FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β
RODHI FIRMANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Rodhi Firmansyah NIM C151114031
RINGKASAN RODHI FIRMANSYAH. Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β. Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DINAR TRI SOELISTYOWATI. Ikan Iriatherina werneri adalah salah satu kelompok ikan rainbow yang memiliki nilai komersil terutama pada individu jantan. Kebutuhan ikan jantan belum terpenuhi sebab pada populasi ikan I. werneri yang dihasilkan menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi, karena itu diperlukan alternatif untuk mendapatkan keturunan monoseks jantan. Produksi monoseks jantan dapat diperoleh dengan melakukan perkawinan ikan betina normal (XX) dengan ikan jantan super (YY) sehingga menghasilkan 100% ikan jantan. Produksi jantan super diperoleh dari hasil perkawinan antara jantan normal (XY) dengan betina fungsional yang berkromosom XY dan diperoleh melalui feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum feminisasi ikan I. werneri menggunakan hormon estradiol 17β pada dosis dan lama perendaman yang berbeda. Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari faktor dosis hormon estradiol-17β 0, 200, 400 dan 600 µg/l dan faktor lama perendaman 6, 12 dan 18 jam masing-masing diulang 3 kali. Perendaman dilakukan pada embrio stadia bintik mata sebanyak 200 embrio per ulangan perlakuan menggunakan kantong plastik kemas ukuran 35 x 25 cm2 yang di dalamnya telah diisi 1 liter larutan hormon estradiol-17β sesuai dengan dosis perlakuan dan diisi oksigen. Kantong plastik tersebut ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran 90 x 60 x 25 cm3 dengan tinggi air 20 cm. Setelah perendaman dilakukan selama 6, 12, dan 18 jam, kemudian larva dipelihara selama 70 hari. Tingkat penetasan (hatching rate) dihitung setelah semua embrio menetas (hari ke-7 setelah pemijahan) dan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada umur 70 hari serta dilakukan pemeriksaan nisbah kelamin. Selanjutnya dilakukan uji progeny untuk mengevaluasi ikan betina fungsional (XY) melalui persilangan dengan ikan jantan (XY) yang diasumsikan akan menghasilkan keturunan berjenis kelamin jantan 75% melalui pemeriksaan nisbah kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan estariol-17β dapat meningkatkan persentase ikan betina I. werneri 85,56-92,22% pada dosis 400 dan 600 µg/l selama 6 dan 12 jam (P<0,05). Lama perendaman 6 jam menghasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri yang terbaik yaitu 52,55-67,75% (P<0,05), sedangkan perbedaan dosis dan lama perendaman tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penetasan ikan I. werneri (P≥0,05). Hasil uji progeny menunjukkan 40% induk betina hasil feminisasi diduga betina fungsional berjenis kelamin XY.
Kata Kunci: Feminisasi, Iriatherina werneri, estradiol-17β, uji progeni
SUMMARY RODHI FIRMANSYAH. Feminization of Rainbow fish Iriatherina werneri using Estradiol-17β hormone. Supervised by ODANG CARMAN and DINAR TRI SOELISTYOWATI. Iriatherina werneri is a species of rainbow fish that has commercial value, especially the male fish. Unfortunately, unmet needs of male fish happens because the population of the I. werneri showed that the number of males produced was 2025% of the total population. In that case, the alternative to fulfill the need of monosex breeding on male fish is necessary. Monosex production of the male can be obtained by breeding the normal female (XX) with a super male (YY) to produce 100% male. Production of super male is obtained from the breeding process between the normal male fish (XY) with the functional female by chromosome XY and feminization process through the use of estradiol-17β hormone. This study aimed to evaluate the optimum conditions of feminization process of I. werneri by using the estradiol-17β hormone on different dose and duration of immersion. The study was designed using factorial design of Completely Randomized Design consist of a dose factor of estradiol-17β hormone 0, 200, 400 and 600 µg/l and immersion duration factor 6, 12 and 18 hours (each repeated three times). Soaking process applied on embryo eyed stage with a number of 200 embryos per treatment by using a 35 x 25 cm2 plastic bags in which has been filled with 1 litter solution of the estradiol-17β hormone in accordance with dose treatment and filled with oxygen. The plastic bags were placed inside the aquarium with the size of 90 x 60 x 25 cm3 and filled with water of 20 cm height. After immersion conducted for 6, 12 and 18 hours later, the larvae then reared for 70 days. The hatching rate calculated after the embryos hatched (the 7th day after spawning) and survival (survival rate) at the age of 70 days. Other than this, the sex ratio examination also conducted. Progeny test was then performed to evaluate the functional female (XY) through crossbreeding with normal male (XY) which is assumed to produce progeny male as much as 75 % through a sex ratio examination. The result showed that the treatment of estradiol-17β hormone could increase the percentage of female fish from 85.56 to 92.22% at doses of 400 and 600 µg/l for 6 and 12 hours (P< 0.05). Soaking time for 6 hours resuted the best number of survival rate of I. werneri which was 52.55 to 67.75% (P<0.05), while the difference in the dose and duration of immersion showed no significant effect on the level of I. werneri hatcheries (P ≥ 0.05). Progeny test results showed that 40% of the female parent were feminization functional alleged sex XY females. Keywords: Feminization, Iriatherina werneri, estradiol-17β, progeny test.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FEMINISASI IKAN RAINBOW Iriatherina werneri DENGAN HORMON ESTRADIOL-17β
RODHI FIRMANSYAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Julie Ekasari, S.Pi, M.Si
Judul Tesis : Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β Nama : Rodhi Firmansyah NIM : C151114031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Odang Carman MSc Ketua
Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Widanarni, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 03 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April-Desember 2015 ini ialah Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc dan Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati DEA selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan motivasi yang telah diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk rekan-rekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran. Terima kasih kepada Jurnal Ikhtiologi Indonesia yang telah menerima jurnal penulis untuk diterbitkan. Akhir kata, penyusun berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2016
Rodhi Firmansyah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xii xii xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Hipotesis Tujuan dan Manfaat
1 1 3 3 3
2 METODE Waktu dan Tempat Ikan Uji Rancangan Penelitian Prosedur Penelitian Parameter Uji Analisis Data
4 4 4 4 4 6 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
7 7 12
4 SIMPULAN Simpulan
15 15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1 Jadwal dan jenis pakan alami yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri 2 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri 3 Hasil pemijahan pada uji progeni ikan I. werneri
5 6 12
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Perbedaan morfologi ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Perbedaan jaringan gonad ikan I. werneri jantan (1) dan betina (2) Jumlah ikan betina I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β Tingkat penetasan telur ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β 5 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β 6 Persentase nisbah kelamin jantan dan betina ikan I. werneri hasil uji progeni pada verifikasi ikan betina fungsional (XY)
8 8 9 10 10 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar Ikan Iriatherina werneri jantan (a) dan betina (b) Tabel perendaman dengan hormon estradiol-17β pada beberapa spesies Tabel hasil pemijahan ikan I. werneri Data persentase nisbah kelamin betina, tingkat penetasan dan tingkat kelangsungan hidup ikan Iriatherina werneri Analisis ragam (UNIVARIATE) Jumlah ikan betina I. werneri (SPSS 16) Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat penetasan I. werneri (SPSS 16) Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat kelangsungan hidup I. werneri (SPSS 16) Data persentase nisbah kelamin hasil uji progeni ikan I. werneri Analisis nisbah kelamin jantan dan betina pada uji progeni ikan I. werneri dengan uji chi-square pada selang kepercayaan 95%
19 19 19 20 20 22 23 24 24
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang menjadi bisnis perdagangan yang potensial di dalam maupun di luar negeri. Ikan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para pecinta ikan hias, seperti keindahan akan warna, corak yang beragam dan bentuk yang berbeda dari setiap jenis, serta dapat dijadikan sebagai pajangan atau hiasan, salah satunya adalah kelompok ikan pelangi yang umumnya dikenal dengan nama ikan rainbow atau “rainbowfish”. Ikan jenis ini termasuk ke dalam famili Melanotaeniidae. Sejauh ini, sudah ada sekitar 76 spesies dari 7 genus yang telah berhasil dideskripsi oleh ahli taksonomi (Allen et al., 2008; Tappin, 2011; Kadarusman et al., 2010; Nugraha 2015). Salah satu ikan hias yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu ikan Iriatherina werneri yang merupakan kelompok ikan hias rainbow. Ikan I. werneri dikenal dengan nama Threadfin rainbow fish memiliki bentuk yang sangat menarik khususnya pada individu jantan. Ikan I. werneri merupakan spesies tunggal pada genus Iriatherina dalam famili Melanotaeniidae. Ikan I. werneri dapat tumbuh hingga ukuran maksimum 5 cm dengan ukuran umumnya 3-4 cm ditemukan pada sungai yang jernih, sedikit mengalir, rawa-rawa berumput dan laguna yang memiliki vegetasi berlimpah. Ikan ini sering ditemukan di sepanjang tepi hutan lebat laguna, sungai-sungai kecil dengan kedalaman 0.5-1.25 m, dan di perairan terbuka yang tidak jauh dari rumpun tanaman. Menurut Tappin (2011) I. werneri dapat tumbuh dan berkembangbiak pada kisaran suhu 22-30 0C dan pH antara 5.2-7.5 di habitat alaminya. Ikan jantan dewasa memiliki dua sirip punggung di mana sirip punggung yang pertama berbentuk seperti fin kipas dan sirip punggung kedua memiliki filamen yang sangat panjang sehingga terlihat elegant, begitu juga dengan sirip anal. Sirip yang elegant ini digunakan untuk memamerkan keindahan tubuh di antara ikan jantan lainnya serta untuk menarik perhatian ikan betina. Bentuk tubuh ikan jantan ramping, lateral compressed, berwarna silver metalik dengan sedikit terlihat garis vertikal gelap. Menurut Tappin (2011) warna sirip punggung, anal dan dada hitam kemerah-merahan, sedangkan sirip ekor bercagak, transparan dan tipis berwarna merah muda, sedangkan ikan betina memiliki warna terlihat pucat dibandingkan ikan jantan, tidak memiliki filamen-filamen panjang namun terdapat persamaan bentuk dan warna pada sirip ekor sehingga mengakibatkan ikan jantan I. werneri lebih diminati dibandingkan dengan ikan betinanya (Lampiran 1) Permintaan ikan I. werneri cukup besar terutama pada ikan jantan. Hal ini diketahui berdasarkan wawancara pembudidaya ikan di daerah Bogor yang menjelaskan bahwa berapa pun jumlah ikan yang dihasilkan dari kegiatannya selalu terjual habis bahkan jumlah tersebut masih belum memenuhi permintaan kuota para pengumpul yang biasa mensuplai para eksportir, selain itu; pada populasi ikan Iriatherina werneri yang dihasilkan oleh para pembudidaya tersebut menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan I. werneri ini adalah menghasilkan individu jantan secara massal, yaitu dengan teknik sex reversal. Sex reversal merupakan satu teknik untuk mengarahkan kelamin jantan atau betina pada masa diferensiasi kelamin (Arfah et al., 2002), Zairin (2002)
3
menambahkan bahwa teknik seks reversal mengubah fenotipe ikan jantan atau betina tetapi tidak mengubah genotipenya. Sex reversal dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara langsung menggunakan hormon steroid (estrogen atau androgen) untuk mempengaruhi proses diferensiasi kelamin dan secara tidak langsung melalui persilangan. Pengarahan kelamin secara langsung menghasilkan pembalikan kelamin secara fungsional tanpa merubah kromosom kelamin secara genetik. Secara genetik, jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh kromosom kelamin, namun fungsi kelamin dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pada fase diferensiasi kelamin yaitu saat awal pembentukan zigot hingga larva, pembentukan jenis kelamin ikan masih labil, sehingga dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid (Yamazaki, 1983). Menurut Strussman et al. (1996), perlakuan hormonal harus dilaksanakan pada periode labil yaitu sebelum gonad berdiferensiasi, karena periode ini sensitif terhadap perlakuan hormon. Selain itu sensitivitas hormon steroid terhadap perkembangan diferensiasi seks sangat tergantung pada fase perkembangan gonad yang terjadi (Piferre dan Donaldson, 1991). Dalam hal ini puncak sensitivitas terjadi setelah pembelahan sel jaringan gonad atau sebelum jaringan gonad terdiferensiasi. Fenomena ini menurut Carman et al. (1998), berhubungan dengan fungsi kromosom kelamin pada pembentukan jenis kelamin belum aktif. Pada produksi ikan jantan secara masal melalui persilangan dapat dilakukan dengan mengawinkan individu betina dengan jantan super yaitu individu jantan dengan kromosom homogametik (YY), sehingga menghasilkan 100% ikan jantan (XY). Ikan jantan super dapat diperoleh dengan cara perkawinan silang antara jantan normal dengan betina fungsional (XY) yaitu ikan jantan yang diarahkan fungsi kelaminnya menjadi betina sehingga akan dihasilkan 25% betina normal (XX) dan 75% jantan yang terdiri dari 25% jantan super (YY) dan 50% jantan normal (XY). Teknologi jantan super (YY) memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan dan peningkatan nilai komersial budidaya (Mair et al., 1997). Untuk mendapatkan betina fungsional yang memiliki kromosom (XY) dapat dilakukan melalui feminisasi, di antaranya menggunakan hormon estradiol-17β. Feminisasi pada ikan I. werneri merupakan langkah awal untuk memperoleh individu jantan super. Menurut Pongthana et al. (1999) dan Sutrisno (1996) produksi ikan betina dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu cara langsung dengan perlakuan hormon dan cara tidak langsung yaitu melalui manipulasi genom yang dilanjutkan dengan perlakuan hormon. Sedangkan menurut Wihardi et al. (2014) feminisasi dapat dilakukan dengan penggunaan bahan aktif yang terdapat pada Solanum sp. melalui ekstraksi. Estradiol-17β adalah hormon estrogen alami yang telah terbukti efektif mengarahkan kelamin betina (feminisasi) pada Cyprinidae, Anabantidae, Poeciliidae, Ictaluridae, Salmonidae dan Cichlidae (Pandian dan Shella, 1995), Pseudobagrus fulvidraco (Park et al., 2004) dan Salmoides micropterus (Arslan et al., 2009). Pemberian hormon estradiol-17β secara langsung dapat dilakukan dengan pemberian oral (Kurniasih et al., 2006), penyuntikan dan perendaman (Sutaman, 2002). Pemberian hormon estradiol-17β secara oral dapat dilakukan dengan mencampurkan hormon dalam pakan buatan atau dengan pakan alami melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp. Saat ini pemberian hormon melalui pakan banyak dilakukan, tetapi hanya terbatas pada ikan yang dapat mengkonsumsi pakan buatan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Di samping itu, pemberian hormon steroid melalui pakan buatan kemungkinan dapat mengalami pencucian (leaching) selama di dalam air (Tan-Fermin et al., 1994). Pemberian hormon
melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp. membutuhkan hormon yang lebih sedikit tetapi dari segi teknis, cara ini kurang praktis karena perendaman naupli perlu dilakukan setiap waktu saat larva akan diberi pakan. Di samping itu, penanganan sulit dan memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses perendaman. Bila dilihat dari segi efisiensi waktu dan penanganan serta jumlah hormon yang digunakan maka cara yang paling baik adalah dengan sistem perendaman embrio (Arfah, 2002). Perendaman telur dilakukan pada saat setelah terbentuk bintik mata (eyed stage). Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Baker et al. (1988) pada telur ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) yang baru membentuk bintik mata dan akan menetas. Menurut Purwati et al. (2004) pemberian hormon estradiol-17β melalui perendaman embrio dapat meningkatkan persentase jenis kelamin betina sebesar 77.47% dengan dosis 400 µg/l dan waktu perendaman 12 jam; Hunter & Donaldson (1983) melaporkan bahwa pada ikan coho dan chinook salmon yang direndam dalam estradiol-17β dengan konsentrasi 200-1600 µg /l menghasilkan betina masing-masing 87-97% dan 66-91% (Lampiran 2) Rumusan Masalah Ikan I. werneri adalah salah satu ikan hias yang memiliki nilai komersil, terutama pada individu jantan karena bentuknya yang sangat menarik, banyak diminati oleh masyarakat dalam negeri maupun internasional. Kebutuhan ikan jantan I. werneri ini belum dapat terpenuhi pada pemijahan alami, sebab pada populasi ikan Iriatherina werneri yang dihasilkan menunjukkan bahwa jumlah individu jantan hanya 20-25% dari jumlah total populasi. Upaya peningkatan populasi jantan adalah memproduksi ikan jantan secara masal (monoseks jantan). Monoseks jantan dapat diperoleh dengan menyilangkan betina normal dengan jantan super sehingga diperoleh 100% jantan. Jantan super dapat diperoleh dengan cara perkawinan silang antara jantan normal (XY) dengan betina fungsional (XY) sehingga akan dihasilkan 25% betina normal, 25% jantan super dan 50% jantan normal. Sedangkan untuk mendapatkan betina fungsional berkromosom XY melalui feminisasi dapat dilakukan dengan menggunakan hormon Estrogen (estradiol-17β) melalui perendaman embrio. Hipotesis Dosis hormon estradiol-17β dan lama perendaman embrio stadia bintik mata pada feminisasi ikan I. werneri mempengaruhi persentase ikan berjenis kelamin betina yang dihasilkan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum feminisasi I. werneri dengan cara perendaman embrio stadia bintik mata di dalam larutan hormon estradiol 17β pada dosis dan lama perendaman yang berbeda sebagai upaya penyediaan calon induk betina fungsional (XY) untuk memproduksi ikan I. werneri jantan super (YY).
5
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Desember 2015 di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairain, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan Uji Ikan uji yang digunakan untuk feminisasi adalah embrio ikan I. werneri stadia bintik mata. Jumlah embrio yang digunakan untuk setiap unit ulangan perlakuan sebanyak 200 embrio dari hasil pemijahan alami secara masal 240 ekor induk betina dan 120 ekor induk jantan. Sedangkan untuk uji progeni, ikan yang digunakan adalah 15 ekor induk betina dari hasil feminisasi dan 15 ekor induk jantan normal. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari faktor dosis hormon estradiol-17β 0, 200, 400 dan 600 µg/l dan faktor lama perendaman 6, 12 dan 18 jam masing-masing diulang 3 kali.
Prosedur Penelitian Pemeliharaan dan Pemijahan Induk Induk dipelihara di dalam kolam ukuran 180×90×60 cm3 dengan ketinggian air 40 cm. Induk ikan I. werneri dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina, dengan kepadatan 1-2 ekor/liter, serta diberi pakan komersial berbentuk tepung (Fengli 0, dengan kandungan protein 40%) dan zooplankton (Moina sp.) secara adlibitum dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Induk jantan dan betina yang siap memijah di seleksi secara morfologi dengan melihat bentuk perut yang relatif lebih besar pada ikan betina, dan melihat ukuran tubuh yang lebih besar dengan warna relatif cerah serta melihat pergerakan sirip punggung dan anal yang lebih aktif pada ikan jantan. Selanjutnya induk yang siap memijah tersebut dimasukkan ke dalam empat wadah pemijahan berupa akuarium ukuran 30×30×30 cm3 pada malam hari (20.00 WIB) dengan jumlah jantan dan betina pada setiap akuarium masing-masing 30 dan 60 ekor. Pada pagi hari berikutnya (jam 06.00 WIB), 30 menit setelah ikan diberi pakan, dimasukkan tali rafia yang berfungsi sebagai substrat untuk penempelan telur. Beberapa menit setelah substrat dimasukkan biasanya induk akan mulai memijah dan selesai memijah pada sore hari (15.00 WIB). Pada saat pemijahan berakhir telur dikoleksi dengan cara mengangkat substrat, telur yang telah dibuahi digunakan untuk perlakuan feminisasi. Proses pemijahan dilakukan selama 5 hari pemasangan induk jantan dan betina. Feminisasi dengan Hormon Estradiol-17β Telur yang telah dipanen dimasukkan ke dalam wadah inkubasi berupa kotak plastik ukuran 19×13×9 cm3 yang diisi air sebanyak 1 liter sampai mencapai
stadia bintik mata (±72 jam). Pada saat stadia bintik mata, 200 embrio dimasukkan ke dalam kantong plastik kemas ukuran 35×25 cm2 yang di dalamnya telah diisi 1 liter larutan hormon estradiol-17β sesuai dengan dosis perlakuan (0, 200, 400 dan 600 µg/l) kemudian diisi oksigen dan diikat dengan karet gelang seperti prosedur pengemasan pada transportasi benih ikan. Kantong plastik tersebut ditempatkan di dalam akuarium yang berukuran 90×60×25 cm3 dengan tinggi air 20 cm. Perendaman dilakukan selama 6, 12, dan 18 jam. Setelah perendaman, plastik diangkat dari akuarium perendaman dan semua embrio dimasukkan kembali ke dalam wadah inkubasi hingga menetas menjadi larva. Tingkat penetasan (hatching rate) dihitung setelah semua embrio menetas sampai hari ke-7 pasca pemijahan. Pemeliharaan Larva Larva yang menetas dipelihara hingga umur 7 hari dalam wadah inkubasi, kemudian dipindahkan ke dalam akuarium ukuran 60×30×30 cm3 dengan air setinggi 20 cm dan dipelihara sampai umur 70 hari serta dihitung tingkat kelangsungan hidupnya (survival rate). Pemberian pakan dilakukan saat larva berumur tiga hari sebanyak 3 kali sehari secara adlibitum. (Tabel 1). Tabel 1 Jadwal dan jenis pakan yang diberikan selama pemeliharaan Ikan I. werneri No 1 2 3 4 5
Umur ( hari setelah menetas) 3–5 6–7 8 – 20 21 – 27 28 – 70
Jenis Pakan Infusoria Infusoria dan rotifera Rotifera Rotifera dan artemia Artemia dan pakan buatan
Penyifonan dilakukan setiap pagi dengan pergantian air sebanyak 20% untuk menjaga agar kualitas air tetap baik. Pengukuran kualitas air dilakukan pada wadah inkubasi, penetasan dan wadah pemeliharaan (Tabel 2). Tabel 2 Parameter kualitas air pada pemeliharaan ikan I. werneri Parameter Oksigen terlarut pH Suhu
Satuan mg/L Unit ºC
Kisaran 6–7 7,0 – 7,8 24 – 30
Nilai Toleransi 5 – 8 (Tapin 2011) 5,2 – 7,5 (Tapin 2011) 22 – 30 (Tapin 2011)
Pemeriksaan jenis kelamin Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan pada hari ke 70 setelah penetasan berdasarkan pengamatan karakter sekunder secara morfologis serta pemeriksaan jaringan gonad dengan menggunakan metode asetokarmin. Secara morfologi ikan jantan dan betina dibedakan berdasarkan sirip punggung, sirip dada, sirip anal dan bentuk tubuh. Sedangkan pemeriksaan jaringan gonad dengan metode asetokarmin dilakukan dengan mengambil gonad ikan uji, diletakkan di atas gelas objek dan diwarnai dengan larutan asetokarmin, lalu diamati di bawah mikroskop. Uji progeni Uji progeny dilakukan dengan mengawinkan satu persatu induk betina hasil feminisasi dengan jantan normal secara berpasangan di dalam wadah pemijahan berupa kotak plastik ukuran 19×13×9 cm3 yang diisi 1,5 liter air. Proses pemijahan
7
berlangsung secara alami dan pelaksanaannya sama dengan prosedur pemijahan pada penyediaan embrio untuk feminisasi. Telur ikan hasil pemijahan diangkat dan dihitung jumlahnya serta tingkat pembuahannya, kemudian dipindahkan ke dalam akuarium ukuran 20×20×20 cm3 dengan ketinggian air 17 cm untuk diinkubasi. Larva ikan menetas setelah 7 hari kemudian dipelihara di dalam akuarium yang sama hingga berumur 58 hari. Jenis pakan dan jadwal pemberian pakan seperti pada Tabel 2. Tingkat kelangsungan hidup dan identifikasi jenis kelamin dilakukan pada hari ke 58 dengan metode seperti dijelaskan pada pemeriksaan jenis kelamin. Uji progeny bertujuan untuk memverifikasi induk betina fungsional (XY) hasil feminisasi, yaitu dengan mengasumsikan bahwa nisbah kelamin keturunan dari hasil perkawinan antara jantan normal (XY) dan betina fungsional (XY) adalah 75% berjenis kelamin jantan dan 25% betina. Parameter Uji Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Nisbah Kelamin Nisbah kelamin adalah perbandingan jumlah persentase ikan berjenis kelamin jantan atau betina dibandingkan dengan jumlah ikan yang diamati. Persamaan yang digunakan adalah : N
Jk (%) = N t x 100 o
Keterangan : Jk = Ikan berjenis kelamin jantan atau betina (%) Nt = Jumlah ikan berjenis kelamin jantan atau betina (ekor) No = Jumlah ikan yang diamati (ekor) Tingkat Pembuahan Tingkat pembuahan adalah persentase jumlah telur yang terbuahi dibandingkan dengan jumlah total telur. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat pembuahan adalah : Tpb (%) =
Tt x 100 To
Keterangan : Tpb = Tingkat pembuahan (%) Tt = Jumlah telur yang terbuahi (ekor) T = Jumlah total telur (butir) Tingkat Penetasan Tingkat penetasan adalah persentase jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan jumlah larva yang terbuahi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat penetasan adalah :
Tpt (%) =
Tt x 100 To
Keterangan : Tpt = Tingkat penetasan (%) Tt = Jumlah telur larva menetas (ekor) Tb = Jumlah telur yang terbuahi (butir) Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup adalah persentase jumlah ikan yang hidup di akhir penelitian dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditebar. Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup adalah :
Tkh (%) =
Kt x 100 Ko
Keterangan : Tkh = Tingkat kelangsungan hidup (%) Kt = Jumlah ikan yang hidup di akhir penelitian (ekor) Ko = Jumlah ikan yang ditebar (ekor)
Analisis Data Data yang didapat ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan statistik (ANOVA) dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan SPSS 18, meliputi jumlah telur, tingkat pembuahan, tingkat penetasan, tingkat kelangsungan hidup dan persentase jenis kelamin. Analisis asumsi nisbah kelamin betina:jantan pada uji progeni sebesar 75%:25% diuji menggunakan uji chi-square dengan selang kepercayaan 95%.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Total telur yang dihasilkan pada pemijahan ikan I. werneri adalah 7368 butir yang didapat dari pemijahan alami antara 120 ekor induk jantan dan 240 ekor induk betina Iriatherina werneri yang dipijahkan selama 5 hari berturut-turut, jumlah telur yang dihasilkan 901-1707/hari dengan rata-rata jumlah telur untuk setiap induk betina adalah 3,75-7,18 butir sehari dan tingkat pembuahan 97.50-98.00%. (Lampiran 3). Nisbah Kelamin Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan berdasarkan pengamatan karakter sekunder secara morfologis. Ikan jantan dan betina dibedakan berdasarkan sirip punggung, sirip perut, sirip anal, sirip ekor dan bentuk tubuh. Perbedaan yang mencolok dapat dilihat pada filamen yang dimiliki oleh ikan jantan pada sirip
9
punggung kedua dan pada filamen sirip anal yang tidak dimiliki oleh ikan betina (Gambar 1).
Sumber: Dokumentasi penulis Keterangan :
1. Sirip punggung pertama 2. Sirip punggung ke dua 3. Sirip dada 4. Sirip perut
5. Sirip anal 6. Filamen-filamen sirip punggung 7. Filamen-filamen sirip anal 8. Sirip ekor
Gambar 1 Perbedaan morfologi ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Hasil pemeriksaan jaringan gonad pada ikan I. werneri hasil perlakuan yang menggunakan metode asetokarmin memperlihatkan bahwa jaringan gonad jantan (testis) yang terlihat di bawah mikroskop berupa titik-titik kecil yang merupakan sel-sel spermatozoa (Gambar 2a), sedangkan jaringan gonad betina (ovari) berbentuk bulatan relatif besar yang merupakan sel telur (oogonium) dengan ukuran yang berbeda dan di tengahnya terdapat inti (Gambar 2b).
a
b
2 1
Keterangan : Spermatozoa (1), Oogonium (2)
Gambar 2 Perbedaan jaringan gonad ikan I. werneri jantan (a) dan betina (b) Feminisasi ikan I. werneri melalui perendaman embrio pada stadia bintik mata menggunakan hormon estradiol-17β dengan dosis dan lama perendaman yang berbeda mempengaruhi persentase ikan betina (p<0,05) dan tingkat kelangsungan hidup ikan (p<0,05), namun tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat penetasan telur (p≥0,05). Persentase nisbah kelamin betina tertinggi yaitu sebesar 92,22% terdapat pada perlakuan dosis 400 µg/l dengan lama perendaman 12 jam, diikuti oleh perlakuan dosis 600 µg/l dengan lama perendaman 12 jam sebesar 90 %.
Lama Perendaman 6 jam
Jumlah Ikan Betina (%)
100 80
12 jam Cb
Bb Bb Ab
Ab Aa
Ba
18 jam Cb Ca
Cb Cb
Ca
60 40 20 0 0
200 400 Dosis Estradiol-17β (µg/L)
600
Gambar 3 Jumlah ikan betina (%) I. werneri hasil feminisasi dengan Estradiol-17β . (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%)
Persentase kelamin betina yang terendah terdapat pada perlakuan dosis 200 µg/l dengan lama perendaman 12 jam yaitu 77,78%, sedangkan pada perlakuan kontrol (0 µg/l) 75.51-77.73% (Gambar 3). Hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dengan lama perendaman tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan dosis menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kontrol, sedangkan antara perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada perlakuan lama perendaman 6 dan 2 jam menunjukkan hasil yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan lama perendaman 18 jam (Lampiran 5). Tingkat Penetasan Berdasarkan data tingkat penetasan telur pasca perlakuan perendaman dalam larutan estradiol-17β (Gambar 4), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase tingkat penetasan pada semua perlakuan bervariasi dengan kisaran 69,00-79,17% dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan kisaran 75,50-77,33% (P≥0,05). Dengan kata lain perlakuan perendaman embrio stadia bintik mata pada dosis dan lama perendaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tingkat penetasan ikan I. werneri. Dari hasil pengujian interaksi antara faktor dosis dan faktor lama perendaman tidak ditemukan adanya interaksi diantara kedua faktor tersebut yang mempengaruhi tingkat penetasan (Lampiran 6)
11
Lama Perendaman 6 jam 12 jam 18 jam
Tingkat Penetasan (%)
100 .
Aa Aa
Aa
Aa
Aa
Aa
Aa
Aa
Aa
Aa
80
Aa
Aa
60 40 20 0 0
200 400 Dosis Estradiol-17β µg/L
600
Gambar 4 Tingkat penetasan telur (%) ikan I. werneri hasil feminisasi dengan estradiol-17β. (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%)
Tingkat Kelangsungan Hidup Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup I. werneri menunjukkan bahwa perlakuan dosis 400 µg/l selama 6 jam menghasilkan kelangsungan hidup tertinggi dengan nilai 67,75%, pada semua perlakuan lama perendaman 12 dan 18
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Lama Perendaman 6 jam 12 jam 18 jam 80
60
Ab
Ab
Ab Aa
Aa
Aa Aa
Aa
Aa Ab
Aa
Aa
40
20
0 0
200
400
600
Dosis Estradiol-17 µg/L Gambar 5 Tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri (%) hasil feminisasi dengan estradiol-17β melalui perendaman embrio. (Huruf kapital yang berbeda menunjukkan beda nyata pada dosis dengan taraf kepercayaan 95%; Huruf kecil yang berbeda menunjukkan beda nyata pada lama perendaman dengan taraf kepercayaan 95%)
jam menunjukkan adanya kecenderungan penurunan tingkat kelangsungan hidup dibandingkan dengan perlakuan lama perendaman 6 jam. Semakin lama waktu perendaman menyebabkan tingkat kelangsungan hidup semakin menurun, hal ini terlihat jelas pada perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l (Gambar 5). Dari hasil uji statistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada interaksi antara pemberian dosis dengan lama perendaman yang berbeda dan perlakuan lama perendaman 6 jam menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan perendaman 12 dan 18 jam (Lampiran 7). Uji Progeni Berdasarkan hasil identifikasi jenis kelamin pada uji progeni menunjukkan bahwa ada 6 ekor induk betina hasil feminisasi yang menghasilkan 50-75% keturunan jantan yaitu induk betina no 1, 2 (dosis 200µ/l + 18 jam), 7, 9 (dosis 400µ/l + 18 jam), 10 dan 11 (dosis 600µ/l + 18 jam), sedangkan induk betina sisanya menghasilkan keturunan jantan di bawah 50% (Gambar 6). Jantan
Nisbah Kelamin (%)
100
*
*
1
2
Betina
*
*
*
*
9
10
11
80 60
40 20 0 3
4
5
6
7
8
12
13
14
15
200 µ/l + 18 jam 400 µ/l + 12 jam 400 µ/l + 18 jam 600 µ/l + 12 jam 600 µ/l + 18 jam
No Induk Gambar 6 Persentase nisbah kelamin jantan dan betina ikan I. werneri hasil uji progeny pada verifikasi ikan betina fungsional (XY) melalui perkawinan dengan ikan jantan normal (XY). (*diduga induk betina fungsional (XY) hasil feminisasi, memenuhi asumsi dengan selang kepercayaan 95%)
Hasil pemijahan untuk uji progeni terhadap 15 ekor induk betina hasil feminisasi menunjukkan bahwa telur yang dihasilkan adalah 6-76 butir, tingkat pembuahan 82,61-100%, tingkat penetasan 71,11-83,32% dan tingkat kelangsungan hidup di akhir penelitian 46,67-80,00% (Tabel 3).
13
Tabel 3 Hasil pemijahan pada uji progeni ikan I. werneri Dosis estradiol-17β (µg/l) + lama perendaman (jam) 200 + 18
400 + 12
400 + 18
600 + 12
600 +18
No Induk
∑ Telur (butir)
Tingkat pembuahan (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
7 13 74 44 58 79 41 77 29 76 23 49 51 66 74
85.71 100.00 91.89 88.64 87.93 96.20 85.37 90.91 96.55 96.05 82.61 95.92 88.24 95.45 94.59
Tingkat Tingkat penetasan kelangsungan (%) hidup (%) 83.33 80.00 76.92 60.00 73.53 58.00 76.92 46.67 74.51 47.37 75.00 66.67 74.29 50.00 78.57 61.82 75.00 52.38 75.34 52.73 78.95 46.67 76.60 52.78 71.11 65.63 77.78 65.31 77.14 64.81
Pembahasan Diferensiasi kelamin pada ikan belum bersifat permanen pada fase perkembangan awal saat embrio atau larva (Arfah & Carman 2008). Fase awal pada proses diferensiasi kelamin dapat diamati dengan mendeteksi perkembangan Primordial Germ Cell (PGC) yang merupakan sel bakal gonad. Dari sel tersebut secara normal arahan dari gen-gen penentu jenis kelamin akan dibentuk gonad untuk individu yang memiliki kromosom (XX) dan individu yang memiliki kromosom (XY). Pada ikan channel catfish fase diferensiasi terjadi pada hari ke-22 setelah menetas yang pada saat itu PGC dapat dideteksi dengan metode histologis (Patino et al. 1996). Faktor genetik dan lingkungan adalah faktor penentu jenis kelamin pada ikan. Kromosom merupakan faktor genetis yang menentukan jenis kelamin suatu individu (Yatim 1983). Pada awal perkembangan embrio, faktor genetis lebih banyak berperan dalam menentukan arah perkembangan organ primer yaitu testis atau ovari, selanjutnya sel-sel gonad yang telah diarahkan tersebut akan menghasilkan hormon-hormon kelamin dengan gamet sesuai dengan kelamin yang ditentukan (Arfah & Carman 2008). Hormon-hormon kelamin tersebut akan mengatur kelanjutan dari proses diferensiasi (Yatim 1983). Semua vertebrata memiliki sel-sel yang akan terdiferensiasi menjadi testis atau ovari yaitu germ cell (PGC). Pada kebanyakan hewan, sel ini akan terdiferensiasi menjadi; bagian medulla sebagai bakal testis dan bagian korteks luar sebagai bakal ovari. Menurut Matty (1985), sel-sel bakal gonad tersebut dapat dirangsang untuk membentuk testis atau ovari yang definitif melalui manipulasi hormonal, sedangkan menurut Strussman dan Patino (1995), sel-sel tersebut dapat dirangsang juga dengan manipulasi temperatur. Secara fisiologis, jenis kelamin ikan dapat diubah dengan hormon steroid. Hormon tersebut pertama kali akan merangsang fenomena reproduksi yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku kawin
(Yamazaki 1983). Proses ini hanya akan berpengaruh terhadap fenotipe jenis kelamin dan tidak pada genotipenya atau gonosomnya. Perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada awal pertumbuhan gonad belum terdiferensiasi menjadi testis atau ovari dengan menggunakan hormon steroid sintesis (Hunter & Donaldson 1983). Penelitian ini menunjukkan bahwa feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β dengan cara perendaman pada embrio stadia bintik mampu meningkatkan jumlah persentase individu betina dari 75,51-77,73% menjadi 77,7892,22%, dengan peluang mendapatkan betina fungsional sebanyak 1,63-20,50%. Hasil ini menunjukkan bahwa feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β dengan cara perendaman menunjukkan efektivitas yang relatif sama dengan metode oral seperti yang dilakukan oleh Carvalho et al. (2014) pada ikan Centropomus undecimalis dengan persentase betina tertinggi 90% dan Subagja et al. (2007) pada ikan Osteochilus hasselti dengan persentase betina tertinggi 94% yang menggunakan metode perendaman pada stadia yang sama. Tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan cara perendaman yang dilakukan secara kontinyu selama 6 minggu dengan menggunakan dosis yang lebih rendah (dosis 50-200 µg/l) seperti dilaporkan oleh Uma (2014) yang menggunakan ikan Gymnocorymbus ternetzi yang mampu meningkatkan persentase betina 33-44%. Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa peningkatan dosis estradiol-17β dari dosis 200 µg/l ke dosis 400 µg/l dapat meningkatkan persentase betina I. werneri, akan tetapi peningkatan dosis estradiol-17β dari dosis 400 µg/l ke dosis 600 µg/l menyebabkan penurunan persentase betina. Hasil ini mengindikasikan adanya hubungan parabolik antara penggunaan dosis estradiol dengan persentase betina yang dihasilkan dengan puncak tertinggi pada dosis 400 µg/l. Pola hubungan seperti ini relatif sering dijumpai dalam riset sex reversal sebagaimana yang dilaporkan oleh Wang et al. (2008) yang menyatakan bahwa pemberian dosis hormon estradiol-17β yang berlebihan pada ikan Lepomis macrchirus dapat menurunkan persentase betina. Hasil serupa terjadi pada feminisasi ikan cupang menggunakan hormon estradiol-17β dosis 400 µg/l selama 6, 12, 18 dan 24 jam yang menunjukkan puncak perendaman yang efektif pada perlakuan perendaman 12 jam (Purwati et al., 2004). Walaupun tidak ditemukan adanya interaksi antara faktor dosis hormon estradiol-17β dengan faktor lamanya perendaman, pengaruh lama perendaman terhadap persentase betina cenderung menunjukkan hubungan parabolik yang sama; puncaknya ditunjukkan pada lama perendaman 12 jam. Fenomena hubungan parabolik antara kedua faktor perlakuan feminisasi dengan persentase betina yang dihasilkan diduga berkaitan erat dengan efek paradoksial yang menyebabkan pengaruh kontra produktif dengan target jenis kelamin yang diharapkan (Sakdiah et al., 2003), di samping perlakuan perendaman hormon yang terlalu lama menyebabkan organ tubuh rusak sehingga proses metabolisme di dalam tubuh ikan tidak berjalan normal (Wihardi et al., 2014). Pada penelitian sex reversal baik feminisasi maupun maskulinisasi umumnya ditemukan adanya individu hermaprodit atau intersex, seperti pada ikan Misgurnus mizolepis yang direndam pada dosis yang lebih rendah (50-200 µg/l) menghasilkan 0,7-4,7% individu intersex (Jo et al., 1997), akan tetapi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya individu intersex, hasil yang sama juga dilaporkan oleh Solar II et al. (1994) pada ikan Chinook salmon yang direndam di dalam 400 µg/l hormon estradiol-17β. Feminisasi pada ikan I. werneri menggunakan hormon estradiol-17β dengan dosis 200-600 µg/l dan lama perendaman 6-18 jam tidak berpengaruh terhadap
15
tingkat penetasan, hal menunjukkan bahwa pada kisaran dosis dan lama perendaman tersebut, perlakuan feminisasi tidak menimbulkan efek negatif yang dapat menggangu proses embriogenesis dan penetasan. Hasil yang relatif sama ditemui pada penelitian Subagja et al. (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda toksisitas terhadap pemberian hormon estradiol-17β sehingga tidak memberikan perbedaan terhadap tingkat penetasan (93,97-96,57%) pada ikan Osteochilus hasselti yang direndam dalam hormon estradiol-17β dosis 100-400 µg/l dan lama perendaman 8-12 jam. Tappin (2011) menyatakan bahwa pada habitat alaminya pemijahan ikan pelangi dapat berlangsung dengan tingkat keberhasilan pembuahan umumnya sekitar 70-80%, sedangkan daya tetas telur dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kualitas telur, media penetasan, dan kualitas air yang meliputi suhu, pH (Alamsyah et al., 2013) tekanan osmotik, cahaya, oksigen (Burmansyah et al., 2013), jenis ikan, ukuran telur, ikan predator (Heltonika, 2014), serta faktor intrinsik embrio (Said & Mayasari, 2010). Secara umum tingkat penetasan telur yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan nilai pada kisaran yang normal Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan lama perendaman 6 jam menunjukkan nilai tertinggi di semua level dosis yang diuji dan berbeda nyata dengan perlakuan lama perendaman 12 dan 18 jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman cenderung menurunkan tingkat kelangsungan hidup ikan I. werneri. Dengan mempertimbangkan data penetasan dan tingkat kelangsungan hidup pada penelitian ini, diduga bahwa efek negatif dari perlakuan perendaman hormon estradiol-17β baru nampak pada masa pemeliharaan yang menunjukkan semakin lama waktu perendaman menyebabkan semakin tinggi mortalitasnya. Hasil serupa terjadi pada feminisasi ikan cupang, Purwati et al. (2004) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan umur 2 minggu cenderung menurun dengan meningkatnya lama waktu perendaman yaitu 42,780,4% dan terus menurun pada akhir pemeliharaan (umur 3 bulan) yaitu 31,044,8%. Pada penelitian ini perbedaan faktor dosis hormon estradiol-17β 200-600 µg/l tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup ikan I. werneri dan kisaran dosis hampir sama dibandingkan dengan yang digunakan pada ikan pada ikan Chinook salmon (dosis 400 µg/l) dengan menggunakan metode yang sama (perendaman) yaitu sebesar 83.2% (Weithermer & Barnum, 1984). Uji progeni atau uji keturunan adalah teknik verifikasi berdasarkan karakteristik keturunan hasil pemijahan ikan uji (Hanif et al. 2006). Uji progeni ini bertujuan untuk memverifikasi induk betina fungsional (XY). Hasil uji progeni berdasarkan tingkat pembuahan dan penetasan pada ikan I. werneri menunjukkan keragaan pemijahan yang relatif tinggi (Tabel 3) dan menunjukkan bahwa ikan betina hasil sex reversal mampu menghasilkan keturunan. Dari 15 ekor induk betina yang dipijahkan berpasangan dengan ikan jantan, 6 di antaranya diduga ikan betina fungsional (XY). Hal ini berdasarkan jumlah jantan yang dihasilkan yaitu 50-75% (Lampiran 9). Hasil uji progeni ini membuktikan bahwa feminisasi yang dilakukan berhasil mendapatkan ikan betina fungsional. Hanif et al. (2006) melaporkan hasil uji progeni yang dilakukan pada ikan Oreochromis niloticus terhadap 47 ekor induk, 41 ekor induk berhasil memijah dan menghasilkan keturunan dan ada 5 ekor induk yang diduga induk betina fungsional yang menghasilkan keturunan berjenis kelamin jantan mencapai 70%. Berdasarkan hasil tertinggi pada persentase betina sebesar 87,78-92,22% pada perlakuan dosis 400 dan 600 µg/l dengan lama perendaman masing 6 dan 12
jam dan kelangsungan hidup tertinggi sebesar 67,75% pada perlakuan dosis 400 µg/l dengan lama perendaman 6 jam, menunjukkan bahwa feminisasi pada I. werneri melalui perendaman embrio pada stadia bintik mata dengan dosis 400 µg/l yang direndam selama 6 jam memberikan hasil yang baik. Perlakuan tersebut berpeluang untuk menghasilkan betina fungsional 20,50%.
4 SIMPULAN Feminisasi ikan I. werneri melalui perendaman hormon estradiol-17β dengan dosis 400 µg/l selama 6 jam pada embrio stadia bintik mata merupakan perlakuan optimum yang dapat menghasilkan persentase betina sebesar 87,78% dan kelangsungan hidup 67,75% dengan peluang menghasilkan betina fungsional sebanyak 20,50%. Hasil uji progeni menunjukkan 40% induk betina yang diuji diduga ikan betina fungsional.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah S, Sara L, Mustafa A. 2013. Studi Biologi Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus areolatus) pada musim tangkap. Jurnal Mina Laut. 1: 73-83. Allen GR, Unmack PJ, Hadiaty RK. 2008. Two new species of rainbowfishes (Melanotaenia: Melanotaeniidae) from Western New Guinea (Papua Barat Province, Indonesia). Aquaculture International Journal of Ichthyology. 14: 209-224. Arfah H, Alimuddin, Sumantadinata K, Ekasari J. 2002. Seks reversal pada ikan Tetra congo stadia larva. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1: 69–74 Arfah H, Carman O. 2008. Manipulasi hormon dan suhu untuk produksi jantan homogametik (xx) dalam rangka pengembangan budidaya monoseks betina ikan patin Pangasianodon hypophthalmus. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7: 33-38 Arslan T, Phelps RP, Osborne JA. 2009. Effects of estradiol-17β or 17αmethyltestosterone administration on gonadal differentiation of largemouth bass Micropterus salmoides(Lacepède). Aquaculture Research. 40: 18131822. Baker IJ, Solar II, Donaldson EM. 1988. Masculinization of Chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) by immersion treatment using 17methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: 359-367. Burmansyah, Muslim, Fitrani M. 2013. Pemijahan ikan Betok (Anabas testudineus) semi alami dengan sex ratio berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1). Carman O, Satrawibawa S, Alimuddin, 1998. Peningkatan kualitas genetik produksi jantan super pada ikan nila merah (Oreochromis niloticus) secara masal dalam rangka peningkatan efisiensi produksi. Laporan riset unggulan terpadu IV. Jakarta : Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional.
17
Carvalho CVA, Passini G, Costa WM, Vieira BN, Cerqueira VR. 2014. Effect of estradiol-17β on the sex ratio, growth and survival of juvenile common snook (Centropomus undecimalis). Acta Scientiarum. 36: 1807-8672. Goetz FW, Donaldson EM, Hunter GA, Dye HM. 1979. Effect of estradiol-17β and 17α-methyltestosteron on gonadal differentiation in the coho salmon (Oncorhynchus kisutch). Aquaculture. 17: 267-278. Hanif S, Yuniati T, Junaedi D. 2006. Teknik produksi induk jantan YY ikan nila (Oreochromis niloticus). BBPBAT Sukabumi. Seminar Indoaqua Jakarta 36 Agustus. 19p. Heltonika B. 2014. Pengaruh salinitas terhadap penetasan telur ikan jambal siam (Pangasius hypohthalmus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2: 13-23. Hunter JE, Donaldson EM. 1983. Hormonal sex control and its application to fish culture. In Fish Physiology (W.S. Hoar, D.J. Randal and E.M. Donaldson, Eds.), vol IX. Academic Press. New York. 304 p. Jo JY, Kim CG, Kim DS. 1997. Sex reversal in Mud Loach Misgurnus mizolepis by immersion. Department of Aquaculture, National Fisheries University of Pusan. South Korea. 5p. Kadarusman, Sudarto, Paradis E, Pouyaud L. 2010. Description of Melanotaenia fasinensis, a new species of rainbowfish (Melanotaeniidae) from West Papua, Indonesia with comments on the rediscovery of M. ajamaruensis and the endangered status of M. parva. Cybium. 34: 207-215. Kurniasih T, Arifin OZ, Marizal. 2006. Feminisasi nila (Gift), Oreochromis niloticus sp. menggunakan hormon estradiol-17β. Jurnal Perikanan. 8: 7480. Mair GC, Abucay JS, Skibinski DOF, Abella TA, Beardmore JA. 1997. Genetic manipulation of sex ratio for the large-scale production of all-male tilapia. Oreochromis niloticus. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 54: 396-404. Matty A. 1985. Fish endocrinology. Croom Helm. London and Sydney. 259p Nugraha 2015. Keragaman genetik filogeni dan konservasi ikan pelangi (Melanotaeniidae) dari Papua Barat dan prospeknya sebagai komoditas baru ikan hias. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pandian TJ, Shella SG. 1995. Hormonal induction of sex reversal in fish. Aquaculture. 138: 1-22. Park I, Kim J, Cho SH, Kim DS. 2004. Sex differentiation and hormonal sex reversal in the bagrid catfish Pseudobagrus fulvidraco (Richardson). Aquaculture. 232: 183-193. Patino R, Davis KB, Schoore JE, Uguz, Strussman CA, Parker NC, Simco BA, Goudie CA. 1996. Sex differentiation of channel catfish Ictalurus punctatus. Aquaculture. 8:81- 93 Piferre F, Donaldson EM. 1991. Dosage dependent differences in the effect of aromatizable and non aromatizable androgen on the resulting phenotype of coho salmon (Oncorhynchus kisutch). Fish Physiology and Biochemistry 9: 145-150. Pongthana N, Penman DJ, Baoprasertkul P, Hussain MG, Shahidul MI, Powell SF, McAndrew BJ. 1999. Monosex female production on the silver barb (Puntius gonionotus Bleeker). Aquaculture. 173: 247-256. Purwati S, Carman O, Zairin MJ. 2004. Feminisasi ikan betta (Betta splendens, Regan) melalui perendaman embrio dalam larutan hormon Estradiol-17β
dengan dosis 400 mg/1 selama 6,12,18 dan 24 jam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 3: 9-13. Said MS, Mayasari N. 2010. Pertumbuhan dan pola reproduksi ikan bada Rasbora argyrotaenia pada rasio kelamin yang berbeda. Limnotek. 17: 201-209. Sakdiah M, Carman O, Zairin MJ. 2003. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon triiodotironin terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Akuakultur Indonesia. 2: 1-6. Sollar II, Donaldson EM, Charles J. 1994. The effect of three estrogens on the direct feminization of Chinook Salmon (Oncorhychus tshawytscha). Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Sciences. Strussman CA, Patino R. 1995. Temperature Manipulation of Sex Differentiation in Fish. In: F. W. Goetz and P. Thomas (Eds.), Proceedings of the Fifth International Symposium on the Reproductive Physiology of the Fish. Texas. Strussman CA, Takashima F, Toda K. 1996. Sex differentiation and hormonal feminization in pejerrey (Odontesthes bonariensis). Aquaculture 139: 3145. Subagja.J, Gustiano R, Winarlin. 2007. Pelestarian Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V) melalui teknologi pembenihannya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumberdaya Genetik Di Indonesia.http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lgen 06-33.pdf?secure=1. [2 Desember 2015] Sutaman. 2002. Pengaruh dosis dan lama waktu perendaman larva udang windu (Penaeus monodon Fab.) pada stadia nauplius dalam larutan hormon estradiol-17b terhadap nisbah kelamin dan pertumbuhannya. [Tesis] Program Pascasarjana Institut pertanian Bogor. Bogor Sutrisno E. 1996. Pengaruh lama waktu pemberian hormon Estradiol-17β secara oral terhadap nisbah kelamin ikan nila merah (Oreochromis niloticus). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tan-Fermin ID, Garcia LMB, Castillo JAR. 1994. Induction of sex inversion in juvenile grouper, Epinephelus suillus (Valenciennes) by injections of 17methyltestosterone. Japanese Journal of Ichthyology, 40: 413-420. Tappin AR. 2011. Rainbow fisher-Their care & keeping in captivity. Art Publication. 484 p. Uma B. 2014. Hormonal sex reversal in Gymnocorymbus ternetzi (Boulenger) using continuous immersion of estradiol-17β for feminization. Indian Journal of Applied Research. 4: 533-534. Wang H, Gao Z, Beres B, Ottobre J, Wallat G, Tiu L, Rapp D, O’Bryant P, Yao H. 2008. Effects of estradiol-17β on survival, growth performance, sex reversal and gonadal structure of bluegill sunfish Lepomis macrochirus. Aquaculture. 285: 216-223. Weithermer AC, Barnum J. 1984. Use of Estradiol and Methyltestosterone to Change Sex Ratios of Chinook salmon. Northwest and Alaska Fisheries Center Auke Bay Laboratory. National Marine Fisheries Service. Alaska. Wihardi Y, Yusanti IA & Haris RBK. 2014. Feminisasi pada ikan mas (Cyprinus carpio) dengan perendaman ekstrak daun-tangkai buah terung cepoka (Solanum torvum) pada lama waktu perendaman berbeda. Ilmu-ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan. 9 (1).
19
Yamazaki F. 1983. Sex control and manipulation in fish. Aquaculture 33: 329-354. Yatim W. 1983. Genetika. Edisi 11. Tarsito. Bandung. 397p. Zairin M. 2002. Seks Reversal: Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta. 96p.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Gambar Ikan Iriatherina werneri jantan (a) dan betina (b)
a
b
Sumber:Bernd Jung 2007
Lampiran 2 Tabel perendaman dengan hormon estradiol-17β pada beberapa spesies ikan Spesies Oncorhynchus tshawytschaa Betta splendensb Oncorhynchus kisutchc Oncorhynchus tshawytschac Oncorhynchus kisutchd a
Dosis Hormon Lama Betina hormon estradiol-17β Perendaman (%) (µg/l) (jam) 400 2 63.0 400 12 77.5 200 48 99.0 200-1600 48 87.0-97.0 200-1600 48 66.0-91.0 400 48 60.0-95.0
Solar II et al. (1994).; b Purwati et al. (2004).; c Hunter & Donaldson (1983).; d Goetz et al. (1979).
Lampiran 3 Tabel hasil pemijahan ikan I. werneri
Hari ke -
Jumlah telur (butir)
Tingkat Pembuahan (%)
1 2 3 4 5 Jumlah
901 1487 1635 1707 1724 7368
98.00 97.50 98.29 98.18 98.43
Rata-rata jumlah telur per induk per hari (butir) 3.75 5.84 6.81 7.11 7.18
21
Lampiran 4 Data Persentase Nisbah Kelamin Betina, Tingkat Penetasan dan Tingkat Kelangsunga Hidup Ikan I. werneri Dosis (µg/l) 0 (Kontrol) 200
400
600
Lama Perendaman (jam) 6 12 18 6 12 18 6 12 18 6 12 18
Tingkat Penetasan (%) 75.50±1.32Aa 76.67±0.29 Aa 77.33±10.28 Aa 71.83±6.25 Aa 69.00±2.00 Aa 73.67±10.56 Aa 70.67±5.39 Aa 77.17±4.04 Aa 79.17±14.07 Aa 74.33±6.11 Aa 77.00±8.50 Aa 79.00±7.81 Aa
Jumlah Ikan Betina (%) 75.51±1.89Ab 76.35±0.31Ab 77.73±1.96Aa 84.33±2.04Bb 84.44±5.09Bb 77.78±1.92Ba 87.78±5.09Cb 92.22±5.09Cb 82.93±0.69Ca 85.56±1.93Cb 90.00±3.33Cb 81.11±5.09Ca
Tingkat Kelangsungan Hidup (%) 52.55±8.98Ab 37.44±12.92Aa 44.45±7.93Aa 53.06±12.29Ab 36.41±10.49Aa 38.60±3.48Aa 67.75±1.83Ab 49.43±12.03Aa 41.98±17.52Aa 48.75±2.18Ab 45.17±17.21Aa 42.76±5.11Aa
Lampiran 5 Analisis ragam (UNIVARIATE) Jumlah Ikan Betina I. werneri (SPSS 16) Levene's Test of Equality of Error Variancesa Dependent Variable: Jumlah Ikan Betina I. werneri F
df1 2.164
df2 11
Sig. 24
.055
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups a. Design: Intercept + dosis + lama perendaman + dosis * lama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Jumlah Ikan Betina I. werneri Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
978.268a
11
88.933
7.944
.000
247879.516
1
247879.516
2.214E4
.000
dosis
635.443
3
211.814
18.920
.000
lama perendaman
208.157
2
104.078
9.297
.001
dosis * lama perendaman
134.669
6
22.445
2.005
.105
Error
268.684
24
11.195
Total
249126.468
36
1246.953
35
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .785 (Adjusted R Squared = .686)
Jumlah Ikan Betina I. werneri dosis
Subset
estradio l Duncana
N
1
2
3
0
9
200
9
600
9
85.5567
400
9
87.6444
Sig.
76.5322 82.1833
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 11.195.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9.000. Jumlah Ikan Betina I. werneri Subset
lama perendaman Duncana
N
1
2
18
12
6
12
83.2925
12
12
85.7550
Sig.
79.8900
1.000
.084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 11.195. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
.198
23
Lampiran 6 Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat Penetasan Ikan I. werneri (SPSS 16) Levene's Test of Equality of Error Variancesa Dependent Variable:Tingkat penetasan Ikan I. werneri F
df1 2.033
df2 11
Sig. 24
.071
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + dosis + lama Perendaman + dosis * lama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tingkat Penetasan Ikan I. werneri Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
352.222a
11
32.020
.568
.835
203100.444
1
203100.444
3.604E3
.000
dosis
162.500
3
54.167
.961
.427
lama
106.681
2
53.340
.947
.402
83.042
6
13.840
.246
.956
Error
1352.333
24
56.347
Total
204805.000
36
1704.556
35
Corrected Model Intercept
dosis * lama perendaman
Corrected Total
a. R Squared = .207 (Adjusted R Squared = -.157)
Lampiran 7 Analisis ragam (UNIVARIATE) Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan I. werneri (SPSS 16) Levene's Test of Equality of Error Variancesa Dependent Variable: F
Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan I. werneri df1
df2
2.046
Sig.
11
24
.069
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + dosis + lama perendaman + dosis * lama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:
Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan I. werneri
Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2495.427a
11
226.857
1.993
.076
Intercept
77938.681
1
77938.681
684.844
.000
dosis
550.728
3
183.576
1.613
.213
lama
1457.892
2
728.946
6.405
.006
486.806
6
81.134
.713
.643
Error
2731.322
24
113.805
Total
83165.429
36
5226.749
35
dosis * lama
Corrected Total
a. R Squared = .477 (Adjusted R Squared = .238)
Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan I. werneri Duncan lama
Subset
perendam an
N
1
2
18
12
41.9475
12
12
42.1117
6
12
Sig.
55.5283 .970
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 113.805.
25
Lampiran 8 Data persentase nisbah kelamin hasil uji progeni ikan I. werneri Dosis estradiol-17β (µg/l) + lama perendaman (jam) 200 + 18
400 + 12
400 + 18
600 + 12
600 +18
No Induk
∑ Telur (butir)
Jumlah ikan jantan (%)
Jumlah Ikan betina (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
7 13 74 44 58 79 41 77 29 76 23 49 51 66 74
50.00 66.67 34.48 28.57 27.78 32.35 53.85 46.88 72.73 75.00 71.43 35.00 33.33 24.14 27.27
50.00 33.33 65.52 71.43 72.22 67.65 46.15 53.13 27.27 25.00 28.57 65.00 66.67 75.86 72.73
Lampiran 9 Analisis nisbah kelamin jantan dan betina pada uji progeni ikan I. werneri dengan uji chi-square pada selang kepercayaan 95% Dosis estradiol-17β (µg/l) + lama perendaman (jam) 200 + 18
400 + 12
400 + 18
600 + 12
600 +18
No Induk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Ikan Ikan Jumlah Jumlah jantan betina ∑ F1 ikan Ikan (3/4) (1/4) (ekor) jantan betina (%) (%)
4 6 29 14 18 34 13 32 11 28 7 20 21 29 33
2 4 10 4 5 11 7 15 8 21 5 7 7 7 9
2 2 19 10 13 23 6 17 3 7 2 13 14 22 24
3 4.5 21.75 10.5 13.5 25.5 9.75 24 8.25 21 5.25 15 15.75 21.75 24.75
0.5 1 2.5 1 1.25 2.75 1.75 3.75 2 5.25 1.25 1.75 1.75 1.75 2.25
X2 0.3333 0 23.275 13.714 18.962 30.745 2.076 12.041 0.030 0.047 0.047 15 17.285 37.344 37.585
Tabel X2 (1,0,05) = 3,84
nonsig* nonsig* sig sig sig sig nonsig* sig nonsig* nonsig* nonsig* sig sig sig sig
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampar Riau pada tanggal 02 April 1988 sebagai anak pertama pasangan Syahminan dan Rahmani. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Kampar tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis lulus Seleksi Penerimaan Masuk Bersama (SPMB) pada jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, pendidikan sarjana penulis selesaikan tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi di program Magister Sains (S-2) Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Ilmu Akuakultur. Selama menempuh pendidikan Master Sains, penulis pernah mengikuti beberapa seminar seperti Simposium Bioteknologi Akuakultur IV tahun 2012, Seminar Nasional Ikan VIII dan Kongres Masyarakat Ikhtiologi Indonesia IV tahun 2014 dan Simposium nasional Ikan Hias tahun 2015. Penulis juga mengirim karya ilmiah di Jurnal Ikhtiologi Indonesia (JII) dan dalam proses untuk publikasi dengan judul Feminisasi Ikan Rainbow Iriatherina werneri dengan Hormon Estradiol-17β.