EVALUASI DAMPAK PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH PESISIR DI KABUPATEN KEPULAUAN ARU
ELITA J. MAELISSA
SEKOLAH PASCASARJANA INTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Evaluasi Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Perekonomian Wilayah Pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 11 Mei 2010
Elita J. Maelissa NIM H152070211
ABSTRACT ELITA MAELISSA, Impact assessment of the coastal community economic empowerment programme (PEMP) for the economy of Aru Islands District. Supervised by BAMBANG JUANDA and LUKY ADRIANTO. The purposes of this study are to: (1) identify and measure the magnitude of the impact of the PEMP program on the welfare of its beneficiaries, (2) evaluate the level of sustainability of the PEMP program in the Aru Island. By using the following analytical methods: (1) analysis of mean difference of paired samples from respondents before and after receiving PEMP, while independent samples are explained by recipients and non recipients of PEMP, (2) sustainability analysis using amoeba technique and (3) analysis of Multi Criteria Decision Making (MCDM), to determine alternative policies that could improve the PEMP program. The results of this study show that the impact of PEMP has significant differences on catching and collecting, while revenue from merchant operations differs in the year 2005, 2007 and year 2008. Furthermore, the sustainability of the PEMP program from each indicator is very good except for the institutional indicators of selected parameters and for the proposed scenario IV, it is also considered very good. Key words: coastal community welfare, household income, PEMP, Aru Island District
RINGKASAN ELITA MAELISSA, Evaluasi Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Perekonomian Wilayah Pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA and LUKY ADRIANTO. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan dari 62.472 desa di Indonesia 5.479 diantaranya merupakan desa-desa pesisir. Jumlah masyarakat pesisir (nelayan dan pembudidaya ikan) diperkirakan hampir 22 % dari penduduk miskin di Indonesia. Masyarakat pesisir terdiri atas nelayan/penangkap ikan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang hasil perikanan, pelaku usaha industri dan jasa maritim serta masyarakat lainnya yang bermukim di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK). Mereka merupakan salah satu kelompok penduduk yang terendah pendapatannya dibanding anggota masyarakat lainnya. Mengingat selama ini justru keterpurukan taraf hidup masyarakat sangat dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir PPK sehingga dalam perkembangannya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan PPK menemukan titik terang ketika tahun 1998 didirikannya Departemen Kelautan dan Perikanan dimana dalam strukturnya terdapat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K). Pada tahun 2000 sebagai tindak lanjut dari perhatian Pemerintah oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat lahirlah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dibawah pengawasan Departemen Kelautan dan Perikanan. Adapun tujuan PEMP untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara menyeluruh dan terencana. Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten yang mendapatkan alokasi program PEMP. Diketahui lebih lanjut bahwa Kabupaten Kepulauan Aru telah mendapat kepercayaan Pemerintah dalam mengelolah program PEMP sejak tahun 2005, tahun 2007, dan tahun 2008. Selama tiga tahun perjalanan program ini dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat pesisir tentunya program PEMP dapat dievaluasi adakah efek mutiplier yang diberikan dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat penerima manfaat program PEMP sehingga berpengaruh bagi pembangunan perekonomian wilayah pesisir. Masalah yang dihadapi apakah program ini memberikan effect multiplier bagi kesejahteraan masyarakat penerima manfaat program PEMP dan bagaimana keberlanjutan program PEMP ditinjau dari aspek pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1) Mengidentifikasi dan mengukur besaran dampak dari program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat penerima manfaat. (2) Mengevaluasi tingkat keberlanjutan program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru. Sehingga untuk menjawab tujuan yang pertama, dilakukan dengan analisis perbedaan nilai tengah untuk contoh bebas secara deskripsi diungkapkan dengan membandingkan responden non PEMP atau yang tidak menerima PEMP dengan yang mendapatkan PEMP per tahun penerima PEMP berdasarkan usaha nelayan tangkap, pengumpul dan pedagang udang penaeid di Kelurahan Siwa Lima dan Kelurahan Galaydubu. Sedangkan untuk contoh berpasangan dihitung dengan uji statistik untuk responden sebelum dan sesudah menerima PEMP di 4 lokasi penelitian yaitu Kelurahan Galaydubu, Kelurahan Siwa Lima, Desa ponom dan Desa Kwarbola per tahun penerima PEMP yaitu tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk ketiga aktifitas
perikanan. Selanjutnya tujuan yang kedua dilakukan dengan menggunakan analisis keberlanjutan untuk responden sebelum dan sesudah menerima PEMP khusus di Desa Ponom dan Desa Kwarbola tahun 2008 sesuai dengan pedoman umum PEMP tahun 2008 yang menuangkan syarat lokasi penerima PEMP tahun 2008 khusus pada satu kecamatan untuk 2 desa. Hasil analisis dalam penelitan ini menunjukkan bahwa nelayan tangkap dan pengumpul untuk tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 membuktikan adanya perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah menerima PEMP, hal ini pun ditunjukkan oleh responden yang menerima PEMP dan yang tidak menerima PEMP baik hasil produksi/volume penjualan, jumlah tenaga kerja dan tingkat pendapatan, sedangkan untuk evaluasi keberlanjutan indikator sosial diketahui jumlah anak usia sekolah untuk dua desa tersebut berdasarkan target capaian dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 harus mendapat perhatian sekurang-kurangnya 50% yaitu rata-rata 42 anak dari pencapaian 100% atau ratarata 84 anak tahun 2009. Hal ini menjadi tolak ukur untuk menetapkan nilai CTV dari parameter pendidikan. Selanjutnya diketahui untuk indikator ekonomi peningkatan pendapatan adalah parameter terpilih dari indikator ekonomi yang dianggap sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil tabulasi nilai real dari tingkat pendapatan masyarakat penerima manfaat sebelum menerima PEMP tahun 2007 belum mencapai batas nilai CTV yang merupakan nilai upah minimum regional khusus untuk sektor perikanan secara umum berdasarkan SK Bupati Kepulauan Aru Nomor 297/2008 perihal Penetapan atas Upah Minimum Perikanan (UMP) Sektor/Sub Sektor Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2009 dengan tanggal penetapannya yaitu 17 Desember 2008 dan masa berlaku mulai dari 1 januari 2009, sebesar Rp. 820,000. Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner responden diketahui pendapatan masyarakat tahun 2007 sebelum mendapatkan PEMP untuk Desa Ponom dan Desa Kwarbola sebesar 18% atau Rp. 239,865 sedangkan setelah mendapatkan PEMP tahun 2009 pendapatan masyarakat penerima manfaat meningkat 81% atau Rp. 1,069,270. Hal ini disebabkan oleh bantuan PEMP berupa alat tangkap yaitu jaring udang dengan ukuran panjang 1 kepala 30 m, lebar 2.5 m dan ukuran mata jaringnya 1¾ inc, dimana pada musim kelimpahan masyarakat dapat menangkap lebih dari 10 kg dengan pengambilan 3 kali tarik 1 hari dan pada musim tidak berkelimpahan ± 6 kg 1 kali penarikan. Selain itu, bantuan alat transportasi laut berupa mesin motor diberikan kepada nelayan tangkap. Sedangkan pedagang udang diberikan bantuan dana rata-rata 3 juta/kelompok dan coolbox untuk pengumpul agar dapat menampung hasil perikanan sebelum dijual. Untuk itu dapat dikatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh PEMP sangat meningkatkan pendapatan masyarakat karena mempermudah masyarakat dalam mengakses hasil perikanan sehingga untuk tingkat pendapatan dapat dikatakan berkelanjutan. Untuk indikator ekologi menunjukkan hasil tabulasi nilai real dan nilai CTV dari variabel pengukur indikator ekologi yaitu ukuran udang pada diagram amoeba ketiga penerima manfaat (nelayan tangkap, pedagang dan pengumpul) bahwa nilai sebelum dan sesudah menerima PEMP melampaui batas nilai CTV. Itu berarti ada keberlanjutan yang terjadi baik sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PEMP dalam hal penangkapan udang penaeid di Desa Ponom dan Desa Kwarbola. Diketahui udang dewasa dengan panjang 10-24 cm merupakan fase
lautan selama kurang lebih 8 bulan. Di laut udang dewasa kelamin, kawin dan udang betina kemudian memijah (Naamin, 1984). Batas toleransi penangkapan udang penaeid 10cm (R.S.S. Wu, P.K.S. Lam, K.L. Wan. 2001) dan nilai ini merupakan nilai CTV karena dianggap pada ukuran ini udang penaeid telah memijah dan sudah ada bibit-bibit udang yang akan terus bertahan untuk melangsungkan kehidupannya. Penangkapan udang tahun 2007 sebelum mendapatkan PEMP rata-rata 12cm walaupun masih menggunakan alat tradisional seadanya dan menggunakan perahu dayung sehingga penangkapannya tidak banyak dibandingkan sesudah mendapatkan PEMP tahun 2009 dengan ukuran penangkapan rata-rata 15-23 cm. Selanjutnya indikator kelembagaan diresponi masyarakat penerima manfaat sebanyak 40% dalam mengikuti setiap moment yang dilaksanakan sebelum menerima bantuan PEMP yaitu tahun 2007 dan sesudah PEMP tahun 2009 sebanyak 60% yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang terus dilaksanakan seperti evaluasi dan monitoring serta penyuluhan-penyuluhan perikanan yang memotivasi untuk tetap meningkatkan usahanya dari program PEMP. Sedangkan sebanyak 75% menjadi nilai CTV atau batas minimum keikutsertaan penerima manfaat dalam mengikuti aktifitas yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelauatan Kabupaten Kepulauan Aru. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu: (1) Program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2005, tahun 2007, dan tahun 2008 untuk kegiatan nelayan tangkap dan pengumpul memberikan kontribusi yang positif bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga penerima manfaat. sedangkan untuk tahun 2007 walaupun memiliki perbedaan tapi pada jumlah volume penjualan dan pendapatannya memiliki tingkat kesalahan masing-masin 13% dan 26%, hal ini disebabkan karena penggunaan bantuan yang tidak maksimal oleh segilintir penerima bantuan. (2) Dampak dari manfaat program PEMP, selain bisa menangkap ukuran udang yang lebih besar tetapi juga hasil produksinya meningkat dari tahun-tahun sebelum mendapatkan bantuan PEMP dan untuk tenaga kerja, juga pendapatan merupakan bagian yang ikut bertambah baik untuk usaha penangkapan, pengumpul dan sebagian pedagang yang mengusahakan bantuan dengan baik. Keseluruhan ini mempengaruhi tingkat kesejahteraan penerima manfaat dengan bertambahnya jumlah anak usia sekolah yang bersekolah, dan kemandirian usaha yang semakin baik. (3) Keberlanjutan dari Program PEMP sangat baik karena sejauh ini memberikan kontribusi bagi keberlanjutan pendidikan, pendapatan dan penangkapan ukuran udang dari masing-masing indikator untuk tiap parameter terpilih setelah PEMP. Sedangkan untuk partisipasi masyarakat tidak berlanjut baik. (4) Skenario IV merupakan kebijakan yang sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat penerima manfaat PEMP tahun 2008 untuk Desa Ponom dan Desa Kwarbola Kata kunci: kesejahteraan masyarakat pesisir, pendapatan rumah tangga, PEMP, Kabupaten Kepulauan Aru
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EVALUASI DAMPAK PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH PESISIR DI KABUPATEN KEPULAUAN ARU
ELITA J. MAELISSA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Sahat Simanjuntak, M.Sc
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
: Evaluasi Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Perekonomian Wilayah Pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru. : Elita J. Maelissa
Nomor Pokok
: H152070211
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian:
11 Mei 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS
Tanggal Lulus:
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur, karena doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. (Filipi 4:6 dan Yakobus 5:16 b)
(Litha’ 2010)
Karya ini kupersembahkan untuk kedua orang tua ku tercinta ”Drs. Salmon H. Maelissa, M.Hum dan Ny. Masnian Tokede, S,Sos” serta suami dan anakku tersayang ”Bernard A. Akasisan dan Septino Abyan Akasian”, trimakasih atas pengertiannya, juga dukungan berupa moriil maupun materiil dan kesabaran dalam menunggu selesainya masa studiku.
[email protected]
PRAKATA Segala pujian syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaan, kasih dan anugerah-Nya, sehingga tesis ini dengan judul ” Evaluasi Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Perekonomian Wilayah Pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru” dapat terselesaikan. Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari sungguh, bahwa masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasannya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk penyempurnaan tesis ini, dan tentunnya akan menghasilkan suatu penelitian lanjut yang memberikan kontribusi sesuai dengan harapan bersama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, 11 Mei 2010
Elita J. Maelissa
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas penyertaan, hikmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Evaluasi Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Perekonomian Wilayah Pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru. Betapa sangat disadari sungguh bahwa tesis ini tidak akan pula terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, di kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya bagi : 1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku komisi pembimbing atas saran, masukan, arahan dan dorongan semangat
yang
diberikan sejak awal pembimbingan hingga selesainya tesis ini. 2. Ir. Sahat Simanjuntak, M.Sc dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku tim penguji yang turut memberikan saran untuk penyempurnaan tesis ini. 3. PEMDA Kabupaten Kepulauan Aru yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB. 4. Kedua orangtua tersayang yang selalu setia dan sabar dalam memberikan dukungan doa, moriil maupun materiil selama penulis menuntut ilmu hingga selesainya. 5. Ir. Frangki Hitipeuw, M.Sc selaku kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Kepulauan Aru yang telah membantu penulis baik moriil maupun materiil. 6. Septino Abyan anakku tercinta dan suami, yang sabar menanti hingga selesai sudah masa studi di IPB ini. Kakakku Irene Maelissa yang turut membantu penulis dalam pengambilan data serta dukungan materiilnya. 7. Masyarakat Desa Ponom dan Desa Kwarbola yang telah berpartisipasi dalam proses pengambilan data selama masa penelitian. 8. Sahabat-sahabat sejatiku yang setia mendoakan serta memberikan spirit dalam penyelesaian studiku; Welly, K’Min, K’Lussy, Lela, dan Salo. 9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007, Prodi PWD. Bogor, 11 Mei 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon, Propinsi Maluku pada tanggal 11 Mei 1980 dari pasangan Bapak Salmon H. Maelissa dan Ibu Masnian Tokede. Penulis merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus SMA Negeri 4 Ambon dan ditahun yang sama diterima pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Pattimura Ambon. Tahun 2000 penulis pindah ke Universitas Cenderawasih Jayapura Papua dengan Jurusan dan fakultas yang sama pada universitas sebelumnya dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Aru. Saat ini penulis tercatat sebagai staf BAPPEDA Kabupaten Kepulauan Aru Propinsi Maluku. Penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor ini atas sponsor Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Aru.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
iii
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …………………………………....................... 1.2 Perumusan masalah …………………………............................ 1.3 Tujuan penelitian ......................................................................... 1.4 Kegunaan penelitian ………………...........................................
1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah ................................................ 2.1.1 Multilier Effect ............................................................... 2.2 Pembangunan Keberlanjutan ....................................................... 2.2.1 Keberlanjutan Ekonomi ……………………………….. 2.2.2 Keberlanjutan Lingkungan ……………………………. 2.2.3 Keberlanjutan Sosial …………………………………... 2.3 Sistem Pulau Kecil …………………………………………….. 2.3.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat PulauPulau Kecil....................................................................... 2.3.2 Rumah Tangga Nelayan ………………………………. 2.3.3 Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Nelayan ……………………………………………….. 2.4 Teori Ketergantungan …………………………………………. 2.4.1 Teori Pemberdayaan ………………………………….. 2.4.2 Teori Disparitas ……………………………………….. 2.5 Konsep Tingkat Kesejahteraan ………………………………... 2.5.1 Klasifikasi dalam Tingkat Kesejahteraan …………….. 2.5.2 Indikator Tingkat Kesejahteraan ................................... 2.6 Analisis Keberlanjutan ………………………………………… 2.7 Evaluasi ………………………………………………………... 2.8 Program PEMP ………………………………………………… 2.9 Penelitian Terdahulu ……………………………………………
22 24 25 33 38 40 41 43 44 45 51
III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran …………………………………………… 3.2 Hipotesis ………………………………………………………. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………….. 3.4 Rancangan Penelitian ………………………………………...... 3.5 Jenis dan Sumber Data ………………………………………… 3.6 Metode Pengambilan Contoh …………………………………. 3.7 Metode Analisis Data ................................................................. 3.7.1 Analisis Perbedaan Nilai Tengah ……………………..
57 58 59 60 60 62 64 64
4 6 8 13 16 17 18 19 21
3.8
A. Analisis Uji Beda Nyata …………………………… B. Analisis Deskripsi …………………………………. 3.7.2 Analisis Evaluasi Keberlanjutan ……………………… A. Penentuan Indikator ………………………………. B. Evaluasi Keberlanjutan ……………………………. 3.7.3 Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) ….. Batasan dan Pengukuran ……………………………………….
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4..1 Letak Geografis ……………………………………………….. 4.1.1 Sarana Pendidikan ……………………………………. 4.1.2 Sarana Kesehatan …………………………………….. 4.2 Produk Domestik Regional Bruto …………………………….. 4.3 Keadaan Perikanan ……………………………………………. 4.3.1 Potensi dan Keragaman Sumberdaya Perikanan ……... 4.3.2 Jumlah Nelayan ………………………………………. 4.3.3 Jumlah Kelompok Nelayan …………………………… 4.3.4 Jumlah Alat Tangkap dan Armada Penangkapan …….. 4.3.5 Jumlah Produksi Perikanan …………………………… 4.3.6 Pengolahan Hasil Perikanan …………………………... 4.3.7 Sarana dan Prasarana Perekonomian Masyarakat Pesisir …………………………………………………. 4.4 Kelembagaan …………………………………………………... 4.4.1 Kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan ………… 4.4.2 Kelembagaan Masyarakat Perikanan …………………. 4.4.3 Integrasi Kelembagan ………………………………… 4.5 Besaran Bantuan PEMP ……………………………………….. 4.6 Karakteristik Responden ………………………………………. 4.6.1 Responden Penangkap Udang ………………………... 4.6.2 Responden Pedagang …………………………………. 4.6.3 Responden Pengumpul ………………………………... V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Besaran Dampak dari Program PEMP terhadap Kesejahteraan Masyarakat Penerima Manfaat ………………… 5.2 Evaluasi Keberlanjutan ……………………………………....... 5.2.1 Indikator Sosial ………………………………………. 5.2.2 Indikator Ekonomi …………………………………… 5.2.3 Indikator Ekologi ……………………………….......... 5.2.4 Indikator Kelembagaan ………………………………. 5.3 Multi Criteria Decision Making (MCDM) ……………………. 5.3.1 Responden Nelayan Tangkap ………………………… 5.3.2 Responden Pedagang ……………………………….... 5.3.3 Responden pengumpul ……………………………….. 5.3.4 Kriteria Ekologi ………………………………………. 5.3.5 Kriteria Ekonomi …………………………………….... 5.3.6 Kriteria Sosial ………………………………………….
64 65 66 66 67 67 70
72 73 73 75 77 80 82 82 83 84 85 85 86 87 87 88 88 90 90 91 91
92 111 111 113 113 115 117 118 121 123 126 128 130
5.3.7 5.3.8 5.3.9
Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Aggregat terhadap tingkat Kesejahteraan……… 133 Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Aggregat per Kriteria ………………………….. 135 Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Aggregat per Sub Kriteria ……………………... 136
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ……………………………………………………... 140 6.2 Saran ……………………………………………………………. 141 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 142
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Penelitian Terdahulu …………………………………………………..
51
2.
Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan data .....................................
62
3.
Matriks Pembobotan dalam Analisis MCDM …………………………
69
4.
Sarana Pendidikan …………………………………………………….
65
5.
PDRB Kabupaten Kepulauan Aru menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 tahun 2005-2007 …………………………..
75
PDRB dan PDRB per kapita Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku tahun 2005-2007 …………………………………
76
PDRB dan PDRB per kapita Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga konstan 2000 tahun 2005-2007……………………………
76
Indeks perkembangan PDRB dan PDRB per kapita Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku dan konstan 2000 …………..
77
Kondisi Umum Kecamatan Lokasi PEMP …………………………….
77
10. Kondisi Umum Desa Penelitian ……………………………………….
79
11. Kondisi Umum Kelurahan Penelitian …………………………………
80
12. Data Potensi Perikanan per Kecamatan .................................................
81
13. Jumlah Alat Tangkap menurut Jenis dan Pengumpul per Kecamatan ........................................................................................
83
14. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Menurut Jenis dan Ukuran ............
83
15. Produksi Hasil Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2008 …..
84
16. Data Sarana dan Prasarana Pengolahan Hasil Perikanan .......................
85
17. Data Sarana dan Prasarana Pendukung Usaha Produktif Masyarakat Pesisir Kabupaten Kepulauan Aru ......................................
86
6. 7. 8. 9.
18. Integrasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan dan kelautan ……………………………………………………………. 88 19. Besaran Bantuan PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru dari tahun 2005, 2007 dan tahun 2008 ............................................................ 89 20. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2005 …………………………………………………………….. 93 21. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2007 .............................................................................................. 94
22. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2008 .............................................................................................. 95 23. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang Udang Tahun 2005 …………………………………………………………….. 96 24. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang Udang Tahun 2007 …………………………………………………………….. 96 25. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang Udang Tahun 2008 …………………………………………………………….
97
26. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2005 ……….
98
27. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2007 ……….
98
28. Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2008 ……….
99
29. Perbedaan Masyarakat Penerima PEMP dan Non PEMP secara agregat di Kabupaten Kepulauan Aru ………………………….. 110
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Segitiga Keberlanjutan Sistem Perikanan ...............................................
10
2.
Keterkaitan antara sumber daya alam dan aktivitas ekonomi ………….
14
3.
Postulat dunia kosong dan dunia penuh ……………………………….
16
4.
Model Pengembangan PEMP .................................................................
49
5.
Struktur Kelembagaan PEMP……………………………………..........
50
6.
Kerangka Pemikiran.................................................................................
58
7.
Peta Lokasi Penelitian .............................................................................
59
8.
Populasi Jumlah Responden Penerimaan Manfaat dalam Teknik Sampling..................................................................................................
63
Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Pulau-pulau Aru ....................
74
10. Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Aru Tengah ...........................
74
11. Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Aru Selatan ...........................
75
12. Jumlah Nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru ……………………….
82
13. Jumlah Kelompok Nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru ……………
82
9.
14. Magnitud hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap ………………………………………………… 100 15. Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap ……………………………………………………….. 101 16. Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap ……………………………………………………….. 101 17. Magnitud hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang ………………………………………………………............ 102 18. Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang ……………………………………………………………… 102 19. Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang ……………………………………………………………… 103 20. Magnitud hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul ……………………………………………………………. 104 21. Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul ……………………………………………………………. 104 22. Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul ……………………………………………………... 105
23. Proporsi keluarga sejahtera di Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2008 …………………………………………………………….. 108 24. Tehknik amoeba untuk keberlanjutan PEMP …………………………. 116 25. Struktur hirarki analisis MCDM ………………………………………. 118 26. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap secara agregat untuk ke-4 skenario …………………………………………… 119 27. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per kriteria untuk ke-4 skenario ……………………………………………………. 120 28. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per sub kriteria ……………………………………………………………... 121 29. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang secara agregat untuk ke-4 skenario ……………………………………………………. 122 30. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang per kriteria untuk ke-4 skenario …………………………………………………………… 122 31. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang per sub kriteria ….. 123 32. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul secara agregat untuk ke-4 skenario ……………………………………………………. 124 33. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul per kriteria untuk ke-4 skenario ……………………………………………………. 125 34. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul per sub kriteria untuk ke-4 skenario ……………………………………………………. 125 35. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria ekologi ………………………………………………………… 126 36. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria ekologi ………………………………………………………… 127 37. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul udang terhadap kriteria ekologi ………………………………………………………… 128 38. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria ekonomi ……………………………………………………….. 129 39. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria ekonomi ……………………………………………………….. 129 40. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi ……………………………………………………………….. 130 41. Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria sosial ………………………………………………………….. 131 42. Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria sosial ………………………………………………………….. 132
43. Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial ………………………………………………………….. 133 44. Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan terhadap ke-4 skenario ………………………………………………………….
134
45. Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat per Kriteria …………………………………………………… 135 46. Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat per sub kriteria ……………………………………………….. 137
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Potensi dan sumberdaya pesisir di kabupaten Kepulauan Aru dalam hal ini spesies terumbu karang ………………………………….
147
Potensi Lamun di kabupaten Kepulauan Aru Model Pengembangan PEMP ......................................................................................................
148
3.
Kondisi mangrove di kabupaten Kepulauan Aru ……………………... .
149
4.
Potensi perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru ……………………….
150
5.
Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sedudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang ……………………………………………………..
152
2.
6.
Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sedudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang …………………………………………………….. 153
7.
Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah Program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang ………………………………………………………… 154
8.
Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah Program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang ………………………………………………………… 155
9.
Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah Program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang ……………………………………………………… 156
10. Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah Program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang ……………………………………………………… 157 11. Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang ……………………………………………………
158
12. Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang ………………………………………………………
158
13. Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang …………………………………………………….
159
14. Data hasil perhitungan bobot persepsi responden untuk analisis indikator domain ………………………………………………………
160
15. Data akhir evaluasi keberlanjutan untuk indikator domain didapat dari hasil wawancara dan data primer ….……………………………...
160
16. Data bobot persepsi responden nelayan tangkap ………………………
161
17. Data bobot persepsi responden pedagang ……..………………………
162
18. Data bobot persepsi responden pengumpul ……………………………
163
19. Data agregat dari persepsi responden untuk analisiss MCDM ………..
164
20. Jenis alat tangkap dan alat transportasi yang dipakai masyarakat Desa Ponom dan Desa Kwarbola ……………………………………..
166
21. Udang penaeid yang tertangkap di Desa Ponom dan Desa Kwarbola ..
166
22. Dokumentasi selama mengikuti pelatihan dan sosialisasi program PEMP Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru ……………………………..
167
I
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sebagai sebuah negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia
dengan garis pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah Kanada, Amerika dan Rusia yaitu 95.000km, diketahui lebih lanjut keberadaan laut Indonesia mencapai dua pertiga total wilayah mengakibatkan besarnya potensi akan sumberdaya hayati dan non hayati laut yang luar biasa. Hal ini menjadikan tumpuan bangsa Indonesia khususnya bagi jutaan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir menggantungkan hidupnya dari sumberdaya kelautan (ISOI 2009). Dalam hal ekosistem misalnya terumbu karang (coral reefs), Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Hasil Riset Komisi Stok Ikan Nasional menyebutkan bahwa stok sumberdaya perikanan nasional diperkirakan sebesar 6.4 juta ton per tahun. Demikian juga dengan sumberdaya alam kelautan lainnya seperti sumberdaya minyak yang berkontribusi secara signifikan terhadap total produksi minyak dan gas (67 %), gas dan mineral laut lainnya, dan potensi material untuk bioteknologi yang diperkirakan mencapai kapitalisasi pasar triliunan rupiah (Dahuri 2004 diacu dalam Adrianto 2004). Total kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB nasional mencapai 25% dan menyumbang lebih dari 15% lapangan kerja (Burke 2002 diacu dalam Adrianto 2004). Dengan potensi yang demikian besar dan memiliki arti penting dalam konteks perekonomian bangsa, maka pemerintah Indonesia sebenarnya harus lebih memfokuskan pembangunan di daerah kepulauan dalam hal ini wilayah pesisir dibandingkan dengan wilayah daratan induk lainnya. Paling tidak ada kesejajaran pembangunan ataupun tidak terlalu ketinggalan dengan pembangunan wilayah daratan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan dari 62.472 desa di Indonesia 5.479 diantaranya merupakan desa-desa pesisir. Jumlah masyarakat pesisir (nelayan dan pembudidaya ikan) diperkirakan hampir 22 % dari penduduk miskin di Indonesia. Masyarakat pesisir terdiri atas nelayan/penangkap ikan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang hasil perikanan, pelaku usaha
2
industri dan jasa maritim serta masyarakat lainnya yang bermukim di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK). Mereka merupakan salah satu kelompok penduduk yang terendah pendapatannya dibanding anggota masyarakat lainnya. Mengingat selama ini justru keterpurukan taraf hidup masyarakat sangat dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir PPK sehingga dalam perkembangannya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan PPK menemukan titik terang ketika tahun 1998 didirikannya Departemen Kelautan dan Perikanan dimana dalam strukturnya terdapat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K). Pada tahun 2000 sebagai tindak lanjut dari perhatian Pemerintah oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat lahirlah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dibawah pengawasan Departemen Kelautan dan Perikanan dimana dalam pelaksanaannya program PEMP dirancang untuk tiga periode pertama tahun 2001-2003 merupakan periode inisiasi; kedua tahun 20042006 merupakan periode institusionalisasi dan periode ketiga tahun 2007-2009 merupakan periode diversifikasi usaha. Khusus untuk Tahun 2008, program PEMP diarahkan dalam bentuk pemberian Bantuan Sosial Mikro (BSM) yang diberikan langsung kepada masyarakat pesisir sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan. Pembentukan kelembagaan dan perubahan sistem melalui periodisasi program PEMP seperti yang diungkapkan diatas semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara menyeluruh dan terencana sesuai dengan prinsip pemberdayaan, yaitu helping the poor to help themselves. Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten yang mendapatkan alokasi program PEMP. Selanjutnya diketahui kabupaten ini, merupakan satu diantara kabupaten yang dimekarkan dalam wilayah administrasi pemerintahan Propinsi Maluku pada tahun 2003. Dengan luas wilayahnya 54.392 Km2 yang terdiri dari 6.426.77 Km2 adalah luas daratan atau 13% dan luas lautan 47.965.23 Km2 atau sebesar 87%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006 di Kabupaten Kepulauan Aru terdapat 875 pulau dengan luas pulau 8.104.37 Km2. Secara Astronomis daerah ini terletak antara 50–80 LS dan 133.50-136.50 BT dengan batas wilayah geografis antara lain :
3
•
Sebelah Selatan : Laut Arafura
•
Sebelah Utara
: Laut Arafura di bagian Selatan Papua
•
Sebelah Timur
: Laut Arafura di bagian Selatan Papua
•
Sebelah Barat
: Laut Arafura di bagian Timur Pulau Kei Besar
Kabupaten Kepulauan Aru telah mendapat kepercayaan Pemerintah dalam mengelolah program PEMP sejak tahun 2005, tahun 2007, dan tahun 2008. Selama tiga tahun perjalanan program ini dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat pesisir tentunya program PEMP dapat dievaluasi adakah efek mutiplier yang diberikan dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat penerima manfaat (beneficiaries) program PEMP sehingga berpengaruh bagi pembangunan perekonomian wilayah pesisir.
1.2
Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini yaitu :
1.
Apakah program ini memberikan efek multiplier bagi kesejahteraan masyarakat penerima manfaat program PEMP.
2.
Bagaimana
keberlanjutan
program
PEMP
ditinjau
dari
aspek
pembangunan berkelanjutan.
1.3
Tujuan Penelitian Beberapa tujuan yang didapatkan dari penelitian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi dan mengukur besaran (magnitude) dampak dari program PEMP terhadap kesejahteraan masyarakat penerima manfaat (beneficiaries).
2.
Mengevaluasi tingkat keberlanjutan program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru.
1.4
Kegunaan Penelitian Secara praktis, manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih pemikiran bagi stakholder dalam hal ini pemerintah daerah untuk dapat lebih memberbaiki pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kabupaten Kepulauan Aru kedepan.
4
II
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi didefinisikan
sebagai suatu proses yang
menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad 1999). Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi yang dapat didefinisikan dan dianalisa dengan seksama. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak azazi manusia (Todaro 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa selain nilai pokok, harus memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kelancaran
proses
pembangunan yaitu: jumlah dan jenis sumberdaya alam, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan internasional. Pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya ditekankan pada pembangunan sektor pertanian yang didalamnya mencakup perikanan, karena sebagian besar daerah Indonesia merupakan daerah pertanian secara luas. Tetapi pembangunan sektor lain tetap dikembangkan karena merupakan komplementer dari sektor pertanian. Selanjutnya diketahui kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia pada masa lalu terlalu menekankan kepada strategi tradisional yang mengutamakan kepada akumulasi dari kapital fisik (physical dan man-made capital), yang mengabaikan keterkaitannya dengan kapital-kapital lain, seperti kapital alami (natural capital), kapital manusia (human capital) dan kapitan sosial (social capital). Oleh karenanya selama itu pertumbuhan ekonomi Indonesia dipandang tidak seimbang (unbalanced growth), karena sumber-sumber pertumbuhan ekonomi tersebut terlalu banyak berasal dari eksploitasi natural assets seperti hutan, sumberdaya bahari (ikan, udang dan sumberdaya perikanan
5
lainnya), mineral, minyak dan gas bumi. Kemudian hasil-hasil dari sumberdaya alam tersebut ditransormasikan menjadi kapital fisik (jaringan jalan, komunikasi, pabrik-pabrik, perumahan, pembangkit tenaga listrik, jaringan irigasi dan sebagainya) yang terakumulasi dengan tingkat relatif tinggi (6-7%) dan disebut pertumbuhan ekonomi. Sedangkan investasi pada kapital-kapitan lain (natural, human dan social) banyak diabaikan, bahkan dengan pelaksanaan program sentralistik banyak merusak terhadap jenis kapital lain tersebut (Anwar 2001). Selain itu pembangunan ekonomi biasanya melibatkan berbagai indikator seperti tingkat melek huruf, harapan hidup, dan tingkat kemiskinan. GDP tidak mempertimbangkan aspek-aspek penting seperti hiburan, kualitas lingkungan, kebebasan, atau keadilan sosial tetapi sebuah perkembangan ekonomi negara yang terkait dengan pembangunan manusia mencakup kesehatan dan pendidikan. Selain itu Pertumbuhan ekonomi sering diukur dengan laju perubahan produk domestik bruto (misalnya, persen dari PDB per tahun.) Produk domestik bruto merupakan nilai tambah agregat aktivitas ekonomi dalam batas-batas negara. Pengembangan ekonomi wilayah adalah suatu usaha meningkatnya hubungan independensi dan interaksi antar sistem ekonomi (economy system), sistem masyarakat (social system), lingkungan hidup (environment) dan sumber daya alam (ecosystem). Sedangkan pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah suatu daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan aktor swasta. Menurut Fischer diacu dalam Arsyad (2003) menyatakan bahwa perkembangan wilayah ditandai dengan kenaikan pendapatan perkapita berbagai wilayah pada berbagai waktu yang kemudian diiringi oleh adanya relokasi sumber daya dengan penurunan proporsi angkatan kerja dalam kegiatan sekunder (konstruksi dan manufaktur) dan kemudian disusul dengan kenaikan proporsi angkatan tenaga kerja dalam sektor tertier (transportasi dan komunikasi). Hal itu disebut juga perkembangan wilayah dari North diacu dalam Arsyad (2003), perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh suatu eksploitasi kemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor wilayah yang bersangkutan dan selanjutnya dipengaruhi oleh tingkat permintaan ekstern dari wilayah-wilayah lain atau perkembangan wilayah dari luar. Pendapatan yang diperoleh dari ekspor
6
akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja serta keuntungan eksternal. Jadi pertumbuhan ekonomi adalah proses output per kapita jangka panjang dimana persentase kenaikan output haruslah lebih besar dari pertambahan penduduk (Tarigan 2004)
2.1.1 Multiplier Effect Hirschman diacu dalam Arsyard (2003) menyatakan bahwa strategi pembangunan seharusnya dikonsentrasikan pada sektor-sektor yang relatif sedikit daripada banyak sektor yang tersebar. Sektor yang dipilih atau menjadi sektor kunci adalah sektor yang mempunyai kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) yang kuat. Pertumbuhan di sektor tersebut akan mendorong pertumbuhan sektor lain sehingga sektor tersebut akan menjadi sektor leading bagi sektor lainnya. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sektor produktif, mekanisme pendorong pembangunan (inducement mechanism) yang tercipta sebagai akibat adanya hubungan berbagai industri dalam penyediaan input yang digunakan sebagai bahan mentah dalam industri lainnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: keterkaitan ke belakang (backward linkage effects) dan keterkaitan ke depan (forward linkage effects). Selain itu hubungan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya tergantung pada keseimbangan antara dampak positif dengan negatif bagi daerah belakang. Jika komplementaris kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke arah belakang dan sebaliknya bila komplementaris lemah akan terjadi proses polarisasi. Dampak yang paling penting dari penetesan ke bawah dari pusat pertumbuhan menuju daerah belakangnya adalah meningkatnya proses pembelian dan investasi di belakangnya oleh adanya kutub pertumbuhan, juga nantinya akan meningkatkan produksi tenaga kerja dan pendapatan per kapita dengan terserapnya pengangguran tersembunyi di daerah belakang. Dampak polarisasi adalah dampak yang menyebabkan sumber daya di daerah belakang terserap oleh daerah pusat pertumbuhan dan hal ini akan menghambat kemajuan di daerah belakangnya. Terdapat dua kekuatan yang bekerja pada pertumbuhan ekonomi yaitu bachwash effect dan spread effect. Kekuatan efek penyebaran (spread effect) mencakup penyebaran pasar hasil industri bagi wilayah yang belum berkembang,
7
kekuatan efek balik negatif (backwash effect) biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari daerah tidak berkembang ke daerah berkembang (Glasson 1990). Konsep spread effect menyatakan bahwa pada waktu tertentu kualitas industri pendorong dinamik dari kutub pertumbuhan akan memancar keluar dan memasuki ruang sekitarnya. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Untuk itu diperlukan suatu kondisi yang dapat menyeimbangkan keadaan ekonomi wilayah melalui penciptaan linkage atau sektor. Hirschman diacu dalam Arsyad (2003) selanjutnya mengungkapkan segi keterkaitan diantara berbagai ragam kegiatan ekonomi. Hal ini menyangkut keterkaitan antar sektor, misalnya antar sektor pertanian dan sektor industri, maupun kerterkaitan yang berlaku didalam lingkungan satu sektor tertentu (intrasektor). Setiap proyek investasi disuatu industri tertentu selalu terkait dengan kegiatan ditahap menyusul dan atau ditahap yang mendahuluinya. Dalam hal keterkaitan itu dengan kegiatan industri di tahap menyusul (indusri hilir), maka keterkaitan tersebut bersifat forward linkage, sebaliknya didalam hal keterkaitan menyangkut kegiatan industri ditahap yang mendahului (industri hilir) maka hal tersebut disebut “backward linkage”. Selanjutnya kemajuan wilayah akan tercapai jika
terdapat
konsentrasi
pembangunan pada sektor-sektor kunci yang ditentukan bacward dan forward linkage. Efek penetasan yang diharapkan terjadi karena adanya pertukaran investasi di hinterland. Teori multiplier effect menyatakan bahwa suatu kegiatan akan dapat memacu timbulnya kegiatan lain (Glasson 1990). Teori ini hampir sama dengan teori trickling down tetapi lebih mengacu pada bentuk kegiatan, sedangkan teori tricking down effect lebih mengacu pada ruang. Berdasarkan teori ini dapat dijelaskan bahwa adanya sentra produk unggulan buah belimbing di Kabupaten Demak akan memacu timbulnya aktivitas lain seperti perdagangan dan peningkatan kegiatan jasa (akomodasi dan transportasi). Teori multiplier effect berkaitan dengan pengembangan perekonomian suatu daerah. Makin banyak kegiatan yang timbul makin tinggi pula dinamisasi suatu wilayah yang pada akhirnya akan meningkatkan pengembangan wilayah.
8
2.2
Pembangunan Keberlanjutan Definisi Pembangunan berkelanjutan menurut Bond (2001) adalah
pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang dimana pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan saling memperkuat dalam pembangunan. Bosshard (2000) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi, dan (5) ekonomi. Sedangkan menurut Marten (2001) mengungkapkan pembangunan berkelanjutan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumberdaya alam yang ada. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development, adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu ada pula beberapa pakar yang memberikan rumusan untuk lebih menjelaskan makna dari pembangunan yang berkelanjutan, antara lain: (1) Salim diacu dalam Abdurrahman 2003 Pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan (Yayasan SPES 1992:3) Beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berlanjut ini, antara lain adalah: a. Proses pembangunan ini mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut. b. Sumber alam terutama udara, air, dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan ini berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang
9
pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia. c. Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. d. Pembangunan
berkelanjutan
memungkinkan
generasi
sekarang
untuk
meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya. 2) Kleden diacu dalam Abdurrahman 2003 Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang disatu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumberdaya manusia secara optimal, dan dilain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumberdaya tersebut (Yayasan SPES 1992: XV) (3) Effendi diacu dalam Abdurrahman 2003 a. Pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan
yang
pemanfaatan
sumberdayanya, arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaanya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat b. Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan sebagai transformasi progresif terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan kepastian masyarakat Indonesia dalam memenuhi kepentingannya pada saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi
berkesinambungan
memang
kepentingannya. Konsep
pembangunan
yang
mengimplikasikan batas, bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial sekarang ini mengenai sumberdaya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan
10
ekonomi. Dalam definisi diatas dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan antar 3 komponen dimaksud dapat dolihat pada Gambar 1. Ecological Sustainability
Institutional Sustainability
Economic Sustainability
Community Sustainability
Gambar 1 Segitiga Keberlanjutan Sistem Perikanan (Charles 2001 diacu dalam Adrianto 2004)
Munasinghe (1994) menyatakan bahwa pendekatan ekonomi dalam pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya serta keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian ekologi dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah dengan melakukan analisis biaya manfaat atau suatu proyek pembangunan.
Perencanaan
pembangunan
hendaknya
dilakukan
secara
komprehensip dengan memperhatikan tujuan-tujuan jangka panjang. Selain itu yang dapat dilakukan untuk mengurangi eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin ditimbulkan dari eksploitasi sumberdaya
11
tersebut adalah memberikan harga kepada sumberdaya (pricing) dan biaya tambahan (charges). Jadi sasaran ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan adalah peningkatan ketersediaan dan kecukupan kebutuhan ekonomi, kelestarian aset yaitu efesiensi dalam pembangunan sumberdaya dengan pengelolaan yang ramah lingkungan dan tetap memperhitungkan keadilan bagi masyarakat baik saat ini maupun generasi yang akan datang. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar efesiensi dan pertumbuhan yang tinggi saja tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Pandangan ekologis didasarkan kepada pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di waktu yang akan datang dan dipengaruhi oleh segala aktifitas manusia. Para ahli sosiologi memberikan pandangan yang berbeda dengan ahli ekonomi dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dikemukakan oleh Cernea (1994) bahwa pembangunan berkelanjutan adalah menekankan kepada pemberdayaan organisasi sosial masyarakat. Penekanan pandangan para sosiolog
tersebut
terletak
kepada
manusia
sebagai
kunci
keberhasilan
pembangunan melalui pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan yang berkembang. Pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan ditujukan untuk pengelolaan sumberdaya alam dengan memberikan motivasi yang mengarah kepada keberlanjutan. Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan dilakukan dengan menciptakan kesadaran masyarakat pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, penghargaan terhadap bentuk kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat sebagai satu sistim kontrol terhadap jalannya pembangunan, pengembangan nilai-nilai masyarakat tradisional yang mengandung keutamaan dan kearifan, meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat dengan berorganisasi. Dengan demikian faktor sosial dalam pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu faktor yang tidak kalah penting apabila dibandingkan dengan faktor ekonomi dan ekologi. Bukti-bukti menjelaskan bahwa proyek pembangunan yang kurang memperhatikan faktor sosial kemasyarakatan akan menjadi ancaman bagi keberhasilan proyek atau program pembangunan yang dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Selain itu kualitas kehidupan merupakan salah satu
12
dimensi utama dalam konsep pembangunan berkelanjutan (Hall 2000). Kini, fokus riset keberlanjutan tidak lagi hanya sebatas persoalan lingkungan alami dalam pemahaman ekologi global (kualitas udara, air, keragaman hayati, tanah, mineral dan energi), tapi juga kepada lingkungan binaan manusia, seperti bangunan, infrastruktur, ruang terbuka dan warisan bersejarah). Berbagai aspek dalam Seni Binakota seperti misalnya, bentuk dan struktur (kawasan) kota, vitalitas, identitas/jati diri kota, kualitas urbanitas, penghormatan terhadap tradisi/nilai budaya lokal termasuk warisan sejarah berupa bangunan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan. Menurut
komisi
(Soerjani
2006)
mendefenisikan
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) adalah “pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang tanpa berkompromi (mengurangi) kemampuan generasi yang akan dating untuk memenuhi aspirasi dan mencukupi kebutuhan mereka sendiri”. Sedangkan Syahyuti (2006) memberikan makna secara umum tentang pembangunan yang berkelanjutan yaitu upaya menciptakan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam. Selanjutnya dikatakan pembangunan berkelanjutan terdapat tiga aspek penting yang membangunnya yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Keberlanjutan
pembangunan
nasional
sangat
bergantung
pada
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sumber daya alam diharapkan dapat berperan sebagai modal pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraaan masyarakat dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, tidak hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang. Kebijakan
pembangunan
dibidang
kelautan
dimaksudkan
untuk
pendayagunaan sumber daya kelautan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Arah kebijakan pembangunan kelautan tersebut meliputi yaitu: (1) mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil
13
secara lestari berbasis masyarakat; (2) memperkuat pengendalian dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan; (3) meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak; (4) mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar, dan pulau-pulau kecil; (5) mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir; dan (6) memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, sumber daya manusia, kelembagaan, dan peraturan perundang-undangan.
2.2.1 Keberlanjutan ekonomi Dimensi ekonomis dari pembangunan berkelanjutan mempresentasikan permintaan terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan dimana manfaat dari pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi lemah. Menurut Serageldin (1994) tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan memiliki hubungan
dengan
tujuan
lingkungan.
Keberhasilan
dan
keberlanjutan
pembangunan tidak akan tercapai apabila tidak didukung oleh kondisi lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan akan terhambat apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat penuh dengan ketidakpastian. Disamping itu pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan efesiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga usaha yang dapat dilakukan adalah dengan efesiensi penggunaan sumberdaya alam dan juga memberikan penilaian terhadap lingkungan dengan mengevaluasi dampak lingkungan yang ditimbulkannya karena bagaimanapun proses pembangunan yang berjalan sedikit ataupun banyak akan menimbulkan eksternalitas negatif dimana masyarakat yang akan merasakan akibat dari kerusakan tersebut. Masyarakatlah yang menanggung beban berupa biaya–biaya sosial yang harus ditanggung baik oleh masyarakat saat ini maupun generasi yang akan datang.
14
Hal pembangunan
yang
terpenting
dimulai
dari
adalah
bagaimana
pendekatan
kepada
pemahaman berhasil
atau
mengenai tidaknya
pembangunan itu mengurangi kemiskinan. Bagaimana pertumbuhan ekonomi berperan dan bagaimana proses pertumbuhan itu dipengaruhi oleh semakin berkurangnya sumberdaya dan makin meningkatnya biaya lingkungan. Harus menjadi pertimbangan global adalah bagaimana menemukan cara yang efektif sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat sekaligus memecahkan masalah kemiskinan tanpa membahayakan lingkungan atau menurunkan kualitas sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang. Menurut Fauzi (2006) sumber daya alam tidak terbatas sebagai faktor input saja karena proses produksi juga akan menghasilkan output (misalnya limbah) yang kemudian menjadi faktor input bagi kelangsungan dan ketersediaan sumber daya alam. Gambar dibawah ini menunjukkan keterkaitan antara sumber daya alam dan aktivitas ekonomi. Sumber daya Alam dan Lingkungan
Produksi
Konsumsi
Limbah
Residual
Gambar 2 Keterkaitan antara sumber daya alam dan aktivitas ekonomi (Fauzi 2006)
Sumber daya alam menghasilkan barang dan jasa untuk proses industri yang berbasis sumber daya alam maupun yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Dari proses industri, dihasilkan barang dan jasa yang kemudian dapat
15
digunakan oleh rumah tangga untuk konsumsi. Dimana kegiatan produksi oleh industri dan konsumsi oleh rumah tangga menghasilkan limbah (waste) yang kemudian dapat didaur ulang. Proses daur ulang ini ada yang langsung kembali ke alam dan lingkungan (misalnya, proses pemurnian kembali air atau udara), juga ada yang kembali ke industri. Dari limbah ini sebagian komponen ada yang tidak dapat didaur ulang, dan menjadi residual yang akan kembali ke lingkungan tergantung dari kemampuan kapasitas penyerapan atau asimilasi. Sementara itu, dilema saat ini dari sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat dunia kosong (empty world) dimana dunia dengan jumlah penduduk dan artefaknya yang sedikit namun penuh dengan sumberdaya alam (natural capital), dengan demikian fokus pembangunan adalah pada pertumbuhan dan ekspansi, kompetisi bebas (cutthroat competition), dan siklus limbah terbuka (open waste cycles) menuju postulat dunia penuh (full world) di mana kebutuhan manusia adalah untuk perbaikan kualitas dari hubungan antara unsur pembangunan, aliansi kerjasama, dan aliran tertutup daur limbah (Constanza et al. 2000 diacu dalam Adrianto 2004). Pertumbuhan dari postulat dunia kosong ke dunia penuh menyadarkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik di mana ekonomi menuju kondisi stabil (steady state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability coridors). Lingkungan dan ekonomi harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga seringkali pembangunan ekonomi dan lingkungan menjadi sangat diametrik satu sama lain.
16
Gambar 3 menyajikan secara diagram postulat dunia kosong dan dunia penuh dalam paradigma lingkungan kontemporer.
Ekosistem global terbatas
energi sumberdaya
Subsistem pertumbuhan ekonomi
sumberdaya sumberdaya
Fungsi timbunan
Empty world
Fungsi sumberdaya
Energi matahari
Daur ulang
Waste heat
Gambar 3 Postulat dunia kosong dan dunia penuh (Adrianto 2004)
2.2.2 Keberlanjutan Lingkungan Keberlanjutan adalah kemampuan untuk bertahan hidup. Dalam kata ekologi menjelaskan bagaimana sistem biologis tetap beragam dan produktif dari waktu ke waktu. Bagi manusia itu adalah potensi untuk pemeliharaan jangka panjang kemakmuran, yang pada gilirannya tergantung pada kesejahteraan dunia alami dan yang bertanggung jawab penggunaan sumber daya alam. Banyak persyaratan dari organisme terhadap lingkungan agar mereka dapat terus hidup. Suatu perkembangan terjadi selama masa evolusi. Adanya seleksi alam, misalnya terhadap telur-telur ikan dan beribu-ribu itu dari ikan induknya, namun yang dapat
17
hidup terus hingga dewasa hanya beberapa ekor saja. Sebagaimana aksi destruktif dari lingkungan itu, secara alami namun manusia telah banyak menambah keparahan yang tak terhitung sejalan dengan kemajuan peradaban. Sebenarnya manusia itu bukanlah perusak mutlak jika mereka mengerti akan prinsip-prinsip ekologi, dalam memanfaatkan sumber-sumber alam. Sayang sekali dalam pemanfaatan sumber daya alam mereka sering kurang bijaksana. Populasi hewan atau ikan-ikan telah di ambil secara besar-besaran dengan menggunakan bom dan lainnya sehingga bukan ikan besar saja yang mati tapi telur-telur ikan pun turut mati. Disamping pengrusakan-pengrusakan vegetasi dan margasatwa secara langsung, manusia juga menimbulkan gangguan-gangguan yang menimbulkan seperti pencemaran serius terhadap danau-danau, sungai-sungai, wilayah pesisir termasuk pelabuhan-pelabuhan. Perlu diketahui bahwa hilangnya keragaman biologis maka tidak akan kembali lagi. Persoalan lingkungan pada dasarnya terletak pada sebuah kenyataan apakah manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran (learning process) mengubah proses evolusioner
antar waktu
sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi pada level terbaik suatu waktu dimana manusia dapat melakukannya sesuai dengan daya dukung lingkungan. Manusia mungkin tidak mampu mencegah kerusakan lingkungan namun dengan proses pembelajaran, manusia dapat mengurangi kerusakan dan mulai melakukan perbaikan. Boulding (1991) diacu dalam Adrianto (2004) mengungkapkan proses pembelajaran dalam kaitannya dengan dunia nyata dengan sistem alam dan sistem manusia sebagai dua ikon yang penting tidak dapat terlepas dari sistem manusia dan intitusi sosial yang menjadi pondasi cara berpikir manusia terhadap alam dan lingkungan.
2.2.3 Keberlanjutan Sosial Keberlanjutan sosial merupakan salah satu aspek dari pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan sosial meliputi hak asasi manusia, hak-hak pekerja, dan tata kelola perusahaan. Sama dengan keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan sosial adalah gagasan bahwa generasi masa depan harus memiliki akses yang sama atau lebih besar ke sumber-sumber sosial sebagai generasi sekarang. Sumber daya sosial mencakup budaya lain dan hak asasi manusia. Aspek yang berbeda
18
dari keberlanjutan sosial sering dianggap dalam investasi bertanggung jawab sosial. Kriteria keberlanjutan sosial yang sering digunakan adalah dana dan indeks untuk menilai perusahaan publik yang diperdagangkan meliputi: masyarakat, keragaman, hubungan karyawan, hak asasi manusia, keamanan produk, pelaporan, dan struktur pemerintahan. Sekarang sudah ada kesepakatan bahwa manajemen sumberdaya alam tidak boleh diabaikan dan idealnya akan meningkatkan keberlanjutan sosial (Briassoulis 2001; Bowen dan Riley 2003). Beragam kriteria yang digunakan dalam literatur keberlanjutan sosial adalah: kualitas hidup, kedamaian sosial, masyarakat sipil yang kuat, partisipasi, derajat kejadian beragam bentuk kemiskinan dan eksklusi, keadilan distribusional, keadilan dan hak asasi manusia, identitas dan keberagaman budaya, pemeliharaan modal sosial dan efektivitas lembaga dan norma-norma sosial (Goodldan 1995; Adger et al. 1997; Glaser dan Berger 1999; Kohn 1999; Adger 2000; Meadows 1998). Arti penting relatif dari salah satu kriteria keberlanjutan sosial adalah sangat tergantung pada konteks budaya, politis, sosial dan ekonomi suatu wilayah. Jadi keberlanjutan sosial terbatas kemungkinannya untuk diabstraksi dari konteks spesifik yaitu karakteristik keberlanjutan ekonomi dan biologi.
2.3
Sistem Pulau Kecil Towle (1979) diacu dalam Adrianto (2009) mendefenisi pulau kecil yaitu
pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Sementara itu defenisi lain diungkapkan oleh Nunn (1994) diacu dalam Adrianto (2009) mendefenisikan pulau kecil berdasarkan konsektual setiap pulau bahwa pulau-pulau dengan ukuran maksimal 1.000 km2 merupakan pulau yang relatif memiliki kaitan yang signifikan terhadap pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil (PPK). Adapun ukuran PPK di Indonesia dipertegas lagi dengan peraturan perundang-undangan terbaru yaitu Perpres No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan UU No. 27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan PPK, dimana disebutkan bahwa ukuran pulau kurang dari 2.000 km2 disebut PPK. Adapun PPK dikenal sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, realtif jauh dari daratan induk (mainland),
19
relative peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas 1998 diacu dalam Adrianto 2009). Karakteristik lainnya adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto dan Matsuda 2002 diacu dalam Adrianto 2009). Sebagai turunan dari UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK, kebijakan nasional tentang tata kelola pulau-pulau kecil dituangkan dalam Peraturan Mentri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 20/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya. Menurut Permen No. 20/2008 ini, pemanfaatan PPK dilakukan dengan memperhatikan aspek: (1) keterpaduan antara kegiatan pemerintah dengan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang PPK dan peairan di sekitarnya; (2) kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil; (3) ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi; (4) kondisi sosial dan ekonomi masyarakat; (5) politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia; dan (6) teknologi ramah lingkungan; dan (7) budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat local serta masyarakat tradisional. Adrianto (2009), mengungkapkan sebagaimanan diatur dalam Permen No. 20/2008 ini, pemanfaatan PPK diprioritaskan untuk 8 kegiatan utama yaitu: (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) ekosistem pantai dan bahari; (6) usaha perikanan dan kelautan secara lestari; (7) pertanian organik; dan/atau (8) peternakan. Namun demikian, dilanjutkan lagi oleh Adrianto (2009) selain kegiatan-kegiatan tersebut beberapa kegiatan lain dapat pula dilakukan dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya PPK yaitu usaha pertambangan, pemukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan.
2.3.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pulau-Pulau Kecil Menurut Soesilowati (1997), bahwa untuk memberdayakan masyarakat pesisir maka ada beberapa strategi yang dapat kita lakukan, yaitu :
20
1. Strategi fasilitasi Strategi fasilitasi mengharapan kelompok yang menjadi sasaran program terhadap pilihan-pilihan dan sumberdaya yang dimiliki. Strategi ini dikenal sebagai strategi kooperatif, yaitu agen perubah bersama-sama kliennya (masyarakat) mencari penyelesaian. 2. Strategi edukatiftegi ini sesuai bagi masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan dan keahlian akan segmen yang akan diberdayakan. 3. Strategi persuasif Strategi persuasif berupaya membawa perubahan melalui kebiasaan dalam berprilaku. Strategi ini lebih cocok dipergunakan bila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 4. Strategi kekuasaan Strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan agen perubah yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target serta mempunyai kemampuan untuk monopoli akses. Berdasarkan hasil penelitian Norimarna (1996), kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarkat pesisir yaitu memiliki mobilitas sosial yang tinggi, haus gengsi pribadi dan kelompok, persaingan berdasarkan keahlian dan modal, ketaatan pada perekonomian tergantung untung dan rugi pribadi serta suka meniru tapi tidak memberi penghargaan kepada orang yang punya gagasan semula. Dan Raharjo (1998) mengemukakan bahwa masyarkat pesisir terutama nelayan umumnya memiliki sosial ekonomi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indicator, misalnya pendapatan yang relative rendah, kelembagaan sosial budaya dan ekonomi hampir tidak ada yang mau bekerja dengan mereka, di wilayah pesisir infrastruktur lemah (baik sosial, fisik dan ekonomi), tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah. Menurut Fahrudin (1997) bahwa masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik aktivitas ekonomi masyarakat pesisir dan latar belakang budaya mereka. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan mereka. Sedangkan Adiwibowo (1995) mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir
21
merupakan kumpulan satu kesatuan sistem sosial yang anggota-anggotanya tergantung pada kelimpahan suberdaya pesisir dan lautan.
2.3.2 Rumah Tangga Nelayan Rumah tangga yang kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tetapi menggunakan ikan sebagai bahan proses produksi bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan (Mulyadi 2005). Dengan demikian, para pedagang ikan sekalipun hidup ditepi pantai juga tidak tergolong kepada kategori nelayan. Ciri dari rumah tangga nelayan yaitu memanfaatkan wilayah sebagai tempat kerjanya (Elfriadi 2002) dan nelayan sangat tergantung pada cuaca dan musim, selain itu rumah tangga nelayan dalam penangkapan ikan pada umumnya malam hari dan merupakan suatu pekerjaan lelaki. Secara fisik merupakan lapangan pekerjaan yang tinggi resikonya, wanita sulit untuk terlibat dalam penangkapan ikan karena sangat bertentangan dengan waktu pengasuhan anakanak. Nelayan tidak ikut dalam proses budi daya, kecuali secara natural mereka berupa menangkap ikan yang sudah terbudi daya dengan sendirinya mengikuti ekosistem kelautan. Nelayan tradisional diartikan sebagai orang yang bergerak di sektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor, sedangkan mereka yang menggunakan mesin atau perahu motor merupakan nelayan modern (Mulyadi 2005). Sedangkan Mashuri (1995) menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang nelayan Indonesia merupakan suatu kelompok masyarakat yang turun temurun. Di bidang produksi perikanan laut, terdapat beberapa jenis usaha, yaitu: (a) Usaha penangkapan ikan, (b) usaha pencarian kerang dan lola, dan (c) usaha budidaya laut (ikan, rumput laut dan kerang mutiara). Dalam konteks rumah tangga nelayan, persoalannya jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan rumah tangga tani konvensional. Walaupun dalam sensus sektor perikanan merupakan subsektor dari pertanian, keberadaan rumah tangga nelayan memiliki ciri khusus bila dibandingkan dengan rumah tangga tani. Selain itu nelayan mempunyai dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan, musim dan pasar sehingga kehidupannya pun tidak menentu. Berbeda dengan pedagang bakul misalnya. Mereka tidak terpengaruh banyak oleh alam dan lingkungan. Mereka
22
dapat berusaha untuk sektor lain jika ikan tidak ada karena mereka punya modal dan usaha lainnya (Bappedal 1996). Pada musim baik yaitu saat cuaca dan gelombang bersahabat, nelayan sangat sibuk melaut dan menangkap ikan bahkan hasil tangkapannya berlebih (Prasojo 1993). Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut berkurang bahkan berhenti sama sekali dan mereka banyak yang menganggur karena tidak ada alternative pekerjaan yang lain. Untuk itu kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat pesisir di perairan Indonesia dibagi atas 3 musim (Nontji 1987) yaitu: (1) Musim timur (Juni - September) (2) Musim Barat (Desember Maret) dan (3) Musim Pancaroba I (April - Mei) dan Musim Pancaroba II (Oktober - Nopember). Permasalahan sosial ekonomi masyarakat pesisir lainnya adalah mereka sangat lemah dalam masalah manajemen pemasaran. Akibat mutu produk rendah sehingga mereka mengalami kendala dalam manajemen pemasaran produk. Disamping itu permasalahan sosial ekonomi lainnya adalah kebiasaan buruk mereka yaitu kebiasaan menghambur-hamburkan uang ketika hasil tangkapan melimpah dan takala musim paceklik tiba mereka berhutang sana sini untuk membiayai kehidupan mereka.
2.3.3 Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Nelayan Pendapatan masyarakat pesisir terutama nelayan ditentukan oleh produktivitas alat tangkap, ketrampilan yang dimiliki, dan keuletan mereka serta sistem bagi hasil yang disepakati (Syafrin 1993). Hal ini diperkuat oleh Carner (1984) bahwa pendapatan nelayan tergantung pada kepemilikan alat tangkap, perahu dan alat tangkap lainnya. 1) Komponen Pendapatan Sumber pendapatan keluarga nelayan dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu perikanan tangkap dan non perikanan tangkap. Pendapatan perikanan tangkap adalah pendapatan pribadi nelayan contoh dari kegiatan penangkapan ikan dengan kapal contoh. Anggota rumah tangga nelayan contoh mungkin saja ada yang memperoleh penghasilan dari kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini, pendapatan anggota keluarga tersebut tidak dimasukan sebagai pendapatan
23
perikanan tangkap, tetapi non-perikanan tangkap (masuk dalam kelompok pendapatan pertanian dalam arti luas) (DKP 2003). Berdasarkan data dari sumber data DKP (2001) diketahui bahwa sumber pendapatan dari non-perikanan tangkap yaitu: (a) pertanian dalam arti luas, (b) berdagang atau warung, (c) industri rumah tangga, (d) berburuh/tukang/karyawan, (e) usaha biasa. Untuk pertanian dalam arti luas terdiri dari usaha tani tanaman pangan (padi, jagung, ubi-ubian kacang-kacangan), horticultural (buah-buahan dan
sayuran),
perkebunan
(kepala,kopi,
karet
dan
kakao,),
peternakan
(sapi,kerbau, kambing, domba, babi, ayam, itik, kelinci dan madu lebah) dan perikanan darat (tambak,sungai dan danau). Pendapatan perikanan budidaya laut dan pencarian hasil laut (lola dan kerang) termasuk kedalam kategori pertanian dalam arti luas. Berdagang/warung mencakup berdagang ikan, berbagai jenis komoditi pertanian segar (hasil-hasil sayuran, buah-buahan, perkebunan dan peternakan), makanan jadi, minuman, rokok, gula, kopi bubuk, teh dan bumbu-bumbuan, baik dalam warung, kios maupun dengan pikulan (atau dengan sepeda). Adapun industri rumah tangga terdiri dari pembuatan ikan asin, ikan asap, kerupuk, terasi, tahu, tempe, kerajinan tangan, kain sulaman, kain tenun dan pembuatan batu bata/genteng. Selain itu juga berburu/tukang/karyawan mencakup kulih angkut, berburuh pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, tukang bangunan, pembantu rumah tangga, karyawan perusahaan, PNS, pensiunan, pamong desa, dan juga usaha jasa meliputi tukang jahit, tambal ban, reparasi (sepeda, sepeda motor dan listrik), tukang becak, ojek, delman dan tukang urut . Klasifikasi tersebut berlaku untuk semua jenis nelayan (juragan, nahkoda, ABK trampil dan ABK biasa). 2) Komponen pengeluaran. Komponen pengeluaran yaitu pengeluaran untuk usaha perikanan tangkap dan pengeluaran untuk konsumsi keluarga nelayan yang bersangkutan. Yang dimaksudkan dengan pengeluaran konsumsi adalah pengeluaran yang digunakan untuk membeli/membayar kebutuhan hidup rumah tangga nelayan contoh. Oleh karena NTN mengukur nilai tukar subsisten (subsistence term of trade), maka kebutuhan hidup dibatasi hanya pada kebutuhan subsisten atau kebutuhan primer
24
rumah tangga nelayan. Dalam hal ini, konsumsi oleh pribadi nelayan contoh selama penangkapan ikan di laut tidak termasuk kedalam katergori konsumsi ini. Pengeluaran harian makanan dan minuman terdiri dari makanan pokok (beras, jagung dan ubi-ubian), mie instan, gula, kopi, teh, susu, makanan jadi, buah-buahan, sayuran, daging, telur, ikan dan minyak goring. Ikan lawuhan yang dikonsumsi sendiri juga dinilai sebagai pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran harian non makanan dan minuman mencakup tembakau, rokok, bahan bakar (minyak tanah, gas dan kayu), pakaian (pakaian selain seragam sekolah termasuk sepatu /sandal), sabun, odol, sikat gigi dan shampo. Klasifikasi pengeluaran subsisten rumah tangga nelayan (sumber DKP 2001): (a) Konsumsi harian makanan dan minuman, (b) Konsumsi harian non makanan dan minuman, (c) Pendidikan, (d) Kesehatan, (e) Perumahan, (f) Pakaian, (g) Rekreasi. Pengeluaran pendidikan ada yang bersifat bulanan antara lain SPP/BP3, iuran lainnya, alat tulis dan kos anak; ada yang bersifat harian seperti transport dan jalan anak; dan ada yang jangka panjang seperti buku bacaan sekolah, seragam pakaian, sepatu dan tas sekolah anak. Sedangkan pengeluaran kesehatan bersifat insidental yang mencakup pembelian obat jadi yang dijual bebas, dan biaya puskesmas (dokter dan obat). Selain itu pengeluaran perumahan meliputi listrik, air bersih dan perawatan rutin rumah. Rehabitasi dan pembangunan rumah, pembelian kendaraan, pembelian barang perabotan rumah tangga dan barang elektronik, yang membutuhkan biaya relatif besar tidak termasuk ke dalam kategori pengeluaran subsisten.
2.4
Teori Ketergantungan Teori ketergantungan (dependency theory) pada umumnya memberikan
gambaran melalui analisis dialektis (yaitu suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala sosial yang dapat diamati sehari-hari pasti mempunyai penyebab tertentu), bahwa pada dasarnya ketergantungan yang terjadi antara suatu subsistem lain yang lebih dominan merupakan salah satu penentu dalam perkembangan atau perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat (Sajogyo 1985 diacu dalam Suharto 1997).
25
Menurut Cardoso (1970) keinginan politis (political will) yang positif dari negara-negara pemilik modal untuk memberikan hibah dan bantuan keuangan dan teknologi pada negara-negara yang belum atau sedang berkembang seringkali hanya diutamakan pada sektor-sektor tertentu yang dianggap strategis oleh negara-negara donor tersebut. Oleh karena itu, negara penerima bantuan pada akhirnya menjadi lebih tergantung lagi kepada negara-negara
pemberi donor
Paradigma ketergantungan sebagai perangkat analisis mencoba menjawab mengapa bantuan yang sudah begitu besar yang diberikan oleh negara-negara dunia pertama tidak memberikan hasil yang bermakna (significant) pada proses pembangunan dunia ketiga dan mengapa masih banyak negara yang belum ataupun sedang berkembang, terutama di Amerika Selatan, yang belum mampu mengelola pembangunan negara mereka tanpa memberikan dukungan oleh negara-negara donor. Paradigma ini menunjukkan bahwa munculnya sifat ketergantungan merupakan penyebab terjadinya keterbelakangan masyarakat negara berkembang, oleh karena itu untuk membebaskan diri dari keterbelakangan diperlukan adanya upaya pembebasan (liberation) masyarakat dari rantai yang membelenggu mereka. Paradigma ini juga menggambarkan bahwa struktur kerjasama yang bersifat eksploitatif dapat menyebabkan terjadinya stagnasi pembangunan pada negara-negara dunia ketiga.
2.4.1 Teori Pemberdayaan Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun. (2) bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan;
26
(b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Beberapa ahli dibawah ini mengemukakan defenisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan (Suharto 1997:210-224) yaitu : (a) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife 1995). (b) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengn mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons 1994). (c) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin 1987). (d) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas
diarahkan
agar
mampu
mengusai
(atau
berkuasa
atas)
kehidupannya (Rappaport 1984). Payne (1997:h.266) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan guna : to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to excercising exiting power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to dients. (membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya).
27
Shardlow (1998:h 32) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai Pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau
komunitas
berusaha
mengkontrol
kehidupan
mereka
sendiri
dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dilanjutkan oleh Ife (1995:61-64) dimana dikatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: (a) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan. (b) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya. (c) Idea atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. (d) Lembaga-lembaga:
kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan. (e) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. (f) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa. (g) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjukkan pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
28
bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Rappaport 1987 p.122 diacu dalam Suharto (1997)
mengatakan
pemberdayaan
dapat
didefinisikan
sebagai
sebuah
proses/mekanisme di mana sekelompok orang, organisasi atau masyarakat memiliki penguasaan atas masalah yang dialami. Menurut Kieffer (1981) pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Sementara itu Suharto (1997:215), Persons (1994:1006) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada : • Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar. • Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain. • Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Persons et.al.1994:106). Menurut
pendapat
Suharto
(2004),
keberhasilan
pemberdayaan
masyarakat dapat dilihat dari keberadaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan cultural dan politis. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, meso, dan makro. Ketiga asas tersebut diuaraikan sebagai berikut: • Asas Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress managemen, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam
29
menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). • Asas Meso. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. • Asas Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto 1997:218-219): • Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat cultural dan struktural yang menghambat. • Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Pemberdayan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. • Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya
30
persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. • Penyokong: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu
menjalankan
peranan
dan
tugas-tugas
kehidupannya.
Pemberdayaan harus menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. • Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan
yang
memungkinkan
setiap
orang
memperoleh
kesempatan berusaha. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976); Rappaport (1981, 1984); Pinderhughes (1983); Swit (1984); Swift dan Levin (1987); Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto 1997:216-217), yaitu: • Pemberdayaan adalah proses kolaboratif. Karenanya pekerja sosial dan masyarakat harus bekerjasama sebagai partner. • Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai actor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan. • Masyarakat harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan. • Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat. • Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari factor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut.
31
• Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang. • Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. • Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. • Pemberdayaan
melibatkan
akses
terhadap
sumber-sumber
dan
kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif. • Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi. • Pemberdayaan
dicapai
melalui
struktur-struktur
personal
dan
pembangunan ekonomi secara paralel. Syarat berlangsungnya proses pemberdayaan: (1) anggota masyarakat memiliki rasa kemasyarakatan (sense of community/guyub/kebersamaan) dan mereka aktif berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. (2) Partisipasi warga, yaitu suatu proses dimana tiap individu ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dalam lembaga, program dan lingkungan dimana mereka berada. Asumsi teori pemberdayaan: (1) pemberdayaan memiliki bentuk yang berbeda untuk (sekelompok) orang yang berbeda. (2) pemberdayaan memiliki bentuk yang berbeda dalam situasi berbeda. (3) pemberdayaan berfluktuasi atau berubah sesuai dengan perubahan waktu. Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental yang tangguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pemberdayaan adalah pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang ada dalam diri kita (inner space), orang lain dianggap penting dan masyarakat sekitar. Pada dasarnya pemberdayaan diletakan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis control
32
individu terhadap keadaan social, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dengan demikian dapat dikatakan pemberdayaan adalah memberikan masyarakat sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi komunitas. Sutomo (2003) mengatakan bahwa pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Selanjutnya Sutomo (2003) berpendapat bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok), karena proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial atau status hiraki lain yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, kemampuan individu senasib untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif. Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh dan kuat (Ditjen P3K 2003). Selanjutnya DKP (2003) mendefenisikan pemberdayaan adalah sebuah pernyataan tentang kesanggupan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemberdayaan sebagi proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orangorang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya bahkan merupakan suatu keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lain dalam rangka mencapai tujuan mereka. Dari konsep pemberdayaan tersebut, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk memanfaatkan dan mengelolah sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan lestari sebgai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka.
33
Menurut Usman (2004) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses dalam bingkai usaha memperkuat apa yang lazim disebut community self reliance atau kemandirian. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources yang dimiliki dan dikuasai. Sedangkan, Suharto (2005) menyatakan, bahwa tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat
kekuasaan masyarakat
adalah
memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi eksternal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Adapun ciri-ciri masyarakat yang berdaya menurut Sumardjo (2006) adalah: 1. Mampu memahami diri dan potensinya 2. Mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya sendiri. 3. Memiliki
kekuatan
untuk
berunding,
bekerjasama
secara
saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai. 4. Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Sedangkan ciri lain dari masyarakat yang berdaya juga disampaikan oleh Suhendra (2006) yaitu: 1. Mempunyai kemampuan menyiapkan dan menggunkaan pranata dan sumber-sumber yang ada dimasyarakat. 2. Dapat berjalannya bottom up planning. 3. Kemampuan dan aktivitas ekonomi. 4. Kemampuan menyiapkan hari depan keluarga. 5. Kemampuan menyampaikan pendapat dan aspirasi tanpa adanya tekanan.
2.4.2 Teori Disparitas Disparitas pembangunan terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan
34
pusat aktivitas ekonomi, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliput i nilai dan tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi, kewirausahaan. Sedangkan faktor keputusan kebijaksanaan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung terjadinya disparitas (United Nations 2001). Selanjutnya diketahui beberapa kasus kesenjangan struktural dalam pembangunan antara lain dalam hal kesempatan kerja; kesempatan pendidikan; pelayanan kesehatan; jam kerja; disparitas kotadesa, sektor formal-informal; disparitas daerah; disparitas antar kelompok penduduk; disparitas sektoral; disparitas kekayaan; disparitas kebijakan; diskriminasi dan nepotisme dan disparitas kemampuan. Sedangkan menurut Selo Soemarjan (1961) kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan mengakibatkan pembangunan yang timpang dan tidak seimbang, dimana satu sektor berkembang jauh lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Dalam hal dimana sektor ekonomi mendapatkan prioritas tertinggi dalam program pembangunan, para perencana kebijakan cenderung untuk demikian memusatkan perhatian pada factor-faktor ekonomi sehingga mereka lupa memberikan perhatian secukupnya pada segi-segi non ekonomi yang
menunjang. Penekanan yang berlebih-lebihan pada
pembangunan ekonomi seraya mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial atau dengan kata lain terlalu mengutamakan salah satu sektor ekonomi akan menciptakan
ancaman
bom waktu
psikologis
dan
politis
yang
dapat
menghancurkan hasil-hasil pembangunan. Sebab jurang perbedaan dalam pembangunan sektor-sektor dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan dan rasa tidak puas yang selanjutnya akan mengundang reaksi-reaksi politis atau psikologis yang merugikan pembangunan ekonomi. Ketimpangan distribusi pendapatan
menurut indeks ketimpangan
berdasarkan formula Bourguignon atau disebut L-Indeks menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan banyak diakibatkan oleh ketimpangan didalam masing-masing sektor-ekonomi bukan ketimpangan antar sektor. Ini mengandung implikasi kebijaksanaan bahwa upaya perbaikan distribusi pendapatan haruslah dititikberatkan didalam
masing-masing sektor ekonomi (Sritua 1993). Lebih
lanjut pula diketahui isu utama masalh pembangunan regional dewasa ini selain keberlanjutan (sustainabilty) adalah disparitas atau kesenjangan yang meliputi: (1)
35
disparitas antar wilayah, (2) disparitas anatar sektor ekonomi dan (3) disparitas antar golongan masyarakat/individu. Sedangkan disparitas regional oleh Murty (2000) diartikan sebagai ketidakseimbangan pertumbuhan antara sektor primer, sekunden, tertier, dan atau sektor sosial disuatu negara, distrik, atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Setiap negara, apakah negara maju atau negara berkembangan, negara pertanian atau industri, negara besar atau kecil mempunyai wilayah yang maju dan tertinggal secara ekonomi. Adalah penting untuk menghubungkan pola pembangunan ekonomi regional dengan beragam variabel fisik dan sosial ekonomi untuk mengidentifitasi variabel mana yang mempunyai pengaruh terbanyak terhadap pola pertumbuhan. Dikatakan oleh Williamson (1975) ketidakmerataan antar regional berhubungan dengan proses pembangunan nasional
berdasarkan
hasil
penelitian
empirisnya
terhadap
sifat-sifat
ketidakmerataan secara spasial didalam suatu batas wilayah nasional. Tidak heran jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dan daerah miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua w\ilayah tumbuh pada tingkat presentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi diantara unit-unit regional dengan negara makin kuat dibanding Mempertahankan
asumsi
klasik
faktor
antara daerah-daerah itu sendiri. mobilitas
internal
cenderung
menghilangkan perbedaan pendapatan per kapita antara region, dualisme geografis, dan polaritas spasial. Dalam kondisi fator-faktor mobilitas yang bebas, dan ekstraksi dari biaya trasnportasi, ketidakmerataan secara spasial dapat terjadi melalui ketiadaan penyesuaian secara dinamis. Ketidakmeratan secara spasial, daerah yang tertekan, dan daerah tertinggal tampaknya tetap ada berkaitan dengan tidak adanya aliran faktor internal dengan kecepatan yang cukup untuk menyeimbangkan kondisi dinamis yang asli yang menyebabkan pertambahan sumberdaya lebih cepat dan perubahan tehknologi dalam daerah yang kaya (cenderung meningkatkan ketidakmerataan). Menurut Murty (2000) proses penyebab disparitas yang pertama tersebut adalah faktor ekonomis yakni perbedaan faktor produksi secara kulaitatif dan kuantitatif seperti tanah, tenaga kerja, modal, organisasai dan perusahaan. Penyebab kedua adalah proses kumulatif dari berbagai faktor yang menyebabkan ekonomi yang sudah maju terus berkembang dan ekonomi yang tidak berkembang
36
terus memburuk kecuali jika pemerintah turut campur dalam menciptakan skema pemerataan antar regional. Proses kumulatif yang pertama dimulai oleh siklus kemiskinan yang ganas. Ada dua jenis siklus dalam perekonomian yang tertinggal, antara lain: (a) Siklus yang dibentuk oleh sumberdaya yang belum dikembangkan dan keterbelakangan penduduk yang berpengaruh satu dengan yang lain. (b) Siklus kedua yaitu meliputi ketertinggalan penduduk, standart hidup yang rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, tingkat pekerjaan rendah, dan ketertinggalan penduduk. Faktor-faktor ini terjadi dan saling bereaksi satu terhadap yang lain sedemikian rupa sehinga menetap dalam suatu daerah dan menjadi proses penurunan kumulatif. Di lain pihak lain, terjadi siklus kemakmuran di wilayah yang berkembang. Penduduk yang maju, strandar hidup yang tinggi, efisiensi yang lebih baik, produktifitas yang tinggi, produksi yang lebih banyak, pendapatan lebih, konsumsi lebih banyak, investasi yang lebih tinggi, penggunaan tenaga kerja lebih banyak, dan lebih lagi penduduk yang progresif memulai proses kemajuan secara kumulatif, dan akhirnya kesenjangan anatar dua daerah makin meningkat. Menurut Suhyanto (2005), disparitas wilayah berarti perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah ini dapat terletak pada perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, perkembangan
infrastruktur,
pendidikan,
pelayanan
kesehatan,
fasilitas
perumahan dan sebagainya. Sedangkan menurut Anwar (2005) dikatakan beberapa hal terjadinya disparitas anatar wilayah adalah (1) perbedaaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); (2) perbedaan demografi; (3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); (4) perbedaan potensi lokasi; (5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan (6) perbedaan dari aspek potensi pasar. Faktor-faktor menyebabkan perbedaan karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya yaitu: (a) wilayah maju; (b) wilayah sedang berkembang; (3) wilayah belum berkembang dan (4) wilayah tidak berkembang. Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah atau daerah menurut Rustiadi et al. (2003), secara umum disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
37
(1) Geografi Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada kedalam fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila factor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan kondisi geografi yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan baik. (2) Sejarah Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem intensif terhadap kapasitas kerja. (3) Politik Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan disuatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan ketidakpastian di berbagai bidang terutama ekonomi. Ketidakpastian akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal keluar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang stabil. (4) Kebijaksanaan Pemerintah Terjadinya disparitas antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hamper disemua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. (5) Administrasi Disparitas wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrassi yang efisien.
38
(6) Sosial Budaya Masyarakat
dengan
kepercayaan-kepercayaan
primitif,
kepercayaan
tradisional dan nilai-nilai sosial cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relative maju umumnya memilik institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembangan. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab disparitas wilayah. (7) Ekonomi Faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah yaitu: a. Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti; lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. b. Terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan \, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, penangguran meningkat. Sebaliknya wilayah yang maju; masyarakatnya naju, standar hidup tinggi efisiensi lebih baik, produktifitas tinggi, pendapatan tinggi, konsumsi semakin tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju. c. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti; tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi, seperti; industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah yang lebih maju. d. Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.
2.5
Konsep Tingkat Kesejahteraan Pareto optimal adalah tingkatan kesejahteraan ekuilibrium positif. Artinya
tingkat kesejahteraan tidak bisa ditingkatkan lagi untuk seluruh anggota masyarakat tanpa mengorbankan kesejateraan sekaligus masyarakat lainnya. Disebut ekuilibrium positif karena tidak mempersoalkan kesejahteraan rendah dengan kesejahteraan dengan kesejahteraan tinggi sebagai pilihan baik atau tidak, sedangkan kriteria Kaldor-Hicks menyatakan bahwa kesejahteraan yang tinggi pada pareto optimal dapat dikorbankan untuk meningkatkan kesejahteraan yang
39
rendah apabila jumlah penduduk dengan kesejahteraan rendah lebih banyak (komunikasi personal Sahat Simanjuntak 2010). Kesejahteraan adalah suatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap faktor-faktor
yang
menentukan
tingkat
kesejahteraan.
Konsep
tentang
kesejahteraan juga berkaitan dengan konsep tentang kemiskinan. Sedangkan menurut Sukirno (1985) kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbedabeda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Biro Pusat Statistik (1991) juga menyatakan
bahwa
kesejahteraan
bersifat
subjektif,
sehingga
ukuran
kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain, namun pada prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Jika kebutuhan dasar bagi individu atau keluarga sudah dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan individu atau keluarga tersebut sudah tercapai. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa, kesejahteraan sosial adalah suatu kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Menurut BKKBN (1996) diacu dalam Supriatna (2000) yang disebut keluarga sejahtera adalah (a) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama; (b) keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarganya, dan (c) keluaarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, berkehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk, di samping terpenuhi kebutuhan pokoknya.
40
2.5.1 Klasifikasi dalam tingkat Kesejahteraan. Menurut Sayogvo (1977) klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran perkapita pertahun yang diukur dengan nilai beras setempat yaitu: a. Miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dan setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg untuk daerah kota. b. Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dan setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg untuk daerah kota. c. Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dan setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg beras untuk daerah kota. Tingkat kesejahteraan keluarga menurut BKKBN (1996) diacu dalam Primayudha (2002) adalah sebagai berikut: a. Keluarga Pra Sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan. b. Keluarga Sejahtera tahap I (S-I) adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keluarga Berencana (KB). c. Keluarga Sejahtera tahap II (S2) adalah keluarga di samping telah memenuhi kebutuhan dasar juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi. d. Keluarga Sejahtera Tahap III (S-3) adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif dimasyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga dan pendidikan. e. Keluarga Sejahtera tahap III plus (S-3+) yaitu keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah memberikan sumbangan yang berkelanjutan bagi masyarakat.
41
Tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana nasional (1996) diacu dalarn Primayudha (2002) adalah sebagai berikut: a. Keluarga Pra sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan. b. Keluarga Sejahtera tahap I (S-I) adalah keluarga yang telah memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya seperti pendidikan, Keiuarga Berencana (KB). c. Keluarga Sejahtera tahap II (S2) adalah keluarga disamping telah memenuhi kebutuhan dasar juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi. d. Keluarga Sejahtera Tahap III (S-3) adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan pengembangannya akan tetapi belum dapat memberikan sumbangan untuk masyarakat, berperan secara aktif dimasyarakat dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya. e. Keluarga Sejahtera tahap III plus (S-3+) yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kehutuhannva balk yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta telah pula member ikan sumbangan yang berkelanjutan bagi masyarakat.
2.5.2 Indikator Tingkat Kesejahteraan Menurut BPS (1993) ada beberapa hal yang merupakan komponen utama yang digunakan dalam mengambarkan tingkat kesejahteraan atau taraf hidup masyarakat antara lain: a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sering dijadikan sebagai indikator kemajuan suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan
42
dasar yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Variabel yang menjadi ukuran dalam pendidikan adalah tingkat buta/melek huruf, jumlah anak yang putus sekolah dan jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah (BPS 2007). b. Tingkat Kesehatan Tingkat kesehatan juga dapat dipakai sebagai ukuran kesejahteraan seseorang. Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan yang bergizi, karena hal ini berhubungan dengan tingkat harapan hidup masyarakat. Jumlah kematian bayi dan ibu hamil adalah bagian dari variabel tingkat kesehatan (BPS 2007). c. Kondisi Fasilitas tempat tinggal yang dimiliki. Perumahan adalah salah satu dasar yang penting selain makanan dan pakaian untuk mencapai kehidupan yang layak. Rumah pada saat ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat berteduh, tetapi sudah mencerminkan kehidupan rumah tangga masyarakat. Oleh karena itu, harus ditangani secara serius baik instansi swasta berkepentingan maupun pemerintah karena masih banyak masyarakat ekonomi lemah yang belum memiliki rumah memadai. Program yang dilaksanakan tertuang dalam program penyehatan lingkungan yang bertujuan menjaga, menciptakan serta melestarikan keadaan lingkungan sehat, bersih dan aman (BPS 1993). d. Tingkat Daya beli Indikator yang digunakan untuk melihat Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat berdasarkan tingkat daya beli masyarakat adalah tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat konsumsi. Menurut BPS (1998) pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota rumah tangga ekonomi. Pendapatan itu sendiri terdiri dan atas: (1) Pendapatan dan upah gaji yang mencakup upah gaji yang diterima seluruh anggota rumah tangga ekonomi yang bekerja sebagai buruh dan merupakan imbalan bagi pekerjaan yang dilakukan untuk suatu perusahaan berupa uang maupun barang dan jasa., (2) Pendapatan dan hasil usaha seluruh anggota rumah tangga yang berupa pendapatan kotor yaitu selisih jual barang dan jasa yang diproduksi dengan biaya produksinya. (3) Pendapatan lainnya yaitu pendapatan diluar gaji/upah
43
yang menyangkut: (i) perkiraan sewa rumah milik sendiri, (ii) bunga, deviden, royalti, paten, sewa, kontrak, lahan, rumah, gedung, bangunan, peralatan, (iii) buah hasil usaha (hasil sampingan yang dijual), (vi) pensiunan dan klaim asuransi jiwa, (v) kiriman famili/pihak lain secara rutin, ikatan dinas dan beasiswa. Konsumsi terhadap makanan, minuman dan tembakau, kelompok padipadian, ikan daging. telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya serta makanan dan minuman jadi. Selain itu Konsumsi untuk barang-barang bukan makanan terdiri dan perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang, jasa, pakaian, alas kaki, serta barang tahan lama.
2.6
Analisis Keberlanjutan Berdasarkan UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil dikatakan bahwa asas keberlanjutan diterapkan agar: (1) pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya nonhayati pesisir; (2) pemanfaatan sumber daya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber daya pesisir; dan (3) pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. Masih banyak perdebatan mengenai bagaimana mendefenisikan keberlanjutan, dan konsep terkait lainnya (Pezzey 1989; World Commission on Environment dan Development 1987; Costantza 1991; Pearce dan Atkinson 1993). Banyak
pembahasan
yang
salah
dalam
mendefenisikan
konsep
keberlanjutan karena: (1) tidak memperhitungkan kisaran waktu dan skala ruang dimana konsep tersebut harus diaplikasikan; dan (2) gagal menyadari masalah riil yang terkait dengan prediksinya dibandingkan defenisinya. Sedangkan Costanza dan Patten (1995) mengemukakan defenisi yang relative kuat mengenai keberlanjutan: “Suatu sistem keberlanjutan adalah suatu sistem terbarukan (renewable system) yang bertahan selama beberapa waktu tertentu (bukan selamanya). Secara biologis, ini berarti sumberdaya dihindari dari kepunahan.
44
Secara ekonomi, ini berarti pengguna sumberdaya manusia menghindari gangguan dan kehancuran dan dapat bertahan terhadap ketidakstabilan dan diskontinuitas. Keberlanjutan, pada intinya selalu masalah waktu, dan pada khususnya lama hidup (ketahanannya ada). Dawkins
(1982)
mengungkapkan
bahwa
penetapan
keberhasilan
keberlanjutan relative terkadang hanya dapat dilakukan setelah faktanya terjadi. Penilaian keberlanjutan relative juga harus menunggu sampai masa mendatang, tetapi kita telah membiaskan outcome ini. Disamping banyaknya kesulitan dalam mendesain sistem sumberdaya berkelanjutan, terdapat banyak contoh, mengenai sumber daya alami yang terbukti efektif dan berkelanjutan terhadap waktu (Gibson et al. 2000; Ostrom 1990; Bromley et al. 1992; Lam 1998). Beberapa dari contoh ini membutuhkan periode waktu yang lama dimana pelaku manusia telah lebih banyak belajar mengenai bagaimana ekosistem local bereaksi terhadap beragam strategi permanen dan investasi. Sistem regulasinya seringkali Nampak kompleks dan tidak sensitive terhadap pengamat ekserternal. Upaya dalam membangun kebijakan regulasi sederhana untuk area yang luas seringkali mengancam keberlanjutan sumberdaya alam dan sistem pengaturan yang sebelumnya efektive (Atran 1993; McCay dan Acheson 1987; Wilson 1990) yang lebih penting, ketika sistem lokal digantikan oleh praktek manajemen nasional atau internasional, ekosistem lokal seringkali akan menderita (Finlayson dan McCay 1998; Arnold 1998). Penyelesaiannya adalah menyesuaikan ekosistem dan sistem pengaturannya untuk memaksimalkan kompabilitas antara dua tipe sistem ini.
2.7
Evaluasi Evaluasi adalah kegiatan rutin dari perencanaan dan implementasi
manajemen secara adaptif (Adrianto 2007). Secara umum evaluasi berisi review apakah hasil dari aksi yang telah dilakukan dalam kerangka perencanaan program PEMP telah mencapai tujuan yang diharapkan. Selanjutnya evaluasi menurut UNDP (2000) diacu dalam Adrianto (2007) mendefinisikan sebagai upaya selektif yang dilakukan untuk memperkirakan pencapaian kemajuan dari implementasi sebuah program secara sistematik dan berorientasi tujuan kegiatan/program.
45
Adapun tujuan evaluasi ini adalah analisis mendalam terhadap hasil dan keluaran dari program serta menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan program. Hasil dari evaluasi ini digunakan untuk perencanaan masa depan. Adapun ruang lingkup dari evaluasi meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. Status hasil (outcome status), yaitu seberapa besar dampak dari kegiatan, bukan keluaran; 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sistem; 3. Kontribusi organisasi pelaksana sistem; dan 4. Strategi kemitraan Dari sudut waktu pelaksanaan, evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Formative Evaluation, yaitu evaluasi yang dilakukan selama proses implementasi program dimana indikator kinerja diidentifikasi dan dikembangkan dengan tujuan program. Hasil evaluasi ini dijadikan dasar bagi pengambilan tindakan perbaikan selanjutnya (Adrianto 2007). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) diacu dalam Adrianto (2007) ada beberapa pendekatan evaluasi yang dapat dilakukan yaitu: Pendekatan evaluasi kinerja, evaluasi proses, identifikasi kapasitas pengelolaan, dan evaluasi hasil (outcomes). Penelitian ini lebih melihat pada pedekatan: (1) evaluasi kinerja artinya evaluasi ini didesain untuk menentukan kualitas implementasi dari aktifitas tertentu dan tingkat pencapaian tujuan. Dalam evaluasi ini, akuntabilitas, pengendalian kualitas dan kerangka acuan adalah fokus pendekatan ini. (2) pendekatan evaluasi Hasil yaitu Evaluasi terhadap dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari implementasi ko manajemen perikanan (Pomeroy dan Rivera-Gieb 2006 diacu dalam Adrianto 2007).
2.8
Program PEMP Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dikucurkan
sebagai prioritas dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), penggalangan partisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan berkelanjutan.
46
Program PEMP dirancang untuk tiga periode pertama tahun 2001-2003, merupakan periode inisiasi dengan fokus pada penggalangan partisipasi dan penyadaran masyarakat, serta perintisan kelembagaan dengan mendirikan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) yang sejatinya dibentuk sebagai cikal bakal holding company untuk memayungi aktivitas ekonomi masyarakat pesisir. Pada periode ini program PEMP terutama ditujukan untuk mengatasi dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran Dana Ekonomi Produktif (DEP). Hasil yang dicapai pada periode ini adalah tersalurkannya kredit kepada masyarakat nelayan sebanyak 59.64%, pembudidaya ikan 11.26%, dan masyarakat pesisir lainnya (pengolahan & Bakul) 29.10% dan telah terjadi peningkatan pendapatan nasabah dari Rp. 365.312 menjadi Rp. 860.158 perbulan. Periode kedua tahun 2004-2006 merupakan periode institusionalisasi. Dalam kurun waktu tiga tahun periode ini, program difokuskan pada revitalisasi kelembagaan melalui peningkatan status LEPP-M3 menjadi berbadan hukum koperasi. Pada periode institusionalisasi, berdasarkan data dari 52 Swamitra Mina Online menunjukkan bahwa 67% sasaran PEMP berkaitan langsung dengan sektor perikanan dan 33% tidak terkait langsung, seperti tukang ojek, bengkel, pengelolahan makanan dan minuman, warung makanan dan keperluan sehari-hari masyarakat pesisir. Periode ketiga tahun 2007-2009, merupakan periode diversifikasi usaha, yang merupakan perwujudan cita-cita LEPP-M3 untuk menjadi holding company. Pada periode ini mulai dibentuk unit-unit usaha yang bernaung dibawah LEPP-M3 yang telah berbadan hukum koperasi. Sampai dengan tahun 2007, telah terbentuk 281 koperasi pesisir yang tersebar di 289 kabupaten/kota berpesisir. Dan di tahun 2008, diharapkan program PEMP dapat menjangkau 293 Kabupaten/Kota berpesisir di Indonesia. Pelaksanaan program ini diawali dengan Pilot Project yang dilaksanakan oleh BAPPENAS pada tahun 2000 di 26 kabupaten/kota, selanjutnya pada tahun 2001 hingga saat ini. Secara khusus, PEMP bertujuan untuk:
47
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir. 2. Menciptakan lapangan kerja, dan kesempatan berusaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan. 3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan. 4. Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya. 5. Mendorong
terwujudnya
mekanisme
manajemen
pembangunan
yang
partisipatif dan transparan dalam kegiatan masyarakat. Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengelolah ikan dan usaha jasa/kegiatan yang berkaitan dengan
perikanan
dan
kelautan,
yang
kurang
berdaya
dalam
peningkatan/penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat “charity” (hadiah), melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus dikembangkan dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait. Program ini menggunakan model pengembangan usaha yang bersifat perguliran/revolving yang dilakukan setelah ada keuntungan dan usaha kelompok telah kuat. Pinjaman modal melalui dana ekonomi produktif masyarakat yang diterima oleh sasaran wajib untuk dikembalikan agar terjadi perguliran kepada masyarakat pesisir lainnya yang membutuhkan serta terpilih sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Dengan kata lain dana yang digulirkan bukan berasal dari modal pokok melainkan dari keuntungan yang telah diperoleh kelompok. Dasar dari pemikirannya adalah: 1.
Sasaran yang dibangun adalah masyarakat pesisir dan wilayahnya (desanya).
2.
Tidak semua orang miskin dapat dibantu melalui kegiatan ekonomi, seperti anak yatim dan orang jompo.
48
3.
Tidak semua masyarakat pesisir mempunyai minat untuk berusaha dibidang perikanan dan laut.
4. Sumber daya laut dan pesisir tidak akan mampu menampung seluruh masyarakat pesisir untuk melakukan aktivitas ekonomi laut. 5. Orang atau kelompok yang sudah pernah mendapatkan pinjaman program diharapkan tidak melepaskan diri setelah berhasil karena partisipasinya tetap diharapkan dalam membangun masyarakat dan wilayahnya (desanya) melalui dana sosial dan dana pengembangan yang dihasilkan. 6. Keberadaan kelompok atau anggota yang sedang menjalankan kegiatan PEMP diharapkan dapat memberi
manfaat kepada anggota/kelompok
masyarakat yang tidak atau belum memperoleh kesempatan mengikuti program PEMP. 7. Modal selalu menjadi masalah pada pengembangan usaha masyarakat pesisir dan pembangunan infrastruktur didesanya. Sementara itu, keuangan pemerintah pusat terbatas maka model ekonomi yang dikembangkan harus dilakukan kegiatan pemupukan. Melalui program PEMP diharapkan dapat dikembangkan budaya pemupukan modal agar masyarakat nelayan mampu menyisihkan sebagian hasil usahanya untuk pengembangan usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Tabungan masyarakat nelayan dimulai dari tabungan kelompok. Setiap kelompok diharapkan membuka rekening di bank. Selanjutnya, jika tabungan kelompok sudah berjalan dengan baik, diharapkan setiap anggota kelompok dapat mengembangkan usahanya secara mandiri dan pada gilirannya setiap nelayan mempunyai rekening di Bank. Dampak yang bersifat kualitatif dari program PEMP disamping peningkatan budaya menabung adalah peningkatan budaya kelompok, kesadaran menjaga kualitas lingkungan dan sumberdaya ikan berupa adanya kesepakatan untuk melarang kegiatan penangkapan yang merusak (seperti penggunaan potassium dan bom), dan berkurangnya penyakit sosial (seperti mabuk dan judi). Dana disalurkan ke daerah penerima program PEMP dengan sistem blok grant. Dana ini dimanfaatkan sebagai Dana Ekonomi Produktif (DEP)
49
yang disalurkan kepada Kelompok Masyarkat Pemanfaat (KMP) dengan sistem bergulir. Program PEMP pada prinsipnya merupakan upaya dari seluruh pihak yang terlibat di dalamnya sehingga keberlanjutan dan pengembangan pasca kegiatan tahun anggaran berjalan (KTAB) merupakan tanggung jawab Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten /Kota. Lebih lanjut program PEMP perlu didukung melalui program Pemberdayaan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir. AdapunStruktur kelembagaan pasca KTAB diarahkan pada upaya penumbuhan kemandirian koperasi dan masyarakat pesisir. Oleh karena itu kegiatan pembinaan tetap diperlukan pada pasca KTAB. Pendampingan pada pasca KTAB dilaksanakan oleh koperasi dan atau Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 2008). Model Pengembangan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dapat dilihat pada Gambar 4. (Identifikasi Potensi dan Pengembangan) Penyusunan Program Pengembangan
Analisis Data
• SDA & SDM • Kegiatan Usaha Perikanan • Sarana dan Prasarana • Kelembagaan Sosial
Program Ekonomi
• Ekonomi
Program Sosial
Implementasi Program
Program Lingkungan dan Infrastruktur
• Pemilihan Peserta • Pelatihan • Pelaksanaan kegiatan Ekonomi • Pelaksanaan Kegiatan Sosial, Lingkungan & Fasilitas • Penguatan Kelembagaan Sosial Ekonomi
Sosialisasi Program
Pendampingan
Monitoring dan Evaluasi
Gambar 4 Model Pengembangan PEMP (DKP 2003)
50
Sedangkan struktur kelembagaan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dimulai dari pusat instansi terkait dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan yang selanjutnya diturunkan ke Dinas Provinsi sebagai konsultan manajemen Kota/Kabupaten yaitu tenaga pendamping. Kemudian dari Dinas Kota/Kabupaten
melanjutkan
kekelembagaan
ekonomi
yang
merupakan
perwakilan dari kelompok penerima manfaat yang akhirnya disalurkan ke kelompok-kelompok penerima manfaat. Secara organigram dapat dilihat pada gambar 5. Intansi terkait
Departemen Kelautan dan Perikanan
Dinas Provinsi
BAPPEDA
Dinas Kota/Kabupaten
LEPP-M3 CAMAT
• Wakil KMP • Profesional
Mitra Desa : • Aparat Desa • Tokoh Masyarakat/Agama
Kelompok A
Konsultan Manajemen Kota/Kabupaten Mitra Pengembangan : • Pengusaha • Lembaga Keuangan • Perguran tinggi Pendampingan (TPD)
Kelompok B
• KCD/PPL DKP KMP 1 KMP 2 KMP 3 …… KMP
Gambar 5 Struktur Kelembagaan PEMP (DKP 2003)
51
2.9
Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi
lain, disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Penelitian Terdahulu Peneliti dan Tahun
Judul
1
2
Sutomo (2003)
Evaluasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (Studi Kasus Program PEMP di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah)
Sumber Literatur Alat Analisis 3
- Analisis finansial - Net present value - Internal rate of return - Net benefit cost ratio - Pay back period
Hasil yang Diperoleh 4
- Belum tencapainya hasil yang optimal sesuai konsep program PEMP yaitu mencapai masyarakat yang berdaya dari aspek ekonomi, budaya, dan tercapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang optimal dan berkelnjutan - Pelaksana program kurang memahami konsep pemberdayaan masyarakat pesisir - Output, outcome dan impact positif suatu
proyek kurang diperhatikan pada level daerah. Terbukti input, proses, masih memiliki persentase nilai 50%, tetapi output, outcome dan impact program tidak signifikan dengan harapan proyek tersebut. - Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usaha purse seine tidak layak pada usaha program PEMP sedangkan usaha pukat tali
52
Tabel 1 (lanjutan) (gill net) layak secara finansial tetapi tidak begitu mnampak perannya dalam memberdayakan masyarakat penerima PEMP - Minimnya hasil (outcome) dan dampak
Indra Cahyadinata (2005)
Analisis Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kota Bengkulu
- Analisis Implementasi PEMP - Analisis Tingkat Pengembalian dan Perguliran Dana - Analisis Pendapatan dan Biaya-Manfaat - Analisis SWOT - Analisis MAHP
(impact) program terhadap masyarakat penerima PEMP maupun masyarakat sekitar desa penerima PEMP. - Pengelolaan input SDM kurang optimal - DEP PEMP belum mampu meningkatkan skala usaha masyarakat dan akibat tingkat pengembalian yang rendah, LEPP-M3 dan Mitra Kelurahan tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk menjalankan tugasnya. - Manfaat yang diperoleh anggota KMP lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk melakukan usaha. - Alternatif pendekatan program PEMP adalah peningkatan skala usaha masyarakat, pembinaan masyarakat pesisir (program pendampingan), peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan dan menciptakan iklim usaha yang kondusi.
53
Tabel 1 (lanjutan) R. Drajat Subagio (2007)
Analisis Dampak Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) terhadap Pendapatan Anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) di Kabupaten Subang dan Cirebon
- Analisis Deskriptif Univariat - Wilcoxon signed rank test - Analisis regresi berganda
- Secara agregat, program PEMP mampu memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pendapatan (pada taraf <5%) - Di daerah Subang, program PEMP memberikan dampak nyata (pada taraf <5%) terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata pencaharian petambak dan pedagang - Di daerah Cirebon, program PEMP memberikan dampak nyata (pada taraf <5%) terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata pencaharian petambak dan pengelolah - Program PEMP tidak memberikan dampak nyata (pada taraf <5%) terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata pencaharian nelayan di Subang maupun Cirebon - Persepsi pada kecakapan berbisnis dan mata pencaharian sebagai pedagang memberikan pengaruh nyata pada taraf <5% terhadap peningkatan pendapatan.
54
Tabel 1 (lanjutan) Nurmayanti (2006)
Analisis Dampak pelaksanaan Program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyrakat Pesisir) di Kota Tarakan-Kalimantan Timur)
- Analisis Implementasi PEMP - Analisis Deskriptif Tabulasi Interprestasi - Analisis Tingkat Pengembalian dan Perguliran Dana Ekonomi Produktif - Analisis Pendapatan dan Biaya Manfaat - Analisis MAHP
- Capaian kinerja TPD dan KMP adalah sebesar 94% atau merupakan capaian kinerja tertinggi dalam pelaksanaan program, berturut-turut capaian kinerja dari yang tertinggi ke yang terendah adalah LEP-M3 (84%), Kadis (81%), KM (73%) dan Mitra Desa (69%) - Hasil input, output, outcome dan impact menunjukkan bahwa program PEMP telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan anggota KMP, walaupun belum memberikan hasil yang optimal - Nila NPV sebsar 14.754.998,68 > 0, dan IRR sebesar 15% artinya program PEMP di Kota Tarakan menunjukkan hasil yang positif atau nyata
55
Tabel 1 (lanjutan) Sitti Bandjar (2009)
Bulkis Strategi Peningkatan Mutu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Kepulauan Aru
- Metode MDS dan RAPFISH - Metode Analytical Hierarchy Proscess (AH) - Metode Logical rame Approach (LA)
- Kinerja program secara menyeluruh mencapai nilai 59,08 atau tergolong ”cukup” dengan demikian maka status keberlanjutannyapun berada pada kategori ”cukup”, berdasarkan analisis MDS - Hasil analisis RAPHISH menunjukkan adanya kecenderungan; kelembagaan PEMP belum berjalan sesuai dengan tujuan dan sasarannya - Pemahaman dan persepsi pemangku kepentingan yang cenderung negatif terhadap konsep dan prinsip program PEMP. - LA dalam RAPFISH menunjukkan bahwa status kinerja program PEMP per elemen sangat dipengaruhi oleh TPD. Koperasi LEP-M3 dan Bank pelaksana.
56
Dari beberapa rangkuman hasil penelitian terdahulu yang ditampilkan walaupun bukan pada lokasi yang sama namun dapat diperbandingkan pada rana mana penelitian ini berada. Dari penelitian Sutomo (2003) menekankan dasar evaluasi program PEMP kedepan adalah lebih pada outcome dan impact program dimana diketahui lebih lanjut bahwa proyek yang dianggap berhasil tidak boleh dilihat dari keberhasilan administrasi proyek, tetapi harus lebih pada output, outcome, dan impact
positif terhadap masyarakat yang diberdayakan.
Berdasarkan informasi tersebut, penelitian ini mencoba melihat lebih kepada dampak yang diperoleh dari pemberlakukan program PEMP ini terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir dan keberlanjutannya.
III METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Berawal dari kondisi masyarakat pesisir atau pulau-pulau kecil (PPK) di
Kabupaten Kepulauan Aru yang mana setelah mendapatkan bantuan untuk memberdayakan mereka lewat penyaluran dana bantuan program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) oleh Departemen Perikanan dan Kelautan melalui Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir maka pedoman umum yang dibuat untuk menuntun pelaksanaan PEMP, dirasa cukup untuk pelaksanaan beberapa kegiatan yang telah dilakukan atau diterapkan di Kabupaten Kepulauan Aru dan semua yang dilakukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dalam hal ini PEMP, dianggap sangat membantu perekonomian masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah pesisir, sehingga sangatlah penting untuk mengevaluasi keberlanjutan program ini di Kabupaten Kepulauan Aru selang tiga tahun berjalan. Adapun langkah awal yang akan dilakukan yaitu dengan melihat dampak dari program PEMP terhadap analisis mikro, dimana penulis melihat tingkat kesejahteraan pada level household atau rumah tangga nelayan penerima manfaat program PEMP sebelum dan sesudah menerima dana bantuan PEMP dimulai dari tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008, selain itu analisis makro pastinya berdampak pada level sistem ekologi ekonomi yang turut mempengaruhi kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, lingkungan perikanan atau wilayah pesisir yang diberdayakan akibat program PEMP. Dengan menggunakan analisis perbedaan nilai tengah untuk contoh berpasangan lebih kepada responden sebelum dan sesudah menerima manfaat, sedangkan secara deskriptif akan dipaparkan untuk contoh bebas pada responden yang tidak menerima manfaat (non PEMP) dengan yang menerima manfaat PEMP, hasilnya akan diketahui perbandingan responden tersebut. Analisis Keberlanjutan juga diperlukan dalam mengevaluasi keberlanjutan program ini, menjadi bahan masukan bagi stakholder untuk melaksanakan kebijakan pemerintah daerah yang lebih baik lewat skenario yang dibuat dan dianalisis dengan menggunakan Analisis Multi Criteria Decision
58
Making (MCDM) untuk keberlangsungan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir kedepan di Kabupaten Kepulauan Aru. Dibawah ini terdapat kerangka pemikiran penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 6. Kondisi existing program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru Evaluasi dampak Program
Analisis Dampak Mikro
Analisis Dampak Makro
Level Household
Level Sistem Ekonomi Ekologi
Contoh Bebas
Non PEMP dan PEMP
Analisis Keberlanjutan
Contoh Berpasangan
Sebelum dan Sesudah PEMP
Sebelum dan Sesudah PEMP
Analisis perbedaan Nilai Tengah
Alternatif Kebijakan
Analisis MCDM
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian
3.2
Hipotesis Penelitan Berdasarkan permasalahan diatas serta acuan dari pendapat para ahli dan
teori-teori yang diungkapkan sebelumnya, maka kesimpulan tentative dalam hipotesis sebagai berikut :
59
1. Dengan adanya penyaluran program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru maka akan berdampak positif bagi tingkat kesejahteraan masyarakat. 2. Karena program PEMP saat ini masih bergantung pada subsidi maka tingkat keberlanjutan dari program PEMP rendah. 3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah desa-desa penerima program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di kecamatan Pulau-pulau Aru tepatnya Kelurahan Galaydubu untuk tahun anggaran 2005, dan tahun anggaran 2007 dan tahun 2008 di Kecamatan Aru Tengah tepatnya desa ponom dan desa kwarbola, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku pada bulan Juni – Agustus 2009. Gambar 7, menujukan daerah lokasi penelitian. 135°00'
134°30'
134°00'
P. Werilau
LAUT ARU
LAUT BANDA
5°30'
5°30'
P. Wasir
P. Uji Kecamatan Pulau-Pulau Aru
Î
P. Wadinhun
PP. Watulai
Ue %
Dobo
U %
PP. Karaweira
Benjina
e
6°00'
6°00'
P. Babi
Kecamatan Aru Tengah
PP. Mariri P. Lee
Î
6°30'
6°30'
P. Penambulai
Î
P. Baun
Jerol
U %
P. Workal
Kecamatan Aru Selatan
P. Barakan
P. Mar
Kep. Jin
7°00'
LAUT ARAFURU
P. Kerang
7°00'
P. Jah
P. Enu
Peta Lokasi Penelitian Di Kab. Kepulauan Aru Prov. Maluku N W
E S
10
0
10
20 km
135°00'
134°30'
134°00'
Keterangan : U %
Ibukota Kecamatan
Pelabuhan Bandara Batas Desa di Lokasi Penelitian Sungai Garis Pantai Batas Kecamatan Jalan Desa Lokasi Penelitian : Kwarbola Ponom Galaydubu Siwalima Î e
Peta Indeks :
Elita Maelissa H152070211
P. Halmahera
PAPUA BARAT
P. Seram
LAUT BANDA
Kep. Kei
Gambar 7 Peta lokasi penelitian
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Kep. Aru
Sumber Peta : 1. Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 250.000 2. Data Spasial Prov. Maluku 3. Survei Lapangan
60
3.4
Rancangan Penelitian Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan studi kasus. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 2005). Sedangkan studi kasus atau penelitian kasus (case study) adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield 1930 diacu dalam Nazir 2005). Adapun Satuan kasusnya yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir yang meliputi tiga kecamatan dengan subjek dalam penelitian ini yaitu Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dan Individu/Anggota Masyarakat Penerima Manfaat (MPM) program PEMP.
3.5
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer, yaitu data yang berkaitan dengan data yang dikumpulkan untuk memenuhi
kebutuhan penelitian yang sedang di hadapi. Data primer
diperoleh melalui pendekatan survei dimana informasi dari suatu contoh responden dikumpulkan dengan menggunakan kuisoner dan wawancara (Juanda 2007). Data primer akan diperoleh dari penerima manfaat program PEMP, para pejabat daerah yang memiliki keterkaitan dalam penyelenggaraan program PEMP, Tenaga Pendamping, Konsultan PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru, serta instansi terkait baik di tingkat Kabupaten, dan Kecamatan. Sedangkan data sekunder adalah data yang sudah dikompilasi dalam bentuk digital file, publikasi (laporan atau buku). (Juanda. 2007). Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain: Pedoman Umum PEMP tahun 2005-2008, data BPS Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2005-2008, data dari Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Kepulauan Aru yang terkait dengan kondisi dan perkembangan Masyarakat Penerima Manfaat.
61
Data dan informasi yang diperlukan dalam penelian ini meliputi : 1.
Kondisi fisik wilayah penelitian yang meliputi: letak geografis, topografis, luas wilayah, iklim, sarana pendidikan, dan kesehatan;
2.
Kondisi sosial ekonomi dan keragaan tenaga kerja di wilayah penelitian yang meliputi: konsumsi, jasa dan pelayanan, struktur dan jenis pekerjaan, struktur pendidikan, struktur status pekerjaan, jumlah jam kerja, tingkat produktivitas dan upah tenaga kerja;
3.
Keadaan perikanan meliputi: potensi dan keragaman sumberdaya pesisir, jumlah nelayan, jumlah kelompok nelayan, jumlah alat tangkap dan armada penangkap ikan, jumlah produksi perikanan, pengolahan hasil perikanan,s truktur perekonomian masyarakat pesisir;
4.
Kelembagaan dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk hak pengelolaan, akses modal (capital) dan organisasinya;
5.
Tingkat kesejahteraan masyarakat diwilayah penelitian;
6.
Besarnya bantuan PEMP dari tahun 2005, 2006, dan Tahun 2008.
62
Tabel 2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
1. 2. 3. 4. 5.
6.
3.6
Jenis data A. Data Primer Besarnya bantuan PEMP Kondisi fisik wilayah penelitian. Jumlah produksi perikanan, organisasi ekonomi pengelolaan tangkapan serta pemasaran Potensi dan keragaman sumberdaya pesisir Kelembagaan dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir pantai serta akses terhadap faktor produksi. Kondisi sosial ekonomi dan keragaan tenaga kerja di wilayah penelitian. Tingkat kesejahteraan masyarakat diwilayah penelitian B. Data Sekunder Gambaran Umum Kabupaten Kepulauan Aru Data panduan pelaksanaan program PEMP. Potensi dan Keragaman sumberdaya pesisir. Kelembagaan dan Kebijkaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Kondisi Sosial Ekonomi, keragaman tenaga kerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. PDRB
Sumber data
Tehknik pengumpulan data
Responden Responden Responden Responden
Wawancara, Pengamatan Wawancara, Pengamatan Wawancara, Pengamatan Wawancara, Pengamatan
Responden
Wawancara, Pengamatan
Responden Responden
Wawancara, Pengamatan Wawancara, Pengamatan
Responden
Wawancara, Pengamatan
Provil Kab. Kep. Aru PEDUM DKP Jakarta BPS Aru, Bappeda PEDUM DKP Jakarta, DKP,
Studi data Sekunder
BPS
Studi data Sekunder
Studi data Sekunder Studi data Sekunder Studi data Sekunder Studi data Sekunder
Metode Pengambilan Contoh Adapun metode penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan
stratifield sampling artinya dalam pengambilan contoh harus membagi populasi kedalam kelompok-kelompok (strata atau lapisan) yang realtif homogen berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Juanda 2007) seperti tingkat pendidikan, level ekonominya dan pengalaman kerja. Dalam hal ini populasi yamg dimaksudkan adalah masyarakat pesisir yang menerima bantuan program PEMP dan tidak mendapat bantuan PEMP menurut jenis usahanya (Gambar 5). Sedangkan penarikan contoh respondennya dari masing-masing srata dengan
63
menggunakan judgement (purposive) sampling. Menurut Juanda (2007) penarikan contoh dengan teknik judgement sampling adalah prosedur yang biasa dilakukan peneliti “berpengalaman” dalam memilih contoh berdasarkan pertimbangannya tentang beberapa karakteristik yang cocok berkaitan dengan anggota contoh yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitiannya. Adapun pertimbangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu seperti si responden penerima bantuan adalah hanya 1 kali menerima bantuan dalam tiga tahun anggaran, besarnya bantuan. Masyarakat Pesisir Kabupaten Kepulauan Aru
Kelompok Non PEMP
Stratifield Sampling
Lokasi : - Siwa Lima - Galaydubu
Pengumpul udang
Pedagang udang
N1*
N2*
n1* (6 org)
n2* (6 org)
Kelompok PEMP
Lokasi : - Ponom - Kwarbola
Lokasi : - Siwa Lima - Galaydubu
Pengumpul udang
Pedagang udang
Penangkap udang
N3*
N1 (29) org)
N2 (43 org)
N3 (65 org)
n4* (6 org)
n1 (12 org)
n3 (19 org)
n4 (28 org)
Penangkap udang
Purposive Sampling Total (18 orang)
Total (59 orang)
Gambar 8 Populasi dan Jumlah responden beneficiaries dalam teknik sampling tahun 2005, 2007, 2008
64
Adapun pengambilan contoh responden dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan alokasi proposional (sebanding). Rumus sebagai berikut :
n it =
(N ) n it
Untuk i = 1, 2, …., k
N Keterangan :
Nit = jumlah populasi untuk kegiatan i pada tahun ke-t n it = jumlah sampel untuk kegiatan i pada tahun ke-t i = kegiatan-kegiatan yang mendapat bantuan PEMP (kegiatan penangkapan, pengumpul, dan pedagang) t
= tahun 2005, 2007, 2008 dimana Kabupaten Kepulauan Aru mendapat alokasi dana PEMP
3.7
Metode Analisis Data Fungsi analisis data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk
yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterprestasikan. Dalam penelitian ini terdapat 4 tahap analisis yang akan dipakai untuk menghitung besaran dampak program PEMP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan dari program PEMP. 3.7.1 Analisis Perbedaan Nilai Tengah A.
Analisis Uji Beda Nyata (Uji-t) Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan antara nilai
sebelum dan sesudah penerima manfaat memperoleh manfaat dari program PEMP, Analisis ini menggunakan uji contoh berpasangan. Rumus uji-t menurut Walpole (1997) yaitu : S2d =
(n)(∑ di ) 2 (n)(n − 1)
Keterangan : n
: jumlah sampel
di
: beda antara populasi
Sd
: standar deviasi
t=
d − di sd / n
65
Berikut adalah langkah-langkah dalam menentukan hipotesis uji-t menurut Walpole (1993), yaitu : (1) nyatakan hipotesis nol-nya (2) pilih hipotesis alternatif H1 yang sesuai (3) tentukan taraf nyatanya (4) pilih statistik uji yang sesuai (5) hitung nilai statistik uji berdasarkan data contohnya (6) keputusan : tolak Ho bila nilai statistik uji tersebut jatuh dalam wilayah kritiknya, sedangkan bila nilai jatuh diluar wilayah kritiknya tolak H 1. Uji statistik t student dalam penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut : Ho : µ 1 = µ 2 H1 : µ1 < µ2 (1) jika t student < t tabel, maka Ho diterima artinya keberadaan program PEMP tidak beda nyata terhadap parameter yang diamati pada tahun sebelum sebelum mendapatkan PEMP dengan tahun setelah mendapatkan PEMP pada usaha perikanan (penangkapan ikan, pedagang ikan, pedagang sembako). (2) jika t student > t tabel, maka Ho ditolak artinya keberadaan program PEMP berbeda nyata terhadap parameter yang diamati pada tahun sebelum sebelum mendapatkan PEMP dengan tahun setelah mendapatkan PEMP pada usaha perikanan (penangkapan ikan, pedagamg ikan, pedagang sembako).
B.
Analisis Deskripsi Tujuan analisis deskripsi yaitu memaparkan atau menjelaskan secara
deskripsi kondisi yang ada dari responden yang menerima PEMP dan yang tidak menerima PEMP (non PEMP), dimana kedua responden ini akan dibandingkan tingkat pendapatan, hasil produksi dan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan dalam menunjang usaha perikanannya.
66
3.7.2 Analisis Evaluasi Keberlanjutan A.
Penentuan Indikator Keberlanjutan Indikator keberlanjutan dianalisis secara deskriptif dengan cara pemberian
bobot untuk menentukan tingkat kepentingan dari masing-masing variabel pengukur pada indikator yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu; (1) mengidentifikasi indikator dan variabel pengukur dari setiap
indikator
yang
berpengaruh
langsung
pada keberlanjutan usaha
pemanfaatan sumberdaya perikanan berdasarkan bantuan PEMP dilokasi penelitian, (2) membuat kuisioner dan mengajukannya kepada responden untuk mendapatkan persepsi terhadap variabel pengukur dari setiap indikator tersebut, (3) pemberian bobot berdasarkan persepsi responden dan (4) menghitung rata-rata persepsi responden berdasarkan hasil pembobotan pada setiap variabel pengukur untuk masing-masing indikator. Besarnya skor akhir proporsi persepsi responden pada masing-masing variabel pengukur indikator, didapat dengan memanfaatkan persamaan berikut: Pi =
JPi JR
Keterangan : Pi
= rata-rata persepsi responden dari variable ke-i
JPi
= jumlah persepsi responden dari variable ke-i
JR
= jumlah responden yang menjawab.
Adapun pertanyaan yang diajukan adalah apakah variabel ke-i pada masingmasing indikator penting untuk usaha sumberdaya perikanan berdasarkan bantuan PEMP yang diberikan. Pembobotan dilakukan berdasarkan skala Likert (Nazir 2003), dimana bobot yang diberikan adalah 3 untuk kategori sangat penting, bobot 2 untuk kategori penting dan bobot 1 untuk kategori yang tidak penting. Untuk menentukan variabel terpilih dari masing-masing indikator adalah dengan memilih rata-rata persepsi responden tertinggi dari variabel tersebut. Selanjutnya nilai proporsi yang terpilih digunakan untuk analisis evaluasi keberlanjutan.
67
B.
Evaluasi Keberlanjutan Analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari program PEMP
terhadap kesejahteraan masyarakat penerima manfaat sehingga dapat diketahui keberlanjutan kinerja usaha hasil pendanaan program ini. Cara pengukuran analisis ini akan digambarkan melalui teknik amoeba. Teknik amoeba diperoleh dari nilai setiap pengukuran variable yang sudah dibandingkan dengan CTV (Critical Treshold Value). CTV merupakan nilai kritis atau nilai ideal dari setiap variabel terpilih. Dalam penelitian ini nilai CTV diambil dari data sekunder yang terdapat dalam literatur penunjang yang ada (Lampiran 15). Masing-masing nilai variabel memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap CTV, dimana setiap vaiabel terpilih dari setiap kriteria memiliki konsekuensi positif terhadap nilai CTV-nya. Semakin besar nilai riil dari CTVnya, semakin baik keragaan variabel tersebut (Adrianto 2007). Selanjutnya didalam membuat teknik amoeba, software yang digunakan yaitu Microsoft Excel. Indikator dalam domain ekologi (1), ekonomi (2) sosial (3) dan (4) kelembagaan akan dipakai dalam menguji keberlanjutan dari program PEMP, dimana masing-masing indikator memiliki batas minimal dan maksimal
3.7.3 Analisa Multi Criteria Decision Making (MCDM) Analisis Multi Criteria Decision Making (MCDM) digunakan untuk menentukan skenario terbaik dalam perbaikan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir melalui program PEMP yang diterapkan di Kabupaten Kepulauan Aru, tentunya akan berdampak langsung terhadap perekonomian wilayah pesisir. Tehknik analisis data ini menggunakan program Criterium Decision Plus (Criplus Version 3.4.S), dengan menggunakan metode Simple Multi Attribute Rating Technigues (SMART). Tehknik SMART merupakan keseluruhan proses dari perantingan alternative dan pembobotan dari atribut yang ada. Adapun Tahapan dalam MCDM adalah: (1) Merumuskan skenario atau alternatif kebijakan yang akan diterapkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru untuk pengelolaan wilayah pesisir.
68
(2) Menentukan kriteria dan subkriteria yang akan digunakan untuk menilai skenario yang telah dirumuskan. (3) Menyusun struktur hirarki pengelolaan wilayah pesisir untuk tingkat kesejahteraan dimulai dari tujuan yang ingin dicapai, kriteria yang digunakan, sub kriteria, sampai pada alternatif pilihan yang relevan dengan kondisi lokasi penelitian. (4) Menentukan bobot atau skor pada setiap subkriteria. Dibawah ini adalah skenario yang dirumuskan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat pesisir karena dianggap kurangnya jumlah alat transportasi yang ada saat ini, baik untuk usaha nelayan tangkap, pengumpul dan pedagang, sedangkan coolbox masih dianggap kurang pula bagi usaha pengumpul. Selain itu kondisi saat ini di Desa Kwarbola belum diselesaikannya pembangunan armada transportasi dan untuk Desa Ponom belum dibangunnya armada transportasi dimaksud, sehingga masyarakat setempat masih melabuhkan alat transportasinya dipinggir-pinggir pantai yang dianggap tidak efektif dan efisien dalam peningkatan usaha mata pencaharian sehari-hari. Selanjutnya perlu adanya penegasan jalur perekonomian sehingga kegiatan usaha perikanan yang ada tetap diuntungkan dan perlu pula adanya depot pemasaran hasil perikanan yang belum ada hingga saat ini. Adapun skenario yang dibuat antara lain: (1) Skenario I; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox tapi armada transpotasi tidak dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun. (2) Skenario II; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, tapi jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun. (3) Skenario III; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, tapi pembangunan depot pemasaran hasil tidak dibangun.
69
(4) Skenario IV; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, dan adanya pembangunan depot pemasaran hasil. Bobot suatu alternatif dengan kriteria yang harus diambil disusun berdasarkan matriks yang dapat dilihat pada Tabel 3 (Fauzi dan Anna 2001) Tabel 3 Matriks pembobotan dalam analisis MCDM (Kriteria – j) (Bobot – j) A1 A2 A3 .... Am Keterangan:
C1 W1 X 11 X 21 X 31 .... X n1
a1 a2 a3 .... an
C2 W2 X 12 X 22 X 32 .... X n2
C3 W3 X 13 X 23 X 33 .... X n3
.... .... .... .... .... .... ....
Cm Wm X 1m X 2m X 3m .... X nm
A i (i= 1,2,3, ... m) = alternatif pilihan yang ada, C j (j = 1,2,3, ...,m) = kriteria dengan bobot Wj, dan a ij (i= 1,2,3, ... m; j = i= 1,2,3, ... n) = pengukuran keragaan dari suatu alternatif A i berdasarkan kriteria Cj. Penentuan kelas nilai terpilih menggunakan persamaan interval kelas (Nazir 2003). Rumusnya sebagai berikut: Interval Kelas =
Range k
Keterangan: Range = nilai maksimum-nilai minimum, dan k = jumlah kelas. Nilai k, didapatkan dengan memanfaatkan persamaan Sturge in Nazir (2003), yaitu:
Interval Kelas = 1 + 3,3 log (n) Ketarangan: n = jumlah kelas yang diinginkan (ditentukan 2 kelas).
Tahapan fungsi aggregasi (Aggregation Function) adalah tahapan berikutnya. Tahapan ini melakukan perhitungan rata-rata geometrik dari hasil yang diperoleh
70
pada
masing-masing
subkriteria.
Rata-rata
geometrik
dihitung
dengan
menggunakan formula: 1/ n
y = ∏ Si
Keterangan: y = rata-rata geometrik, n = jumlah responden dan S i = persepsi responden ke-i, sehingga persamaan menjadi: y = n S1 x S 2 ...Sn
3.8
Batasan Penelitian Mengingat keterbatasan waktu, biaya, tenaga juga untuk keefektifan
peneltian ini agar tidak terlalu luas cakupannya maka penulis membatasi penelitian ini pada : 1) Masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi yang berdomisili di wilayah pesisir dan
merupakan masyarakat penerima manfaat yang
hidupnya tergantung pada sumberdaya perikanan dan kelautan. 2) Pendapatan yang dimaksudkan dalam peneltian ini adalah pendapatan yang berasal dari usaha perikanan setelah dikurangi biaya operasional. 3) Untuk mengukur dampak dari program PEMP hanya pada indikator ekonomi saja untuk tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008. 4) Evaluasi keberlanjutan program PEMP diukur dengan menggunakan parameter yang terpilih dengan nilai persentase yang tertinggi dari masingmasing indikator ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan sebelum dan sesudah program PEMP ini diterapkan. 5) Untuk evaluasi keberlanjutan terfokus pada Desa Ponom dan Kwarbola mengingat keseluruhan masyarakat didesa ini mendapatkan bantuan PEMP. Adapun data yang diambil sebelum PEMP pada tahun 2007 dan setelah mendapatkan PEMP tahun 2009. 6) Indikator Ekologi yang menjadi ukuran evaluasi yaitu ukuran ikan yang tertangkap dengan satuan cm/ekor, ukuran mata jaring tangkap, sanitasi
71
lingkungan (aktivitas sehari-hari manusia yang turut mencemarkan atau menjaga kelestarian lingkungan) dan jenis tangkapan. 7) Indikator ekonomi yang menjadi tolak ukur evaluasi yaitu banyaknya tangkapan, tenaga kerja dibidang perikanan, pendapatan dari penerima manfaat program PEMP. 8) Indikator Sosial yang menjadi tolak ukur evaluasinya yaitu tingkat kesejahteraan (pendidikan anak dan kesehatan anggota keluarga), kemandirian masyarakat artinya masyarakat mampu mencukupi kebutuhan hidupnya dengan aktivitas ekonomi berbasis sumber daya lokal, contoh : bantuan alat tangkap (jaring dan motor tempel) memiliki kontribusi bagi keberlanjutan aktivitas nelayan penerima bantuan. 9) Indikator kelembagaan yaitu partisipasi masyarakat terhadap program PEMP, penguatan kelembagaan PEMP, pengembangan kemitraan. 10) CTV (Critical Treshold Value) adalah nilai ideal atau nilai kritis dari tiap variabel yang diukur. Nilainya diperoleh dari data sekunder yang ada. 11) Untuk analaisis MCDM kriteria yang digunakan adalah kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial.
IV
4. 1
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak Geografis, Luas, Batas Wilayah, Iklim dan Topografi Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu diantara kabupaten yang
dimekarkan dalam wilayah administrasi pemerintahan Propinsi Maluku, pada Tahun 2003 yang berdasar pada Undang-undang Nomor 40 tentang pembentukan Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Kepulauan Aru. Secara astronomis Kabupaten Kepulauan Aru terletak antara 50–80 LS dan 133,50-136,50 BT dengan batas wilayah geografis antara lain : •
Sebelah Selatan : Laut Arafura
•
Sebelah Utara
: Laut Arafura di bagian Selatan Papua
•
Sebelah Timur
: Laut Arafura di bagian Selatan Papua
•
Sebelah Barat
: Laut Arafura di bagian Timur Pulau Kei Besar
dengan luas wilayahnya ± 55.270,22 Km2 dan luas daratan ± 6.426,77 Km2 serta luas lautannya sebesar 47.965,23 Km2. Kabupaten Kepulauan Aru pada umumnya datar dan berawa-rawa, kemudian iklimnya dipengaruhi oleh Laut Banda, laut Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur Australia dan Benua Australia di Bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi perubahan. Adapun data statistik menunjukan musim yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru: 1. Keadaan musim teratur, Musim Timur berlangsung dari bulan April sampai Oktober, musim ini adalah musim kemarau. Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai bulan pebruari, musim hujan dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. 2. Musim
Pancaroba
berlangsung
dalam
bulan
Maret/April
dan
Oktober/Nopember. 3. Bulan April sampai Oktober, bertiup Angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. 4. Bulan April sampai September bertiup Angin Timur Tenggara dan Selatan sebanyak 91% dengan Angin Tenggara dominan 61%.
73
5. Bulan Oktober sampai Maret bertiup Angin Barat Laut sebanyak 50% dengan Angin Barat Laut dominan 28%. Berdasarkan klasifikasi Agroklimat menurut Oldeman, Irsal dan Muladi (1981) yang diacu dalam Aru dalam Angka (2008), Kepulauan Aru terbagi dalam dua Zona Agroklimat C2 yaitu bulan basah sebanyak 5 – 6 bulan dan bulan kering sebanyak 2 – 3 bulan.
4.1.1 Sarana Pendidikan Jumlah sarana pendidikan dan siswa tingkat TK, SD, SMP, SMU yang tersebar di 3 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2008/2009 terlihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Banyaknya Sekolah dan Jumlah Siswa di Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2008/2009 Sekolah
Jumlah Siswa SMU/SMK
Kecamatan SMU/SMK
Pulau-pulau Aru Kecamatan Aru Tengah Kecamatan Aru Selatan
SMP SD
SMP
SD
TK
TK
L
P
L
P
L
P
L
P
10
14
57
5
1546
1336
1437
1682
3446
3989
281
12 1
1
7
49
1
81
42
304
413
2198
2512
28
10
1
11
33
-
24
39
397
466
1515
1719
-
-
Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Aru (2009)
4.1.2 Sarana Kesehatan Di Kabupaten Kepulauan Aru hanya terdapat 1 (satu) buah Rumah Sakit Umum (RSU) dan lokasi keberadaannya terdapat pada Kecamatan Pulau-pulau Aru tepatnya di Kota Dobo yang merupakan ibukota kabupaten, dan untuk sarana kesehatan seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Layanan Terpadu (Posyandu), POD dan Pos Klinik Desa (Polindes)
74
tersebar di tiga wilayah kecamatan yang ada. Jumlah sarana kesehatan untuk masing-masing kecamatan dapat terbaca pada Gambar 9.
Gambar 9 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Pulau-pulau Aru (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
Kecamatan Aru Tengah memiliki jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang lebih banyak dari Kecamatan Pulau-pulau Aru yaitu masing-masing 9 buah, sedangkan Posyandu dimiliki tiap desa sebanyak 43 buah dan untuk POD 13 buah dan 2 buah polindes, terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Aru Tengah (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
75
Sedangkan jumlah sarana kesehatan di Kecamatan Aru Selatan dapat diketahui pula lewat Gambar 11.
Gambar 11 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Aru Selatan (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
4.2
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kepulauan Aru
tahun 2007 tercatat sebesar Rp. 295,960,89,- atas dasar harga berlaku yang berarti mengalami peningkatan sekitar 11.872% dari tahun 2006 yang tercatat sebesar Rp. 264,569, 29,-. Hal yang sama terjadi pada perhitungan atas dasar harga konstan 2000, dimana pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp. 168,974,53,-. Salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu daerah atau region adalah pendapatan perkapita. Pendapatan Perkapita Penduduk Kabupaten Kepulauan Aru menurut harga konstan 2000 tahun 2007 tercatat sebesar Rp. 2,164,402,- atau naik sebesar 1.19% dari tahun 2006 yaitu Rp. 25,484,-. Tabel 5 dibawah ini akan menampilkan PDRB Kabupaten Kepulauan Aru tiap sektor berdasarkan harga konstan. Tabel 5 PDRB Kabupaten Kepulauan Aru menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2005 – 2007 (Juta/Rp) I II III IV V
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industru Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan
2005 96.101.10 1.039.46 432.38 382.10 1.754.88
2006r 100.112.97 1.095.28 456.03 408.68 1.872.81
2007x 103.952.82 1.176.33 478.09 422.07 2.025.70
76
Tabel 5 (lanjutan) VI
Perdagangan, Hotel & Restoran VI Pengangkutan dan Komunikasi VI Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan X Jasa-jasa Jumlah PDRB per Tahun
43.194.44
46.538.18
50.521.97
2.170.49
2.335.69
2.524.01
3.393.24
3.592.33
3.786.31
11.862.96 160.331.05
12.562.56 168.974.53
13.329.19 178.216.49
x) Angka sementara Keterangan: r) Angka diperbaiki Sumber: (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
Untuk PDRB dan PDRB perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku tahun 2005 – 2007, ditampilkan pada Tabel 6
Tabel 6 PDRB dan PDRB perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku tahun 2005 – 2007 A B C
2005 Uraian PDRB (juta Rp) 236.131.66 Penduduk Pertengahan Tahun 77.64 (ribu jiwa) Produk Domestik Perkapita 3.041.366 (rupiah)
2006r
2007x
264.569.29 79.00
295.960.88 82.34
3.348.978
3.594.376
x) Angka sementara Keterangan: r) Angka diperbaiki Sumber: (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
Sedangkan PDRB dan PDRB perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga konstan 2000 tahun 2005 – 2007, ditampilkan pada Tabel 7
Tabel 7 PDRB dan PDRB perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku dan harga konstan 2000 tahun 2005 – 2007 A B C
2005 Uraian PDRB (juta Rp) 160.331.05 Penduduk Pertengahan Tahun 77.64 (ribu jiwa) Produk Domestik Perkapita 2.065.057 (rupiah)
x) Keterangan: r) Angka diperbaiki Angka sementara Sumber: (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
2006r
2007x
168.974.53 79.00
178.216.90 82.34
2.138.918
2.164.402
77
Diketahui pula Indeks Perkembangan PDRB dan PDRB Perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku dan konstan 2000 tahun 2005 – 2007, ditampilkan pada Tabel 8
Tabel 8 Indeks Perkembangan PDRB dan PDRB perkapita di Kabupaten Kepulauan Aru atas dasar harga berlaku dan harga konstan 2000 tahun 2005 – 2007 Uraian Atas harga berlaku A PDRB (juta Rp) B Penduduk Pertengahan Tahun (ribu jiwa) C Produk Domestik Perkapita (rupiah) Atas harga konstan 2000 A PDRB (juta Rp) B Penduduk Pertengahan Tahun (ribu jiwa) C Produk Domestik Perkapita (rupiah)
2005
2006r
2007x
185.79 111.62
208.17 113.57
232.87 118.37
166.46
183.29
196.72
126.15 111.62
132.95 113.57
140.22 118.37
113.02
117.07
118.46
x) Keterangan: r) Angka diperbaiki Angka sementara Sumber: (BPS Kabupaten Kepulauan Aru 2009)
4.3
Keadaan Perikanan Tiga kecamatan yang dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Aru yaitu:
Kecamatan Pulau-pulau Aru, Kecamatan Aru Tengah, dan Kecamatan Aru Selatan, semuanya mendapat sentuhan dari program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Tabel 9 berikut menjelaskan kondisi umum kecamatan yang menjadi lokasi program dengan topografinya masing-masing. Tabel 9 Kondisi Umum Kecamatan Lokasi PEMP No 1
Kecamatan
Profil
Pulau – pulau Kecamatan Pulau-pulau Aru terletak diantara Aru 5,330-5,920LS dan 134,20-134,80 BT yang sebelah Selatannya berbatasan dengan pulau Kobror, sebelah Timur : Laut Aru dan Selatan Irian, sebelah Utara : Selatan Pulau irian, dan sebelah Barat : Laut Banda dan Kei Besar Timur. Panjang garis pantai : 1.045,71 Km, dengan kedalaman perairan maksimum sampai pada zona 4 mil laut adalah < 62 m. Ekosistem pantai berbatu, berpasir, dan berlumpur, estuari maupun delta.
78
Tabel 9 (lanjutan) 2
3
Kecamatan Aru Kecamatan Aru Tengah terletak antar 5,80 -6,80 Tengah LS dan 134,110 – 134,910 BT yang secara geografis menunjukan perbatasan sebelah Selatan : Pulau Trangan dan Kepulauan Jin, sebelah Timur : Laut Arafura, Utara ; Pulau Wokam dan wamar serta sebelah Barat berbatasan dengan : Laut Banda dan Kei Besar Selatan. Panjang garis pantai 1.569,99 Km, dengan kedalaman perairan maksimum sampai 4 mil laut adalah < 62 m. Ekosistem pantainya berbatu, berpasir dan berlumpur, estuari maupun delta. Secara morfologi terdiri dari 3 satuan yaitu perbukitan dengan bertopografi karst (terbentuk oleh batugamping dan napal dengan puncak tertinggi sekitar 200 m di atas permukaan laut), dataran dengan karst lorong ( terbentuk oleh gamping kapuran/chalky, batugamping, napalan dan batupasir), didaerah batugamping kapuran, retakan dan kekar membentuk topografi karst lorong /corrodor karsts) yang mana seluruh kekar tersebut tergenang oleh air laut, sehingga membentuk sungai besar dan selat., yang ketiga adalah rawa. Kecamatan Aru Kecamatan Aru Selatan terletak di sebelah Selatan Selatan : Laut Arafura dan Kepulauan Tanimbar Utara, sebelah Timur : Laut Arafura , sebelah Utara : Pulau koba dan Maekor, sebelah Barat : Laut Banda. Dengan luas wilayahnya 2.531,32 Km2. Panjang garis pantai 785,30 Km, dengan kedalaman maksimum sampai jarak 4 mil laut adalah < 30 m. Hanya memiliki 1 pulau besar yaitu Trangan dan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni (Pulau Jin, Jeh, Karang, Kultubai Selatan dan Enu yang juga merupakan pulaupulau perbatasan/terluar) Ekosistem pantainya berbatu, berpasir dan berlumpur, estuari maupun delta. Secara morfologi terdiri dari 3 satuan yaitu perbukitan dengan bertopografi karst (terbentuk oleh batugamping dan napal dengan puncak tertinggi sekitar 200 m di atas permukaan laut), dataran dengan karst lorong (terbentuk oleh gamping kapuran/chalky, batugamping, napalan dan batupasir), didaerah batugamping kapuran, retakan dan kekar membentuk topografi karst
79
Tabel 9 (lanjutan) lorong /corrodor karsts) yang mana seluruh kekar tersebut tergenang oleh air laut, sehingga membentuk sungai besar dan selat., yang ketiga adalah rawa umumnya terletak dipantai dan ditumbuhi pohon bakau. Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2006)
Penelitian hanya difokuskan pada dua kecamatan dari tiga kecamatan yang dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Aru, yaitu Kecamatan Aru Tengah di Desa Ponom dan Kwarbola serta Kecamatan Pulau-pulau Aru khususnya di Kelurahan Siwalima dan Galaydubu. Tabel 10 dan Tabel 11 berikut ini menjelaskan mengenai kondisi dari kedua desa dan dua kelurahan tersebut.
Tabel 10 Kondisi Umum Desa Penelitian No 1
Nama Desa Ponom
2
Kwarbola
Kondisi Umum Desa Ponom terdapat di Kecamatan Aru Tengah tepatnya di Pulau Kobror. Letaknya dipesisir pantai dengan luas wilayahnya 4.800 h/48 km2, jarak ke ibukota kecamatan 52.41 km sedangkan ke ibukota kabupaten 82 km. Sektor unggulannya pertanian dan perikanan tangkap khususnya penangkap udang. Jumlah penduduknya laki-laki 79 jiwa dan perempuan 78 jiwa. Tingkat kesejahteraan: 1 SD Negeri, 1 Posyandu dengan ketersediaan listrik berupa genset 21 RT, sumber air minum berasal dari mata air. Desa Kwarbola terdapat di Kecamatan Aru Tengah tepatnya di Pulau Kobror. Letaknya dipesisir pantai dengan luas wilayahnya 4.000 h/40 km2, jarak ke ibukota kecamatan 34 km sedangkan ke ibukota kabupaten 66 km. Sektor unggulannya pertanian dan perikanan tangkap khususnya penangkap udang. Jumlah penduduknya laki-laki 76 jiwa dan perempuan 81 jiwa. Tingkat kesejahteraan: 1 SD Swasta, 1 Puskesmas Pembantu dan 1 Posyandu dengan ketersediaan listrik berupa genset 8 RT, sumber air minum berasal dari sumur terlindungi.
Sumber : Kecamatan Aru Dalam Angka (2008)
80
Tabel 11 Kondisi Umum Desa/Kelurahan Penelitian No 3
Nama Kelurahan
Kelurahan Siwalima terdapat di Kecamatan Pulau-pulau Aru tepatnya di Pulau wamar. Letaknya dipesisir pantai dengan luas wilayahnya 236 h/2.36 km2, jarak ke ibukota kecamatan 0 km sedangkan ke ibukota kabupaten 0 km. Sektor unggulannya perdagangan dan jasajasa. Jumlah penduduknya laki-laki 5.862 jiwa dan perempuan 7.111 jiwa. Tingkat kesejahteraan: 1 TK, 5 SD, 3 SMP, 6 SMU/SMK, 1 RSUD dan 12 Posyandu dengan ketersediaan listrik berupa PLN 2.500 RT non PLN 607 RT, sumber air minum berasal dari PDAM. Kelurahan galaydubu terdapat di Kecamatan Pulau-pulau Aru tepatnya di Pulau wamar. Letaknya dipesisir pantai dengan luas wilayahnya 100 h/1 km2, jarak ke ibukota kecamatan 2 km sedangkan ke ibukota kabupaten 2 km. Sektor unggulannya perdagangan dan jasajasa. Jumlah penduduknya laki-laki 3.846 jiwa dan perempuan 3.785 jiwa. Tingkat kesejahteraan: 2 TK, 5 SD, 2 SMP, 2 SMU/SMK, 1 Puskesmas dan 4 Posyandu dengan ketersediaan listrik berupa PLN 1.710 RT, sumber air minum berasal dari PDAM.
Siwalima
4
Kondisi Umum
Galaydubu
Sumber : Kecamatan Aru Dalam Angka (2008)
4.3.1 Potensi dan Keragaman Sumberdaya Pesisir Sumberdaya alam yang terdapat di Kabupaten kepulauan Aru sangat beranekaragam dan semuanya masih dalam kondisi baik atau belum tercemar. a)
Potensi Terumbu Karang Luas Areal terumbu karang di Kepuauan Aru adalah 455,87 Km2 dimana, untuk kecamatan Pulau-pulau Aru, karang yang tumbuh dan tersebar pada areal terumbu perairan pesisir sebanyak 43 spesies , 19 genus dan 9 famili. Untuk Aru Tengah, terdiri dari 42 species, 26 genus dan 12 famili sedangkan Aru Selatan sebanyak 86 species, 45 genus dan 15 famili (Lampiran 1).
81
b) Potensi Lamun Luas Arel Padang lamun di Kabupaten Kepulauan Aru sebesar 83,94 Km2 walaupun belum disebutkan secara rinci luas areal padang lamun per kecamatan namun telah diketahui jenisnya dimana untuk Kecamatan PulauPulau Aru terdapat 4 jenis, Aru tengah sebanyak 11 jenis dan Aru Selatan sebanyak 3 jenis (Lampiran 2). c)
Potensi Mangrove Diperkirakan ada sekitar 89 species mangrove yag tumbuh di dunia, yang teridiri dari 31 genus dan 22 famili. Sebagian besar terdapat di asia tenggara yaitu sekitar 74 species (supriharyono, 2007). Lebih lanjut menurut sugiharto dan Polunin (1982) dari jumlah ini sekitar 51% atau 38 species hidup di Indonesia. Dari jumlah tersebut, terdapat 64,15% Kepulauan Aru yang tersebar pada
atau 24 species di
sekitar 833,571 Km2 dengan total
kerapatan individu adalah 2,5085 individu/m2 itu berarti ada 25.085 idividu didalam satu hektar yang hidup dan tumbuh (Lampiran 3). d) Potensi Perikanan Potensi sumberdaya Kelautan dan Perikanan khususnya ikan terdiri dari ikan pelagis besar dan kecil antara lain; Tenggiri, Tuna, Cakalang, Tongkol, Kuwe, Selar, Layang, Kembung, Julung-julung, Terbang. Ikan Demersal antara lain; Berbagai jenis ikan Kerapu, Kakap, Cucut, Bawal, Gulama, Bambangan, Kuro dan Pari. Selain itu komoditi potensial yaitu; Kerangkerangan (Mutiara), Penyu, Udang, Lobster, Kepiting Bakau, Rajungan, Cumi-Cumi, Teripang, Ubur-ubur dan Telur Ikan (Lampiran 4). Secara rinci, potensi perikanan per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Data Potensi Perikanan per Kecamatan.
1.
Kecamatan Pulau-Pulau Aru
Potensi (ton) 24.038,74
2.
Kecamatan Aru Tengah
23.184,06
11.847,03
9.453,63
3.
Kecamatan Aru Selatan
29.851,59
14.925,79
11.940,62
No
Kecamatan
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2008)
Msy (ton/thn) 12.019,53
Jtb (ton/thn 9.616,25
82
4.3.2 Jumlah Nelayan Sampai dengan akhir tahun 2008 jumlah nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru sebanyak 24.693 orang yang tersebar di 3 (tiga) Kecamatan, 117 Desa dan 2 (dua) Kelurahan. Adapun jumlah nelayan tersebut yang terbesar terdapat di Kecamatan Pulau-pulau Aru yaitu 8.849 orang, sedangkan 8.812 orang terdapat di Kecamatan Aru tengah dan 7.037 orang untuk jumlah nelayan yang terdapat di Kecamatan Aru Selatan. Gambar 12 akan menunjukkan presentase banyaknya nelayan per kecamatan.
Gambar 12 Jumlah Nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru (DKP Kabupaten Kepulauan Aru 2008) 4.3.3 Jumlah Kelompok Nelayan Kelompok Nelayan yang sudah terbentuk di Kabupaten Kepulauan Aru sampai dengan tahun 2008 berjumlah 903 kelompok nelayan untuk jenis usaha penangkapan, budidaya, pengelolahan hasil perikanan, pedagang ikan dan pengumpul. Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Jumlah Kelompok Nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru (DKP Kabupaten Kepulauan Aru 2008)
83
4.3.4 Jumlah Alat Tangkap dan Armada Penangkap Ikan Untuk alat tangkap dan pengumpul tersebar di tiga kecamatan yang ada, berjumlah 19.387 buah dengan jenis dan jumlahnya masing-masing. Itu terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah Alat Tangkap menurut Jenis dan Pengumpul per Kecamatan Alat Tangkap No
Kecamatan
Pancing
Jumlah
Jaring
Pukat
Perangkap
Lainnya
Gill Net
Tramme l Net
Pukat Ikan
Pukat Udang
Sero
Bubu
Tomb ak
Jala
Peng umpu l
1
PP. Aru
3.066
906
102
-
5
154
517
982
92
2.290
8.114
2
Aru Tengah
2.292
898
72
12
25
90
457
1.00
102
1.458
6.408
3
Aru Selatan
2.178
660
46
-
-
54
423
992
95
417
4.865
7.536
2.464
220
12
30
298
1.397
2.976
289
4.165
19.387
Total
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2008)
Selain itu diketahui pula jumlah armada penangkapan sebanyak 2.542 buah yang didominasi oleh jenis Perahu Tanpa Motor ( PTM ) sebanyak 1.537 buah, Motor Tempel ( MT ) sebanyak 162 buah dan Kapal Motor ( KM ) ukuran < 5 GT sebanyak 370 buah, 5 – 10 GT sebanyak
311 buah,10 – 30 GT
sebanyak 112 buah, > 30 GT sebanyak 50 buah Jumlah armada penangkap ikan tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini. Tabel 14 Jumlah Armada Penangkapan Ikan Menurut Jenis dan Ukuran Kapal Motor (KM) No.
Kecamatan
PTM
Jumlah
MT
1.
P. P. Aru
552
93
<5 GT 134
2.
Aru Tengah
594
45
140
117
34
15
945
3.
Aru Selatan
391
24
96
41
17
7
576
1.537
162
370
311
112
50
2.542
Jumlah
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru (2008)
5 – 10 GT 153
10 – 30 GT 61
> 30 GT 28
1.021
84
4.3.5 Jumlah Produksi Perikanan Produksi hasil perikanan yang dicapai tahun 2008 sebesar 24.966.9 ton dengan nilai sebesar Rp 128.335.450.000, hal ini ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Produksi Hasil Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2008 No. I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 II 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Jenis Komoditi Ikan Ikan Kuwe Ikan Tenggiri Ikan Kerapu Ikan Kembung Ikan Baronang Ikan Kakap Merah Ikan Tembang Ikan Biji Nangka Ikan Bawal Ikan Kapak Putih Ikan Terbang Ikan Julung-julung Ikan Gulama Ikan Sebelah Ikan Cucut Ikan Cakalang Ikan Tongkol Ikan Tuna Ikan Beloso Ikan Pari Ikan Lencam Ikan Belanak Ikan Merah Non Ikan Cumi-cumi Sotong Udang Tiger Udang Banana Lobster Kepiting Bakau Rajungan Teripang Kerang Darah Kerang Mutiara Biji Mutiara Telur Ikan Siput lainnya Jumlah
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2008)
Volume ( Ton )
Nilai ( Rp )
1.264.1 938.3 275.1 2.266.4 741.9 554.9 298.1 15.6 103.8 167.5 245.4 141.6 202.6 54.6 3.818.2 1.211.2 747.6 93.2 343.7 298.2 596.4 430.8 365.5
3,160,250,000 6,098,950,000 2,200,800,000 4,532,800,000 2,967,600,000 5,549,000,000 298,100,000 62,400,000 830,400,000 1,675,000,000 490,800,000 283,200,000 810,400,000 218,400,000 7,636,400,000 7,267,800,000 2,990,400,000 559,200,000 687,400,000 745,500,000 2,087,400,000 1,723,200,000 1,279,250,000
314.1 51.4 684.5 875.3 23.3 520.3 675.0 67.8 437.1 349.1 1.3 378.7 102.1 24.966.9
2,355,750,000 385,500,000 13,690,000,000 8.753,000,000 932,000,000 3,902,250,000 1,350,000,000 3,390,000,000 874,200,000 3,491,000,000 26,000,000,000 7,547,000,000 255,250,000 128,335,450,000
85
4.3.6 Pengolahan Hasil Perikanan Hasil perikanan selain dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari tapi juga ada kegiatan-kegiatan pengolahan lainnya dan hal ini masih dilakukan dengan cara tradisional yang meliputi pengeringan berupa ikan dan udang atau ebi, penggaraman ikan dan pengolahan terasi udang tanpa bahan pengawet atau menggunakan bahan-bahan alamiah. Selain itu pengolahan hasil perikanan dengan menggunakan teknologi mekanisasi yaitu pembekuan ikan dalam bentuk utuh, fillet ikan kerapu dan juga udang. Diketahui lokasi–lokasi pengolahan tersebar pada 16 desa di 3 kecamatan di Kabupaten kepulauan Aru antara lain: Kecamatan Pulau–Pulau Aru, Kecamatan Aru Tengah dan Kecamatan Aru Selatan. Selanjutnya diketahui pula bahwa terdapat 3 (tiga) perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil perikanan dan ke-tiga perusahaan ini terdapat di wilayah Kecamatan Pulau-pulau Aru khususnya ibu kota kabupaten yaitu Kota Dobo, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Data Sarana dan Prasarana Pengolahan Hasil Perikanan N o
Nama Perusaha an
Alamat
Luas Area
Ruang Pendinginan Kapasit Suhu as (0C) ( Ton ) 30 Ton 25
Ruang Pembekuan
1.
PT. Karya Anugerah
Dusun Marbali Desa Wangel Dobo
600 M2
2.
PT. Sinar Graha
Dusun Marbali Desa Wangel Dobo
480 M2
8 Ton
3.
CV. Karunia
Kel.Galaydubu Dobo
400 M2
40 – 50 Ton
16 s/d20 30
Jumlah Tenaga Kerja
Jenis Komoditi yang Diolah
Kapasitas (Ton/ Jam/ Hari)
Sistem
1 – 2 Ton ( - 40 0 C ) 18 – 20 Jam
Air Blast Freezer
19 org (Tetap), 5 org (Kontrak)
Ikan dan Udang
1,5 Ton - 35 s /d – 400C 8 Jam
Air Blast Freezer
10 org (tetap) 14 org(Kontrak)
Ikan
0,3 Ton - 40 0 C 4 – 5 Jam
Semi Contact
6 org ( Tetap) 20org(Kontrak)
Udang;
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2008)
4.3.7 Sarana dan Prasarana Perekonomian Masyarakat Pesisir. Adapun sarana dan prasarana pendukung perekonomian masyarakat yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Aru sampai saat ini masih sangat minim yakni sebanyak 32 unit dan semuanya masih berpusat di Dobo sebagai Ibukota Kabupaten.
86
Itu berarti pemerataan pembangunan merata di tiga kecamatan yang ada. Data mengenai sarana dan prasarana tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Data Sarana dan Prasarana Pendukung Usaha Produktif Masyarakat Pesisir Kabupaten Kepulauan Aru. No. Jenis sarana/ prasarana I. Kecamatan Pulau-Pulau Aru 1. Dermaga 2. 3. 4. 5. 6.
TPI Pasar Ikan Bank BRI PT . Bank Maluku KSP Sub Total I II. Kecamatan Aru Tengah 1. Dermaga 2. TPI 3. Pasar Ikan 4. BRI 5. PT . Bank Maluku 6. KSP Sub Total II III. Kecamatan Aru Selatan 1. Dermaga 2. TPI 3. Pasar Ikan 4. BRI 5. PT . Bank Maluku 6. KSP Sub Total III TOTAL I + II + III
Jumlah
Keterangan
2
Permanen
1 2 1 1 16 22
Tradisional Permanen
1 1 1 3 6
Permanen Permanen Permanen
1 1 2 4 32
Permanen Belum Berfungsi Musiman
Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Aru (2008)
4.4
Kelembagaan Eksistensi potensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pembangunan
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru dibagi atas 4 bagian besar yaitu: (1) Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten; (2) Kelembagaan Lokal Desa; (3) Kelembagaan Pendukung, seperti yang diuraikan sebelumnya; dan (4) Integrasi Kelembagaan. Mengingat eksistensi kelembagaan dalam wilayah Kabupaten memiliki keterkaitan fungsi yang sangat kuat, disamping fungsi yang dijalankan tidak hanya mencakup satu satuan wilayah tetapi menjangkau seluruh satuan wilayah.
87
4.4.1 Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Dalam lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru, terakomodir struktur kelembagaan yang cukup kuat untuk mendukung kebijakan dan dinamika pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Kepulauan Aru. Hal ini terlihat dari eksistensi: (1) 3 Sub Dinas masing-masing memiliki 3 seksi, kecuali Sub Dinas Pengelolaan dan Penangkapan Ikan yang memiliki 4 seksi; (2) Unit Pelaksana Teknis; (3) Cabang Dinas; (4) kelompok Jabatan Fungsional; dan (5) Tata Usaha yang terdiri dari 3 Sub Bagian. (Data dan Informasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru, 2006). Walaupun optimalisasi dinamika kelembagaan di atas secara efektif dimulai tahun 2004, namun eksistensi kelembagaan seperti itu memberikan gambaran potensi kuat untuk mendukung dinamika pembangunan Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru, khususnya dalam pengendalian pemanfaatan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Kelembagaan yang penting dikemukakan dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan laut, pesisir dan pulau kecil ialah kelembagaan yang terintegrasi secara utuh dalam sistem pemerintahan di Kabupaten Kepulauan Aru. Organisasi pemerintah di daerah turut membangun Kabupaten Kepulauan Aru dan berpotensi untuk berintegrasi dalam pengelolaan dan penataan ruang di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
4.4.2 Kelembagaan Masyarakat Perikanan Pentingnya peranan masyarakat dalam konteks pemanfaatan ruang secara berkelanjutan paling tidak harus melibatkan 3 kelompok utama yaitu pengguna sumberdaya (stakeholders), pengambil keputusan, dan tim perencana dan pengelola. Secara faktual, kelompok masyarakat perikanan Kabupaten Kepulauan Aru yang menjalankan kegiatan ekonomi produktif (kegiatan produksi) terfokus pada kelompok-kelompok nelayan yang memiliki jenis usaha yang sama atau seragam. Perusahaan perikanan yang masuk dalam kelembagaan masyarakat perikanan kabupaten, menjadi potensi penting dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan kabupaten. Disamping itu kelembagaan lokal
88
yang dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Aru memberikan potensi kelembagaan yang dibutuhkan untuk pengembangan kapasitas masyarakat nelayan baik kapasitas sosial, kapasitas ekonomi maupun kapasitas politis dalam konteks pengambilan keputusan secara partisipasif. seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Koperasi Unit Desa dan kelompok-kelompok nelayan yang dikembangkan melalui program-program pengembangan kelompok nelayan, program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan maupun kelompok-kelompok nelayan yang dibentuk karena inisiatif masyarakat lokal.
4.4.3 Integrasi Kelembagaan Beberapa potensi integrasi kelembagaan yang teridentifikasi dapat terlihat pada Tabel 18. Dimana untuk semuanya dikoordinir oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru bekerja sama dengan dinas terkait . Tabel 18 Integrasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan dan kelautan No 1
Integrasi Lembaga Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Pariwisata
Potensi Integrasi Pengelolaan ecotourism pada lokasilokasi potensial sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil.
2
Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Kehutanan
Pengelolaan hutan bakau
3
Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Pertambangan
Pengelolaan daerah penambangan pasir, batu dan kerikil sepanjang pesisir
4
Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Pemberdayaan serta dinas Koperasi Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Pendapatan Kota
Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
5
Pengeloalaan daerah konservasi di pesisir dan laut
Pengelolaan distribusi hasil produksi perikanan pada pasar-pasar lokal
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru(2006)
4.5
Besaran Bantuan PEMP Sampai dengan tahun 2008, Kabupaten Kepulauan Aru telah mendapat
kepercayaan Pemerintah sebanyak 3 (tiga) kali untuk mengelola program PEMP. Program PEMP pertama dilaksanakan pada tahun 2005 dengan total dana sebesar
89
Rp. 845.850.000. Dari jumlah dana tersebut terdapat Dana Ekonomi Produktif (DEP) sebesar Rp. 372.688.000 dan Fasilitas Kedai Pesisir sebesar Rp. 143.350.000 yang dikelola oleh Koperasi LEPP M3 Morlongar. DEP tersebut telah disalurkan kepada 6 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) dengan spesifikasi usaha penangkapan ikan dan 6 KMP dengan spesifikasi usaha pedagang/penjual ikan. Pada tahun 2007 total dana PEMP yang dialokasikan untuk Kabupaten Kepulauan Aru sebesar Rp. 700.000.000 dengan jumlah DEP sebesar Rp. 352.425.000 yang juga dikelola oleh Koperasi LEPP M3 Morlongar yang penyalurannya dimulai sejak tanggal 27 November 2007. Dana tersebut telah disalurkan kepada 35 masyarakat pesisir baik dalam bentuk kelompok maupun perorangan, dengan spesifikasi usaha penangkapan ikan, pengumpul hasil perikanan dan berbagai jenis usaha lainnya yang berhubungan dengan aktifitas masyarakat pesisir. Ditahun 2008, daerah julukan Nusa Mutiara ini kembali mendapat kepercayaan Pemerintah mengelola program yang sama namun kali ini Dana Ekonomi Produktif (DEP) yang selama ini dikenal oleh masyarakat, mengalami perubahan menjadi bantuan sosial mikro (BSM) dimana kucuran dana tersebut tidak lagi berbentuk pinjaman dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM) kepada masyarakat pesisir yang harus dikembalikan (revolving), tetapi bersifat hibah dalam bentuk barang. Adapun jumlah BSM program PEMP tahun 2008 sebesar Rp. 590,125,000,-. kecamatan yang menjadi sasaran program PEMP tahun 2008 adalah Kecamatan Aru Tengah dengan penangkapan udang sebagai sasaran usaha yang akan dikembangkan. Untuk lebih jelas, besarnya DEP dan BSM program PEMP Kabupaten Kepulauan Aru dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Besaran Bantuan PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru dari tahun 2005, 2007 dan tahun 2008 No. 1. 2. 3.
Tahun menerima DEP/BSM 2005 2007 2008
Jenis DEP/BSM yang diterima
Besarnya DEP/BSM yang diterima
Revolving Revolving Bansos
Rp. 372,688,000 Rp. 352,425,000 Rp. 865,000,000
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Aru (2008)
Penyerapan DEP/BSM yang diterima Rp. 372,688,000,Rp. 292,855,500.Rp. 590,125,000,-
90
4.6 Karakteristik Responden Masyarakat yang dijadikan responden langsung dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memperoleh manfaat dari program PEMP sejak tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008, untuk kategori kegiatan usaha perikanan yaitu nelayan tangkap, pengumpul dan pedagang udang penaeid sebanyak 59 responden dan juga masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru yang tidak memperoleh manfaat PEMP (non PEMP), dengan tujuan sebagai pembanding. Jumlahnya sebanyak 18 orang perwakilan masing-masing usaha, 2 orang per tahun menerima bantuan PEMP dari Pemerintah Pusat. Responden terdiri dari kepala keluarga, ibu rumah tangga dan anak putus sekolah yang berusia diatas 18 tahun. Selain itu tim pendamping 2 orang, konsultan 2 orang dan pimpinan Koperasi LEPP-M3 JAR MORLONGAR 4.6.1 Responden Penangkap A. Penerima PEMP Penangkap udang penaeid dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anak laki-laki diatas 18 tahun. Dari 28 orang responden penangkap yang menerima bantuan PEMP, 5 orang adalah tamatan SMU, sedangkan untuk tamatan SMP terdapat 7 orang dan rata-rata tamatan SD sebanyak 12 orang dari kedua desa tersebut sisanya 4 orang tidak menyelesaikan pendidikan SD. Untuk tahun 2005 dan tahun 2007 responden penangkap masing-masing berjumlah 4 orang berdomisili di Kelurahan Siwalima dan Kelurahan Galaydubu, dan tahun 2008 masyarakat penerima PEMP sebanyak 20 orang adalah penduduk asli Desa Ponom dan Desa Kwarbola.
B. Non penerima PEMP Sedangkan jumlah responden non PEMP penangkapan, sebanyak 4 orang masing-masing perwakilan 2 orang dari tahun menerima PEMP yaitu tahun 2005, 2007 dan tahun 2008. Mereka berdomisili di Kelurahan Siwalima dan Kelurahan Galaydubu atau dengan kata lain mereka adalah penduduk asli kota Dobo. Dengan jumlah orang yang menyelesaikan tingkat SMP hanya 1 orang dan 3 orang lainnya bertamatan SD.
91
4.6.2 Responden Pedagang A
Penerima PEMP Jumlah responden pedagang adalah 19 orang, yang terdiri dari 13 laki-laki
dan 6 orang perempuan dewasa. Masing-masing terbagi atas 4 orang responden di tahun 2005 dan tahun 2007 berdomisili di Kelurahan Siwalima dan Galaydubu, sedangkan untuk tahun 2008 sebanyak 11 orang berdomisili di Desa Ponom dan Desa Kwarbola. Dengan tingkat pendidikannya berjumlah 5 orang tamatan SMP, 9 orang tamatan SD dan tidak bersekolah sebanyak 5 orang. B.
Non penerima PEMP Untuk responden non penerima PEMP usaha pedagang hasil perikanan
dan kelautan, sebanyak 6 orang masing-masing perwakilan 2 orang dari tahun menerima PEMP yaitu tahun 2005 berjumlah 2 orang, tahun 2007 juga sebanyak 2 orang dan tahun 2008 pun berjumlah 2 orang responden dan keenam responden ini berdomisili di Kelurahan Siwalima dan Galaydubu atau dengan kata lain mereka adalah penduduk asli Kota Dobo, sedangkan tamatan SMP hanya 1 orang dan 5 orang lainnya tidak menyelesaikan tingkatan SD.
4.6.3 Responden Pengumpul A.
Penerima PEMP Responden pengumpul berjumlah 12 orang, semuanya adalah laki-laki. Di
mana, sebanyak 3 orang adalah responden pengumpul di tahun 2005 dan 3 orang pula di tahun 2007 berdomisili di Kelurahan Siwalima dan Galaydubu, sedangkan untuk tahun 2008 sebanyak 6 orang berdomisili di Desa Ponom dan Desa Kwarbola. Dari sisi tingkat pendidikan, berjumlah 2 orang tamatan SD, 10 orang tidak bersekolah. B
Non penerima PEMP Untuk responden non penerima PEMP usaha pengumpul hasil perikanan
dan kelautan, sebanyak 6 orang masing-masing perwakilan 2 orang dari tahun menerima PEMP berdomisili di Kelurahan Siwalima dan kelurahan Galaydubu, yang merupakan penduduk asli kota Dobo. Tamatan SD hanya 2 orang dan 4 orang lainnya tidak menyelesaikan tingkatan SD.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Besaran Dampak dari Program PEMP terhadap Kesejahteraan Masyarakat Penerima Manfaat Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu
model pemberdayaan masyarakat yang dikucurkan sebagai program prioritas Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, dan lebih lanjut telah diketahui sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengelolah ikan dan usaha jasa/kegiatan yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/penguatan usahanya. Untuk Kabupaten Kepulauan Aru kegiatan pendanaan program PEMP lebih dispesifikasi untuk usaha penangkap, pengumpul dan pedagang hasil perikanan. Penelitian ini akan membuktikan ada tidaknya perbedaan pendapatan, hasil produksi/volume penjualan dan tenaga kerja yang merupakan parameter dari indikator ekonomi tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008, tentunya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat penerima manfaat sebelum dan sesudah menerima PEMP. Diketahui lebih lanjut untuk keseluruhan pendapatan responden baik usaha penangkapan, pedagang dan pengumpul memiliki nilai sebelum mendapatkan PEMP setelah dikurangi biaya operasional itu dikali dengan inflasi sebesar 1.66 atau telah dikonversi kedalam nilai tahun yang sama dengan sesudah PEMP. A. Usaha Nelayan Tangkap Besaran dampak untuk indikator ekonomi dari program ini terhadap tingkat kesejahteraan nelayan khususnya Masyarakat Penerima Manfaat (MPM)/Kelompok Masyarakat Penerima (KMP) sejak tahun 2005 untuk usaha nelayan tangkap di Kabupaten Kepulauan Aru khususnya Kecamatan Pulau-pulau
93
Aru tepatnya Kelurahan Siwalima, Kelurahan Galaydubu, serta Desa Ponom dan Desa Kwarbola untuk Kecamatan Aru Tengah, terlihat ada perbedaan. Hal ini dapat terbaca dalam Tabel 20. Tabel 20 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2005 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 15.000 2.250 126550
thitung
ttabel
Nilai P
11.25*) 9.00*) 5.95*)
2.3 2.3 2.3
0.001 0.003 0.009
perbedaan sebelum dan sesudah, nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada jumlah tangkapan atau hasil produksi dalam hal ini udang penaeid dari nelayan tangkap dapat diketahui bahwa t hitung > t tabel sehingga tolak H0 artinya ada perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah menerima PEMP untuk tahun 2005 dengan selang kepercayaan 95%, ini dikarenakan bantuan yang diberikan berupa jaring udang dan mesin motor sangat membantu aktifitas penangkapan sebelum PEMP, di mana nelayan tangkap hanya menggunakan alat angkut tardisional berupa perahu dan jaring udang seadanya. Sedangkan untuk tenaga kerja sebelum PEMP usaha nelayan tangkap hanya mempekerjakan anggota keluarga saja bahkan banyak yang melakukan aktifitas penangkapan seorang diri dengan motifasi hasil yang diperoleh dicukupkan untuk konsumsi keluarga semata. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya peningkatan tenaga kerja setelah mendapat bantuan PEMP sebesar 2.250 dan diketahui pula t hitung > t tabel sehingga tolak H0 artinya ada perbedaan sebelum dan sesudah menerima PEMP. Sedangkan untuk tingkat pendapatan dari penerima manfaat usaha yang sama berbeda nyata, dengan perbedaan nilai tengahnya sebelum dan sesudahnya sebesar Rp. 126.550/bulan/orang. Dari data tersebut dapat dijelaskan ternyata dengan adanya bantuan PEMP maka terjadi peningkatan hasil produksi, tenaga kerja dan pendapatan dimana ketiganya mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan. Tahun 2007 bantuan PEMP diberikan kepada Kelompok Masyarakat Penerima (KMP) yang lain artinya bukan keberlanjutan dari KMP tahun 2005 tetapi masih pada lokasi peneltian yang sama atau kelurahan yang sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat nelayan tangkap pada tahun 2007 Sama
94
halnya dengan responden nelayan tangkap pada tahun 2005, mengalami peningkatan jumlah tangkapan, tenaga kerja dan pendapatan setelah mendaptkan bantuan PEMP. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2007 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 26.000 2.500 384785
thitung
ttabel
Nilai P
11.44*) 3.87*) 7.20*)
2.3 2.3 2.3
0.001 0.030 0.006
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan tabel diatas jumlah tangkapan/hasil produksi sesudah menerima PEMP mengalami peningkatan dengan rata-rata perbedaan pada selang kepercayaan 95% sebesar 26.000. Hasil uji statistik menunjukan bahwa t hitung > t tabel maka tolak H0 artinya ada perbedaan nyata hasil tangkapan KMP. Untuk tenaga kerja sebelum dan sesudahnya memiliki perbedaan pula, hal ini dikarenakan adanya penambahan tenaga kerja yang signifikan sesudah mendapat bantuan PEMP sehingga dirasakan sangat membantu peningkatan tenaga kerja sebelum dan sesudahnya, perbedaan yang semakin nyata ini dibuktikan dengan t hitung > t tabel pada selang kepercayaan 95% berarti sebelum dan sesudah PEMP memiliki perbedaan nyata. Selanjutnya diketahui tingkat pendapatan juga berbeda nyata, karena pada taraf nyata α 5% untuk kasus ini p-value ≤ α (5%) maka dikatakan tolak H0. Usaha KMP setelah mendapat PEMP tahun mengalami peningkatan hasil produksi, tenaga kerja dan juga pendapatan sehingga hasil yang ditunjukan pada uji statistik, KMP semakin menunjukan perbedaan yang positif hal ini sejalan dengan teori Glasson (1990) Teori ini menyatakan bahwa suatu kegiatan akan dapat memacu timbulnya kegiatan lain dimana adanya subsidi pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Tetapi teori ini juga menekankan secara negatif kegiatan tersebut memacu timbulnya aktivitas lain seperti over eksploitasi sumberdaya perikanan. Sejauh ini usaha perikanan dan kelautan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru belum
95
mengarah kearah over eksploitasi. Tabel 22 akan menunjukan kondisi KMP untuk usaha nelayan tangkap tahun 2008. Tabel 22 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Nelayan Tangkap Tahun 2008 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 30.750 2.600 746245
Thitung
ttabel
Nilai P
8.78*) 13.17*) 9.42*)
1.7 1.7 1.7
0.000 0.000 0.000
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada jumlah tangkapan atau hasil produksi dari nelayan tangkap diketahui bahwa perbedaaan sebelum dan sesudah PEMP itu nyata terlihat dari nilai t 8.78 > t tabel sehingga tolak H0 artinya ada perbedaan sebelum dan sesudah menerima PEMP sebesar 30.75 kg/bulan/orang. Bantuan yang diberikan pun berupa jaring udang dan motor laut. Demikian pula dengan tenaga kerja mengalami rata-rata peningkatan sebesar 2.6, yang mana diketahui dari tabel diatas t 13.17 > t tabel sehingga tolak H0 artinya keberadaan program PEMP berbeda nyata. Tingkat pendapatan dari penerima manfaat profesi nelayan tangkap juga berbeda nyata. Hal ini dapat dibuktikan dengan uji statistik yang menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, t 9.42 > t 1.729 tolak H0 dengan perbedaan mean sebesar Rp. 746.245/bulan/orang.
B. Usaha Pedagang Udang Bantuan PEMP untuk usaha pedagang udang di Kabupaten Kepulauan Aru sejak tahun 2005, 2007 dan tahun 2008 berupa modal uang, sehingga ada KMP yang berhasil ada pula yang tidak. Hal ini diakibatkan anggaran yang diberikan tidak sepenuhnya untuk modal usaha tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan yang lain, seperti pembiayaan pendidikan anak, makan minum dan kebutuhan sehari-
96
harinya dari modal tersebut. Tabel dibawah ini akan menunjukan uji beda nyata untuk usaha pedagang udang khusus tahun 2005. Tabel 23 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang Udang Tahun 2005 No 1 2 3
Indikator ekonomi Volume Penjualan (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 33.25000 1.50000 529475
Thitung 8.66*) 5.19*) 3.84*)
ttabel 2.3 2.3 2.3
Nilai P 0.003 0.014 0.031
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Jumlah penjualan udang tahun 2005 untuk usaha pedagang udang sebelum mendapat bantuan PEMP dan sesudah mendapat bantuan memiliki perbedaan yang nyata terbukti dari nilai t 8.66 > t tabel sehingga dapat dikatakan tolak H0 artinya berbeda nyata, dengan deltanya sebesar 33.25000kg/bulan/orang. Selain itu tenaga kerja pada usaha ini pun menunjukan ada perbedaan akibat pengaruh program PEMP. Untuk tingkat pendapatannya juga berbeda nyata sebelum dan sesudahnya PEMP. Hal ini dibuktikan dengan uji statistik yang menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, t hitung > t tabel sehingga tolak H0 artinya berbeda nyata. Untuk Tabel 24 dibawah ini akan menunjukan besaran dampak PEMP sebelum dan sesudah untuk tahun 2007, usaha pedagang udang. Tabel 24 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang Udang Tahun 2007 No 1 2 3
Indikator ekonomi Volume Penjualan (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 1525000 1.25000 237250
thitung
ttabel
Nilai P
2.07 5.00*) 1.38
2.3 2.3 2.3
0.130 0.015 0.261
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Jumlah volume Penjualan
tahun 2007 untuk usaha pedagang udang
sebelum mendapat bantuan PEMP dan sesudah memiliki perbedaan sebesar 15.25kg/orang dengan tingkat kesalahan sebesar 13%. Hal ini disebabkan adanya responden yang tidak memiliki perbedaan sebelum dan sesudah PEMP (Lampiran 7). Sedangkan untuk tenaga kerjanya memiliki peningkatan dimana setelah mendapat bantuan PEMP tenaga kerja bertambah sebesar 1.25 dimana t hitung >
97
t tabel sehingga tolak H0. Sedangkan untuk tingkat pendapatan terdapat tingkat kesalahan sebesar 26% dengan perbedaan sebelum dan sesudah PEMP sebesar Rp. 237.250,- ini terjadi karena ada responden pada tahun ini tidak mengelolah bantuan PEMP yang diberikan dengan maksimal atau bantuan PEMP yang diberikan tidak digunakan dengan semestinya (Lampiran 8). Tabel 25 dibawah ini menunjukan besaran dampak PEMP sebelum dan sesudah tahun 2008 untuk usaha pedagang udang. Tabel 25 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pedagang udang Tahun 2008 No 1 2 3
Indikator ekonomi Volume Penjualan (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 42.27273 2.09091 533536
thitung
ttabel
Nilai P
5.48*) 9.89*) 6.23*)
1.8 1.8 1.8
0.000 0.000 0.000
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Jumlah volume Penjualan penaeid untuk tahun 2008 pada usaha pedagang sebelum mendapat bantuan PEMP dan sesudah mendapat bantuan memiliki perbedaan yang nyata dilihat dari nilai t 5.48 > t tabel maka tolak H0 artinya berbeda nyata, dengan perbedaannya sebesar 42.273kg/bulan/orang. Demikian pula dengan tenaga kerja sebelum menerima bantuan PEMP masyarakat lebih banyak melakukan usahanya seorang diri dan dibantu oleh anggota keluarga semata. Tapi setelah mendapat bantuan PEMP ada penambahan tenaga kerja yang nyata. Hal ini dapat dibuktikan juga dari adanya peningkatan tenaga kerja setelah mendapat bantuan PEMP, dimana t hitung > t tabel sehingga tolak H0 artinya ada perbedaannya yang nyata. Untuk tingkat pendapatan dari penerima manfaat pun berbeda nyata. Hal ini dapat dibuktikan dengan uji statistik yang menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, t 6.23 > t 1.812 maka perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah PEMP berbeda nyata dengan rata-rata sebesar Rp. 533.536/bulan/orang.
C. Usaha Pengumpul Usaha pengumpul dari tahun 2005, 2007 dan tahun 2008 menunjukkan keberhasilan dalam artian pendapatan, hasil produksi dan jumlah tenaga kerjanya sebelum mendapatkan bantuan dan sesudah, berbeda nyata atau dapat dikatakan perbedaannya signifikan. Pada usaha ini bantuan yang diberikan berupa coolbox
98
dan alat transportasi. Tabel 26 dibawah ini menunjukkan kondisi dari usaha pengumpul tahun 2005 Tabel 26 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2005 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Keterangan : (*)
Rata-rata Perbedaan 15.000 1.666 735000
thitung
ttabel
Nilai P
5.96*) 5.00*) 96.23*)
2.2 2.2 2.2
0.027 0.038 0.000
perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Produksi pada pengumpul tahun 2005 menunjukan berbeda nyata tahun sebelum menerima PEMP maupun sesudahnya hal ini dapat dilihat dari t hitung > t tabel sehingga dikatakan tolak H0. Sedangkan parameter tenaga kerja menunjukan bahwa tahun sebelum dan sesudahnya juga menujukkan perbedaan nyata. begitupula dengan pendapatan, ini ditunjukan oleh uji t dimana t 96.23
>
t tabel
sehingga dikatakan tolak H0. Dibawah ini mengenai kondisi usaha pengumpul tahun 2007 dapat terlihat pada Tabel 27. Tabel 27 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2007 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Rata-rata Perbedaan 20.333 1.66667 700000
thitung
ttabel
Nilai P
4.87*) 5.00*) 4.58*)
2.2 2.2 2.2
0.40 0.038 0.044
Keterangan : (*) perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Produksi pada pengumpul tahun 2007 menunjukkan berbeda nyata tahun sebelum menerima PEMP dan sesudahnya hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung sebesar 4.87 > 2.292 yang adalah t tabel sehingga tolak H0 dengan jumlah perbedaannya adalah 20.33kg/orang, sedangkan tenaga kerja yang dipekerjakan pada usaha pengumpul secara statistik menunjukkan thitung > ttabel maka tolak H0 artinya ada perbedaan. Selanjutnya untuk tingkat pendapatannya pun berbeda nyata terlihat dari 6.40 > 2.292
artinya tolak H0 dan berbeda
nyata
99
jika t hitung > t tabel dengan deltanya Rp.913,333/bulan/orang. Untuk tahun 2008 kondisi pengumpul dapat terlihat pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil Analisis Uji Beda Nyata Usaha Pengumpul Tahun 2008 No 1 2 3
Indikator ekonomi Produksi (Kg) Tenaga kerja (% org) Pendapatan (Rp)
Rata-rata Perbedaan 25.16667 2.000 865833
thitung
ttabel
Nilai P
3.29*) 7.75*) 7.23*)
2.0 2.0 2.0
0.022 0.001 0.001
Keterangan : (*) perbedaan sebelum dan sesudah nyata pada selang kepercayaan 95%
Produksi pada pengumpul tahun 2008 menunjukkan berbeda nyata tahun sebelum dan sesudah menerima PEMP yaitu sebesar 25.166kg/orang. Hal inipun dapat dibuktikan juga dengan dari nilai t hitung (3.29) > t tabel (2.015) sehingga dikatakan berbeda nyata. Untuk tenaga kerja sebelum dan sesudah mendapat bantuan PEMP pun berbeda nyata dengan jumlah mean adalah 2%/orang. Begitupula dengan tingkat pendapatan, sebelum dan sesudahnya menunjukkan perbedaan yang nyata terbukti dari uji statistik yang menunjukan t 7.23 > t 2.015 sehingga tolak H0 artinya berbeda nyata. Dari uji statistik untuk mengetahui besaran dampak sebelum dan sesudah bantuan PEMP, secara keseluruhan disimpulkan bahwa keberhasilan usaha pedagang dalam hal pendapatan dan volume penjualan menunjukkan tidak ada perbedaan dibandingkan usaha penangkapan dan pengumpul udang, hal ini dikarenakan bantuan yang diberikan untuk nelayan tangkap dan pengumpul berupa barang walaupun tidak dengan jumlah yang sama banyak. Sedangkan untuk pedagang, bantuan PEMP yang diberikan berupa modal usaha sejumlah uang dan banyaknya uang yang diberikan tergantung usulan calon penerima manfaat tersebut, sehingga ada terjadi penyimpangan-penyimpangan bantuan keuangan program PEMP untuk pedagang udang di Kabupaten Kepulauan Aru. Dibawah ini dapat dilihat perbandingan dari masing-masing usaha perikanan dan kelautan pertahun penerima bantuan PEMP di 4 lokasi penelitian yaitu Desa ponom, Desa Kwarbola, Keluarahan Siwa Lima dan Kelurahan Galydubu. Diketahui ternyata hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tiap tahun perbandingannya untuk pendapatan, hasil produksi maupun jumlah tenaga kerja ada yang stabil dan ada pula yang tidak stabil. Hal ini dikarenakan responden
100
yang memperoleh bantuan pada tahun 2005 berbeda dengan responden pada tahun 2007 dan tahun 2008. Sehingga karakteristik respondennya berupa tingkat pendidikan, jenis kelamin dan motifasi kerja turut mempengaruhi keberhasilan program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru. A.
Nelayan tangkap Perbandingan hasil produksi tiap tahun penerima manfaat dari nelayan
tangkap di Kabupaten Kepulauan Aru terlihat bahwa tahun 2005 jumlah hasil produksi sangat rendah dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Rata-rata jumlah hasil produksi sebesar 15kg di tahun 2005 sedangkan tahun 2007 sebesar 26kg dan di tahun 2008 jumlahnya mencapai 31kg/orang. Gambar 14 menunjukkan hasil boxplot dari peningkatan tiap tahun jumlah produksi nelayan tangkap.
60
hasil produksi
50 40 30 20 10 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 14 Magnitud hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap
Untuk
tenaga
kerja dengan tenaga
kerja
tahun 2005
rata-rata
mempekerjakan 2 orang sedangkan tahun 2007 jumlah tenaga kerja meningkat karena rata-rata mempekerjakan 3 orang dan di tahun 2008 memiliki jumlah tenaga kerja yang sama dengan tahun 2007 yaitu 3 orang. Kondisi ini bisa dilihat
101
pada hasil boxplot tenaga kerja di Gambar 15 tentang magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap.
tenaga kerja
4
3
2
1 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 15 Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap Perbandingan tingkat pendapatan dari indikator ekonomi untuk usaha nelayan tangkap terlihat jelas pada Gambar 16, dimana tahun 2005 tingkat pendapatannya rata-rata Rp. 126,550,- (10%) jika dibandingkan pendapatan tahun 2007 sebesar Rp. 384,785,- (31%). Selanjutnya ditahun 2008 peningkatannya semakin pesat yaitu sebesar Rp. 746,245,- (59%) Hal ini dipengaruhi oleh adanya motifasi dan semangat kerja yang ditimbulkan, baik dari Tim Pendamping program PEMP di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru maupun dari penerima bantuan tahun-tahun sebelumnya. Para nelayan tangkap tahun berjalan mempelajari pengalaman-pengalaman penerima manfaat tahuntahun sebelumnya. Selain bantuan yang diberikan kepada nelayan tangkap berupa perlengkapan yang dibutuhkan menunjang mata pencaharian mereka.
pendapatan
1500000
1000000
500000
0 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 16 Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha nelayan tangkap
102
B.
Pedagang Volume penjualan dari usaha pedagang hasil perikanan dan kelautan
khususnya udang penaeid menunjukkan bahwa tahun 2007 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 dan tahun 2008 dimana rata-rata yang diperoleh hanya mencapai 15kg, dibandingkan dengan jumlah volume penjualan tahun 2005 sebesar 33kg dan 42kg ditahun 2008. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 17.
100 90
volume penjualan
80 70 60 50 40 30 20 10 0 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 17 Magnitud hasil volume penjualan pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang
Untuk parameter tenaga kerja menunjukkan bahwa rata-rata tahun 2005 dan tahun 2008 mempekerjakan 2 orang, sedangkan tahun 2007 rata-rata mempekerjakan 1 orang. Hal ini dikarenakan untuk hasil produksi dan pendapatan yang kecil turut mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Gambar 18 akan menunjukkan hasil boxplot dari tenaga kerja usaha pedagang.
tenaga kerja
3
2
1 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 18 Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang
103
Untuk usaha pedagang udang penaeid terlihat jelas bahwa pada tahun 2007 memiliki tingkat pendapatan lebih kecil dibandingkan tahun 2005 dan tahun 2008 yang mencapai masing-masing 41% untuk tingkat pendapatannya dan 18% untuk pendapatan tahun 2007. Hal ini dikarenakan penyalahgunaan bantuan lebih banyak terjadi pada tahun 2007, walaupun tidak dipungkiri tahun 2005 dan tahun 2008 bagi masyarakat penerima bantuan PEMP pun tidak mengelolah bantuan PEMP dengan tepat dan benar, sehingga tingkat pendapatannyapun tidak secara maksimal tercapai. Adapun telah diuraikan sebelumnya bahwa bantuan yang diberikan berupa uang sebagai modal usaha mereka dalam berdagang sehingga peluang untuk penyalahgunaan bantuan mudah terjadi pada usaha perdagangan hasil perikanan dan kelautan di Kabupaten Kepulauan Aru. Gambar 19 akan menunjukkan perbandingan tingkat pendapatan yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat usaha berdagang.
pendapatan
1000000
500000
0
2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 19 Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha pedagang
C.
Pengumpul Hasil produksi yang mempengaruhi tingkat pendapatan pada tahun 2008
sebesar 25kg sedangkan tahun 2007 hanya mencapai 20kg dan di tahun 2005 mencapai 15kg. Hal ini cukup dipengaruhi oleh bantuan yang diberikan berupa coolbox dan alat transportasi sehingga dibandingkan dengan pedagang, usaha pengumpul masih lebih baik dalam pencapaian hasil usahanya. Walau tidak sestabil nelayan tangkap dalam progres pencapaian tiap tahun penerima bantuan PEMP, hal ini turut dipengaruhi oleh jalur perekonomian yang lemah dan tidak adanya depot pemasarang hasil, sehingga kecenderungan pendapatan kurang
104
stabil. Gambar 20 akan menunjukkan besaran hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul.
60
hasil produksi
50 40 30 20 10 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 20 Magnitud hasil produksi pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul Sedangkan untuk tenaga kerja pada usaha pengumpul tahun 2005, tahun 2007, dan tahun 2008 memiliki tenaga kerja masing-masing 2 orang. Hal ini dapat dilihat pada hasil boxplot pada Gambar 21.
tenaga kerja
3
2
1 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 21 Magnitud tenaga kerja pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul
105
Usaha pengumpul di 4 lokasi penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2008 ternyata memiliki keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan tahun 2005 dan tahun 2007. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 22 dimana diketahui bahwa pendapatan tahun 2008 mencapai 40% atau sebesar Rp. 830,833,-, dibandingkan dengan tahun 2007, hanya mencapai 34% atau Rp. 700,000,- dan 32% untuk pencapaian pendapatan di tahun 2005 mencapai 26% atau sebesar Rp. 526, 667,-.
pendapatan
1300000
800000
300000 2005
2007
2008
tahun penerima PEMP
Gambar 22 Magnitud pendapatan pertahun penerima PEMP untuk usaha pengumpul
5.1.1 Deskripsi Kondisi Penerima PEMP dan Non PEMP Penerima manfaat baik tahun 2005, tahun 2007, maupun tahun 2008 dengan mata pencaharian masyarakat pesisir yaitu nelayan tangkap, pedagang udang dan pengumpul menunjukkan perbedaan yang berfariasi karena ada yang perbedaannya secara signifikan tapi ada pula yang tidak terlalu signifikan. Perbedaan yang signifikan lebih besar ditunjukkan oleh nelayan tangkap dan pengumpul antara yang menerima PEMP dan non PEMP untuk setiap tahunnya sedangkan untuk pedagang tahun 2007 hanya menunjukan perbedaan sebesar Rp, 6,350. Diketahui lebih lanjut untuk pendapatan responden non PEMP telah dikali dengan inflasi tahunan sebesar 1.66. Adapaun Rata-rata calon penerima manfaat adalah mereka yang telah memiliki mata pencaharian sebelumnya dan dilanjutkan dengan bantuan dari program PEMP.
106
Kondisi yang ada di lokasi penelitian membuktikan bahwa rata-rata pendapatan penerima PEMP untuk 3 tahun berjalan bagi nelayan tangkap yaitu tahun 2005 sebesar 14% atau Rp. 370,000,- untuk tahun 2007 meningkat sebesar 29% atau Rp. 760,750,- dan di tahun 2008 sebesar Rp. 1,450,000,- atau sebesar 56% dengan jumlah tenaga kerja rata-rata mempekerjakan 7 orang untuk tahun 2005, dan masing-masing 5 orang untuk tahun 2007 dan tahun 2008 sedangkan untuk hasil produksi meningkat rata-rata sebesar 23% (26kg) untuk tahun 2005, 34% (39kg) di tahun 2007 dan 43% (49kg) di tahun 2008 sedangkan yang tidak mendapatkan manfaat bantuan program PEMP di tahun 2005, rata-rata pendapatannya sebesar Rp. 136,950,- (16%) dengan jumlah hasil produksi ratarata sebesar 7kg dan tenaga kerja rata-rata mempekerjakan 1 orang. Pendapatan tahun 2007 sebesar Rp. 377,650,- (44%) dengan rata-rata jumlah hasil produksi sebesar 20kg dan tenaga kerja rata-rata mempekerjakan 2 orang sedangkan di tahun 2008 pendapatan nelayan tangkap non PEMP rata-rata sebesar Rp. 336,150,- (40%), dengan rata-rata jumlah hasil produksi sebesar 18kg dan jumlah tenaga kerja sebanyak 3 orang. Selanjutnya usaha pedagang yang menerima PEMP di tahun 2005 memiliki pendapatan sebesar Rp. 1,250,000,- (39%) dengan volume penjualan sebesar 85kg dan rata-rata jumlah tenaga kerja sebanyak 3 orang. Sedangkan di tahun 2007 menurun sebesar Rp. 550.000,- (17%) dan ratarata mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 3 orang dengan volume penjualan sebesar 37kg per orang. Di tahun 2008 diketahui tingkat pendapatan pedagang meningkat sebesar 44% atau Rp. 1,450,000,- dengan jumlah tenaga kerja per kelompok rata-rata mempekerjakan masing-masing 4 orang dan jumlah volume penjualan sebanyak 60kg. Sedangkan usaha pedagang bagi responden yang tidak mendapatkan bantuan PEMP di tahun 2005 memiliki tingkat pendapatannya sebesar Rp. 456,500,- (30%) dengan jumlah tenaga kerja rata-rata 1 orang dan jumlah volume penjualannya sebanyak 26kg. Sedangkan di tahun 2007 meningkat sebesar Rp. 543,650,- (36%) dengan jumlah tenaga kerja 1 orang dan jumlah volume penjualan sebanyak 35kg. Di tahun 2008 tingkat pendapatan pedagang hanya mencapai Rp. 510,450,- (34%) dengan jumlah tenaga kerja 1 orang dan jumlah volume penjualan sebanyak 31kg. Diketahui lebih lanjut untuk usaha pengumpul yang mendapatkan manfaat program PEMP di tahun 2005 memiliki
107
tingkat pendapatan sebesar Rp. 1,125,000,- (28%) dengan jumlah tenaga kerja rata-rata sebanyak 3 orang dan jumlah hasil produksinya sebesar 39kg per orang. Untuk tahun 2007 tingkat pendapatannya meningkat menjadi 1,250,000,- (32%) dengan jumlah tenaga kerja rata-rata mempekerjakan 3 orang dalam satu kelompok sedangkan di tahun 2008 semakin menunjukkan peningkatan yang lebih baik sebesar 40% atau Rp. 1,575,000,- dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 4 orang dan jumlah hasil produksinya sebesar 75kg per orang. Sedangkan perbandingan dengan responden pengumpul yang tidak menerima bantuan menunjukkan perbedaan yang signifikan hal ini dikarekan nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru benar-benar sangat kekurangan sarana dan prasarana penunjang mata pencaharian mereka baik pengumpul, nelayan tangkap ataupun pedagang. Hal ini bisa dilihat pada tingkat pendapatan pengumpul tahun 2005 yang tidak mendapatkan PEMP hanya mencapai Rp. 460,650,- (38%) dengan jumlah tenaga kerja rata-rata mempekerjakan 1 orang dan jumlah hasil produksinya sebanyak 27kg perorang. Sedangkan di tahun 2007 tingkat pendapatan hanya mencapai Rp. 361,050,- (29%) dengan jumlah tenaga kerja 1 orang dan jumlah hasil produksinya sebanyak 20kg perorang. Selanjutnya ditahun 2008 tingkat pendapatan responden pengumpul sebesar Rp. 406,700,- (33%) dengan jumlah tenaga kerjanya pun hanya 1 orang dan jumlah hasil produksinya sebanyak 22kg. Untuk ketiga pelaku kegiatan mata pencaharian masyarakat pesisir yang tidak menerima bantuan PEMP dirasa belum mencukupi kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan primer, sekunder dan tertier hal ini diukur dengan tingkat kesejahteraan keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana nasional (1996) diacu dalam Primayudha (2002) dikatakan bahwa keluarga pra sejahtera (PS), yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara minimal serta kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan. Dan tentunya sangat mempengaruhi tingginya tingkat kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Aru. Adapun proporsi keluarga sejahtera menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2009, menunjukkan 58% penduduk tergolong
108
pra sejahtera, 29% adalah sejahtera I, dan masing-masing 9%, 3% dan 1% untuk sejahtera II, sejahtera III dan sejahtera III+, hal ini terlihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Proporsi keluarga sejahtera di Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2008 Diketahui lebih lanjut, salah satu program yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir adalah program PEMP. Jelas sekali sangat membantu kesejahteraan masyarakat pesisir, karena kondisi alam yang kaya akan sumberdaya perikanan tapi kontradiktif dengan kenyataan yang ada bahwa dari jumlah populasi masyarakat pesisir 16.42 juta jiwa yang tersebar, 32% tergolong miskin (Data PEDUM PEMP 2007). Kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat pesisir sungguh ironis karena mereka sebenarnya hidup dan bekerja pada sektor yang memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah dan kondisi ini rata-rata yang dialami oleh masyarakt pesisir di Indonesia. Sehingga jika dikatakan ada perbedaan yang menerima bantuan PEMP dan Non PEMP baik dari banyaknya tangkapan/hasil produksi, tenaga kerja yang di upahi dan pendapatan, tentunya ada. Kondisi inipun dialami oleh Desa Ponom dan Desa Kwarbola bagi masyarakat penerima manfaat dan yang tidak menerima bantuan PEMP, apakah itu dari indikator ekonomi seperti yang diuraikan diatas ataupun dari indikator ekologi untuk ukuran tangkapan sangat mempengaruhi indikator sosial yang merupakan parameter dari tingkat kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan indikator tingkat kesejahteraan yang diungkapkan oleh BPS (1993) yaitu ada beberapa hal yang merupakan komponen utama yang digunakan dalam mengambarkan tingkat kesejahteraan atau taraf hidup masyarakat antara lain: a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sering dijadikan sebagai indikator kemajuan suatu bangsa dan indikator dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
109
Pendidikan dalam kehidupan dewasa ini sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Variabel yang menjadi ukuran dalam pendidikan adalah tingkat buta/melek huruf, jumlah anak yang putus sekolah dan jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah (BPS 2007). b. Tingkat Kesehatan Tingkat kesehatan juga dapat dipakai sebagai ukuran kesejahteraan seseorang. Faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat antara lain konsumsi makan yang bergizi, karena hal ini berhubungan dengan tingkat harapan hidup masyarakat. Jumlah kematian bayi dan ibu hamil adalah bagian dari variabel tingkat kesehatan (BPS 2007). c. Tingkat Daya beli Indikator yang digunakan untuk melihat Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat berdasarkan tingkat daya beli masyarakat adalah tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat konsumsi. Menurut Biro Pusat Statistik (1998) pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota rumah tangga ekonomi. Uraian ini menguatkan penulis bahwa masyarakat penerima PEMP secara keseluruhan di Kabupaten Kepulauan Aru baik untuk Kecamatan Pulau-pulau Aru Kelurahan Galaydubu dan Siwalima maupun Desa Ponom dan Desa Kwarbola Kecamatan Aru Tengah, tahun 2005, 2007 dan tahun 2008, mengalami peningkatan pendapatan, tenaga kerja dan hasil produksi/volume penjualan dibandingkan dengan masyarakat yang tidak menerima bantuan PEMP, hal ini membuktikan bahwa untuk tingkat kesejahteraannyapun tercapai karena secara tidak langsung kebutuhan dasar yaitu makan minum dan pakai terpenuhi. Hal ini sejalan dengan pengertian kesejahteraan menurut pendapat dari Sukirno (1985) dikatakan kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang
berbeda pula terhadap
faktor-faktor yang
menentukan tingkat kesejahteraan. Selain itu Biro Pusat Statistik (1991) juga menyatakan
bahwa
kesejahteraan
bersifat
subjektif,
sehingga
ukuran
kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain, namun pada prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Jika
110
kebutuhan dasar bagi individu atau keluarga sudah dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan individu atau keluarga tersebut sudah tercapai. Kondisi dari masyarakat non PEMP, berdasarkan penelitian lapangan bahwa untuk makan, minum dan pakai sangat rendah tingkat pencapaianya. Karena masyarakat benar-benar hanya tergantung pada kondisi dan sumberdaya perikanan, sehingga pencaharian hasil perikanan hanya menggunakan alat tradisional seadanya. Diketahui lebih lanjut sejauh ini kondisi di lokasi penelitian untuk parameter pendidikan, kesehatan dan kemandirian usaha sangat minim menjadi bagian masyarakat non PEMP dan sebelum menerima PEMP. Kondisi perbedaan masyarakat penerima manfaat PEMP dan non PEMP atau tidak mendapatkan bantuan PEMP secara agregat untuk indikator ekonomi tertuang pada Tabel 29, dengan pendapatan non PEMP sudah dikonversi dalam Nilai Tahun yang sama dengan Sesudah PEMP. Tabel 29
Responden/ Tahun
2005 Nelayan Tangkap Pedagang Pengumpul 2007 Nelayan Tangkap Pedagang Pengumpul 2008 Nelayan Tangkap Pedagang Pengumpul
Perbedaan Masyarakat Penerima Manfaat PEMP dan Non PEMP secara agregat di kabupaten Kepulauan Aru, dengan Pendapatan Non PEMP sudah dikonversi dalam Nilai Tahun yang sama dengan Sesudah PEMP Non PEMP (Nilai Rata-rata) Hasil Jumlah Pendapatan Produksi/ Tenaga (Rp) Volume Kerja Penjualan (org) (kg)
PEMP (Nilai Rata-rata) Hasil Jumlah Pendapatan Produksi/ Tenaga (Rp) Volume Kerja Penjualan (org) (kg)
7
1
136,950
26
7
370,000
26 27
1 1
456,500 460,650
85 39
3 3
1,250,000 1,125,000
20
2
377,650
39
5
760,750
35 20
1 1
543,650 361,050
37 43
3 3
550,000 1,250,000
18
3
336,150
49
5
1,450,000
31 22
1 1
510,450 406,700
60 75
4 4
1,425,000 1,575,000
111
5.2
Evaluasi Keberlanjutan Berdasarkan pedoman umum, maka diketahui sasaran program PEMP
tahun 2008 adalah pelaku usaha perikanan tangkap skala mikro, pelaku usaha perikanan budidaya skala mikro, pelaku usaha pengolahan dan pemasaran skala mikro, dan pelaku usaha industri dan jasa maritim skala mikro, dengan prioritas pemuda, perempuan pesisir, jenis usaha yang tidak merusak lingkungan, dan tergolong miskin, dan telah ditentukan pula untuk kegiatan tahun 2008 difokuskan pada 1 (satu) kecamatan dan 2 (dua) desa pesisir miskin. Respon Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Aru berkenaan dengan program PEMP Tahun 2007 maka pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD sebesar Rp. 56.310.000,-
guna
menunjang
kegiatan
pembinaan
dan
pendampingan.
Selanjutnya untuk Tahun 2008 alokasi dana yang bersumber dari APBD sebesar Rp. 78.130.000,-. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru menetapkan yang mendapatkan bantuan PEMP tahun 2008 adalah Desa Ponom dan Desa Kwarbola yang terletak di Kecamatan Aru Tengah dengan penangkapan udang sebagai sasaran usaha yang akan dikembangkan. Adapun pertimbangan yang dipakai adalah: (a) Merupakan kategori desa miskin, (b) Memiliki potensi Sumberdaya Kelautan dan perikanan yang mendukung dan (c) Belum pernah mengakses Dana Ekonomi Produktif (BSM) program PEMP (Sumber Data: Laporan Akhir Pelaksanaan Program PEMP Tahun 2008). Hasil analisis evaluasi keberlanjutan membuktikan hipotesis pertama bahwa dengan adanya penyaluran program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru maka akan berdampak positif bagi tingkat kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini pertambahan anak usia sekolah meningkat dan berdampak pula pada ukuran udang yang tertangkap selain itu hasil produksinyapun bertambah mempengaruhi peningkatan pendapatan usaha penerima manfaat program PEMP. 5.2.1 Indikator Sosial Untuk keberlanjutan dengan indikator sosial, parameter yang tepilih berdasarkan kuisioner yang dibagikan adalah pendidikan. Hasil tabulasi nilai real dan nilai CTV dari pendidikan pada Gambar 16 untuk tehknik amoeba
112
menunjukkan bahwa sebelum menerima PEMP tahun 2007 masyarakat yang menyekolahkan anaknya pada tingkat SD masih dibawah target usia sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Aru untuk Desa Ponom dan Desa Kwarbola tahun 2009 (Lampiran 15). Diketahui sejak memekarkan diri dari kabupaten induknya, pemberantasan buta huruf dan penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu program pemerintah daerah yang tertuang dalam arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2006-2011. Sehingga dari jumlah anak usia sekolah untuk dua desa tersebut berdasarkan target capaian dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 harus mendapat perhatian sekurangkurangnya 50% yaitu rata-rata 42 anak dari pencapaian 100% atau rata-rata 84 anak tahun 2009 sedangkan ditahun 2007 atau sebelum mendapatkan manfaat PEMP jumlah anak yang bersekolah hanya mencapai 35 anak. Hal ini menjadi tolak ukur untuk menetapkan nilai CTV dari parameter pendidikan. Penelitian yang ada menunjukkan sumber penghidupan masyarakat pesisir dalam hal ini Desa Ponom dan Kwarbola 95% bergantung dari hasil perikanan. Selain daerahnya yang strategi karena terletak diantara muara-muara sungai yang merupakan tempat habitat dari udang penaeid tapi juga harga nilai jualnya yang cukup dihargai sehingga pencarian hasil perikanan lebih difokuskan pada udang penaeid. Dari hasil yang ada, masyarakat dapat menyekolahkan anaknya hingga menyelesaikan tingkat SLTP atau wajib belajar 9 tahun karena selama ini opini yang beredar bahwa anak cukup dibekali orangtuanya dengan cara bagaimana menangkap hasil perikanan yang telah disediakan alam selain itu masyarakat telah dimanjakan oleh alam sehingga merasa tidak perlu untuk menyekolahkan anaknya. Kesemuanya ini ini sebenarnya disebabkan ketidakmampuan orangtua dalam menyekolahkan anaknya sehingga setelah mendapat bantuan PEMP tahun 2009 jumlah anak yang sekolah sudah melewati batas usia wajib belajar. Keberlanjutan program PEMP dari indikator sosial berdampak baik bagi masyarakat penerima manfaat.
113
5.2.2 Indikator Ekonomi Peningkatan pendapatan adalah parameter terpilih dari indikator ekonomi yang dianggap sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil tabulasi nilai real dari tingkat pendapatan masyarakat penerima manfaat sebelum menerima PEMP tahun 2007 belum mencapai batas nilai CTV yang merupakan nilai upah minimum regional khusus untuk sektor perikanan secara umum berdasarkan SK Bupati Kepulauan Aru Nomor 297/2008 perihal Penetapan atas Upah Minimum Perikanan (UMP) Sektor/Sub Sektor Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2009 dengan tanggal penetapannya yaitu 17 Desember 2008 dan masa berlaku mulai dari 1 januari 2009, sebesar Rp. 820,000. Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner responden diketahui pendapatan masyarakat tahun 2007 sebelum mendapatkan PEMP untuk Desa Ponom dan Desa Kwarbola sebesar 18% atau Rp. 239,865 sedangkan setelah mendapatkan PEMP tahun 2009 pendapatan masyarakat penerima manfaat meningkat 81% atau Rp. 1,069,270. Hal ini disebabkan oleh bantuan PEMP berupa alat tangkap yaitu jaring udang dengan ukuran panjang 1 kepala 30 m, lebar 2.5 m dan ukuran mata jaringnya 1¾ inc, dimana pada musim kelimpahan masyarakat dapat menangkap lebih dari 10 kg dengan pengambilan 3 kali tarik 1 hari dan pada musim tidak berkelimpahan ± 6 kg 1 kali penarikan. Selain itu, bantuan alat transportasi laut berupa mesin motor diberikan kepada nelayan tangkap. Sedangkan pedagang udang diberikan bantuan dana rata-rata 3 juta/kelompok dan coolbox untuk pengumpul agar dapat menampung hasil perikanan sebelum dijual. Untuk itu dapat dikatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh PEMP sangat meningkatkan pendapatan masyarakat karena mempermudah masyarakat dalam mengakses hasil perikanan sehingga untuk tingkat pendapatan dapat dikatakan berkelanjutan (Lampiran 15, dan lampiran 20). 5.2.3 Indikator Ekologi Berdasakan hasil tabulasi nilai real dan nilai CTV dari variabel pengukur indikator ekologi yaitu ukuran udang pada diagram amoeba ketiga penerima manfaat (nelayan tangkap, pedagang dan pengumpul) menunjukan bahwa nilai sebelum dan sesudah menerima PEMP melampaui batas nilai CTV. Itu berarti ada
114
keberlanjutan yang terjadi baik sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PEMP
dalam hal penangkapan udang penaeid di Desa Ponom dan Desa
Kwarbola. Mengenai dinamika populasinya, pertumbuhan udang penaeid sangat cepat dan umurnya pendek berkisar 12-18 bulan. Selain itu juga laju kematiannya cukup tinggi. udang penaeid adalah termasuk jenis Decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi. Daur hidup udang penaeid dibagi menjadi 2 fase, yaitu (1) fase lautan dan fase muara sungai. Udang betina memijah di laut terbuka. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah sekitar 24 jam menetas menjadi larva tingkat I yang disebut nauplius, panjangnya total kurang dari 1 mm, terdapat sedikit diatas dasar laut terbuka dengan salinitas 35 %0 selama 36-48 jam. Setelah mengalami 8x ganti kulit (moulting), nauplius berubah menjadi protozoa dengan panjang total sekitar 3 mm. tingkat protozoa lamanya 7 hari bersifat plantonik bergerak menuju permukaan laut dan mulai bermuara ke arah pantai. Kemudian protozoa berubah menjadi mysis setelah 3 kali ganti kulit dengan panjang total 4-10 mm. tingkatan ini masih bersifat plantonik selama 7 hari. Setelah ganti kulit 3 x mysis berubah menjadi pasca-larva dengan panjang total 1-2 cm. Pasca-larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan (nursery ground) di pantai dan mulai menuju ke dasar perairan. Fase pasca-larva adalah 1 bulan. Di daerah asuhan pasca-larva secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah beberapa kali ganti kulit dengan panjang 2 – 10 cm dan merupakan fase muara sungai selama 3-4 bulan, kemudian setelah menjadi udang muda mulai beruaya ke laut. Udang dewasa dengan panjang 10-24 cm merupakan fase lautan selama kurang lebih 8 bulan. Di laut udang dewasa kelamin, kawin dan udang betina kemudian memijah (Naamin, 1984). Batas toleransi penangkapan udang penaeid 10cm (R.S.S. Wu, P.K.S. Lam, K.L. Wan. 2001) dan nilai ini merupakan nilai CTV karena dianggap pada ukuran ini udang penaeid telah memijah dan sudah ada bibit-bibit udang yang akan terus bertahan untuk melangsungkan kehidupannya. Penangkapan udang tahun 2007 sebelum mendapatkan PEMP masyarakat Desa Ponom dan Kwarbola telah menangkap udang dengan ukuran rata-rata 12cm walaupun masih menggunakan alat tradisional seadanya dan menggunakan perahu dayung sehingga penangkapannya tidak banyak dibandingkan sesudah mendapatkan
115
PEMP tahun 2009 dengan ukuran penangkapan rata-rata 15-23 cm (Lampiran 15, dan lampiran 21). 5.2.4 Indikator Kelembagaan Jumlah BSM (Bantuan Sosial Mikro) program PEMP tahun 2008 sebesar Rp. 590. 125.000,-. Sesuai PEDUM PEMP tahun 2008, jumlah desa yang menjadi sasaran pelaksanaan program dimaksud maksimum 2 desa pada 1 kecamatan dengan Kriteria sebagai berikut: (a) Merupakan kategori desa miskin, (b) Memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang mendukung dan (c) Belum pernah mengakses Dana Ekonomi Produktif (BSM) program PEMP. Berdasarkan analisa SWOT, kecamatan yang menjadi sasaran program PEMP tahun 2008 adalah Kecamatan Aru Tengah, Desa Kwarbola dan Desa Ponom dengan penangkapan udang sebagai sasaran usaha yang akan dikembangkan (Laporan akhir LEPP-M3 tahun 2008). Operasi yang ditetapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mengelola BSM program PEMP tahun 2008 adalah Koperasi LEPP M3 Morlongar berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru Nomor: 523.1/09a tanggal 19 Januari 2008 (Profil Koperasi LEPP M3 Morlongar). Dalam menjalankan program PEMP, Koperasi LEPP M3 memiliki tugas dan fungsi antara lain: (1) Mengidentifikasi,
memobilisasi,
mengorganisir,
mendorong
dan
mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi masyarakat pesisir di daerah kerjanya. (2) Mempertinggi kualitas SDM anggota dan kelompok binaan menjadi lebih professional dan mandiri sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi tantangan global. (3) Menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat pesisir dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota. LKM Morlongar menerima
cairan
BSM sebesar Rp. 515,125,000,- yang akan disalurkan ke masyarakat yang telah ditetapkan untuk menerima bantuan PEMP.
116
Untuk mendapatkan bantuan PEMP masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengikuti berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru seperti sosialisasi penggunaan bantuan, motivasi kerja, etos kerja dan tujuan akhir yang ingin dicapai dari program ini. Sebanyak 75% dari keikutsertaan masyarakat penerima manfaat yang harus mengikuti berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam program PEMP menjadi nilai CTV. Adapun partisipasi masyarakat penerima PEMP sebelum menerima bantuan harus mengikuti beberapa kegiatan dimaksud dan wajib diikuti calon penerima manfaat. Diketahui berdasarkan penelitian di lapangan dan sumber informan yang diperoleh baik oleh masyarakt penerima manfaat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru yang menyelenggarakan kegiatan ataupun laporan LEPP-M3 Morlongar, sebanyak 40% partisipasi masyarakat dalam mengikuti setiap moment yang dilaksanakan atau dan sesudah PEMP tahun 2009 sebanyak 60% yang mengikuti kegiatan-kegiatan yang terus dilaksanakan seperti evaluasi dan monitoring serta penyuluhan-penyuluhan perikanan yang memotivasi untuk tetap meningkatkan usahanya dari program PEMP. Sehingga untuk keberlanjutan dari kelembagaan PEMP dianggap belum melampaui batas nilai CTV dan dianggap tidak dapat dikatakan berkelanjutan. (Lampiran 15 dan lampiran 22). Analisis untuk evaluasi keberlanjutan ini terlihat pada Gambar 24 dengan tehknik amoeba untuk keberlanjutan usaha dari indikator sosial, indikator ekonomi, indikator ekologi dan indikator kelembagaan dengan variabel terpilih.
Gambar 24 Tehknik amoeba untuk keberlanjutan PEMP
117
5.3
Multi Criteria Decision Making (MCDM) Penentukan alternatif kebijakan atau program terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam hal ini penerima manfaat PEMP yang berkelanjutan di wilayah pesisir Kabupaten Kepulauan Aru khususnya Desa Ponom dan Desa Kwarbola menggunakan analisis Multi Criteria Decision Making
(MCDM).
Peremusan
skenario
pengelolaan
dilakukan
dengan
memperhatikan kondisi kedua kawasan tersebut saat ini dan hasil analisis sebelumnya, dengan memasukan aspek ekologi, ekonomi dan sosial sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Adapun skenario yang dirumuskan adalah: (1) Skenario I; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox tapi armada transpotasi tidak dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun (Rp. 200,000,000,-) (2) Skenario II; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, tapi jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun (Rp. 400,000,000,-). (3) Skenario III; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, tapi pembangunan depot pemasaran hasil tidak dibangun. (Rp. 450,000,000,-) (4) Skenario IV; Bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, dan adanya pembangunan depot pemasaran hasil (Rp. 700,000,000,-). Berdasarkan analisis sebelumnya, maka subkriteria yang terpilih sebagai penilai bagi keempat alternative yang dirumuskan di atas, akan diambil dari hasil analisis indikator yang masuk dalam kelas nilai terpilih, antara lain: (1) Kriteria ekologi; jenis tangkapan meningkat, tetap atau berkurang. (2) Kriteria sosial; a. tingkat pendidikan anak akan meningkat, tetap atau berkurang. b. kemandirian usaha akan meningkat, tetap atau berkurang. (3) Kriteria ekonomi; a. pendapatan
118
dari penerima manfaat meningkat, tetap atau berkurang. b. hasil produksi penerima manfaat meningkat, tetap atau berkurang. Subkriteria dari masingmasing kriteria untuk setiap skenario ini kemudian diajukan untuk mendapatkan persepsi responden dan selanjutnya diberi bobot. Setelah pembobotan, dilanjutkan pada tahapan fungsi agregasi dengan menghitung rata-rata geometrik dan nilai bobot persepsi responden baik untuk subkriteria maupun kriteria. Selanjutnya nilai rata-rata geometrik ini dianalisis untuk mendapatkan alternatif terbaik untuk pengusulan kebijakan yang harus diambil. Analisis ini dilakukan untuk seluruh responden keberlanjutan. Berdasarkan rumusan skenario, aspek yang diperhitungkan dan subkriteria yang terpilih disusun dalam bentuk hirarki. Struktur hirarki tersebut terlihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Struktur hirarki analisis MCDM
5.3.1 Responden Nelayan Tangkap Kegiatan penangkapan ikan merupakan jenis usaha perikanan terbesar, dibandingkan dengan aktifitas usaha perikanan dan kelautan lainnya di Kabupaten Kepulauan Aru, sehingga pendanaan bantuan PEMP salah satunya ditujukan untuk usaha nelayan tangkap. Terlihat bahwa kebijakkan untuk skenario I, II dan IV yang akan diambil sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat penangkap udang penaeid di Desa Ponom dan Desa Kwarbola tahun 2008 karena selama ini kondisi yang ada untuk alat transportasi masih dianggap kurang oleh nelayan tangkap.
119
A.
Kontribusi Persepsi Responden Nelayan Tangkap secara Agregat Adapun kontribusi persepsi responden nelayan tangkap secara agregat
terlihat bahwa untuk skenario I yaitu bila adanya penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox tapi armada transpotasi tidak dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun, memberikan kontribusi sebesar 94%, sedangkan untuk skenario II yaitu penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, tapi jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul tidak dipertegas, dan depot pemasaran hasil tidak dibangun cukup mendapat respon sebesar 95%, dan 66% kontribusi responden nelayan tangkap untuk skenario III yaitu bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox, armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, tapi pembangunan depot pemasaran hasil tidak dibangun. Jika skenario IV dilaksanakan yaitu pelaksanaan semua kebijakkan yang diambil maka tingkat kesejahteraan masyarakat penangkap udang mencapai 100%. Hal ini terlihat pada Gambar 26 tentang kontribusi persepsi responden nelayan tangkap secara agregat untuk ke-4 skenario.
Gambar 26 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap secara agregat untuk ke-4 skenario
B.
Kontribusi Persepsi Responden Nelayan Tangkap per Kriteria Secara agregat responden nelayan tangkap memberikan kontribusi pada
kriteria sosial untuk skenario I, dan skenario IV sama besar yaitu 0.3 untuk skenario II lebih kecil tapi masih dalam batsan yang sama pentingnya sedangkan
120
untuk kriteria ekonomi respon yang diberikan terhadap skenario II dan skenario IV memiliki kontribusi yang sama pula sedangkan untuk kriteria ekologi yang mendapat kontribusi respon terbanyak terdapat pada skenario I, II dan skenario IV, karena rata-rata nelayan tangkap sangat membutuhkan alat transportasi dan pembangunan armada transportasi untuk meningkatkan mobilitas penangkapan yang tentunya akan mempengaruhi kriteria ekonomi, ekologi dan sosial. Hal ini terlihat pada Gambar 27 Kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per kriteria untuk ke-4 skenario. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 2 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
Skenario IV
Skenario II
Skenario I
Skenario III
Sosial Ekonomi Ekologi
0.0
Gambar 27 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per kriteria untuk ke-4 skenario
C.
Kontribusi Persepsi Responden Nelayan Tangkap per Sub Kriteria Kontribusi responden nelayan tangkap terhadap ke-4 skenario dari sub
kriteria yang ada menunjukkan bahwa lebih banyak memberikan pemasukkan bagi jenis tangkapan yaitu udang penaeid dan secara berturut-turut tentunya akan mempengaruhi pendidikan, pendapatan, hasil produksi dan yang terakhir kemandirian usaha,. Dimana sub kriteria jenis tangkapan diberikan kontribusi persepsi responden untuk skenario I, skenario II dan skenario IV sebesar 0.3.
121
Terlihat pada Gambar 28 tentang skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per sub kriteria. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 3 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
Jenis tangkapan Pendidikan Pendapatan Hasil produksi Kemandirian usaha
0.0
Skenario IV
Skenario II
Skenario I
Skenario III
Gambar 28 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap per sub kriteria 5.3.2 Responden Pedagang Peningkatan
kesejahteraan
dari
pedagang
udang
penaeid
sangat
dipengaruhi oleh jalur perekonomian yaitu dimulai dari hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan dengan spesifikasi tangkapannya adalah udang penaeid kemudian dijual ke pengumpul dari pengumpul udang penaeid itu di ambil atau dijual ke pedagang hasil perikanan. Selain itu sangat diperlukan perlu pula pembangunan depot pemasaran hasil perikanan dan kelautan, oleh karenanya kebijakan yang diambil perlu memperhatikan masyarakat pesisir yang berpofesi pedagang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kontribusi yang diberikan oleh responden pedagang terhadap skenario III dan skenario IV.
A.
Kontribusi Persepsi Responden Pedagang secara Agregat Untuk skenario IV kontribusi persepsi yang diberikan oleh responden
pedagang sebesar 100% yaitu bila penambahan bantuan alat transpotasi dan coolbox juga armada transpotasi dibangun, jalur perekonomian dari nelayan tangkap, pedagang udang, pengumpul dipertegas, dan adanya pembangunan depot pemasaran hasil. Sedangkan skenario III sebanyak 95%, skenario II dan skenario I
122
masing-masing sebanyak 61% dan 47%. Gambar 29 akan menunjukan skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang secara agregat untuk ke-4 skenario.
Gambar 29 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang secara agregat untuk ke-4 skenario.
B.
Kontribusi Persepsi Responden Pedagang per Kriteria Berdasarkan penelitian di lapangan responden pedagang memberikan
kontribusi persepsi pada kriteria ekonomi untuk skenario III, dan skenario IV sama besar yaitu 0.5 sedangkan untuk skenario II dan skenario I memiliki kontribusi yang lebih kecil yaitu 0.3 untuk mempengaruhi secara langsung tingkat kesejahteraan responden pedagang dalam hal kebijakan yang akan diambil oleh stakeholder di Kabupaten Kepulauan Aru. Hal ini terlihat pada Gambar 30 Kontribusi persepsi responden pedagang per kriteria untuk ke-4 skenario. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 2 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
Ekonomi Sosial Ekologi
0.0
Skenario IV
Skenario III
Skenario II
Skenario I
Gambar 30 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang per kriteria untuk ke-4 skenario. C.
Kontribusi Persepsi Responden Pedagang per Sub Kriteria Untuk responden pedagang kontribusi persepsi akhir yang diberikan
terhadap ke-4 skenario dari sub kriteria yang ada menunjukkan bahwa lebih banyak memberikan pemasukkan bagi jenis tangkapan dibandingkan sub criteria
123
lainnya. Dimana sub kriteria jenis tangkapan diberikan kontribusi persepsi respon pedagang untuk skenario III dan skenario IV sebesar 0.3. setelah itu pendapatan, volume penjualan, kemandirian usaha, dan pendidikan. Hal ini dikarenkan pedagang udang penaeid juga sangat tergantung pada jenis tangkapan jika ada penegasan jalur perekonomian dan penetapan depot pemasaran hasil maka secara berurutan akan mempengaruhi sub kriteria lainnya yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan responden pedagang. Terlihat pada Gambar 31 tentang skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang per sub kriteria. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 3 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
Skenario IV
Skenario III
Skenario II
Skenario I
Jenis tangkapan Pendapatan Volume penjualan Kemandirian usaha Pendidikan
0.0
Gambar 31 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang per sub kriteria
5.3.3 Responden Pengumpul Pengumpul udang penaeid dalam peningkatan kesejahteraannya sangat dipengaruhi oleh penambahan coolbox, penegasan jalur perekonomian dan depot pemasaran hasil. Oleh karena itu kebijakan yang diambil jangan sampai mengabaikan kesejahteraan mayarakat pesisir yang berpofesi pengumpul. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kontribusi yang diberikan oleh responden pengumpul terhadap skenario I, skenario III dan skenario IV karena dianggap kebijakan yang tertuang dalam skenario ini akan mempengaruhi peningkatan pendapatan responden pengumpul.
A.
Kontribusi Persepsi Responden Pengumpul secara Agregat Masyarakat pengumpul dalam hal ini yang menerima manfaat memberikan
kontribusi persepsi untuk skenario I sebesar 96% sedangkan skenario III dan skenario IV mendapt kontribusi persepsi sebesar 100% hal ini dikarenakan penegasan jalur perekonomian, pembangunan depot pemasaran hasil dan penambahan coolbox dianggap sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan
124
masyarakat pengumpul sehingga untuk skenario II yaitu pembangunan armada transportasi hanya diresponi
sebanyak
66%
dalam
pencapaian
tingkat
kesejateraan. Gambar 32 akan menunjukan skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul secara agregat untuk ke-4 skenario.
Gambar 32 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul secara agregat untuk ke-4 skenario
B.
Kontribusi Persepsi Responden Pengumpul per Kriteria Responden pengumpul udang penaeid memberikan kontribusi pada
kriteria ekonomi untuk skenario I, skenario III, dan skenario IV sama besar atau dengan kata lain sama pentingnya yaitu sebesar 0.3 sedangkan untuk skenario II memiliki
kontribusi
yang
lebih
kecil
untuk
mempengaruhi
tingkat
kesejahteraannya, setelah itu baru kriteria ekologi dan yang terakhir kriteria ekonomi untuk masing-masing skenario. Besar harapan para responden pengumpul untuk pemerintah daerah dapat memperhatikan kondisi ini, karena harapan yang sama dirasakan oleh pengumpul selain dari responden pedagang dan nelayan tangkap untuk melaksanakan keempat skenario yang dibuat.
125
Hal ini terlihat pada Gambar 33 tentang skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul pedagang per kriteria untuk ke-4 skenario. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 2 1.0
1.0
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.0
Ekonomi Ekologi Sosial
0.0
Skenario III
Skenario IV
Skenario I
Skenario II
Gambar 33 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul per kriteria untuk ke-4 skenario.
C.
Kontribusi Persepsi Responden Pengumpul per Sub Kriteria Untuk responden pengumpul kontribusi yang diberikan per sub kriteria
menunjukkan bahwa lebih banyak responden ini memberikan skor akhir yang tinggi bagi sub kriteria jenis tangkapan. Dimana sub kriteria ini diberikan kontribusi persepsi respon pengumpul untuk skenario I, skenario III dan skenario IV sebesar 0.3. Hal ini dikarenkan pengumpul sangat tergantung pada jenis tangkapan jika ada penegasan jalur perekonomian dan penetapan depot pemasaran hasil maka untuk jenis tangkapan akan mempengaruhi tingkat pendapatan, hasil produksi, kemandirian usaha, dan pendidikan. Terlihat pada Gambar 34 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul per sub kriteria untuk ke-4 skenario. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 3 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0
Jenis tangkapan Pendapatan Hasil produksi Kemandirian usaha Pendidikan
0.0
Skenario III
Skenario IV
Skenario I
Skenario II
Gambar 34 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul per sub kriteria untuk ke-4 skenario.
126
5.3.4 Kriteria Ekologi Untuk kriteria ekologi terlihat bahwa hasil analisis responden nelayan tangkap, pedagang udang maupun pengumpul memiliki persepsi dan pengaruh yang tinggi untuk skenario IV artinya bantuan alat transportasi laut, coolbox, armada transportasi laut, penetapan jalur perekonomian dan pembangunan depot pemasaran sangat dibutuhkan oleh keseluruhan responden. Kegiatan nelayan tangkap memiliki spesifikasi penangkapan yaitu penaeid shrimp dan diketahui sejauh masyarakat penangkap dapat mentolirir penangkapan hasil perikanan tersebut, yang dianggap belum melampaui batas jumlah tangkapan udang penaeid yang diperbolehkan (JTB) Kecamatan Aru Tengah sebesar 772.83 ton/tahun dari jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 966.03 ton/tahun. Mengingat potensi udang penaeid di perairan Kecamatan Aru Tengah ini sebesar 1.932.07 ton, maka tentunya kebijakan yang diambil sangat mempengaruhi jenis tangkapan udang penaeid selain nilai protein yang tinggi dan sangat baik untuk dikonsumsi masyarakat tapi juga cukup diperhitungkan pemasarannya. A.
Responden Nelayan Tangkap Untuk responden nelayan tangkap pada kriteria ekologi menunjukkan
bahwa skenario I, skenario II memiliki besaran persepsi yang sama yaitu untuk penambahan alat transpotasi laut, coolbox, juga pembangunan armada transportasi dan skenario IV yaitu melaksanakan keseluruhan kebijakan yang tertuang akan mempengaruhi kesejahteraan nelayan tangkap sebesar 0.34 dibandingkan dengan persepsi responden untuk skenario III besaran kontribusi persepsi yaitu sebesar 0.21, yang menegaskan jalur perekonomian (Lampiran 16). Gambar 35, akan menunjukkan kondisi ini. Contributions to Ekologi from Level:Level 3 0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Skenario I
Skenario II
Skenario IV
Skenario III
Jenis tangkapan
0.00
Gambar 35 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria ekologi
127
B.
Responden Pedagang Udang Hasil analisis menunjukan bahwa dibandingkan dengan nelayan tangkap
justru pedagang udang memiliki persepsi yang sama besar pengaruhnya antara skenario III dan skenario IV yaitu sebesar 0.29 karena keterkaitan antar skenario yang dibuat sangat erat menunjang kegiatan perdagangan untuk memperoleh hasil yang
semaksimal
mungkin
dari
sebelumnya
dimana
penegasan
jalur
perekonomian dan depot pemasaran hasil sangat mempengaruhi jenis tangkapan dari pedagang udang sedangkan untuk skenario I, responden memberikan persepsi sebesar 0.09 dan 0.19 untuk skenario II dimana kedua skenario ini cukup besar pula responnya terhadap kebijakan yang akan diambil karena ketergantungan pedagang terhadap hasil perikanan tangkapan (Lampiran 17). Terlihat pada Gambar 36 untuk besaran persepsi terhadap masing-masing skenario untuk skoring akhir kontribusi responden pedagang udang kriteria ekologi. Contributions to Ekologi from Level:Level 3 0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Skenario III
Skenario IV
Skenario II
Skenario I
Jenis tangkapan
0.00
Gambar 36 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria ekologi
C.
Responden Pengumpul Untuk kegiatan pengumpul, skenario I, III dan skenario IV diberikan
kontribusi persepsi oleh responden pengumpul sebesar 0.37 sedangka untuk skenario II hanya mencakup 0.25 ini berarti kondisi yang ada yaitu hasil yang diperoleh nelayan tangkap langsung dijual untuk pedagang udang maupun masyarakat yang ingin membeli udang penaeid tersebut tanpa harus melewati pengumpul. Kebijakan yang diambil akan mempengaruhi jenis tangkapan pula untuk responden pengumpul jika ada pertegasan jalur perekonomian maka masyarakat pengumpul dapat diberdayakan dan memiliki pendapatan yang
128
semakin baik (Lampiran 18). Nampak pada Gambar 37 yang menunjukkan kondisi tersebut. Contributions to Ekologi from 3 Level:Level
0.40
0.40
0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Skenario I
Skenario IV
Skenario III
Skenario II
Jenis tangkapan
0.00
Gambar 37 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul udang terhadap kriteria ekologi
5.3.5 Kriteria Ekonomi Kriteria ekonomi memiliki sub kriteria pendapatan dan hasil produksi udang penaeid untuk aktifitas penangkapan, pedagang dan pengumpul, dimana masing-masing responden memberikan tanggapan berbeda-beda. Untuk skenario IV lebih banyak diresponi dibandingkan dengan skenario I, II, III sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing respondenb dan kebijakan yang diambil sangat kait mengkait dan mempengaruhi ketiga usaha perikanan yang ada.
A.
Responden Nelayan Tangkap Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap untuk kriteria
ekonomi meunjukkan bahwa untuk skenario I, II dan IV untuk sub Kriteria pendapatan memberikan kontribusi responden sebesar 0.17 hal ini dikarenakan untuk alat transportasi, coolbox, pembangunan armada transportasi dan juga pembangunan depot hasil pemasaran akan sangat mempengaruhi peningkatan pendapatan dibandingkan dengan penegasan jalur perekonomian karena bagi nelayan tangkap tanpa penegasan jalur perekonomianpun mereka tetap bisa memperoleh pendapatan yang cukup. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kontribusi persepsi yang diberikan sebesar 0.11 bagi skenario III. Lain halnya dengan sub kriteria hasil produksi untuk skenario I dan skenario III mendapat respon persepsi sebesar 0.11 sedangkan skenario II dan skenario IV sebesar 0.17 ini berarti masyarakat
akan
memperoleh
hasil
produksi
yang
lebih
besar
bila
129
ditambahkannya alat transportasi, coolbox, pembangunan armada transpotasi dan pembangunan depot pemasaran hasil untuk usaha nelayan tangkap (Lampiran 16). Lebih jelas dapat terlihat pada Gambar 38. Contributions to Ekonomi from 3 Level:Level
0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Pendapata Hasil n produksi
0.00
Skenario II
Skenario
Skenario I
Skenario
Gambar 38 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria ekonomi B.
Responden Pedagang Udang Hasil analisis dari MCDM untuk responden pedagang udang dengan
kriteria ekonomi, membuktikan bahwa betapa pendapatan dipengaruhi kebijakan yang akan diambil seperti yang tertuang dalam skenario III, IV rata-rata menjawab sangat berpengaruh sehingga kontribusi yang diberikan adalah sebesar 0.21 untuk sub kriteria pendapatan dan volume penjualan berbeda dengan skenario II dan skenario I hanya menjawab 0.14 artinya selama kebijakan III dan IV tidak diambil, maka berdampak pada penurunan volume penjualan udang penaeid juga pendapatan responden pedagang (Lampiran 17). Gambar 39 akan menunjukkan skor akhirnya kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria ekonomi. Contributions to Ekonomi from Level:Level 3 0.45
0.45
0.40
0.40
0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Pendapatan Volume penjualan
0.00
Skenario III
Skenario IV
Skenario I
Skenario II
Gambar 39 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria ekonomi
130
C.
Responden Pengumpul Kriteria ekonomi untuk kegiatan pengumpul sangat menunjukkan
pendapatan yang meningkat dan sangat berpengaruh jika kebijakan yang diusulkan dalam skenario I, skenario III maupun skenario IV dijalankan maka berdampak bagi peningkatan pendapatan maupun hasil produksi. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi persepsi yang diberikan responden sebesar 0.19. Sedangkan untuk hasil skenario II responnya yang diberikan sebesar 0.13 baik untuk sub kriteria pendapatan maupun hasil produksi (Lampiran 18). Dapat dilihat pada Gambar 40 tentang skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi. Contributions to Ekonomi from Level:Level 3 0.40
0.40
0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Pendapatan Hasil produksi
0.00
Skenario I
Skenario III
Skenario IV
Skenario II
Gambar 40 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria ekonomi 5.3.6 Kriteria Sosial Kriteria sosial memiliki dua sub kriteria dominan yang terpilih yaitu pendidikan dan kemandirian usaha, tetapi setelah diperhadapkan dengan skenario yang disampaikan maka keempat skenario yang paling dianggap sangat memberikan kontribusi persepsi yang lebih banyak untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dari kriteria sosial adalah sub kriteria kemandirian usaha. Untuk kebijakan yang akan diambil dalam skenario I, II, III maupun skenario IV yang masing-masing skenario memberikan besar kontribusi yang berbeda, bila penambahan alat transportasi, coolbox, pembangunan armada transportasi, penegasan jalur perekonomian dan pembangunan depot pemasaran dilaksanakan.
131
A.
Responden Nelayan Tangkap Hasil analisis MCDM dari nelayan tangkap untuk kriteria sosial
menunjukkan bahwa sub kriteria pendidikan mendapat respon yang cukup banyak, karena dianggap bantuan yang diberikan akan membantu para penerima manfaat untuk dapat menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal ini dikarenakan selama ini bagaimana
anak-anak nelayan hanya dibekali dengan
cara mencari hasil laut karena ketergantungan pada sumber daya
perikanan yang sangat banyak di Kabupaten Kepulauan Aru sehingga mereka tetap dengan mitos yang ada bahwa tanpa bersekolahpun anak-anak mereka tetap bisa bersekolah. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kontribusi persepsi responden untuk usaha penangkapan yang diberikan pada skenario I, II dan IV sub kriteria pendidikan sebesar 0.20, sedangkan untuk skenario III sebesar 0.14. Untuk sub kriteria kemandirian usaha rata-rata memberikan kontribusi persepsi sebesar 0.13 untuk skenario I dan IV selanjutnya skenario II dan III sebesar 0.09 (Lampiran 16). Gambar 41 akan menunjukkan skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria sosial. Contributions to Sosial from Level:Level 3 0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Skenario I
Skenario IV
Skenario II
Skenario III
Pendidikan Kemandirian usaha
0.00
Gambar 41 Skor akhir kontribusi persepsi responden nelayan tangkap terhadap kriteria sosial
B.
Responden Pedagang Udang Responden pedagang udang terhadap setiap skenario yang diusulkan yaitu
pada sub kriteria kemandirian usaha dan pendidikan sama-sama dianggap penting. Sub kriteria kemandirian usaha untuk skenario III dan skenario IV sebesar 0.15 sedangkan sub kriteria pendidikan skenario IV sebesar 0.15 sedangkan skenario III sebesar 0.9. Untuk skenario I bagi kemandirian usaha kontribusi yang diberikan sebesar 0.05 dan untuk skenario II sebesar 0.09 sedangkan sub kriteria
132
pendidikan skenario I dan skenario II sebesar 0.05. Hal ini dikarenakan kebijakan untuk penambahan alat transportasi, coolbox dan pembangunan armada transportasi sangat berpengaruh besar terhadap kemandirian usaha dan tingkat pendidikan. Responden pedagang udang merasa dengan adanya kemandirian usaha maka merekapun dengan sendirinya dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga setiap kebijakan yang diambil akan juga mempengaruhi pertambahan jumlah anak yang sekolah di Desa Ponom dan Desa Kwarbola (Lampiran 17). Hasil skoring akhirnya dapat dilihat pada Gambar 42. Contributions to Sosial from 3 Level:Level 0.30
0.30
0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Kemandirian usaha Pendidika n
0.00
Skenario IV
Skenario III
Skenario II
Skenario I
Gambar 42 Skor akhir kontribusi persepsi responden pedagang udang terhadap kriteria sosial C.
Rensponden Pengumpul Responden pengumpul untuk kriteria sosial mendapat lebih banyak respon
persepsi terhadap sub kriteria kemandirian usaha yaitu sebesar 0.15 untuk skenario I, III dan skenario IV. Setelah ada program PEMP tahun 2008 di Desa Ponom dan Kwarbola, maka kemandirian usaha perlu ditingkatkan agar tingkat ketergantungan terhadap subsidi berkurang dan lama kelamaan hilang. Tetapi bukan berarti pendidikan tidak dianggap penting tidaklah demikian, seiring dengan peningkatan hasil produksi maka akan mempengaruhi tingkat pendidikan anak karena pendapatan yang semakin tinggi pula sehingga masyarakat dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan untuk skenario II memberikan kontribusi persepsi masyarakat sebesar 0.10 untuk sub kriteria kemandirian usaha sedangkan kontribusi persepsi yang diberikan untuk skenario III dan skenario IV, sub kriteria pendidikan sebesar 0.10
133
dan untuk skenario I, skenario II sebesar 0.07 (Lampiran 18). Kondisi ini dapat terlihat pada Gambar 43. Contributions to Sosial from Level:Level 3 0.25
0.25
0.20
0.20
0.15
0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
Kemandirian usaha Pendidikan
0.00
Skenario III
Skenario IV
Skenario I
Skenario II
Gambar 43 Skor akhir kontribusi persepsi responden pengumpul terhadap kriteria sosial
5.3.7 Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Agregat terhadap tingkat Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru dalam hal ini adalah masyarakat penerima manfaat PEMP khususnya Desa Ponom dan Desa Kwarbola dapat mencapai 100% jika kebijakan-kebijakan yang menjadi usulan dari keempat skenario yang dibuat dapat dilaksanakan (Lampiran 19), antara lain: penambahan bantuan alat transportasi laut bagi masyarakat kedua desa tersebut, yang keseluruhan masyarakatnya berdomisili di daerah pesisir dan juga coolbox bagi masyarakat pengumpul yang dianggap masih kurang sehingga pengurangan tingkat pengangguranpun dilakukan, pembangunan armada transportasi laut juga sangat penting untuk efektifitas dan efisiensi kerja karena letak geografis kedua desa terletak diantara muara-muara sungai dan sampai saat ini kondisi armada transportasi
laut
yang
ada
di
Desa
Kwarbola
belum
diselesaikan
pembangunannya sedangkan untuk Desa Ponom belum ada pembangunan armada transportasi sehingga masyarakat nelayan hanya mengikat alat transportasinya di pesisir-pesisir pantai yang dirasa tidak efektif dan efisien dalam pengembangan peningkatan kesejahteraan, penegasan jalur perekonomian untuk kegiatan penangkapan, pengumpul dan pedagang juga dianggap penting dan perlu dipertegas karena terkadang masyarakat nelayan harus mencari pembelinya sendiri tanpa melalui jalur-jalur perekonomian yang ada. Begitupula yang terjadi
134
dengan pengumpul dan pedagang sehingga hubungan kerja antara nelayan tangkap, pengumpul dan pedagang masih lemah dan tentunya mempengaruhi tingkat efisiensi kerja. Selanjutnya adalah depot pemasaran hasil harus dibangun agar masyarakat pelaku aktifitas perekonomian tahu kemana harus menjual dan membeli hasil perikanan dari Desa Ponom dan Desa Kwarbola yang merupakan desa penghasil udang penaeid di Kecamatan Aru Tengah kontribusi yang diberikan untuk skenario III sebesar 89% hal ini dianggap bahwa sebagian masyarakat merasa dengan tidak membangun depot pemasaranpun
tetap
terlaksana aktifitas jual beli dengan hasil yang tentunya tidak maksimal karena hanya segelintir orang yang mengetahuinya. sehingga dianggap penting sekali untuk dibangunnya depot pemasaran hasil dan untuk skenario IV keseluruhan responden
baik untuk nelayan tangkap, pedagang
maupun pengumpul
memberikan kontribusi persepsi sebesar 100% untuk menunjang peningkatan kesejahteraan mereka. Selanjutnya untuk pembangunan armada transportasi hanya mendapat respon sebanyak 66% karena anggapan masyarakat bahwa prioritas utama mereka bukanlah untuk pembangunan armada transportasi yang tertuang skenario II sedangkan untuk skenario I kontribusi persepsi yang diberikan cukup besar dibandingkan skenario I yaitu sebesar 72% yaitu lebih kepada penambahan alat transportasi laut dan coolbox saja. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 44.
Gambar 44 Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan terhadap ke-4 skenario Diketahui lebih lanjut PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru masih tergantung pada subsidi sehingga pada hipotesis dua dikatakan bahwa program PEMP saat ini masih bergantung pada subsidi sehingga tingkat keberlanjutan dari program PEMP rendah.
135
5.3.8 Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Agregat per Kriteria Untuk kontribusi persepsi dari keseluruhan responden keberlanjutan yang terdiri dari nelayan tangkap, pedagang dan pengumpul udang penaeid yang paling besar kontribusi yang diberikan lebih kepada kriteria ekologi untuk skenario III dan skenario IV sebesar 0.38 karena dianggap kedua skenario ini sudah memenuhi keinginan para responden untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sedangkan untuk skenario I dan skenario II hanya diberikan kontribusi sebesar 0.25 karena dianggap hanya menguntungkan responden nelayan tangkap saja, tidak untuk responden pedagang dan pengumpul. Selanjutnya untuk skoring tertinggi setelah kriteria ekologi yaitu kriteria ekonomi, dimana kontribusi persepsi yang diberikan pada skenario IV sebesar 0.37 sedangkan skenario I dan skenario III mendapat respon sebanyak 0.31 dan 0.25 untuk skenario II itu artinya keseluruhan responden keberlanjutan di Desa Ponom dan Desa Kwarbola akan mengalami peningkatan kesejahteraan bila kebijakan yang tertuang dalam skenario IV dapat dilaksanakan. Kemudian untuk kriteria sosial pada skenario IV yaitu 0.25 cukup tinggi dibandingkan dengan skenario I dan II sebesar 0.17, sedangkan skenario III sebesar 0.21, walau tidak sebesar kontribusi yang diberikan pada kriteria ekologi dan ekonomi unbtuk
skenario
IV, tapi cukup
mempengaruhi tingkat
kesejahateraan responden penerima manfaat PEMP Tahun 2008. Gambar 45 akan menunjukan skor akhir dari kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat untuk tiap kriteria. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 2 1.0
1.0
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.0
Ekonomi Ekologi Sosial
0.0
Skenario IV
Skenario III
Skenario I
Skenario II
Gambar 45 Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat per Kriteria
136
5.3.9 Kontribusi Persepsi Responden Keberlanjutan secara Agregat per Sub Kriteria Keseluruhan responden keberlanjutan memberikan kontribusi per sub kriteria terpilih berdasarkan analisis MCDM terlihat bahwa untuk jenis tangkapan sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka jika jumlah jenis tangkapan yaitu udang penaeid meningkat maka akan mempengaruhi tingkat pendapatan dari nelayan tangkap, pedagang dan pengumpul udang yang secara langsung pula akan meningkatkan hasil produksi, kemandirian usaha dan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan adanya bantuan PEMP yang diberikan bagi penerima manfaat dan akan berkelanjutan bagi perekonomian wilayah yang tentunya sangat mempengaruhi pembangunan daerah Kabupaten Kepulauan Aru, jika pemerintah daerahnya
melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam skenario IV yaitu
penambahan bantuan alat transpotasi bagi nelayan tangkap dan coolbox bagi pengumpul serta armada transpotasinya dibangun, dan tidak lupa perlu adanya penegasan jalur perekonomian usaha perikanan, dan yang terakhir perlu diadakanya pembangunan depot pemasaran hasil, otomotis pengurangan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Aru akan meningkat sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2006-2026 dengan visi yaitu “Terwujudnya Percepatan Pembangunan Kabupaten Kepulauan Aru berdasarkan Karakteristik Kepulauan dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat secara Berkelanjutan.” dengan rincian misinya yaitu Pertama: mewujudkan percepatan pembangunan Kabupaten Kepulauan Aru berdasarkan karakteristik kepulauan secara berkelanjutan. Kedua: mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru secara berkelanjutan. Dari visi, misi Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Aru yang tertuang dalam RPJP tersebut, maka perlu disadari betul bahwa wilayah Kabupaten Kepulauan Aru dikelilingi oleh Laut Arafura yang menyebabkan wilayah pesisir ini sangat tergantung pada hasil perikanan. Itu berarti perhatian pemerintah daerah mestinya lebih kepada perekonomian wilayah pesisir yang berkelanjutan, sehingga kondisi saat ini diketahui bahwa setelah pemberhentian dana bantuan PEMP dari Pemerintah Pusat untuk tahun 2008 maka sebaiknya ada keberlanjutan bantuan usaha dari pemerintah daerah dengan terapan waktu yang dirasa telah merata bantuan
137
pemberdayaan ekonomi wilayah yang diberikan di Kabupaten Kepulauan Aru. Kondisi kesejahteraan masyarakat penerima manfaat PEMP tahun 2008 di Desa Ponom dan Desa Kwarbola dengan kontribusi persepsi terhadap skenario yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 46 tentang skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat per sub kriteria. Contributions to KESEJAHTERAAN MSY ARU from Level:Level 3 1.0
1.0
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.0
Skenario IV
Skenario III
Skenario I
Skenario II
Jenis tangkapan Pendapata n Hasil produksi Kemandirian usaha Pendidikan
0.0
Gambar 46 Skor akhir kontribusi persepsi responden keberlanjutan secara agregat per sub kriteria
Program PEMP di Kabupaten Kepulauan Aru sangat mempengaruhi perekonomian wilayah pesisir, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir yang terlihat pula lewat peningkatan pendapatan dimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya setelah mendapatkan program PEMP, yang tentunya dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk memilih dari masyarkat penerima manfaat tersebut. Hasil penelitian ini didukung dengan pendapat dari Todaro 2000 dimana dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak azazi manusia, selain itu pengembangan ekonomi wilayah adalah suatu usaha meningkatnya hubungan independensi dan interaksi antar sistem ekonomi (economy system), sistem masyarakat (social system), lingkungan hidup (environment) dan sumber daya alam (ecosystem). Dimana diketahui bahwa adanya hubungan ketarkaitan sistem perikanan antara ekonomi, ekologi, dan
138
komunitas yang ada mengakibatkan penelitian di Kabupaten Kepulauan Aru dikatakan berkelanjutan atau semakin baik dengan adanya program PEMP walaupun telah diungkapkan sebelumnya bahwa kelembagaan tidak berkelanjutan karena kurang adanya partisipasi masyarakat dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan tapi tidak mempengaruhi pengembangan ekonomi wilayah yang melihat keterkaitan antara sistem ekonomi, sistem masyarakat dan sumberdaya alam.
5.4
Deskripsi tentang Program PEMP dan PNPM Program PEMP adalah program pemberdayaan masyarakat pesisir yang
secara umum bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, penguatan kelembagaan, penggalangan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan dan diversifikasi usaha yang berkelanjutan dan berbasis sumberdaya lokal, berlaku hanya sampai tahun 2008 dan ditahun 2009 sampai dengan saat ini dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat
selaku
Ketua
Tim
Koordinasi
No.25.KEP/MENKO/KESRA/VII/2007
tentang
Penanggulangan pedoman
Kemiskinan
Umum
Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Mandiri (PNPM Mandiri), diharapkan dapat mempercepat penanggulangan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi serta merupakan harmonisasi dan sinkronisasi dari program pemberdayaan yang ada di kementerian/lembaga. Sejalan dengan tujuan PNPM Mandiri, mulai tahun 2009 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginisiasi program pemberdayan yang merupakan integrasi pemberdayaan pada masing-masing eselon satu dalam wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP). Selanjutnya diharapkan pelaksanaan PNPM Mandiri-KP diharapkan dapat mendukung program pengentasan kemiskinan yang sedang digalakkan pemerintah utamanya bagi masyarakat kelautan dan perikanan. Program PNPM Mandiri-KP pada saat ini menjadi salah satu program andalan guna mendorong percepatan terjadinya visi Pembangunan Kelautan dan
139
Perikanan, yakni: Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar 2015. Selain itu upaya pencapaian visi ini juga dilakukan dengan membentuk kawasan-kawasan andalan berbasis usaha di bidang kelautan dan perikanan, seperti: budidaya, penangkapan, pengelolahan, dan pemasaran, yang disebut minapolitan. Berdasarkan pelaksanaan PNPM Mandiri-KP Tahun 2009 serta upaya mendukung visi Pembangunan Kelautan dan Perikanan serta menunjang misi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan, maka dirasa perlu untuk melakukan perubahan Pedoman Pelaksanaan, antara lain alokasi pemanfaatan Bantuan Langsung
Masyarakat
(BLM)
dalam
pelaksanaan
Program
Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) Tahun 2010. Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri-KP dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni (1) Pengembangan Masyarakat; (2) Bantuan Langsung Masyarakat (BLM); (3) Peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat; dan (4) Bantuan pengelolaan dan pengembangan masyarakat. Dalam rangka mencapai visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut maka kegiatan PNPM Mandiri-KP tahun 2010 meliputi: (1) Penyediaan sarana dan prasarana pembenihan dan pembesaran ikan; (2) Penyediaan sarana penangkapan ikan; (3) Penyediaan sarana pengelolahan dan pemasaran hasil perikanan; (4) Pengembangan infrastruktur lingkungan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (5) Penyediaan/perbaikan sarana dan prasarana usaha garam rakyat (PEDUM PNPM Mandiri-KP 2010). Baik untuk program PEMP maupun PNPM Mandiri-KP memiliki tujuan akhir kegiatan yaitu untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Membedakan antara PEMP dan PNPM Mandiri-KP hanya pada karakteristik program tersebut dimana PEMP bersifat revolving sampai pada tahun 2008 berubah menjadi Bantuan Sosial (BANSOS) dan lebih kepada pengadaan sarana untuk menunjang kegiatan kelautan dan perikanan sedangkan PNPM Mandiri-KP bersifat Bantuan Langsung Masyarakat dan lebih menekankan pada peningkatan ketersediaan prasarana dan sarana pengembangan usaha bidang kelautan dan perikanan. Otomatis program PNPM Mandiri-KP adalah keberlanjutan dari program PEMP.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S. 1995. Adaptasi Ekologi Masyarakat di Wilayah Pesisir. Makalah Kursus Pelatihan ICZPM Angkatan I. PPLH-IPB. Bogor. 15hal. Adrianto, Luky. 2004. Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir (Kumpulan Working Paper). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto, Luky. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Perikanan: Participatory Qualitative Modeling. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Perikanan Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Adrianto, Luky. 2009. Modul Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Direktorat Pesisir dan Lautan. Ditjen KP3K. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Anwar, A. 2001. Usaha Membangun Asset-asset Alami dan Lingkungan Hidup pada Umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan Ekonomi Masyarakat Kearah Keberlanjutan. Bahan Kuliah Organisasi. PS Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. IPB. Bogor. Anwar, A. 2005. Ketimpangan pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Tinjauan Kritis. P4W Press Bogor. Arief, S. 1993. Metode Penelitian Ekonomi. UI-Press. Jakarta. Arsyad, L, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE. Yogyakarta. Barbier, B. Edward. 1993. Economics And Ecology. Chapman & Hall. London. Glasgow. New York. Melburne. Madras. Badan Pusat Statistik. 2007. Kepulauan Aru Dalam Angka. BPS Kabupaten Kepulauan Aru. Maluku Badan Pusat Statistik. 2008. Kepulauan Aru Dalam Angka. BPS Kabupaten Kepulauan Aru. Maluku Badan Pusat Statistik. 2009. Kepulauan Aru Dalam Angka. BPS Kabupaten Kepulauan Aru. Maluku Bapeddal. 1996. Buku Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Lautan. Bapeddal. Jakarta. Hal 65
143
Carner, G. 1984. Kelangsungan Hidup Saling Ketergantungan dan Persaingan di Kalangan Kaum Miskin Philiphina dan Pembangunan Berdimensi Kerakyatan: Penyunting Korten dan Sjahrir. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 56-63. Costanza, Robert. 2001. Institutions, Ecosystem, And Sustainability. CRC Press LLC. London New York Wasington, D.C. Charles, A. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Sciences. London. UK. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2001. Pedoman Teknis Nilai Tukar Nelayan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2005. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2007. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2008. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2008. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Aru. 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah Instansi Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Aru. Fahrudin A. 1997. Metode Penelitian dan Analisis Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Pengelolaan Manggrove. PKSPL-IPB Bogor. Fauzi, A. 1997. Suatu Telaahan Masalah Kemiskinan di Indonesia (makalah). Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cetakan ke-2 Gloria Yepiz-Plascencia, Francisco Vargas-Albores, Inocencio Higuera-Ciapara, 2000. Penaeid shrimp hemolymph lipoproteins Marine Biotechnology Laboratory, Centro de InÍestigacio´n en Alimentacio´n y Desarrollo, Hermosillo, Sonora, 83000 Mexico.
144
Hall, Peter/Pfeiffer. 2000. Urban Future 21, A global agenda for twenty-first century cities, London. Ife J. 1995. Community Development. Creating Community Alternative Vision Analisys and Practice. Longman. Australis. Pty. Ltd. ISOI. 2009. Pengarusutaam peran Kelautan dalam Pembangunan Berkelanjutan. IPB International Convention Center Botani Square, Bogor. Juanda, Bambang. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Bogor. Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press. Edisi Kedua. Bogor. Kusnadi. 2002. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung. HUP. 169 hal. Kieffer, C.H. 1981. The Emergence of Empowerment: The Development of Participatory Competence Among Individuals in Citizen Organitations, unpublished Phd dissertation, U iversity of Michigan, Ann Arbor. Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Munasinge M. 1994. Enviriomental Economics and Sustainable Development. World Bank Paper Number ke-3. Wasington DC. Naamin, N. 1984 Dinamika Populasi Udang Jerbug (penaeus merguiensis de man) di perairan arafura dan alternative pengelolaanya (disertasi). Bogor. Insitit Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarja Nasution, Zahri. 2007. Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Konsep dan Indikator Pemberdayaan. Balai besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta. 365 hal. Nazir, M . 2003. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta. Cetakan ke-5. Nazir, M . 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta. Cetakan ke-6.
145
Nikijuluw, V.P.H. 1994. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat di Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 1. N0. 2. PKSPL. IPB Bogor. Norminarna, M.K.J. 1996. Mengapa Masyarakat Indonesia Membutuhkan Pengelolaan Kawasan Pesisir? (Tinjauan Sosek). Semiloka Nasional Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia 11-15 Nopember 1996. Pusat studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. UNPATI. Ambon. Penn, J. W. 1984. The behavior and catchability of some commercially exploited penaeids and their relationship ti stock and recruitmen. didalam: Gulland, J. A. and B.J. Rothschild, editor. Penaeid shrimp – their Biology and management. England: Fishing News Books Kimited Farnham Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Aru. 2006. Lembaran Daerah Kabupaten Kepulauan Aru. Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Kepulauan Aru Tahun 2006-201. Badan Hukum dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Aru. Prasojo. W. Nuraini. 1993. Pola Kerja Rumah Tangga Miskin pada Musim Paceklik (Studi Perbandingan pada Komunitas Nelayan dan Pertaninan Tanaman Pangan di Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Jawa Barat) Tesis. IPB. Bogor. 94 hal. Purnomo, Heri, Agus Dr. 2007. Indikator Kinerja Makro Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan badan Riset Kelutan dan Perikanan, Departemen Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Rahardja, Prathama. Dan Manurung, Mandala. 2008. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar. Edisi keempat. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Raharjo. 1998. Peran Pengalaman Belajar dan Meningkatkan Kreativitas dan Kemampuan Memecahkan Masalah. Tesis. IPB. Bogor. Rustiadi E., Saefulhakim S., Panuju D. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Konsep dan Teori Intitut Pertanian Bogor. Rustiadi, Ernan. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. R.S.S. Wu, P.K.S. Lam, K.L. Wan. 2001. Tolerance to, and avoidance of, hypoxia by the penaeid shrimp (Metapenaeus ensis) Centre for
146
Coastal Pollution and Conservation, City University of Hong Kong, Tat Chee Avenue, Hong Kong SAR, China. Shardlow, Steven. 1998. Values, Ethnic and Social Work dalam Adams Robert., Lena Dominelli dan Malcolm Payne (eds). Social Work: Themes, Issues and Critical Debates. London: MacMillan Press Ltd. H.23-33. Simanjuntak, S. 2010. Koridor Pareto Optimal dan Kaldor Hicks. Komunikasi personal. Bogor. Soesilowati. 1997. Peran LSM dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Pulau Barang Caddi Kota Makasar. Tesis. Program Studi SPL. IPB. Bogor. Soemarjadjan,
S.
1961. Ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan: Pengalaman Indonesia. Ohio University Center for Internatinal Studies. Athens. Ohio.
Suhayanto, O. 2005. Disparitas Tingkat Kehidupan Masyarakat antar Wilayah di Jawa Barat dan Strategi Penanggulangannya. (Tesis). Bogor; Sekolah Intitut Pertanian Bogor. Suroso, P. C. 1995. Perekonomian Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutomo. 2003. Evaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Tesis. PS SPL. IPB. Bogor. Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. LON-LIPI. Tarigan, J. 2004. Alternatif Pengendalian Dalam Sistem Informasi Akuntansi Terkomputerisasi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, Nr. 2Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236, Indonesia. Petra Christian University - Surabaya, Indonesia. UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report. Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Williamson, J. G. 1975. Regional Inequility and National Development. Edited By John friedman and Wiliam Alonsi. Regional Policy-Reading in Theory and Aplication. MIT.
Lampiran 1 Potensi dan sumberdaya pesisir di kabupaten Kepulauan Aru dalam hal ini spesies terumbu karang
a
b
(a) Acropora clabrata yang ditumbuhi acropora tenuis, (b) A. Clabrata yang ditumbuhiAcropora formosa
c
d
(c) Podabacia crustase , (d) Favia pallida
e
f
g
h
ii
j
(e) Famili faviidae, (f) Potritidae (g) Karang submasif (h) Karang massif (i) Karang Acropora sub massif (j) Fungiidae
148
Lampiran 2 Potensi Lamun di kabupaten Kepulauan Aru
Jenis-jenis predator (Cholinia midas) yang memanfaatkan daun lamun
Jenis dugong dugon dan jenis krustacea
Jenis moluska yang berasosiasi dengan padang lamun
149
Lampiran 3 Kondisi mangrove di kabupaten Kepulauan Aru
Kenampakan manggove Kecamatan Pulau-pulau Aru
Kenampakan manggove Kecamatan Aru Tengah
Kenampakan manggove Kecamatan Aru Selatan
150
Lampiran 4 Potensi perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru
Jenis ikan pelagis besar yang ditemukan di perairan Kecamatan Aru Tengah
Jenis ikan demersal (Polynemus sp) yng tertangkap oleh nelayan Kecamatan Aru Tengah
Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh nelayan Kecamatan Pulau-pulau Aru (a) Ikan kembung (Rastrelliger sp), (b) ikan sarden (Sardinella)
152
Lampiran 5 Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang, pendapatan sebelum program sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan sesudah program.
Responden
Tahun Penerima Manfaat
Hasil produksi (kg)/org Sebelum Sesudah
Tenaga kerja/kelompok Sebelum Sesudah
Pendapatan (Rp)/org
1
2005
15
27
2
4
232,400
400,000
2
2005
7
25
1
4
199,200
340,000
3
2005
5
20
1
3
132,800
200,000
4
2005
9
24
1
3
149,400
280,000
5
2007
10
30
2
4
398,400
625,000
6
2007
14
43
3
4
361,880
812,500
7
2007
5
35
2
6
295,480
709,000
8
2007
9
34
2
5
265,600
714,000
9
2008
10
58
2
5
166,000
1,400,000
10
2008
12
35
1
3
290,500
1,033,000
11
2008
9
70
1
4
149,400
1,500,000
12
2008
11
70
2
5
282,200
1,500,000
13
2008
13
38
1
4
315,400
990,000
14
2008
12
45
1
4
265,600
1,125,000
15
2008
28
43
2
4
498,000
1,000,000
16
2008
18
69
2
6
415,000
1,500,000
17
2008
20
70
2
6
431,600
1,500,000
18
2008
25
44
2
4
489,700
1,000,000
19
2008
10
34
1
2
166,000
800,000
20
2008
30
42
2
5
581,000
1,000,000
21
2008
22
43
2
3
373,500
1,000,000
22
2008
12
48
1
4
307,100
1,350,000
23
2008
15
45
1
4
298,800
1,250,000
24
2008
26
65
2
6
589,300
1,400,000
25
2008
11
28
1
3
166,000
400,000
26
2008
12
35
1
3
282,200
675,000
27
2008
19
30
1
3
464,800
500,000
28
2008
15
33
1
3
166,000
700,000
Sebelum
Sesudah
153
Lampiran 6 Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang
1
Tahun menerima PEMP 2005
2
2005
18
3
140,800
3
2005
15
2
67,200
4
2005
15
2
130,600
5
2007
20
2
226,600
6
2007
29
1
450,620
7
2007
30
4
413,520
8
2007
25
3
448,400
9
2008
48
3
1,234,000
10
2008
23
2
742,500
11
2008
61
3
1,350,600
12
2008
59
3
1,217,800
13
2008
25
3
674,600
14
2008
33
3
859,400
15
2008
15
2
502,000
16
2008
51
4
1,085,000
17
2008
50
4
1,068,400
18
2008
19
2
510,300
19
2008
24
1
634,000
20
2008
12
3
419,000
21
2008
21
1
626,500
22
2008
36
3
1,042,900
23
2008
30
3
951,200
24
2008
39
4
810,700
25
2008
17
2
234,000
26
2008
23
2
392,800
27
2008
11
2
35,200
28
2008
18
2
534,000
Responden
∆ Hasil Produksi
∆ Tenaga Kerja
∆ Pendapatan
12
2
167,600
154
Lampiran 7 Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang, pendapatan sebelum program sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan sesudah program.
Responden
Tahun Penerima Manfaat
Volume Penjualan (kg)/org Sebelum Sesudah
Tenaga kerja/kelompok Sebelum Sesudah
Pendapatan (Rp)/org Sebelum
Sesudah
29
2005
35
60
1
3
581,000
1,000,000
30
2005
50
80
1
3
830,000
1,150,000
31
2005
47
90
1
2
415,000
1,350,000
32
2005
30
65
1
2
556,100
1,000,000
33
2007
50
60
2
3
664,000
800,000
34
2007
30
65
1
3
415,000
990,000
35
2007
35
35
1
2
498,000
300,000
36
2007
41
57
1
2
249,000
685,000
37
2008
28
60
1
3
664,000
800,000
38
2008
18
115
2
4
415,000
1,500,000
39
2008
20
95
2
4
498,000
1,350,000
40
2008
15
63
1
2
332,000
1,000,000
41
2008
17
70
1
4
356,900
1,000,000
42
2008
28
45
1
3
630,800
1,250,000
43
2008
23
64
1
4
498,000
1,000,000
44
2008
21
34
2
4
332,000
570,000
45
2008
27
65
2
5
664,000
1,000,000
46
2008
13
30
1
2
282,200
535,000
47
2008
21
55
2
4
448,200
985,000
155
Lampiran 8 Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang ∆ Volume penjualan
∆ Tenaga Kerja
29
Tahun menerima PEMP 2005
25
2
419,000
30
2005
30
2
320,000
31
2005
43
1
935,000
32
2005
35
1
443,900
33
2007
10
1
136,000
34
2007
35
2
575,000
35
2007
0
1
(198,000)
36
2007
16
1
436,000
37
2008
32
2
136,000
38
2008
97
2
1,085,000
39
2008
75
2
852,000
40
2008
48
1
668,000
41
2008
53
3
643,100
42
2008
17
2
619,200
43
2008
41
3
502,000
44
2008
13
2
238,000
45
2008
38
3
336,000
46
2008
17
1
252,800
47
2008
34
2
536,800
Responden
∆ Pendapatan
156
Lampiran 9 Data hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang, pendapatan sebelum program sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan sesudah program.
Responden
Tahun Penerima Manfaat
Hasil produksi (kg)/org
Tenaga kerja/kelompok Sebelum Sesudah
Pendapatan (Rp)/org
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
48
2005
26
36
1
3
270,000
620,000
49
2005
19
37
1
3
250,000
880,000
50
2005
15
32
1
2
175,000
775,000
51
2007
20
32
1
2
300,000
700,000
52
2007
15
40
1
3
200,000
1,000,000
53
2007
21
45
2
4
310,000
1,210,000
54
2008
10
27
1
2
150,000
760,000
55
2008
30
40
2
4
500,000
1,000,000
56
2008
22
38
1
3
200,000
1,000,000
57
2008
27
60
2
4
175,000
1,350,000
58
2008
33
48
1
3
180,000
830,000
59
2008
30
90
1
4
550,000
1,800,000
157
Lampiran 10 Delta hasil produksi, tenaga kerja, pendapatan sebelum dan sesudah program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang
48
Tahun menerima PEMP 2005
49
2005
18
2
630,000
50
2005
17
1
600,000
51
2007
12
1
400,000
52
2007
25
2
800,000
53
2007
24
2
900,000
54
2008
17
1
610,000
55
2008
10
2
500,000
56
2008
16
2
800,000
57
2008
33
2
1,175,000
58
2008
15
2
650,000
59
2008
60
3
1,250,000
Responden
∆ Hasil Produksi
∆ Tenaga Kerja
∆ Pendapatan
10
2
350,000
158
Lampiran 11 Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan penangkapan udang, pendapatan non PEMP sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan yang mendapatkan program PEMP.
1
Tahun Menerima PEMP 2005
Hasil produksi (kg)/org 5
Tenaga kerja/ kelompok 1
2
2005
8
1
149,400
3
2007
25
2
481,400
4
2007
15
1
273,900
5
2008
20
3
381,800
6
2008
15
2
290,500
Responden
Pendapatan (Rp)/org 124,500
Lampiran 12 Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pedagang udang, pendapatan non PEMP sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan yang mendapatkan program PEMP.
7
Tahun Menerima PEMP 2005
Hasil produksi (kg)/org 20
Tenaga kerja/ kelompok 1
8
2005
32
1
581,000
9
2007
39
1
664,000
10
2007
30
1
423,300
11
2008
25
1
415,000
12
2008
37
1
605,900
Responden
Pendapatan (Rp)/org 332,000
159
Lampiran 13 Data hasil produksi, tenaga kerja, dan pendapatan non program PEMP tahun 2005, tahun 2007 dan tahun 2008 untuk kegiatan pengumpul udang, pendapatan non PEMP sudah dikonversi dalam nilai tahun yang sama dengan yang mendapatkan program PEMP.
13
Tahun Menerima PEMP 2005
Hasil produksi (kg)/org 18
Tenaga kerja/ kelompok 1
14
2005
35
1
589,300
15
2007
25
1
439,900
16
2007
15
1
282,200
17
2008
19
1
315,400
18
2008
25
1
498,000
Responden
Pendapatan (Rp)/org 332,000
151
Ikan julung (Hemirhampus spp) yang tertangkap oleh nelayan Kecamatan Aru tengah
(A).Jenis ikan Caranx sexfasciatus, (B). Jenis ikan Siganus canaliculatus (C). Jenis ikan Cephalopholis argus (D). Jenis ikan Cephalopholis miniata
Jenis ikan Konsumsi (A & B) dan Ikan Hias (C & D) yang terdapat di wilayah ekologis Pulau-pulau Aru. (A) Jenis ikan Plectropomus maculates, (B) Jenis ikan Caesio teres. (C) Jenis ikan Pomacentrus moluccensis dan Chromis viridis, (D) Jenis ikan Chaetodon trifascialis dan Chaetodon vagabundus.
160
Lampiran 14 Data hasil perhitungan bobot persepsi responden untuk analisis indikator domain JΡ i
JR
Pi
1. Ukuran ikan
110
37
2.97
2. Struktur tangkapan ramah lingkungan
94
37
2.54
3. Kesadaran masyarakat dlm aktifitas MCK, dll
87
37
2.35
4. Jenis tangkapan
101
37
2.73
JΡ i
JR
Pi
1. Banyaknya tangkapan/hasil produksi
99
37
2.68
2. Penambahan tenaga kerja
100
37
2.70
3. Peningkatan Pendapatan
111
37
3.00
JΡ i
JR
Pi
1. Tingkat Pendidikan
108
37
2.92
2. Kesehatan
99
37
2.68
3. Kemandirian usaha
96
37
2.59
Indikator Kelembagaan
JΡ i
JR
Pi
1. Partisipasi masyarakat terhadap PEMP
104
37
2.81
2. Penguatan kelembagaan PEMP
98
37
2.65
3. Pengembangan kemitraan
92
37
2.49
Indikator Ekologi
Indikator Ekonomi
Indikator Sosial
Lampiran 15 Data akhir evaluasi keberlanjutan untuk indikator domain didapat dari hasil wawancara dan data primer No
Parameter
1
Pendidikan
PEMP tahun 2008) Sebelum (tahun Sesudah 2007 (tahun 2009) 35 anak 46 anak
2
Pendapatan
Rp. 239,865
3
Ukuran tangkap
4
Partisipasi masyarakat
Nilai CTV
Ket
42 anak
75%
Rp. 1069.270 Rp. 820.000,- UMR 2009
± 12 cm
15-23 cm
10 cm
40%
60%
75%
Ukuran udang dewasa keikutsertaan
161
Lampiran 16 Data bobot persepsi responden nelayan tangkap Responden
1 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Rata2 geomean
Kriteria Ekologi: jenis tangkapan Skenario I
3 3
3
3
3
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
3
Skenario III
3 2
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean
3
Rata-rata geomean kriteria Ekologi
3
Kriteria Ekonomi: Hasil Produksi Skenario I
2 2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
3
3
2
Skenario II
2 2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario III
3 3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
2
3
3
3
2
2
3
3
3
3
2
2
3
3
3
3 3
Rata-rata geomean Kriteria Ekonomi: Pendapatan Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
Skenario III
2 2
2
2
2
1
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean
3
Rata-rata geomean kriteria Ekonomi
3
Kriteria Sosial: Pendidikan Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario III
3 3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 3
Rata-rata geomean Kriteria Sosial: Kemandirian Usaha Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
1 1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean
2
Rata-rata geomean kriteria Sosial
3
162
Lampiran 17 Data bobot persepsi responden pedagang Responden
1
2
3
4
Kriteria Ekologi: jenis tangkapan Skenario I 1 1 1 1
5
6
7
8
9
10
11
Rata-rata geomean
1
1
2
2
2
2
2
1
Skenario II
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
3
3
3
2
2
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekologi Kriteria Ekonomi: Hasil Produksi Skenario I 3 3 3 3 3 3 2 2
2 2 2
2
2
2
Skenario II
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
2
2
Skenario III
2
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
2
2
3
3
3
2
2
3
3
3
Rata-rata geomean Kriteria Ekonomi: Pendapatan Skenario I 2 2 2 2 2 2
3 2
2
2
2
2
2
Skenario II
2
2
3
3
3
2
2
2
3
3
3
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekonomi Kriteria Sosial: Pendidikan Skenario I 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 1
1
1
1
Skenario II
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
1
Skenario III
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
2
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 2
Rata-rata geomean Kriteria Sosial: Kemandirian usaha Skenario I 1 1 1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
Skenario II
1
1
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
Skenario III
2
3
3
3
3
3
3
2
3
3
2
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Sosial
2 2
163
Lampiran 18 Data bobot persepsi responden pengumpul
Responden
1
2
Kriteria Ekologi: jenis tangkapan Skenario I 3 3
3
4
5
6
Rata2 geomean
3
2
3
3
3
Skenario II
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekologi Kriteria Ekonomi: Hasil Produksi Skenario I 3 3 3 3
3 3 3
3
3
Skenario II
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
3
3
2
2
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Kriteria Ekonomi: Pendapatan Skenario I 3 3 3
3 3
3
3
3
Skenario II
2
2
2
2
1
1
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekonomi Kriteria Sosial: Pendidikan Skenario I 2 2 2 3
3 3 3
3
2
Skenario II
1
1
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Kriteria Sosial: Kemandirian usaha Skenario I 3 3 3
2 3
2
2
3
Skenario II
2
2
2
2
2
1
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Sosial
3 2
164
Lampiran 19 Data agregat dari persepsi responden untuk analisiss MCDM Responden
1 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kriteria Ekologi: jenis tangkapan Skenario I
3 3
3
3
3
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
3 2
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekologi Kriteria Ekonomi: Hasil Produksi Skenario I
2 2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
3
3
Skenario II
2 2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario III
3 3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
2
3
3
3
2
2
3
3
3
3
2
2
3
3
3
Rata-rata geomean Kriteria Ekonomi: Pendapatan Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
Skenario III
2 2
2
2
2
1
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekonomi Kriteria Sosial: Pendidikan Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario III
3 3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Kriteria Sosial: Kemandirian Usaha Skenario I
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
Skenario II
3 3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
1 1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
2
2
2
2
Skenario IV
3 3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Sosial
165
Lampiran 19 ……………….. (lanjutan) Responden
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Rata2 geomean
Kriteria Ekologi: jenis tangkapan Skenario I
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
2
3
3
2
Skenario II
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
3
3
3
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 3 3
Rata-rata geomean Rata-rata geomean kriteria Ekologi Kriteria Ekonomi: Hasil Produksi Skenario I
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
2
Skenario II
3
3
3
3
3
2
2
2
2
3
2
2
2
2
2
2
2
2
Skenario III
2
3
3
3
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
3
Skenario IV
3
3
2
2
3
3
3
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3 3
Rata-rata geomean Kriteria Ekonomi: Pendapatan Skenario I
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
Skenario II
2
2
3
3
3
2
2
2
3
3
3
2
2
2
2
1
1
2
Skenario III
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean
3
Rata-rata geomean kriteria Ekonomi
3
Kriteria Sosial: Pendidikan Skenario I
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
3
3
3
2
Skenario II
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
2
2
Skenario III
3
3
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3 2
Rata-rata geomean Kriteria Sosial: Kemandirian Usaha Skenario I
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
3
3
2
2
2
Skenario II
1
1
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
1
2
Skenario III
2
3
3
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
3
3
3
3
2
Skenario IV
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata geomean
2
Rata-rata geomean kriteria Sosial
2
166
Lampiran 20 Jenis alat tangkap dan alat transportasi yang dipakai masyarakat Desa Ponom dan Desa Kwarbola
Lampiran 21 Udang penaeid yang tertangkap di Desa Ponom dan Desa Kwarbola
167
Lampiran 22 Dokumentasi selama mengikuti pelatihan dan sosialisasi program PEMP Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru
166
Lampiran 20 Jenis alat tangkap dan alat transportasi yang dipakai masyarakat Desa Ponom dan Desa Kwarbola
Lampiran 21 Udang penaeid yang tertangkap di Desa Ponom dan Desa Kwarbola
167
Lampiran 22 Dokumentasi selama mengikuti pelatihan dan sosialisasi program PEMP Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Aru