3
ALIH KODE BAHASA INDONESIA, INGGRIS, DAN JEPANG DALAM KOMUNIKASI DI PT SUZUKI INDOMOBIL MOTOR Elsa Sepditia Prathama, S.Hum & Bulayat Cornelius Sembiring, M.A. Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424. Indonesia. E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas masalah alih kode yang terjadi di PT Suzuki Indomobil Motor. Dua pembahasaan utama yang ditelaah dalam masalah alih kode ini adalah jenis-jenis alih kode dan faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode. Teori mengenai kedwibahasaan dan keanekabahasaan, fungsi dan ragam bahasa, kode, ubah kode, alih kode, campur kode, borrowing, sikap bahasa, dan accommodation theory digunakan dalam menganalisis masalah alih kode ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner, wawancara, observasi, simak, dan catat. Data disajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah dalam menganalisis masalah alih kode. Hasil penelitian menemukan bahwa alih kode bahasa Indonesia dan Inggris lebih dominan digunakan dalam berkomunikasi, daripada alih kode bahasa Inggris dan Jepang, serta bahasa Indonesia dan Jepang.
Abstract The focus of this study is code-switching among the employees in PT Suzuki Indomobil Motor. Some types of code-switching and the factors that cause code-switching are two main problems of this study. Some theories, such bilingualism and multilingualism, language function and variety, code, code-alternation, code-switching, code-mixing, borrowing, language attitude, and language attitude are used to analyze the problem of code-switching. Questionnaire, interview and observation are technics that used to collect the data. This study found that code switching of Indonesian and English language is more dominant than code switching of English and Japanese language, also Japanese and Indonesia language.
KEYWORDS: Code-switching, Indonesian, English, and Japanese Language, PT Suzuki Indomobil Motor
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
4
Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting untuk berinteraksi antarindividu. Oleh sebab itu, setiap individu memiliki kemampuan untuk menguasai satu bahasa yang disebut dengan ekabahasawan (monolingual). Wardhaugh (1998) menyatakan bahwa keekabahasaan (monolingualism) merupakan suatu fenomena yang telah diterima dan disepakati bersama oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Kemudian, Wardhaugh (1998) memaparkan bahwa kemunculan kedwibahasaan (bilingualism) dan keanekabahasaan (multilingualism), kemampuan untuk menguasai dua bahasa atau lebih, menjadi suatu fenomena yang tidak umum terjadi di tengahtengah masyarakat yang ekabahasa. Seiring dengan perkembangan zaman, kedwibahasaan dan keanekabahasaan ini akhirnya menjadi fenomena umum dan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Kemudian, keekabahasaan dipandang sebagai hal yang dapat merugikan suatu individu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan individu lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Wardhaugh (1998) dalam bukunya, An Introduction to Sociolinguistics: In fact, a monolingual individual would be regarded as misfit, lacking an important skill in society, the skill of being able to interact freely with the speakers of the other language with whom regular contact is made in the ordinary business of living. (p. 94). Pernyataan Wardhaugh (1998) tersebut menegaskan bahwa seseorang yang hanya menguasai satu bahasa akan dinyatakan sebagai orang yang tidak dapat beradaptasi dengan baik. Orang tersebut juga memiliki sedikit kemampuan penting yang dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, orang tersebut juga dianggap memiliki kemampuan interaksi yang kurang baik dengan penutur bahasa lain, ketika kontak bahasa dengan penutur asing sering terjadi dalam lingkungan bisnis sehari-hari. Kontak bahasa dapat terjadi ketika dua bahasa atau lebih digunakan oleh penutur yang sama secara bergantian terhadap penutur yang lainnya (Weinreich, 1974). Seperti halnya Weinreich, Coulmas (2005) menyatakan bahwa where
speakers competent in more than one language are present, language contact takes place. (p. 108). Jadi, kontak bahasa terjadi ketika penuturnya memiliki kemampuan dalam menggunakan lebih dari satu bahasa. Oleh sebab itu, kontak bahasa ini sangat erat kaitannya dengan masyarakat dwibahasa dan anekabahasa. Di samping itu, setiap penutur akan lebih baik jika dapat menguasai dua bahasa atau lebih agar dapat berinteraksi dengan baik ketika kontak bahasa terjadi. Menurut Trudgill (1974), ada hubungan timbal balik yang erat antara bahasa dan masyarakat. Hal tersebutlah yang merupakan suatu bentuk dari adanya interaksi ketika kontak bahasa terjadi. Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penulis adalah masyarakat yang berada dalam lingkungan bisnis, khususnya karyawan dalam suatu perusahaan asing yang didirikan di Indonesia, yaitu karyawan di PT Suzuki Indomobil Motor. Lingkungan bisnis ini menuntut seseorang agar dapat menguasai dua bahasa atau lebih untuk berinteraksi dengan kawan tuturnya (khususnya rekan bisnis) secara maksimal. Fenomena kedwibahasaan dan keanekabahasaan di lingkungan bisnis ini sudah menjadi hal umum yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dwibahasa dan anekabahasa. Namun, hal yang menarik adalah masalah alih kode yang terjadi akibat adanya masyarakat yang dwibahasa dan anekabahasa. Alih kode menjadi masalah yang menarik untuk dikaji karena memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kedwibahasaan dan keanekabahasaan. Wardhaugh (1998) mendefinisikan alih kode sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan seorang penutur memilih suatu kode (dalam hal ini bahasa) ketika berbicara dengan penutur lainnya dan adanya peralihan kode yang digunakan penutur sebelumnya dengan kode lainnya, atau adanya percampuran antara satu kode dengan kode yang lainnya. Percampuran kode tersebut dapat menciptakan suatu kode yang baru. Seperti yang telah dipaparkan di atas, masyarakat yang berada di lingkungan bisnis memiliki kemampuan kedwibahasaan dan keanekabahasaan yang cukup tinggi, khususnya karyawan PT Suzuki Indomobil Motor. Hal ini mengakibatkan frekuensi terjadinya alih kode di antara karyawan yang
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
5
bekerja di PT Suzuki Indomobil Motor cukup tinggi. Oleh sebab itu, penulis menganalisis masalah alih kode yang terjadi di antara karyawan yang bekerja di PT Suzuki Indomobil Motor.
akan dijawab dan dipaparkan dalam skripsi ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan jenis-jenis alih kode yang terjadi di antara karyawan PT Suzuki Indomobil Motor.
Sebagai contoh, SH-san merupakan salah satu karyawan yang bekerja di PT Suzuki Indomobil Motor. SH-san menggunakan bahasa ibunya yaitu bahasa Jepang dengan rekan-rekan kerjanya yang mengerti bahasa Jepang. Akan tetapi, SH-san menggunakan bahasa Inggris dengan rekan kerjanya yang tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Jepang. Peralihan bahasa yang dilakukan oleh SH-san ini dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk saling memahami dengan baik mengenai topik yang dibicarakan. Hal inilah yang merupakan salah satu tanda dari adanya peristiwa alih kode di antara karyawan PT Suzuki Indomobil Motor.
Pertanyaan Penelitian
Alih kode bahasa Indonesia dan Jepang ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) ini lebih dominan terjadi saat rapat perusahaan. Para karyawan melakukan alih kode bahasa Indonesia dan Jepang ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) dalam rapat perusahaan sebagai suatu bentuk keformalan. Respon terhadap penggunaan bahasa Inggris seperti yang telah dipaparkan tersebut menunjukkan adanya respon positif para karyawan terhadap bahasa Inggris. Respon positif tersebut merupakan salah satu bentuk dari adanya keterlibatan sikap bahasa. Oleh sebab itu, peristiwa alih kode ini juga menyebabkan terbentuknya sikap bahasa seseorang terhadap bahasa tertentu. Berdasarkan hal-hal yang telah dibicarakan di atas, alih kode yang terjadi di antara karyawan PT Suzuki Indomobil Motor ini merupakan masalah yang menarik untuk diangkat dan dianalisis ke dalam penelitian karena melibatkan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang. Penggunaan tiga bahasa ini terkait dengan kedwibahasaan dan keanekabahasaan yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode di antara karyawan PT Suzuki Indomobil Motor. Faktor-faktor tersebut adalah topik, situasi, motivasi, dan jarak sosial. Di samping itu, terdapat berbagai jenis alih kode yang terjadi di antara karyawan PT Suzuki Indomobil Motor. Oleh karena itu, permasalahan utama yang
Penggunaan bahasa Indonesia, Inggris dan Jepang memicu terjadinya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya), bahasa Inggris ke bahasa Jepang (atau sebaliknya), dan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia (atau sebaliknya). Alih kode tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Jenis-jenis alih kode yang terjadi pun berbedabeda. Oleh sebab itu, masalah alih kode dalam penelitian ini dianalisis dan dijawab dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Apa sajakah jenis-jenis alih kode yang terjadi di lingkungan kantor PT Suzuki Indomobil Motor? 2. Apa sajakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode di lingkungan kantor PT Suzuki Indomobil Motor
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Memaparkan dan menganalisis jenis alih kode yang dominan terjadi dalam berkomunikasi. 2. Untuk menganalisis penyebab terjadinya alih kode, sehingga dapat mengetahui alih kode dalam bahasa Indonesia, Inggris atau Jepang yang lebih efektif digunakan dalam berkomunikasi.
Kerangka Teori Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Teori-teori yang dibahas dalam skripsi ini adalah teori kedwibahasaan dan keanekabahasaan, fungsi dan ragam bahasa, kode, ubah kode, alih kode, campur kode, borrowing, sikap bahasa, dan accommodation theory. A. Kedwibahasaan (Bilingualism) Keanekabahasaan (Multilingualism)
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
dan
6
Kedwibahasaan dan keanekabahasaan memiliki keterkaitan yang erat dengan alih kode karena melibatkan penggunaan dua bahasa atau lebih dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Alih kode terjadi di tengah-tengah masyarakat dwibahasa atau anekabahasa. Oleh sebab itu, definisi kedwibahasaan dan keanekabahasaan harus terlebih dahulu diketahui, sehingga dapat memahami keterkaitan antara kedwibahasaan dan keanekabahasaan dengan alih kode. Seseorang menggunakan dua bahasa sebagai suatu kebiasaan dengan kontrol yang baik seperti penutur aslinya (dalam Hammers dan Blanc, 1989: 6). Jadi, seseorang dapat dikatakan dwibahasawan ketika orang tersebut dapat menguasai dan menggunakan dua bahasa secara terkontrol dan menyerupai penutur aslinya. Di samping itu, Bloomfield (1935) juga menekankan kata the native-like dalam definisinya mengenai kedwibahasaan. Ia menyatakan bahwa kedwibahasaan merupakan kepenguasaan dua bahasa seperti penutur asli (dalam Hammers dan Blanc, 1989: 6). Haugen (1956) mendukung pernyataan Bloomfield (1935), ia menyatakan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan menghasilkan ujaran yang sempurna yang dapat dimengerti di dalam bahasa lain (dalam Satiani, 1985: 10). Bertentangan dengan Bloomfield (1935) dan Haugen (1956), Coulmas (2005) tidak menekankan definisi kedwibahasaan dan keanekabahasaan pada kata the native-like, seperti yang dipaparkan dalam kalimat berikut: Researchers now agree that fully balanced bilingualism at a level of native control of two languages is exceedingly rare for individuals and more so for groups and that, therefore, different types of bilingualism should be recognized. (p. 141). Dalam kalimat tersebut, Coulmas (2005) menyatakan bahwa para peneliti saat ini telah menyetujui bahwa ukuran suatu kedwibahasaan seseorang tidak lagi terletak pada masalah native control atau the native-like seperti yang disebutkan Bloomfield sebelumnya. Sementara itu, menurut Hamers dan Blanc (1989) konsep kedwibahasaan lebih mengacu kepada
penggunaan dua bahasa dalam suatu komunitas bahasa, sehingga dua kode bahasa dapat digunakan dalam suatu interaksi dalam komunitas tersebut dan individu-individu itu bermasyarakat dwibahasa. Jadi, definisi kedwibahasaan yang dimaksud Hamers dan Blanc ini lebih terfokus pada masyarakatnya. Jika masyarakat dalam suatu komunitas bahasa dapat menerima adanya dua kode bahasa yang berbeda dan menggunakannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi, maka masyarakat dalam komunitas bahasa tersebut adalah masyarakat yang dwibahasa. Sejalan dengan konsep kedwibahasaan yang dikemukakan oleh Hamers dan Blanc (1989), Mackey (1956) juga memfokuskan konsep kedwibahasaan pada masyarakat. Ia menyatakan bahwa penggunaan dua bahasa oleh individu merupakan sebuah gambaran dari adanya masyarakat dwibahasa. Kemudian, peristiwa kedwibahasaan tidak dapat dipisahkan dengan keanekabahasaan. Kedua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Perbedaan antara kedwibahasaan dan keanekabahasaan hanya terletak pada kemampuan penggunaan bahasanya saja. Jika kedwibahasaan adalah kemampuan dalam menggunakan dua bahasa, maka keanekabahasaan adalah kemampuan dalam menggunakan lebih dari dua bahasa. Intinya, peristiwa kedwibahasaan dan keanekabahasaan ini merupakan kemampuan penguasaan lebih dari satu bahasa. Akan tetapi, kemampuan penguasaan lebih dari satu bahasa ini tidak harus seimbang, seperti yang dikemukakan oleh Wardhaugh (1998): People who are bilingual or multilingual do not necessarily have exactly the same abilities in the languages (or varieties); in facts, that kind of parity may be exceptional. (p. 95). Ia menyatakan bahwa masyarakat dwibahasa dan anekabahasa tidak harus memiliki kemampuan penguasaan dua bahasa atau lebih (atau ragam) pada tingkat yang setara atau seimbang. Oleh sebab itu, keseimbangan seorang dwibahasawan dan anekabahasawan dalam menguasai dua bahasa atau lebih merupakan hal yang sangat luar biasa dan jarang terjadi di tengah-tengah masyarakat dwibahasa dan anekabahasa.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
7
Pendapat Wardhaugh (1998) ini didukung oleh pernyataan Sridhar (1996, p. 50): Multilingualism involving balanced, nativelike command of all the languages in the repertoire is rather uncommon. (dalam Wardhaugh, 1998: 95). Sridhar (1996) menegaskan bahwa keseimbangan dan masalah nativelike merupakan hal yang tidak biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat dwibahasa dan aneka bahasa. Hal-hal yang dikemukakan Wardhaugh (1998) dan Sridhar (1996) ini telah memperluas konsep kedwibahasaan dan keanekabahasaan. Konsep kedwibahasaan dan keanekabahasaan tidak lagi terbatas pada masalah nativelike atau keseimbangan, melainkan penguasaan dan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, konsep kedwibahasaan dan keanekabahasaan ini merupakan suatu bentuk penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Penguasaan dua bahasa atau lebih ini menyebabkan seseorang bebas untuk memilih bahasa atau ragam apa yang ia gunakan dalam situasi tertentu. Pemilihan bahasa atau ragam yang ia gunakan ini tidak terlepas dari adanya peralihan bahasa atau percampuran dua bahasa yang disebut dengan alih kode atau campur kode. Oleh sebab itu, kedwibahasaan dan keanekabahasaan ini memiliki keterkaitan erat dengan alih kode karena alih kode dan campur kode diakibatkan oleh adanya pemilihan bahasa atau ragam yang digunakan. B. Fungsi dan Ragam Bahasa Fungsi Bahasa Trudgill (1974) dalam buku Sosiolinguistik: Suatu Pengantar mengemukakan bahwa: “Bahasa bukanlah semata-mata alat untuk menyampaikan informasi-informasi cuaca atau pokok lainnya. Bahasa adalah juga suatu alat yang sangat penting untuk menciptakan dan memelihara hubungan dengan orang lain.” (p. 1-2) Fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Trudgill (1974) di atas menunjukkan bahwa bahasa memiliki fungsi sosial. Dalam fungsi sosial ini, bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menjaga hubungan dengan orang lain. Trudgill (1974) memberikan contoh fungsi sosial bahasa
dalam suatu percakapan yang terjadi di kereta api. Ia menyatakan bahwa akan terjadi suasana kikuk ketika tidak ada percakapan yang terjadi antara seseorang dengan orang asing yang duduk bersebelahan di kereta api. Oleh sebab itu, bahasa menjadi alat untuk menjaga hubungan dengan orang lain. Fungsi bahasa yang kedua menurut Trudgill (1974) adalah fungsi bahasa dalam menyampaikan informasi tentang pembicara. Fungsi yang kedua ini sangat berhubungan dengan fungsi sosial bahasa karena fungsi bahasa yang kedua ini didapatkan jika hubungan antara seseorang dengan orang lain terjaga dengan baik. Orang tersebut mendapatkan informasi tentang identitas atau latar belakang orang yang ia ajak bicara melalui bahasa yang ia gunakan. Jadi, Trudgill (1974) membagi fungsi bahasa menjadi dua fungsi, yaitu bahasa sebagai fungsi sosial dan bahasa sebagai pemberi informasi. Ragam Bahasa Alih kode tidak hanya terpusat pada peralihan bahasa saja, tetapi pada peralihan ragam yang digunakan. Sama halnya dengan peralihan bahasa, peralihan ragam ini terjadi akibat adanya perubahan situasi dan topik dalam suatu percakapan. Sebagai contoh, seseorang menggunakan ragam bahasa formal dengan rekan kerjanya ketika sedang berbicara mengenai masalah pekerjaan. Kemudian, orang tersebut menggunakan ragam santai (casual) dengan rekan kerjanya ketika membicarakan masalah pribadi. Hal ini merupakan suatu gambaran bahwa ragam bahasa memiliki keterkaitan dengan masalah alih kode. Hudson (1980) mendefinisikan ragam bahasa sebagai suatu kesatuan pokok-pokok linguistik dengan penyebaran sosial yang serupa. Hudson menambahkan bahwa ragam bahasa berkaitan dengan dialek, register dan gaya berbahasa. Jika dialek merupakan ragam bahasa sesuai penggunanya, maka register merupakan ragam bahasa sesuai penggunaannya. Sementara itu, gaya berbahasa merupakan ragam bahasa sesuai keadaan (sekitar), seperti yang dipaparkan oleh Wardhaugh (1998):
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
8
You can speak very formally or very informally, your choice being governed by circumstances. Ceremonial occasions almost invariably require very formal speech, public lectures somewhat less formal, casual conversation quite informal, and conversations between intimates on matters of little importance may be extremely informal and casual. (p. 48). Dalam kalimat tersebut, Wardhaugh menyatakan bahwa formal dan tidak formalnya seorang penutur dalam menggunakan bahasa ditentukan oleh keadaan (sekitar). Sebagai contoh, seorang penutur menggunakan ragam bahasa yang sangat formal ketika upacara sedang berlangsung. Sementara itu, ia menggunakan ragam bahasa yang tidak terlalu formal ketika dalam keadaan santai. Di sisi lain, penutur tersebut menggunakan ragam bahasa intim terhadap kawan tutur yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya (misalnya, percakapan suami dengan istrinya). Oleh sebab itu, gaya berbahasa seorang penutur memiliki berbagai ragam bahasa, yaitu ragam bahasa baku, formal, santai, dan intim. Sementara itu, register merupakan ragam bahasa yang disesuaikan dengan penggunaanya. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Wardhaugh (1998) dalam kalimat: register are sets of language items associated with discrete occupational or social groups. Dalam kalimat tersebut, Wardhaugh menjelaskan bahwa register diasosiasikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan profesi atau kelompok sosial. Dokter, pilot, manager bank, pelayan toko, dan profesi-profesi lainnya adalah register yang berbeda dan memiliki ragam bahasa yang berbeda. Di sisi lain, dialek merupakan ragam bahasa berdasarkan penggunanya atau pemakainya (Hudson, 1980: 48). Dialek sesungguhnya mengacu pada perbedaan-perbedaan antara jenis-jenis bahasa yang berbeda kosa katanya, tata bahasanya serta lafalnya (Trudgill, 1974: 8). Sebagai contoh, bahasa Inggris dialek Skotlandia berbeda dengan bahasa Inggris dialek Irlandia. Hal tersebut merupakan dialek regional, yaitu perbedaan ragam bahasa yang digunakan sesuai dengan penggunanya atau pemakainya yang ditentukan oleh letak geografis atau daerah.
Sementara itu, dialek sosial merupakan perbedaan ragam bahasa yang ditentukan oleh kelompok sosial, agama dan budaya (Wardhaugh, 1998). Wardhaugh memberikan contoh dialek sosial di India karena di India terdapat bermacam-macam kasta yang membedakan ragam bahasa yang digunakannya. Penggunaan bahasa yang digunakan sesuai kasta tersebut menunjukkan identitas pengguna atau pemakai bahasanya, seperti status sosialnya. Selain itu, di Baghdad, penggunaan bahasa Arab memiliki berbagai ragam sesuai dengan penganut agamanya, seperti umat Kristen, Muslim dan Yahudi. Berdasarkan pemaparan di atas mengenai dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial menunjukkan identitas atau latar belakang penggunanya atau pemakainya. C. Kode dan Alih Kode Kode Ketika dua orang atau lebih saling berkomunikasi dalam suatu percakapan, sistem komunikasi yang digunakan oleh dua orang atau lebih itu disebut dengan kode (Wardhaugh, 1998). Kode yang digunakan tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak, sehingga pengkodean ini melalui suatu proses timbal balik yang terjadi baik pada pembicara maupun pada lawan bicara (Banowati, 1990). Seperti yang dipaparkan oleh Banowati (1990), Hymes (1972: 63) mendefinisikan kode sebagai alat komunikasi yang ciri penentunya adalah kesalingmengertian peserta-peserta yang terlibat dalam proses komunikasi (dalam Satiani, 1985: 22). Jadi, berdasarkan definisi-definisi kode di atas, kode merupakan suatu alat yang digunakan oleh penutur dan kawan tutur dalam berkomunikasi agar penutur dan kawan tutur dapat saling mengerti hal-hal yang mereka bicarakan, serta mendapatkan informasi yang ingin mereka dapatkan melalui proses komunikasi tersebut. Wardhaugh (1998) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah kode. Setiap penutur dapat menggunakan lebih dari satu kode. Penutur yang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua kode atau lebih adalah penutur yang dwibahasa dan anekabahasa. Penutur yang dwibahasa dan anekabahasa ini dapat melakukan peralihan antara satu kode dengan kode yang lainnya. Seperti yang
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
9
dipaparkan oleh Wardhaugh (1998) dalam kalimat berikut ini:
short utterances and thereby create a new code. (p. 100).
We should note that two speakers who are bilingual, that is, who have access to two codes, and who for one reason or another shift back and forth between the two languages as they converse by code-switching. (p. 1).
Dalam kalimat ini, Wardhaugh memaparkan bahwa banyak penutur menguasai beberapa ragam bahasa dalam berbicara, kedwibahasaan dan keanekabahasaan merupakan hal yang biasa bila dibandingkan dengan keekabahasaan. Ragam bahasa maupun bahasa itu sendiri merupakan suatu kode yang penutur gunakan dalam suatu tindak tutur. Penutur boleh memilih untuk menggunakan kode-kode tersebut secara bergantian, atau bahkan mencampurkan kode-kode tersebut dalam suatu tindak tutur. Dengan demikian, peralihan dan percampuran kode tersebut dapat menciptakan sebuah kode yang baru. Jadi, berdasarkan definisi alih kode yang dipaparkan oleh Wardhaugh di atas, alih kode merupakan suatu peralihan bahasa dan ragam bahasa yang dilakukan oleh penutur dalam suatu tindak tutur.
Dalam kalimat tersebut, Wardhaugh menyatakan bahwa seorang dwibahasawan memiliki akses untuk menggunakan dua kode secara bergantian, dan seorang dwibahasawan yang melakukan peralihan bahasa tersebut dapat dikatakan sebagai penutur yang melakukan alih kode. Wardhaugh (1998) juga menyatakan bahwa dialek yang penutur pilih untuk digunakan dalam suatu percakapan adalah sebuah kode. Jadi, alih kode tidak hanya terbatas pada bahasa yang digunakan saja, tetapi ragam bahasa yang digunakan. Ubah Kode The term code-alternation has been used to refer to instance of one language being replace by the other in the middle of a sentences, and it is usually related to longer stretches of code-switching. (p. 4). Turnbull (2012) memaparkan bahwa istilah ubah kode mengarah pada peristiwa suatu bahasa yang digantikan dengan bahasa lain di tengah-tengah kalimat, peristiwa ubah kode ini berkaitan dengan alih kode. Ubah kode berkaitan dengan alih kode karena terjadi di tengah-tengah masyarakat dwibahasa dan anekabahasa. Penutur yang memiliki kemampuan untuk menggunakan dua bahasa (atau lebih) cenderung melakukan ubah kode. Oleh sebab itu, ubah kode memicu terjadinya alih kode.
Sementara itu, Hymes (1972) menyatakan bahwa alih kode adalah suatu penggunaan dua bahasa atau lebih, atau ragam, atau bahkan gaya berbahasa secara bergantian (dalam Banowati, 1990: 22). Definisi yang dijelaskan oleh Hymes ini hampir sama dengan Wardhaugh, perbedaannya hanya terletak pada masalah gaya berbahasa. Hymes menambahkan penggunaan beberapa gaya berbahasa secara bergantian dalam mendefinisikan alih kode, sedangkan Wardhaugh menegaskan definisi alih kode pada penggunaan beberapa bahasa dan ragam bahasa secara bergantian. Berbeda dengan Wardhaugh dan Hymes, Coulmas (2005) menyatakan bahwa alih kode merupakan suatu strategi terkontrol dalam membedakan antara proses pinjam (borrowing) dan interferensi.
Wardhaugh (1998) dalam buku An Introduction to Sociolinguistics, menyatakan:
Code-switching occurs where speaker aware of the two varieties being distinct and are able to keep them apart, although they may not do so habitually and may not be conscious of every switch they make. (p. 110).
Most speakers command several varieties of any language they speak, and bilingualism, even multilingualism, is the norm for many people throughout the world rather than unilingualism. People, then, are usually required to select particular code whenever they choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another or to mix codes even within sometimes very
Menurut Coulmas, alih kode dapat terjadi ketika penutur memiliki kesadaran terhadap dua bahasa yang berbeda dan dapat membiarkan dua bahasa itu terpisah. Hal ini tidak dilakukan sebagai suatu kebiasaan dan ada kecenderungan bahwa penutur tidak sadar dengan peralihan yang ia lakukan. Jadi, definisi alih kode yang dijelaskan oleh Coulmas lebih mengacu pada kesadaran penutur dalam
Alih Kode
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
10
melakukan peralihan bahasa dan ragam. Oleh sebab itu, kontrol diri terhadap peralihan bahasa dan ragam ditegaskan Coulmas dalam definisi alih kode ini. Selain itu, Coulmas juga membatasi alih kode dengan borrowing.
Code-mixing generally refers to alternations between varieties or codes, within a clause of phrase. Often elicits more strongly negative evaluations than alternations or code switching accross clauses. (p. 120)
Borrowing
Berdasarkan penjelasan di atas, Meyerhoff menyatakan bahwa campur kode merupakan peralihan ragam atau kode dalam tataran klausa. Akan tetapi, campur kode ini lebih dominan mendapatkan penilaian yang negatif daripada alih kode. Campur kode lebih dominan mendapatkan penilaian yang negatif karena campur kode dapat menunjukkan permusuhan antara orang luar (outsiders) yang tidak mengerti kesepakatan atau persetujuan dalam melakukan campur kode (Meyerhoff, 2006: 120).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa alih kode harus dibedakan dengan borrowing. Alih kode merupakan peralihan bahasa dan ragam, sedangkan borrowing adalah peminjaman katakata. Seperti yang dipaparkan oleh Coulmas (2005): When a borrowing has occured, the borrowed word belongs unmistakably to the language into which it has been borrowed following the constraints of that language on all grammatical levels. (p. 110). Jadi, dalam masalah borrowing ini tidak ada kesalahan kata-kata yang digunakan karena katakata tersebut merupakan kata pinjam dari kata aslinya. Sementara itu, Hudson (1980) menyatakan bahwa borrowing berbeda dengan alih kode karena borrowing tidak melibatkan perubahan bahasa dan ragam. Hudson menegaskan bahwa dalam borrowing, yang dipinjam adalah kata benda saja. Sebagai contoh, (1) I study Italian per la cutura dan (2) I study Italian for la cultura. Kalimat (1) merupakan suatu contoh dari alih kode karena kata for (untuk) menjadi per yang merupakan bahasa Italia. Sementara itu, dalam kalimat (2), hanya kata benda la cultura saja yang dipinjam, sehingga hal tersebut merupakan peristiwa borrowing. Campur Kode Peristiwa campur kode tidak dapat dipisahkan dengan alih kode karena peristiwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa atau lebih dan dua ragam bahasa atau lebih dalam suatu ujaran. Wardhaugh (1998) menyatakan bahwa campur kode dapat terjadi ketika penutur menggunakan dua bahasa yang telah dikuasai secara bersamaan, dan penutur itu dapat mencampurkan bahasa yang satu dengan yang lainnya dalam satu ujaran. Jadi, peristiwa percampuran antara bahasa satu dengan yang lainnya terjadi dalam sebuah kalimat. Percampuran bahasa tersebut berada dalam tataran kata dan klausa. Seperti yang dijelaskan oleh Meyerhoff (2006):
Sementara itu, Nababan membedakan antara alih kode dengan campur kode berdasarkan situasi. Nababan (1986) menyatakan bahwa campur kode: “Situasi keadaan berbahasa bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaannya yang dituruti.” (dalam Banowati, 1990: 2). Berdasarkan definisi campur kode yang dijelaskan oleh Nababan, campur kode terjadi ketika seorang penutur mencampurkan dua (atau lebih) bahasa dan ragam yang digunakan dalam situasi santai. Jadi, semakin santai situasi yang dialami oleh penutur, maka semakin tinggi pula frekuensi campur kode yang terjadi. Jenis-Jenis Alih Kode Wardhaugh (1998) menjelaskan bahwa ada dua jenis alih kode, yaitu: 1. Situational Code-Switching Jenis situational code-switching ini dapat terjadi ketika peralihan bahasa disebabkan oleh berubahnya situasi. Sebagai contoh, seorang penutur menggunakan suatu bahasa dalam situasi tertentu. Kemudian, ia melakukan peralihan bahasa yang ia gunakan sebelumnya dengan bahasa yang lainnya karena faktor situasi.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
11
2. Metaphorical Code-Switching Jenis metaphorical code-switching terjadi ketika ada perubahan topik. Jadi, dalam jenis alih kode ini, peralihan bahasa terjadi ketika topiknya berubah. Sementara itu, Gumperz (1976) menambahkan satu jenis alih kode (selain situational code-switching dan metaphorical code-switching), yaitu conversational code-switching. Gumperz (1976) menyatakan bahwa a speaker may switch codes (i.e. varieties) within a single sentence, and may even do so many times. (dalam Hudson, 1980: 57). Jadi, conversational code-switching ini terjadi ketika seorang penutur melakukan peralihan kode dalam satu kalimat tunggal. Peralihan kode jenis ini dapat dilakukan berulang-ulang. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Alih Kode Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, alih kode merupakan peralihan dua bahasa (atau lebih) dan ragam dalam suatu tindak tutur. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode, seperti topik, situasi dan faktor-faktor lainnya. Wardhaugh (1998) memaparkan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode, yaitu solidaritas dengan kawan tutur, topik, jarak sosial dan budaya, dan motivasi. Sejalan dengan Wardhaugh, Coulmas (2005) juga menyatakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. 1. Solidaritas dengan Kawan Tutur Adanya hubungan antara penutur dan kawan tutur menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. Semakin dekat hubungan antara penutur dengan kawan tuturnya, semakin tinggi frekuensi alih kode yang terjadi. Sebaliknya, semakin jauh hubungan antara penutur dengan lawan tuturnya, semakin rendah frekuensi alih kode yang terjadi. 2. Topik Topik menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam masalah alih kode. Tanner (1967) melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa oleh sebuah kelompok kecil mahasiswa lulusan Indonesia dan keluarganya yang tinggal di
Amerika. Kelompok mahasiswa Indonesia dan keluarganya ini menggunakan beberapa bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Jawa, Belanda, dan Inggris. Mereka menggunakan bahasa Inggris ketika topik yang dibicarakan adalah masalah akademik. Namun, mereka menggunakan bahasa Indonesia ketika topik yang dibicarakan adalah masalah lain di luar masalah akademik. Penelitian Tanner (1967) ini membuktikan bahwa topik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seorang penutur melakukan alih kode (dalam Wardhaugh, 1998: 100-101). 3. Jarak Sosial dan Budaya Jarak sosial dan budaya ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. Jika jarak sosial dan budaya seorang penutur dengan kawan tuturnya semakin dekat, maka frekuensi terjadinya alih kode meningkat. Sebaliknya, jika jarak sosial dan budaya seorang penutur dengan kawan tuturnya semakin jauh, maka frekuensi terjadinya alih kode menurun. 4. Motivasi Setiap penutur memiliki motivasi untuk menggunakan bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian. Oleh karena itu, motivasi memiliki peranan penting sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. Wardhaugh (1998) menyatakan, the motivation of the speaker is an important consideration in the choice. (p. 103). Dalam kalimat ini, Wardhaugh menegaskan bahwa motivasi merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan peralihan kode. Sejalan dengan ide yang dipaparkan oleh Wardhaugh, Coulmas (2005) menyatakan, notice, first, that different speakers may have not just different motives, but also different capabilities. (p. 120). Dalam kalimat-kalimat yang dipaparkan Coulmas di atas, ia menegaskan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan alih kode. Namun, Coulmas menyatakan bahwa penyebab terjadinya alih kode bukan hanya masalah motivasi, tetapi kemampuan penuturnya. Selain faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya alih kode, salah satunya adalah situasi.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
12
Seperti yang dipaparkan oleh Lance (1969), ia menyatakan bahwa alih kode dilakukan oleh seorang dwibahasawan dalam suasana yang santai (dalam Banowati, 1990: 24). Dalam kalimat tersebut, suasana yang santai mendorong seorang penutur untuk melakukan alih kode. Lokasi atau tempat (di rumah, di sekolah, di kantor, dan sebagainya) merupakan faktor lain yang menyebabkan terjadinya alih kode. Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode.
penutur bermacam-macam, salah satunya adalah untuk menjaga jarak antara penutur dengan kawan tuturnya. Tujuan lainnya adalah untuk menunjukkan ketertarikannya dengan lawan tuturnya. Penutur menggunakan berbagai strategi dalam menunjukkan tujuannya. Hal ini berkaitan dengan accomodation theory, seperti yang dipaparkan Meyerhoff (2006) dalam kalimat: ...accommodation theory is a bundle of principles that are intended to characterise the strategies speakers use to establish, contest or maintain relationship through talk. (p. 72).
D. Sikap Bahasa Sikap kita terhadap suatu bahasa atau ragam tertentu secara umum menunjukkan rasa hormat terhadap sekelompok orang yang menggunakan bahasa atau ragam tersebut (Meyerhoff, 2006: 54). Meyerhoff juga menyatakan bahwa seorang penutur dapat menunjukkan sikap positif dan negatif terhadap bahasa yang disukainya atau tidak disukainya. Jika sikap penutur terhadap bahasa dan ragam tersebut adalah positif, maka penutur itu akan menggunakan bahasa atau ragam tersebut. Sebaliknya, jika sikap penutur terhadap bahasa atau ragam tersebut adalah negatif, maka penutur itu tidak akan menggunakan bahasa atau ragam tersebut. Sikap bahasa memiliki keterkaitan dengan alih kode. Seperti yang dijelaskan Sri Utari SubyaktoNababan (1992) bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode adalah si penutur ingin menunjukkan sikap terhadap lawan bicaranya. Misalnya, sikap ramah, sikap kesal, menentang, bercanda (dalam Fauziah, 1990: 20). Sikap ramah yang ditunjukkan oleh seorang penutur menjelaskan bahwa sikap penutur terhadap bahasa atau ragam tersebut adalah positif. Sementara itu, sikap kesal yang ditunjukkan oleh seorang penutur menjelaskan bahwa sikap penutur terhadap bahasa atau ragam tersebut adalah negatif. Jadi, seorang penutur dapat melakukan alih kode untuk menunjukkan sikap positif dan negatif terhadap bahasa atau ragam tertentu. Oleh sebab itu, sikap bahasa ini berkorelasi dengan masalah alih kode. E. Accommodation Theory Dalam melakukan alih kode, seorang penutur memiliki motivasi atau tujuan. Motivasi atau tujuan
Kalimat tersebut menyatakan bahwa seorang penutur memiliki berbagai strategi untuk membangun dan menjaga hubungannya dengan kawan tuturnya, inilah yang disebut sebagai accomodation theory. Terdapat dua strategi utama dalam teori ini, yaitu convergence dan divergence. Convergence menekankan pada kesamaan penutur dengan kawan tuturnya untuk menunjukkan daya tariknya terhadap kawan tuturnya. Seperti dalam kalimat, “...it is assumed to be triggered by conscious or unconscious desires to emphasise similarity with interlocutors we like, and to increase attraction.” (Meyerhoff, 2006: 73). Jadi, dalam strategi convergence ini, penutur ingin menunjukkan ketertarikannya dan mendekatkan jarak dengan kawan tuturnya. Berbeda dengan convergence, divergence lebih menekankan kepada perbedaan penutur dengan kawan tuturnya untuk meningkatkan jarak antara penutur dan kawan tuturnya. Seperti dalam kalimat, “...it is assumed to be triggered by conscious desire to emphasise difference and increase social distance.” (Meyerhoff, 2006: 73).
Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian di Indonesia yang membahas tentang masalah alih kode. Penelitianpenelitian tersebut menggunakan metode penelitian lapangan. Salah satunya adalah penelitian tentang alih kode yang dilakukan oleh Aria Satiani pada tahun 1985, yaitu “Alih Kode: Suatu Studi Kasus.” Dalam penelitian ini, Satiani memfokuskan masalah alih kode pada orang-orang yang pernah menetap di luar negeri selama kurang lebih 5 tahun yang bahasa utamanya adalah bahasa Inggris. Tujuan dari penelitian ini adalah membahas makna
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
13
yang terkandung di dalam alih kode yang dilakukan oleh dwibahasawan, serta mengungkapkan beberapa aspek alih kode, seperti: konsep alih kode, jenis-jenis alih kode dan faktor-faktor penyebab alih kode. Dalam penelitian tentang alih kode tersebut, Satiani menemukan bahwa pengalihan dua sistem bahasa yang berbeda memiliki maksud tertentu dalam percakapannya. Selain itu, Satiani juga menemukan beberapa faktor-faktor penyebab timbulnya alih kode (dalam Satiani, 1985: 70):
Penggunaan alih kode di lingkungan tersebut memiliki fungsi serta karakteristik yang beraneka ragam sesuai dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Salah satu fungsinya adalah memberikan penekanan pada pesan tertentu. Dalam penelitian ini, Banowati tidak menemukan adanya penggunaan alih kode dengan tujuan untuk membedakan suatu identitas kelompok dengan kelompok lainnya.
Analisis A. Penggunaan Bahasa dan Alih Kode
1. Penutur telah terbiasa menggunakan bahasa asing sebagai bahasa sehari-hari, sehingga penutur merasa bahwa pikirannya telah dipengaruhi oleh dua bahasa. 2. Penutur tidak menemukan istilah yang tepat untuk mengekspresikan ujarannya. 3. Penutur tidak menyadari bahwa ia mengalihkan kodenya dari satu bahasa ke bahasa lainnya. 4. Penutur malas untuk memikirkan kata yang tepat untuk digunakan, sehingga jalan yang paling mudah baginya adalah dengan melakukan alih kode.
Penggunaan bahasa dan alih kode dianalisis dengan menggunakan tabel data yang diperoleh dari kuesioner. Hasil persentase data diperoleh dengan cara penghitungan berikut: Jumlah Responden yang Memilih
× 100%
Jumlah Responden yang Diteliti
Berikut ini adalah tabel analisis data yang diperoleh dari kuesioner: Tabel 1.1 Analisis Data yang Diperoleh dari Kuesioner
5. Penutur yang frekuensi alih kodenya tinggi dapat dikatakan tidak menguasai satu bahasa (apakah bahasa itu adalah bahasa kedua) secara baik untuk digunakan dalam percakapan. Penelitian serupa dilakukan oleh Banowati pada tahun 1990 tentang alih kode, yang berjudul “Alih Kode di Antara Siswa-Siswa Gandhi Memorial International School.” Penelitian mengenai alih kode yang dilakukan oleh Banowati ini berangkat dari suatu masalah, yaitu adanya siswa-siswa Gandhi Memorial International School yang sering melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau sebaliknya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui fungsi-fungsi alih kode dalam percakapan yang dilakukan oleh siswasiswa Gandhi Memorial International School, serta faktor-faktor individual yang menyebabkan mereka beralih kode. Dalam penelitian tersebut, Banowati menemukan bahwa penguasaan dua bahasa yang baik mempengaruhi terjadinya alih kode di antara siswasiswa Gandhi Memorial International School.
Sumber: Data diolah penulis Berdasarkan hasil penelitian, 93,9% responden melakukan alih kode, baik alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya), alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) dan alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia (atau sebaliknya). Akan tetapi, alih kode yang lebih dominan terjadi adalah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya). Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia merupakan bahasa primer yang digunakan oleh mayoritas responden.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
14
Data yang diperoleh dengan kuesioner menunjukkan bahwa 84,8% responden menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa primer dan 15,2% responden menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa primer. Berbeda dengan bahasa Indonesia dan Inggris, bahasa Jepang tidak digunakan sebagai bahasa primer oleh responden karena mayoritas responden adalah penutur bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa primer yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Persentase bahasa primer yang digunakan tersebut untuk menunjukkan situasi berbahasa di kantor. Bahasa primer tersebut tidak merepresentasikan bahasa primer yang digunakan responden secara personal karena setiap responden memiliki bahasa primer yang berbeda dalam situasi yang berbeda (di rumah, di kantor, di kantin, dan sebagainya) Di sisi lain, responden memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Inggris dengan baik bila dibandingkan dengan bahasa Jepang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan penghitungan data kuesioner, yaitu 93,9% responden memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Karena itu, frekuensi responden melakukan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) cukup tinggi. Bertentangan dengan kemampuan berbahasa Inggris, responden yang memiliki kemampuan berbahasa Jepang hanya 6,1% sehingga frekuensi terjadinya alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Jepang (atau sebaliknya) sangat minim terjadi. Tabel 1.1 tersebut menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa asing yang digunakan oleh responden karena mayoritas responden adalah penutur bahasa Indonesia. Bahasa asing yang digunakan adalah bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemampuan responden dalam menggunakan bahasa Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Jepang, yaitu 93,9% untuk bahasa Inggris dan 6,1% untuk bahasa Jepang. Karena itu, bahasa Inggris menjadi bahasa sekunder yang digunakan oleh responden, setelah bahasa primer, yaitu bahasa Indonesia. Frekuensi penggunaan bahasa Inggris pun cukup tinggi, yaitu 93,9% (mencakup kategori: sering dan jarang), sedangkan 6,1% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Inggris dan tingginya frekuensi penggunaan bahasa Inggris
inilah yang menyebabkan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) lebih dominan terjadi bila dibandingkan dengan alih kode bahasa Inggris ke bahasa Jepang (atau sebaliknya) dan bahasa Indonesia ke Jepang (atau sebaliknya). B. Jenis-Jenis Alih Kode dan Faktor-Faktor Penyebab Alih Kode Dalam menganalisis jenis-jenis dan faktor-faktor alih kode yang terjadi, penulis mencantumkan beberapa tabel, yaitu tabel percakapan dan tabel data hasil wawancara dengan beberapa responden. Analisis berdasarkan tabel ini digunakan untuk memperjelas masalah alih kode yang terjadi dalam percakapan dan wawancara tersebut. 1.2 Tabel Percakapan Data Baris No.
1
2 3 1 4
5
1
2 2
3
4
1 2 3 3
1 2 4 3
4
Percakapan
Jenis Alih Kode
Faktor Penyebab Alih Kode
KN: Good Morning. Today, I will explain about the new product... (melanjutkan presentasi dalam bahasa Inggris) BP: N-san, I think... (melanjutkan pendapatnya) YS: Sorry, I disagree. It’s better if... (melanjutkan pendapatnya) KTP: Pak, bisa tolong dijelaskan Situational Peserta Tutur kembali apa yang dimaksud dalam Code-Switching langkah 3 dan 4 tentang proses Pressing dan Welding itu...(melanjutkan pertanyaannya) YS: Oh itu, maksudnya...(melanjutkan penjelasannya dalam bahasa Indonesia). So, Pressing and Welding process are... (melanjutkan dalam bahasa Inggris), right N-san?” V: N-san, this is the dokumen...contract of sales...and this one is the dokumen from SH-san to order spare parts for... (melanjutkan dalam bahasa Inggris) KN: Oh, ok. Thank you. Now, please Metaphorical write a report for this month. Code-Switching V: Ok. KN: Cotto...sumimasen... (mengangkat telepon). Hai. Oh, K! O genki desuka? Hai, hai. Naniganandemo watashi o yobidasu hitsuyo wa arimasen... (melanjutkan dalam bahasa Jepang)
Topik dan motivasi
S: V, nanti pulang kerja mau kemana? Waktu dan tempat, V: Gak tau deh. Kenapa, S? Situational solidaritas S: Mumpung sekarang hari Jumat, Code-Switching dengan kawan besok kan libur. Let’s go shopping , tutur yuk! Belanja. Belanja. K: M-san, cotto sumimasen...e...to... (melanjutkan dalam bahasa Jepang) M: Hai. Naga sugiru... (melanjutkan dalam bahasa Jepang) Situational Peserta Tutur SA: Permisi...selamat siang, pak. ini Code-Switching ada mahasiswa yang ingin meneliti percakapan bapak dengan K-san. Kirakira mengganggu pekerjaan bapak tidak? M: Oh, silahkan...silahkan.
Sumber: Data diolah penulis
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
15
Data percakapan nomor 1 dalam tabel 1.2 menunjukkan adanya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (dan sebaliknya). Alih kode tersebut terjadi di tengah-tengah diskusi saat rapat perusahaan berlangsung. Data percakapan nomor 1 baris ke-1 menunjukkan bahwa KN memulai rapat dan mempresentasikan masalah produk dengan menggunakan bahasa Inggris. Kemudian, ketika presentasi selesai dan proses diskusi berlangsung, suasana rapat yang sebelumnya sangat formal menjadi sedikit lebih santai. Hal ini disebabkan oleh peserta tutur, yaitu KTP. KTP mulai bertanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, seperti data percakapan nomor 1 baris ke-4: “Pak, bisa tolong dijelaskan kembali apa yang dimaksud dalam langkah 3 dan 4 tentang proses Pressing dan Welding itu...” Selanjutnya, YS menjawab pertanyaan KTP dengan bahasa Indonesia, lalu kembali menggunakan bahasa Inggris, seperti data percakapan nomor 1 baris ke5: “Oh itu, maksudnya... (melanjutkan penjelasannya dalam bahasa Indonesia). So, Pressing and Welding process are... (melanjutkan dalam bahasa Inggris), right N-san?” Data percakapan nomor 1 baris ke-5 menunjukkan bahwa YS telah melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Alih kode yang dilakukan YS dalam rapat tersebut dikategorikan sebagai situational code-switching, yaitu alih kode yang terjadi akibat adanya perubahan situasi. Dalam percakapan tersebut, peserta tutur menjadi penyebab terjadinya perubahan situasi. Tindakan KTP yang secara tibatiba menggunakan bahasa Indonesia, memengaruhi YS dan peserta tutur lain untuk melakukan alih kode dalam rapat tersebut. Dalam diskusi tersebut, KTP menggunakan bahasa Indonesia agar dapat menanyakan hal-hal yang ingin ia ketahui dengan lebih jelas. Kemudian, YS menjawab dalam bahasa Indonesia agar KTP dapat mengerti pesan yang disampaikan YS dengan jelas. Selanjutnya, YS beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris ketika menegaskan jawabannya benar atau tidak kepada KN. Sama halnya dengan data percakapan nomor 1, data percakapan nomor 3 dan 4 juga menunjukkan jenis situational code-switching. Data percakapan nomor 3 dan 4 dikategorikan sebagai situational code-
switching karena alih kode dalam percakapan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan situasi. Seperti data nomor 3 baris ke-3, “Mumpung sekarang hari Jumat, besok kan libur. Let‟s go shopping, yuk! Belanja. Belanja.” Dalam percakapan tersebut, S melakukan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Alih kode ini dilakukan S karena situasi, yaitu suasana santai pada saat jam istirahat/makan siang dan tempat (di kantin). Waktu dan tempat inilah yang menjadi penyebab S melakukan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Selain karena waktu dan tempat, solidaritas dengan kawan tutur juga menjadi faktor penyebab terjadinya alih kode. Hubungan antara S dan V ini sangat dekat, sehingga tidak ada jarak dalam percakapan mereka. Oleh sebab itu, tingginya tingkat solidaritas juga menyebabkan S melakukan alih kode. Kemudian, data percakapan nomor 4 menunjukkan bahwa alih kode yang terjadi adalah alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Alih kode yang dilakukan M ini terjadi akibat adanya perubahan situasi. Perubahan situasi ini disebabkan oleh peserta tutur (hadirnya orang ketiga, yaitu SA). M menggunakan bahasa Jepang ketika berbicara dengan K di ruangan IT, “Hai. Naga sugiru... (melanjutkan dalam bahasa Jepang).” (baris ke-2). Ketika SA masuk ke dalam ruangan IT, SA berbicara dengan M dengan menggunakan bahasa Indonesia, “Permisi...selamat siang, pak. ini ada mahasiswa yang ingin meneliti percakapan Bapak dengan K-san. Kira-kira mengganggu pekerjaan Bapak tidak?” (baris ke-3). Selanjutnya, M menggunakan bahasa Indonesia ketika menjawab pertanyaan SA, “Oh, silahkan...silahkan.” (baris ke4). M melakukan alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia karena SA tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Jepang. Situasi ini mengharuskan M untuk melakukan alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. M bertujuan agar pesan/jawaban yang diberikannya dapat diterima dengan baik oleh SA dan mencegah terjadinya kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Karena itu, data percakapan nomor 4 ini juga menunjukkan jenis situational code-switching. Berbeda dengan data percakapan nomor 1, 3 dan 4, data percakapan nomor 2 menunjukkan jenis metaphorical code-switching, yaitu alih kode akibat
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
16
adanya perubahan topik. Pada data nomor 2, percakapan terjadi antara V dan KN. V dan KN sedang membicarakan dokumen kontrak penjualan perusahaan dan mereka menggunakan bahasa Inggris (seperti yang tercantum pada baris 1, 2 dan 3). Kemudian, KN yang pada awalnya berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan V, “Oh, ok. Thank you. Now, please write a report for this month.” (data nomor 2 baris ke-2), akhirnya beralih menggunakan bahasa Jepang,“Cotto...sumimasen... (mengangkat telepon). Hai. Oh, K! O genki desuka? Hai, hai. Naniganandemo watashi o yobidasu hitsuyo wa arimasen.. .(melanjutkan dalam bahasa Jepang).” (data nomor 2 baris ke-4). Berdasarkan percakapan tersebut, KN telah melakukan alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Jepang. Alih kode tersebut terjadi akibat adanya perubahan topik. Ketika KN berbicara dengan V mengenai dokumen kontrak penjualan perusahaan, KN menggunakan bahasa Inggris. Kemudian, ketika KN mengangkat telepon dari temannya, ia menggunakan bahasa Jepang karena topik yang dibicarakan berubah. Data percakapan nomor 2 menunjukkan bahwa topik menjadi faktor utama penyebab terjadinya alih kode. Akan tetapi, motivasi juga menjadi faktor penyebab terjadinya alih kode. Data percakapan nomor 2 baris 4 tersebut menunjukkan bahwa KN melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang untuk menjaga jarak dengan V. Dalam kasus alih kode ini, V tidak memiliki kemampuan berbahasa Jepang. Jadi, KN memiliki tujuan untuk meningkatkan jarak antara KN dan V ketika KN mengangkat telepon dari temannya. Peristiwa alih kode tidak hanya terdapat dalam empat percakapan pada tabel 1.2 saja, tetapi juga terdapat dalam empat tabel hasil wawancara yang dilakukan kepada responden. Berikut ini adalah tabel data alih kode berdasarkan hasil wawancara P dengan KN. Wawancara dengan KN berlangsung selama ± 17 menit dan terdapat satu data yang menunjukkan adanya alih kode. Alih kode yang terjadi adalah alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Jepang.
Tabel 1.3 Data yang Diperoleh dari Hasil Wawancara I (KN) No. 1.
Baris 1 2 3 4 5 6 7
8
9
10
11
12
Percakapan
Jenis Alih Kode
P: Ok. Then, what do you think about the level of your English. KN: My level? P: Yeah. KN: My level is poor haha (joking). P: Maybe, excellent? KN: My level’s poor. So-so. Biasa. Biasa.
Situational CodeSwitching
Faktor Penyebab Alih Kode Situasi: peserta tutur dan motivasi
P: I think, you’re good. When do you learn English for the first time? Maybe from your kindergarden— KN: From Junior High School. Normally in Japan...from Junior High School, but—now, it’s changed. Now, from primary school they start to learn English. But, for me—for my age, from Junior High School. P:It just like K-san, he said that he learned English for the first time from Junior High School. KN: Yeah, yeah, almost the same—but, the situation’s changing now. Some people start from kindergarden. I remember—officially, now, in Japan we start from elementary school. P: Ok. Have you ever use two language at one speech act? Maybe, you switch the language from English to Japan? KN: Yes, sometimes. (Ungkapan dalam bahasa Jepang). Something like that.
Sumber: Data diolah penulis Data nomor 1 menunjukkan adanya peristiwa alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Jepang. Alih kode yang terjadi adalah situational codeswitching. Perubahan situasi terjadi karena KN merasa suasana wawancara yang awalnya dibuka dengan suatu keresmian, berubah suasananya menjadi lebih santai. Situasi santai ini disebabkan oleh peserta tutur. Ketika P menanyakan kemampuan bahasa Inggris KN, KN menjawab pertanyaan tersebut dengan sikap bercanda: “My level is poor haha (joking)” (data nomor 1, baris ke-4). Hal inilah yang menyebabkan KN melakukan alih kode dalam percakapan selanjutnya, seperti pada baris ke-12: “Yes, sometimes. (Ungkapan dalam bahasa Jepang). Something like that.” Dalam kalimat tersebut, tujuan KN melakukan alih kode adalah untuk memberikan contoh jawaban yang diminta oleh P. Dengan melakukan alih kode itulah KN menyampaikan jawabannya secara jelas kepada P, sehingga P dapat memahami dengan baik jawaban yang disampaikan oleh KN. Tujuan KN dalam memberikan contoh jawaban secara jelas itulah yang menjadi faktor penyebab terjadinya alih kode. Jadi, data percakapan nomor 1 menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
17
alih kode adalah situasi (yaitu peserta tutur) dan motivasi. Data alih kode selanjutnya diperoleh dari hasil wawancara dengan BP. Wawancara tersebut berlangsung selama ± 43 menit. Terdapat dua data percakapan dalam wawancara tersebut, seperti yang tertera dalam tabel berikut ini: Tabel 1.4 Data yang Diperoleh dari Hasil Wawancara II (BP) No
Percakapan
Jenis Alih Kode
Faktor Penyebab
BP: Ya, itu...terlalu banyak kan? Malah, jadi...hmm...kadang-kadang apa, ‘kereta’ kan di sana kan? Mobil tuh kereta kan? Kereta apa, buat Situational Code- Topik, jarak sosial 1 kita kan ngga...orang...orang asing Switching dan Motivasi banyak yang ngga ngerti. Kereta, “What’s you...mean ‘kereta’?” “Why do you call it ‘kereta’?” BP: Ya. Seperti plastic bag ...orang Jepangnya bilang, “Why do you use plastic bag?” Dia bilang, kenapa pakai plastic bag? Katanya tidak representative. Nah, representative 2 itu dia sudah bilang sesuatu yang sudah pakai bahasa Inggris juga. Nah, plastic bag itu apa? Kantong plastik gitu kan? Panjang gitu kan? Plastic bag lebih singkat.
Conversational Code-Switching
Motivasi
Sumber: Data diolah penulis Tabel 1.4 menunjukkan adanya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Data nomor 1 menunjukkan jenis situational code-switching, yaitu alih kode karena adanya perubahan situasi. Situasi wawancara yang awalnya agak formal, berubah menjadi lebih santai. Perubahan situasi ini disebabkan oleh topik yang dibicarakan. Situasi formal terdapat pada awal wawancara karena pertanyaan yang diajukan adalah hal-hal personal mengenai BP (mengenai jabatan, pekerjaan dan jangka waktu bekerja). Kemudian, situasi pun berubah menjadi lebih santai ketika topik yang dibicarakan adalah seputar penggunaan bahasa. Situasi santai yang disebabkan oleh topik ini menyebabkan jarak sosial antara BP dan kawan tuturnya menjadi cukup dekat sehingga BP melakukan alih kode. Data nomor 1 menunjukkan bahwa kesantaian penutur (yang diakibatkan oleh topik dan jarak sosial) menyebabkan terjadinya alih kode. Selain topik, motivasi juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode. Seperti kalimat pada data nomor 1: “What‟s you...mean „kereta‟? Why do you call it „kereta‟?” kalimat tersebut
diucapkan BP sebagai contoh kalimat yang diucapkan oleh penutur aslinya. Data nomor 1 tersebut menunjukkan bahwa BP menjaga originalitas kalimat yang diucapkan oleh penutur lainnya. Tujuan BP dalam menjaga originalitas kalimat tersebut menyebabkan BP melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Oleh sebab itu, data nomor 1 menunjukkan bahwa motivasi juga merupakan faktor penyebab terjadinya alih kode. Berbeda dengan data nomor 1, data nomor 2 menunjukkan adanya jenis conversational codeswitching, yaitu alih kode yang bertujuan untuk mengulangi pertanyaan atau menjawab pertanyaan. Jadi, dalam conversational code-switching ini, penutur melakukan peralihan kode dalam satu kalimat tunggal. Pada data nomor 2, kalimat why do you use plastic bag? diucapkan BP sebagai kutipan dari penutur aslinya, lalu BP mengucapkan kembali kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris, “dia bilang, kenapa pakai plastic bag?” Dalam kalimat-kalimat tersebut, terlihat bahwa BP menjawab dengan mengulangi kalimat dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dua kalimat tersebut memiliki makna yang sama. Tetapi BP menjawabnya berulang-ulang dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa BP telah melakukan conversational code-switching. Tujuan BP untuk memberikan jawaban secara berulang-ulang adalah untuk menegaskan pesan/jawaban kepada kawan tuturnya. Tujuan BP untuk menegaskan pesan/jawaban tersebut menyebabkan terjadinya alih kode. Jadi, faktor penyebab terjadinya alih kode yang ditunjukkan data nomor 2 adalah motivasi.
Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, yaitu mengenai masalah alih kode di PT Suzuki Indomobil Motor, dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir seluruh reponden melakukan alih kode. Hal ini didukung oleh penghitungan data yang menunjukkan bahwa 93,9% responden melakukan alih kode. Alih kode yang terdapat dalam penelitian ini adalah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya), bahasa Inggris ke bahasa Jepang (atau
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
18
sebaliknya) dan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia (atau sebaliknya). Hal ini disebabkan oleh kemampuan responden dalam menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Bahasa primer yang digunakan adalah bahasa Indonesia karena mayoritas responden adalah orang Indonesia. Bahasa Inggris merupakan bahasa sekunder yang digunakan oleh responden. Hal itu disebabkan bahasa Inggris lebih dominan digunakan daripada bahasa Jepang. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa 93,9% responden memiliki kemampuan berbahasa Inggris, sedangkan responden yang memiliki kemampuan berbahasa Jepang hanya 6,1%. Karena itu, alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) lebih dominan terjadi dibandingkan dengan alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Jepang (atau sebaliknya). Selain itu, alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia (atau sebaliknya) juga terdapat dalam penelitian ini. Akan tetapi, berdasarkan observasi, alih kode bahasa Jepang ke bahasa Indonesia jumlahnya lebih sedikit dibandingakan dengan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya). Dalam penelitian ini, hanya ditemukan satu situasi (saat penutur melakukan alih kode dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia). Oleh sebab itu, alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (atau sebaliknya) lebih efektif digunakan dalam berkomunikasi. Dalam penelitian ini, jenis-jenis alih kode yang terjadi adalah situational code-switching, metaphorical code-switching, dan conversational code-switching. Jenis-jenis alih kode tersebut diperoleh dari hasil observasi percakapan dan wawancara. Berdasarkan penjelasan dalam bab sebelumnya, jenis alih kode yang lebih dominan terjadi adalah situational code-switching. Data menunjukkan bahwa perubahan situasi lebih dominan menjadi penyebab terjadinya alih kode. Berbeda dengan situational code-switching, jenis alih kode seperti metaphorical code-switching dan conversational code-switching lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan situational code-switching. Perubahan topik dan pengulangan kalimat tunggal dalam dua bahasa yang berbeda, lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan perubahan situasi, sehingga jenis metaphorical code switching dan conversational code-switching tidak banyak ditemukan dalam penelitian ini.
Penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode, di antaranya: 1. Penutur melakukan alih kode karena adanya beragam situasi. Suasana, waktu, tempat, dan peserta tutur merupakan ragam situasi yang memicu terjadinya alih kode. 2. Penutur melakukan alih kode karena memiliki motivasi. Motivasi ini merupakan adanya alasan atau tujuan penutur untuk melakukan alih kode. 3. Jauh dan dekatnya hubungan antara penutur dengan kawan tuturnya menyebabkan terjadinya alih kode. Semakin penutur merasa bahwa tidak ada jarak antara ia dan kawan tuturnya, maka semakin tinggi pula tingkat solidaritasnya. Begitu pula sebaliknya, semakin jauh jarak antara penutur dengan kawan tuturnya, maka semakin rendah tingkat solidaritasnya. 4. Topik juga menjadi penyebab terjadinya alih kode, baik topik yang bersifat personal maupun umum. Alih kode yang disebabkan topik ini terjadi dalam dua situasi. Pertama, alih kode terjadi ketika penutur membicarakan topik yang bersifat personal dengan kawan tuturnya di telepon. Kedua, alih kode terjadi ketika penutur merasa bahwa topik yang dibicarakan bersifat umum. 5. Jarak sosial antara seorang penutur dengan kawan tuturnya juga menyebabkan terjadinya alih kode. Penutur merasa bahwa jarak antara ia dan kawan tuturnya cukup dekat, suasana pun menjadi lebih santai. Hal tersebutlah yang menyebabkan penutur melakukan alih kode.
Referensi Aria, Satiani. (1985). Alih Kode: Suatu Studi Kasus (Skripsi, Universitas Indonesia, 1985). Depok: Universitas Indonesia. Banowati. (1990). Alih Kode di antara Siswa-Siswa Gandhi Memorial International School. (Skripsi, Universitas Indonesia, 1990). Depok: Universitas Indonesia. Coulmas, Flourian. (2005). Sociolinguistics: The Study of Speakers‟ Choice. New York: Cambridge University Press.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013
19
Hamers, Josiane F., & Blanc, Michel H.A. (1989). Bilinguality and Bilingualism. New York: Cambridge University Press. Haspelmath, Martin., & Tadmor, Uri. (2009). Loanwords in the World's Languages: A Comparative Handbook. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co. Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. New York: Cambridge University Press. Marti, Fauziah A. (1990). Alih Kode dan Campur Kode dalam Novel Villette. (Skripsi, Universitas Indonesia, 1990). Depok: Universitas Indonesia. Meyerhoff, Miriam. (2006). Introducing Sociolingusitics. New York: Routledge. Trudgill, Peter. (1974). Sosiolingusitik: Suatu Pengantar. (Johannis Mangoting, Penerjemah.). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Turnbull, Antonieta C. M. (2012). Code-Switching in Spanish/English Bilingual Speech: The Case of Two Recent Immigrants of Mexican Descent. Teachers College, Columbia University Working Papers in TESOL & Applied Linguistics. 22 Desember 2012. http://www.tc.columbia.edu/tesolalwebjou rnal. Wardhaugh, Ronald. (1998). An Introduction to Sociolinguistic. Great Britain: Blackwell. Weinreich, Uriel. (1974). Language in Contact: Findings and Problems. Netherlands: Mouton.
Alih kode..., Elsa Sepditia Prathama, FIB UI, 2013