FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN TERHADAP PENINGKATAN KEKRITISAN PENALARAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR Kusubakti Andajani Jurusan Bahasa Indonesia FS Universitas Negeri Malang Abstrak: Kemampuan berpikir kritis anak usia sekolah dasar dapat ditingkatkan, mengingat usia sekolah dasar merupakan usia emas dalam masa pertumbuhan fisik dan mental manusia. Karenanya, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar perlu dilakukan. Tiga faktor utama yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar adalah dongeng, dialog, dan lingkungan. Kata kunci: kekritisan penalaran, anak usia sekolah dasar, dongeng, dialog, lingkungan.
Dalam ilmu psikologi perkembangan, anak usia sekolah dasar tumbuh dan berkembang pada fase operasional konkret, yaitu fase di mana anak hanya mampu memahami hal-hal di sekitarnya yang bersifat nyata. Struktur penalaran mereka pada umumnya sederhana, melibatkan satu pendirian utama yang didukung oleh satu premis pendukung. Mereka belum mampu menyelesaikan masalah yang melibatkan kombinasi urutan operasi pada masalah yang kompleks. Mereka juga belum mampu memikirkan berbagai alternatif pemecahan persoalan yang abstrak. Atau, kalaupun mereka dapat menunjukkan pemikiran yang abstrak, biasanya pemikiran tersebut bertitik tolak dari sesuatu yang konkret. Misalnya, mengelompokkan objek berdasarkan kesamaan sifat-sifat tertentu, menghubungan objek satu lawan satu dan membalikkan hubungan itu, mengurutkan unsur-unsur atau kejadian, serta memahami urutan ruang dan waktu. Apabila terjadi modifikasi perlakuan terhadap objekobjek tersebut, biasanya anak menjadi bingung dan tidak bisa mengikuti alurnya. Di sisi lain, anak pada masa operasional konkret ternyata telah menyadari adanya konversi, yaitu kemampuan berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak. Hal ini dikarenakan anak mengembangkan operasi berpikir negasi, resiprokasi, dan identitas. Pada operasi negasi, anak tidak hanya melihat apa yang terjadi pada suatu kegiatan, melainkan memahami proses terjadinya
kegiatan, sekaligus memahami hubungan antara satu aspek dengan aspek yang lain dalam kegiatan tersebut. Adapun pada operasi resiprokasi, anak mengetahui lebih jauh adanya hubungan timbal-balik antara satu aspek dengan aspek lain dalam suatu kegiatan. Pada operasi identitas, anak mengenal dengan baik satu per satu bendabenda yang ada pada suatu kegiatan, sehingga meski dilakukan pengubahan posisi pada benda-benda tersebut anak masih dapat mengenalinya dengan baik. Pernyataan tersebut mengimplikasikan pemahaman bahwa secara teoretis anak usia sekolah dasar mampu memahami hal-hal yang bersifat abstrak tetapi masih mengacu pada benda-benda yang bersifat kongkret. Atau, dengan kata lain, mereka belum mampu memahami hal-hal yang benar-benar bersifat abstrak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak dijumpai anak usia sekolah dasar yang dapat memahami hal-hal abstrak dengan baik, bahkan mampu menganggapinya secara kritis. Kemampuan tersebut, antara lain, tampak pada tuturan atau perilaku anak yang sering membuat orang tua atau siapa pun menjadi kagum ketika membandingkan kualitas (baca: kekritisan) isi tuturan atau perilaku dengan usia penuturnya. Setelah dianalisis lebih lanjut, kondisi ini menunjukkan bahwa dalam perkembangannya cukup banyak anak usia sekolah dasar memiliki kemampuan bernalar yang baik, melebihi kriteriakriteria pada batasan fase yang di13
14, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
kemukakan ahli psikologi perkembangan selama ini. Dalam kaitannya dengan perkembangan kognitif anak, seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, kemampuan kognitif mereka turut mengalami perkembangan yang pesat. Dunia dan minat anak pun bertambah luas, dan semakin bertambah pulalah pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar berkembang secara berangsur-angsur. Kalau pada masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang ke arah konkret, rasional, dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada dalam suatu stadium belajar. Menurut Teori Kognitif Piaget, pemikiran anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkret (concrete operational thought). Aktivitas mental anak dalam menghubungkan konsep-konsep atau skema-skema dalam pikiran mereka difokuskan pada objek dan peristiwa nyata atau konkret. Dan, seluruh aktivitas mental tersebut dapat diukur secara jelas. Pada masa ini anak juga sudah mengembangkan pikiran-pikiran logis dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep. Anak tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber pada panca indera, karena mereka mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara apa yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap (Desmita, 2007). Dalam hal memori, kemampuan memori jangka panjang anak usia sekolah dasar menunjukkan perkembangan yang pesat, setelah memori jangka pendek yang berkembang pesat masa awal anak-anak mereka (usia 2 sampai 6 tahun). Memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan belajar individu ketika mempelajari, mengorganisasi, dan mengingat informasi. Usia, sikap, motivasi, kesehatan, serta skemata merupakan sejumlah aspek yang turut mempengaruhi
perkembangan memori anak usia sekolah dasar. Pemikiran kritis (critical thinking) adalah pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, serta mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi pendekatan dan perspektif yang berbeda. Dengan pemikiran yang kritis seseorang tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber, melainkan selalu berpikir secara reflektif-evaluatif (Dworetzky, 1990; Warnick & Inch, 1994). Perkins, Jay, dan Tishman (dalam Goswami, 1992) mengemukakan bahwa pemikiran yang baik meliputi sejumlah disposisi, yaitu (1) berpikir terbuka, fleksibel, dan berani mengambil resiko, (2) mendorong keingintahuan intelektual, (3) mencari dan memperjelas pemahaman, (4) merencanakan dan menyusun strategi, (5) berhati-hati secara intelektual, (6) mencari dan mengevaluasi pertimbangan-pertimbangan rasional, serta (7) mengembangkan metakognitif. Adapun Robert J. Sternber (dalam Desmita, 2007) mengusulkan sejumlah cara mengembangkan pemikiran kritis anak, yaitu (1) mengajarkan anak cara menggunakan proses berpikir yang benar, (2) mengembangkan strategi-strategi pemecahan masalah, (3) meningkatkan gambaran mental anak, (4) memperluas landasan pengetahuan anak, serta (5) memotivasi anak untuk selalu menggunakan keterampilan berpikir yang telah dipelajarinya. Untuk mampu berpikir secara kritis, anak harus berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Santrock (1998) menyatakan bahwa anak perlu mengembangkan berbagai proses berpikir aktif, yaitu (1) mendengarkan dengan seksama, (2) mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan, (3) mengorganisasi pemikiran-pemikiran yang ada, (4) memperhatikan persamaan/perbedaan objek-objek yang ada di sekitarnya, (5) melakukan tindakan berpikir deduktif, serta (6) membedakan antara kesimpulan yang valid dan tidak valid secara logis. Santrock menambahkan bahwa selain lima hal di atas, anak juga harus belajar bagaimana mengajukan pertanyaan klarifikasi, bagaimana
Andajani, Faktor Peningkatan Kekritisan Penalaran, 15
mengombinasikan proses-proses berpikir untuk menguasai suatu pengetahuan baru, serta belajar melihat sesuatu persoalan dari berbagai sudut pandang. Istilah kritis tidak merujuk pada pemikiran semata, melainkan pemikiran yang mendalam yang dapat menghasilkan pengetahuan atau wawasan baru, serta dapat memberi suatu landasan bagi kualitas inteligensi. Pemikiran kritis dapat dikategorikan sebagai bagian dari kecakapan praktis. Karenanya, pemikiran kritis merupakan satu aspek penting yang perlu dikembangkan dalam penalaran sehari-hari. Dalam hal ini, kualitas perkembangan bahasa, perkembangan memori, perkembangan inteligensi, perkembangan kreativitas, serta perkembangan bakat anak menjadi faktor internal yang turut menentukan kualitas pemikiran kritis anak, di samping faktor-faktor lain yang bersifat eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi kekritisan penalaran anak meliputi tindakan-tindakan yang berasal dari luar diri anak, tetapi secara nyata dialami oleh anak sehingga mempengaruhi kualitas kekritisan penalaran mereka. Hal ini berbeda-beda pada setiap individu, karena sangat bergantung dari pola hidup dan kebiasaan masing-masing anak dalam kehidupan keseharian mereka. Perlakuan yang diterima di lingkungan keluarga dan di lingkungan sekolah menjadi faktor eksternal yang berperan dominan terhadap kualitas kekritisan penalaran anak. METODE Penelitian ini bertujuan memerikan dan menjelaskan secara kualitatif faktorfaktor yang berperan terhadap peningkatan kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar. Atas dasar hal tersebut, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Kajian dalam penelitian ini bertitik tolak dari tuturan anak, baik yang terjadi secara alami maupun karena adanya stimulus yang diberikan peneliti kepada mereka. Selain itu, dipertimbangkan pula keberadaan perilaku fisik yang muncul, serta situasi-kondisi yang melatarbelakangi terjadinya tuturan tersebut sebagai konteks terjadinya tuturan. Karenanya, landasan berpikir untuk melaksanakan penelitian ini
adalah fenomenologis. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif fenomenologis. Data penelitian ini berupa teks lisan yang dituturkan subjek. Teks lisan itu terdiri atas satuan-satuan kebahasaan yang berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, dan kata. Tuturan anak usia sekolah dasar yang digunakan sebagai data adalah ujaran yang diperformansikan anak secara aktif dan kreatif kepada temannya, orang tua, orang lain, dan dengan peneliti dalam komunikasi alamiah. Komunikasi alamiah itu terjadi dalam suasana santai, dikemas dalam bentuk debat atau diskusi. Topik pembicaraan beragam dan tanpa fokus tertentu. Kegiatan pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan metode simak. Berdasarkan metode itu, teknik pengumpulan datanya berupa teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Selain itu, pengumpulan data dilakukan pula dengan metode wawancara melalui teknik tanyajawab, teknik, perekaman, dan teknik pencatatan terhadap tuturan dalam konteks yang alamiah. Dalam penelitian ini, trianggulasi data dilakukan dengan merekam data dari subjek yang berbeda, memperpanjang waktu pengumpulan data pada sebagian subjek lama, dan berdiskusi dengan teman sejawat untuk mendiskusikan hasil analisis data. Adapun kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan model analisis interaktif, yaitu meliputi kegiatan reduksi data, penyajian data, penyimpulan, dan pengujian data yang dilakukan secara bersamaan dan berulang. FAKTOR YANG BERPERAN TERHADAP PENINGKATAN KEKRITISAN PENALARAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR Kemampuan bernalar bukan merupakan sesuatu yang statis. Dengan langkah-langkah tertentu, kemampuan penalaran seseorang dapat ditingkatkan. Demikian halnya dengan anak usia sekolah dasar. Hal ini terutama didasarkan oleh pemikiran bahwa usia sekolah dasar merupakan usia emas (golden ages) dalam masa pertumbuhan fisik dan mental manusia.
16, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
Dapat dikatakan bahwa masa ‘metamorfosis’ fisik manusia terjadi pada masa bayi hingga masa anak-anak awal, sementara masa ‘metamorfosis’ mental dan emosi manusia terjadi pada pada masa anak-anak awal hingga masa anak-anak akhir, yaitu masa ketika anak berusia sekolah dasar. Karenanya, upaya peningkatan kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar pada usia ini perlu dilakukan semaksimal dan seoptimal mungkin. Andajani dan Dawud (2008) mengidentifikasi sejumlah faktor yang berperan terhadap peningkatan kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar. Tiga faktor utama yang berperan dominan terhadap peningkatan kekritisan penalaran anak meliputi dongeng, dialog, dan lingkungan. Dongeng dan Cerita Anak Salah satu cerita tradisional yang terdapat di masyarakat sejak zaman dahulu, berasal dari generasi terdahulu, dan menggambarkan peristiwa dahulu kala (bukan sekarang) adalah dongeng. Ceritanya berkisar pada kehidupan sehari-hari, meski sering di antaranya melibatkan perbuatan yang mengandung keajaiban. Pada umumnya, latar tempat terjadinya adalah latar yang dikenal sehari-hari, tetapi beberapa di antaranya menggunakan latar yang tidak lazim seperti khayangan atau surga. Pelakunya pun seperti kehidupan sehari-hari. Uniknya, oleh masyarakat pemiliknya, dongeng tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi, melainkan lebih sebagai suatu produk budaya dan kepercayaan semata. Dongeng sangat dekat dengan anak-anak. Anak, khususnya usia sekolah dasar, mengenal dongeng dari kebiasaan orang tua membacakan dongeng untuk mereka, antara lain saat menjelang tidur, agar cepat terlelap karena hanyut dalam jalan ceritanya. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dan turun-temurun dari generasi ke generasi. Dewasa ini perkembangan dongeng menjadi lebih luas. Walau tidak terlalu tepat, sebagian besar orang tua mengatakan bahwa kegiatan menginformasikan isi cerita secara lisan kepada anak dilabeli sebagai dongeng. Atau, dengan
kata lain, kegiatan menceritakan suatu cerita kepada anak-anak disebut mendongeng, meski cerita yang diberikan tidak bersifat tradisional. Masyarakat tidak mendefinisikan dongeng berdasarkan isi ceritanya, melainkan lebih berdasarkan cara bagaimana isi cerita itu disampaikan. Mengaitkan istilah dongeng dengan isi cerita menjadi urutan kedua setelah mengaitkan istilah dongeng dengan cara menceritakannya. Sehingga, kegiatan menyampaikan cerita kepada anak, baik itu berupa cerita kepahlawanan, cerita futuristik, atau cerita religi, tetap diasumsikan sebagai kegiatan mendongeng sebagaimana menyampaikan cerita berupa cerita negeri dongeng, legenda, atau fabel. Dongeng dalam arti luas merupakan faktor yang paling dominan berperan untuk meningkatkan kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar. Tercatat 76% responden menyatakan bahwa salah satu aktivitas yang dapat dijadikan media untuk meningkatkan kekritisan penalaran anak adalah dengan memberikan dongeng kepada anak. Melalui dongeng, secara perlahan-lahan pola pikir anak dapat dibentuk. Dan, setelah pola pikir terbentuk, perilaku anak pun akan terbentuk pula. Hanya saja, tidak seluruh responden tersebut melakukan aktivitas mendongeng kepada anak-anak secara teratur. Dengan kata lain, mereka menyetujui bahwa dongeng sangat berperan penting dalam upaya meningkatkan kekritisan penalaran anak, tetapi mereka tidak juga konsisten selalu memberikan dongeng kepada anak sebagai perwujudan upaya tersebut. Diketahui bahwa anak yang menerima dongeng sedikitnya 2 kali dalam seminggu memiliki tingkat kekritisan yang tinggi. Selain faktor kemampuan dasar anak, ditengarai semakin sering anak menerima dongeng (yang positif edukatif), maka tingkat kekritisannya semakin meningkat. Diperoleh pola bahwa frekuensi pemberian dongeng ini semakin menurun seiring bertambahnya usia anak. Anak usia sekolah dasar kelas 1 dan 2 cenderung lebih sering menerima dongeng daripada anak usia sekolah dasar kelas 3 dan 4, serta kelas 5 dan 6. Pada umumnya hampir setiap hari anak usia sekolah dasar kelas 1
Andajani, Faktor Peningkatan Kekritisan Penalaran, 17
dan 2 menerima dongeng, baik dari orang tuanya maupun orang lain. Hakikatnya dongeng diberikan secara lisan kepada anak-anak, baik saat menjelang tidur maupun saat santai lainnya. Bahkan, kini ada kecenderungan orang tua juga memberikan dongeng kepada anak melalui CD cerita atau bahkan CD interaktif, karena dianggap lebih menarik dan lebih praktis. Namun, secara umum pemberian dongeng dengan cara lisan dan langsung kepada anak masih menduduki tempat tertinggi sebagai cara orang tua mendongeng untuk anaknya. Dalam hal cara penyampaian dongeng secara lisan dan langsung ini, sebagian orang tua membacakan dongeng dari buku yang sudah ada untuk anaknya. Namun, sebagian besar yang lain menyampaikan isi dongeng dengan bahasa sendiri untuk anaknya dengan alasan dongeng yang disampaikan dengan bahasa sendiri akan lebih mudah dipahami oleh anak. Meskipun demikian, hal ini cenderung dilakukan kepada anak usia sekolah dasar awal. Setelah anak bisa membaca dengan lancar, sebagian orang tua mulai ‘menyapih’ anaknya dengan meminta mereka membaca buku dongeng terlebih dulu, baru kemudian diulang secara lisan sesudahnya. Hanya saja, pemberian dongeng di luar buku cerita secara lisan juga masih tetap dilakukan. Aktivitas penyampaian dongeng secara lisan dan langsung kepada anak usia sekolah dasar, berdasarkan hasil wawancara, ternyata merupakan cara yang paling disukai anak. Tidak hanya anak usia sekolah dasar tingkat awal, meski telah lancar membaca anak usia sekolah dasar tingkat akhir pun masih suka mendengarkan dongeng secara lisan dan langsung. Hal ini juga yang paling sering dilakukan orang tua untuk anaknya dalam kaitannya dengan dongeng. Meski sebenarnya ada televisi dan CD yang bisa memvisualisasi isi dongeng tersebut, tetapi sejumlah orang tua lebih suka mengulangi ceritanya melalui dongeng secara lisan dan langsung. Alasan yang dikemukakan, dengan melakukan itu mereka bisa menegaskan bagianbagian mana yang perlu ditekankan untuk dipahami anak. Dengan cara ini pula
mereka bisa melakukan dialog, dan pada akhirnya menjadi lebih dekat secara psikologis dengan anak-anak. Dongeng, pada umumnya, disampaikan saat anak menjelang tidur. Alasan yang dikemukakan orang tua mengenai saat pemberian dongeng ini adalah karena ini adalah waktu yang dianggap paling santai saat bertemu dengan anak. Alasan lain, saat menjelang tidur adalah saat di mana anak dalam kondisi paling stabil, tenang, tidak banyak bergerak. Ini merupakan saat di mana pikiran anak dalam kondisi paling tenang, sehingga orang tua dapat dengan lebih mudah memahamkan nilai-nilai dalam dongeng yang diberikan. Ada juga yang mengemukakan alasan agar isi dongeng dapat menjadi lekat dalam ingatan anak, sehingga terbawa dalam mimpi dan mempengaruhi perilakunya di keesokan harinya. Ada pula orang tua yang menyampaikannya setiap saat ada waktu luang, tidak harus saat menjelang tidur, dengan alasan fleksibilitas waktu. Sebagian orang tua menjadwalkan, atau setidaknya menargetkan, waktu penyampaian dongeng, misalnya setiap malam sebelum tidur minimal atau minimal dua kali dalam seminggu. Alasan yang dikemukakan, mereka harus menyediakan waktu khusus untuk memberi perhatian kepada anak. Yang paling mudah, murah, bernilai edukatif, dan terbukti efektif menjadikan anak patuh kepada orang tua adalah mendongeng. Rasionalnya, selain karena nilai edukatifnya, karena anak suka didongengi maka orang tua dapat ‘mengendalikan’ mereka dengan imingiming pemberian dongeng. Biasanya dengan mudah anak akan berperilaku baik sebagaimana yang diharapkan orang tuanya. Ada berbagai reaksi anak ketika mendengarkan dongeng. Sebagian anak akan banyak bertanya dan berkomentar saat proses mendongeng berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan atau tanggapantanggapan yang diberikan anak selama pemberian dongeng selalu berkaitan dengan isi dongeng, baik berkenaan dengan kehidupan nyata, maupun imajinasi cerita yang bertentangan dengan logika berpikirnya. Ini terjadi terutama karena
18, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
dongeng sering bersifat khayal, tidak masuk akal, dan sangat imajinatif, sehingga bertentangan dengan logika bernalar anak. Namun, sebagian anak yang lain memilih diam sambil serius memperhatikan dongeng. Komentar atau tanggapan baru diberikan setelah dongeng selesai diberikan. Seluruh aktivitas memberikan tanggapan atau pertanyaan berkenaan isi dongeng merupakan bukti adanya kekeritisan penalaran dalam diri anak. Pertanyaan atau tanggapan yang diberikan biasanya bersifat ‘mengejar’ dan selalu menuntut diperolehnya jawaban yang logis dan bernalar. Proses pembentukan pola pikir ini memerlukan waktu yang panjang. Selama proses ini berlangsung, terjadi berbagai persetujuan dan pertentangan dalam pikiran anak, yang mana seluruhnya memberdayakan kekritisan penalaran anak. Apabila ini terus berlangsung dalam waktu yang panjang, maka kekritisan penalaran anak akan terus terasah. Pada akhirnya, setelah dewasa, mereka akan menjadi individu yang kritis dan memiliki penalaran yang tinggi. Dialog Dewasa ini dialog menjadi satu hal yang penting bagi perkembangan anak. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengondisikan anak untuk menjadi sosok yang memiliki banyak pengetahuan dalam pikirannya. Berbagai informasi yang mereka peroleh dari televisi, internet, bukubuku cerita, dan berbagai media lainnya, membuat mereka menjadi individu yang kaya informasi. Hanya saja, tidak seluruh pengetahuan dan informasi yang diperolehnya tersebut dapat dipahami maksud dan artinya. Cukup banyak hal yang mengendap dalam memori mereka yang mereka tidak tahu apa maksud dan artinya, apa fungsi dan kegunaannya, dan sebagainya. Anak yang kurang kritis akan terus ‘mengoleksi’ pengetahuan dan informasi itu dalam gudang memori sebagai skemata berupa ‘data mentah’ yang barangkali suatu saat nanti ada gunanya. Akan tetapi, anak yang kritis akan selalu bertanya apa, mengapa, dan bagaimana sesuatu itu terjadi. Dengan demikian, gudang memori mereka tidak terisi skemata berupa ‘data
mentah’ melainkan berupa data olahan yang suatu saat nanti dapat digunakan dengan lebih mudah dan fleksibel. Tindakan bertanya apa, mengapa, bagaimana, dan sejumlah pertanyaan sejenis lainnya yang dilakukan terjadi karena adanya pikiran-pikiran kritis yang muncul dalam benaknya. Tidak jarang muncul pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab karena jawabannya sangat kompleks dan majemuk, sementara pola penalaran yang dimiliki anak pada umumnya cenderung sederhana. Atau, kalaupun ada anak yang menggunakan pola penalaran kompleks dan majemuk, jika ditelusur lebih jauh ternyata kekompleksan dan kemajemukannya tersebut masih dalam batas minimal, yang belum menjangkau ranah sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Hal sebagaimana disebut di atas banyak dilakukan oleh anak-anak dengan kemampuan penalaran yang tinggi. Hal tersebut sangat memacu meningkatnya kualitas kekritisan penalaran anak, sehingga akan terjadi percepatan peningkatan kualitas bernalar anak. Kondisi ini tidak akan dicapai oleh anak dengan tingkat kekritisan rendah dan menengah. Namun, bukan berarti kekritisan itu tidak dapat diciptakan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa berdialog merupakan salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekritisan penalaran pada anak. Sejumlah orang tua mengatakan bahwa dengan berdialog maka pada anak yang kritis akan semakin meningkat kekritisannya. Mereka akan semakin memperoleh masukan-masukan yang dapat semakin memperluas wawasan dan pengetahuannya. Sementara pada anak yang kurang kritis, dialog dapat dijadikan stakeholder untuk membantu anak mencapai tingkat kekritisan tertentu. Dapat dikatakan pula, dialog akan menjadi pancingan-pancingan tertentu yang dapat meningkatkan dan memperluas pengetahuan dan informasi anak lebih lanjut. Sebanyak 72% responden memanfaatkan dialog sebagai salah satu media untuk memahamkan suatu konsep kepada anak. Proses memahamkan konsep kepada anak tesebut secara otomatis akan membuat anak berpikir dan bernalar. Hal ini,
Andajani, Faktor Peningkatan Kekritisan Penalaran, 19
secara otomatis pula, dapat meningkatkan kekritisan penalaran anak. Materi yang menjadi bahan dialog sangat beragam, mulai dari berbagai hal yang berkaitan dengan sikap dan perlaku anak sehari-hari, hal-hal yang bersifat religius, pandangan-pandangan yang bersifat filosofis, adab sopan santun, kepedulian terhadap lingkungan dan sesama, sampai pada memahamkan materi pelajaran di sekolah. Sebagian besar orang tua berpendapat bahwa dengan dialog, pemahaman anak terhadap suatu konsep dapat berlangsung dengan lebih mudah dan ‘tahan lama’. Pelaksanaan dialog antara orang tua dan anak dilakukan sewaktu-waktu manakala dialog itu diperlukan. Menjelang tidur, saat makan bersama, saat menonton televisi bersama, saat bermain, saat berjalan-jalan, bahkan saat naik kendaraan umum pun dapat dilakukan dialog. Artinya, tidak ada waktu khusus yang digunakan untuk dialog. Sejumlah orang tua mengatakan bahwa waktu khusus dialog dilakukan manakala anak melakukan suatu kesalahan, tetapi dia tidak merasa bersalah dan ketika ditegur pun ia tetap merasa benar. Jika demikian, maka dialoglah yang dianggap lebih efektif untuk menyadarkan anak terhadap kesalahannya. Frekuensi melakukan dialog sangat bervariasi. Beberapa orang tua mengagendakan pelaksanaan dialog dengan anak, misalnya setiap hari Minggu, atau setiap kali saat makan malam, atau setiap menjelang tidur. Alasan yang dikemukakan, melalui dialog orang tua merasa dekat secara psikologis dengan anak, menjadi tahu perkembangan anak, menjadi paham permasalahan-permasalahan yang diketahui anak, dan dapat mengarahkan/ membentuk pola pikir anak. Dialog juga diyakini dapat meningkatkan kualitas penalaran anak, karena dalam proses dialog tersebut sebagian besar orang tua berusaha menanamkan konsep-konsep atau pengetahuan-pengetahuan baru kepada anak mereka, yang untuk dapat memahaminya anak dituntut mengoperasikan penalaran dan kekritisannya. Beberapa orang tua yang lain tidak mengagendakan pelaksanaan dialog.
Alasannya, tanpa diagendakan pun dialog pasti selalu terjadi karena anak selalu aktif bertanya. Orang tua tinggal memberikan jawaban-jawaban yang sifatnya memancing keaktifan siswa dalam berpikir kritis. Orang tua yang merasa anaknya kurang aktif bertanya menyatakan bahwa mereka selalu berusaha mengajak anak mereka untuk berdialog. Mereka selalu menyediakan topik-topik baru, yang sederhana dan mudah dicerna oleh anak, untuk merangsang anak agar mau melakukan dialog. Dengan demikian, aktivitas dialog tetap menjadi prioritas kegiatan yang dipilih orang tua untuk meningkatkan kualitas kekritisan penalaran anak. Lingkungan Lingkungan ditengarai merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar. Sejumlah 62% responden menyatakan bahwa lingkungan mempengaruhi pola berpikir anak, dan pada akhirnya berdampak pada perilaku mereka. Bahkan, sejumlah orang tua menyatakan bahwa lingkungan membentuk pola berpikir dan kepribadian anak. Karenanya, orang tua harus berupaya membentuk lingkungan yang kondusif bagi anak. Lingkungan yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan tempat anak berdiam diri, baik di rumah, di sekolah, maupun masyarakat. Diyakini, lingkungan sangat berpengaruh kuat terhadap perkembangan anak, baik perkembangan kepribadian, pola pikir, sikap dan perilaku, cara pandang, bahkan sampai pada kekritisan penalaran anak. Apabila anak hidup pada lingkungan yang mendukung semua aspek-aspek perkembangan anak di atas, dapat dipastikan anak juga akan berkembang sesuai dengan model lingkungan yang didiaminya. Diketahui pula bahwa lingkungan yang kondusif bagi anak adalah lingkungan yang layak untuk dicontoh oleh anak. Lingkungan tersebut mampu memberi model-model perilaku yang positif bagi anak, sehingga anak akan terus belajar dari apa yang dilihatnya. Lingkungan yang baik bagi anak adalah lingkungan yang mampu memberi kesempatan kepada anak
20, J-TEQIP, edisi Tahun II, Nomor 1, Mei 2011
untuk selalu bernalar secara kritis mengenai hal-hal yang diamatinya, serta mampu menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan kritis anak mengenai hal-hal yang diamatinya tersebut. Yang ada saat ini anak-anak mengalami krisis keteladanan. Hal ini terjadi karena sedikitnya media massa yang mengangkat tema tentang tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak. Tayangan-tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai variasinya, acara sinetron atau acara gosip selebriti tidak dapat diharapkan memberikan contoh kehidupan natural secara utuh. Sementara itu porsi penanaman akhlak mulia melalui contoh pribadi tedalan pada pelajaran-pelajaran n di sekolah juga masih rendah. Berpikir kritis adalah berpikir untuk sampai pada pengetahuan yang tepat, sesuai dan dapat dipercaya mengenai dunia di sekitar kita. Dengan berpikir kritis anak mampu mengarahkan pemikirannya sesuai dengan yang diinginkannya, dapat bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri dan memperbaiki kehidupannya tanpa dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh dari luar diri yang bisa berakibat buruk. Seseorang yang mampu berpikir kritis akan dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan, mampu secara efisien dan kreatif memilah-milah informasi ini dan berpikir logis hingga sampai pada kesimpulan dan keputusan yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggung-jawabkan. Demikian pula pada anak. Bila anak dihadapkan pada situasi di luar rumahyang sangat kompleks, maka anak yang mampu berpikir kritis, akan bertanya dan mencari informasi apa dampak positif maupun negatif hal-hal yang diamatinya. Selanjutnya, mereka akan memilah-milah informasi itu dan menalar secara logis sampai pada suatu kesimpulan dan keputusan mengenai hal terbaik yang akan dilakukannya. Dalam hal ini ajaran agama dan norma-norma yang diberikan di rumah dan di sekolah bisa menjadi salah satu masukkan informasi yang dibutuhkannya. Namun, bila anak tidak mampu berpikir kritis, ajaran agama dan norma-norma
masyarakat hanya akan berhenti sampai pada suatu bentuk ajaran saja tanpa anak tahu bagaimana memakai informasi itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dalam kenyataannya, anak bergaul dengan berbagai macam orang, ada yang baik tapi ada pula yang tidak. Orang atau anak lain yang ingin menjerumuskan anak itu ke dalam perbuatan yang buruk tentu saja tidak akan dengan mudah menyerah untuk tidak mempengaruhi anak. Sehingga anak perlu benteng yang kuat, dalam hal ini pemikiran yang kritis dan yang dipercayanya sepenuh hati untuk bisa membentengi diri dari rayuan-rayuan "maut" itu. Dan berpikir kritis menjadi benteng diri bagi anak. SIMPULAN Berdasarkan paparan di muka, dapat disimpulkan bahwa pemikiran anak usia sekolah dasar berada pada taraf pemikiran operasional konkret, yang mana aktivitas mental anak dalam menghubungkan konsep-konsep atau skemaskema dalam pikiran mereka difokuskan pada objek dan peristiwa nyata atau konkret, serta dapat diukur secara jelas. Pada masa ini anak juga sudah mengembangkan pikiran logis dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep. Kemampuan berpikir kritis anak usia sekolah dasar dapat ditingkatkan. Hal ini terutama didasarkan oleh pemikiran bahwa usia sekolah dasar merupakan usia emas (golden ages) dalam masa pertumbuhan fisik dan mental manusia. Karenanya, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar perlu dilakukan. Dongeng, dialog, dan lingkungan merupakan tiga faktor yang berperan meningkatkan kualitas kekritisan penalaran anak usia sekolah dasar. Melalui dongeng, secara perlahan-lahan pola pikir anak dapat dibentuk, kekritisan penalarannya pun akan berkembang. Dengan dilandasi oleh kekritisan penalarannya, sikap dan perilaku anak pun akan terbentuk pula dan akhirnya akan mewarnai kehidupannya. Dialog juga dapat dimanfaatkan untuk memahamkan suatu konsep kepada anak usia sekolah dasar. Proses memahamkan konsep
Andajani, Faktor Peningkatan Kekritisan Penalaran, 21
tersebut secara otomatis akan membuat anak berpikir dan bernalar. Hal ini, secara otomatis pula, dapat meningkatkan kekritisan penalaran anak. Adapun lingkungan yang baik bagi anak adalah lingkungan yang mampu memberi kesempatan kepada
DAFTAR RUJUKAN Andajani, Kusubakti & Dawud. 2008. Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Kekritisan Penalaran Anak Usia Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Malang: DP2M-Universitas Negeri Malang. Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Dworetzky, J.P. 1990. Introduction to Child Development. New York: West Publishing Company. Goswami, U. 1992. Analogical Reasoning in Children. Hove: Lawrence Erlbaum Associates.
anak untuk selalu bernalar secara kritis mengenai hal-hal yang diamatinya, serta mampu menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan kritis anak mengenai hal-hal yang diamatinya tersebut.
Gunarsa, Singgih D. 1990. Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Psycology: A Life-Span Approach. New York: McGraw-Hill. Santrock, John W. 1998. Child Development (8th ed.). Boston: McGraw Hill Companies, Inc. Warnick, B. dan Inch, E.S. 1994. Critical Thinking and Comunication. New York: Macmillan Publishing Company.