perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA SMP DI KAWASAN PEDESAAN (STUDI KASUS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP NEGERI 2 KEPIL KABUPATEN WONOSOBO)
SKRIPSI
Oleh Hespi Septiana K1208094 A
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA SMP DI KAWASAN PEDESAAN (STUDI KASUS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP NEGERI 2 KEPIL KABUPATEN WONOSOBO)
Oleh: HESPI SEPTIANA K1208094
Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Mei 2012
commitiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Hargai apa yang kita miliki saat ini. Kebahagiaan tak kan pernah datang kepada mereka yang tak menghargai apa yang telah dimiliki.” (penulis) “Jika kamu percaya pada dirimu, tidak ada yang dapat menghentikanmu untuk mencapai cita-cita yang kamu inginkan.” (RF) “Saat kamu kehilangan sesuatu, janganlah kamu terlalu dengan kesedihan, namun lihatlah apa yang masih kamu miliki dan syukuri itu.” (penulis)
commitvito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Saya persembahkan karya ini untuk:
“Bapak, ibu, Mas Chandra, Mbak Arie , dan semua keluargaku” Terima kasih atas semua do’a, cinta, kasih sayang, semangat, dukungan, pengorbanan, dan harapan yang selalu tercurah untukku. “Riza Fadzli” Terima kasih atas dukungan, ketulusan, kesetiaan, dan kesabaran yang telah kamu beri. “Adit,
Ayuk,
Icha,
Nana,
dan
sahabat-sahabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu” Terima kasih atas kesetiaan, kesabaran,
semangat,
dan
persahabatan yang kalian berikan.
commitviito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Hespi Septiana. K1208094. ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA SMP DI KAWASAN PEDESAAN (STUDI KASUS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP NEGERI 2 KEPIL, KABUPATEN WONOSOBO).Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode, (2) bentuk, dan (3) faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan studi kasus. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIIIC, VIII-D SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. Objek penelitian ini adalah campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 Kepil. Sumber data diperoleh dari guru dan siswa. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data di atas meliputi observasi partisipan pasif pada kegiatan diskusi mata pelajaran bahasa Indonesia dan wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas VII dan VIII dan beberapa siswa dari kelas VII dan VIII. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Validitas data menggunakan triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan review informan. Teknik analisis pengumpulan data, yakni mengunakan analisis model interaktif. Hasil penelitian ini adalah: (1) guru berpendapat bahwa peristiwa alih kode dan campur kode adalah sikap yang salah, sehingga guru selalu membiasakan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia walau pun siswa masih sulit untuk melaksanakannya, (2) alih kode dan campur kode yang ditemukan dalam penelitian ini adalah (a) alih kode intern dan alih kode ekstern, (b) campur kode bahasa, (c) campur kode yang menggunakan unsur penyisip yang berwujud kata dan frasa, dan (d) campur kode ragam, dan (3) faktor-faktor penyebab alih kode yaitu (a) penutur yang berusaha mengimbangi bahasa lawan tutur, (b) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, seperti hadirnya siswa dari kelompok lain, (c) perubahan topik pembicaraan, (d) perubahan formal ke informal tau sebaliknya, dan (e) untuk membangkitkan rasa humor. Faktor penyebab terjadinya campur kode adalah (a) identifikasi peranan sosial, seperti membedakan peran seorang siswa dan guru, (b) identifikasi ragam, seperti ragam santai, beku, usaha, dan resmi, (c) keinginan untuk menafsirkan suatu kata atau istilah yang sulit untuk dijelaskan atau ditafsirkan menggunakan bahasa yang sama, (d) faktor lingkungan keluarga dan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, (e) latar belakang pendidikan yang rendah karena kebanyakan orang tua siswa bukan dari sarjana melainkan hanya lulusan SD atau SMP , (f) belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, dan (g) faktor ekonomi keluarga yang membuat siswa kurang mendapatkan fasilitas yang menunjang pendidikan Bahasa Indonesia seperti internet dan televisi. commitviiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commitviiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji selalu penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Alih Kode Dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Indonesia pada Aktivitas Diskusi Siswa Smp di Kawasan Pedesaan (Studi Kasus Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Smp Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin penilusian skripsi ini; 2.
Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;
3.
Dr. Kundharu Saddhono, S. S., M. Hum., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;
4. Drs. Amir Fuady, M. Hum, selaku Pembimbing I yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini; 5. Dra. Sumarwati, M. Pd, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan motivasi, mengarahkan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini; 6. Kepala SMP Negeri 2 Kepil, yang telah memberi kesempatan dan tempat guna pengambilan data dalam penelitian; commitxiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Ibu Yusephine S, Sayekti Laras Supayaningsih, S. Pd, dan Ruti, S, S. Pd., selaku guru bahasa indonesia SMP Negeri 2 kepil, yang telah member bimbingan dan bantuan dalam penelitian; 8. Bapak/ Ibu guru, staf dan karyawan SMP Negeri 2 Kepil yang telah banyak membantu penulis; 9. Dr. Rr. E. Nugraheni Eko W, S.S., M. Hum, selaku ketua penguji skripsi yang terlah memberi banyak masukan kepada penulis; 10. Drs. Purwadi, selaku ketua penguji skripsi yang terlah memberi banyak masukan kepada penulis; 11. para siswa SMP Negeri Negeri 2 kepil yang telah bersedia untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini; dan 12. semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Selain itu, dapat membantu penelitian yang berikutnya, sehingga mencapai hasil yang lebih baik. Surakarta, Mei 2012
Penulis,
commitxiiito user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu keibutuhan manusia adalah berinteraksi dengan sekitar, baik dengan sesama manusia ataupun dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya bertujuan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu alat yang digunakan manusia untuk berinteraksi adalah bahasa. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan pikiran, ide, perasaan, dan kemauannya kepada orang lain. Menurut Anwar (1984: 20) bahasa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, keduanya memiliki huibungan erat, keduanya saling mendukung, oleh karenanya keberadaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya. Sejak lahir manusia sudah diajarkan untuk berbahasa sebagai sarana berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran bahasa secara formal didapatkan oleh anak-anak mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada yaitu pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan melalui seibuah proses belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar ada dua pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran yang baik yaitu siswa yang harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak seperti proses pembelajaran konvensional di mana siswa hanya menjadi pendengar saat guru menerangkan materi, tetapi siswa yang lebih banyak bicara tentang materi, seperti dalam diskusi kelompok, siswa diarahkan oleh guru agar siswa mau bertukar pikiran dengan teman-teman sekelasnya. Media yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui komunikasi lisan. Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda dengan siswa kawasan pedesaan. Kegiatan belajar mengajar pada siswa yang bersekolah di kawasan perkotaan mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, karena bahasa ibu yang digunakan oleh siswa adalah bahasa Indonesia. Berbeda dengan siswa yang bersekolah di kawasan pedesaan mereka lebih sering berkomunikasi lisan commit1to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
menggunakan bahasa daerah. Hal terseibut yang menjadi masalah saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Di sekolah kawasan pedesaan guru harus lebih berkerja keras dalam mendekatkan siswa pada bahasa Indonesia, bagi siswa yang terbiasa mnggunakan bahasa daerah contohnya siswa yang berasal dari daeah Jawa maka mereka saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung pun siswa akan kesulitan menyesuaikan diri dengan harus berkomunikasi lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di sekolah menengah pertama, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib. Seharusnya siswa sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi formal seperti saat kegiatan pembelajaran berlangsung atau saat siswa melakukan aktivitas diskusi kelompok, bagi siswa yang berasal dari kawasan pedesaan akan kesulitan karena mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa terseibut. Salah satu sekolah menengah pertama yang terletak di kawasan pedesaan adalah SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah . Siswa yang bersekolah di SMP terseibut umumnya berasal dari desa-desa di sekitar sekolah, seperti Desa Randusari, Rejosari, Kagungan, Ngaliyan, Kapulogo, Ropoh, Tanjunganom, dan Kajoran. Lokasi sekolah berjarak 33 km dari utara kota Wonosobo. Siswa di SMP Negeri 2 Kepil memunyai latar bahasa yang berbeda-beda, namun sebagian besar mereka berasal dari keluarga petani yang kesehariannya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka ada yang masih canggung menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan saat belajar mengajar berlangsung seperti saat berdiskusi kelompok. Beberapa fakta yang dijelaskan di atas menimbulkan masalah yang tidak ditemui pada siswa-siswa di sekolah kawasan perkotaan yang sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, atau paling tidak mereka tidak canggung berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Siswa-siswa yang bersekolah di SMP kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo tentunya berbeda dengan siswa dari perkotaan yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Di sekolah ini guru bahasa Indonesia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
harus dapat menjelaskan materi dengan sebaik-baiknya, dengan semua aspek keterampilan dalam pembelajaran bahasa harus dikuasai siswa termasuk keteramilan berbicara. Kelemahan siswa dalam penguasaan bahasa Indonesia memibuat guru mempunyai tugas yang lebih yaitu mengajarkan siswa agar terbiasa berkomunkasi dengan bahasa Indonesia, namun apabila guru mengharuskan siswa bertanya atau menyampaikan ide menggunakan bahasa Indonesia, maka siswa yang belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia akan merasa kesulitan menyampaikan ide mereka. Jadi kegiatan atau proses belajar mengajar bahasa Indonesia di sekolah terseibut tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sering terjadi guru menjelaskan materi menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa). Begitu juga sebaliknya dengan siswa yang bertanya tentang materi juga ada yang menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa). Penggunaan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah untuk komunikasi dalam proses belajar mengajar sering terjadi pada sekolah yang sebagian besar siswanya tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Agar kelancaran proses belajar mengajar Bahasa Indonesia dan materi dapat tersampaikan dengan baik maka guru dan siswa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Begitu pula saat
diskusi
kelompok
berlangsung,
apabila
siswa
diwajibkan
berdiskusi
menggunakan bahasa Indonesia secara keseluruhan, maka siswa yang masih canggung menggunakan bahasa Indonesia akan menjadi pasif (diam) karena mereka kesulitan mengungkapkan ide mereka. Alih kode dan campur kode akan terjadi atau muncul apabila dalam suatu situasi peserta komunikasi menggunakan dua bahasa. Pemunculan alih kode dan campur kode terseibut mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Begitu pula dengan pemunculan atau penggunaan alih kode dan campur kode dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia juga mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Peluang munculnya alih kode dan campur kode dapat terjadi di lingkungan lembaga pendidikan seperti sekolah pada saat proses belajar mengajar (diskusi kelompok siswa) berlangsung. Alih kode dan campur kode juga dapat muncul pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
saat proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 Kepil, Wonosobo. Studi kasus ini dilakukan untuk memperoleh data empirik yang terkait dengan pemunculan alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VIIB, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D SMP Negeri 2 Kepil, seperti persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi pada siswa, jenis-jenis atau bentuk alih kode dan campur kode, dan faktor penyebab munculnya alih kode dan campur kode. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang muncul pada pembelajaran bahasa Indonesia (aktivitas diskusi) pada sekolah menengah pertama di kawasan pedesaan agar menjadi perhatian khusus bagi guruguru yang mengajar di sekolah kawasan pedesaan.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo? 2. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo? 3. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan hal-hal di bawah ini. 1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. 2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. 3. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil penelitian tentang persepsi guru, bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas VIII SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. 2. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memakai bahasa yang tepat dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat tersampaikan kepada peserta didik (siswa) dengan jelas dan peserta didik dapat menangkap materi dengan baik. 3. Bagi siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. 4. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya mengadakan inovasi pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain, dan meninggalkan strategi pembelajaran yang monoton (konvensional), selain itu sekolah akan mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa yang baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Hakikat Bahasa Bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989: 4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa: yaitu sebagai berikut, (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (ibunyi ujaran), (3) Bahasa tersusun dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa bersifat unik (khas), (5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa adalah alat komunikasi, (7) bahasa berhuibungan erat dengan ibudaya tempat berada, dan (8) bahasa selalu berubah-ubah. Douglas (dalam Tarigan, 1989: 5-6), setelah menelaah batasan bahasa dari enam sumber, memibuat rangkuman sebagai berikut. a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh sistem generatif. b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol arbitrer. c. Lambang terseibut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat visual. d. Lambang-lambang
atau
simbol-simbol
terseibut
mengandung
makna
konvensional. e. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama insan manusia. f. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa (a speech community) atau ibudaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia saja. h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir atau banyak bersamaan; bahasa dan pembelajaran bahasa mempunyai ciri-ciri kesemestaan. Bahasa juga dapat diartikan sebagai sarana komunikasi manusia yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. 2. Ragam Bahasa Bahasa mempunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993: 22) membagi gaya atau rag am bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut. a. Ragam Beku Ragam beku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undangundang dasar dan dokumen penting lainnya. b. Ragam Resmi Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan. c. Ragam Usaha Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraanpembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
d. Ragam Santai Ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolah raga, dan sebagainya. e. Ragam Akrab Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau kelompok. 3. Kontak Bahasa Bahasa tidak akan pernah lepas dari manusia dan kehidupan manusia. Bahasa tumibuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang teribuka di mana tiap-tiap individu dapat menerima kehadiran individu lain maka akan terjadi kontak bahasa. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) menyatakan bahwa kontak bahasa adalah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mengacu pada situasi kontinuitas geografis atau kekerabatan antarbahasa atau antar dialek (jadi ada saling berpengaruh). Menurut Chaer (1994: 65) bahasa masyarakat yang datang akan mempengaruhi bahasa masyarakat yang dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa
ini adalah terjadinya bilingualisme dan
multilingualisme, dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alih kode, dan campur kode. Mackey (dalam Rusyana, 1989: 4) menyatakan bahwa kontak bahasa adalah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang menimibulkan perubahan dalam langue, dan menjadi milik tetap ibukan saja dwibahasawan melainkan juga ekabahasawan. Kontak bahasa itu berlangsung ibukan hanya dalam diri perorangan melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua itu. Oleh karena itu kontak bahasa dianggap merupakan bagian dari kontak yang lebih luas, yaitu kontak ibudaya. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
secara individual. Kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi saat seseorang belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39). Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa kontak bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai sosial. Jadi dalam sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan dengan kehidupan manusia dan sekitarnya, baik sosial maupun ibudaya.
4. Bilingualisme Bilingualisme
dalam
bahasa
Indonesia
sering
disamakan
dengan
kedwibahasaan. Bilingualisme menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 1995: 112) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Senada dengan pendapat Mackey dan Fishman, Kridalaksana (1974: 25) menyatakan bahwa bilingualisme ialah penggunaan dua bahasa secara berganti-ganti oleh satu orang atau satu kelompok. Ketika seseorang menggunakan dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, ia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang diseibut dengan bilingualisme (Dako, 2004: 269). Dalam KUBI ( 1996: 185) bilingualisme didefinisikan sebagai hal penguasaan atas dua bahasa oleh penutur bahasa di suatu masyarakat bahasa, sedangkan bilingual berarti mengenal dua bahasa dengan baik: bangsa Indonesia kebanyakan mengenal bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Haugen (dalam Muharam, 2011: 199) berpendapat kedwibahasawan adalah tahu dua bahasa.Jika diuraikan secara leibuh umum maka pengertian kedwibahasawan adalah pemaakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.Kedwibahasawan dengan tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau aktif. Nababan (1984: 32) menyeibut bilingualisme dengan bilingualitas yang berarti kemampuan dalam dalam dua bahasa. Menurut Nababan, bilingualitas dapat dibagi menjadi dua seperti berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
a.
Bilingualitas sejajar yaitu huibungan antara kemampuan dalam kedua bahasa pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laku kedua bahasa itu adalah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk terjadi ketika dalam keadaan belajar bahasa kedua setelah menguasai satu bahasa (bahasa pertama atau utama) dengan baik, khususnya dalam belajar bahasa kedua atau asing di sekolah. Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan adalah peguasaan atas paling tidak dua bahasa yakni bahasa pertama dan bahasa kedua. Ahli lain, Nababan berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa daam interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam Kunjana Rahardi, 2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai gejala tuturan. Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian bahasa, yakni praktik pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh penutur. Pergantian dalam pemakaian bahasa terseibut dilatarbelakangi dan ditentukan leh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur. Kridalaksana (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 67) membagi kedwibahasaan dalam tiga kategori. a. Bilingualisme koordinat, dalam gejala ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem bahasa yang terpisah. Seorang bilingual koordinat, ketika menggunakan satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari bahsa lain. Pada waktu beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran sistem. b. Bilingualisme majemuk sering “mengacaukan” unsur-unsur dari kedua bahasa yang dikuasainya. Kadang-kadang kita menyaksikan orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai iburuh Malaysia melakuakan “kekacauan”dimaksud (linguistic interference) c. Kedwibahasaan sub-ordinat. Fenomena ini terjadi pada seseorang atau masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah. Biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual subcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
ordinate masih cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari. Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualism terdapat para penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka diseibut bilingual. Istilah ini bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoeh kesatuan pendapat dari para ahli bahasa tentang batas-batas kemampuan penguasaan bahasa seseorang untuk dapat dikatakan sebagai seorang bilingual.
Bloomfield (dalam Ponulele,
1994: 24)
merumuskan bilingual sebagai native like of two language, dengan pengertian bahwa bilingual adalah seorang penutur yang mampu menggunakan dua bahasa yang sama baiknya. Jadi menurut Bloomfield seseorang baru dapat menyandang gelar bilingual apabila dia mampu menggunakan secara aktif kedua hahasa sebagaimana kemampuan saat ia menggunakan bahasa iibunya. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) berpendapat yang mendukung pendapat Bloomfied dengan mengatakan bahwa seseorang dikatakan bilingual bilamana dia mampu menguasai bebrapa bahasa dengan fasih dan lancar, akan tetapi dijelaska lagi bahwa rumusan ini mengacu pada kriteria yang terlalu ekstrim, orang yang meguasai dua bahasa secara sempurna memang ada, mamun hal ini merupakan kekekcualian ibukanlah keharusan. Sebagian besar bilingual sebenarnya didak mampu menguasai dua bahasa dengan kadar kualitas yang sama. Biasanya penguasaan bahasa iibu lebih fasih daripada penguasaan bahasa kedua. Sebagai contoh saat seseorang dilahirkan di Jawa Tengah, dan setelah dewasa ia bekerja dan menetap di Jakarta, walaupun dia sudah marih berkomunikasi dengan bahasa Indonesia karena saat bersekolah di Jawa tengah pun ia mendapakan pelajaran bahasa Indonesia manun ia akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia bertemu dengan orang dari asal daerahnya dia akan memilih berkomunikasi dengan bahasa daerah (Jawa). Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualisme bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat para ahli terseibut dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi di mana penutur melakukan tindak tutur.
5. Pengertian Kode Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1976: 3). Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode adalah salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Suwito juga menyatakan bahwa alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam kode. Menurut Richards (dalam Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode adalah istilah yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek. Dari pendapat-pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah untuk menyeibut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode terseibut maka penutur dan lawan tutur dapat berkomunikasi dengan lancar. Ponulele (1994:21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak bahasa, bilingualisme, alih kode, dan campur kode dapat digambarkan sebagai berikut. Kontak bahasa
bilingualisme
Alih kode
Campur kode
Gambar 1. Huibungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih Kode, dan Campur Kode. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
Jadi adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak bahasa, dan akan mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih kode dan campur kode.
6. Alih Kode a. Pengertian Alih Kode Dalam keadaaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu diseibut alih kode. Konsep alih kode ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek lain dan sebagainya (Nababan, 1993: 31-32). Pengartian alih kode menurut Kamal (2012) adalah Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya adalah komunitas bahasa atau dialek. Appel (dalam Chaer, 1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.”. Gumperz (dalam, Gulzar 2010: 26) code-switching is: "the juxtaposition within the same speech exchange of passages of speech belonging to two different grammatical systems or sub-systems”. yaitu, alih kode adalah penjajaran dalam pertukaran bahasa yang sama dari bagian-bagian dari bahasa yang termasuk dua sistem tata bahasa yang berbeda atau sub-sistem. Hymes (dalam Chaer, 1995: 142) menyatakan alih kode itu ibukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam Dako, 2004: 271) ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis. Alih kode situasional terjadi pada saat perubahan bahasa menurut keibutuhan situasi yang dikenal oleh penutur itu sendiri, dimana dalam seibuah situasi mereka berbicara dengan seibuah bahasa dan pada situasi lain mereka berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi afektif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
dimana kita menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari situasi forma ke stuasi informal, resmi ke keadan santai, serius ke keadaan humor, dan lain sebagainya. Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito (1985: 68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Namun, di dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (baik varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, ataupun register) sehingga peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register. Peralihan demikian dapat diamati baik lewat tingkat-tingkat tata ibunyi, tata kata, tata kalimat, maupun wacananya. Crystal (dalam Skiba, 1997) berpendapat suggests that code, or language, switching occurs when an individual who is bilingual alternates between two languages during his/her speech with another bilingual person. A person who is bilingual may be said to be one who is able to communicate, to varying extents, in a second language. Hal terseibut menunjukkan bahwa pengalihan kode atau bahasa, sering terjadi ketika seseorang yang memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa mengganti bahasanya pada saat berbicara dengan orang lain yang memiliki dua bahasa bisa dikatakan menjadi salah satu yang bisa berkomunikasi, pada tingkat yang bervariasi dalam bahasa kedua. Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa alih kode melibatkan peralihan kalimat. Dari berbagai pendapat di atas alih kode dapat didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menetukan adalah penutur, saat seorang penurut sedang melakukan campur kode, maka harus diketahui identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menetukan terjadinya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
alih kode. dengan makin banyak bahasa yang dikausai oleh seorang penutur dari latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari penjabaran terseibut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang kebahasaan. b. Ciri- ciri Alih Kode Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut. a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya. b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. c. Macam-macam Alih Kode Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu sebagai berikut. a. Alih kode intern Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa. b. Alih kode ekstern Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Perpindahan terseibut dapat berupa perpindahan dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa asing, dan perpindahan dari bahasa nasional ke bahasa asing. Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam yaitu sebagai berikut. a) Alih kode sementara Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur berlangsung sebentar. Pergantian itu bisa hanya berlangsung pada satu kalimat lalu pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya. b) Alih kode permanen Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya permanen. Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti kode bicaranya lawan tutur. Tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti kode bicaranya terhadap seseorang lawan bicara secara permanen, sebab pergantian ini biasanya berarti adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan bicara secara sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode Chaer (1995: 143) menyeibutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Beberapa faktor penyebab alih kode menurut Suwito (1985: 72-74) sebagai berikut. 1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu. Seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode terhadap mitra tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Misalnya, seorang mahasiswa setelah beberapa saat berbicara dengan dosennya mengenai nilai mata kuliahnya yang belum tuntas dan dia baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari daerah yang sama dan juga mempunyai bahasa iibu yang sama pula. Agar urusannya cepat selesai, maka mahasiswa terseibut melakukan alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar dalam mengurus nilainya. 2) Lawan tutur. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode karena sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan bicaranya. Misalnya, penutu ibugis berusaha mengimbangi lawan bicaranya yang kebetulan orang mandar dengan menggunakan bahasa mandar pula. 3) Hadirnya penutur ketiga, misalnya alih kode terseibut dilakukan untuk menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati. Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan yang di gunakan oleh penutur dan lawan bicara yang sedang berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap ibugis, kemudian si C tiba– tiba datang dan tidak menguasai bahasa ibugis. Dengan demikian si A dan si B beralih kode dari bahasa ibugis ke bahasa indonesia. 4) Pokok pembicaraan (topik). Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius. Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
5) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. Dalam seibuah pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih kode guna membangkitkan rasa humor dalam pembicaraan, agar suasana yang taginya serius dan tegang dapat mencair dan lebih santai. 6) Untuk sekedar bergengsi. Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio – siuasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif. Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (1989: 60-62) seperti berikut. 1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu. 2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain. 3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi di kalangan pembicara. 4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan. 5) Mengutip ucapan orang lain. 6) Menekankan solidaritas kelompok. 7) Mengistimewakan yang disapa. 8) Menjelaskan hal yang telah diseibutkan. 9) Membicarakan peristiwa yang telah lalu. 10) Untuk meningkatkan status atau gengsi atau kekuasaan atau keahlian seseorang. Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih kode adalah sebagai berikut. 1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu. 2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga. 4) Perubahan topik pembicaraan. 5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. 6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. 7) Untuk sekedar bergengsi. 8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi di kalangan pembicara. 9) Mengutip ucapan orang lain. 10) Menekankan solidaritas kelompok. 11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu. 12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain. e. Fungsi Alih Kode Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan peralihan kode terseibut. Fungsi alih kode dan fungsi campur kode hampir sama. Di bawah ini adalah fungsi alih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (dalam Wulandari, 2002: 21). 1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya. 2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok. 3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati. 4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa. 5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain. Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur pasti mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur terseibut beralih kode. Dari faktor penyebab atau lasan penutur beralih kode, dapat disimpulkan bahwa fungsi alih kode antara lain untuk menyantaikan, menegaskan, memibujuk, menghormati, menyegarkan, dan menerangkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
Alih kode berguna sebagai strategi komunikasi untuk menyampaikan informasi.
7. Campur Kode a. Pengertian Campur Kode Di antara sesama penutur yang bilingual atau multi lingual, sering dijumpai sebagai suatu kekacauan atau interferensi bahasa (performance interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Gejala terseibut dinamai campur kode (code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan (1993: 32) campur kode adalah suatu tindak bahasa bilamana orang yang mencampur dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Nababan (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) juga menyatakan bahwa campur kode adalah “ penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut polapola yang masih belum jelas”. Di Indonesia gejala campur kode terseibut sering diseibut dengan “ gado-gado”yang diibaratkan dengan sajian gado-gado , yakni campuran dari bermacam-macam sayuran. Realita yang terjadi di Indonesia yaitu pencampuran pengguaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah tertentu. Weinreich (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) menamai campur kode sebagai “mixed grammer”. Campur kode didefinisikan sebagai pemakaian satuan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata atau sapaan. b. Ciri-ciri Campur Kode Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode terdapat ciriciri khusus antara lain sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. 2) Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan, unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masingmasing telah meninggalkan fungsi-fungsi dan mendukung bahasa yang disisipinya 3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat frase saja. Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu huibungan timbal balik antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya. c. Macam-macam Campur Kode Suwito (1985: 78-79) menyeibutkan beberapa macam campur kode yang berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu sebagai berikut. a. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. Kata-kata sebagai seibuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau kode dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya campur kode dalam peristiwa berbahasa. Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata adalah serapan satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh : seorang pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin “seorang pemimpin harus dapat melindungi rakyat lahir batin.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa. Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151). Frase dari bahasa lain yang disisipkan oleh penutur dwibahasawan ke dalam kode dasar menimibulkan adanya campur kode dalam tindak tutur masyarakat. Chaer (1998: 301) berpendapat bahwa frasa merupakan gaibungan dua ibuah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, keterangan). Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke rumah sakit. “anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai pengobatan. c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster. Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya penggaibungan kata dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata tambahan (asal bahasa Inggris) misalnya kata dasar hutan + imibuhan isasi hutanisasi. Bentuk ini juga mengakibatkan adanya campur kode dalam masyarakat bilingual. Menurut Thelender (dalam Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa yang berisi campuran dari beberaa variasi yang berbeda. Contoh : semua data yang ada di komputer itu jangan lupa dibackup.sebelum diinstal ulang. “semua data yang ada di komputer itu jangan lupa disimpan ulang di folder yang berbeda sebelum computer diinstal ulang. d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata. Unsur berupa pengulangan kata yang diambil dari bahasa lain yang disisipkan ke dalam kode dasar menyebabkan campur kode dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
interaksi sosial. Pengulangan terseibut dapat berupa pengulangan seluruh kata dasar, pengulangan sebagian dari dasar, dan pengulangan yang berkombinasi dengan proses pemibuibuhan afiks. Contoh : dana itu turun bebarengan dengan kenaikan harga sembako. “ dana itu turun bersamaan dengan kenaikan harga sembako.” e. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom. Unsur-unsur ungkapan dari bahasa lain dimasukkan ke dalam kode dasar akan membentuk campur kode dalam peristiwa tutur. Menurut Kridalaksana, 1985: 80) ungkapan atau idiom adalah kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gaibungan makna anggotaanggotanya. Contoh
:
pak SBY pun ikut cancut tali wanda dalam
memberantas korupsi. “pak SBY pun ikut bekerja keras dalam memberantas korupsi.” f. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa. Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak. Klausa dari bahasa lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar akan menyebabakan campur kode dalam peristiwa tutur. Oka dan Suparno, (1994: 26) klausa merupakan satuan gramatikal unsur pembentuk kal imat yang bersifat predikatif. Contoh
: pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. “pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak di depan emberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
d. Faktor Penyebab Campur Kode Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Alasan atau penyebab lain yang mendorong terjadinya campur kode adalah sebagai berikut. a. Identifikasi peranan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. b. Identifikasi ragam. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya. c. Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena ca mpur kode juga menandai sikap dan huibungannya terhadap orang lain dan sikap dan huibungan orang lain terhadapnya. Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena ada timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa itu dan fungsi kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur dalam tuturannya. Artinya, penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun tidak sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila penutur mempunyai tujuan tertentu, menunjuk ke suatu hal yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa utama yang digunakannya. Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena tidak adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur. Faktor-faktor yang mempengaruhi campur kode adalah penutur, petutur, dan topik pembicaraan. Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur seperti usia, status sosial, dan tingkat pendidikan menuntut kepandaian penutur dalam memilih bahasa yang tepat. Namun demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur harus mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, karena ada beberapa topik yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa tersendiri. e. Tujuan Pemakaian Campur Kode Menurut Suwito (1985: 78) tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Suwito juga mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam, antara lain penutur ingin menunjukkan keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan kekhasan daerahnya. Menurut Nababan (1993: 32) campur kode dipakai penutur untuk memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya, selain itu untuk mencapai ketepatan makna ungkapan. f. Fungsi Campur Kode Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode sebagai berikut ini. 1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya. 2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok. 3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati. 4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa. 5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain. g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya adalah digunakannya dua atau lebih varian dari seibuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Dalam campur kode ada seibuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (speces), tanpa fungsi keotonomian sebagai seibuah kode. berdasarkan pendapat terseibut dapat disimpulkan bahwa persamaan alih kode dan campur kode adalah sma-sama digunakannya dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang dilakukan dengan sadar dan disengaja karena sebab-sebab tertentu. h. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Alih kode dan campur kode adalah dua hal yang berbeda. Hal pokok yang membedakan antara alih kode dan campur kode yang dikemukakan oleh Thelander (dalam Suwito, 1985: 76) sebagai berikut. 1) Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing klausa masih mendukung fungsi tersendiri. 2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsi tersendiri. 8. Ragam Tuturan Proses Belajar Mengajar Interaksi
belajar
mengajar
merupakan
peristiwa
komunikasi
yang
berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses belajar mengajar seperti proses belajar mengajar Bahasa Indonesia merupakan peristiwa tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam formal. Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia juga menggunakan ragam bahasa usaha (consultative). Tempat berlangsungnya proses belajar mengajar Bahasa Indonesia yang pada umumnya dilakukan di dalam ruangan, walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar ruangan juga mempengaruhi penggunaan ragam bahasanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Diskusi Kelompok Ditinjau dari etimoligis , kata diskusi berasal dari kata kerja „to discus‟ yang berarti berunding atau membincangkan. Menurut pendapat Suharyanti, (2011:39) diskusi adalah suatu bentuk kegiatan yang terdiri dari beberapa orang (yang bertatap muka secara langsung) dalam bertukar pikiran atau oendapat dan pandangan terhadap masalah untuk mencari pemahaman. Menurut Winarso dan Arief (2001: 68) bahwa diskusi merupakan sesuatu kegiatan kerjasama atau atau aktivitas koordinatif yang mengandung langkah-langkah dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok. Aktivitas berdiskusi mempunyai tujuan yaitu memperoleh hasil musyawarah dari anggota-anggota keompok agar dapat memecahkan masalah yang akan diselesaikan. Suharyanti (2011: 39-40) menjelaskan bahwa diskusi
mempunyai tujuan umum dan khusus, yang dijelaskan
sebagai berikut. a. Tujuan umum 1) Melatih siswa atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis 2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. 3) Menumibuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama dengan orang lain. 4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif dan berperan kostruktif terhadap suatu masalah. 5) Untuk
mengembangkan
ide
siswa/mahasiswa
dalam
memecahkan masalah yang memerlukan musyawarah. b. Tujuan khusus 1) Untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu atau kelompok yang berhuibungan dengan mata pelajaran atau kurikulum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
2) Untuk menyeesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada huibungannya
dengan
tingkah
laku
baik
dari
diri
siswa/mahasiswa atau masyarakat. 3) Untuk menetukan atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap dalam memecahkan masalah. Jenis-jenis diskusi juga ada beberapa macam salah satunya adalah diskusi kelompok yang merupakan suatu pembicaraaan yang terdiri dari sekelompok peserta guna memecahkan suatu masalah secara bersama-sama dengan mempertimbangkan baik dan iburuk, dan sekaligus menetapkan cara melaksanakan pemecahan yang baik (Suharyanti, 2011: 41). Diskusi kelompok di dalam kelas termasuk pada kelompok tak resmi, seperti pendapat Wanger dan Arnold (dalam Wiranso dan Arief, 200: 70) menggolongkan diskusi kelompok yang tidak resmi adalah sebagai berikut, (1) kelompok studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3) Komite Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan teoritis pertama tentang belajar kelompok ini berasal dari pandangan konstruktivis sosial. Menurut Vygotsky mental siswa pertama kali berkembang pada level interpersonal dan mereka belajar menginternalisasikan dan mentrasformasikan interaksi interpersonal mereka dengan orang lain, lalu pada level intrapersonal dimana mereka mulai memperoleh pemahaman dan keterampilan baru dari hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa sejak dini diajarkan untuk belajar berinteraksi dengan sekitarnya baik itu dengan teman sebaya atau yang lebih dewasa, agar mereka bisa mendapatkan informasi-informasi yang belum mereka ketahui atau bertukar pikiran agar mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas yang tidak mampu mereka selesaikan sendiri, dengan musyawarah bersama teman-teman yang mempunyai pemikiran yang berbeda-beda mereka akan lebih mudah menyelesaikan masalah mereka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan diskusi kelompok adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergaibung dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat suatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan jawaban atau kebenaran atas suatu masalah. Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum diskusi diikuti oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam diskusi kelompok yang perlu diperhatikan ialah para siswa dapat melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di dalam forum diskusi kelompok, jadi metode diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana seorang guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk mengadakan percakapan guna mengumpulkan pendapat,
memibuat
kesimpulan
atau
menyusun
berbagai
alternatif
pemecahan atas masalah. Teknik metode diskusi kelompok sebagai proses belajar mengajar lebih cocok dilakukan jika guru memiliki tujuan antara lain. 1) Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada atau yang dimiliki oleh para siswa. 2) Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan pendapatnya masing-masing. 3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang telah dirumuskan telah tercapai. 4) Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah yang dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah. 5) Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut. Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
1) Guru menggunakan masalah yang ada didiskusikan dan memberikan pengarahan seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya, hal terpenting adalah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya agar dapat dipahami baik-baik oleh setiap siswa. 2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota kelompok ikut berpartisipasi secara aktif. 3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang dilaporkan itu ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain). 4) Akhir diskusi para siswa mencatat hasil-hasil diskusinya dan guru mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok. Diskusi kelompok merupakan salah satu pengalaman belajar yang diterapkan di semua bidang studi dalam batasan-batasan tertentu, pengalaman diskusi kelompok memberikan keuntungan bagi para siswa sebagai berikut : (1) siswa dapat berbagi
berbagai informasi dalam menjalani gagasan baru
atau memecahkan masalah, (2) dapat meningkatkan pemahaman atas masalahmasalah penting, (3) dapat mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan berkomunikasi, (4) dapat meningkatkan ketertiban dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dan (5) dapat membina semangat kerjasama dan bertanggung jawab. Diskusi kelompok memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat menimibulkan kegagalan dalam arti tidak tercapai tujuan yang diinginkan. Wardani (Dalam Puger, 1997 : 9) dinyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dalam diskusi kelompok antara lain : (1) diskusi kelompok memerlukan waktu yang lebih banyak daripada cara belajar yang biasa, (2) dapat memboroskan waktu terutama bila terjadi hal-hal yang negatif seperti pengarahan yang kurang tepat, (3) anggota yang kurang agresif (pendiam, pemalu) sering tidak mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sehingga terjadi frustasi atau penarikan diri, dan (4) adakala hanya didominasi oleh orang-orang tertentu saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo”. Ada perbedaan masalah yang diteliti dalam penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain itu, ada hal yang juga membedakan antara penelitian ini dan penelitian Dian Astutik Wulandari yaitu subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses diskusi siswa, pendapat duru hanya digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang persepsi guru mengenai peristiwa alih kode dan campur kode dahasa dalam diskusi siswa. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari subjek penelitiannya adalah pembina dan peserta pramuka, objek penelitiannya adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses latihan kepramukaan Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo” sebagai berikut: (1) adanya variasi campur kode dalam penelitian terseibut yaitu campur kode bahasa (bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan ragam santai, dan ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frase, dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan makna yang tepat. Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Lina Puspita Sari dengan judul penelitian
“Alih Kode dan Campur Kode dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kaibupaten Wonogiri.” Dalam penelitian Lina Puspita Sari yang menjadi subjek commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
penelitian adalah guru dan siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Hasil penelitian Lina Puspita Sari yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kaibupaten Wonogiri” sebagai berikut. a. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa indonessia kelas II SD Negeri Selopukangberupa alih kode intern , yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa; bentuk campur kode yang terjadi berupa campur kode kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan campur kode pengulangan kata. b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi yaitu untuk mrengimbangi kemampuan berbahasa siswa, kebiasaan guru dengan mengunakan bahasa Jawa, untuk menarik perhatian siswa, faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu rendahnya penguasaan kosakata bahasa Indonesia siswa, dan adanya unsure tanpa disadari oleh guru. Penelitian relevan yang ketiga adalah hasi penelitian dari Rima Fatimah yang berjudul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang” dalam penelitian Rima Fatimah yang menjadi subjek penelitian adalah guru dan siswa , sedangkan objek penelitiannya adalah semua pembicaraan siswa dan guru selama pelajaran berlangsung. dalam penelitian terseibut ada sembilan kelas yang menjadi subjek penelitian yaitu dari kelas Xa sampai Xi. Hasil dari penelitian terseibut antara lain. Macam-macam alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang adalah alih kode intern dan ekstern. Faktor penyebab alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Penelitian yang relevan yang keempat adalah thesis yang ditulis oleh Malik Ajmal Gulzar berjudul “Code-switching: Awareness about Its Utility in Bilingual Classrooms” yang dalam bahasa Indonesia berarti “alih kode: kesadaran tentang penggunaan alih kode dalam kelas bilingual (dwi bahasa)”. Hasil penelitian dalam thesis ini adalah sebagai betikut. Penelitian
terseibut
telah memberikan hasil
yang signifikan untuk
menggarisbawahi bahwa para guru tidak tahu tentang batas-batas penggunaan alih kode dan fungsi yang mereka bisa/ harus alih kode untuk memenuhi keibutuhan siswa. Peneliti menemukan hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian ini, dimana guru tidak menganggap bahwa peristiwa alih kode yang digunakan siswa selama pelajran berlangsung adalah seibuah kesalahan, guru memaklumi keterbatasan siswasiswanya. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 kepil, guru menganggap peristiwa alih kode yang dilakukan siswa adalah sikap yang salah dan harus dibenahi. Peneitian yang relevan kelima adalah tesis yang ditulis oleh Yulia Mutmainnah, mahasiswa S2 Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur”. Objek penelitian dalam thesis terseibut berbeda dengan penelitian ini, dalam tesis terseibut objeknya adalah masyarakat jawa yang berada di Kota Bontang Kalimantan Timur, sedangkan dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah siswa yang berdiskusi di dalam kelas, namun mempunyai prsamaan yaitu menganalisis alih kode yang digunakan atau dipilih dalam komunkasi. Hasil dari thesis ini adalah sebagai berikut. Kode yang ditemukan pada masyarakat tutur Jawa di kota Bontang adalah kode berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa (BJ), Bahasa daerah lain (BL), dan Bahasa asing (BA), dengan faktor-faktor penentu berupa (1) ranah, (2) peserta tutur, dan (3) norma. Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan bahasa terjadi karena (1) perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, dan (3) peralihan pokok pembicaraan, sedangkan pada metaphorical codeswitching perubahan bahasa terjadi karena penutur ingin menekankan apa yang diinginkannya. Campur kode terjadi karena (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih populer. Penelitian relevan yang keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizal Muharam, dengan judul “Alih Kode, Campur Kode, dan interferensi yang Terjadi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan Deskriptif terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate)”. Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah percakapan siswa dan subjeknya adalah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate. Hasil penelitian terseibut menyatakan bahwa siswa-siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi kebanyakan menggunakan bahasa atau kosa kata bahasa melayu ternate, dalam penelitian ini siswa SMP Negeri 2 Kepil juga kebanyakan menggunakan kosakata dari bahasa daerah (Jawa). Siswa di SD tersebut juga sering menjawab pertanyaan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia dengan bahasa Ternate, begitu pula siswa di SMP Negeri 2 Kepil juga masih sering menggunakan bahasa jawa dalam menjawab pertanyaan dari guru yang menggunakan bahasa Indonesia. C. Kerangka Berpikir Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalaah satu-satunya alat komunikasi yang menghuibungkan satu orang dengan orang lain, baik itu antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa sangat berperan penting bagi dunia pendidikan, begitu pula dalam pelajaran bahasa Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan terseibut. Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan guru harus menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun terkadang sekolah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 kepil, kabupaten Wonosobo hal terseibut sulit dijalankan dengan baik, karena siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka, terlebih saat diskusi kelompok berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berubah menjadi percakapan yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa. Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia memibuat guru tidak bisa memaksakan siswa untuk memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, kalau siswa dipaksa menggunakan bahasa bahasa Indonesia secara keseluruhan maka akan menyulitkan siswa terlebih saat diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam menyampaikan ide yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan siswa menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi terseibut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa maka siswa akan lebih mudah mengungkapkan ide yang mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu dari guru maupun siswa yang lain. Untuk mengatahui persepsi guru, wujud dan macam, faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode dalam aktivitas diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 kepil kaibupaten Wonosobo peneliti melakukan penelitian studi kasus dengan bagan kerangka berpikir sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Bahasa siswa di sekolah kawasan pedesaan (SMP Negeri 2 Kepil) Kabupaten Wonosobo) Aktivitas diskusi siswa pada pelajaran bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
Alih kode
Bahasa Jawa
Campur kode
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode pada diskusi siswa. 2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi siswa. 3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam proses diskusi siswa.
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo , yang terletak di Jl. Wonosobo-Magelang Km. 25, kecamatan Kepil, kaibupaten Wonosobo. Sekolah terseibut berada di perbatasan Wonosobo-Magelang, dan berjarak 33 Km dari kota Wonosobo. Waktu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini dilaksanakan pada ibulan Januari sampai ibulan Juni tahun 2012 . Penelitian ini dilakukan pada saat proses diskusi siswa SMP Negeri 2 Kepil berlangsung. Jadwal pelaksanaan penelitian studi kasus dapat dilihat pada gambar 3. Kegiatan 1.
Jan Februari
Maret
Persiapan 1. Menyusun proposal
2. Pengajuan izin penelitian 3. Observasi awal, koordinasi dengan guru dan kepala sekolah 2. Pelaksanaan penelitian 1. pengambilan data 2. wawancara dengan guru dan siswa 3. Analisis data 4. Penyusunan laporan c. Penyusunan draf d. Pengetikan skripsi e. Ujian dan revisi Gambar 3.1 Jadwal Penelitian commit37to user
April
Mei
Juni
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
9. Metode dan Pendekatan Penelitian Bentuk penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif
deskriprif menurut Moleong (2001: 3) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor adalah sebagai berikut:”Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan perilaku yang diamati”. Lebih lanjut Sutopo (1991:35) menjelaskan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terpancang. Diseibut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya mengangkat permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam masalah pemakaian bahasa Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya kagiatan diskusi. Sesuai dengan tujuan penelitian, penelitian ini berusaha mendiskripsikan terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa SMP Negeri 2Kepil, kaibupaten Wonosobo. Dimana siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam menyampaikan ide saat berdiskusi.
10. Sumber Data Sumber data
dalam penelitian ini adalah peristiwa penggunaan Bahasa
Indonesia dan informan oleh siswa SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo dalam proses diskusi kelompok. Objek penelitian ini adalah campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 Kepil. Selain itu sumber data juga diperoleh dari informan, yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan siswa.
11. Sampel dan Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana pengambilan sampel dari peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
wawancara dengan informan, yaitu guru bahasa Indonesia kelas VII dan VIII dan siswa yang melakukan alih kode dan campur kode dalam diskusi, bertujuan agar peneliti dapat mengetahui seberapa sering penggunaan alih kode yang digunakan saat pembelajaran Bahasa Indonesia.
12. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti sebagai observator partisipan pasif terhadap peristiwa atau kegiatan diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh data tentang pemakaian alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa saat berdiskusi. 2. Wawancara Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VII dan VIII dan beberapa siswa dari kelas VII dan VIII. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi lebih dari pengamatan atau observasi yang dilakukan, setelah melakukan observasi langsung diskusi siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia, peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui persepsi guru terhadap penggunaan alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa saat berdiskusi dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode.
13. Uji Validitas Data Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan bahwa ada empat triangulasi untuk menguji validitas data yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi metode. Uji validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
1. Triangulasi metode Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dengan metode yang berbeda, yaitu observasi dan wawancara. Metode ini dilakukan untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan campur kode yang dikalukan siswa saat berdiskusi kelompok. 2. Triangulsi sumber data Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan data tentang alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa melalui data yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada siswa yang lain. 3. Review informan Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data diperoleh dari guru dan siswa.
14. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. Analisis model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Pada saat melakukan tahap pengumpulan data sekaligus sesuai dengan kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan cara analisis dokumen, observasi, dan wawancara. peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhuibungan dengan penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
2. Reduksi Data Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan terseibut dilakukan seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Hal terseibut bertujuan untuk lebih memudahkan dalam mengambil data-data yang dianggap penting, yakni tentang penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil. Proses reduksi terus berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis. 3. Display Data Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokan dalam beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan dimengerti, sehingga mudah untuk dianalisis. Penyajian data penelitian yang diperoleh melalui analisis dokumen ataupun pada saat proses diskusi berlangsung di kelas maupun diperoleh melalui wawancara dengan informan. Hal terseibut meliputi: (1) data hasil observasi yang diperoleh peneliti pada saat diskusi berlangsung, (2) hasil wawancara dengan guru Bahasa Indonesia kelas VII dan VII, dan (3) beberapa siswa kelas VII dan VIII yang menggunakan alih kode dan campur kode saat melakukan diskusi dengan teman sekelompoknya. 4. Penarikan Simpulan Berdasarkan dari hasil analisis terhadap ujaran dan pembicaraan antara guru dengan peserta didik yang terjadi pada proses pembelajaran dan pada saat diwawancarai,
kemudian
ditarik
simpulan.
Simpulan-simpulan
terseibut
diverifikasi selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini data yang diverifikasi meliputi: (1) persepsi guru, (2) bentuk-bentuk alih, dan (3)faktorfaktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif Milles dan Huberman (Sutopo, 2002: 187). Analisis interaktif adalah analisis yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi. Skema analisis interaktif adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Simpulan/Verifikasi
Gambar 4. Analisis Model Interaktif (Miles dan Huberman)
15. Prosedur Penelitian a. Tahap persiapan a. Pengajuan judul proposal b. Pemibuatan b. Tahap pelakanaan a. Perizinan penelitian b. Pengumpulan data c. Analisis data. Tahap ini meliputi pengkajian yang mendalam serta mengarah
pada
tujuan
yang
ingin
dicapai
oleh
penulis,
pengumpulan data, dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengumpulan data dari hasil wawancara mendalam dan observasi kegiatan belajar siswa yang diubah dari data lisan menjadi data tulis. c. Tahap akhir Penyusunan laporan. Tahap ini meliputi konsultasi dengan pembimbing, mengadakan perbaikan, dan memperbanyak laporan penelitian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi/Objek Penelitian Penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam pemakaian bahasa Indonesia pada aktivitas diskusi siswa ini diakukan di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo, tepatnya di Desa Randusari. Sekolah ini termasuk sekolah yang berada di kawasan pedesaan karena jaraknya cukup jauh dengan kota kaibupaten wonosobo yaitu 33 km. Sekolah ini hanya berjarak 1 km dari perbatasan Wonosobo-Magelang. Walaupun sekolah ini termasuk sekolah yang berada di kawasan pedesaan namun berada tepat di samping jalan alternatif WonosoboMagelang. Dengan demikian siswa bisa menggunakan sarana angkutan umum (angkudes) yang melewati sekolah terseibut saat berangkat dan pulang sekolah, namun masuh banyak juga siswa yang harus berjaan kaki karena tempa tinggal mereka yang berada di pelosok-pelosok desa dan jauh dari jalan umum, bahkan ada yang harus berjalan sekitar 30 menit menuju sekolah. Sekolah ini memiliki 15 kelas dari kelas VII-IX, setiap angkatan terdiri atas lima kelas yaitu A-E. kelas dalam sekolah ini termasuk kelas kecil karena hanya terdiri atas 20-23 siswa per-kelas. Siswa yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kepil ini tidak hanya siswa yang berasal dari daerah Kaibupaten Wonosobo namun juga dari daerah Magelang yang wilayahnya berbatasan dengan Kaibupaten Wonosobo, seperti Desa Munggangsari, Desa Tunggangan, Desa Bonjok, Desa Kaliaibu, Desa Manglong, Desa Margoyoso, Desa Pandansari, dan beberapa daerah yang lain, sedangkan yang berasal dari daerah Kaibupaten Wonosobo yaitu Desa Randusari, Desa Kagungan, Desa kapulogo, Desa Tanjunganom, Desa Ropoh, Desa Tegalsari, Desa Ngaliyan, dan beberapa daerah lain desekitar sekolah terseibut. Dalam penelitian ini peneliti memilih sekolah terseibut karena dari hasil observasi sebelum penelitian saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, contohnya commit43to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
saat diskusi kelompok atau presentasi hasil kerja kelompok siswa masih sering menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa) meskipun guru sudah member instruksi agar menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu bertolak belakang dengan siswa yang bersekolah di kawasan perkotaan mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari, jadi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung seperti berdiskusi mereka sudah tidak kesulitan menggunakan bahasa Indonesia, berbeda dengan siswa dari kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 Kepil, mereka masih sangat kesulitan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi dengan teman mereka. Dari enam kelas yang di teliti yaitu VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D masih banyak siswa yang melakulan alih kode dan campur kode saat proses diskusi kelompok berlangsung.
B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode pada peristiwa diskusi. a.
Guru berpendapat bahwa pengunaan alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan oleh siswa adalah sikap yang salah. Dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia, berkaitan dengan hasil penelitian yang memibuktikan bahwa siswa-siswa SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo masih sering melakukan alih kode saat proses diskusi berlangsung. Guru mengungkapkan sebenarnya mereka tidak setuju dengan penggunaan alh kode dan campur kode yang masih sering dilakukan siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, ontohnya saat diskusi, beliau menganggal hal terseibut ada;lah sikap yang salah dan harus segera dibenahi. Guru sudah berusaha dengan keras untuk membiasakan siswa agar memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman atau guru saat jam pelajaran berlangsung, beliau juga sudah sering menjelaskan bahwa di saat kegiatan belajar mengajar berlangsung itu situasinya formal, jadi siswa harus belajar berbicara menggunakan bahasa Indonesia, karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
belajar bahasa Indonesia tidak hanya belajar menulis tetapi juga belajar menyimak, membaca, dan juga berbicara. b. Guru berpendapat bahwa siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sehingga guru berusaha selalu mengarahkan siswa agar terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Peristiwa alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa itu sebenarnya ibukan arahan dari guru, salama guru mengajar guru selalu mengarahkan siswa agar siswa belajar mencintai bahasa Indonesia dan berusaha menguasainya agar dapan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Guru juga menyadari bahwa penguasaan bahasa Indonesia sangat penting bagi siswa, termasuk untuk masa depan siswa, contohnya setelah siswa lulus dari SMP siswa akan melanjutkan sekolah atau bekerja di luar daerah, dan mereka harus menguasai bahasa nasional, karena bahasa di daerah lain akan berbeda dengan bahasa daerah yang dipakai di lingkungan tempat siswa tinggal sekarang, jadi bisa disimpulkan bahwa penguasaan bahasa Indonesia sangat penting bagi siswa agar untuk masa depan yang lebih maju dan lebih berkembang. Akan tetapi dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung memibuat siswa masih merasa asing dngan bahasa Indonesia, sebagian dari mereka juga jarang yang bisa belajar bahasa Indonesia dari internet atau televisi karena sebagan siswa yang bersekolah di SMP terseibut adalah dari kalangan keluarga menengah ke bawah, masih jarang dari mereka yang dapat hidup berkecukupan dengan fasilitas canggih yang dapat mendukung sarana belajar mereka,
c.
Guru masih kesulitan dalam membiasakan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Guru masih merasa kesulitan dalam mengarahkan siswa agar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonsia, walau pun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
berbagai cara dilakukan seperti, mewajibkan siswa menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan guru maupun siswa lain saat pelajaran berlangsung. Namun siswa masih sering melakukan alih kode dan campur kode bahasa, baik disengaja atau tidak. Contohnya terkadang siswa masih melakukan campur kode bahasa Jawa ke dalam percakapan yang mnggunakan kode dasar bahasa Indonesia tanpa disengaja, yaitu dialek-dialek daerah mereka yang sulit untuk dihilangkan, seperti ealah, walah, dan ungkapan lain saat siswa terkejut. Hal terseibut sulit dihilangkan
karena
siswa
sudah
terbiasa
menggunakannya
saat
berkomunikasi dengan orang tua dan teman-temannya di rumah. Selain itu, siswa juga masih kurang menguasai kosa kata bahasa Indonesia, jadi masih banyak istilah-istilah yang belum mereka mengerti saat ingin berbicara
atau
mengungkapkan
ide
mereka,
dan
mereka
akan
menggunakan istilah-istilah bahasa jawa. Contohnya kunduran, nyaruk, dan beberapa contoh lain yang mesih sering digunakan siswa. Seperti yang disampaikan ibu Sayekti Laras Supayaningsih, S.Pd selaku guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang berpendapat bahwa siswa SMP Negeri 2 Kepil belum bisa juka disuruh memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar termasuk saat jam pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Siswa masih kesulitan dalam memahami istilah-istilah bahasa Indonesia yang jarang mereka dengar,
jadi
kebanyakan dari mereka masih bertahan dengan istilah-istilah yang mereka mengerti dalam bahasa Jawa. Ibukan hanya istilah asing, katakata yang mudah pun banyak siswa yang tidak mengerti, jadi akhirnya guru pun menjelaskan menggunakan bahasa Jawa. Kendala yang dihadapi di sekolah yang termasuk daerah pedesaan ini tentu lingkungan masyarakat siswa yang memakai bahasa daerah (bahasa Jawa) sebagai bahasa ibu. Jadi siswa tidak terbiasa memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi termasuk saat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
berdiskusi di dalam kelas. Melihat kondisi terseibut menjadikan ibukti bahwa guru yang mengajar di SMP kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 Kepil mempunyai tugas yang lebih berat daripada guru yang mengajar di sekolaha perkotaan, dimana guru harus berusaha lebih keras mengenalkan bahasa Indonesia kepada siswa karena siswa memeang masih merasa canggung dalam memraktikkan berbicara memakai bahasa Indonesia dengan bak dan benar, sedangkan siswa di sekolah perkotaan sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, bahasa iibu yang mereka miliki juga bahasa Indonesia. Dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung siswa untuk lancar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, menyebabkan siswa masih sering melakukan alih kode dan campur kode bahasa Jawa saat berbicara menggunakan kode dasar bhasa inonesia. Akhinya guru juga harus memaklumi keterbatasan siswa-siswa mereka, walau pun guru sebenarnya juga tidak setuju dengan alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa saat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Jawaban senada juga diungkapkan oleh guru kelas VII SMP Negeri 2 Kepil yaitu ibu Yusephine Sumarjilah, beliau juga sudah berusaha membiasakan siswa memakai bahasa Indonesia saat berbicara di dalam kelas atau saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Akan tetapisiswa sendiri memang sudah lebih terbiasa memakai bahasa daerah yaitu bahas Jawa sebagai bahasa komunikasi mereka sehari-hari, jadi walau pun sudah diarahkan agar belajar membiasakan diri memakai bahasa Indonesia namun realisasinya masih sulit. Walaupun sebenarnya dengan hal terseibut tidak terlalu berpengaruh dengan penyampaian materi kepada siswa, hanya saja mempraktikkan keterampilan berbicara pada siswa yang masih sulit, selain itu siswa masih sering gaduh sendiri di kelas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Sedikit berbeda dengan jawaban Ibu Laras, saat ditanya persepsinya tentang peristiwa alih kode dan campur kode yang masih sering terjadi saat siswa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, menurut ibu yusephine kejadian terseibut tidak menjadi masalah karena siswa-siswa yang bersekolah di SMP terseibut termasuk kawasan pedesaan yang daeri kecil sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah (babasa Jawa). Karena itu siswa tidak dapat dipaksa untuk langsung lancar dalam keterampilan berbahasa Indonesia, walau sebenarnya ibu Yusephine juga sudah berusah mengarahkan siswa agar belajar berbahasa Indonsia dengan baik dan benar. Menurut beliau sedikit demi sedikit siswa akan terbiasa karena itu, siswa yang dipaksa melainkan diarahkan sedikit demi sedikit nanti lama-lama siswa menjadi terbiasa.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi. Dalam dialog diskusi kelompok siswa SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo masih banyak ditelukan peristiwa alih kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode terseibut muncul beberapa kali dalam beberapa macam, mempunyai faktor penyebab kemunculan, serta fungsi dan tujuan tertentu. d. Alih Kode Bentuk atau Macam-macam Alih Kode 1) Alih Kode Intern Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, antargaya dalam lingkup satu bahasa. Apabila alih kode itu menjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional , atau dialek-dialek dalam satu daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek alih kode seperti ini diseibut bersifat intern (Suwito, 1985: 68). Alih kode intern yang terjadi dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut.
b) Alih kode ragam resmi dan ragam santai Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai atau sebaliknya yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia kelas dapat dilihat dalam kalimat berikut. Siswa 3: “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Njuk di jawab!” Siswa 2: “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.” Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.” Siswa 5: “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel . 2, VIII-B) Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian afiks me-kan secara eksplisit dan konsisten yaitu pada kata menjadikan. Kalimat ragam resmi terseibut memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai dalam contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak baku seperti njuk dijawab. Selain itu juga ditandai oleh kalimatnya yang tidak lengkap. Contoh lain alih kode dari ragam resmi ke ragam santai juga terlihat dalam dialog berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
Siswa 1
Siswa 2 Siswa 3 Siswa 2 Siswa 1
: ”Kita akan terus semangat walaupun badai kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Wis to?” : “Kan iki ngelak to?” : “Haus?” : “Iya, haus.” : “Berarti dahaga.” (kel. 1, VIII-D)
Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian afiks ke-an secara eksplisit dan konsisten yaitu pada kata kemiskinan. Kalimat ragam resmi terseibut memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai dalam contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak baku dan menggunakan bahasa daerah (Jawa) seperti Wis to?. Selain itu juga ditandai oleh kalimatnya yang tidak lengkap. c)
Alih kode dari ragam santai ke ragam resmi Contoh alih kode dari ragam santai ke ragam resmi terdapat dalam kalimat di bawah ini.
Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 1 Siswa 4
: “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini” : “Iya ini ceritanya meh pagi-pagi po siang?” : “Selamat pagi aja?” : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!” : “Ga langsung ga papa, bertele-tele dulu gitu. Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara dengan wahyu? gitu.” (kel 1, VII-C)
Ragam resmi dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian kataganti saya. Bentuk kalimatnya lengkap dan tidak disingkat. Kata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
tugas yang digunakan secara eksplisit. Selain itu kata-kata yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai ditandai penggunaan kata ga papa dan bertele-tele.
d) Alih kode ragam resmi dan ragam usaha Contoh alih kode dari ragam resmi ke ragam usaha yang muncul dalam proses proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut.
Siswa 4
Siswa 1 Siswa 3
Siswa 2 Siswa 1
: “Ga langsung ga papa, bertele-tele dulu gitu. Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara dengan wahyu? gitu.” : “Selamat pagi terus koma gitu?” : “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu, bisa bicara dengan Wahyu? Ojo teman sekelase Wahyu.” : “Oh iya sebentar tak panggilkan Wahyu. Gitu.” : “Oh iya kita pakeknya saya aj a ga usah aku!” (kel. 1, VII-C)
Ragam resmi dalam kalimat di atas ditandai oleh kalimat yang lengkap dan bahasa baku. Ragam usaha dalam kalimat di atas ditandai oleh kalimatnya yang pendek tetapi lawan bicara tetap mengerti apa yang dibicarakan penutur. Kalimat ragam usaha terseibut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur. e) Alih kode ragam beku dan ragam santai Alih kode dari ragam beku ke ragam santai yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Siswa 1: “Keluarin ayo keluarin ibukunya!” Siswa 2 : “Ayo di tulis ya!” Siswa 3 : “Pakai pensil dulu saja biar neg salah bisa dihapus!” Siswa 4 : “Siap grak. Tak tulise.” Siswa 1: “ Kita boleh menggunakan majas yang lain gak to?” Siswa 2 : “ Boleh kok.” (kel.1, VIII-C) Ragam beku dalam dialog di atas ditandai oleh frasa siap gerak. Frasa “siap grak” merupakan ragam beku karena struktur gramatikalnya tidak dapat diubah. Ragam santai dalam dialog itu ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap, dan menggunakan kata tidak baku „tulise‟ yang merupakan dialek bahasa Jawa. f) Alih kode ragam santai dan ragam usaha Alih kode dari ragam santai ke ragam usaha yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut. Siswa 3: “Ini tentang apa sih?” Siswa 4: “Tentang gagasan kalimat. Mosok ga tahu sih?” Siswa 1 : “Seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan?” Siswa 3: “Jawablah pertanyaan berikut, seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan!” (kel. 3, VII-B) Ragam santai dalam kalimat yang diberi garis bawah (tentang gagasan kalimat) di atas ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap, tidak mempunyai subjek dan predikat yang jelas. Ragam usaha ditandai oleh kalimatnya yang pendek (mosok ga tau sih?), berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
Contoh lain ragam santai ke ragam usaha adalah. Siswa 3 : “Lha terus kiye keprige? Kan dewe kon nggawe kritikane?” Siswa 1: “Kan rinciane to?” Siswa 3 : “Prige?” Siswa 2 : “Tanaman mete mempunyai manfaat yang banyak sekali.” (kel. 2, VII-E) Ragam santai terlihat karena siswa satu menggunakan bahasa daerah (Jawa) saat berbicara dengan lawan tutrnya, yaitu „lha terus kiye keprige?‟ yang berarti „terus ini bagaimana?‟. Kemudian dilanjutkan dengan ragam usaha dengan kalimat „kan dewe kon gawe kritikane?‟, yang berarti „kita disuruh ibuat kritikannya?‟. Kalimat kedua ini juga menggunkan bahasa Jawa, kalimat terseibut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman pada lawan tutur. Siswa 1 :”Cara mngatasi siswa yang menyontek saat ujian?” Siswa 2 : “Yang ini dulu saja, bentuk-bentuk contekan siswa?” Siswa 3 : “Biasanya ada di atas meja. Kertas-kertas kecil itu to?” Siswa 2: “Iya.” (kel. 2, VIII-B) Ragam santai dalam kalimat terseibut ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap yaitu tidak ada subjek kalimatnya . Sedangkan ragam usaha ditandai dengan kalimat yang mengunakan kata bantu „to‟ yang berasal bahasa daerah (Jawa) yang berfungsi untuk menanyakan hasil pendapatnya dengan teman-temannya dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
kalimat terseibut juga berorientasi pada pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.
2) Alih Kode Ekstern Alih kode ekstern yang muncul dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2 Kepil adalah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimatkalimat berikut. : “Ini pakai kata-kata nggak pakai lagu.” : “Oke.” : “Pokoknya pakai kata-kat mutiara.” : “Kehidupan itu…” : “Kita selalu terdepan.” : “Ojo terdepan, ngko dewe maju terus. Emmm, kalah menang tidak masalah.” : “Iyo.” : “Tapi emang kita kompetisi?” : “ Eh iya.” (kel.1, VII-E )
Siswa 3 Siswa 5 Siswa 3 Siswa 5 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 6 Siswa 3 Siswa 4
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Jawa dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Indonesia. Contoh lain yaitu. Siswa 3 : “bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Njuk di jawab!” Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.” Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
Siswa 5 : Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi. (kel . 2, VIII-B) Siswa 3 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 3
Siswa 4 Siswa 1
Siswa 3 Siswa 1
Siswa 2
: “Lha tadi siapa yang bilang harus pakai saya?” : “Udah pakai aku saja! ; “Itu terusane. O, iya maaf saya lupa. lalu Fatimah tanya lagi, emang bagaimana caranya?”. : “Lalu jawabe, mudah kok itu caranya.”. : “Mudah, gitu aja lho! Terus, awalnya kamu harus memilih benih yang bagus, membajak sawah, jangan sampai tanahnya kering, selanjutnya kamu harus membajak sawah dan mengairi, jangan sampai tanahnya kering!” : “Kepriye neh?” : “Lalu Fatimah tanya lagi, bagaimana cara memilih benih padi yang bagus? Terus jawabe gimana yo?” : “Nanti bilang aja disuruh lihat di ibungkusnya gitu aja gimana yo?” : “Oh ho‟o aku mudeng, jadi acara memilihnya itu aku kurang tahu, bagaimana kalau kamu ngomong sama kakaku saja?” : “Itu ditambah benih lho yo! Disuruh tanya sama kakak terus bilang , sebentar aku panggilkan” (kel.1, VII-C)
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Indonesia dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Jawa. 2) Campur Kode Campur kode yang muncul berdasarkan macam-macam dan unsureunsur bahasa dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 KEPIL, Kaibupaten Wonosobo. 1) Campur Kode berdasarkan macam-macam Bahasa Campur kode bahasa yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
1)
Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Guru
: “Kamu sak kelompok sama aku to?” : “Iya. Ibuat apa to ini?” : “Bahas tentang telefon?” : “Nek banyak gini terus percakapane gimana?” : “Gimana ini?” :”Gini aja ceritanya, ibukumu tak bawa aku to, lha kamu telefon aku terus suruh samibungin ke Arini.” :”Ibu, nanti dipraktekkan enggak? (siswa bertanya kepada guru bahasa Indonesia)” : “Iya, nanti dipraktikan. (guru menjawab dengan suara lantang agar semua siswa mendengar)”. (kel 1, 7C)
Dalam dialog terseibut terdapat beberapa
kata bantu yang
berasal dari bahasa Jawa yaitu „sak‟ yang berarti satu, „to‟ yang berfungsi menegaskan kalimat yang sedang dibicarakan seperti „kan‟, „nek‟ yang berarti kalau. Penutur menyisipkan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa Jawa ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Siswa 6 Siswa 1 Siswa 6 Siswa 2 Siswa 6 Siswa 3
: “Sebentar, kan minimal lima bait?ini kita ibuat 6 baik aja, ini kan kata ada enam orang.” : “Iya tar bacane satu-satu.” : “Disalin sekalian ya!” : “ Ini bagian yang nyalin, kita yang mikir bait berikutnya.” : “Yel-yelnya gimana? Emm, metafora,,metafora.” : “Haha, iya.” (kel.1, VIII-D)
Dalam dialog terseibut terdapat dua kata yang berasal dari bahasa Jawa yaitu bacane yang berasal dari kata baca mencapat akhiran „e‟, akhiran e dalam bahasa jawa adalah imibuhan (lesan) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
kalau dalam bahasa indonesia berarti membacanya. Penutur menyisipkan kata bacane ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Siswa 2 : “Terus saskia bilang ,iya, ada apa zaeni? Terus dijawabe , oh ya saskia kamu tau gak carane meningkatkan hasil pertanian?” Siswa 1 : “Terus ngko jawabe, maaf zaen, kalau masalah itu aku nggak tahu, coba kamu tanya saja sama Candra!”. Siswa 2 : “Iya, begitu saja. Ditambahi ,siapa tahu Candra bisa menjelaskan tentang cara untuk meningkatkan mutu pertanian, terus akhirnya mbak zaeni bilang, ya kalau begitu makasih ya atas informasinya. Ngono wae.” Siswa 3 : “Eh ho’o mbak, apa ini diganti adam aja, nanti mbak zaeni ga bisa jawab terus di kasihke sama mbak fani, gitu aja gimana? Biar lebih panjang to?” Siswa 1: “Yo gak usah gitu, nanti aku sama mbak zaeni jawabnya setengah-setengah. Gimana?” (kel.2 : 7C) Dalam kalimat terseibut penutur menggunakan kata bantu eh yang ternasuk dialek jawa yang biasanya dipakai pada saat menemukan ide baru atau kaget, campur kode terseibut sulih dihilangkan oleh siswa karena mereka terbiasa menggunakan kata bantu terseibut dalam percakapan sehari-hari. Kemudian penutur juga menggunakan kata ho‟o yang berasal dari bahasa Jawa berarti iya, dan penggunaan kata bantu “to” . dari hasil wawancara dengan siswa dapat dieroleh kesimpulan bahwa siswa masih sering menggunakan campur
kode
kesulitanuntuk
bahasa
Jawa
menghilangkan
karena
mereka
kebiasaan
masih
mereka
merasa berbcara
menggunakan bahasa Jawa, kata bantu seperti eh, ealah, kok, lho, to, dan lain sebagainya. Terkadang spontan mereka ucapkan saat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
2)
Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. Siswa 3 : “Pegang pundakku jangan perbah lepaskan, bila ku ingin terbang, terbang meninggalkan mu.” Siswa 2 : “Yes, pinter you.” Siswa 3 : “O. jelas.” Siswa 2 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.” (kel. 4, VIII-D) Kata yes yang berarti iya pelajaran dan you yang berarti kamu merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Penutur menyisipkan kata-kata terseibut ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Contoh lain campur kode bahasa Indonesia dan baha ingris adalah. : “Tapi emang kita kompetisi?” : “Eh iya.” : “Yang terpenting belajar menjadi lebih baik.” : “Oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.” Siswa 4 : “Kemiskinan dalam kolong jembatan.” (kel. 1, VIII-D) Siswa 3 Siswa 4 Siswa 2 Siswa 5
Siswa 1 : “Biasanya itu siswa menyontek karena takut remidi dan mendapat image iburuk jka mendapat nila baik dan hanya dia yang mendapatkan nilai iburuk. Njuk opo maning yo?” Siswa 2 : “Lha alesannya lagi apa?” Siswa 1 : “Karena siswa tidak tidak belajar pada malam harinya.” Siswa 2 : “Uwis wae ya?” Siswa 1 : “Iya.” (kel.1, VIII-B) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
Pada dialog kelas VIII-D kelomopok 1 terdapat kata no dalam kalimat “ oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.” Berasal dari bahasa inggris yang berarti „tidak‟. Begitu pula pada dialog kelas VIII-B, kelompok satu terdapat kata image yang dalam konteks kalimat terseibut berarti gambaran atau potret diri sesorang. Penutur menyisipkan kata-kata terseibut ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. 3) Campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. Siswa 1 : “Ayo ditulis nama kelompoknya.” Siswa 2 : “Iya sebentar.” Siswa 3: “Ini tentang apa sih?” Siswa 4: “Tentang gagasan kalimat, mosok ga tahu sih?” Siswa 1 : “Seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai deapan?” Siswa 3: “Jawablah pertanyaan berikut, seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan!” Dalam dialog terseibut siswa 4 mengatakan mosok merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti apakah dan sih merupakan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indone sia dialek Jakarta. 4)
Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek
Jakarta Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 KEPIL, Kaibupaten Wonosobo. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
Siswa 2 : “Ditulis semua?” Siswa 1: “Iya.” Siswa 2 : “Lha yang nomor satu mana?” Siswa 1 : “Ini.” Siswa 2: “Sedikit ya?” Siswa 3 : “Ini lha masa gak tahu sih ni?” Siswa 1 : “ Iya, ini sebagai lalapan.” (kel.3, VII-B) Dialog dalam diskusi kelompok 3, kelas VII-B terdapat tuturan yang beribunyi “ini lha masa gak tahu sih ni?”, kalimat terseibut menggunakan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta. 3) Campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan Campur kode wujud unsur kebahasaan yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. a) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem (Ramlan, 1987: 33). Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata merupakan macam atau jenis campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang paling sering muncul. Campur kode jenis atau macam ini contohnya terdapat dalam datadata berikut ini. Siswa 1
: “Guru-guru harus lebih aktif dalam mengamati para siswa-siswa di kelas pada setiap pelajaran dan guru juga memberikan pemeriksaan pada siswa dari laci, baju, sepatu dan lain-lain.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
Siswa 3 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 1
:”Ho’o para guru harus memeriksa setiap hari.” : “Ealah kok setiap hari.” : “Lha po sekolahnya hari senin?” : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.” (kel.2, VIII-B)
Siswa 3 Siswa 2 Siswa 5 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3
: “Bagaimana ini?” : „Seperti terik matahari yang….” : “Nonono, ibukan ibukan ibukan.” : “Setiap hari tuibuhku…” : “Jane iki ojo k ya, gen ora angel.” : “ Njuk ki jane arak digawe opo to? Neg ga pakai k yo ini apa jal? : “ Kan seharusnya air hijan mengguyur rumahku.” (kel. 3, VIII-D)
Siswa 6
Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1
: “Ini seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai delapan.” : “Paragraf dua kuwi sek endi?” : “Sek iki.” : “Orang yang ini aja bersifat umum.” : “Paragraf kedua kan ini?” : “Tulis dulu, nomor 1.a.” : “1.a?” : “Iya.” (kel.3, VII-E)
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur kode wujud unsur kebahasaan kata. Hal ini disebabkan oleh unsurunsur yang menyisip ke dalam kode dasar berupa atau berwujud kata, penutur meyisipkan kata-kata yang berasal dari bahasa lain. Pada dialog siswa kelas VIII-B, kelompok 2 penutur 2 menggunakan kata ho‟o dalam tuturan “ho‟o para guru harus memeriksa setiap hari” berarti „iya para guru harus memeriksa setiap hari‟ yang berasal dari bahasa Jawa dan penutur (siswa 3) menggunakan kata ealah dalam tuturan „ealah kok setiap hari‟ kata ealah dalam bahasa Jawa meempunyai arti yang bermacammacam tergantung konteks kalimatnya, dalam kalimat „ealah kok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
setiap hari‟ kata „ealah‟ berarti penyangkalan atas pendapat yang dikemukakan oleh lawan tuturnya, dalam bahasa Indonesia berarti „ibukan demikian‟. Pada dialog siswa kelas VIII-D, kelompok tiga menggunakan kata „nonono‟ pada tuturan “nonono, ibukan ibukan ibukan” yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti „tidak‟. Pada dialog siswa kelas VII-E kelompok tiga, seorang penutur (siswa 3) penyisipkan kata “aja” pada tuturan “orang ini aja bersifat umum‟ yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia yang berarti „saja‟ sehingga terjadi campur kode wujud unsur kebahasaan kata. b) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud frasa. Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151). Campur kode jenis atau macam ini dapat dilihat dalam datadata berikut ini. Siswa 1 : “Kita akan membahas tentang apa to? Siswa 2 : ” Tentang percakapan telefon lah, ealah re kepriye? Siswa 1 : “Lha iya, tanya apa? Siswa 3 :”Nanti kita akan memibuat percakapan tentang peningkatan hasil pertanian padi.(kel.2, VII-C) Siswa 1 : “Ngene wae, getah tanaman mete diabaikan orang.” Siswa 2 : “He?” Siswa 1: “Getahnya sering diabaikan oleh orang. Ngono wae?” Siswa 3: “Yo.” Siswa 4 : “Getahnya sering diabaikan orang. Titik.” Siswa 3 : “Getah tanaman mete mempunyai manfaat yang cukup besar.” Siswa 1 : “Opo mau?” Siswa 3 : “Getah tanaman mete sering diabaikan.” (Kel.2, VII-E)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur kode wujud unsur kebahasaan frasa. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur yang menyisip ke dalam kode dasar berwujud frasa. Dalam dialog di atas penutur meyisipkan frasa yang berasal dari bahasa Jawa “ealah re kepriye (kel.2, VII-C), ngene wae dan ngono wae (kel.2, VII-E)” ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode wujud unsur kebahasaan frasa. C. Campur kode ragam Campur kode ragam yang muncul dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 KEPIL, Kaibupaten Wonosobo. Campur Kode Ragam Resmi dan Ragam Santai Campur kode ragam resmi dan ragam santai ini muncul beberapa kali. Campur kode jenis ini dapat dilihat dalam dialog berikut : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” Siswa-siswa : “Nggih ibu.” Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya lho.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” (kel.3, VII-E) Guru
Dalam dialog di atas penutur mencampur ragam resmi dan ragam santai dalam satu kalimat. Ragam resmi dalam kalimat itu ditandai oleh kata-kata dalam kalimat pertama menggunakan bahasa baku tidak bercampur dengan dialek Jawa maupun Jakarta. Sedangkan ragam santai dalam kalimat itu ditandai oleh penggunaan kata bantu penegas yang tidak baku yaitu lho yang menyantaikan pembicaraan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
Dialog lain yang juga merupakan campur kode ragam resmi dan ragam santai yaitu dialog berikut. Siswa 2 : “Apa (opo) mau?” Siswa 3 :“Bisa menjadi lalapan dan rasanya yang khas memibuat selera makan menjadi bertambah, lhah salah?” Siswa 2: “Catet dimana?” Siswa 4: “Ini lho.” Siswa 2 : “Ditulis semua?” Siswa 1: “Iya.” (kel.1, VII-E) Dalam dialog itu penutur mencampur antara ragam resmi dan ragam santai. Ragam resmi dalam dialog itu ditandai oleh bentuk kalimat yang lengkap dan kosa kata baku. Sedangkan ragam resmi dalam dialog itu ditandai oleh penggunaan kata tidak baku lhah yang merupakan bentuk tidak baku dari tidak. 3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam diskusi. a. Faktor Penyebab Alih Kode 1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud mengimbangi bahasa lawan tutur. Faktor penyebab alih kode ini dapat dilihat dalam dialog berikut ini.
Siswa 3
Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 3 Siswa 1
: “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu, bisa bicara dengan Wahyu? ojo teman sekelase Wahyu.” : “Oh iya sebentar tak panggilkan Wahyu. Gitu.” : “Oh iya kita pakeknya saya aj a ga usah aku!” : “Iya, ini pakainya pagi gitu aja yo?” : “Ho’oh. Nanti alasannnya si wahyu sedang bermain.” : “Ora usaah, sedang membaca ibuku aja, nggak papa to?” : “Sedang membaca ibuku di halaman gitu aja gak papa?” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
Siswa 2
: “Iya gak papa, terus Fatimahnya jawab sebelumnya minta maaf dululah.” (kel. 1, VII-C)
Dalam dialog di atas terjadi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia yaitu saat penutur (siswa 1) menuturkan “ho’oh. Nanti alasannnya si wahyu sedang bermain.”. Dalam alih kode terseibut dapat dilihat bahwa penutur melakukan alih kode disebabkan oleh adanya maksud mengimbangi lawan tutr. Pada saat penutur berbahasa Jawa, penutur sedang mengomentari jawaban lawan tutur “iya, ini pakainya pagi gitu aja yo?”. Kemudian penutur berlaih berbahasa Indonesia dengan maksud untuk melanjutkan menjelaskan materi. 2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya. Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih kode yang berupa lawan tutur. : “Paragraf ke lima.” : “Kacang ini memiliki nilai ekonomi tinggi.” : “Kan kudu ono rinciane to?” : “Iyo.” : “Kacang ini menghasilkan minyak CNSL”. : “Paragraf ke enam.” : “Sek endi? Aku tak moco.” : “Kulit batang dari kacang ini, dimanfaatkan untung pengobatan sariawan dan penyakit gula-gula.” (kel. 1, VII-B) Dalam dialog di atas penutur (siswa 1) beralih kode dari bahasa
Siswa 1 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 1 Siswa 3 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1
Indonesia ke bahasa Jawa disebabkan oleh lawan tutur (siswa 4) yang sebaya dengan penutur dan berbahasa Jawa. Untuk mengimbangi lawan tutur yang berbahasa Jawa maka penutur beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. 3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga. Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih kode yang berupa perubahan situasi hadirnya orang ketiga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
Siswa 2: “Saya Yeni, teman sekelas fani dan juga candra.” Siswa 3 : “Kok sekelas? Sengoklah?” Siswa 2 : “yo iyo lah, teman sekelas.” (kel.2, VII-C) Dalam dialog di atas terlihat bahwa penutur pada awalnya berbahasa Indonesia saat membahas materi diskusi dengan teman sekelompoknya, kemudian beralih berbahasa Jawa karena ada orang ketiga yang hadir. Setelah orang ketiga hadir, saat orang ketiga mengatakan kok dan sengoklah (bodoh), maka lawan tutur akan mengikuti berbicara dengan bahasa daerah (jawa) dialek yang mereka mengerti.
4) Perubahan topik pembicaraan. Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih kode yang berupa perubahan topik pembicaraan. Siswa 2:”Seibutkan gagasan paragraf dua sampai delapan!” Siswa 4 : “Soale ditulis! Ealah” Siswa 1: „Ini yang pertama ini” Siswa 2: “Tuliskan rincian dari setiap gagasan utama terseibut. Jangan lupa pake tanda tanya lho! Siswa 1: “Iya.” Siswa 5 : “Nomor selanjutnya, sampaikan kritikanmu terhadap wacana terseibut. Siswa 4 :“Neg ngomong seng seru to!. Siswa 5: “Ya. (kel. 1, VII-B) Dalam dialog terseibut penutur beralih kode dari ragam resmi ke ragam santai karena terjadi pe rubahan topik pembicaraan. Pada saat penutur
(siswa
2)
menggunakan
ragam
resmi
penutur
sedang
membicarakan tentang perintah dari soal yaitu menuliskan rincian dari gagasan utama. Kemudian topik pembicaraan berubah menjadi tentang kalimat penutur yang mengingatkan agar lawan tutur saat menulis menggunakan tanda baca yaitu tanda tanya. Pada saat topik pembicaraan berubah itulah penutur juga melakukan beralih kode ke ragam santai, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
ragam santai dapat dilihat juga dari kalimat yang kedua penutur menggunakan bahasa yang tidak baku yaitu “pake”‟ dan “lho”. 5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih kode yang berupa perubahan formal ke informal. Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walau pun badai kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari menemaniku setiap hari. Wis to?” Siswa 2 : “Kan iki ngelak to?” Siswa 3 : “Haus?” Siswa 2 : “Iya, haus.” Siswa 1 : “Berarti dahaga.”(kel. 1, VIII-D) Dalam dialog terseibut penutur melakukan alih kode dari ragam santai ke ragam resmi karena adanya perubahan dari formal ke informal. Dalam situsi formal yaitu pada saat penutur memberikan ide untuk syair puisi kelompok mereka. Setelah itu situasi berubah menjadi informal, ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa ”wis to?” yang berarti „sudah kan?‟ oleh penutur (siswa 1). 6) Untuk membangkitkan rasa humor. Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab alih kode yaitu untuk membangkitkan rasa humor. Siswa 1: “Sungguh berat hidup ini seperti pohon yang diterpa angin.” Siswa 2: “Diterpa kan yo enteng to?” Siswa 3: “Ealah yo diterpa angin puting beliung wae.” (kel.2, VIII-C) Dalam dialog terseibut penutur beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa karena penutur ingin membangkitkan rasa humor. penutur bertanya “diterpa kan yo enteng to?” maksudnya menyanggah pendapat lawan tuturnya yang memibuat kalimat “sungguh berat hidup ini seperti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
pohon yang diterpa angin”. Penutur kedua menyanggah bagaimana bisa pohon bisa tumbang jka hanya diterpa angin, kemudian penutur pertama menjawab “ealah , yo diterpa angin puting beliung wae.” Kalimat terseibut berarti ya sudah kalau begitu diterpa angin puting beliung saja, namun
penutur
menggunakan
kata
“ealah”
dan
“wae”
agar
membangkitkan rasa dan suasana humor (mencairkan suasana). Contoh lain alih kode yang membangkitkan rasa humor, adalah. Siswa 4 : “Hidupku bagai ibunya yang tidak disiram.” Siswa 1 : “Njuk prige re mbahasaake ki?” Siswa 2 : “Layu.” Siswa 4 : “Ho‟o, layu disetiap langkahku.” Siswa 5 : “Emang kembang nggo langkah? Hahaha.” Siswa 4 : “Layu terasa di dalam hati.” Siswa 2 dan 5 : “Wedyan.” (kel.2, VIII-D) Dalam dialog di atas siswa 2 memberikan ide kata “layu” untuk memibuat puisi, kemudian siswa 4 melanjutkan kata “layu” (ibunga yang layu)
menjadi kalimat “layu disetiap langkahku”, namun kalimat
terseibut tidak sesuai dengan ketentuan, karena tidak kesesuaian itu maka menimibulkan suasana humor, terlihat dari tanggapan siswa 5 yang menertawakan, ide kalimat dari siswa 4 dengan kalimat “emang kembang nggo langkah? Hahahaha”.
b. Faktor penyebab terjadinya campur kode 1. Identifikasi peranan sosial Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab identifikasi peranan sosial antara lain. Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya lho.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
Guru : “Dijawab! Sapa (sopo) sing njawab?” Siswa 2 : “kula sing nulis ibu.” Siswa 4 : “Ibuah dari jamibu mete, eh beberapa dari ibuah jamibu mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan saja ya.” (kel.3, VII-E) Dalam dialog di atas penutur (guru) mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa disebabkan oleh kedudukan penutur yang lebih tinggi daripada lawan tutur. Karena kedudukannya dalam sosial lebih tinggi daripada lawan tutur maka penutur menggunakan kata sapa (sopo) yang berarti siapa dan merupakan kata ngoko yang merupakan tataran terendah dalam bahasa Jawa kepada lawan tutur. 2. Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena campur kode juga menandai sikap dan huibungannya terhadap orang lain dan sikap dan huibungan orang lain terhadapnya (suwito, 1985: 77). Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan antara lain. Siswa 4 Siswa 3 : Siswa 4 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 2 Siswa 4
: “Maaf ini siapa? Pake tanda tanya!” “Ini Rita kakaknya Wahyu. Gitu aja!” : “Klo udah gitu, nanti Fatimah bilang, oh ya bisa panggilkan wahyu sebentar kak? gitu weh yo?” : “Masak oh ya, yo lucu yo?” : “Gak papa lho.” :” Itu pakai tanda tanya kan? : “He‟em” (kel.1, VII-B)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 3) mencampur bahasa Jawa dan bahasa Indonesia disebabkan oleh keinginan penutur untuk menafsirkan ketidak setujuannya dengan pendapat temannya (siswa 4) dan pendapat „oh ya‟ tidak sesuai karena terkesan lucu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
3. Karena keterbiasaan penutur. Dialog campur kode yang disebabkan oleh keterbiasaan penutur menggunakan bahasa iibu, antara lain.
Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 1
: “Iki nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?” : “Nomor satu apa?” : “Daun mete yang yang masih muda dapat dijadikan lalapan?” : “Apa?” : “Daun mete yang masih muda bisa dijadikan lalapan.” : “Lalapan?” : “Iyo.” (kel. 1, VII-E)
Pada dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan kata bantu „to‟ yang berasal dari bahasa Jawa pada kalimat “iki nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?”. Penggunaan kata bantu „to yang dalam konteks kalimat terseibut mempunyai fungsi menegaskan kalimat yang sedang penutur tanyakan kepada lawan tutur. Penutur menggunakan campur kode terseibut karena terbiasa menggunakan bahasa iibu yaitu bahasa Jawa, keterbiasaan terseibut mempengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia. Siswa 1: “Manfaat daun jamibu mete?” Siswa 3: “Iya.” Siswa 2 : “Manfaat daun jamibu mete yang masih muda.” Siswa 1: “Terus?” Siswa 3: “Kulit mete memiliki….” Siswa 1: “Ora, nilai ekonomi yang sangat tinggi, ngono wae?” Siswa 3: “Yo kui meniru, menambahi, kan iki kon menyingkat?” Siswa 1: “Berarti?” Siswa 3: “Nilai ekonomi kulit mete.” (kel.2, VII-E) Penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa pada tuturan, “ora, nilai ekonomi yang sangat tinggi, ngono wae?”, campur kode terjadi karena penutur commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
menggunakan kata ora yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti „tidak‟ dan frasa „ngono wae‟ yang berarti „seperti ini saja‟. Penutur (siswa 2) juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa pada tuturan, “yo kui meniru, menambahi, kan iki kon menyingkat?”, penggunaan kata „yo kui‟ yang berarti „iya, itu‟ dan „iki kon‟ yang berarti „ini disuruh‟ memibuktikan bahwa penutur (siswa 3) menggunakan campur kode. Penutur menggunakan campur kode terseibut karena terbiasa menggunakan bahasa iibu yaitu bahasa Jawa, keterbiasaan terseibut mempengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.
Siswa 6 Siswa 2,3 Siswa 4 Siswa 6 Siswa 5 Siswa 2
: “ Bisingnya suara kendaraan, menemani krasnya kehidupan.” : “Oh ho’o” : “Opo? Berisik apa bising?” : “Bising” : „Suara bising menemani kehidupan.” : “Kemiskinan wae.”(kel.1,VII-D)
Penutur (siswa 2 dan 3) menggukanan campur kode karena bahasa indonesia dengan bahasa Jawa karena penutur menggunakan kata ho‟o yang berasal dari bahasa Jawa pada konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa bahasa Indonesia. Penutur (siswa 2) juga menggunakan campur kode pada tuturan “kemiskinan wae.”, penggunaan kata „wae‟ yang berasal dari bahasa Jawa memibuktukan bahwa penutur (siswa 2) melakukan campur kode bahasa Jawa dalam konteks pembicaraan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia. Siswa masih melakukan campur kode karena siswa masih terbiasa menggunakan bahasa Jawa, yang dalam kehidupan sehari-hari mereka gunakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
: “Eh aku punya ide. Tulis aja di ibuku coretcoretan aja!” : “He’em, terus?” : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini lalu dikasihke Rina, lalu kamu tanya “halo ada apa ya? Lalu saya bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana carapeningkatan pertanian?” : “Lalu?” : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini” : “Iya ini ceritanya meh pagi-pagi po siang?” : “Selamat pagi aja?” : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!” (kel.1, VII-C)
Siswa 3 Siswa 1 Siswa 4
Siswa 3 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 1
Dalam dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “he‟em, terus?” penggunaan kata „he‟em‟ yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti „iya‟, memibuktikan bahwa penutur menggukan campur kode bahasa jawa ke dalam konterks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia. Siswa 4 Siswa 2 Siswa 3 Siswa 2 Siswa 5 Siswa 1 Siswa 2
: “Hatiku terasa berteriak-teriak.” : “Ojo berteriak-teriak, koyo wong seneng.” : “Bagaimana ini?” : „Seperti terik matahari yang….” : “Nonono, ibukan ibukan ibukan.” : “Setiap hari tuibuhku…” : “Jane iki ojo k ya, gen ora angel.” (kel.3, VIII-D)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 2) menggunakan campur kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “ojo berteriakteriak, koyo wong seneng.”, kalimat terseibut dalam bahasa Indonesia berarti
“jangan
berteriak-terak,
seperti
orang
yang
sedang
gembira/senang”. Penggunaan kata „ojo‟ yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti „jangan‟,dan frasa „koyo wong seneng‟ yang berarti „seperti orang yang senang‟ memibuktikan bahwa penutur menggukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
campur kode bahasa jawa ke dalam konterks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.
Siswa 5 Siswa 2 Siswa 5 Siswa 3 Siswa 4 Siswa 1 Siswa 2
: “Gagasan utama paragraf ke empat.” : “Jamibu mete yang masih muda dapat dimanfaatkan sebagai lalapan.” : “Gagasan utama paragraf lima.” : “Kulit mete memiliki nilai ekonomi tinggi.” : “Eh gentian mba, nanti pegel lho.” : “gak kok, gak papa, paragraf ke enam?” : “Kulit batang dari tanaman mete dimanfaatkan untuk pengobatan.”(kel.2, VII-B)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 4) menggunakan campur kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “eh gentian mba, nanti pegel lho.”. fungsi lho dalam kalimat terseibut untuk menegaskan kalimat yang diungkapkan penutur kepada lawan tutur. Penggunaan kata bantu ‟lho‟ memibuktikan bahwa penutur menggukan campur kode bahasa jawa ke d alam konteks percakapan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia. Siswa 4
Siswa 2 Siswa 5 Siswa 2
: “Iki wae pertanyaan selanjutnya, begaimana cara mengatasi menyontek pada diri sendiri, berarti kan dari pribadi to?” : “Njuk apa bedanya sama yang di atas?” : “Ya yang di tulis itu yang ibuat diri sendiri saja.” : “Yang harus lebih percaya sama kemampuan diri, belajar lebih giat, menganggap kalau menyontek itu dosa.” (kel.1, VIII-B)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 2) menggunakanan kata “njuk” berarti „terus‟ (dialek daerah Wonosobo) dalam tuturan “njuk apa bedanya sama yang di atas?”. Dari beberapa contoh dialog di atas alasan penutur menggunakan campur kode terseibut karena terbiasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
menggunakan bahasa iibu yaitu bahasa Jawa, keterbiasaan terseibui mempengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia. 4. Karena faktor lingkungan. Hal terseibut juga dipertegas dari hasil wawancara dengan guru dan siswa yang mengungkapkan bahwa faktor utama terjadinya alih kode dan campur kode adalah faktor lingkungan siswa yang menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa iibu, jadi mereka masih canggung dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, mereka masih sering melakukan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah mereka. 5. Karena latar belakang pendidikan. Pengajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia saat siswa duduk di bangku SD juga masih kurang, karena guru SD kawasan pedesaan biasanya lebih sering menjelaskan pelajaran denagn bahasa daerah (Jawa) dengan alasan agar siswa bisa lebih mudah menangkap materi yang diajarkan, saat beromunikasi dengan duru siswa juga lebih sering menggunakan bahasa Jawa, jadi siswa tidak terbiasa jika harus berkomunikasi dengan teman atau guru menggunakan bahasa indonesia. 6. Karena belum terbiasa. Siswa juga mengungkapkan bahwa mereka masih merasa malu jika harus berbicara dengan teman sebaya menggunakan bahasa Indonesia, alasannya juga karena tidak terbiasa dan dianggap congkak apabila menggunakan bahasa Indonesia. 7. Karena faktor ekonomi keluarga. Faktor ekonomi keluarga dari siswa juga berpengaruh, kebanyakan siswa yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kepil berasal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
dari keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah, yaitu dari keluarga petani. Dengan kondisi yang demikian tentunya beda dengan siswa yang bersekolah di perkotaan, mereka masih jarang yang bisa menonton televise saat pulang sekolah, karena mereka harus meembantu kedua orang tuanya di sawah, sebagian besar dari mereka juga belum mengenal internet, jadi mereka hanya belajar bahasa Indonesia saat jam pelajaran berlangsung saja. b. Fungsi Alih Kode 1) Menyantaikan. Alih kode yang mempunyai fungsi menyantaikan terdapat dalam dialog berikut. Siswa 3 Siswa 1 Siswa 4 Siswa 3
Siswa 1
: Terus nanti kakaknya bilang gini, “eh gimana dek? Apa ada yang bisa kakak bantu?” gitu to? : He‟em, terus bilang “saya mau tanya bagaimana cara memilih benih yang berkualitas?” gitu yo? : “Terus gimana lagi?” : “Bagaimana kalau yang beli sama kakak saja nanti kakak pilihkan.” begitu ya? Trus jawabe “ apa gak ngrepotin kakak?” gitu piye? : “Iya.” (kel. 1, VII-C)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur dari ragam resmi ke santai mempunyai fungsi untuk menciptakan suasana santai antara penutur dan lawan tutur. Hal ini ditandai oleh oleh penggunaan ragam santai yang menciptakan suasana santai pada saat peristiwa interaksi dan huibungan antara penutur dan lawan tutur semakin akrab. 2) Menegaskan. Alih kode yang berfungsi untuk menegaskan terdapat dalam dialog berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat dan di laci.” Siswa 4 : “Eh sek nggenahlah.” Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek pada diri siswa, berikan saranmu supaya menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Njuk di jawab!” Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah menyerah untuk menjawabnya.” Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.” Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel. 2, VIII-D) Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai yang dilakukan penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang telah diseibutkan oleh penutur. Fungsi menegaskan ini ditandai oleh setelah penutur (siswa 3) membacakan soal yang harus dikerjakan, kemudian penutur beralih dengan kalimat menggunakan kode dasar bahasa Jawa pada tuturan “njuk dijawab!” mempunyai jujuan untuk menegaskan pada teman-temnnya bahwa perjanaan terseibut harus dijawab. 3) Menyegarkan. Alih kode yang berfungsi untuk menyegarkan terdapat dalam dialog berikut. Siswa 1: “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.” Siswa 2: “Koyo duit wae berharga.” Siswa 1: “Lebih dari uang,” Siswa 3: “Wedyan.” (kel.4, VIII-D) Alih kode yang dilakukan oleh penutur satu dan dua dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ini berfungsi untuk menyegarkan suasana. Pada saat penutur (siswa 1) mengunakan bahasa Indonesia, penutur sedang memberikan ide tentang puisi yang sedang diibuat oleh kelompok mereka, kata-kata yang diibuat oleh penutur mempunyai arti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
yang dalam. Hal ini meemibuat suasana di kelompok mereka menjadi hening, kemudian lawan tutur mulai merespon dengan menjawab menggunakan bahasa Jawa dengan nada bercanda “koyo duit wae berharga” yang berarti seperti uang saja berharga, dengan kata-kata dalam bahasa Jawa, sehingga suasana menjadi lebih segar. 4) Menghormati. Alih kode yang berfungsi untuk menghormati terdapat dalam dialog berikut. Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” Siswa : “Nggih ibu.” Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” (kel. 3, 7E) Alih kode yang dilakukan oleh penutur (G) dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa berfungsi untuk menghormati orang ketiga (O1) yang masuk ke dalam lingkungan penutur yang pada saat itu sedan berkomunikasi dengan lawan tutur. Sebelum orang ketiga (O1) masuk, penutur (G) menggunakan bahasa Indonesia, kemudian ada orang ketiga (O1) masuk dan berbahasa Jawa. Dengan demikian penutur (G) menggunakan bahasa Jawa halus untuk menghormati orang ketiga (O1) terseibut. 5) Menerangkan. Alih kode yang berfungsi untuk menerangkan terdapat dalam dialog berikut. Guru
: “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” Siswa-siswa : “Nggih ibu.” Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?” Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu gagasan utamanya lho.” Siswa 1 ; “Iya, ibu.” Guru : “Dijawab! Sapa (sopo) sing njawab?” Siswa 2 : “Kula sing nulis ibu.” Siswa 4 : “Ibuah dari jamibu mete, eh beberapa dari ibuah jamibu mete.” Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai delapan saja ya.” Siswa 3 : “Niki ditulisi paragraf induktif atau deduktif ngeten ibu?” Guru : “O, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” (kel.4, VII-E) Dalam dialog di atas (bercetak tebal) penutur (guru) menggunakan alih kode, pada tuturan “kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” dan “o, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan utamanya saja.” yang dilakukan oleh penutur dari ragam santai ke ragam resmi berfungsi untuk menerangkan hal yang telah diseibutkan. Dalam hal ini penutur sedang membahas apa yang dimaksud dengan jenis paragraf. Fungsi alih kode untuk menegaskan dalam dialog terseibut ditandai oleh munculnya ragam resmi yang yang bentuknya panjang dan lengkap, sehingga hal yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
c. Fungsi Campur Kode a. Menyantaikan Fungsi campur kode menyantaikan dapat dilihat dalam dialog berikut ini. Siswa 5 : “Gagasan paragraf ke tujuh?” Siswa 2: “Akar dari tanaman mete juga bermanfaat bagi pengobatan.” Siswa 3: “Gagasan utama paragraf delapan, itu getah tanaman mete sering diabaikan oleh orang.” Siswa 4 : “Bentar lho mbak jangan cepat-cepat!” Siswa 2 : “Gagasan utama paragraf sembilan itu yang ini, batang tanaman mete memiliki manfaat yang cukup besar.” Siswa 3: “Ini yang nomor dua, jelaskan rincian dari gagasan utama terseibut!” Siswa 1 : “Intine apa iki?” Siswa 3: “Nomor tiga itu, sampaikan kritikanmu terhadap gagasan utama terseibut!” (kel.2, VII-B) Penyisipan kata bantu (menegaskan) dari bahasa Indonesia dialek Jawa “lho” ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia oleh penutur (siswa 4) berfungsi untuk menyantaikan. Dengan adanya kata bantu “lho” terseibut maka suasana yang terjadi pada saat penutur berbicara dengan lawan tutur adalah suasana santai. Contoh lain tuturan yang menggunakan campur kode dan memiliki fungsi menyantaikan adalah. Siswa 3 Siswa 1 Siswa 4
Siswa 3
: “Eh aku punya ide. Tulis aja di ibuku coret-coretan aja!” : “He‟em, terus?” : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini lalu dikasihke Rina, lalu kamu tanya “halo ada apa ya? Lalu saya bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana carapeningkatan pertanian?” : “Lalu?” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
Siswa 1
: “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan Dini” (kel. 1, VII-C)
Penyisipan kata dari bahasa Indonesia dialek Jakarta “gini” yang merupakan bentuk singkat dari kata begini ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia oleh penutur berfungsi untuk menyantaikan. Dengan adanya kata gini yang merupakan kata tidak baku terseibut maka suasana yang terjadi pada saat penutur berbicara dengan lawan tutur adalah suasana santai. b. Menegaskan Fungsi campur kode menegaskan dapat dilihat dalam dialog berikut ini. Siswa 4 Siswa 5 Siswa 4
Siswa 5 Siswa 1 Siswa 2 Siswa 5 Siswa 2 Siswa 5
: “ada yang di slorok juga.” : “Bahasa indonesianya slorok itu kan meja to?” : “Iya, di temukan kertas-kertas kecil di meja dan di laci siswa, kalau di meja biasanya ditutupin sama kertas atau ibuku.” : “Ho‟o.” : “Karo ditulis lho!” : “He‟em”. : “Terus itu biasanya siswa menyemibunyikan contekan mereka di kursi terus di jagoki.” : “Diduduki kali?” : “eh iya.” (kel.3, VIII-B)
Penyisipan kata dijagoki yang berasal dari bahasa Jawa
yang
berrati diduduki ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang diseibutkan. Penggunaan campur kode Jawa terseibut digunakan siswa saat
menegaskan
kalimatnya
bahwa
dalam
menyontek
siswa
menyemibunyikan contekan mereka dengan cara diduduki (dijagoki) .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
c. Menyegarkan Fungsi campur kode menyegarkan dapat dilihat dalam dialog berikut ini. Siswa 2 : “Langkahku selalu menemaniku sepanjang jalan, iya gitu aja lho.” Siswa 3 : “Nasibku seorang gelandangan yang tak dipedulikan.” Siswa 1: “Sambil situlis ya.” Siswa 4 : “He‟e.” Siswa 2 : “Kini diriku bagaikan daun kering diterpa angin, tapi dalam galau.” Siswa 4: “Kok galau?” Siswa 2: “Iya dalam galau kau tinggalkan aku sendiri.” Siswa 4: “Ini diganti panas menyengat kulitku.” Siswa 2: “Dipanas terik matahari.” (kel.3, VIII-C) Campur kode yang dilakukan oleh penutur dalam dialog di atas berfungsi untuk menyegarkan suasana pembicaraan antara penutur dan lawan tutur. Hal ini bisa dilihat dari kata galau yang ducapkan penutur (siswa 2) di akhir kalimat yang berfungsi membangkitkan suasana humor ke dalam diskusi kelompoknya, karena kata galau adalah kata yang sedang populer di kalangan remaja. d. Menghormati Fungsi campur kode menghormati dapat dilihat dalam dialog berikut ini. Siswa 1 : “Membiasakan belajar di malam hari.” Siswa 4 : “njuk berusaha percaya diri dengan jawaban diri sendiri.” Siswa 3 : “mengindari teman yang sedang yang menyontek.” Siswa 5: “njuk niko mencoba menanyakan materi yang belum dimengerti kepada guru atau teman yang sudah belajar.” Siswa 1 : “oh, iyo”. (kel. 4, 8B) Campur kode terjadi dengan adanya kata niko yang disisipkan penutur ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia berfungsi untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
menghormati lawan tutur yang disapa. Karena niko merupakan bentuk singkat dati kata meniko dalam bahasa Jawa krama yang berarti ini, orang Jawa menggunakan bahasa „karma inggil‟ hanya dengan orang yang mereka hormati. C. Pembahasan
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas diskusi kelompok. Berdasarkan analisis data yang telah peneliti lakukan dalam aktivitas diskusi kelompok, mata pelajaran bahasa Indonesia teribukti bahwa siswa SMP Negeri 2 Kepil kelas VII B, VII C, VII E, VIII B, VIII C, VIII E masih menggunakan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah (Jawa) dan beberapa menggunakan campur kode dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia walau hanya beberapa kata. Teknik pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VII dan VIII, dari hasil wawancara memibuktikan bahwa ssiwa SMP Negeri 2 Kepil memang masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia denga bahasa Jawa. Guru juga menjelaskan bahwa mereka mereka tidak setuju dengan keadaan terseibut. Guru sudah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan ssiwa agar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dan menanamkan sikap cinta dan bangga menggunakan bahasa Indonesia, namun karena latar belakang lingkungan siswa dari keluarga dan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari maka siswa tetap kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dalam situasi formal seperti kegiatan diskusi kelompok. Temuat tersebut diperkuat oleh penelitian yang sudah dilaksanakan oleh Sari (2009: 80) yang menjelaskan bahwa guru berpendapat bahwa siswa masih terbiasa memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, jadi kalau guru harus menyapaikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
materi menggunakan bahasa indonsia secara keseluruhan akan membuat siswa kesulitan memahami materi. 2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok. Bentuk alih kode yang ditemukan dalam aktivitas diskusi siswa adalah alih kode intern: (1) alih kode ragam resmi ke ragam santai, (2) alih kode ragam santai ke ragam resmi, (3) alih kode ragam resmi ke ragam usaha, (4) alih kode ragam beku ke ragam santai, dan (5) alih kode ragam santai ke ragam usaha dan alih kode ekstern yaitu alih kode bahasa Indonesia ke bahasa jawa dan alih kode bahasa jawa ke bahasa Indonesia. Temuan ini didukung oleh penelitian relevan Sari (2009: 71) hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas II SD Negeri Selokupang berupa alih kode intern, yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Diperkuat dengan tepri dari Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu sebagai berikut. a. Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa. b. Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Campur kode yang ditemukan dalam penelitan ini adalah: (1) alih kode berdasarkan macam-macam bahasa seperti cempur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia diaek Jakarta, dan campur kode bahasa indonesia dan bahasa Indonesia dialek Jakarta, (2) campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur kebahasaan frasa, dan (3) campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam beku dan ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai. Temuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
tersebut diperkuat dari hasil penelitian oleh Wulandari (2002: 79) hasil penelitian “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo memibuktikan bahwa (1) adanya variasi campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, (2) campur kode ragam beku dan ragam resmi, ragam beku dan ragam santai, serta ragam resmi dan ragam santai, dan (3) campur kode wujud unsur kebahasaan, yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frasa. 3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam diskusi. Dari hasil observasi dan wawancara dengan siswa memibuktikan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode adalah: (1) penutur, alasan penutur yang meakukan alih kode dengan alasan mengimbangi lawan tutur, (2) perubahan situasi orang ketiga, (3) perubahan topik pembicaraan, (4) perubahan topic pembicaraan, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (6) untuk membangkitkan rasa humor. Hal ini diperkuat dengan teori dari Chaer (1995: 143) menyeibutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Faktor penyebab terjadinya campur kode dalam bahasa aktivitas diskusi siswa adalah: (1) identitas peranan sosial, (2) identifikasi ragam, (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, (4) karena faktor lingkungan, (5) karena latar belakang pendidikan , (6) karena belum terbiasa, dan (7) karena faktor ekonomi keluarga. Faktor-faktor yang ditemukan dalam penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rima Fatimah dengan judul “ Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia di Sma Negeri 1 Magelang”, yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya alih kode adalah sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
perubahan topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan rasa humor. Fungsi penggunaan alih kode dan campur kode yang digunakan siswa dalam kegiatan diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia ini adalah untuk: (1) menyantaikan, (2) managaskan, (3) menyegarkan, (4) menghormati, dan (5) menerangkan. Temuan ini diperkuat oleh teori dari Suwito (1985: 79) Yang menyatakan bahwa fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode sebagai berikut ini: (1) untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya, (2) untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok, (3) untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati, (4) untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa, (5) untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut. 1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode pada aktivitas diskusi pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. a. Guru berpendapat bahwa pengunaan alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan oleh siswa adalah sikap yang salah. b. Guru berpendapat bahwa siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sehingga guru berusaha selalu mengarahkan siswa agar terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. c. Guru berpendapat bahwa untuk meningkatkan penguasaan bahasa Indonesia siswa dilakukan dengan pemberian contoh pemakaian bahasa yang benar.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo sebagai berikut. a. Alih Kode 1) Alih kode intern yang terjadi yaitu alih kode ragam resmi ke ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha. 2) Alih kode ekstern yang terjadi yaitu laih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. b. Campur Kode 1) Campur kode bahasa yang terjadi yaitu campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, campur kode bahasa Indonesia dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
bahasa Indonesia dialek Jakarta, campur kode bahsa Indonesia, bahasa Jawa, dan dialek Jakarta. 2) Campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur kebahasaan frasa. 3) Campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam beku dan ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai. 3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo. a. Faktor penyebab terjadinya alih kode, adalah sebagai berikut. 1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud mengimbangi lawan tutur. 2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya. 3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga. 4) Perubahan topik pembicaraan. 5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. 6) Untuk membangkitkan rasa humor. b. Fungsi alih kode, sebagai berikut. 1) Menyantaikan. 2) Menegaskan. 3) Menyegarkan. 4) Menghormati. 5) Menerangkan. c. Faktor penyebab terjadinya campur kode,sebagai berikut. 1) Identifikasi peranan sosial 2) Identifikasi ragam 3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
4) Karena faktor lingkungan. 5) Karena latar belakang pendidikan. 6) Karena belum terbiasa. 7) Karena faktor ekonomi keluarga. d. Fungsi campur kode, sebagai berikut. 1) Menyantaikan. 2) Menegaskan. 3) Menyegarkan. 4) Menghormati.
B. Implikasi Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui persepsi guru tentang peristiwa lih kode dan campur kode yang masih sering terjadi pada kegiatan balajar mengajar khususnya pada saat diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, kaibupaten Wonosobo. Tujuan berikutnya untuk mengetahui bentuk-bentuk alih kode dan campur kode yang masih sering muncul dalam kegiatan diskusi terseibut, selain hal terseibut penelitian ini juga meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode. untuk mendapatkan hasil terseibut peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif (studi kasus terpancang). Diseibut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya mengangkat permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam masalah pemakaian bahasa Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya kagiatan diskusi. Dari hasil penelitian diperoleh data yang menunjukkan bahwa siswa masih sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa dalam diskusi kelompok, meski guru sudah mengatakan bahwa mereka menganggap kegiatan alih kode dan campur kode adalah sikap yang salah dan guru secara perlahan sudah membiasakan siswa agar bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun karena faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode seperti penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari siswa memibuat siswa kesulitan untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia denagn baik dan benar. Dari hasil penelitian terseibut dapat dikemukakan hasil implikasi sebagai berikut. 1. Implikasi Teoritis Dari hasil penelitian terbukti bahwa siswa masih kesulitan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dan masih sering melakukan alih kode dan campur kode bahasa, kebanyakan alih kode dan campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang. Hal terseibut harus diubah karena saat kegatan belajar mengajar berlangsung seharusnya siswa menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan alih kode dan campur kode bahasa yag digunakan siswa memibuat kerancuan interferensi bahasa jadi siswa harus lebih rajin belajar berbicara menggunakan bahasa indoneseia dengan baik dan benar, juga harus memperkaya diri dengan kosakata bahasa indonesia. 2. Implikasi Praktis Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa di sekolah kawasan pedesaan masih kesulitan dalam mempraktikan keterampilan berbicara menggunkan bahasa Indonesia karena faktor lingkungan yang menggunakan bahasa daerah (Jawa) sebagai bahasa iibu. Dengan demikian ssiwa-ssiwa terseibut harus lebih diperhatikan agar keterampilan berbicaraya tidak kalah jauh dari siswa di perkotaan. Guru yang mendapat tugas mengajar di sekolah kawasan pedesaan juga harus lebih serius mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa-siswanya.
C. Saran 1. Bagi siswa Siswa harus belajar bahasa Indonesia sejak dini, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan sangat penting untuk dikuasai. Saat siswa kawasan sekolah pedesaan keluar dari daerah terseibut siswa tidak bisa mempertahankan berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, karena setiap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
daerah memiliki bahasa (dialek) yang berbeda, jadi harus menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. 2. Bagi Guru Segabai guru bahasa Indonesia harus memeberikan arahan bagi siswa agar mencintai bahasa Indonesi dan membiasakan siswa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, agar siswa tidak merasa asing dengan bahasa Indonesia.
3. Bagi Peneliti Lain Apabila peneliti yang hendak mengkaji permasalahan yang sama diharapkan lebih cermat agar permasalahan yang masih terjadi di kawasan pedesaan bisa dilihat dan lebih diperhatikan. Hal terseibut akan dapat melengkapi kekurangan yang ada dan yang belum tercakup dalam penelitian ini agar diperoleh hasil yang lebih baik.mengupayakan kajian teori yang lebih.
commit to user