Bab Tiga
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku Bumi Seram di Maluku Pembahasan tentang eksistensi sukubangsa di Seram-Maluku dimaksudkan untuk menjelaskan tentang eksistensi Orang Bati atau Suku Bati sebagai salah satu sukubangsa di Pulau Seram-Maluku yang selama ini distigma orang luar sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilanghilang). Orang Bati atau Suku Bati memiliki identitas maupun teritorial di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam deretan suku-suku di Pulau Seram, Orang Bati atau Suku Bati belum diakui sebagai salah satu sukubangsa karena Orang Bati dianggap sebagai manusia ilang-ilang (hilang-hilang). Studi tentang Esuriun Orang Bati dimaksudkan untuk menjelaskan tentang Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan, dijumpai dalam mekanisme integrasi kultural yang dicapai oleh kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati untuk mewujudkan integrasi eksistensial sehingga Orang Bati memiliki jati diri atau identitas sebagai manusia maupun sukubangsa dan tidak terbedakan dari sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Kalimat kunci yang digunakan Orang Bati kalau tetap bersatu katong tetap kuat (kal ta buik tetap kuat). Dalam pandangan Orang Bati bahwa, membangun Maluku tanpa membangun Seram berarti tidak ada artinya. Sebab Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) yaitu ale deng beta (kamu dengan saya) berasal dari sana. Selama ini kehidupan dari suku-suku tertentu di Pulau Seram yang mendiami wilayah pegunungan atau wilayah pedalaman masih jauh dari sentuhan pembangunan sehingga kehidupan mereka benar-benar terabaikan dari pelayanan umum, termasuk Orang Bati atau Suku Bati di Pulau Seram Bagian Timur. Untuk memahami tentang posisi di mana suku-suku 67
Esuriun Orang Bati
tersebut berada di wilayah Pulau Seram, berikut ini dikemukakan tentang keadaan geografis. Kondisi Geografis Pulau Seram merupakan pulau terbesar di wilayah Kepulauan Maluku. Pulau Seram terdiri dari wilayah pegunungan maupun dataran rendah. Wilayah pegunungan yang cukup tinggi berada di wilayah Seram Timur sampai dengan Seram Tengah bagian Selatan, sedangkan di wilayah bagian Barat terdapat pegunungan yang tidak begitu tinggi seperti di Seram bagian Timur maupun Seram Tengah. Sebutan Seram! 1). Seperti itu adalah persepsi sebagian besar Orang Maluku (terutama Orang yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon, Saparua, Haruku, dan Nusa Laut (Kepulauan Lease). Pulau Seram sebagai pulau terbesar di Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah utara Pulau Ambon, Pulau Tiga (Nusa Lain, Nuasa Hatala, Nusa Ela), Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), sebelah Timur dari Pulau Buru, Manipa, Kelang, dan Buano, dan sebelah Barat dari Pulau Geser, Gorom, Keving, Seram Laut, Varan dan Akad. Secara geografis, bagian barat Pulau Seram dikelilingi oleh Laut Seram dan Laut Buru. Di sebelah utara terdapat Laut Seram yang menyambung dengan Samudera Pasifik. Di sebelah selatan dikelilingi oleh Laut Banda yang menyambung dengan Samudera Hindia (Samudera Indonesia), dan bagian timur dikelilingi oleh Laut Seram yang menyambung dengan Laut Arafura dan Samudera Hindia (Samudera Indonesia). Keadaan Pulau Seram di Kepulauan Maluku dapat dilihat pada peta 1 berikut ini:
1)Katong taku pi ka sana (kami takut untuk datang ke sana). Ungkapan ini sering muncul di kalangan Orang Ambon dan Orang Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) ketika berinteraksi. Makna dari ungkapan tersebut yaitu Seram dan Manusianya menakutkan, menyeramkan. Melalui ungkapan seperti ini Orang Ambon dan Orang Lease bisa melupakatan bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) yaitu tempat asal dari anak cucu keturunan Alifuru (Manusia Awal).
68
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Peta 1
Pulau Seram Pengelompokan Patasiwa dan Patalima di Maluku Pengelompokan berbasis asal-usul dan budaya tersebut di Maluku Utara dinamakan Urisiwa dan Urilima, di Maluku Tengah (Ambon, Lease, dan Seram) dinamakan Patasiwa dan PataLima, dan di wilayah Maluku Tenggara dinamakan Ursiu dan Lorlim. Arti dari Patasiwa (Pata = Bagian dan Siwa = Sembilan), (Pata = Bagian dan Lima = lima). Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat dijumpai pada masyarakat yang mendiami negeri-negeri (adat) di Pulau Seram maupun wilayah Maluku Tengah secara umum. Sejak masa lampau kehidupan Alifuru Seram terdapat kelompok sosial Patasiwa dan Patalima. Kelompok sosial Patasiwa terdiri dari Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) dan Patasiwa Putih. Kelompok Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) menempati wilayah Seram sebelah barat Sungai Mala, sedangkan Patasiwa Putih menempati daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala, se69
Esuriun Orang Bati
panjang Teluk Teluti (Cooley, 1961 : 119). Masing-masing kelompok pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya yang berbeda-beda. Dalam kehidupan Alifuru Seram, kedua kelompok pata tersebut selalu bermusuhan karena pada zaman itu sangat kuat tradisi mengayau. Untuk itu pada masa lampau serangan pemenggalan kepala manusia (mengayau) atau potong kepala manusia yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan ritual adat tertentu yang dilakukan pada rumah adat atau Baileu atau Baileo. Aktivitas mengayau tidak ditujukan pada kelompok sosial yang sama, tetapi ditujukan pada kelompok sosial yang berbeda. Untuk itu keberadaan (eksistensi) rumah adat (baileu) sebagai simbol pemersatu kelompok sangat penting dalam kehidupan kelompok Patasiwa maupun Patalima sejak masa lampau sampai saat ini, dan simbol tersebut dapat dijumpai pada semua negeri adat di Maluku Tengah atau Ambon, Lease, dan Seram maupun tempat lainnya yang diwujudkan melalui suatu bangunan sakral yang di tempatkan pada di tengah-tengah negeri atas desa. Baileu sebagai tempat sakral benar-benar dijaga dan dilindungi oleh pendukung tradisi dan kebudayaan. Pada umumnya rumah adat (baileu) pada Orang Patasiwa dan Patalima berupa bangun fisik yang berada di tengah-tengah negeri. Rumah adat atau baileu benar-benar dilindungi karena memiliki nilai kesakralan, dan digunakan untuk maksud-maksud tertentu dalam ritual adat. Colley (1961 : 113) mengemukakan bahwa baileu itu disebut atau dilihat sebagai rumah adat. Baileu adalah manifestasi fisik dari desa sebagai persekutuan adat. Baileu merupakan rumah tua desa, rumah pusaka dari klen sebagai tempat untuk menyimpan semua pusaka dan alat-alat yang mereka percaya memiliki arti dan kekuatan khusus (gaib) karena pusaka dan alat-alat tersebut ada kaitannya dengan para leluhur, dan tempat orang membicarakan, memutuskan, dan melaksanakan hal-hal yang ada kaitannya dengan kesejahteraan klan atau pribadi di dalam kelompok. Dalam tradisi Alifuru Seram konsep baileu sebagai rumah adat agar tetap hidup maka manusia harus mati. Hal ini mengandung makna bahwa “kehidupan setelah kematian” adalah suatu keharusan sehingga 70
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
baileu tetap hidup. Dalam realitasnya setiap kelompok pata memiliki rumah adat atau baileu sendiri-sendiri. Agar baileu tetap hidup, dan
manusia ada yang meninggal (mati) maka serangan pemenggalan kepala manusia untuk kebutuhan ritual, harta kawin, dan sebagainya yang harus dipersembahkan di baileu menyebabkan kedua kelompok pata tersebut sering terlibat dalam konflik maupun pertikaian, sehingga kedua kelompok pata (Patasiwa dan Patalima) selalu hidup dalam permusuhan.
Struktur Sosial Masyarakat Maluku Dalam kehidupan Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai saat ini masih teridentifikasi berbagai stuktur sosial. Keragaman struktur sosial dapat dikemukakan sebagai berikut:
Rumatau atau Lumatau (Mata Rumah) Rumatau atau lumatau (mata rumah) merupakan ciri umum yang
dapat dijumpai pada setiap lingkungan masyarakat negeri (adat) di Maluku. Dalam rumatau atau lumatau (mata rumah) terdapat keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan sebagai struktur sosial dasar. Oleh Effendi (1987 : 25) rumatau atau lumatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga. Kata pokoknya adalah “ruma atau rumah”. Sebutan untuk rumah ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat. Menurut dialek Saparua disebut lumal, dialek Nusalaut rumah, dialek Haruku ruma, dialek Hila dan Asilulu luma. Sebutan luma juga dikemukakan oleh Streseman. Dalam bahasa daerah asli atau “bahasa tanah” huruf “r” dibaca “l”. Secara harfiah, ruma berarti “rumah dan tau berarti isi”. Rumatau berarti rumah yang didiami bersama-sama oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun menurut garis bapak. Nama lain yang populer di kalangan rakyat untuk rumatau ini adalah mata-mata. Mata berarti “asal” atau “induk”.
Rumatau atau lumatau terdiri atas beberapa keluarga dengan kepala keluarganya masing-masing, dan merupakan struktur dasar bagi pembentukan struktur sosial di kalangan masyarakat Ambon dan Lease 71
Esuriun Orang Bati
(Saparua, Haruku, dan Nusalaut), karena setiap orang mesti berada dalam salah satu rumatau. Orang yang tergabung dalam rumatau adalah orang asal, yang lawannya adalah orang dagang atau bukan orang asli yang berasal dari salah satu rumatau. Dikemukakan lebih lanjut oleh Effendi (1987 : 26) bahwa setiap orang senantiasa tergabung ke dalam salah satu rumatau. Mereka yang tidak tergabung ke dalam salah satu rumatau sukar untuk turut serta di dalam lalu lintas hukum dan kurang mendapat perlindungan hukum, karena tidak masuk hitungan sebagai orang asli dari negeri yang bersangkutan. Rumatau adalah kebanggaan dari anggotanya, dan berada di luarnya berarti kehilangan kebanggaan dan martabat serta lain-lain hak yang dapat dibanggakan sebagai orang asli. Untuk mengatur suatu rumatau, baik dalam hubungan ke dalam rumatau, maupun terhadap pihak luar seperti rumatau lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota rumatau yang bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar “upu”. Biasanya dipilih yang tertua atau yang dituakan di antara anggota rumatau itu. Senioritas generasi seseorang memegang peranan penting untuk dapat diangkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang pemimpin yang berwibawa.
Uku Perkembangan yang terus berlangsung dalam kehidupan rumatau antara lain pertambahan anggota karena kelahiran sehingga jumlah
mereka makin banyak. Anggota-anggota keluarga yang berasal dari rumatau yang jumlahnya besar kemudian mendirikan rumah disekitar rumatau induk dan terus mengalami perkembangan sehingga menjadi banyak sehingga terbentuk pesekutuan hidup yang lebih besar yang dinamakan Uku atau Huku. Oleh Effendi (1987 : 28) bahwa uku atau huku itu merupakan suatu persekutuan genealogis. Dalam perkembangannya, uku sebagai persekutuan genealogis berganti dengan persekutuan teritorial atau teritorial genealogis. Namun yang terjadi kemudian yaitu uku tersebut hanya tinggal nama saja. Riedel menyamakan uku ini dengan soa.
72
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Soa Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya terdiri dari mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa terdapat marga-marga atau fam (family) yang berbeda-beda. Effendi (1987 : 29) mengemukakan bahwa soa adalah suatu persekutuan teritorial genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan atau negeri. Dalam kenyataannya rumatau-rumatau dalam soa tidak seketurunan. Mereka berasal dari keturunan yang berbeda, yang secara kebetulan menempati wilayah yang sama. Unsur teritorial yang menyebabkan mereka bergabung, dan bukan unsur genealogis. Dalam suatu soa terdapat satu rumatau asli, tetapi dapat dijumpai juga bahwa dalam satu soa terdapat beberapa rumatau, maupun margamarga pendatang. Pada umumnya pemimpin yang terdapat dalam satu soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan “Kepala Soa”, dan memiliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota yang terdapat dalam soa tersebut. Nama soa yang terdapat dalam suatu negeri berbeda-beda, serta jumlah soa pada setiap negeri tidak sama. Anggota yang terdapat dalam soa tersebut dinamakan “Anak Soa”.
Hena dan Aman Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya Hena atau Aman. Menurut G A Wilken dan van Ossenbruggen dalam Effendi (1987 : 30) menuliskan Hena dengan “Henna” yang bentuknya sama dengan yang di Pulau Buru “Fenna”. Henna atau Fenna berarti daerah atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied). Dalam arti terbatas bisa berarti “kampung” (dorp). Jadi Hena adalah suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial. Menurut dialek Saparua disebut “Amanno”, dialek Nusalaut Amanyo, dialek Hila Amano dan amane, dan dialek Asilulu “Hena”. Di Ambon Lease, Hena aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah Hena bisa terdiri atas beberapa Uku. Pada mulanya mungkin saja suatu 73
Esuriun Orang Bati
Hena terbentuk oleh Uku-Uku, dan Uku-Uku ini adalah kesatuankesatuan genealogis, namun sudah harus diperhitungkan unsur teritorialnya oleh Uku-Uku yang bersangkutan karena sudah menempati daerah yang luas. Hena itu dinyatakan sebagai suatu persekutuan “genealogis teritorial” yang lebih menitik beratkan kepada unsur genealogisnya atau di mana unsur genealogis yang dominan. Jadi kebalikan dari soa di mana unsur teritorial yang dominan atas rumatau-rumatau yang berunsurkan genealogis itu dan bersama-sama membentuk sebuah persekutuan genealogis teritorial. Negeri Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya digunakan oleh Orang Maluku untuk mengidentifikasi tempat asal-usul, tanah kelahiran, tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan itu pada seseorang. Menurut Effendi (1987 : 31) istilah negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah persekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pamerentah dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut regent. Sekarang ini susunan wilayah pemerintahan negeri adalah wilayah yang membentuk negeri. Di bawahnya terdapat wilayahwilayah soa yang terbentuk dari beberapa rumatau sebagai persekutuan genealogis.
Uli dan Pata Penamaan Uli dan Pata dapat dijumpai pada Orang-Orang yang mendiami Ambon, Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut), dan Seram. Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987 : 31) adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa Hena atau Aman. Uli adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat di Ambon Lease. Walaupun di daerah sekitarnya terdapat lembaga yang sama dengan Uli ini, tetapi tidaklah serupa, misalnya di Pulau Seram. Mengenai arti Uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat 74
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
diantara para penulis. Selanjutnya menurut Effendi, mengenai arti Uli itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara para penulis. Valentijn mengartikannya dengan “persekutuan” (gespanschap). Holleman mengartikan Uli adalah “perikatan atau gabungan sukusuku” (stammenbond) yang terdiri atas lima atau sembilan aman, hena atau soa. Dalam uraian selanjutnya Holleman menyebutkan Uli adalah “Volk”. Melihat kepada terbentuknya Uli ini, maka volk di sini bukan berarti bangsa atau nation, tetapi sebagai kelompok rakyat yang terikat satu sama lainnya karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, kebiasaankebiasaan dan wilayah pemukiman yang sama. Jansen sebagai Residen terakhir dari pemerintahan penjajahan Belanda di Maluku sampai datangnya kekuasaan Jepang, tidak memberikan pengertian mengenai Uli, dan beliau kurang setuju kalau Uli diartikan dengan perikatan (gespanschap) atau bangsa (volk). Namun di dalam realitasnya, cara pengelompokan sosial di Ambon Lease banyak berpengaruh dari konsep Uli karena sistem ini membagi masyarakat ke dalam kelompok Ulisiwa dan Ulilima. Artinya, Orang Ambon Lease mesti berada dalam satu Uli tertentu. Kalau tidak Ulisiwa tentu Ulilima. Di Pulau Seram untuk Uli dikenal istilah Pata. Patasiwa untuk Ulisiwa, dan Patalima untuk Ulilima. Menurut Effendi (1987 : 32) walaupun antara Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis, sedangkan Pata lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Uli sebagai persekutuan yang murni atau secara menyeluruh genealogis dapat dikatakan tidak ada. Kalau disebut cenderung genealogis bukanlah berarti bahwa seluruh anggota atau rakyat yang tergabung di dalam Uli itu berasal dari satu moyang atau satu leluhur, karena Uli dibentuk oleh beberapa kelompok orang di mana masing-masing kelompok merupakan kesatuan yang berdiri sendiri dan berasal dari leluhur yang berbeda. Uli adalah tempat mereka bergabung dibawah satu pimpinan. Unsur teritorial juga terdapat di dalamnya, karena wilayah pemukiman mereka bertetangga. Contoh yang kuat tentang ini adalah Uli Helawan sendiri yang kelompok-kelompok anggotanya bukan saja tidak seketurunan, tetapi juga berasal dari daerah yang berbeda-beda. 75
Esuriun Orang Bati
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan mengenai penamaan Uli tampak bahwa ciri yang terdapat pada Uli yaitu berupa sistem pengelompokan sosial berdasarkan teritorial, dan bukan genealogis karena orang-orang yang tergabung dalam satu Uli belum tentu memiliki asal-usul leluhur yang sama. Orang-orang yang tergabung dalam satu Uli memiliki hena atau aman, atau saat ini dinamakan negeri yang bertetangga pada satu pulau tertentu, tetapi bisa berbeda pulau. Misalnya sebutan Orang Uliaser (Uliasa) atau saat ini dikenal dengan nama Lease ditujukan pada orang-orang yang mendiami negeri atau Hena atau Aman yang terdapat di Pulau Saparua, Haruku, dan Nusalaut. Sistem pengelompokan sosial tersebut dapat dijumpai pada orang-orang yang mendiami negeri-negeri (adat) di Ambon Lease yang menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada juga yang menyebut Patasiwa dan Patalima yang memiliki ciri khas berbeda pada bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan pada parang (golok) dan sebagainya. Artinya orang-orang yang tergabung dalam satu Uli tertentu (Ulisiwa maupun Ulilima) menyebut diri sebagai Orang Patasiwa atau Negeri Patasiwa maupun Orang Patalima atau Negeri Patalima. Menurut Effendi (1987 : 32) Uli terbagi atas dua macam atau jenis yaitu Ulisiwa dan Ulilima. Siwa berarti sembilan dan Lima adalah lima. Bagaimana asal mulanya sampai ada yang sembilan dan ada yang lima ini tidaklah jelas. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terbentuknya Uli yang berbeda itu berdasarkan jumlah Hena atau Aman atau kampung yang membentuk Uli itu, pada Ulisiwa jumlahnya sembilan dan pada Ulilima jumlahnya lima. Apakah benar-benar dasar perbedaannya itu adalah jumah Hena atau Aman yang sekarang menjadi Soa yang tergabung ke dalam suatu Uli masih diragukan. Setidaktidaknya masih harus dibuktikan lagi2). Keragu-raguan itu timbul sebab 2)Mengenai
makna sembilan dan lima dapat dilihat dalam bahasan pada Bab Empat pada sub pokok bahasan tentang Kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati tentang SiwaLima.
76
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
berdasarkan kenyataan yang ada sekarang ini pada tiap-tiap negeri di Ambon Lease, tidak satu negeri yang Ulisiwa mempunyai atau terbentuk atas 9 Soa atau lebih, tetapi sebaliknya ada negeri yang Ulilima mempunyai lebih dari 5 Soa, bahkan ada yang lebih dari 9 Soa. Negerinegeri Ulisiwa jumlah soa tidak sampai 9 diantaranya Negeri Nalahia di Pulau Nusalaut hanya mempunyai empat Soa yaitu Soa Lewerissa, Rikumahu, Leiwakabessy, dan Berhitu. Negeri Hatiwe Besar di Pulau Ambon terdiri dari 3 Soa yaitu Soa Lata, Batulubang, dan Masing. Negeri Asilulu di Pulau Ambon mempunyai 4 Soa yaitu Soa Ely, Kalauw, Mahu, dan Moni. Lebih lanjut dikemukakan oleh Effendi (1987 : 35-37) Berbagai
Uli yang terdapat di Ambon antara lain di Jazirah Hitu terdapat 7 Uli yaitu Uli Helawan di Negeri Hitumesing, Uli Seilessy di Negeri Mamala, Uli Sawani di Negeri Wakal, Uli Hatunuku di Negeri Kaitetu, Uli Ala di Negeri Seith, Uli Nau Bainau di Negeri Lima, dan Uli Solemata yang meliputi Negeri Tulehu, Tial, dan Tenga-Tenga. Ketujuh Uli tersebut membentuk lagi Uli gabungan bernama Uli Hitu, dan Uli Yala Hitu Hua Barkate yang menundukan diri kepada Uli Helawan. Selanjutnya di Jazirah Leitimor terdapat empat Uli yaitu Uli Nusaniwe di Negeri Latuhalat, Uli Urimesing di Negeri Urimesing, Uli Terangbulan meliputi Negeri Kilang, Hatalai, dan Naku, dan Uli Sirimau di Negeri Soya. Di Pulau Haruku terdapat 2 Uli yaitu Uli Hatuhaha di pantai utara dan barat dari Pulau Haruku, dan Uli Buangbessy di pantai selatan. Uli Hatuhaha adalah Uli yang masih hidup dan paling menonjol dari semua Uli di Ambon Lease sekarang ini. Uli Hatuhaha berpusat di Negeri Pelauw dan anggota-anggotanya
adalah Negeri Hulaliu, Rohomoni, Kailolo, dan Kabau. Di Pulau Saparua Uli ini hampir tidak bisa dikesani. Walaupun ada disebutsebut Uli Hatawano dan Uli Honimua. Uli Hatawano meliputi daerah Teluk Hatawano di pantai utara Pulau Saparua, dan Uli Honimua meliputi daerah selatan di Pulau Saparua. Di Pulau Nusalaut terdapat 2 Uli yaitu Uli Inahaha di bagian atas yang terbentuk oleh Hena-hena Lesinusa, Kakerisa, Henasiwa, dan Hatalepa-pawae, dan Uli Inaluhu yang berarti bagian bawah yang dibentuk oleh Hena-Hena Samasuru, Risapori, Henalatu, dan Tounusa. 77
Esuriun Orang Bati
Alifuru Patasiwa dan Patalima di Seram-Maluku Sebutan Suku Alifuru atau Orang Alifuru tidak populer di Maluku, karena selama ini sebutan tersebut dipersepsikan oleh orang luar (Maluku) sendiri sebagai kehidupan manusia yang primitif, kotor, jahat, dan sebagainya. Untuk itu dalam interaksi sosial sebutan Alifuru senantiasa dianggap berkonotasi negatif. Dalam kehidupan sehari-hari di kalangan Orang Maluku, teristimewa dalam ritual adat untuk maksud tertentu yang berkaitan dengan adat dalam upacara pelantikan Raja (Latu), mengerjakan rumah adat (baileu), upacara adat panas gandong, pela, dan lainnya selalu menggunakan adat-istiadat khas Alifuru seperti tarian adat cakalele. Dalam kehidupan Alifuru di Pulau Seram, ternyata mereka terdiri dari berbagai kelompok yang menganut tradisi, adat-istiadat, bahasa, identitas, kebudayaan, teri-torial, dan lainnya yang berbeda-beda. Sejak awal kelompok Patasiwa dan Patalima selalu bersaing. Bahkan kedua kelompok pata tersebut sering terlibat dalam konflik dan pertikaian. Kedua kelompok sosial tersebut sering hidup bermusuhan. Struktur sosial Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai sekarang masih teridentifikasi dalam sistem pengelompokan sosial yang berbasis Patasiwa (sembilan bagian) dan Patalima (lima bagian ) dapat dijumpai pada berbagai tempat. Menurut Colley (1961 : 118-122) kata pata berasal dari bahasa asli seperti juga kata setaraf uli, dan keduanya berarti kelompok atau bagian. Siwa berarti sembilan dan Lima berarti lima. Jadi Patasiwa atau Ulisiwa berarti kelompok sembilan, sedangkan Patalima atau Ulilima adalah kelompok Lima. Tiap desa di Maluku Tengah tergolong ke dalam salah satu kelompok, dan biasanya para ahli dalam soal adat akan mengetahui pada kelompok mana sesuatu desa tergolong. Lebih lanjut dikemukakan Colley bahwa Patasiwa-Patalima nampaknya menunjukkan bahwa seluruh desa yang tergolong pada kelompok sembilan mempunyai sistem adat yang serupa dalam segisegi tertentu. Tergolongnya sesuatu desa ke dalam kelompok sembilan atau kelompok lima, hal ini tampak mempunyai akibat-akibat tertentu. Adapun susunan sosial dari desa-desa yang tergolong pada kelompok sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil. Artinya, secara umum mereka mengetahui tergolong pada Patasiwa 78
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
atau Patalima. Kedua sistem adat seperti ditemukan di desa-desa di Ambon dan Lease dapat dihubungkan dengan daerah asalnya atau daerah-daerah adat di Pulau Seram. Dalam hal ini ada persesuaian pendapat bahwa pembagian Patasiwa-Patalima pada mulanya ditentukan di Seram, juga mengenai cara memberikan garis pembatasannya. Patasiwa adalah kelompok Alifuru yang menghuni bagian Pulau Seram, yang sebagian terletak di sebelah barat dari Sungai Mala yang bermuara ke dalam Teluk Elpaputih di sebelah selatan. Orang-Orang Patalima menghuni daerah yang terletak di sebelah timur perbatasan Sungai Mala. Kelompok Patasiwa terdiri dari dua subkelompok yaitu kelompok Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) yang menempati wilayah Pulau Seram bagian barat dengan batas di Sungai Mala, dan Patasiwa Putih yang menempati daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala, sampai dengan wilayah sepanjang Teluk Teluti. Lebih lanjut dikemukakan oleh Colley (1961) bahwa terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa kelompok siwa (sembilan) dan kelompok lima (lima) itu sesungguhnya bukan asli Seram, tetapi berasal dari Kesultanan Tidore dan Ternate. Patasiwa ada pertaliannya dengan Ternate dan Patalima dengan Tidore. Alasan yang dikemukakan untuk pembagian itu dengan maksud dari Sultan Ternate untuk memecah-belah Orang-Orang Seram, sehingga lebih mudah menaklukan mereka. Banyak contoh dalam sejarah bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore terus-menerus bersaing, paling tidak semenjak tahun 1450. Juga diketahui perluasan kekuasaan politik ke selatan setelah pendirian kesultanan-kesultanan yang kuat di Ternate dan Tidore, terjadi dalam paruh kedua abad ke-15. Bahwa kelompokkelompok Patasiwa dan Patalima saling bermusuhan, itu sesuai dengan pendapat bahwa pengelompokan itu adalah pengaruh dari kekuatankekuatan yang saling bersaing di sebelah utara. Dapat dikemukakan bahwa pergolakan politik untuk kepentingan penaklukan wilayah suku menyebabkan pergolakan politik yang makin hebat, sehingga timbul persaingan yang menjadi penyebab terjadinya pertikaian antar suku, kelompok, dan sebagainya. Hal ini
79
Esuriun Orang Bati
dikemukakan lebih lanjut oleh Colley (1961) terdapat data yang harus diperhatikan dalam hubungan ini yaitu tentang pembagian kelompok penduduk di Seram yang berasal dari zaman sebelum pengelompokan Patasiwa dan Patalima itu diperkenalkan. Di Seram Barat sebelum abad ke-15 terdapat dua golongan Suku Alifuru yaitu Pata Aloene (Halune) dan Pata Wemale (Memale). Aloene menghuni daerah Sungai Sapalewa, sedangkan Wemale menempati daerah selatan di sekitar Sungai Tala dan terus ke arah timur. Wemale tampaknya terpencar lebih luas ke daerah yang kemudian diduduki oleh Patalima. Ada perbedaan-perbedaan kebudayaan tertentu di antara kedua kelompok suku ini akibat pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi penyebab dari pengelompokan kembali Orang-Orang Seram yang lebih besar akhirnya dinamakan Patasiwa dan Patalima. Memasuki abad ke-17 keadaan berubah akibat tekanan-tekanan “Hongi” yang dilancarkan Belanda menjelang tahun 1655 telah mengosongkan penduduk daerah Hoamual, Seram Barat, yaitu daerah milik kelompok Patasiwa. Mereka yang tidak gugur dalam seranganserangan itu melarikan diri ke Seram Selatan dan pasti banyak dari antara mereka yang sampai ke Ambon-Lease. Melalui cara ini pengaruh Patasiwa (dari Seram Barat) tertanam pada kebudayaan, terutama pada adat Ambon-Lease, sementara pengaruh itu adalah kebudayaan yang telah diwarnai oleh kebudayaan dari utara. Perubahanperubahan yang terjadi menjelaskan adanya kenyataan bahwa pengetahuan tentang Patasiwa-Patalima pada saat ini hanya terdapat garis-garis besar yang kabur sehingga pemahaman pengertiannya sudah hampir hilang sama sekali. Suku Alune atau Orang Alune di Seram-Maluku Orang Alune atau Suku Alune merupakan salah satu suku terbesar di Pulau Seram-Maluku. Alune adalah sebutan dalam bahasa Alune yang artinya Manusia Gunung. Maksud dari manusia gunung yaitu, pada awalnya leluhur Orang Alune atau Suku Alune mendiami wilayah pegunungan. Untuk itu kehidupan sebagai manusia gunung. Proses migrasi yang dilakukan oleh leluhur Orang Alune atau Suku Alune, baik dalam wilayah Pulau Seram maupun di luar wilayah Pulau 80
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Seram seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa, Kelang, Buano, dan lainnya kemudian muncul sub sukubangsa lainnya dengan sebutan nama masing-masing. Untuk itu pada saat ini Pulau Seram terdapat berbagai subsukubangsa baik itu suku-suku asli maupun suku-suku pendatang. Selain itu juga telah terjadi perkawinan campur antara suku asli dan suku-suku pendatang. Proses ini telah berlangsung cukup lama. Dapat dikemukakan bahwa suku-suku pendatang yang saat ini terdapat di Pulau Seram antara lain Suku Tobelo, Jailolo, Ternate, Tidore, Bacan, Taliabu, Sanana, Obi, Kei (Kai), Buton, Bugis, Makasar, Bone, Jawa, Padang, Papua, Arab, Cina, dan lainnya 3. Umumnya suku-suku pendatang mendiami pesisir pantai. Suku asli Pulau Seram adalah keturunan Suku Alifuru atau Orang Alifuru yang mendiami tempat-tempat di sekitar pegunungan (Jansen, 1948; Mausa, 1987; Matulessy, 1988; Sachse, 2002). Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap negatif di kalangan Orang Maluku sendiri karena menunjukkan kehidupan pada orang liar, kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Sebutan ini sering dihindari ketika berlangsungnya interaksi di kalangan masyarakat Maluku. Untuk itu sebutan suku Alune atau Orang Alune atau Pata Halune dan suku Wemale atau Orang Memale atau Pata Wemale menjadi populer dalam interaksi sosial dikalangan Orang Seram dan Orang Maluku (Subiyakto dalam Koentjaraningrat, 1999). Selain itu juga masih terdapat suku-suku lainnya seperti Suku Nuaulu di Seram Selatan (Ellen, 2002), Suku Huaulu di Seram Utara (Valeri, 1988; Panjaitan dan Topatimasang, 1993). Tradisi, adat, bahasa, maupun kehidupan sosial dari suku-suku tersebut di atas pada hakikatnya berbeda-beda namun kebiasaan makan sirih, pinang, tembakau, kapur, kemudian memiliki adat istiadat yang berbasis pada suku Alifuru seperti tarian adat Cakalele Alifuru terdapat pada semua suku, sehingga 3)Saat ini sebutan Orang Seram telah digunakan oleh suku-suku pendatang maupun suku asli di Pulau Seram. Tetapi dalam persepsi Orang Maluku yang dimaksud dengan sebutan Orang Seram ditujukan pada penduduk asli, baik yang mendiami wilayah pegunungan maupun pesisir pantai yang awalnya adalah Orang Gunung kemudian melakukan migrasi ke luar dari tempat kediaman dan mendiami wilayah pesisir pantai.
81
Esuriun Orang Bati
dapat dipastikan bahwa suku-suku tersebut baik langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan dengan Suku Alifuru di Pulau Seram. Berkaitan dengan keadaan dari suku-suku yang mendiami Pulau Seram, dikemukakan tentang profil dari suku-suku dimaksud pada gambar 1 dan 2 berikut ini:
Gambar 1 Profil Laki-laki Suku Alune atau Orang Alune di Seram Sumber: Janse, doc,1948.
Gambar 2 Profil Perempuan Suku Alune atau Orang Alune di Seram Sumber: Jansen, doc, 1948.
82
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Dewasa ini kehidupan Orang Alune atau Suku Alune di Pulau Seram-Maluku telah mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan karena Orang Alune atau Suku Alune sudah melakukan kontak dengan orang luar cukup lama sehingga terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial yang berlangsung antara Orang Alune atau Suku Alune makin intensif, dan mereka sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung dengan lingkungan sekitarnya. Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram-Maluku Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram merupakan salah satu sukubangsa yang besar. Pada hakikatnya Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram memiliki tingkat perkembangan yang identik dengan Orang Alune atau Suku Alune karena mereka telah melakukan kontak dengan orang luar cukup lama. Interaksi sosial yang berlangsung antara Orang Wemale atau Suku Wemale telah berlangsung cukup lama, dan Orang Wemale atau Suku Wemale memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sehingga mudah menyesuaikan diri dengan proses perubahan yang terus berlangsung. Wemale atau Suku Wemale telah melakukan migrasi cukup lama dalam wilayah Pulau Seram maupun ke luar wilayah Pulau Seram seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa, Kelang, Buano, dan berbagai tempat dalam wilayah Kepulauan Maluku. Proses migrasi yang telah berlangsung ratusan tahun kemudian keturunan mereka memunculkan subsuku lainnya, baik itu yang mendiami Pulau Seram maupun di luar Pulau Seram seperti gambar 3 berikut ini:
83
Esuriun Orang Bati
Gambar 3 Profil Laki-Laki dan Perempuan Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram Sumber: dari Jansen, doc,1948, kemudian dilukis ulang
Dapat dikemukakan bahwa Orang Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale sebagai induk dari subsuku lainnya di Pulau Seram maupun Kepulauan Maluku, dapat teridentifikasi dari cara-cara hidup, adat-istiadat, bahasa, rumah adat, batu pamali, dan lainnya. Suatu hal yang dapat dikemukakan di sini bahwa karakteristik, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya dari keturunan kedua suku ini (Alune dan Wemale) sebagai Orang Gunung masih melekat sangat kuat. Sebagai contoh, kehidupan dari keturunan Orang Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale yang telah mendiami pesisir pantai cukup lama, tetapi ketergantungan 84
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
hidup mereka pada wilayah hutan masih sangat kuat. Mereka tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat nelayan yang profesional, karena sebagian besar kehidupan mereka lebih mengandalkan pertanian atau membuat kebun. Perspektif kehidupan yang sangat nyata dari keturunan Orang Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale yaitu mengakui diri sebagai Keturunan Alifuru, yang dikenal oleh Orang Maluku dengan sebutan keturunan Alifiru Ina kemudian menjadi sebutan yang digunakan sampai saat ini adalah Alifuru Seram. Tradisi Alifuru pada kedua suku ini masih kuat dipertahankan sampai saat ini seperti dijumpai dalam upacara adat Cakalele (tarian perang). Menurut peneliti kedua kelompok sukubangsa ini pada awalnya memiliki asal-usul leluhur yang sama. Apabila Alifuru merupakan ciri khas yang dimiliki oleh kedua suku tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan Suku Alifuru. Untuk itu studi lebih mendalam mengenai asal-usul Alifuru Seram perlu didalami sehingga dapat diungkapkan lebih riil keterkaitan. Selama ini informasi mengenai suku Alifuru berupa penuturan, sedangkan informasi ilmiah mengenai suku Alifuru sangat terbatas melalui studi-studi ilmiah yang lebih mendasar.
Bumi Seram Bagian Timur dan Manusianya Untuk memahami tentang Bumi Pulau Seram Bagian Timur dan Manusianya, dikemukakan sebagai berikut : Identifikasi Geografi Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terdapat dalam buku Seram Bagian Timur Dalam Angka 4), terdiri dari pulaupulau yang berjumlah 31 pulau. Pulau yang telah dihuni oleh pendu4)Data tentang identifikasi geografi, luas wilayah, batas wilayah, iklim dan curah hujan
terdapat dalam Seram Bagian Timur Dalam Angka Tahun 2007, Hal 3-44.
85
Esuriun Orang Bati
duk Seram Bagian Timur yaitu 17, sedangkan 14 pulau lainnya masih kosong karena tidak berpenghuni. Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) adalah Bula yang terdapat di daratan Pulau Seram Bagian Timur.
Luas Wilayah Luas wilayah Seram Bagian Timur seluruhnya kurang lebih 15.887,92 km², yang terdiri dari luas wilayah laut yaitu 11.935,84 km², dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km², dengan perincian sebagai berikut: (1) Kecamatan Seram Timur yang beribukota di Geser (Pulau Geser) memiliki luas 603,65 km²; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom memiliki luas 171,53 km²; (3) Kecamatan Werinama memiliki luas 175,58 Kkm²; (4) Kecamatan Bula memiliki luas 3001,32 km².
Batas Wilayah Batas wilayah Kabupaten Seram Timur (SBT) yaitu: (1) Di sebelah utara dengan Laut Seram; (2) Di sebelah selatan dengan Laut Banda; (3) Di sebelah timur dengan Laut Arafura; (4) Di sebelah Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah.
Iklim dan Curah Hujan Iklim dan curah hujan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) adalah iklim laut tropis dan iklim musim.Terjadi iklim tersebut karena Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) dikelilingi oleh laut yang luas. Kondisi iklim seperti ini sangat dipengaruhi oleh laut yang berlangsung seirama dengan musim yang ada (musim yang berlangsung setiap saat). Akibat luas wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini tersebar dalam pulau-pulau yang berbeda, sehingga iklim di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) adalah iklim musim.
86
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Suhu dan curah hujan berdasarkan perhitungan klimatologi pada Stasiun Meteorologi Geser menunjukkan bahwa iklim di Kabupaten Seram Bagian Timur adalah: (1) Geser dalam tahun 2006 Kecamatan Seram Timur temperatur rata-rata 27,5ºC, di mana temperatur maksimun rata-rata 31,40C dan minimum rata-rata 230C. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu 632,8 mm, kemudian pada bulan Pebruari 229,9 mm. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada Juni sebesar 26 hari, dan bulan Januari 19 hari. Rata-rata hari hujan selama tahun 2006 sebanyak 14 hari. Penyinaran matahari rata-rata 67,3% dengan tekanan udara rata-rata dalam satu tahun yaitu 1011,2 milibar, dan kelembaban nisbi rata-rata 81,2%. Kecepatan angin di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ratarata 6,4 knot, dengan arah angin terbanyak dari arah selatan. Kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Januari dan bulan Desember sebesar 30 knot. Arah angin terbanyak pada saat kecepatan angin terbesar adalah dari arah Tenggara. Lokasi Kabupaten Seram Bagian Timur dapat dilihat pada peta 2 berikut ini:
Peta 2 Kabupaten Seram Bagian Timur
87
Esuriun Orang Bati
Keadaan Penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) berdasarkan data tahun 2007 sebanyak 117.142 jiwa yang terdiri dari pendu-duk laki-laki sebanyak 55.983 jiwa, dan penduduk perempuan seba-nyak 61.159 jiwa. Perincian penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menurut kecamatan yaitu; (1) Kecamatan Seram Timur yaitu 40.141 jiwa yang terdiri dari laki-laki 18.907 jiwa dan perempuan 21.234 jiwa; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom jumlah penduduk sebanyak 46.362 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 23.440 jiwa dan perempuan 23.433 jiwa; (3) Kecamatan Werinama jumlah penduduk sebanyak 12.36 jiwa yang terdiri dari penduduk lakilaki 6.129 jiwa dan perempuan 6.233 jiwa; (4) Kecamatan Bula jumlah penduduk sebanyak 17.766 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 7.507 jiwa dan perempuan 10.259 jiwa. Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km2 di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) maka kepadatan penduduk yaitu sebanyak 21 jiwa, dan jumlah ratarata anggota rumah tangga yaitu lima orang. Untuk itu dapat dikatakan bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) tidak merata, baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah tangga 5). Perlu dikemukakan bahwa Kecamatan Seram Timur yang berkedudukan di Geser, dan Kecamatan Pulau-Pulau Gorom yaitu berkedudukan di Pulau Gorom dengan Ibukota Kecamatan di Kataloka berada pada pulau tersendiri dan terpisah dari daratan Pulau Seram. Kecamatan Bula dengan Ibukota Kecamatan yaitu Bula, dan Kecamatan Werinama dengan Ibukota Kecamatan yaitu Werinama adalah kecamatan yang berada di daratan Pulau Seram Bagian Timur. Setelah pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2002, telah dimekarkan Kecamatan Tutuk Tolo dari Kecamatan Seram Timur. Secara geografis, Kecamatan Tutuk Tolo dengan Ibukota Kecamatan 5)Data tentang identifikasi geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini bersumber dari buku tentang Seram Bagian Timur Dalam Angka tahun 2007, BAPPEDA dan BPS Seram Bagian Timur, No 1403.8107, halaman 3-44.
88
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
berada Tutuk Tolo yang terletak daratan Pulau Seram Bagian Timur, atau dikenal dengan nama Daratan Hunimua.
Tana (Tanah) Bati di Kabupaten Seram Bagian Timur Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur menyebut daerah kediamannnya dengan nama Tana (Tanah) Bati yang terletak di wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat, Kecamatan Seram Timur dan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Berikut ini dikemukakan aspek terkait yaitu: Identifikasi Geografis Tanah Bati terdapat di Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Secara geografis Tanah Bati ini berada di daratan Pulau Seram Bagian Timur yang terbentang dari wilayah pesisir pantai sampai dengan wilayah pegunungan. Wilayah sekitar pesisir pantai sudah terdapat jalan penghubung lingkungan yang terbuat dari tanah dengan lebar sekitar 3 m. Selain jalan darat dari tanah, untuk mencapai desa-desa, dan kampung atau dusun (wanuya) yang terdapat di Tanah Bati dapat ditempuh dari laut dengan menggunakan perahu (wona) atau motor tempel (katinting), kecuali kampung atau dusun-dusun yang terdapat lereng-lereng bukit dan pegunungan hanya dapat ditempuh melalui jalan setapak dengan cara berjalan kaki. Jarak antara satu kampung atau dusun dengan kampung atau dusun yang lain tidak sama. Jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun yang ditempati oleh Orang Bati (Bati Pantai) berjarak sekitar 4 sampai dengan 5 km, sedangkan jarak untuk mencapai kampung atau dusun-dusun Bati (Bati Tengah dan Bati Dalam) yaitu sekitar 6 sampai dengan 7 Km. Jarak tempuh melalui cara jalan kaki untuk mencapai Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) kurang lebih 13 sampai dengan 14 Km dari pesisir pantai.
89
Esuriun Orang Bati
Untuk memberikan akses pada Orang Bati yang mendiami wilayah di lereng-lereng bukit dan pegunungan, maka Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2009 telah membuka jalan penghubung lingkungan untuk menghubungkan kampung atau dusun di Tana (Tanah) Bati. Jalan penghubung lingkungan ini arahnya dari Kampung atau Dusun Aertafela yang letaknya di pesisir pantai, untuk menuju ke kampung atau dusun yang ditempati Orang Bati di lereng bukit dan pegunungan. Sejak bulan November 2009 jalan yang baru dibangun telah mencapai Kampung atau Dusun Rumoga (Bati Pantai), Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah), dan kampung atau dusun yang letak paling akhir di pegunungan yaitu Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Posisi jalan yang baru dibangun tidak masuk dalam kampung, tetapi berada di pinggiran kampung. Hal ini dilakukan sesuai dengan etar (wilayah milik marga) dan tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral sehingga tidak merusak lokasi tersebut. Orang Bati yang termasuk kelompok sosial Bati Dalam mendiami Kampung atau Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Untuk menuju ke lokasi Orang Bati Dalam yang terdapat di pegunungan, masih menggunakan jalan setapak yang melewati wilayah hutan di lerenglereng bukit. Jalan penghubung lingkungan untuk menjangkau kampung atau dusun (wanuya) di Tana (Tanah) Bati saat ini baru berada pada tahap awal pekerjaan, sehingga belum di aspal. Untuk itu sarana transportasi darat (mobil) belum dapat melintasi jalan tersebut karena permukaan tanah tidak datar. Jalan yang baru dibangun dinamakan jalan Esuriun dan hanya dapat ditempuh dengan cara berjalan kaki. Iklim dan Suhu Udara Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur mengalami tiga musim yaitu musim kemarau (musim barat), musim penghujan (musim timor), dan musim pancaroba (peralihan). Antara musim penghujan dan musim kemarau berlangsung musim peralihan atau musim pancaroba. Berdasarkan catatan lapangan yang dilakukan sendiri oleh peneliti bahwa suhu udara di Kampung atau Dusun Bati Kilusi 90
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
(Bati Awal) yang terletak di pegunungan pada pagi hari jam 06.00 WIT yaitu 19,50 C, siang hari pada jam 12.00 WIT yaitu 220 C, dan malam hari jam 19.00 WIT yaitu 180 C 6). Curah hujan tertinggi di Tana (Tanah) Bati berlangsung pada bulan April sampai dengan bulan Agustus setiap tahun. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli hujan turun terusmenerus. Orang Bati menyebutkan bahwa: Puncak hari hujan terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Artinya pada bulan-bulan ini Orang Bati tidak dapat melakukan aktivitas di luar rumah seperti ladang atau kebun secara leluasa. Orang Bati beranggapan bahwa pada bulan-bulan ini merupakan masa yang sangat sulit bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup bagi rumah tangga 7).
Keadaan Penduduk Pada saat dilakukan sensus kecil oleh peneliti di lokasi permukiman Orang Bati tahun 2010-2011 berdasarkan hasil sensus kecil yang dilakukan peneliti yaitu terdapat 8.004 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 4.041 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 3.963 jiwa. Perincian penduduk yang mendiami kampung atau dusun-dusun di Tana (Tanah) Bati dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
6)Data
tentang identifikasi geografi, iklim, dan suhu udara di Tana (Tanah) Bati dilakukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pengalaman studi selama 3 musim (musim kemarau atau musim barat, musim penghujan atau musim timor, dan musim pancaroba atau musim peralihan) dengan menggunakan peralatan pengukur suhu (termometer). 7)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 3 Mei 2010.
91
Esuriun Orang Bati
Tabel 1 Keadaan Penduduk di Dusun-Dusun Bati Tahun 2011 No
Nama Dusun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 -
Kilusi Rumbou Rumoga Seyei Kilaba Uta Kelsaur Aerweur Tokonakat Baru Lamdutu Kaididia Kilimoi Madak Teun Lu Sesar Darat Sesar Tengah Kufarbolowin Garigit Kian Aertafela Angar Watu-Watu Kilga Keliwou Kilga Watubau Rumfakar Keliser Total
Kelamin L 26 115 74 50 225 80 21 22 18 29 14 67 922 101 49 194 80 169 44 216 225 118 156 157 372 254 243 4.041
% 0,3 1,4 0,9 0,6 2,8 1 0,2 0,3 0,3 0,4 0,2 0,8 11,5 1,3 0,6 2,4 1 2,3 0,5 2,6 2,7 1,5 1,9 2 4,5 3,3 3,1 50,5
P 24 45 83 34 219 58 13 18 18 30 16 67 746 119 59 174 93 162 49 221 227 159 114 241 442 256 271 3.963
Jumlah % 0,3 0,6 1,0 0,4 2,7 0,7 0,1 0,2 0,3 0,4 0,3 0,8 9,3 1,5 0,7 2,2 1,2 2,2 0,6 2,7 2,8 2 1,4 3,0 5,4 3,3 3,4 49,5
L+P 50 160 157 84 444 138 34 40 36 59 30 134 1.668 220 108 368 173 331 93 437 452 277 270 398 814 510 514 8.004
% 0,6 2 1,9 1 5,5 1,7 0,3 0,5 0,6 0,8 0,5 1,6 20,8 2,8 1,3 4,6 2,2 4,5 1,1 5,4 5,5 3,5 3,3 5,0 9,9 6,6 6,5 100,0
Ket Awal Tengah Pantai Dalam Pantai Pantai Pantai Dalam Dalam Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai -
Sumber: Data Primer Hasil Sensus Kecil di Tana (Tanah) Bati.
Data penduduk yang terdapat pada tabel di atas menunjukkan bahwa penduduk laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi dari penduduk perempuan. Keadaan penduduk atau Orang Bati yang berada di kampung atau Dusun (Wanuya) Kilga Watubau yang termasuk Orang Bati Pantai mempunyai persentase lebih tinggi dari penduduk di dusun-dusun lainnya yang berada di Tana (Tanah) Bati, sedangkan penduduk Orang Bati yang mendiami Dusun Lamdutu mempunyai persentase terendah atau lebih sedikit jumlah penduduk dari di dusundusun (wanuya) lainnya di Tana (Tanah) Bati.
92
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Kondisi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku Orang Bati mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur. Sebagian besar wilayah ini sampai sekarang masih terdiri dari hutan belantara di mana terdapat pohon-pohon besar yang rindang. Pada umumnya, wilayah kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bgian Timur belum ditempati oleh manusia (penduduk), tetapi bukan berarti tanah yang terdapat dalam wilayah tersebut tidak ada pemiliknya. Semua tanah kosong yang terdiri dari hutan belantara ada pemiliknya yaitu marga tertentu yang mendiami Tana (Tanah) Bati. Setiap jengkal tanah di Pulau Seram, dan secara khusus di Pulau Seram Bagian, ada orang yang menguasai, bahkan memilikinya, termasuk tanah dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Orang Bati hidup menyatu dengan tanah mereka, dan terus dijaga, dilindungi secara baik sampai saat ini untuk bertahan hidup (survive). Dalam interaksi sosial di kalangan Orang Bati, sebutan orang yang bermakna manusia dan disapa dengan sebutan mancia atayesu (orang gunung) dan mancia layena (orang pantai) sesungguhnya mengikat mereka dengan dunia atau teritori di mana mereka berada baik itu secara fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya. Sebenarnya sebutan mancia 8) yang digunakan dalam interaksi dikalangan Orang Bati menegaskan tentang eksistensi mereka sebagai Orang atau Manusia Gunung (Mancia Atayesu) untuk membedakan diri mereka dengan Orang atau Manusia Pantai (Mancia Layena) baik yang memiliki pertalian darah dengan Orang Bati, yang kental dengan tradisi, adat-istiadat, dan budaya Esuriun, maupun mereka yang tidak memiliki pertalian darah. Relasi sosial yang berlangsung antara Orang Bati dengan lingkungan berada dalam mata-rantai roina kakal yang senantiasa menghubungkan mereka dengan dunianya sendiri. Orang Bati percaya bahwa pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan budaya, kebutuhan masyarakat, dipastikan dapat menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Bahkan dapat menimbulkan bencana pada
8)Bahasa lokal yang digunakan Orang Gunung (Mancia Atayesu) di Tana (Tanah) Bati dinamakan Bahasa Minakyesu atau Minakesi.
93
Esuriun Orang Bati
diri mereka sendiri karena kehidupan yang dijalani tidak sesuai dengan adat maupun keselarasannya dengan kosmos. Orang Bati adalah penduduk yang mendiami Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam interaksi sosial, sebutan Orang Bati sangat jarang ditemukan. Pada umumnya mereka menyebut diri yaitu Orang Gunung (Mancia Atayesu), untuk membedakan diri mereka dengan penduduk yang mendiami perkampungan di daerah pantai atau Orang Pantai (Mancia Layena), yang termasuk saudara (roina kakal) yang memiliki asal-usul yang sama tetapi termasuk dalam kelompok Orang Bati Pantai. Dalam pergaulan hidup sehari-hari Orang Bati menyebut diri (identitas) mereka dengan sapaan orang dari Dara atau orang dari atas atas orang dari gunung untuk membedakan mereka dengan Orang Dari Pantai atau Orang Dari Lau. Maksud dari sebutan orang dari dara atau orang dari atas yaitu mereka yang mendiami wilayah pegunungan di Seram Timur. Sebutan orang dari dara atau orang dari atas tersebut berdasarkan bahasa lokal (bahasa Minakyesu atau Minakesi) yang digunakan Orang Bati yaitu Silimaya atau dalam adat-istiadat di Tana (Tanah) Bati dinamakan Esuriun Orang Bati (Alifuru Bati atau Orang Bati dari dara yaitu hutan atau esu, dan gunung atau ukar). Untuk memahami tentang dunia Orang Bati, maka perlu diawali dengan pandangan kosmologi Orang Seram, karena sesungguhnya Orang Bati merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Seram sejak zaman dahulu maupun saat ini. Pandangan mereka tentang alam semesta dan manusia (kosmos) dapat dianggap sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh leluhur kemudian dututurkan kepada anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) berupa penuturan tentang perbuatan ajaib yang dilakukan oleh Penguasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia dan terpelihara secara baik sampai saat ini. Pandang dan pemahaman Orang Seram atau Orang Bati dapat dijelaskan lebih lanjut melalui mitologi Gunung Bati.
94
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Mitologi Gunung Bati Dalam mitologi Gunung Bati, dikemukakan Orang Bati bahwa leluhur penghuni Gunung Bati yang dinamakan Oyang Bati adalah manusia yang lahir bersama dengan Pulau Seram. Untuk itu Orang Bati sangat percaya bahwa tindakan manusia yang merusak alam (hutan dan gunung) adalah sama dengan tindakan merusak tubuh manusia beserta kehidupan yang dijalaninya. Untuk itu Gunung Bati adalah sakral bagi Orang Bati karena mereka percaya sebagai tempat suci karena pada tempat tersebut hidup Leluhur Orang Bati (Tata Nusi Si) atau Manusia Batti. Sebagai anak cucu keturunan Orang Bati yang telah meninggal dunia akan dipanggil pulang ke Gunung Bati oleh leluhur mereka. Dalam mitologi Gunung Bati yang dipercaya oleh Orang Bati selama ini bahwa: Gunung Bati ini terdiri dari Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan. Pertemuan antara dua gunung (gunung laki-laki dan gunung perempuan) tersebut kemudian melahirkan manusia yang berhati bersih, baik, jujur, dan sebagainya, yaitu “Manusia Batti” sebagai manusia suci yang memiliki batin yang bersih 9).
Kehidupan Orang Bati atau Suku Bati memiliki kaitan langsung sebagai keturunan Manusia Awal (Alifuru) dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) senantiasa menyatu dengan kosmos di mana mereka berada. Informasi yang disampaikan Orang Bati bahwa: Dunia Seram, termasuk Dunia Orang Bati sampai saat ini masih merupakan misteri yang sama sekali tidak diketahui oleh dunia luar secara benar. Untuk memasuki dunia Orang Bati renungkan niat itu dalam hati secara baik, baru mengambil keputusan, kemudian bicara dan melangkah. Jangan pernah salah dalam melakukan hal ini. Sebab kalau salah nanti seng bisa bikin batul, dan seng bisa dapat apa-apa yang dicari, bahkan katong bisa susah sendiri. Ingat bae-bae pesan ini kalau mau melangkah untuk memasuki dalam Dunia Orang Seram maupun Dunia Orang Bati 10). )Wawancara dengan bapak SeSa (74 Tahun), Kepala Adat di Dusun Rumbou (Bati Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 16 November 2009. 10)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 tahun), Tokoh Adat, Maweng, di Dusun 9
Banggoi, pada 2 Januari 2009. Ia adalah seorang Kepala Adat dan Tuan Tanah di Kampung Banggoi, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Pesan ini disampaikan kepada peneliti ketika sedang menjalani inisiasi untuk mempelajari bahasa, tradisi,
95
Esuriun Orang Bati
Pengalaman hidup yang dijalani oleh Kepala Adat dan sekaligus Tuan Tanah Banggoi yang dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai pengembara hutan Pulau Seram ini ketika mengutarakan pengalaman hidupnya selama 15 tahun dengan Orang Bati bahwa dunia Orang Seram dan khususnya Dunia Orang Bati yang penuh dengan rahasia sehingga menjadi misteri yang belum diungkapkan secara tuntas. Ungkapan misteri karena banyak sisi kehidupan manusia dan alam belum terungkap secara ilmiah. Sampai saat ini pandangan orang luar tentang fenomena kehidupan Manusia Seram dan Alam Semesta berupa penuturan (ceritera) turun-temurun. Untuk itu usaha mendalami kehidupan Manusia Seram, dan secara khususnya dunia Orang Bati sangat penting. Sebab dunia Orang Bati memiliki kaitan erat dengan dunia Orang Seram karena dahulu leluhur mereka mendiami tempat yang sama di Pulau Seram, yaitu di Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar sebagai gunung tertinggi. Dalam mitologi Seram, dituturkan bahwa dahulu leluhur Orang Bati mendiami tempat yang bernama Kepala Air Samal. Leluhur Orang Bati memiliki hubungan langsung dengan mata-rumah Tihulu, Henilau, dan lainnya. Ungkapan seperti ini mengandung makna: Katong samua pung leluhur adalah sama. Jadi sebagai keturunan Manusia Awal (Alifuru) katong adalah Orang Basudara. Alifuru (Alif = Awal dan Uru = Manusia). Katong samua, termasuk kami Orang Bati ini punya nenek moyang dari suku Alifuru. Siapa yang menyangkal hal ini berarti jangan injak Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Nama saja Ceram atau Seram, artinya menyeramkan atau menakutkan 11).
Bagi Orang Bati titik startnya yaitu Samos (tanah kering pertama yang dijumpai) di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Samos adalah tempat yang berarti penting bagi kelangsungan hidup generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Makna dari tanah kering pertama yang adat-istiadat, sikap, dan perilaku Orang Bati dalam pergaulan hidup. Pengalaman hidup dari Oyang Suriti (73 Tahun) selama 15 tahun hidup bersama dengan Orang Bati di Tana (Tanah) Bati ternyata berguna bagi peneliti pada saat mendalami Dunia Orang Bati di Pulau Seram melalui inisiasi. 11)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 Tahun) Kepala Adat, Maweng, Dusun Banggoi di rumah kediamannya dalam kawasan hutan pedalaman Banggoi, pada tanggal 2 Januari 2009.
96
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
dijumpai yaitu berdasarkan penuturan lisan dari Orang Bati tentang kondisi Pulau Seram pada masa lampau ketika tergenang oleh air laut. Pada saat air surut secara perlahan-lahan ada bagian pulau tertentu yang mulai kering, terutama gunung, kemudian muncul daratan. Anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) yang dapat bertahan hidup pada waktu itu kemudian disebarkan untuk mendiami tanah kering di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Pada tempat yang kering inilah kehidupan dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dimulai, termasuk juga leluhur Orang Bati yang menempati tanah kering pertama yang mereka jumpai di Pulau Seram yang dinamakan Samos. Pembagian wilayah untuk Orang Bati oleh penguasa Pulau Seram saat itu adalah Hulamasa yaitu berada di sebelah timur dari Pulau Seram. Perspektif yang ditemui pada saat ini bahwa sistem pembagian wilayah kekuasaan menurut adat masih dipegang kuat oleh keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sampai sekarang. Masingmasing kelompok sukubangsa atau Orang Seram harus dapat menjaga, melindungi, mengolah, dan memelihara wilayah kekuasaan mereka secara baik. Orang Bati sebagai Orang Seram mereka sangat memahami bahwa pada awalnya mereka menempati wilayah yang sama. Hal ini diungkapkan lebih lanjut bahwa: Orang-orang asli Seram atau masyarakat Seram termasuk keturunan Orang Bati pada awalnya tinggal bersama dengan suku-suku lainnya di sekitar Gunung Murkele. Leluhur Orang Bati menempati lokasi di sekitar Kepala Air Samal bersama deng dong pung basudara. Wilayah ini berada sekitar Gunung Murkele Besar 12). Setelah pembagian wilayah oleh penguasa Pulau Seram, maka seluruh orang atau suku ke luar menempati wilayah masing-masing. Nah, leluhur Orang Bati ke luar meninggalkan wilayah ini menuju ke arah timur dari Pulau Seram. Tempat mereka di Seram Timur yaitu sekitar Gunung Bati. Nanti di sana baru dengar penjelasan mereka karena mereka lebih tau, karena dong yang menjalani itu sendiri. Katong ini tinggal di sini se-
Lihat dalam bahasan tentang Mitologi Penciptaan Alam Semesta dan Penciptaan Manusia Awal (Alifuru) telah dikemukakan bahwa Orang Bati memiliki hubungan Orang Basudara dengan orang-orang dari mata-rumah Tihulu, Henilau, dan lainnya. Mata-rumah yang mendiami Kepala Air Samal antar lain Laisamaulu. Kepala Air Samal berada dekat Gunung Murkele Besar.
12)
97
Esuriun Orang Bati
hingga tidak perjalanan 13).
bisa
menjelaskan
dong
yang
melakukan
Dalam mitologi Bati, leluhur penghuni Gunung Bati yang dinamakan Manusia Bati lahir bersama dengan Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Persepsi Orang Bati mengenai Gunung Bati memiliki nyawa karena terkait dengan makna Seram Gunung Manusia, di mana kepalanya berada di sebelah barat Pulau Seram, badan tengah membentang dari utara ke selatan di mana Gunung Mawoti (tulang belakang manusia) sebagai penopang utama tubuh manusia. Pada bagian depan dari tulang belakang manusia (mawoti) 14) terdapat perut yang dimaknai sebagai sumber ekonomi Orang Seram. Bagian bawah tubuh manusia berada di timur dan berfungsi sebagai penyangga utama, kemudian melahirkan Manusia Awal (Alifuru) di Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar yang dipahami sebagai leluhur dari Alifuru Seram atau Manusia Seram maupun Manusia Maluku. Tempat ini sampai sekarang dipercaya oleh Alifuru Seram atau Orang Seram bahwa sebagai wilayah bernyawa sehingga masyarakat yang mendiami kawasan ini sering melakukan ritus kepada Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia Awal melalui perantaraan leluhur menurut sistem religi yang dianut oleh keturunan Alifuru Seram.
Kosmologi Orang Bati Berdasarkan kosmologi Orang Seram tersebut di atas, ternyata pandangan Orang Bati mengenai Gunung Bati yang terdiri dari Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan adalah kesemestaan. Setelah perkawinan antara kedua gunung tersebut kemudian perut gunung perempuan makin besar karena mengandung, dan kemudian lahir “Manusia Batti” yang dipahami oleh Orang Bati sebagai proses 13)Wawancara dengan Oyang Suriti (74 Tahun), Tuan Tanah, Kepala Adat Dusun Banggoi, Maweng, pada tanggal 2 Januari 2009. 14)Pada saat ini Gunung Mawoti disebut dengan nama Gunung SS. Maknanya yaitu jalan disekitar gunung ini Mawoti berliku-liku seperti huruf S, dan selain itu juga suhu udara di sekitar Gunung Mawoti sangat dingin seperti es karena sering ditutupi kabut tebal sepanjang waktu.
98
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
kelahirannya bersamaan dengan evolusi daratan Seram. Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) bermakna kesemestaan atau merupakan makrokosmos bagi Orang Bati. Sebab melalui perjalanan kosmos telah terjadi pertemuan antara Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan secara rahasia. Untuk itu Gunung Bati merupakan makrokosmos, dan Alifuru Bati atau Orang Bati merupakan mikrokosmos. Orang Bati sangat yakin bahwa “Manusia Batti” tidak pernah meninggal dunia, dan ia tetap berada sampai saat ini. Bahkan Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) senantiasa berada dengan mereka sebagai anak-cucu atau keturunannya setiap saat, di mana mereka berada. Antara makrokosmos dan mikrokosmos maka Orang Bati melaksanakan Esuriun, karena di dalam Esuriun Orang Bati ada fakur atau mohon doa restu pada leluhurnya agar mereka dapat bertahan hidup di Bumi Seram. Manusia Batti adalah leluhur Orang Bati yang mereka agungagungkan selama ini karena keberadaannya tidak pernah berubah sepanjang zaman. Dalam pandangan Orang Bati mengenai alam semesta (kosmos) maka semua gunung, terutama Gunung Bati (Gunung LakiLaki dan Gunung Perempuan), Sungai (Alsul) Masiwang, Sungai Bobot dan lainnya, batu, pasir, pohon, hewan, dan segala yang berada dalam lingkungan alam (kosmos) merupakan sumber kehidupan utama bagi manusia yang harus mereka jaga (kajaga), lindungi (kalindong) sehingga setiap Orang Bati memiliki kewajiban untuk pelihara, rawat, dan dilestarikan guna mewujudkan kelangsungan hidup dari anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar gunung dan tanah atau Gunung Tanah sebagai tampa putus pusa (tempat kelahiran, tempat asal, tanah kelahiran) tetap memberi penguatan dalam diri (spirit) dalam menjalani kehidupan sepanjang masa. Orang Bati sebagai benteng terakhir Orang-Orang Seram yang tidak dapat ditembusi dari masa ke masa senantiasa berperan sebagai penjaga Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku selalu mengingatkan bahwa
Wanuya namata dotuk kita tei, tapi kita tamata tatotuk wanuya (kampung tidak mati buang katorang, tetapi katorang yang mati buang
kampung).
99
Esuriun Orang Bati
Dalam kosmologi Orang Bati, makna terdalam dari pandangan tersebut di atas yaitu Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah. Sebagai tampa putus pusa tidak pernah mati atau meninggal. Tetapi kita sebagai manusia (mancia) yang mati atau meninggal dunia dan pergi meninggalkan Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah selama-lamanya. Konsep Gunung Tanah menyatu dengan kosmologi Orang Bati adalah abadi sepanjang masa, dan menjadi bagian dari dunia Orang Bati sehari-hari sehingga memberi kekuatan pada Orang Bati secara individu, kelompok, maupun komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy). Gunung Bati sebagai Gunung Tanah adalah makrokosmos bagi kehidupan Orang Bati, karena di tempat ini berdiamnya roh para leluhur mereka yang dinamakan Tata Nusu Si. Untuk itu Gunung Bati dipandang sakral (keramat) karena memiliki makna sebagai Gunung Manusia di mana pada tempat ini Manusia Awal atau Alifuru Bati dilahirkan. Pandangan seperti ini identik dengan masyarakat Seram pada umumnya mengenai hakikat Seram Gunung Manusia sehingga Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Beser dianggap sakral (keramat) dan dipercaya pada tempat tersebut berdiamnya roh para leluhur dari Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina diciptakan oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yang dimaknai Orang Bati sebagai Tata Nusu Si. Pemaknaan yang diberikan Orang Bati sebagai penghormatan tertinggi berdasarkan kosmologi Orang Bati identik dengan pemaknaan dari suku-suku atau subsuku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku yang mendiami negeri-negeri adat dengan kepercayaan asli pada Upu Lanite, Kapua Upu Ila Kahuresi, Upu Kuahatana, Ina Puhun Ama Lahatala, Aupu Lahatala. Pada tataran mikrokosmos, yang berperan mengisi kehidupan di alam semesta ini dengan hati yang baik, bersih, jujur, dan sebagainya sebagai basis nilai yang mendasar dan sangat penting ketika menjalani kehidupan ini. Manusia dipandang tidak ada apa-apanya apabila kehidupan ini tidak diisi dengan nilai-nilai dasar sebagai sumber utama keyakinan diri, norma, perilaku dan sebagainya yang dapat diwujudkan selama ia hidup di dunia ini. Kehidupan manusia maupun masya-
100
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
rakat menjadi hampa, dan berada di ruang yang kosong apabila hakikat tentang nilai ini jauh dari mikrokosmos tersebut di atas. Untuk itu jangan heran apabila Orang Bati tetap mengagung-agungkan nilai yang melekat pada “Manusia Batti” karena merupakan sumber dan pancaran hakikat hidup manusia tentang benar dan salah, baik dan buruk, langit dan bumi, dingin dan panas, lautan dan daratan, gunung dan pantai, dan seterusnya ketika mereka menanggapi lingkungannya setiap saat. Berdasarkan pemahaman Orang Bati tentang makrokosmos yang menempatkan leluhur atau Tata Nusu Si yaitu Manusia Batti bersifat kesemestaan, dan mikrokosmos adalah Alifuru Bati atau Orang Bati. Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai mezokosmos. Nilainilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati meliputi falsafah, sejarah, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya yang menjadi inti kebudayaan Orang Bati di Seram Timur teraktualisasi melalui perilaku hidup kesehariannya. Untuk itu dalam interaksi sosial, sebutan Anak Esuriun merupakan implementasi nilai-nilai kultural yang menjadi basis utama pembentukan identitas maupun perilaku Orang Bati sebagai manusia, sukubangsa untuk bertindak menanggapi lingkungan atau kosmos di mana mereka berada. Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati, basis nilai yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi bagian penting dari hakikat hidup atau orientasi nilai budaya Orang Bati dengan lingkungan di mana mereka berada, dan menjadi mata-rantai penghubung antara makrokosmos dan mikrokosmos untuk mengintegrasikan struktur sosial dalam kehidupan Orang Bati. Struktur ini fungsional dalam sistem kehidupan socio-cultural di Tana (Tanah) Bati karena masingmasing orang yang berada dalam marga maupun antar marga di Tana (Tanah) Bati memahami eksistensi masing-masing untuk menciptakan keseimbangan hidup dalam sistem sosial yang mereka anut. Dikatakan bahwa Esuriun Orang Bati merupakan akar budaya karena terdapat nilai, norma, dan lainnya sebagai pranata yang benarbenar hidup dan terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan sebagai pembentuk maupun turut membentuk perilaku Orang Bati secara individu maupun kelompok sosial dalam pergaulan hidup di101
Esuriun Orang Bati
antara sesama Orang Bati maupun antara Orang Bati dengan orang luar. Menanggapi setiap lingkungan di mana mereka berada. Sampai saat ini budaya Esuriun di Tana (Tanah) Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus penting dalam hidup yang berkaitan dengan makna kelangsungan hidup Orang Bati yang mendiami kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur. Kosmologi Siwa-Lima di Tana (Tanah Bati) Setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang bumi (alam semesta) di mana mereka berada. Begitu juga Orang Seram memiliki pandangan tentang alam semesta (kosmologi) yang berisi bumi dan manusia yang dikonsepsikan sebagai dunia mereka seharihari dan senantiasa menyatu. Pandangan Orang Seram tentang alam semesta (kosmologi) yang menempatkan Bumi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) sebagai tampa putus pusa, atau tampa (tempat) asal, tanah asal, tanah kelahiran bagi anak cucu keturunan Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina bersifat total. Dalam kosmologi Orang Bati atau Suku Bati sebagai Orang Seram yaitu tampa putus pusa telah menjadi perekat dalam menelusuri kehidupan awal yang dijalani oleh keturunan Manusia Awal Alifuru atau Alifuru Ina di Seram-Maluku. Untuk itu Pulau Seram dinamakan sebagai Gunung Manusia. Orang Bati atau Suku Bati adalah Orang Gunung. Bersumber pada falsafah Seram Gunung Manusia berdasarkan kosmologi Orang Seram, khususnya Orang Bati atau Suku Bati yang awalnya terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima menyatu menjadi Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati telah berlangsung di tempat kediaman awal di Samos yang berada sekitar Gunung Bati yaitu masing-masing kelompok sosial Siwa (Patasiwa) dan kelompok sosial Lima (Patalima) 15 mendiami tempat sendiri-sendiri. Esuriun Orang Bati kemudian menyatukan (mengintegrasikan) kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian) menjadi Siwa-Lima dengan 15)Lebih
mendalam tentang kedua hal ini dapat dilihat pada bab V tentang Bumi Seram dan Manusia Batti, Halaman 125-168.
102
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
identitas Orang Bati adalah Suku Bati yang memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa, dan bukan orang ilang-ilang (hilanghilang) adalah stigma (anggapan negatif) orang luar yang mencampuradukan konsep Bati dan Batti ketika melakukan interaksi sosial. Dampaknya yaitu Orang Bati menjadi korban karena terjadi kesalahan interpretasi terhadap konsep Bati dan Batti yang selama ini tidak dimengerti maupun tidak dipahami oleh orang luar (Orang Maluku) sehingga penamaan Orang Bati menjadi suatu konsep yang dianggap misteri. Proses integrasi sosial yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati dapat dikatakan final, karena secara kultural hal itu dilakukan secara adat, dan seluruh anggota terlibat di dalam sehingga dinamakan adat Esuriun. Adat Esuriun sangat mengikat kedua kelompok sosial (SiwaLima) yang awalnya berbeda menjadi satu melalui Esuriun Orang Bati. Model integrasi seperti dicapai Orang Bati atau Suku Bati adalah integrasi kultural, karena kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima) tersebut pada awalnya berbeda dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya. Tipe integrasi kultural yang dicapai Orang Bati seperti ini tidak dijumpai pada lingkungan masyarakat manapun di wilayah Kepulauan Maluku. Dasar dari integrasi kultural yang dicapai Orang Bati bersumber dari faham roina kakal yang kuat, atau orang-orang yang memiliki pertalian darah atau hubungan darah (genealogis) dalam perspektif integrasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial sebagai tujuan akhir dari Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa sehingga Esuriun Orang Bati yang telah menyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati sebagai satu identitas memberikan penguatan pada ide peneliti untuk mengemukakan bahwa Patasiwa dan Patalima adalah sistem pengelompok asli dan khas dari Alifuru Seram. Realitas yang dijumpai di Tana (Tanah) Bati ini cukup beralasan karena sejak Orang Bati melaksanakan Esuriun Orang Bati pada masa lampau ternyata kelompok Patasiwa dan Patalima sudah ada di Samos maupun Soabareta. Peristiwa Esuriun Orang Bati dilakukan setelah 103
Esuriun Orang Bati
evolusi daratan Seram atau setelah daratan Seram mulai mengering. Apabila peristiwa Esuriun Orang Bati yang telah menyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima yang terintegrasi secara kultural maupun eksistensial dengan identitas Bati dibandingkan dengan munculnya sistem pengelompokan yang memiliki makna sama dengan Patasiwa dan Patalima, maka dapat dikatakan bahwa Patasiwa dan Patalima adalah sistem pengelompokan khas dari Suku Alifuru yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), kemudian sistem ini di bawa ke luar dari Pulau Seram ke tempat-tempat lainnya di Kepulauan Maluku oleh keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dengan dua alasan yaitu; (1) Proses penyebaran generasi para kapitan yang ke luar dari Pulau Seram dengan misi untuk menjaga dan melindungi Pulau Seran atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari serbuan orang luar; (2) Proses migrasi penduduk keturunan Alifuru atau Alifuru Ina karena terjadi pergolakan, atau pertikaian antar kelompok pata di Pulau Seram pada masa lampau. Berdasarkan data lapangan yang dikemukakan Orang Bati, dalam sejarah lisan (oral story) di Tana (Tanah) Bati terjadi proses penyebaran Alifuru sampai dengan 7 generasi, proses ini memiliki kaitan dengan kisah Esuriun Orang Bati. Kisah Esiriun Orang Bati adalah peristiwa nyata yang benarbenar terjadi sehingga anak cucu yang menganut tradisi dan kebudayaan Bati terus melestarikannya dalam kehidupan mereka sampai dengan penelitian ini dilakukan, kemudian Orang Bati menjelaskannya secara detail karena berkaitan dengan kosmologi, maupun sejarah lisan (oral story) yang terpelihara secara baik dari satu generasi ke generasi berikutnya agar Orang Bati senantiasa mengenang perjalanan para leluhur mereka sejak evolusi daratan Seram sampai saat ini. Tempat berkumpul Orang Patasiwa dan Patalima di Tana (Bati) yang telah menyatu dalam identitas Orang Bati merupakan baileu sebagai tempat yang terdapat dalam hutan (esu) di Bati kilusi (Bati Awal). Kawasan hutan (esu) yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah bagi Orang Bati dapat dilihat pada gambar 4 a dan 4 b berikut ini:
104
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Gambar 4 a Alam Terbuka yang Terdapat Dalam Kawasan Hutan (Esu) Adalah Tempat Bermusyawarah bagi Orang Bati
Gambar 4 b Bermusyawarah Diawali dengan Ritual Adat
105
Esuriun Orang Bati
Untuk mebicarakan persoalan penting yang berkaitan dengan adat, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya dari Orang Bati yang terdiri dari kelompok Siwa-Lima yang telah menyatu di Tana (Tanah) Bati. Wilayah hutan di mana terdapat pohon pakis hutan tersebut merupakan tempat yang sakral karena itu tidak boleh di datangi secara sembarangan. Pada tempat ini semua keperluan yang berkaitan dengan aktivitas warga maupun dengan leluhur dibicarakan secara bersama, dan keputusan diambil pada tempat tersebut. Dalam kehidupan Orang Bati, konsep Baileu tidak berwujud suatu bangunan, tetapi alam terbuka yang berada di tengah hutan (esu) dalam wilayah kekuasaan Bati Awal yang terdapat di Tana (Tanah) Bati. Untuk itu kosmos hutan (esu) di mana baileu sebagai tempat sakral berada senantiasa digunakan untuk menbicarakan hal-hal yang penting bagi Orang Bati sampai saat ini. Sebab persepsi Orang Bati bahwa pengambilan keputusan dengan sesama warga harus diketahui dan disaksikan oleh leluhur. Untuk itu dalam pandangan kosmologi Orang Bati bahwa wilayah hutan adalah bernyawa atau hidup sepanjang masa. Begitu dekatnya kehidupan Orang Bati dengan hutan (esu) menjadi mata-rantai yang mengikat mereka berdasarkan kosmologi hutan, tanah, dan manusia (identitas) Orang Bati yang dipahaminya sebagai rute perjalanan “Manusia Batti” atau Tata Nusu Si (leluhur) yang bersifat kesemestaan.
Sejarah Asal-Usul Leluhur Orang Bati Berdasarkan sejarah lisan (oral story) yang dikemukakan Orang Bati yaitu pada awalnya leluhur mereka memiliki tempat asal yang berbeda. Untuk itu mengenai sejarah lisan (oral story) tentang asal-usul leluhur Orang Bati dapat dijelaskan sebagai berikut:
106
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Sejarah Orang Bati di Samos Berdasarkan informasi yang dituturkan oleh tokoh adat di Negeri Kian Darat, kemudian ditelusuri secara mendalam pada informan yang mendiami Tana (Tanah) Bati dapat dikemukakan sebagai berikut: Orang Bati mengemukakan bahwa leluhur mereka yang pertama adalah Ken Min Len (Ken = Laki-Laki, Min = Perempuan, dan Len = Besar). Jadi arti dari Ken Min Len artinya laki-laki dan perempuan besar. 16) Leluhur Orang Bati ke Seram Timur mendiami tempat bernama Samos (tempat kering pertama) sampai orang lain datang ke daerah ini. Samos terletak sekitar Gunung Bati. Mereka datang dengan kapal menyerupai burung Garuda atau Rajawali yang dinamakan (Lusi). Pada tempat ini mereka mulai membangun kehidupan yang pertama. Untuk itu nama dari tempat awal ketika Orang Bati melakukan Esuriun dinamakan Kilusi, dan sampai saat ini menjadi kesepakan bahwa nama kampung/dusun yang menggunakan Bati hanya Kampung/Dusun Bati Kilusi atau Bati Awal, sedangkan kampung/dusun lainnya tidak menggunakan nama Bati 17).
Pada saat itu di Samos (tanah kering pertama yang dijumpai) sama sekali belum ada kehidupan. Leluhur Orang Bati memulai kehidupan mereka yang pertama di tempat ini sampai kedatangan orang lain. Pendatang berikut ke Samos adalah moyang Boiratan, atau nama lengkapnya yaitu Boiratan Timbang Tanah. Putri Kerajaan Lomine di Gunung Murkele ini datang dan tidak menetap karena itu ia terus melakukan perjalanan menuju Kepulauan Kei. Kehidupan awal dari leluhur Orang Bati di Samos terus berlangsung sampai kedatangan orang lain di tempat ini, dan mereka mulai menjalan kehidupan awal di Samos. Keadaan mereka terus bertambah banyak karena kelahiran, 16)Wawancara
dengan bapak Samaun Rumadaul (83 Tahun), anggota masyarakat Negeri Kian Darat, pada tanggal 25 November 2009. Ia juga mengatakan bahwa berdasarkan sejarah lisan (oral story) yang dituturkan oleh pendahulu mereka bahwa ada juga leluhur Orang Bati yang datang dari Timur Tengah, dan bergabung di Samos. Mereka datang pertama kali dengan menggunakan Kapal Kodrat tetapi tidak berhasil, kemudian mereka kembali ke tempat asal. Setelah itu mereka datang lagi dengan Kapal Safina Tun Najal, dan berhasil menemukan Samos di Pulau Seram Bagian Timur dan bergabung dengan leluhur Orang Bati yang sudah ada di Samos. Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun), Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 23 Desember 2009.
17)
107
Esuriun Orang Bati
dan ada juga penduduk keturunan Alifuru yang datang dari Tanjung Sial di Pulau Seram Bagian Barat kemudian mendiami lokasi kediaman di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai). Perkembangan yang terjadi kemudian yaitu Orang Bati menyatukan diri dan sepakat (mafakat sinabi) melalui Esuriun Orang Bati yaitu Alifuru Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae ukara). Sejarah asal usul penduduk dari Gunung Bati menempatkan posisi dari Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) di Tana (Tanah Bati) sangat penting bagi perkembangan kampung atau dusun lainnya di Tana (Tanah) Bati. Leluhur Orang Bati dikenal sebagai manusia yang baik hati, bersih, jujur, suci, dan lainnya yang identik dengan itu adalah Oyang Kilusi yang menjadi Kapitan Esuriun Orang Bati pada saat itu. Sebutan terhadap manusia berhati bersih (batin yang bersih) ini kemudian melahirkan nama Bati, sebagai salah satu suku-bangsa di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) 18) adalah identitas setelah kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menyatu untuk melakukan Esuriun Orang Bati pada masa lampau. Kisah Esuriun Orang Bati menegaskan eksistensi dari keturunan kelompok Alifuru Seram yang menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai sukubangsa. Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima merupakan struktur dasar pembentukan identitas Orang Bati yang dikukuhkan melalui adat Esuriun Orang Bati baru mereka melakukan aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atame ukara) untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, adat, budaya identitas dan lainnya. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, Orang Bati menyebut Pulau Seram dengan nama Tanah Besar. Maknanya yaitu Pulau Seram adalah pulau terbesar di Kepulauan Maluku dan merupakan tempat asal dari keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina. Penegasan tentang nama Tanah Besar karena Pulau Seram merupakan pulau terbesar di Kepulauan Maluku apabila dibandingkan Lihat bahasan yang telah dikemukakan tentang Mitologi Seram yang membahas tentang Mitologi Penciptaan Alam Semesta dan Penciptaan Manusia Awal yang terdapat pada bagian awal penulisan ini.
18)
108
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku. Pulau Seram dengan daratan (lembah, bukit, dan pegunungan) yang terbentang dari daratan Hunimua di Sebelah Timur sampai dengan daratan Hunipopu di Seram Barat terdiri dari wilayah pegunungan yang silih berganti. Kawasan ini dalam kepercayaan Orang Seram ibarat manusia yang sedang tidur terlentang dan sedang memandang alam semesta. Seram dipercaya olah keturunan Alifuru sebagai Gunung Manusia berdasarkan mitologi yaitu wilayah ini masih menyimpan berbagai misteri, baik yang terkait dengan lingkungan alam maupun manusia. Orang Bati yang mendiami Gunung Bati adalah salah satu kelompok sukubangsa penghuni Gunung Manusia sehingga dalam interaksi sosial penamaan Orang Bati sebagai Orang Gunung (Mancia Atayesu) untuk mempertegas eksistensi kesukubangsaan Bati sebagai Manusia Gunung, dimaksudkan untuk memberikan perbedan dengan Orang Pantai (Mancia Layena) yang bukan termasuk (roina kakal) atau saudara Orang Bati. Lokasi sekitar Gunung Bati terdapat dua gunung yang saling berhadapan yang dipercaya sebagai Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan. Dalam mitologi Bati, posisi Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan menjadi dasar dari kosmologi Orang Bati dalam memahami manusia, tanah, dan alam semestanya. Sampai saat ini Orang Bati sangat yakin bahwa leluhur mereka yang mendiami Gunung laki-laki dan Gunung Perempuan ini tidak pernah mati (meninggal dunia). Leluhur Orang Bati memiliki kehidupan yang abadi sepanjang masa. Sampai sekarang Orang Bati tetap yakin bahwa leluhur mereka yaitu Manusia Bati yang mendiami Gunung Bati ini senantiasa berada dengan mereka. Sebagai anak cucu keturunan Manusia Bati, mereka sangat percaya bahwa tempat kediaman dari leluhur mereka di Gunung Bati adalah sakral atau keramat. Berdasarkan kepercayaan pada leluhur (Tata Nusu Si) sebagai sistem religi bahwa roh para leluhur mereka yang mendiami Gunung Bati dinamakan Tata Nusu Si senantiasa menyertai anak cucunya. Informasi yang disampai-kan oleh Raja Kian Darat bahwa : Sampai saat ini Orang Bati percaya bahwa nama Bati dan Manusia Batti atau manusia berhati bersih, jujur, suci ini lahir dengan evolusi daratan
109
Esuriun Orang Bati
Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) atau saat ini dinamakan Pulau Seram atau Tanah Besar 19).
Sejarah Kedatangan Leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial ke Soabareta Sejarah lisan (oral story) yang mengisahkan tentang kedatangan leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial, pertama-tama mereka mengakui bahwa asal-usul mereka dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina yang menamakan diri sebagai Orang Bati memiliki sejarah asal-usul dari kerurunan Alifuru yang datang dari Tanjung Sial di sebelah barat Pulau Seram. Mereka datang dari Tanjung Sial dengan kora-kora, dan menempati lokasi kediaman awal di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai). Waktu kedatangan mereka dari Tanjung Sial dipimpin oleh Latu atau Ratu Wawina atau Raja Tongkat Emas dan suaminya Kapitan Pattinama. Dalam perjalanan mereka mengumpulkan seluruh keturunan Alifuru yang jumpai. Ketika sampai di Soabareta jumlah Alifuru yang di-himpun makin banyak. Kelompok ini kemudian mendiami Soabareta dan terintegrasi dengan Alifuru yang sudah berada di Samos. Setelah menyatu, baru mereka melakukan Esuriun Orang Bati sehingga kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi terintegrasi. Proses integrasi yang dicapai Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat Esuriun, dan termasuk integrasi kultural. Dalam lingkungan Orang Bati, nilai dasar untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival strategy) pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas agar mereka tidak punah yaitu mereka harus saling menjaga, melindungi karena berdasarkan adat esuriun. Untuk itu melalui sejarah di mana Orang Bati terintegrasi dari dua kelompok besar yaitu kelompok Patasiwa dan kelompok Patalima menjadi satu yaitu Siwa-Lima kemudian dikukuhkan dengan adat Esuriun Orang Bati.
19)Wawancara
dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat di Geser, pada tanggal 5 November 2010.
110
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Tampak jelas bahwa lingkungan sosial telah membentuk matarantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan mereka sebagai orang satu asal yang menyatu untuk saling menjaga, melindungi yang satu terhadap lainnya, dan telah berlangsung ratusan tahun. Studi untuk memahami tentang sejarah Orang Bati untuk menjaga, melindungi satu terhadap yang lain apabila dibandingkan dengan studi mengenai daur kehidupan dalam sistem kekerabatan Orang Bati di mana setiap orang sejak berada dalam kandungan ibu, masa bayi, anakanak, remaja, dewasa, masa tua, meninggal dan kembali ke tanah, berarti nyawa manusia senantiasa menyatu dengan tanah kelahirannya sebagai suatu siklus hidup. Makna tanah dalam sejarah Orang Bati adalah tempat asal-usul, tanah kelahiran, tampa putus pusa, atau “Gunung Tanah” yang memiliki makna filosofis untuk menjelaskan tentang Tana (Tanah) Bati sebagai wilayah bernyawa, dan Dunia Orang Bati adalah dunia Esuriun. Jadi berbicara mengenai wilayah Orang Bati berarti berbicara me-ngenai wilayah bernyawa. Dunia Orang Bati merupakan arena kehidupan manusia yang terkait dengan nyawa. Hakikatnya terletak pada niat, di mana manusia yang memiliki niat baik, bersih, dan benar menunjukkan hakikat Bati. Konsep ini yang menghubungkan Dunia Orang Bati dengan lingkungan di mana fungsinya untuk menghubungkan mereka dengan berbagai peristiwa sosial, adat, dan sebagainya yang telah dilalui pada masa lampau, agar mereka siap untuk menghadapi masa sekarang, dan menjemput masa depan. Muaranya ada pada hati (nurani) manusia yang bersih, sebagaimana yang dikehendaki oleh leluhur mereka yaitu manusia Bati. Orang Bati menempati wilayah terisolasi, tetapi kondisi mereka bukan masyarakat terasing. Mereka telah menjalani hidup sebagai pemukim menetap sejak leluhur mereka mendiami wilayah ini. Orang Bati tidak termasuk kategori masyarakat nomaden karena sejak dilakukan Esuriun Orang Bati, masing-masing marga yang telah menempati etar (wilayah kekuasaan milik marga) tidak pernah berpindahpindah tempat sampai saat ini.
111
Esuriun Orang Bati
Sejarah Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur menunjukkan bahwa, mereka sudah melakukan interaksi dengan orang lain di luar komunitas mereka cukup lama. Masyarakat Bati telah menjalani kehidupan menetap sejak berabad-abad yang silam. Kondisi yang dijalani seperti ini dapat dikatakan bahwa mereka tidak termasuk sebagai masyarakat terasing. Akibat pengaruh kondisi lingkungan geografi yang selama ini tidak dibangun, maka keterbatasan infra struktur darat maupun laut sehingga Orang Bati atau masyarakat Bati mengalami keterlambatan dalam perkembangan akibat isolasi geografi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup secara individu maupun sosial mereka memiliki akses yang terbatas untuk mencapai pusat kegiatan di bidang sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, dan lainnya dalam jangka waktu cukup lama. Masyarakat Bati mengemukakan bahwa : Apabila tiba musim ombak besar, wilayah kami tidak dapat dilayari secara baik, dan pantai disekitar wilayah Pulau Seram Bagian Timur sulit untuk di singgahi oleh kapal, motor tempel, dan sarana angkutan lainnya. Kondisi ini yang membuat Orang Bati tidak pernah muncul kalau sudah tiba musim ombak besar antara bulan Desember sampai dengan bulan Agustus setiap tahun 20).
Pendapat yang dikemukakan Orang Bati bahwa setiap tahunnya mereka hanya memiliki waktu selama tiga bulan yaitu dari bulan September sampai dengan bulan November merupakan musim tenang sehingga mereka bisa memiliki akses ke luar Pulau Seram Bagian Timur. Kondisi yang dialami oleh Orang Bati seperti ini membuat interaksi mereka dengan orang lain yang berada di luar komunitas mereka menjadi terbatas, bahkan ada diantara mereka yang sama sekali tidak berinteraksi dengan orang lain apabila tenggang waktu selama tiga bulan ini tidak ada kesempatan. Mereka menjadi hilang untuk jangka waktu cukup lama, sehingga kondisi ini menimbulkan persepsi orang luar mengenai negeri ilang-ilang (hilang-hilang).
20)Wawancara
dengan bapak ASia (73 Tahun) Wakil Kepala Dusun Watu-Watu (Bati
Pantai), Negeri Kian Darat, pada tanggal 18 Juli 2009.
112
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Sejarah Esuriun Orang Bati Sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati tentang Esuriun Orang Bati yaitu peristiwa atau kisah nyata turunnya leluhur Alifuru Bati atau Orang Bati dari Samos yang terdapat dalam kawasan hutan hujan sekitar Gunung Bati, di Pulau Seram Bagian Timur. Esuriun Orang Bati adalah dunia kehidupan Orang Bati yang sesungguhnya di mana seluruh aktivitas hidup berlangsung sehari-hari. Esuriun Orang Bati sangat penting bagi anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati sehingga aktivitas hidup senantiasa berkaitan dengan ritual adat maupun upacara adat yang berbasis Esuriun Orang Bati. Barisan upacara adat Esuriun Orang Bati yang terdiri dari ribuan orang atau manusia yang menggunakan simbol ikat kepala merah (berang) 21), parang dan tombak, serta panah dan parang. Keturunan Alifuru Bati turun dari Gunung Bati secara bersama-sama, dan mereka dipimpin oleh Oyang Kilusi sebagai Kapitan Esuriun Orang Bati menggunakan parang dan salawaku (perisai). Sejarah turunnya Alifuru Bati dari Samos untuk menjaga dan melindungi (mabangatnai tua malindong) seluruh hak milik yang berharga (bernilai) seperti manusia, tanah, hutan, identitas, adat, kebudayaan, lingkungan, dan sebagainya dapat dimaknai juga sebagai survival strategy. Strategi menguasai tanah dan wilayah yang menjadi hak milik (property) dari masing-masing mata rumah (it etar) di Pulau Seram Bagian Timur memperoleh pembagian sesuai adat yang telah disepakati bersama. Kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) kemudian 21)Wawancara
dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 10 Juli 2009 yaitu ikat kepala berwarna merah (berang) merupakan tradisi asli Alifuru Seram. Cara mengikat kepala yang benar ada pada Orang Bati di mana simpulnya berada pada bagian depan. Makna simpul berada di depan karena ia selalu ingat daerah asalnya. Namun pada saat ini banyak suku-suku di Pulau Seram ketika mengikat berang, simpulnya berada di belakang. Itu berarti mereka tidak ingat pada daerah asalnya. Untuk itu dalam upacara adat Esuriun Orang Bati, maka ikat kepala (berang) yang digunakan harus menempatkan simpulnya di bagian depan.
113
Esuriun Orang Bati
dilembagakan dalam adat, dan sampai saat ini terus dilestarikan. Mengapa Esuriun Orang Bati masih terpelihara secara baik dalam kehidupan Orang Bati atau Suku Bati, karena mereka berusaha menjaga dan melindungi (mabangatnai tua malindung) tradisi Esuriun agar anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati dapat bertahan hidup (survive) dan tidak punah. Pertanyaan mendasar untuk menjelaskan Esuriun sebagai sejarah Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati ketika turun dari hutan dan gunung yaitu mengapa seluruh tanah yang terdiri dari hutan belantara di Pulau Seram ada pemiliknya. Informasi lapangan yang diperoleh peneliti yaitu pada masa lampau seluruh bidang tanah yang terdapat di Pulau Seram telah ada pembagian (tabagu) untuk masing-masing sukubangsa. Tanah yang berada di Pulau Seram bukan tanah yang tidak bertuan. Tanah yang terdapat di Pulau Seram ada pemiliknya atau ada yang mememilikinya. Hutan belantara yang berada di atas tanah ada pemiliknya. Persoalan ini apabila tidak dipahami secara baik oleh berbagai pihak pada saat ini, dipercaya pada masa depan tanah bisa menimbulkan masalah yang jauh lebih krusial dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan tradisi Alifuru Seram, tanah adalah bagian dari kehidupan yang sangat penting pada masa itu, saat ini, dan masa depan. Anak cucu keturunan Alifuru memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga, melindungi, serta mengelola tanah secara baik untuk kesejahteraan hidup. Tanah sebagai hak milik yang berharga sehingga Esuriun Orang Bati dilakukan untuk menjaga, melindungi tanah milik mereka. Peristiwa turun gunung yang dilakukan oleh keturunan Alifuru Ina atau leluhur Orang Bati atau Suku Bati pada masa lampau dipimpin oleh Kapitan 22) Esuriun Orang Bati pada gambar 5 maupun profil orang laki-laki dan perempuan Bati pada gambar 6 berikut ini:
22)Wawancara
dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 10 Juli 2009, ia mengatakan bahwa istilah Kapitan (pemimpin perang) adalah istilah khas yang digunakan Alifuru Bati atau Orang Bati sejak leluhur mereka melakukan Esuriun Orang Bati, jauh sebelum kedatangan orang luar ke Maluku. Jadi tidak mungkin penggunaan istilah Kapitan Esuriun Orang Bati diadopsi dari orang luar.
114
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Gambar : 5. Profil Kapitan Esuriun Orang Bati
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian. 115
Esuriun Orang Bati
Orang Bati Atau Suku Bati di Seram-Maluku Gambar : 6. Profil Laki-Laki dan Perempuan Orang Bati
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian.
116
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Eksistensi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku Pada saat ini suku-suku yang mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur yang menyebut diri sebagai Orang Seram Timur cukup banyak. Baik itu suku asli seperti Orang Geser, Gorom, Werinama, dan lainnya maupun para pendatang dari suku Tobelo, Jailolo, Bacan, Obi, Kei (Kai), Banda, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Arab, Cina, dan lainnya yang mendiami wilayah pesisir pantai cukup banyak. Mereka juga sering menyebut diri sebagai Orang Seram Timur. Namun istilah khas pada Orang Seram Timur hanya ditujukan pada penduduk asli. Orang Bati atau Suku Bati juga sering menyebut diri sebagai Orang Seram Timur, Orang Geser, sehingga dalam interaksi sosial orang luar sulit membedakan mana Orang Bati atau Suku Bati, dan mana Orang Seram Timur atau Orang Geser. Peneliti bisa mengetahui seseorang itu apakah Orang Seram Timur atau Orang Bati atau Suku Bati dari cara berbicara (dialek) yang digunakan, bahasa, ciri-ciri fisik, dan nama marga. Suku Bati atau Orang Bati adalah suku asli yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur dan sering menyebut diri sebagai Orang Nusa Ina (Pulau Ibu). Mereka mendiami wilayah Pulau Seram Bagian Timur pada wilayah pegunungan. Di kalangan Orang Bati atau Suku bati terdapat sebutan Orang Gunung (Mancia Atayesu) untuk membedakan mereka dengan Orang Pantai (Mancia Layena). Melalui Esuriun Orang Bati baru mereka tersebar untuk menempati wilayah kekuasaan (etar) masingmasing yang terdapat dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Pada saat ini ada sebagian dari Orang Bati atau Suku Bati yang telah mendiami perkampungan daerah pantai atau menjadi Orang Patai (Mancia Layena) karena pembagian hak milik (tanah) yang dilakukan pada saat Esuriun Orang Bati. Suku Bati atau Orang Bati adalah potret nyata dari kehidupan Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Atayesu) yang mendiami Pulau Seram termasuk kategori pulau kecil di Kepulauan Maluku. Sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu), Orang Bati kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di laut, apabila dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang mendiami wilayah pesisir 117
Esuriun Orang Bati
pantai di Pulau Seram Bagian Timur. Fenomena yang dialami oleh Suku Bati atau Orang Bati selama ini yaitu terjadi hambatan interaksi sosial dengan lingkungan luar dari mereka secara intensif karena lingkungan tempat kediaman mereka dikelilingi oleh laut dengan kondisi yang kurang bersahabat. Persoalan utama sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu) yaitu Orang Bati memiliki mobilitas yang terbatas antar pulau yang satu dengan lainnya karena keterbatasan sarana angkutan laut maupun darat. Kondisi lain yang sangat berpengaruh terhadap mobilitas Orang Bati yaitu keterbatasan dan ketidaklayakan infrastruktur perhubungan laut dan darat. Makna Persepsi Orang Luar Tentang Ilang-Ilang Ketika menghadapi perubahan iklim dan cuaca yang sering menimbulkan gelombang besar, maka posisi pulau kecil seperti Pulau Seram di mana yang dikelilingi laut yang luas, sering menghadapi gelombang besar akibat hembusan angin yang kuat sehingga menyebabkan keadaan laut di wilayah bergelombang besar. Hamparan ombak laut yang besar sampai di pesisir pantai menyebabkan kabut tebal sering menutupi seluruh kawasan Pulau Seram Bagian Timur. Kondisi seperti ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga wilayah Pulau Seram Bagian Timur tidak kelihatan secara jelas oleh pandangan mata orang lain. Fenomena alam tersebut menyebabkan aktivitas maupun mobilitas penduduk di wilayah ini menjadi terbatas. Orang Bati yang mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur tidak dapat melakukan aktivitas karena keadaan laut di sekitar mereka yang mengalami gelombang besar serta arus laut yang cukup kuat di Selat Keving maupun Tanjung Masiwang. Fenomena yang seringkali terjadi seperti ini oleh Orang luar ketika memandang kawasan tersebut dari jauh yaitu tidak kelihatan (tersamar) sehingga wilayah ini dipersepsi-kan sebagai wilayah yang ilang-ilang (hilanghilang) atau tidak ke-lihatan secara jelas. Orang Bati atau Suku Bati mengemukakan bahwa: Karena mamu tinanai tua mamu sinobala terbatas, oi yang be kamu kafatanak boit dait tifua. Artinya, terbatas sarana trans-portasi darat
118
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
maupun laut sehingga biaya pemasaran juga besar”. Mamu kesempatan untuk kawei mamu pasaran/tompat fatanak, oi yang de kamu kafatanak daite. Artinya, kesempatan kami sama sekali tidak ada untuk mencapai pasar. Kami sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk itu 23).
Makna dari pendapat tersebut di atas yaitu, selama mereka (Orang Bati atau Suku Bati) memiliki mobilitas yang sangat terbatas untuk ke luar dari wilayah Pulau Seram Bagian Timur karena wilayah kediaman mereka berada pada lingkungan alam yang tidak ramah sehingga persoalan isolasi geografis menjadi penyebab sehingga kehidupan mereka menjadi terasing karena waktu cuku lama Orang Bati tidak berinteraksi. Akses mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadi terbatas, bahkan sulit pada musim tertentu (seperti musim penghujan dan musim pancaroba) yang berlangsung setiap tahun.
Orang Bati yang Terabaikan Dalam Proses Pembangunan Sampai saat kehidupan suku-suku di Pulau Seram termasuk Orang Bati atau Suku Bati mengalami hambatan pembangunan. Untuk itu fenomena yang menyebabkan hambatan yang dialami Orang Bati dalam proses pembangunan karena mereka dipersepsikan sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang). Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata Orang Bati atau Suku Bati menghadapi tekanan hidup yang luar biasa. Tekanan hidup tersebut bersumber dari lingkungan internal atau dari dalam seperti isolasi, keterasingan, alam yang tidak ramah, dan lainnya maupun lingkungan eksternal atau dari luar seperti stigma (anggapan negatif) dari orang luar, tidak ada bantuan negara, dan sebagainya. Fenomena yang nyata dalam kehidupan Orang Bati akibat isolasi geografi, menguatnya stigma, dan sebagainya menyebabkan kehidupan Orang Bati sampai saat ini terpinggirkan. Kondisi lingkungan yang disebab karena laut di sekitar kawasan Seram Timur sering bergelombang besar, terbatasnya infra struktur perhubungan darat maupun laut yang sama sekali tidak layak, dan tidak tersedianya 23)Wawancara
dengan bapak SeSia (74 Tahun), Kepala Adat Dusun Rumbou (Bati Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 15 Juli 2009.
119
Esuriun Orang Bati
infrastruktur transportasi, komunikasi, informasi, dan lainnya menyebabkan manusia yang mendiami wilayah ini mengalami persoalan ke-manusiaan yang sangat krusial. Melalui studi ini diketahui bahwa, tenggang waktu di mana keadaan laut di Seram Timur bergelombang besar yang berlangsung cukup lama yaitu sembilan bulan dalam satu tahun menjadi kendala bagi Orang Bati untuk berakses secara baik. Berdasarkan pengalaman yang disampaikan Orang Bati maupun yang dialami sendiri oleh peneliti yaitu selama sembilan bulan terhitung mulai dari bulan Desember sampai dengan bulan Agustus setiap tahun, kawasan Pulau Seram Bagian Timur di mana Orang Bati berada me-ngalami musim paceklik atau musim susah (pinakuta danggu). Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahun Orang Bati terisolasi selama sembilan bulan akibat kondisi wilayah geografis mereka mengalami ombak besar, angin yang kencang dan arus laut yang kuat dapat terjadi setiap saat. Persoalan utama yang dihadapi oleh Orang Bati yang mendiami kawasan tersebut ketika dilanda oleh gelombang laut yang besar di mana jarak antara pesisir pantai menuju ke laut dalam terdapat batu di sepanjang wilayah tersebut. Ketika musim gelombang laut yang besar, biasanya ombak pecah pada bibir pantai yang berjarak 150 sampai 200 m menuju ke laut. Kondisi tersebut menyebabkan air laut disekitar kawasan ini terlihat putih, dan diselunuti oleh kabut tebal sehingga tidak kelihatan secara jelas (tersamar) sehingga orang luar mempersepsikannya sebagai ilang-ilang. Kondisi tersebut sangat berpengaruh langsung terhadap aktivitas pelayaran di sekitar kawasan ini karena kapal, maupun jenis sarana angkuan laut tradisional yaitu perahu (wona) dengan menggunakan mesin atau motor tempel yang digunakan untuk mengangkut manusia dan barang. Apabila tiba musim gelombang, kondisi perahu (wona) tersebut sangat membahayakan keselamatan pelayaran. Musim laut tenang hanya berlangsung selama tiga bulan terhitung mulai dari bulan September, Oktober, dan November setiap tahun. Sebagai Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Ata120
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
yesu), ternyata Orang Bati mengalami kesulitan melakukan adaptasi dengan keadaan laut yang sedang bergelora. Kondisi ini yang menyebabkan Orang Bati tidak dapat ke luar dari kawasan tersebut selama laut bergelombang besar karena di wilayah ini tidak tersedianya sarana perhubungan laut seperti pelabuhan dan transportasi laut seperti kapal, atau motor laut secara memadai, dan memiliki daya tahan terhadap ombak laut yang besar, dan arus laut yang cukup kuat di sekitar wilayah Pulau Seram Bagian Timur pada Selat Keving dan Selat Geser. Persoalan hidup yang dialami Orang Bati di wilayah yang alamnya tidak ramah menyebabkan akses Orang Bati maupun penduduk lain yang mendiami kawasan tersebut pada musim-musim tertentu di mana keadaan laut mengalami obak besar. Terutama persoalan yang berkaitan dengan usaha untuk mencapai wilayah tertentu seperti Pulau Geser, Bula, maupun Ambon untuk mencari barang-barang keperluan hidup, terutama bahan kebutuhan pokok. Selain itu juga tidak terdapat sarana angkutan darat untuk mencapai pusat pelayanan, maupun tempat-tempat untuk melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidup secara individu, keluarga, maupun masyarakat. Persoalan keterasingan yang dialami Orang Bati atau Suku Bati dengan lingkngan karena tekanan dari lingkungan fisik, sosial, dan lainnya perlu diawali dengan pernyataan ilmiah bahwa “Orang Bati atau Suku Bati itu adalah manusia maupun sukubangsa”. Sebab fakta empirik bahwa, Orang Bati atau Suku Bati bukan manusia atau orang ilangilang (hilang-hilang) sebagaimana distigmatisasi oleh orang luar (Orang Maluku) pada Orang Bati selama ini. Penelusuran terhadap sejarah lisan (oral story) tentang asalusul leluhur Orang Bati atau Suku Bati yang mengakui diri bahwa mereka memiliki asal-usul yang sama dengan Orang Maluku yaitu dari anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina. Orang Bati atau Suku Bati mengakui bahwa mereka memiliki asal-usul dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Suku Alifuru di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) untuk menegaskan eksistensi Orang Bati atau Suku Bati dalam pembangunan menjadi penting karena melalui
121
Esuriun Orang Bati
hubungan sosial atau secara genealogis Orang Bati memiliki asal-usul yang sama dengan suku-suku lainnya atau suku-suku asli di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) karena menyebut diri sebagai Orang Seram yang berasal dari keturunan Suku Alifuru. Berdasarkan sejarah lisan (oral story) diketahui bahwa Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku-Indonesia. Orang Bati atau Suku Bati mengakui diri (identitas) adalah anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina atau keturunan Manusia Awal di Pulau Seram dan menempati wilayah kekuasaan (watas nakuasa) mereka di Pulau Seram Bagian Timur. Akibat menguatnya stigma menyebabkan Orang Bati mengalami hambatan dalam proses pembangunan. Kehidupan Orang Bati sampai saat ini terabaikan sama sekalai oleh pemerintah (negara) dan masyarakat karena menguatnya stigma (anggapan negatif) yang ditujukan pada Orang Bati atau Suku Bati. Tekanan (presure) yang bersumber dari dalam lingkungan mereka sendiri seperti isolasi geografis akibat kondisi alam yang tidak ramah, keterasingan, dan lainnya. Tekanan (presure) yang berasal dari luar lingkungan yaitu tidak ada bantuan, menguatnya stigma dan lainnya sehingga kehidupan mereka sampai saat ini terabaikan dari pelayanan pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dalam menghadapi tekanan hidup, Orang Bati terus berusaha dengan kekuatan sendiri agar dapat bertahan hidup (survival strategy) sehingga ratusan tahun Orang Bati mendiami kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur tidak mengalami kepunahan. Esuriun Orang Bati benar-benar berfungsi dan berperan menyelenggarakan kehidupan secara individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas sehingga tekanan yang berasal dari dalam maupun yang datang dari luar lingkungan dapat diatasi sendiri oleh mereka sesuai dengan kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki. Cara mengatasi tekanan (presure) dengan cara menyembunyikan identitas Bati agar tidak diketahui oleh orang luar dimaknai sebagai kearifan hidup agar keberadaan Orang Bati pada suatu lingkungan masyarakat tertentu tidak menimbulkan kepanikan pada orang lain.
122
Eksistensi Berbagai Sukubangsa di Seram-Maluku
Sebab nama Bati yang digunakan oleh orang luar (Orang Maluku) dapat dimaknai sebagai wacana untuk meredam konflik maupun pertikaian yang dapat saja terjadi antar kelompok dalam masyarakat apabila terjadi kasus orang hilang, diculik dan sebagainya. Dalam realitasnya, apabila terjadi kasus orang hilang atau ada orang yang diculik (anak kecil maupun orang perempuan), apabila anggota maupun kelompok masyarakat menyebutkan bahwa itu adalah perlakuan Orang Bati, maka persoalan serius seperti di atas secara diamdiam menjadi reda dan hilang tanpa bekas. Hal ini dapat mengandung makna bahwa simbol Bati telah berperan untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku. Fenomena Orang Bati seperti dikemukakan di atas apabila dikaitkan dengan kasus-kasus tertentu yang dihadapi oleh masyarakat, berarti isu Orang Bati yang selama ini berkembang dalam kehidupan Orang Maluku dapat dikatakan memiliki makna posisitf untuk mencegah konflik, meredam bibit permusuhan di kalangan kelompok sosial agar tidak muncul sebagai pertikaian. Walaupun ada kenyataan bahwa kasus yang sama sering dialami sendiri Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi Orang Bati memahami dan memaknainya sebagai suatu takdir karena leluhur Orang Bati yaitu Manusia Batti atau Tata Nusu Si menginginkan orang yang bersangkutan untuk diambil atau diculik secara diamdiam dan tidak dikembalikan. Itulah fenomena sosial yang sering dihadapi oleh masyarakat di daerah Maluku, dan dimaknainya sebagai misteri Orang Bati, yang sesungguhnya bukan perlakuan Orang Bati secara langsung, tetapi hal ini dipercaya oleh Orang Bati berkaitan dengan kehidupan “Manusia Batti”. Selama ini Orang Bati sebagai Orang Maluku telah menjadi korban karena senantiasa dituduh oleh orang luar (Orang Maluku) sebagai orang jahat karena menyusahkan orang lain. Fenomena seperti dikemukakan dalam pandangan Orang Bati yaitu merupakan kebiasaan dan hal ini terdapat dalam adat-istiadat yang dipercaya kebenarannya oleh Orang Bati karena arwah para leluhur yang tidak kelihatan tetapi senantiasa menyertai mereka sebagai anak cucu telah mengambil orang yang bersangkutan. Dalam perspektif yang berbeda untuk memaknai fenomena seperti ini oleh 123
Esuriun Orang Bati
Colley (1961 : 110) karena arwah para leluhur adalah pengamat yang tidak kelihatan yang menjamin adat dilaksanakan. Fenomena seperti ini dapat dimaknai sebagai pengetahuan lokal (local knowledge) yang diperoleh dari leluhur Orang Bati untuk bertahan hidup (survive). Semua pengetahuan yang diperoleh didasarkan pada adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati. Secara individu, kelompok, maupun komunitas, Orang Bati senantiasa menjalani hidup berdasarkan adatistiadat yang telah dicanangkan oleh leluhur. Bagi orang luar yang berkeinginan untuk datang di Tana (Tanah) Bati harus mengetahui hal ini secara benar sehingga harus tunduk, taat, dan menghormati adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati. Jika tidak taat dan menghormati adat Orang Bati jangan heran kalau bencana seperti dikemukakan di atas dapat menimpa siapa saja. Tana (Tanah) Bati itu sakral karena menurut kepercayaan Orang Bati bahwa Tana (Tanah) Bati merupakan rute perjalanan Manusia Batti yang selama ini dijaga dan dilindungi oleh generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati untuk menganalisis data empirik yang berkaitan dengan pemahaman Orang Bati tentang Bumi Seram dan Manusia Batti.
124