EKOLOGI DAN BIOPROSPEKSI BAMBU DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG BAUNG PASURUAN JAWA TIMUR
SITI SOFIAH
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2013
Siti Sofiah NRP G353100081
RINGKASAN SITI SOFIAH. Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO. Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat sekitar 1250 spesies bambu yang ditemukan di dunia, dan Indonesia memiliki 135 spesies. Tidak semua spesies bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik, dan hanya beberapa spesies saja yang tumbuh dan tersebar di Jawa. Hutan bambu di Indonesia semakin berkurang akibat adanya fragmentasi hutan/lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan/pertanian. Salah satu hutan bambu di Jawa Timur yang berada di kawasan konservasi adalah di Taman Wisata Gunung Baung, Jawa Timur. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan kelimpahan bambu, dan hubungannya dengan faktor abiotik di dalam kawasan TWA Gunung Baung belum banyak diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari ekologi bambu, dan hubungan pertumbuhan bambu dengan faktor biotik dan abiotiknya, serta mempelajari aspek bioprospeksi bambu di TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan di empat blok yakni Blok Perlindungan, Blok Rehabilitasi, Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Intensif TWA Gunung Baung, pada bulan September 2011-Mei 2012. Pengambilan data dilakukan melalui analisis vegetasi bambu dengan membuat plot sampel sepanjang transek, yang ditentukan dengan cara stratified random sampling dalam purposive sample. Data yang dicatat meliputi jumlah spesies bambu, jumlah rumpun bambu pada setiap plotnya, dan diameter masing-masing rumpun bambu. Data lingkungan yang dicatat meliputi ketinggian tempat, intensitas penyinaran, kelerengan, suhu udara, kelembapan udara, dan pH tanah. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan, Bogor. Parameter kemelimpahan dan kepadatan bambu menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor yang paling berkaitan erat dengan kehadiran kelompok bambu dalam komunitasnya dengan melakukan analisis statistik korelasi menggunakan software STATISTICA minitab 14. Untuk mengetahui karakteristik faktor abiotik dengan keberadaan kelompok bambu dalam komunitasnya dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis (PCA) dan Cononical Correspondence Analysis (CCA). Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuh antar spesies bambu. Analisis aspek bioprospeksi dilakukan dengan metode Index Cultural Significance (ICS). Terdapat tujuh spesies bambu, diantaranya Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter, dan Dinochloa matmat. Khusus Dinochloa matmat tidak
diuraikan secara mendalam, dikarenakan hanya berjumlah < 1%. Diantara keenam spesies bambu, B. blumeana merupakan bambu yang memiliki struktur populasi yang cukup ideal dibandingkan spesies bambu lainnya. Bambusa blumeana memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi diantara semua spesies bambu, yakni 127,97%. Struktur populasi bambu digolongkan berdasarkan kelas fase diameter rumpun, dimana fase A memiliki diameter < 5 m, fase B berdiameter 5-10 m dan fase C berdiameter > 10 m. Berdasarkan kelas ini menunjukkan bahwa umumnya bambu di TWA Gunung Baung berada pada kelas fase A. Tanah pada lokasi penelitian memiliki karakteristik baik untuk pertumbuhan bambu, yaitu ber-tekstur lempung liat berdebu, dan kapasitas tukar kation (KTK) sedang (10,90–18,52 cmol kg-1) serta kandungan unsur fosfor, kalium dan kejenuhan basa yang tinggi. Fosfor merupakan unsur tanah yang berpengaruh kuat terhadap B. blumeana dan B. vulgaris, sedangkan natrium dan mangan berpengaruh terhadap G. apus. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok besar yang memiliki kondisi tempat tumbuh yang mirip. Kelompok pertama adalah B. blumeana-B. vulgaris dan kelompok kedua adalah D. asper-G. atter –G. apus–S. iraten. Secara umum, kondisi tempat tumbuh marga Bambusa memiliki kemiripan. Hasil analisis ordinasi menunjukkan bahwa B. blumeana tersebar menurut adanya pengaruh kelerengan dan ketinggian. Spesies bambu yang memiliki INP dan ICS tertinggi adalah B. blumeana, pada Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Intensif. Ini menunjukkan bahwa bambu Gesing selain memiliki tingkat dominansi spesies terhadap spesies tumbuhan lain pada tegakan di kawasan TWA Gunung Baung, juga merupakan spesies tanaman yang memiliki nilai kegunaan, intensitas kegunaan dan nilai ekslusivitas yang sangat tinggi, sehingga bambu di kawasan ini perlu dipertahankan, dikelola dengan baik, dan dikonservasi dengan baik, sehingga menjadi spesies tanaman unggulan di kawasan TWA Gunung Baung. Spesies bambu lain yang memerlukan upaya konservasi adalah bambu D. asper memiliki nilai INP yang kecil namun ICS yang cukup besar. Jika tidak diupayakan adanya konservasi, maka populasinya di alam dapat hilang. Kata kunci: bambu, bioprospeksi, ekologi, Gunung Baung, struktur populasi.
SUMMARY SITI SOFIAH. Ecology and Bio-prospecting of Bamboo in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, East Java. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO. Bamboo is one of plant taxa comprising various species with high economic potential. Bamboo is a member of Bambusoideae of the Poaceae family. There are 1250 bamboo species in the world, 135 of them are in Indonesia. Not all bamboo species are well known, and only some of them can be found in Java Island. Land use changes reduce bamboo natural habitats in Indonesia. One of the bamboo forests in East Java is found at a conservation area namely Mount Baung Natural Park. The information of bamboo diversity, population structure and the relationship between bamboo and its biotic and abiotic factors in Mount Baung Natural Park is not well known. The aims of the research were to study the ecology of bamboo, the relationship between bamboo growth and its biotic and abiotic factors, and the bio-prospection aspect of this taxon in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, East Java. This research was carried out at four different locations from September 2011 to Mei 2012. Those locations were Preserved Area, Rehabilitation Area, Limited Usage Area, and Intensive Usage Area. Data collection was conducted by analyzing the bamboo populations using sampled plots along the transects that were determined by stratified random samplings within four purposive sampled areas. The collected botanical data consisted of the bamboo scientific names, the number of clumps per plot and the diameter of clumps. The environmental data consisted of altitude, solar radiation, temperature-humidity, and soil pH. Soil samples were analyzed at the Soil Chemical Laboratory, Center for Research of Land Resources, Bogor. The abundances and densities of bamboo expressed an importance value index, namely the resultant of the sum of Relative Density, Relative Frequency, and Relative Dominance. The determination of habitat characteristics (i.e. determining the most related factors in relation to the presence of bamboo in their community) were analyzed by statistical correlations using the software STATISTICA Minitab 14. The principal component analysis (PCA) and cluster analysis were performed to determine relationships between abiotic/biotic components and bamboo’s occurrences. Canonical Correspondence Analysis (CCA) was used to determine component relationships. Cluster analysis was used to analyze the similarity of the environmental conditions of the bamboo habitat. Index Cultural Significance (ICS) was performed to determine the bamboo bioprospecting of bamboo. There were seven species of bamboo in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, namely Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa apus, Gigantochloa atter and Dinochloa matmat. D. matmat was not described detail in this These due to the very limited number ( < 1%) of individual occurence. Among the six bamboo species, B. blumeana possessed nearly ideal population structure.
Bambusa blumeana had the highest important value index 127,97%. The structure of bamboo population was classified based on the clump diameter classes which were: A (< 5 m), B (5-10 m) and C (> 10 m). Based on this category, the bamboo in Mount Baung Natural Park belonged to A phase class. Based on the soil analysis, the location had good soil characteristics and was feasible for bamboo growth, namely silty clay loam, medium CEC (Cation Exchange Capacity) ranging from 10,90 to 18,52 cmol kg-1, and high Phosphorus (P), Potassium (K), and base saturation. P is an edafic factor significantly contributing to B. blumeana and B. vulgaris growth and while Sodium (Na) and Manganese (Mn) affecting to G.apus growth. Cluster analysis showed that there were two groups of bamboo which had similar habitat. First group consisted of B. blumeana - B.vulgaris, and the other one consisted of D. asper - G. atter - G. apus - S. iraten. Ordination analysis showed that B. blumeana was affected mainly by slope and altitude. Bamboo blumeana or Gesing bamboo which can be found in Limited, and Intensive Usage areas had the highest important values index and ICS as well as very high usage intensity and exclusive values. This indicateed that Gesing bamboo is a dominant species over the other species at Mount Baung Natural Park. Therefore B. blumeana species must be protected, managed, and conserved proverly. The other bamboo species D. asper, which had low important value index but high ICS, required conservation attention. The absence of conservation actions will lead to the extinction of bamboo population in the Mount.
Keywords: bamboo, bio-prospecting, ecology, Mount Baung, population structure.
© Hak Cipta miliki IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
EKOLOGI DAN BIOPROSPEKSI BAMBU DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG BAUNG PASURUAN JAWA TIMUR
SITI SOFIAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc
Judul Tesis Nama NIM
:
Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung Pasuruan Jawa Timur : Siti Sofiah : G353100081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua
Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Miftahudin, M. Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc Agr.
Tanggal Ujian : 29 April 2013
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan rizki-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur”. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Dan Dr. Didik Widyatmoko, M. Sc selaku komisi pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementriam Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi melalu beasiswa Karya Siswa Ristek tahun 2010. Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada: 1. Dr. Ir. Miftahudin M. Si, selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas segala perhatian, saran, dan masukannya selama perkuliahan dan penyusunan tesis, 2. Dr. Ir. Muhadiono M.Sc, selaku dosen penguji pada ujian tesis penulis atas segala masukannya, 3. Ir. Mustaid Siregar MP., selaku Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi, 4. Dr. R. Hendrian, selaku Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan dukungan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 5. Ir. Solikin MP, selaku staf peneliti UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi. 6. Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan untuk dapat melakukan kegiatan penelitian di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung. 7. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih bagi temanteman Program Studi Biologi Tumbuhan 2010 atas kebersamaan, kerjasama, dukungan dan persahabatan yang telah terjalin erat selama ini. Terima kasih kepada Bapak Matrani, Bapak Chaerul Fatah dan Bapak Pramujito yang selalu mendampingi penulis selama pengambilan data di lapangan. Secara khusus, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda Siti Hindun yang senantiasa memberikan doa dan motivasi, dan Ibunda mertua Sri Hartini, beserta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan motivasi, dorongan dan doa kepada penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rono Toga Iqbal, suami tercinta, yang senantiasa memberikan dorongan dan doa serta penulis selama ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, amin. Bogor,
Mei 2013
ii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................. 3 Tujuan penelitian ................................................................................................. 4 Manfaat penelitian ............................................................................................... 4 Kerangka pemikiran ............................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 6 Ekologi..................................................................................................................... 6 Morfologi dan Sistematika Bambu ...................................................................... 6 Bioprospeksi ........................................................................................................ 8 METODE PENELITIAN ........................................................................................ 9 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................................. 9 Letak dan Luas Kawasan ..................................................................................... 9 Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan ........................................................ 10 Topografi dan Tanah .......................................................................................... 10 Iklim ................................................................................................................... 11 Kondisi Biologi Kawasan .................................................................................. 11 Metode ............................................................................................................... 12 Pengamatan Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu............................... 12 Pengamatan faktor lingkungan ....................................................................... 13 Faktor Iklim dan Topografi ........................................................................ 13 Faktor Edafik .............................................................................................. 13 Analisis Bioprospeksi ..................................................................................... 14 Analisis Data ...................................................................................................... 16 Diagram Alir Penelitian ..................................................................................... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 17 Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu ....................................................... 17 Spesies bambu di TWA Gunung Baung ........................................................ 17 Bambusa blumeana Blume ex. Schult ........................................................ 18 Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl ........................................................... 18 Dendrocalamus asper (Roem.& Schult.f.) Backer ex Heyne .................... 19 Schizostachyum iraten Steud ...................................................................... 20 Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz .............................................................. 20 Gigantochloa apus ...................................................................................... 21 D. matmat ................................................................................................... 21 Kelimpahan .................................................................................................... 25 Karakteristik Habitat .......................................................................................... 28 Faktor Edafik .................................................................................................. 28 Faktor Iklim .................................................................................................... 34 Faktor topografis ............................................................................................ 36 Interaksi dengan komponen abiotis ................................................................ 36 Bioprospeksi Bambu .......................................................................................... 41
iii
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................43 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................44 LAMPIRAN ...........................................................................................................48
iv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori etnobotani ..................................................................................................... 15 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity of use) jenis tumbuhan berguna ................................................... 16 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau tingkat kesukaan .......................................................................................... 16 Parameter kemelimpahan bambu dominan B. blumeana ............................. 27 Eigenvalue unsur-unsdur tanah terhadap tempat tumbuh individu bambu. .......................................................................................................... 32 Matriks karakteristik hara tanah terhadap bambu di TWA Gunung Baung ........................................................................................................... 33 Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan bambu di TWA Gunung Baung, Pasuruan. .................................................. 34 Eigenvalues matriks korelasi faktor abiotis ................................................. 37 Matriks karakteristik abiotis terhadap bambu di TWA Gunung Baung ...... 38 Kondisi lingkungan parameter perjumpaan tiap spesies bambu (ratarata). ............................................................................................................. 39 ICS bambu di TWA Gunung Baung ............................................................ 42 Hasil perbandingan ICS terhadap INP bambu di kawasan TWA Gunung Baung ............................................................................................. 42
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................. 5 Tipe Perakaran pada Bambu .......................................................................... 7 Peta Penataan Blok Pengelolaan TWA Gunung Baung. .............................. 10 Peta kontur kawasan TWA Gunung Baung ................................................. 11 Petak analisis vegetasi dan arah pembuatan transek .................................... 13 Diagram alir penelitian ................................................................................. 17 Rumpun B. blumeana ................................................................................... 18 (a) percabangan, (b) pelepah buluh, dan (c) perawakan B. vulgaris ............ 19 (a) percabangan (b) buluh dan pelepah buluh, dan (c) perawakan D. asper ............................................................................................................. 19 (a) pelepah buluh, (b) percabangan, dan (c) perawakan S. iraten ................ 20 (a) bunga dan (b) percabangan pada G. atter ............................................... 21 (a) Pelepah buluh dan (b) percabangan pada G. apus .................................. 21 (a) percabangan, (b) ruas buluh, dan (c) perawakan D. matmat .................. 22 Struktur Populasi Bambu di TWA Gunung Baung, Purwodadi .................. 23 Fisiognomi bambu pada bagian Utara-Selatan TWA Gunung Baung ......... 25 Indeks Nilai Penting (INP) bambu pada blok kawasan di TWA Gunung Baung ............................................................................................. 26 Jumlah rumpun bambu pada setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung ........................................................................................................... 27 Kondisi kimia tanah pada setiap blok di TWA Gunung Baung ................... 29
v
19 20 21 22
Hasil komponen utama unsur-unsur tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh bambu di TWA Gunung Baung....................................................... 33 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan fisik tempat tumbuh bambu dengan jumlah rumpun spesies bambu. ................... 38 Hasil analisis kluster bambu berdasarkan lingkungan fisiknya di TWA Gunung Baung. ............................................................................................. 40 Distribusi 6 spesies bambu terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung Baung. .................................................................... 41
DAFTAR LAMPIRAN 1
2 3
4 5 6
Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Tumbuh Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Perlindungan TWA Gunung Baung ........................................................................................................... 48 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus bambu pada Blok Rehabilitasi TWA Gunung Baung .................... 49 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Terbatas TWA Gunung Baung ........................................................................................................... 50 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Intensif TWA Gunung Baung..... 51 Hasil Analisis Tanah TWA Gunung Baung ................................................ 52 Data Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembapan udara Mikro, Kelerengan Kemasaman Tanah (pH-Tanah)................................................................... 53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat sekitar 1250 spesies bambu yang ditemukan di dunia, dan Indonesia memiliki 135 spesies yang termasuk ke dalam 21 marga (Widjaja 1997). Distribusi geografi bambu dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Holtum 1985), karena bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia (Dransfield dan Widjaja 1995). Tidak semua spesies bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik, dan hanya beberapa jenis saja yang tumbuh dan tersebar tersebar di Jawa (Widjaja 2001). Distribusi bambu di Pulau Jawa sangat unik karena beberapa jenis hanya terbatas pada daerah tertentu di pulau ini (Widjaja 1987). Bambu merupakan salah satu tumbuhan bernilai tinggi di Indonesia, karena memiliki berbagai nilai dan kegunaan serta berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati. Konservasi dan pengelolaan populasi bambu liar menjadi salah satu kegiatan penting, terutama pada lokasi dengan keragaman tinggi atau pada lokasi di mana tingkat deforestasi merupakan ancaman signifikan bagi kelestarian plasma nutfah dan keragaman jenis (Nath dan Das 2011). Tekanan besar terhadap habitat alami dapat menimbulkan bencana bagi kelestarian spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Konservasi bambu di Jawa telah diimplementasikan baik secara in-situ maupun ex-situ. Diperkirakan lebih dari 75% bambu asli Indonesia tumbuh pada area konservasi atau pada habitat liarnya (Widjaja 1998). Hutan bambu di Indonesia semakin berkurang akibat adanya fragmentasi hutan atau lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan atau pertanian, sehingga mengakibatkan hilangnya habitat alami maupun keragaman jenisnya (Hakim et al. 2002). Tingginya laju kehilangan spesies bambu berkaitan dengan tingginya laju kehilangan pengetahuan tradisional, dan ini menyebabkan dampak negatif. Pengintroduksian spesies bambu baru dan peningkatan penggunaan beberapa spesies asli (lokal) tanpa diimbangi dengan kegiatan budidaya menyebabkan tanaman bambu tereksploitasi secara tidak terkendali. Hal ini menjadi penting penyebab hilangnya atau menurunnya keanekaragaman hayati bambu di Indonesia. Bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat. Hampir seluruh bagian bambu dapat dimanfaatkan, mulai dari akar hingga daunnya. Beberapa sumber informasi dan penelitian menyebutkan bahwa spesies bambu tertentu merupakan jenis bambu langka di Indonesia, salah satunya adalah B. blumeana. Namun demikian, spesies-spesies bambu di Indonesia belum ada yang terdaftar dalam International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Untuk itu penting dilakukan suatu kajian ekologis terhadap spesies bambu di Indonesia, mengingat bahwa bambu merupakan jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Konservasi jenis-jenis tumbuhan penting dilakukan. Beberapa alasan pentingnya mengkonservasi jenis tumbuhan adalah karena jenis tumbuhan dapat
2
memberikan manfaat bagi manusia (antara lain bahan obat, sumber makanan, bahan bakar dan bahan bangunan). Menurut Widyatmoko (2001), konservasi berbasis spesies akan efektif dengan melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan habitat dan ekologi, status dan populasi, viabilitas populasi, asosiasi, distribusi, jumlah lokasi dan area minimum di mana spesies dapat dikonservasi, serta aspekaspek biologis penting lainnya yang dapat menjadi penyebab kelangkaan spesies. Argumentasi konservasi dapat juga dilihat dari aspek etika, di mana justifikasi (argumentasi) konservasi dilakukan lebih berdasarkan pada nilai-nilai filosofi keagamaan, konservasi terhadap keanekaragaman hayati spesies berlaku untuk semua spesies penyusun ekosistem, termasuk spesies yang belum diketahui manfaatnya tanpa melihat nilai ekonominya (Mudiana 2012). Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan tumbuh cepat. Namun kurangnya apresiasi terhadap sumber daya bambu di Indonesia menyebabkan terbatasnya upaya untuk menggali segala aspek pengetahuan yang berkaitan dengan usaha pembudidayaan, pengelolaan, pemanfaatan maupun pelestariannya (Sulthoni 1992). Melalui kegiatan penelitian semacam ini diharapkan dapat diketahui kondisi keragaman, ekologi dan bioprospeksi bambu yang tumbuh secara alami di berbagai hutan, terutama di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Informasi ilmiah yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dijadikan basis pertimbangan dalam pengelolaan dan konservasi bambu, khususnya di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung, Jawa Timur. Salah satu hutan bambu di Jawa Timur yang berada di kawasan konservasi adalah di Taman Wisata Gunung Baung, Jawa Timur (Dephut 1998). Hutan bambu merupakan keunikan TWA Gunung Baung. TWA Gunung Baung juga memiliki air terjun yang diberi nama Coban Baung (dalam bahasa Jawa, coban berarti air terjun). Keberadaan air terjun tersebut menjadi daya tarik utama kawasan ini. Sebagai suatu komponen ekosistem, air terjun tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor biotik dan abiotik yang ada di sekelilingnya, termasuk flora yang ada di dalamnya. Secara khusus diantaranya adalah bambu, merupakan salah satu tumbuhan penunjang konservasi tanah dan air, yang sering ditemukan di sepanjang aliran sungai (riparian) dan mata air. Inventarisasi yang telah dilakukan Departemen Kehutanan (1998) menyebutkan bahwa terdapat enam spesies bambu yang ada di kawasan ini, diantaranya B. blumeana, B. vulgaris, D. asper, S. iraten, G. atter dan G. apus. Alasan penting lainnya dalam upaya pelestarian dan konservasi di TWA Gunung Baung adalah, berkaitan dengan keberadaan flora dan fauna, diantaranya kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kelelawar besar pemakan buah atau kalong (Pteropus vampyrus) di kawasan ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi tumbuhan yang mendukung kehidupannya. Selain itu terdapat flora berpotensi diantaranya Amorphophallus variabilis atau dikenal dengan nama lokal Suweg, yang merupakan jenis tumbuhan berpotensi sebagai pangan alternatif dan ekonomi. Kekayaan jenis tumbuhan ini menunjukkan kelimpahan plasma nutfah yang dapat dijadikan objek penelitian untuk pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan pendidikan. Bambu merupakan tumbuhan dominan di TWA Gunung Baung. Belakangan ini populasi bambu di kawasan ini mengalami penurunan akibat adanya pemanfaatan ilegal. Masyarakat menyebutkan bahwa spesies bambu tertentu, yakni B. blumeana atau dikenal dengan nama lokal bambu gesing, sering dipanen
3
oleh pihak-pihak yang kurang memperhatikan aspek konservasi. Jika hal ini terus berkelanjutan, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi degradasi keragaman plasma nutfah di TWA Gunung Baung, khususnya bambu. Berdasarkan hal tersebut diperlukan kajian mengenai ekologi bambu di kawasan TWA Gunung Baung, mengingat kawasan ini sangat penting dalam upaya konservasi sumber daya alam. Alasan penting lainnya adalah karena faktor hayatinya berupa kekayaan satwa dan tumbuhan, serta aspek ekologisnya. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan kelimpahan bambu, dan hubungannya dengan faktor abiotik di dalam kawasan TWA Gunung Baung dapat menjadi dasar bagi tindakan pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaannya akan berkaitan dengan proses-proses ekologi di dalam kawasan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu kajian mengenai keragaman bambu, populasi, struktur dan kelimpahan bambu, serta hubungan bambu dengan faktor abiotiknya di TWA Gunung Baung. Informasi bioprospeksi bambu, dapat menjadi acuan pada rancang tindak prioritas konservasi flora di kawasan TWA Gunung Baung.
Perumusan Masalah Masih terbatasnya upaya pengembangan dan pelestarian bambu disebabkan karena terbatasnya informasi mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu dan habitat ekologi bambu tersebut. Diharapkan dengan adanya data dan informasi mengenai karakteristik, ekologi dan pemanfaatan bambu ini akan sangat berguna dalam merencanakan pengembangan upaya pelestarian bambu itu, khususya bambu di Jawa Timur. Pemanfaatan bambu di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sendiri cukup besar, mengingat di kawasan ini bambu merupakan salah satu komponen ekologi yang dapat menopang kehidupan di sekitarnya. Bambu yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar adalah B. blumeana (bambu Gesing) dan umumnya digunakan untuk bahan kerajinan dan kayu bakar. Potensi lain masih belum terungkap, misalnya sebagai bahan baku obat. Selain itu bambu di kawasan ini berperan dalam fungsi ekologi lain yakni dalam hal konservasi tanah dan air, sehingga kehadiran bambu di kawasan ini sangat penting. Penelitian mengenai ekologi bambu itu sendiri masih jarang dilakukan. Sebagian penelitian lebih banyak berhubungan dengan peranan bambu pada konservasi tanah dan air tersebut, sedangkan yang berhubungan dengan struktur populasi, kelimpahan dan bioprospeksi (pemanfaatan) masih jarang dilakukan. Penelitian pendahuluan mengenai keragaman bambu di TWA Gunung Baung pernah dilakukan dalam rangka inventarisasi spesies bambu di kawasan ini. Dari hasil inventarisasi ini terdapat enam spesies bambu yang terdapat di kawasan TWA Gunung Baung, yakni Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa atter, dan Gigantochloa apus. Terdapat satu spesies bambu yang baru terinventarisir di kawasan ini, namun sangat sedikit jumlahnya, yakni Dinochloa matmat yang merupakan spesies bambu merambat.
4
Tujuan penelitian 1. 2. 3.
Mempelajari ekologi bambu di TWA Gunung Baung. Mempelajari hubungan ekologis antara bambu dengan faktor-faktor biotik dan abiotiknya. Mempelajari aspek bioprospeksi bambu beserta konservasinya di kawasan TWA Gunung Baung.
Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah penting tentang populasi dan preferensi tumbuh spesies bambu dalam upaya konservasi bernilai ekonomi di Taman Wisata Alam Gunung Baung. Informasi ini selanjutnya diharapkan dapat menjadi bahan-bahan rekomendasi dalam pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan. Selain itu, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keragaman bambu secara lengkap di Taman Wisata Alam Gunung Baung, Jawa Timur.
Kerangka pemikiran Berdasarkan pada latar belakang kondisi permasalahan yang berkaitan dengan bambu di TWA Gunung Baung ini, disusunlah suatu kerangka pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan penelitin ini (Gambar 1).
5
Gambar 1 Alur Kerangka Pemikiran Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Dalam perkembangan ilmu ekologi dikenal dengan istilah sinekologi dan autekologi. Sinekologi lebih banyak mengkaji tentang golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi membentuk satu kesatuan di alam, sedangkan autekologi merupakan bagian dari bidang ilmu ekologi yang lebih fokus mempelajari individu organisme atau spesies yang berinteraksi dengan lingkungannya. Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan di mana spesies atau individu itu hidup (Odum 1994). Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi, serta status dan perbedaan populasi. Uraian lebih lanjut tentang autekologi dikemukakan oleh Barbour et. al (1987) dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi tumbuhan dalam kaitannya dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Mempelajari suatu komunitas merupakan aspek penting dalam ekologi dengan cara mengumpulkan data kualitatif, kuantitatif dan mensintesis data struktur tegakan, komposisi, dan tingkat organisasi dari komunitas. Suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti bahan induk, topografi, tanah iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Pola interaksi dengan faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat yang bersangkutan.
Morfologi dan Sistematika Bambu Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat. Rebung yang muncul sebagai calon buluh, akan menyelesaikan pertumbuhan vertikalnya dalam waktu setahun, sedangkan tahun-tahun berikutnya merupakan proses penuaan dan pada akhir tahun ketiga, bambu sudah dapat ditebang. Bambu sering disebut rumput raksasa yang tumbuh besar dan tinggi, berkembang biak dengan cukup luas dan pada umumnya tidak akan ada tumbuhan lain yang akan hidup di bawahnya jika tumbuhan ini berkembang besar (Heyne 1987). Bambu termasuk ke dalam family Poaceae dan sub family Bambusoideae. Rimpang bambu terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua jenis sistem percabangan rimpang, yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpang yang simpodial) dan leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Pada tipe simpodial (clumped type), pertumbuhan tunas baru terjadi di ujung rimpang dan percabangan rhizomnya berkelompok membentuk rumpun yang jelas. Pada tipe monopodial (running type), tunas baru dapat muncul pada setiap buku rimpang
7
dan tidak membentuk rumpun. Pertumbuhannya seperti individu-individu yang terpisah pada jarak yang berjauhan. Bambu yang tumbuh di kawasan tropis seperti Malaysia dan Indonesia umumnya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sedangkan di daerah subtropik, seperti Jepang, Cina dan Korea umumnya bertipe monopodial (Berlin dan Estu 1995). Tipe monopodial dan simpodial bambu ditunjukkan pada Gambar 2. Rimpang yang terdapat di bawah tanah membentuk sistem percabangan, di mana dari ciri percabangan tersebut nantinya akan dapat membedakan asal dari kelompok bambu tersebut. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit dari pada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjat dan akhirnya menghasilkan buluh (Widjaja 2001).
Monopodial
Sympodial
Gambar 2 Tipe Perakaran pada Bambu Di Indonesia, spesies bambu asli umumnya mempunyai perakaran yang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan lehernya yang pendek juga. Percabangan bambu umumnya terdapat atas buku-buku (Dransfield 1995). Cabang juga dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu (Widjaja 2001). Menurut Dahlan (1994) , bambu dengan tunas monopodial akan tumbuh lebih serempak dan cepat. Tanaman bambu yang tumbuh subur di Indonesia merupakan tanaman bambu yang simpodial, yaitu batang-batangnya cenderung mengumpul di dalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Sindusuwarno 1963). Rimpang bambu di Indonesia umumnya bersifat simpodial diduga berkaitan dengan iklim di Indonesia yang termasuk ke dalam iklim wilayah tropis, di mana sinar matahari bersinar sepanjang tahun, dan hanya memilik dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Posisi geografis Indonesia ini menguntungkan pertumbuhan bambu, di mana siklus hara tanah berjalan seimbang, sehingga pertumbuhan tunas rumpun bambu bersifat memusat (tunas bambu tidak perlu tumbuh jauh dari induknya dalam mencari sumber makanan). Buluh bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang. Tinggi tanaman bambu sekitar 0,3-3 m, dengan diameter batangnya antara 0,25-25 cm. Sedangkan tunas atau batang-batang bambu muda yang baru muncul dari permukaan dasar rumpun dan rhizome disebut dengan rebung. Rebung tumbuh dari kuncup rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis dari bambu karena menunjukkan ciri
8
khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya hitam, tetapi ada pula yang coklat atau putih. Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas, yang terdiri atas daun pelepah buluh, keping pelepah buluh dan ligulanya terdapat antara sambungan antara pelepah daun dan pelepah buluh, sedangkan helai daun bambu memiliki tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang mungkin panjang atau pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping pelepah daun dan juga ligula.
Bioprospeksi Bioprospeksi pada dasarnya adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan senyawa biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993: Posey 1997). Bioprospecting (bioprospeksi) merupakan kependekan dari biodiversity prospecting. Di dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui pemanfataan keanekaragaman hayati. Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan bioprospeksi penting untuk mendokumentasikan sumberdaya genetik dan sekaligus mengembangkan manfaat ekonominya sebelum sumberdaya ini habis tereksploitasi. Oleh karena itu, keanekaragaman, struktur dan komposisi vegetasi sebagai sumber genetik dan komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisis. Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti kayu. Bioprospeksi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah. Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi, pemanfaatannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk hasil-hasil lain. Meskipun secara umum telah diketahui fungsi ini, namun upaya bioprospeksi dapat terus dilakukan, terutama bila dikaitkan dengan upaya konservasi jenisnya pada suatu kawasan konservasi tertentu, misalnya TWA Gunung Baung. Semua bagian tumbuhan bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar umumnya dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan, keranjang, dan lain sebagainya. Selain itu buluh juga dapat digunakan untuk alat musik tradisional maupun alat musik modern. Banyak pakar bambu mengkategorikan bambu di Jawa sebagai bambu kampung yang telah umum dibudidayakan dan bambu liar yang berasal dari hutan (Widjaya 2001). Selain itu bambu berperan penting dalam mengamankan fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS). Hal ini dikarenakan sistem rimpang luas bambu terletak terutama di lapisan atas tanah, yang berfungsi menstabilkan tanah di lereng dan tepi sungai, mencegah erosi dan longsor tanah. Tipe perakaran bambu yaitu perakaran serabut (fibrous root), sehingga menjadikan bambu memiliki kemampuan mengikat tanah dengan baik (Sofiah dan Fiqa 2011).
9
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 - Mei 2012 di TWA Gunung Baung. Studi herbarium dilakukan di Herbarium Kebun Raya Purwodadi dan Herbarium Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Cibinong, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan, Bogor.
Letak dan Luas Kawasan Kawasan hutan Gunung Baung seluas 195,5 Ha ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 657/Kps/Um/9/1980, tanggal 11 September 1980. Secara geografis kawasan ini terletak antara 7°49’9” - 7°47’23” LS dan 112°16’23” - 112°17’17” BT. Lokasi TWA ini berbatasan langsung dengan Kebun Raya Purwodadi (LIPI), tepatnya berada di Desa Cowek, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Secara administratif pengelolaan kawasan ini termasuk wilayah kerja Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II, Sub Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Pasuruan Resort Konservasi Sumber Daya Alam Gunung Baung. Di sebelah utara kawasan TWA Gunung Baung berbatasan dengan Desa Kertasari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cowek, sebelah timur dengan Desa Lebakrejo, dan sebelah barat dengan Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung memiliki empat (4) kawasan berdasarkan pembagian fungsinya. Keempat kawasan itu meliputi (1) Blok Perlindungan, (2) Blok Pemanfaatan Intensif, (3) Blok Pemanfaatan Terbatas dan (4) Blok Rehabilitasi. Penataan Blok di kawasan TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Gambar 3. Blok Perlindungan merupakan kawasan konservasi bambu, dengan luas 138,5 ha. Kawasan ini merupakan kawasan terjaga dan utuh, dan merupakan habitat alami dari bambu. Blok Pemanfaatan Intensif merupakan kawasan yang secara khusus digunakan untuk kepentingan wisata dan perkemahan, yang di dalamnya terdapat wisata air terjun Gunung Baung. Luas Blok Pemanfaatan ini adalah 10 ha. Blok Pemanfaatan Terbatas merupakan kawasan yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat, namun secara terbatas, sehingga pada kawasan ini jarang dikunjungi oleh masyarakat. Blok Rehabilitasi merupakan kawasan pemanfaatan sekaligus sebagai kawasan konservasi jenisjenis tumbuhan berpotensi, terutama yang bernilai ekonomi.
10
Gambar 3 Peta Penataan Blok Pengelolaan TWA Gunung Baung
Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan Kondisi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sedikit banyak berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlangsungan proses di dalam kawasan. Terdapat empat wilayah desa yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan, yaitu Desa Kertosari (sebelah Utara), Desa Cowek (sebelah Selatan), Desa Purwodadi (sebelah Barat), dan Desa Lebakrejo (sebelah Timur). Sebagian besar masyarakat di keempat desa tersebut bekerja di sektor pertanian. Sektor pekerjaan lainnya yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat adalah konstruksi bangunan dan industri olahan rumah tangga.
Topografi dan Tanah Topografi kawasan TWA Gunung Baung secara umum bergelombang sampai berbukit, sebagian lainnya landai dan curam. Ketinggian di kawasan ini berkisar antara 200-501 m dpl. Peta topografi TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Gambar 4.
11
Gambar 4 Peta kontur kawasan TWA Gunung Baung Jenis tanah di TWA Gunung Baung adalah mediteran merah kuning dan latosol. Tanah berasal dari batuan kuarter tua dengan bahan induk berupa batu endapan metamorf (Dephut 1998).
Iklim Menurut klasfikasi tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson (1951), kawasan ini memiliki iklim type curah hujan D dengan nilai Q = 81,82%, jumlah rata-rata tahunan sebesar 2.654,10 mm dengan jumlah rata-rata hari hujan sebanyak 141,05 hari. Musim hujan (curah hujan > 100 mm/ bulan) umumnya terjadi pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei-Oktober (Dephut 1998).
Kondisi Biologi Kawasan Jenis flora yang ada di TWA Gunung Baung diantaranya Beringin (Ficus benjamina), kepuh (Sterculia foetida), bendo (Artocarpus elastica), gondang (Ficus variegata) dan bambu. Sedangkan jenis fauna diantaranya kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp.), kera abu-abu (Macaca fascicularis), kera hitam (Presbytis cristata) dan ayam hutan (Gallus sp.)
12
Salah satu spesies tumbuhan obat langka yang tumbuh di kawasan ini adalah kayu rapet (Parameria laevigata). Spesies tumbuhan bawah yang tumbuh di sekitarnya antara lain: Piper betle, Hypoestes polythyrsa, Sericocalyx crispus, Oplismenus compositus, dan Bidens pilosa (Pa’i dan Yulistiarini 2006). Setidaknya tercatat sebanyak 30 spesies satwa yang terdapat di kawasan ini, yang terdiri atas 8 spesies mamalia, 13 spesies aves, 8 spesies reptil dan 1 spesies amphibia. Beberapa satwa liar yang hidup di dalam kawasan antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kelelawar besar (Pteropus vampyrus) kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan (Gallus sp), lutung (Trachypithecus auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing terbang, landak (Hystrix brachyura), dan trenggiling (Manis javanica). Beberapa spesies burung yang dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah raja udang (Alcedo sp.), kutilang (Pycnonotus aurigaster), kacer (Chopsycus saularis), dan prenjak (Prinia familiaris) (Baung Camp 2013; BKSDA 1998). Metode Pengamatan Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu Pengamatan bambu yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk menjelaskan bambu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi: 1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah rumpun setiap spesies bambu. Satu rumpun adalah sebagai satu individu tanaman. Penetapan individu atau rumpun bambu pada setiap jarak antar rumpun ± minimal 3 m. 2. Struktur populasi bambu. Pola pertumbuhan suatu organisme ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannnya. Pola pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi yang dimaksudkan adalah struktur populasi bambu. 3. Diameter rumpun bambu. Spesies bambu menentukan pola pertumbuhannya. Pengukuran diameter rumpun bambu dilakukan dengan menggunakan pita meteran. Pada beberapa rumpun bambu yang memiliki bentuk rumpun yang tidak merata, pendekatan pengukuran dilakukan dengan cara menentukan keliling lingkar rumpun, sehingga didapat nilai diameternya. Namun pada bentuk rumpun bambu yang melingkar cukup merata, pengukuran diameter menggunakan kayu, yang kemudian panjangnya diukur oleh pita meteran. Kategori diameter lingkar rumpun bambu dibagi menjadi 3 kelas, yakni kelas A dengan diameter kurang dari 5 m (D<5m), kelas B adalah diameter berukuran 5-10 m dan kelas C adalah lebih dari 10 m (D>10m). Pengambilan data dilakukan melalui analisis vegetasi bambu dengan membuat plot sampel sepanjang transek, yang ditentukan dengan cara sampling purposive menggunakan metode stratified random sampling (Krebs 1989). Transek dibuat berdasarkan luasan daerah komunitas bambu dengan ukuran plot masing-masing 20 m x 20 m. Berikut ini adalah gambar dari plot pengambilan sampel penelitian, yang ditunjukkan oleh Gambar 5.
13
2
4
6
Arah Trannsek 1
5
3
7
20 m 20 m
Gambar 5 Petak analisis vegetasi dan arah pembuatan transek Plot ditentukan pada setiap Blok yang ada di TWA Gunung Baung. Masingmasing dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 plot pada setiap bloknya, namun pada Blok Perlindungan dilakukan pengambilan sampel plot sebanyak 200 plot, dikarenakan memiliki luas area yang lebih besar. Dengan demikian total plot secara keseluruhan adalah 300 plot. Parameter kemelimpahan dan kepadatan bambu menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Di manapersamaannya adalah sebagai berikut: n
n
n
i=1
i=1
i=1
KRi = (Ki / ΣKi) x 100% ; FRi = (Fi / ΣFi) x 100% ; DRi = (Di / ΣDi) x 100%
Pengamatan faktor lingkungan Faktor Iklim dan Topografi Studi mengenai lokasi penelitian adalah dengan melakukan penjelajahan di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung. Berdasarkan pengamatan ini akan menentukan spot untuk pengambilan sampel lokasi pengamatan. Karakteristik habitat yang diukur di lapangan meliputi faktor topografis, klimatik dan edafik. Faktor topografis yang diukur adalah ketinggian menggunakan GPS dan altimeter, kemiringan tempat diukur dengan clinometer Suunto, serta arah lereng dengan kompas. Data iklim yang dicatat meliputi kelembaban dan suhu udara dengan menggunakan thermohigrograf serta curah hujan. Data curah hujan diperoleh dari data sekunder di lokasi yang bersumber dari Stasiun Klimatologi Karang Ploso. Data tanah yang diukur di lokasi penelitian adalah kemasaman tanah (pH), kelembaban dan suhu tanah yang diukur menggunakan Soil Tester. Faktor Edafik Contoh tanah diambil secara komposit. Pengambilan contoh dilakukan di setiap Blok lokasi penelitian terdari Blok Perlindungan, Blok Pemanfaatan Intensif, Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Rehabilitasi. Sampel tanah diambil dari lapisan top soil (0-20 cm) dan lapisan sub soil (> 20 cm). Pada setiap Blok diambil dari lima (5) titik diagonal, lalu tanah dari kelima titik dikompositkan sesuai dengan kedalamannya, dan diambil dua (2) contoh ulangan sampel yang dianalisis. Contoh sampel tanah yang diambil pada Blok Perlindungan adalah tiga sampel, dengan pertimbangan memiliki luasan wilayah yang lebih luas dibanding Blok yang lainnya. Pengambilan sampel tanah pada kedalaman ini merupakan
14
kedalaman efektif bagi jenis tumbuhan yang memiliki akar serabut seperti bambu yang termasuk suku Poaceae. Contoh tanah yang diambil di lokasi penelitian dianalisis sifat fisik dan kimianya di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor, melalui tahap pengeringan suhu 105°C. Faktor fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), sedangkan faktor kimiawi meliputi kemasaman tanah (pH), kandungan bahan organik tanah yang dinyatakan dalam rasio C/N, kandungan Ca, Mg, K dan Na, serta nilai kapasitas tukar kation (KTK). Analisis tekstur tanah dilakukan dengan pemisahan partikel liat, pasir dan debu dilakukan dengan metode kuantitatif melalui proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi butir-butir tunggal, kemudian diikuti dengan sedimentasi. Kemasaman tanah (pH) diukur pada esktraksi campuran tanah dan air dengan perbandingan 1:5, KTK diekstraksi dengan NH4 asetat 1 N dan pH 7, kandungan C dianalisis dengan metode Walkley & Black, sedangkan N total dideterminasi dengan metode Kjeldahl.
Analisis Bioprospeksi Bioprospeksi dilakukan untuk mendokumentasikan sumberdaya keanekaragaman hayati sebelum tereksploitasi habis kekayaan tersebut (Kodir 2009). Pengumpulan dan pengamatan data bioprospeksi dengan menggunakan perpaduan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, pengamatan langsung (observasi) di lapangan dan penelusuran pustaka. Metode wawancara dilakukan melalui semi terstruktur, di mana responden menjawab segala pertanyaan yang telah disiapkan pada quisioner. Pemilihan responden di setiap dusun dilakukan secara bertujuan (purposive) disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden kunci yang dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti, seperti Kepala Dusun, orang tua (sepuh) yang dianggap mengetahui tentang sejarah dan pengetahuan tentang tanaman obat-obatan, serta masyarakat umum lain yang dianggap memiliki pengetahuan cukup baik tentang manfaat dan kegunaan jenis-jenis tanaman. Adapun total responden yang diambil adalah sebanyak 30 orang. Analisis bioprospeksi bambu dilakukan dengan Index of Cultural Significance (ICS) atau indeks kepentingan budaya. Indeks kepentingan budaya (ICS) adalah merupakan hasil analisis etnobotani kuantitatif yang menunjukkan nilai kepentingan tiap-tiap jenis tanaman berguna yang didasarkan pada keperluan masyarakat (Purwanto 2003). Perhitungan indeks kepentingan budaya (ICS) menggunakan rumus (Cunningham 2003) sebagai berikut: n
ICS =
∑
i=1
(q x i x e) ni
di mana: ICS = index of cultural significance q = nilai kualitas (quality value), dihitung dengan cara memberikan atau nilai kualitas dari suatu jenis;
15
i e
= nilai intensitas (intensity value), yaitu menggambarkan intensitas pemanfaatan dari jenis tumbuhan = nilai eksklusivitas (exclusivity value)
Nilai kualitas, kuantitas dan ekslusivitas dari suatu pemanfaatan jenis tumbuhan yang ada pada persamaaan ICS, didapat melalui pemberian skor menurut kategori etnobotani (usage) dari tumbuhan tersebut. Berikut ini pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 adalah kategori etnobotani untuk penilaian skor. Tabel 1
Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori etnobotani
No.
Deskripsi Kegunaan
1
Makanan pokok Bahan pangan tambahan (secondary foods); umbi-umbian; buah-buahan; bahan minuman Bahan Pangan Lain yang Digunakan Menambah rasa, aroma, bumbu-bumbuan dan penambah rasa lainnya; pembungkus bahan pangan; pakan ternak dan makanan hewan Bahan Materi Utama Kayu bahan bangunan, bahan wadah; kayu bahan bakar; bahan serat dan pakaian; bahan kerajinan atau teknologi tradisional; kayu sebagai bahan konstruksi. Bahan Materi Sekunder Penghasil bahan berguna untuk perawatan; bahan pewarna, dekorasi dan kosmetika; bahan deodoran, bahan pembersih; bahan perekat, tali, bahan tahan air; bahan alas dan tikar, bahan pembalut; bahan campuran sebagai bahan yang berguna Bahan Obat Bahan obat untuk penyakit manusia; bahan obat untuk penyakit hewan
2
3
4
5
6 7
8 9 10
11
12
13
Medicine miscelloneous or unspecified Ritual atau Spiritual Ritual kelahiran; inisiasi; kematian, keberanian, kepahlawanan dalam perang antar suku; ritual pengobatan; ritual perburuan, pemancingan dan kegiatan pertanian; Bahan pangan utama untuk ritual Jenis yang secara spesfifik ditabukan atau hanya digunakan untuk ritual adat/penyembuhan Sebagai jimat, tanda cinta kasih (simbol), permanan, bahan ritual penolak hujan dll Mitologi Jenis tumbuhan berperan dalam supranatural atau mitos; supranatural, atau mitos yang bersifat magis dan religius; mitos sejarah; simbol desa; indikator lingkungan, nama seseorang, desa; tumbuhan yang berharga memiliki nilai Tumbuhan yang secara speesifik tidak diketahui kegunaannya tetapi mempunyai gambaran yang indah atau mempunyai kemiripan dengan jenis tumbuhan yang lainnya Tumbuhan yang memiliki nilai, tetapi tidak digunakan secara khusus atau adakalanya sangat khusus atau mempuyai perkecualian. Tumbuhan tidak berharga atau tidak bernilai atau tidak diketahui gunanya oleh siapapun.
Nilai Guna 5 4
3
4
3
3 2
2 2
2
2
1
16
Tabel 2 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity of use) jenis tumbuhan berguna No. 1
2
3
Deskripsi Sangat tinggi intensitas penggunaannya; yaitu jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler hampir setiap hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya Intensitas penggunaannya tinggi; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler harian, musiman, atau dalam waktu berkala Intensitas sedang; penggunaan jenis-jenis tumbuhan secara reguler tetapi dalam waktu-waktu tertentu, misalnya pemanfaatan yang bersifat musiman. Biasanya jenis-jenis diramu, diekstrak, atau bila hasilnya berlebihan bisa diperjualbelikan
Nilai 5
4
3
4
Intensitas penggunaannya rendah; meliputi jenis-jenis yang jarang digunakan dan tidak mempunyai pengaruh kehidupan sehari-hari masyarakat.
2
5
Sangat jarang intensitas penggunaannya; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang sangat minimal atau sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
1
Tabel 3 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau tingkat kesukaan No. 1
2 3
Deksripsi Paling disukai dan merupakan pilihan utama dan merupakan jenis tumbuhan yang menjadi komponen utama dan sangat berperan dalam kulturnya. Jenis-jenis ini memiliki kegunaan yang paling disukai atau juga bagi jenis-jenis yang mempunyai nilai guna tidak tergantikan oleh jenis lain. Meliputi jenis-jenis tumbuhan yang berguna yang disukai tetapi terdapat jenisjenis lain apabila jenis tersebut tidak ada. Meliputi jenis-jenis tumbuhan berguna yang hanya sebagai sumber daya sekunder, ekslusifitasnya atau nilai kesukaannya rendah.
Nilai 2
1 0,5
Analisis Data Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor yang paling berkaitan erat dengan kehadiran kelompok bambu dalam komunitasnya dengan melakukan analisis statistik korelasi menggunakan software STATISTICA minitab 14. Karakteristik faktor abiotik dengan keberadaan kelompok bambu dalam komunitasnya dilakukan dengan menggunakan metode principal component analysis (PCA). Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama dilakukan untuk melihat secara serentak keseluruhan hubungan antar variabel yang diamati untuk keperluan intepretasi dan analisis hubungan. Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuh antar spesies bambu. Hubungan antara spesies bambu dengan variabel faktor lingkungan secara lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan metode Canonical Correspondence Analysis (CCA) dengan menggunakan CANOCO 4.5. Metode ini merupakan metode analisis multivariate yang bertujuan untuk menggabungkan dan menganalisis data kelimpahan spesies dengan data variabel lingkungan dari lokasi yang sama (ter Braak 1986). Metode CCA akan membentuk suatu kombinasi hubungan linear yang maksimal antara distribusi spesies terhadap variabel lingkungannya. Diagram ordinasi yang dihasilkan dapat menggambarkan pola variasi suatu komunitas dan juga distribusi spesies sepanjang variabel-variabel
17
lingkungannya. Hal tersebut dapat terlihat dari eigenvalues yang dihasilkan dari analisis ini.
Diagram Alir Penelitian Berdasarkan uraian mengenai konsep penelitian bambu di TWA Gunung Baung, maka disusunlah diagram alur penelitian (Gambar 6).
Topik/ masalah penelitiann Rancangan penelitian Studi literatur
KOLEKSI DATA
ANALISIS FAKTOR EKOLOGIS
ANALISIS VEGETASI
DATA HASIL IDENTIFIKASI (DI LAPANGAN & HERBARIUM)
EDAFIK Sifat Fisik Sifat Kimia
Keragaman jenis bambu, struktur populasi dan kelimpahan bambu INP
KLIMATIK Kelembaban mikro Suhu mikro Intensitas cahaya mikro
ANALISIS BIOPROSPEKSI
TOPOGRAFI Ketinggian Kelerengan
PREFERENSI HABITAT Faktor Lingkungan yang mendukung penyebaran populasi Bambu
Analisis PCA Analisis Kluster Analisis CCA
ASPEK PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN BAMBU (ICS)
HASIL PENELITIAN
Gambar 6 Diagram alir penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu Spesies bambu di TWA Gunung Baung Dari hasil penelitian diketahui terdapat tujuh spesies bambu yang ada di lokasi penelitian. Ketujuh spesies tersebut adalah Bambuasa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa. atter, Gigantochloa apus. Terdapat satu spesies bambu yang sangat sedikit jumlahnya,
18
yakni Dinochloa matmat yang merupakan spesies bambu merambat. Berikut ini pertelaan dari spesies bambu tersebut. Bambusa blumeana Blume ex. Schult B. blumeana atau dikenal dengan bambu duri (Indonesia), pring Ori (Jawa), pring gesing. Bambu ini banyak terdapat di Jawa. Tumbuh baik di daerah yang lembab, di sepanjang sungai, dan juga di daerah kering. Rumpun simpodial, tegak dan padat, karena percabangannya yang berduri rapat. Rebung bambu ini berwarna jingga, tertutup bulu coklat. Tinggi buluh mencapai 25 m, berduri. Buluh muda diselimuti lapisan lilin putih dengan bulu coklat tersebar, tetapi ketika tua menjadi gundul dan berwarna hijau mengilap. Panjang ruas 25-30 cm dan berdiameter 5-10 cm.
Gambar 7 Rumpun B. blumeana Pelepah buluh mudah luruh dan tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh kecil, bercuping melebar kadang berkeriput hingga dasar daun pelepah buluh, dengan panjang buluh kejur mencapai 12 mm. Ligula bertangkai rendah, lebih kurang 3 mm dengan bulu kejur panjangnya 5-6 mm. Daun pelepah buluh tegak dan pada ruas bagian atas berkeluk balik. Daun agak berbulu pada bagian bawah, kuping pelepah buluh kecil dengan panjang bulu yang pendek mencapai 3 mm; ligula menggergaji dan menggerigi, tinggi mencapai 5 mm jika dengan bulu kejur mencapai 2 mm. Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl Bambu ini dicirikan oleh rumpun yang simpodial, tegak dan tidak terlalu rapat. Rebung berwarna hijau, tertutup oleh bulu coklat kehitaman. Buluh setinggi kurang lebih 12 m, dengan diameter 5,4-7,5 cm, panjang ruas 24-28 cm dan tebal buluh mencapai 7-15 mm. Buluh muda berwarna kuning bergaris-garis hijau.
19
a
b
c
Gambar 8 (a) percabangan, (b) pelepah buluh, dan (c) perawakan B. vulgaris Dendrocalamus asper (Roem.& Schult.f.) Backer ex Heyne Bambu ini dikenal dengan nama lokal bambu petung. Widjaja (1995) menggambarkan, bahwa bambu petung mempunyai tipe perakaran yang simpodial, dengan rumpun yang cukup rapat. Tinggi buluh mencapai 20-30 m, diameter pangkal 20-30 cm dengan panjang ruas 40-60 cm. Dinding buluh cukup tebal 11-38 mm dan pelepah daunnya jatuh, dengan panjang pelepah 20-25 cm serta memiliki cabang primer yang lebih besar dari cabang lainnya dan lebih dominan.
a
b
c
Gambar 9 (a) percabangan (b) buluh dan pelepah buluh, dan (c) perawakan D. asper Bambu betung memiliki warna batang hijau kekuning-kuningan dengan ukuran yang lebih besar daripada jenis yang lainnya, warna miang coklat muda
20
keputih-putihan dan pada batas-batas bukunya terdapat akar-akar pendek menggerombol yang memungkinkan untuk ditanam secara stek. Schizostachyum iraten Steud S. iraten dikenal dengan nama lokal bambu wuluh. Bambu ini merupakan spesies bambu yang dimanfaatkan untuk membuat seruling. Sebagian masyarakat mengenalnya sebagai bambu suling. Bambu ini merupakan spesies bambu dengan diameter buluh yang kecil. Rumpun bambu rapat, dengan tipe perakaran yang simpodial. Buluh bambu tegak, terkulai di bagian ujungnya. Diameter buluh 2050 mm, dengan tinggi buluh mencapai 6 m. Dinding buluh tipis, panjang, dan berwarna hijau. Panjang ruas pada buluh berukuran 70-120 cm. Percabangan muncul pada seperempat bagian terbawah dari panjang buluh. Daun pelepah buluh persisten, panjang berukuran 20-28 cm, dengan bulu halus berwarna coklat. Aurikel berukuran 7 mm. Panjang ligula pada pelepah buluh adalah 7 mm. Daun-selubung di permukaan licin dan bersilia. Daun-blade dasar dengan koneksi tangkai-seperti singkat ke sarungnya. Daun berbentuk pisau lanset, dengan panjang 15-45 cm, dan lebar 15-90 mm.
a
b
c
Gambar 10 (a) pelepah buluh, (b) percabangan, dan (c) perawakan S. iraten Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz G. atter dikenal dengan nama lokal bambu atter. Bambu ini banyak tumbuh di Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia. Habitat bambu ini adalah daerah lembab dan kering, juga dataran rendah hingga dataran tinggi. rebung bambu atter berwarna hijau hingga keunguan, tertutup oleh bulu hitam. Tinggi buluh mencapai 2 m. Percabangan tumbuh jauh dari permukaan tanah, satu cabang latteral lebih besar dari cabang lainnya, dan ujungnya yang melengkung. Buluh muda dengan bulu hitam tersebar, gundul ketika tua dan hijau hingga hijau tua. Ruas panjangnya mencapai 50 cm, diameter 5-10 cm, dengan dinding tebal yang mencapai 8 mm. Daun pelepah tertutup bulu hitam, mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat atau membulat dengan ujung melengkung keluar, tinggi 3-7 mm, dengan panjang bulu kejur mencapai 6 mm, ligula menggerigi, tinggi 3-6
21
mm, gundul. Daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit.
a
b
Gambar 11 (a) bunga dan (b) percabangan pada G. atter Gigantochloa apus G. apus dikenal dengan nama lokal bambu tali. Persebaran bambu ini meliputi Jawa, tumbuh meliar juga di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Rumpun bambu ini simpodial, rapat dan tegak. Rebung hijau tertutup bulu coklat dan hitam. Tinggi buluh mencapai 22 m dan lurus. Percabangan sekitar 1,5 m dari permukaan tanah, terdiri atas 5-11 cabang, satu cabang latteral lebih besar daripada cabang lainnya, dan ujung bulu melengkung. Buluh muda tertutup bulu coklat tersebar, tetapi luruh ketika sudah tua dan berwarna hijau. Panjang ruas 2060 cm, dengan diamatter 4-15 cm, dengan tebal dinding mencapai 15 mm.
a
b
Gambar 12 (a) Pelepah buluh dan (b) percabangan pada G. apus Pelepah buluh tidak mudah luruh, tertutup bulu hitam atau coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai, dengan tinggi 1-3 m. Panjang bulu kejur mencapai 7 mm, ligula menggerigi dengan tinggi 2-4 mm, gundul. Daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit. Bagian bawah permukaan daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil dan membulat, tinggi 1-2 mm, gundul; ligula rata dengan tinggi 2-4 mm dan gundul. D. matmat D. matmat merupakan salah satu spesies bambu yang merambat. Bambu ini dikenal dengan nama lokal bambu matmat. Bambu ini merupakan bambu
22
sympodial, dengan panjang ruas bambu 15 cm, dengan diameter sekitar 6-20 mm, dengan batang buluh yang padat atau berrongga, umumnya permukaannya agak kasar yang ditutup oleh bulu berwarna putih. Beberapa percabangan pada setiap ruas, tunas cabang primer aktif, tetapi perpanjangan terutama ketika ujung batang bambu rusak.
a
b
c Gambar 13 (a) percabangan, (b) ruas buluh, dan (c) perawakan D. matmat Pelepah buluh berukuran 9 - 10 x 3,5 – 4 cm, pada ujung pelepah buluh terjadi penyempitan sekitar 2-3 mm dengan bentuk melancip, dengan rambut pucat, terutama dibagian pangkal pelepah, rambut lebih banyak. Pelepah buluh menyempit pada bagian pangkal bawah, dengan lebar 1-3 mm, berkerut, tertutup oleh rambut putih. Tidak ada cuping pada pelepah, panjang ligula 1 mm. Daun berukuran 9-19 (24) x 2-3 (5.5) cm, halus, sedikit berrambut, tipis dan berbentuk memanjang (lanciolate). Perbungaan spikelets dengan bunga bagian terbawah berkembang terlebih dahulu, dan panjangnya sekitar 60-75 cm. Lemma tipis dan berrambut, panjang 1 mm, lebar 2 mm. Palea 3 x 3 mm, tipis dan berrambut (Dransfield dan Widjaja 2000). Bambu matmat ini masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejauh ini masyarakat menggunakan sebagai tumbuhan hias. Struktur populasi Secara teoritis dikenal tiga struktur populasi yang dapat ditemukan dalam pertumbuhan suatu organisme. Pemisahan ini umumnya didasarkan pada tingkatan umur organisme, yaitu struktur populasi menurun, stabil dan muda (Wirakusumah 2003). Struktur populasi ideal digambarkan oleh bentuk kurva berbentuk J terbalik, di mana secara berurut jumlah individu permudaannya lebih banyak dari pada strata dewasanya.
23
Bambu merupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki pusat titik tumbuh pertumbuhan sekunder, yang umumnya berlainan dengan tumbuhan lain, di mana sebagian memiliki sebagai pusat pertumbuhan sekunder. Oleh karenanya, pertambahan umur bambu tidak dapat diukur dengan pertambahan diameter batang. Pertumbuhan tanaman dari masa muda ke dewasa menunjukan pola tunas baru tumbuh dengan meningkatkan garis tengah (diameter) rumpun, sehingga pendekatan struktur ukuran populasi bambu, salah satunya ditetapkan dengan perhitungan diameter lingkar rumpun bambu (Hakim et.al 2002). Struktur populasi bambu dalam kajian ini diuraikan menurut fase pertumbuhan berdasarkan kriteria pertumbuhan bambu. Fase pertumbuhan yang dimaksud meliputi fase bambu muda, sedang dan dewasa. Struktur populasi bambu di kawasan TWA Gunung Baung ditunjukkan oleh Gambar 14. Berdasarkan pengkategorian struktur populasi bambu menunjukkan bahwa bambu di kawasan ini berada pada masa struktur populasi muda.
Gambar 14 Struktur Populasi Bambu di TWA Gunung Baung, Purwodadi. Kelas A = diameter rumpun bambu < 5 m, B = diameter rumpun bambu 5-10 m, C = diameter rumpun bambu > 10 m
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya bambu yang tumbuh berada pada kelas A dan B, sedangkan untuk kelas C tidak terdapat sama sekali untuk semua spesies bambu yang ada (Gambar 14). Kelas A menunjukkan bahwa bambu termasuk dalam pengkategorian umur muda, di mana perkembangan diameter akan terus bertambah, sedangkan fase B merupakan fase dewasa, yang akan berlanjut hingga akhirnya bambu mati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bambu yang terdapat di TWA Gunung Baung menurun pada kelas B. B. blumeana merupakan spesies bambu yang memiliki pertumbuhan yang paling pesat dibandingkan dengan spesies bambu lainnya di kawasan ini. Jumlah bambu muda (kelas A) pada spesies bambu ini memiliki perbandingan 4,7:1 terhadap kelas reproduktifnya (kelas B). Hal ini merupakan penciri struktur populasi stadia muda. Spesies bambu lainnya, meliputi B. vulgaris, D. asper G. apus, dan G. atter hanya memiliki pertumbuhan pada fase A. Keempat spesies bambu ini memiliki persentase yang sedikit di kawasan TWA Gunung Baung, yakni tidak mencapai 5%.
24
Struktur populasi bambu di Gunung Baung banyak terdapat pada kelas A, lalu menurun pada kelas B dan tidak ada sama sekali pada kelas C. Kecuali pada bambu dominan B. blumeana memiliki kelas B dengan persentasi sebanyak 22% dari fase anakannya. B. blumeana merupakan bambu yang memiliki struktur populasi ideal di kawasan ini. Terjadinya struktur populasi yang berlimpah pada fase muda diduga disebabkan oleh faktor lingkungan tempat tumbuh. Tingginya B. blumeana yang berada pada stadia muda diduga berkaitan dengan lingkungan tumbuh yang sangat cocok dengan spesies bambu ini. Faktor edafik sangat berpengaruh signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan bambu. Bambu merupakan jenis tumbuhan yang menyukai cahaya (Bitariho 2008). Pertumbuhan bambu cenderung lebih banyak berada di areal terbuka dengan intensitas cahaya yang lebih banyak, sehingga memungkinkan untuk membentuk suatu komunitas bambu yang luas. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sutiyono (1999) yang menyatakan bahwa pertumbuhan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim terutama faktor cahaya, suhu, curah hujan, dan kelembaban. Permudaan tanaman bambu juga berkaitan erat dengan penyebarannya di alam. Seperti diketahui bahwa bambu mempunyai ruas dan buku, pada ruasnya tumbuh cabang-cabang yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula dapat tumbuh akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak diri dengan potongan-potongan batangnya. Selain dengan potongan batang, bambu memperbanyak diri dengan tunas-tunas akar rimpangnya atau dikenal dengan rebung. Sistem perkembangan dasar rumpun bambu yang cenderung melebar oleh bertambahnya jumlah batang/rumpun setiap tahunnya menyebabkan bertambahnya lingkar rumpun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kerapatan rumpun. Kerapatan rumpun merupakan perbandingan jumlah batang/ rumpun dengan lingkar rumpun (Sutiyono 2007). Jarak antar rumpun berpengaruh terhadap kerapatan bambu. Hal ini berkaitan dengan pengaruh penetrasi cahaya yang masuk ke dalam rumpun bambu. Jarak antara rumpun bambu yang semakin lebar menyebabkan pencahayaan semakin efisien dalam memanfaatkan unsur hara untuk pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran dasar rumpun bambu. Bambu marga Bambusa, Gigantochloa dan Dendrocalamus memiliki rumpun yang rapat. Pendekatan pengukuran struktur populasi pada ketiga marga bambu ini dianggap sama. Sedangkan S. iraten merupakan spesies bambu berdiameter buluh kecil, sehingga pendekatan pengukuran struktur populasi dibedakan dengan spesies bambu lainnya. Namun demikian, dasar argumentasi dan hasil penelitian mengenai perkembangan vegetasi rumpun bambu ini belum banyak diketahui, sehingga kelas kategori untuk kerapatan bambu ini masih dilakukan dengan pendekatan yang sama. Jumlah maupun jenis vegetasi dalam suatu kawasan juga dapat merupakan gambaran tingkat asosiasi suatu jenis tumbuhan dengan jenis tumbuhan lainnya. Umumnya TWA Gunung Baung di dominasi oleh bambu, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan rumpun bambu memiliki tingkat asosiasi yang rendah terhadap spesies lain. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Heyne (1987), bambu merupakan rumput raksasa yang tumbuh besar dan tinggi, berkembang biak mengambil area yang cukup luas dan tidak akan ada tumbuhan lain yang akan hidup di bawahnya jika tumbuhan ini berkembang besar. Hal ini tampak pada hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa di kawasan Blok
25
Perlindungan yang umumnya didominasi bambu, memiliki nilai indeks keragaman yang lebih rendah dibanding dengan kawasan Blok Rehabilitasi. Kelimpahan Kelimpahan bambu dalam uraian ini diletakkan pada kelimpahan menurut spesies bambu yang ditemui di kawasan penelitian. Parameter yang digunakan untuk menjelaskan kelimpahan jenis adalah menurut jumlah rumpun dan Indeks Nilai Penting (INP). Samingan (1978) mengemukakan bahwa populasi merupakan kelompok kolektif organisme-organisme daripada jenis yang sama yang menduduki ruang/tempat tertentu. Besarnya populasi dapat diketahui melalui kerapatan populasi dalam hubungannya dengan bagian satuan ruangan. Umumnya kerapatan populasi dinyatakan dalam jumlah individu atau biomassa populasi, per satuan areal atau volume, banyaknya pohon atau individu per hektar. Kerapatan populasi atau kerapatan tanaman memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tanaman di areal tersebut. Nilai kerapatan tanaman umumnya dinyatakan dalam banyaknya individu per hektar. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), dominasi suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu tegakan dapat dinyatakan melalui berbagai besaran salah satunya adalah Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan 2 atau lebih nilai-nilai nisbi (KR, FR dan DR) dengan nilai maksimum 300 %, sehingga akan didapatkan nilai yang lebih representatif dan akurat. Untuk menetapkan nilai penting /dominasi suatu jenis terhadap jenis lain dalam tegakan diperlukan nilai kerapatan relatif (KR), yaitu persen jumlah individu jenis terhadap jumlah individu semua jenis. Salah satu fisiognomi bambu pada sisi wilayah TWA Gunung Baung, adalah pada Gambar 15.
Gambar 15 Fisiognomi bambu pada bagian Utara-Selatan TWA Gunung Baung Kelimpahan spesies bambu di setiap blok yang ada dikawasan TWA Gunung Baung berlainan satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap blok yang ada sudah memiliki fungsi masing-masing. Dari tujuh spesies bambu yang ditemukan di Gunung Baung, spesies D. matmat tidak diuraikan secara khusus dalam pembahasan. Hal ini dikarenakan jumlah individunya sangat
26
terbatas yakni tidak sampai 1%. Indeks Nilai Penting bambu di setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung, ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16 Indeks Nilai Penting (INP) bambu pada blok kawasan di TWA Gunung Baung B. blumeana merupakan spesies bambu dengan INP paling tinggi mencapai 127,97%. Adanya INP tertinggi menggambarkan struktur bambu di kawasan ini termasuk ke dalam habitat alaminya, tanpa ada aspek pemanfaatan atau gangguan dari manusia. Menurut Muller dan Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dengan dan menyolok. Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu yang lama. Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun bambu dan indeks nilai penting enam spesies bambu menunjukkan bahwa B. blumeana memiliki jumlah individu paling banyak INP paling tinggi diantara semua spesies bambu, bahkan diantara semua spesies tumbuhan dalam komunitas bambu di Gunung Baung. B. blumeana merupakan spesies bambu yang memiliki kerapatan dan dominansi yang tinggi. Suatu jenis tumbuhan dapat merupakan jenis tumbuhan indikator apabila memiliki nilai INP yang tinggi, terutama dibandingkan dengan nilai INP tertinggi kedua dan seterusnya. Dominansi merupakan pengukuran nilai jumlah spesies per luas basal area dari tanaman tersebut. Secara ekologi nilai penting diperlihatkan oleh suatu spesies, merupakan indikasi bahwa spesies yang bersangkutan dianggap dominan pada kondisi habitat tersebut. Parameter kemelimpahan bambu di TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Tabel 4.
27
Tabel 4 Parameter kemelimpahan bambu dominan B. blumeana Parameter
Kerapatan Frekuensi Dominansi Kerapatan relatif (%) Frekuensi relatif (%) Dominansi relatif (%) Indeks Nilai Penting (%) Indeks Keragaman Shannon (H')
Blok Perlindungan (Konservasi) 0,0070 0,8850 0,0703 72,4806 53,7994 1,6881 127,9681 0,3366
LOKASI Blok Blok Pemanfaatan Rehabilitasi Terbatas 0,0023 0,4000 0,0317 21,5385 27,2727 0,3647 49,1759 0,4771
0,0003 0,0667 0,0050 3,1250 3,1746 0,1100 6,4096 0,1563
Blok Pemanfaatan Intensif 0,0001 0,0333 0,0006 0,6667 1,5873 0,0061 2,2601 0,0482
Parameter kemelimpahan B. blumeana yang diamati di TWA Gunung Baung diperlihatkan Tabel 4. Paremeter kemelimpahan pada Blok Perlindungan menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan pada blok lainnya. Fenomena ini mengarah pada adanya preferensi habitat dari B. blumeana, yang diduga berada di daerah terbuka, menyukai cahaya, berada pada kelerengan dan kemiringan tertentu yang ditemui di kawasan ini. Parameter ekologi tumbuhan secara kuantitatif dapat diketahui melalui jumlah individu jenis tumbuhan yang ditemui pada plot pengamatan. Jumlah inidividu spesies akan menentukan kerapatan dan kepadatan spesies tersebut pada suatu area. Tabulasi jumlah rumpun bambu pada setiap blok di TWA Gunung Baung, ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17
Jumlah rumpun bambu pada setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung
B. blumeana merupakan spesies bambu yang memiliki jumlah rumpun paling banyak dibandingkan bambu lainnya. Berdasarkan keterangan jumlah rumpun yang ditemui pada setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung (Gambar 17), menunjukkan bahwa Blok Perlindungan adalah area dengan jumlah bambu yang terbanyak, yaitu B. blumeana dengan jumlah 460 rumpun, pada luasan area plot teramati adalah 8 ha. Dengan demikian rata-rata jumlah rumpun bambu ini pada kawasan TWA Gunung Baung adalah 57,5 individu ha-1 atau 57,5 rumpun
28
ha-1. Blok Perlindungan merupakan area yang memiliki unsur kimia tanah fosfor dan kalium yang paling tinggi dibandingkan blok lainnya. Seperti diketahui bahwa unsur fosfor merupakan unsur kimia tanah yang sangat diperlukan pada pertumbuhan tanaman, khususnya suku Poaceae, diantaranya bambu. Pada Poaceae, unsur ini sangat signifikan terhadap pertumbuhan, terutama berkaitan dengan sifat batang yang kokoh dan tegak serta tidak mudah rebah (Sofiah 2005). Jumlah rumpun tertinggi kedua setelah B. blumeana adalah S. iraten, dengan jumlah 58 rumpun atau 7 rumpun ha-1. Bambu pada Blok Pemanfataan Terbatas hanya sedikit, yakni 3 rumpun B. blumeana dan 2 rumpun G. atter (pada luasan area 1,2 Ha). Blok Pemanfaatan Intensif terdapat 18 rumpun spesies bambu D. asper dan 23 rumpun untuk spesies bambu G. atter, sedangkan pada Blok Rehabilitasi terdapat 14 rumpun B. blumeana dan 16 rumpun G. atter. Populasi suatu jenis tumbuhan merupakan interaksi jenis tumbuhan tersebut dengan faktor biotik dan abiotiknya. Secara alami, adanya perbedaan jenis dan populasi bambu pada setiap blok di kawasan TWA, Gunung Baung dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik maupun edafiknya.
Karakteristik Habitat Faktor Edafik Berdasarkan peta tanah, seluruh kawasan Gunung Baung dikategorikan pada dua (2) jenis tanah, yakni Latosol Coklat Kemerahan dan Mediteran Kemerahan. Tanah latosol adalah tanah bersolum dalam, mengalami pencucian dan pelapukan lanjut, berbatas horizon baur, kandungan mineral primer dan unsure hara rendah, konsistensi gembur dengan stabilitas agregat kuat dan terjadi penumpukan relative seskuioksida di dalam tanah akibat pencucian silikat. Warna tanah merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan atau kuning tergantung bahan induk. Di Indonesia ditentukan terutama di daerah volkanik baik berasal dari tufa maupun batuan beku. Tanah latosol coklat kemerahan, tanah yang belum begitu lanjut perkembangannya, terbentuk dari tufa vulkan andesitis – basaltis, tingkat kesuburannya rendah – cukup, mudah meresapkan air, tahan terhadap erosi, tekstur halus. Tanah di kawasan ini berasal dari batuan kwarter tua dengan bahan induk berupa batu endapan metamorf. Tingkat pelapukan mineral pada jenis tanah ini umumnya memiliki pelapukan yang lebih lanjut. Hal ini berkaitan dengan proses oksidasi yang lebih intensif terutama pada lereng yang lebih curam. Dan pada tanah latosol memiliki jenis mineral liat haloisit hidrat. Berdasarkan dari hasil penelitian, kemiringan lereng di kawasan Gunung Baung berkisar antara 1% sampai dengan 60%, yang menunjukkan bahwa terdapat variasi kelerengan yang cukup besar. Namun umumnya spesies bambu dominan B. blumeana berada pada kawasan bagian atas perbukitan, atau berada pada kelerengan sekitar 20-50%. Pada tanah-tanah dengan kelerengan yang terjal umumnya proses oksidasi berlangsung lebih intensif, sehingga faktor iklim seperti curah hujan, akan berpengaruh terhadap pelapukan yang lebih lanjut. Jenis tanah latosol memiliki sifat tanah yang baik yaitu tekstur liat berdebu hingga lempung berliat, struktur granular dan remah, kedalaman efektif umumnya > 90 cm dan tahan terhadap erosi, serta sifat kimia tanah pada dasarnya tergolong baik dengan kemasaman tanah (pH) agak netral serta kandungan bahan organik biasanya
29
rendah atau sedang. Adanya perkembangan jenis batuan induk membentuk karakteristik tanah yang ada di atasnya. Faktor edafik yang secara langsung mempengaruhi vegetasi hutan adalah tekstur atau susunan tanah, air tanah, temperatur tanah dan unsur-unsur hara yang terkandung di dalam tanah. Efek dari faktor ini dapat dilihat dari perbedaan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Dua jenis tanah pada kawasan Gunung Baung membentuk karakteristik lingkungan tumbuh yang spesifik bagi pertumbuhan bambu. Hasil penelitian parameter sifat kimia tanah pada setiap blok di TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18 Kondisi kimia tanah pada setiap blok di TWA Gunung Baung Gambar di atas menunjukkan bambu tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dengan kemasaman tanah (pH) berkisar antara 5,6 – 6,5 (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bambu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat pH bersifat agak masam (Hardjowigeno 2003). Secara umum bambu mampu bertahan pada berbagai kondisi lahan dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Hal ini terlihat dari tingkat penyebaran bambu baik secara alami maupun disengaja ditanam yang dapat ditemui di daerah datar, lembah, perbukitan dan dataran tinggi kecuali daerah gurun dan rawa (Pratiwi 2006). Berdasarkan kandungan pH (KCl), maka dapat dikatakan bahwa tanah tempat tumbuhnya bambu di kawasan TWA Gunung Baung memiliki kandungan liat tanah yang didominasi oleh muatan koloid tanah yang bersifat negatif. Hal ini dikarenakan hasil pengurangan (ΔH) nilai pH H2O terhadap pH KCl bernilai positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa muatan koloid tanah didominasi oleh muatan negatif. Adanya kandungan koloid tanah yang bersifat negatif artinya tanah ini memiliki daya jerap yang tinggi terhadap unsur-unsur dalam tanah, terutama kation-kation dalam tanah, sehingga penyerapan unsur hara tanah dapat efektif. Kandungan C-organik pada kawasan TWA Gunung Baung memiliki kisaran bervariasi mulai 0,83 - 1,76% yang termasuk ke dalam kategori rendah, sedangkan nitrogen tanah berkisar antara 0,07 - 0,18 % yang juga termasuk ke dalam kategori rendah. Rendahnya kadar nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen tanah yang terbatas. Diketahui bahwa N di dalam tanah sangat mobil. Peluang terjadinya kehilangan N melalui pencucian pada tanah bertekstur
30
kasar lebih tinggi dibanding pada tanah bertekstur halus. Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang mempunyai kandungan protein yang tinggi, fiksasi atau pengikatan nitrogen bebas oleh mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya nitrogen dalam tanah diduga dapat dikarenakan oleh Nitrogen anorganik dalam bentuk ion terabsorbsi atau terserap oleh tumbuhan bambu atau tumbuhan yang berada di sekitarnya. Nisbah C/N bernilai 9-12. Menurut Tisdale et al. (1993), jika C/N < 20 menunjukkan bahwa pada proses dekomposisi segera terjadi, hal ini dipengaruhi pula oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang dijerap. Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan N, yang ditentukan oleh jumlah kandungan nitrogen tinggi, lignin dan konsentrasi polifenol rendah. Rasio C/N merupakan petunjuk yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang terikat secara kimia dalam bentuk senyawa kompleks dalam tubuh organisme. Diketahui pula bahwa bambu adalah jenis tumbuhan yang memiliki kandungan silikat yang tinggi pada daunnya dibandingkan dengan jenis tumbuhan lain (Lu et al. 2007), sehingga dekomposisi dan mineralisasi bahan organik berjalan sangat lambat. Kapasitas tukar kation (KTK) yang menunjukan kemampuan tanah mengikat dan menukarkan antara unsur kation, sebenarnya tidak secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Kapasitas Tukar Kation-tanah mengontrol ketersediaan beberapa unsur hara dalam bentuk kation diantaranya, adalah K, Ca dan Mg serta mengatur mobilisasi ion hidrogen (pH aktual) dan Aldd (pH potensial). Kandungan KTK tanah di kawasan Gunung Baung bernilai antara 10,90–18,52 cmol kg-1 dengan kriteria termasuk dalam kategori sedang. Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah (Hardjowigeno 2003). Secara keseluruhan, nilai KTK di lokasi sampling termasuk sedang di mana pada top soil memiliki kisaran yang sempit dengan KTK 10,9 – 18,88 cmol/ kg dibanding KTK subsoil (10,99 – 23,62 cmol/kg). Tanah dengan KTK tinggi mampu menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tanah tinggi terhindar dari pencucian unsur hara (leaching), sehingga unsur hara senantiasa berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan. Tanah dengan KTK tanah tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi apabila didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Kandungan Ca, Mg, K dan Na pada kawasan Gunung Baung rata-rata secara berurutan adalah 12,40%, 4,66%, 1,23%, 0,09% yang termasuk ke dalam kategori tinggi menurut kriteria Hardjowigeno (2003). Bahkan untuk Kalium adalah sangat tinggi. Kandungan basa-basa tanah sangat erat hubungannya dengan pH tanah. Umumnya tanah dengan pH yang tinggi memiliki kandungan basa-basa yang tinggi pula, namun di kawasan Gunung Baung ini nampaknya walaupun pH tanah tergolong agak masam mendekati netral, tetapi kandungan basa-basa memiliki nilai yang sangat tinggi. Adanya kandungan pH tanah yang bersifat masam dapat berasal dari dekomposisi serasah bambu yang berjalan lambat, sehingga apabila terkena air, maka akan terjadi pembusukan yang juga berjalan lambat. Tingginya kandungan silikat pada daun bambu menyebabkan serasah terdekomposisi lambat,
31
sehingga perombakan selulosa dari daun serasah bambu juga berjalan lambat. Dengan demikian serasah ini dapat menutupi permukaan tanah dalam waktu yang lama. Kejenuhan basa (KB) tinggi disebabkan kation-kation basa (Ca, Mg, K dan Na) yang mudah tercuci belum banyak mengalami pencucian atau leaching. Kation-kation inilah yang umumnya merupakan unsur-unsur hara yang diperlukan tumbuhan sehingga kejenuhan basa dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan tanah. Hasil analisis kejenuhan basa (KB) menunjukkan nilai yang sangat tinggi (≥ 90%), dan hampir keseluruhan sampel memiliki nilai KB >100%. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian TWA Gunung Baung merupakan tanah yang termasuk subur, ditunjukkan dengan nilai KB yang tinggi. Hasil analisis tanah dari kawasan Gunung Baung menunjukkan bahwa kelas tekstur tanah rata-rata termasuk ke dalam golongan lempung liat berdebu. Kelas tekstur tanah lempung liat berdebu menunjukkan proporsi kandungan partikel tanah yang lebih banyak mengandung debu, namun juga kandungan liat yang sudah cukup banyak, sedangkan kandungan pasir amat sedikit. Pada jenis kelas tekstur seperti ini, koloid-koloid tanah mudah diikat di dalam kompleks jerapan tanah, dikarenakan adanya adhesi dan kohesi diantara kation-kation dalam tanah. Berdasarkan analisis, nilai KB dari seluruh kawasan TWA Gunung Baung adalah bernilai tinggi. Adanya nilai kandungan basa yang tinggi diduga berhubungan dengan sifat tekstur tanah yang merupakan lempung liat berdebu. Adanya kandungan lempung dan liat yang tinggi merupakan suatu keuntungan dalam penjerapan koloid tanah yang terjerap di dalam kompleks jerapan tanah. Sehingga berpengaruh terhadap kation basa-basa yang bernilai tinggi juga kadar kation asam seperti Al dan H yang bernilai rendah. Dengan demikian menunjukkan bahwa tanah di kawasan TWA Gunung Baung memiliki kesuburan tanah yang baik. Rumpun bambu lebih banyak dijumpai pada tanah dengan kandungan debu yang lebih tinggi dibanding area dengan tanah yang memiliki kandungan debu yang lebih sedikit. Adanya kandungan debu yang tinggi juga berpengaruh terhadap gaya kohesi diantara partikel-partikel di dalam tanah. Bambu lebih menyukai pada tanah-tanah yang bersifat sarang, yakni yang dapat meloloskan air dengan cepat. Hal ini disebabkan karena perakaran bambu tumbuh sangat rapat dan menyebar ke segala arah, baik menyamping maupun ke dalam. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap unsur-unsur sifat kimia tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh bambu menunjukkan bahwa dari 15 unsur hara tanah yang diamati, dapat dikelompokkan ke dalam dua komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan nilai eigenvalue >1. Kedua komponen baru dapat menjelaskan sebesar 81,4 % (komponen pertama sebesar 46,8% dan komponen kedua sebesar 34,6%) dari variabel unsur tanah yang seluruhnya telah diamati. Komponen pertama memiliki informasi yang relatif lebih besar dibandingkan komponen kedua, meskipun tidak memiliki selisih yang jauh. Berdasarkan analisis komponen di atas, berikut ini nilai eigenvalue dari masing-masing komponen (Tabel 5).
Komponen satu memberikan informasi yang lebih besar dibandingkan dengan komponen dua. Komponen Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah adalah komponen unsur tanah yang paling berpengaruh pada komponen satu (PC1). Rasio C/N adalah komponen unsur tanah yang paling berpengaruh terhadap komponen dua (PC2).
32
Tabel 5 Eigenvalue unsur-unsdur tanah terhadap tempat tumbuh individu bambu. PC 1 PC 2 (Faktor (Faktor komponen 1) komponen 2) 9.83 7.26 Eigenvalue 0.47 0.35 Proporsi 0.47 0.81 Kumulatif Variabel: pH 0.17 0.23 Rasio C/N -0.12 -0.32 P -0.2 0.29 K -0.27 0.09 Mo -0.27 0.08 Ca 0.11 0.35 Mg 0.04 0.18 K -0.27 0.08 Na 0.27 0.21 KTK -0.28 0.11 H+ -0.26 -0.05 Fe -0.26 -0.19 Al 0.11 0.28 Mn 0.26 0.21 Zn 0.17 0.18 Jumlah rumpun B. blumeana (B1) -0.22 0.27 Jumlah rumpun B. vulgaris (B2) -0.22 0.27 Jumlah rumpun D. asper (B3) -0.22 0.27 Jumlah rumpun S. iraten (B4) -0.22 0.27 Jumlah rumpun G. apus (B5) 0.27 0.15 Jumlah rumpun G. atter (B6) 0.05 -0.17 Hasil perhitungan berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat disusun model indeks habitat bambu terkait dengan peran faktor unsur-unsur tanah sebagai berikut: PC1 = 0,17 pH - 0,12 Rasio C/N – 0,2 fosfor – 0,27 Kalium – 0,27 Molibdenum + 0,11 Kalsium + 0.04 Magnesium – 0,27 Kalium + 0,27 Natrium – 0,28 KTK – 0,26 Mangan + 0,17 Seng – 0,22 jml. Rumpun B. blumeana – 0,22 Jml. Rumpun B. vulgaris – 0,22 D. asper - 0,22 S. iraten + 0,27 G. apus + 0,05 G. atter. PC2 = 0,23 pH – 0,32 Rasio C/N + 0,29 fosfor + 0,09 Kalium + 0,08 Molibdenum + 0,35 Kalsium + 0,21 Natrium + 0,11 KTK – 0,05 hidrogen – 0,19 Seng + 0,28 Alumunium + 0,21 Mangan + 0,18 Seng + 0,27 jml. Rumpun B. blumeana + 0,27 Jml. Rumpun B. vulgaris + 0,27 D. asper + 0,27 S. iraten + 0,15 G. apus – 0,17 G. atter.
33
0
0,4
Ca B2 B4 P B1 B3
Second Component
0,3
Al pH
0,2 KTK K K2O
0,1 0,0
Mn Na B5
MO
0
H+
-0,1
B6
Fe
-0,2 -0,3 -0,4
Zn
Mg
C/N
-0,3
-0,2
-0,1
0,0 First Component
0,1
0,2
0,3
Gambar 19 Hasil komponen utama unsur-unsur tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh bambu di TWA Gunung Baung. Unsur-unsur tanah meliputi kemasaman tanah (pH), Fosfor (P), rasio C/N, Kalium (K2O), KaliumK2O Morgan (MO), Kalsium (Ca), Natrium (Na), Kapasitas Tukar Kation (KTK), Hidrogen (H+), Almunium (Al), Mangan (Mn) dan Seng (Zn). Faktor lingkungan biotik meliputi jumlah rumpun bambu B1 (B. blumeana), B2 (B. vulgaris), B3 (D. asper), B4 (S. iraten), B5 (G. apus), dan B6 (G. atter) Meskipun demikian, berdasarkan Gambar 19, dapat dilihat bahwa unsur fosfor merupakan unsur berpengaruh kuat terhadap habitat bambu, terutama bagi hampir semua spesies bambu, terkecuali G. apus yang sangat dipengaruhi erat oleh unsur natrium dan mangan. Pengaruh unsur fosfor terhadap keberadaan bambu di TWA ini sangat erat dan bersifat positif. Hal ini dapat dilihat dari sudut lancip antara bambu dengan unsur fosfor tersebut. Sudut lancip menunjukkan keeratan hubungan, sedangkan positif adalah pengaruh yang diberikan unsur fosfor tersebut terhadap rumpun bambu. Karakteristik faktor edafik bambu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks karakteristik hara tanah terhadap bambu di TWA Gunung Baung Jenis Bambu Bambusa blumeana Bambusa vulgaris Dendrocalamus asper Gigantochloa apus Gigantochloa atter Schizostachyum iraten
P 2O5 K2O Ca pH C/N (mg/100 (mg/100 (cmol (+)/kg) g) g) √ √ √ √ √ √ √ √
√
Mg (cmol (+)/kg)
K (cmol (+)/kg)
Na (cmol (+)/kg)
√ √ √
KTK Fe Al dd Mn H+ (cmol Zn (mg (cmol (mg (cmol (mg kg-1) kg-1) (+)/kg) kg-1) kg-1) kg-1) √ √ √
√ √
√ √
√
34
Unsur mangan di dalam tanah terlarut pada pH-tanah yang rendah. Semakin meningkatnya pH tanah, maka kelarutan mangan di dalam tanah semakin menurun (Srivastava dan Gupta 1996). Kemasaman tanah di TWA Gunung Baung yang bersifat agak masam, dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kelarutan mangan di dalam tanah. Spesies G. apus (bambu Apus) sangat dipengaruhi kuat oleh keberadaan unsur natrium dan mangan. Hal ini dapat menjadi penduga bagi rebung bambu Apus yang kurang disukai rasanya karena memiliki rasa pahit, terutama dihasilkan dari garam natrium dan akumulasi Mn. Garam yang berasal dari natrium klorida dapat memberikan rasa yang tidak enak dan agak pahit (Srivastava dan Gupta 1996). Oleh karenanya rebung bambu Apus tidak pernah disukai sebagai bahan makanan/sayuran. Keberadaan B. blumeana juga dipengaruhi oleh unsur-unsur kimia tanah lainnya, namun kecil pengaruhnya. Unsur fosfor dapat berpengaruh terhadap keberadaan bambu, dapat dikarenakan karena fosfor berperan penting dalam kegiatan pertumbuhan, terutama pada bagian yang berklorofil (Tabel 6). Pada jenis tanaman Poaceae unsur fosfor diperlukan dalam pemanjangan ruas, pengembangan diameter batang. Selain itu dapat memperkuat batang agar tidak mudah rebah. Spesies D. asper merupakan jenis bambu dengan buluh berukuran besar. Oleh karenanya, spesies ini akan sangat membutuhkan fosfor dalam jumlah besar untuk pertumbuhannya. Pada keterangan Gambar 19 menunjukkan bahwa G. atter tidak memiliki variasi data yang beragam (ditunjukkan dengan garis pada sumbu yang pendek), sehingga belum cukup banyak memberikan informasi mengenai unsur kimia tanah yang paling berpengaruh terhadap keberadaan bambu tersebut. Faktor Iklim Intensitas sinaran surya mikro Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan bambu pada keempat wilayah sample di TWA Gunung Baung menunjukkan hasil yang bervariasi. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan Gunung Baung dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan bambu di TWA Gunung Baung, Pasuruan Intensitas Sinaran Lokasi Pengamatan Surya (Lux) Blok Perlindungan 1.231,16 Blok Rehabilitasi 6.597,67 Blok Pemanfaatan Terbatas 1.180,73 Blok Pemanfaatan Intensif 3.774,93 Dari keempat lokasi sampel yang paling tinggi menerima intensitas cahaya adalah pada kawasan Blok Rehabilitasi dan Blok Pemanfaatan Intensif, sedangkan Blok Perlindungan kawasan konservasi bambu dengan Blok Pemanfaatan Terbatas hanya sedikit, yaitu masing-masing bernilai 6,62% dan 6,90% dari area terbuka. Rendahnya intensitas cahaya yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan bambu dikarenakan adanya hambatan dari rumpun bambu yang memiliki jarak antar rumpun yang cukup rapat, sehingga hampir tidak terlalu banyak
35
intensitas cahaya yang masuk ke dalamnya. Pada Blok Rehabilitasi relatif lebih banyak menerima intensitas cahaya. Hal ini dikarenakan pada kawasan tersebut masih belum banyak ditanami tumbuhan. Demikian halnya walaupun ditanami tumbuhan, akan tetapi jarak tanaman satu dengan yang lainnya tidak terlalu rapat. Temparatur udara Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah tegakan bambu TWA Gunung Bambu selama periode waktu pengamatan antara bulan Januari sampai Maret 2012 berkisar antara 24,7 – 32,9 °C, sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun Klimatologi yang terdapat di dekat lokasi TWA Gunung Baung menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di lahan terbuka berkisar antara 21,13 - 31,25 °C. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan bambu relatif lebih sempit dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka. Walaupun umumnya kisaran suhu yang teramati di bawah tegakan bambu adalah antara 26-28 °C. Adanya fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan bambu merupakan implikasi dari penetrasi intensitas sinaran surya yang masuk ke dalam tegakan bambu tersebut. Intensitas sinaran yang dapat diterima oleh tegakan bambu di TWA Gunung Baung relatif sedikit, dikarenakan adanya tajuk bambu yang rapat. Implikasi dari rendahnya sinaran surya yang masuk ini menyebabkan temperatur udara di sekitar tajuk atau rumpun bambu lebih rendah daripada di ruang terbuka. Curah hujan Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari stasium Klimatologi Karangploso, Malang, Jawa Timur menunjukkan bahwa tumbuhan bambu banyak ditemukan pada kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 386 mm pada bulan Januari sampai 492 mm pada bulan Pebruari 2012. Dengan kata lain bahwa curah hujan tahunan berkisar antara 4632-5904 mm/ tahun. Jumlah curah hujan ini baik menurut pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bambu. Berlian dan Rahayu (1995) mengemukakan bahwa tumbuhan bambu tumbuh baik pada kondisi curah hujan minimum 1020 mm tahun-1. Kelembapan udara Kelembapan udara di kawasan TWA Gunung Baung menunjukkan bahwa kandungan uap air yang terdapat di bawah naungan bambu berkisar antara 74%94%. Hal ini berarti kandungan uap air di bawah naungan bambu cukup besar. Apabila dibandingkan dengan kondisi kelembapan udara lokal, tampak bahwa perubahan kondisi kelembaban mikro relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan perubahan kondisi kelembaban lokal. Pada bulan Januari rata-rata kelembapan udara relatif lokal sebesar 82,09%, kemudian cenderung meningkat sampai mencapai 85,02% pada bulan Pebruari. Perubahan kondisi kelembaban seiring dengan sejalan dengan peningkatan curah hujan pada bulan Januari-Pebruari. Di bawah naungan rumpun bambu, tingkat kelembapan udara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif lokal, hal ini dimungkinkan karena pergerakan uap air di bawah naungan bambu berjalan lambat karena adanya hambatan tajuk dari rumpun bambu, sedangkan kelembapan udara relatif lokal berasal dari stasium klimatologi yang dipasang pada ruang terbuka, tanpa adanya hambatan pohon, bangunan atau bentuk hambatan lainnya. Kelembapan
36
udara lokal (mikro) juga berhubungan dengan faktor iklim pada saat penelitian yang dilakukan pada saat musim penghujan. Seperti diketahui bahwa bambu termasuk tanaman berumpun yang memiliki tutupan tajuk yang rapat. Sehingga jika terjadi hujan, maka air yang tertahan pada tajuk akan menetap lebih lama. Demikian halnya dengan pergerakan uap air pun akan berjalan lebih lambat, sehingga kelembaban air di bawah naungan bambu akan bernilai tinggi. Sebagai informasi, spesies bambu Gigantochloa atroviolaceae atau bambu hitam dapat mengintersepsi air hujan sekitar 84,63% (Sofiah 2011). Selain itu Sikumbang (2010) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90%. Tajuk tumbuhan yang berlapis-lapis dengan batang yang mengisi dimensi ruangan akan menjadi faktor yang unggul dalam menentukan iklim mikro/lokal pada tanaman bambu. Diketahui juga bahwa luasan helaian daun juga berpengaruh bagi besarnya intersepsi air hujan melalui penahanan cucuran air hujan. Bambu memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam menutupi tanah yang kiranya sulit ditemukan jenis tumbuhan atau pohon lain yang dapat menyainginya. Erizal (1997) mengemukakan bahwa naungan tajuk bambu akan melindungi tanah dari terpaan air hujan secara langsung. Faktor topografis Lokasi penelitian dilakukan pada kisaran ketinggian 254-512 m dpl. Dalam kisaran tersebut bambu ditemui pada kisaran ketinggian tersebut, spesies bambu B. blumeana yang paling banyak ditemukan. Seperti yang telah diketahui bahwa bambu termasuk jenis tumbuhan yang adaptif pada berbagai habitat, terkecuali rawa. Namun demikian, dari hasil penelitian di Gunung Baung adalah adanya kecenderungan pengelompokan spesies bambu pada ketinggian yang bervariasi. Spesies bambu dominan B. blumeana. ditemukan pada daerah berbukit. Sedangkan spesies bambu lain yang dominan kedua adalah S. iraten banyak tumbuh pada daerah yang rendah, terutama di tepi pinggiran sungai (riparian). Demikian halnya dengan D. asper yang lebih banyak tumbuh di kawasan yang relatif datar. Spesies bambu dominan B. blumeana. terdapat banyak pada kawasan yang lebih tinggi dan berbukit. Kondisi ini diduga karena adanya faktor edafis di mana di kawasan yang lebih tinggi tidak terjadi pencucian hara tanah, sehingga lapisan top soil lebih tebal di kawasan atas. Tebalnya lapisan atas tanah yaitu horizon O dan Aa yang merupakan tempat terakumulasinya hara. Tebalnya lapisan atas ini diduga menambah jumlah kandungan hara yang terakumulasi. Berdasarkan hal tersebut, ketebalan lapisan atas tanah dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan tanaman diawal masa pertumbuhan. Selain itu pada kondisi kawasan yang lebih tinggi intensitas cahaya lebih banyak diterima oleh bambu, sehingga memungkinkan untuk membentuk suatu komunitas bambu yang lebih luas. Pertumbuhan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim terutama faktor cahaya, suhu, curah hujan dan kelembaban (Sutiyono 1999). Interaksi dengan komponen abiotis Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis/ PCA) faktor abiotis menyederhanakan enam faktor fisik menjadi dua komponen utama dengan nilai eigenvalue >1. Kedua faktor komponen utama tersebut dapat
37
menjelaskan 37,5% (dengan penjumlahan faktor komponen 1 sebesar 26,1% dan 11,4% faktor komponen 2). Nilai eigenvalue dari komponen-komponen abiotis disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Eigenvalues matriks korelasi faktor abiotis PC 1 (Faktor komponen 1) 3.16 Eigenvalue 0.26 Proporsi 0.26 Komulatif Variabel: Intensitas sinaran 0.29 Suhu udara 0.43 Kelembapan udara -0.30 Kelerengan -0.35 pH tanah 0.06 Ketinggian tempat -0.39 B. blumeana -0.37 B. vulgaris -0.03 D. asper 0.21 G. apus 0.31 G. atter 0.16 Shizostachyum iraten 0.22
PC 2 (Faktor komponen 2) 1.36 0.15 0.38 -0.40 0.16 -0.40 0.02 0.14 -0.14 0.20 -0.20 -0.03 -0.37 -0.44 0.47
Komponen satu memberikan informasi yang lebih besar dibandingkan dengan komponen dua. Komponen suhu udara adalah komponen unsur tanah yang paling berpengaruh pada komponen satu (PC1). Intensitas sinaran adalah komponen unsur tanah yang paling berpengaruh terhadap komponen dua (PC2). Hasil perhitungan berdasarkan Tabel 8 di atas, dapat disusun model indeks habitat bambu terkait dengan peran faktor unsur-unsur tanah sebagai berikut: PC1 = 0,29 intensitas sinaran + 0,43 suhu udara – 0,30 kelembapan udara – 0,35 kelerengan + 0,06 pH tanah – 0,39 ketinggiaan tempat – 0,37 B. blumeana – 0,03 B. vulgaris + 0,21 D. asper + 0,21 G. apus + 0,16 G. atter + 0,22 S. iraten. PC2 = -0,40 intensitas sinaran + 0,16 suhu udara – 0,40 kelembapan udara + 0,02 kelerengan + 0,14 pH tanah – 0,14 ketinggian tempat + 0,20 B. blumeana – 0,20 B. vulgaris – 0,03 D. asper – 0,37 G. apus – 0,44 G. atter + 0,47 S. iraten. Berikut ini hasil biplot antara komponen lingkungan fisik dengan jumlah rumpun bambu yang ditemui pada setiap petak (Gambar 20). Meskipun hasil PC1 dan PC2 menunjukkan bahwa faktor suhu udara dan intensitas sinaran merupakan faktor yang memberikan kontribusi paling utama terhadap pertumbuhan bambu, namun beberapa spesies bambu cukup dipengaruhi oleh variabel faktor abiotis yang berlainan (Gambar 20).
38
0
Second Component
0.50
Schizostachyum iraten
0.25 Suhu udara
pH tanah
Bambusa blumeana Kelerengan
0.00
0 Dendrocalamus asper
Ketinggian tempat Bambusa vulgaris
-0.25
Gigantochloa apus Kelembapan udara Gigantochloa atter
-0.50
Gambar 20
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0 0.1 First Component
0.2
Intensitas sinaran
0.3
0.4
0.5
Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan fisik tempat tumbuh bambu dengan jumlah rumpun spesies bambu.
B. blumeana cukup kuat dipengaruhi oleh kelerengan. S. iraten sangat dipengaruhi oleh pH tanah. G. apus sangat kuat dipengaruhi oleh intensitas sinaran dan D. asper lebih dipengaruhi oleh suhu udara. Karakteristik abiotis terhadap bambu di TWA Gunung Baung disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Matriks karakteristik abiotis terhadap bambu di TWA Gunung Baung Jenis Bambu Bambusa blumeana Bambusa vulgaris Dendrocalamus asper Schizostachyum iraten Gigantochloa atter Gigantochloa apus
Kelerengan pH-tanah
Suhu Udara
√
Intensitas Kelembapan Ketinggian sinaran udara tempat √ √
√ √ √ √
Karakter kondisi lingkungan fisik tempat tumbuh tiap-tiap bambu di TWA Gunung Baung dapat didekati dengan mendeskripsikan ciri-ciri terukur dari kondisi lingkungan fisiknya. Karakter kondisi lingkungan fisik meliputi intensitas cahaya, suhu mikro, kelembaban udaara mikro, kelerengan dan kemasaman tanah. Kondisi faktor lingkungan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 10.
39
Intensitas cahaya (lux) Suhu ( °C) Kelembapan udara (%) Kelerengan pH-tanah
S. iraten
G. atter
G. apus
D. asper
kondisi
B. vulgaris
Parameter lingkungan
B. blumeana
Tabel 10 Kondisi lingkungan parameter perjumpaan tiap spesies bambu (ratarata).
1233.71 1024.5 3911.38 1796.71 6113.33 2412.4 27.83 27.05 29.81 27.8 28.67 29.25 88.00 94.00 83.00 91.00 87.00 85.00 27°57% 22°52% 12°24% 6°7% 5°9% 13°23% 4.71 4.6 4.79 4.36 4.4 4.92
Secara umum nilai rata-rata parameter kondisi lingkungan fisik pada perjumpaan bambu, memiliki nilai yang relatif sama. Namun demikian, terdapat beberapa nilai parameter yang berbeda diantaranya adalah intensitas cahaya pada habitat bambu spesies G. atter yang memiliki nilai > 6000 Lux dan D. asper yang memiliki nilai intensitas cahaya > 3000 Lux, dibandingkan dengan habitat bambu lain yang memiliki nilai berkisar antara 1000-2000 Lux. Hal ini menunjukkan bahwa kedua spesies bambu tersebut berada pada daerah yang banyak menerima cahaya, terutama bambu ater. Berdasarkan kriteria kelerengan tempat (Hardjowigeno 2003), terdapat tiga kategori tempat tumbuh bambu. Spesies B. blumeana dan B. vulgaris memiliki kriteria tempat tumbuh yang berada pada kelerengan miring/ berbukit, karena range kelerengan berada pada 15-30%. Kondisi tempat tumbuh D. asper dan S. iraten berada pada kelerengan agak miring/ bergelombang, dengan berada pada kisaran 8-15%. Spesies bambu Gigantochloa, yakni G. apus dan G. atter berada pada tempat tumbuh dengan kisaran kelerengan 3-8% yang termasuk ke dalam kriteria landai/ berombak. Pengelompokkan habitat kesesuaian bambu dapat dilihat melalui analisis kluster. Hasil analisis kluster habitat bambu di kawasan TWA ditunjukkan oleh Gambar 21. Berdasarkan hasil analisi kluster menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok besar yang memiliki kondisi tempat tumbuh yang mirip. Kelompok pertama adalah B. blumeana - B. vulgaris dan kelompok kedua adalah D. asper G. atter – G. apus – S. iraten. Secara umum, kondisi tempat tumbuh marga Bambusa memiliki kemiripan, yakni berada pada lingkungan tumbuh dengan intensitas sinaran cahaya berkisar antara 1000-1200 lux, suhu udara mikro berkisar pada rata-rata 27 °C, dan kelembapan udara berkisar antara 85-84 %. Di lokasi pengamatan memang ditemukan rumpun kedua spesies bambu ini tumbuh berdekatan, sehingga dapat diduga bahwa spesies bambu ini memiliki kondisi habitat yang mirip. Begitu pula dengan keempat spesies bambu yang membentuk kluster yang sama, yakni D. asper-G. apus-G. atter-S. iraten. Secara umum keempat spesies bambu ini berada pada kisaran suhu 27-29 °C dan kelembapan udara antara 85-91%.
40
Similarity
99,98
99,99
99,99
100,00
Gambar 21
B1
B2
B3
Variables
B5
B4
B6
Hasil analisis kluster bambu berdasarkan lingkungan fisiknya di TWA Gunung Baung. B1 adalah B. blumeana, B2 B. vulgaris, B3 D. asper, B4 G. apus, B5 G. atter, B6 S. iraten
Variabel lingkungan fisik yang memiliki perbedaan range agak jauh dibandingkan kluster yang lain adalah faktor kelerengan dan intensitas sinaran. Diduga faktor lingkungan fisik inilah yang menjadikan terbentuknya dua kluster lingkungan tumbuh bambu di TWA Gunung Baung, meskipun dua kluster ini tidak berbeda signifikan pada nilai similarity-nya. Hasil analisis CCA (Canonical Correspondence Analysis) yang dilakukan terhadap spesies bambu dan variabel-variabel lingkungannnya menunjukkan hasil seperti ditampilkan dalam Gambar 22. Sebaran spesies bambu terhadap faktorfaktor lingkungan tempat tumbuhnya cukup merata. Hal ini dapat dilihat dari nilai eigenvalue canonical-nya yang bernilai 0,64. Sebaran dan kemeratan yang dimaksudkan disini berkaitan dengan kondisi faktor lingkungannya, dan bukan bersifat spasial. Nilai eigenvalue berkisar antara 0-1. Nilai tersebut mengambarkan tingkat persebaran spesies maupun petak pengamatan terhadap variabel lingkungan yang digambarkan dalam diagram ordinasi. Semakin mendekati 1, maka persebaran spesies merata. Kent dan Coker (1992) dan Jongman et al. (1987) dalam Kurniwan dan Parikesit (2008), mengemukakan bahwa persebaran spesies dikatakan merata terhadap gradien variabel lingkungannya apabila memiliki eigenvalue > 0,5. Kondisi ini dapat diartikan bahwa secara bersamaan faktor-faktor lingkungan tempat tumbuh bambu memiliki peranan yang sama terhadap pertumbuhan bambu di TWA Gunung Baung.
41
Gambar 22 Distribusi 6 spesies bambu terhadap variabel lingkungan fisik dan biotik di TWA Gunung Baung. Canonical Correspondence Analisys (CCA) diagram ordinasi spesies bambu (Δ), variabel lingkungan (anak panah). Spesies bambu: B.blume = B. blumeana, B.vulga = B. vulgaris, S. irate = S. iraten, D.asper = D. asper, G. atter = G. atter, G. apus = G. apus. Variabel lingkungan fisik: Ketingg = ketinggian (m dpl), Intensit = Intensitas sinaran (Lux), Suhu uda= suhu udara (°C), pH tanah = kemasaman tanah, kelembap = Kelembapan udara (%), kelereng = Kelerengan. Meskipun nilai eigenvalue mendekati angka 1, di manafaktor-faktor lingkungan fisik memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap pertumbuhan bambu, namun berdasarkan Gambar 22 di atas dapat dilihat adanya beberapa variasi pengaruh faktor-faktor lingkungan fisik tertentu terhadap spesies bambu tertentu. B. blumeana lebih banyak dipengaruhi oleh ketinggian dan kelerengan, sedangkan B. vulgaris lebih banyak dipengaruhi oleh kelembapan udara. G. atter lebih banyak dipengaruhi oleh suhu udara, sedangkan spesies bambu lainnya yakni D. asper, S. iraten dan G. apus relatif tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan manapun.
Bioprospeksi Bambu Index Cultural Significance (ICS) bambu di TWA Gunung Baung ditunjukkan oleh Tabel 11. Spesies bambu yang memiliki INP dan ICS tertinggi adalah bambu Gesing (B. blumeana), dengan nilai INP sebesar 127,97 dan nilai ICS sebesar 136. Ini menunjukkan bahwa bambu gesing selain memiliki tingkat dominansi jenis terhadap jenis tumbuhan lain pada tegakan di kawasan TWA Gunung Baung, juga merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai kegunaan, intensitas kegunaan dan nilai ekslusivitas yang sangat tinggi, sehingga jenis tanaman di kawasan ini perlu dipertahankan, dikelola dengan baik, dan
42
dikonservasi dengan baik. Nilai ekslusivitas yang tinggi juga merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sangat dominan menyukai tanaman ini dibanding jenis tanaman lain dalam pemanfaatannya. Tabel 11 ICS bambu di TWA Gunung Baung No. 1 2 3 4
Spesies bambu B. blumeana D. asper B. vulgaris S. iraten
Nama lokal Bambu Gesing Bambu Petung Bambu Ori Bambu Wuluh
Nilai ICS 136 68 40 16
Konservasi tumbuhan berdasarkan aspek pemanfaatan yang ditunjukkan melalui nilai ICS adalah jenis tumbuhan yang memiliki nilai INP rendah, tetapi nilai ICS-nya tinggi. Artinya, keberadaannya di alam tidak terlalu banyak, namun pemanfaatannya oleh masyarakat sangat besar, sehingga jika tidak dilakukan upaya konservasi, maka tumbuhan tersebut dapat hilang di habitatnya. Berdasarkan keterengan tersebut mengandung arti bahwa jenis tumbuhan yang memiliki nilai hasil perbandingan ICS terhadap INP yang semakin besar, maka tumbuhan tersebut membutuhkan upaya konservasi yang semakin tinggi. Data perbandingan ICS terhadap INP bambu pada masing-masing blok, dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil perbandingan ICS terhadap INP bambu di kawasan TWA Gunung Baung BLOK
B. blumeana INP ICS Blok Perlindungan 127.97 Blok Rehabilitasi 49.18 152 Blok Pemanfaatan Terbatas 6.41 Blok Pemanfaatan Intensif 2.26
JENIS BAMBU B. vulgaris S. iraten G. atter G. apus D. asper INP ICS INP ICS INP ICS INP ICS INP ICS 0.87 11.47 0 0 2.69 0 0 0 0 40 29.85 16 0 0 68 0 0 4.75 31.50 0 0 0 2.26 28.10 24.73
Tabel 12 menunjukkan bahwa jenis tumbuhan yang memerlukan upaya konservasi adalah B. blumeana pada Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Intensif. Demikian halnya dengan D. asper yang memiliki nilai INP yang kecil namun ICS yang cukup besar. Seperti diketahui bahwa B. blumeana adalah spesies bambu yang memiliki INP yang besar, namun pada lokasi Blok Perlindungan, sehingga dapat disimpulkan bahwa bambu Gesing pada Blok Perlindungan belum memerlukan upaya konservasi. Lain halnya dengan area Blok Pemanfaatan Terbatas dan Intensif, di mana upaya konservasi bambu ini perlu dilakukan, mengingat keberadaannnya di blok tersebut sangat sedikit, namun pemanfaatannya cukup besar. Hasil data-data jenis tanaman TWA Gunung Baung yang sangat berpotensi sagi kehidupan masyarakat, serta berdasarkan kenyataan bahwa cukup besarnya ketergantungan masyarakat terhadap kawasan ini, maka kepentingan masyarakat perlu banyak diperhatikan dan diperhitungkan dalam suatu model pengelolaan yang lebih baik. Bentuk pengelolaan untuk masyarakat sekitar TWA Gunung Baung sudah ada sebelumnya, yakni melalui pembagian empat blok yang digunakan sesuai dengan peruntukannya, namun demikian, perlu ada pengelolaan
43
yang lebih intensif, sehingga masyarakat akan lebih menyadari perlunya menjaga dan memelihara kawasan TWA Gunung Baung secara bersama-sama, agar kawasan ini dapat terjaga dan tetap lestari. Sebagian masyarakat telah menerapkan sistem tanam-kembali bagi jenisjenis tanaman yang telah dimanfaatkan oleh mereka. Diharapkan upaya konservasi dapat dilakukan pada jenis-jenis tanaman lainnya. Kerjasama antara masyarakat dan pengelola kawasan diharapkan dapat menciptakan sinergi yang relatif lebih baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta evaluasi. Pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat, dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan kawasan (Safford dan Maltby 1998). Sistem pengelolaan antara pihak TWA Gunung Baung-masyarakat tidak hanya berbasis pada pemanfaatan jenis tanaman bernilai ekonomi dan penanaman kembali, namun diperlukan suatu perencanaan dan evaluasi yang lebih kuat. Diharapkan dengan adanya penguatan ini akan meningkatkan motivasi masyarakat yang lebih tinggi, melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya lokal secara penuh, sehingga memperkuat kelembagaan lokal. Pada akhirnya inisiatif lokal dan kemandirian dalam pengelolaan kawasan akan terbentuk.
SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat tujuh spesies bambu di TWA Gunung Baung, diantaranya adalah B. blumeana, B. vulgaris, D. asper, G. apus, G. atter, S. iraten, dan D. matmat. Spesies yang mendominasi kawasan adalah B. blumeana dengan Indeks Nilai Penting 127,97%. Umumnya bambu yang ditemui berada pada struktur populasi muda. Faktor edafik yang berpengaruh terhadap lingkungan tumbuh spesies Bambusa blumenana, B. vulgaris, D. asper dan S. iraten adalah unsur fosfor, sedangkan bagi spesies G. apus dan G. atter adalah unsur hara mangan dan natrium. Adanya faktor inilah yang menjadikan rasa rebung dari G. apus (Bambu Apus) tidak disukai oleh masyarakat, dikarenakan mengandung rasa pahit dari natrium. Bambu umumnnya menyukai tempat-tempat yang subur, terbuka, dan kelerengan datar hingga berbukit. Oleh karenanya, terdapat dua kluster lingkungan tempat tumbuh bambu berdasarkan kemiripannya, di antaranya B. blumeana – B.vulgaris dan D. asper - G. atter – G. apus – S. iraten. Adanya informasi mengenai kluster ini dapat menjadi salah satu acuan dalam upaya konservasi di habitat yang sesuai dengan habitat aslinya. Bambu di TWA Gunung Baung memiliki struktur populasi pada fase muda, sehingga diperlukan upaya menjaga kelestariannya, agar bambu di kawasan ini dapat tumbuh dan berkelanjutan. Bambu yang memiliki struktur populasi ideal adalah B. blumeana. Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) jenis tanaman TWA Gunung Baung yang tertinggi ditunjukkan oleh Bambu Gesing (B. blumeana) dengan nilai
44
sebesar 136. Walaupun bambu Gesing ini memiliki nilai INP yang paling tinggi, perlu tetap diadakannya upaya konservasi. Sehingga regeneration rate tetap tinggi dibandingkan pemanfaatannya. Hasil penelitian memberi informasi bahwa spesies bambu di TWA Gunung Baung yang juga memerlukan upaya konservasi adalah D. asper, dikarenakan memiliki nilai INP rendah, sedangkan ICS-nya tinggi. Apabila tidak dilakukan upaya ini, spesies bambu D. asper dapat berkurang populasinya di TWA Gunung Baung.
Saran Perlu adanya pengelolaan yang lebih intensif pada kawasan TWA Gunung Baung, sehingga masyarakat akan lebih menyadari perlunya penjagaan dan pemeliharaan kawasan secara bersama-sama, agar kawasan ini dapat terjaga dan tetap lestari. Pengenalan spesies bambu di masyarakat adalah penting dilakukan, agar masyarakat lebih memahami pentingnya nilai-nilai ilmiah keanekaragaman spesies bambu, sehingga semakin arif dalam pemanfaatannya. Selain itu upaya pelestarian spesies dan habitat aslinya diperlukan, agar populasi bambu dapat terjaga. Informasi ini diperlukan untuk assessment dokumentasi data pada IUCNRed List.
DAFTAR PUSTAKA Barbour GM, Burk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York (US): Benyamin/Cumming Publishing. Inc. [Baung Camp]. 2008. Taman Wisata Gunung Baung. http://www.baungcamp.com/?about=Geografis. Diakses tanggal 18 April 2013. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 1998. Laporan Penilaian Potensi Taman Wisata Gunung Baung. Surabaya (ID): Balai Konservasi Sumber Daya Alam IV. Departemen Kehutanan. Berlian N, Rahayu E. 1995. Bambu, Budidaya dan Prospek Bisnis. Berlin NVA, Estu R. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Bitariho R. 2008. Population structure of montane bamboo and causes of its decline in Echuya Central Forest Reserve, South West Uganda (UG). African J of Ecol. 46:325-332. Cunningham AB. 2003. People, Wild Plants Use and Conservation. Applied Ethnobotany. Earthscan Publications Ltd. London and Sterling. Dahlan Z. 1994. Penelitian Biologi, Budidaya dan Pemanfaatan Bambu di Universitas Sriwijaya. Di dalam: Sarasehan Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Bogor (ID). hlm 37-43. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1998. Laporan Penilaian Potensi Taman Wisata Gunung Baung. Surabaya (ID). DEPHUT. Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Plant Resources of South-East Asia. Bamboos. Ed ke-7. Bogor (ID): Prosea Foundation. Dransfield S, Widjaja EA. 2000. D. matmat, a new bamboo species (PoaceaeBambusoideae) from Java, Indonesia. Kew Bulletin 55;495-497.
45
Erizal. 1997. Karakteristik Pertumbuhan Keanekaragaman Spesies bambu Di Arboretum Bambu IPB Darmaga. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Hakim L, Nakagoshi N, Isaghi Y. 2002. Conservation Ecology of Gigantochloa manggong: an Endemic Bamboo at Java, Indonesia. J of Int Dev Coop 9: 1–16. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta (ID): Badan Litbang Departemen Kehutanan. Holtum RE. 1985. Bamboo of The Malay Peninsula. Sing Bul Bot Gard 1-135. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Kodir A. 2009. Keanekaragaman dan Bioprospek Jenis Tanaman Dalam Sistem Kebun Talun Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Kurniawan A, Unduharta NKE, Pendit IMR. 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung Sulawesi Utara. Biodiversitas 9(3):199-203. Kurniawan A, Parikesit. 2008. Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas 9(4):275-279 Krebs CK. 1989. Ecological Methodology. Ed ke-2. New York: Harper & Row. Lu SY, Liu CP, Hwang LS, Wang CH. 2007. Hydrologycal characteristics of a Makino Bamboo Woodland in Central Taiwan. Taiwan J For Sci 22 (1): 81-93. Mudiana D. 2012. Keragaman, Struktur Populasi dan Pola Sebaran Syzygium di Gunung Baung, Jawa Timur. [tesis]. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Mueller-Dombois D, Ellenberg HH. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (US): John Wiley and Sons. Nath AJ, Das AK. 2011. Population status and regeneration of a tropical clumping bamboo Schizostachyum dullooa under two management regimes. J of Forest Res 22(1): 43-46 Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Penerjemah; Samingan Tj, editor. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Pr. Terjemahan dari: Foundamentals of Ecology. Third Edition. Pa’I, Yulistiarini T. 2006. Populasi Parameria laevigata (Juss.) Moldenke di sebagian wilayah timur Gunung Baung, Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya. Halaman: 259-264. Posey DD. 1997. Wider Use and Application of Indigenous Knowledge, Innovations and Practises: Information system and Ethical Concerns. Proseeding of the 1996 International Workshop on Biodiversity Information. United Kingdom (UK): CAB International. Pratiwi ERT. 2006. Hubungan Antara Penyebaran Alami Bambu Betung (D. asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. [Skripsi]. Bogor. Program Studi Budidaya Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Reid WV, Laird SA, Meyer CA, Gamez R, Steinfield A, Janzen DH, Gollin MA, Jum C. 1993. Biodiversity propecting: using genetic resources for sustainable development. World resources Insitute, Washington DC (US). Safford L, Maltby E. 1998. Guidelines for Integrated Planning and management of Tropical Lowland Peatland. With Special Reference to South Asia. IUCN. Gland Switzerland-Cambridge. United Kingdom (UK).
46
Samingan T. 1978. Dasar-Dasar Ekologi Umum Bagian II. Sekolah Pascasarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Bogor (ID). Sikumbang H. 2010. Bambu Untuk Menghadapi Pemanasan Global. Di dalam: http://ksupointer.com/2010/bambu-untuk-menghadapi-pemanasan-global. Diakses tanggal 12 Juni 2010. Sindusuwarno. 1963. Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). Sofiah S. 2005. Pengaruh Formula Si dan SP-36 terhadap Si dan P-Tersedia, Konsentrasi Si dan P Daun, serta Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) pada Typic Dystrudepts. [Skripsi]. Bandung: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Sofiah S, Fiqa AP. 2011. Karakterisasi (Tipe Kanopi dan Perakaran) Tumbuhan Lokal untuk Konservasi Tanah dan Air, Studi Kasus pada Kluwih (Artocarpus altilis Park. ex Zoll.) Forsberg) dan Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja). J Berkala Penelitian Hayati. Special Topics in Zool Environ Microb. Ed. Khusus. 5F:17-20 Soerianegara I, Irawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (ID). Srivastava PC, Gupta UC. 1996. Trace elements in crop production. India. Science Publisher, Inc. Sulthoni A. 1992. Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia dalam Strategi Penelitian Bambu Indonesia. Bogor: Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Sutiyono. 1999. The Effect of Planting Space on The Growth of Bambusa vulgaris var. vitata Schard (Bambu Ampel) at 2,5 Years Old. Bamboo J, Japan Bamboo Society. 16:33-40. Sutiyono. 2007. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Bambu Tutul (Bambusa maculata Widjaja) Umur 3 Tahun. Info Hutan Vol. IV No. 5:477486. Ter Braak CJF. 1986. Canonical Correspondence Analysis. A New Eigenvector Technique for Multivariate Direct Gradien Analysis. Ecology 67:5 (1167-1179). Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD, Havlin Jl. 1993. Soil fertility and Fertilizers, sd.4. Coller MacMillan Int. Inc., New York (US). Widjaja EA. 1987. A Revision of Malesian Gigantochloa (Poaceae Bambusoideae). Reinwarditia. 10: 291-380.7. Widjaja EA. 1995. Document on Bamboo Genetic Resources in Indonesia. Report of FAO project No. 94729. Bogor (ID). Herbarium Bogoriense. Widjaja EA. 1997. Jenis-spesies bambu endemik dan konservasinya di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biology XV. PBI & Universitas Lampung, Lampung. Widjaja EA. 1998. Bamboo genetic resources in Indonesia. Di dalam: Vivekanandan K, Rao AN, Rao IVR. 1998. Bamboo and Rattan Genetic Resources in Certain Asian Countries, International Network for Bamboo and Rattan (INBAR). New Delhi (IN). Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-spesies bambu di Jawa. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Widyatmoko D. 2001. Autecolology and Conservation Management of A Rare Palm Species: The Case Study of Lispstick Palm Cyrtoctachys renda Blume in
47
Kerumutan Wildlife Sanctuary, Riau [disertasi]. Bogor. Postgraduate Programme, Bogor Agricultural Institute. Wirakusumah S. 2003. Dasar-dasar Ekologi bagi Populasi dan Komunitas. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
48
LAMPIRAN Lampiran 1 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Tumbuh Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Perlindungan TWA Gunung Baung No
Nama tumbuhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
B. blumeana Ficus racemosa Ficus virens S. iraten Ficus retusa Sphatodea campanulata Streblus aspe Terminalia microcarpa Dysoxylum gaudichaudianum Ficus variegata Microcos tomentosa Litsea glutinosa Ficus hispida Schoutenia ovata Protium javanicum Erythrina orientalis Artocarpus elasticus Syzygium pycnanthum Antiaris toxicaria Dracontomelon dao D. asper Alectryon serratus Pterocymbium javanicum Albizia lebbekoides Emblica officinalis Mangifera sp Kleinhovia hospita Ficus callosa Buchanania arborescens Celtis philippensis Melanolephis multiglandulosa Vitex trifolia Scheichera oleosa Syzygium racemosum Flacourtia rukam Wrightia tomentosa Elaeocarpus sp B. vulgaris Cassia fistula Dillenia pentagyna Sapindus rarak Terminalia sp Alstonia scholaris Callicarpa hexandra Garuga floribunda Sterculia cordata Diospyros macrophylla Jatropha curcas Syzygium javanicum Anthocepalus Lorightia tomentosa Murraya paniculata Parkia timoriana Tabernaemontana sphaerocarpa Voacanga grandifolia Total
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
K
F
D
KR
FR
DR
INP
H'
0,0070 0,0001 0,0000 0,0007 0,0000 0,0001 0,0002 0,0000 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0001 0,0000 0,0000 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,8850 0,0250 0,0150 0,0650 0,0100 0,0250 0,0550 0,0100 0,0300 0,0150 0,0350 0,0300 0,0450 0,0300 0,0250 0,0050 0,0150 0,0250 0,0100 0,0050 0,0250 0,0200 0,0100 0,0100 0,0150 0,0100 0,0150 0,0050 0,0100 0,0100
0,0703 0,9400 0,7850 0,0011 0,3926 0,2721 0,0812 0,2230 0,1153 0,1484 0,0554 0,0778 0,0039 0,0420 0,0687 0,1190 0,0795 0,0366 0,0834 0,0981 0,0002 0,0179 0,0402 0,0393 0,0162 0,0314 0,0128 0,0481 0,0167 0,0128
72,4806 0,6460 0,3876 7,4935 0,2584 0,9044 1,5504 0,2584 1,0336 0,5168 1,1628 0,7752 1,1628 1,0336 0,6460 0,2584 0,3876 0,6460 0,2584 0,1292 1,1628 0,5168 0,2584 0,2584 0,3876 0,2584 0,3876 0,1292 0,2584 0,2584
53,7994 1,5198 0,9119 3,9514 0,6079 1,5198 3,3435 0,6079 1,8237 0,9119 2,1277 1,8237 2,7356 1,8237 1,5198 0,3040 0,9119 1,5198 0,6079 0,3040 1,5198 1,2158 0,6079 0,6079 0,9119 0,6079 0,9119 0,3040 0,6079 0,6079
1,6881 22,5586 18,8390 0,0267 9,4205 6,5286 1,9486 5,3512 2,7659 3,5616 1,3304 1,8661 0,0942 1,0088 1,6483 2,8551 1,9074 0,8771 2,0015 2,3548 0,0057 0,4297 0,9654 0,9419 0,3885 0,7535 0,3061 1,1538 0,4003 0,3061
127,9681 24,7243 20,1384 11,4716 10,2868 8,9527 6,8424 6,2175 5,6232 4,9902 4,6209 4,4650 3,9925 3,8661 3,8141 3,4175 3,2068 3,0429 2,8678 2,7879 2,6882 2,1623 1,8318 1,8082 1,6880 1,6198 1,6056 1,5870 1,2666 1,1724
0,3366 0,0470 0,0311 0,2801 0,0222 0,0614 0,0932 0,0222 0,0682 0,0393 0,0747 0,0544 0,0747 0,0682 0,0470 0,0222 0,0311 0,0470 0,0222 0,0124 0,0747 0,0393 0,0222 0,0222 0,0311 0,0222 0,0311 0,0124 0,0222 0,0222
0,0000
0,0100
0,0123
0,2584
0,6079
0,2943
1,1606
0,0222
0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
0,0050 0,0100 0,0100 0,0100 0,0100 0,0050 0,0100 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050
0,0245 0,0101 0,0101 0,0079 0,0079 0,0245 0,0002 0,0157 0,0157 0,0157 0,0157 0,0088 0,0088 0,0088 0,0088 0,0061 0,0061 0,0061 0,0047 0,0039 0,0039 0,0039
0,2584 0,2584 0,2584 0,2584 0,2584 0,1292 0,2584 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292 0,1292
0,3040 0,6079 0,6079 0,6079 0,6079 0,3040 0,6079 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040 0,3040
0,5887 0,2414 0,2414 0,1884 0,1884 0,5887 0,0040 0,3768 0,3768 0,3768 0,3768 0,2119 0,2119 0,2119 0,2119 0,1472 0,1472 0,1472 0,1140 0,0942 0,0942 0,0942
1,1510 1,1077 1,1077 1,0547 1,0547 1,0218 0,8703 0,8099 0,8099 0,8099 0,8099 0,6451 0,6451 0,6451 0,6451 0,5803 0,5803 0,5803 0,5471 0,5273 0,5273 0,5273
0,0222 0,0222 0,0222 0,0222 0,0222 0,0124 0,0222 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124 0,0124
0,0000
0,0050
0,0039
0,1292
0,3040
0,0942
0,5273
0,0124
0,0000 0,0097
0,0050 1,6450
0,0039 4,1671
0,1292 100,0000
0,3040 100,0000
0,0942 100,0000
0,5273 300,0000
0,0124 2,1332
49
Lampiran 2 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus bambu pada Blok Rehabilitasi TWA Gunung Baung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Tumbuhan Ceiba petandra Artocarpus elasticus B. blumeana S. iraten Ficus racemosa Biscotia javanica Syzygium cumini Albizia sinensis Alstonia scholaris Diopsyros macrophylla Flacourtia rukam Albizia procera Dillenia pentagyna Ficus hispida Emblica officinalis Persea americana Total
K 0,0014 0,0043 0,0023 0,0015 0,0002 0,0001 0,0003 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0108
F 0,3333 0,0333 0,4000 0,2333 0,0667 0,0333 0,0667 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 1,4667
D 2,8662 2,1228 0,0317 0,0084 1,4720 0,9420 0,1472 0,4726 0,2937 0,1154 0,0589 0,0409 0,0409 0,0409 0,0262 0,0189 8,6986
KR 13,0769 40,0000 21,5385 13,8462 1,5385 0,7692 2,3077 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 0,7692 100,0000
FR 22,7273 2,2727 27,2727 15,9091 4,5455 2,2727 4,5455 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 2,2727 100,0000
DR 32,9499 24,4037 0,3647 0,0964 16,9226 10,8294 1,6921 5,4335 3,3759 1,3266 0,6768 0,4700 0,4700 0,4700 0,3008 0,2173 100,0000
INP 68,754 66,676 49,176 29,852 23,007 13,871 8,545 8,475 6,418 4,369 3,719 3,512 3,512 3,512 3,343 3,259 300,000
H' 0,384 0,529 0,477 0,395 0,093 0,054 0,125 0,054 0,054 0,054 0,054 0,054 0,054 0,054 0,054 0,054 2,543
50
Lampiran 3 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Terbatas TWA Gunung Baung No
Nama Tumbuhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Acacia auriculiformis Swietenia macrophylla Croton caudatus Giganthocloa apus Senna spectabilis Alstonia scholaris Schoutenia ovata Ficus hispida Delonix regia B. blumeana Streblus asper Wrightia tomentosa G. atter Swietenia mahagoni Butea monosperma Dysoxylum gaudichaudianum Ficus racemosa Scheichera oleosa Jacarida obtusifolia Bombax ceiba Ficus septica Garuga floribunda Litsea glutinosa Microcos tomentosa Total
K
F
R
KR
FR
DR
INP
H'
0,0014 0,0013 0,0023 0,0022 0,0005 0,0003 0,0004 0,0003 0,0001 0,0003 0,0002 0,0002 0,0002 0,0001 0,0002 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0107
0,2000 0,2000 0,3333 0,2333 0,1667 0,1000 0,1000 0,1000 0,0333 0,0667 0,0667 0,0667 0,0667 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 2,1000
1,9543 0,9338 0,0048 0,0034 0,1505 0,2911 0,2371 0,0785 0,2355 0,0050 0,0523 0,0523 0,0005 0,1047 0,0671 0,0589 0,0589 0,0589 0,0409 0,0262 0,0262 0,0262 0,0262 0,0262 4,5193
13,2813 12,5000 21,8750 20,3125 4,6875 3,1250 3,9063 2,3438 0,7813 3,1250 1,5625 1,5625 1,5625 0,7813 1,5625 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 0,7813 100,0000
9,5238 9,5238 15,8730 11,1111 7,9365 4,7619 4,7619 4,7619 1,5873 3,1746 3,1746 3,1746 3,1746 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 100,0000
43,2438 20,6630 0,1071 0,0753 3,3292 6,4413 5,2472 1,7370 5,2110 0,1100 1,1580 1,1580 0,0116 2,3160 1,4837 1,3027 1,3027 1,3027 0,9047 0,5790 0,5790 0,5790 0,5790 0,5790 100,0000
66,0489 42,6868 37,8551 31,4989 15,9532 14,3282 13,9153 8,8426 7,5795 6,4096 5,8951 5,8951 4,7487 4,6845 4,6335 3,6713 3,6713 3,6713 3,2732 2,9475 2,9475 2,9475 2,9475 2,9475 300,0000
0,3868 0,3750 0,4796 0,4671 0,2070 0,1563 0,1827 0,1269 0,0547 0,1563 0,0938 0,0938 0,0938 0,0547 0,0938 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 0,0547 3,5142
51
Lampiran 4
Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Intensif TWA Gunung Baung
No
Nama Tumbuhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Acacia auriculiformis Swietenia macrophylla G. apus. D. asper Prosopis alba Senna spectabilis Dysoxylum gaudichaudianum Tectona grandis Ficus hispida Albizia saman Bombax ceiba Butea monosperma Erytrina orientalis Alectryon serratus Cassia fistula Mangifera indica Microcos tomentosa Nauclea sp Annona muricata B. blumeana G. atter Total
K
F
D
KR
FR
DR
INP
H'
0,0030 0,0027 0,0019 0,0015 0,0007 0,0008 0,0003 0,0005 0,0002 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0125
0,4000 0,2667 0,2667 0,2667 0,0667 0,1333 0,1333 0,1000 0,0667 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 0,0333 2,1000
4,1082 2,3983 0,0065 0,0033 1,3294 0,4183 0,3006 0,2224 0,0671 0,2355 0,2355 0,0589 0,0589 0,0317 0,0262 0,0262 0,0262 0,0262 0,0065 0,0006 0,0003 9,5866
24,0000 21,3333 15,3333 12,0000 5,3333 6,0000 2,6667 4,0000 1,3333 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 100,0000
19,0476 12,6984 12,6984 12,6984 3,1746 6,3492 6,3492 4,7619 3,1746 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 1,5873 100,0000
42,8534 25,0174 0,0682 0,0348 13,8673 4,3631 3,1355 2,3201 0,6994 2,4566 2,4566 0,6141 0,6141 0,3303 0,2730 0,2730 0,2730 0,2730 0,0682 0,0061 0,0027 100,0000
85,901058 59,049147 28,099984 24,733214 22,375255 16,712341 12,151407 11,081995 5,2073756 4,7105348 4,7105348 2,8681099 2,8681099 2,58424 2,5269201 2,5269201 2,5269201 2,5269201 2,3222062 2,2601097 2,2566978 300
0,4941345 0,4754813 0,414806 0,3670672 0,225537 0,2435336 0,1394352 0,1857542 0,0830509 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 0,0481921 3,2071055
52
Lampiran 5 Hasil Analisis Tanah TWA Gunung Baung Terhadap Contoh Kering 105°C Tekstur Tanah Zonasi di TWA Gunung Baung
No.
Batas Horison Pasir Debu Liat (%) (%) (%)
Blok Perlindungan Blok Perlindungan Blok Perlindungan Blok Perlindungan Blok Perlindungan Blok Perlindungan Blok Pemanfaatan Intensif Blok Pemanfaatan Intensif Blok Pemanfaatan Terbatas Blok Pemanfaatan Terbatas Blok Rehabilitasi Blok Rehabilitasi Tanah Campuran Kelima Blok Tanah Campuran Kelima Blok
1 2 3 1 1 1 1
Tekstur
0-30
14
51
35
30-60
13
59
28
0-30
12
51
37
Lempung liat berdebu Lempung liat berdebu halus Lempung liat berdebu
30-60
12
47
41
0-30
8
61
31
30-60
8
67
25
pH Bahan Organik HCl 25% Nilai Tukar Kation (NH4- Acetat 1 N, pH7) KCl 1N Total (HNO3 + HClO4) Morgan Olsen Bray 1 K2O Walkey O O P P 2 5 2 5 Kejdahl (ppm) Ca Mg K Na Jumlah KTK KB Al3+ H+ Fe Al Mn Zn C/N P2O5 K2O H2O KCl ΔH & Black N C 5.6 4.6 1 1.65 0.17 10 10 32 10 _ 307 9.34 2.98 0.61 0.04 12.97 12.12 >100 0.00 0.02 1.18 8.87 0.24 98 6
4.8
1.2
0.83
0.09
9
10
42
10
_
451
8.16
3.41 0.90 0.12
12.59
11.78
>100
0.00 0.02 0.53 10.84 0.21
90
6.2
5
1.2
1.37
0.15
9
17
98
17
_
1064
12.62
4.65 2.12 0.00
19.39
18.52
>100
0.00 0.00 0.96
7.08 0.18
78
Lempung liat berdebu
6.4
5.1
1.3
0.84
0.08
11
13
115
13
_
1338
17.26
7.01 2.67 0.31
27.25
23.62
>100
0.00 0.00 0.85 10.02 0.22
72
Lempung liat berdebu
6.5
5.2
1.3
1.76
0.17
10
55
98
55
_
1031
18.30
6.17 2.06 0.00
26.53
18.16
>100
0.00 0.02 1.52
8.35 0.21
68
Lempung liat berebu halus 5.9
4.6
1.3
0.61
0.06
10
17
82
17
_
998
9.67
4.96 1.99 0.04
16.66
13.52
>100
0.00 0.02 0.54
9.06 0.12
60
0-30
16
52
32
Lempung liat berdebu
6.1
4.9
1.2
1.63
0.18
9
10
41
10
_
349
12.89
4.41 0.69 0.10
18.09
10.90
>100
0.00 0.00 0.55
8.96 0.22
91
30-60
15
51
34
Lempung liat berdebu
6.5
5.1
1.4
0.86
0.09
10
9
21
9
_
147
12.82
4.61 0.29 0.29
18.01
12.05
>100
0.00 0.00 0.73
9.18 0.22
69
0-30
7
49
44
Liat berdebu
5.7
4.5
1.2
1.51
0.15
10
9
28
9
_
221
12.18
4.93 0.42 0.01
17.54
16.87
>100
0.00 0.02 1.01
8.75 0.22
89
30-60
5
53
42
Lempung liat berdebu
6.2
4.7
1.5
0.84
0.07
12
9
19
9
_
121
10.58
5.18 0.23 0.17
16.16
10.99
>100
0.00 0.00 0.88
8.92 0.17
72
0-30
12
58
30
Lempung liat berdebu
6.1
4.9
1.2
1.65
0.17
10
8
73
8
_
817
11.97
3.69 1.63 0.00
17.29
14.72
>100
0.00 0.02 1.50
7.53 0.22
75
30-60
18
52
30
Lempung liat berdebu
6
4.9
1.1
0.84
0.07
12
9
62
9
_
673
10.10
3.55 1.34 0.07
15.06
11.87
>100
0.00 0.00 0.48
7.59 0.16
66
0-30
8
56
36
Lempung liat berdebu
6.1
4.9
1.2
1.6
0.17
9
19
66
19
_
698
15.30
4.92 1.39 0.00
21.61
18.88
>100
0.00 0.02 1.14
7.64 0.20
77
30-60
7
60
33
Lempung liat berdebu
6.3
4.9
1.4
0.78
0.07
11
10
46
10
_
443
12.34
4.78 0.88 0.15
18.15
14.56
>100
0.00 0.00 0.39
8.83 0.14
65
53
Lampiran 6 Data Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembapan udara Mikro, Kelerengan Kemasaman Tanah (pH-Tanah) Blok Perlindungan Plot. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Intensitas Cahaya (Lux) 904 150 198 1334 1286 398 2060 1255 117 270 18390 169 1204 563 1081 367 347 328 3380 482 760 1340 325 224 442 1315 3120 207 139 294 562 367 1881 343 149 114 3620 215 1524 4910 883 215 4020 4030 2550 4190 2690 331 6720
Suhu (°C) 27,8 26,4 26 26,4 27,3 26,7 26,9 27,3 27,3 26,6 28,6 29,3 27,4 27,2 27,1 26,7 27,4 27,9 28,1 28,4 28,1 27,8 27,2 27,1 27,1 26,8 27,4 28,3 28 28,1 26,7 26,6 27,1 27 26,4 26,4 26,9 27,1 27 27,9 29,1 28,3 28,1 28,9 29,1 29,3 28,3 28 29
Kelembapan udara (%) 84% 88% 91% 93% 93% 92% 92% 92% 92% 92% 88% 88% 88% 90% 90% 90% 91% 89% 87% 87% 87% 87% 89% 90% 90% 91% 93% 86% 87% 88% 91% 92% 92% 93% 93% 93% 93% 93% 93% 91% 88% 87% 89% 88% 88% 88% 88% 88% 89%
Kelerengan
pH-tanah
12°21% 31°60% 23°42% 37°75% 25°70% 27°51% 23°42% 29°55% 45°100% 38°79% 47°104% 41°88% 37°75% 34°67% 22°40% 26°49% 2°3% 36°73% 26°49% 36°73% 37°75% 32°64% 32°64% 34°68% 36°71% 38°79% 37°75% 32°63% 23°42% 17°31% 27°51% 41°89% 33°65% 19°34% 7°12% 11°19% 31°60% 27°51% 7°12% 1°21% 1°2% 25°47% 27°51% 26°49% 27°51% 26°49% 22°41% 31°60% 23°42%
5,3 5,2 5,2 5,2 5,2 5,3 5,1 5,1 5,2 5,2 5,2 5,1 5,1 5 4,2 6 5,1 4,3 6 5,1 5,3 4,3 5,1 5,1 5 6 4,3 4,3 4,3 5,2 5 5 5 4,1 5,1 4,3 4,2 4,2 4,3 4 4,1 4,1 4,3 4,2 4,2 3,7 4,3 5,3 4
54
Blok Perlindungan (lanjutan) Plot. 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103
Intensitas Cahaya (Lux) 735 376 1804 210 334 53 299 247 152 85 585 247 1830 1428 5200 8380 12900 2190 6010 660 3080 132 172 143 71 156 1514 1667 3160 1422 1097 2910 406 213 49 309 93 192 155 452 118 3720 334 2760 310 356 166 596 384 1391 763 1292 348 970
Suhu (°C) 29 28,4 28,9 28,6 28,7 27,7 27,9 28,1 28,4 27,9 27,4 24,7 26,8 27,5 27,5 27,8 28,4 29 28,9 26,9 27,4 29,2 27,9 27,1 27,4 26,4 26,1 27,3 27,8 27,4 27,8 27,6 27,7 27,6 27,7 27,6 27,4 27,4 27,4 27,6 27,4 28,1 28 27,6 27,3 27,1 25,6 26,4 26,4 27,1 26,8 30,1 29,8 29,1
Kelembapan udara (%) 89% 89% 89% 89% 89% 89% 87% 87% 88% 87% 89% 93% 92% 92% 93% 91% 92% 91% 91% 92% 93% 85% 86% 89% 91% 91% 92% 93% 92% 93% 91% 88% 88% 88% 88% 88% 89% 90% 90% 89% 91% 81% 84% 86% 86% 90% 91% 93% 93% 93% 94% 90% 89% 88%
Kelerengan
pH-tanah
36°71% 38°79% 34°67% 5°9% 17°31% 17°61% 39°81% 33°65% 35°70% 25°47% 15°27% 39°80% 39°80% 31°60% 2°3% 4°7% 2°3% 2°3% 21°38% 25°41% 23°43% 27°51% 32°62% 11°19% 7°12% 14°25% 29°56% 37°75% 29°55% 39°81% 41°89% 30°58% 24°42% 27°51% 36°71% 22°40% 22°41% 21°39% 13°24% 15°27% 23°44% 21°38% 9°11% 4°7% 12°21% 10°18% 25°42% 29°56% 8°14% 18°32% 19°34% 9°16% 9°7% 8°14%
4 5 4,2 4,3 4,3 4,1 4,3 4,2 5,1 3,7 4,2 5,3 5,1 5,1 4,2 5 5 4,3 5,1 4,3 4,1 5 5 4,3 4,3 4,3 4,2 4 5 4,1 5 4,3 5,1 5,1 4,1 4,2 5 4,2 4,1 4,3 4,3 5 3,7 4 4 4,1 5,3 4 4,1 4 4 4,3 4,2 4,3
55
Blok Perlindungan (lanjutan) Plot. 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157
Intensitas Cahaya (Lux) 236 474 820 1193 339 5620 521 557 438 975 1762 196 75 95 397 1839 1106 249 410 145 1155 854 436 327 475 249 3410 464 168 336 457 587 822 1011 1547 475 889 1526 680 950 492 105 629 549 806 1057 54 201 702 3460 449 935 1325 645
Suhu (°C) 28,8 28,5 28 28,1 28,1 28,6 29,3 30,4 29,5 28,6 28,1 27,9 27,9 27,8 27,8 27,9 28,3 26,1 25,7 25,8 26 26,1 27,3 27,1 27,2 27,1 27,8 27,8 27,6 27,2 27,1 27,3 27,3 27,9 28,1 28,4 27,9 30,3 29,9 29,5 28,4 28,4 28,6 28,5 28,4 28,4 28,6 27,8 28,8 27,9 28 27,6 26,9 27,1
Kelembapan udara (%) 89% 89% 89% 90% 90% 91% 90% 83% 84% 86% 88% 89% 89% 90% 90% 91% 90% 91% 92% 92% 93% 93% 93% 92% 92% 92% 90% 90% 90% 92% 92% 93% 92% 90% 90% 90% 88% 84% 85% 85% 86% 87% 88% 88% 89% 89% 89% 79% 78% 82% 83% 83% 88% 89%
Kelerengan
pH-tanah
17°31% 16°29% 36°71% 30°58% 32°63% 12°21% 25°47% 19°34% 1°19% 27°51% 22°41% 25°47% 19°34% 11°19% 25°47% 6°11% 20°37% 28°53% 28°53% 35°70% 39°81% 39°81% 33°51% 38°79% 33°51% 27°51% 35°47% 27°51% 31°60% 33°65% 24°44% 8°14% 15°27% 19°35% 23°42% 6°29% 8°14% 36°71% 29°55% 4°7% 30°79% 41°89% 48°111% 34°68% 46°102% 49°113% 50°120% 47°109% 49°118% 49°108% 50°120% 52°120% 54°139% 51°122%
3,7 4,2 5,2 4,1 3,7 4,2 3,7 4,3 4,1 4,1 4,3 4,3 4 4,1 3,6 3,7 4,1 5,1 4,3 5,2 4,3 5,3 5,2 5 5,1 5,2 4,3 4,3 4,3 4,3 4 4 5,1 4,3 5,1 4,2 5,3 5,1 4,3 5 4,2 4,3 5 4,3 3,7 3,7 3,7 6 5,2 5,1 5 5 5,3 4,2
56
Blok Perlindungan (lanjutan) Plot. 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
Intensitas Cahaya (Lux) 278 383 448 203 794 3640 576 5220 959 3610 498 546 2080 1277 973 2260 62 139 824 134 1304 235 739 630 1080 489 1903 1373 1363 632 346 534 1832 125 807 256 196 792 2130 708 934 747 109
Suhu (°C) 27,1 26,8 27,1 27,3 27,1 27,6 27 28,3 28,3 28,2 27,6 27,7 28,1 30,9 30,3 30,1 29,8 29,3 28,5 28,4 28,6 28,6 28,3 28,8 28,3 28,1 27,8 27,9 27,9 27,9 28,1 28,4 28,4 28,6 28,6 28,6 29,1 29,4 29,7 30,3 30,3 30,4 30,4
Kelembapan udara (%) 89% 89% 90% 88% 89% 87% 88% 89% 86% 84% 84% 84% 83% 74% 76% 78% 80% 81% 53% 84% 85% 85% 85% 77% 78% 80% 83% 84% 84% 83% 83% 83% 82% 81% 80% 82% 83% 81% 82% 81% 78% 77% 77%
Kelerengan
pH-tanah
55°141% 58°154% 57°152% 59°159% 48°112% 50°120% 48°112% 51°222% 52°129% 48°110% 54°139% 55°141% 58°158% 12°21% 24°44% 14°25% 5°9% 8°14% 9°16% 5°27% 2°3% 19°33% 25°47% 18°32% 11°19% 29°53% 21°63% 15°27% 9°34% 34°68% 35°70% 31°60% 29°56% 44°94% 36°71% 4°7% 16°49% 23°42% 5°9% 2°3% 3°5% 8°14% 23°43%
4,3 5 5,1 4,3 5 5,1 5,2 5,2 5,2 5,1 5 5,1 5,1 4,5 4 4,1 4 3,7 4,1 4 4,3 3,7 4 28,8 5,3 5,1 5,3 5,2 5,1 5,2 5,2 5,2 5,1 4,3 4,1 5 5 4,1 4,3 5,2 5 5,1 4,3
57
Blok Rehabilitasi Plot. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Intensitas Cahaya (Lux) 5720 2230 8820 3770 724 327 623 8770 7240 2260 5320 3740 6450 5780 3880 9080 5350 5430 7220 7470 2840 1296 6430 7550 17540 8980 5160 17300 17830 12800
Suhu (°C) 29,9 30,9 32,9 31,8 31 28,4 28,4 30,7 31,8 30,3 30,6 29,4 29,1 28,9 28 29,2 31,8 32,3 32,6 32,2 29,5 27,9 26,9 27,6 29 29,3 28,4 28,4 28,3 28,8
Kelembapan udara (%) 86% 89% 84% 77% 83% 85% 88% 90% 90% 88% 88% 87% 88% 89% 89% 90% 89% 87% 87% 86% 80% 85% 87% 88% 89% 88% 88% 87% 87% 87%
Kelerengan
pH-tanah
5°6% 4°7% 8°14% 9°16% 11°12% 11°12% 3°5% 4°7% 4°7% 16°22% 16°28% 4°7% 18°32% 8°14% 3°5% 14°25% 3°5% 17°31% 7°12% 7°12% 21°38% 23°42% 18°33% 25°47% 9°16% 4°7% 4°7% 4°7% 6°11% 2°3%
6,2 6,1 6 5,3 5,1 6 5,3 5,3 6,1 4,3 5,3 5,3 5,2 6 6 5,3 5,3 5,3 5,1 5,3 5 5,3 6,1 5,2 5,2 6,1 6,1 3,3 5,3 6
Blok Pemanfaatan Terbatas Plot. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Intensitas Cahaya (Lux) 2040 294 716 252 664 640 407 1053 444 159 290 1222 1672 2500 1998
Suhu (°C)
Kelembapan udara (%)
Kelerengan
pHtanah
28,8 27,6 27,4 27,1 26,8 26,5 26,5 27,4 27,1 27,3 27,3 27,2 27,9 28,4 29,3
85% 86% 89% 90% 92% 92% 93% 93% 92% 93% 91% 92% 90% 91% 91%
6°11% 3°5% 7°12% 7°12% 16°29% 7°12% 12°21% 8°21% 5°9% 37°79% 50°120% 13°28% 3°5% 5°9% 6°11%
5,1 6 5,2 5 5,2 5,3 5,3 4,3 5 5,3 4,2 4,2 4,2 4,1 4,2
58
Blok Perlindungan (lanjutan) Plot.
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Intensitas Cahaya (Lux) 478 1761 328 1610 5150 898 1146 1045 702 1302 232 553 2400 506 2960
Suhu (°C)
Kelembapan udara (%)
Kelerengan
pHtanah
28,8 27 27,9 27,6 27,5 27 27,4 28,3 28,5 28,9 29,4 28,6 28,9 29,8 29,4
90% 91% 89% 90% 90% 93% 93% 92% 92% 91% 92% 89% 90% 87% 88%
5°9% 11°19% 6°9% 5°9% 2°3% 12°3% 7°11% 5°9% 3°5% 5°9% 11°19% 7°12% 3°5% 9°16% 8°14%
5,1 5,2 4,2 5 4,2 5,3 4,2 3,6 3,5 5,7 4,7 4,2 4 4,2 5,2
Blok Pemanfaatan Intensif Plot. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Intensitas Cahaya (Lux) 296 489 759 879 739 939 338 405 567 431 4780 2960 1891 2090 453 428 6930 8090 7440 7100 7240 12220 11580 4760 5850 10390 959 875 9630 1740
Suhu (°C)
Kelembapan udara (%)
Kelerengan
pH-tanah
25,8 26,1 25,9 25,9 25,8 25,6 26,4 26,6 26,3 26,5 26,7 27,1 27,3 27,4 27,9 29,3 29,7 30,8 30,9 31,3 31,3 31,1 30,9 30,6 30,6 30,6 30,1 30,1 30,1 30,6
88% 89% 90% 91% 91% 92% 93% 93% 93% 93% 93% 93% 93% 93% 91% 91% 90% 87% 86% 81% 81% 82% 81% 82% 83% 82% 82% 83% 84% 85%
2°3%; 4°7% 2°3% 2°3% 11°19% 4°7% 11°19% 2°4% 4°7% 12°21% 4°7% 3°5% 4°5% 4°7% 5°9% 11°19% 6°11% 2°3% 2°3% 3°5% 8°14% 12°21% 9°16% 6°11% 9°11% 6°11% 5°9% 3°5% 2°3% 4°7%
5,2 4,3 4 4,2 4,3 4,2 4,1 4,4 5,1 4,2 5 5 4,3 4,3 3,6 4,2 4,1 5,1 4 3,7 4,1 5,1 4 5,2 5 6,2 5,1 4,1 5,1 5
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 September 1981, sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Daromi (almarhum) dan Ibu Siti Hindun. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, UNPAD, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Biologi Tumbuhan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi melalui program Beasiswa Karyasiswa Ristek 2010. Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Kebun Raya PurwodadiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 2008. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah ekologi tumbuhan dan biologi konservasi. Karya ilmiah berjudul Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa TImur, telah disajikan pada International Conference on Global Resource Conservation, Indonesian Society for Plant Taxonomy, pada bulan Februari 2013. Sebuah artikel telah didaftarkan dengan judul; Pola Sebaran, Kelimpahan dan Asosiasi Bambu pada Komunitas Tumbuhan di Taman Wisata Alam Gunung Baung, Jawa Timur, pada jurnal Berita Biologi. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.