PERAN KPI DALAM PROSES PENGAWASAN SIARAN TV NASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Terhadap Pengawasan Isi Siaran Periode Tayang Pada Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 (S1)
Ilmu Komunikasi Bidang Studi Broadcasting
Disusun Oleh : Nama NIM Program Studi
: Muhamad Ridwan : 4410401-118 : Broadcasting
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008
i
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
Lembar Pengesahan Skripsi
Nama NIM Fakultas Bidang Studi Judul Skripsi
: Muhamad Ridwan : 4410401-118 : Ilmu Komunikasi : Broadcasting : Peran KPI Dalam Proses Pengawasan Siaran Di Indonesia (Studi Kasus Terhadap Pengawasan Isi Siaran Periode Tayang Pada Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M)
Jakarta, 14 Agustus 2008 Mengetahui,
Riswandi M.Si Pembimbing
ii FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI Nama
: Muhamad Ridwan
NIM
: 4410401-118
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul : PERAN KPI DALAM PROSES PENGAWASAN SIARAN TV NASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Terhadap Pengawasan Isi Siaran Periode Tayang Pada Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M)
Jakarta, 25 agustus 2008
1. Ketua Sidang Nama : Ponco Budi Sulistyo, S.Sos, M.Comm
(……………………)
2. Penguji Ahli Nama : Fenny Fasta. SE, M.Si
(……………………)
3. Pembimbing Nama : Drs Riswandi M.Si
(……………………)
iii
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI Nama
: Muhamad Ridwan
NIM
: 4410401-118
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul : PERAN KPI DALAM PROSES PENGAWASAN SIARAN TV NASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Terhadap Pengawasan Isi Siaran Periode Tayang Pada Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M) Jakarta, 25 agustus 2008
Disetujui dan Diterima Oleh,
Pembimbing
(Drs Riswandi M.Si) Mengetahui, Dekan FIKOM
( Dra. Diah Wardhani M.Si )
Ketua Bidang Studi
( Drs. Riswandi M.Si )
iv FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
MUHAMAD RIDWAN (4410401-118)
PERAN KPI DALAM PROSES PENGAWASAN SIARAN TV NASIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus Terhadap Pengawasan Isi Siaran Periode Tayang Pada Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M) viii hal + 76 hal + 60 lampiran + riwayat hidup Bibliografi : 25 buku (Th 1988 - 2007)
ABSTRAKSI Kehadiran Undang-undang No 32 Tahun 2002 melahirkan babak baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Melalui undang-undang tersebut diatur didalamnya mengenai semua hal yang menyangkut dunia penyiaran. Termasuk mengenai dibentuknya sebuah lembaga independent yang mengatur serta mengawasi penyiaran nasional. Lembaga tersebut diberi nama Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI. Namun dalam perjalanannya pembentukan KPI ini mendapat kritikan bahkan penolakan dari beberapa kalangan. Mereka merasa keberatan dengan keweanangan yang terlalu besar yang diamanatkan undang-undang terhadap KPI. Mereka mengkhawatirkan lembaga ini akan menjadi lembaga superbodi yang sangat berkuasa di bidang penyiaran, bahkan melebihi kewenangan presiden sekalipun. Salah satu kewenangan KPI yang menjadi alasan keberatannya kalangan yang menolak adalah kehadiran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dirumuskan KPI. Mereka menilai P3SPS telah membatasi kreatifitas lembaga penyiaran serta isinya sangat multi interfretatif. Selain itu ketika perumusannya tidak terlalu melibatkan industri penyiaran. Sehingga mereka menilai isi P3SPS itu dibuat secara sepihak dan atas kepentingan sepihak juga. Perumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana peranan KPI dalam proses pengawasan siaran di Indonesia mengacu pada P3SPS KPI selama periode tayang bulan Ramadhan 1428 H?. Metode penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan nara sumber yang dinilai mempunyai kemampuan serta kapabilitas sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hasil penelitian menunjukan bahwa peranan KPI sudah mulai berjalan dengan baik. Hal ini didukung dengan beberapa temuan bahwa KPI telah mendapat respon positif baik dari pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat.
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hingga saat ini penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini merupakan persyaratan bagi penulis untuk bisa mendapatkan gelar sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi. Penelitian ini berjudul Peran KPI Dalam Proses Pengawasan Siaran Di Indonesia. Banyak sekali pengalaman yang penulis temukan selama penyusunan penelitian skripsi ini. Diantara sekian banyak pengalaman tersebut, yang paling berkesan bagi penulis adalah pengalaman ketika harus mengejar-ngejar nara sumber yang memang merupakan orang yang sibuk dan termasuk pejabat penting negara. Bayangkan seorang mahasiswa harus meminta wawancara dengan ketua KPI pusat yang kegiatannya super sibuk. Terlebih wawancara tersebut diperuntukan bagi kepentingan skripsi yang nota bene merupakan kepentingan pribadi. Beda misalnya dengan wawancara oleh wartawan yang merupakan untuk kepentingan pemberitaan umum. Penulis menyadari dalam penyusunan penelitian skripsi ini masih banyak kekurangan. Sehingga penulis sangat membuka tangan dengan lebar untuk menerima masukan, saran serta kritikan yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Dalam kesempatan ini pun, tak lupa penulis ingin menyampaikan banyak ucapan terimakasih, kepada: 1. Bapak Drs. Riswandi, M.Si, selaku Ketua Bidang Studi Broadcasting Fikom Universitas Mercu Buana. Sekaligus pembimbing penulisan skripsi penulis. 2. Prof. Didik J Rachbini, selaku Wakil Ketua Harian Yayasan Menara Bhakti. Terima kasih atas bimbingan, arahan, serta bantuannya selama ini kepada penulis. Semoga kebaikan bapak diterima oleh Allah SWT serta dibalas dengan berlipat ganda. 3. Dr. Suharyadi selaku Rektor Universitas Mercu Buana 4. Diah Wardani M.Si selaku dekan Fikom Universitas Mercu Buana. 5. Ponco Budi sulistyo, M .Comm 6. Fenny Fasta. SE, M.Si
vi 7. Prof. Sasa Djuarsa, Ketua KPI Pusat 8. Uni Z Lubis, Ketua Harian ATVSI 9. Afdal Makkuraga, Redaktur Pelaksana Media Watch The Habibie Center 10. Yul Andriyono, Executive Producer RCTI 11. Ibunda tercinta, Mimin Mintarsih, terima kasih atas kasih sayangmu yang tidak pernah habis, terima kasih telah memberikan semangat, dukungan serta doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 12. Teh Erna, Teh Erni, Nenden serta Rani, my sister's 13. Putri Chyntia Dewi, sang motivator 14. Rekan-rekan di Zeni dan di Kosan 15. Teman-teman kampus, Juned, Didin, Afri, Qomar, Tika, Viki, Aisyah, dan Semua Angkatan 2004 Broadcast lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 16. Rekan-rekan alumni dan anggota UKM Paduan Suara UMB. 17. Dan semua pihak yang telah membantu sehingga penulisan skripsi penulis selesai. Akhir kata penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada khususnya.
Jakarta, Agustus 2008
Penulis
vii DAFTAR ISI Lembar Pengesahan Skripsi..........................................................................i Lembar Lulus Sidang Skripsi.......................................................................ii Lembar Pengesahan Perbaikan Skripsi......................................................iii Abstraksi.........................................................................................................iv Kata Pengantar...............................................................................................v Daftar Isi.........................................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..1 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………1 1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………….. 8 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………….. 8 1.4 Signifikansi Masalah……………………………………………………..9 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN……………………………………………..…10 2.1 Komunikasi Massa………………………………………………………..10 2.2 Televisi Sebagai Media Massa……………………………………….......14 2.3 Program Televisi………………………………………………………….21 2.4 Konsep Peran……………………………………………………………..26 2.4 Komisi Penyiaran Indonesia sebagai Lembaga Regulasi Penyiaran……..27 2.6 Standar Program Siaran .............................................................................30 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………..44 3.1 Sifat Penelitian……………………………………………………………44 3.2 Metode Penelitian………………………………………………………...44 3.3 Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….45 3.4 Nara Sumber……………………………………………………………...46
viii 3.5 Fokus Penelitian……………………….…………………………………47 3.6 Teknik Analisa Data……………………….……………………..….…...48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………...49 4.1 Gambaran Umum Komisi Penyiaran Indonesia………………………...49 4.1.1 Dasar Pembentukan………………………………………..……...49 4.1.2 Visi dan Misi...................................................................................50 4.1.3 Profil KPI........................................................................................51 4.2 Hasil Wawancara dengan Narasumber…………………………………52 4.3 Pembahasan Mengenai Peranan KPI.......................................................53 4.4 Pembahasan…………………………………………………………….70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................75 5.1 Kesimpulan.............................................................................................75 5.2 Saran.......................................................................................................76
Daftar Pustaka Biodata Penulis Lampiran-lampiran
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan industri media penyiaran di Indonesia berjalan begitu pesat terutama sejak 10 tahun terakhir ini. Tercatat ada 10 siaran televisi swasta ditambah dengan TVRI telah bersiaran secara nasional1.
Hal ini belum
termasuk perkembangan stasiun TV lokal yang tersebar di sejumlah wilayah di Tanah Air. Terakhir situs wikipedia.org mencatat ada sekitar 92 stasiun TV lokal yang tersebar dari provinsi Aceh sampai dengan Papua ikut meramaikan industri penyiaran Indonesia2. Perkembangan dunia penyiaran ini berimplikasi kepada semakin terbukanya potensi persaingan di dunia pertelevisian tanah air. Agar siarannya mendapat rating yang bagus, pengelola stasiun TV terkesan menghalalkan segala cara untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya3. Sarlito Wirawan mantan Ketua Komisi Penegakan Pedoman Perilaku Televisi (KP3T) -yang dibentuk oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)- mengatakan produser-produser televisi hanya mementingkan rating, mereka tak lagi memperhatikan kaidah pendidikan, moral, dan etika4. Semua ini tidak lain merupakan implikasi dari perkembangan industri media penyiaran yang melahirkan persaingan diantara para pelakunya, dan tidak ada yang paling dirugikan oleh dampaknya kecuali bangsa sendiri. 1
Morissan, Jurnalistik TV Mutakhir; Ramdina Prakarsa 2004: 3. wikipedia.org, upload tgl 19 September 2007 3 Rasihan Anwar; Televisi Kita Hanya Mengejar Rating,republika.co.id: 14-05-2007. 4 republika.co.id: Semua Karena Soal Rating, 11-02-2007. 2
2
Selepas reformasi, memang iklim demokratisasi politik bangsa Indonesia telah membawa dampak pada perkembangan industri media penyiaran. Pada saat itu Bangsa Indonesia tengah memantapkan diri menjadi sebuah negara demokrasi dengan memberikan kesempatan pada publik untuk ikut terlibat dalam pengelolaan urusan yang menjadi hak publik5. Termasuk dalam pengelolaan sistem penyiaran, publik diberikan kesempatan untuk terlibat dalam pengelolaannya. Hal ini terjadi karena sistem penyiaran tidak akan terlepas dari spektrum frekuensi radio yang notabene merupakan ranah publik. Sehingga pemanfaatannya harus berorientasi sepenuhnya pada kepentingan publik. Agar hal tersebut dapat tercapai maka publik harus diikutsertakan dalam proses pengelolaannya. Hal ini terealisasi setidaknya ketika pada tanggal 7 Juni 2000, 26 Anggota DPR mengajukan usul inisiatif RUU tentang penyiaran6. Ketika kemudian RUU tersebut dalam proses penyempurnaan, Pansus RUU mengundang perwakilan masyarakat untuk memberikan masukan terhadap isi Rancangan Undang-undang tersebut. Diantara yang memenuhi undangan Pansus tersebut adalah Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Himpunan Praktisi dan Penyiaran Indonesia (HPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Masyarakat Rumah Keluarga (MARKA), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan dari perseorangan sebagai ahli yang hadir adalah 5
M.Z. AL FAQIH, PP Penyiaran dan Demokratisasi, Pikiran Rakyat.com upload Sabtu, 10 Desember 2005 6 M. Mufid, Komuikasi dan Regulasi Penyiaran; UIN Press 2005: 98
3
Patrick Kwanto, Prof.DR. Syafe’I Maarif, Drs. Ishadi SK, M.Sc., DR. Bachtiar Aly dan Prof.M. Alwi Dahlan, Ph.D7. Pada tanggal 28 Desember 2002 Undang-undang no 32 / 2002 tentang penyiaran disahkan oleh presiden Megawati. Dengan disahkannya Undangundang ini, menurut Morissan dalam bukunya jurnalistik TV mutakhir, merupakan titik awal pembaharuan di bidang penyiaran Indonesia. Dalam Undang-undang tersebut diatur misalnya mengenai Kode Etik Siaran dan Pelanggarannya yang sebelumnya masih simpang siur8. Hal lain yang menjadi sorotan publik dalam Undang-undang penyiaran adalah pembahasan mengenai pengurangan pemusatan kepemilikan media penyiaran di tangan beberapa konglomerasi media. Peraturan ini sontak melahirkan pro kontra di kalangan pelaku media. Peraturan ini dianggap berpotensi membatasi kebebasan industri penyiaran untuk melakukan akumulasi modal atau untuk mengeksploitasi berbagai hal menjadi komoditas informasi.9 Selain itu, Undang-undang penyiaran juga mengamanahkan adanya sebuah independent state regulatory body yang berfungsi sebagai lembaga pengawas penyiaran. Lembaga ini adalah lembaga non pemerintah, yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan bertanggung jawab pada DPR.(lihat UU no 32/2002 pasal 7 ayat 4). Lembaga ini kemudian disebut Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat menjadi KPI. Dengan kata lain, KPI berfungsi melakukan check and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Undang-undang 7
M. Mufid, Ibid 99-100 Morissan, Op. Cit. 290. 9 Wenny Pahlemy; KPI: Perspektif Ekonomi Politik, habibiecenter.or.id. 08/09/2007 8
4
penyiaran mencoba melembagakan KPI untuk memegang fungsi regulator tersebut. Dalam menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun
dan
mengawasi
berbagai
peraturan
penyiaran
yang
menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi10. Berikut ini adalah kewenangan, tugas serta kewajiban KPI dalam rangka melakukan pengaturan penyiaran. 1. 2. 3. Wewenang
4.
5.
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
1.
Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
2. 3. Tugas dan Kewajiban
Menetapkan standar program siaran Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
4. 5.
6.
Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran
.(sumber : kpi.go.id) Berdasarkan tabel di atas jelas bahwa KPI sebagai lembaga independen negara mempunyai kewenangan serta peran untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap dunia penyiaran nasional. Namun dalam perjalanannya
10
kpi.go.id; Pengawasan Penyiaran
5
KPI mendapatkan sejumlah permasalahan yang pelik berkaitan dengan peran serta kewenangannya tersebut. Tidak sedikit pihak-pihak yang kontradiktif dan cenderung menolak peraturan yang dikeluarkan oleh KPI11. Padahal sudah jelas peraturan yang dikeluarkan KPI merupakan salah satu peran yang diemban oleh KPI sesuai dengan UU No 32 Thn 2002. Todung Mulya Lubis SH dan rekan-rekan selaku kuasa hukum dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Persatuan Sulih Suara Indonesia dan Komunitas Televisi Indonesia, secara resmi mengajukan judicial review terhadap UU Penyiaran. Mereka mengajukan 14 dalil permohonan pengujian pasal-pasal UU Penyiaran Nomor 32/2002. Inti gugatan itu adalah keberatan terhadap kewenangan yang diberikan UU kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebuah lembaga negara yang independen dan diberi wewenang mengatur penyiaran12. Praktisi penyiaran merasa kewenangan KPI terlalu besar dalam melakukan regulasi teknis, administrasi, sampai bidang yudisiari penyiaran. Mulya Lubis menyatakan, beberapa pasal UU itu telah mengabaikan hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan hak menyatakan pendapat, hak atas informasi dan hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif. Bahkan Karni Ilyas selaku Ketua Umum ATVSI, yang pada saat penyempurnaan RUU ini ikut memberikan masukan kepada tim Pansus DPR, menyatakan, Rancangan Surat Keputusan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program 11 12
Wenny Pahlemy; Op. Cit Nugroho F. Yudho ; Vonis Uji Material MK atas UU Penyiaran: Akankah Kontroversi Berlanjut , kompas.com; 4-08-2004
6
Siaran bisa merugikan publik dan membelenggu kebebasan pers. Banyak pasal karet yang parameternya tidak jelas13. Dalam tataran praktek di lapangan, Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan KPI, banyak mendapat penolakan dari pihak pengelola stasiun TV, terutama para anggota ATVSI. Salah satu indikasinya adalah banyak teguran KPI terhadap lembaga penyiaran mengenai materi isi siaran yang melanggar P3SPS diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun penyiaran. Misalnya stasiun TV Indosiar, KPI beberapa kali menegur stasiun TV yang berkantor di Jalan Daan Mogot tersebut karena banyak tayangannya dinilai melanggar P3SPS. Sebut saja misalnya tayangan Misteri Dua Dunia (2006), Sok Gaul D’Loe (2005), Film “American Pie 2”(2006) dan Patroli, tayangan-tayangan ini secara resmi telah mendapat teguran dari KPI pusat. Tapi manajemen Indosiar berkilah14 semua tayangan tersebut telah mendapatkan label lulus sensor dari Lembaga Sensor Film, sehingga tayangan-tayangan tersebut layak mengudara dan dapat dinikmati pemirsa15. Selain Indosiar, stasiun TV yang terkesan mengabaikan peraturan KPI adalah RCTI. Misalnya teguran KPI16 mengenai program delik yang dinilai menonjolkan unsur cabul, kekerasan dan mengabaikan nilai-nilai agama serta program bincang bintang dan baywatch17 yang dinilai menonjolkan kecabulan, 13
Nugroho F. Yudho ; Op. Cit Seperti yang terlampir dalam surat resmi PT. Indosiar Visual Mandiri kepada KPI pusat NO. 065/IVM-PR G LLIIL 06, tertanggal 29 Maret 2006 15 kpi.go.id; Teguran 16 Seperti yang terlampir dalam surat resmi KPI pusat kepada Dirut RCTI No 99 lK lKPt 103 t2006, tertanggal 29 Maret 2006 17 Seperti yang terlampir dalam surat resmi KPI pusat kepada Dirut RCTI No 257/K/KPI/06/2006, tertanggal 28 Juni 2006 14
7
mengandung muatan mesum, mengeksploitasi sensualitas, serta melecehkan perempuan menjadi objek seks. Potensi pengabaian peraturan KPI oleh RCTI terlihat setelah penulis menemukan data klarifikasi dari RCTI kepada KPI Pusat perihal programnya yang bermasalah di mata KPI. Dalam surat klarifikasinya tertanggal 28 Maret 2006 RCTI berjanji akan Meningkatkan pengawasan serta sensor internal terhadap isi program tayangan RCTI baik in house production maupun produksi dari pihak luar, sehingga terhindar dari unsur pornografi, kekerasan dan mistik. Berhubung dua teguran KPI di atas adalah tertanggal 29 Maret 2006 dan 28 Juni 2006 maka penulis menarik kesimpulan bahwa klarifikasi RCTI mengenai isi programnya yang bermasalah di mata KPI hanya sebatas formalitas saja. Kesimpulan ini berdasar pada klarifikasi RCTI yang berjanji akan meningkatkan pengawasan serta sensor internal terhadap isi program tayangan RCTI baik in house production maupun produksi dari pihak luar, sehingga terhindar dari unsur pornografi, kekerasan dan mistik tidak sepenuhnya dilaksanakan. Terbukti hanya selang sehari dari dibuatnya surat klarifikasi, KPI telah kembali menegur RCTI karena program siarannya yang melanggaran peraturan. Berkenaan dengan permasalahan di atas, penulis tergugah untuk meneliti lebih jauh bagaimana peranan KPI dalam regulasi proses penyiaran di Indonesia terutama berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap isi siaran.
8
Dalam penelitian ini penulis akan mengambil studi kasus terhadap isi siaran yang berada dalam pengawasan KPI selama bulan Ramadhan tahun 1428 H. Pemilihan bulan Ramadhan sebagai objek waktu penelitian ini, mengingat bahwa bagi Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, bulan Ramadhan adalah bulan suci yang dianggap memiliki kekhususan sebagai masa penyucian diri. Sehingga hal-hal yang dapat mengotorinya harus ditiadakan. Salah satu yang dikategorikan dapat mengotori masa penyucian diri tersebut adalah tayangan-tayangan Televisi. Dalam kaitan itu, KPI mengharapkan lembaga penyiaran menghormati nilai-nilai tersebut dengan tidak menyajikan program-program yang mengandung muatan yang bertentangan dengan semangat penyucian diri tersebut18.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana peranan KPI dalam proses pengawasan siaran di Indonesia mengacu pada P3SPS KPI selama periode tayang bulan Ramadhan 1428 H?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan mengetahui Peranan KPI dalam proses pengawasan siaran di Indonesia mengacu P3SPS KPI selama periode tayang pada bulan Ramadhan 1428 H. 18
kpi.go.id; Catatan Pemantauan Acara Televisi Bulan Ramadhan 1428 H
9
1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1
Signifikansi Akademis Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap penelitian selanjutnya di bidang penyiaran, terutama bagi sivitas akademika Universitas Mercu Buana. Khususnya Program Studi Broadcasting.
1.4.2
Signifikansi Praktis Diharapkan penelitian ini akan memberikan kontribusi sederhana kepada KPI agar memaksimalkan peran serta fungsinya agar terciptanya system penyiaran yang lebih baik.
10
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Pengertian komunikasi massa didefinisikan secara berbeda-beda oleh para sarjana komunikasi, bergantung pada sudut pandang
yang dipakai.
Dalam bukunya Mass Communication ; An Introduction, Bittner menyatakan bahwa komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang1. Dalam definisinya Bittner memberikan batasan pada komponen-komponen dari komunikasi massa, yakni diantaranya koran, majalah, TV, radio, dan film. Menurut Metlezke komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan penyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada public yang tersebar2. Di sini Metlezke memperlihatkan sifat dan ciri komunikasi massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa. Defleur dan dennis mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan 1 2
Sasa Djuarsa Sendjaja Ph.D; Pengantar Ilmu Komunikasi, Univ. Terbuka Jakarta, 2003 : 7.3 Drs. Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama, 2004 : 49
11
berbeda-beda dengan melalui berbagai cara3. Sedangkan menurut pakar komunikasi Jalaludin Rakhmat komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak, surat kabar, majalah, elektronik, radio dan televisi. Sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.4
2.1.2 Proses Komunikasi Massa Komunikasi massa pada dasarnya adalah proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada public secara luas. Elvinaro dalam bukunya komunikasi massa suatu pengantar menyatakan gejala umum yang dapat dilihat dari suatu proses adalah bahwa proses merupakan suatu peristiwa yang berlangsung secara kontinyu, tidak diketahui kapan mulainya dan kapan akan berakhirnya. Dalam pelaksanaannya proses membutuhkan berbagai komponen penunjang. Demikian pula dengan komunikasi yang pada hakikatnya merupakan suatu proses, berlangsungnya komunikasi sudah pasti memerlukan proses5. Proses komunikasi massa dapat digambarkan dengan menggunakan model komunikasi dari Schramm. Model ini menggambarkan tentang fungsifungsi yang dilaksanakan oleh komunikator (media massa) dan komunikan (khalayak). Fungsi yang dimaksud adalah encoding, interpreting dan decoding. Prosesnya meliputi media menerima informasi dan berita dari berbagai sumber. Kemudian redaksi melakukan fungsi gatekeeper yang 3
Sasa Djuarsa Sendjaja Ph.D; Op. Cit. 7.3 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung, 1994. hal. 34 5 Drs. Elvinaro Ardianto, Op. Cit.31 4
12
menyeleksi informasi tersebut. Di sini redaksi menjalankan fungsi decoding, interpreting dan encoding dalam arti membaca, menilai, menyeleksi beritaberita yang masuk dan memutuskan hal-hal yang layak dimuat atau disiarkan media tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah menyebarluaskan pesan-pesan media tersebut pada khalayak.6 Khalayak yang terdiri dari individu kemudian melakukan proses decoding, interpreting dan encoding. Setiap individu akan menyeleksi dan menginterpretasikan berita. Karena proses komunikasi massa berlangsung satu arah maka umpan baliknya hanya bersifat dugaan atau tertunda.7
2.1.3 Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki karakteristik tersendiri bila dibanding dengan komunikasi antar persona atau komunikasi antar kelompok. Onong Uchjana Efendi menyebutkan sedikitnya ada 4 karakteristik komunikasi massa8. Diantaranya : a. Komunikasi massa bersifat umum. b. Komunikan bersifat heterogen. c. Media massa menimbulkan keserempakan. d. Hubungan komunikator dan komunikan bersifat non pribadi. Elvinaro menambahkan bahwa karakteristik komunikasi massa juga meliputi : a. Komunikator terlembagakan. 6
Sasa Djuarsa Sendjaja Ph.D; Op. Cit.7.13 Ibid. 7.14 8 Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti 1993 : 83 7
13
b. Komunikasi mengutamakan isi dari pada hubungan c. Bersifat satu arah d. Stimulasi alat indra terbatas e. Umpan balik tertunda
2.1.4 Fungsi Komunikasi Massa Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) adalah sebagai berikut9 : a. Surveillance (Pengawasan) b. Interpretation (Penafsiran) c. Lingkage (Keterkaitan) d. Transmission of values (Penyebaran nilai) e. Entertainment (Hiburan) Sedangkan menurut Karlinah (1999) fungsi komunikasi massa secara umum adalah10 a. Fungsi informasi b. Fungsi pendidikan c. Fungsi mempengaruhi d. Fungsi proses pengembangan mental e. Fungsi adaptasi lingkungan f. Fungsi memanifulasi lingkungan
9
Drs. Elvinaro Ardianto, Op. Cit. 15 Ibid. 19
10
14
2.1.5 Media Komunikasi Massa Drs. Elvinaro Ardianto dalam bukunya Komunikasi massa suatu pengantar menyebutkan bahwa media komunikasi massa terdiri dari : a. Surat Kabar b. Majalah c. Radio siaran d. Televisi e. Film f. Komputer dan internet11
2.2 Televisi Sebagai Media Massa 2.2.1 Pengertian Televisi Prof. Onong Uchjana Efendi, dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi mengemukakan televisi terdiri dari istilah “tele” yang berarti jauh dan “visi” atau vision yang berarti penglihatan. Jauh dapat dianalogikan sebagai radio, yakni dimungkinkannya penerimaan suara dalam jarak jauh. Sedangkan penglihatan (vision) sebagai gambarnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa televisi adalah alat untuk menerima gambar dan suara sekaligus dalam waktu yang bersamaan12. Dalam Undang-undang penyiaran disebutkan pengertian televisi sebagai media penyampai pesan. Pengertian tersebut tepatnya terdapat pada pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa penyiaran televisi adalah media komunikasi 11 12
Drs. Elvinaro Ardianto, Op. Cit.97 Onong Uchjana Efendi, Op. Cit. 174
15
massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.13 Di Indonesia perkembangan televisi dimulai ketika pada tahun 1961 Presiden Sukarno memerintahkan Menteri Penerangan pada saat itu untuk memasukan proyek pembangunan media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di Jakarta14. Pada tanggal 24 Agustus TVRI melakukan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Indonesia menjadi Negara Asia ke empat yang memiliki siaran televisi setelah Jepang, Filipina dan Thailand15.
2.2.2 Karakteristik Media Televisi JB. Wahyudi dalam buku Dasar Dasar Jurnalistik Radio Dan Televisi mengemukakan bahwa karakteristik Media Televisi meliputi : a. Informasi
disampaikan
kepada
komunikan
melalui
proses
pemancaran atau transmisi. b. Si pesan audiovisual. Artinya, dapat didengar dan dilihat secara bersamaan pada waktu pada siaran. c. Sifatnya periodik, tidak dapat diulang. d. Sifatnya transitori (hanya meneruskan) pesan-pesan yang diterima hanya bisa dilihat dan didengar secara sekilas. e. Serentak dan global 13
Undang-undang No 32 Tahun 2002, pasal 1 ayat 4 M. Mufid, Komuikasi dan Regulasi Penyiaran; UIN Press 2005: 47 15 Hinca Panjaitan, Memasung Televisi; ISAI, 1999 : 3 14
16
f. Meniadakan jarak dan waktu g. Dapat menyajikan peristiwa atau pendapat yang sedang terjadi, secara langsung atau orisinal. h. Bahasa yang digunakan formal dan nonformal (bahasa tutur). i. Kalimat singkat, padat, jelas dan sederhana j. Tujuan akhir dari penyampaian pesan untuk menghibur, mendidik kontrol sosial.16 2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Media Televisi Televisi sebagai media massa memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan televisi bisa dilihat dari sisi pragmatis dan teknologis.17 Kelebihan televisi dari sisi pragmatis adalah a. Menyangkut isi dan bentuk, media televisi meskipun direkayasa mampu membedakan fakta dan fiksi, realitas dan tidak terbatas. b. Memiliki khalayak yang tetap, memerlukan keterlibatan tanpa perhatian sepenuhnya dan intim. c. Memiliki tokoh berwatak (riil maupun rekayasa), sementara media lain (film) hanya memiliki bintang yang rekayasa. Kelebihan televisi dari sisi teknologis adalah kemampuan televisi dalam menjangkau wilayah yang sangat luas dalam waktu yang bersamaan. Sehingga televisi dapat mengantarkan secara langsung suatu peristiwa di suatu tempat yang lain yang berjarak jauh. Televisi juga mampu menciptakan suasana yang 16 17
JB Wahyudi, Dasar Dasar Jurnalistik Radio Dan Televisi, Grafiti, Jakarta 1996 hal 8-9 A. Alatas Fahmi. Bersama Televisi Merenda Wajah Bangsa, YPKMD Jakarta 1997 Hal 30-32
17
bersamaan
di
berbagai
wilayah
jangkauannya,
mendorong
pemirsa
mendapatkan informasi dan berinteraksi secara langsung. Televisi juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah : a. Kecenderungan televisi untuk menempatkan khalayak sebagai objek yang pasif sebagai penerima pesan b. Mendorong proses alih nilai dan pengetahuan yang cepat. Hal ini terjadi tanpa mempertimbangkan perbedaan tingkat perkembangan budaya dan peradaban yang ada di wilayah jangkauannya. c. Sifatnya yang sangat terbuka menjadikannya sulit untuk dikontrol dampak negatifnya. d. Pergerakan
teknologi
penyiaran
televisi
yang
begitu
cepat
mendahului perkembangan masyarakat dan budaya khalayak pemirsa. Hal ini pada gilirannya melahirkan pro dan kontra tentang implikasi kultural dari televisi. e. Kecenderungan para pengelola televisi memanfaatkan kelebihankelebihan televisi dan lebih berorientasi pada pertimbangan komersial atau bisnis sehingga menyampingkan faktor pendidikan. 2.2.4 Fungsi Media Televisi Dennis McQuail menyatakan bahwa media televisi mempunyai serangkaian fungsi bagi masyarakat18. Yaitu : a. Informasi i.
Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi masyarakat dan dunia.
18
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, 1987 : 70
18
ii.
Menunjukan hubungan kekuasaan
iii.
Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan.
b. Korelasi i.
Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi
ii.
Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan.
iii.
Melakukan sosialisasi
iv.
Mengkoordinasikan beberapa kegiatan
v.
Membentuk kesepakatan.
vi.
Menentukan ukuran prioritas dan memberikan status relatif.
c. Kesinambungan i.
Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru.
ii.
Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai.
d. Hiburan i.
Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian, dan sarana relaksasi.
ii.
Meredakan ketegangan sosial.
e. Mobilisasi Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang agama.
19
2.2.5 Isi Siaran Televisi RM Soenarto dalam buku Programa Televisi mengemukakan bahwa isi siaran televisi kurang lebih meliputi hal-hal sebagai berikut19 : a. Program siaran berita Program siaran berita memiliki ciri-ciri aktual, disusun menurut kaidah jurnalistik, beritanya disampaikan berimbang dan disiarkan dalam kesempatan pertama. b. Program siaran infotainment Program siaran infotainment termasuk ke dalam program siaran format baru yang berisikan informasi promosi dagang dunia hiburan, yang dibuat sangat ringan, menghibur dan menarik. Termasuk di dalamnya adalah pengemasan yang menyertakan bahan animasi atau trik. c. Program siaran drama Program siaran drama berisi cerita fiksi. Istilah ini juga disebut sinetron cerita. Untuk membedakannya dengan sinetron noncerita adalah format sinetron cerita terdiri dari beberapa jenis, yaitu : sinetron drama modern, sinetron drama legenda, sinetron drama komedi, sinetron drama saduran dan sinetron drama yang dikembangkan dari cerita atau buku novel, cerita pendek dan sejarah. d. Program siaran nondramatik
19
RM Soenarto, Programa siaran : dari penyusunan sampai pengaruh siaran. FFTV-IKJ press. 2007 : 59-67
20
Program siaran nondramatik merupakan bentuk acara yang tidak disertai bumbu cerita. Acara nondramatik diolah seperti apa adanya. Program jenis dokumenter termasuk program nondramatik ini. Bahannya dapat didapatkan dari kenyataan senyatanya, bisa mengenai alam, budaya manusia, ilmu pengetahuan dan kesenian. e. Program siaran olahraga Program siaran olahraga terdiri dari beberapa format, yaitu pertandingan olahraga penting, komentar olahraga, instruksional cabang olahraga, dan olahraga yang bersifat hiburan. f. Program siaran musik dan video klip Program siaran musik adalah salah satu acara yang luwes dan fleksibel. Sfesifikasi lagu buat anak muda adalah lagu-lagu rock, kontemporer, dan Jazz. Sedangkan sfesifikasi lagu seriosa, pop, langgam, dan keroncong untuk penonton kalangan tengah dan berwarna dangdut untuk umum. g. Program siaran reality show Program siaran reality show mengetengahkan perasaan tertentu seseorang yang semula tidak mempunyai harapan memperbaiki hidupnya, kemudian ada yang membantunya. Acara ini mengungkap perasaan nyata seseorang, yang tidak dibuat-buat dalam menghadapi suatu peristiwa. h. Program siaran penunjang atau filler
21
Program siaran penunjang atau filler sengaja diplot untuk menjelang acara yang ditunggu-tunggu. biasanya berupa sebuah lagu atau iklan layanan masyarakat. i. Program siaran film cerita Yang dimaksud dengan film cerita adalah film yang dibuat untuk diputar di gedung bioskop. Pemutaran film cerita yang kemudian disiarkan televisi banyak disenangi penonton, meskipun ceritanya sudah pernah dilihat di bioskop. j. Program siaran iklan Yang dimaksud dengan program periklanan adalah program yang dibuat untuk kebutuhan promosi suatu produk tertentu. Iklan atau reklame dapat diproduksi di media cetak, film, slide, radio, billboard, internet atau video. Jika produk itu dibaca, didengar atau dilihat orang maka dia dia diharapkan dapat menumbuhkan keinginan untuk mencoba atau membeli produk yang dipromosikan.
2.3. Program Televisi 2.3.1 Pengertian Program Televisi Kata “program” berasal dari bahasa Inggris programme atau program yang
berarti
acara
atau
rencana.
Undang-undang
penyiaran
tidak
menggunakan istilah program untuk memaknai acara, tetapi menggunakan istilah siaran yang didefinisikan sebagai pesan atau rangkaian pesan yang disajikan dalam berbagai bentuk. Namun, Istilah program dalam dunia
22
penyiaran di Indonesia lebih sering digunakan untuk mengacu pada pengertian acara. Menurut Morisson, program adalah segala hal yang ditampilkan stasiun penyiaran untuk memenuhi kebutuhan audiennya.20 Menurut kamus Webster International volume 2 program diartikan sebagai suatu jadwal atau perencanaan untuk ditindaklanjuti dengan penyusunan butir siaran yang berlangsung sepanjang siaran itu berada di udara.21 Program acara merupakan ujung tombak kekuatan televisi. Program acara menentukan ditonton atau tidaknya televisi.22 Maju mundurnya perusahaan media penyiaran televisi ada pada pemrograman acara. Secara bisnis program itu bisa dijual. Bagi perusahaan TV swasta, hasil penjualan program dapat menghasilkan pemasukan keuntungan. Sedangkan bagi televisi nonkomersial seperti televisi pendidikan, televisi komunitas dan televisi publik mendapat keuntungan berupa investasi peradaban masyarakat, tambahan wawasan berbagai hal, dan lebih dari itu dapat mempercepat kepandaian seseorang karena program-programnya sama sekali todak mengutamakan promosi pihak lain.23 Setiap stasiun televisi mempunyai ciri atau warna program siaran masing-masing. Setiap stasiun televisi mempunyai kebijakan sendiri-sendiri terhadap sasaran penontonnya. Ada stasiun yang mengabdi pada pelayanan publik, ada pula stasiun yang lebih menekankan kepada kreatifitas program
20
Morisson, Media Penyiaran; Strategi Mengelola Radio Dan Televisi, Ramdina Prakarsa 2005:97 RM Soenarto : Op Cit : 1 22 Morisson Op Cit : 97 23 RM Soenarto : Op Cit : 2 21
23
buatan sendiri sehingga warna siarannya benar-benar datang dari manajemen perusahaannya.
2.3.2 Jenis-jenis Program Televisi Secara umum jenis-jenis program televisi dapat dikelompokan menjadi dua bagian besar, yaitu24 : a. Program Informasi (berita). Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada khalayak audien. Daya tarik program ini adalah informasi, dan informasi itulah yang dijual kepada audien. Dengan demikian, program informasi tidak hanya program berita dimana presenter atau penyiar membaca berita tetapi segala bentuk penyajian informasi termasuk juga talk show (perbincangan) misalnya wawancara dengan artis, orang terkenal atau dengan siapa saja. Program informasi dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu i.
Hard news Hard news adalah segala informasi penting dan menarik
yang harus segera disiarkan oleh media penyiaran karena sifatnya segera untuk diketahui oleh khalayak. Sebagian orang menyebut berita keras dengan istilah straight news. Peran televisi sebagai sumber utama hard news bagi masyarakat cenderung untuk terus
24
Morisson Op Cit : 100-108
24
meningkat. Media penyiaran adalah media yang paling cepat dalam menyiarkan berita kepada masyarakat. ii.
Soft news Soft news adalah segala informasi yang penting dan
menarik yang disampaikan secara mendalam (indepth) namun tidak
bersifat
harus
segera
ditayangkan.
stasiun
televisi
menggunakan berbagai istilah untuk jenis berita hard news ini misalnya news magazine, current affairs dan lain-lain. Soft news juga dapat berbentuk perbincangan (talk show) ataupun laporanlaporan khusus seperti perkembangan tren atau gaya hidup. b. Program hiburan (entertainment) Program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur audien dalam bentuk musik, lagu, cerita dan permainan. Program yang termasuk dalam kategori hiburan adalah sebagai berikut : i.
Drama Kata drama berasal dari bahasa yunani dran yang berarti
bertindak atau berbuat (action). Program drama adalah pertunjukan yang menyajikan
cerita mengenai kehidupan atau karakter
seseorang atau beberapa tokoh yang diperankan oleh pemain yang melibatkan konflik-konflik dan emosi dengan demikian progran drama biasanya menampilkan sejumlah pemain yang memerankan
25
tokoh tertentu program televisi yang termasuk dalam program drama adalah sinema elektronik (sinetron) dan film Di negara lain sinetron disebut dengan opera sabun (soap opera atau day time serial) namun di Indonesia lebih populer dengan sebutan sinetron. Sinetron merupakan drama yang menyajikan cerita dari berbagai tokoh secara bersanmaan. Masingmasing tokoh memiliki alur cerita sendiri-sendiri. Akhir cerita sinetron cenderung terbuka dan sering kali tanpa penyelesaian. Film dalam tayangan televisi merupakan salah satu yang termasuk dalam kelompok atau kategori drama. Adapun yang dimaksud film adalah film layar lebar yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan film karena tujuan pembuatannya adalah untuk layar lebar (theater) maka biasanya film baru ditayangkan di televisi setelah dipertunjukan di bioskop atau bahkan setelah dipasarkan dalam bentuk VCD atau DVD. ii.
Musik Program musik dapat ditampilkan dalam dua format yaitu
video klip atau konser. Program musik berupa konser dapat dilakukan di lapangan (outdoor) ataupun di dalam studio (indoor). Programer yang ingin menyajikan pertun jukan musik harauslah cermat. Mereka harus memilih artis yang memiliki daya tarik demografis yang luas, menyajikan sebanyak mungkin dukungan visual dan membiarkan satu gambar ditampilkan terlalu lama.
26
iii.
Permainan Permainan atau game show merupakan suatu bentuk
program yang melibatkan sejumlah orang baik secara individu maupun kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan sesuatu. Permainan atau game show merupakan salah satu produksi acara televisi yang paling mudah dibuat. Program permainan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu quiz show, ketangkasan, dan reality show.
2.4 Konsep Peran Dalam teori hubungan interpersonal sesuai dengan ikhtisar Coleman dan Hammen25, terdapat empat buah model. yaitu (1) model pertukaran social/social exchange model (2) model peranan/role model (3) model permainan/the games people play dan (4) model interaksional / instructional model( Coleman dan Hammen (1974:224-231). Dalam teori tersebut disinggung mengenai konsep peran. Jadi, hubungan
interpersonal akan baik jika setiap individu bertindak sesuai dengan tiga hal yakni ekspektasi peranan, tuntutan peranan dan keterampilan peranan. Lembaga atau individu sudah seharusnya dapat menjalankan ekspektasi peranannya dengan baik
2.5 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sebagai Lembaga Regulasi Penyiaran 25
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 1998; 120 – 124
27
2.4.1 Regulasi Penyiaran Untuk menjelaskan pemaknaan atas konteks pernyataan regulasi penyiaran maka terlebih dahulu perlu dipahami mengenai definisi kata kunci dari kalimat tersebut. Menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Regulasi adalah peraturan, pengaturan, atau pengawasan pemerintah atas kegiatan para pengusaha melalui pemberlakuan suatu peraturan atau perundang-undangan.26 Sedangkan mengenai penyiaran, Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002 menjelaskan bahwa penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancar dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan sfektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masarakat dengan perangkat penerima siaran.27 Dari penjelasan di atas maka dapat dirumuskan bahwa regulasi penyiaran adalah upaya pengaturan atau pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap semua yang berkaitan dengan kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancar dengan menggunakan sfektrum frekuensi radio baik melalui udara, kabel maupun media lainnya. Adapun produk peraturannya adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), dan lainlain. Regulasi penyiaran dipandang penting setidaknya karena tiga hal. Pertama, keterbatasan frekuensi. Tanpa regulasi maka interferensi signal niscaya terjadi. Regulasi akan menentukan siapa yang berhak melakukan 26 27
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara Undang-undang No 32 Tahun 2002, pasal 1 ayat 1
28
siaran dan siapa yang tidak. Kedua, demokrasi menghendaki adanya sesuatu yang dapat menjamin keberagaman politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas. Hak lain adalah hak prvasi orang untuk tidak menerima informasi tertentu. Ketiga, alasan ekonomi. Tanpa regulasi maka akan terjadi konsentrasi, bahkan monopoli media. 28 Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka pemerintah melalui Undang-undang penyiaran mengatur bahwa agar penyelenggaraan penyiaran berjalan maka harus dibentuk sebuah komisi penyiaran.29 Komisi yang dimaksud adalah Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat KPI.
2.4.2 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Menurut Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 KPI adalah lembaga negara yang bersifat independent yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang sebagai wujud serta masyarakat di bidang penyiaran.30 Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya KPI diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI)31. Adapun fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya KPI yang tercantum dalam Undangundang penyiaran adalah sebagai berikut : Wewenang
1. 2. 3.
28
Menetapkan standar program siaran Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
M. Mufid. Op. Cit. 68 Undang-undang No 32 Tahun 2002, pasal 6 ayat 4 30 Ibid : Pasal 1 ayat 13 31 Ibid : Pasal 7 ayat 4 29
29
4.
Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
5.
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
1.
Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
2. 3. Tugas dan Kewajiban
4. 5.
6.
Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran
Sumber : kpi.go.id Wewenang KPI salah satunya adalah menyusun dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang merupakan acuan bagi penyelenggaraan siaran nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-undang penyiaran juga menjelaskan pada pasal 50 bahwa KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran. Kemudian KPI wajib menindaklanjuti aduan tersebut dengan meneruskannya kepada lembaga penyiaran bersangkutan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan hak jawab.32 Menilai KPI berdasarkan fungsi, kewenangan, tugas dan kewajiban yang dimilikinya maka dapat disimpulkan bahwa KPI merupakan lembaga regulasi penyiaran Indonesia yang mengatur dan mengawasi proses regulasi penyiaran tanah air. KPI dibentuk berdasarkan adanya semangat untuk mengikut
32
Ibid : Pasal 50 ayat 1-5
30
sertakan masyarakat dalam proses regulasi nasional yang merupakan salah satu ciri khas negara demokrasi.
2.6 Standar Program Siaran BAB IV PENGHORMATAN PADA SUKU, AGAMA, RAS DAN ANTARGOLONGAN Pasal 7 Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan isi siaran yang merendahkan suku, agama, ras dan antargolongan. Bagian Pertama Agama Pasal 8 Materi agama dapat tampil pada program acara agama, non-agama, dan drama/fiksi dengan ketentuan sebagai berikut: a. lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu; b. siaran agama harus menghargai etika hubungan antar agama; c. kontroversi mengenai pandangan/paham dalam agama tertentu harus disajikan secara berimbang oleh lembaga penyiaran; d. lembaga penyiaran tidak menyajikan program berisi penyebaran ajaran dari suatu sekte, kelompok atau praktek agama tertentu yang dinyatakan secara resmi oleh pihak berwenang sebagai kelompok yang dilarang; e. lembaga penyiaran tidak menyajikan program berisikan perbandingan antar agama; f. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan informasi tentang perpindahan agama seseorang atau sekelompok orang secara rinci dan berlebihan, terutama menyangkut alasan perpindahan agama. Bagian Kedua
31
Tayangan Supranatural dalam Program Faktual Pasal 9 1. Program dan promo program faktual yang bertemakan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, hanya dapat disiarkan pukul 22.00– 03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan. 2. Program dan promo program faktual yang menyajikan pengobatan alternatif (non medis) dengan menggunakan kekuatan supranatural hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan. 3. Dalam program faktual, tidak boleh ada upaya manipulasi dengan menggunakan efek gambar ataupun suara untuk tujuan mendramatisasi isi siaran sehingga bisa menimbulkan interpretasi yang salah misalnya manipulasi audio visual tambahan seakan ada makhluk halus tertangkap kamera. 4. Dalam menyiarkan program faktual yang menggunakan narasumber yang mengaku memiliki kekuatan/kemampuan supranatural khusus atau kemampuan menyembuhkan penyakit dengan cara supranatural, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. bila tidak ada ada landasan fakta dan bukti empirik, lembaga penyiaran menjelaskan hal tersebut kepada khalayak; b. lembaga penyiaran harus menjelaskan kepada khalayak bahwa mengenai kekuatan/kemampuan tersebut sebenarnya ada perbedaan pandangan di tengah masyarakat. Pasal 10 1. Lembaga penyiaran dapat menyajikan program fiksi (seperti drama, film, sinetron, komedi, dan kartun) yang menyajikan kekuatan atau makhluk supranatural selama dunia supranatural itu disajikan sebagai fantasi. 2. Program dan promo program sebagaimana dimaksud Ayat (1) yang bersifat mengerikan dan dapat menimbulkan rasa takut hanya dapat disiarkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. BAB V KESOPANAN DAN KESUSILAAN
32
Pasal 11 1. Lembaga penyiaran harus memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik dalam agama, suku, budaya, usia, dan latar belakang ekonomi 2. Lembaga penyiaran harus berhati-hati agar program isi siaran yang disiarkan tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh keberagaman khalayak tersebut Bagian Pertama Pelecehan Kelompok Masyarakat Tertentu Pasal 12 1. Lembaga penyiaran dilarang memuat program yang melecehkan kelompok masyarakat tertentu yang selama ini sering diperlakukan negatif, seperti: a. kelompok-kelompok pekerja tertentu misalnya: pekerja rumah tangga, hansip, dan satpam; b. kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti: waria, banci, laki-laki yang keperempuanan, perempuan yang kelaki-lakian, dan sebagainya; c. kelompok lanjut usia dan janda/duda; d. kelompok dengan ukuran dan bentuk fisik di luar normal, seperti: gemuk, cebol, bergigi tonggos, bermata juling, dan sebagainya; e. kelompok yang memiliki cacat fisik, seperti: tuna netra, tuna rungu, tuna wicara; f. kelompok yang memiliki cacat atau keterbelakangan mental, seperti: embisil, idiot, dan sebagainya; g. kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti penderita HIV/AIDS, kusta, epilepsi, dan sebagainya. 2. Dalam kaitan dengan ketentuan ayat (1) di atas, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
33
a. dilarang menyiarkan program yang mengandung muatan yang dapat membangun atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompokkelompok tersebut; b. dilarang menyiarkan program yang menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan; c. dilarang menyajikan program yang di dalamnya memuat sebutan-sebutan yang sifatnya merendahkan atau berkonotasi negatif terhadap kelompokkelompok tersebut. 3. Bila memang dalam program tersebut terdapat muatan stereotipe negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut, hal itu harus selalu digambarkan dalam konteks tindakan yang salah dan tidak dapat dibenarkan. Bagian Kedua Kata-kata Kasar dan Makian Pasal 13 1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan. 2. Kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara verbal maupun nonverbal. Bagian Ketiga Penggambaran Sekolah Pasal 14 Lembaga penyiaran yang menyajikan program dengan lokasi dan/ atau suasana sekolah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dibuat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat; b. tidak mengandung muatan yang melecehkan sekolah sebagai lembaga pendidikan; c. tidak menjatuhkan citra guru sebagai pendidik dengan penggambaran yang buruk;
34
d. tidak menampilkan cara berpakaian siswa dan guru yang menonjolkan sensualitas. Bagian Keempat Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif [NAPZA] Pasal 15 Lembaga penyiaran dapat menyajikan program yang memuat pemberitaan, pembahasan, atau penggambaran penggunaan napza dengan ketentuan sebagai berikut: a. lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program yang menimbulkan kesan bahwa penggunaan napza dibenarkan; b. lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan cara penggunaan napza dengan eksplisit dan rinci. Bagian Kelima Alkohol dan Rokok Pasal 16 Lembaga penyiaran dapat menyajikan program yang memuat pemberitaan, pembahasan, atau penggambaran penggunaan alkohol dan rokok dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilarang menyiarkan program yang menggambarkan penggunaan alkohol dan rokok sebagai hal yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat; b. dilarang menyiarkan program yang mengandung muatan yang mendorong anak-anak atau remaja untuk menggunakan alkohol dan rokok; c. dilarang menyajikan program yang mengandung adegan penggunaan alkohol dan rokok secara dominan dan vulgar. BAB VI PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK, REMAJA DAN PEREMPUAN Pasal 17 Lembaga penyiaran dalam memproduksi dan menyiarkan berbagai program dan isi siaran
35
wajib memperhatikan, memberdayakan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja dan perempuan. BAB VII PELARANGAN DAN PEMBATASAN PROGRAM SIARAN SEKS Bagian Pertama Umum Pasal 18 1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menampilkan adegan yang secara jelas didasarkan atas hasrat seksual. 2. Lembaga penyiaran televisi dibatasi menyajikan adegan dalam konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di dalamnya: mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan, dan sungkem. Pasal 19 1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan aktivitas hubungan seks, atau diasosiasikan dengan aktivitas hubungan seks atau adegan yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks, secara eksplisit dan vulgar. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan percakapan, adegan, atau animasi yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks. 4. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan yang menggambarkan hubungan seks antarhewan secara vulgar atau antara manusia dan hewan. 5. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat pembenaran bagi berlangsungnya hubungan seks di luar nikah. Bagian Kedua Pemberitaan Perkosaan Pasal 20
36
1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan adegan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual secara eksplisit dan vulgar. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang isinya memuat pembenaran bagi terjadinya perkosaan atau yang menggambarkan perkosaan sebagai bukan kejahatan serius. Bagian Ketiga Muatan Seks dalam Lagu dan Klip Video Pasal 21 1. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan lagu dan klip video berisikan lirik bermuatan seks, baik secara eksplisit maupun implisit. 2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau memberi kesan hubungan seks. 3. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program, adegan dan atau lirik yang dapat dipandang merendahkan perempuan menjadi obyek seks. 4. Lembaga penyiaran dilarang menampilkan tayangan yang menjadikan anakanak dan remaja sebagai obyek seks, termasuk di dalamnya adalah adegan yang menampilkan anakanak dan remaja berpakaian minim, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual. Bagian Keempat Pemberitaan Masturbasi Pasal 22
37
Lembaga penyiaran dilarang menyajikan adegan berlangsungnya masturbasi dan atau materi siaran (misalnya suara) yang mengesankan berlangsungnya masturbasi. Bagian Kelima Pemberitaan Dialog Seks Pasal 23 1. Program yang berisikan pembicaraan atau pembahasan mengenai masalah seks harus disajikan secara santun, hati-hati, dan ilmiah. 2. Program pendidikan seks untuk remaja yang bertujuan membantu remaja memahami kesehatan reproduksi harus dilakukan dengan cara yang serasi dengan perkembangan remaja. 3. Pembawa acara bertanggungjawab menjaga agar acara itu tidak menjadi ajang pembicaraan mesum. 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program siaran di mana penyiar atau pembicara tamu atau penelepon berbicara tentang pengalaman seks secara eksplisit dan rinci. Bagian Keenam Pemberitaan Perilaku Seks Yang Menyimpang Pasal 24 1. Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang membahas atau bertemakan berbagai perilaku seksual menyimpang dalam masyarakat, seperti: a. hubungan seks antara orang dewasa dan anak-anak/remaja; b. hubungan seks sesama anak-anak atau remaja di bawah umur; c. hubungan seks sedarah; d. hubungan seks manusia dengan hewan; e. hubungan seks yang menggunakan kekerasan; f. hubungan seks berkelompok; g. hubungan seks dengan alat-alat.
38
2. Dalam menyajikan program berisikan materi tentang perilaku seks menyimpang tersebut, lembaga penyiaran harus memperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut: a. lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan program yang mengandung pembenaran terhadap perilaku seksual menyimpang tersebut. b. kecuali program berita, program yang mengandung muatan cerita atau pembahasan tentang perilaku seksual menyimpang hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. Bagian Ketujuh Pemberitaan Pekerja Seks Komersial Pasal 25 Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial dengan ketentuan sebagai berikut: a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan mendorong agar pelacuran dapat diterima secara luas oleh masyarakat; b. dalam program faktual, wajah, dan identitas pekerja seks komersial harus isamarkan; c. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang pekerja seks komersial hanya boleh disiarkan pukul 22.00– 03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. Bagian Kedelapan Pemberitaan Homoseksualitas dan Lesbian Pasal 26 Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, ataumengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian, dengan ketentuan sebagai berikut:
39
a. program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman; b. kecuali program berita, program yang membahas atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian hanya boleh ditayangkan pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun siaran yang menayangkan. Bagian Kesembilan Pemberitaan Manusia Telanjang Pasal 27 1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyiarkan gambar manusia telanjang atau mengesankan telanjang, baik bergerak atau diam. 2. Tampilan/gambar manusia telanjang atau berkesan telanjang yang hadir dalam konteks budaya tertentu atau dibutuhkan dalam konteks berita tertentu, harus disamarkan. 3.
Lembaga
penyiaran
televisi
dilarang
menyajikan
tayangan
yang
mengeksploitasi (misalnya dengan pengambilan gambar close up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin pria maupun wanita. BAB VIII PELARANGAN DAN PEMBATASAN PROGRAM SIARAN KEKERASAN DAN KEJAHATAN Bagian Pertama Pemberitaan Kekerasan Pasal 28 1. Program dikatakan mengandung muatan kekerasan secara dominan apabila sepanjang tayangan sejak awal sampai akhir, unsur kekerasan muncul mendominasi program dibandingkan unsur-unsur yang lain, antara lain yang menampilkan secara terus menerus sepanjang acara adegan tembak-menembak, perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, darah, korban dalam kondisi mengenaskan, penganiayaan, pemukulan, baik untuk tujuan hiburan maupun kepentingan pemberitaan (informasi).
40
2. Program atau promo program yang mengandung muatan kekerasan secara dominan, atau mengandung adegan kekerasan eksplisit dan vulgar, hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00–03.00 sesuai dengan waktu stasiun televisi penyiaran yang menayangkan. 3. Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis. 4. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. 5. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan lagu-lagu atau klip video musik yang mengandung muatan pesan menggelorakan atau mendorong kekerasan. Pasal 29 Dalam program anak-anak, kekerasan tidak boleh tampil secara berlebihan dan tidak boleh tercipta kesan bahwa kekerasan adalah hal lazim dilakukan dan tidak memiliki akibat serius bagi pelaku dan korbannya. Pasal 30 Lembaga penyiaran harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memperlihatkan
realitas
dengan
pertimbangan
akan
efek
negatif
yang
ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan dan kecelakaan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. adegan kekerasan tidak boleh disajikan secara eksplisit, berlebihan, dan vulgar; b. gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan dan kecelakaan tidak boleh disorot dari dekat (close up, medium close up, extreme close up); c. gambar penggunaan senjata tajam dan senjata api tidak boleh disorot dari dekat (close up, medium close up, extreme close up); d. gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan; e. durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi; f. dalam siaran radio, penggambaran kondisi korban kekerasan dan kecelakaan tidak boleh disiarkan secara rinci;
41
g. saat-saat menjelang kematian tidak boleh disiarkan; h. adegan eksekusi hukuman mati tidak boleh disiarkan; i. demi memberi informasi yang lengkap pada publik, lembaga penyiaran dapat menyajikan rekaman aksi kekerasan perorangan maupun kolektif secara eksplisit. Namun rekaman tersebut tidak dapat disiarkan diluar pukul 22.00 - 03.00 dan tidak boleh menimbulkan rasa ngeri dan trauma bagi khalayak. Pasal 31 Lembaga penyiaran dilarang menyajikan isi siaran yang memberikan gambaran eksplisit dan rinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. Pasal 32 Program siaran yang berisikan tayangan permainan atau pertandingan yang didominasi kekerasan hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun penyiaran yang menayangkan. Bagian Kedua Pemberitaan Kejahatan Pasal 33 1. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan rekaman secara penuh hasil interogasi polisi terhadap tersangka tindak kejahatan; 2. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan materi siaran tentang kekerasan dan kriminalitas yang dalam proses produksinya diketahui mengandung muatan rekayasa yang mencemarkan nama baik dan membahayakan objek pemberitaan; 3. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan adegan rekonstruksi kejahatan pembunuhan secara rinci; 4. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan secara rinci, baik dengan korban dan pelaku anak-anak mau pun dewasa; 5. Lembaga penyiaran tidak boleh menayangkan langsung gambar wajah korban pemerkosaan kepada publik; 6. Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan siaran rekonstruksi yang memperlihatkan secara rinci modus dan cara-cara pembuatan alat kejahatan.
42
Pasal 34 1. Penyiaran adegan rekonstruksi kejahatan yang memperlihatkan cara pembuatan alatalat kejahatan atau langkah-langkah operasional aksi kejahatan tidak boleh disiarkan. 2. Penyiaran adegan rekonstruksi kejahatan seksual dan pemerkosaan tidak boleh disiarkan secara rinci, dan wajah dan nama pelaku dan/ atau korban harus disamarkan. Pasal 35 1. Ketika lembaga penyiaran menyajikan berita atau dokumentari yang didasarkan pada rekonstruksi dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi, materi tayangan tersebut harus secara tegas dinyatakan sebagai hasil visualisasi atau rekonstruksi. 2. Dalam menyajikan berita atau dokumentari sebagaimana ayat (7) di atas, rekonstruksi tersebut harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. lembaga penyiaran televisi wajib menyertakan penjelasan bahwa apa yang disajikan
tersebut
adalah
hasil
rekonstruksi,
dengan
memberikan
supercaption/superimpose ‘rekonstruksi' di pojok gambar televisi atau dengan pernyataan verbal di awal siaran. b. dalam rekonstruksi, tidak boleh ada perubahan atau penyimpangan terhadap fakta atau informasi yang dapat merugikan pihak yang terlibat. c. lembaga penyiaran televisi harus memberitahukan dengan jelas asal versi rekonstruksi peristiwa atau ilustrasi tersebut. Pasal 36 Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mendorong atau mengajarkan tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap binatang. Pasal 37 1. Penggambaran secara eksplisit dan rinci adegan dan rekonstruksi bunuh diri dilarang. 2. Wajah pelaku atas tindakan bunuh diri dilarang disiarkan. 3. Lembaga penyiaran harus menghindari tayangan program yang di dalamnya terkandung pesan bahwa bunuh diri adalah sebuah jalan keluar yang dibenarkan untuk mengakhiri hidup.
43
44
BAB III METODOLOGI
3.1 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif menurut Jalaludin Rahmat adalah penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara terperinci, mengidentifikasi masalah, membuat perbandingan dan menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah1. Menurut Prof. Burhan Bungin, penelitian deskriptif
bertujuan untuk
menyelesaikan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi2. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian dengan menganalis data yang tidak berbentuk angka, tetapi berbentuk pemaparan dengan menggambarkan suatu hal dengan tidak menggunakan angka. Pengumpulan data penelitian kualitatif, dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam, Focus Group Discussion atau observasi3.
3.2 Metode Penelitian 1
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survay, LP3ES 1995 : 9 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum ; 2004 : 56 3 Drs. Jalaludin Rahmat. M.Sc ; Metode Penelitian Komunikasi Rosda Karya 2004 : 24-25 2
45
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Metode studi kasus adalah metode penelitian dengan menggunakan kasus tertentu sebagai objek penelitian. Penelitian studi kasus menguraikan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program, atau suatu situasi sosial.4 Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh. Contoh-contoh dikemukakan berdasarkan isu-isu penting, sering diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, analisis studi kasus menunjukan kombinasi pandangan, pengetahuan dan kreativitas dalam mengidentifikasi dan membahas isu-isu relevan dalam kasus yang dianalisisnya.5 Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview).
3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1
Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data yang pertama dilokasi penelitian atau objek penelitian. Dalam penelitian ini data primer didapat dari wawancara mendalam dengan nara sumber atau key informant. Wawancara mendalam adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
4 5
Prof. Burhan Bungin, M.Si ; Metodologi Penelitian Kuantitatif ; Prenada Media 2005 : 36 Dedi Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif : Rosda Karya 2006 201-202
46
bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.6 Nara sumber atau responden yang menjadi key-informan atau pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah pihak dari KPI, Depkominfo, Asosiasi TV swasta yang kesemuanya merupakan pihak yang berkompeten serta memiliki kapabilitas dalam bidangnya sesuai dengan kebutuhan penelitian. 3.3.2
Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan. Dalam penelitian ini data sekunder didapat dari studi pustaka di perpustakaan, artikel-artikel ilmiah di media cetak serta dari internet.
3.4 Nara Sumber Penentuan nara sumber yang dimaksud dalam sub-bab ini adalah penentuan
nara
sumber
untuk
wawancara
mendalam
dalam
upaya
pengumpulan data primer. Penentuan nara sumber ini dilaksanakan dengan cara memilih orang-orang tertentu karena berdasarkan penelitian tertentu dianggap mewakili tingkat signifikansinya. Nara sumber pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bapak Sasa Djuarsa Sendjaya sebagai Ketua Umum Komisi Penyiaran Indonesia. Penentuan nara sumber ini disasarkan pada kapasitas Prof.
6
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia 1998 : 234
47
Sasa Sebagai Ketua Umum KPI Pusat tentunya akan menguasai permasalahan penelitian. 2.
Ibu Uni Lubis sebagai Ketua Harian Asosiasi TV Swasta Indonesia. Penentuan nara sumber ini didasarkan pada bahwa ATVSI sebagai bagian dari pelaku industri menjadi penyeimbang agar penelitian ini tidak bias.
3.
Bapak Afdal Makkuraga Redaktur pelaksana Media Watch Habibie Center. Penentuan nara sumber dari media watch didasarkan atas keberpihakan media watch yang dapat dilkatakan netral tidak berpihak kepada siapapun.
4.
Bapak Yul Andryono selaku executive producer RCTI. Penentuan Nara sumber didasarkan pada bahwa agar hasil penelitian valid maka informasi harus di dapat salah satunya dari pelaku industri, karena dia yang benar-benar mengetahui bagai mana proses sebenarnya berjalan.
3.5 Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan kepada peranan KPI dalam melakukan pengawasan serta menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh media penyiaran pada periode tayang Bulan Ramadhan 1428 Hijriah/2007 M, dengan mengacu kepada Peraturan KPI nomor 02/03 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI termasuk jenis-jenis pelanggaran serta pelaksanaanya. Lebih khusus lagi mengenai materi siaran yang mengandung hal-hal sebagai berikut :
48
1. Merendahkan suku, agama, ras dan antargolongan 2. Merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap norma kesopanan dan kesusilaan 3. Mengabaikan
kampanye
perlindungan
terhadap
kepentingan anak-anak, remaja dan perempuan 4. Menampilkan program siaran bermuatan seks. 5. Menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan kekerasan dan kejahatan
3.6 Teknik Analisa Data Tujuan analisa dalam penelitian ini adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi satu data yang teratur, serta tersusun dan lebih berarti. Proses analisa merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal objek penelitian.7 Analisa data yang dilakukan terhadap data-data yang berhasil dikumpulkan dari hasil wawancara di dalam studi literatur kemudian dianalisa secara kualitatif. Hasil analisa tersebut adalah data
yang
tidak
berbentuk
angka-angka,
melainkan
pernyataan dan deskripsi yang disusun secara sistematis.
7
Drs. Jalaludin Rahmat. M.Sc, Op. Cit. : 21
kalimat-kalimat
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Komisi Penyiaran Indonesia 4.1.1 Dasar Pembentukan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda
dengan
semangat
dalam
Undang-undang
penyiaran
sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk sematamata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang
50
sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia
4.1.2 Visi dan Misi Visi Komisi penyiaran Indonesia adalah Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Misi Komisi Penyiaran Indonesia Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang; Membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesia dan dunia internasional;
51
Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan bermartabat; Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, mora, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia; Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas penyiaran.
4.1.3 Profil KPI Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undangundang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undangundang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
52
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3: "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia."
4.2 Hasil Wawancara dengan Narasumber Pada bab ini, penulis akan menganalisa data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yaitu Prof. Sasa Djuarsa Senjaya, Uni Lubis selaku Ketua Harian Asosiasi Televisi Swasta Seluruh Indonesia (ATVSI), Afdal Makkuraga selaku Redaktur Pelaksana Media Watch The Habibie Center dan sebagai data pendukung dan berimbang penulis juga melakukan wawancara dengan Yul Andryono selaku Executive Producer RCTI. Berdasarkan hasil wawancara dan data kepustakaan, maka penulis akan menguraikan peranan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai Lembaga
53
Pengawasan Penyiaran pada media Televisi. Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Komisi Penyiaran Indonesia dan peranannya dalam mengatur dan mengawasi penyiaran di Indonesia. Transkrip wawancara ketiga narasumber dilampirkan pada bab ini.
4.3 Pembahasan Mengenai Peranan KPI Menurut undang-undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran, KPI adalah lembaga negara yag bersifat independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. KPI terdiri atas KPI pusat dan KPI daerah yang dibentuk di tingkat propinsi. KPI secara resmi berdiri pada November 2003 dengan jumlah anggota 9 orang dan diangkat berdasarkan keputusan presiden. Dalam konteks demokrasi, KPI adalah wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Melalui KPI segala pengaduan terhadap siaran televisi dapat disampaikan demi perbaikan sistem penyiaran sesuai dengan tatanan budaya bangsa. Melalui KPI juga pemerataan siaran, kepemilikan lembaga penyiaran dan isi siaran diatur sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Hal ini mengingat secara teknis penyiaran itu menggunakan spektrum frekuensi atau gelombang
elektromagnetik
yang
terbatas
jumlahnya
dan
notabene
merupakan ranah publik. Sehingga pemanfaatannya harus berorientasi kepada publik atau masyarakat. Itulah sebabnya demi kepentingan rakyat banyak, frekuensi harus diatur dan tidak boleh dimiliki oleh beberapa pihak dan hanya segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.
54
Secara filosofi, lahirnya KPI dan undang-undang penyiaran adalah sebagai realisasi dari pandangan bahwa: 1.
Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam yang terbatas jumlahnya, sehingga harus dipergunakan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
2.
Bahwa untuk menjaga integrasi nasional. Kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab
dalam
melaksanankan
fungsinya
sebagai
media
informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosial. 4.
Siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku khalayak, maka penyelenggaraan penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
55
Atas dasar itu pula, penyiaran diarahkan antara lain untuk meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama, serta jati diri bangsa. Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran. Penyiaran juga diarahkan untuk memberikan informasi yang besar, seimbang dan bertanggung jawab. Fungsi KPI dan wewenang KPI dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, KPI mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Menetapkan standar program siaran; b. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; c. Mengawasi pelaksanaan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; d. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. KPI juga mempunyai tugas dan kewajiban: a. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia; b. Ikut membantu pengaturan infrasruktur bidang penyiaran; c. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait; d. Memelihara tatanan informasi yang adil, merata dan seimbang; e. Menampung, meneliti, menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
56
f. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Atas dasar fungsi, peran dan kewenangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa KPI sebagai lembaga pengatur, lembaga pengawas, sekaligus juga penindak pelanggaran, hal ini sempat menjadi kontroversi dan menimbulkan perdebatan yang cukup sengit diantara pelaku industri penyiaran, pemerintah, maupun kalangan akademisi. Dan ketika Undangundang penyiaran disahkan, disambut unjuk rasa besar-besaran oleh kalangan industri penyiaran di depan gedung DPR. Akibatnya, pengesahan UU pun tertunda. Baru pekan berikutnya UU penyiaran disahkan, meski disambut unjuk rasa juga. Namun dalam perjalanannya pro kontra mengenai kewenangan KPI yang terlalu besar itu dapat terselesaikan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa MK tidak dapat menguji kewenangan yang disengketakan. Menurut MK, KPI bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara konstitusional dalam Undang-undang Dasar 1945. Sehingga dalam perkara tersebut, MK tidak membahas substansi kewenangan penyusunan regulasi di bidang penyiaran yang disengketakan. Sedangkan, putusan MK terkait kewenangan pemberian Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), MK menyatakan substansi yang dipersoalkan adalah substansi peraturan pemerintah dan bukan merupakan kewenangan MK. Sehingga MK memutuskan tidak dapat menerima
57
permohonan tersebut. Dampaknya adalah regulasi penyiaran kembali dipegang pemerintah. Bagi KPI, putusan MK di atas tidak serta merta mengakibatkan KPI tidak efektif sebagai lembaga negara independen yang berfungsi melindungi dan memberdayakan publik untuk turut serta membangun sistem penyiaran yang sehat di Indonesia. Beberapa fungsi KPI di antaranya adalah untuk menciptakan tatanan informasi yang adil, merata, dan seimbang, membangun iklim persaingan yang sehat, dan ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran seperti pengaturan sistem siaran berjaringan tetap harus dijalankan. Namun, sejauh mana fungsifungsi tersebut dilaksanakan secara efektif akibat dari putusan ini merupakan tantangan yang berat bagi KPI. Dalam Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, masih ada kewenangan KPI yang diatur secara jelas antara lain IPP diberikan setelah melalui tahapan Evaluasi Dengar Pendapat dan mendapatkan Rekomendasi Kelayakan dari KPI. Ditambah lagi dengan kewenangan dalam isi siaran untuk menyusun dan mengawasi pelaksanaan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya selaku ketua KPI Pusat berpendapat bahwa putusan MK ini akan berdampak terhadap optimalisasi fungsi pengawasan KPI karena IPP merupakan salah satu instrumen utama pengawasan penyiaran. Maka akibatnya tugas pengawasan yang diemban oleh KPI menjadi lebih berat. Hal ini terkait dengan fungsi pengawasan isi
58
siaran yang mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dengan dicabutnya wewenang pemberian IPP, maka KPI seolah-olah akan menjadi macan ompong. Hal ini tentunya akan semakin mempersulit penegakan peraturan menyangkut isi siaran. Putusan MK ini akan berdampak terhadap optimalisasi fungsi pengawasan KPI karena IPP merupakan salah satu instrumen utama pengawasan penyiaran. Maka akibatnya tugas pengawasan yang diemban oleh KPI menjadi lebih berat. Hal ini terkait dengan fungsi pengawasan isi siaran yang mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dengan dicabutnya wewenang pemberian IPP, maka KPI seolah-olah akan menjadi macan ompong. Hal ini tentunya akan semakin mempersulit penegakan peraturan menyangkut isi siaran1. Hal ini yang kemudian menjadi kekhawatiran KPI karena salah satu semangat dibentuknya KPI adalah untuk melindungi masyarakat dari gempuran globalisasi teknologi informasi yang negatif. Jika kemudian salah satu instrumen penting untuk mencapai semangat tadi dikerkah maka dikhawatirkan kondisi seperti yang diinginkan ketika dibentuknya KPI tidak terealisasi. Tetapi meskipun dengan keadaan seperti ini KPI akan tetap berusaha
keras
untuk
memaksimalkan
kinerja
sesuai
dengan
kewenangannya demi publik penyiaran di Indonesia. Terutama lebih fokus menjalankan fungsi pengawasan terhadap isi siaran, serta penegakan peraturan P3SPS berikut dengan terus menerus dilakukan kajian untuk penyempurnaan isinya. Berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap isi siaran ini Prof. Sasa Djuarsa mengatakan bahwa KPI sudah mulai menjalankan fungsinya 1
Wawancara dengan Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya pada tanggal 28 Juli 2008
59
dengan baik. Hal ini terbukti dengan mulai kooperatifnya lembaga penyiaran terhadap teguran KPI dengan melayangkan klarifikasi secara tertulis. Hal ini menjadi indikasi bahwa keberadaan KPI serta P3SPSnya telah diakui oleh lembaga penyiaran. Tinggal sekarang bagaimana semua unsur bersinergi demi kebaikan dan kemajuan masyarakat dan bangsa. Sesungguhnya kami telah berusaha secara maksimal agar KPI ini bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam beberapa masalah kami telah menjalankan fungsi dengan baik tetapi pada masalah yang lain kami belum. Misalnya terkait dengan fungsi pengawasan isi siaran kami telah berusaha dengan baik dan pihak-pihak yang terlibat pun telah secara kooperatif mendukung kinerja kami. Buktinya setiap lembaga penyiaran yang kami tegur terkait isi siarannya yang bermasalah selalu ada upaya dari mereka untuk mengklarifikasi dan menjelaskan duduk persoalannya kepada kami.2 Berkaitan dengan itu pula maka agar fungsi pengawasan berjalan dengan optimal maka P3SPS sebagai acuan harus terus menerus dilakukan penyempurnaan. Hal ini dilakukan agar P3SPS dapat mengakomodir semua permasalahan dalam dunia penyiaran. KPI telah menerima beberapa masukan untuk revisi dari individual masyarakat, kelompok masyarakat, civil society, kelompok konsumen dan lembaga penyiaran baik individual dan asosiasi. Dalam waktu dekat KPI akan membentuk tim kerja secara khusus untuk melakukan kajian lebih menyeluruh atas dampak dari tayangan-tayangan yang ada sehingga bisa digunakan sebagai materi revisi kedua peraturan. Perlu ditekankan bahwa revisi P3SPS ini diperlukan karena beberapa pasal yang ada dalam peraturan tersebut belum dapat secara maksimal diterapkan terhadap tayangan-tayangan yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran. 2
Wawancara dengan Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya pada tanggal 28 Juli 2008
60
Peraturan ini bukan peraturan yang sempurna dan mengakomodir semua permasalahan dalam dunia penyiaran. Kami telah menerima beberapa masukan untuk revisi dari individual masyarakat, kelompok masyarakat, civil society, kelompok konsumen dan lembaga penyiaran baik individual dan asosiasi. Dalam waktu dekat kami akan membentuk tim kerja secara khusus untuk melakukan kajian lebih menyeluruh atas dampak dari tayangan-tayangan yang ada sehingga bisa digunakan sebagai materi revisi kedua peraturan. Perlu ditekankan bahwa revisi P3SPS ini diperlukan karena beberapa pasal yang ada dalam peraturan tersebut belum dapat secara maksimal diterapkan terhadap tayangantayangan yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran3. Mengenai penegakan peraturan, setelah kewenangan KPI dikurangi melalui putusan MK maka pemberian sanksi terhadap pelanggaran P3SPS dari KPI hanya berbentuk Evaluasi Dengar Pendapat dan pemberian rekomendasi kelayakan kepada pemerintah untuk tayangan yang dianggap paling melanggar, yang nantinya akan dijadikan pertimbangan oleh pemerintah menyangkut perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Sementara itu untuk pelanggaran yang ringan KPI akan memberikan sanksi administratif dari mulai melayangkan teguran secara tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif dan pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu. Memang selama ini kami belum terlalu optimal dalam menerapkan sanksi, karena masih banyak kendala yang kami hadapi. Selama ini kami hanya menegur secara tertulis terhadap lembaga penyiaran yang dianggap melanggar ketentuan P3SPS dan agar ada efek jera dari lembaga penyiaran kami selalu menekankan bahwa jika lembaga penyiaran terus menerus melakukan pelanggaran terhadap ketentuan P3SPS maka KPI akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar ketika lembaga penyiaran memperpanjang izin siaran maka perlu
3
Wawancara dengan Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya pada tanggal 28 Juli 2008
61
dipertimbangkan track record lembaga bersangkutan yang sering melanggar P3SPS4. Dalam menjalankan peranannnya, KPI merasa yakin dapat menata struktur penyiaran ke arah yang lebih baik, jika pemerintah sendiri sudah sepenuhnya memberikan kewenangan kepada KPI, untuk menjalankan tugas serta fungsinya sebagai lembaga pengawasan penyiaran dan memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Berikut ini adalah daftar kasus pelanggaran yang dimonitoring oleh KPI periode Bulan Ramadhan 1428 H / 2007 M No 1
Stasiun SCTV
Nama Program Sinetron Cowok Ideal
Pasal Pasal 18 SPS
Mengenai Adegan berdasar hasrat seksual
Cinta Lama Bersemi 2
TPI
Kembali Legenda Buta Kala
Klarifikasi 18 dan 20 SPS
3
RCTI
Stasiun Ramadhan
Pasal 12 SPS
4
Status Klarifikasi
Adegan berdasar hasrat seksual dan adegan perkosaan Pelecehan terhadap kelompok masyarakat tertentu
Wawancara dengan Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya pada tanggal 28 Juli 2008
Klarifikasi
Klarifikasi
62
4
Indosiar
Keluargaku Harapanku
Pasal 13
Stardut
SPS Pasal 21 SPS
5 6
Sinetron Kisah Cinta
18 dan 20
Aladin dan Jasmin
SPS
Layar Indonesia
Pasal 13
“Dimas Anak Ajaib” Sinetron Sumpah Nyai
SPS Pasal 10
Lativi
Telaga Sinema Indonesia Pagi
SPS 18 dan 20
Trans 7
Warkop DKI Empat Mata
SPS Pasal 12 SPS
Empat Mata Sahur
Pasal 12
Rumpi
SPS Pasal 19 SPS
Penggunaan bahasa atau kata makian Pemakaian kostum dan gerakangerakan tarian yang tidak pantas Adegan berdasar hasrat seksual dan adegan perkosaan Penggunaan bahasa atau kata makian Kekuatan Supranatural Fantasi Adegan berdasar hasrat seksual Melecehkan kelompok masyarakat tertentu Eksploitasi Seks
Belum Klarifikasi Klarifikasi
Klarifikasi
Belum Klarifikasi Belum Klarifikasi Belum Klarifikasi Klarifikasi
Klarifikasi
Mengenai Belum Percakapan yang mengarah Klarifikasi pada hubungan seks
63
7
ANTV
Film India Kayamath
Pasal 8 dan 9 SPS
8
Global
Seleb Dance
Pasal 11
Silat Lidah
SPS Pasal 19
MTV Video Klip
21 SPS
TV
Mengenai Penghormatan Kepada Suku, Agama dan Ras Mengenai Kesopanan dan Kesusilaan Mengenai Percakapan yang mengarah pada hubungan seks Klip Video bermuatan seks
Klarifikasi
Klarifikasi Klarifikasi
Belum Klarifikasi
Berdasarkan monitoring yang dilakukan KPI serta beberapa masukan
dari lembaga maupun
individu
maka
KPI berinisiatif
melayangkan surat teguran kepada lembaga penyiaran yang menayangkan program-program bermasalah pada bulan ramadhan. Dalam tataran teknis, khusus untuk menangani tayangan di bulan ramadhan ini KPI terus menerus berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar proses pengawasannya berjalan dengan optimal. Dan hasilnya seperti yang terdapat dalam tabel di atas hampir semua stasiun TV mendapatkan surat teguran dari KPI karena isi siarannya yang bermasalah. Peranan KPI sangat signifikan terutama pada momen penting seperti bulan ramadhan. Karena pada bulan ramadhan itu bagi umat islam adalah merupakan masa penyucian diri. Sehingga diupayakan hal-hal yang dapat merusak momen penyucian diri tersebut sebisa
64
mungkin dapat dihindari. Salah satu hal yang dianggap dapat merusak momen penyucian diri itu adalah tayangan televisi. Makanya kehadiran KPI yang mempunyai wewenang mengawasi isi siaran televisi mendapat respon yang baik dari masyarakat. Diharapkan dengan adanya KPI maka isi siaran televis dapat terkontrol dari hal-hal yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat. Berdasarkan tabel di atas pula dapat diketahui bahwa peranan KPI dalam pengawasan isi siaran sudah berjalan dengan optimal. Setidaknya hal itu dibuktikan dengan adanya upaya dari lembaga penyiaran untuk mengklarifikasi kepada KPI mengenai tayangannya yang terkena teguran KPI. ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) adalah organisasi yang menghimpun para pemilik televisi swasta yang membentuk sebuah lembaga internal untuk mengatur agar para televisi swasta dalam memberikan kontribusi penyiaran kepada publik dapat dipertanggung jawabkan, serta membuat penyiapannya ke arah yang lebih baik. Berkenaan dengan kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia pada dasarnya ATVSI tidak menolak karena mereka melihat bahwa sebuah Negara memang perlu dibentuk sebuah lembaga penyiaran independent. Tujuannya agar sistem penyiaran dapat terhindar dari campur tangan yang terlalu besar dari pihak pemerintah. Kalau kehadiran Komisi penyiaran dari awal kami tidak menolak karena kami ini juga bukan orang yang tidak bergaul. Kami melihat perkembangan di berbagai Negara maju bahwa memang perlu dibentuk sebuah lembaga penyiaran independent. Ini juga untuk menghindarkan
65
dari campur tangan yang terlalu besar dari pihak pemerintah. Untuk itu perlu digarisbawahi bahwa ATVSI itu tidak pernah menolak kehadiran KPI sebagai suatu lembaga baru di Indonesia5 Namun dalam pembentukannya ada beberapa hal yang ATVSI kemudian merasa keberatan. Yang pertama mengenai kewenangan KPI. ATVSI keberatan dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPI. Dalam Undang-undang itu diatur bahwa KPI mempunyai wewenang untuk membuat aturan, mengawasi pelaksanaannya dan juga menghukum terhadap pelaku pelanggaran. ATVSI mengasosiasikan KPI itu memiliki kewenangan
legislatif,
dia
memiliki
kewenangan
eksekutif
dan
kewenangan yudikatif. ATVSI menilai tidak ada lembaga di Republik ini sesuai UUD yang mempunyai kewenangan super seperti itu. Kemudian
keberatan
yang
kedua
adalah
mengenai
keterwakilan unsur industri dalam keanggotaan KPI. ATVSI menilai dalam keanggotaan KPI harus ada dari unsur industri penyiaran. Karena KPI harus menguasai seluruh aspek yang berkaitan dengan dunia penyiaran termasuk aspek teknis. Yang betul-betul menguasai aspek teknis penyiarankan
pasti
orang
industri
karena
dia
terus
mengikuti
perkembangan demi menjaga persaingan dengan kompetitor. Sedangkan kenyataannya di KPI yang mendominasi rekrutmen keanggotaannya adalah dari pihak akademisi. Yang kami keberatan itu kemudian adalah kewenangan dari KPI nya waktu itu KPI awal konsepnya itu adalah dia benar-benar yang membuat aturan, dia yang mengawasi pelaksanaannya dan dia juga yang menghukum. Jadi ibaratnya dia memiliki kewenangan legislatif, dia 5
Wawancara dengan Uni Lubis, Tanggal 4 Agustus 2008
66
memiliki kewenangan eksekutif dan kewenangan yudikatif. Jadi menurut kami tidak ada lembaga di Republik Indonesia ini sesuai UUD yang mempunyai kewenangan itu, jadi kenapa pula kita harus memberikan kewenangan itu kepada KPI. Itu adalah keberatan yang paling besar. Yang kedua adalah rekrutmen keanggotaan KPI harus mengakomodir wakil dari masyarakat independent, ada wakil dari pemerintah, ada wakil dari industri. KPI yang pertama tidak ada satupun orang yang paham tentang industri. Hampir semua didominasi oleh kalangan akademisi.6 Kemudian mengenai keberadaan P3SPS, ATVSI menilai bahwa keberadaan P3SPS itu sangat penting untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dalam content siaran. Hanya saja kembali ATVSI mengkritik bahwa karena P3SPS itu merupakan peraturan yang harus diikuti bersama maka seharusnya perumusannya pun sebaiknya melibatkan bersama pula. Sehingga ketika rumusan peraturan itu jadi, semua sepakat tunduk terhadap peraturan itu. Selain itu dengan perumusan bersama maka kemungkinan P3SPS memiliki kelemahan dapat diminimalisir. Keberadaan P3SPS itu sangat penting, kita mendukung karena penyiaran nasional harus ada yang mengatur. Perlu ada aturan yang disepakati bersama. Jadi kita perlu punya kode etik, tapi kode etik itu namanya juga kode etik itu mesti kita sepakati bersama content perumusannya itu harus melibatkan semua stake holders baik masyarakat, baik industri, pelaku, programer, production house dll. Ketika perumusan P3SPS yang pertama kita cuma diundang KPI sekali, Cuma buat participant aja kan dia melibatkan public, jadi kita diundang sekali. Di sana kita banyak ngasih masukan dan masukan kita tidak diterima7. Kemudian Uni Lubis juga berpendapat bahwa dalam prakteknya KPI belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Mereka cenderung reaktif terhadap program-program yang melanggar P3SPS. Padahal seharusnya KPI itu secara pro aktif mengawasi kemudian
6 7
Wawancara dengan Uni Lubis, Tanggal 4 Agustus 2008 Wawancara dengan Uni Lubis, Tanggal 4 Agustus 2008
67
menegakan peraturan dengan tegas. Karena KPI memiliki kewenangan yang cukup besar mengenai masalah ini. Misalnya mengenai penghentian tayangan smack down. Ketika kemudian semua orang telah memperbincangkannya karena ada dugaan banyak anak-anak yang menjadi korban efek negatif dari tayangan tersebut, maka dengan sendirinya smack down di tarik penayangannya oleh Lativi. Dan itu bukan karena peran dari KPI, tetapi karena desakan bayak orang mengingat ada indikasi telah banyak korban anak-anak meninggal karena efek negatifnya. Hal ini membuktikan bahwa KPI kurang percaya diri untuk menegakan peraturan yang menjadi kewenangan dia. ATVSI juga menilai bahwa P3SPS yang telah direvisi sudah lumayan baik. Isinya sudah cukup mewakili unsur-unsur yang urgen. Hanya saja masih adanya pasal-pasal yang multi interpretative sehingga masih harus diadakan kajian untuk memperbaikinya. Sebetulnya P3SPS sekarang ini sudah lebih baik, dan proses pelibatan kami di industri sebagai pelaku penyiaran itu sudah lebih bagus dibanding yang pertama, hanya saja masih banyak pasal-pasal yang sifatnya multi interpretatif, misalnya menonjolkan kekerasan itu apa? Menonjolkan itu kan apa? Lebih dari 50%, kurang dari 50% atau bagaimana? Tapi waktu kita ketemu dengan KPI untuk membahas ini kita ada beberapa kali pertemuan kita sepakati bahwa proses yang terjadi adalah ketika ada keluhan dari masyarakat terhadap KPI mengenai satu tayangan. Tidak seperti pada KPI sebelumnya yang langsung menegur. Itu yang dilakukan oleh KPI sekarang adalah mengirim surat untuk meminta klarifikasi. Sebab kadang-kadang kan surat dari KPI itu kepada TV hanya di dasarkan pada satu surat dari masyarakat, kalau dulu, satu surat sudah mewakili seluruh masyarakat, padahalkan yang namanya tayangankan selera, yang satu suka yang satu tidak suka, kalau menurut saya jika ada keluhan dari masyarakat walaupun itu satu maka KPI akan mengirimkan surat permintaan klarifikasi. Jadi diklarifikasi dulu jika
68
ketika diklarifikasi masih begitu juga maka KPI akan memberikan teguran. 8 Secara umum Uni Lubis berpendapat bahwa KPI itu menjadi lembaga yang paling penting dan satu-satunya. Jadi untuk itu KPI harus melaksanakan fungsinya dengan baik. Dia punya kewenangan besar untuk mengawasi siaran dan dia menjadi satu-satunya. Jadi itu harus dimanfaatkan oleh KPI. Secara umum Media Watch melalui redaktur pelaksananya, Afdal Makkuraga berpendapat bahwa KPI telah menjalankan peranannya dengan baik. Banyak sekali indikasi yang mendukung pernyataannya tadi. Diantaranya beliau menyebutkan bahwa sudah banyak tayangan-tayangan televisi yang telah mendapatkan teguran KPI dan tayangannya menjadi lebih baik. Sudah, KPI itu kan tugasnya mengawasi pelaksanaan jadi salah satu fungsi KPI itu adalah mengawasi pengawasan P3SPS itu. Apa yang dibuat berdasarkan UU KPI itu berhak memberikan sanksi . sanksi itu mulai dari teguran sampai pencabutan izin siaran nah KPI sudah melaksanakan dengan baik saya memberi contoh misalnya KPI sudah menegur program-program televise yang dianggap melanggar P3SPS itu contohnya KPI sudah menegur misalnya infotainment yang namanya silet, insert, smack down, KPI juga sudah menegur bahkan memberikan peringatan keras kepada iklan-iklan yang tidak sesuai dengan aturan itu. Anda tau iklannya XL yang kawin dengan kambing kawin dengan monyet itu tidak dilaksanakan. KPI meminta agar iklan ki joko bodo yang menawarkan nujum sudah diminta agar jangan disiarkan. Semua iklan, jadi sudah berjalan dengan baik.9 Mengenai penegakan hukum, Afdal Makkuraga berpendapat bahwa peraturan KPI yang terealisasi dalam P3SPS itu sangat mengikat 8 9
Wawancara dengan Uni Lubis, Tanggal 4 Agustus 2008 Wawancara dengan Afdal Makkuraga Tanggal 7 Juli 2008
69
kuat terhadap lembaga penyiaran. Sehingga lembaga penyiaran wajib tunduk terhadapnya. Hal ini penting dikemukakan karena menyangkut peranan KPI. Dengan kejelasan bahwa peraturan KPI itu mengikat kuat terhadap lembaga penyiaran maka KPI akan lebih percaya diri untuk menegakkan peraturannya tersebut. Mengikat secara kuat, karna kan begini berdasarkan UU semua lembaga penyiaran itu harus tunduk pada UU penyaiaran, UU penyiaran mengamanatkan ada KPI oleh karena itu lembaga penyiaran harus tunduk kepada KPI. Namanya kan perangkat hukum kalau tidak dipatuhi maka akan melanggar hukum , melanggar hukum artinya ada sanksi.10 Ada satu hal yang digarisbawahi oleh Afdal Makkuraga bahwa ada beberapa lembaga penyiaran yang nakal. Mereka sepertinya sejalan dengan KPI. Ketika ada tayangannya yang ditegur oleh KPI karena melanggar P3SPS maka lembaga penyiaran tersebut langsung memberikan klarifikasi. Tetapi kemudian selanjutnya lembaga penyiaran itu menayangkan lagi dan menayangkan lagi tayangan yang melanggar P3SPS. Hal ini menurut Afdal bisa terjadi. Tetapi itu akan menjadi preseden buruk bagi lembaga peniaran. Karena KPI akan memnerikan rekomendasi kepada pemerintah bahwa lembaga penyiaran yang bersangkutan mempunyai track record yang buruk. Dan hal ini akan berimplikasi terhadap sulitnya lembaga penyiaran mendapai perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Memang tidak bisa dihindarkan yang seperti itu, karna perlu anda ketahui bahwa lembaga KPI dalam pemberian sanksi masih terjadi silang pendapat yang cukup tajam antara KPI dengan Menkominfo dalam hal pemberian sanksi. Pemberian sanksi itu harus didasarkan pada peraturan Pemerintah, nah yang buat PP itu kan pemerintah depkominfo nah kekuatan PP itu pemerintah juga memberikan sanksi jadi tumpang tindih , nah itu yang jadi persoalan . KPI tidak berhak membuat 10
Wawancara dengan Afdal Makkuraga Tanggal 7 Juli 2008
70
peraturan. Setelah ditegur KPI mungkin akan terulang lagi itu akan menjadi bahan penilaian bagi KPI ketika lembaga penyiaran itu meminta perpanjangan izin siaran. Itu akan menjadi trade record bagi lembaga penyiaran itu sendiri. 4. 4. Pembahasan Dari hasil wawancara dengan nara sumber, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan Komisi Penyiaran Indonesia dalam proses pengawasan isi siaran sudah mulai berjalan dengan optimal. Dari empat nara sumber yang mewakili unsur KPI, ATVSI, Pemantau Media dan juga pelaku industri semua berpendapat kurang lebih sama. KPI periode 2 ini lebih diterima masyarakat, kooperatif dengan industri penyiaran, juga bersinergi dengan pemerintah. Hanya saja ada beberapa catatan yang diajukan nara sumber. Uni Lubis, Ketua Harian ATVSI menyatakan bahwa KPI harus lebih pro aktif lagi dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Hal ini agar pelaksanaan penyiaran dapat berjalan sesuai dengan kehendak undang-undang. Yul Andryono, executive producer RCTI berpendapat bahwa KPI harus lebih tegas lagi dalam penegakan peraturannya. Hal ini penting agar menimbulkan efek yang positif dalam dunia penyiaran. Terutama berkaitan dengan pengawasan isi siaran. Jadi jika KPI tegas bukan tidak mungkin lagi industri penyiaran akan tunduk terhadap peraturan KPI. Sehingga kondisi yang dicita-citakan seperti yang terdapat dalam undang-undang bukan hanya khayalan semata. Mereka sudah mulai mau kesana, tapi saya sarankan harus lebih tegas lagi ka nada sanksi, tinggal penegakannya yang benar-benar harus dilaksanakan. Kalau ga salah pernah kejadian di trans TV itu 3 peringatan lenong nyok, ekstravaganza dan satu lagi suami-suami takut
71
istri, ini peringatan keras sampai extravaganza itu hampir dilarang tayang sama KPI nah mungkin sekarang sudah mereka sudah koreksi sehingga bisa tayang lagi tanpa ada peringatan dari KPI. Tadinya kan dengan banci-banci itu kan dianggap melecehkan kaum minoritas itu kan sudah keras coba lebih keras lagi sampai benar-benar kejadian ada tayangan yang dilarang misalnya sebulan sebagai efek jera. Jadi mungkin diharapkan disini KPI lebih tegas dalam penegakan peraturannya. Karena mereka juga punya bukti kan mereka merekam.11 KPI sudah dapat menjalankan tugasnya dengan baik. KPI itu kan tugasnya mengawasi pelaksanaan jadi salah satu fungsi KPI itu adalah mengawasi pengawasan P3SPS itu. Apa yang dibuat berdasarkan UU KPI itu berhak memberikan sanksi . sanksi itu mulai dari teguran sampai pencabutan izin siaran nah KPI sudah melaksanakan dengan baik saya memberi contoh misalnya KPI sudah menegur program-program televise yang dianggap melanggar P3SPS itu contohnya KPI sudah menegur misalnya infotanment yang namanya silet, insert, smack down dll.12 Mengenai eksistensi P3SPS yang merupakan output KPI juga direspon positif oleh nara sumber. Intinya semua unsur yang terlibat di bidang penyiaran tidak keberatan dengan adanya peraturan ini. Mereka sadar bahwa kehadiran peraturan ini sangat dibutuhkan sebagai proteksi dari bahaya globalisasi yang negatif. Hanya saja beberapa nara sumber menginginkan perumusannya harus melibatkan unsur-unsur lain termasuk industri penyiaran dan unsur publik lainnya. Komisi Penyiaran Indonesia harus bisa menjalankan peranannya sebagai lembaga independen yang bergerak dalam pengawasan isi siaran, terlebih lagi KPI yang ditunjuk langsung oleh undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum untuk menjalankan tugas, fungsi dan wewenang dalam mengatur dan mengawasi penyiaran nasional. Sesuai dengan fungsi KPI sebagai lembaga perwujudan partisipasi masyarakat 11 12
Wawancara dengan Yul Andryono Tanggal 7 Agustus 2008 Wawancara dengan Afdal Makkuraga Tanggal 7 Juli 2008
72
dalam penyiaran adalah mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran di Indonesia. Dalam teori hubungan interpersonal sesuai dengan ikhtisar Coleman dan Hammen13, terdapat empat buah model. Dalam penelitian ini hanya dikemukakan satu model yakni model peranan. Hubungan interpersonal akan baik jika setiap individu bertindak sesuai dengan tiga hal yakni ekspektasi peranan, tuntutan peranan dan keterampilan peranan. Disini dapat dilihat bahwa KPI sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi penyiaran sudah seharusnya dapat menjalankan ekspektasi peranannya dengan baik karena sudah secara jelas dalam undang-undang ditetapkan tugas, kewajiban dan kewenangannya. Selain itu, tuntutan peranan dalam KPI menjalankan tugas dan kewajibannya adalah mengemban tanggung jawab yang sudah diberikan kepada KPI. KPI dalam menjalankan fungsinya terutama dalam hal pengawasan isi siaran akan menegur stasiun televisi yang beberapa tayangannya mengandung materi yang tidak sesuai dan cenderung melanggar P3SPS. Dari adegan kekerasan sampai dengan eksploitasi perempuan. Namun mungkin karena kurang tegasnya KPI dalam penegakan aturannya berakibat pada sampai saat ini masih ada tayangan yang serupa yang masih dengan bebas mengisi layar kaca pemirsa di tanah air. Di sinilah pentingnya ketegasan KPI yang seharusnya dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas. Sehingga KPI sebagai sebuah lembaga independent dapat disegani di hadapan lembaga 13
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, 1998; 120 – 124
73
penyiaran. Sekarang KPI tinggal concern saja menjalankan peran, fungsi serta wewenang sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang. Hal ini sesuai dengan model peranan yang menjelaskan bahwa sebuah peranan itu akan terukur ketika baik lembaga maupun individu yang diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan perannya dapat menjalankan sepenuhnya apa yang menjadi tanggung jawabnya. Jika ini telah terjadi pada KPI, maka bukan tidak mungkin kondisi seperti yang diharapkan Undang-undang akan tercapai. Sampai saat ini kondisi tersebut memang belum sepenuhnya ada pada KPI. Mengingat proses itu masih berjalan dan butuh kedewasaan secara kelembagaan. Agar kondisinya benar-benar sesuai harapan undangundang seyogyanya yang harus siap itu bukan hanya dari pihak KPI saja. Tetapi dari semua unsur yang terlibat dalam bidang penyiaran juga harus siap. Termasuk lembaga penyiaran itu sendiri. Di lain pihak antara KPI dan pemerintah sudah mulai sejalan. Hal ini terindikasi dengan mengakui KPI memiliki kewenangan dalam hal penyiaran pada pasal 33 ayat 4 dan 5 yang menyatakan bahwa ayat 4 : izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: a. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI. b. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI.
74
c. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untukperizinan antara KPI dan pemerintah. b. Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.. Ayat 5 : atas dasar hasil kesepakatan sebagaiman dimaksud dalam ayat 4 huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI. Langkah-langkah KPI dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
menjadi
lawan
bagi para lembaga
penyiaran
dengan
mengeluarkan peraturan P3SPS sebagai produk hukum untuk mengatur penyiaran nasional, yang secara keseluruhan dari program berita sampai dengan program non berita serta iklan. Akan tetapi dengan adanya peraturan KPI, yaitu P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang dianggap bahwa P3SPS sangatlah rumit dan tidak mudah untuk diterapkan secara keseluruhan, sehingga masih banyak stasiun TV swasta yang merasa kesulitan untuk menerapkan peraturan KPI. Namun para lembaga penyiaran masih menjadikan P3SPS sebagai tolak ukur mereka untuk menyajikan program-program acara, karena KPI adalah sebagai lembaga independent yang ditunjuk langsung oleh undangundang untuk mengatur segala bentuk penyiaran.
75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan temuan peneliti dari data yang berhasil dikumpulkan dapat disimpulkan bahwa peranan Komisi Penyiaran Indonesia dalam proses pengawasan isi siaran sudah mulai berjalan dengan optimal. Dari empat nara sumber yang mewakili unsur KPI, ATVSI, Pemantau Media dan juga pelaku industri semua berpendapat kurang lebih sama, bahwa KPI telah cukup optimal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga Negara independent yang bertugas mengawasi system penyiaran di Indonesia. KPI sekarang lebih diterima masyarakat, kooperatif dengan industri penyiaran, juga bersinergi dengan pemerintah. Hanya saja ada beberapa catatan penting bagi KPI, bahwa KPI harus lebih pro aktif dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Hal ini agar pelaksanaan penyiaran dapat berjalan sesuai dengan semangat undang-undang. Selain itu diharapkan KPI juga bisa lebih tegas dalam menegakan peraturannya. Hal ini penting agar menimbulkan efek yang positif dalam dunia penyiaran. Terutama berkaitan dengan pengawasan isi siaran. Jadi jika KPI tegas bukan tidak mungkin lagi industri penyiaran akan tunduk terhadap peraturan KPI. Sehingga kondisi yang dicita-citakan seperti yang terdapat dalam undang-undang bukan hanya khayalan semata.
76
Peneliti juga menemukan data pendukung yang mengindikasikan KPI telah menjalankan peranannya dengan baik. Data tersebut adalah daftar kasus pelanggaran yang dimonitoring oleh KPI terhadap lembaga penyiaran selama periode tayang bulan ramadhan 1429 H/2007 M. dari data tersebut dapat diketahui bahwa dari program-program yang mendapatkan teguran KPI, sebagian besar telah melakukan klarifikasi kepada KPI. Hal ini mengindikasikan peranan KPI sudah berjalan dengan baik. Karena dengan klarifikasi dari lembaga penyiaran, setidaknya bias dikatakan lembaga penyiaran telah mengakui eksistensi KPI berikut dengan peran, fungsi serta kewenangannya.
5.2 Saran Berdasarkan temuan penelitian ini, peneliti memberikan saran kepada KPI agar KPI dalam menjalankan peran, fungsi serta wewenangannya harus lebih tegas terutama dalam hal penegakan peraturan. Hal ini demi berjalannya sistem penyiaran seperti yang diharapkan masyarakat yang tereferesentasi dalam Undang-undang penyiaran no 32 Tahun 2002. Pengaturan sistem penyiaran nasional sangat penting karena menyangkut masa depan bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa terpaan media terhadap masyarakat itu sangat kuat. Sehingga agar hal-hal yang akan berakibat negative dari terpaan media tersebut harus segera diproteksi. Salah satu upayanya adalah dengan dibentuknya KPI yang bertugas mengawasi system penyiaran. Terutama berkaitan dengan isi siarannya.