Etnis Cina di Indonesia Fakta Komunikasi Antar Budaya Oleh : Robert Siburian * Abstrack Chinese ethnic in Indonesia always gets discrimination behavior from "Indonesian people". Behalf, they have been lived long time ego (5th century) in this country. However, I have assumed that they were struggled to Indonesia independent from imperialism. And now, they are still struggling for build Indonesia citrate to other countries in the world with use sport. But until now also, Indonesian people is not received them like the other ethnic. Indonesia people some times ignored struggled of them. This paper will attempt about condition of ethnic Chinese in Indonesia, and why discrimination behavior is appeared.
A. Pendahuluan Keberadaan etnis Cina di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke5. Hal itu ditunjukkan oleh kunjungan Fa-Hsien,1 seorang pendeta Budha ke Indonesia pada abad awal tarikh masehi2 (Kwartanada, 1996: 24; Djie, 1995: 20). Dengan adanya fakta yang demikian, berarti etnis Cina sudah hadir kurang lebih 15 abad, jauh sebelum bangsa Belanda menjajah di Indonesia3. Tahun kedatangan pendeta Budha itu lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan tahun terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 lalu. Bukti lain tentang keberadaan etnis Cina di Indonesia adalah berupa keikutsertaan muslim Cina untuk membangun Kesultanan Demak. Kesultanan * Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Email:
[email protected] 1 Sumber lain menyebutkan bahwa Fa Hsien berkunjung ke Indonesia bukan atas kesengajaan. Pada waktu itu, kapalnya mendapat kecelakaan dan ia terdampar di suatu tempat yang masih diperdebatkan oleh para ahli apakah di Pulau Jawa atau Sumatera. Fa Hsien berada di tempat baru itu selama enam bulan. Perdebatan para ahli pun kemudian muncul; apakah pada waktu itu sudah ada etnis Cina yang ditemukan oleh Fa Hsien atau belum. Untuk mengetahui lebih jelas perdebatan akan keberadaan Fa Hsien di Indonesia, lihat tulisan Liem Twan Djie, 1995, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi. (terjemahan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 20 - 28. 2 Pada abad ke-5 ini sebutan "Indonesia" belum dikenal. 3 Indonesia dijajah oleh Belanda pada abad 16. 1
Demak merupakan salah satu pusat pemerintahan Islam pertama di bumi Nusantara ini. Muslim Cina ini adalah para musafir muslim yang bermazhab Hanafi yang terdampar, dan kemudian membangun sebuah mesjid di Semarang (Rochmawati, 2004: 115). Rentang waktu sejak dari kunjungan pendeta Budha hingga negara Indonesia diproklamirkan lebih dari 1000 tahun. Dalam rentang waktu itu, kiprah etnis Cina di Nusantara ini sudah banyak, walaupun sejarah mencatat bahwa kiprah mereka itu dominan di bidang perdagangan. Selama itu pula, sudah banyak orang Cina yang lahir, mati dan dikuburkan di bumi Pertiwi ini. Dengan kata lain, etnis Cina di bumi Indonesia sudah lama beranak-pinak. Mencermati keberadaan etnis Cina yang sudah beberapa generasi tinggal di bumi Indonesia, seharusnya keberadaan mereka tidak perlu lagi dipermasalahkan. Hanya karena kebetulan mereka itu etnis Cina, namun sudah banyak di antara etnis Cina itu tidak lagi mengetahui letak tanah leluhurnya. Beberapa di antara mereka pun sudah banyak yang tidak mengerti bahasa leluhurnya. Berdasarkan fakta itu, proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara-bangsa juga melibatkan etnis Cina, sehingga dalam perkembangannya pun etnis Cina merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Gagasan mengenai nasion Hindia Belanda (Indonesia) dengan tidak melihat latar belakang etnik, budaya, agama, bahasa dan ras sudah dimulai sejak tahun 1917, yang dilakukan oleh dr. Tjipto Mangunkusumo. Beliau ini melontarkan sebuah gagasan tentang warga negara Hindia Belanda di masa depan, yaitu harus terdiri atas semua golongan yang menganggap negara Indonesia sebagai tanah airnya. Negara Indonesia sebagai tanah airnya tidak sebatas pengakuan saja, tetapi harus diwujudkan dengan keaktifannya ikut mengembangkan negara Indonesia itu (Suryadinata, 1984: 159). Mengikuti jalan pemikiran dr. Tjipto ini, di dalamnya ada semangat untuk merangkul semua golongan ataupun etnis yang pada saat itu berada di wilayah Hindia Belanda (Indonesia) untuk bersatu padu membangun Indonesia baru ke depan. Sebab, ketika penjajahan berlangsung etnis dari negara-negara lain seperti Cina, India ataupun Arab selain bangsa penjajah itu sendiri sudah berdiam di Indonesia. Keberadaan etnis yang berasal dari luar Indonesia itu tidak dibawa oleh bangsa penjajah ataupun ikut menjajah sehingga mereka tidak melekat dengan bangsa penjajah tersebut. Mereka beraktivitas pada bidang lain, terutama di bidang perdagangan. Oleh karena itu, undangan untuk aktif mengembangkan Indonesia secara implisit juga terbuka bagi etnis Cina, Arab ataupun India, sepanjang mereka berorientasi kepada kemajuan Indonesia kelak. Artinya, penolakan menjadi warga negara Indonesia tidak didasarkan kepada latar belakang etnis, tetapi lebih diarahkan kepada orang per orang. Dengan demikian, ideologi anti-Cina sebenarnya tidak dikenal dalam proses pembentukan negara Indonesia merdeka. Penolakan menjadi warga negara Indonesia mengikuti pemikiran dr. Tjipto berlaku bagi orang per orang tanpa memandang etnis yang bersangkutan. Sekalipun ia dikategorikan sebagai pribumi, kalau memang perilakunya itu tidak berorientasi pada pengembangan Indonesia 2
melainkan hanya membangun kepentingan pribadinya sendiri, maka orang tersebut bukanlah “warga negara Indonesia”. Walaupun proses pengakuan etnis Cina sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah dimulai sejak masa penjajahan dahulu, tampaknya keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia belum berjalan mulus, atau etnis Cina belum diterima oleh etnis "asli" penghuni negeri ini secara optimal. Perlakuan terhadap etnis Cina sangat berbeda dengan perlakuan terhadap orang India ataupun orang Arab yang ada di Indonesia ini. Hal itu ditandai oleh kerusuhan demi kerusuhan yang sering terjadi mewarnai hubungan etnik di Indonesia ini, di mana etnis Cina tidak pernah luput dari sasaran. Puncak konflik antaretnis--sering disebut kerusuhan, yang melibatkan etnis Cina terjadi tanggal 12 sampai 14 Mei 1998 lalu, mengingat banyaknya jiwa yang menjadi korban akibat kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di Indonesia itu. Kaitannya dengan keberadaan etnis Cina yang ada di Indonesia yang sudah berdiam di bumi Indonesia selama ribuan tahun (15 abad), yang ingin dijelaskan dalam tulisan ini adalah mengapa etnis Cina sering menjadi korban pada setiap konflik antaretnis di Indonesia, padahal etnis lain seperti Arab dan India juga banyak berdiam di negeri ini? Faktor apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, dan bagaimana hubungan antara etnis Cina dengan etnik lain di bumi Indonesia? Konflik: Disharmoni dan Diskriminasi antara etnis Cina dan non-Cina Adanya konflik antaretnis yang selalu membawa korban pada etnis Cina memberi indikasi bahwa hubungan antaretnis khususnya antara etnis Cina dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis. Sering dianalogkan bahwa etnis Cina di Indonesia ibarat kerupuk yang ditaruh dalam kaleng yang selalu digoyang untuk menemukan posisinya yang tepat. Sepanjang posisi itu belum tepat, etnis Cina akan selalu digoyang. Rentetan konflik di Indonesia yang melibatkan etnis Cina, sebenarnya sudah dimulai sejak masa penjajahan dahulu, dekade kedua abad 20 an, yaitu tahun 1912 dan 1918. Kerusuhan tahun 1912 itu berlangsung di Surabaya dan Surakarta. Kerusuhan itu dipercaya memiliki keterkaitan dengan kegiatankegiatan Serikat Indonesia. Enam tahun setelah kerusuhan itu, yaitu tahun 1918, kerusuhan anti-Cina kembali terjadi di Kudus. Kerusuhan itu timbul sebagai akibat pertentangan kepentingan para pengusaha Tionghoa dengan para pedagang pribumi. Akibat dari kerusuhan itu, beberapa orang Tionghoa terbunuh dan mereka juga banyak yang mengalami luka-luka. Selain korban jiwa, rumah orang Tionghoa pun banyak yang dibakar habis (Suryadinata, 1999: 157). Pada masa Indonesia merdeka pun kerusuhan masih sering terjadi. Peristiwa "natal kelabu" di Tasikmalaya, Rengasdengklok, Pasuruan, Probolinggo, Pekalongan, Situbondo, Banjarmasin, Ujungpandang dan Ketapang (Warsilah, 2000: 22) termasuk di antaranya. Kerusuhan ini juga melibatkan etnis Cina sebagai pihak yang menjadi korban. Kerusuhan paling besar yang telah membuat trauma dan hampir melanda seluruh kota-kota di Indonesia, yang menciptakan rasa takut tidak saja bagi etnis Cina tetapi juga seluruh lapisan masyarakat adalah peristiwa 12 - 14 Mei 1998. Sebab, "Mei Kelabu"--sering disebut demikian--itu 3
disertai dengan tindakan kekerasan seperti penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan bahkan pemerkosaan (Siburian, 1999). Pada peristiwa "Mei Kelabu", korban jiwa manusia (baik meninggal maupun luka-luka) tidak hanya berasal dari golongan etnis Cina saja, juga dari kalangan penduduk "asli" Indonesia yang terjebak di pusat-pusat perbelanjaan yang dibakar, seperti yang terjadi di Plaza Yogya di daerah Klender, Jakarta Timur. Kerugian akibat kerusuhan 1998 itu mencapai Rp 2,5 trilyun (lihat tabel). Kerugian tidak hanya di bidang meterial, sebab wanita etnis Cina yang diperkosa mencapai 168 orang dan mereka yang eksodus ke luar negeri mencapai 100.000 orang (Herlianto, Masalah Cina 3 dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003, dalam http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM, diambil tgl. 5 Januari 2005). Tabel Fasilitas yang Mengalami Kerusakan Akibat Kerusuhan Mei 1998 Fasilitas Pasar Rumah toko (Ruko) Mall/Plaza Toko Bengkel Kantor Camat Kantor Polsek Kantor Swasta Bank Restoran Hotel Pompa bensin Bis kota / Metromini Mobil / Motor
Bioskop
Jumlah (Unit) 13 2.479 40 1.604 45 2 11 383 65 24 12 9 8 1.119 80
Sumber: Herlianto, Masalah Cina 3 dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003, dalam http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM (diambil tgl. 5 Januari 2005).
Dampak kerusuhan itu tidak berhenti pada saat itu saja, sebab perekonomian Indonesia pada waktu itupun relatif lumpuh. Usaha-usaha ekonomi yang dimiliki oleh orang Cina banyak yang tutup, padahal usaha-usaha itu banyak mempekerjakan orang pribumi. Akibatnya, tidak sedikit orang pribumi yang kehilangan pekerjaan, dan pada gilirannya berdampak pula pada perekonomian nasional. Kurang berterimanya masyarakat Indonesia untuk menempatkan etnis Cina sebagai etnis yang sejajar dengan etnis "asli" tentu ada yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah faktor kecemburuan sosial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, posisi etnis Cina adalah "anak emas" sekaligus "anak tiri" bangsa Indonesia. Artinya, di satu sisi etnis Cina diperlakukan sangat 4
istimewa oleh pemerintah Indonesia, tetapi di sisi lain, pada saat yang sama etnis Cina dipersulit dalam berbagai hal. Dalam hal ini, pemerintah selalu mendiskriminasikan etnis Cina-- siapa pun dia itu--dengan berbagai aturan. Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia bagaimana pihak imigrasi memperlakukan pahlawan bulu tangkis Indonesia Hendrawan (WNI keturunan Cina) yang begitu sulit untuk memperoleh tanda pengesahan sebagai warga negara Indonesia dari pemerintah. Padahal, Hendrawan bukan orang yang seharusnya dicurigai mengingat sumbangsihnya untuk negeri ini. Dia adalah pahlawan yang dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia di tingkat internasional di saat-saat Indonesia memerlukan pemulihan akibat keterpurukan ekonomi, politik, hukum dan kepemimpinan. Agar masalah kewarganegaraan Hendrawan dapat segera diselesaikan sehingga tidak mengganggu konsentrasinya berjuang membela keharuman bangsa dan negara melalui dunia bulu tangkis, mantan Presiden Megawati harus turun tangan. Perlakuan yang diterima oleh Hendrawan sangat disayangkan. Sebab, akibat perlakuan yang demikian seorang Kepala Negara harus turun tangan untuk menyelesaikan urusan adminsitrasi yang sebenarnya tidak perlu dibuat menjadi sulit. Perlakuan yang hampir sama juga diterima oleh pasangan emas Olympiade Barcelona 1992 Susi Susanti dan Alan Budikusumah (keduanya WNI keturunan Cina), ketika mereka mendapat kehormatan sebagai pelari mewakili Indonesia untuk membawa obor Olimpiade Atena tahun 2004. Pihak imigrasi juga mempersulit Susi dan Alan ketika ingin mengurus paspor. Pihak imigrasi meminta SKBRI dan surat balik nama kepada pasangan ini. Padahal seluruh dunia mengetahui sumbangsih pasangan ini terhadap keharuman bangsa Indonesia. Atas kejadian ini, pemerintah seolah-olah tidak pernah memandang positif apa yang telah diperjuangkan dan diperbuat oleh WNI keturunan Cina. Dimintanya surat balik nama terkait dengan peraturan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah berupa Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia. Hal penggantian nama ini sebenarnya sudah muncul pada masa Pemerintahan Soekarno. Pada tahun 1961, Soekarno mengeluarkan peraturan untuk mengganti nama Cina menjadi nama yang terdengar seperti nama Indonesia. Namun, peraturan ini hanya berupa anjuran saja bukan sebagai paksaan. Sejak saat itulah, warga etnis Cina khususnya yang telah WNI banyak mengganti namanya menjadi nama "Indonesia" (Suryadinata, 1999: 42). Kecenderungan untuk menggunakan nama "Indonesia" masih berlangsung hingga era reformasi ini. Sementara ketika status kewarganegaraan itu dipertanyakan, hal itu terkait dengan pemberlakuan peraturan tentang SKBRI. Akan tetapi, SKBRI yang tadinya wajib bagi WNI etnis Cina, dengan keluarnya Keppres No. 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak berlaku lagi, maka dalam Keppres itu ditegaskan bahwa bukti kewarganegaraan cukup ditujukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Akta Kelahiran seharusnya tidak berlaku lagi. Pada masa Presiden BJ. Habibie pun, Intruksi Presiden No. 4 tahun 1999 juga 5
dikeluarkan. Isi Inpres itu adalah memerintahkan semua instansi agar memberikan layanan yang sama terhadap semua warga negara, tanpa mempersoalkan SKBRI (http://kabarberita.blogdrive.com/comments?id=17). Namun dengan adanya kasus Hendrawan, Susi Susanti dan Alan Budikusuma, jajaran pemerintah bagian imigrasi menganggap kedua peraturan tersebut tidak pernah ada, atau barangkali mereka tidak dapat menterjemahkan peraturan itu untuk diimplementasikan dengan baik. Berdasarkan realita tersebut di mana WNI keturunan Cina setenar Hendrawan dan Susi Susanti masih menerima perlakuan yang tidak simpati dari pemerintah Indonesia mengenai status kewarganegaraanya, kendati peraturan yang mengharuskan etnis Tionghoa memiliki SKBRI sudah dicabut; bagaimana dengan WNI keturunan Cina lain yang sumbangsihnya bagi negara ini tidak begitu kasat mata yang jumlahnya jutaan jiwa, sudah pasti perlakuan yang mereka terima tentu lebih sulit lagi. Pendiskriminasian etnis Cina ini sebenarnya sudah berlangsung ketika Indonesia masih berada di bawah penjajahan kolonial Belanda. Secara resmi, pemerintahan Hindia Belanda (sejak permulaan abad ke-19) membagi penduduk Hindia Belanda dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing (Cina, Arab dan lainlain), dan pribumi. Orang Cina pada waktu itu tampil sebagai pedagang perantara dan pedagang eceran. Golongan Cina ini cukup makmur di bawah kekuasaan kolonial (Ong Hok Ham, 1999: 35). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, etnis Cina ini seperti "dianakemaskan" oleh Belanda. Kegiatan mereka di bidang perdagangan sangat dihargai. Hal itu disebabkan oleh semangat dagang dan usaha yang dimiliki oleh imigran Cina itu, termasuk kesediannya menerima tamu, kecenderungannya mengadakan jamuan makan dan ramah dalam pergaulan (Liem Twan Djie, 1996: 29). Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutip oleh Liem Twan Djie (1996: 29) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta mereka tidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi memperoleh uang. Oleh karena orang Cina unggul di bidang perdagangan, orang Cina pernah menjadi rebutan antara Pangeran Banten dengan penjajah Belanda. Pada tahun 1916, J.P. Cohen hendak memindahkan orang Cina yang berada di Banten, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 2000 orang ke Jakarta. Maksudnya adalah agar perdagangan di Banten lumpuh sehingga Jakarta menggantikan posisi Banten sebagai tempat penimbunan komoditas perdagangan. Namun usaha itu dapat digagalkan oleh Pangeran Banten yang menyadari taktik jahat dari penguasa penjajah Belanda itu. Sebab, pemindahan orang Cina dari Banten berakibat pada lumpuhnya usaha perdagangan di Banten (Hoetink dikutip Liem Twan Djie, 1996: 29). Pendiskriminasian orang Cina terlepas dari apakah pendiskriminasian itu menguntungkan orang Cina atau tidak berlanjut ke masa kolonial Jepang, dan sampai ke masa pemerintahan Indonesia merdeka. Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang lain disebabkan oleh hambatan-hambatan perundangundangan yang merintangi mereka. Misalnya, pada tahun 1823 pemerintah 6
kolonial di bawah Gubernur Jenderal Van Der Capellen mengeluarkan peraturan yang melarang penyewaan tanah kepada orang-orang Cina dan asing lainnya (Wie, 1995: xiv). Hal inilah yang mengawali mengapa orang Cina banyak bergerak di bidang perdagangan. Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan sebagai bangsa asing, didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11 April 1942. Oleh karena itu etnis atau orang Cina diharuskan membayar pajak bangsa asing, untuk laki-laki f100 dan perempuan f50. Dengan demikian, kemanapun etnis Cina dewasa bepergian, mereka diharuskan membawa kartu pengenal asing dan surat jalan (Kwartanada, 1996: 31). Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi. Berbagai pungutan--baik resmi ataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingat status mereka sebagai minoritas yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI, yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, 1996: 37). Dengan berbagai aturan yang dijelaskan itu, secara eksplisit dinyatakan bahwa etnis Cina bukanlah orang "asli" Indonesia. Sebab, yang diwajibkan untuk melengkapi persyaratan sebagai warga negara Indonesia seperti di atas hanyalah etnis Cina atau warga asing yang menjadi warga negara Indonesia. Padahal dilihat dari segi historis, etnis Cina sudah lama diakui keberadaannya di Indonesia. Walaupun demikian, etnis Cina masih dikategorikan sebagai orang asing. Kalaupun etnis Cina diterima sebagai warga negara Indonesia tetapi masih dengan setengah hati, padahal jumlah mereka mencapai jutaan orang dan sudah banyak yang kawin campur dengan etnis "asli". B. Pengelompokan Etnis Cina Sering warga "asli" atau "pribumi" memandang etnis Cina secara homogen, padahal tidak demikian adanya. Dalam komunitas etnis Cina terdapat keheterogenitasan, seperti kelompok pribumi Indonesia. Dari sisi tempat lahir dan penggunaan bahasa saja, secara kultural etnis Cina yang jumlahnya lebih dari lima juta orang dapat dikelompokkan atas dua bagian4 (Suryadinata, 1999: 170). Pertama, adalah kelompok etnis Cina peranakan. Mereka ini lahir di Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, tidak saja kepada warga pribumi juga sesama mereka yang berasal dari etnis Cina itu sendiri. Etnis Cina peranakan ini banyak terdapat di Pulau Jawa. Mereka inipun sudah kehilangan kefasihannya berbicara dalam bahasa Cina karena mereka sudah banyak menyerap unsur kebudayaan pribumi tempat di mana etnis Cina peranakan ini bermukim (Suryadinata, 1999: 170-171) ataupun sebaliknya. Dalam hal ini, antara kebudayaan Cina dan kebudayaan pribumi sudah terjadi dialektika. 4
Data mengenai jumlah keturunan Cina di Indonesia tidak sama. Dahana (1999: 160) mencatat bahwa jumlah etnik Cina di Indonesia diperkirakan sekitar 8 juta orang atau 4 % dari sekitar 200 juta seluruh penduduk Indonesia. 7
Oleh karena itu, untuk memberi sebutan kepada mereka ini sering dikaitkan dengan salah satu etnik "asli" di mana unsur kebudayaannya diserap seperti "Cina Betawi" atau "Cina Jawa". Etnis Cina kelompok peranakan ini terkadang secara fisik tidak berbeda dengan ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh kebanyakan warga pribumi. Misalnya, kebanyakan bentuk mata etnis Cina adalah sipit dan kulit berwarna putih (ras mongoloid). Kendati demikian, mereka yang berasal dari etnik Cina peranakan ini sudah banyak yang memiliki mata dengan tingkat kesipitannya yang tidak lagi menonjol. Selain itu, warna kulit merekapun sudah banyak yang mengarah ke kecoklat-coklatan bahkan ada yang lebih gelap dari pada warna kulit warga pribumi Indonesia. Kedua, kelompok etnis Cina totok. Tempat lahir mereka ini berada di luar negeri atau sebagian besar terletak di negeri Cina. Mereka ini bermigrasi ke Indonesia pada abad 19 dan 20. Kelompok ini merupakan gelombang migrasi terakhir secara besar-besaran. Oleh karena mereka ini masih asli dari negeri Cina sana, maka baik bahasa yang digunakan dan kebudayaan yang diekspresikan masih bernuansa Cina. Ringkasnya, mereka ini masih orang Cina. Hal ini ditegaskan secara hukum bahwa mereka ini masih dikelompokkan sebagai warga negara asing (WNA). Etnik Cina kelompok totok ini kebanyakan bermukim di luar Pulau Jawa (Suryadinata, 1999: 170-171). Usia mereka inipun sudah lanjut. Salah satu bukti bahwa mereka masih warga negara asing seperti yang saya amati di Sidikalang, Sumatera Utara. Bagi setiap etnis Cina totok yang ada di sana, di atas pintu rumah bagian depan terdapat tulisan WNA atau warga negara asing. Dengan demikian, etnis Cina totok ini masih merupakan warga negara asing yang memang kebetulan mencari nafkah (makan) di bumi Indonesia. Etnis Cina pun sudah banyak yang meninggalkan religi leluhurnya, dan menganut salah satu dari agama yang diakui oleh negara pada masa Orde Baru; seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Bahkan etnis Cina yang beragama Kristen ini sudah banyak yang menjadi pendeta dengan jemaat yang berasal dari berbagai latar belakang etnis. Aktivitas Etnis Cina di Indonesia Kendati etnis Cina sudah lama berdiam di bumi Indonesia, mereka masih "orang asing" bagi masyarakat pribumi. Keterasingan etnis Cina di mata pribumi adalah akibat kurang bersosialisasinya etnis Cina dengan masyarakat pribumi. Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Cina hanya dipasar.5 Pasar dalam hal ini merupakan suatu fenomena yang menunjukkan adanya jual-beli antara pihak pembeli dan penjual, baik barang ataupun jasa. Dengan demikian, interaksi yang terjadi antara warga pribumi dan non-pribumi (etnis Cina) itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja. Interaksi yang demikian tentu sangat terbatas, sebab yang terjadi adalah hubungan jual-beli semata. Dalam hal ini, yang 5
Etnis Cina di Pulau Jawa berbeda dengan etni Cina di luar Pulau Jawa. Kalau di Pulau Jawa mereka ini lebih banyak bergerak di bidang perdagangan, maka di Kalimantan dan Sumatera di antara mereka masih masih banyak yang bergerak di sektor pertanian, nelayan dan buruh tambang timah (Thee Kian Wie, 1995: xv) 8
menjadi pihak penjual adalah etnis Cina sedangkan pembeli berasal dari warga pribumi. Tentu, waktu yang dibutuhkan untuk berinteraksi itu relatif sedikit, yaitu sekitar tawar menawar harga agar kedua belah pihak tidak saling rugi dengan harga kesepakatan tersebut. Setelah itu, interaksi yang ada itu kemudian hilang. Interaksi akan terjadi lagi ketika warga pribumi kembali ingin membeli sesuatu. Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan mampu untuk memahami satu sama lain secara mendalam. Oleh karena etnis Cina dikenal di pasar, maka mereka ini tak lebih dari sekedar "binatang ekonomi" (economic animal). Akibatnya adalah muncullah stereotipe tentang Cina mindring, Cina Klontong atau Cina yang mata duitan (Kwartanada,1996: 24). Tampilnya dominasi etnis Cina di sektor perdagangan khususnya di Indonesia dimaksudkan sebagai strategi untuk bertahan hidup sebagai etnis minoritas6 dan warga perantau. Sebab, etnis Cina tidak mempunyai lahan pertanian yang dapat memberi mereka jaminan hidup. Untuk hidup dari sektor pertanian dibutuhkan lahan yang tidak sedikit. Berbeda dengan sektor perdagangan, lahan yang luas tidak begitu penting, tetapi yang terutama adalah lokasi yang strategis agar pembeli dapat dengan mudah menjangkaunya. Oleh karena itu, tidak jarang tempat etnis Cina berdagang hanya di atas tanah dengan luas 9 meter persegi. Tanah yang relatif sempit itu dapat memberi penghidupan kepada seluruh anggota keluarga. Selain itu adalah kebijakan pemerintah yang membatasi gerakan kelompok etnis Cina ini baik yang tertulis maupun tidak. Misalnya, bidang kemiliteran tertutup bagi orang Cina. Demikian juga akses untuk menjadi pegawai negeri sipil relatif kecil. Bahkan sesuatu yang tidak mudah bagi seorang etnis Cina WNI untuk bisa memasuki sekolah atau perguruan tinggi negeri, mengingat adanya konsensus tentang kuota etnis Cina yang dapat diterima dengan kisaran antara 5 - 10 % (Kwartanada,1996: 37). Pembatasan itu terkait dengan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anakanak Warga Negara Asing Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40 %, dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina. Pendiskriminasian etnis Cina pada bidang pendidikan ini pernah diakui oleh Juwono Sudarsono sebagai sebuah kekhilafan dalam kebijakan sehingga perlu peninjauan ulang terhadap kebijakan tersebut. Juwono mengemukakan itu dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada masa Pemerintahan Presiden BJ Habibie, dalam suatu wawancara dengan The Straits Time ("Indonesia Mengaku Diskriminatif", dalam http://www.geocities.com/CapitolHill/4120/diskrim.html). Pemilihan kegiatan di sektor perdagangan ini dapat membuat etnis Cina unggul dan mendominasi kegiatan perekonomian di Indonesia. Hasil kajian 6
Sebutan etnis minoritas sebenarnya kurang cocok diarahkan pada etnis Cina, sebab kalau jumlah yang menjadi indikator untuk menyebut minoritas dan mayoritas, etnis Cina di Indonesia jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk dari beberapa etnis yang berdiam di Indonesia. Sebutan minoritas lebih cocok diarahkan pada peran atau kesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada etnis Cina, yang hanya diarahkan pada aktivitas ekonomi semata. 9
Fujitsu Research di Tokyo mengemukakan bahwa dari daftar perusahaanperusahaan yang ada di Indonesia, sekitar 73 % dikuasai oleh etnis Cina (aspirasikaltim, 4/5/2004). Dengan adanya dominasi seperti itu mengakibatkan kegiatan perekonomian Indonesia sangat tergantung kepada etnis Cina ini. Keunggulan dalam bidang perdagangan atau bisnis ini terletak pada sikap kewirausahaan serta sikap tanggap terhadap peluang komersial perantauan (Supriatma, 1996: 71). Sikap kewirausahaan etnis Cina disemangati oleh ajaran konfusionisme (Sudiarji, 1996) dan nilai hopeng, hong sui, dan hokie. Hopeng adalah salah satu nilai penentu perilaku bisnis golongan Cina, yang berarti cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis. Bisnis tidak seluruhnya "rasional" sehingga hubungan dengan relasi sangat penting. Tanpa hubungan yang baik dengan relasi maka dipastikan sebuah usaha tidak akan berkembang. Hong sui adalah menyangkut kepercayaan, yaitu kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Hong sui memberi petunjuk tentang bidang-bidang atau wilayah yang sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun dalam peruntungan perdagangan. Hokie adalah nilai yang menyangkut peruntungan dan nasib baik. Dalam hal ini, hokie lebih dipersepsikan bagaimana menyiasati nasib agar (selalu) mendapat nasib baik (Handoko, 1996). Sikap kewirausahaan yang ditampilkan itu telah membuat etnis Cina mampu membangun jaringan yang luas dan potensial untuk mengembangkan bisnis. Jaringan sosial etnis Cina disebut guanxi. Semangat yang ada dalam guanxi ini adalah semangat untuk mengembangkan dan melindungi sumber pendapatan keluarga agar kelangsungan hidup dapat terjamin. Jaringan sosial itu tercipta karena mengumpulkan kekayaan di suatu keluarga tidak dapat diatur dalam isolasi, ia harus menjual dan membeli, bertukar informasi, meminjam uang, atau mencari saran. Dalam hal ini etnis Cina menekankan pentingnya rasa saling percaya, walaupun terbatas hanya sebagai parter kerja sama. Makin kuat rasa percaya seseorang, makin kuat kerja samanya. Oleh karea itu, orang Cina tidak mudah percaya dan cenderung baru percaya setelah melakukan kerja sama (Redding, 2002: 67-68). Tanpa jaringan yang luas, sebuah usaha tidak dapat berkembang. Jaringan yang dibangun itu mengakibatkan modal Cina lebih berhasil dalam kompetisi ekonomi dibandingkan dengan pribumi. Golongan pribumi yang tidak memiliki jaringan bisnis yang luas, hal itu menjadi rintangan utama (Kunio, 1990: 76-77). Golongan pedagang pribumi tidak mampu menjangkau daerah-daerah bisnis yang lebih luas, apalagi untuk mencapai kawasan perdagangan pada level internasional. Jaringan bisnis etnis Cina tidak saja dalam bidang distribusi tetapi juga jaringan untuk masuk pada sumber-sumber permodalan. Hal ini dimungkinkan karena yang menjadi pemilik sumber-sumber permodalan itu adalah etnis Cina sendiri. Sementara bagi pribumi, mereka relatif sulit untuk memperoleh kucuran kredit, sebab orang Cina-lah yang memonopoli jaringan ke sumber-sumber perkreditan tersebut. Orang Cina akan senang berbisnis dengan sesamanya, sedangkan warga pribumi tidak mereka percayai. 10
Kurang dipercayainya orang pribumi sebagai mitra dalam berbisnis tidak saja ditunjukkan oleh orang Cina tetapi juga pemerintah Indonesia sendiri. Misalnya, dalam pengalokasian kredit saja, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa porsi dana bank pemerintah yang diperuntukkan bagi industri kecil dan menengah (milik warga pribumi) hanya 58 persen saja, padahal jumlah unit usaha itu mencapai jutaan unit. Sebaliknya, porsi kredit dari bank yang sama yang diperuntukkan bagi 22 konglomerat (warga etnis Cina) yang merajai sistem perekonomian Indonesia mencapai 42 persen (Sjaifuddin dan Erna, 1994: 2). Ketimpangan dalam jaringan bisnis dan pemberian kredit itu mengakibatkan ekonomi etnis Cina jauh lebih maju ketimbang warga pribumi, karena usaha golongan Cina ini ditopang oleh permodalan yang cukup sehingga lebih mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional. Menurut warga pribumi, perlakuan yang demikian merupakan bentuk ketidakadilan yang berakibat pada ketimpangan ekonomi yang berujung pada terciptanya kecemburuan, yang kemudian mengkristal menjadi sikap "anti Cina". Akibat dari ketimpangan tersebut menimbulkan stratifikasi di bidang pendapatan. Etnis Cina dilihat dari status ekonomi berada pada tingkat yang lebih tinggi ketimbang warga pribumi.7 Status ekonomi yang berbeda tersebut terbawa pada kehidupan sosial yang terkotak-kotak. Dalam hal ini, etnis Cina hanya bergaul dengan sesamanya, demikian halnya dengan warga pribumi. Etnis Cina hidup dalam dunia atau lingkungan yang eksklusif. Hal ini ditunjukkan dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga pribumi yang tinggal di sebelahnya. Penampilan yang demikian seakan memperlihatkan batasan yang jelas antara warga etnis Cina dan warga pribumi. Sebenarnya tujuan membangun pagar yang tinggi itu adalah untuk mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan. Akan tetapi kesan yang ditampilkan dengan penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan bahwa; "saya adalah orang Cina dan anda orang pribumi". Selain itu, pencuri yang diantisipasi oleh etnis Cina itu yang jelas adalah warga pribumi dan tidak mungkin dilakukan oleh etnis Cina sendiri. Artinya bahwa yang dijaga ataupun diantisipasi oleh pagar yang tinggi itu adalah warga "asli" dengan indikasi bahwa warga "asli" tidak bisa dipercaya. Kekurangpercayaan pada warga "asli" dan lingkungannya ini secara implisit sebenarnya membangun jarak antara etnis Cina dengan warga "asli" itu sendiri. Akibat selanjutnya mengakibatkan pembauran tidak terjadi. Kalaupun ada pembauran, hal itu tidak berjalan secara optimal. Sebab, secara logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain sudah saling curiga atau saling tidak percaya. Akibatnya adalah orang Cina dilingkungan warga pribumi selalu menjadi "orang asing". Dari segi agama pun, mereka yang berasal dari etnis Cina berbeda dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, yaitu agama Islam. 7
Tidak semua etnis Cina di Indonesia ini tergolong mampu secara ekonomi dibandingkan dengan golongan pribumi. Banyak pula dari antara orang Cina yang hidup sangat memprihatinkan, seperti yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat ataupun Bagan siapiapi. Orang Cina di kedua daerah itu banyak yang menjadi nelayan ataupun petani miskin. 11
Agama yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia juga bervariasi, seperti Protestan, Katolik, Budha dan sedikit saja yang beragama Islam. Selain itu, di antara mereka pun masih banyak yang menganut aliran kepercayaan yang berasal dari negeri Cina, yaitu Khonghucu. Selama pemerintahan Orde Baru, aliran Khonghucu tidak memperoleh status hukum sebagai sebuah agama, walaupun pada masa pemerintahan Orde Lama berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No.1/ 1965 mengakui bahwa Khonghucu merupakan salah satu dari enam agama resmi di Indonesia. Pengakuan itu semakin dipertegas lagi dengan Penpres No.5/1969. Oleh karena Khonghucu tidak diakui sebagai sebuah agama, maka kegiatan "keagamaan" Khonghucu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi oleh para penganutnya. Padahal, oleh pemerintah Orde Baru, peraturan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak pernah dinyatakan dicabut. Memasuki era reformasi ini tampaknya seluruh simbol-simbol yang berbau etnis Cina sudah dapat dipertontonkan kepada khayalak ramai. Pertunjukkan barongsai yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat Indonesia selama rezim Orde Baru, kini secara bebas sudah dapat disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat, karena pemerintah tidak lagi melarangnya. Bahkan, hari perayaan tahun baru Imlek mulai tahun 2003 dinyatakan oleh Presiden Megawati sebagai hari libur nasional. Kecuali etnis Cina yang menganut agama Islam, tampaknya agama lain yang dianut oleh orang etnis Cina lain merupakan salah satu faktor yang membuat pembauran mereka dengan etnis "asli" menjadi tertutup. Sebab, di antara sesama etnis pribumi Indonesia sendiri tetapi berbeda latar belakang agama masih sering terjadi pergesekan,8 apalagi dengan etnis Cina yang berbeda secara sosiokultural. Sebenarnya mereka yang hidup secara eksklusif ini tidak seluruh etnis Cina. Sebab masih ada warga etnis Cina yang mampu memperlihatkan sikap pembauran yang tinggi. Akan tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak dan mereka ini dapat dikategorikan kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi. Kelompok yang bersedia membaurkan diri dengan warga "asli" ini adalah untuk mencari jaminan sosial (social security) dari warga "asli". Sebab, kelompok etnis Cina yang mampu secara ekonomi ini tampaknya kurang cocok berbaur dengan etnis Cina lain yang sukses secara ekonomi, akibat di antara mereka pun sebenarnya ada juga kesenjangan ekonomi. C. Penutup Keberadaan etnis Cina di Indonesia sudah berlangsung lama. Bahkan etnis Cina sudah bermukim di negeri ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Tetapi dalam realitanya, etnis Cina masih dikategorikan sebagai warga asing yang belum dapat terintegrasikan secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh 8
Gesekan antargolongan beragama yang melibatkan etnis pribumi di Indonesia, yang berakibat pada konflik berkepanjangan terjadi di Poso (Sulawesi Tengah) dan Maluku. Konflik di kedua daerah itu telah menelan korban jiwa dan harta-benada pada kedua belah pihak. 12
seseorang yang berasal dari etnis Cina layaknya orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia. Sisi lain adalah, hubungan warga "asli" Indonesia dengan etnis Cina belum terjalin dengan harmonis akibat selain perbedaan kultural yang tidak bisa dihindari, adalah juga perbedaan dalam kesempatan ekonomi. Dalam hal yang satu ini, etnis Cina menjadi anak "emas" pemerintah dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka. Keunggulan di bidang ekonomi yang berakibat pada keunggulan untuk menghimpun kekayaan memposisikan mereka berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan warga pribumi dalam status sosial masyarakat Indonesia. Kondisi itu memposisikan etnis Cina merupakan golongan yang eksklusif. Keadaan itu terus terpelihara dan mereka tidak membuka jalan pembauran dengan sesama warga "asli" lain. Akibatnya adalah "jarak" etnis Cina dengan warga "asli" semakin jauh. Sikap seperti itu menciptakan ketidaksenangan pada kelompok pribumi, sehingga bila ada konflik sekecil apapun dengan etnis Cina, yang dikedepankan oleh warga "asli" adalah sikap "anti Cina". Agar persoalan hubungan etnis di Indonesia dapat terpelihara dengan baik, sudah selayaknya penyebutan warga negara pribumi dan non-pribumi dihilangkan. Istilah dengan pengkategorian seperti itu sudah menciptakan dikotomi tersendiri dengan segala konsekuensinya. Hal yang perlu ditanamkan pada masyarakat Indonesia melalui media pendidikan bahwa Indonesia itu multi etnik, multi agama, multi adat istiadat, yang satu sama lain harus hidup berdampingan untuk membangun Indonesia yang kuat. Kemudian, pemerintah sudah waktunya menghilangkan diskriminasi di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia ini, sebab pendiskriminasian seperti yang dialami oleh etnis Cina selama ini akan sulit menghilangkan perbedaan. Karena, dengan adanya pendiskriminasian sekaligus menunjukkan adanya perbedaan. Oleh karena itu, WNI etnis Cina pun tidak menganggapnya sebagai etnis yang paling unggul yang dapat menciptakan sentimen keetnisan. Selain itu, intropeksi ke dalam perlu juga dilakukan oleh etnis Cina itu sendiri. Sebab, kendati etnis Cina sudah lama bermukim di Indonesia ini, tampaknya adaptasi yang dilakukan selama ini masih belum berhasil mengingat setiap terjadinya kerusuhan tidak jarang melibatkan etnis Cina selaku pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, alternatif dari strategi adaptasi yang dilakukan selama ini perlu dicari dan dimunculkan.
Daftar Pustaka 13
Aspirasikaltim 2004 "Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga Pasca Orde Baru", dalam http://www.aspirasikaltim.com/detailnews.asp?idnews-225. (Diambil tanggal 5 Januari 2005). Dahana, A. 1999 "Cina Perantauan, Linkage Ekonomi dan Upaya Pembauran", dalam Moch Sa'dun M (editor) Pri-Nonpri: mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: CIDES. Hlm. 157- 169. Djie, Liem Twan 1995 Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa. Jakarta: Gramedia. Handoko, T. Hani 1996 "Tradisi (Manajemen) Dagang ala Tionghoa", dalam (tanpa nama editor) Pengusaha Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 51 - 62. Herlianto 2003 "Masalah Cina 3" dikutip dari Kompas, 3 Juli 2003, dalam http://www.yabina.org/artikel/A6.01.HTM, (diambil tgl. 5 Januari 2005). Kunio, Yoshihara 1990 Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Kwartanada, Didi 1996 "Minoritas Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa, 1942 - 1945" dalam (tanpa nama editor) Pengusaha Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 24 - 41. Liem Twan Djie 1996 Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa. Jakarta: Gramedia. Ong Hok Ham 1999 "Pri-Nonpri: Perspektif Historis Rasialisme di Indonesia dan Sistem Ekonomi Kita", dalam Moch Sa'dun M (editor) Pri-Nonpri: mencari Format Baru Pembauran. Jakarta: CIDES. Hlm. 33-44. Redding, S Gordon 2002 Jiwa Kapitalisme Cina (terjemahan). Jakarta: Abdi Tandur. Rochmawati 2004 "Pembauran yang tak Pernah Selesai" dalam Masyarakat dan Budaya, 6(2): 105-118, Jakarta: PMB. Siburian, Robert 1999 "Eksodus Etnis Tionghoa" dalam harian Suara Bangsa, 21 Mei. Hlm. 4. Sjaifuddin, Hatifah dan Erna Ermawati C. 1994 Dimensi Strategi Pengembangan Usaha Kecil. Bandung: Akatiga. Sudiarja, A. 1996 "Ajaran Konfusianisme dalam Perspektif Keagamaan Tionghoa", dalam (tanpa nama editor) Pengusaha Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 24 - 41. 14
Supriatma, A. Made Tony 1996 "Bisnis dan Politik: Kapitalisme dan Golongan Tionghoa di Indonesia" dalam (tanpa nama editor) Pengusaha Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 64 - 91. Suryadinata, Leo 1999 Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. 2000 Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Warsilah, Henny 2000 "Kaitan Etnisitas dengan Konflik Sosial dan Kekerasan Massa, di Tiga Daerah di Indonesia" dalam Masyarakat dan Budaya, 3(1): 21 - 43, Jakarta: PMB-LIPI. Thee Kian Wie 1995 "Kata Pengantar" untuk buku karangan Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa. Jakarta: Gramedia. Hlm. xiii - xx. Biodata Robert Siburian, adalah staff peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI). Ia bergabung dengan PMB-LIPI sejak tahun 1996, dan ditempatkan pada Bidang Perkembangan Masyarakat. Gelar S1 diperoleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Jember, jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan tahun 1994. Gelar S2 diperoleh dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia selesai tahun 2004.
15