DRAFT REVISI-P dengan Gubernur 11 Pebr. 2008, finalisasi 20 Pebr. 2008)
RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR .... TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang :
a. bahwa untuk menwujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan kondisi, keabsahan, dan potensi unggulan dibutuhkan sejumlah modal baik itu berasal dari dalam negeri maupun luar negeri; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu dalam rangka meningkatkan efektifitas dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Aceh melalui penyederhanaan peraturan penyelenggaraan penanaman modal untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif dan promotif bagi pertumbuhan investasi; c. bahwa dengan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh perlu pengaturan lebih lanjut mengenai penanaman modal dengan memperhatikan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional dengan perkembangan dan kebutuhan daerah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b dan huruf c di atas, perlu menetapkan dalam suatu qanun.
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); 5. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3611); 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279); 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279); 8.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);
9.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633); 12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3335), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1993 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3515); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 28), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4162);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3718); 16. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 03). 17. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan organisasi dan tata kerja Dinas, lembaga teknis daerah, dan lembaga daerah provinsi nanggroe aceh Darussalam (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 05, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 05).
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN GUBERNUR ACEH MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
QANUN ACEH TENTANG PENANAMAN MODAL.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan : 1.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
3.
Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota. 4.
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
5.
Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing.
6.
Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.
7.
Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh.
8.
Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.
9.
Bupati/walikota adalah kepala pemerintah daerah kabupaten/kota.
10. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. 11. Badan Promosi dan Investasi (BPI) adalah satuan kerja perangkat daerah Aceh yang menangani promosi dan pelayanan penanaman modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). 12. Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) untuk melakukan usaha di wilayah Aceh. 13. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Aceh yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 14. Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Aceh yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 15. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. 16. Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Aceh.
17. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Aceh. 18. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis. 19. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 20. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. 21. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. 22. Permohonan penanaman modal baru adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penanaman modal baik penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) beserta fasilitasnya yang diajukan oleh calon penanam modal untuk mendirikan dan menjalankan usaha baru. 23. Permohonan perluasan penanaman modal adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penambahan modal beserta fasilitasnya dalam rangka penambahan kapasitas terpasang yang disetujui dan/atau menambah jenis produksi barang/jasa. 24. Permohonan perubahan penanaman modal adalah permohonan persetujuan atas perubahan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang telah ditetapkan dalam persetujuan penanaman modal sebelumnya. 25. Persetujuan fasilitas penanaman modal adalah persetujuan mengenai pemberian fasilitas penanaman modal berupa fasilitas bea masuk dan fasilitas perpajakan sesuai dengan perundang-undangan kepabeanan dan perpajakan yang berlaku. 26. Keputusan tentang pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) adalah persetujuan pengesahan rencana jumlah, jabatan dan lama penggunaan tenaga kerja asing yang diperlukan sebagai dasar untuk persetujuan pemasukan Tenaga Kerja asing (TKA) dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). 27. Keputusan tentang Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) adalah bagi perusahaan untuk mempekerjakan sejumlah tenaga kerja warga negara asing dalam jumlah, jabatan dan periode tertentu. 28. Izin Usaha/Izin Usaha Tetap adalah Izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi baik produksi barang maupun produksi
jasa sebagai pelaksanaan atas Surat Persetujuan penanaman modal yang telah diperoleh perusahaan. 29. Izin Usaha Tetap Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi atas penambahan produksi barang maupun produksi jasa sebagai pelaksanaan atas Surat Persetujuan Perluasan penanaman modal yang telah diperoleh perusahaan. 30. Perubahan Status adalah perubahan status perusahaan dari PMDN atau NonPMA/PMDN mejadi PMA, atau dari PMA menjadi PMDN, sebagai akibat adanya perubahan kepemilikan saham. 31. Merger adalah penggabungan 2 (dua) atau lebih perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA dan/atau PMDN dan/atau Non-PMA/PMDN yang sudah berproduksi dan telah memiliki Izin Usaha/Izin Usaha tetap kedalam satu perusahaan yang akan meneruskan semua kegiatan perusahaan yang bergabung, sedangkan perusahaan yang menggabung dilikuidasi. 32. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan penanaman modal dalam bentuk dan tata cara sebagaimana ditetapkan. 33. Usaha kecil adalah kegiatan usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Asas Penyelenggaraan Penanaman Modal, meliputi asas: a. kepastian hukum; b. kepentingan umum; c. transparansi; d. akuntabilitas; e. profesionalitas; f. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; g. kepedulian sosial; h. demokrasi ekonomi; i. berwawasan lingkungan; j. kemandirian; k. kesinambungan usaha; dan l. keseimbangan kemajuan pembangunan. (2) Tujuan penyelenggaraan Penanaman Modal di Aceh adalah : a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. menciptakan lapangan kerja; c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha secara global; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. mengolah dan mengembangkan potensi ekonomi; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB III KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL DI ACEH Pasal 3 (1)
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan penanaman modal untuk : a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing Aceh dalam perekonomian nasional dan global; b. mempercepat peningkatan penanaman modal; dan c. memanfaatkan secara optimal peluang penanaman modal sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
(2)
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) : a. memberi perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan Aceh dan nasional; b. menjamin keamanan dan kepastian hukum dalam berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan c. mendorong dan membuka kesempatan bagi pengembangan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(3)
dan
Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam Rencana Umum Penanaman Modal Aceh (RUPMA) yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dan Rencana Umum Penanaman Modal kabupaten/kota (RUPMK) yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
BAB IV PERLAKUAN TERHADAP PENANAM MODAL Pasal 4 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal baik dari dalam maupun luar negeri yang melakukan kegiatan penanaman modal di Aceh. (2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melindungi dan menjamin hakhak keperdataan bagi penanam modal yang telah menanam modal di Aceh. (3) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melindungi dan menjamin keberadaan lahan konsesi penanam modal yang berasal dari tanah negara yang dikuasai oleh Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota, bebas dari sengketa hukum baik perdata, pidana maupun sengketa tata usaha negara, dan bepas dari tuntutan masyarakat yang tidak memiliki alas hak dan bukti kepemilikan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melindungi dan menjamin semua aset penanam modal yang telah menanam modal di Aceh agar terhindar dari tindakan penyerobotan, pendudukan, perampasan dan tindakan anarkis yang dilakukan pihak ketiga terhadap aset penanaman modal maupun bagi penanam modal. Pasal 5 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota tidak akan melakukan tindakan pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. (2) Dalam hal Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota melakukan tindakan pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyelesaiannya dilakukan melalui proses negosiasi atau mediasi. (4) Apabila tidak dapat tercapai kesepakatan dalam proses negosiasi atau mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Pasal 6 (1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
(3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap: a. modal; b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi, atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknis dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Hak untuk melakukan transfer dan repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi : a. hak Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk mendapatkan pajak, retribusi dan/atau royalti dan/atau pendapatan daerah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan b. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian daerah. (6) Dalam hal tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal, Gubernur atau Bupati/Walikota a. melalui penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi b. mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi. (7) Tatacara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V BENTUK DAN KEDUDUKAN BADAN USAHA Pasal 7 (1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Pada tahap kegiatan komersial, penanam modal wajib memiliki kantor pusat atau kantor operasional di Aceh. (5) Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan: a. menguasai saham seluruhnya; b. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; c. membeli saham; dan d. melakukan cara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI KETENAGAKERJAAN Pasal 8 (1) Penanam modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh, selama tenaga kerja tersebut tersedia di Aceh. (2) Penanam modal berhak merekrut dan memperkerjakan tenaga kerja asing sesuai dengan kebutuhan usahannya untuk pekerjaan yang membutuhkan tingkat keahlian tertentu setelah memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundanganundangan. (3) Penanam modal yang memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh. (4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan setelah pemberi kerja membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing. (5) Izin untuk mempekerjakan tenaga kerja asing dikeluarkan oleh pemerintah Aceh melalui satuan kerja perangkat daerah yang bertanggunggung jawab di bidang ketenagakerjaan melalui sistem pelayanan terpadu satu pintu di Aceh.
Pasal 9 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. (3) Jika penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil, penanam modal dan tenaga kerja menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. (4) Penyelesaian perselisihan hubungan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan perturan perundangundangan.
BAB VII PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI Pasal 10 (1) Pemerintah Aceh menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. (2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
BAB VIII HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL Pasal 11 (1) Setiap penanam modal berhak mendapat: a. jaminan keamanan; b. kepastian hukum, hak dan perlindungan; c. keterbukaan informasi mengenai bidang usaha yang dijalankannya; d. pelayanan yang cepat, tepat, dan murah dengan prosedur yang sederhana; dan e. fasilitas penanaman modal, fasilitas fiskal atau kemudahan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tata cara pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 12 (1) Setiap penanam modal berkewajiban: a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. menghormati agama, adat dan budaya daerah; d. menyampaikan tembusan laporan tentang kegiatan penanaman modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi penanaman modal; dan e. mematuhi semua peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf b. sepanjang belum diatur dalam peraturan perundangundangan diatur dengan Perturan Gubernur.
Pasal 13 Setiap penanam modal bertanggung jawab: a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencengah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IX FASILITAS PENANAMAN MODAL Pasal 15 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal.
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanam modal yang : a. melakukan perluasan usaha kerja; atau b. melakukan penanaman modal baru. (3) Penanam modal yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. menyerap banyak tenaga kerja; b. mengembangkan infrastruktur, pertambangan dan energi, agribisnis, pariwisata serta bidang usaha lainnya yang berprioritas tinggi sebagaimana ditetapkan dalam RUPMA/RUPMK; c. melakukan alih teknologi; d. melakukan industri pionir; e. membangun usaha di daerah terpencil, daerah tertinggal dan daerah perbatasan; f. meningkatkan kelestarian lingkungan hidup; g. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; h. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; dan i. menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. (4) Atas usulan Pemerintah Aceh, Pemerintah dapat memberikan fasilitas kepada penanam modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berupa: a. keringanan pajak penghasilan; b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor bahan modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi; c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi; d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan; dan g. pengurangan atau pembebasan pajak ekspor barang jadi dari Aceh. (5) Pembebasan dan pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanam modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian.
(6) Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk. Pasal 16 (1) Selain fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah Aceh dan pemerintah kabuapten/kota dapat memberikan fasilitas kepada penanam modal yang menjadi kewenangan Aceh/kewenangan kabupaten/kota. (2) Pemberian fasilitas oleh Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur dan pemberian fasilitas oleh pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 17 (1) Perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain : a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan d. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. (3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah selama lebih dari 1 (satu) tahun, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan peruntukan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.
Pasal 18 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan fasilitas fiskal kepada penanam modal berbentuk pembebasan pajak/retribusi atau keringanan pajak/retribusi yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh atau kewenangan pemerintah kabupaten/kota. (2) Pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemerintah Aceh diatur dengan Peraturan Gubernur, dan oleh pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 19 (1) Selain fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1), Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan fasilitas tertentu lainnya kepada penanam modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota. (2) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemerintah Aceh diatur dengan Peraturan Gubernur, dan oleh pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
BAB X PERIZINAN USAHA Pasal 20 (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan izin yang terkait dengan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing. (2) Penanam modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin dari Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh/kabupaten/kota yang membidangi penanaman modal secara pelayanan terpadu satu pintu.
(4) Pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan, fasilitas fiskal, dan fasilitas lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal di Aceh. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XI KOORDINASI KEBIJAKAN DAN PELAYANAN PENANAMAN MODAL Pasal 21 (1) Pemerintah Aceh mengkoordinasi kebijakan dan pelayanan penanaman modal dengan Pemerintah dan Bank Indonesia, dan antara instansi Pemerintah Aceh dengan instansi pemerintah kabupaten/kota, maupun antar pemerintah kabupaten/kota. (2) Koordinasi kebijakan dan pelayanan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh yang membidangi urusan penanaman modal.
Pasal 22 (1)
Dalam rangka koordinasi kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh yang membidangi urusan penanaman modal mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : a. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; b. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal daerah dengan memberdayakan badan usaha; c. membuat peta penanaman modal ; d. mempromosikan penanaman modal; e. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; f. membantu menyelesaikan berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; dan g. melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh yang membidangi urusan penanaman modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh berdasarkan ketentuan qanun ini. Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal Pasal 23
(1)
Dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan penanaman modal di Aceh dibentuk Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal (KP3M).
(2)
Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal berkedudukan sebagai lembaga nonstruktural, bersifat independen dan bertanggungjawab kepada Gubernur.
(3)
Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal berfungsi menerima pengaduan dan bertugas mengadakan verifikasi, memeriksa, dan menyelesaikan pengaduan pelayanan penanaman modal.
(4)
Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal memberikan saran atau masukan kepada Gubernur, baik diminta maupun tidak diminta, untuk kepentingan peningkatan kinerja pelayanan penanaman modal.
(5)
Pembentukan Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal diatur dengan peraturan gubernur setelah disetujui oleh DPRA.
(6)
Anggota Komisi Pemantau Pelayanan Penanaman Modal diangkat oleh Gubernur.
BAB XII PENYELENGGARAAN URUSAN PENANAMAN MODAL Pasal 24 (1) Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh di bidang penanaman modal meliputi : a. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal berdasarkan program pembangunan Aceh dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal Aceh (RUPMA); b. Penetapan bidang usaha yang mendapat prioritas tinggi dalam penanaman modal di Aceh; c. Penetapan pedoman tentang penyelenggaraan penanaman modal di Aceh; d. Pemetaan potensi penanaman modal di Aceh. e. Mengusulkan kebijakan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal kepada Pemerintah; f. Memberikan fasilitas fiskal dan non fiskal yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh kepada penanam modal; g. Penetapan peraturan tentang penanaman modal di Aceh sesuai dengan kewenangannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan;
h. Melakukan kerjasama dengan provinsi lain dan/atau kabupaten/kota dalam rangka penanaman modal; i. Melakukan kerjasama dengan lembaga atau badan baik publik maupun swasta di dalam dan di luar negeri dalam rangka penanaman modal; j. Pelaksanaan promosi penanaman modal di Aceh, baik di dalam negeri maupun di luar negeri berkoordinasi dengan Pemerintah; k. Memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap pemerintah kabupaten/kota dalam promosi penanaman modal; l. Penetapan petunjuk pelaksanaan tata cara pelayanan penanaman modal di Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan; m. Pemberian izin usaha yang diperlukan untuk kegiatan penanaman modal baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing, meliputi: 1. Angka Pengenalan Importir Terbatas (APIT); 2. Izin Usaha/Izin Usaha Tetap/Izin Perluasan; 3. Penerbitan sertifikat hak atas tanah (HGU, HGB dan HP) 4. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; 5. Rekomendasi Visa bagi Penggunaan Tenaga Kerja Asing; 6. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Aceh. n. Penetapan pengaturan kantor perwakilan atau kantor operasional baik perusahaan PMDN maupun perusahaan PMA; o. Penetapan kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di Aceh dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan; p. Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penanaman modal di Aceh terhadap aparatur pemerintah dan dunia usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan; q. Penetapan pedoman pengembangan sistem informasi penanaman modal di Aceh; r. Pengembangan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah; s. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan sistem informasi penanaman modal di kabupaten/kota. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf j., huruf k, huruf l, huruf m, huruf n, huruf o, huruf p., huruf q, hruf r, dan huruf s diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. Pasal 25 (1) Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi :
a. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal berdasarkan program pembangunan kabupaten/kota dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal Kabupaten/Kota (RUPMK) dengan berpedoman pada RUPMA; b. Pemetaan potensi penanaman modal di kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. c. Memberikan fasilitas fiskal dan non fiskal yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota kepada penanam modal; d. Melakukan kerjasama dengan provinsi lain dan/atau kabupaten/kota lain dalam rangka penanaman modal. e. Melakukan kerjasama dengan lembaga atau badan baik publik maupun swasta di dalam negeri dalam rangka penanaman modal f. Pelaksanaan promosi penanaman modal di kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun di luar negeri berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh. g. Penetapan petunjuk teknis tentang tata cara pelayanan penanaman modal di kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan; h. Pemberian izin yang diperlukan untuk kegiatan penanaman modal baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing, meliputi: 1. Izin Lokasi; 2. Surat Keterangan Izin Tempat Usaha (SITU); 3. Izin Mendirikan Bangunan (IMB); 4. Izin Undang-undang Gangguan (UUG/HO). i. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; j. Pengembangan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Aceh dan Pemerintah; k. Pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan penanaman modal di kabupaten/kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c dan huruf g diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati/walikota.
BAB XIII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 26 (1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi atau mediasi.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut dilakukan di pengadilan. (4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Aceh pemerintah kabupaten/kota dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase Internasional yang harus disepakati oleh para pihak. BAB XIV SANKSI Pasal 27 (1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjiandan/atau peryataan sebagaaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau peryataan itu dinyatakan batal demi hukum. (3) Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelambungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota mengakiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.
Pasal 28 (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh dan/atau Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota yang membidangi urusan penanaman modal sesuai dengan qanun ini. (3) Selain sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenakan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Pada saat qanun ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan Aceh dan kabupaten/kota yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan qanun ini. (2) Perusahaan yang telah beroperasi komersial sebelum ditetapkan qanun ini yang tidak memiliki kantor pusat operasional di Aceh, wajib menyesuaikan dengan ketentuan qanun ini dalam masa 3 (tiga) tahun setelah qanun ini diundangkan.
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Aceh.
Ditetapkan di Banda Aceh pada tanggal GUBERNUR ACEH,
IRWANDI YUSUF
Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal
2007 1428
SEKRETARIS DAERAH ACEH
HUSNI BAHRI TOB LEMBARAN DAERAH ACEH TAHUN 2007 NOMOR ….
2007 1428
PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR
TAHUN 2007
TENTANG PENANAMAN MODAL DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
I.
PENJELASAN UMUM
Bahwa dalam rangka investasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamm, perlu pengaturan dalam penanaman modal baik itu dari luar negeri maupun dalam negeri, untuk itu Pemerintahan Aceh perlu menyiapkan aturan dalam pelaksanaan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri. Bahwa untuk maksud tersebut perlu dikeluarkannya dalam Qanun Aceh dalam rangka pelaksanaan Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Cukup Jelas Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Cukup Jelas Pasal 8 Cukup Jelas
Pasal 9 Cukup Jelas Pasal 10 Cukup Jelas Pasal 11 Ayat (1) huruf a Cukup Jelas huruf b Yang dimaksud dengan “kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan Pemerintah dan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Yang dimaksud dengan “kepastian perlindungan” adalah jaminan Pemerintah dan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal. huruf c Cukup Jelas huruf d Cukup Jelas huruf e Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 12 Ayat (1) huruf a Cukup Jelas huruf b Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” dalam ketentuan ini adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Ayat (2) Khususnya tentang kewajiban pelaku usaha pertambangan untuk menyiapkan dana pengembangan masyarakat berlaku ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 13 Cukup Jelas Pasal 14 Cukup Jelas Pasal 15 Cukup Jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup Jelas Pasal 18 Cukup Jelas Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan fasilitas tertentu lainnya dalam ketentuan ini termasuk fasilitas dalam bidang ketenagakerjaan serta penyediaan sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan oleh penanam modal. Ayat (2) huruf b Cukup Jelas Pasal 20 Cukup Jelas Pasal 21 Cukup Jelas
Pasal 22 Cukup Jelas Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Ayat (1) huruf a Cukup Jelas
huruf b Cukup Jelas huruf c Cukup Jelas huruf d potensi penanaman modal termasuk potensi SDA, SDM, sarana dan prasarana, dan kelembagaan. huruf e Yang dimaksudkan dengan fasilitas fiskal adalah fasilitas perpajakan berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajakpajak dalam rangka impor barang modal dan bahan baku ke Aceh, dan ekspor barang jadi dari Aceh, fasilitas investasi, dan fasilitas fiskal lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintah. huruf f Cukup Jelas huruf g Cukup Jelas huruf h Cukup Jelas huruf i Cukup Jelas huruf j Cukup Jelas huruf k Cukup Jelas huruf l Cukup Jelas huruf m Cukup Jelas huruf n Cukup Jelas huruf o Cukup Jelas huruf p Pembinaan termasuk sosialisasi kebijakan dan pelatihan dalam bidang penanaman modal huruf q Cukup Jelas huruf r Cukup Jelas
huruf s Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 25 Cukup Jelas Pasal 26 Cukup Jelas Pasal 27 Cukup Jelas Pasal 28 Cukup Jelas Pasal 29 Cukup Jelas Pasal 30 Cukup Jelas Pasal 31 Cukup Jelas Pasal 32 Cukup Jelas Pasal 33 Cukup Jelas Pasal 34 Cukup Jelas Pasal 35 Cukup Jelas Pasal 36 Cukup Jelas Pasal 37 Cukup Jelas Pasal 38 Cukup Jelas Pasal 39 Cukup Jelas
Pasal 40 Cukup Jelas Pasal 41 Cukup Jelas Pasal 42 Cukup Jelas Pasal 43 Cukup Jelas Pasal 44 Cukup Jelas Pasal 45 Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH ACEH NOMOR .....