal ini kelompok alumni program pertukaran pelajar YES yang masih aktif berpartisipasi dalam kegiatan sukarelawan yang diadakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya. Sementara itu, fungsi menyatakan kuasa (assert power) tidak ditemukan dalam ujaran pada data 1 dan 2. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat sehingga semua penutur memiliki posisi dan status yang sama di dalam percakapan yang mereka lakukan. Dengan demikian, alih kode dan campur kode bahasa Indonesia – bahasa Inggris oleh alumni program pertukaran pelajar YES dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: 1.
Adanya sebuah wadah untuk bertemu dengan alumni lainnya menyebabkan mereka untuk kembali mengingat program yang pernah diikuti sehingga berdampak juga terhadap bahasa di dalam ujaran yang mereka ucapkan.
2.
Hubungan keakraban yang terjalin antar sesama alumni yang masih aktif berpartisipasi menjadi sukarelawan di Yayasan Bina Antarbudaya menyebabkan penutur ingin mengungkapkan identitas bahwa ia adalah bagian dari komunitas multibahasa tersebut.
14 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Daftar Acuan Ariastuti, Marti Fauziah. (1996). Alih Kode dan Campur Kode dalam novel Vilette. Skripsi. Depok. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beardsmore, Baetens. (1982). Bilingualism Basic Principles. Clevedon: Multilinguals Matters. Brezjanovic-Shogren, Jelena. (2002). Analysis of Code-Switching and Code-Mixing among Bilingual Children: Two Cases Studies of Serbian-English Language Interaction. Tesis. Wichita State University. Cárdenas-Claros, Mónica Stella, Neny Isharyanti. (2009). Code Switching and Code Mixing in Internet chatting: between „yes‟, „ya‟, and „si‟ A Case Study. Jaltcall Journal. vol.5, no.3, 67-78. Coulmas, Florian. (2005). Sociolinguistics: The Study of Speakers’Choices. Cambridge: Cambridge University Press. Grosjean, F. (1982). Life with Two Languages. Massachusetts: Harvard University Press. Gumperz, J.J. (1982). Discourse Strategies. Cambridge: Cambridge University Press. Gunarwan, Asim. (2001). Pengantar Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Holmet, James. (2001). An Introduction to Sociolinguistic. New Zealand: Pearson Education Limited. Hudson, Richard A. (1996). Sociolinguistics. (Ed. ke 2). Cambridge: Press Syndicate of the University of Cambridge. Kridalaksana, Harimurti. (1978). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah. Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka utama. Mackey, William. (2002). “The description of bilingualism”. dalam Wei, Li. The Bilingualism Reader. London: Routledge. Meyerhoff, Miriam. (2006). Introducing Sociolinguistics. New York: Routledge. Milroy, Lesley, Matthew Gordon. (2003). Sociolinguistics: Method and Interpretation. Massachusetts: Blackwell. Muysken, Pieter. (2000). Bilingual Speech: A Typology of Code Mixing. Cambridge: Cambridge University Press. Myers-Scotton, Carol. (1993b). Social Motivation for Code Switching: Evidence from
15 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia
Africa. Oxford: Clarendon Press. Prasetia, Agung. (2007). Campur Kode Kata Bahasa Inggris pada Percakapan Antartokoh dalam Teenlit. Skripsi. Depok. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Satiani, Aria. (1985). Alih Kode: Suatu Studi Kasus. Skripsi. Depok. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Wardhaugh, Ronald. (2002). An Introduction to Sociolinguistics. (Ed. ke 4). Massachusetts: Blackwell. Wei, Li. (2002). The Bilingualism Reader. London: Routledge. Yayasan Bina Antarbudaya. Going abroad: KL-YES program. 09 Juni 2013. http://www.bina-antarbudaya.info/goingabroad/kl-yes-program/
16 Fenomena alih..., Yolanda Ryan Armindya, FIB UI, 2013
Universitas Indonesia