EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
RIEDA YULIATI NIM : 104044201480
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M
EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
Rieda Yuliati NIM : 104044201480 Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H.Ahmad Sutarmadi NIP : 150031177
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul EFEKTIFITAS PASAL II5 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Mei 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi AlAhwal As-Syakhsiyyah.
Jakarta, 13 Mei 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (..........................) NIP. 150 169 102 2. Sekretaris: Kamarusdiana, S.Ag., M.H (..........................) NIP. 150 285 972 3. Pembimbing I: Prof. Dr. H.Ahmad Sutarmadi (..........................) NIP.150 031 177 4. Penguji I: Dr. Euis Nurlaelawati, MA. Ph.d (..........................) NIP. 150 277 992 5. Penguji II: H. Ah. Azharuddin Latief M.Ag, MH (..........................) NIP.150 318 308
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada tuhan pengatur dan pemelihara semesta alam, Allah SWT yang maha kuasa. Atas kehendak dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis panjatkan kepada uswah kita Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dalam setiap aktivitas kehidupan beserta keluarga dan para sahabatnya. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar dan tawakal. Alhamdulillah atas rahmat Allah SWT. Serta berkat do'a dan dukungan orang-orang yang sangat penulis cintai dan sayangi yaitu kedua orang tua, keluarga, sahabat serta temanteman. Sehingga segala hambatan dan cobaan dapat penulis hadapi dan dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Sehingga rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Bapak Prof Dr. H.Ahmad Sutarmadi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu luang, tenaga serta Pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Ketua Program Studi, Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., Sekretaris Program Studi Kamarusdiana S.Ag, MH. dan seluruh dosen yang telah membimbing dan
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan 4. Pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan perpustakaan utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi studi pustaka. 5. Ketua Pengadilan Agama Cibinong beserta staf
dan jajarannya yang telah
membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang di perlukan untuk penelitian ini. 6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Deddy Suryadi dan Alm. Annie Suhaeriah atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis. Segala hormat penulis persembahkan. 7. Adikku tercinta Dhanny Perkasa atas segala supportnya. 8. Rekan-rekan seperjuangan (AKI '04) Iis, Yuni, Rizka, Eva, Dyiah, Puji, Riyani, serta rekan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, bersama kalian hidup jadi berwarna. 9. Teman-teman terbaikku Mery, Rova dan Faiz atas segala supportnya 10. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan khazanah keilmuan yang ada khususnya dalam bidang perkawinan.
DAFTAR ISI
HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................................................
i
DAFTAR ISI................................................................................................
v
BAB I : PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................
5
C.
Tujuan Penelitian ...................................................................
6
D.
Metode Penelitian ..................................................................
6
E.
Sistematika Penulisan.............................................................
8
BAB II : TALAK A.
Menurut Hukum Islam............................................................
10
B.
Hukum Talak..........................................................................
14
C.
Alasan Talak...........................................................................
19
D.
Macam-macam Talak..............................................................
23
E.
Tata Cara Talak......................................................................
26
F.
Akibat Hukum Talak .............................................................
28
G.
Hikmah Talak .........................................................................
33
BAB
II1
KETENTUAN
MENGENAI
PENJATUHAN
TALAK
PENGADILAN MENURUT KHI A.
Latar Belakang Lahirnya Pasal 15 KHI ...................................
B.
Dasar Hukum atau Landasan Hukum Lahirnya Pasal 15 KHI…..
37 45
BAB IV : EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA A. Perspektif Hukum Islam ..........................................................
48
B. Efektifitas Pelaksanan Pasal 115 KHI di Pengadilan dan Masyarakat…………………………………………………
58
BAB V : PENUTUP A.
Kesimpulan.............................................................................
60
B.
Saran......................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...
62
LAMPIRAN
DI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah menjadikan mahluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasangpasangan membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itulah haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tidak mungkin putus dan diputuskannyalah ikatan akad nikah atau ijab kabul perkawinan.1 Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam didunia. Sebagaimana firman allah swt. Yang dijelaskan dalam surat yasin ayat 36 :
"#$%& !
1☺3 -.%/0 '()*+,&
= 3) :;<,&
/456789 "D☺$%=8"E BC 1☺3) ->/?@)A FG Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasiin: 36) Pernikahan adalah sarana untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia, penuh dengan kasih sayang, tentram, pengertian dan saling toleransi untuk selamalamanya, karena setiap pasangan suami dan istri mengharapkan dapat saling memahami hak dan kewajiban satu sama lain, oleh karena itu pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seseorang pria dan wanita dalam sebuah rumah tangga berdasarkan tuntutan agama dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 1
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi aksara, 1996),Cet.1 h.31.
Di dalam al-qur’an dijumpai tidak kurang 80 ayat berbicara soal perkawinan baik yang memakai kata nikah (berhimpun) maupun yang memakai kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntutan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan tesebut dapat menjadi jalan yang menghantarkan manusia baik laki-laki maupun perempuan menuju kehidupan yang bahagia dunia akhirat sesuai dengan rida ilahi. 2 Karena memang pada dasarnya tujuan dari pada perkawinan adalah menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Langgengnya kehidupan pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung. Karena keluarga adalah jiwa dan tulang punggung masyrakat, baik dan buruknya perilaku dalam masyarakat adalah sebuah cerminan dari keadaan keluarga yang hidup pada masyarakat tertentu. Adalah merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan manusia di atas bumi ini melalui satu keluarga yang berasal dari seorang diri, yaitu adam. Darinyalah allah menciptakan hawa sebagai pendamping hidupnya. Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 1:
P /QR9 MN NO HIJK)L. "E X3 6UVQ$%& ! STUVW6< HI\3 "#$%) Z[K$() Y*?.@ ^_I\3 1\"6) -])+ h ☯U fg)
Oab⌧d OC < !
!
P /QN9 ) i6 "DUU f9 2
Musdah Muliah, Pandangan Islam Tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Gender 1999) cet.1 h.1
"D ⌧d ! NDQ h "j "$<,& ) mG 7 < TUV*k$%"l Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (QS.An-Nisa : 1) Dari sini dapat dilihat betapa islam sangat memperhatikan dan menghargai kehidupan keluarga dengan suatu perhatian yang tidak akan terdapat dari ajaran agama lain. Kata dapat melihat bahwa begitu banyaknya ayat-ayat ahkam dalam AlQur’an yang mengatur hal-hal yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang terjadi dalam keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan dan sebagainya). Salah satu perhatian islam terhadap kehidupan keluarga adalah diciptakannya aturan yang adil dan bijaksana, yaitu aturan yang dapat meredam adanya perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga. Yang nantinya akan menciptakan keharmonisan dan ketentraman yang dapat menghindarkan dari bahaya perpecahan dalam rumah tangga. Tidak ada suatu pasanngan suami istri di dunia ini yang mendambakan di dalam rumah tangganya terjadi perselisihan yang nantinya berdampak pada perceraian. Agama islam membolehkan adanya talak perceraian, apabila sudah tidak ada lagi cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri dalam mewujudkan perdamaian diantara kedua belah pihak. Tapi islam mengajarkan harus dengan cara yang baik dan tanpa ada rasa permusuhan. Islam hanya memberikan hak talak hanya kepada pihak laki-laki saja sebagaimana banyak perintah-perintah mentalak di dalam Al-Qur’an dan hadits yang ditujukan hanya kepada pihak suami. Dalam islam seperti yang terdapat dalam kitab-
kitab fiqh, talak bisa terjadi atau jatuh dimana dan kapan saja terserah kepada kehendak suami, karena memang talak menjadi hak mutlak suami untuk menjatuhkannya. Di dalam masalah hukum perkawinan, seperti dinyatakan dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 3 Hal ini bahkan lebih dipertegas dalam pasal 115 KHI dan pasal 65 UU No. 7/1989. Kalau kita teliti lebih lanjut permasalahan di atas, maka bagi masyarakat Islam di Indonesia akan terjadi dilema dalam merefleksikan ketentuan hukum Islam dalam kehidupan nyata mereka. Di satu sisi seorang suami boleh menjatuhkan talak dimana dan kapan saja seperti yang ditegaskan oleh fiqh (Islam) sementara di sisi lain ada ketentuan peraturan (Negara) yang mengharuskan jatuhnya talak seorang suami hanya terjadi jika dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Maka kemudian yang menjadi persoalan adalah apakah dengan adanya pasal 115 KHI itu akan membuat suami tidak dengan mudah menjatuhkan kata talak kepada istrinya dan apakah pasal 115 KHI itu efektif untuk membuat masyarakat menyelesaikan perceraiannya di dalam Pengadilan Agama?Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengangkat judul “EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA” B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
3
Departemen Agama RI, KHI, ( Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000 ), cet. Ke-1
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya,penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penulisan skripsi ini hanya berkisar pada efektifitas pasal 115 KHI saja.Dengan harapan agar dalam pembahasan skripsi ini menjadi terarah dan tersusun sistematis sesuai dengan tema yang menjadi titik fokus skripsi ini. Oleh karena itu pembahasan pokok masalah dalam skripsi ini di tinjau di KHI dari undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974. Perumusan masalah : a.
Apakah yang melatar belakangi munculnya pasal 115 KHI ?
b.
Apa yang menjadi landasan hukum lahirnya pasal tersebut ?
c.
Bagaimana efektifitas keberlakuan pasal tersebut di dalam pengadilan dan di masyarakat ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang tersebut di atas, maka penulisan skripsi ini adalah bertujuan untuk mengetahui : 1.
Untuk mengetahui kapan munculnya pasal 115 KHI ?
2.
Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum lahirnya pasal tersebut ?
3.
Untuk mengetahui bagaimana efektifitas keberlakuan pasal tersebut di dalam pengadilan dan di masyarakat ? Adapun kegunaan penulisan ini adalah bahwa skripsi ini diharapkan dapat
berguna bagi pribadi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya sebagai
informasi dan pengetahuan dalam menghadapi permasalahan - permasalahan yang timbul akibat talak. D. Metode, Jenis Dan Tekhnik Penelitian 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan wawancara terhadap hakim dan masyarakat lalu di uraikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang di kehendaki dalam penulisan skripsi ini. 2. Jenis Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder,yaitu: a. Data Primer 1) Di dapatkan dari Pengadilan Agama Cibinong dengan Nomor Putusan 409/Pdt.G/2009/PA.Cbn. 2) Wawancara Terhadap Hakim dan Masyarakat. Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang di kaji. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku karangan ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam(KHI), Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta buku dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diajukan. 3. Teknik Penelitian Untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat maka penulis menggunakan cara a. Pengumpulan Data Penulis membaca dan menelaah berbagai buku sumber dan referensi lainnya yang dapat memberikan informasi yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. b.
Interview atau wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan wawancara langsung dengan responden yang telah di pilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Cibinong dan salah seorang masyarakat.
4. Tekhnik Analisa Data Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa teknik, maka data yang sudah ada akan di olah dan di analisis supaya mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfat bagi penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyatan yang ada di tempat penelitian, sedangkan tekhnik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2007. E. Sistematika Penulisan Agar penulisannya lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub bab yaitu :
BAB I
: Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode, Jenis, Teknik Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan perceraian (talak) yang meliputi : Pengertian talak, Hukum talak/ alasan talak, Macammacam talak, Rukun dan Syarat talak, Tata cara talak dan Akibat hukumnya menurut hukum Islam serta hikmah talak. BAB III : Ketentuan mengenai jatunya talak di Pengadilan menurut KHI yang meliputi: Sekilas tentang KHI, Latar belakang lahirnya pasal 115 KHI, Dasar hukum atau landasan hukum lahirnya pasal 115 KHI. BAB IV : Efektifitas Pasal 115 KHI tentang keharusan jatuhnya talak di dalam sidang Pengadilan Agama Sub pokok dalam pembahasan ini meliputi perspektif hukum Islam atau fiqh terhadap pasal 115 KHI, Efektifitas pelaksanan pasal 15 di pengadilan dan masyarakat. BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TALAK A. Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Talak Talak diambil dari kata istilah ( )اقartinya melepaskan atau meninggalkan, dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau rusaknya hubungan perkawinan. Al-Zaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah memberi definisi talak sebagai berikut:
اق زا اح أون ص Artinya: Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan , mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu. 4 Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberi definisi talak sebagaiberikut:
" ا!و#ء ا%) را ا!وج وإ Artinya : “talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri” Abu Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab memberi definisi talak sebagai-berikut:
* اح اق و+, ) Artinya: “talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang sesamanya. Al Mahalli dalam kitabnya Syarih Minhaj Al-Thalibin merumuskan: “talak adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz talak dan sejenisnya”5
4
Sayid Sabiq. Fiqh Sunnah, (Bandung:Al-Ma’arif), h.7.
Dari rumusan yang dikemukakan oleh Al-mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat 3 kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama thalaq. Pertama: Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua: kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini.Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah di buka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram. Ketiga: kata ”dengan lafaz tha-laqa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata thalaq tidak disebut dengan:putusnya perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut,seperti putus karena kematian.6 Kata “Thalaq” dalam bahasa arab berasal dari kata Thalaqa-YathluquThala’qan yang bermakna melepaskan atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan
5
Ibid., h. 8 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta:Kencana,2006) Cet.1,h.199. 6
Dalam
kamus
Ensiklopedi
Islam
dijelaskan
bahwa
kata
talak
(ar:talaq=melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan). Di zaman jahiliyah istilah talak di gunakan untuk memisahkan ikatan suami istri7 Dalam Al-Munawir kamus bahasa arab-indonesia, talak berarti meninggalkan, seperti dalam kalimat “thalaqa zauzatahu”. Dalam kamus Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa menurut mazhab hanafi dan hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di masa yang akan datang. Yang di maksud ”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan “di masa yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal.8 Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Dengan lafal ini, baik talak ba’in maupun raj’i, hukumnya langsung berlaku ketika pernyataan talak disampaikan suami dan segala resiko talak tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Sedangkan mazhab maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami dan istri.9 Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa talak menurut istilah syara adalah mengangkat ikatan perkawiann sehingga setelah diangkatnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi 7
Miftahul Huda,”Pemahaman Masyarakat tentang Talak dan Akibat Hukumnya Menurut KHI(Studi Pada Warga Masyarakat Kecamatan Cipayung)Jakarta Timur.”(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2008),h.15. 8 Ibid.h,16. 9 Ibid,h.17.
suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.10 Menurut Al-San’ani memberikan pengertian talaq menurut bahasa adalah “pelepasan ikatan yang kokoh”, sedangkan menurut istilah syara, talak adalah pelepasan akad perkawinan.11 Perkataan “thalaq”dan “furqah” dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah satu dari suami atau istri. Sedangkan arti khusus adalah perceraian yang di jatuhkan suami saja.12 Dalam arti lain, talak juga berarti usaha untuk melepaskan, memutuskan, meninggalkan atau menghilangkan suatu ikatan pernikahan antara suami istri yang berakibat berakhirnya hubungan perkawinan tersebut dan konsekuensinya adalah sang istri tidak lagi halal bagi suaminya. Sedangkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.13 10
Proyek Pembinaan, Prasarana dan Sarana IAIN Jakarta, Ilmu Fiqh,(Jakarta, 1984 /1985), Jilid II, h. 226-227. 11 Mulyadi,”Cerai Tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Perspektif Fiqh dan Hukum islam(Studi di Kelurahan Condet Batu Ampar Jakarta Timur).”(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2006),h.23. 12 Ibid.h,24. 13 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,(Departemen Agama, 2002), h. 57.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian dalam istilah fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu lawan kata dari berkumpul. Kemudian kedua kata tersebut dijadikan istilah oleh para ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami istri. 2.
Hukum Talak Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul. Itulah yang di kehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.14 Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi di pertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.15 Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,berikut ini:
اق2 ا3 ا ل إ45 أ6 7 و, 2 ا3 ﺹ2ل ا7 "ل ر: "ل./, 0 إ0, “Dari Ibnu Umar,ia berkata bahwa Rasulullah Saw.telah bersabda,”Sesuatu yang halal yang amat di benci Allah ialah talak,”(Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)16
14
Amir Syarifuddin,Garis-Garis besar Fiqh,(Bogor:Kencana,2003),Cet 1,h.126. Amir Syarifuddin,Hukum perkawinan Islam di Indonesia Antara fiqh munakahat&UndangUndang Perkawinan,(Jakarta:Kencana,2006),Cet.1,h.199. 16 Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam(hukum Fiqh Islam),(Bandung:PT Sinar Baru Algesindo,1994),Cet.27,h.401-402. 15
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh suami.yang paling tepat di antara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat(terpaksa). Pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabillah, alasannya ialah hadits yang menyatakan:
آ) ذواق ق2 ا0# “Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi suka mentalak istri”.17 Mereka ini juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat dan anugrah Allah, padahal mengkufuri nikmat Allah itu di larang. Oleh karena itu menjatuhkan talak tidak boleh, kecuali karena darurat(terpaksa).18 Di bawah ini adalah macam-macam syarat jatuhnya talak a. Wajib Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya.Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka,maka saat itulah talak menjadi wajib. b. Makruh Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan.Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat: Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak mendatangkan manfaat 17 18
Abd,Rahman Ghazaly.Fiqh munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet.1,h.213. Ibid,h.214.
apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai berikut:
ار.; <ار و.;< “Tidak boleh memberikan mudharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan lagi” Kedua,menyatakan bahwa talak seperti itu di bolehkan.Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini.
= اق#> 2 ا3 ا ل إ45أ “Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” Dan dalam lafazh yang lain disebutkan.
اق0 إ45 @? أ2 أ) ا “Allah tidak mebolehkan sesuatu yang lebih Dia benci selain talak.”(HR.Abu Dawud dengan sanad ma’lul). c. Mubah Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan.Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan. d. Sunnah Talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah
diwajibkan
kepadanya,misalnya
shalat,
puasa
dan
kewajiban
lainnya,sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya.Atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.Dalam kondisi seperti itu di bolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan
geraknya. Sebagaimana yang di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-qur’an surat an-Nisa:19
E !
-nE)L. "E D)A TUV
P 8F9 1 8r8%/s89 BC) P qr⌧d "3 w8"56 P 5rk"v D)A CQ 1 8r☺,x9 U 5H[7Xx"n3 5H"|> ⌧?6 "yz9{L"E 1 8r)a>} "S) h D~{ h > )S8☺* 6 D)A f8{ 1 8r☺,rF⌧d Bo8*-p) q*k⌧! P 8r"V9
OabB0
Oa {
msG Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS.An-Nisa:19)
d. Mazhur(terlarang) Talak yang dilakukan ketika istri sedang haid.Para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Di mana Allah telah berfirman (ath-Thalaq:1)
Q YNO
HIJK)L. "E U fX7
:,*Q.% IF1K8 1 8r/QI%
{
P $[1K8*
P =)A) BC P T/W6< ! P /QN9 ) 1 -9Sk6 d 3 8rS]F*E3 "yz9{L"E D)A CQ J=]S*Ep BC) h 5HOXx"5n3 5H"|> ⌧?6 "3) h )KS$ 5{%9) T$% =KQ{ )KS$ 1K8"v"E ! No8 <=K9 BC h f*?"@
q*3)A 5( K8"6 K*"Up mG Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (ath-Thalaq:1) Sedangkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda,
ءA ا% B > أن2 ا. أ3Cة ا+# اE CF G/) أن یI" B و إن @ء+# EA إن @ء أ “…Jika ia menghendaki,ia boleh menceraikannya sebelum ia mencampurinya.Demikianlah iddah diperintahkan Allah ketika wanita itu diceraikan.”(Muttafaqun Alaih)19 3. Alasan Talak Talak tidak akan terjadi apabila tidak ada alasan-alasan syar’i yang menyebabkan timbulnya perselisihan dalam rumah tangga yang berakibat pada terjadinya talak. Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan atau terputusnya perkawinan. a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
19
Syaikh Hasan Ayyub,Fikh Keluarga,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2001),Cet 1,h.211.
Dalam surat An-nisa ayat 34 dinyatakan :
$9"S JS3( S F
Bos{ ☺6 U fX7
Yw8"6 h$9"S -Bs8"6 = 3 P /Q⌧?@)A ☺6) /4 % { h T-(*3)A %*k"{% 4 /? 4 "vO ! ) h ⌧? ☺6 8r/8{ 8r+/|8g "D8{ E)3 y 1 8r)S/r ) >] Bs☺*
D~{ P 1 8r6a= ) P U59 B⌧{ T/O8)A ! NDQ V ⌧k 1 Ia$%"S FG OaB0 C%"S J ⌧d Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (Qs.an-Nisa:34) Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah mengatur tata cara yang harus di tempuh oleh pihak suami apabila di dalam rumah tangganya terjadi perselisihan yang diakibatkan karena nusyuznya (perubahan perilaku) pihak istri, yang apabila permasalahan tersebut terus dibiarkan tanpa usaha untuk mencari jalan keluar diantar keduanya dengan cara-cara yang disyri’atkan oleh hukum islam, maka akan berdampak pada terjadinya perceraian. b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami Dalam surat An-nisa ayat 128 dinyatakan:
d 3 =4{ & [)A GDQ) ))A
+/|@ -%8"6 [7S] B⌧{ Om &x=SQ %SE D)A ☺Ia$%"l h ☯{% ☺lOx"6 V a ⌧{% ) 1⌧| ;☯/?@,& Ta> =A) P /QWv9) P SO>89 DQ) h ☺6 J ⌧d !
~{ m¡G Oa J8%☺89 Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa:128) Dalam al-qur’an dan terjemahannya terdapat keterangan bahwa jalan yang di tempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara istri merelakan haknya dikurangi untuk sementara agar suaminya bersedia kembali pada istrinya dengan baik. c. Terjadinya Syiqaq Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal,maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat
dalam
syiqaq(percekcokan),misalnya disebabkan kesulitan ekonomi,sehingga keduanya sering bertengkar.
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq. Dalam penjelasan UU no.7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses. Dalam ayat suci al-Qur’an surah an-Nisa:4/35 dinyatakan:
¢ Q! ,*?> DQ) P 8b86 { ^IG\x"6 iA r)A = X3 £☺V DQ -%r)A = X3 £☺V) G#{SE ☯ $%=Q KEFSE ! NDQ V ☺_I\*"6
FG Oa5 ☺%"S "D ⌧d Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.An-Nisa:35) Dari ayat diatas, jelas sekali aturan islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga.Dipilihnya hakam(arbitrator) dari masing-masing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri.Ini lebih mudah untuk mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa disunnatkan hakam itu dari pihak suami dan isteri, jika tidak boleh dari pihak lain.
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina(fahisyah) Yang
menimbulkan
menyelesaikannya
adalah
saling dengan
tuduh cara
menuduh
antara
membuktikan
keduanya.Cara tuduhan
yang
didakwakan,dengan
cara
li’an.Li’an
sesunguhnya
telah
memasuki
“gerbang
putusnya”perkawinan,dan bahkan untuk selama-lamanya.Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra.20
4. Macam-Macam Talak. Ada tiga macam talak: a. Talak tiga, talak ini dinamakan”bain kubra”, bekas suami tidak boleh ruju’kembali, tidak sah pula kawin lagi dengan bekas istrinya itu, kecuali apabila bekas istrinya itu sudah menikah lagi dengan orang lain, serta sudah bercampur dengan suaminya yang baru itu dan sudah di ceraikannya dan sudah pula habis masa iddahnya, barulah suami yang pertama boleh menikahinya lagi. b. Talak tebus, atau dinamakan”bain sughra”, suami tidak sah ruju’lagi,tetapi boleh kawin kembali, baik dalam iddah ataupun sesudah habis iddahnya, dengan ketentuan harus ulangi akad nikah yang baru. c. Talak satu atau talak dua dinamakan”talak raj’i”, artinya si suami boleh ruju kembali kepada istrinya selama si istri masih dalam iddah.21 5. Rukun Dan Syarat Talak Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung pada lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat diantaranya :
20
M.Amir Nurudin dan Tarigan,Azhari Akmal.Hukum perdata Islam Kritis Perkembangan Hukum Islamdari Fiqh,U no.1/1974 sampai KHI.,(Jakarta:Kencana,2006),Cet.3,214. 21 Kasmuri Selamat,Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga(Panduan Perkawinan),(Jakarta:Kalam Mulia,1998),Cet 1,h.25.
1. Suami, suami adalah yang memiliki hak talak dan berhak menjatuhi talak, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Abu Ya’la dan Al-hakim meriwayatkan hadits dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda
E +# < اBC, <اح و+# << ق ا Artinya: “tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan”. Untuk sahnya talak suami disyaratkan : a. Telah dewasa dan sehat akalnya serta ucapan talak yang digunkannya itu adalah atas dasar kesadaran dan kesengajaannya, dengan demikian, talak yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang terpaksa dan orang yang tersalah dalam ucapannya maka tidak sah talak yang diucapkannya. Karena talak tergolong tindakan yang mempunyai akibat dan pengaruh dalam kehidupan suami istri, maka mau tidak mau yang menjatuhkan talak harus
sempurna
kemampuannya,
sehingga
tindakan-tindakannya
dipandang sah secara hukum. Firman Allah SWT dalam surat An-nahl ayat 106 "3 "⌧?B0 6 d 3 K8"6 ?iO ☺EQ CQ = "3 [$F¤0A {% ) 3yG☺=
S3 ☺E4¥ 6 >V ) N3 aB} F*?UV* 6 7<=Kf -*$%8{ s%Bs⌧ JX3 -) ¨ ⌧k"S s/"S mG “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. Dan sabda Rasulullah SAW :
, ها.C7ن و اA واKL ا3C أ0, M; و2إن ا Sungguh Allah melepaskan dari umatku tangung jawab dari dosa silap,lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya. Berdasarkan keterangan di atas, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang terpaksa tidak sah (tidak jatuh). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak yang sah. 2. Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. 3. Sayyid Sabiq menjelaskan lebih terperinci dalam kitabnya Fiqh As-sunnah tentang syarat dari pihak perempuan yaitu : a. Berada dalam ikatan suami istri yang sah b. Bila berada dalam iddah talak raj’i atau iddah talak bai’n sughra sebab dalam keadaan-keadaan seperti ini secara hukum ikatan suami istri masih berlaku sampai habisnya masa iddah. c. Jika perempuan berada dalam pisah badan karena dianggap sebagai talak seperti pisah badan karena suami tidak amu masuk islam atau karena ila’. Pisah badan dalam keadaan seperti ini dianggap talak oleh golongan Hanafi. d. Jika perempuan dalam iddah, karena pisah badan yang dianggap fasakh, tetapi pada dasarnya akadnya tidak batal. Seperti karena istri murtad.
Fasakh dalam hal ini terjadi karena adanya halangan yang membatalkan kelangsunagan perkawinan, bila kemurtadannya benar-benar terbukkti. 4. Sighat talak. Kata-kata yang diucapkan oleh suami menggunakan lafadz talak, sharih atau lafadz yang semakna dengan itu atau terjemahannya yang samasama diketahui sebagai ucapan yang memutus hubungan pernikahan seperti “cerai”. Dapat juga ucapan talak itu menggunakan ucapan yang tidak terus terang atau disebut juga kinayah, namun untuk itu dipersyaratkan niat dari si suami yang mengucapkannya. 5. Qashdu (kesengajaan), ucapan talak itu memang di maksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak bukan untuk yang lain, oleh karena itu apabila suami mengeluarkan lafadz yang bukan lafadz talak maka dipandang tidak jatuh talak.22 6. Tata Cara Talak Dalam shariah tidak ada di bentangkan suatu prosedur sebelum terjadinya perceraian,seperti
usaha
mendamaikannya
kembali
bilamana
memungkinkan.Tetapi kalau semua upaya untuk merukunkan kembali dan membentuk hubungan yang baik di antara kedua pasangan hidup itu ternyata gagal,dan kedua suami istri itu menganggap tak mungkin untuk hidup bersama lebih lama lagi,maka tak ada belenggu memuakkan yang memaksa mereka agar tetap bersama.Mereka boleh berpisah dengan baik dan masing-masingnya boleh mencari pasangan lain lagi yang cocok dengan membina suatu hubungan perkawinan yang baru.Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkawinan semata-mata merupakan ikatan kekeluargaan dalam islam yang harus di fungsikan 22
Abd.Rahman Ghazaly,Fiqh Munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet.1,h.205.
selama satu sama lain tetap saling mencintai dan menghormati.Melalui perkawinan
Syariat
bertujuan
membentuk
suatu
unit
keluarga
yang
sejahtera,tetapi kalau tujuan ini gagal,maka ia tak perlu di perpanjang berlarutlarut dengan alasan yang di cari-cari sebagaimana di praktekkan di antara beberapa agama lain yang tak mengizinkan adanya perceraian dengan mengambil sumpah pada saat upacara perkawinan itu bahwa mereka tak akan memutuskan jalinan perkawinan”sampai ajal memisahkan kita” Merupakan hal yang tidak islami dan tak etis membiarkan kehidupan orang mengambang terkatung-katung.Al-qur’an menjelaskan(an nisa 129)
D)A P ©S8k
",$o ) U fX7 "yz"6 P UK89 P 8%☺9 B⌧{ P T,=" ) r)M<⌧k"v{ Go*☺*
No/0 DQ) h HQ.%8☺* ⌧d ~{ P /QWv9) P %89 £☺<
7</?⌧ "D ⌧d !
m¡sG Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Bila tetap tak ada harapan sama sekali untuk mendamaikannya,maka hanya perceraianlah yang merupakan penyelesaian terakhir.(an nisa 130)
⌧/0 *SE ⌧?"v"E DQ) "D ⌧d) h iv8 X3 mFG £☺>V 8>() Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masingmasingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
Dengan kata lain,Syariat hanya mengizinkan menceraikan seseorang atau beberapa istri dalam keadaan tertentu.Seorang muslim hanya dapatmenceraikan istrinya sebanyak dua kali dalam tempo berbeda yang memungkinkan mereka berdamai dan rujuk kembali,namun setelah semua upaya mendamaikan tak berhasil,maka dalam perceraian ketiga mereka tak boleh rujuk kembali.23
7. Akibat Hukum Talak a. Akibat Talak Raj’i Talak raj’i tidak melarang mantan suami berkumpul dengan mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan). Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan akibat-akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah istrinya. Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak ada rujuk apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh rujuk dan berarti perempuan itu telah tertalak bai’n. Jika ada dalam masa iddah maka talak raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan istrinya kecuali bersenggama. Jika ia menggauli istrinya berarti ia telah rujuk. Istri yang menjalani iddah talak raj’i, jika ia taat atau baik kepada suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari
23
Abdur Rahman,Shari’ah The Islamic Law.Penerjemah Basri Iba Asghary,dkk(Jakarta:PT Rineka Cipta,1992),h.83.
mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka tidak berhak mendapat apaapa. Rasulullah SAW bersabda
# . ا% , % N أة إذا آن./ =A ا وا/إ “perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya”.(HR.Ahmad dan An-Nasai) Sabdanya pula
# . اE /> 0/ =A ا وا/إ Nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang memiliki(kesempatan untuk)diruju’. Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli warisnya dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama masa iddah. b. Akibat Talak Bai’n Sughra Talak bai’n sughra adalah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan istri setelah kata talak diucapkan, karena ikatan perkawinan telah putus, maka istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya. Apabila ia baru mentalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak, maka ia berhak atas satu kali talak setelah rujuk. c. Akibat Talak Bai’n Kubra Hukum talak bai’n kubra sama dengan talak bai’n sughra, yaitu memutuskan tali perkawinan antara suami dan istri. Tetapi talak bai’n kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk bekas istrinya kecuali sesudah ia (istri menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (bersenggama) tanpa ada niat nikah tahlil). Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 23:
1☺X3 ª%E< y T,O/0 DQ) "@K5"S h$9"S O*N"@ X3 Z[<6 P 89{L{ P SS ) iA £X3 GD) X3 TUdU K-U! ¡FG "yz K f T,OUd Q Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Perempuan yang menjalani iddah talak bai’n jika tidak hamil, ia hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah) sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi jika ia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah. dalam Al-Qur’an ditegaskan : QS.At-Thalaq : 6
v7V \*k = 3 1 8rSO>V)A 1 8r)n< Bs89 BC) TUdK S) X3 DQ) h 1 Ia$%"S P /QBsv P /Q?@)L{ o⌧ 4 L)A 1 Ud 8Bs"E hR 1 Ia$%"S 8fm<)A D~{ h 1 -$%⌧ P 1 8r<S]A 1 8r89 "{ 6UV 6UVOx"6 P )S☺9{A) U$af 89 DQ) P 5 )S8[?V G V"A ?SA >maU«f{ Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. Perempuan yang menjalani iddah wafat karena ditinggal mati oleh suaminya ia tidak berhak sama sekali nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya, karena ia dan anak yang dikandungnya adalah pewaris yang berhak mendapatkan harta pusaka dari almarhum suaminya itu. Rasulullah SAW bersabda :
% زو%, ="C/ ) ) اG “Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak memperoleh nafkah. Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qobla al-dukhul) ia tidak memiliki iddah tetapi berhak memperoleh mut’ah (pemberian). Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam( QS. Al-Azab: 49)
"y !
HIJK)L. "E :,V"@
Q P ©SO"3 U 8 4 [73☺*
D)A Go 3 1 8r☺v*Q.% 1 -*$%"l TUV ☺{ 8rx☺9 P HI")
ibunya enggan atau sibuk, sampai anak itu bisa berdiri sendiri, maka tanggung jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Dalam Al-qur’an disebutkan : QS.At-Thalaq ayat 6
\*k = 3 1 8rSO>V)A BC) TUdK S) X3 v7V P /QBsv 1 8r)n< Bs89 4 L)A 1 Ud DQ) h 1 Ia$%"S 1 Ia$%"S P /Q?@)L{ o⌧ D~{ h 1 -$%⌧ 8Bs"E hR 1 8r89 "{ 6UV 8fm<)A P )S☺9{A) P 1 8r<S]A DQ) P 5 )S8[?V 6UVOx"6 ?SA >maU«f{ U$af 89 G V"A Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. Jika anak tersebut sudah mengerti (mumayyiz) maka ia dipersilahkan memilih apakah mau mengikuti ibu atau bapaknya.24 8. Hikmah Talak Dari uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang Islam syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah muslimah, baik disebabkan oleh salah satu suami isteri atau oleh keduanya.
24
Ghazaly Abd.Rahman,Fiqh munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet 1,h.266.
Hanya saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak, sehingga pada saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu talak.
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman, ”Talak (yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan orang yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik(Al-Baqarah:229)
®® f*3~{ P GD 9 # $%!
5⌧Ea=19 ))A ¯ )x8[?V D)A T/
D~{ P
[7S] B⌧{
)KS$ =TK"v*{
^k{ ☺Ia$%"S B⌧{ )KS$ 5{%9 V i6 1K8"v"E "3) h r)K"v89 ST8r 5±. L)L{ )KS$ ¡¡sG "DS^% !/
Artinya” Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak kedua, maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya sebelum berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangnya amarah yang menyulut api perceraian. Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb kita dalam firman-Nya, ”Hai Nabi jika kamu menceraikan isteriisterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1)
Q YNO
HIJK)L. "E U fX7
:,*Q.% IF1K8 1 8r/QI%
{ P $[1K8*
P =)A) BC P T/W6< ! P /QN9 ) 1 -9Sk6 d 3 8rS]F*E3 "yz9{L"E D)A CQ J=]S*Ep BC) h 5HOXx"5n3 5H"|> ⌧?6
"3) h )KS$ 5{%9) T$% =KQ{ )KS$ 1K8"v"E ! No8 <=K9 BC h f*?"@
q*3)A 5( K8"6 K*"Up mG Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. Yaitu barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya, dan Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk (kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang untuk proses rujuk. 25
BAB III KETENTUAN MENGENAI JATUHNYA TALAK DI PENGADILAN MENURUT KHI A. Sekilas Tentang KHI 1. Latar Belakang Lahirnya Pasal 115 KHI
25
http:| msg 00129.html.
Kompilasi Hukum Islam merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974. Karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi yang di emban oleh UU Perkawinan tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi umat Islam. Antara lain kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat di pegangi oleh umat Islam. 26 Keberhasilan umat Islam Indonesia (Menteri Agama, Ulama) dalam menggolkan RUU PA menjadi UU Peradilan Agama No 7 tahun 1989, tidaklah berarti semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai. Ternyata persoalan yang krusial yang dihadapi adalah berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. 27 Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. secara material telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman putusan hukum. Berangkat dari realitas ini keinginan untuk menyusun “Kitab Hukum Islam”dalam bentuk kompilasi semakin mendesak. Penyusunan Kompilasi ini bukan saja di dasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di Pengadilan Agama di Indonesia, tetapi juga disandarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat perangkat di sebuah peradilan, yaitu kitab materi hukum Islam yang digunakan di lembaga peradilan tersebut. Adalah Bustanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat kompilasi
26 27
Ahmad rafiq hukuim islam di indonesia h.55 H.amir nasution
hukum Islam. Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah tim pelaksana proyek dengan surat keputusan bersama (SKB) ketua MA RI dan Menteri Agama RI No. 7/KMA/1985. Dalam tim tersebut Bustanul Arifin dipercaya menjadi pimpinan umum dengan anggota tim yang meliputi para pejabat MA dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat didalamnya maka terumuskanlah KHI. Yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, buku II tentang kewarisan, buku III tentang perwakafan. Inpres tersebut di tindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991. Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas maka pelaksanaan penyusunan Kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : a. Tahap I : Tahap Persiapan b. Tahap II : Tahap pengumpulan data, melalui : 1. Jalur Ulama 2. Jalur Kitab-kitab Fiqih 3. Jalur studi perbandingan di Negara-negara lain khususnya di Negara-negara timur tengah. c. Tahap III : Tahap penyusunan rancangan KHI dari data-data tersebut, d. Tahap IV : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama / cendekiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya. Setidaknya dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu, maka saat ini
di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme keputusan Peradilan Agama, karena kitab yang dijadikan rujukan para hakim di Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fiqih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena di gali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. Jika tidak akan muncul hambatan psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada bab XVI. Dalam KHI Pasal 113 dinyatakan : Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian (talak), c. Atas putusan pengadilan agama. Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian (talak) dijelaskan pada pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan karena talak dan perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian. Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud di dalam pasal 129, 120 dan 131. KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus
disampaikan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya UU No.7/1989 tentang peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat (1) yang berbunyi “Seorang suami yamg beragama Islam yang akan menceraikan
isterinya
mengajukan
permohonan
kepada
pengadilan
untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”. Berkenaan dengan perceraian harus dilaksanakan di depan sidang pengadilan agama dinyatakan pada KHI pasal 115. Sedangkan yang berkenaan dengan sebabsebab terjadinya perceraian dijelaskan secara luas pada KHI pasal 116 yang berbunyi: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antar suami istri terus menrus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukuann dalam rumah tangga. Berangkat dari KHI pasal 116 ini, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 19 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relatif penting karena sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang biasanya dibacakan suami setelah akad nikah. Kalau suami melanggar janji yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela lantas mengadu ke Pengadilan, maka pengadilan atas nama suami akan menjatuhkan talak satu khuluk kepada istri. Jadi taklik talak sebagai sebuah ijtihad baru sangat penting untuk melindungi hak-hak wanita. Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak kepada talak raj’i, talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra. Seperti yang terdapat pada KHI pasal 118 dan 119. Yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Ketentuan tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
JW6a"«"E /4 Q.%
☺* ) AU?)S8 Hb $%) 1 ->/?@)L6 =☺,V"E D)A 1 'Z
"#$%& "3 1 3SE 1 Ud DQ 1 -3 "$<)A F>, ²k* ) 6 <#)A 1 _I☺S86) h DQ 5( y 1 r"6 h ☯ $%=Q P ?) <)A !
Sob3 1 'Z) h > )x8H@{² 6 1 Ia$%"S 1 Ia$%"S ]F%) En"S ) V H]<
¡¡G >V Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. AlBaqarah: 228) Sedangkan talak ba’in sughra adalah (KHI pasal 119) adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Talak ba’in sughra sebagaimana tersebut pada KHI pasal 119 ayat (2) adalah talak yang terjadi qobla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. Sedangkan talak ba’in qubra ( KHI pasal 120) adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas suami istri meikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan telah melewati (habis) masa iddahnya. Disamping pembagian diatas juga di kenal pembagian talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya ke dalam talak sunni dan talak bid’i. Adapun yang dimaksud dengan talak sunni sebagaimana terdapat pada KHI pasal 121 adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan
talak bid’i seperti yang termuat pada pasal 122 adalah talak yang dilarang karena dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut dan atau menthalak istri pada wakti istri dalam keadaan tidak suci (haidh). Menurut KHI, talak atau perceraian terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan agama. Sebagaimana dalam UUP di dalam KHI pun tidak kita temukan pasal-pasal yang menerangkan tentang hukum talak. Hal ini bisa dimengerti mengingat UUP / KHI memandang bahwa talak apapun hukumnya adalah suatu hal yang benar-benar terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat sejak jaman Nabi Muhammad SAW (bahkan sebelumnya) hingga kini. Begitu pula tidak kita temukan pasal-pasal yang menerangkan tentang rukun dan syarat talak. Khususnya yang berkenaan dengan pelaku hukum (Pemohon dan termohon atau penggugat dan tergugat). KHI hanya menerangkan rukun dan syarat yang menyangkut masalah administrator dalam mengajukan suatu perkara talak seperti terdapat dalam KHI pasal 129-142. Sedangkan tentang tata cara perceraian dalam KHI menjelaskan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu (KHI pasal 129).
Kemudian pengadilan agama yang
bersangkutan
mempelajari
permohonan yang dimaksud (KHI pasal 129) dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang behubungan dengan maksud menjatuhkan talak (KHI pasal 131 ayat 1). Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata
cukup alasan menjatuhkan talak maka pengadilan agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak dan talakpun terjadi setelah keputusan mempunyai hukum tetap (ayat 2 dan 3). Sedangkan untuk perkara gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan tentang akibat hukum talak, sebagimana terdapat pada pasal 149. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak bagi istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri qobla al dukhul (belum disetubuhi). Juga memberikan nafkah, makan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh bila qobla al dukhul serta memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah (pasal 150). Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain (pasal 151) dan bekas istri berhak mendapatkan nafkah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz (pasal 152). 2. Dasar hukum lahirnya pasal 115 Dasar hukum yang digunakan Kompilasi Hukum Islam dalam memberlakukan KHI pasal 115 dan pasal-pasal lainnya yaitu berdasarkan hukum Islam (fiqh) yang
tersebar dalam sejumlah besar kitab-kitab para fuqoha beberapa abad lalu, yang sesuai dengan karakteristiknya sebagai rumusan para fuqaha yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan dimana fuqaha itu berada. Mengenai kitab-kitab rujukan bagi pengadilan agama pada dasarnya adalah sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan surat edaran biro peradilan agama no. B/1/1735 tanggal 18 februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan agama / mahkamah syar’iyah diluar jawa dan madura. Dalam huruf B surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim pengadilan agama / mahkamah syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini : 1) Al Bjuri; 2) Fathul Muin dengan syarahnya; 3) Syarqawi Alat Tahrir 4) Qulyubi / Muhalli; 5) Fathul Wahab dengan syarahnya; 6) Tuhfah; 7) Targhibul Musytaq; 8) Qawainusi Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya; 9) Qawainusi Syar’iyah Lissaysid Shadaqoh Dakhlan; 10) Syamsuri Lil Fara’idl; 11) Bugyatul Mustarsyidin;
12) Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah; 13) Mughnil Mumtaj; Dari kitab-kitab ini kita sudah dapat melihat pola pemikiran hukum yang memepengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia. Umumnya kitab-kittab tersebut adalah kitab-kitab kuno dalam madzhab syafi’I, kecuali mungkin untuk no. 12 termasuk kitab yang bersifat komparatif atu perbandingan mazhab. Begitu juga hampir semua kitab ditulis dalam bahasa arab kecuali kitab no.8 yang ditulis dalam bahasa Melayu Arab. Kenyataan di atas diperburuk lagi oleh adanya ketidakjelasan persepsi masyarakat tentang syari’ah dan fiqih. Menurut Masrani Basran, sejak ratusan tahun di kalangan ummat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi kekacauan persepsi tentang arti dan ruang lingkup syari’ah Islam. Kadang syari’ah disamakan dengan fiqih, malahan kadang disamakan pula dengan Al-Din. Kitab-kitab fiqih yang dijadikan sebagai rujukan selain ke-13 kitab di atas ditambah lagi dengan kitab-kitab fiqih lain (modern) yang kesemuanya berjumlah 38 kitab fiqih yang dijadikan rujukan. Selain dari kitab-kitab fiqih tersebut, penyusunan Kompilasi Hukum Islam merujuk pada fatwa, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lain-lain. Melalui wawancara dengan para ulama di seluruh Indonesia, melalui yurisprudensi dan kumpulan fatwa peradilan agama yang terdri dari 15 buku dan melalui studi banding hukum Islam yang dipraktekkan di Negara-negara muslim di Timur Tengah, meliputi: Maroko, Turki, Mesir dan kawasan asia yaitu Pakistan. Demikianlah sumber-sumber rujukan yang digunakan dalam penyusunan
Kompilasi Hukum Islam yang relatif lengkap, mulai dari kitab fiqih klasik dan modern, pendapat dan pemikiran berupa fatwa dan keputusan pengadilan dan hukum yang berlaku di berbagai Negara muslim di dunia. Diharapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut aspiratif dalam menjawab tuntutan keadilan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang senantiasa dihadapkan kepada kemajuan dan perkembangan.
BAB 1V EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
A. Perspektif Hukum Islam Sepakat para ahli fiqh bahwa suami yang sah menjatuhkan talak ialah suami yang mukallaf,seperti sempurna akalnya,telah baligh dan sebagainya. 28 Firman Alah SWT Q.S An-Nahl:106
K8"6 d 3 6 "⌧?B0 "3 [$F¤0A = "3 CQ ?iO ☺EQ 3yG☺=
S3 {% ) aB} N3 >V ) ☺E4¥ 6
7<=Kf F*?UV* 6 JX3 s%Bs⌧ -*$%8{ mG s/"S ¨ ⌧k"S -) Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S An-Nahl:106) Berdasarkan keterangan di atas Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad berpendapat
bahwa
talak
yang
dijatuhkan
oleh
suami
yang
terpaksa
menjatuhkannya tidak sah (tidak jatuh) sedangkan Imam Abu hanifah berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak yang sah.29 Tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak itu memang menjadi pembicaran di kalangan ulama golongan ahli fiqh.Ibnu Qayyim berkata
28 29
Kamal mukhtar h.150 Ibid h.151
bahwa talakm itu menjadi hak bagi orang yang menikahi,karena itulah yang berhak menahan istri,yakni merujuknya.Suami tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya.Tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya sesuatu yang menjadi dalil dan alasan di syariatkannya persaksian talak. Dalam hal ini fuqaha syi’ah imamiyah berbeda pendapat dengan fuqaha jumhur, yaitu mereka (syiah imamiyah) berpendapat bahwa persaksian dalam talak adalah syarat bagi sahnya talak.Alasan mereka ialah: Firman Allah dalam surat At-Talak: 2
1 -$%])A *$%"6
~{ ))A ¯ )S8☺6 1 8rUV>*3)L{ 5 )S8☺6 1 8r8 < { ª=K"S =) P )KI=W)A) P ☺ )A) UVOX3 T/( h ³ $[K -|
;3SE "D ⌧d "3 i6 /"SSE h F>, ²k* ) 6 SA! o8*-p ! G#Wv"E "3) ¡G ☯ "*E⌧ Artinya: Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. At-Thabrani menuturkan bahwa zahir ayat memerintahkan adanya persaksian untuk talak,dalam hal yang demikian juga diriwayatkan oleh imamimam ahlul bait seluruhnya dan bahwa hal itu menunjuk wajib serta menjadi syarat sahnya talak. Diantara sahabat yang berpendapat wajibnya persaksian dalam talak dan menjadi syarat sahnya talak ialah Ali bin abi thalib ra dan Imran bin husein.Dari
tabi’in ialah Al-Imam Muhamad Al-Baqir,Jafar Ash shadiq,Atho,Ibnu Juraij dan Ibnu Sirin. Diriwayatkan dari Ali RA bahwa beliau berkata kepada orang yang bertanya tentang talak:apakah talakmu telah engkau persaksikan di hadapan dua orang saksi yang adil sebagaimana Allah telah memerintahkannya?Orang itu menjawab:tidak,Maka Ali berkata:Pergilah engkau, talakmu itu bukan talak yang sebenarnya.30 Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dari mahzab-mazhab yang ada tentang keabsahan talak dalam beberapa keadaan tertentu. Niat yang di sengaja merupakan faktor terpenting dalam perceraian seperti halnya dalam perkawinan itu sendiri, namun dalam hal-hal tertentu perceraian itu tidak sah kalau di berikan dalam keadaan dipaksa, berada dalam penekanan,dan dalam keadan mabuk. Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa shah (jatuh) talak yang dijatuhkan oleh suami yang mabuk,apabila ia sengaja menjadikann dirinya menjadi orang yang mabuk,seperti karena sengaja meminum khamar dan minuman yang lain yang memabukkan.Apabila mabuknya itu datang sendiri atau bukan karena ia sengaja meminum minuman yang memabukkan, maka talaknya tidak shah. Kebanyakan ahli fiqh,seperti Imam Abu Hanifah, sebahagian pengikut Syafi’I dan Ahli Zahir berpendapat bahwa tidak shah talak yang dijatuhkan oleh orang yang sedang mabuk itu sama hukumnya dengan orang yang tidak berakal,atau orang yang gila. 31 Firman Allah:An nisa:43
30 31
Ghazaly,h.209-210. Kamal mukhtar,h.151.
"y !
HIJK)L. "E P 6"*Q9 BC P S7"3 U V" V ,@)A) $[h$%
"DU/Q9 "3 P ☺$%89 hR ook F6 "S CQ 5S7S] BC) DQ) h P 8%>",*9 hR h$9"S ))A
F1 U°7Ud TUV7X3 K"$)A U ] ))A o⌧? ))A >³ "*
X3 T$%{ U fX7 SU°☺ P ☺1☺k",{ ☯U "3 P )K>-)3 P f*3 { 75 7Kk8f NDQ V TUVEKE)A) TUVrS]M6
</?⌧
µ/?"S "D ⌧d !
FG Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. Dari Asiyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak syah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah?. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, Hakim).Hadits ini meski dikeritik sebagian orang bahwa di dalamnya ada rawi yang tidak kuat, namun umumnya ara muhaddits menshahihkannya. Dan hadits ini menurut hakim termasuk hadits shahih menurut syarat Muslim. Imam Al-Bukhari telah menuliskan dalam kitab shahihnya sebuah bab yang berjudul : ?Bab Talak Pada Waktu Ighlak (marah), tepaksa, mabuk dan gila?. Lalu beliau membedakan antara talak pada waktu ighlak (marah) dengan bentuk-bentuk lainnya.
Imam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim cenderung menjadikan tolok ukur jatuh tidaknya talak dari sengaja atau tidaknya. Siapa yang tidak bertujuan atau tidak berniat untuk mentalak serta tidak mengerti apa yang diucapkannya, maka dia dalam kondisi ighlaq (marah), yang berarti talaknya tidak jatuh. Para ulama membedakan marah itu menjadi tiga macam : Marah yang menghilangkan akal hingga batas seseorang tidak ingat lagi apa
•
yang diucapkannya. Dalam kasus seperti ini maka bila dia melafazkan kata talak kepada istrinya, tidak jatuh talaknya. Marah yang masih bisa seseroang untuk mengetahui apa yang diucapkannya.
•
Dalam kasus ini maka bila dia melafazkan talak, jatuhlah talak itu. Marah yang ada diantara keduanya yaitu antara sebagian akalnya hilang dan
•
sebagian masih ada. Sehingga begitu marahnya mereda, bisa jadi dia merasa menyesal atas apa yang tadi dilakukan. Marah yang jenis ini adalah menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Syeikh As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah cenderung mengatakan bahwa bila dia melafazkan talak maka talaknya tidak jatuh.32 Dalam persoalan talak dalam situasi marah ini, maka Ibnu Taimiyah dengan hujah-hujahnya berpendapat talak tersebut batal dan tidak dianggap. Pendapat beliau dikuatkan oleh ulama kholaf (kontemporer) Syeikh Utsaimin dengan beberapa tambahan perincian. [Durus wa Fatawa Haramul Makkiy, Syeikh Utsaimin 3/258-260]. Beliau menganalisir barometer kemarahan dengan tiga tingkatan:
32
www.mail-archive.com/[email protected]/msg00129.html - 10k
a. Marah biasa, yaitu seseorang masih dapat mengendalikan diri, akal dan ucapannya. Ia masih dapat mengontrol dirinya dan sadar. b. Marah sedang, yaitu marah yang tidak sampai pada puncak kemarahan tetapi dia sudah tidak dapat mengontrol diri dan ucapannya. c. Puncak kemarahan, yaitu marah yang dia sudah tidak sadar akan diri dan ucapanya. Ulama sepakat, orang yang mengalami tingkatan ini hukumnya sama dengan hukum orang gila. Talak yang diucapkan pada tingkatan marah pertama, maka dianggap sebagai orang marah pada umumnya dan terkena beban hukum, jika di mentalak maka talak tersebut sah. Talak yang diucapkan pada tingkatan marah kedua dan ketiga, maka pendapat yang terkuat adalah talak tersebut tidak sah, berdasarkan hadits: "Talak tidak dianggap jatuh karena ighlaq (dipaksa atau marah)". Pendapat yang menyelisi hal ini adalah pendapat ulama Hambali dan Syafi'i yang menyatakan bahwa jatuh talak dalam kondisi marah tanpa mensyaratkan niat.33 Di antara masalah-masalah yang menjadi ganjalan dalam kehidupan, yang berakhir dengan pecahnya keluarga dan putusnya silaturahmi di banyak negara adalah masa1ah disahkannya talak tiga sekaligus: Seseorang mengatakan, “Engkau kucerai dengan ta1ak tiga." Atau ia mengu1ang-ulang tiga kali berturut-turut dalam satu majelis ucapan, “Engkau kuceraikan." Kemudian hal itu di pandang sebagai talak tiga yang sebenarnya dan perempuan yang dicerai menjadi haram dinikahi bekas suaminya sebelum dinikahi laki-1aki lain (lalu menceraikannya) .
33
Ilmuislam.net/content/view/77/1/ - 32k
Dalam talak, menurut kebanyakan pengikut Ahlusunah, tidak disyaratkan dengan satu syarat pun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau keharusan hadimya dua orang saksi yang adil. Kadang-kadang kebencian dan kemarahan telah menguasai diri suami. Kemudian ia menceraikan istrinya dengan ta1ak tiga sekaligus. Sete1ah itu, ia menyesali perbuatannya dengan penyesalan yang sedemikian rupa sehingga seakan-akan bumi ini telah menjadi sempit baginya. Maka ia mencari jalan keluar dari akibat buruk ini. Namun, dari para .imam mazhab yang empat dan para pandakwahnya, ia tidak menemukan jalan keluar. Akhimya, ia hanya duduk dalam penyesalan. Pertanyaan baginya hanya membuat ia lari dari fiqih dan fatwa. Kita tahu dengan pasti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan toleran. Di dalamnya tidak ada kesulitan. Inilah yang mendorong para pendakwah yang ikhlas terus menerus mengkaji masalah ini dengan kajian yang terbebas dari pengaruh pikiran orang-orang yang terbelakang yang menutup pintu ijtihad dalam hukumhukum syariat; yang jauh dari pengaruh kajian orang- orang yang menuruti hawa nafsu yang ingin menjauhkan umat dari Islam, serta mencegah mereka untuk mengkaji masalah ini dan mencari hukumnya dalam Al-Qur'an dan sunah. Sehingga mereka terasing dari pemikiran yang benar. Padahal, boleh jadi setelah itu Allah menjadikan sesuatu yang baru. Barangkali setelah itu ikatan akan terurai dan mufti (pemberi fatwa) menemukan jalan keluar dari kesempitan yang disebabkan oleh taklid mazhab.
Berikut ini kami kutipkan kepada Anda beberapa pendapat berkenaan dengan masalah tersebut. Ibn Rusyd berkata, "Mayoritas fukaha berpendapat bahwa talak dengan mengucapkan kata ‘tiga’’ , hukumnya sama dengan talak tiga. Sedangkan ahlu zahir dan jamaah mengatakan bahwa hukumnya sama dengan hukum talak satu, dan ucapan kata ‘tiga’ , itu tidak memiliki konsekuensi apapun." Asy-Syekh ath- Thusi berkata, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dengan satu lafaz, hal itu merupakan bid'ah dan jatuh talak satu Apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Demikian menurut sahabat-sahabat kami. Tetapi di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ha1itu sama sekali tidak menimbulkan konsekuensi apa pun. Pendapat itu dianut oleh 'Ali as dan ahlu zahir. Ath-Thahawi meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ishaq bahwa ia memandang dengan lafaz jatuh talak satu, seperti telah kami katakan. Juga diriwayatkan bahwa Ibn 'Abbas dan Thawus berpendapat seperti pendapat yang dianut mazhab Imamiyah." Asy-Syafi'i berkata, "Jika seorang 1aki-1aki menceraikan istrinya dengan talak dua atau talak tiga dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, baik dilakukan sekaligus (satu kalimat dengan menyebutkan bi1angan) maupun secara terpisah (satu kalirnat diulang-ulang) , hal itu mubah, tidak dilarang, dan talak tersebut sah. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah 'Abdurrahman bin 'Auf, Mereka meriwayatkan hadis ini dari al-Hasan bin 'Ali as. Di kalangan tabi'in yang berpendapat seperti ini adalah Ibn Sirin. Sedangkan di kalangan fukaha yang mengikuti pendapat ini adalah Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsawr." Kaum berkata, " Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan suci dengan talak dua atau talak tiga, baik sekaligus maupun secara terpisah,
ia telah melakukan perbuatan haram, maksiat, dan dosa. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah ‘Ali as, ‘Umar, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbas. Di kalangan fukaha yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah beserta para sahabatnya dan Malik. Tetapi mereka mengatakan bahwa talak itu sah." Abu al-Qasim al-Khurqi dalam Mukhtasar-nya mengatakan, " Apabila seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dicampurinya, ‘Engkau ditalak. Engkau ditalak,’ maka jatuh talak dua. Tetapi jika dengan kalimat kedua itu ia bermaksud memahamkan kepada istrinya bahwa telah jatuh talak dengan kalilriat pertama, maka jatuh talak satu. Apabila perempuan itu belum dicampuri, maka dengan kalimat pertama itu ia menjadi ba'in. Kalimat se- sudahnya tidak memiliki konsekuensi apa pun karena yang berlaku adalah ucapan pertama." Ibn Qudamah dalam Syarh ‘ala Mukhtasar al-Khurqi mengatakan, “Apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya yang telah dicampuri, ‘Engkau ditalak' (dua kali) dan ia bemiat bahwa dengan ucapan kedua itu jatuh talak dua, maka bagi perempuan itu jatuh talak dua. Tetapi jika dengan ucapan kedua itu ia bemiat untuk memahamkan bahwa dengan ucapan pertama itu telah jatuh talak atau hanya untuk menegaskan, maka jatuh talak satu. Apabila ia tidak bemiat deh1ikian, maka ja.tuh talak dua. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan Malik. Hal itu sahih menurut dua qawl asy-syafi’i. Tetapi dalam qawl terakhir ia mengatakan bahwa dengan cara itu jatuh talak satu." Al-Khurqi juga dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Kepada istri yang telah dicampuri jatuh talak tiga Apabila suami mengatakan kepadanya kalimat-kalimat seperti, “Engkau ditalak, lalu ditalak, lalu ditalak.” Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian
ditalak, kemudian ditalak.’ Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak dan ditalak.' Atau, Engkau ditalak, kemudian di talak, lalu ditalak.’ Ibn Qudamah dalam Syarh-nya mengatakan, “Menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz menuntut jatuhnya talak tersebut sekaligus, seperti kalau suami mengatakan (kepada istrinya) 'Engkau kucerai dengan talak tiga.' ‘Abdurrahman al-Jaziri berkata, "Laki-laki merdeka memiliki tiga talak. Apabila laki-laki itu menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus dengan mengucapkan, 'Engkau kuceraikan dengan talak tiga,' maka menurut mazhab yang empat (Ahlusunah) bilangan yang diucapkannya itu berlaku. Itulah pendapat mayoritas ulama. Tetapi pendapat itu ditentang oleh sebagian mujtahid, seperti Thawus, 'Ikrimah, Ishaq, dan yang terkemuka di antara mereka adalah Ibn ' Abbas ra." Masih banyak ucapan-ucapan seperti itu yang menunjukkan kesepakatan mayoritas fukaha setelah generasi tabi'in tentang berlakunya talak tersebut. Mereka berhujah dengan apa yang didengar. Orang yang terkemuka di antara mereka yang memberlakukan talak tersebut adalah 'Umar bin al-Khaththab. Talak tiga itu berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari para sahabat. Akan tetapi, kalau AlQur'an dan sunah menunjukkan sebaliknya, tentu itulah yang harus diambil. 34 B.
Efektifitas Pelaksanaan Pasal 115 di Pengadilan dan Masyarakat Pada dasarnya dalam Islam membenarkan seorang suami yang akan menceraikan istrinya hanya cukup di ucapkan di depan istrinya atau orang lain maka jatuhlah talak, akan tetap dalam hidup bernegara ada yang memerintah,dan sebagai
34
www.geocities.com/zahranakumayl/talaktiga.html
warga negara kita harus taat kepada peraturan pemerintah, selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam itu sendiri,karena taat kepada pemerintah merupakan bagian kewajiban sebagai umat muslim.Pemerintah membentuk suatu peraturan tentang perceraian bertujuan agar tertib administrasi halnya masalah pencatatan perkawinan kelahiran serta mempersulit perceraian.hal ini pada dasarknya sesuai dengan prinsip hukum islam mengenai perceraian yaitu mempersulit terjadinya perceraian. Ternyata dengan berjalannya waktu masyarakat khususnya di daerah Cibinong banyak yang sudah mengerti akan hukum. Hal ini tidak bisa di pungkiri karena peran aktif lembaga Pengadilan Agama dalam melakukan penyuluhan hukum secara rutin setiap satu minggu sekali dan penyuluhan selalu di hadiri oleh masyarakat.Terbukti dengan semakin banyaknya orang yang melakukan perceraian di Pengadilan Agama Cibinong. di satu sisi sebuah hal yang mengecewakan tapi di satu sisi yang lain ternyata pasal 115 KHI terbukti berjalan dengan efektif. Masyarakat semakin sadar bahwa jika ingin perceraiannya memiliki kekuatan hukum tetap dan mendapat keadilan di antara masing-masing pihak dalam hal harta ataupun dalam pengasuhan anak maka lebih baik mereka memutuskannya di Pengadilan Agama.
BAB V PENUTUP d. Kesimpulan Dalam uraian pada bab-bab di atas, ternyata ketentuan mengenai keharusan seorang suami melaksanakan thalak di depan sidang Pengadilan Agama di Indonesia sarat dengan hasil ijtihad para ulama Indonesia dan juga peran dari pemerintah. Yang menarik dari perkembangan tentang hukum thalak di Indonesia adalah dimana Undang-Undang memiliki peranan yang cukup besar dalam hal thalak/ gugatan cerai (khulu) yang dalam proses penyelesaiannya setara yaitu sama-sama dapat mengajukan permohonan thalak, dan pengadilan sebagai pihak yang dapat menentukan dapat terjadi / tidaknya suatu perceraian (thalak). Ketentuan tersebut sekilas bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Hukum Islam, karena tidak adanya dalil / nash baik dalam syari’ah / dalam fiqh yang menjelaskan dan mengatur bahwa thalak itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Walaupun begitu, terhadap masalah ini selama tidak menyalahi dan berjalan sesuai dengan hukum Islam maka penulis menyimpulkan bahwa : 1) Landasan hukum yang dijadikan rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam memberlakukan ketentuan jatuhnya thalak di depan sidang Pengadilan Agama berdasarkan surat edaran biro Peradilan Agama No. B/1/735/1958 adalah 38 kitab fiqh yang terdiri dari kitab klasik dan modern, lembaga dan fatwa (MUI, NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan lembaga fatwa lainnya), wawancara para ulama di seluruh ulama di seluruh Indonesia, melalui Yurisprudensi, dan studi
banding ke Negara muslim timur tengah (Maroko, Turki, Mesir, dan kawasan Asia yaitu Pakistan). 2) Berdasarkan pasal 115 KHI maka thalak dinyatakan jatuh apabila thalak itu dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3) Masyarakat telah memahami dan mengetahui tentang hukum sehingga Pasal 115 KHI itu dapat berjalan secara efektif. e. Saran-saran Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan kajian ini: A. Thalak adalah putusnya tali perkawinan antara suami istri dan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap masa depan keduanya serta orang-orang di sekitarnya. B. Kepada para hakim sebagai bagian dari perangkat hukum agar senantiasa mengembangkan pemahaman hukum yang mengarah kepada terciptanya suatau kemajuan hukum yang sesuai dan sejalan dengan Hukum Islam. C. Kepada para ulama yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang sama agar terus mengkaji hukum yang ada pada Undang-undang di Indonesia apakah sudah sejalan dengan hukum yang bersumber dari Al-qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an al-karim dan terjemahannya. Abdur, Rahman. Perkawinan Dalam Syariat Islam.Penerjemah Basri Iba Asghary, dkk. Jakarta: Rineka Cipta,1992. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, cet. v. Jakarta: Akademika Presindo, 2007. Abu Asadirrahman Ibrahim.’’ Apakah Jatuh Talak dalam Kondisi Marah?. artikel diakses pada tanggal 23 Februari 2009 dari Ilmu Islam.net. Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga, Jakarta: pustaka Al-Kautsar. Cet. 1, 2001. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, cet.1. Bogor: Kencana, 2003. Huda, Miftahul.”Pemahaman Masyarakat Tentang Talak Dan Akibat Hukumnya Menurut KHI (Studi Pada Warga Masyarakat Kecamatan Cipayung) Jakarta Timur”. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Muchtar, Kamal. Azaz-Azaz Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang. Mulia ,Musdah . Pandangan Islam Tentang Poligami, cet. 1. Jakarta,1999. Mulyadi.”Cerai Tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Islam’. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam(Hukum Fiqh Islam), cet. 27. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003. Selamat, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), cet.1. Jakarta,1999. Syarifuddin, Amir.Garis-Garis Besar Fiqh, cet. 1. Bogor: Kencana, 2003. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 1 .Jakarta: Kencana,2006. Yosquin.’’ Talak dalam Agama Islam. Artikel Diakses Pada Tanggal 23 Februari 2009 dari msg 00129.html.
HASIL WAWANCARA DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
NAMA
:Dra.Hj.Faujiah,MH.
JABATAN
:Hakim
HARI/TANGGAL
:29 Mei 2009
1. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai permasalahan perceraian yang dilakukan di luar prosedur Pengadilan Agama? Jawaban: Dianggap tidak ada perceraian,ikrar talak itu harus di depan Pengadilan Agama,kalau di luar itu hanya emosi saja.jadi,tidak boleh sembarang tempat dalam mengucapkannya.
2. Lalu menurut Ibua,bagaimana status perceraian yang dilakukan tidak di Pengadilan Agama? Jawaban: Dianggap tidak ada status,karena tidak ada akibat hukumnya.Karena pernikahannya kan tercatat,jadi seharusnya perceraiannya pun tercatat.
3. Apakah di Pengadilan Agama ini terdapat perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama setelah mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama? Jawaban: Ada,banyak.Mereka biasanya telah menjatuhkan talak lalu istrinya sudah di pulangkan ke rumah orang tuanya.Biasanya mereka tidak datang ke Pengadilan Agama karena terrganjal oleh biaya,tapi,di Pengadilan Agama kan ada keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu,akhirnya mereka sadar untuk datang ke Pengadilan Agama dan bercerai.
4. Apa tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama ini untuk mengatasi perceraian di luar Pengadilan Agama? Jawaban: Kami memberikan pengarahan seperti penyuluhan hukum setiap 1 minggu sekali.
5. Menurut Ibu sejauh ini pasal 115 KHI itu efektif atau tidak diterapkan di masyarakat?
Jawaban: Efektif,Jadi semakin banyak orang yang sadar hukum dan datang ke Pengadilan Agama untuk mengurus perceraiannya.
6. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai perbedaan pendapat tentang cara penjatuhan talak? Jawaban: Itu di kembalikan lagi kepada individunya.Jika mereka ingin mendapat kejelasan hukum lebih baik mereka datang ke Pengadilan Agama dengan begitu diharapkan dapat menjamin hak masing-masing pihak sebagai akibat dari perceraian,misalnya hak pengasuhan anak,dan lain-lain.
Bogor, 29 Mei 2009 Pewawancara
Nara Sumber
(Rieda Yuliati)
(Dra.Hj.Faujiah,MH)
Hasil Wawancara Nama: Ina Satinah Profesi: Pembantu Rumah tangga Hari/Tanggal: Rabu/27 Mei 2009
1. Berapa lama usia pernikahan anda? Jawab:16 tahun
2. Apa yang menyebabkan anda bercerai? Jawab: Menurut suami karena suami merasa kurang harmonis padahal kenyatanya selama 16 tahun kami menikah kami tidak pernah bertengkar
3. Di mana anda melakukan perceraian? Jawab: di Pengadilan Agama.
4. Kapan anda bercerai? Jawab: 23 maret 2005
5. Bagaimana proses perceraian anda? Jawab: Sidang pertama suami tidak hadir,sidang kedua sidangnya di batalin,sidang ke tiga langsung di kasih surat cerai,setelah ditanya ke pihak Pengadilan Agama ternyata pengacara suami membayar 4 juta kepada hakimnya.
6. Siapa saja saksi yang hadir waktu proses perceraian? Jawab: Saya(Ina Satinah)saudara suami,dan pengacara dari pihak suami.
7. Apakah anda mengetahui kalau mau melakukan perceraian itu harus dilakukan di mana? Jawab: Tahu, di Pengadilan Agama.
8. Apakah anda puas dengan hasil keputusan Pengadilan Agama?
Jawab: Saya tidak puas. 9. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai? Jawab: tidak,tapi pihak mantan suami yang melaporkan.
10. Setelah bercerai,apakah mantan suami anda memberikan nafkah kepada anda dan anak anda? Jawab: tidak,karena setelah saya mendapat surat cerai saya langsung di usir dari rumah dan anak-anak tinggal bersama mantan suami.
11. Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai? Jawab: tidak,mantan suami sendiri yang memutuskan bahwa anak-anak ikut dengannya.
12. Mengenai harta gono gini atau harta bawan di bicarakan dengan mantan suami anda sewaktu bercerai? Jawab: tidak,saya tidak mendapatkan apa-apa.
13. Apakah Anda mendapatkan mut’ah selama iddah dari suami anda? Jawab: diberi 500rb untuk uang iddah itu juga karena di suruh oleh pihak KUA